VIII. PEMBAHASAN UMUM
Produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Masalah utama yang dapat menurunkan produksi kakao secara berarti adalah adanya serangan penggerek buah kakao (PBK), terjadinya pembungaan yang tidak konsisten dan tingginya tingkat layu pentil (cherelle wilt). Pemecahan masalah regeneratif, yang meliputi pembungaan yang tidak konsisten dan layu pentil, secara umum telah dilakukan melalui pendekatan konvensional seperti pengaturan pemangkasan dan pemupukan. Namun demikian pendekatan tersebut belum mampu memberikan peningkatan hasil secara signifikan. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao tersebut perlu diusahakan melalui induksi pembungaan menggunakan senyawa-senyawa retardan penginduksi pembungaan, serta studi molekuler mengenai gen-gen yang terlibat pada pembungaan tanaman kakao. Sampai saat ini, informasi mengenai gen-gen pembungaan pada tanaman kakao masih sangat sedikit. Studi tentang induksi pembungaan dan informasi molekuler tentang proses perkembangan organ regeneratif kakao diharapkan dapat menjadi pemecahan efektif masalah pembungaan yang berhubungan dengan rendahnya produktivitas. Pembungaan merupakan suatu proses yang kompleks yaitu berkaitan dengan perubahan struktur yang mendasar pada meristem pucuk. Perubahan dari apeks vegetatif menjadi apeks generatif berlangsung secara bertahap sehingga terjadi perubahan morfologi yang didasari perubahan fisiologi. Setelah mencapai perkembangan reproduktifnya meristem apeks pucuk berhenti menghasilkan daun dan mulai menghasilkan bagian-bagian bunga menurut urutan yang khas bagi spesies yang bersangkutan (Lyndon 1990). Pada angiosperm berkayu, induksi pembungaan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa
117 retardan. Zat pengatur tumbuh tanaman tersebut bekerjanya dengan cara menghambat pembentukan giberelin (Meilan 1997). Induksi pembungaan pada saat tanaman tidak berbunga dapat meningkatkan produktivitas kebun kakao, karena buah yang dipanen dapat lebih banyak terutama pada saat bukan musim panen raya. Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif mengarah pada pertumbuhan mata tunas bunga. Fase ini menjadi penting karena tidak ada perubahan morfologi yang tampak pada kuncup (Poerwanto
2003).
Selanjutnya
dijelaskan
pula
bahwa
proses
induksi
pembungaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi: (1) faktor eksternal, yaitu suhu, stress air dan panjang hari, (2) faktor internal, meliputi kandungan nitrogen, karbohidrat, asam amino dan hormon, serta (3) faktor manipulasi oleh manusia seperti ringing, pemangkasan tajuk, pemangkasan akar, pengeringan, pelengkungan cabang dan pemberian zat pengatur tumbuh. Transisi ke perkembangan reproduktif terjadi setelah periode perkembangan vegetatif, yaitu ketika tanaman menjadi kompeten untuk merespon sinyal lingkungan (seperti panjang hari, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrisi). Selama fase reproduktif, meristem tunas vegetatif berkembang menjadi meristem bunga. Selama proses inisiasi bunga, meristem tunas vegetatif akan memunculkan sejumlah meristem bunga lateral atau meristem bunga di bagian axilnya. Transisi dari vegetatif ke reproduktif biasanya dibarengi dengan perubahan posisi relatif dari organ-organ lateral (phyllotaxis) dan perubahan jarak antara organ-organ lateral (panjang ruas) (Davies et al. 1999). Setelah tanaman mengalami transisi dari fase vegetatif ke reproduktif, banyaknya jumlah bunga
118 yang dihasilkan kemudian bunga tersebut dapat bertahan sampai menghasilkan buah matang tergantung pada kondisi endogen tanaman dan pengaruh faktor lingkungan. Proses transisi mata tunas vegetatif menjadi mata tunas bunga dapat merefleksikan proses transisi dari fase juvenil ke fase dewasa. Transisi ini terjadi secara gradual, karena bagian tanaman yang lebih rendah tetap menunjukkan karakteristik juvenil sedangkan bagian atas dari pohon mulai membentuk bunga. Hal ini karena bagian akar merupakan tempat pembentukan hormon, dan jika hormon tersebut ditranslokasikan ke bagian pucuk maka dapat menghambat pembungaan. Perubahan kandungan hormon tersebut pada meristem tunas vegetatif dapat merespon transisi dari fase juvenil ke dewasa. Selama kode genetik pada bagian klon tersebut konstan, perubahan ini dapat merefleksikan represi dan ekspresi gen yang diakibatkan oleh hormon. Giberelin yang ditranslokasikan dari akar menuju tunas, menyebabkan pertumbuhan pohon cepat besar dan cabang-cabang yang dibentuk lebih banyak, tidak hanya menyebabkan jarak antara akar dengan terminal pucuk menjadi lebih jauh tetapi jumlah dari terminal tunas juga meningkat. Aplikasi paklobutrazol dan CCC pada penelitian ini telah nyata meningkatkan pembungaan kakao dan nampaknya juga terjadi peningkatan terhadap buah yang terbentuk. Perlakuan CCC 2.000 ppm dengan sukrosa 1% (C-2000S) memberikan hasil terbaik, sementara itu perlakuan paklobutrazol 1 g bahan aktif per pohon dengan sukrosa 1% (P-1S) juga memberikan hasil yang hampir sama. Dengan perlakuan C-2000S, pembungaan kakao dapat dipercepat 3 minggu lebih awal dan pembentukan pentil terjadi 6 minggu lebih cepat. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa selain mempercepat munculnya bunga dan pentil, perlakuan tersebut juga dapat mempersingkat periode anthesis atau memperpendek waktu antara munculnya bunga dengan munculnya pentil. Disamping itu
119 juga terjadi peningkatan jumlah bunga dan jumlah pentil total, dimana jumlah bunga meningkat 5 kali lipat dan jumlah pentil total meningkat 6 kali lipat. Perlakuan senyawa penginduksi pembungaan pada kakao juga dapat meningkatkan jumlah pentil sehat yang masih bertahan pada pohon. Dengan adanya peningkatan pembungaan dan pembuahan serta diikuti peningkatan jumlah pentil total maupun jumlah pentil sehat, maka pemberian senyawa penginduksi pembungaan sangat memungkinkan untuk meningkatkan hasil biji kakao. Terhadap pertumbuhan vegetatif, senyawa inducer yang digunakan dapat menekan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Dengan terjadinya penekanan terhadap pertumbuhan vegetatif tersebut maka sebagian besar asimilat pemanfaatannya dialihkan untuk mendukung pertumbuhan reproduktif, yang meliputi perkembangan bunga dan buah. Perkembangan bunga meliputi beberapa fase, dimana tahap pertama adalah transisi dari perkembangan vegetatif menuju reproduktif, yang diregulasi oleh induksi bunga. Tahap selanjutnya meliputi inisiasi individu bunga, penentuan penanda organ, dan diferensiasi organ secara spesifik (Weigel 1995). Tahapan proses pembungaan tersebut sangat dipengaruhi oleh sukrosa, dimana dalam konsentrasi rendah (1%) sukrosa dapat memacu transisi pembungaan pada beberapa spesies, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (5%) sukrosa dapat menunda pembungaan akibat terjadinya peningkatan jumlah daun pada saat pembungaan. Peranan sukrosa dalam mempengaruhi transisi pembungaan yaitu dengan mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam mengontrol transisi pembungaan (Ohto et al. 2001). Pada kebanyakan tanaman, proses pembungaan dikontrol oleh banyak gen yang saling berinteraksi (Ratcliffe dan Riechmann 2002). Ekspresi gen-gen tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk senyawa yang dapat menginduksi pembungaan. APETALA1 (AP1), merupakan salah satu gen penting
120 dan sangat menentukan di dalam proses pembungaan, baik melalui peranannya dalam meregulasi transisi dari fase vegetatif ke reproduktif maupun peranannya dalam menentukan pembentukan organ bunga. Aktivitas gen AP1 tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor suhu, cahaya, nutrisi dan zat pengatur tumbuh. Pengaruh aplikasi senyawa penginduksi pembungaan kakao (dalam hal ini paklobutrazol, CCC dan sukrosa) diduga dapat meningkatkan aktivitas atau ekspresi gen AP1 pada kakao. Paklobutrazol dan CCC, merupakan senyawa penghambat biosintesis giberelin, pada beberapa tanaman berkayu telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan vegetatif dan memacu pembungaan. Demikian juga aplikasi sukrosa, yang merupakan gula transport, akan dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman dan meningkatkan nisbah C/N. Dengan nisbah C/N yang meningkat maka tanaman akan dipacu untuk menuju fase reproduktif . Secara molekuler, transisi ke fase reproduktif tersebut dikendalikan pada tingkat gen. Jika gen-gen pengatur transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif meningkat aktivitasnya, maka tanaman akan menuju ke fase reproduktif yang ditandai atau diikuti dengan terbentuknya bunga. Pada tanaman lain, pemberian senyawa paklobutrazol, CCC dan sukrosa ternyata dapat meningkatkan aktivitas gen-gen pembungaan, termasuk AP1. Berdasarkan bukti tersebut, aplikasi senyawa yang sama untuk menginduksi pembungaan kakao juga dapat diduga bahwa senyawa tersebut dapat meningkatkan aktivitas gen AP1 kakao. Dugaan tersebut didasarkan pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pembungaan dan pembentukan pentil dapat terjadi lebih awal, dan bunga serta pentil yang terbentuk juga lebih banyak. Alasan tersebut juga diperkuat oleh ekspresi AP1 pada tanaman kakao yang terjadi pada beberapa organ reproduktif. Kandungan beberapa zat endogen tanaman kakao selama induksi pembungaan juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi penurunan kandungan giberelin (GA3), peningkatan kandungan sukrosa, peningkatan
121 kandungan karbohidrat total dan peningkatan nisbah C/N. Perubahan kandungan zat endogen tersebut adalah karena adanya aplikasi senyawa penginduksi pembungaan dan akibatnya dapat memacu munculnya bunga kakao yang lebih cepat. Induksi pembungaan pada kakao tersebut diharapkan dapat meningkatkan pembungaan terutama pada saat musim tidak berbunga atau berbunganya sedikit, sehingga pada periode tersebut juga akan dapat dipanen buah yang lebih banyak. Dengan demikian puncak panen raya yang biasanya hanya terjadi setahun sekali, diharapkan dapat terjadi dua kali dalam setahun. Fenomena pembungaan pada tanaman kakao terkait dengan proses perubahan atau transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif pada meristem yang sebelumnya telah mengalami masa dormansi. Induksi bunga terjadi sebagai bagian dari proses perubahan dalam sistem metabolisme tanaman yang ditandai dengan adanya perubahan kandungan zat-zat endogen dan kondisi internal. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan tindakan budidaya (Bernier et al. 1985). Terjadinya penurunan kandungan GA dan peningkatan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N menggambarkan bahwa pada bantalan bunga kakao tersebut mengalami transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Sementara pada bantalan bunga dari pohon yang tidak diinduksi kandungan giberelinnya tetap tinggi, sedangkan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N nya mengalami penurunan, sehingga pada tanaman kontrol tersebut inisiasi bunganya menjadi lambat. Kandungan giberelin yang tinggi pada tanaman dapat menghambat pembungaan karena giberelin berperanan dalam memacu pertumbuhan vegetatif. Pada tanaman jeruk, giberelin menghambat pembungaan antara lain dengan mengubah tipe tunas dari tunas bunga yang pendek menjadi tunas vegetatif yang panjang atau mengubah calon tunas generatif menjadi tunas vegetatif kembali (Poerwanto 2003). Paklobutrazol dan CCC dapat menginduksi
122 pembungaan karena senyawa tersebut menghambat biosintesis giberelin. Terhambatnya biosintesis giberelin menyebabkan penurunan laju pembelahan sel pada meristem subapikal sehingga menghambat pertumbuhan vegetatif. Dengan terhambatnya pertumbuhan vegetatif, sebagian hasil fotosintat disimpan dan digunakan untuk mendukung terbentuknya bunga. Berdasarkan hasil penelitian ini, pembungaan pada tanaman kakao membutuhkan kondisi kandungan giberelin dan nitrogen yang rendah, dan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N yang tinggi. Oleh karena itu aplikasi CCC 2.000 ppm dengan sukrosa 1% dapat direkomendasikan untuk memacu pembungaan tanaman kakao, terutama pada saat dimana tanaman tidak berbunga atau berbunganya sedikit. Pada kakao, informasi mengenai mekanisme pembentukan dan perkembangan bunga secara molekuler masih sangat terbatas. Proses transisi dari pertumbuhan vegetatif ke pembungaan serta pembentukan dan perkembangan bunga merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan banyak gen beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Gen AP1 merupakan salah satu gen kunci pada proses transisi dari pertumbuhan vegetatif ke pembungaan maupun dalam pembentukan organ bunga. Karena AP1 merupakan salah satu gen penting yang terlibat dalam proses kompleks dan saling berinteraksi tersebut, maka dengan mempelajari AP1, selain dapat diketahui peranan gen AP1 itu sendiri dalam alur genetik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga dapat membuka peluang untuk mempelajari atau meneliti gen-gen lain yang terlibat dalam proses pembungaan kakao tersebut. Kloning dan karakterisasi gen pembungaan (AP1) pada tanaman kakao (Theobroma cacao L.) ini adalah yang pertama kali dilakukan. AP1 dari tanaman kakao termasuk gen MADS-box tipe faktor transkripsi yang terlibat dalam perkembangan bunga. Dalam beberapa aspek regulasi awal dari pembungaan
123 seperti arsitektur bunga pada kakao pada dasarnya adalah berbeda dengan spesies tanaman lainnya, dimana pada spesies lain tersebut peranan gen MADS-box selama pembungaan telah dipelajari dengan pesat. Oleh karena itu studi tentang peranan gen MADS-box selama pembungaan pada kakao dapat menghasilkan
pengetahuan
penting
mengenai
mekanisme
utama
pada
perkembangan berbagai arsitektur bunga dan regulasi awal pembungaan. Kloning gen-gen yang terlibat dalam spesifikasi penanda organ dan meristem bunga, serta dalam transisi menuju pembungaan pada beberapa tanaman model seperti Arabidopsis, Antirrhinum dan Petunia selama dekade terakhir telah menunjukkan langkah awal untuk menjelaskan perkembangan bunga secara molekuler. Sebagian besar gen-gen tersebut termasuk dalam kelompok gen MADS-box, yang sangat conserve dan tersebar luas sebagai pengkode faktor transkripsi (Theissen dan Saedler 1999). Produk gen MADS-box tersebut telah terlibat dalam pengaturan berbagai mekanisme perkembangan tanaman dan memperlihatkan peranan pentingnya dalam spesifikasi dan perkembangan bunga angiosperm (Angenent et al. 1995; Rounsley et al. 1995; Alvarez-Buylla et al. 2000). Pada Arabidopsis dan spesies lainnya, protein yang mengandung domain MADS diperlukan untuk keperluan transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga dan untuk spesifikasi penanda dari keempat tipe organ bunga (Litt dan Irish 2003). AP1 yang telah diisolasi dari tanaman kakao pada penelitian ini juga mengandung domain MADS yang terlibat dalam meregulasi pembungaan kakao, yaitu pada stadia yang sangat awal dari perkembangan bunga dan mempunyai spesifikasi sebagai penanda sepal dan petal (Chaidamsari 2005). AP1 kakao tersebut juga mempunyai homologi yang tinggi dengan gen-gen AP1 dari tanaman berkayu lainnya seperti Citrus sinensis, Vitis vinifera, Populus balsamifera, Populus tremuloides dan Betula pendula.
124 Pada tanaman tingkat tinggi banyak gen yang terlibat dalam perkembangan bunga dan telah berhasil dikarakterisasi dengan baik. Gen-gen tersebut mengontrol transisi dari pertumbuhan vegetatif ke generatif dan ditetapkan sebagai penanda meristem bunga. Gen-gen tersebut memiliki spesifisitas sebagai penanda organ bunga dan digambarkan sebagai model ABC dari perkembangan bunga (Saedler et al. 2001). Model ABC dari perkembangan bunga tersebut telah dipelajari lebih dari satu dekade yang lalu dengan menggunakan Arabidopsis thaliana, Antirrhinum majus, Petunia hybrida dan beberapa spesies lain sebagai tanaman model (Benedito 2004).
Gambar 30 Diagram model gen ABC (Yanofsky 1995).
Konsep mengenai model gen ABC telah dijelaskan oleh Yanofsky (1995) (Gambar 30). Masing-masing kelas gen penyusun model ABC mempunyai fungsi yang berbeda dalam spesifikasi organ bunga. Gen APETALA1 (AP1) diperlukan untuk fungsi A, gen APETALA3 (AP3) dan PISTILLATA (PI) diperlukan untuk fungsi B dan gen AGAMOUS (AG) diperlukan untuk fungsi C. Gen kelas A berfungsi untuk membentuk sepal pada whorl 1, A bersama B membentuk petal pada whorl 2, B bersama C membentuk stamen (organ reproduksi jantan) pada whorl 3, dan C berfungsi untuk membentuk carpel (organ reproduksi betina) pada whorl 4 (Krizek dan Meyerowitz 1996; Litt dan Irish 2003). Jika terjadi mutasi pada kelas A, maka pada whorl 1 tidak terbentuk sepal tetapi terbentuk carpel,
125 dan pada whorl 2 terbentuk stamen. Jika terjadi mutan B, pada whorl 2 dan whorl 3 masing-masing terbentuk sepal dan carpel. Mutan C menghasilkan petal dan sepal pada whorl 3 dan whorl 4 (Davies et al. 1999).
Std Pi Sta Pe Se A
B
C
Gambar 31 Bunga kakao dan diagram susunan organ bunga. Gerombol bunga kakao pada bantalan bunga (A); Bunga kakao dengan organ bunga (B), Se: sepal, Pe: petal, Sta: stamen, Pi: pistil, Std: staminode (dimodifikasi dari Almeda 2005); Diagram bunga yang tersusun atas empat whorl (C) (Anonymous 2006).
Pada bunga kakao (Gambar 31), hasil penelitian ini dan yang dilakukan oleh Chaidamsari (2005) menunjukkan bahwa AP1 juga bertindak sebagai gen kelas A yaitu dalam pembentukan sepal dan petal pada dua whorl terluar, disamping sebagai penanda meristem bunga. Hal ini dibuktikan oleh ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao, yang terjadi sangat kuat pada sepal dan petal dan semakin berkurang ekspresinya pada kuncup bunga, bantalan bunga aktif dan bantalan bunga pasif. Pada organ vegetatif (daun dan bantalan bertunas), AP1 tidak terekspresi. Sebagai perbandingan pada AGAMOUS (Chaidamsari 2005), selain tidak terjadi pada daun dan bantalan bertunas, ekspresinya juga tidak terjadi pada sepal dan petal. Ekspresi AG pada kakao terjadi dengan kuat pada organ ovary dan stamen yang terdapat pada dua whorl bagian dalam, dan berkurang ekspresinya pada staminode. Ekspresi AG yang kuat pada stamen dan ovary dan tidak pada organ vegetatif membuktikan
126 bahwa AG pada kakao berperanan sebagai gen kelas C yang berfungsi dalam pembentukan stamen dan carpel pada dua whorl bagian dalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola ekspresi TcAP1 (AP1 kakao) yaitu terlibat dalam regulasi pembungaan kakao pada stadia yang sangat awal dari perkembangan bunga dan sebagai penentu penanda organ sepal dan petal, selama ekspresinya tetap tinggi pada organ sepal dan petal tersebut. Pembentukan bunga secara normal memerlukan ekspresi dari gen penanda meristem dan organ bunga, termasuk gen AP1. Selama gen AP1 tersebut diekspresikan sesaat setelah induksi pembungaan dan pada saat awal perkembangan individu bunga, maka gen tersebut dapat digunakan sebagai penanda molekuler selama induksi pembungaan (Hempel et al. 1997). Keberhasilan mempelajari ekspresi gen pembungaan pada tanaman kakao menggunakan teknik RT-PCR dapat membuka peluang baru untuk mempelajari ekspresi gen tersebut pada tanaman berkayu lainnya, termasuk tanaman buah-buahan. Pendekatan RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik gen saat ini juga banyak dipilih untuk memonitor pola ekspresi gen-gen MADS-box pada berbagai tipe jaringan seperti akar, daun dan bunga (Parenicova et al. 2003). Beberapa kelebihan dari teknik RT-PCR tersebut antara lain (1) RT-PCR merupakan teknik yang relatif baru tetapi sangat sensitif untuk menganalisis dan kuantifikasi mRNA dengan jumlah template yang ekstrim kecil (hanya 1 µg) (Ambion 2005), (2) RT-PCR dapat digunakan untuk mendeteksi ekspresi spesifik jaringan dan organ dan mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi (Guevara-Garcia et al. 1997), (3) dapat digunakan untuk menganalisis ekspresi gen secara diferensial atau kloning cDNA tanpa harus membuat pustaka cDNA (Lessard et al. 1997), (4) sintesis cDNA dan amplifikasi PCR dapat dilakukan dalam satu atau dua tahap reaksi, tergantung pada tujuan yang diinginkan, dan (5) teknik RT-PCR lebih mudah dilakukan daripada teknik analisis
127 RNA yang lain, waktu yang diperlukan untuk keseluruhan reaksi lebih singkat, dan dapat menjamin amplifikasi yang akurat dan efisien. Dalam percobaan uji ekspresi fenotipe atau fungsionalitas gen TcAP1 pada tanaman model, juga berhasil didapatkan informasi yang mendukung mengenai fungsi gen AP1, dimana ekspresi TcAP1 pada daun planlet tembakau transgenik tersebut bervariasi. Pada planlet tembakau transgenik tersebut, ekspresi TcAP1 pada level yang sedang telah mampu menginduksi pembungaan secara in vitro. Planlet tembakau transgenik yang membawa gen TcAP1, pada umur 2-3 bulan setelah transformasi telah mengalami perubahan fenotipe morfologis yang nyata, yaitu memiliki daun terbelah atau membentuk struktur seperti kumpulan kuncup bunga. Pada umur sekitar 3.5 bulan, ujung planlet membentuk kuncup bunga tembakau. Hasil ini menunjukkan bahwa gen TcAP1 telah memerankan fungsinya pada spesies tanaman lain. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa AP1 dari tanaman berkayu (kakao) dapat berfungsi pada spesies tanaman yang lebih kecil (tembakau). Mandel dan Yanofsky (1995), telah menjelaskan bahwa pada Arabidopsis ekspresi ektopik AP1 tidak hanya mampu mengubah tunas apikal dan lateral menjadi bunga, tetapi juga mengakibatkan terjadinya fenotipe pembungaan yang lebih awal. Proses pengaturan fase transisi dari pertumbuhan vegetatif ke reproduktif merupakan proses penting untuk tanaman buah-buahan atau tanaman berkayu seperti kakao, karena tanaman-tanaman tersebut mempunyai fase juvenil yang panjang sehingga program pemuliaan untuk sifat-sifat tertentu yang berkaitan dengan produksi dan kualitas buah memerlukan waktu yang lama. Pengetahuan tentang gen-gen yang mempengaruhi transisi dari fase juvenil ke dewasa hingga pertumbuhan reproduktif (inisiasi pembungaan) telah memfasilitasi program seleksi untuk memilih tanaman dengan fase juvenil yang lebih pendek. Pada tanaman jeruk, yang masa juvenilnya bisa mencapai 6-20 tahun, dapat
128 diperpendek dengan mengekspresikan gen pembungaan AP1 dan LFY dari Arabidopsis (Pena et al. 2001). Ekspresi gen tersebut pada tanaman jeruk dapat mempercepat inisiasi bunga, memperpendek masa TBM (juvenil), tanpa mengakibatkan abnormalitas dalam perkembangannya. Pada kakao, kuncup bunga diinisiasi pada meristem yang terletak pada daerah bekas pangkal daun pada batang dan cabang yang telah dewasa. Meristem tersebut dapat menghasilkan bunga untuk beberapa tahun hingga akhirnya membentuk bantalan bunga, tetapi untuk aktivitas berbunganya biasanya diregulasi oleh faktor lingkungan dan kemungkinan juga hormon tanaman (Chaidamsari 2005). Dalam hal ini tidak diketahui apakah tahap perkembangan pembungaan pada bantalan bunga pasif terjadi sebelum pembentukan meristem bunga, pada saat pembentukan meristem bunga, atau pada tahap awal pembentukan kuncup bunga. Berdasarkan hasil penelitian ini, dimana ekspresi gen AP1 pada kakao tidak terjadi pada daun dan bantalan bertunas, tetapi terjadi pada kuncup bunga, bantalan bunga aktif dan ekspresi yang rendah pada bantalan bunga pasif, menunjukkan bahwa TcAP1 tersebut terlibat dalam regulasi pembungaan kakao, pada stadia yang sangat awal dari perkembangan bunga. Program pemuliaan kakao dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang sama seperti pada tanaman buah-buahan, yaitu waktu regenerasinya yang lama dan fase juvenilnya yang panjang tanpa menghasilkan produksi buah. Produktivitas kakao dapat terhambat oleh berbagai faktor, antara lain pembungaannya
yang
tidak
konsisten
dan
terjadinya
kompetisi
antara
pertumbuhan vegetatif, perkembangan bunga dan buah. Gen AP1, yang pada kebanyakan spesies berfungsi dalam regulasi pembentukan bunga dan menentukan penanda organ bunga telah berhasil diisolasi pada tanaman kakao dan diekspresikan dengan pola yang sama seperti pada Arabidopsis. Gen AP1
129 tersebut dapat memainkan fungsinya dengan baik pada kakao dan peranan TcAP1 khususnya dalam induksi pembungaan dapat menjadikan pengetahuan yang menarik mengenai regulasi pembungaan pada kakao. Selama studi molekuler pembungaan kakao tersebut memberikan relevansi praktis yang kuat, maka hasilnya akan bermanfaat untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan produktivitas perkebunan kakao. Dengan berhasil didapatkannya gen pengatur pembungaan (AP1) pada kakao, maka diharapkan mekanisme molekuler proses pembungaan kakao dapat dipahami, dengan demikian rekayasa ke arah peningkatan pembungaan dan produktivitas dapat dilakukan. Karena pola pembungaan merupakan salah satu masalah pada tanaman kakao, maka dengan didapatkannya gen pembungaan AP1 kakao tersebut dapat diteliti lebih lanjut aktivitasnya, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki pola pembungaan kakao. Melalui pengujian lebih lanjut terhadap aktivitas (promoter) AP1 menggunakan berbagai senyawa penginduksi, diharapkan nantinya dapat dipilih dan ditentukan suatu senyawa inducer yang efektif dan efisien, baik dari segi harga, ketersediaan, maupun keamanannya bagi lingkungan. Dengan didapatkannya inducer yang tepat tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan intensitas pembungaan kakao yang pada akhirnya juga dapat meningkatkan produksinya. Mengingat kakao merupakan komoditas yang secara sosial dan ekonomi penting bagi Indonesia, maka aplikasi hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan devisa bagi negara dan pendapatan petani kakao pada umumnya.