PRO-FORMAL: POLICY AND REGULATORY OPTIONS TO RECOGNISE AND BETTER INTEGRATE THE DOMESTIC TIMBER SECTOR IN TROPICAL COUNTRIES
WORKING PAPER SERIES No. 02
VALUE CHAIN PERDAGANGAN KAYU RAKYAT:
MAMPUKAH SERTIFIKASI MEMPERBAIKI KEADILAN BAGI PELAKU PASAR? (STUDI KASUS DI BLORA, WONOSOBO DAN WONOGIRI)
Oleh: Eka Intan Kumala Putri
Kerjasama Riset Antara Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di era globalisasi ini, tuntutan sertifikasi dan legalisasi pada berbagai aktivitas dan agen ekonomi tidak dapat dihindari, termasuk pada hutan/kayu rakyat di Indonesia. Hingga saat ini di kalangan petani kayu rakyat dikenal berbagai lembaran/surat sertifikasi dan legalisasi, mulai dari LEI (Lembaga Ecolabel Indonesia) hingga SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Kalau LEI bersifat voluntary maka SVLK bersifat mandatory dan kebijakan SVLK ini telah dibuat stakeholder Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sejak 2003. Tahun 2009, Kemenhut mewajibkan semua unit usaha kehutanan dari hulu ke hilir serta pengusaha kehutanan mengikuti SVLK. Industri juga tak ketinggalan wajib mengikuti SVLK. Sebagian dari hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah telah lama memperoleh legalisasi/sertifikasi ini. Pada tahun 2007, petani hutan/kayu Jati rakyat di Kab. Wonogiri sudah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari dari LEI, namun hingga sekarang belum ada kepastian tentang kelanjutannya dari LEI tersebut. Pada 11 Oktober 2011 dilakukan penyerahan SVLK bagi 5 (lima) wilayah, yaitu Prov. Bali, Kab. Blora, Kab. Wonosobo, Kab. Gunung Kidul, dan Kab. Konawe di Sulawesi Tenggara. SVLK untuk hutan/kayu Jati diberikan untuk Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) “Jati Mustika” di Kab. Blora. Sedangkan SVLK untuk kayu sengon diberikan untuk Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat (APHR) “Jokomadu” di Kab. Wonosobo. Legalisasi dan sertifikasi ini dilakukan selain untuk tata kelola kayu rakyat yang lebih baik, meningkatkan optimalitas ruang di bawah tegakan, penghindaran tebang butuh, meningkatkan kesejahteraan petani kayu rakyat, dan juga untuk mengendalikan illegal logging, yang selama ini marak terjadi di Indonesia. Namun demikian, implementasi LEI ataupun SVLK di kalangan petani rakyat tidaklah mudah, banyak kendala dan hambatan secara sosial-ekonomi kayu rakyat yang dihadapi. Walaupun Peraturan Daerah (Perda) terkait SVLK ini dalam proses penyusunan dan pengesahan di Kabupaten Blora dan Kabupaten Wonosobo. Pada awalnya, implementasi legalisasi/sertifikasi (LEI/SVLK) ini diharapkan akan membawa kenaikan harga kayu (istilah populer yang beredar adalah “premium price”) sehingga diduga akan membawa perubahan terhadap value chain pada perdagangan
1
kayu rakyat - yang selama ini dikuasai pedagang-tengkulak berbagai skala usaha - dan akhirnya akan meningkatkan
pendapatan dan pemerataan (keadilan) kesejahteraan
petani dari perdagangan kayu rakyat tersebut. Namun, alih-alih ada premium price pada perdagangan kayu rakyat dan peningkatan pendapatan dan keadilan, para petani kayu rakyat dihadapkan pada permasalahan bagaimana mereka harus membayar biaya untuk monitoring (per tahunnya) dan biaya perpanjangan (setelah lima tahun) sertifikat LEI dan SVLK tersebut - yang mencapai puluhan juta rupiah - dan masih banyak permasalahan ekonomi lainnya yang terkait rantai nilai perdagangan kayu rakyat. Untuk itu, laporan ini akan menyajikan pembahasan detail tentang rantai nilai pada perdagangan kayu rakyat di 3 (tiga) wilayah yang berbeda, yaitu Kab. Wonogiri yang telah mendapat LEI dan di Kab. Blora dan Kab. Wonosobo yang telah mendapatkan SVLK, pada kondisi eksisting (4 tahun pasca diterimanya LEI dan 6 bulan pasca diterimanya SVLK) dan pendugaan dampak diperolehnya LEI dan SVLK bagi petani kayu rakyat di ke-3 kabupaten tersebut di masa yang akan datang, terutama dilihat dari sisi mampukah sertifikasi LEI dan SVLK tersebut memperbaiki keadilan perdagangan kayu rakyat bagi para petani dan pelaku perdagangan kayu lainnya.
1.2.
Tujuan Penulisan
Secara umum penulisan laporan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan perkembangan tentang value chain dan sertifikasi perdagangan kayu rakyat di 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kab. Wonogiri, Kab. Blora dan Kab. Wonosobo. Selain itu, tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:
(1)
Mengkaji kondisi eksisting perdagangan kayu rakyat, termasuk value chain dan harga kayu di 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kab.Wonogiri, Kab.Blora dan Kab. Wonosobo.
(2)
Mengkaji keterpengaruhan sertifikasi LEI dan SVLK terhadap keadilan pelaku perdagangan kayu rakyat, di 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kab.Wonogiri, Kab.Blora dan Kab.Wonosobo.
2
1.3. Metodologi Penulisan laporan ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data primer secara purposive sampling dikumpulkan dari survey di 6 kecamatan pada 3 kabupaten penelitian yang berbeda, yaitu Kec. Giriwoyo dan Kec. Batuwarno di Kab. Wonogiri, Kec. Blora dan Kec. Randublatung di Kab. Blora dan Desa Jonggolsari dan Desa Besani di Kab. Wonosobo. Wawancara dengan menggunakan kuesioner, indepth interview dan FGD (Focus Group Discussion) dilakukan untuk memperoleh data tentang perdagangan kayu rakyat. Selanjutnya, data diolah secara statistik sederhana dan disajikan secara deskriptif-kualitatif, mencakup struktur pasar dan value chain perdagangan kayu Jati rakyat di Kabupaten Blora dan Wonogiri dan struktur perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo, dan sebagainya.
2.
KERANGKA TEORI
Berbagai teori dan analisis dibangun terkait dengan value chain. Rantai nilai atau value chain ini pertamakali dikembangkan oleh Porter (1985) dalam bukunya “Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance”, yaitu merupakan alat untuk menguji seluruh kegiatan perusahaan secara sistematika serta bagaimana hubungannya untuk menganalisis daya saing perusahaan. Selanjutnya, Porter (1995) juga menyatakan value chain sebagai “a way of presenting the construction of value as related to end customer. Dari definisi tersebut jelas dinyatakan bahwa rantai nilai dibangun sebagai cara untuk memperoleh nilai tambah dari produk akhir dan bertujuan untuk meningkatkan daya saing, mengurangi biaya yang dikeluarkan, memperluas market share, dan akhirnya akan meningkatkan keuntungan secara keseluruhan. Lebih jauh, Porter (1998), menyatakan bahwa value chain adalah “... model that helps to analyze specific activities through which firms can create value and competitive advantage”. Pandangan Porter (1998) tersebut juga dipertegas dengan pandangan Christine (2005), yang menyatakan bahwa ”a value chain analysis is an analytical framework which urges consideration of the various activities and roles of economic agens, throughout the various stages of production, including upstream inputs down to their final consumption by the ultimate consumers”. Seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1 dibawah ini.
3
End-Use Consumer Pays for Profit Margins Throughout the Value Chain
Supplier Value Chain
PRIMARY ACTIVITIES
SUPPORT ACTIVITIES
R&D
Firm Z Value Chain
Distribution Value Chain
Service Design
Production
Service
Marketing
Service
Buyer Value Chain Distribution
Disposal Value Chain
Service
Service
Sumber: Porter (2008)
Gambar 1. Kerangka Analisis Value Chain Berbagai Aktivitas dan Agen Ekonomi
Dari Gambar 1 jelas ditunjukkan bahwa value chain merupakan rangkaian aktivitas dari input pemasok logistik (faktor produksi), proses operasional memproduksi, proses finishing product (merk, kemasan, penyimpanan), pendistribusian dan penjualan (marketing and sales) dan pelayanan bagi konsumen - yang membutuhkan aktivitas pendukung dari sisi infrastruktur perusahaan, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan ketersediaan bahan baku dalam lingkup aktivitas yang luas dan menghasilkan produk yang memiliki nilai pasar tinggi dan berdaya saing Dalam implementasinya, aktivitas value chain tidak hanya melingkupi satu wilayah geografis tetapi bisa juga melingkupi area yang lebih luas dan terjalin dari berbagai pelaku perdagangan, seperti petani, pedagang (kecil dan besar), dan perusahaan atau industri terkait, baik industry primer maupun industry sekunder. Jalinan pasar dan value chain tanpa batas wilayah geografis illustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2. Rantai nilai yang dibangun mulai dari suplai input yang dibutuhkan dalam produksiproses-distributor (eksportir, wholesaler dan retailer) tidak dibatasi suatu wilayah tertentu. Artinya, bahwa setiap titik dari setiap aktivitas dan agen ekonomi dalam sistem
4
pemasarannya dapat dikonstruksi suatu nilai tambah (added value) nya dalam rangka meningkatkan daya saing output yang dihasilkan dan added value tersebut dapat dibangun dengan tidak memperhatikan kendala wilayah. Semakin panjang aktivitas rantai pemasaran maka added value juga semakin panjang dinikmati oleh pelaku atau agen pemasaran. Tak terkecuali juga pada rantai nilai pada perdagangan kayu rakyat di 3 (tiga) wilayah di Kab. Wonogiri, Kab. Blora dan Kab. Wonosobo, petani kayu rakyat umumnya berperan sebagai supplier (penyedia) bahan baku kayu bagi usaha mebel di Kab. Temanggung, Kab. Jepara, DIY ataupun di Semarang, memang sistem perdagangan tidak dibatasi wilayah administratif.
Global Enabling Environment Supporting Markets
Global Retailers National Retailers Exporters
Sector Spesific Providers
Wholesalers Processing Cross-Cutting Providers Producers
Financial Cross-Cutting Providers
Producers
Producers
Input Suppliers
National Enabling Environment Sumber: Field et al (2006) dalam Sukirno (2009).
Gambar 2. Jalinan Pasar dan Value Chain yang Tak Dibatasi Wilayah Geografis
Konstruksi value chain yang sama dapat juga dibangun pada hutan kayu rakyat dengan berbagai agen (ekonomi) pasar yang terkait – mulai dari petani kayu hutan rakyat dengan berbagai luasan lahan (sebagai produsen), para distributor (bakul-makelar-pengepulpedagang besar), prosesing (industri sawmill, ring, dan meubel), hingga ke tingkat eksportir yang mengekspor kayu/produk kayu olahan ke pasar ekspor (antara lain, negara-negara di Eropa) – melalui aktivitas yang dapat meningkatkan added value, daya saing dan memperluas market share dari kayu (hutan) rakyat tersebut.
5
Besarnya distribusi keuntungan atau added value distribution yang diperoleh masingmasing pelaku di sepanjang rantai nilai ditentukan oleh bentuk hubungan principal (pemberi kepercayaan) - agen (penerima kepercayaan) yang terjadi antar actor didalam rantai, karena masing-masing aktor dalam rantai nilai ingin memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya. Dari sisi rantai nilai, sertifikasi LEI dan SVLK merupakan salah satu instrumen yang dapat meningkatkan added value kayu rakyat melalui berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam penjualan kayu rakyat, seperti adanya kepastian luas lahan, tertib tatakelola dan kepemilikan jumlah pohon kayu rakyat, diameter (medelen) minimum kayu yang dapat ditransaksikan di pasar, adanya peningkatan kualitas kayu rakyat melalui pruning dan pemeliharaan pohon kayu rakyat, dan lainnya. LEI dan SVLK ini juga dapat meningkatkan competitive advantage melalui perluasan market share kayu rakyat, yang selama ini perdagangan kayu rakyat dominan domestic market oriented menjadi export market oriented sehingga diharapkan harga kayu rakyat menjadi naik (melalui „premium price‟) sehingga harapannya dapat memberi dampak pada peningkatan keadilan pendapatan dan kesejahteraan bagi pelaku pasar, khususnya petani hutan kayu rakyat, yang selama distigma sebagai pelaku pasar penerima added value terkecil diantara pelaku pasar kayu rakyat lainnya, seperti tengkulak dan industri.
3.
KONDISI EKSISTING PERDAGANGAN KAYU RAKYAT
Kondisi eksisting ini dilakukan untuk „memotret‟ perdagangan kayu rakyat Jati dan Sengon pada saat 6 (enam) bulan pasca diterimanya SVLK dan 4 (empat) tahun pasca diterimanya LEI di 3 (tiga) kabupaten kasus yang diteliti, yaitu Kab. Blora dan Kab. Wonosobo masing-masing untuk SVLK dan Kab. Wonogiri untuk LEI. Kajian tentang „potret‟ kondisi eksisting ini dibagi menurut 2 (dua) sub kajian, yaitu keragaan pasar dan dan value chain kayu rakyat pada masing-masing Kab. Wonogiri, Kab. Blora, dan Kab. Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. 3.1. Keragaan Pasar dan Harga Kayu Rakyat Keragaan pasar yang dibahas disini adalah keragaan yang mencakup struktur dan sistem pasar kayu rakyat, kondisi pembeli dan penjual kayu rakyat, kelembagaan yang terkait, syarat-syarat terealisasinya perdagangan kayu rakyat, dan sebagainya. Keragaan pasar kayu rakyat di Kab. Blora, Kab. Wonosobo dan Kab. Wonogiri tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan keragaan pasar dan harga di 3 kabupaten tersebut lebih ditentukan oleh jenis kayu yang diperdagangkan, seperti perdagangan kayu Sengon di
6
Kab. Wonosobo berbeda keragaan dan harga kayunya dibandingkan dengan perdagangan kayu Jati di Kab. Blora dan Kab. Wonogiri. Perbedaan tersebut menyangkut ukuran kayu yang diperjual-belikan, bentuk kayu yang diperdagangkan, siklus penebangan kayu, dan lain sebagainya. Berikut ini disajikan Tabel 1 tentang keragaan pasar dan perdagangan kayu rakyat pada masing-masing Kab. Blora, Kab. Wonosobo, dan Kab. Wonogiri. Tabel 1. Keragaan Pasar dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kab. Blora, Wonosobo dan Wonogiri Daerah Sentra Kayu Rakyat No
Keterangan
Kab. Blora
Kab. Wonosobo
Kab. Wonogiri
1.
Struktur Pasar
Oligopoli
Persaingan Sempurna
Oligopoli
2.
Sistem Pasar
Subsisten-Tradisional
Cukup Liberal
Subsisten-Tradisional
3.
Orientasi Pasar
Domestic- Subsisten di lingkungan desa
Profit Oriented memilih pedagang dgn harga penawaran tertinggi
Domestic- Subsisten di lingkungan desa, ada hubungan kekerabatan
4.
Penjual dan Pembeli
Banyak Petani, Pedagang Terbatas
Banyak Petani, Banyak Pedagang
Banyak Petani, Pedagang Terbatas
6.
Kelembagaan Pasar yang terlibat
Petani, Pedagang Pengepul, Broker, Pedagang Besar di Blora dan Jepara
Petani, Penebas, Broker, Pedagang Pengepul, Chainsaw, industri Sapuran, industri Temanggung
Petani, Penebas, Pedagang Besar di Jepara
7.
Bentuk Kayu yang Diperjualbelikan
Tegakan dan Glondongan/Kubikasi
Tegakan dan Kubikasi
Tegakan dan Kubikasi 80% dan Papan 20% („nempil‟)
8.
Ukuran Kayu yang dijual „Tebang Butuh‟
Piton: medelen 7-10cm dan panjang 7-8m
Piton: medelen 7-10cm keliling 50 cm
Piton: diameter 10-14cm keliling 80cm
9.
Harga Kayu yang dijual “Tebang Butuh”
Jati Rp 200.000 per pohon (Piton) atau Rp 400.000 -500.000/m3
Sengon Rp 50.000 per pohon (Piton) atau Rp 300.000-400.000/m3
Jati Rp 340.000/m3 (Piton) dan Rp 2,7 juta/m3 (A2); Mahoni Rp 1,3juta/m3; 3 Akasia Rp 1,4 juta/m
10.
Surat Perdagangan Kayu
SKSKB( Dishut) SKAU (desa)
SKSKB dan SKAU
SIT/SKAU (desa) dan SKSKB (Dishut)
11.
Biaya Pembuatan Surat
Rp 50.000/SKSKB
Rp 25.000/SKAU
Rp 25.000/SIT
12.
Rata-Rata Nilai Kayu yang Dijual/hari
<10 juta) pedagang lokal ‟broker‟ > 50juta) pedagang besar/industri
<10 juta) pedagang lokal/makelar > 15 juta) pedagang besar/industri
kecil (‟nempil‟) ke bakul > 16 juta) pedagang besar/industri
13.
Siklus Tebang
2-3 thn
5-10 thn
5-10 thn (ideal = 25 thn)
Sumber: Dikompilasi dari Data Primer, 2012.
7
Keterangan: -
Oligopoli adalah struktur pasar dimana banyak petani kayu rakyat dan terdapat beberapa pedagang/pengepul di tingkat kecamatan/desa sedangkan persaingan sempurna adalah struktur pasar dimana banyak petani kayu rakyat (sebagai penjual ketika mau menjual kayu) dan banyak pengepul sebagai pembeli yang menampung kayu rakyat.
-
Subsisten-Tradisional adalah sistem pasar kayu rakyat dimana kayu dijual oleh petani secara subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan finansial rumahtangga di kala darurat dan mendesak dan secara tradisional transaksi dilakukan dari rumah petani atau pedagang pengepul datang langsung ke tegalan/kebun, sedangkan sistem pasar liberal adalah perdagangan kayu rakyat secara bisnis (bukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak semata) dengan banyaknya hilir-mudik kendaraan pengepul/pedagang kayu keluar masuk desa untuk menampung kayu yang dijual oleh petani rakyat.
-
Pedagang kayu rakyat terbatas dalam arti di tingkat kecamatan/kabupaten pedagang tersebut berjumlah hanya ada 2 (dua) atau 3 (tiga) pedagang, sedangkan pedagang kayu rakyat tidak terbatas dalam arti jumlah pedagang yang banyak ( >10 pedagang) di tingkat kecamatan/kabupaten.
-
Nempil adalah istilah lokal - terkait ukuran lingkar kayu yang sangat kecil dibawah piton - yang populer di lingkungan masyarakat kayu dan umumnya dijual langsung ke tetangga untuk kebutuhan pembuatan rumah tanpa butuh surat ijin penjualan kayu dari desa atau dinas kehutanan.
-
Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB) merupakan surat keterangan perdagangan kayu yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan suatu kabupaten untuk kayu rakyat Jati; Surat Keterangan Asal Usul kayu (SKAU) merupakan surat keterangan perdagangan kayu yang diterbitkan oleh Kepala Desa untuk kayu rakyat non Jati, sedangkan Surat Ijin Tebang (SIT) adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Desa terkait ijin untuk menebang.
Tabel 1 tersebut diatas menjadi acuan dalam pembahasan keragaan pasar kayu rakyat di masing-masing kabupaten yang diteliti. Berikut ini akan dibahas keragaan pasar kayu rakyat yang selama ini berlangsung di masing-masing kabupaten Blora, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Wonogiri.
3.1.1. Keragaan Pasar Kayu Rakyat di Kabupaten Blora
Penelitian tentang value chain kayu rakyat di Kab. Blora dikonsentrasikan pada 2 (dua) wilayah administrative yang berbeda, yaitu di Kec. Blora dan di Kec. Randublatung, dengan karakteristik petani kayu rakyat yang berbeda satu dengan lainnya. Jika di Kec. Blora umumnya petani kayu rakyat mengelola hutan secara mandiri dan beberapa tergabung kedalam Gapoktanhut “Jati Mustika”, yang dibentuk sebagai syarat keikutsertaan dalam program SVLK, sedangkan sebahagian besar petani di Kec. Randublatung berada didalam kawasan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung. Namun, para petani kayu rakyat di kedua wilayah tersebut memiliki kebebasan dalam menjual kayu secara mandiri. Sekalipun berada dalam program PHBM, para petani Randublatung samasekali tidak ada kerjasama dalam perdagangan kayu dengan pihak KPH Randublatung, karena umumnya program PHBM memberi bantuan bibit kedele dan kacang-kacangan sebagai tanaman sela diantara tanaman kayu Jati. Pohon Jati booming ditanam oleh masyarakat, baik di Kec. Blora maupun di Kec. Randublatung, ketika adanya Program GERHAN (GNRHL) dari Kementerian Kehutanan
8
pada tahun 2001 yang membagikan bibit tanaman Jati secara gratis kepada masyarakat. Kecuali di Desa Plantungan Kec. Blora, sejarah penanaman pohon Jati dimulai sejak tahun 1980-an, masyarakat dari luar desa datang ke Desa Plantungan dan langsung mengambil (menyerobot) petakan lahan (berstatus tanah negara) yang diatasnya terdapat pohon kayu Jati, sehingga sekarang ditemui masyarakat yang memiliki pohon kayu Jati berumur diatas 20 tahunan. Ketika Program GERHAN dilaksanakan, umumnya masyarakat menolak membeli bibit Jati karena alasan hidup dalam kemiskinan sehingga tak mampu membeli bibit Jati. Bagi masyarakat Blora, Jati ini menjadi sumber keuangan ketika mengalami masa-masa sulit. Tidak sedikit petani yang melakukan „tebang butuh‟, ketika kebutuhan finansial rumahtangga mendesak, seperti untuk berobat, anak sekolah, menikahkan anak, dan sebagainya. Umumnya sebahagian besar mata pencaharian masyarakat di Kab. Blora adalah sebagai petani padi sawah atau menanam palawija, menjadi migran dengan bermigrasi ke luar desa atau ke luar provinsi secara berkelompok (disebut kelembagaan ekonomi „pondok boro‟1). Kelompok pekerja ini bergerak menjadi tenaga buruh pabrik tebu, tenaga pelayan pada usaha warung makan atau mencari nafkah dengan melakukan penambangan batu kapur. Walaupun cukup bervariasi mata pencaharian penduduknya, namun pohon Jati tetap ditanam di tegalan atau pekarangan sebagai persediaan ketika ada kebutuhan finansial rumahtangga yang mendesak.
Gambar 3. Ciri Kayu Rakyat yang Diperdagangkan di Kec. Blora dan Kec. Randublatung: Kualitas Buruk Bergumbal Putih dan Tebal
1
Basis kelembagaan ekonomi yang dibangun berbasis social capital, yaitu jejaring social yang dibnagun berdasarkan kepercayaan diantara anggota pondok boro.
9
Jika menilik dari kualitas kayu yang ditanam petani, kayu Jati rakyat yang ditanam oleh masyarakat di ke-2 kecamatan tersebut cenderung berkualitas rendah, yang ditandai dengan diameter kayu yang kecil (didominasi oleh ukuran Piton, kemudian disusul dengan ukuran A1 bahkan ukuran A2 sangat jarang ditemui) dan ciri kedua, ditandai dengan gumbal kayu lebih tebal dan berwarna putih (lihat Gambar 3). Oleh karena itu, tidaklah heran jika harga kayu Jati petani di Blora rendah dan tidak kompetitif, sehingga kayu Jati yang dimiliki petani belum bisa mensejahterakan petani. Terlebih didorong oleh kebutuhan yang mendesak sewaktu-waktu maka masyarakat melakukan sistem jual kayu/pohon Jati secara „tebang butuh‟, yang diartikan sebagai sistem perdagangan kayu pohon dengan tidak melihat ukuran dan kualitas kayunya. Terdapat 5 (lima) cara petani hutan rakyat menjual kayu Jati di Kec. Blora dan Kec. Randublatung, yaitu sebagai berikut: (1) Kayu Jati dijual sendiri dan langsung kepada pengepul (pedagang perantara), dan biasanya pengepul memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penentuan harga (price maker), karena pengepul dianggap sebagai agen pasar yang memiliki interaksi dengan eksternal agen diluar desa/kecamatan, seperti pedagang besar atau industri pengolah. Pada sistem ini pihak pengepul yang melakukan pengurusan surat ijin tebang (asal usul kayu). Biasanya sistem ini hanya dilakukan untuk jual-beli kayu dalam jumlah sedikit, yaitu 20–50 pohon; (2) Kayu Jati dijual kepada pengepul (pedagang perantara) namun surat-surat diurus sendiri oleh petani (pemilik lahan) terutama jika petani di desa menjual kayu dalam partai besar dengan harapan dapat meningkatkan bargaining position terkait harga jual kayu yang relatif lebih tinggi daripada jika surat-surat diurus oleh pengepul; (3) Kayu Jati dijual sendiri ke penebas (pedagang atau pembeli skala besar) dan suratsurat asal usul kayu dan ijin tebang diurus oleh pihak penebas; (4) Kayu Jati dijual langsung ke konsumen (tetangga di desa) namun sistem ini tidak memerlukan surat-surat asal usul kayu maupun ijin tebang karena surat hanya diperlukan jika kayu diangkut ke luar desa; (5) Kayu Jati ditawarkan kepada pengepul, kemudian pengepul akan mensurvey tegakan pohon Jati nya, keputusan harga dilakukan melalui proses negosiasi untuk mendapatkan penawaran harga tertinggi selanjutnya baru ditebang jika sudah ada kesepakatan harga. Pada sistem ini, untuk menjual pohon dalam jumlah besar (200– 500 pohon) ditawarkan kepada pengepul (pedagang besar) dan pengepul kecil (pedagang perantara) yang akan melakukan negosiasi sebagai perantara (mediator atau popular disebut „bakul‟) bagi pedagang besar dan petani. Penjualannya dengan
10
sistem borongan (tegakan berdiri), yang mana petani menerima bersih dari harga kesepakatan dan pihak pemborong yang menebang dan yang mengurus surat keterangan asal usul kayu (SKAU) di desa yang bersangkutan. Kayu Jati yang umumnya diperdagangkan adalah kayu berukuran „piton‟ dengan diameter 7 cm dan biasanya dipergunakan sebagai bahan baku reng. Harga piton Jati berkisar antara Rp 100.000 - Rp 200.000,- per pohon tergantung pada kondisi tegakan pohonnya, untuk tegakan yang kurang baik Rp 100.000 per pohon, sedangkan tegakan yang bagus dihargai Rp 200.000,- per pohon. Margin pemasaran antar pedagang tidak melebihi dari Rp 10.000,- per pohon. Pemborong atau pedagang perantara membayar pengurusan surat keterangan dari kantor desa sebesar Rp 50.000 per dokumen SKSKB, yang biasanya berlaku untuk 1 rit (lihat Tabel 1 diatas). Beberapa kelompok harga untuk kayu rakyat di wilayah Kec. Blora dan Kec. Randublatung, disajikan pada Tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 2. Perbandingan Harga Kayu di tingkat Petani dan Pedagang Pengumpul (Pengepul) di Kec. Blora dan Kec. Randublatung Harga Kayu per Wilayah Ukuran Batang Kayu Bulat Kec. Blora Kec. Randublatung No. Tingkat Pengepul Diameter Panjang Tingkat Petani Tingkat Pengepul 3 (cm) (m) (Rp/Pohon) (Rp/m ) (Rp/m3) 1
Piton (7-10)
7–8
20 ribu
500-600 ribu
600–700 ribu
2
10–13 (A1)
7–8
30 ribu
1,25 juta
1,30 juta
3
13-16 (A1)
7-8
60 ribu
1,35 juta
1,50 juta
4
16–19 (A1)
7–8
100 ribu
1,50 juta
1,60 juta
5
19-22 (A2)
7-8
200 ribu
2,30 juta
2,40 juta
6
22–28 (A2)
7–8
300 ribu
2,70 juta
2,50 juta
7
28-30 (A2)
7-8
600 ribu
3,30 juta
3,50 juta
8
≥ 30 (A3)
7–8
3 juta
4,50 juta
6 juta
Sumber: Hasil wawancara dan FGD, 2012.
Informasi yang diperoleh dari ketua Gapoktanhut „Jati Mustika‟ bahwa umumnya penjualan kayu jati ukuran piton sangat jarang dilakukan dalam jumlah besar, karena hanya diperoleh dari hasil kegiatan penebangan (potongan) penjarangan saja, yang dapat dilakukan oleh pembeli atau pemilik. Ada dua macam cara menjual kayu penjarangan, yakni (1) jika pembeli yang melakukan penebangan, maka pemilik melakukan penandaan pohon-pohon yang akan ditebang (dijual). Kayu Jati yang
11
dijarangi untuk dijual biasanya pohon yang kualitasnya kurang baik; dan (2) jika pemilik/penjual menebangnya sendiri maka kayu-kayu dijual dalam bentuk kayu potongan (log) dengan variasi ukuran panjang 2–3 m dan dipatok harga Rp 3.500,- per log. Setiap satu pohon ukuran piton dapat dipotong menjadi 2–3 bagian. Selain ukuran piton, kayu Jati yang paling banyak dijual oleh petani di Kab. Blora adalah Jati berukuran A1 dan A2. Selanjutnya pada Tabel 3 ditunjukkan perbedaan harga kayu di tingkat petani dengan berbagai ukuran diameter kayu yang dijualnya dengan harga produk kayu yang telah diolah di tingkat industri. Tabel 3. Harga Jual Pohon di Tingkat Petani, dan Harga Kayu di Tingkat Industri Harga Kayu No. 1.
2.
3.
4.
Diameter Kayu Piton (d = 7 cm)
A1(d = 10-13 cm)
Jenis Produk yang dijual (Jati rakyat/AB) Jenis 1 : kayu Piton
Di Tk. Petani (Rp/pohon) 20 Ribu
A2 (d = 22 – 28 cm)
1.250.000- 1.550.000
d = 10-13cm; P = 2m
1.250.000
d = 10-13 cm; P = 2,5 m
30-50 Ribu
1.400.000
d = 10-13 cm; P = 3,5 m
1.450.000
d = 10-13 cm; P = 4 m
1.550.000
Jenis 2 : A1
1.350.000- 2.100.000
d = 10-13cm; P = 2m
1.350.000
d = 10-13 cm; P = 3 m
1.400.000 60 Ribu
1.450.000
d = 10-13 cm; P = 3,5 m
1.500.000
d = 10-13 cm; P = 4 m
1.600.000
d = 22-28 cm ; P = < 2m
2.300.000
d = 22-28 cm ; P = 2 m
200 Ribu-300 Ribu
d = 22-28cm ; P 3,1-5m A3 ( >28 cm)
1.350.000
d = 10-13 cm; P = 3 m
d = 22-28cm ; P 2,5-3 m
5.
700 Ribu
Jenis 2 : A1
d = 10-13 cm; P = 2,5 m A1(d = 13-16 cm)
Di Tk. Industri (Rp/m3)
d = > 30 cm ; p = 2 m
2.700.000 2.750.000 2.850.000
> 300 Ribu
4.000.000
Sumber : Data Primer, 2012.
Tabel 3 diatas menguraikan harga jual kayu Jati di tingkat petani, harga dan jenis produk yang diperdagangkan oleh CV. Asmirah, sebagai salah satu industri yang mengolah kayu Jati menjadi bahan bangunan dan mebel di Kab. Blora. CV. Asmirah adalah suatu industri pengolah kayu di Kab. Blora, dari 3 (tiga) industri pengolah yang ada. Seperti 12
yang dikemukakan Ketua Koperasi “Jati Mustika” bahwa pemain dalam perdagangan kayu di Kec. Blora, tidak lah banyak hanya ada 3 (tiga) industri berskala kecil hingga sedang. Struktur pasar dalam perdagangan kayu rakyat di Kab. Blora adalah oligopoli, yaitu struktur pasar yang dicirikan dengan banyak penjual dan beberapa pembeli (lihat Tabel 1 diatas). Pedagang besar (atau populer sebagai “tengkulak”), umumnya memiliki omzet penjualan kayu > 50 juta per hari, yang terkenal adalah Md (khusus menjual log kayu dan memiliki tempat pengolahan kayu, lihat Gambar 2). Sebagian besar kayu yang dijual di Kec. Blora banyak dibeli oleh Md. Sbr dan Tmr, yang selain memiliki TPK juga memiliki usaha mebel, sedangkan Thlb merupakan pedagang pengumpul (populer disebut„broker‟, memiliki omzet penjualan kayu < Rp 10 juta per hari), yang menjual kayu dalam bentuk harian dan borongan. Perdagangan kayu Jati di Kab. Blora dominan dilakukan secara subsisten-tradisional (lihat Tabel 1 diatas). Namun, jika dibandingkan maka petani Jati di Kec. Blora lebih berorientasi komersial daripada di Kec. Randublatung, karena sebisa mungkin kayu yang dijual memiliki kualitas bagus dan ukuran kayu yang relative besar sehingga memiliki harga jual tinggi. Kayu jati yang memiliki harga jual yang tinggi akan dengan mudah dijual kepada “broker” maupun “tengkulak” (lihat Gambar 4) jika membutuhkan uang segera, misalnya untuk membayar biaya sekolah, membiayai hajatan, membayar buwoh 2 dan membiayai pengobatan.
Gambar 4. „Tengkulak‟ dan Tempat Pengolahan Kayu di Kec. Blora dan Kec. Randublatung yang Menampung Kayu Jati Rakyat
2
Buwoh adalah bentuk kelembagaan social-capital yang terbangun pada masyarakat petani rakyat dan merupakan tradisi gotong royong menyumbang ketika ada hajatan, membangun rumah ataupun ketika tetangga ditimpa musibah kematian, dan sebagainya, dengan nilai sumbangan berkisar antara Rp 50.000,-sd Rp 100.000,- per sekali sumbangan.
13
Kayu Jati dibayar pedagang, baik „broker‟ maupun „tengkulak‟, dengan cara tunai di lokasi penebangan, artinya petani tidak menanggung ongkos tebang dan biaya perijinan. Tidak jarang ketika petani sangat membutuhkan uang, pembayaran dilakukan di muka (membayar sebagian), bahkan ada juga petani yang menjual dalam sistem ijon, yang sesungguhnya sangat merugikan petani itu sendiri karena terjebak dengan situasi dimana harga jual kayu relatif murah. Sebaliknya, orientasi domestic-subsisten lebih banyak dilakukan petani di Kec. Randublatung dalam perdagangan kayunya (lihat Tabel 1). Kayu Jati dijual dengan harga sangat rendah untuk yang berukuran piton. Seperti yang diungkapkan pedagang kayu sekaligus pengusaha sawmill dan mebel di Randublatung, jarang sekali membeli kayu rakyat dari masyarakat Kec. Randublatung, karena sangat jarang petani menjual kayu Jati dan jika menjual pun umumnya berkualitas rendah, yang dicirikan dengan ukuran kayunya yang masih kecil-kecil (piton) dan gumbalnya yang putih dan tebal. Berbeda halnya dengan kayu dari Perum Perhutani yang umumnya berkualitas bagus, dicirikan dengan kayu tua dan gumbal berwarna merah, dan dilihat dari ukurannya sesuai dengan permintaan pasaran. Selain kayu Jati sebanyak 40 m3 per tahun, perusahaan tersebut juga menggunakan bahan baku kayu Mahoni rata-rata sebanyak 80 m3 per tahun.
Tabel 4. Perbedaan Harga Kayu yang ditawarkan Perum Perhutani dengan Kayu Hutan Rakyat di Kec. Randublatung No.
Indikator Pembanding
Perum Perhutani KPH Randublatung
Pengumpul Kayu Rakyat Tidak terjamin kualitasnya, kadang mendapatkan kayu yang masih muda, dengan gumbal (putih kayu) yang tebal, dan tidak bisa dipilih. Rp. 1.700.000/m3
1.
Kualitas Kayu
Dijamin berkualitas, karena hampir semua kayunya tua, dan size-nya pas sesuai permintaan pasar. Bisa memilih kayu yang diinginkan.
2.
Harga kayu Jati
Rp. 2.700.000/m3
3.
Harga kayu Mahoni
Rp. 1.500.000/m
4.
Biaya transportasi
Rp. 500.000/Rit
Rp. 1.000.000/Rit
5.
Biaya Perizinan
Ditanggung KPH*
Rp. 250.000/Rit diberikan kepada pedagang pengumpul
3
Rp. 1.000.000/m
3
Sumber : Data Primer, 2012 Keterangan : *Kayu sudah disertifikasi oleh Forest Stewardship Council tahun 2004.
Pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan harga kayu dari Perum Perhutani dengan harga kayu rakyat beserta biaya transportasi dan biaya transaksi lain yang menyertai saat pembelian kayu, seperti biaya bongkar muat, biaya pengurusan ijin, biaya transportasi,
14
dan biaya transaksi lainnya. Harga kayu bervariasi tergantung dari jenis kayu dan kualitas kayu yang diperdagangkan, baik harga di Perum Perhutani maupun harga di tingkat petani. Jati merupakan kayu yang diperdagangkan dengan harga lebih mahal daripada Mahoni, atau jenis kayu lainnya. Perum Perhutani tidak perlu keluarkan biaya perizinan karena semua kayu Jati yang ditanam dibawah kewenangan KPH Randublatung sudah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi dunia, yaitu Forest Stewardship Council (FSC) sudah ditilik oleh lembaga SGS dari Jerman -pada tahun 2004. Pengurusan sertifikasi dilakukan oleh masing-masing KPH. Di Provinsi Jawa Tengah, KPH yang sudah mengurus sertifikasi kayunya adalah KPH Kebon Harjo, KPH Cepu, KPH Kendal, disamping KPH Randublatung sendiri. Dengan sudah tersertifikasi, harga jual kayu menjadi lebih mahal, dengan kisaran kenaikan harga sekitar 17% dari harga kayu yang belum tersertifikasi. Selanjutnya Tabel 5 berikut menunjukkan biaya per tahun yang dikeluarkan oleh industri, menyangkut biaya tenaga kerja dan biaya-biaya produksi lainnya seperti harga solar dan pemeliharaan alat-alat produksi, dan sebagainya. Tabel 5. Biaya Produksi yang Dikeluarkan Industri Pengolah Kayu Jati per Bulan Di Kec. Blora dan Kec. Randublatung No.
Jenis Biaya yang dikeluarkan
Item Kegiatan Unit Pertukangan/mebel (4 orang)
1.
Tenaga kerja
100.000/hari
Pengangkutan (4 orang)
25.000/reit
Listrik
Biaya Produksi
40.000/hari
Unit gergajian (6 orang)
Makan karyawan dan Rokok
2.
Nominal Biaya yang dikeluarkan (Rp)
170.000/hari 300.000/bulan
Bahan Bakar Solar (kebutuhan 30 liter/hari)
4.500.000/bulan
Membeli klakar3
1.250.000/bulan
Gergaji (dalam sebulan ganti dua kali)
1.600.000/bulan
Mata boor
300.000/bulan
Ganti Gergaji
3.500.000/rool 600.000/trip (Blora-Ngawi)
Transportasi ke konsumen (sewa truk dan colt tepak)
200.000/hari (Blora-Randublatung) 300.000/truk (Blora-Bojonegoro)
Sumber : Data Primer, 2012. 3
Klakar adalah bahan campuran untuk mengolah kayu
15
Dari Tabel 5 terlihat bahwa betapa biaya tenaga kerja dan biaya produksi (di luar harga kayu rakyat) yang dikeluarkan oleh suatu industri cukup besar, sehingga wajar jika industri menginginkan kayu Jati yang diterimanya dijamin berkualitas yang ditunjukkan dengan umur kayu yang tua, warna gumbal, dan ukurannya pas sesuai dengan permintaan pasar. Komposisi biaya terbesar adalah biaya tenaga kerja, yang harus mengacu pada Upah Minimal Regional (UMR), sedangkan biaya variabel produksi suatu industri pengolah kayu yang besar adalah biaya untuk membeli bahan bakar solar, yaitu sebesar 30 liter per hari, ditengah-tengah harga BBM yang terus menaik setiap saat. 3.1.2. Keragaan Pasar Kayu Rakyat di Kabupaten Wonosobo Berbeda dengan di Kab. Blora, kayu rakyat yang dominan diperdagangkan di Kab. Wonosobo adalah kayu Sengon, yang sudah ditanam secara turun temurun dan pengelolaannya saat ini dilaksanakan dengan sistem agroforestry atau tumpangsari dengan tanaman tahunan lainnya, seperti salak, kopi, dan kapulaga. Hutan kayu rakyat Sengon ini sangat potensial untuk terus dikembangkan dalam perannya memenuhi kebutuhan permintaan pasar dan industri lokal maupun ekspor. Struktur pasar kayu rakyat Sengon yang berlangsung di Kab. Wonosobo dapat dikatagorikan sebagai pasar persaingan sempurna, dengan banyak penjual dan pembeli kayu Sengon (lihat Tabel 1). Petani kayu rakyat Sengon sangat banyak jumlah dan bahkan hampir seluruh rumahtangga di Kecamatan Leksono memiliki pohon Sengon di pekarangan maupun kebunnya, sedangkan pembeli kayu (mencakup: pengepul dan industri pengolah) banyak (lebih dari 10 industri berbagai skala usaha) dan terpusat di Kawasan Sopuran dan Temanggung, antara lain CV. MA, yang telah mengekspor kayu ke Timur Tengah dan Jepang, sawmill berbagai skala menengah dan industri kecil menengah (IKM) kayu Sengon, dan sebagainya. Keragaan kehidupan rumahtangga petani kayu Sengon sangatlah sibuk dan mobilitas perdagangan kayu Sengon pun sangat intensif, yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi hilir-mudik kendaraan pengangkut kayu Sengon di Kab. Wonosobo. Keragaan penebas dan kualitas kayu Sengon dapat dilihat pada Gambar 5.
16
Gambar 5. Penebas dan Tampilan Kayu Olahan Sengon di Kab. Wonosobo
Petani kayu Sengon memiliki „bargaining position‟ yang tinggi dan liberal karena semua urusan dagang diserahkan pada mekanisme pasar, dimana setiap panen kayu Sengon dan ketika petani akan menjual kayu Sengon maka akan datang lebih dari 5 (lima) penebas ke rumah petani sehingga petani dapat memilih penebas dengan harga tawaran tertinggi. Sebelum transaksi terjadi, petani kayu Sengon sudah memiliki informasi harga dari petani lainnya yang telah menjual kayunya terlebih dahulu, sehingga jika penebas datang ke rumah petani dan menawar kayu Sengon dengan harga yang rendah maka akan ditolak oleh petani tersebut, demikian seterusnya hingga pada keadaan dimana kayu Sengon tersebut akan dijual ketika ada penebas yang berani memberikan harga kayu tertinggi. Selain itu, penebas juga selalu membayar tunai (cash) kepada petani karena penebas inipun selalu dibayar tunai oleh para pengepul/depo, demikian pula halnya dengan pengepul yang juga dibayar tunai oleh supplier. Dalam hal ini, supplier menyiapkan „cash of money‟ dan selalu menyiapkan dana talangan untuk pembayaran tunai ke pengepul dan petani, sementara supplier selalu dibayar giro oleh industri, biasanya selama 3 (tiga) bulan atau tergantung pada konsumen membayar kepada industri kayu. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa industri besar sebagai „prime mover‟ dari ekonomi hutan kayu rakyat Sengon di Kab. Wonosobo. Tabel 6 menyajikan harga kayu sengon pada setiap agen pemasaran di Kab. Wonosobo. Namun demikian, ada pula petani yang menjual „tebang butuh‟. Petani menebang kayu Sengon sesuai kebutuhannya dan tidak dengan siklus periode tertentu, dan mayoritas petani menyerahkan kegiatan penebangan bersih kepada penebas (pengepul), yang juga merupakan penduduk di desa bersangkutan. enebas biasanya juga merupakan petani yang memiliki modal cukup untuk membayar tunai langsung ke petani dan/atau memiliki akses ke depo, yang akan memberikan dana pembelian di awal.
17
Tabel 6. Harga Kayu Sengon di setiap Pelaku Pemasaran di Kabupaten Wonosobo Harga Jual Kayu di setiap Pelaku Pasar (Rp/m3) Diameter Kayu
Petani
Penebas
Depo
Supplier
10-14 cm
340.000
380.000
-
-
15-19 cm
440.000
480.000
500.000
510.000
20-24 cm
640.000
670.000
710.000
730.000
25-30 cm
740.000
770.000
820.000
830.000
> 30 cm
-
-
-
840.000
Sumber: Data Primer, 2012.
Fenomena lain, ditemui juga petani yang menebang pohon secara mandiri, terutama petani yang memiliki alat dan tenaga (kerja) keluarga untuk membantu sehingga biaya dapat ditekan. Petani tidak perlu izin dari pihak tertentu untuk memproses penebangan kayu Sengon dan petani juga tidak perlu mengurus surat-surat (semisal: SKAU), selama perdagangan kayu masih berada didalam lingkungan desa. Ukuran kayu yang ditebang cukup beragam, pada saat petani membutuhkan dana maka kayu berukuran kecil sekalipun ditebang walau harganya murah. Kayu-kayu kecil tersebut juga memiliki pasar tersendiri seperti untuk pembuatan papan atau balkon. Untuk sistem penjualan kayu, penebas membeli ke petani dalam bentuk tegakan (pohon) berdiri, yang harganya disepakati dengan proses bargaining (tawar-menawar) antara petani dan penebas. Walaupun beberapa petani mengaku terkadang posisi tawarmenawar mereka lemah dalam penjualan kayu, akan tetapi petani tidak merasa dirugikan dengan sistem penjualan saat ini, yang melalui penebas karena petani sudah menerima hasil penjualan bersih dan tidak perlu memikirkan proses penebangan, biaya izin, suratsurat administrasi, biaya pengangkutan, dan biaya transaksi lainnya. Oleh karena itu, selisih harga yang terjadi antara pabrik ke petani tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai keuntungan petani apabila petani tersebut menjual langsung ke pabrik, karena masih ada biaya pemotongan kayu sesuai ukuran (panjang 130 cm), biaya angkut, biaya transportasi, dan lain sebagainya. 3.1.3. Keragaan Pasar Kayu Rakyat di Kabupaten Wonogiri Penanaman hutan kayu rakyat oleh masyarakat di Kab. Wonogiri sebagian besar dilakukan di lahan pekarangan dan tegalan milik petani, dengan rata-rata kepemilikan berkisar antara 0,25 – 0,5 hektar Sistem pertanian kayu rakyat umumnya dilakukan secara monokultur dengan menanam pohon Jati, Mahoni, Akasia dan Sonokeling namun dominan yang ditanam adalah Jati, walaupun dengan pemeliharaan yang belum
18
maksimal. Petani tidak melakukan pemupukan (berhubung keterbatasan dana), prunning maupun penjarangan karena para petani merasa ranting/pohon yang masih hidup masih memiliki nilai jual. Struktur pasar yang berlaku di Kab. Wonogiri, sama halnya dengan di Kab. Blora, adalah oligopoli, yang ditunjukkan dengan banyaknya petani Kayu Jati (> dari 50 rumahtangga petani) namun pembeli (pedagang) nya hanya berjumlah 3 (tiga) orang (lihat Tabel 1 diatas). Umumnya para petani menjual kayu dalam bentuk tegakan, karena tidak memiliki peralatan untuk memanen pohon dan adanya permintaan dari industi kayu di Jepara yang ingin membeli kayu dalam bentuk kayu gelondongan, sehingga banyak petani yang menjual kayu dalam bentuk gelondongan maupun kubikan. Perdagangan kayu Jati di Kab. Wonogiri dilakukan dengan menjual langsung ke bakul (pengepul kecil) atau ke tengkulak (pengepul besar). Petani menjual kayu berukuran piton, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang cukup besar, seperti biaya kesehatan, pendidikan, kerukunan (hajatan, menjenguk orang sakit, menjenguk tetangga yang sedang melahirkan), yang biasa disebut sebagai „tebang butuh‟. Sistem perdagangan kayu Jati di Wonogiri lebih berorientasi ke domestic-subsisten, sehingga membuat bargaining petani rendah. Untuk harga kayu Jati di Wonogiri, umumnya petani memiliki posisi tawar yang sangat rendah dalam rantai perdagangannya karena penentuan harga jual pohon/tegakan kayu rakyat dilakukan langsung oleh pedagang pengepul tingkat ke-1 dan masyarakat belum begitu memahami bagaimana caranya mengukur diameter pohon. Bahkan, ada petani yang menjual tegakannya secara borongan (tebasan), dimana semua pohon yang ada dilahan tersebut ditebang habis tidak melihat berapa diameter yang layak tebang. Baik kayu Jati, Mahoni maupun Akasia, hasil dari rantai perdagangan di Kab. Wonogiri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan baku untuk industri mebel oleh pengusaha di Kab. Jepara. Perkembangan harga kayu di tingkat petani bervariasi tergantung pada jenis kayu dan kubikasinya, untuk kayu Jati berkisar antara Rp 2,7 juta – Rp 3,4 juta per m3, Kayu Mahoni berkisar antara Rp 1 juta - Rp 1,3 juta per m3 dan kayu Akasia sebesar Rp 1,4 juta – Rp 1,5 juta per m3. Baik kayu Mahoni maupun kayu Akasia dipasarkan ke Jepara, bersama-sama dengan kayu Jati. Marjin di tingkat pedagang kecil/pedagang besar bervariasi, berkisar diantara Rp 350 - Rp 400 per m3 sebagai bagian dari biaya transportasi, pengurusan surat ijin (SIT atau SKAU), dan biaya transaksi lainnya,
19
sehingga harga kayu Jati misalnya bisa menjadi Rp 3,1 juta per m3 (yang semula hanya Rp 2,7 juta per m3 ). Di Kec. Giriwoyo ada beberapa pelaku perdagangan, yaitu 7 (tujuh) pengepul/bakul (dengan modal < Rp 10 juta), 2 orang pengepul sedang (dengan modal Rp 10 juta - Rp 50 juta), 1 orang pengepul besar dengan modal > Rp 100 juta) dan 2 (dua) industri mebel (di Jepara) dan satu industri sawmill. Pedagang pengepul atau „bakul‟ menjual kayu masih dalam bentuk gelondongan ke pedagang besar, yang selanjutnya pedagang besar memasarkan kayu dalam bentuk gelondongan dengan cakupan wilayah penjualan kayu, antara lain Salatiga, Jepara dan Madiun. Setelah terjadi kesepakatan harga, baru akan ditebang dan dilakukan pengurusan surat-surat kelengkapan SKAU dari desa dan surat ijin tebang dari kecamatan. Namun, banyak pula petani yang menjual dalam bentuk „nempil‟, yaitu menjual langsung ke tetangga untuk konsumsi dan kebutuhan pembuatan rumah, tanpa harus membawa surat penjualan kayu dari desa atau kecamatan. Untuk pengaturan kayu yang ditebang, Pemda Wonogiri telah menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) No. 1 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Peraturan Daerah No. 13 tahun 2003 tentang Retribusi Ijin Pengangkutan Kayu Rakyat, yang mencantumkan bahwa kayu yang akan dijual atau ditebang harus memenuhi syarat diameter, yaitu: kayu Jati minimal 80 cm, Mahoni minimal 90 cm, Akasia minimal 90 cm, Sonokeling minimal 90 cm. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan kayu rakyat yang ditebang harus benar-benar telah memenuhi standar keliling (diameter) yang telah dipersyaratkan. 3.2.
Value Chain Perdagangan Kayu Rakyat
Rantai nilai (value chain) perdagangan kayu rakyat di Kab. Blora, Kab. Wonosobo dan Kab. Wonogiri tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Panjangnya value chain sangat ditentukan oleh jumlah kelembagaan pemasaran yang terlibat dalam perdagangan kayu rakyat. Besarnya marjin yang diterima kelembagaan pemasaran menunjukkan efisiensi value chain kayu rakyat tersebut, atau dapat dinyatakan bahwa semakin besar marjin yang diterima agen perdagangan maka semakin efisien perdagangan kayu tersebut. Berikut ini akan diuraikan value chain kayu rakyat pada Kab. Blora, Kab. Wonosobo, dan Kab. Wonogiri.
20
3.2.1. Value Chain Kayu Jati Rakyat di Kabupaten Blora Di Kab. Blora terdapat beberapa jenis rantai pemasaran dari kegiatan perdagangan kayu Jati dengan berbagai pelaku/agen pasar yang terlibat, seperti yang tampak pada Gambar 6 dibawah ini.
PETANI
Pedagang Pengumpul Besar
Indrustri Mebel di Jepara
Industri Mebel di Blora
Broker di Dalam Desa
Indrustri di Jepara
Pengumpul Kayu di Jepara
Broker Di Luar Desa
Gambar 6. Rantai Perdagangan Kayu Jati di Tingkat Petani di Kab. Blora
Dari usaha perdagangan yang ada selama ini di Kab. Blora, maka sistem pemasaran kayu Jati di Kab. Blora terdiri dari 12 saluran pemasaran di Kec. Blora dan 11 saluran di Kec. Randublatung. Saluran utama pemasaran kayu Jati di Kab. Blora merupakan kayu bulat (log) dan kayu olahan. Pada kedua saluran utama tersebut terjadi perubahan harga kayu pada bentuk satuan dan bentuk sortimen pada masing-masing pihak yang memasarkaannya (pelaku pasar) Sistem pasar yang berlangsung adalah bebas, tidak terikat pada suatu kelompok, walaupun beberapa petani kayu sudah bergabung kedalam Gapoktanhut “Jati Mustika”. Anggota kelompok yang membutuhkan uang dengan sangat mudah menjual kayu Jati nya kepada broker dan pengumpul kayu (pengepul), yang biasanya mencari langsung kayu-kayu tersebut ke masyarakat dan selanjutnya menjual log-log kayu kepada pembeli di Jepon - sebagai sentra produksi kayu olahan (kerajinan dan mebel) di Kab. Blora – dan ke Jepara.
21
Rantai pemasaran ke-1 ini terdiri dari 6 (enam) saluran dan 8 (delapan) pelaku pasar, yaitu petani - broker didalam desa - broker diluar desa - pedagang pengumpul besar industri mebel di Jepon - industri mebel di Blora - Pengumpul kayu di Jepara - dan industri di Jepara. Gambar 7 rantai pemasaran (value chain) pemasaran kayu hutan rakyat diilustrasikan sebagai berikut:
Petani di Gunung Kidul
Pengumpul
Usaha Pak Suyoto Perhutani
Warung Kayu (TPK) Sortimen Kayu
Kayu Gergajian
Bahan Bangunan (Kusen,Pintu,dsb)
Furniture (Lemari Meja,Peti,Kursi)
Diecer
Dijual Ke Agen
Perusahaan
Gambar 7. Rantai Perdagangan Kayu Jati Melalui Industri di Kab. Blora
Dari Gambar 7 terlihat bahwa rantai pemasaran ke-2 ini lebih panjang karena melibatkan warung TKP dan sortimen kayu, sehingga produk kayu yang dihasilkan pun lebih banyak, yaitu kayu gergajian, bahan bangunan (kusen, pintu, ring, dsbnya), dan mebel/furniture (meja, kursi, lemari, dsbnya). Saat ini Bpk. Syt sedang menjalin kerjasama dengan Pertamina dalam mensuplai ratusan peti dari kayu Mahoni, sehingga mendapatkan keuntungan relatif tinggi daripada cara penjualan menggunakan agen karena para agen jarang membayar tepat waktu dan sering berhutang. Selain menjual langsung kepada pedagang pengumpul (Bp. Md, Tmr, Sbr), petani juga banyak yang menjual kepada para bakul. Gambaran rantai perdagangan kayu Jati di Desa Ngampel Kab. Blora diilustrasikan pada Gambar 8. .
22
PETANI
Bakul/Penyalur/ Keliling
Pemborong Harian
Pengepul
Pengepul dan Pengrajin
Pengrajin
Pasar Ngawi, Blora Bojonegoro, Jepara ,
Gambar 8. Rantai Perdagangan Kayu Jati melalui Bakul di Kab. Blora
Biasanya para bakul datang keliling dari rumah ke rumah untuk mendapatkan kayu Jati yang akan dijual oleh petani. Para bakul tersebut ada yang berusaha secara mandiri, namun ada juga yang merupakan kepanjangan tangan dari pengusaha kayu Jati di Blora. Biasanya para bakul lah yang mengurus surat izin tebang dan surat keterangan asal-usul kayu di level desa. Menurut aturan desa jika tegakan yang dijual < 30 batang dengan diameter yang telah dikemukakan diatas, maka tidak perlu memakai SKAU. Namun, jika menjual kayu berjumlah > 30 tegakan barulah diwajibkan untuk menyertakan SKAU, yang diterbitkan oleh kepala desa dengan biaya sebesar Rp. 50. 000,- per suratnya (lihat Tabel 1 diatas). Setelah SKAU, pengurusan surat kayu dilanjutkan ke SKSKB dari Dinas Kehutanan Blora, dengan biaya pengurusan kayu dihargai sebesar Rp. 75.000,- per kendaraan (colt pick-up), yang merupakan kewajiban dari pihak pengusaha Para bakul yang merupakan kaki tangan dari pengusaha kayu biasanya selain mendapatkan upah rutin tiap bulannya, juga mendapatkan bonus dari „induk semangnya‟ dan akan diberikan target untuk mendapatkan kayu dengan kubik tertentu. Sebagian masyarakat menganggap bahwa hal ini merupakan strategi pedagang untuk memenuhi permintaan pasar yang sangat tinggi terhadap kayu Jati dan olahannya. Selain peran bakul yang cukup besar dalam perdagangan kayu rakyat Jati di Blora, maka industry juga
23
cukup besar andilnya bersama-sama dengan Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo). Gambar value chain perdagangan kayu hutan rakyat melalui Asmindo diilustrasikan pada Gambar 9.
PETANI
MAKELAR
CV.Asmirah
Satuan (Kayu Log)
Sortimer Kayu Dijual Eceran ke Masyarakyat
INDRUSTRI
Jepara
Jawa Timur
ASMINDO
Limbah Kayu
Kayu Gergajian
Mabel
Eksport Eropa
Gambar 9. Rantai Perdagangan Kayu Jati melalui Asmindo di Kab. Blora
Dalam sistem pemasaran hasil hutan rakyat Jati di Blora, pelaku-pelaku pasar yang berperan memindahkan pemilikan kayu dari petani sampai pada konsumen akhir adalah: (1) Makelar, yang biasanya digaji pengumpul untuk mendapatkan pohon jati, dan (2) Pedagang Pengumpul, yang biasanya membeli kayu bulat dari petani melalui makelar. Pedagang pengumpul juga biasanya menjadi industri pengolah kayu meskipun tidak dalam skala yang besar. Khusus untuk di Kab. Blora, ada pedagang pengumpul yang hanya menjual log kayu, tetapi ada juga pedagang selain menjadi pengepul kayu juga mengolah kayu. Namun, ada juga pedagang kayu, yang merangkap sebagai penyalur sekaligus pengolah kayu atau berfungsi sebagai industri pengolah kayu skala menengah. Pedagang besar/pengusaha kayu, seperti yang tergabung kedalam Asmindo memiliki rantai perdagangan yang lebih kompleks, yaitu sebagai agen yang membeli kayu bulat (log) dari petani kemudian diolah menjadi kayu olahan berbentuk lempeng atau blok (square log), disamping memiliki toko kayu (wood shop) dan unit gergajian atau sawmillDi tingkat petani, kayu dijual dalam bentuk tegakan pohon dengan satuan pohon berdiri. Harga per pohon berdiri dapat berbeda menurut ukuran diameter, umur, kualitas, dan lokasi pohon tersebut berada. Semakin jauh dan sulit lokasi pohon, maka harga cenderung akan lebih murah. Setelah ditebang, kemudian kayu dipotong-potong menjadi
24
sortimen-sortimen tertentu, dan selanjutnya melalui broker kemudian disetorkan ke CV. Asmirah (salah satu perusahaan yang tergabung kedalam Asmindo di Kab. Blora) dalam bentuk kayu bulat. Setelah itu diolah CV. Asmirah menjadi 3 (tiga) bentuk produk, yaitu: (1) log kayu, (2) kayu gergajian, dan (3) mebel kayu. Limbahnya kemudian dijual ke masyarakat secara borongan, seharga Rp. 200.000,- per rit limbah (setara dengan muatan dalam mobil colt pick-up). Limbah biasanya dibeli oleh industri kecil yang membuat souvenir dari akar kayu. Log biasanya dijual eceran ke masyarakat di sekitar Blora, kemudian ke industri di sekitar Jepara dan Jawa Timur. Penjualan juga dilakukan melalui organisasi pemasaran bersama Asmindo, berupa kayu-kayu yang telah diolah menjadi mebel untuk di ekspor ke pasar Eropa. Keberadaan Perum Perhutani Randublatung tidak berperan terhadap pergerakan ekonomi kayu di Kab. Blora, sehingga para petani kayu Jati rakyat di Randublatung memiliki rantai perdagangan kayu tersendiri, yang ditampilkan pada Gambar 10.
Rantai Tata Niaga
Produk
PETANI
Pohon (Batang)
Pedagang Pengepul
Industri/ Penggergajian
Log/Kayu Bukat/Potongan (Kubikasi)
Kayu Olahan/Kayu Gergajian (Kubikasi)
KONSUMEN
Bahan ½ jadi; Reng, Usuk/Kaso, Papan, dll
Gambar 10. Rantai Perdagangan Kayu Jati di Kec. Randublatung Kab. Blora
Dari 11 rantai pemasaran yang ada di wilayah Kec. Randublatung umumnya tidak jauh berbeda dengan rantai pemasaran di Kec. Blora. Berikut disajikan gambar rantai pemasaran berikut dengan jenis produk yang dihasilkan oleh pelaku pasar di Kec. Randublatung. Walaupun disana ada Perhutani, namun petani umumnya melakukan pemasaran masing-masing (bebas). Pada Gambar 10 terlihat bahwa rantai pemasaran kayu Jati di Kec. Randublatung sangat sederhana dibanding dengan rantai pemasaran kayu Jati di Kec. Blora, hanya terdiri dari 3 (tiga) saluran dan 4 (empat) pelaku pasar, yaitu petani-pedagang pengumpul-industri penggergajian-konsumen. Petani umumnya menjual dalam bentuk pohon (batang) ke pedagang pengepul selanjutnya pohon berubah bentuk menjadi log/kayu bulat/potongan, kemudian dijual ke industri penggergajian dalam bentuk kayu gergajian (kubikasi) dan akhirnya dibeli konsumen dalam bentuk reng, kaso, papan, dan sebagainya.
25
3.2.2. Value Chain Kayu Jati Rakyat di Kabupaten Wonosobo Rantai pemasaran kayu Sengon di Kab. Wonosobo sangat banyak dan cukup bervariasi, hal ini sesuai dengan banyaknya pelaku pasar yang terlibat dalam rantai pemasaran tersebut, baik petani, penebas, pengepul/depo, pedagang kecil, pedagang besar, supplier, maupun industri, yang dianggap sebagai penggerak ekonomi kayu di wilayah Kab.Wonosobo
dan sekitarnya.
Ribuan petani yang
membudidayakan Sengon
ditumpangsarikan dengan Salak dan tanaman lainnya, memberi arti penting bagi semakin maraknya perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo tersebut. Rantai perdagangan kayu Sengon secara lengkap dan menyeluruh disajikan pada Gambar 11 dibawah ini.
Usaha Meubel
Industri Besar 1 4
Petani Sengon Hutan Rakyat
2
4
3
Depo dengan dan tanpa Jasa Sawmill (Industri Primer 1)
1
2
1
Supplier (Industri Primer 2)
2 Industri Besar 2 1
1 Penebas
3
Pasar Ekspor 3
Pasar Dalam Negeri
Keterangan: Rantai 1 = dari Petani Sengon ke Penebas ke Depo ke Supplier ke industri besar 2 ke pasar domestik/ekspor Rantai 2 = dari Petani Sengon ke Depo ke Supplier ke industri besar 2 ke pasar domestik/ekspor Rantai 3 = dari Petani Sengon ke Penebas ke Depo ke industri besar 1 ke usaha mebel ke konsumen pasar domestik Rantai 4 = dari Petani Sengon ke Depo ke industri besar 1 ke usaha mebel ke konsumen pasar domestik
Gambar 11. Rantai Perdagangan Kayu Sengon Ukuran Besar dan Kecil Secara Keseluruhan di Kab. Wonosobo
Dari Gambar 11 terlihat bahwa perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo terdiri dari 4 (empat) saluran pemasaran dan melibatkan 9 (Sembilan) pelaku pasar, yaitu petani– Penebas - Depo dengan/tanpa jasa sawmill – supplier - usaha mebel - industri besar 1 industri besar 2 – pasar domestic dan pasar ekspor. Skup wilayah perdagangan tidak hanya sebatas di Kab. Wonosobo semata, namun juga dapat melewati batas wilayah Kab. Wonosobo, yaitu hingga ke Temanggung, Jawa Tengah (industri besar 1) atau ke Jepara 26
(usaha mebel). Added value distribution pada perdagangan kayu berdiameter > 25cm adalah berkisar 33,33% untuk Petani ke Penebas, 55,56% untuk Penebas ke Depo, dan 11,11% dari Depo ke supplier (lihat Tabel 6 diatas). Terlihat bahwa penebas adalah agen perdagangan yang menerima manfaat terbesar karena penebaslah agen perdagangan selama ini yang terdekat dan berhubungan langsung dengan petani, sehingga dapat mengetahui kualitas kayu yang diperdagangkan dan sekaligus dapat menentukan harga jual kayu, walaupun penebas harus mengeluarkan biaya ijin dan biaya transportasi pengangkutan. Penebas juga membeli kayu dalam bentuk tegakan, karena berharap bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak dari pohon yang dibeli dari petani tersebut untuk selanjutnya akan dijual kembali ke depo. Sekitar 168 usaha industri berbagai skala ekonomi juga berperan sebagai prime-mover perdagangan kayu Sengon tersebut. Salah satunya adalah CV.MA di Sopuran, yang sudah mengekspor produk olahan dari kayu Sengon ke Jepang dan Timur Tengah. Selain itu terdapat perusahaan-perusahaan sawmill dan mebel di Kab. Temanggung dan Kab. Jepara yang cukup berperan bagi aktivitas perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo, sehingga perdagangan kayu yang berorientasi pada profit-motive tidak dapat dihindari. Sangat sedikit sekali petani kayu yang menjual pada kondisi „tebang butuh‟ karena mereka paham ketika menjual „tebang butuh‟ maka harga yang diterima petani akan lebih murah daripada menjual sesuai diameter kayu (sesuai etat kayu). Para petani umumnya memiliki alternatif penghasilan lain, yaitu dari menjual salak atau tanaman tumpangsari lainnya, sehingga dapat dihindari penjualan „tebang butuh‟ tersebut. Jika ditelisik lebih jauh, dari Gambar 11 tersebut dapat dilihat bahwa ada pula aktivitas perdagangan kayu Sengon berukuran besar yang melalui lembaga pemasaran supplier, namun tanpa melalui usaha mebel di Jepara. Rantai perdagangan kayu Sengon berukuran besar ini relative panjang dibandingkan dengan rantai pemasaran lainnya karena harus melalui supplier sebelum kayu dapat dipasok ke industri untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar dalam negeri atau ekspor. Peran supplier ini bisa sebagai industri perantara dari industri primer ke-1 menuju industri besar pertama. Mobilitas perdagangan kayu Sengon yang sangat tinggi di Kab. Wonosobo dibandingkan kabupaten lain maka memungkinkan supplier ini muncul dalam perdagangan kayunya. Namun demikian, terdapat pula aktivitas perdagangan kayu Sengon berukuran besar dan kecil tanpa melalui supplier, sehingga lembaga pemasaran yang ada dapat langsung dari depo dengan/tanpa jasa sawmill usaha mebel di Jepara, industri besar 1, yaitu industri mebel dan industri besar 2, yaitu industri plywood. Rantai
27
perdagangan kayu Sengon berukuran besar melalui peran pelaku perdagangan supplier di Kab. Wonosobo tersebut ditampilkan pada Gambar 12.
Depo dengan dan tanpa Jasa Sawmill
Petani Sengon Hutan Rakyat
Industri Besar 1
Supplier
(Industri Primer 1)
Industri Besar 2 Penebas
Keterangan: Industri besar 1 = industri pengolahan kayu menjadi mebel (skala besar) Industri besar 2 = industri pengolahan kayu menjadi plywood
Pasar Ekspor
Pasar Dalam Negeri
Gambar 12. Rantai Perdagangan Kayu Sengon Ukuran Besar Melalui Supplier Selanjutnya, rantai perdagangan kayu Sengon berukuran besar yang dilakukan tanpa melalui supplier ditampilkan pada Gambar 13.
Usaha Meubel
Depo dengan dan tanpa Jasa Sawmill
Petani Sengon Hutan Rakyat
(Industri Primer 1)
Industri Besar 1
Industri Besar 2 Penebas
Keterangan: Industri besar 1 = industri pengolahan kayu menjadi mebel (skala besar) Industri besar 2 = industri pengolahan kayu menjadi plywood
Pasar Ekspor
Pasar Dalam Negeri
Gambar 13. Rantai Perdagangan Kayu Sengon Ukuran Besar Tanpa Supplier Aktivitas perdagangan kayu Sengon berukuran kecil di Kab.Wonosobo umumnya dilakukan tanpa melalui lembaga supplier, dapat dilihat pada rantai perdagangan kayu Sengon Gambar 14 dibawah ini.
28
Petani Sengon Hutan Rakyat
Penebas
Jasa Sawmill (Dipo)
Usaha Meubel Lokal
Spesialis Jasa Sawmill
Kebutuhan Pembangunan Rumah Petani
Gambar 14. Rantai Perdagangan Kayu Sengon Ukuran Kecil Tanpa Supplier
Pada Gambar 14 terlihat bahwa rantai perdagangan kayu Sengon ukuran kecil sangatlah sederhana, hanya terdiri dari 2 (dua) saluran pemasaran, dengan keterlibatan 6 (enam) agen pemasaran, yaitu petani rakyat – penebas – jasa Sawmil/Depo – usaha industri mebel lokal – dan konsumen yang langsung membeli dari petani untuk kebutuhan membangun rumah (seperti kebutuhan reng, pintu, jendela, dan lainnya). Disamping itu, hampir seluruh bagian dari kayu, termasuk residu dari Sengon di Kab. Wonosobo dapat diproses dan memiliki nilai jual produk yang cukup besar, seperti daun Sengon, kayu bakar dan serbuk kayu. Residu dari proses olahan kayu Sengon dapat dibuat antara lain menjadi pakan ternak, pembuatan gula nira, budidaya jamur tiram, dan industry furniture pressed. Oleh karena itu, rantai perdagangannya pun khusus, seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 dibawah ini.
Petani Sengon
Daun
Masyarakat/Usaha Gula Nira/Pembuatan (Pembakaran) Genteng
Peternak (Pakan Ternak)
Penebas
Kayu Bakar Budidaya Jamur Tiram
Dipo dengan dan tanpa Jasa Sawmill (Industri Primer 1)
Serbuk Gergaji Kayu
Industri Furniture Pressed
Gambar 15. Rantai Pemasaran Sisa Olahan Kayu Sengon di Kab. Wonosobo
29
Dari Gambar 15 tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh bagian pohon kayu Sengon dapat berguna bagi masyarakat dan memiliki pasarnya. Daun Sengon dapat dipergunakan untuk pembungkus pembuatan gula nira, sisa kayu dan ranting Sengon dapat dipergunakan untuk pembuatan pakan ternak, dan serbuk kayu Sengon sisa dari jasa sawmill dapat dipergunakan untuk budidaya jamur tiram dan industri furniture pressed, dan lain sebagainya. Rantai pemasaran produk sampingan, pada umumnya kayu bakar dari ranting dan daun tidak dijual tetapi diberikan saja kepada pihak lain yang memerlukan, sedangkan bagi pengrajin yang menjual maka harganya adalah kayu bakar sebesar Rp 8000-10.000 per ikat, daun sebesar Rp 5000 per unting dan serbuk gergaji sebesar Rp 400.000 per truk sedang. Selanjutnya, berikut ini akan diuraikan lebih detail tentang value chain pada masing-masing lembaga pemasaran kayu Sengon yang ada di Kab. Wonosobo, yaitu: (1)
Value Chain di Tingkat Petani Petani kayu Sengon adalah masyarakat yang memiliki lahan dan ditanami dengan pohon-pohon berkayu di Desa Besani dan Jonggolsari. Petani ini biasanya menjual kayu dalam bentuk tegakan (pohon berdiri). Pohon yang akan ditebang dijual kepada tengkulak atau pengumpul, dengan harga kayu yang ditentukan melalui proses tawar-menawar (bargaining) sehingga muncul kesepakatan harga, dengan standar harga yang ditentukan oleh pengepul (di Wonosobo dikenal „bakul‟). Pengepul memberikan standar harga yang sudah dipatok oleh depo (pengumpul kayu skala lebih besar). Petani cenderung menjual kayu melalui penebas karena faktor kemudahan dekat dengan rumah dan memberikan jasa menebang bagi petani yang ingin menjual kayunya, sehingga harga yang diberikan di tingkat penebas merupakan harga yang sudah termasuk jasa menebang. Ukuran kayu yang dipotong ditentukan oleh industri pengolah kayu yang diturunkan sampai ke tingkat depo. Informasi mengenai ukuran kebutuhan kayu yang bisa dijual diperoleh penebas/pengepul dan petani dari depo. Namun, informasi harga kayu hanya diperoleh dari penebas, kecuali petani yang menjual langsung ke depo maka akan memperoleh harga kayu dari depo.
(2)
Value Chain di tingkat Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul di Desa Besani dan Desa Jonggolsari ada 2 (dua), yaitu pengepul (bakul) dan depo. Pengepul sebagian besar sudah bermitra dengan depo, sehingga banyak pengepul yang diberikan modal oleh depo untuk membeli kayu dari petani sehingga kayu yang dibeli nantinya akan dijual ke depo tersebut. Depo
30
adalah pengumpul kayu dengan skala usaha lebih besar dari pengepul. Depo ini memperoleh kayu dari pengepul, hanya sebagian kecil saja yang memperoleh kayu langsung dari petani, karena sangat jarang petani yang menebang sendiri pohonnya kemudian memotongya dan menjual kayunya dalam bentuk kubikan ke depo. Disini terdapat depo dengan berbagai skala usaha besar dan kecil. Depo yang berskala besar di Wonosobo ini banyak, selain sebagai pengumpul kayu juga memiliki usaha sampingan yaitu usaha sawmill, sehingga selain menjual kayu dalam bentuk log ke industri juga menjual kayu gergajian, baik kayu gergajian untuk pertukangan maupun balkon untuk industri parket. Harga beli dan harga jual kayu ditingkat pengepul berbeda dengan depo. Selisih harga yang merupakan keuntungan tersendiri bagi pengepul mupun petani yang langsung menjual kayunya ke depo. Pengepul membeli kayu dari petani dalam bentuk tegakan dengan harga Rp 350.000/m3 dan menjualnya ke depo dengan harga Rp 550.000/m3. Sedangkan depo membeli kayu dengan harga Rp 550.000/m3 dan menjualnya ke industri melalui supplier (pedagang besar) dengan harga Rp 750.000/m3. Dari perhitungan dapat terlihat bahwa rata-rata margin tataniaga yang diperoleh masing-masing pelaku adalah sekitar Rp 200.000/ m3. Pengurusan perijinan tata usaha kayu dilakukan di tingkat depo, yang akan membuat SKAU dan FAKB (Faktur Angkutan Kayu Bulat) dengan biaya rata-rata Rp 25.000/surat (lihat Tabel 1). SKAU dikeluarkan oleh kepala desa dimana kayu tersebut berasal. Namun, karena banyaknya kayu yang akan diangkut dan kayukayu tersebut berasal dari desa yang beragam maka untuk alasan efisiensi depo membuat SKAU dari kepala desa terdekat dengan depo dan mewakili seluruh kayu yang akan diangkutnya. (3)
Value Chain di Tingkat Pedagang Besar Pedagang besar di wilayah Desa Besani dan Desa Jonggolsari merupakan supplier bagi industry pembeli kayu dari wilayah desa ini. Masing-masing industri bermitra dengan supplier yang dipercaya olehnya untuk mensuplai kayu bagi indutri tersebut. Industri membutuhkan bahan baku kayu dengan jumlah yang cukup besar. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka pengumpul kayu dan pedagang besar harus menyediakan kayu dalam jumlah besar, artinya harus mampu membeli kayu dari petani dalam jumlah yang besar juga. Bagi depo, hal ini sulit untuk direalisasikan karena depo tidak memiliki modal besar untuk menyediakan bahan baku kayu yang
31
dibutuhkan oleh industri tersebut, sehingga muncul supplier sebagai pelaku dalam perdagangan kayu yang langsung bermitra dengan industri. Supplier memperoleh bahan baku kayu dari beberapa depo sampai terpenuhinya kebutuhan bahan baku kayu untuk industri. Supplier ini dibutuhkan karena selain depo tidak mampu menyediakan kayu sesuai jumlah yang dibutuhkan oleh industri, ternyata terdapat kebiasaan yang menunjukkan bahwa pensuplai kayu ke industri tertentu harus melalui supplier tertentu juga, sehingga arus perdagangan kayu ke industri tersebut berasal dari satu pintu. Industri melalui supplier dalam memperoleh bahan baku kayu ternyata juga didasari oleh manajemen industri dalam pembelian kayu. Industri membeli kayu melalui supplier dengan sistem pinjaman dan tidak dibayar cash oleh industri atas kayu yang dijualnya. Hal ini merupakan faktor utama mengapa depo tidak sanggup langsung mensuplai kayu ke industry, walaupun depo tersebut mampu memenuhi jumlah kayu yang dibutuhkan oleh industri. Jika pembelian tidak dibayar tunai maka perputaran uang di tingkat depo - untuk melakukan usahanya - akan terhambat dan tidak lancar. Pedagang besar - memiliki modal besar untuk membeli dan menjual kayu - tidak bermasalah dengan sistem pembayaran tidak tunai dari industri. Oleh karena itu, pedagang besar atau supplier dapat langsung menembus industri. Informasi yang diperoleh, supplier hanya mengambil untung Rp 10.000,- per m3 untuk tiap rit nya. Beberapa kondisi yang diobservasi menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan produksi kayu di tingkat pemasaran pada berbagai level, yaitu level pengepul, depo maupun supplier karena muncul pelaku-pelaku pasar baru, seperti pengepul dan depo maupun supplier baru yang menyebabkan terjadinya persaingan, baik harga beli maupun harga jual kayu, sehingga yang dapat bertahan adalah pelaku pasar yang memiliki modal cukup kuat untuk melakukan usaha dagang kayu tersebut. (4)
Value Chain di Tingkat Industri Industri sebagai pelaku pasar yang mengolah bahan baku kayu Sengon untuk menjadi barang setengah jadi/barang jadi di Kab. Wonosobo. Beberapa industri yang ada di Wonosobo adalah industri rotary untuk memproduksi vinir dan industri parket untuk memproduksi papan parket. Bahan baku kayu pada tingkat industri diperoleh dari supplier kayu yang tersebar di beberapa kecamatan di Kab. Wonosobo. Industri mempercayakan kebutuhan bahan baku kayunya kepada supplier tertentu karena faktor pembayaran kayu yang tidak langsung tunai kepada
32
penjual. Ada beberapa industri yang membeli bahan baku kayu secara tunai, namun mayoritas masih dengan sistem kredit ke supplier. Industri menentukan harga kayu yang akan dibelikan beserta ukurannya, kemudian supplier sebagai penjual kayu ke industri akhirnya akan menekan harga kayu pada tingkat depo. Hal yang sama akhirnya dilakukan oleh depo dan pengepul dengan alasan untuk dapat memperoleh keuntungan dari kayu yang dijualnya, sehingga pada akhirnya petani lah yang akan memperoleh tingkat harga paling rendah dari kayu yang dipasarkan. Industri sebagai penentu standar harga kayu menetapkan harga dengan pertimbangan harga jual produk industri dan biaya variabel maupun biaya tetap yang harus dikeluarkan selama proses produksi. Jika kondisi seperti diatas berlangsung terus menerus tanpa petani mampu melakukan bargaining harga jual kayu nya maka petani lah sebagai pihak yang paling dirugikan dan mendapatkan marjin paling kecil dari rantai perdagangan kayu Sengon yang berlaku di Kab. Wonosobo. 3.2.3. Value Chain Kayu Jati Rakyat di Kabupaten Wonogiri Laporan dari seksi peredaran kayu menyebutkan bahwa produksi kayu di Kab. Wonogiri sebesar 150.000 m3/tahun, merupakan potensi yang cukup besar untuk keberlanjutan industri kayu olahan walaupun harus diperhatikan keberlanjutan hutan rakyat agar tidak terus menerus ditebang karena hutan kayu memiliki fungsi ekologis yang tinggi disamping fungsi ekonomi. Oleh karena itu, perdagangan kayu di Kab. Wonogiri relatif terbatas dan harus melalui ijin yang ketat dari desa, seperti setiap kayu yang dijual harus mampu menunjukkan Surat Ijin Tebang. Di Kab. Wonogiri ini terdapat beberapa pelaku perdagangan kayu, yang dikelompokkkan menjadi, yaitu kelompok pengepul/bakul, pengepul sedang, pengepul besar dan industri, seperti yang tampak pada Gambar 16 berikut ini. Rantai tataniaga kayu rakyat Jati di Kab. Wonogiri secara umum dibedakan menurut nilai jual kayu. Jika nilai jual kayu < Rp 2,5 Juta, sebagian besar petani rakyat menjual kayunya melalui perantara bakul atau penebas, yang biasanya mendatangi konsumen langsung dan berkeliling dari rumah petani ke rumah petani untuk membeli kayu, selanjutnya dijual kepada pedagang besar di tingkat kecamatan/kabupaten sebelum dijual ke industri, baik ke pengrajin lokal maupun industry mebel di Jepara, perdagangan seperti ini populer disebut „nempil‟. Sebaliknya, jika nilai jual kayu > Rp 2,5 Juta maka petani akan menjual langsung ke pedagang besar di tingkat kecamatan/kabupaten
33
selanjutnya ke industry, tanpa harus melalui bakul atau penebas. Kayu yang dihasilkan dari Kab. Wonogiri merupakan penyuplai bahan baku untuk industri yang ada di Kab. Jepara, khususnya kayu Jati, kayu Mahoni dan kayu Akasia. “Nempil” Nilai Jual Kayu
Industri Pengrajin Lokal
< Rp 2,5 Juta
Petani Jati Hutan Rakyat
Bakul/ Penebas
Pedagang Besar di Tingkat Kecamatan/ Kabupaten
Industri Meubel di Jepara
NIlai Jual Kayu > Rp 2,5 Juta
Konsumen Dalam Negeri
Gambar 16. Rantai Perdagangan Kayu Rakyat Jati di Kab. Wonogiri
Dari gambar rantai pemasaran tersebut diatas dapat dihitung estimasi harga per agen perdagangan kayu Jati di Kab. Wonogiri, seperti yang tertera pada Tabel 7.. Variasi harga jual kayu pada berbagai agen (pelaku) pemasaran pada value chain kayu Jati di Kab. Wonogiri sangat ditentukan oleh diameter kayu yang dijual. Marjin pemasaran dari petani ke penebas untuk kayu berdiameter 10-14cm hingga diameter > 25 cm biasanya berkisar antara Rp 30.000,- hingga Rp 50.000,- per m3. Marjin pemasaran dari petani ke penebas ini relative lebih kecil daripada marjin dari penebas ke depo atau dari depo ke pabrik. Pada tabel 7 terlihat bahwa harga jual tegakan (pohon) kayu Jati di Wonogiri atau di sentra-sentra kayu rakyat lainnya relative lebih rendah daripada harga jual kubikasi. Tabel 7 juga memperlihatkan added value distribution antara berbagai value chain pada perdagangan kayu Jati yang cukup bervariasi antar ukuran diameter kayu dan agen perdagangan. Oleh karena marjin pemasaran yang berkisar antara Rp 30.000-Rp 50.000,- maka added value distribution juga tidak jauh berbeda antara agen perdagangan. Sebagai contoh, untuk kayu berdiameter > 25 cm dengan agen perdagangan yang terdiri dari Petani-Penebas-Depo-Pabrik-Konsumen, maka added value distribution berkisar 37,5% bagi Petani ke Penebas dan 62,5% bagi Penebas ke Pabrik. Selain itu, added value distribution berkisar 10% bagi Petani ke Penebas dan 70% bagi Penebas ke Depo, serta 20% bagi Depo ke Pabrik. 34
Tabel 7. Estimasi Harga per Agen Value Chain di Kab. Wonogiri Harga Kayu Jati di Berbagai Agen Pemasaran No
Karakteristik
1.
Lingkar 50 cm Lingkar 60 cm Lingkar 70 cm Lingkar 80 cm Lingkar 90 cm Lingkar100 cm
2.
Diameter 10-14 cm* Diameter 15-19 cm* Diameter 20-24 cm Diameter > 25 cm
3.
Diameter 16-18 cm Diameter 19-24 cm Diameter >25 cm
4.
Diameter 10-14 cm Diameter 15-19 cm Diameter 20-24 cm Diameter > 25 cm
5.
Diameter 19-24 cm Diameter 25-29 cm Diameter >25 cm
Petani ke 1) Penebas (Rp/pohon)
Petani ke 2) Penebas 3 (Rp/m )
Penebas ke Depo (Rp/m3)
Penebas ke Pabrik (Rp/m3)
Depo ke Pabrik 3 (Rp/m )
50.000 60.000 150.000 200.000 500.000 700.000 340.000 440.000 640.000 740.000
380.000 490.000 670.000 770.000 500.000 710.000 820.000 350.000 450.000 650.000 750.000 720.000 820.000 830.000
730.000 830.000 840.000
Keterangan: 1)
Jual kayu berupa tegakan pohon
2) Jual kayu berupa kubikasi *) dominan diolah sendiri sebagai balkon
Dari penghitungan tersebut terlihat bahwa petani adalah agen yang selama ini menerima added value distribution relatif kecil diantara keseluruhan agen yang ada dalam value chain perdagangan kayu Jati di Kab.Wonogiri, ataupun dalam perdagangan kayu pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa value chain perdagangan kayu belum berkeadilan terhadap petani karena petani selalu menjadi agen penerima manfaat dan keuntungan terkecil dan sebaliknya, pedagang dan industri selalu menjadi agen yang menerima manfaat dan keuntungan terbesar. Idealnya, added value distribution antar lembaga atau agen perdagangan adalah sama atau relatif mendekati seimbang diantara satu agen dengan agen lainnya dalam rantai perdagangan kayu, jika ingin dinyatakan value chain perdagangan kayu yang berkeadilan. Harapannya, melalui sertifikasi LEI dan SVLK yang dijanjikan „iming-iming‟ kenaikan harga jual kayu melalui „premium price‟ maka akan terjadi perubahan manfaat dan keuntungan yang diterima oleh petani kayu rakyat,
35
sehingga petani memperoleh keadilan dalam perdagangan kayu rakyat, dengan asumsi terdapat efisiensi dalam rantai perdagangan dengan agen/kelembagaan yang terlibat. 3.3. Analisis Ekonomi Logging Processing Timber Salah satu agen yang berperan dalam perdagangan kayu rakyat legal di Kab. Wonogiri, Kab. Blora, dan Kab. Wonosobo adalah industri. Industri dapat dianggap sebagai lembaga penggerak ekonomi kayu rakyat di 3 (tiga) kabupaten tersebut karena industri ini, dengan berbagai skala usaha (industri besar jika memiliki kapasitas terpasang > 6.000m3 dan sebaliknya industri kecil dengan kapasitas terpasang < 6.000m3) yang menampung pasokan kayu rakyat, baik dari petani, penebas/makelar, pedagang kecil, maupun pedagang besar. Industri berbagai skala usaha tersebut ada yang berlokasi di dalam ataupun diluar kabupaten yang diteliti. Industri pengolah kayu yang berada di 3 (tiga) kabupaten yang diteliti jumlahnya tidak banyak. Tidak sedikit pedagang besar di 3 (tiga) kabupaten tersebut menjual kayu terutama kayu Jati dalam ukuran besar (bukan piton) dan kualitas bagus ke Kabupaten Jepara, yang merupakan sentra industri mebel di Jawa Tengah. Berbagai industri penampung dan pengolah kayu rakyat di 3 (tiga) kabupaten yang diteliti, ditampilkan pada Gambar 17 berikut ini.
(a)
(b)
(c)
Gambar 17. Keragaan Industri Pengolah Kayu Jati dan Sengon Menurut Berbagai Skala Usaha di Kab. Wonogiri, Kab. Blora dan Kab. Wonosobo
36
Berbagai industri yang ada di Kab. Wonogiri, Kab. Blora, maupun Kab. Wonosobo umumnya bergerak di bidang usaha kayu gergajian chainsaw, sawmill, papan partikel, kayu rotary, mebel kayu, dan sebagainya. Industri-industri tersebut menampung kayu rakyat dalam bentuk kayu gergajian jika diameter kayu < 20cm tetapi
jika diameter
kayu > 20cm maka umumnya menjual dalam bentuk log (kayu bulat). Secara detail karakteristik industri (sampel) penampung dan pengolah kayu rakyat legal yang berada di Kab. Blora, Kab. Wonosobo, dan Kab. Wonogiri disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik Industri Legal di Kab. Blora, Kab. Wonosobo, dan Kab.Wonogiri Keragaan
Industri/ Wilayah Wonogiri UD. JM (sejak 1995) UD. Fd (sejak 1994)
Blora UD. CJ (sejak 2006) UD. JM (sejak 2005)
Wonosobo PT. PPA (sejak 1989) VM (sejak 1992)
Karakteristik Industri
Jenis Produk
Jati Mustikal TK
Rata-Rata
Tujuan Pasar
Omzet
Kap. Pasang
(Orang)
(Rp. Juta)
(m3)
(m3 log/bln)
10
200
500
50
Wonogiri
-
3
21
48
20
Wonogiri
-
52
Bandung, Bogor, Bali, Surabaya
-
Kaliman tan
Malaysia, Arab, Eropa
Kayu gergajian, mebel, handycraft Mebel
Mebel Kayu gergajian, Mebel, Handycraft
11
180
450
Kebutuhan Kayu
Domestik
Luar Negeri
27
961,92
1200
375
Veneer Albasia
100
2000
4500
600
Semarang
-
Mebel
3
24
50
36
Wonosobo
-
Sumber: Dikompilasi dari Data Primer, 2012.
Tidak banyak industri yang berusaha di Kab.Wonogiri karena mayoritas pedagang pengumpul atau pedagang besar memasarkan kayu log nya langsung ke Jepara. Pemain industri lokal UD. JM dan Fd di Kab.Wonogiri ini bukanlah pemain baru, namun pemain lama yang memiliki industri berskala usaha kecil (dengan kapasitas terpasang < 6000m3) dan beromzet juga kecil (berkisar antara Rp 20 juta - Rp 200 juta pada tahun 2011). Oleh karena skala usahanya kecil, maka kebutuhan kayu log pun tidak terlalu besar, yaitu sekitar 20-50 m3 per bulannya, namun itupun tidak selalu tercukupi dari pasokan petani
37
kayu rakyat dari sekitar Kab. Wonogiri sehingga tidak jarang harus mencari pasokan kayu hingga ke Kab. Blora atau Gunung Kidul. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga ditemui pada industri kayu di Kab. Blora. Umumnya pengusaha industri di Kab. Blora adalah pemain baru, yaitu UD. CJ dan UD. JM, yang berdiri sejak tahun 2005 an. Rata-rata industri di Kab. Blora ini termasuk kedalam skala usaha kecil (berdasarkan kapasitas terpasang industri < 6000m 3) dengan omzet Rp 961,92 juta pada tahun 2011 dan kapasitas terpasang industrinya sekitar 1200 m3 dan kebutuhan kayu log nya sekitar 52 - 375 m3 per bulannya. Pemasaran produk handicraft dari industri di Kab. Blora tersebut sudah berorientasi ekspor, yaitu ke Malaysia, Arab dan Eropa, selain ke pasar domestik di Kalimantan. Industri di Kab. Wonosobo sebenarnya berjumlah banyak, yaitu sekitar 168 usaha industri dengan berbagai skala usaha, namun hanya 48 usaha legal yang memiliki ijin usaha dari Pemkab Wonosobo dan sisanya 120 usaha adalah illegal atau informal. Diantara usaha industri yang legal tersebut terdapat PT. PAP yang telah berdiri sejak tahun 1989 dengan omzet Rp 2.000.000.000,-; kapasitas terpasang industrinya 4500 m3 dan kebutuhan kayu log nya sebesar 600 m3 per bulan. Selain itu, usaha VM yang berskala usaha kecil (dengan omzet hanya sebesar Rp 24 juta) dan telah berdiri sejak tahun 1992 dengan kapasitas terpasang 50 m3 dan kebutuhan kayu log nya sebesar 36 m3 per bulan. Sebanyak 120 industri yang illegal dan informal di Kab. Wonosobo bergerak di bidang usaha sawmill namun usahanya ini sering berubah dan mudah berpindah tempat tergantung pada keberadaan penebasnya serta mereka umumnya bekerja tergantung keadaan jika mau bekerja dan jika malas tidak bekerja. Kondisi yang dihadapi oleh industri illegal ini merupakan kendala yang dihadapi Pemkab Wonosobo untuk membina para pengrajin (industri) tersebut, disamping keterbatasan dana pembinaan tentunya. Dari keragaan industri penampung dan pengolah kayu rakyat di Kab.Wonogiri, Kab. Blora, dan Kab. Wonosobo maka dapat dihitung bagaimana kelayakan bisnis dari masingmasing pelaku „agen‟ perdagangan kayu rakyat dan dapat juga dilihat „agen‟ perdagangan mana yang memperoleh keuntungan tertinggi dari rantai perdagangan kayu rakyat di 3 ( tiga) kabupaten tersebut. Tabel 9 menyajikan B/C Ratio dan R/C Ratio dari agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Blora, dan Kab. Wonosobo. Kelembagaan pasar yang memperoleh keuntungan dan manfaat sangat bervariasi pada rantai perdagangan, baik di Kab. Kab. Wonogiri, Kab. Blora, maupun di Kab. Wonosobo. Di Kab. Wonogiri, agen pedagang besar memiliki R/C ratio = 2,33 dan B/C ratio = 1,33
38
lebih besar daripada pedagang kecil dengan R/C ratio = 2,21 dan B/C ratio= 1,21 maupun industri dengan R/C ratio = 2,12 dan B/C ratio = 1,12. Kondisi ini terjadi karena umumnya pedagang besar lah yang memiliki mobilitas dan frekuensi tinggi dalam pemasaran kayu rakyat hingga ke sentra mebel Jepara. Pedagang kecil umumnya memasarkan kayu rakyat tersebut dari tetangga ke tetangga, yang masih memiliki hubungan kekerabatan (saudara) sehingga nilai jual dan keuntungan pun tidaklah terlalu besar. Demikian pula untuk industri, seperti yang tertera pada Tabel 8 diatas, omzet dan skala usaha rata-rata industri di Kab. Wonogiri yang kecil serta produk yang dihasilkan juga sangat sederhana sehingga keuntungan yang diperoleh juga relatif kecil. Fakta di lapang menunjukkan bahwa mobilitas dan lalu-lintas industri kayu di Kab. Wonogiri juga tidak terlalu ramai dan tidak hiruk-pikuk (hectic).
Tabel 9. BC Ratio dan RC Ratio dari Pelaku Perdagangan Kayu Rakyat di Kab. Blora, Kab. Wonosobo dan Kab. Wonogiri, Jawa Tengah Keterangan Agen Pemasaran/Kab.
Penerimaan
Biaya
Benefit
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
B/C Ratio
R/C Ratio
Kab. Wonogiri a)
a) Pedagang Kecil
125,1
56,8
68,3
1,21
2,21
b)
b) Pedagang Besar
979,1
420,2
558,9
1,33
2,33
c)
c) Industri
1310,2
617,5
692,7
1,12
2,12
Kab. Blora a)
a) Pedagang Kecil
100,8
36,0
64,8
1,80
2,80
b)
b) Pedagang Besar
459,5
118,5
241,0
2,03
3,03
c)
c) Industri
1629.3
688,9
940,4
1,37
2,37
Kab. Wonosobo a)
a) Pedagang Kecil
35144,1
13154,7
21989,4
1,67
2,67
b)
b) Pedagang Besar
53090,0
23000,0
30090,0
1,31
2,31
c)
c) Industri
57700,0
22455,0
35245,0
1,57
2,57
Keterangan: Diolah dari data Primer (2012)
Berbeda kondisinya dengan Kab. Blora, di sana pedagang kecil maupun pedagang besar memiliki R/C ratio dan B/C ratio jauh lebih tinggi daripada industri. Jika R/C industri sebesar 2,37 (B/C = 1,37) maka R/C pedagang kecil sebesar 2,80 (B/C = 1,80) dan R/C pedagang besar 3,03 (B/C = 2,03). Keberadaan industri di Kab. Blora sangat terbatas dan dapat dihitung jari jumlahnya. Jumlah pedagang kecil jauh lebih banyak daripada
39
pedagang besar, namun penerimaan seluruh pedagang besar jauh lebih besar daripada penerimaan total seluruh pedagang kecil
(lihat Tabel 8), artinya pedagang kecil ini
memiliki mobilitas perdagangan yang tinggi di Kab. Blora, seiring dengan tingginya permintaan kayu oleh pasar dan karena kualitas kayu Blora relatif bagus. Pedagang kecil inilah yang langsung berhubungan dengan petani yang ingin menjual kayu rakyat, selanjutnya ia menjual ke pedagang besar, yang tidak sedikit mengolah kayu dari pohon menjadi kubikasi sehingga harus mengeluarkan biaya pengolahan kayu yang cukup besar daripada pedagang kecil, yang hanya mengeluarkan biaya angkut, transportasi dan biaya ijin. Peran 3 (tiga) pedagang besar di Kab. Blora cukup besar dalam rantai perdagangan kayu Jati, yaitu setelah membeli kayu dari petani, mengolah kayu menjadi log, dan menjualnya ke Jepara atau Semarang. Industri pengolah kayu yang menonjol di Kab. Blora terpusat di Jepon, namun dengan skala usaha yang kecil, sehingga kurang dapat menampung hasil penjualan kayu log. Hiruk-pikuk perdagangan dan industri kayu rakyat lebih terasa di Kab.Wonosobo daripada di Kab. Wonogiri dan Kab. Blora. Lalu-lintas perdagangan kayu rakyat sangat ramai, dengan truk-truk pengangkut kayu Sengon hilir mudik dari dan ke Sopuran - salah satu sentra industri kayu di Kab. Wonosobo - sehingga dapat dikatakan bahwa industri kayu rakyat disana adalah penggerak ekonomi kayu di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Frekuensi dan mobilitas hampir berimbang antara satu agen dengan agen pemasaran lainnya di Kab. Wonosobo ini dan berimplikasi terhadap keuntungan dan manfaat yang diterima bagi pedagang kecil, pedagang besar maupun industri, sehingga memiliki R/C ratio yang hampir sama. Namun jika dirinci lebih detail, maka R/C ratio pedagang kecil lebih tinggi daripada R/C ratio industri dan pedagang besar, yaitu jika R/C ratio pedagang kecil sebesar 2,67 (B/C ratio = 1,67) relatif lebih tinggi daripada R/C ratio industri sebesar 2,57 (B/C ratio = 1,57) dan pedagang besar dengan R/C ratio = 2,31 (B/C ratio = 1,31), karena umumnya pedagang kecil (penebas) lah yang selalu berhubungan dengan petani dengan membayar tunai kayu yang ditawarkan petani, dan penebas ini mendapat dana tunai dari pedagang besar (supplier) sementara supplier selalu dibayar giro dengan tempo selama 3 (tiga) bulan oleh industri, disamping pedagang besar ini juga harus mengeluarkan biaya untuk mengolah kayu menjadi log yang siap dijual ke industri, yang tersebar di sekitar Wonosobo dan Temanggung. Distribusi keuntungan dan manfaat yang diterima oleh agen pemasaran kayu rakyat di 3 (tiga) kabupaten ini diprediksi akan mengalami perubahan (dengan adanya „premium price‟ melalui kontrol kualitas kayu yang lebih baik) sebagai dampak dari kebijakan SVLK yang diterapkan Pemerintah. Selain itu, melalui kebijakan SVLK, kepemilikan (property
40
right) kayu rakyat menjadi jelas oleh petani. Sertifikasi ini diterapkan tidak hanya ke petani rakyat semata namun juga hingga ke usaha kecil (pengrajin) dan industri kehutanan, baik primer, seperti penebangan/pengolahan kayu dan restorasi ekosistem, yang diberi batas waktu mengikuti SVLK hingga Desember 2012, maupun industri sekunder, seperti kerajinan kayu, industri mebel dan lainnya, yang diberi batas waktu mengikuti SVLK hingga Desember 2013. Dengan demikian maka nilai R/C ratio dan B/C ratio yang telah diperhitungkan bagi agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Blora, maupun di Kab. Wonosobo juga diprediksi akan berubah.
4.
PENGARUH SERTIFIKASI LEI DAN SVLK TERHADAP KEADILAN PERDAGANGAN KAYU RAKYAT
Dengan maraknya perdagangan kayu illegal, baik didalam negeri maupun ke pasar ekspor, maka Pemerintah (dalam hal ini, Kemenhut) menerbitkan aturan bahwa semua kayu yang diperdagangkan maupun yang diolah harus disertai surat-surat resmi. Aturan legalisasi ini sebenarnya bukanlah aturan yang baru, namun selama ini implementasi di lapang yang lemah karena bersifat voluntary (LEI), sehingga dipandang perlu diterbitkan aturan yang bersifat mandatory, yaitu SVLK. Sertifikasi kayu rakyat, baik LEI (yang bersifat voluntary) di Kab. Wonogiri maupun SVLK (yang bersifat mandatory) di Kab. Blora dan Kab. Wonosobo, merupakan instrumen dan aturan untuk menekan illegal logging pada perdagangan kayu. Bukti kepemilikan sertifikat SVLK untuk Gapoktanhut “Jati Mustika” di Kab. Blora dan APHR “Joko Madu” serta sertifikasi untuk industri yang diberikan pada PT. ABP, disajikan pada Gambar 18. Kepemilikan lahan menjadi titik permasalahan krusial ketika dihadapkan pada pengurusan atau pengajuan SVLK oleh para petani. Prasyarat utama dari pengurusan awal SVLK adalah adanya bukti kepemilikan lahan hutan rakyat yang legal, yaitu dapat berupa sertifikat, letter C, dan SPPT. Letter C dimungkinkan karena banyak petani yang tidak mempunyai sertifikat, dan tidak mampu membiayai pembuatan sertifikat lahan. Untuk kepemilikan Letter C, masyarakat banyak mengalami kesulitan karena sebagian besar lahan merupakan warisan dari orang tua. Oleh karena itu, pada tahun 2009 kantor Badan Pertanahan Kab. Blora melakukan upaya pendataan tanah. Namun, akibat kendala pembiayaan, dan masyarakat tidak bersedia untuk secara swadaya membiayai proses pembuatan sertifikat tanah, maka pada tahun 2010 upaya untuk mensertifikasi tanah hutan rakyat macet. Pada tahun 2011, bersamaan dengan pencanangan SVLK oleh Kemenhut (melalui Dinas Kehutanan Kab. Blora) maka upaya sertifikasi tanah
41
dilakukan secara komunal melalui pembentukan kelembagaan Gapoktanhut “Jati Mustika”,
sebagai
prasyarat
untuk
sertifikasi
kayu
SVLK
dengan
bantuan
pendampingan dari LSM ARuPA, yang didanai oleh Multistakeholder Forestry Program (MFP) dan disponsori oleh Inggris.
Gambar 18. Bukti Kepemilikan Sertifikat SVLK Gapoktanhut “Jati Mustika” di Kab.
Blora dan
Sertifikat SVLK Industri “PT. ABP” di Kab. Temanggung
Dengan adanya SVLK, maka setiap kayu dan produk turunannya yang diperdagangkan untuk ekspor maupun pasar domestik harus diketahui asal-usulnya secara formal, sehingga sertifikat SVLK tidak hanya diterbitkan untuk kelompok petani rakyat saja namun juga industri pengolah kayu pun harus memiliki sertifikasi SVLK tersebut. Melalui sertifikasi ini, setiap kayu yang diperdagangkan diberi stiker dan kode baris (barcode) yang dapat dibaca oleh instansi berwenang - Dinas Kehutanan Kab. Blora - bagi kayu yang diperdagangkan di wilayah Kab. Blora dan sekitarnya. Sejak diterbitkan sertifikat SVLK di Kab. Wonosobo dan Kab. Blora pada tanggal 11 Oktober tahun 2011, belum ada perubahan signifikan secara ekonomi terhadap aktivitas perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo dan Jati Kab. Blora dengan SVLK-nya. Demikian pula halnya dengan LEI di Kab. Wonogiri, samasekali tidak ada perubahan ekonomi secara signifikan yang dapat dirasakan oleh para agen perdagangan, walaupun sudah diimplementasikan sejak 5 (lima) tahun yang lalu. Tabel 10 menggambarkan keragaan kelembagaan dan perdagangan setelah adanya LEI dan SVLK.
42
Perubahan yang dirasakan petani dengan adanya sertifikasi LEI di Kab. Wonogiri dan SVLK Jati di Kab. Blora dan SVLK Sengon di Kab. Wonosobo hanya terbentuknya kelembagaan/organisasi petani kayu rakyat. Forest Management Unit (FMU) mencakup 4 kelompok tani di Kab. Wonogiri, Gapoktanhut “Jati Mustika” di Kab. Blora dan Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) „Joko Madu‟ di Kab. Wonosobo merupakan syarat bagi pengurusan LEI atau SVLK. Salah satu pertimbangan perlunya terbentuk kelembagaan petani ini adalah karena untuk biaya formalisasi dan pengurusan sertifikat LEI dan SVLK tidaklah murah (biaya pembuatan sertifikat mencapai Rp 50 juta – Rp 80 juta untuk masa berlaku 5 tahun dan biaya monitoring Rp 10 juta per tahun), sehingga biaya sertifikat menjadi lebih murah jika dibayarkan secara berkelompok. Pada tahap awal pengurusan sertifikasi difasilitasi oleh LSM Persepsi untuk LEI (tahun 2007) di Kab. Wonogiri dan LSM ARuPA untuk sertifikasi SVLK di Kab. Blora dan Wonosobo (tahun 2011). Tabel 10. Keragaan Kelembagaan dan Perdagangan yang berbeda setelah adanya SVLK di Kab. Blora dan Wonosobo dan LEI di Kab. Wonogiri No.
Daerah Sentra Kayu Rakyat
Keterangan Kab. Blora
Kab. Wonosobo
Kab. Wonogiri
1.
Jati Jenis kayu rakyat yang diperdagangkan dan jenis (SVLK) sertifikasi
Sengon (SVLK)
Jati, Mahoni, Akasia (LEI)
2.
Kelembagaan Petani yang terbentuk sebagai syarat Sertifikasi
1. APHR “Joko Madu” 2. Koperasi „Joko Madu”
Forest Management Unit (FMU)4 kelompok tani di 4 desa.
3.
Rencana perdagangan Ada penjajagan kayu di masa mendatang kemitraan dgn setelah LEI dan SVLK MoU industri meubel “Jawa Furnish” di DIY
Ada penjajagan kemitraan dgn MoU antara industri “PT. ABP” di Temanggung
- Tidak ada MoU kemitraan dgn industri pengolah kayu di masa mendatang
4.
Ukuran Kayu yang dijual setelah LEI dan SVLK
Piton: medelen 50 cm
Piton: medelen 80cm
1. Kayu Gapoktanhut “Jati Mustika” 2. Koperasi “Jati Mustika”
Piton: medelen 7-10cm dan panjang 7-8m
Sumber: Hasil Wawancara dengan Stakeholder, Observasi, dan FGD, 2012
Selain itu, pembentukan kelembagaan ekonomi rakyat juga menjadi syarat bagi realisasi SVLK kedepannya, seperti berdirinya koperasi “Jati Mustika” di Kab. Blora dan koperasi “Joko Madu” di Kab. Wonosobo. Kedepannya jika sertifikasi ini telah direalisasikan secara utuh maka transaksi jual-beli kayu legal dari petani - sebagai penjual kayu - dan industri - sebagai pihak pembeli kayu rakyat - dapat menggunakan kelembagaan koperasi yang telah dibentuk di masing-masing kabupaten tersebut.
43
Adanya LEI dan SVLK dirasakan petani penatalaksanaan data-data kayu milik petani kayu Jati di Kab. Wonogiri dan Kab. Blora dan kayu Sengon di Kab. Wonosobo menjadi lebih tertib. Namun demikian, keberadaan FMU, Gapoktanhut “Jati Mustika”, dan APHR „Joko Madu‟ membawa konsekuensi terhadap rumahtangga petani, karena begitu tergabung kedalam kelompok tani (Gapoktanhut/APHR) maka ada peraturan kolektif yang harus diikuti petani, yaitu jika ingin menebang dan menjual pohon maka harus seijin Gapoktanhut/APHR. Padahal, selama ini petani rakyat bebas menjual „tebang butuh‟ kayu rakyatnya untuk „bridging fund‟ memenuhi kebutuhan rumahtangga yang mendesak, termasuk untuk kepentingan sekolah, menikahkan anak, „buwok‟ (sumbangan ke tetangga yang ada hajatan), dan kebutuhan rumahtangga lainnya. Dengan demikian jelas bahwa adanya kelompok (Gapoktanhut/APHR) akan membatasi jual kayu „tebang butuh‟ sehingga tidak dapat membantu petani ketika mengalami kesulitan ekonomi, kecuali jika „bridging fund‟ yang dapat menanggulangi kesulitan ekonomi rumahtangga petani, dapat disediakan oleh Gapoktanhut/APHR tersebut. Berdasarkan kondisi perdagangan kayu yang akan berlangsung di masa mendatang maka dapat diestimasi pengaruh SVLK terhadap ekonomi petani kayu rakyat. Berikut ini adalah beberapa fakta pengaruh sertifikasi LEI terhadap perdagangan kayu rakyat di Kab. Wonogiri dan estimasi pengaruh SVLK terhadap perdagangan kayu Jati di Kab. Blora dan kayu Sengon di Kab. Wonosobo. (1)
Sertifikasi LEI di Kab. Wonogiri Fakta yang ada menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pengaruh sertifikasi LEI - disahkan sejak tahun 2007 - terhadap perdagangan kayu Jati di Kab. Wonogiri. Di lapang justru yang terlihat jelas adalah dampak dari Program Gerhan - dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2004 – berupa direct value (yaitu pola tanam padi sawah lebih intensif), indirect value (yaitu ketersediaan volume/debit air yang besar) dan intangible value (yaitu lingkungan menjadi „hijau royo-royo‟, tidak gersang, dan adanya view yang indah) daripada manfaat ekonomi sertifikasi LEI. Berikut Tabel 11 adalah pandangan dari pengalaman berbagai agen perdagangan kayu Jati di Kab. Wonogiri terhadap sertifikasi LEI. Dari Tabel 11 ditunjukkan bahwa hampir semua agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Wonogiri yang berpandangan positif terhadap keberadaan sertifikasi LEI dengan adanya ketenangan, keamanan dan kenyamanan dalam pengangkutan penjualan kayu karena adanya LEI menjadi sah secara hukum dan legal, disamping dapat memperluas jaringan pasar dan harga jual yang akan tinggi jika „premium
44
price‟ terealisir. Namun demikian, pandangan negatif dikemukakan oleh agen perdagangan kayu rakyat tersebut manakala berhadapan dengan adanya tambahan biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk pengurusan sertifikat LEI tersebut. Biaya tambahan tersebut menjadi beban bagi agen perdagangan karena pangsa pasar masih relatif kecil dan bersifat lokal dengan lingkup kecamatan atau kabupaten dan belum berorientasi ekspor, sehingga usaha perdagangan tetap berjalan ada atau tanpa sertifikasi LEI tersebut. Tabel 11. Pandangan Agen Perdagangan Kayu Terhadap LEI di Kab.Wonogiri Pandangan terhadap Sertifikasi LEI
Agen Perdagangan Kayu Rakyat
Positif -
Pedagang Kecil -
-
Pedagang Besar -
Industri -
Negatif
Membuktikan kepemilikan kayu dan bukti sah kayu tersebut Mempermudah kontrol peredaran kayu di Giriwoyo Membantu kelancaran, ketenangan dan keamanan pedagang dalam pengangkutan kayu karena sah secara hukum dan legal
-
Adanya sertifikat LEI memberikan ketenangan dan keamanan dalam usaha dan pengangkutan kayu Menambah jaringan dalam pemasaran kayu dengan adanya kemitraan dengan industri di Bali Proses pengiriman kayu ke luar daerah menjadi tidak terhambat karena ada LEI
-
Memperluas pasar dan meningkatkan persaingan dengan pedagang lain Industri lebih dipercaya dengan adanya kayu yang diperdagangkan telah mengantongi LEI Memberikan kenyamanan dan ketenangan berusaha jika ada LEI Kayu aman dalam pengangkutan dengan menunjukkan sertifikat LEI
-
-
-
Menambah biaya yang harus dikeluarkan sebagai kewajiban yang harus dibayar untuk memperoleh sertifikasi LEI Harga kayu tidakkunjung naik karena „premium price‟ tidak pernah ada Menambah biaya operasional jika LEI harus dibayar sendiri oleh petani Adanya daerah yang menerapkan biaya administrasi tambahan ketika LEI direalisasikan Tidak dapat meningkatkan nilai jual karena „premium price‟ tidak pernah muncul
- Adanya tambahan pos biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan LEI - Usaha industri tetap berjalan ada atau tidak ada sertifikasi LEI
Sumber: Dikompilasi dari Survei dan FGD di Kab. Wonogiri (2012)
Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan sama sekali baik sebelum maupun setelah disahkannya sertifikat LEI dalam perdagangan kayu di Kab. Wonogiri. Walaupun telah terbentuk FMU, namun perdagangan kayu tetap dilakukan oleh masing-masing petani. Memang pada tahun 2008 pernah ada pedagang besar yang menjual kayu Trembesi ke Bali yang selanjutnya diekspor ke Negara Belgia dan Timur Tengah. Pengurusan penjualan ekspor tersebut dilakukan melalui Tempat Penampungan Kayu Sertifikasi (TPKS) yang ada di Selopuro Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri. Namun itu hanya sekali, selanjutnya tidak pernah ada
45
lagi perdagangan kayu yang tersertifikasi. Oleh karena itu, perdagangan kayu Jati atau kayu rakyat lainnya di Kab. Wonogiri tetap berjalan normal seperti biasanya, ada atau tidak ada sertifikasi LEI. Selain itu, dari hasil FGD dan indepth interview beberapa poin pengaruh sertifikasi LEI pada perdagangan kayu Jati di Kab. Wonogiri, adalah: (a) Value chain tidak berubah sebelum atau sesudah LEI dan tetap kelembagaan perdagangan yang berperan adalah penebas-pedagang kecil-pedagang besar. Tidak ada kelembagaan perdagangan kayu baru yang muncul di Kab. Wonogiri; (b) Premium price yang selalu menjadi iming-iming bagi petani sebagai bentuk kampanye sertifikasi LEI oleh LSM (bahwa harga kayu Jati naik jadi Rp 15 juta/m3 pada tahun 2007) tidak kunjung terealisir sehingga muncul keraguan yang tinggi bagi petani terhadap kelembagaan sertifikasi LEI ini; (c) Secara de facto hingga sekarang tidak ada perubahan harga kayu akibat LEI karena petani kayu rakyat umumnya menjual kayu ke pasar dan bukan untuk ekspor. Harga pada value chain kayu rakyat Jati di Kab. Wonogiri ditentukan oleh ukuran (medelin/lingkar-batang/diameter) kayu dan usia kayu, bukan ditentukan oleh apakah kayu rakyat sudah memiliki sertifikat LEI atau tidak.
Masyarakat/petani kayu rakyat di Kab. Wonogiri menyikapi sertifikasi LEI dengan apatis
setelah
iming-iming
premium
price tidak
pernah
kunjung
datang.
Perdagangan kayu Jati tetap terlaksana secara domestic-subsisten (lihat Tabel 8), dengan „nempil‟ dan „tebang butuh‟ tetap marak. Petani tetap menjual kayu kepada pedagang yang masih memiliki hubungan kekerabatan sebagai solusi saat rumahtangga petani mengalami kesulitan ekonomi yang mendesak. Harga kayu Jati (tegakan) sebelum dan setelah terbitnya sertifikasi LEI tidak berubah, yaitu tetap Rp 3-4 Juta/m3. Bagi para petani rakyat ada atau tidak ada sertifikasi LEI tidaklah masalah karena pengurusan sertifikasi LEI itu difasilitasi dan dibayari oleh LSM Persepsi, termasuk pendampingan dan pembiayaan pengurusan LEI yang tidak murah (mencapai Rp 50 juta - Rp 80 Juta). Hingga kini sertifikasi LEI di Kab. Wonogiri tidak jelas realisasi dan keberlanjutan, terlebih setelah LSM Persepsi tidak pernah kunjung datang melakukan pendampingan lagi.
46
(2)
Sertifikasi SVLK di Kab. Blora Dalam rangka implementasi sertifikasi SVLK untuk menghindari perdagangan illegal logging maka butuh syarat adanya koordinasi dan integrasi kelembagaan perdagangan kayu yang formal, mulai dari petani rakyat hingga industri pengolah kayu. Oleh karena itu, pada bulan Maret 2012 di Kab. Blora dilakukan penjajagan kemitraan perdagangan antara Gapoktanhut “Jati Mustika” dengan industri meubel yang sudah tersertifikasi SVLK, yaitu industri “Jawa Furnish” di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada akhir Mei 2012 telah dilakukan penandatanganan MoU antara industri “Jawa Furnish” dengan Koperasi “Jati Mustika” yang difasiltasi oleh Dinas Kehutanan sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Blora, dengan harapan kemitraan perdagangan kayu rakyat legal yang ber-SVLK dapat terlaksana dengan segera sehingga akan merubah kelembagaan perdagangan kayu rakyat Jati yang ada di Kab. Blora selama ini, seperti yang tersaji pada Gambar 19 berikut ini.
Pembeli Luar Industri/ Pengusah a Besar Pengepul Besar Pedagang Perantara Sebelum Legalisasi Kayu
Pembeli Luar Industri/ Pengusah a Besar
PETANI Gapoktanhut Jati Mustika
Sesudah Legalisasi Kayu
Terjalin Kemitraan dengan Industri “Jawa Furnish” di DIY
PETANI
Gambar 19. Kemungkinan Perubahan Perdagangan Kayu Jati Sebelum dan Setelah Pemberlakuan SVLK di Kab. Blora
Adanya kemitraan perdagangan ini memberi makna negatif bagi keberadaan principal-agen pasar yang selama ini cukup berperan dalam kehidupan petani rakyat.
Dalam
kondisi
normal
tanpa
adanya
sertifikat
SVLK,
pedagang
kecil/penebas dan pedagang besar (pengepul) yang langsung membeli kayu Jati kepada petani secara tunai. Penebas lah yang berperan sebagai bridging fund bagi
47
petani, terutama ketika petani menghadapi permasalahan dengan kebutuhan ekonomi rumahtangga yang mendesak. Ketergantungan petani sangat tinggi terhadap penebas, walaupun petani selalu pada posisi yang dirugikan yaitu sebagai penerima margin keuntungan terendah. Gambar 19 menunjukkan estimasi perubahan yang terjadi dengan adanya sertifikasi SVLK di Kab. Blora sehingga memotong agen perdagangan pada value chain yang selama ini telah terbentuk dalam perdagangan kayu rakyat. Alih-alih dapat memperbaiki keadilan dalam perdagangan kayu rakyat, adanya sertifikasi SVLK di Kab. Blora yang mengharuskan petani rakyat menjual kayu Jati secara formal kepada industri pengolah kayu yang tersertifikasi, diestimasi malahan akan memangkas kelembagaan perdagangan kayu Jati, yaitu penebas (pedagang kecil) dan pengepul (pedagang besar). Berbagai pandangan agen perdagangan kayu rakyat Jati
tentang estimasi sertifikasi SVLK jika kelak direalisasikan pada
perdagangan kayu Jati di Kab. Blora, disajikan pada Tabel 12. Pandangan positif muncul dari semua agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Blora terhadap keberadaan sertifikasi SVLK, yaitu dapat memperluas jaringan pasar (tidak hanya pasar domestic tapi juga ekspor) dan harga jual yang akan tinggi jika „premium price‟ dari insentif SVLK dimasa mendatang terealisir. Harapan SVLK dapat terealisir karena selama ini industri sulit mendapatkan kayu yang legal dan diterima di pasar global. Selain itu, adanya sertifikasi SVLK juga dapat membantu pengembangan pengusaha lokal menjadi pengusaha yang berorientasi ekspor sehingga secara tidak langsung petani juga meningkat keuntungannya. Namun demikian, pandangan negatif juga dikemukakan oleh agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Blora manakala berhadapan dengan adanya tambahan biaya perijinan yang harus dikeluarkan untuk pengurusan sertifikat SVLK tersebut. Biaya tambahan tersebut menjadi beban bagi agen perdagangan karena mayoritas perdagangan kayu rakyat di Blora selama ini memiliki pangsa pasar kecil dan masih berorientasi lokal dan belum untuk orientasi ekspor, sehingga usaha perdagangan tetap berjalan ada atau tidak ada sertifikasi SVLK tersebut. Ketidak-setujuan terhadap SVLK ini juga muncul karena kantor desa (kepala desa) marak dan bebas melakukan pungli dengan ijin-ijin yang dikeluarkannya, yang mana kondisi ini diprediksi tidak akan berubah ketika sudah ada SVLK. Ada atau tidak ada SVLK, tetap muncul transaction cost (pungli) dengan kisaran Rp 50.000 - Rp 75.000 per kayu gelondongan di kantor desa, yang secara turun-temurun sudah dilakukan.
48
Tabel 12. Pandangan Agen Perdagangan Kayu Terhadap Estimasi SVLK jika Diterapkan pada Perdagangan Kayu Jati di Kab.Blora Pandangan Terhadap SVLK
Agen Perdagangan Kayu Rakyat 1. Pedagang Kecil
Positif -
2. Pedagang Besar
-
-
-
3. Industri
-
-
-
Supaya kayu yang dijual aman tidak ditangkap oleh petugas Dinas Kehutanan sehingga tidak ada hambatan dalam penjualan kayu Asal usul kayu jelas karena distempel dan ada barcode Harga meningkat jika benar Premium Price dapat direalisasikan Tidak ada pungutan liar melalui SIT/SKAU atau SKSKB Banyak peluang kerjasama dengan pengusaha dapat terjalin Kayu bisa diekspor ke luar negeri
Negatif
-
-
Ada tambahan biaya administrasi bagi petani untuk mengurus SVLK Petani tidak begitu peduli dengan SVLK karena selama ini menjual kayu ke pasar dalam negeri Implementasi SVLK belum benarbenar diterapkan karena ada atau tidak ada SVLK, pungli tetap ada
Pengrajin lokal jadi lebih mudah menembus pasar global/ekspor kalau bersertifikat SVLK Agar jelas pasarnya dan produk lokal tidak ditolak dipasar ekspor jika dapat menunjukkan SVLK Untuk membantu kemajuan pengusaha lokal, sehingga petani juga merasakan keuntungannya jika dengan SVLK dapat meingkatkan harga jual kayu
-
Adanya SVLK maka penjualan kayu lebih tertib sehingga persaingan harga diantara agen perdagangan bisa ditekan Memudahkan kayu diekspor ke luar negeri jika sudah ber-SVLK SVLK harus dilakukan karena ada harapan harga jual kayu di pasar akan meningkat SVLK dapat mengatasi kesulitan untuk mendapatkan kayu legal dan diterima di pasar global
- Tambahan biaya untuk mengurus sertifikat SVLK - Tambahan petugas untuk menstempel/membuat barcode bagi setiap kayu Jati yang ditransaksikan - Perdagangan tetap berjalan seperti biasa, karena SVLK belum diterapkan sepenuhnya - Makin sulit karena jual beli kayu harus melalui koperasi jika SVLK telah direalisasikan
-
-
Sama saja ada atau tidak ada SVLK, tetap ada pungli Rp 50.000 - Rp 75.000 per kayu gelondongan di level desa Belum ada manfaat dari SVLK, karena pasar kayu selama ini masih dari tetangga ke tetangga Ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh petani/pedagang di masa mendatang untuk mengurus SVLK secara swadana
Sumber: Dikompilasi dari Survei dan FGD di Kab. Blora (2012).
Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada perdagangan kayu rakyat di Kab. Blora, karena sertifikasi SVLK untuk kayu Jati relatif belum lama disahkan oleh Pemerintah, sehingga „hiruk-pikuk‟ sertifikasi SVLK belum cukup berpengaruh terhadap perdagangan kayu di Kab. Blora. Dari hasil FGD dan indepth interview dapat diprediksi dan diidentifikasi pengaruh negatif jika kelak sertifikasi SVLK ini direalisasikan pada perdagangan kayu di Kab. Blora, sbb: (a) Adanya penjajagan kemitraan perdagangan dengan industri yang tersertifikasi SVLK ”Java Furnish” di DIY dengan petani kayu rakyat Jati di Kab. Blora, seprti
49
yang tercantum dalam MoU, diestimasi akan memutus jaringan dan pelaku kelembagaan perdagangan yang ada selama ini, yaitu akan memangkas peran penebas/pedagang kecil dan pedagang besar (lihat Gambar 16 diatas); (b) Adanya SVLK dan jalinan kemitraan dengan industri yang tersertifikasi SVLK ”Java Furnish” di DIY
akan menghilangkan social capital yang telah
terjalin selama ini antara petani kayu rakyat dengan penebas/pedagang kecil dan pedagang besar, karena tidak jarang penebas/pedagang kecil ini berperan sebagai ‟bridging fund‟ bagi petani rakyat pada saat kesulitan dana; (c) Diberlakukannya sertifikasi SVLK dari petani ke industri akan merubah pasar kayu rakyat di Kab. Blora, dari semula oligopoli berubah menjadi monopoli (pemain tunggal: Eksportir JF di DIY) yang diestimasi akan merugikan petani karena menjadi sulit untuk menjual kayu secara bebas dan „tebang butuh‟; (d) Sertifikat SVLK, sama seperti LEI, selalu ada iming-iming premium price sehingga diestimasi akan muncul disinsentif ekonomi dari sertifikasi SVLK selama premium price tidak kunjung dinikmati petani kayu Jati di Kab. Blora; (e) Adanya sertifikat SVLK maka perdagangan kayu rakyat harus melalui kelompok/Gapoktanhut dan koperasi ”JATI MUSTIKA” membuat sistem penjualan kayu ‟tebang butuh‟ oleh petani menjadi sulit karena harus koordinasi terlebih dahulu dengan ketua kelompok Gapoktanhut/koperasi, padahal ‟tebang butuh‟ adalah informal economic institusion yang merupakan economic strategy survival bagi rumahtangga petani kayu Jati di Kab. Blora; (f) Sertifikasi SVLK berkonsekuensi pada property right petani atas hutan rakyat menjadi lemah karena peran Gapoktanhut yang cukup besar sehingga dapat mengatur segalanya, termasuk kapan waktu boleh menjual kayu rakyat dan munculnya rasa khawatir bagi masyarakat jika kayu rakyat disertifikasi maka akan membawa dampak pada menaiknya biaya pajak lahan/PBB; (g) Tidak ada kepastian keberlanjutan sertifikasi SVLK karena konsekuensi biaya perpanjangan dan monitoring sertifikasi yang mahal bagi petani kayu rakyat jika harus mengurus dan membayar swadana tanpa ada pendampingan teknis dan finansial dari LSM ”ARuPA”.
Selain itu, dari hasil FGD dan indepth interview juga muncul poin-poin positif yang dapat diprediksi jika kelak sertifikasi SVLK ini direalisasikan pada perdagangan kayu di Kab. Blora, yaitu: (a) Adanya sertifikasi SVLK memberi pengaruh pada munculnya inisiasi kemitraan dalam jaringan pasar, yaitu kemitraan dengan industri ”Java Furnish” (MoU
50
sudah ditandatangani pada Mei 2012) sebagai penampung kayu rakyat Jati tersertifikasi kedepannya, sehingga dapat memberi kepastian pasar dan harga terhadap kayu Jati di Kab. Blora dan menjadikan kayu Jati berorientasi ekspor; (b) Adanya sertifikasi SVLK yang mensyaratkan perlunya kelompok petani rakyat maka membuat semakin kuat jaringan kelembagaan petani kayu rakyat yang terbangun melalui Gapoktanhut “Jati Mustika” dan juga muncul kelembagaan ekonomi baru, yaitu koperasi “Jati Mustika” yang tumbuh langsung dari masyarakat bawah (grassroot) para petani kayu Jati; (c) Adanya sertifikasi SVLK berdampak pada manajemen hutan kayu rakyat lebih tertata dengan baik: ada pendataan luas lahan, jumlah pohon milik, dan sebagainya, sehingga memudahkan dalam jual-beli kayu oleh petani;
Pengesahan sertifikat SVLK yang baru berjalan 4 (empat) bulan (ketika survey dilaksanakan) tidak begitu kentara pada „hiruk-pikuk‟ perdagangan kayu Jati di Kab. Blora. Masih banyak petani rakyat yang menjual kayunya secara „tebang butuh‟, dan
harga
kayu
ditentukan
berdasarkan
kualitas
kayu
(diameter
kayu,
banyak/sedikitnya „gumbal‟ kayu, dan sebagainya) bukan karena ada atau tidaknya barcode tanda sertifikasi SVLK. Hasil FGD juga terungkap bahwa petani rakyat masih menunggu „premium price‟ jika kayu yang diperdagangkan berlabel SVLK, seperti yang dijanjikan ketika kampanye SVLK. Usaha yang sedang dijajagi Dinas Kehutanan Kab. Blora adalah menjalin kerjasama dengan industri pengolah kayu yang telah ber-SVLK, yaitu “Java Furnish” di DIY, sehingga kelak petani Gapoktanhut “Jati Mustika” dapat menjual kayu Jati nya ke “Java Furnish” melalui koperasi “Jati Mustika”. Namun demikian, fakta yang ada tidaklah se-ideal seperti tersebut diatas, karena masa berlakunya SVLK terbatas hanya 5 (lima) tahun hingga tahun 2016. Pertanyaannya, bagaimana jika perdagangan kayu rakyat melalui kemitraan dengan “JF” belum terealisir tetapi masa berlakunya SVLK telah habis? Jelas, menghadapi masalah perpanjangan sertifikat SVLK. Saat ini, bagi para petani di Kab. Blora, ada atau tidak ada sertifikasi SVLK tidaklah masalah karena pengurusan SVLK pada tahun 2011 difasilitasi oleh LSM “ARuPA” sebesar Rp 50 juta per sertifikat, belum termasuk biaya monev surveyland yang harus dikeluarkan setiap tahunnya.
51
(3)
Sertifikasi SVLK di Kab. Wonosobo Kondisi perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo pasca penerbitan sertifikat SVLK tidak jauh berbeda dengan di Kab. Blora. Perdagangan kayu rakyat yang liberal di Kab. Wonosobo lebih karena perdagangan kayu rakyat Sengon lebih berorientasi pada pasar dengan banyak pembeli dan banyak penjual dan „profit orinted‟ sehingga petani dapat memilih pembeli (pedagang) dengan tawaran harga jual yang lebih tinggi. Ramainya perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo tersebut bukan karena adanya sertifikat SVLK. Untuk mengantisipasi perdagangan kayu illegal maka SVLK harus diterapkan di Kab. Wonosobo, dengan menjalin kemitraan antara APHR “Joko Madu” dengan “PT. ABP” di Temanggung, Jawa Tengah. Gambar 20 berikut menggambarkan perubahan perdagangan kayu Sengon pasca penerapan SVLK di Kab. Wonosobo.
Terjalin Kemitraan dengan Industri berSVLK “PT. ABP” di Temanggung
4
Petani Sengon Hutan Rakyat
2 4
Industri Besar 1
3
Depo dengan dan tanpa Jasa Sawmill (Industri Primer 1)
1
Usaha Meubel
2 1
Supplier (Industri Primer 2)
2
1
Industri Besar 2
1
Penebas 3
3
Pasar Ekspor
Pasar Dalam Negeri
Gambar 20. Perubahan Perdagangan Kayu Sengon Sebelum dan Setelah Pemberlakuan SVLK di Kab. Wonosobo
Gambar 20 memperlihatkan bahwa perubahan perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo pasca sertifikasi SVLK diestimasi akan memangkas kelembagaan perdagangan kayu Sengon yang telah terjalin selama ini, yaitu penebas, depo dan supplier.. Padahal selama ini ke-3 agen perdagangan tersebut yang berhubungan langsung dengan petani dan bahkan sudah terjalinan social capital walaupun petani selalu sebagai pihak yang dirugikan dalam value added distribution nya. Adanya sertifikasi SVLK di Kab. Wonosobo diestimasi tidak akan mensejahterakan petani.
52
Alih-alih dapat memperbaiki keadilan agen petani dalam perdagangan kayu Sengon, malahan terjalinnya kemitraan dengan industri “PT. ABP” di Temanggung memangkas 3 (tiga) agen perdagangan sehingga keadilan pemasaran semakin jauh dari petani Berbagai pandangan dari agen perdagangan kayu Sengon terhadap realisasi SVLK di Kab. Wonosobo ditampilkan pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Pandangan Agen Perdagangan Kayu Terhadap SVLK di Kab.Wonosobo Pandangan Terhadap Sertifikasi
Agen Perdagangan Kayu Rakyat 1. Pedagang Kecil
Positif -
-
-
2. Pedagang Besar
-
3. Industri
-
-
-
-
Negatif
SVLK dapat diterapkan asal tidak membebani petani/penebas dan menjadikan harga jual kayu lebih baik Perlu SVLK agar bisa meningkatkan harga kayu apabila diterapkan SVLK akan ada „premium price‟ SVLK perlu agar ada jaminan harga kayu tinggi dengan kualitas kayu yang terkontrol
-
-Adanya SVLK dapat mengurangi pungli bagi SKAU/SKSKB selama ini Sertifikat SVLK perlu agar perdagangan lancar dan aman di jalan SVLKmemudahkan jual-beli kayu
-
SVLK dapat mengatasi kesulitan suplier bahan baku industri mendapatkan surat angkutan kayu yang akan dikirim SVLK diharapkan dapat mengatasi masalah sulitnya keluar izin pengangkutan bahan baku industri dari Pemkab Dengan SVLK dapat membuka jaringan pasar ekspor selain pasar domestic Menambah keuntungan industri kayu karena melalui SVLK akan terkontrol kualitas kayu
-
Jika premium price ada maka harga kayu rakyat akan naik sehingga manfaat ekonomi yang diterima mulai dari petani, pedagang kecil, pedagang besar hingga industri juga meningkat
-
-
-
-
SVLK akan menambah biaya sertifikat yang tidak murah SKAU cukup legal untuk perdagangan kayu kenapa harus dengan SVLK?
Adanya SVLK maka ada tambahan biaya sertifikat Cukup SKAU/SKSKB saja sehingga tidak ada pemborosan karena harus mengurus sertifikat (SVLK) baru lagi SVLK tidak dapat diterima masyarakat karena sangat mendadak disosialisasikan Ada biaya tambahan untuk pembuatan sertifikat SVLK Untuk kayu rakyat tidak perlu SKAU apalagi sertifikasi SVLK, tapi cukup nota pembelian saja karena diperdagangkan dari rumah ke rumah Menambah pekerjaan untuk membuat barcode atau stempel SVLK
Sumber: Dikompilasi dari Survei dan FGD di Kab.Wonosobo (2012)
Pada tabel 13 ditunjukkan bahwa tidak semua agen perdagangan kayu Sengon di Kab.Wonosobo berpandangan negatif terhadap keberadaan sertifikasi SVLK, tapi ada juga yang berpandangan positif, yaitu bahwa sertifikat SVLK penting untuk jaminan harga kayu Sengon ke depannya, perlu agar perdagangan lancar dan aman di jalan karena dibekali surat-surat resmi SVLK, dapat memperluas jaringan
53
pasar ekspor, dan jika ada „premium price‟ harga jual kayu akan tinggi sebagai insentif SVLK. Jika dimasa mendatang SVLK terealisir maka diprediksi manfaat ekonomi akan diterima mulai dari petani-pedagang kecil-pedagang besar hingga industri. SVLK ini diharapkan dapat terealisir karena selama ini supplier bahan baku industri sulit dalam mendapatkan surat angkutan kayu yang akan dikirim, sehingga SVLK dapat memperlancar perdagangan kayu Sengon. Pandangan negatif atas keberadaan sertifikat SVLK ini juga diungkap oleh agen perdagangan kayu rakyat di Kab. Wonosobo, yaitu akan menambah biaya sertifikat SVLK, disamping biaya produksi dan biaya transaksi yang selama ini sudah besar dikeluarkan, baik oleh pedagang besar maupun industri. Sebagian besar menganggap mengurus sertifikat SVLK baru adalah pemborosan, karena selama ini sudah ada SKAU yang cukup legal untuk perdagangan kayu rakyat. Selain itu, sosialisasi sertifikat SVLK ini dirasakan mendadak karena Desember 2012 harus sudah direalisasikan di tingkat petani dan industri primer, sedangkan di tingkat industri sekunder SVLK harus terlaksana pada Desember 2013, padahal belum tentu seluruh petani, pedagang kecil, pedagang besar dan industri memiliki pemahaman yang seragam tentang sertifikat SVLK tersebut. Oleh karena itu, perlu ditinjau ulang waktu realisasi SVLK tersebut sehingga tidak perlu terburu-buru, sampai semua agen perdagangan benar-benar siap menerima SVLK. Hasil FGD dan indepth interview memperoleh poin-poin pengaruh yang dapat diprediksi jika kelak sertifikasi SVLK ini direalisasikan bagi perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo, yaitu: (a)
Jika SVLK diterapkan homogen bagi seluruh industri kayu rakyat maka banyak usaha industri tereliminasi, karena dari 168 usaha industri hanya 48 usaha industri berijin (sebagai syarat SVLK) dan sisanya belum, sementara untuk mengurus ijin bagi usaha industri kayu olahan relatif sulit karena banyak usaha industri pengolah kayu/sawmill yang bersifat informal dengan karakterisktik: jenis usaha mudah berubah, bekerja saat tertentu saja, mudah pindah tempat dengan mobilitas tinggi dan modal yang terbatas, sehingga sulit jika seluruh industri di Kab. Wonosobo harus ber-SVLK per Desember 2013
(b)
Sama seperti perdagangan kayu Jati di Kab. Blora, adanya sertifikat SVLK bagi kayu Sengon di Kab. Wonosobo juga mungkin akan memotong 2 (dua) value chain, yaitu penebas dan depo/pengepul (lihat Gambar 17 diatas), yang selama ini selalu berhubungan langsung dalam proses jual-beli kayu dan
54
selalu membayar tunai terhadap petani kayu. Umumnya, supplier ini menyediakan ‟bridging fund‟ bagi depo/pengepul, sementara supplier selalu dibayar BG (3 bulanan) oleh industri, sehingga adanya SVLK dengan penjajagan kemitraan industri ber-SVLK, yaitu “PT. ABP” di Temanggung (lihat Tabel 8 diatas) maka lembaga yang ‟bridging fund‟ tidak akan ada lagi; (c)
Adanya sertifikat SVLK, membuat perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo berubah dari struktur pasar oligopoli yang berjalan selama ini menjadi ke arah monopolistik dengan pembeli tunggal yang telah tersertifikasi, yaitu ”PT. ABP” di Temanggung;
(d)
Sertifikat SVLK berdampak pada munculnya disinsentif ekonomi dari perdagangan kayu rakyat Sengon selama premium price tidak kunjung ada dan dapat dinikmati oleh petani kayu rakyat Sengon sehingga petani tidak peduli apakah kayu Sengon yang dijualnya ber-barcode SVLK atau tidak;
(e)
Pada tataran petani, formalisasi pengusahaan kayu melalui kelompok membuat penjualan kayu ‟tebang butuh‟ oleh petani menjadi lebih sulit karena harus dibawah kontrol APHR dan koperasi ”Joko Madu” jika ingin menjual kayu. Petani menjadi tidak fleksibel dalam menebang karena ada aturan kolektif yang harus diikuti dalam perdagangan kayu Sengon;
(f)
Adanya SVLK berdampak pada property right petani atas kayu rakyat Sengon menjadi lemah karena peran APHR ”Joko Madu” yang mengatur segalanya secara kolektif, termasuk kapan waktu boleh menjual kayu rakyat padahal selama ini petani terbiasa menjual ”tebang butuh‟ untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang mendesak;
(g)
Tidak ada kepastian dalam keberlanjutan dari sertifikasi SVLK karena konsekuensi biaya perpanjangan dan monitoring sertifikasi SVLK yang mahal bagi petani kayu Sengon dan barcode SVLK belum merupakan suatu kewajiban bagi perdagangan kayu Sengon di Kab. Wonosobo selama ini.
Beberapa pengaruh positif yang diprediksi jika kelak sertifikasi SVLK ini direalisasikan pada perdagangan kayu di Kab. Wonosobo, yaitu: (a)
Adanya sertifikat SVLK maka berpengaruh pada semakin kuat jaringan kelembagaan kelompok tani melalui APHR ”Joko Madu” dan adanya lembaga ekonomi baru, yaitu koperasi ”Joko Madu” yang tumbuh langsung dari masyarakat (grass root), sebagai prasyarat dari penerapan SVLK bagi perdagangan kayu rakyat Sengon di Kab. Wonosobo;
55
(b)
Dengan sertifikat SVLK, maka dituntut adanya manajemen hutan rakyat yang lebih tertata dengan baik untuk mendukung kualitas kayu Sengon yang diperdagangkan, yaitu ada pendataan luas lahan, jumlah pohon milik, dan sebagainya;
(c)
Adanya sertifikat SVLK dari mulai tingkat petani rakyat (hulu) hingga ke industri (hilir) maka memunculkan inisiasi kemitraan dalam jaringan pasar, yaitu kemitraan dengan industri ”PT Albasia Bhumiphala Persada” di Kab. Temanggung
sebagai
penampung
kayu
rakyat
Sengon
tersertifikasi
kedepannya.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa adanya sertifikat SVLK lebih banyak memberi pengaruh negatif daripada pengaruh positifnya. Sertifikat SVLK belum dapat memberikan keadilan bagi petani kayu rakyat sejauh ia tidak dapat merubah added value distribution bagi petani yang selama ini kerap menerima added value terkecil dari value chain perdagangan kayu rakyat, baik bagi petani rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Blora, dan Kab. Wonosobo. Alih-alih memberi keuntungan pada petani kayu rakyat melalui premium price kayu yang dijual dengan barcode SVLK - yang hingga hari ini masih iming-iming semata - malahan petani harus memikirkan bagaimana pendanaan untuk perpanjangan SVLK, yang nominalnya tidaklah kecil. Namun demikian, apapun pengaruh yang dirasakan petani rakyat, kebijakan sertifikasi SVLK ini harus tetap berjalan pada tahun 2013 dan bersifat mandatory sehingga mau tidak mau harus direalisasikan oleh para petani dan agen perdagangan kayu rakyat.
5.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan yang terkait dengan “Value Chain Perdagangan Kayu Rakyat: Mampukah Sertifikasi Memperbaiki Keadilan Bagi Pelaku Pasar?” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi saat ini perdagangan kayu di Kab. Wonogiri, Kab. Blora dan Kab. Wonosobo memiliki struktur, sistem dan orientasi pasar yang berbeda pada perdagangan kayu rakyatnya. Struktur pasar kayu rakyat umumnya oligopoly dengan system pasar domestic-subsisten dan not profit oriented bagi perdagangan kayu rakyat Jati dan Sengon. Variasi harga pada kayu rakyat sangat ditentukan oleh diameter dan kualitas kayu, dimana harga kayu lebih mahal dengan diameter kayu yang lebih besar dan jumlah gimbal yang sedikit daripada kayu dengan diameter yang lebih kecil (piton) dan jumlah gimbal yang banyak. Semakin panjang value chain dalam perdagangan kayu
56
rakyat maka added value distribution yang diterima agen/pelaku perdagangan kayu akan semakin kecil. Dalam hal ini, petani merupakan agen perdagangan yang selalu menerima added value distribution terkecil padahal petani pula yang harus mengeluarkan biaya produksi (budidaya dan pemeliharaan) yang lebih besar dibandingkan agen perdagangan lainnya, seperti penebas, pedagang pengumpul atau industri. Selanjutnya bagaimana prediksi pengaruh SVLK ke depannya terhadap perdagangan kayu rakyat sebenarnya LEI (walaupun mandeg hingga sekarang) pada beberapa hal dapat dijadikan „lesson learned‟. Alih-alih menghentikan illegal logging pada petani kayu rakyat – yang sesungguhnya memiliki property right yang jelas –sertifikasi SVLK ini malahan menghambat jual ‟tebang butuh‟ yang selama ini kerap dilakukan petani karena ‟tebang butuh‟ merupakan informal economic institution, yang sekaligus dapat menjadi economic strategy survival bagi rumahtangga petani kayu rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Blora dan Kab. Wonosobo. Selain itu, sertifikasi LEI dan SVLK saat ini lebih banyak dirasakan pengaruh negatifnya bagi keadilan agen perdagangan kayu rakyat, di Kab.Wonogiri, Kab.Blora dan Kab.Wonosobo, daripada pengaruh positifnya, yaitu akan memangkas kelembagaan agen perdagangan kayu rakyat yang selama ini berperan sebagai bridging fund bagi petani, melalui kemitraan antara petani dengan industri yang telah tersertifikasi SVLK. Selanjutnya, dari simpulan diatas maka perlu ditinjau ulang Kebijakan Sertifikat SVLK ini, khususnya hal yang terkait dengan target sasaran petani rakyat karena petani rakyat di Kab. Blora dan Kab. Wonosobo bukanlah pelaku illegal logging tapi melainkan petani yang memiliki property right yang jelas dari lahan kehutanannya, berupa tegalan dan pekarangan yang ditanami pohon kayu Jati dan Sengon. Selain itu, dari sisi perdagangan kayu target sasaran petani dilibatkan dalam kebijakan SVLK juga tidak tepat karena para petani di ke-2 kabupaten tersebut mayoritas menjual „tebang butuh‟ dan ukuran Piton, ke pasar dalam negeri, dan sangat domestic-subsisten, sehingga samasekali tidak berorientasi pasar ekspor. Perlu dipikirkan secara komprehensif perdagangan kayu rakyat yang dapat memperbaiki keadilan dari added value distribution, khususnya yang dapat meningkatkan marjin keuntungan bagi petani –yang selama ini sebagai pihak yang selalu mendapatkan kerugian dan margin pemasaran terkecil. Iming-iming premium price dapat segera direalisasikan sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki keadilan pasar bagi petani. Melihat kasus sertifikat LEI di Kab. Wonogiri yang tidak kunjung terealisasi dengan baik karena program pendampingan tidak tuntas oleh LSM Persepsi, maka melalui penelitian
57
ini disarankan agar program pendampingan untuk sertifikasi SVLK di Kab. Blora dan Kab. Wonosobo harus dilakukan hingga perdagangan kayu bersertifikasi dapat terlaksana dengan baik di ke-2 kabupaten tersebut, dengan terealisirnya premium price untuk kayu rakyat Jati dan Sengon yang telah disertifikasi sebagai indicator keberhasilannya.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2012. Kehutanan Lestari: SVLK Diklaim Tekan Deforestasi. Kompas, 25 Juli 2012 halaman 12. Jakarta. Christine Ewasechko, Ann. 2005. Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A Value-Chain Approach. ILO Subregional Office for South-East Asia and the Pacific. ILO Cataloguing in Publication Data. ISBN 92-2-017038-8. Printed in the Philippines. p. 5-16. www.ilo.org/publns. Parlinah, Nunung. 2010. Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Porter, M.E., 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance in Dagmar Recklies. 2001. Recklies Management Project GmbH. www. The manager.org. __________. 1998. On Competition, A Harvard Business Review Book, USA, Boston. __________. 2003a. Session 5: The Diamond Model in Developing Economies, Microeconomics of Competitiveness, Institute for Strategy and Competitiveness, Harvard Business School, Boston, Massachusetts. __________. 2003b. Session 10: National Economic Strategy and the Role of Government, Microeconomics of Competitiveness Spring 2003, Institute for Strategy and Competitiveness, Harvard Business School, Boston, Massachusetts. Soekarni, M. et al. 2009. Peran Value Chain (Rantai Nilai) Dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Kecil Menengah. Penerbit: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. ISBN : 978-602-8659-15-4. Hal: 20-33
58