V.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Salah satu variabel kunci dalam menilai keberhasilan implementasi sebuah kebijakan menurut Winter (1990) adalah respon kelompok target kebijakan. Variabel lain yang juga penting untuk dikaji adalah formulasi atau proses penyusunan kebijakan. Variabel tersebut telah diuraikan pada Bab IV. Dari hasil analisis proses perumusan kebijakan dapat diketahui bahwa proses perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi asumsi model linier, karena penentuan kebijakan tidak didasarkan pada informasi yang memadai untuk menentukan alternatif pilihan terbaik. Berbagai kendala di lapangan tidak diperhitungkan sebagai faktor yang harus ditangani dalam kebijakan yang disusun. Pada bab kelima ini, akan diuraikan kondisi di lapangan dan respon para pemangku kepentingan terkait pelaksanaan kebijakan HTR. Kajian ini dilakukan dengan studi kasus di tiga provinsi yang dipilih secara sengaja (purposive). Tiga provinsi yang menjadi lokasi penelitian adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian implementasi kebijakan HTR adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian kedua yaitu bagaimana para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan HTR dan bagaimana hubungan antara respon tersebut dengan keberhasilan implementasi kebijakan.
5.1
Implementasi Kebijakan HTR Data realisasi kegiatan HTR menunjukkan bahwa kabupaten yang telah
menetapkan areal lokasi HTR sebanyak 97 kabupaten/kota. Tindak lanjut dari kegiatan penetapan lokasi adalah penerbitan izin usaha HTR (IUHPPK-HTR) yang dilakukan oleh Bupati kepada petani pemohon.
Hingga tahun 2010,
IUPHHK HTR telah diterbitkan di 21 kabupaten, meliputi luas areal 87.299,89 ha. Sementara itu target yang dicanangkan pemerintah adalah 5,4 juta ha areal HTR. Kajian implementasi kebijakan HTR di tiga provinsi penelitian menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda-beda.
Provinsi Riau merupakan contoh
provinsi dimana kegiatan HTR belum berjalan hingga tingkat implementasi di lapangan. Kegiatan HTR di Provinsi Riau baru sebatas pencadangan areal yang berlokasi di 2 Kabupaten yaitu Kampar dan Rokan Hulu. Demikian pula dengan perkembangan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Program HTR baru dilaksanakan pada tahap pencadangan lokasi di 6 kabupaten yaitu: Hulu Sungai
100
Selatan, Tabalong, Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, dan Tanah Bumbu. Sementara itu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, telah mencapai tahap penerbitan surat izin usah Pengusahaan Hasil Hutan Kayu HTR, yang diterbitkan oleh Bupati Gunungkidul pada tahun 2009 (Tabel 16). Tabel 16
Data Kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta SK Pencadangan Areal oleh Menhut
Provinsi/Kabupaten Riau Kampar Rokan Hulu Kalimantan Selatan Hulu Sungai Selatan Tabalong Banjar Tanah Laut Kotabaru Tanah Bumbu
Nomor
Tanggal
Luas (Ha)
SK 97/Menhut-II/2009
6 Maret 2009
SK 421/Menhut-II/2010
20 Juli 2010 Jumlah
25,580
8 April 2008 10 Nov 2008 10 Nov 2008 9 Oktober 2009 15 Januari 2010 15 Januari 2010
818 7,490 3,160 5,355 3,900 9,035
Jumlah
29,758
SK 101/Menhut-II/2008 SK 395/Menhut-II/2008 SK 393/Menhut-II/2008 SK 706/Menhut-II/2009 SK 44/Menhut-II/2010 SK 50/Menhut-II/2010
Daerah Istimewa Yogyakarta Gunungkidul SK 118/Menhut-II/2009 IUPHHK-HTR di DIY Pemegang Izin KUD Bima Semanu
12,280 13,300
20 Maret 2009
327.73
SK IUPHHK oleh Bupati 118/Kpts/2009 19 Juni 2009
Luas (Ha) 84.40
Jumlah
327.73
Sumber : Ditjen BPK (2010)
Tabel 17 menyajikan data luas hutan produksi yang ada di tiga provinsi penelitian dan perbandingan proporsinya terhadap luas hutan total, luas areal yang dicadangkan untuk lokasi HTR, dan luas hutan yang telah mendapatkan IUPHHK-HTR. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kawasan hutan produksi yang paling luas terdapat di Provinsi Riau. DIY paling sempit diantara ketiganya.
Sementara luas hutan di Provinsi
Demikian halnya dengan persentase
perbandingan antara luas hutan produksi terhadap luas wilayah Provinsi. Luas hutan produksi di DIY hanya sebesar 4,4% terhadap total wilayah Provinsi DIY, sedangkan untuk Kalimantan Selatan sebesar 18%, dan di Provinsi Riau sebesar 23,82%.
101
Tabel 17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta Aspek
Luas HP (ha)
Luas hutan di Provinsi (Ha) Riau Kalsel DIY 3.837.685
627.672
13.851
Persentase HP terhadap Luas Provinsi
23,82%
18%
4,4%
Luas Areal pencadangan HTR (ha)
25.580
29.758
322,73
Persentase pencadangan HTR terhadap luas HP
0,97%
4,74%
2,3%
-
-
84,40
-
26,15 %
IUPHHK-HTR (ha)
Persentase IUPHHK-HTR terhadap areal pencadangan Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010) diolah
Luas areal hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR paling tinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 4,74%. Di Provinsi Riau, luas hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR tidak lebih dari 1%. Sedangkan di Provinsi DIY proporsi luas hutan yang dicadangkan untuk kegiatan HTR adalah 2,3%. Di Provinsi Riau hampir seluruh kawasan hutan produksi telah dibebani Izin usaha baik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) maupun Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHKHT). Oleh karena itu areal hutan produksi yang ada di Provinsi Riau telah habis terbagi menjadi areal konsesi, sehingga kawasan hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk HTR relatif sangat sedikit. Hutan produksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah dibebani hak kelola di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi. Hutan Produksi di DIY seluas 13.851 ha dikelola Dinas Kehutanan. Oleh karenanya tidak tersedia lahan berstatus hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk kegiatan HTR. Namun demikian, Pemda DIY memanfaatkan lahan lain yang potensial untuk dikelola dengan skema HTR, yaitu lahan berstatus AB
Sistem pengeleloaan
lahan hutan di Provinsi DIY memang unik, berbeda dengan di provinsi lain di Pulau Jawa.
Pada umumnya hutan produksi di Pulau Jawa berada di bawah
pengelolaan Perum Perhutani, namun di Provinsi DIY hutan produksi menjadi
102
wewenang pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena sejak zaman Belanda hutan di DIY berada dalam kekuasaan Sultan Yogya. Gambaran rinci tentang kegiatan HTR di masing-masing provinsi diuraikan pada bagian berikut.
5.1.1
HTR di Provinsi Riau Kawasan hutan di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau meliputi luas
9.456.160 ha.
Hutan produksi tetap dan HP terbatas masing-masing seluas
1.866.132 ha dan 1.971.553 ha* atau 20% dan 21% dari total luas kawasan hutan yang ada di Provinsi Riau. Sementara itu kawasan hutan produksi yang paling luas adalah hutan produksi yang dapat dikonversi dengan proporsi 50%. Luas kawasan konservasi yang meliputi hutan lindung dan suaka alam memiliki proporsi luas tidak lebih dari 10% dari total luas kawasan hutan (Gambar 18).
5%
0%
KSA/KPA
4%
HL
50%
20%
Taman Buru Ht Produks i Tetap HP Terbatas HP Konvers i
21%
Gambar 18 Persentase kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan fungsinya (Sumber : Ditjen BPK 2010, diolah) Lahan HTR dapat dialokasikan pada areal hutan dengan status kawasan hutan produksi. Hutan produksi di Provinsi Riau sebagian besar telah dibebani hak terutama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Usulan lokasi untuk digunakan sebagai areal HTR telah diajukan oleh 2 kabupaten di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Kabupaten Kampar telah mengajukan usulan penetapan lokasi untuk kegiatan HTR.
Berdasarkan arahan indikatif
tersebut, maka pemerintah daerah Kabupaten Kampar kemudian mengusulkan lahan untuk HTR. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan
dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK 9/Menhut-II/2009 tentang pencadangan areal untuk lokasi HTR seluas 12.280 ha.
*
http://www.bsphh3.go.id/data/1.luas kawasan hutan.pdf [1 Nov 2010]
103
Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hulu juga telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan persetujuan pencadangan pembangunan HTR seluas 47.810 hektar, dari luas hutan produksi yang saat ini seluas 175.000 hektar (Haluan Riau, Sabtu, 10 Oktober 2010)*.
Usulan areal
lokasi HTR di Kabupaten Rokan Hulu telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 421/Menhut-II/2010 pada tanggal 20 Juli 2010 seluas 13.300 ha. Setelah mendapat Surat Keputusan Menteri Kehutanan atas pencadangan lokasi
HTR
di
kedua
kabupaten
tersebut,
langkah
selanjutnya
dalam
implementasi program HTR adalah penerbitan izin usaha HTR yang dikeluarkan oleh bupati untuk kelompok tani yang mengajukan. Namun hingga tahun 2010 kegiatan tersebut belum dapat direalisasikan baik di Kabupaten Kampar maupun di Kabupaten Rokan Hulu. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan belum dapat direalisasikannya kegiatan HTR di kedua kabupaten tersebut. Menurut penuturan petugas Dinas Kehutanan Provinsi Riau, kendala yang dihadapi adalah faktor kesiapan pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat calon petani untuk melaksanakan kegiatan HTR. Dinas Kehutanan Provinsi Riau telah melakukan kegiatan sosialisasi program HTR kepada masyarakat di sekitar Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Pada umumnya masyarakat tertarik untuk menjadi peserta HTR, karena mereka akan mendapatkan lahan hutan yang dapat dikelola untuk usaha hutan tanaman. Akan tetapi minat tersebut belum sepenuhnya dapat mendorong terlaksananya kegiatan.
Pengalaman di masa lalu membuat masyarakat trauma untuk
berusaha di bidang tanaman kehutanan. Masyarakat di Riau pada tahun 80-an dengan antusias mengikuti program pemerintah untuk menanam tanaman sengon.
Akan tetapi ketika tanaman siap dipanen, aspek pemasaran tidak
tersedia. Masyarakat sangat kesulitan untuk menjual kayu sengon yang mereka miliki.
Oleh karenanya minat mereka terhadap tanaman kehutanan sangat
rendah. Sementara itu pilihan komoditas perkebunan sangat menarik. Mereka lebih menyukai kegiatan budidaya tanaman sawit dan karet sebagai mata pencaharian utama. Faktor lain selain minat masyarakat adalah kesiapan dari pihak pemerintah daerah sendiri untuk mendorong terwujudnya kegiatan HTR.
Setelah terbit
Harian Umum Haluan Riau. Sabtu, 10 Oktober 2010. Dishut Riau Sosialisasi HTR Rohul. http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14943 [1 Nov 2010]
*
104
Keputusan Menteri kehutanan mengenai alokasi lahan HTR, pihak pemerintah daerah harus melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sasaran dan menyiapkan tenaga pendamping untuk calon peserta. Kegiatan sosialisasi telah terselenggara dengan sumber dana dari pemerintah pusat (Kepala Seksi HTR Dinas Kehutanan Riau
1 November 2010, komunikasi pribadi).
Akan tetapi
untuk melaksanakan kegiatan pendampingan pihak pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupten belum memiliki kesiapan sumberdaya. Kegiatan pendampingan mutlak diperlukan bagi masyarakat calon peserta HTR, mengingat HTR mempersyaratkan beberapa kegiatan birorkrasi dalam hal pengajuan izin
hingga
pelaksanaan
kegiatan
penanaman
di
lapangan.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi petani pemohon IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut P.5/Menhut-II/2008 adalah sebagai berikut: -
Bagi pemohon perorangan yang tergabung dalam kelompok, persyaratan yang harus dipenuhi adalah fotocopy KTP, Keterangan domisili dari Kepala Desa Setempat, Sketsa areal yang dimohon, dan susunan anggota kelompok
-
Bagi pemohon Koperasi, persyaratan yang harus dipenuhi adalah : fotocopy akte pendirian, keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh Masyarakat setempat, sketsa areal yang dimohon untuk luasan diatas 15 ha dengan skala 1:5.000 atau 1: 10.000. Setelah pemohon mendapatkan SK IUPHHK HTR kewajiban yang harus
dipenuhi adalah penyusunan Rencana Kerja Umum dan Rencana Kerja Tahunan. Keseluruhan proses administratif tersebut sulit terlaksana jika petani HTR tidak mendapatkan pendampingan. Sementara itu pihak pemerintah daerah kebupaten maupun provinsi belum dapat menyediakan fasilitas pendampingan tersebut. Oleh karenanya kegiatan HTR di Provinsi Riau belum dapat terealisasi hingga tahap kegiatan nyata di lapangan.
5.1.2
HTR di Provinsi Kalimantan Selatan Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No.435/Menhut-II/2009 (Ditjen BPK 2010) seluas 1.779.982 ha. Luas hutan produksi secara keseluruhan sejumlah 1.040.272 ha yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 762.188 ha (42% dari luas kawasan hutan), Hutan Produksi Terbatas 126.660 ha (7%), dan Hutan Produksi yang dapat
105
dikonversi seluas 151.424 ha (9%). Kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas 213.285 ha (12%) dan Hutan Lindung seluas 526.425 ha (30%). Gambar 19 menunjukkan proporsi kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan Selatan.
9%
7%
KSA/KPA
12%
HL Taman Buru
30%
Ht Produksi Tetap
42%
HP Terbatas HP Konversi
0%
Gambar 19 Persentase luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan fungsinya (sumber: Ditjen BPK 2010)
Direktorat Jenderal BPK (2010) menyampaikan data bahwa hutan produksi di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 854.039 ha telah dimanfaatkan; yaitu seluas 279.361 ha untuk IUPHHK-HA (5 unit), 544.920 ha untuk IUPHHK-HTI (15 unit), dan pencadangan areal IUPHHK-HTR seluas 29.758 ha (Tabel 18) Tabel 18 Izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan No
IUPHHK
Jumlah (Unit) 1. IUPHHK-HA 5 2. IUPHHK-HTI 15 3. Pencadangan HTR 6 Jumlah 26 Sumber : Ditjen BPK (2010), diolah
Luas (ha) 279.361 531.560 29.758 840.679
Persentase Luas (%) 33,23 63,23 3,54
Tabel 18 menunjukkan data bahwa luas areal yang dicadangkan untuk lokasi HTR terdapat di 6 unit, dengan proporsi 3,54% dari luas hutan produksi yang telah dibebani izin. Sementara itu jika dibandingkan dengan luas total hutan produksi, proporsi pencadangan HTR hanya 2,86%. Lahan hutan produksi yang masih belum ditetapkan pemanfaatannya terdapat seluas 199.514 ha sehingga masih dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR.
106
Enam unit lokasi yang telah dicadangkan untuk kegiatan HTR tersebar di enam kabupaten, yaitu : Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Tanah Laut, Kota Baru, dan Tanah Bumbu (Tabel 19). Tabel 19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan No
Kabupaten
1
Banjar
2
Hulu Sungai Selatan
3
Tabalong
4
Tanah Laut
5
Kota Baru
6
Tanah Bumbu
SK Pencadangan Lahan SK.393/Menhut-II/2008 10-Nop-08 SK.101/Menhut-II/2008 08-Apr-08 SK.395/Menhut-II/2008 10-Nop-08 SK.706/Menhut-II/2009 19-Okt-09 SK. 44/Menhut-II/2010 15-Jan-10 SK. 50/Menhut-II/2010 15-Jan-10 Jumlah
Luas (Ha) 3.160,00 818,00 7.490,00 5.355,00 3.900,00 9.035,00 29.758,00
Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010)
Data Ditjen BPK hingga Agustus 2010 menunjukkan meskipun telah terbit SK Menhut untuk pencadangan lokasi HTR di 6 kabupaten, akan tetapi belum ada satupun kabupaten yang menindaklanjuti dengan penerbitan Izin Usaha HTR.
Berdasarkan hasil kegiatan FGD dengan para stakeholder di tingkat
Provinsi Kalimantan Selatan diketahui bahwa pihak pemerintah daerah masih menunggu tindak lanjut kebijakan HTR dari pemerintah pusat khususnya dalam hal pengucuran dana bergulir dari BLU Pusat P2H. Mereka menyatakan bahwa kebijakan dari pusat belum jelas dan lengkap, sementara itu pihak pemerintah pusat yang diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis menyatakan bahwa segala peraturan pelaksanaan HTR telah selesai disusun dan telah cukup lengkap untuk dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Dari kondisi tersebut
terlihat adanya ketidakserasian pemahaman antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. 5.1.3
HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Luas kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi
16.819,52 ha.
Berdasarkan fungsi kawasan hutan tersebut terbagi menjadi
Hutan Lindung seluas 2.057,9 ha (12)%, kawasan suaka alam dan pelestarian alam 910,34 ha (5%), Hutan Produksi Tetap 13.851 ha (83%)(Gambar 20)
107
0% 5%
12% KSA/KPA HL
83%
Taman Buru Ht Produksi Tetap HP Terbatas HP Konversi
Gambar 20 Persentase kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan fungsinya (Sumber : Ditjen BPK 2010) Berdasarkan data pembagian fungsi kawasan hutan, dapat dilihat bahwa hutan produksi di Provinsi DIY berstatus Hutan Produksi Tetap. Pengelolaan kawasan hutan tersebut berada pada kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi, dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi.
Pemerintah Provinsi DIY telah
memanfaatkan seluruh kawasan hutan produksinya dengan mengembangkan tanaman kayu putih. Oleh karenanya peluang untuk mengembangkan skema HTR di kawasan hutan produksi di Yogyakarta tidak lagi dapat dilakukan di lahan tersebut. Di sisi lain, pemerintah daerah Provinsi DIY menyambut antusias skema program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Paradigma Community Based Forest Management (CBFM) benar-benar dikembangkan di Provinsi DIY. Hal tersebut dilakukan demi terwujudnya visi Dinas Kehutanan Provinsi DIY untuk menjadikan DIY sebagai daerah model pengembangan pola CBFM di Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi mencari alokasi lahan lain yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan HTR. Lahan AB (Afkhiring Bosh) merupakan salah satu jenis status lahan yang keberadaanya hanya terdapat di Provinsi DIY. Akar budaya Provinsi DIY yang dipimpin oleh Kesultanan Yogyakarta, memungkinkan pembagian status lahan berada pada kewenangan penuh Sultan Yogya.
Sebagai daerah kerajaan,
Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) mempunyai peraturan sendiri dalam bidang pertanahan (sebelum UUPA berlaku secara resmi di DIY) yaitu Rijksblaad No. 16 Tahun 1918 dan No. 18 Tahun 1919, tentang tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan) (Kusumoharyono 2006). Tanah yang tidak dibebani hak milik perorangan menjadi hak Sultan untuk mengelolanya, termasuk di dalamnya lahan AB.
108
Berdasarkan sejarahnya tanah AB merupakan tanah yang berstatus kawasan hutan negara yang pada pengelolaan kawasan hutan secara definitif kawasan ini dikeluarkan dari unit kawasan manajemen hutan. Salah satu faktor penyebabnya karena luas yang kecil dan sebaran yang sporadis, karenanya menimbulkan kesulitan untuk dibentuk menjadi satu kesatuan sistem dan manajemen kelestarian hutan (Dishutbun DIY 2009). Hasil kegiatan observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya lahan AB merupakan lahan-lahan sempit di tepi hutan, tepi pemukiman penduduk, dan tepi sungai. Lahan AB pada era tahun 1960-an merupakan lahanlahan tidak produktif atau lahan tidur.
Berawal dari kondisi lahan yang terlantar
tersebut, masyarakat yang berada di sekitar lahan AB mamanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim dan tanaman kehutanan di bawah pengawasan pemerintah desa setempat. Hak pengelolaan lahan AB merupakan hadiah Sultan kepada warga yang tidak memiliki lahan atau yang masih membutuhkan lahan garapan.
Hak pengelolaan lahan AB tidak merupakan hak kepemilikan atas
lahan, melainkan hanya berupa hak pengelolaan.
Terdapat perjanjian tidak
tertulis diantara Sultan (sebagai wakil pemerintahan) dengan masyarakat Yogya, bahwa jika sewaktu-waktu lahan AB tersebut diperlukan maka masyarakat wajib mengembalikannya kepada Sultan. Kondisi ini berlangsung sejak tahun 1967 hingga awal tahun 2008. Perubahan status lahan AB dimulai ketika pemerintah Provinsi DIY menetapkan lahan AB akan digunakan untuk alokasi lahan HTR.
Upaya
pemanfaatan lahan AB (Afkhiren Bosch) telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan melakukan penataan kawasan tersebut.
Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta
melakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi hutan eks AB dan diperoleh data bahwa lahan AB meliputi luas 1.773 hektar. Kegiatan penataan batas telah dilakukan untuk lahan seluas 1.100 hektar.
Upaya penataan tersebut terus
dilakukan melalui penyusunan grand design penyelesaian penataan lahan AB (Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta, 8 Agustus 2009 komunikasi pribadi). Optimalisasi kawasan AB menjadi prioritas kegiatan tahun 2009 dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY.
Kegiatan optimalisasi dilakukan
dengan menetapkan lahan AB seluas 327,73 hektar untuk alokasi lahan HTR. Kawasan hutan AB Blok Pacarejo-Candirejo dan Blok Jepitu-Balong-Purwodadi, Kabupaten Gunungkidul merupakan blok yang ditetapkan sebagai calon lahan
109
HTR berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 118/MenhutII/2009 tanggal 20 Maret 2009 (Dishutbun DIY 2009).
5.2
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Kegiatan HTR sangat tergantung pada minat masyarakat petani yang
menjadi sasaran kegiatan. Kegiatan HTR yang merupakan salah satu bentuk peluang mata pencaharian petani akan menarik minat masyarakat jika secara nyata memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan keluarga. Oleh karena itu kajian profil sosial ekonomi masyarakat petani yang akan menjadi sasaran program HTR menjadi penting dilakukan untuk mengetahui kondisi kegiatan petani dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya.
Gambaran profil
sosial ekonomi masyarakat di masing-masing kabupaten terpilih diuraikan pada bagian berikutnya.
5.2.1
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani di Provinsi Riau Jumlah penduduk total di Provinsi Riau sebanyak 5.543.031 jiwa, terdiri
dari penduduk asli dan para pendatang dengan bermacam-macam suku bangsa. Mereka bermukim di wilayah perkotaan dan di pedesaan di seluruh pelosok Provinsi Riau. Adapun suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah Melayu, Jawa, Minang, Tionghoa, Batak, dan Bugis. Suku Melayu merupakan penduduk asli Provinsi Riau dan merupakan suku mayoritas di provinsi ini yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah Riau. Suku Jawa merupakan pendatang yang paling banyak terdapat di provinsi Riau, terutama daerah transmigran dan daerah perkotaan. Penduduk Suku Jawa ada yang bekerja sebagai petani, pegawai negeri, anggota TNI, buruh dan sebagainya.
Penduduk Suku Minangkabau pada umumnya tinggal di
Pekanbaru, Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan wilayah lainnya. Pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang, namun banyak juga yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI, dan lain-lain. Penduduk etnis Tionghoa pada umumnya tinggal di daerah pesisir Provinsi Riau seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Namun sekarang ini banyak juga yang tinggal di daerah perkotaan seperti Pekanbaru dan Dumai.
Masyarakat dari
Suku Batak kebanyakan tinggal di daerah perkotaan. Banyak diantara mereka yang bekerja sebagai PNS, TNI, pedagang, dan lain-lain.
110
Pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79% per tahun selama periode 1998-2002. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,4% per tahun untuk periode yang sama. Penyebab pertumbuhan tersebut adalah tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Provinsi Riau* Provinsi Riau merupakan salah satu dari lima provinsi kaya di Indonesia. Seperti halnya wilayah lain di Pulau Sumatera Riau juga merupakan daerah yang kaya dengan hasil bumi.
Hasil utama dari Provinsi Riau minyak bumi yang
dikelola PT Caltex dan kelapa sawit baik yang dikelola oleh perkebunan negara maupun oleh rakyat.
Perkebunan sawit di provinsi Riau saat ini mencapai luas
1,34 juta hektar. Kegiatan pengolahan kelapa sawit didukung dengan adanya 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi CPO
(crude
palm
oil)
sebanyak
3.386.800
ton
per
tahun
(id.wikipedia.org/wiki/Riau) Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa selain kelapa sawit, di Provinsi Riau juga terdapat perkebunan karet seluas 516.474 ha, terdiri dari perkebunan karet rakyat seluas 496.181 ha; Perkebunan Besar Negara 10.901 ha; dan Perkebunan besar Swasta 9.392 ha.
Gambar 21
menunjukkan salah satu contoh kondisi tanaman karet rakyat.
Gambar 22
merupakan contoh tanaman sawit rakyat.
Gambar 21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau *
(http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Publik/Ekonomi_Regional/Profil/Riau/ Demografi.htm)[14 Nov 2010]
111
Gambar 22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau Serapan tenaga kerja khusus di sub sektor perkebunan sebagian besar berada di perkebunan kelapa sawit sebanyak 688.000 orang, karet 216.554 orang, kelapa 197.218 orang dan aneka tanaman 97.572 orang (Gambar 23) kelapa, 197,218, 16%
karet, 216,554, 18%
aneka tanaman, 97,572, (8%) kelapa sawit, 688,000, 58%
Gambar 23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau (Sumber : BPS Riau 2009) Dalam skala rumah tangga kebanyakan masyarakat petani yang dituju oleh program HTR adalah petani yang selama ini mengelola tanaman karet atau tanaman sawit.
Petani di Provinsi Riau memiliki minat yang tinggi untuk
berusaha di bidang budidaya sawit, karena jenis ini merupakan komoditas andalan bagi masyarakat di Provinsi Riau (Sachiho 2008). Sementara itu usaha di sektor perkebunan karet masih juga tetap menjadi andalan bagi petani, meskipun posisinya mulai digeser oleh tanaman sawit. Nagata dan Arai (2006) sebagaimana dikutip dalam Sachiho (2008) menjelaskan proses peralihan
112
perkebunan di Riau dari yang semula didominasi tanaman karet (tahun 70-an) berubah menjadi perkebunan sawit. Program PIR-Trans yang dimulai di akhir tahun 70-an telah berhasil membangun perkebunan sawit di Provinsi Riau dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa sejumlah lebih dari 132.000 Kepala Keluarga. Program ini telah menambah luas lahan perkebunan sawit. Hingga tahun 2000 tercatat data rata-rata penambahan luas lahan sawit sebesar 42,28%. Pendapatan petani perkebunan sawit terbukti lebih tinggi dibanding sektor perkebunan lain.
Data Statistik Provinsi Riau (BPS Riau 2009) mencatat
terjadinya peningkatan pendapatan petani sejak tahun 1998 hingga 2005. Pada tahun 2005 pendapatan petani sawit sebesar Rp.18.000.000 per tahun, sedangkan petani karet Rp.11.856.000 per tahun. Mempertimbangkan tingkat pendapatan yang tinggi dari usaha perkebunan rakyat, maka petani di Provinsi Riau lebih tertarik berusaha di sektor perkebunan dibanding di sektor tanaman kehutanan. Oleh karenanya kegiatan penanaman hutan oleh masyarakat di Provinsi Riau sangat terbatas. Pengalaman petani di Provinsi Riau dalam kegiatan penanaman tanaman kehutanan terdapat di beberapa lokasi, diantaranya di Desa Lubuk Kebun Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuansing yang menjadi salah satu desa yang diobservasi dalam penelitian. Petani memiliki program hutan rakyat atau hutan milik berupa penanaman 80% karet dan 20% mahoni, dimana bibit dan pupuk disediakan oleh pemerintah.
Jenis tanaman yang dibudidayakan selain karet dan mahoni
terdapat juga jenis akasia, dan sungkai (Peronema canescens Jack.) yang ditanam sebagai tanaman batas. Di desa lain yaitu Desa Rambahan, yang juga diobservasi dalam kegiatan penelitian teridentifikasi adanya kegiatan penanaman tanaman akasia melalui kegiatan kemitraan dengan perusahaan HTI PT RAPP. Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat di Desa Rambahan, luas tanaman akasia yang dikelola dengan pola kemitraan adalah 350 ha. Pelaksanaan kegiatan kemitraan dilakukan melalui kelompok tani dan perusahaan untuk jangka waktu 30 tahun, dimulai sejak tahun 1996. Kewajiban perusahaan adalah memberikan bagi hasil panen di akhir daur tanaman akasia dengan proporsi 40% untuk petani dan 60% untuk perusahaan.
Sedangkan kewajiban masyarakat adalah menyediakan
lahan bagi kegiatan penanaman akasia, selain kewajiban tersebut masyarakat tidak memiliki tugas apapun dalam hal penanaman hingga kegiatan panen.
113
Dengan demikian, kegiatan ini lebih merupakan sewa lahan milik masyarakat oleh perusahaan HTI dalam rangka memperluas areal tanaman akasia. Masyarakat menganggap bahwa kontrak dengan PT RAPP merupakan tambahan bagi penghasilan keluarga dan bukan merupakan sumber mata pencaharian utama. 5.2.2
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Hutan di Provinsi Kalsel Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 37.530 km2 memiliki
jumlah penduduk 3.142 ribu jiwa. Kalimantan Selatan mendapat julukan Seribu Sungai karena daerah ini pada umumnya dialiri oleh sungai dan masih banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sungai. Sungai yang mengalir di provinsi ini sebanyak 62. Pada umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal di pegunungan Meratus dan bermuara di laut Jawa (Dishut Kalsel 2007). Budaya atau tradisi penduduk asli Kalimantan Selatan dikenal dengan tradisi “Urang Banjar”. Ahli sejarah menyimpulkan bahwa budaya Urang Banjar merupakan perpaduan antara suku Dayak, suku Melayu dan suku Jawa. Selain itu, ajaran Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia telah banyak mempengaruhi perkembangan kebudayaan Urang Banjar yang tercermin dari tarian, musik, permainan, pakaian, dan upacara adat. Penduduk asli Kalimantan Selatan umumnya suku bangsa Banjar yang intinya terdiri dari sub suku, yaitu Maayan, Lawangan dan Bukiat yang mengalami percampuran dengan suku bangsa Melayu, Jawa dan Bugis. Identitas utama yang terlihat adalah bahasa Banjar sebagai media umum. Penduduk pendatang seperti Jawa, Melayu, Madura, dan Bugis sudah lama datang ke Kalimantan Selatan. Suku bangsa Melayu datang sejak zaman Sriwijaya atau sebagai pedagang yang menetap, suku bangsa Jawa datang pada periode Majapahit bahkan sebelumnya, dan orang
Bugis
datang
mendirikan
kerajaan
Pegatan
di
masa
lalu
(http:www.indonesia.go.id) Pertanian merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Selatan. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan komoditi utama yang dikembangkan adalah padi sawah dan padi sebagian lagi adalah palawija. Lahan yang digunakan dalam rangka memproduksi tanaman pangan pada umumnya menggunakan lahan sawah yang terdiri dari lahan basah dan perairan pasang surut.
Selain mengembangkan sektor pertanian, Provinsi
Kalimantan Selatan juga mempunyai sektor perkebunan baik yang dikelola perusahaan besar swasta dan pemerintah perkebunan yang dikelola rakyat pada
114
bersifat campuran dan hanya seluruh komoditi utama, sedangkan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah adalah komoditi perusahaan besar swasta adalah kelapa sawit. Pada sub sektor kehutanan telah dikembangkan HTI dan HPH. Produksi sektor kehutanan terdiri dari dua jenis yaitu kayu dan non kayu. Hasil hutan non HPH berupa kayu bulat pada tahun 2004 adalah sebesar 719.980,01 m³ dan kayu olahan sebesar 1.568.715,38 m³ (Dishut Provinsi KalSel 2007). Masyarakat petani yang menjadi target program HTR pada umumnya juga merupakan masyarakat yang memiliki minat tinggi untuk berusaha di sektor perkebunan karet. Statistik perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 menunjukkan bahwa karet merupakan komoditas unggulan Kalsel dengan luas lahan yang telah dikelola sebanyak 133.900 ha dengan produksi sebanyak 108.990 ton pada tahun 2008 (BPS Kalsel 2009). Sementara itu minat masyarakat untuk berusaha di sektor kehutanan masih sangat tergantung pada kegiatan kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kayu.
Beberapa pengalaman masyarakat dalam
mengembangkan hutan tanaman ditemukan di lokasi sampel penelitian yaitu di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung dan Desa Asam Jaya, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut. Jenis tanaman yang dikembangkan di Desa Ranggang adalah mahoni (Swietennia macrophylla).
Bibit tanaman mahoni diperoleh dari pemerintah
dengan adanya program GN-RHL/Gerhan tahun 2003. Setiap petani memiliki 1 sampai 2 blok tanaman mahoni, dimana masing-masing blok seluas 0,75 – 1 ha. Selain bibit, para petani juga memperoleh bantuan pupuk dari pemerintah. Saat ini umur tanaman mahoni yang tertua sekitar 5-6 tahun. Hutan tanaman mahoni yang telah terbangun hingga saat ini tercatat seluas 400 ha, dimana 370 ha merupakan hasil tanaman di lahan milik petani. Dari 10 RT yang ada di Desa Ranggang, hanya 2 RT saja yang bertindak aktif sebagai petani hutan tanaman, yaitu RT 6 dan 7. Warga di kedua RT ini merupakan pendatang/transmigran dari suku Jawa. Sementara di 8 RT lainnya yang merupakan penduduk asli suku Banjar, tidak melakukan kegiatan pembangunan
hutan
tanaman.
Faktor
yang
mempengaruhi
para
pendatang/transmigran untuk aktif membangun hutan tanaman adalah karena ketersediaan lahan yang cukup. Jumlah Kepala Keluarga yang terlibat sebagai petani hutan tanaman mahoni sebanyak 30 KK.
115
Keadaan tanaman mahoni yang telah ditanam sejak tahun 2003 cukup baik.
Para petani cukup antusias merawat tanaman mahoninya karena ada
jaminan pasar dari PT Emida.
Pada tahun 2007 PT Emida yang berkedudukan
di Desa Jorong menjalin kemitraan dengan petani di Desa Ranggang untuk menanam mahoni (Gambar 24).
Perusahaan menyediakan bibit dan pupuk.
Petani melakukan kegiatan penanaman mahoni di lahan milik. Seluas 30 ha tanaman mahoni kemitraan telah terbangun di Desa Ranggang. berjanji akan menampung pasar kayu hasil panen petani.
PT Emida
Perusahaan ini
memiliki pabrik furniture di Mojokerto, yaitu PT Kurnia Anggun, yang menghasilkan produk furniture untuk diekspor ke USA.
Gambar 24 Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel Perjanjian kerjasama antara petani dan PT Emida telah dilakukan dalam bentuk penandatangangan perjanjian kontrak.
Dari hasil wawancara dengan
pihak perusahaan, diperoleh informasi bahwa isi perjanjian kontrak meliputi : 1. Perjanjian kesepakatan antara petani dan perusahaan untuk bekerja sama dalam pemeliharaan dan perawatan tanaman sampai dengan panen dan pemasaran 2. Pihak perusahaan wajib memberikan pupuk yang dirasa perlu dan sesuai dengan kebutuhan pohon mahoni tersebut dan wajib menjamin akan membeli pohon mahoni, serta pembeliannya mengikuti harga yang berlaku saat panen. 3. Petani berkewajiban untuk :
116
-
menjamin keabsahan kepemilikan lokasi beserta tanaman mahoni yang ada di dalam lahan tersebut
-
tenaga untuk pemupukan mahoni menjadi tanggung jawab petani
-
mencegah dan mengendalikan api/bahaya kebakaran
-
tidak memindah tangankan/menjaminkan/menyewakan lahan tersebut kepada pihak manapun dan dalam bentuk apapun
-
tidak berhak memanen/menebang pohon sebelum waktunya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat
-
petani setuju hanya akan menjual pohon mahoni tersebut kepada PT Emida Di Desa Asam Jaya Kecamatan Jorong, telah terjalin kegiatan kemitraan
dengan PT Hendratna pada tahun 2003. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jabon (Anthocephalus cadamba).
Sebanyak 32 petani yang sebagian
besar berada di RT 5 melakukan penanaman di lahan mereka, baik di lahan I maupun lahan II. Selain memperoleh bantuan bibit, petani juga mendapatkan bantuan dana berupa biaya angkut bibit.
PT Hendratna aktif melakukan
kegiatan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat akan peluang usaha di bidang penanaman jabon. Para petani merespon tawaran tersebut dengan antusias.
Mereka dengan semangat melakukan kegiatan penanaman dan
merawat tanaman tersebut agar tumbuh dengan baik. Bahkan ada salah satu petani yang berani melakukan investasi dengan menjual ternak sapinya untuk menambah modal di kegiatan tanaman jabon.
Para petani lain yang tidak
mendapat bantuan bibit dari PT Hendratna pun ikut menanam jabon di lahanlahan tanaman karetnya. Terdapat sekitar 20% dari 224 petani penanam karet yang juga menanam jabon. Setelah berjalan selama kurang lebih 3 tahun, ternyata PT Hendratna tidak lagi menjalin hubungan dengan petani.
Bahkan untuk selanjutnya petani
kehilangan kontak dengan pihak perusahaan, karena ternyata PT Hendratna sedang mengalami masalah dan terancam bangkrut. Hal ini membuat situasi ketidakpastian di kalangan petani. Harapan yang telah ditumbuhkan oleh PT Hendratna, berubah menjadi perasaan kecewa yang sangat mendalam. Akibatnya banyak petani yang membiarkan tanaman jabon.
Bahkan banyak
tanaman jabon yang ditebang dan digantikan dengan tanaman karet. Pada saat ini sebagian petani yang masih memiliki tanaman jabon berharap, agar suatu saat akan ada pihak yang mau membeli kayu hasil panen tanaman jabonnya.
117
5.2.3
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani HTR di di Provinsi DIY Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
telah dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Desa Candirejo dan Pacarejo Kecamatan Semanu.
Kecamatan Semanu terdiri dari 5 desa, yaitu
Pacarejo, Candirejo, Dadapayu, Ngeposari, dan Desa Semanu. Data luas setiap desa di Kecamatan Semanu disajikan pada Gambar 25. Gambar 26 menunjukkan posisi Kecamatan Semanu dalam peta Kabupaten Gunungkidul.
Gambar 25 Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul (Sumber: Dishutbun DIY 2009)
Gambar 26 Peta Kecamatan Semanu (Sumber: Dishutbun DIY 2009) Desa Candirejo merupakan salah satu dari 5 (lima) desa yang ada di Kecamatan Semanu, dengan luas wilayah 2.203,65 hektar (20,31% dari Kecamatan Semanu). Sedangkan Desa Pacarejo memiliki luas wilayah 3.024,312 hektar (28,34% dari Kecamatan Semanu). Jumlah penduduk Desa Candirejo sebanyak 4.037 jiwa yang terdiri dari Laki-laki sebanyak 4.800 jiwa
118
dan Perempuan sebanyak 8.837 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adakah pertanian dalam bentuk pekarangan dan tegalan. Jumlah petani yang menggarap tanah AB sebanyak 200 KK (BPS Kabupaten Gunungkidul 2008). Dalam
kegiatan
penanaman
hutan,
secara
umum
masyarakat
Gunungkidul adalah petani hutan jati. Mereka mengembangkan hutan tanaman jati di lahan-lahan milik (hutan rakyat) maupun di lahan hutan negara melalui skema pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola budidaya tanaman jati telah menjadi tradisi di masyarakat Gunungkidul. Daerah yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain (wikipedia.org/wiki/Jati). Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Kegiatan pengembangan hutan rakyat jati di Kabupaten Gunungkidul berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati untuk kebutuhan industri di Jawa. Data produksi kayu jati di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa dari bulan Januari-November 2008 terdapat sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang dipanen, data ini didasarkan pada jumlah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul (Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut digunakan untuk memasok ribuan industri pengolahan kayu yang menghasilkan produk-produk seperti kayu lapis indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu lainnya. Model penanaman hutan jati di Kabupaten Gunungkidul dilakukan dengan pola tumpangsari dengan tanaman semusim. Hal ini disebabkan karena luas kepemilikan lahan oleh setiap petani relatif sempit sekitar 0,2-1 ha (Jariyah et al. 2003), sehingga banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam hal penggunaan lahan. Pola tumpangsari merupakan alternatif penggunaan lahan yang dapat menampung berbagai kepentingan, baik untuk tujuan budidaya tanaman semusim guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk budidaya tanaman tahunan.
Dengan pola tumpangsari, petani dapat
memperoleh pendapatan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Hal ini
119
merupakan strategi petani untuk menghindari masa paceklik (Jariyah et al. 2003).
Gambar 27 mengilustrasikan kondisi hutan jati di Kabupaten
Gunungkidul.
Gambar 27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil dari kayu jati tanaman rakyat diperlakukan sebagai tabungan jangka panjang. Pola pemasaran dilakukan dengan mekanisme “tebang butuh”, ketika petani memerlukan biaya yang relatif cukup besar, maka pohon jati menjadi andalan untuk mendapatkan uang tunai dengan mudah.
Pasar kayu jati di
Kabupaten Gunungkidul tidaklah sulit, karena kegiatan jual beli kayu telah berjalan cukup lama dan terdapat banyak pengepul kayu yang mendatangi pihak petani pemilik pohon yang akan menjual pohonnya. Kegiatan jual beli pohon jati di Gunungkidul telah berjalan cukup lama, sehingga faktor pemasaran kayu tidak menjadi hambatan berarti dalam kegiatan hutan tanaman jati di lahan milik yang selama ini telah lebih dulu berkembang. Demikian pula halnya dengan program HTR yang baru diresmikan tahun 2008. Pada dasarnya kegiatan HTR di kabupaten ini merupakan lanjutan dari kegiatan hutan tanaman jati yang telah lebih dulu dilakukan di lahan-lahan AB. Hanya saja sejak digulirkannya program HTR maka terjadi pergantian status lahan dari AB menjadi lahan HTR. Sementara seluruh kegiatan produksi mulai
120
dari budidaya tanaman hingga pemasaran hasil panen jati, telah berjalan lebih dulu seperti halnya yang terjadi pada lahan hutan milik. Adapun respon dari para petani terhadap perubahan status mereka yang semula sebagai penggarap lahan AB menjadi petani HTR diuraikan pada bagian selanjutnya. Demikian pula dengan respon pemangku kepentingan di tingkat pemerintah daerah kabupaten dan provinsi, secara rinci diuraikan pada bagian berikut.
5.3
Respon Pemangku Kepentingan di Daerah terhadap Kebijakan HTR Keberhasilan suatu program pemerintah yang digulirkan dari tingkat pusat,
sangat tergantung pada respon pemangku kepentingan di daerah terhadap program tersebut.
Jika pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan di
lapangan memberikan respon yang cukup baik maka terdapat peluang untuk tercapainya tujuan program. Akan tetapi jika pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain yang terkait tidak memberikan respon positif, maka pelaksanaan program akan terancam gagal. Responden dalam analisis ini merupakan pemangku kepentingan di tingkat pemerintah baik provinsi maupun kabupaten. Mereka adalah wakil instansi dari Dishut Provinsi dan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Bappeda Provinsi dan Kabupaten, Dinas Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional tingkat Provinsi, Perusahaan HTI, dan wakil Akademisi. Umur berkisar antara 24 – 63 tahun, dengan pengalaman kerja 0 – 37 tahun dan tingkat pendidikan responden meliputi D3 hingga S2 dari berbagai disiplin ilmu.
Meskipun karakteristik
responden sangat beragam, namun setiap responden merupakan pemangku kepentingan yang terkait dan berkepentingan dengan program HTR.
5.3.1 Respon Pemangku Kepentingan terhadap program HTR Pemangku kepentingan di daerah, dalam hal ini pihak pemerintah daerah dan elemen lain di luar kelompok petani, terhadap program HTR pada umumnya setuju dengan persentase kelompok yang menyatakan sikap setuju sebanyak 83%, ragu-ragu (3.45%), tidak setuju (13,79%) (Gambar 28).
121
Raguragu 3%
Tidak setuju 14%
Setuju 83%
Gambar 28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebojakan HTR Hasil dari pendalaman terhadap pernyataan respon, diperoleh informasi mengenai berbagai alasan dari pernyataan sikap tersebut.
Responden yang
menyatakan setuju menjelaskan bahwa alasan atas sikap mereka adalah bahwa masyarakat memang sangat membutuhkan dibukanya kesempatan atau akses untuk berperan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan milik negara. Kondisi masyarakat sekitar hutan tergolong miskin sehingga mereka perlu diberi kesempatan berusaha supaya dapat mendorong peningkatan taraf kesejahteraan hidup.
Dengan keterlibatan mereka sebagai pemilik ijin pengelolaan hutan
diharapkan akan memunculkan rasa tanggung jawab mengelola sumberdaya hutan secara lestari, dlam rangka mendukung upaya pemberantasan illegal logging dan perambahan. Sikap ragu yang dikemukakan oleh 1 orang responden lebih dilandasi oleh
keraguan
terhadap
prospek
keberhasilan
program.
Pengalaman
sebelumnya memperlihatkan bahwa sebaik apapun konsep program yang ditawarkan pemerintah, namun hasil yang dirasakan masyarakat tidak optimal. Pendapat ini memang cukup beralasan karena berbagai hasil penelitian (Peluso 1992; Lyndayati 2002, Suryamiharja, 2006) menyatakan bahwa kebijakan perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah selama ini belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Sedangkan responden yang menyatakan sikap tidak setuju terhadap program HTR dilandasi alasan bahwa minat masyarakat rendah untuk menanam tanaman kehutanan, karena secara ekonomis sangat rendah daya saingnya dengan usaha tanaman kelapa sawit, di samping itu program ini diduga akan menjadi program pemerintah yang menyedot anggaran yang sangat tinggi. Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten juga menilai tingkat kemampuan masyarakat untuk melaksanakan program HTR. Terdapat beberapa
122
aspek yang ditanyakan untuk memperdalam persepsi pemangku kepentingan di tingkat kabupaten terhadap kondisi masyarakat calon peserta HTR (Tabel 20). Tabel 20 Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan masyarakat No Aspek Setuju Ragu Tidak (%) (%) Setuju (%) 1. Masyarakat sangat berminat terhadap 47 39 14 program HTR 2. Masyarakat mampu memenuhi kewajiban 32 43 25 sebagai peserta HTR 3. Kewajiban peserta HTR sama dengan 14 25 61 kewajiban HTI 4. Masyarakat perlu pendampingan untuk 96 4 0 melaksanakan HTR 5. Masyarakat memiliki potensi untuk bekerja 44 38 17 sama 6. Masyarakat sekitar hutan tidak terbiasa 56 24 21 dengan koperasi Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten menilai minat masyarakat untuk mengikuti program HTR masih belum tinggi. Sikap ragu dari responden (39%) menunjukkan belum adanya keyakinan bahwa masyarakat akan antusias mengikuti program HTR. Faktor yang dinilai menjadi hambatan adalah aturanaturan yang sangat ketat, dan memperlakukan masyarakat seperti perusahaan HTI. Hal ini dinilai sangat memberatkan mengingat keterbatasan kemampuan masyarakat.
5.3.2 Respon pemangku kepentingan terhadap mekanisme perijinan HTR Proses mekanisme perijinan memberikan mandat kepada Bupati untuk mengeluarkan ijin usaha HTR. Respon para pemangku kepentingan terhadap kebijakan penyerahan kewenangan kepada bupati cukup baik, dimana 79% responden menyatakan setuju, 14% ragu-ragu dan 7% tidak setuju (Gambar 29).
Ragu-ragu 14%
Tidak setuju 7%
Setuju 79%
Gambar 29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme perijinan HTR
123
Mekanisme penyerahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah
merupakan
pengelolaan hutan.
sebuah
upaya
menuju
terwujudnya
devolusi
Pertimbangan yang diambil dari keputusan penyerahan
wewenang kepada bupati adalah bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi riel yang terjadi di wilayahnya, sehingga keputusan yang diambil diharapkan akan lebih tepat sasaran. 5.4
Respon Masyarakat Petani terhadap kebijakan HTR
5.4.1 Pengetahuan tentang program HTR Pada saat dilakukan penelitian seluruh masyarakat di lokasi penelitian menyatakan belum pernah mendengar informasi mengenai program HTR, karena sosialisasi tentang program HTR memang belum sampai ke masyarakat. Hal ini terjadi baik di Provinsi Riau maupun di Provinsi Kalimantan Selatan. Di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, pelaksanaan program HTR masih pada tahap persiapan yaitu pengajuan areal calon lokasi.
Sementara itu di
Kabupaten Kuansing Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten belum secara aktif mengajukan proses pencadangan lokasi HTR. Hal ini disebabkan karena masalah tata ruang wilayah yang belum tuntas.
Banyaknya permasalahan
konflik atas lahan juga menjadi penyebab Dinas Kehutanan Kabupaten belum mengajukan usulan untuk mengimplementasikan program HTR. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, petani HTR telah mendapatkan sosialisasi tentang program tersebut dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul.
Pendekatan persuasive dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan
untuk menjelaskan kepada masyarakat penggarap lahan AB bahwa status lahan mereka diubah menjadi lahan hutan negara.
Seluruh masyarakat petani AB
dapat menerima program tersebut, karena mereka menyadari bahwa lahan yang digarapnya adalah bukan hak milik melainkan semacam pinjaman yang sewaktuwaktu dapat diambil kembali oleh Sultan. Akan tetapi masyarakat tetap memiliki harapan jika suatu saat lahan AB tersebut akan menjadi hak milik mereka melalui pemberian hadiah dari Sultan kepada rakyatnya. Dengan berubahnya status lahan AB menjadi lahan hutan negara, maka kewenangan Sultan terhadap lahan tersebut juga berubah. memiliki otonomi terhadap lahan AB.
Sultan tidak lagi
Oleh karenanya harapan rakyat untuk
menjadikan lahan AB sebagai lahan milik tidak lagi dapat diwujudkan. Namun demikian,
masyarakat
dapat
menerima
program
HTR
karena
masih
124
diperbolehkan menggarap lahan tersebut, sekalipun programnya berubah menjadi skema Hutan Tanaman Rakyat. Dalam program HTR, petani disarankan untuk membentuk kelompok tani dan koperasi. Pada masyarakat Gunungkidul, upaya pembentukan kelompok tani dan koperasi dapat terwujud karena adanya dukungan intensif dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat yang berperan secara voluntary mendampingi masyarakat. Keterlibatan peserta HTR dalam pembentukan kelompok maupun kegiatankegiatan pendampingan tidaklah sepenuhnya dilakukan oleh seluruh peserta. Melainkan hanya terbatas pada pengurus-pengurus di masing-masing desa. Terdapat sebanyak 30 orang pengurus dari kedua desa baik Candirejo maupun Pacarejo yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan HTR. Sementara sebagian besar warga yang tercatat sebagai peserta HTR cenderung pasif dan bersikap “manut” terhadap apapun yang menjadi program kelompok.
Sikap
demikian muncul karena adanya kepatuhan yang tinggi terhadap pemerintah. Pemerintah dalam pandangan masyarakat Yogyakarta adalah perwakilan dari Sultan yang semua perintahnya harus ditaati.
Faktor lain yang mendorong
masyarakat untuk mengikuti program HTR adalah kekhawatiran yang tinggi jika peluang mereka menggarap lahan dihentikan.
Selama mereka masih diberi
kesempatan mengelola lahan HTR, maka mereka akan patuh terhadap aturan yang ditetapkan.
5.4.2
Minat masyarakat terhadap program HTR Minat masyarakat di Provinsi Riau berbeda dengan di
Provinsi
Kalimantan Selatan. Meskipun masyarakat belum mendapatkan informasi resmi dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten setempat mengenai program HTR, namun seluruh responden di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan menyatakan ketertarikan untuk menjadi peserta program HTR.
Mereka
mengemukakan bahwa kebutuhan akan lahan sangat tinggi, sehingga jika pemerintah memberikan kesempatan untuk memanfaatkan kawasan hutan negara, masyarakat akan sangat terbantu dalam hal memperluas kesempatan mengembangkan usaha tanaman kehutanan. Sementara itu di Provinsi Riau, minat masyarakat cenderung kurang untuk berusaha di bidang tanaman kehutanan. masyarakat
Hal ini terjadi karena persepsi
terhadap kegiatan hutan tanaman kurang baik.
Pengalaman
125
mereka di masa sebelumnya yang mengalami kegagalan pemasaran kayu sengon membuat mereka tidak tertarik lagi berusaha di bidang tanaman kehutanan. Masyarakat lebih memilih komoditas sawit atau karet yang jauh lebih menguntungkan.
5.4.3 Respon terhadap aturan-aturan dalam program HTR Dari sejumlah aturan pada program HTR, tidak semua dapat dianalisis respon dan penerimaannnya dari masyarakat. Aturan yang dapat dikaji terbatas pada hal-hal yang umum dan penting untuk tahap awal pelaksanaan program. Masyarakat responden diminta untuk menyampaikan responnya pada 2 aturan program HTR yaitu mekanisme perijinan dan jenis tanaman. (1) Mekanisme perijinan. Mekanisme permohonan ijin yang diatur dalam Permenhut P.23/2007 melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan yang harus dilakukan (Nugroho 2009). Terhadap mekanisme perijinan tersebut, petani yang telah tergabung dalam kelompok tani (kasus di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut) menyatakan
belum mempunyai
pengalaman mengurus perizinan sampai ke tingkat Kabupaten. Namun demikian, mereka merasa sudah terbiasa mengelola kegiatan dan membuat laporan. Sementara di Provinsi Riau, masyarakat merasa kesulitan dengan berbagai aturan perijinan yang cukup rumit. Di Kabupaten Gunungkidul, ketua kelompok tani HTR menyatakan sanggup menempuh prosedur perizinan HTR, sedangkan para anggota pada umumnya bersifat pasif dan menunggu tindakan dari pemimpin atau tokoh masyarakat.
Faktor yang menyebabkan para ketua
kelompok tani merasa mampu mengurus administrasi HTR karena adanya kegiatan yang intensif dari pihak LSM dan adanya dukungan kuat dari para tokoh warga. (2) Jenis tanaman HTR Peraturan mengenai jenis tanaman HTR ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P. 06/VI-BPHT/2007 tanggal 7 Nopember 2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman rakyat.
Peraturan
tersebut
menetapkan
jenis
tanaman
pokok
untuk
pembangunan HTR terdiri dari tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya tahunan berkayu. Tanaman hutan berkayu terdiri dari kayu pertukangan baik dari jenis meranti, keruing, dan jenis-jenis non dipterocapaceae (jati, sengon,
126
sonokeling, mahoni, sungkai) serta kayu serat (eucaliptus, akasia, tusam dan gmelina). Tanaman budidaya tahunan berkayu meliputi tanaman karet dan tanaman buah-buahan. Persentase jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sebagai berikut : a) tanaman hutan berkayu dengan proporsi 70%, b) tanaman budidaya tahunan berkayu dengan proporsi 30%. Dengan demikian maka tanaman karet yang menjadi andalan masyarakat di Provinsi Riau dan Kalsel hanya boleh ditanam sebanyak 30% dari jumlah total tanaman di HTR. Peraturan tersebut membuat minat masyarakat rendah untuk mengikuti program HTR.
Masyarakat di Riau dan Kalsel lebih memilih
jenis tanaman
kelapa sawit atau karet karena alasan ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan pengambil kebijakan, keputusan pembatasan tanaman karet ditetapkan dengan pertimbangan bahwa modal untuk menanam karet relatif lebih besar dibanding tanaman kehutanan. Sementara itu, program HTR dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan tanaman hutan dengan tidak menuntut ketersediaan modal yang tinggi. Melihat respon masyarakat yang rendah, akibat tidak diperkenankannya komoditas karet sebagai tanaman HTR, maka pengambil kebijakan di tingkat pusat akhirnya melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan P.06/2007 diperbaharui dengan Perdirjan P.06/2008 yang antara lain merubah ketentuan jenis tanaman. Jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk HTR menurut Perdirjen P.06/2008 terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpangsari.
Tanaman pokok adalah tanaman berkayu
(pohon) yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain dari kelompok jenis meranti, keruing, non dipterocarpa, dan kelompok Multi Purpose Tree Species (MPTS). Peraturan tersebut menempatkan karet sebagai salah satu jenis tanaman MPTS.
Dengan demikian, karet dapat ditanam dalam
persentase 100% di lahan HTR bersamaan dengan tanaman tumpangsari. Dari uraian mengenai respon masyarakat terhadap peraturan menyangkut jenis tanaman HTR diperoleh bukti yang memperkuat bahwa proses perumusan kebijakan HTR tidak mengikuti model linier (Sutton 1999). Peraturan mengenai jenis tanaman HTR terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-BPHT/2007 yang kemudian diubah dengan Perdirjen No.P/06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman. Peraturan Direktur Jenderal No. 6 tahun
2007 menetapkan bahwa tanaman
127
karet hanya diperbolehkan ditanam sebanyak 30%. sedangkan pada Perdirjen 2008 karet bisa ditanam sebagai tanaman pokok hingga 100%. Perubahan aturan jenis tanaman menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan di pusat memperhatikan minat dan aspirasi masyarakat sasaran yang pada umumnya lebih menyukai berusaha di bidang tanaman karet. Pihak pengambil kebijakan cukup memahami bahwa jika aturan mengenai jenis tanaman hutan rakyat terlalu ketat, maka respon masyarakat untuk mengikuti program HTR akan rendah. Fenomena ini tidak sejalan dengan pendapat Bromley & Cernea (1989) yang menyatakan bahwa proses assesment atau evaluasi kebijakan melalui tahapan hirarkis mulai dari level pengambilan keputusan hingga operasionalisasi di lapangan.
Pada kasus ini, evaluasi telah terjadi sebelum tahap
operasionaliasasi sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini lebih sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa kebijakan bukanlah sebuah proses linier yang secara teratur melalui tahapan demi tahapan awal hingga akhir proses. kebijakan dengan
Sutton, menyatakan bahwa antara proses perumusan
implementasi tidak dapat dipisahkan.
Telah banyak bukti
yang mendukung bahwa proses ini terjadi secara acak (chaotic prosedur) yang didominasi oleh banyak aspek baik
politik maupun tekanan praktek sosial
budaya. Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa perumusan kebijakan Hutan Tanaman
Rakyat
dilakukan
dengan
menerapkan
Perubahan kebijakan dilakukan tahap demi tahap.
model
Incrementalis.
Pengambil kebijakan
mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih alternatif yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya (Sutton 1999).
5.4.4 Analisis Finansial Jenis Tanaman Analisis finansial jenis-jenis tanaman kehutanan yang direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai tanaman HTR perlu dilakukan untuk mengkaji aspek kelayakan usaha Jenis tanaman yang direkomendasikan pada kegiatan HTR adalah jenis fast growing species. Dalam analisis ini kelompok fast growing species diwakili oleh jenis tanaman akasia (Acacia mangium). Jenis tanaman yang tidak termasuk fast growing species diwakili oleh tanaman jati dimana daur tanaman lebih dari 20 tahun.
Jenis tanaman jati perlu dikaji analisis
128
kelayakannya, mengingat petani HTR di Gunungkidul menempatkan jati sebagai tanaman andalan pada lahan HTR Tanaman karet pada awalnya tidak termasuk dalam jenis yang direkomendasikan.
Akan tetapi terjadi perubahan aturan
dengan mempertimbangkan minat masyarakat yang tinggi, maka karet menjadi salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam kegiatan HTR. Perbandingan analisis finansial dilakukan dengan parameter Benefit Cost Ratio (BCR) dan Interest Rate of Raturn (IRR) (Gittinger 1986). parameter
tersebut
merupakan
standar
membandingkan tingkat kelayakan usaha.
yang
dapat
dirujuk
Kedua untuk
Pada umumnya nilai NPV juga
digunakan sebagai standar analisis kelayakan sebuah usaha. Akan tetapi dalam hal ini nilai NPV tidak dapat digunakan sebagai parameter yang baik. Pertimbangannya karena nilai NPV sangat tergantung pada dimensi waktu dan besaran tingkat suku bunga yang digunakan. Jika terdapat perbedaan waktu analisis, maka akan terjadi perbedaan komponen harga dan biaya, serta tingkat suku bunga. Hal ini menyebabkan nilai NPV yang dihasilkan dari setiap analisis menjadi tidak tepat untuk diperbandingkan satu dengan lainnya. Sementara itu nilai BCR dan IRR merupakan nilai indeks atau proporsi, sehingga nilai yang diperoleh menunjukkan parameter yang universal tanpa dipengaruhi oleh adanya perbedaan tingkat suku bunga yang digunakan. Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara pendapatan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan selama masa daur tanaman. Nilai BCR lebih dari 1 menunjukkan bahwa usaha tanaman merupakan kegiatan yang layak dilakukan, sebaliknya jika nilai BCR kurang dari 1 berarti kegiatan usaha tidak layak dilakukan. BCR berarti setiap penambahan biaya 1 satuan akan memberikan keuntungan sebesar proporsi yang ditunjukkan oleh nilai BCR tersebut.
Rasio Benefit terhadap Cost tidak terpengaruh oleh skala proyek,
misalnya proyek yang biaya serta benefitnya dua kali lebih besar daripada proyek lain, menghasilkan NPV dua kali lebih besar juga, sedangkan nilai Net B/C tidak akan berubah. Sementara itu nilai Interest Rate of Return merupakan ukuran dimana kegiatan usaha layak dilakukan jika suku bunga yang berlaku dalam ekonomi global berada pada tingkat yang tidak lebih dari angka yang ditunjukkan oleh nilai IRR. Keuntungan utama dari digunakannya IRR ialah perhitungannya tidak tergantung pada tingkat discount rate sosial yang berlaku atau dengan kata lain discount rate sosial tidak masuk dalam rumus IRR. Nilai IRR merupakan suatu
129
dicount rate khusus, yaitu discount rate yang membuat NPV sama dengan nol, Dalam konteks tersebut tidak ada hubungan dengan discount rate yang dihitung berdasarkan data di luar proyek sebagai social oppurtunity cost faktor produksi modal yang berlaku dalam masyarakat.
Mengingat perhitungan IRR tidak
tergantung pada discount rate sosial, maka kriteria IRR dapat dipergunakan sebagai indeks pengurutan dua atau lebih proyek (Gittinger 1986). Hasil
analisis
finansial
dari
jenis-jenis
tanaman
HTR
kemudian
dibandingkan dengan analisis finansial dari komoditas sawit. Perbandingan ini dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan antara jenis tanaman HTR dengan kelapa sawit (Tabel 21) Tabel 21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR No
Jenis Tanaman
BCR
IRR (%)
1
Akasia (Acacaia mangium)
1,38
14,5
2
Jati (Tectona grandis)
1,50
23,0
3
Karet (Hevea braziliensis)
1,05
27,4
1,18
18,92
Tanaman HTR
Tanaman Non HTR 4
Kelapa Sawit (Euleis guinensis Jacq)
Ket : Analisis finansial akasia dilakukan oleh FAO terhadap usaha HTI akasia. Analisis kelapa sawit dengan pola kemitraan dengan harga TBS Rp 900 pada lahan gambut. Analisis finansial karet dengan skenario harga turun 18% pada tingkat suku bunga 18% (Anwar C 2006)., Analisis finansial jati rakyat dengan tingkat suku bunga 18%
Hasil analisis di Tabel 21 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kegiatan usaha tanaman baik akasia, jati, karet, maupun kelapa sawit merupakan usaha yang layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai BCR lebih dari satu. Nilai BCR tertinggi ditunjukkan oleh analisis finansial pada jenis jati dengan nilai 1,50. Ini berarti bahwa pada usaha tanaman jati rakyat, setiap penambahan biaya satu satuan rupiah akan menghasilkan keuntungan (benefit) sebesar 1,50 terhadap setiap satuan biaya yang ditambahkan. Sementara itu nilai BCR yang peling kecil ditunjukkan oleh jenis tanaman karet yaitu sebesar 1,05. Analisis finansial pada tanaman sawit menghasilkan nilai BCR 1,18 lebih kecil dibandingkan dengan nilai BCR tanaman akasia sebesar 1,38. Ini berarti bahwa kegiatan usaha hutan tanaman lebih menguntungkan dibanding dengan usaha tanaman sawit. Berdasarkan parameter nilai IRR dapat diketahui bahwa nilai IRR yang paling besar ditunjukkan pada usaha tanaman karet sebesar 27,4%, sedangkan
130
yang paling rendah dihasilkan dari tanaman akasia yaitu sebesar 14,5%. Sementara itu analisis IRR terhadap jenis tanaman jati dan sawit masing-masing sebesar 23% dan 18,92%. Parameter IRR menunjukkan tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan pendapatan bersih sekarang atau NPV (Net Present Value) sebesar nol. Pada usaha tanaman karet dengan nilai IRR 27,4% berarti bahwa bisnis tanaman karet akan memberikan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan jika tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 27,4%. Sementara ini, kebijakan pemerintah Indonesia saat ini menetapkan suku bunga bank yang ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebesar maksimal 10,5% untuk Bank Perkreditan Rakyat dan 7% untuk Bank Umum (http://www.lps.go.id/v2/ home.php? link= tingkatbunga).
Nilai IRR tanaman karet berada di atas suku bunga pinjaman yang
berlaku maka usaha tanaman karet layak dilakukan, karena berada jauh di atas nilai suku bunga yang berlaku.
Sebuah kegiatan usaha menjadi tidak layak
dilakukan ketika nilai IRR yang dihasilkan dari hasil analisis finansialnya berada di bawah level suku bunga yang ditetapkan pemerintah.
Dengan demikian,
mengacu pada suku bunga LPS maksimal 10,5% berarti bahwa seluruh kegiatan usaha baik sawit, jati, karet, maupun akasia berada pada tingkat layak dijalankan. Berdasarkan perhitungan analisis finansial ditunjukkan bahwa usaha hutan tanaman jenis akasia, jati maupun karet merupakan kegiatan yang layak dan menguntungkan, namun minat masyarakat masih rendah untuk berusaha di bidang ini.
Masyarakat pada umumnya masih memiliki minat yang tinggi
terhadap usaha tanaman sawit. Faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah karena faktor dukungan pasar yang memadai untuk usaha sawit. Sedangkan untuk jenis tanaman kehutanan, masyarakat masih menghadapi kendala dalam hal pemasaran produk hasil kayunya. Faktor lain yang dipertimbangkan oleh masyarakat adalah masalah cash flow atau aliran uang kas yang diterima oleh keluarga. Jenis tanaman kehutanan merupakan sumber pendapatan jangka panjang. Hasil panen hanya diterima sekali ketika panen di akhir daur. Sedangkan jenis tanaman karet dan sawit memberikan hasil pendapatan rutin setiap dua mingguan bagi keluarga. Faktor inilah yang menjadi alasan utama petani memilik komoditas sawit dan karet dibandingkan jenis tanaman kehutanan.
131
Noor (2010) menunjukkan hasil perhitungan pendapatan petani pada perkebunan sawit rakyat di Sumatera Utara. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa setiap keluarga petani menerima penerimaan kotor dari usaha sawit sebesar
Rp.20.733.469/ha/tahun.
Biaya
yang
diperlukan
sebesar
Rp.5.656.531/ha/tahun. Dengan demikian pendapatan setiap keluarga dari 1 ha kebun sawit sebesar Rp.15.076.938. Pendapatan ini rutin diterima setiap tahun dan menjadi sumber utama pendapatan keluarga untuk menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan Berdasarkan deskripsi di atas dapat diidentifikasi kondisi implementasi kebijakan HTR dan respon para pemangku kepentingan di 3 lokasi penelitian (Tabel 22). Tabel 22 Analisis kondisi implementasi dan respon daerah Aspek Sumberdaya Hutan %HP terhadap luas wilayah Lokasi pencadangan IUPHHK HTR Masyarakat Kegiatan budidaya tanaman oleh masyarakat Respon Masyarakat Faktor pendorong Di masyarakat
Faktor kendala Di masyarakat Pemerintah Daerah Respon Pemda
Riau
Kalsel
DIY
23,82% 25.580 ha -
18% 29.758 ha -
4,4% 322,73 ha 84,40 ha
budidaya sawit budidaya karet Kurang berminat -
budidaya sawit budidaya karet Berminat Kebutuhan lahan Sudah ada pengalaman menanam kayu-kayuan Ada potensi pasar kayu melalui kemitraan Jenis tanaman karet lebih disukai dibanding tanaman kehutanan
Budidaya jati
-pengalaman buruk menanam sengon -Budaidaya karet dan sawit lebih menarik
Faktor pendorong dalam melaksanakan HTR Faktor penghambat untuk tindak lanjut kegiatan HTR
Berminat Kebutuhan lahan Budidaya jati telah menjadi budaya, tanaman jati sebagai sumber tabungan Ketergantungan pada fasilitasi pendampingan
Kurang antusias
Berminat
Sangat Antusias
-
Visi pembangunan hutan untuk kesejahteraan masyarakat Tindak lanjut kegiatan menunggu kepastian fasilitas pendanaan dari pemerintah pusat
Visi sebagai daerah model implementasi CBFM Keterbatasan luas hutan produksi, diselesaikan dengan memanfaatkan lahan AB untuk HTR
Keterbatasan lahan hutan produksi yang dapat dialokasikan untuk HTR
Winter (1990) menyatakan bahwa salah satu variabel kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan adalah respon para pemangku kepentingan di daerah.
Dari teori ini dikembangkan sebuah hipotesis yang
132
menyatakan bahwa implementasi kebijakan akan berhasil jika didukung dengan adanya respon positif dari pelaku kebijakan di lapangan. Data empiris dari lokasi penelitian menunjukkan bahwa hipotesis tersebut dapat diterima.
Pengalaman dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
membuktikan bahwa adanya respon yang antusias dari pihak Pemda menyebabkan dapat terselenggaranya program HTR di DIY dengan baik. Kendala keterbatasan lahan dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi lahan lainnya yang masih dapat dijadikan sebagai sasaran kegiatan HTR. Pengalaman dari implementasi HTR di Provinsi Riau membuktikan antitesis dari teori tersebut. Respon pemerintah daerah di Provinsi Riau dikategorikan kurang berminat.
Kondisi tersebut disebabkan karena adanya kendala
keterbatasan lahan hutan produksi yang dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR. Selain itu di Provinsi Riau juga terjadi kesepakatan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (Riau Terkini 7 Jan 2010)*. Respon yang kurang positif dari pemerintah daerah berdampak pada tersendatnya kegiatan implementasi HTR di lapangan. Kasus dari Provinsi Kalimantan Selatan merupakan hal yang unik. Pada awalnya respon pemerintah daerah positif. Kegiatan HTR telah berjalan hingga tahap penetapan areal lokasi pencadangan HTR. Akan tetapi proses implementasi selanjutnya belum berjalan. Dari hasil kegiatan FGD di Provinsi Kalsel dapat digali informasi bahwa pihak Pemda khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar, masih menunggu kejelasan program bantuan pinjaman kredit modal bagi petani HTR. Mengingat program pinjaman kredit belum terealisasi, maka kegiatan HTR di daerah tersebut juga belum dilaksanakan lebih lanjut. Keberhasilan program HTR juga ditentukan oleh respon atau minat masyarakat pelaku kebijakan. Minat masyarakat ditentukan oleh faktor ekonomi. Dari perbandingan kondisi di wilayah penelitian, dapat dilihat bahwa minat masyarakat terhadap suatu program sangat tergantung pada ada tidaknya manfaat ekonomi yang dapat diperoleh.
Hal ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Ekeh (1974) mengenai pertukaran sosial bahwa sebuah hubungan sosial merupakan “pasar” interaksi antara self interest dengan upaya pemaksimalan keuntungan. Dengan demikian masyarakat akan berpartisipasi dalam suatu program, jika mereka merasa ada manfaat yang bisa diperoleh dari keikutsertaan tersebut. Dalam hal ini manfaat yang paling dipertimbangkan oleh *
http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=27480 [30 Nov 2010]
133
masyarakat adalah manfaat ekonomi berupa pendapatan. Hal ini juga didukung dengan kondisi yang ada di masyarakat petani HTR di kabupaten Gunungkidul. Masyarakat berpartisipasi dalam program HTR karena ada dorongan kebutuhan pemanfaatan lahan.
Kesempatan memanfaatkan lahan HTR memberikan
peluang untuk memperoleh pendapatan. Selain faktor ekonomi terdapat pula faktor sosial budaya masyarakat yang ikut mempengaruhi terhadap berjalannya program hutan Tanaman Rakyat. Program HTR pada awalnya diprioritaskan untuk pembangunan kawasan hutan Log Over Area di luar Pulau Jawa. Akan tetapi pada pelaksanaannya di Pulau Jawa terdapat juga areal HTR yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi program HTR di kabupaten Gunungkidul dapat dianggap lebih maju dibandingkan dengan lokasi lain yang menjadi sampel penelitian di Provinsi Kalsel dan Provinsi Riau. Faktor pendukung untuk terwujudnya implementasi program HTR di kabupaten Gunungkidul, yaitu: 1. Kegiatan menanam pohon telah menjadi budaya masyarakat Gunungkidul, sehingga setiap jengkal lahan dimanfaatkan untuk menanam pohon, khususnya jati.
2. Adanya budaya patuh terhadap pimpinan yang sangat melekat erat dalam nilai-nilai kehidupan sosial di masyarakat Yogyakarta, sehingga programprogram yang dibawa oleh pihak pamong praja relatif lebih mudah dilaksanakan. 3. Adanya lembaga POKJA (Kelompok Kerja) Hutan Rakyat Lestari.
Pokja
merupakan lembaga koordinasi di tingkat Kabupaten Gunungkidul yang beranggotakan perwakilan dari dinas-dinas pemerintah, perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perwakilan dari tokoh atau elemen masyarakat. Pokja memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dalam rangka mendukung keberhasilan program pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Keberadaan Pokja ini menjadi faktor penggerak yang efektif untuk
terwujudnya
pengelolaan
hutan
rakyat
yang
berkelanjutan.
Keberadaan Pokja ini pula yang menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan terselenggaranya kegiatan HTR di Kabupaten Gunungkidul. Namun demikian, tidak berarti bahwa pelaksanaan kebijakan HTR di Kabupaten Gunungkidul telah berhasil. HTR di Kabupaten Gunungkidul tidak sesuai dengan filosofi awal kebijakan HTR.
Pemerintah pusat merumuskan
134
kebijakan HTR sebagai bisnis usaha hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat di lahan hutan negara yang terdegradasi. Sementara itu kegiatan HTR di Gunungkidul merupakan kegiatan hutan rakyat yang telah lebih dulu berkembang di masyarakat.
Aspek bisnis usaha hutan tanaman tidak
sepenuhnya tercapai karena kondisi masyarakat peserta HTR tidak sepenuhnya mengelola hutan tanaman jati sebagai bisnis utama, melainkan sebagai tabungan keluarga.