Prevalensi Anak Berisko Stunting dan Faktor-faktor yang Berhubungan: Studi Cross Sectional pada anak usia 3-9 tahun di Pondok Pesantren Tapak Sunan Condet pada tahun 2011 Alfani Mar’atussalehaha dan Saptawati Bardosonob a
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan bDeparteman Ilmu Gizi Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Jumlah kasus risiko stunting di Indonesia pada tahun 2008 adalah 33,2%, dari total jumlah anak di Indonesia tahun 2011 dinyatakan sepertiganya tergolong stunting. Stunting merupakan kurang gizi yang kronis, terjadi sejak dalam kandungan dan awal kelahiran sehingga dapat teridentifikasi pada usia tertentu. Dampak dari stunting adalah produktifitas menjadi rendah ketika dewasa sehingga berpengaruh pada kemajuan bangsa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi risiko stunting dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin guna menentukan tindakan untuk menangani masalah tersebut. Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional. Data yang dikumpulkan pada tanggal 19 Januari 2011 di Pesantren Tapak Sunan Condet berupa data antropometri (tinggi badan) anak usia 3-9 tahun. Data selanjutnya dianalisis untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin dengan risiko stunting. Hasilnya menunjukkan dari 50 subjek (28 laki-laki dan 22 perempuan), 4 anak berisiko stunting yakni usia 3-6 tahun sebanyak 1 anak (2,3%) dan usia 7-9 tahun 3 anak (42,9%), 2 laki-laki (7,1%) dan 2 perempuan (9,1%). Berdasarkan uji chi-square disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan risiko stunting (p=0,001) namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan risiko stunting (p=0,801). Adanya hubungan antara usia dengan resiko stunting karena pada usia 3-9 tahun terdapat perlambatan pertumbuhan sehingga kemungkinan untuk munculnya risiko stunting yang telah terjadi sejak dalam kandungan atau lahir lebih teridentfikasi. The Prevalance of Children with Stunting Risks and Its Related Factors: a crossectional study in Children age 3-9 years In Tapak Sunan Boarding school year 2011 Abstract The prevalence of stunting risk in Indonesia on 2008 is 33,2%; while in 2011, of all children in Indonesia, onethird of them is classified as stunted. Stunting is a chronic nutrition disorder which happened since pregnancy and new-born baby that caused stunting can be detected in any period age. Stunting lowers the children productivity after they grow into adults and affects the national development . The aim of this research is to know the prevalence of stunting risked children and its relation with age and sex, so the problem can be solved. This research used cross-sectional design.The data, which was collected on 19 January 2011, is an anthropometric data (in this term, body height) from children aged 3-9 years old. Then, the data was analyzed to determine the relation between the age cluster and sex with stunting risk. From 50 children (28 boys and 22 girls) observed, the result shows that 4 children are at risk of stunting: one’s 3-6 years old age cluster child (2.3%) and three’s 7-9 years old age cluster children (42.9%); besides that, 2 boys (7.1%) and 2 girls (9.1%) are at risk of stunting. By using chisquare test, we can conclude that there is a significant association between age cluster and risk of stunting (p =0.001), but there isn’t any significant association between sex and risk of stunting (p = 0.801). The relationship of age and stunting-risked in 3-9 years old is caused by the children growth deceleration in that period is easier to be identified. Key word: stunting; 3-9 years old; sex; nutrition.
1 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
Pendahuluan Gizi atau nutrisi merupakan bagian penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai keperluan seperti untuk tumbuh, berkembang, metabolisme tubuh dan lain sebagainya. Kenyataannya, tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhan gizi atau nutrisinya dengan baik sehingga dapat berdampak buruk bagi kesehatannya. Salah satunya dapat menyebabkan terjadinya risiko stunting (pendek). Stunting adalah suatu keadaan dimana tinggi badan kurang dari keadaan normal bila diukur berdasarkan usia. Jumlah kasus risiko stunting di Indonesia pada tahun 2008 adalah 33,2%.1 Fakta lain diketahui bahwa di tahun 2011 sepertiga dari anak di Indonesia memiliki risiko stunting.2 Dampak stunting (pendek) ternyata bukan hal yang sederhana, stunting dapat menyebabkan berbagai penyakit lain seperti penyakit degeneratife. Hal ini terjadi karena stunting (pendek) membuat perkembangan tubuh tidak normal sehingga organ-organ tubuh tidak berkembang dengan baik dan mengakibatkan penyakit degeneratife. Selain itu, aktivitasaktivitas sehari-hari akan mengalami gangguan.2 Dampak lebih luasnya dapat berakibat pada kemajuan bangsa menjadi menurun karena para penerus bangsa (anak-anak) mengalami gangguan kesehatan (ketidaksempurnaan perkembangan fisik) sehingga produktifitasnya terhadap bangsa dalam berbagai bidang kelak akan rendah. Rendahnya produktifitas bangsa juga akan menyebabkan rendahnya pembangunan bangsa yang selama ini direncanakan dan dicita-citakan.4 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam kasus risko stunting diantaranya adalah genetik, berupa sifat-sifat khas dari orang tua yang diturunkan kepada anaknya. Adanya gangguan pada endokrin yaitu berupa kekurangan hormon pertumbuhan yang juga berperan menyebabkan risiko stunting. Gaya hidup yang salah seperti posisi badan saat tidur, cara olah raga maupun pemilihan olah raga yang salah, tidak pernah olah raga, serta pemenuhan nutrisi yang kurang.5 Selain itu, dalam tahap pertumbuhan akan ada perbedaan kecepatan pertumbuhan dan pola pertumbuhan pada usia tertentu baik dalam jenis kelamin yang sama maupun yang berbeda yang mengakibatkan adanya kecendrungan di usia-usia tertentu dapat menyebabkan terjadi stunting.6 Selama ini, upaya yang telah 1 ditempuh dalam mencegah terjadinya risiko stunting dilakukan dengan mensosialisasikan ke desa-desa yang bekerja sama dengan Puskesmas dalam bentuk seminar tentang pola hidup yang baik. Seminar-seminar tersebut untuk memberikan penjelasan pada masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi atau nutrisi agar risiko stunting dapat dicegah. Pemerintah juga telah membagi-bagikan berupa susu dan makanan bergizi bagi 2 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
anak-anak sekolah dasar selama 3 tahun tiap bulannya.2 Pada kesempatan kali ini, penelitian tentang risiko stunting pada anak usia 3-9 tahun dilakukun di Pesantren Tapak Sunan yang terletak di Condet. Dulunya, Condet merupakan salah satu daerah yang subur dan banyak terdapat buah sehingga keadaan ekonomi pada saat itu sangat baik. Kini, anak-anak yang tinggal di Condet banyak yang mengalami risiko stunting akibat kurang gizi dan penyebab lainnya karena semakin hari kesuburan Condet berkurang akibat dari penduduk yang mulai padat, mencemari lingkungan dan keadaan ekonomi disana yang mulai kurang baik.7 Alasan pemiliahan Condet sebagai tempat untuk meneliti risiko stunting adalah karena Condet dapat mewakili daerah pedesaan di tepi kota Jakarta.7 Hal ini terkait dengan pola hidup di daerah pedesaan yang masih belum dapat mengoptimalkan penjagaan kesehatan.8 Dengan demikian, peneliti menganggap Condet merupakan daerah yang dapat mewakili penduduk Indonesia.
Tinjauan Teoritis Stunting merupakan bentuk dari kelainan pertumbuhan linier (panjang) badan, hal ini menunjukkan kurang gizi yang kronis dalam jangka waktu lama. Stunting ditandai dengan tubuh pendek, tidak sesuai dengan tinggi badan yang seharusnya berdasarkan anak seusianya atau yang memiliki nilai Z-score tidak normal (<-2).4 Ada juga yang mengatakan bahwa pendek merupakan tinggi badan yang berada di bawah normal dibandingkan anak-anak lain dengan jenis kelamin, usia maupun etnik yang sama. Sebagian besar anak yang tergolong risiko stunting ternyata telah mengalami kurang gizi sejak masa balita serta tidak adanya pencapaian pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Selain itu, anak dengan stunting merupakan manifestasi akibat lebih lanjut dari BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah).2 Nutrisi merupakan faktor yang memiliki pengaruh penting pada pertumbuhan. Faktor diet mengatur pertumbuhan pada semua tahap perkembangan, dan efeknya ditunjukan pada cara yang beragam dan rumit. Selama pertumbuhan prenatal yang cepat, nutrisi buruk dapat mempengaruhi dari waktu implantasi ovum sampai kelahiran. Selama masa kanak-kanak kebutuhan akan kalori relatife besar, seperti yang dibuktikan pada peningkatan tinggi dan berat badan. Pada saat ini kebutuhan akan protein dan kalori sangat dibutuhkan hampir pada setiap perkembangan pasca natal. Nafsu makan juga berperan penting dalam pertumbuhan. Ketika nutrisi yang disiapkan baik namun ditolak karena berbagai pengaruh emosi.11 Pada
tahun
pertama
kehidupan
kecepatan
pertumbuhan
anak
3 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
sangat
pesat,
pertumbuhannya dapat mencapai pertambahan 50%, namun setelah itu kecepatan pertumbuhan menjadi melambat hingga usia 10 tahun. Dapat dilihat pada usia 2 tahun tubuh hanya mencapai empat kali lebih pajang dari panjang ketika lahir. Pada usia ini walaupun kecepatan melambat namun pasti, sesuai dengan jumlah makanan dan nutrisi yang diberikan, semakin baik makanan yang diberikan (berdasarkan kualitas maupun kuantitas) akan meningkatkan pertumbuhan anak namun sebaliknya jika pemberian makanan kepada anak kurang baik dalam hal kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan pertumbuhan tidak baik dan dapat menyebabkan pendek (stunting).9 Selain itu, karena diusia ini terjadi perlambatan pertumbuhan menyebabkan anak yang sejak dalam kandungan atau awal kelahiran telah mengalami risiko stunting akan mulai teridentifikasi.2 Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Pertumbuhan antara laki-laki dan perempuan di awal kelahiran tidak memperlihatkan perbedaan, namun ketika memasuki usia remaja akan terlihat perbedaan kecepatan pertumbuhan maupun pencapaian tinggi badan yang menyebabkan adanya perbedaan tinggi pada laki-laki dan perempuan. Perempuan mulai meningkat percepatan pertumbuhannya pada usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 12 tahun. Sementara pada laki-laki mulai meningkat kecepatan pertumbuhannya pada usia usia 13 tahun dan mencapai puncak pada usia 14 hingga 15 tahun dengan pencapaian tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan.10 Untuk menentukan seorang anak terkena stunting atau tidak maka perlu dilakukan pengukuran terhadap tinggi badan guna mengetahui tingkat pertumbuhan anak melalui perbandingan tinggi badan berdasarkan usia anak. Alat-alat yang dapat digunakan adalah meteran (microtoise) dengan ketelitian 0.1 cm dan grafik tinggi badan berdasarkan usia yang menggunakan standar NCHS (National Centre for Health Statistics). Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengukaran adalah: menentukan usia anak terlebih dahulu, subjek (anak) berdiri pada dearah yang datar secara horizontal maupun vertical, tumit serta badan menempel di dinding yang datar, ukur tinggi badan dengan meteran (microtoise). Pakaian anak yang akan diukur tingginya harus seminim mungkin, dan baca hasil dengan mata dalam keadaan lurus dengan penunjuk angka pada alat ukur dan ulangi pengukuran hingga 2 kali dengan cara yang sama. Tujuan pengukuran 2 kali agar didapat hasil yang lebih akurat.12, 13 Setelah hasil pengukuran didapatkan, masukkan pada daftar yang telah disiapkan, lakukan penilaian pada pola pertumbuhan anak dengan menggunakan tabel Z-score, dan masukkan hasil akhir dengan memperhatikan tabel di bawah ini sebagai acuan subjek dikatakan pendek atau tidak. Bila Z- score < -3 SD digolongkan sangat pendek, Z- score -3s/d -2,1 digolongkan pendek, -2 s/d -1 digolongkan risiko pendek, dan -1 s/d +2 digolongkan normal.14 Penjelasan 4 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Keparahan Stunting pada Anak-anak NORMAL Height for (deficit=stunting)
age -1 to 1 Z
MILD
MODERATE
SEVERE
-1 to -2 Z
-2,1 to -3 Z
<-3 Z
Sumber: National Center for Health Statistic
Metode Pada penelitian ini menggunakan studi analitik observasional dengan menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Sumber data diperoleh dari data primer pasien berupa identitas dan tinggi badan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 19 Januari 2011, yang dilakukan di Pondok Pesantren Tapak Sunan Condet, Jakarta Timur. Populasi target dari penelitian ini adalah anak usia 3-9 tahun baik laki-laki dan perempuan yang ada di Pondok Pesantren Tapak Sunan Condet. Data didapatkan dengan wawancara untuk mengetahui identitas subjek yang meliputi nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan usia. Selain itu, dilakukan juga pengukuran antropometri (tinggi badan). Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan meteran (microtoise) dengan ketelitian 0,1cm. Pengukuran dilakukan dengan cara anak mengarahkan pandangan lurus ke depan dan tumit menempel ke tembok serta tidak mengenakan alas kaki. Data tinggi badan kemudian dianalisis dengan metode Z-score. Hasil Z-skor kemudian dikategorikan menjadi risiko stuning (pendek) dan normal berdasarkan tabel yang direkomendasikan NHCS. Subjek atau keluarga subjek bersedia berpartisipasi dalama penelitian dengan menandatangani informed consent. Data yang diperoleh kemudian diproses menggunakan program Epi Info. Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 49 anak namun karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik total sampling sehingga seluruh populasi terjangkau yang ada dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini, yakni 79 anak. Data yang telah diperoleh dikumpulkan dicatat di formulir data. Data yang telah terkumpul diperiksa ulang untuk melihat terdapatnya kejanggalan atau kesalahan penulisan. Untuk mengategorikan subjek yang mengalami risiko stunting maka data diolah menggunakan Epi Info version 3.5.1. Setelah data yang sudah diolah di Epi Info didapatkan, data di-entry 5 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
pada SPSS version 11.5, selanjutnya data kemudian dibersihkan dan dianalisis dengan uji statistik Chi Square.
Hasil dan Pembahasan Total subjek yang berjumlah 55 orang, dari 55 orang responden tersebut diperoleh ada 5 responden yang memenuhi kriteria drop out sehingga tidak dapat dianalisis. Jadi, total subjek yang dapat digunakan adalah 50 orang, sesuai dengan tabel 2. Tabel 2. Sebaran Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Variabel Usia: 3-6 tahun 7-9 tahun Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan
Frekuensi
Persentase (%)
43 7
86 14
28 22
56 44
Pada penelitian ini, jumlah anak yang berusia 3-6 tahun lebih banyak dibandingkan dengan anak yang berusia 7-9 tahun, data ini sesuai dengan sensus penduduk di Jakarta Timur pada tahun 2010. Selain itu jumlah anak laki-laki juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak perempuan sesuai dengan data sensus penduduk di Jakarta Timur pada tahun 2010.15 Berikut data prevalensi risiko stunting pada anak usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan, Condet, Jakarta Timur pada tabel 3. Tabel 3. Prevalensi dan Hubungan Risiko Stunting pada Anak Usia 3-9 Tahun di Pesantren Tapak Sunan, Jakarta Timur
Variabel
Usia 3-6 7-9 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Berisiko Stunting Ya Tidak
Nilai p
1 (2,3%) 3 (42,9%)
42 (97,7%) 4 (57,1%)
p=0,001 Chi-square
2 (7,1%)
26 (92,9%)
p=0,801
2 (9,1%)
20 (90,9%)
Chi-square
Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi risiko stunting pada anak usia 3-9 tahun 6 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
di Pesantren Tapak Sunan Condet sebesar 8 %. Jumlah anak risiko stunting pada usia 7-9 tahun lebih banyak dibandingkan dengan usia 3-6 tahun, sementara jumlah risiko stunting pada laki-laki sama dengan perempuan. Keadaan yang menyebabkan anak yang berusia 7-9 tahun lebih banyak terkena risko stunting dibandingkan usia 3-6 tahun karena pada usia 7-9 tahun terjadi penurunan penambahan tinggi badan yang lebih besar dibandingkan dengan usia 3-6 tahun.9 Sementara penyebab jumlah anak yang terkena risiko stunting sama antara lakilaki dan perempuan adalah pada usia 3-9 tahun belum terjadi perbedaan kecepatan pertumbuhan dan perbedaan penambahan tinggi badan sehingga risiko mereka terkena sama.10 Berdasarkan penjelasan yang telah disajikan oleh tabel 3, dengan menggunakan uji statistik chi-square diproleh nilai p=0,001 pada usia dengan risiko stunting sedangkan untuk jenis kelamin tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan risiko stunting (p=0,801). Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Bayu Dwi Welasasih menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan usia pada balita. Dalam penelitiannya memaparkan salah satu karakteristik balita stunting adalah usia balita yakni sebesar 46,15%.12 Berbeda dengan hasil pada penelitian ini, sebuah penelitian yang juga dilakukan oleh Bayu Dwi Welasasih menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin pada balita dengan stunting. Dalam penelitiannya memaparkan bahwa balita berjenis kelamin perempuan lebih mungkin terkena stunting 76,92%.16 Dari data di atas didapat bahwa adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan risiko stunting dapat disebabkan karena ada masa-masa dimana pertumbuhan paling cepat atau mulai melambat pada usia tertentu. Pada usia 3-9 tahun pertumbuhan akan mengalami perlambatan dan bersifat konstan, hal ini menyebabkan diusia ini akan mulai terlihat adanya gangguan pertumbuhan yang terjadi sejak lahir ataupun dari dalam kandungan ibunya.17 Pada penelitian ini, diperoleh anak yang berusia 7-9 tahun terkena risiko stunting lebih besar dibandingkan kelompok yang berusia 3-6 tahun akibat dari penurunan pertumbuhan pada usia 7-9 tahun lebih besar dibandingkan usia 3-6 tahun sehingga risiko stunting yang memang sudah terjadi sejak dalam kandungan atau sejak mulai kelahiran akan lebih teridentifikasi pada usia 7-9 tahun.18, 19, 20 Sementara itu, kemungkinan penyebab tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan risiko stunting adalah karena pada anak-anak belum terlihat adanya perbedaan kecepatan dan pencapaian pertumbuhan pada laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan mulai terlihat ketika memasuki usia remaja, dimana perempuan akan terlebih dahulu mengalami peningkatan kecepatan pertumbuhan. Hal ini menyebabkan risiko stunting pada laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga keduanya 7 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
dapat terkena risiko stunting dengan kemungkinan yang sama.
Kesimpulan 1. Persentase anak yang berusia 3-6 tahun adalah 86 % dan anak yang berusia 7-9 tahun sebesar 14 %, sementara persentase anak laki-laki sebesar 56% dan anak perempuan 44%. 2. Prevalensi anak berisiko stunting usia 3-9 tahun di Pondok Pesantren Tapak Sunan Condet dirincikan: usia 3-6 tahun (2,3%) dan 6-9 tahun (42,9%). Pada perempuan ada dua anak berisiko stunting (9,1%) dan laki-laki dua anak (7,1%). Prevalensi keseluruhan risiko stunting dengan jenis kelamin adalah 8 % dan prevalensi risiko stunting dengan usia adalah 8%. 3. Hubungan antara usia dengan risiko stunting (pendek) adalah berbeda bermakna dengan p=0,001 sedangkan hubungan antara jenis kelamin dengan risiko stunting tidak berbeda bermakna dengan p=0,801.
Saran 1. Perhatian dari orang tua kepada pemenuhan gizi anaknya perlu ditingkatkan dari sejak dalam kandungan mengingat bahwa risiko stunting merupakan masalah gizi kronis, sehingga munculnya angka risiko stunting di usia 3-9 tahun dapat turun. 2. Perhatian pondok Pesantran dan wali santri perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan untuk memperbaiki kondisi gizi santri yang berada di Pondok Pesantren Tapak Sunan Condet sehingga anak-anak yang terkena risko stunting tidak berkembang menjadi keadaan yang lebih buruk lagi yakni menjadi stunting. Hal ini dapat diwujudkan dengan pemberian makan gratis dengan gizi seimbang dan teratur perlu oleh pihak Pesantren, dan perlu dilakukan evaluasi rutin per tahun untuk memantau perkembangan status gizi anak di Pesantren Tapak Sunan Condet. Anak-anak juga dapat dibuatkan sejenis kantin kecil di Pesantren yang menyediakan makanan yang sehat dan higenis namun terjangkau. Memberikan sosialisasi kepada orang tua tentang risiko stunting dan bagaimana menjaga makanan mereka agar tetap sehat dan nutrisinya
8 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
Kepustakaan 1. Hopkins, Baltimore. Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional study. [material on the internet]. 2008 [cited 2011 Juli 4]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18294999. 2. Hadi H. Sepertiga anak usia sekolah di Indonesia alami stunted. [materi di internet]. 2011
[diunduh
tanggal
4
Juli
2011].
Diperoleh
dari:
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3070. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Tahun 2010. Jakarta; Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010. 4. Hartono A. Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC; 2005. p. 15-20. 5. Mark A, Peter P, Robert L. The familiy practice handbook. Dalam: Susilawati, Dewi A, editor. Buku Saku Dokter Keluarga. Jakarta: EGC; 2006. p. 302-305. 6. Aziz AH. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk kebidanan. Jakarta: Salemba Medika; 2008. p 13-15. 7. Shahab A. Betawi: Queen of the east. Jakarta: Republika; 2007. p. 200. 8. Momon S. Sosiologi untuk kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2008. p. 17-18.) 9. Narendra M, Sularyo T, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh I, Wiradisuria S. Tumbah kembang anak dan remaja. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. 10. Artaria MD. Perbedaan antara laki-laki dan prempuan: Penelitian antropometri pada anak-anak umur 6-19 tahun. Masyarakat Kebudayaan dan Politik: 2010; 22 (4): 343349. 11. Wong D.L. Buku ajar keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.2008. p. 234. 12. http://www.scribd.com/doc/25886294/Riskesda-laporanNasional.
Riset
Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007; Laporan Nasional 2007; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2008. 13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta. Pedoman pengukuran dan pemeriksaan. [materi di internet]. 2007 [diunduh tanggal 10 Juli
2011].
Diperoleh
dari:
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/PedomanPengukuran.pdf. 14. Toran B. Protein-energy malnutrition. In: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern nutrition in health and disease. Baltimore: Lippincott 9 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012
Williams & Wilkins; 2006. p.881-891. 15. Badan Pusat Statistik. Data SP2010 jumlah penduduk kebupaten menurut kelompok umur. [materi
di
internet].
2010
[diunduh
tanggal
7
Februari
2012].
Diproleh
dari:
http://www.bps.go.id/download_file/Data_SP2010_menurut_kelompok_umur.pdf
16. Welasasih D.W. Faktor yang berhubungan dengan status gizi balita stunting di desa kembangan kecamatan kebomas kabupaten gresik. [materi di internet]. 2010 [diunduh tanggal
11
Juli
2011].
Diperoleh
dari:
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/9051849932_abs.pdf 17. Rupp A.N. Tumbuh-kembang bersama anak: menuntun anak menuju pertumbuhan emosional, moral, dan iman. Jakarta; Gunung Mulia; 2009. p. 201. 18. Kenali Tanda Gejala Gizi Buruk. 30 Oktober 2009. [materi di inernet]. 2011 [diunduh Mei
2011];
http://medicastore.com/artikel/284/Kenali_Tanda_dan_Gejala_Gizi_Buruk.html. 19. Widodo Y. Mulyati S. Harahap H. Hubungan gangguan gizi anak balita berdasarkan indeks antropometri tunggal dan kombinasi dengan morbiditas dan implikasinya. [materi di internet]. 2010 [diunduh tanggal 13 Juli 2011]. Diperoleh dari: http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=150&Itemid=39. 20. Adwan. Penyebab tubuh pendek. [materi di internet]. 2010 [diunduh 10 Januari 2011]. Diperoleh dari: http://www.gunadarma. ac.id.
10 Prevalensi anak..., Alfiani Mar Atussalehah, FK UI, 2012