JURNAL EKOLOGI BIROKRASI ISSN: 2338-075X Volume 2, Nomor 1 Februari 2016 Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini. Hariman Dahrif *) Program Pascasarjana Universitas Cenderawasih Abstrak Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini. Kesan bahwa pranata-pranata lokal itu tidak bermanfaat, atau anti modernisasi, ternyata tidak selamanya benar, bahkan cenderung bertolak belakang. Hal ini seperti ditunjukan pada masyarakat Biak. Dahulu mereka merupakan salah suku yang termaju di Papua, karena spirit-spirit atau nilai-nilai lokal yang terkandung dalam pranata-pranata Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi dipedomani dan praktekan dalam kehidupan sehari-hari. Rumsram merupakan pola pendidikan tradisonal suku Biak. Di tempat ini seorang anak laki-laki dibekali ilmu pengetahuan berupa ilmu berburu, mencari ikan, mengukir, membuat syair, pengetahuan seluk-beluk berumah tangga termasuk pembinaan moral (keagamaan), pelajaran berlayar sambil berdagang (manibobi), serta melangsungkan ritual kbor. Ritus kbor, yang berarti “menusuk atau mengiris bagian atas dari sesuatu (kelamin pria)”, atau “budaya sunat tradisional ala suku Biak”. Budaya ini merupakan tradisi membersihkan kesehatan kelamin yang dibingkai dalam suatu upacara ritual. Manibobi berarti perkawanan dagang. Tradisi ini merupakan pola perdagangan orang Biak jaman dahulu. Sambil berlayar mereka melakukan perdagangan (barter) ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Dewasa ini relevansi peran dan fungsi pranata-pranata lokal tersebut menjadi penting sebagai modal sosial (social capital) pembangunan tanah Papua ke depan. Dalam memajukan pendidikan di Papua, nilai-nilai lokal (local wisdom) yang melembaga dalam Rumsram, dapat dijadikan pedoman atau acuan, untuk menanamkan kembali pendidikan dasar yang berkarakter. Ritual Kbor sebagai media sirkumsisi/sunat membersihkan kelamin priadalam menangkal penyebaran penyakit endemikHIV/AIDS, spirit enterprenurshippada manibobi (perkawanan dagang) dapat menjadi pendekatan pembangunan baru untukmemajukan perdagangan dan perekonomian di Papua ke depan. Kata Kunci: Rumsram, Ritual Kbor, Manibobi, modal sosial pembangunan Papua kedepan
91
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Abstract The impressionthat the local institutions are not useful, oranti-modernization, is notalways true, and even tends to be opposite. It isshown in Biak‟s society. Formerlythey are one ofthemost advancedtribesinPapua, asspiritsorlocal valuesembodied ininstitutions such as Rumsram, Kbor Rite and Manibobi which are guided andpracticedindaily life. Rumsram is atraditional educationpattern in Biak‟stribe. In this stage, a boy is equipped with scienceknowledgeabout hunting, fishing, carving, makingpoetry, and the knowledge aboutthe ins andouts ofmarriage includingmoralguidance(religious), sailinglessonswhiletrading(manibobi), as well ascarrying outkbor‟s ritual. Kbor ritemeans "stabbing orslicingthe topof something(male genitalia)", or "a traditional circumcisionculture in Biak‟stribe". This cultureis thetradition ofcleaning thesexual healthina frame of aritualceremony. Manibobimeans thecomradeshiptrade. Formerly this traditionis atradingpattern of Biak‟ssociety.They sailed while trading(barter) tootherregionsinIndonesia. Nowadaysthe relevance ofthe role andfunctions oflocalinstitutionswill be importantassocial capitalin the futuredevelopment ofPapua. Promoting educationinPapua, local values(local wisdom) areinstitutionalizedinrumsram, canbe used to guideor as a reference, forreinforcing basic education with characters. RitualcircumcisionKboras a mediaorcleaning themale genitalcircumcisionin counteractingthe spread ofendemicdiseases such as HIV/AIDS, and theentrepreneurship spirit in manibobi(comradeship trade) may bea newdevelopment approachto promote tradeandeconomicfutureof Papua. Key Words : Euforia reformasi tahun 1998, menjadi momentum bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan kembali kedaulatan pemerintahan adatnya melalui undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Salah satunya ditunjukan dengan perubahan desa menjadi “kampung” untuk menyebut strata unit pemerintahan yang terkecil. Sayangnya kembalinya pranat-pranata tersebut, masih terbatas pada tatanan formalistik belaka, sementara rohnya belum menyentuh substansinya. Akibatnya friksi atau gesekan pelaksanaan pemerintahaan di kampung sering muncul antara kepala
kampung dan kepala adat atau perangkat adat lainnya. Hal ini sangat berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan ditingkat kampung menjadi tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pada hal, Mubyarto, et.al (1995) mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan di tingkat kampung dapat ditempuh melalui peran masyarakat lokal yang melembaga dalam pranata lokalnya. Di masyarakat Biak terdapat sebuah pranata-pranata lokal yang pernah ada dan kini telah mengalami aleniasi, diantaranya: Rumsram, Ritus 92
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Kbor dan Manibobi. Pranata ini dahulu diyakini oleh masyarakat Biak menjadi pranata lokal atau institusi lokal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Biak kala itu. Oleh karena itu seiring diberlakukanya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, maka peran pranata tersebut sebagai lembaga mediasi bagi pelaksanaan pembangunan perlu direkonstruksi ulang agar menjadi modal sosial (sosial capital) yang dapat direinventing atau nilainya dapat diintroduksi dalam pemerintahan maupun bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sehari-hari. Seperti halnya pranata sosial lokal lainnya di nusantara, pranata lokal seperti Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi dalam masyarakat Biak memiliki kedudukan, tugas dan fungsi secara khusus, yakni mengatur cara hidup dalam sistem kemasyarakatan diantara mereka. Tetapi dewasa ini pranata-pranata tersebut, cenderung terabaikan atau tergerus bahkan punah oleh erosi pembangunan (modernisasi) itu sendiri. Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan maksud mendiskripsikan pranata-pranata tersebut, sehingga menjadi bahan pencerahan bagi stakeholders terkait dalam memanfaatkan pranata-pranata tersebut. Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana bangun bentuk pranata lokal Rumsram, Ritus Kbor
dan Manibobi?, Seperti apa pranatapranata ini dahulu berperan dalam kehidupan masyarakat Biak?, Bagaimana kelak pranata lokal ini berperan dalam pembangunan dewasa ini, Penelitian bertujuan merekomendasikan sebuah model pendekatan pembangunan masyarakat lokal dengan memanfaatkan peran institusi lokal (local indogenius) Rusmram, Ritus Kbor dan Manibobi dalam masyarakat Biak. Manfaat yang diharapkan dalam kajian penelitian ini adalah mendokumentasikan dan merekonstruksi kembali spirit pembangunan yang ada di dalam pranata lokal Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi sebagai modal sosial (social capital) dalam pembangunan masyarakat lokal, yang dapat dimanfaatkan oleh semua stakholders terkait. METODE Pendekatan Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam kajian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Informasi yang utama yang diperlukan pada pendekatan fenomenalogi adalah data kualitatif dengan demikian pendekatan ini sering disebut dengan penelitian kualitatif (Moleong, 1988). Pendekatan studinya dilakukan secara diskriptif eksploratif menggunakan metoda induktif-analiti ditempuh
93
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
dengan penelitian survey dan pengamatan pastipatori. Pada fenomenalogi tidak selalu mencari hubungan sebab akibat dalam gejala sosial melainkan untuk memahami situasi sosial tertentu dengan pemahaman pada gejala sosial dan menginterpretasikan kesimpulan melalui observasi partisipasi. Penelitian dilakukan secara diskriptif artinya dalam kajian penelitian ini mengungkap gambaran jelas tentang bagaimana bangun institusi dan seperti apa pranatapranata lokal tersebut melembagakan sistem nilainya untuk diadopsi menjadi salah satu modal sosial (sosial capital) dalam pembangunan masyarakat ditingkat lokal.
pustaka, penelitian-penelitian yang terkait dengan wilayah penelitian. TINJAUAN PUSTAKA Institusi Lokal Institusi yang dimaksud adalah kelembagaan dalam bahasa Inggrisnya institutional dipahami sebagai lembaga menurut Ruttan (dalam Syafa‟at, 1997) dalam tulisannya mengenai “theree cases of inducted institutional innovation” membedakan antara lembaga dan organisasi. Menurutnya lembaga atau atau institusi didefinisikan sebagai behavioral rules that govern patterens of action and relationships, dalam hal ini kelembagaan didekati lebih pragmatis sebagai upaya memecahkan masalah (inducted innovation model). Sedangkan organisasi merupakan decesion making unit misalnya keluarga, perusahaan dan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol sumberdaya. Uphof (1992)ibid mendefinisikan organisasi sebagai suatu struktur peran yang diakui dan diterima. Jadi komponen pembeda yang jelas antara lembaga dan organisasi terletak pada peranan (role). Para ahli sosiologi lain ada yang mendekatkan pengertian lembaga dari sisi lain yaitu menekankan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mendefinisikan lembaga sebagai suatu kelembagaan dari suatu sistem norma
Teknik Pengumpulan Data 1) Pengumpulan data secar primer dilakukan melalui (1) observasi langsung dimasyarakat untuk mengamati bukti-bukti empirik pengelolaan yang dilakukan masyarakat melalui kearifankearifan lokalnya; (2) wawancara bebas dan mendalam (in depth) dengan tokoh-tokoh adat, tokohtokoh gereja dan tokoh masyarakat lainnya, serta tokoh-tokoh pemerintah yang terkait. 2) Pengumpulan data-data sekunder melalui dokumen-dokumen, arsiparsip di Instansi Terkait, studi
94
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan dan kegiatan yang dianggap penting dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan lebih lanjut oleh Fowler; Suaradisastra (dalam Syafa‟at, 1997) menuliskan kelembagaan sebagai “a compleks of norms and behaviors that persists over time by serving some sociality valued purpose”. Pengertian tentang kelembagaan yang lebih jelas seperti diungkapkan oleh Salman (2000), ”Beliau mengawali bedahan antara Lembaga dan Organisasi merangkum dari pendapat para sosiologyst menyimpulkan bahwa lembaga fokusnya adalah aturan. Sedangkan pengertian organisasi fokusnya adalah struktur. Struktur terbentuk sebagai hasil dari interaksi sejumlah peranan, interaksi tersebut dapat bersifat kompleks dapat pula sederhana, dapat berciri formal atau informal. Untuk kepentingan pembangunan seperti pengelolaan sebuah sumberdaya idealnya diperlukan kelembagaan yang didalamnya fokus aturan dan fokus struktur atau kelembagaan yang didalamnya sinergi antara lembaga dan organisasi. Maksudnya variable aturan diperlukan untuk menjadi pedoman perilaku, adanya struktur berfungsi memfasilitasi berfungsinya aturan dalam mengarahkan perilaku, dan adanya kondisi terlembagakan
(institutionilized) dari aturan dan struktur sehingga tercipta penerimaan dan kepatuhan pada masyarakat dimana lembaga itu beraktivitas” Proses Terbentuknya Sebuah Institusi AG Keller (dalam Naping, 2000) mengatakan bahwa proses terbentuknya lembaga diawali sebagai berikut : “Individu melakukan tindakan wajar dengan cara mencoba (trial and error). Bila hal ini dianggap memenuhi atau melindungi serta efisien dan dan diterima oleh semua anggota masyarakat, penerimaan ini dijadikan sebagai suatu kebiasaan (habit) dan apa bila menunjuk suatu bentuk perbuatan disebut cara (usage), yang kemudian apa bila cara tersebut telah berpola maka ia disebut pola kebiasaan (folkways). Bila kebiasaan tersebut tidak saja dianggap sebagai cara berperkelakuan dan bahkan dterima sebagai norma pengatur, maka ia menjadi “mores” atau tata kelakuan. Tata kelakukan yang kekal dan kuat integritasnya dengan pola-pola peri kelakukan masyarakat, meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custum atau adat istiadat. Selanjutnya norma-norma kemasyarakatan ini oleh masyarakat dikenal, diakui dan dihargai dan selanjutnya ditaati dalam kehidupan sehari-hari proses pelembagaan
95
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
(institutionalization)
dan
menjadi lembaga kemasyarakatan”
kemudian
Dalam Jabal Tarik Ibrahim (2002) digambarkan sebagai berikut: Perilaku Perorangan Proses Habitualisasi Proses Institusionalisasi
Kebiasaan (Habit/falkways) Proses Tipifikasi Tata kelakuan, Adat Istiadat
Gambar 01. Proses terbentuknya lembaga atau pranata sosial Dalam kaitan norma, Intsitusi dan interaksi, pranata-pranata sosial dapat menjadi sebuah sosial capital.
dapat pula berarti solidaritas social atau kohesi sosial. Jadi konsep social capital didalamnya menyangkut konsep-konsep : kepercayaan social (social trust), (norma-norma ) sosial, budaya, religi, dan jaringan-jaringan (networking). Sehingga dengan demikian komponen penting dalam social capital tercakup antara lain : kelembagaan yang berperan sebagai media atau wadah beraktifitas, norma atau nilai berperan sebagai aturan atau sanksi social yang membentuk kohesi sosial (solidarity) intern anggota. Lembaga sosial (sosial institution) sebagai kompleks nilainilai atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan wadah dari perwujudan yang lebih kongkrit dari kultur dan struktur. Dari proses inkulturasi dan instrukturisasi lembaga merupakan fenomena yang sangat penting dalam
Sosial Capital, Lembaga Sosial dan Sistem Sosial Bank Dunia (1996), mendefinisikan sosial capital sebagai institutions, relations, and norm that shape the quality and quantity of a society‟s interactions (lembaga, hubungan dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas dari interaksi social masyarakat). Namun bisa pula secara luas dipahami sebagai vertical and horizontal associations between pople (positive and negative aspects) and includes behavior within and among organizations such and firms. Dalam pengertian tersebut terkandung-maksud social capital
96
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
kehidupan masyarakat bukan hanya karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat melainkan berkaitan erat dengan pencapaian berbagai kebutuhan manusia. Selanjutnya dalam perkembangannya lembaga sosial dapat berkembang membentuk sistem sosial yang menurut Raharjo (dalam Nurdin H.K, 1982) menyatakan bahwa sistem sosial yaitu pengeintegrasian kepentingan-kepentingan kebutuhan kelompok organisasi sehingga terjalin kedalam pola tertentu. Kenysley Davis dan Soejono Soekamto (2000) menyatakan sistem sosial merupakan sistem yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat yang terjadi karena adanya unsurunsur yang dipertahankan keseimbangan masyarakat seperti adanya perubahan oleh unsure-unsur geografis, biologi, ekonomi dan kebudayaan. Selo Sumarjan (1962) merumuskan bahwa segala perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhinya sistem sosialnya termasuk nilai-nilai sikap dan perilaku diantara kelompok masyarakat. Sistem sosial tersebut dapat terwujud dalam perilaku, perkumpulan, kegiatan masyarakat, adat istiadat dan budaya masyarakat
Rumsram, pusat keunggulan SDM orang Biak jaman dulu. Jauh sebelum “Jaman Terang (Sebelum Injil Masuk)” sebetulnya suku Biak telah memiliki sebuah pola pendidikan yang unik dan khas. Mereka mendidik anak-anaknya terutama anak Pria dalam sebuah rumah yang disebut Rumsram. Ditempat ini seorang anak laki-laki digodok selama 1 (satu) bulan sepuluh hari untuk memperoleh bekal ilmu pengetahuan berupa ilmu berburu, mencari ikan, mengukir, membuat syair, atau mengikuti pelayaranpelayaran yang jauh (manibobi), pengetahuan seluk-beluk berumah tangga termasuk pembinaan moral diajarkan berupa kegiatan keagamaan. Tetapi sejarawan Belanda, Kamma (1955) menambahkan selain tempat berlangsungnya hal-hal di atas juga diletakan patung-patung korwar yang menjadi acara sesembahan atau upacara liturgi/religi. Menurut Mansoben, Rumsramjuga menjadi tempat berlangsungnya pendidikan bagi setiap pemuda Biak pada fase inisasi yang dilakukan oleh paman (me), yakni secara bergilir setiap malam diajarkan bagimana bertani, menangkap ikan, membangun rumah, berburu, mengayau, dan hal-hal yang berhubungan dengan etika pergaulan. Mengayau disini mungkin dimkasudkan keterampilan berperang
HASIL DAN PEMBAHASAN
97
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
(menjadi mambri) sedangkan etika pergaulan disini sang pemuda digembleng dengan ajaran-ajaran syowi (ajaran sopan santun dalam adat istiadat orang Biak). Pengertian leksikal dari Rumsram itu sendiri, sendiri sebagaimana disebutkan dalam Laporan Dokumentasi Kantor Depdikbud Kab. Biak Numfor, 1991 disebutkan arti Rumsram itu adalah: (Rum: rumah; sram: salam/matang). Dalam buku Anis Budjang (1963) yang menulis “Orang Biak” Rumsram juga diartikan sebagai balai pemuda (Aber-Snonman). Fakta berikutnya adalah ternyata “tempat” yang menjadi sumber berlangsungnya pendidikan seperti ini, tidak hanya dalam masyarakat Biak. Masyarakat Ngalum misalnya di Pegunungan Bintang juga memiliki hal yang sama, mereka menyebutnya “abib atau jingilabib”. Demikian juga dalam masyarakat Bgu (Bonggo), dikenal dengan burawa atau balai pria. Fungsinya pun sama yakni sebagai tempat anak laki-laki yang telah menjalani upacara inisiasi, dalam masyarakat Ngalum dikenal dengan bokam, sedangkan masyarakat Bgu menyebutnya munaba, (Kuntjaraningrat,1992). Pola-pola pendidikan tradisional seperti ini sebenarnya tidak hanya dikenal dalam penduduk sukusuku di Biak, pada masyarakat Buton
dan Muna di Sulawesi Tenggara terdapat hal yang sama, mereka menyebutnya “Katoba”. Tetapi tempatnya tidak khusus, atau memiliki rumah yang khusus seperti masyarakat Papua, biasanya mereka melangsungkannya di rumahrumahnya tokoh adat, atau keluargakelurga yang memiliki hajat untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. Fungsinya pun mirip dengan apa yang dilalakukan dalam masyarakat Papua, yakni tempat berlangsungnya wejangan-wejangan atau ajaran-ajaran moral, dan dilaksanakan setelah pemuda menyelesaikan “sunat”. Sedangkan bagi wanita telah menyelesaikan “sunat dan pingitan”, (La Fariki, 2004) Menurut Hasselt (1921) yang dikutip Mansoben (dalam Kuntjaraningrat 1992) dijelaskan bahwa Rumsram ini berakhir seiring dengan melandanya wabah Cacar di Pulau Biak dan Numfor pada tahun 1897.Bersamaan dengan itu pola pendidikan tradisional ini lenyap dalam masyarakat. Disamping Rumsram, berfungsi sebagai sebagai tempat mendidik anak laki-laki, kelak dewasa, juga ada rumah lain yaitu Rumsom, sebagai tempat tinggal keret-keret dalam satu rumah. Disebut Rumsom atau Rum Som sebab bagian atap berbentuk kulit penyu dari daun sagu yang dianyam, bagian depan yang
98
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
menjulur keluar memberi kesan mengambang karena tidak ditopang oleh tiang penyangga. Rum Som berbentuk bangsal. Bahan-bahannya berasal dari kayu, ruang tengah memanjang diapit oleh bilik tidur (sim) yang masing-masing dihuni oleh satu keluarga batih/inti. Beberapa penamaan keret/marga mereka, diilhami dari cara menempati sim (ruang) rumah ini. Seperti Marga Rumrapuk artinya keluarga yang
menghuni bilik (sim) bagian belakang menghadap ke laut, Rumrawer artinya keluarga penghuni bilik depan. Ruang-ruang dalam Rum Som berbentuk Kambar dan Rumrado. Bentuk Kambar letak lorong kamar menyamping kamar-kamar rumah, sedangkan Rumrado lorong kamar membagi kamar rumah sisi kiri dan kanan Masing-masing kamar ditempati oleh satu pasang suami isteri dan anakanaknya.
Gambar 02: Rumsram (asrama pendidikan tradisional Suku Biak) (C.Akwan, 1984 dalam Sirajuddin Azis, 2001)
99
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Gambar 03: Rumsom (Rumah Adat/Tradisional Suku Biak) bentuk Rumrado Atapnya menyerupai kulit penyu, diKampung Ambroben, Pesisir Biak Timur, (Dokumentasi Penelitian) Sim
Bentuk Rumrado
Bentuk Kambar
Gambar 04: Sketsa letak Sim (ruang rumah) dalam Rumsom Jaman dahulu letak rumahrumah tersebut di tepi pantai. Ke arah darat ditemukan galangan kapal sebagai tempat mereparasi perahu atau kapal dan dapur pandai besi merupakan tempat untuk membuat
alat-alat menangkap ikan dan alat perang. Antara laut dan darat (pantai) ada "tempat menari” bagi pemuda dan pemudi yang biasa disebut bubes. Polanya disketsakan sebagai berikut:
Gambar 05: Sketsa Pola Perkampungan Tradisional Suku Biak, (direkonstruksi dari Buku Orang Biak Numfor oleh Anis Budjang, 1963) Dewasa ini sistem pendidikannya berlangsung disekolahsekolah yang dikelola oleh missi yakni Yayasan Pendidikan Kristen (YPK dan YPPK), Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS).Disamping itu ada juga Sekolah Dasar atau Sekolah Inpres
yang dibangun dan Pemerintah Daerah.
disediakan
Ritus “kbor”, Ritual sunat tradisional orang Biak jaman duhulu
100
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Mansoben dalam Kuntjaraningrat (1986) mendefenisikan “Ritus kbor” adalah suatu ritus inisiasi dalam masyarakat tradisional orang Biak Numfor, penduduk pulau-pulau di bagian utara Teluk Cenderawasih. Ritus ini dilakukan oleh orang Biak yang bermigrasi ke berbagai tempat di utara Irian Jaya, yaitu antara lain di sebelah utara dan timur Pulau Yapen, di pesisir Semenjung Kepala Burung mulai dari Teluk Wondama di sebelah timur smpai Sausapor di sebelah barat Kepala Burung. Mansoben mengartikan Ritus K‟bor dilakukan melalui suatu pesta atau perayaan (wor) dan arti dari K‟bor itu sendiri diangkat dari dua kata, yakni “kuk” (menusuk), atau “kak”, yang berarti di atas sesuatu dan “bori”. Dengan demikian menurutnya k‟bor berarti “menusuk atau -mengiris bagian atas dari sesuatu”. Anis Budjang (1963) mengartikan dengan mengutip tulisan Feuilletau de Bruyn (120. P.103) mengatakan “k‟bor” itu mungkin berasal dari “kuk” artinya luka dan “bori” artinya diatas. Jadi kata itu berarti luka diatas (kemaluan). Yunus Melalotoa (1995) mengartikan “k‟bor” sama dengan melukai kemaluan lakilaki yang dipimpin oleh Mon (dukun). Ritus k‟bor atau „wor k,bor „ harus dijalani setiap pemuda Biak setelah ia selesai masa pendidikan di
rum-sram pada usia sekitar 15-16 tahun. Ritus ini dahulu merupakan siklus yang penting yang harus dijalani oleh orang Biak dalam mengarungi fase pertumbuhannya dari lahir hingga mati. Kamma (1955) menambahkan bahwa pada saat Ritual K‟bor si pemuda juga diberi makan undam mambri atau daun kepahlawanan. Lebih jauh Mansoben menyimpulkan Ritus K‟bor mengukuhkan fungsi dari K‟bor itu sendiri sebagai arti sombolik dalam kaitannya dengan “avunkulat” yakni prosesi penerimaan seseorang dalam lingkungan masyarakatnya, tetapi dalam Laporan Dokumentasi Kantor Depdikbud Kab. Biak Numfor, (1991) menyebutkan “k‟bor” bagi masyarakat Biak dahulu dijadikan sebagai syarat untuk kawin, terkait dengan menandai kedewasaan dari seorang pemuda (kabor) dan pemudi (insos). Anis Budjang (1963) mengistilahkan K‟bor dengan “pemuda dewasa” yang telah mengalami fase inisiasi. Pelaksananya juga di dalam Rum sram, sehingga istilah “rum sram juga biasa disebut “matang”. Baik F.C Kamma, (1955) , Anis Budjang (1963) maunpun Mansoben dalam Kunjaraningrat (1968) tidak menjelaskan asal muasal dari Ritual K‟bor ini, sehingga dilakukan oleh orang Biak jaman dahulu. Apakah tradisi ritual tersebut dibawah pengaruh Islam, karena Biak
101
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
sejak dahulu telah melakukan kontak (hubungan luar) dengan Kesultanan Tidore di Maluku. Sehingga masih memerlukan penelitian lagi. Tetapi bagi penulis ada yang perlu dicermati apa yang disimpulkan oleh A. Van Gennap yang dikutip oleh Mansoben (1974), tentang kalimat:
Thomas menguraikan bahwa, sunat pada wanita Afrika memiliki tiga macam yang masih dipraktekan hingga saat ini. Pertama yang disebut "sunna", yaitu terjadi clitorydectomypemotongan habis seluruh klitoris wanita yang disunat. Kedua ialah "eksisi" atau pemotongan seluruh klitoris dan seluruh bagian dari labia minora, bibir kelamin. Dan yang ketiga jauh lebih parah, yaitu dipotongnya semua bagian klitoris, labia minora, berikut labia majora, dan dijahitnya vulva, lubang kelamin. hanya sedikit yang tersisa, sekedar untuk aliran urine dan mensturasi. Di Afrika Barat berlaku ketiga macam sunnat ini. Ditanahtanah peternakan, seperti Afrika Tengah, juga Dijibouti, Somalia, Sudan, Etiopia, dan Kenya hanya satu macam gaya "infibulasi". Tapi tak berlaku di Maroko, Tunisia, Libiakawasan yang banyak penduduknya memeluk Islam karena bertentangan dengan ajaran kitab Al-Qur'an. Dari sumber tersebut Nampak bahwa tradisi sunat memang sudah lama ada di Afrika Selatan, tetapi lebih banyak dilakukan pada wanita. Hal ini menandakan bahwa ritual “memotong kelamin” bukan monopoli ajaran agama samawi (Yahudi, Islam dan Katolik) saja, tetapi telah berkembang dan dilakukan oleh ummat-ummat manusia jauh sebelumnya. Sementara itu menurut
“Cutting off the foreskin is exactly eqivalent to pulling out a tooth (in Sout Africa), to cutting off the ear lobe or perforating the ear lobe or the spectum, or tatooing, scrarifying, or cutting the hair in particular fashion. .... Terjemahnnya “ Di Afrika Selatan memotong kulit kelamin (khitan) adalah setara dengan mencabut gigi atau dengan memotong cuping telinga atau melubangi cuping telinga atau spectrum, atau mentato, mengorbankan atau memotong rambut dengan model tertentu”. Yang perlu dicermati dalam kalimat di atas adalah “memotong kulit kelamin (khitan) ternyata juga ada di Afrika Selatan, tetapi perlu ditelusuri apa itu dalam rangka ajaran agama atau tradisi budaya dari sukusuku di sana. Melalui http://allaboutnews22.blogspot.com/ 2011/11/ tradisi-sunat-bagi-wanita, dapat dibaca kutupan keterangan
102
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Agama Islam tradisi sunatan ini berasal dari Nabi Ibrahim, yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk sunat (memotong kulit luar bagian atas dari kemaluannya) dan kala itu konon usia beliau sudah 80-an tahun.
hongi dalam masyarakat Maluku. Ketika misi dagang ini diberangkatkan dilakukan dengan upacara, mereka berlayar dengan menyinggahi pulaupulau antara lain, semenjang wilayah Sarieri (Port Numbay- Tanjung Dore), Kepulauan Raja Ampat, Maluku (seperti: Tidore dan Ternate), Bacan, Jailolo, bahkan Sulawesi (Gorontalo), sampai di Nusa Tenggara Timur (Timor). Hal ini dibuktikan dengan adanya kain Timor dan piring-piring kuno sebagai hasil barter antara saudagar-saudagar Byak dengan daerah-daerah tersebut. Pola hubungan dagang ini mereka kenal dengan Manibob. Manibob artinya perkawanan dagang. Kondisi yang sama sebenarnya pulau Byak juga telah lama menjadi daerah tujuan transit dari wilayah luar. Sebut saja bangsa Tiongkok, mereka melakukan migrasi di Papua termasuk Byak diperkirakan pada tahun 1800 M, (Dokumentasi Dep. Dikbud, 1999). Hal ini juga dibuktikan pada tahun yang sama kaisar-kaisar Tiongkok sering dipersembahkan burung Cenderawasih (sebagai upeti), oleh pelancong-pelancong Tiongkok dari Papua. Bahkan disinyalir ukiran bentuk naga yang ada dalam corak ukiran suku Byak dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok. Orang Byak pun sejak dahulu kala telah memiliki
Manibobi, Istitusi Lokal Ekonomi Tradisional Suku Biak Sebelum Pemerintah Hindia Belanda mengklonisasi wilayah Papua, penduduknya telah memilki institusiinstitusi ekonomi lokal. Di Biak ada sistem perdagangan “manibobi”. Di Meybart, Atinyo, dan Ayamaru, menetapkan pemimpin mereka jika berhasil dalam perdagangan. Sistem kepemimpinan disini dikenal dengan “big man-trade”. Di Teluk Yotefa di dalam kampung ada yang disebut “Chora atau atora”. Institusi ini berfungsi menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama antara para mitra dagang. Etnis Ekari telah menggunakan kulit bia sebagai mata uang yang mereka sebut “mege”. Dengan sistem ini mereka mengenal ekonomi pasar dengan harga berdasarkan permintaan dan penawaran. Seperti diceritakan, bentuk perdagangan ini mirip dengan apa yang dilakukan Laksamana Cheng Ho dari Tinongkok abad ke VII, suku Bugis-Makasar dengan “perahu phinisi”, suku Buton dengan budaya “pahela” (merantau), atau pelayaran
103
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
etos bisnis yang dinternasilsasi dari semangat manibob. Di Nusa Tenggara Timur ada wilayah yang namanya Timor Kisra, konon sebagian penduduknya berasal dari Biak. Mereka berdagang dengan hasil-hasil dari laut, seperti kulit bia, kemudian ditukarkan dengan porselin, atau kain timor. Disinilah asal muasal orang Biak menjadikan kain timor sebagai mas kawin. Hal yang lebih menakjubkan lagi jika misi ini pulang dan berhasil membawa barang-barang dari lawatannya maka hadiah dari klennya sudah menanti, selain penghargaan status sosial, tidak jarang persembahan anak perempuan pun
dilakukan sebagai isterinya. Orang yang berhasil memimpin misi dagang diangkat menjadi “konor” (kepala suku), sebagai salah satu model kepemimpinan tradisional dalam suku Byak. Jaring-jaring niaga antar pulau dimana masyarakat Byak sangat berperan, digambarkan sebagai berikut:
Gambar 06. Dekonstruksi jaring niaga orang Biak ”jaman duhulu” Dari penelusuran penelitian yang telah dilakukan maka pranta-
Peran dan Manfaatnya dalam pembangunan
104
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
pranata lokal tersebut berpotensi untuk direenventing ulang dalam proses pembangunan. Beberapa hal yang bermanfaat, yaitu: 1) Nilai-nilai lokal (local wisdom) yang menjadi spirit pranata lokal yang melembaga dalam Rumsram, dapat dijadikan pedoman atau acuan, untuk membangun kembali pendidikan dasar yang berkarakter di Papua atau Biak Numfor. 2) Dalam usaha memberantas penyakit endemi HIV/AIDS di tanah Papua, upacara Ritual Kbor atau sunat tradisional ala suku Biak dapat dihidupkan kembali. Sesuai dengan penelitian bahwa sunat atau sirkumsisi, dewasa ini terbukti dapat menangkal penyebaran penyakit HIV/AIDS , 3) Dalam membangkitkan jiwa dagang atau entrepreunurship orang Papua atau orang Biak, spirit-spirit dalam Manibobi dapat didekonstruksi ulang dalam rangka memajukan perdagangan dan perekonomian di Papua, terutama di wilayah Teluk Cenderawasih sebagai pintu gerbang (gate way) menunju kebangkitan ekonomi di wilayah Asis Pasifik.
1) Rumsram merupakan pola pendidikan tradisonal suku Biak, yang kini telah tergerus oleh modernisasi. Di tempat ini seorang laki-laki Biak dibekali ilmu pengetahuan berupa ilmu berburu, mencari ikan, mengukir, membuat syair, atau mengikuti pelayaranpelayaran yang jauh (manibobi), pengetahuan seluk-beluk berumah tangga termasuk pembinaan moral diajarkan berupa kegiatan keagamaan. Fakta inilah yang menyebabkan orang Biak sejak dahulu telah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dibanding dengan suku-suku lainnya di Papua. 2) Ritus kbor, yang berarti “menusuk atau mengiris bagian atas dari sesuatu (kelamin pria)”, atau “budaya sunat tradisional ala suku Biak”. Budaya ini merupakan tradisi membersihkan kesehatan kelamin yang dibingkai dalam suatu upacara ritual. 3) Manibobi berarti perkawanan dagang. Tradisi ini merupakan pola perdagangan orang Biak jaman dahulu. Sambil berlayar mereka melakukan dagang (barter) ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.
SIMPULAN
105
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
Kay Robert; Alder Jackie., 1999, Coastal Planning and Management, E & FN SPON An imprint of Routledge London and New York. Kamma, F.C (1955) „Volksordening op Biak: Biakse Titels. Dalam Adatrechtbundel. Koentjaraningrat, 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Lembaga Penerbit Fekon UI. --------------, 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. PT. Djambatan --------------, 1992/Penyunting., Irian Jaya (Membangun Masyarakat Majemuk), PT. Djambatan. Lexi J. Moleong, MA. Drs., 1993., Metodologi Penelitian Kualitatif., PT. Remaja Rosdakarya – Bandung. La Fariki, 2004., Pusaka Leluhur Orang Muna, Kendari Post Mubyarto., Lukman Sutrisno, Edhie Djatmiko, Sulistio, Ita Setiawati, Agnes Mawarni, Ninik Sri Rejeki., 1993, Etos Kerja dan Kohesi Sosial (Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan Timor), Aditya Media Yogyakarta. Naping Hamka, Drs, MA., 2000, Sistem Nilai dan Kelembagaan Masyarakat,
Saran Saatnya pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan di tingkat lokal lebih memperhatikan pranata-pranata lokal yang sudah ada (steady) sebagai jembatan (receiver mechanism) dalam pemberdayaan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA -------------, Undang-undang No. 21 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua ------------------, -, Dokumentasi Laporan Kandep Dikkbud Kab. Biuak Numfor, 1991 Azir
Siradjuddin, 2001, Upaya Menciptakan Koreri Syeben di Gerbang Perdamaian, Dinas Pariwisata Kab. Biak Numfor, 2001. Bank Dunia (http://www.worldbank. org/poverty/scapital/index. html) oleh: Kazuhisa MATSUI Budjang, Anis., 1963., Orang Biak Numfor, Penduduk Irian Barat. PT. Penerbitan Universitas.. Jabal Tarik Ibrahim., 2002., Sosiologi Pedesaan, Universitas Muhamadiyah Malang. http://allaboutnews22.blogspot.com/ 2011/11/ tradisi-sunatbagi-wanita
106
Dahrif, Hariman “Relevansi Peran dan Fungsi Pranata Lokal: Rumsram, Ritus Kbor dan Manibobi pada masyarakat Biak dalam pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan saat ini.”
PSKMP-UNHAS Makassar Nurhadin HK, 1983, Perubahan Nilainilai di Indonesia. Offset Alumni Bandung. Soekonto Soekamto., 1986, Sosiologi suatu pengantar”, CV. Rajawali, Jakarta. Soerjani, Rofiq Ahmad, Rozi Munir,.1987/editor. Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. IU Press. Sumardjan Selo, (Soelaeman/editor).,1964, Setangkai Bunga Sosiologi, Yayasan Badan Penerbit (Faultas EkonomiUI-Jakarta. Syafa‟at, Nizwar.1997. Pendekatan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian (Suatu Pemikiran dengan Kasus Kelembagaan SASI di Maluku),CSIS.
107