EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) MATA PELAJARAN IPS DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS IX SMPN 2 PONJONG GUNUNG KIDUL
Tukiman
ABSTRACT
This study was conducted based on the observation of class IX student that showed low motivation and prosocial behavior. The research objective is to examine how contextual teaching and learning in social studies improves learning motivation and student’s prosocial behavior. The sample of study was 30 students taken from class IX student SMP 2 Ponjong Gunung Kidul. A scale was used to obtain the data of motivation and student’s prosocial behavior. Based on the analysis it can be concluded that the learning method CTL (contextual teaching and learning) is effective in increasing motivation to learn. The post-test mean score greater than the mean pretest score (141.23> 121.80), with the t test -18.525 Besides, CTL method increased prosocial behavior. Keywords: CTL, motivation to learn, and prosocial behavior
Latar belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting, terutama dalam kehidupan suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Indonesia dengan laju pembangunan yang pesat, masih menghadapi masalah di bidang pendidikan yang berat terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan. Di tengah-tengah usaha meningkatkan mutu pendidikan, prestasi belajar sebagai salah satu tolak ukur, dalam peningkatan mutu pendidikan banyak mendapat sorotan tajam. Untuk mencapai prestasi belajar yang baik, perlu diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut,1.ciri pembelajaran, memiliki ciri tertentu yang memacu kemampuan siswa. 2. Kemampuan pembelajaran, mampu menuntun sesuai kemampuan anak. 3. Kondisi pembelajaran, baik fisik non fisik, psikis mempengaruhi motivasi belajar siswa. 4. Kondisi lingkungan pembelajaran. 5. Unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran. Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena tanpa motivasi, seseorang tentu tidak akan mendapatkan proses belajar yang baik. Motivasi merupakan langkah awal terjadinya pembelajaran yang baik. Motivasi merupakan daya dorong untuk melakukan sesuatu, penggerak subyek dalam melakukan aktifitas, untuk mencapai tujuan. Menurut
Wlodkowski & Jaynes (2004) motivasi belajar, merupakan proses internal yang terjadi dalam diri seseorang, yang dapat memberi semangat dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi jelas bahwa motivasi belajar, daya penggerak psikis yang meliputi harapan, dan nilai afektif dalam diri siswa yang menimbulkan semangat belajar. Pembelajaran dikatakan baik jika tujuan umum dan khusus tercapai. Mutu pendidikan yang rendah tidak terlepas dari adanya pengaruh motivasi belajar. Motivasi merupakan modal utama untuk melakukan kegiatan belajar, siswa yang termotivasi dengan baik dalam belajar akan melakukan kegiatan lebih banyak dibandingkan siswa yang kurang termotivasi. Motivasi belajar mempengaruhi minat dan hasil belajar siswa, Namun upaya meningkatkan motivasi belajar tidak mudah dicapai, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor penyebab kuat lemahnya motivasi belajar sangat kompleks dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Sardiman A. M : 2010 ). Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu. Perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif, sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain, atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial. Tindakan tersebut kadang-kadang memerlukan pengorbanan atau resiko pada diri pelaku. Orang yang prososial sama dengan orang yang sosial yaitu yang perilakunya mencerminkan keberhasilan di dalam tiga proses sosialisasi, dimana proses sosialisasi itu sendiri adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima dan dikembangan sikap sosial, sehingga mereka cocok dengan kelompok tempat mereka menggabungkan diri dan diterima sebagai anggota kelompok. Perilaku prososial meliputi penampilan seseorang dalam tindakan yang diinginkan atau dikehendaki oleh masyarakat sekitar, seperti mau menolong orang lain, mampu mengontrol sifat agresif, pengungkapan perasaan diri sendiri atau orang lain, mampu melawan godaan seperti godaan untuk mencontek, pengungkapan perasaan simpati kepada orang lain, mendahulukan kepentingan orang lain, mampu menahan diri dari pengungkapan rasa atau kepuasan diri sendiri, serta menjalankan tugas sebagaimana mestinya dan mentaati peraturan-peraturan yang ada. Perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain, dan kelompok orang tanpa mengharapkan balasan dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial. Tindakan itu kadang-kadang memerlukan pengorbanan atau resiko pada diri pelaku. Perilaku prososial sebagai suatu perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif secara fisik maupun secara psikologis, yang dilakukan secara sukarela, dan menguntungkan orang lain. Sedang tindakan yang mempunyai akibat sosial secara positif, yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis. Perilaku tersebut merupakan perilaku yang lebih banyak memberikan keuntungan pada orang lain. Hasil wawancara dengan guru bidang studi IPS di SMPN 2 Ponjong Gunung Kidul menunjukkan bahwa 40% hasil belajar siswa, dilihat dari nilai ulangan harian, berada dibawah KMM ( Kriteria Ketuntasan Minimal ). Ini berarti sikap, perhatian siswa terhadap pelajaran kurang, kurang tertarik terhadap pelajaran yang diberikan, semangat belajar yang kurang, selalu ingin mengingat dan mempelajari pelajaran yang diberikan masih kurang, dan keinginan
untuk mempelajari berbagai materi ajar yang masih kurang (Sardiman AM, 2000). Kondisi ini menujukkan bahwa motivasi dalam belajar siswa masih kurang. Disamping itu perilaku prososial siswa, adanya rasa ego yang dimiliki oleh siswa untuk mendapatkan yang terbaik diantara teman-teman. Ada pula yang ingin menujukkan kepada guru bahwa dialah yang terbaik di antara teman-temannya. Hal ini diperjelas setelah peneliti melakukan wawancara dengan siswa, memang sifat individualities siswa kelihatan sangat menonjol. Lebih-lebih setelah peneliti kros cek dengan observasi. Keadaan tersebut memang kelihatan sangat dominan ada pada siswa. Adapun tindakan yang muncul, dari perilaku itu, rasa ingin saling tolong menolong kesesama teman masih kurang. Jadi rasa individualnya masih lebih menonjol, dibanding jiwa sosial, untuk keberhasilan dalam belajar bersama. Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus dilakukan untuk meningkatkan pendidikan nasional Hamalik,(2001). Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-undang No. 20 tahun 2003 (Sanjaya, 2011) tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Perwujudan tujuan pendidikan nasional sebagai yang termaktub dalam undang-undang, berbagai upaya pendekatan dalam pembelajaran terus dilakukan. Oleh sebab itu,guru dalam pelaksanaan belajar mengajar dapat memiliki dan menentukan pendekatan, dan metode yang sesuai dengan kemampuannya. Setiap guru mempunyai cara tersendiri dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kapasitas guru dan disiplin ilmu yang diajarkan. Strategi guru yang baik dalam mengajar dapat tercipta dalam pembelajaran secara efektif, efisien, sesuai tujuan yang diharapkan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah Ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu mata pelajaran di SMP, yang terdiri dari sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi. IPS Bertujuan untuk memberi pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan pada siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berfikir inquiry, pemecahan masalah dan keterampilan sosial (Depdiknas,2004). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial dan kewarganegaraan (Saidihardjo, 2004). Jadi, ilmu pengetahuan sosial berupaya mengembangkan pemahaman siswa tentang individu dan kelompok hidup bersama dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan kegiatan bermain peran, berkomunikasi, dan peran serta siswa, diharapkan dapat memahami dunia sekelilingnya. Hal ini sejalan dengan (Ellis,1977) bahwa Social studies learning about people and the various ways in which they interact with each other and with the various environments in which they find themselves. Dalam praktik pembelajarannya, penyajian ilmu pengetahuan sosial dilakukan secara terpadu, agar pelajaran itu lebih mempunyai arti (lebih bermakna) bagi siswa, tidak tumpang tindih (Saidihardjo, 2004) bahkan dalam pengkajiannya pun dipisah–pisahkan secara ketat dari masing–masing aspek pelajaran. Artinya, prinsip-prinsip pokok dari fenomena dapat dilihat secara utuh melalui
tinjauan berbagai aspek, namun tetap dipertahankan, dan memberi satu pengertian yang utuh bagi siswa. IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) mendorong siswa untuk dapat memahami fenomena sosial ditinjau dari berbagai aspek, yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Cara ini akan dapat lebih bermakna bagi siswa dalam mengembangkan pola pikirnya dalam memahami lingkungan, fenomena, pemecahan masalah dan dalam mengantisipasi masa depan. The board of directors, istilah Ilmu Pengetahuan Sosial dari NCSS ( NationalCouncil for Social Studies ) sebagai berikut : Social studies is the integreted study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated , systematic study drawing upon such disiplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political sciene, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics and the natural sciences. (K12-Social Studies 19952007)
Artinya, ilmu pengetahuan sosial adalah kajian terpadu ilmu–ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan. Dalam program sekolah Ilmu Pengetahuan Sosial dikoordinasikan sebagai suatu bahasan yang sistematis, dibangun dari beberapa disiplin ilmu antara lain: antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, juga mencakup materi humaniora, matimateka dan ilmu alam. Sementara itu, Selanjutnya menurut, NCSS (National Council for Social Studies, 2007), pembelajaran IPS membantu siswa mengembangkan pengetahuan dasar serta sikap disiplin suatu ilmu, terutama pandangan yang benar. Dalam abad ke–21 National Council for Social Studies menjelaskan bahwa istilah social studies adalah: digunakan untuk memasukkan sejarah, ekonomi, antropologi, sosiologi, kewarganegaraan, geografi, semuanya dimodifikasi sebagai isi ilmu sosial. Semua isi, definisi ilmu sosial difahami sebagai disiplin ilmu akademik yang disederhanakan, diadaptasi dan diseleksi untuk pembelajaran di sekolah. Lebih jauh lagi untuk dapat memahami IPS, Forum Komunikasi Fakultas Pendidikan IPS seluruh Indonesia merumuskan: Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan paedagogis, psykologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila. (Saidihardjo, Bahan kuliah IPS, 2006). Lebih lanjut, Mulyono, menegaskan bahwa IPS merupakan integrasi berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, politik, ekologi. Jadi dari definisi-definisi ilmu pengetahuan sosial, merefleksikan suatu orientasi yang mengarah pada pendekatan bagaimana membina dan mengembangkan suatu masyarakat yang baik yang dapat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Dengan pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan sebagai tempat tinggalnya. Adanya sikap keterbukaan (transparansi), mampu bersinergi dengan lingkungannya, mampu berkomunikasi dengan baik terhadap lingkungan. Artinya, bahwa manusia yang mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial mereka akan dapat hidup dengan wajar, dan lebih baik terhadap lingkungan dan menjadi warga negara yang baik.
Berdasar latar belakang di atas, institusi pendidikan diharapkan dapat mengembangan metode pembelajaran yang efektife dalam pencapaian nilai-nilai pendidikan karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu, Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan Keefektifan pembelajaran CTL ( contextual teaching and learning ) mata pelajaran IPS untuk meningkatkan motivasi belajar dan perilaku prososial siswa kelas III SMPN 2 Ponjong Gunung Kidul. Yang dimaksud ( Contextual Teaching and Learning ) CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa (Depdiknas ,2003). CTL (Contextual Teaching and Learning) menggunakan prinsip-prinsip ilmiah, saling ketergantungan, deferensiasi dan pengaturan diri. Jadi karakteristik model pembelajaran CTL mengutamakan kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, belajar bergairah, siswa aktif, sharing, siswa kritis, guru kreatif akan dapat meningkatkan gairah belajar siswa dan prestasi siswa. A.
Rumusan masalah
Bagaimanakah pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning ) mata pelajaran IPS efektif meningkatkan motivasi belajar dan perilaku prososial siswa kelas IX SMPN 2 Ponjong, Gunung Kidul?.
C. Motivasi
1.
Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari kata “motif” yang pada hakekatnya merupakan terminologi umum yang memberikan makna “daya dorong”, “keinginan”, “kebutuhan”, dan “kemauan” . Motif yang telah aktif disebut “motivasi.” (Sardiman, 2011) menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “perasaan (feeling) yang didahului dengan tanggapan/reaksi. Unsur motivasi terdiri dari: (a) motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam system “neurophysiological” yang ada pada manusia karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia ), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. (b) motivasi ditandai dengan munculnya perasaan (feeling ) dan afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi, dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia. (c) motivasi akan terangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi yakni tujuan. Winkel (2000) menyatakan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki siswa tercapai. Motivasi belajar adalah keinginan untuk belajar, lebih-lebih dalam tugas-tugas belajar, bersungguh-sungguh untuk belajar. Lebih lanjut motivasi belajar terdiri dari kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk pemenuhan diri, dan kebutuhan untuk mandiri. Individu yang memiliki keinginan untuk berprestasi atau ingin mengaktualisasikan dirinya serta ingin mandiri maka ia akan memiliki motivasi belajar yang kuat, karena hanya dengan belajar kebutuhan-
2. a. b. c. d. e. f. g. h. 3. 4. a) b) c)
kebutuhan tersebut dipenuhi. Jadi motivasi akan tumbuh, dan timbul dari dalam diri sendiri apabila ada dorongan , sehingga akan tercapai tujuan yang inginkan. Ciri-ciri motivasi Sardiman (2006) motivasi terbagi menjadi : Tekun menghadapi tugas Ulet menghadapi kesulitan Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah Mempunyai orientasi masa depan Lebih senang kerja mandiri Cepat bosan terhadap tugas-tugas rutin Dapat mempertahankan pendapat Senang mencari dan memecahkan masalah Cara-cara menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah menurut Sardiman, (2011) : a). Memberi angka, b). Hadiah (reward), c). Saingan/kompetisi. d). Memberi ulangan. e). Mengetahui hasil. f). Pujian. g). Hukuman hasrat untuk belajar. h). Minat tujuan yang diakui. Fungsi Motivasi dalam Belajar Menurut Sardiman ( 2000) motivasi berfungsi : Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energy. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang sesuai untuk mencapai tujuan. Dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermamfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain. Jadi motivasi berfungsi untuk menumbuhkan semangat seseorang dalam mencapai cita-citanya, sebagai daya dorong yang berasal dari dalam diri seseorang.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar Menurut Wlodkowski dan Jaynes, (2004) yang mempengaruhi motiavasi belajar antara lain : a. Budaya, Sistim nilai yang dianut orang tua akan mempengaruhi keterlibatan orang tua secara mendalam dalam menanamkan energy pada anak. b. Keluarga, keterlibatan orang tua dalam belajar anak, dorongan orang tua merupakan hal yang penting dalam mengarahkan dan membina anak. Sekolah, peran guru sangat diperlukan dalam memotivasi anak antara lain : 1). Guru menegur yang baik. 2). Guru menginginkan siswanya menjadi siswa yang sukses. 3). Guru memberikan materi ajar sesuai kapasitas siswanya. 4). Guru memberikan umpan balik pada siswanya. 5). Guru memberikan test yang adil bagi siswa-siswanya D. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Manusia dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lagi dipandang sebagai makhluk pribadi, namun sudah dipandang sebagai makhluk sosial yang keberadaannya tidak terlepas dari keberadaan orang lain. Manusia memiliki kelebihan-kelebihan, yang orang lain belum tentu memiliki. Demikian pula manusia juga memiliki keterbatasan, sehingga dalam kehidupan, manusia memerlukan bantuan orang lain. Manusia saling membantu meringankan beban sesamanya dengan cara saling memberikan pertolongan satu dengan yang lainnya.
Para ahli Psikologi, khususnya psikologi sosial telah membahas mengenai perilaku prososial. Bahkan jauh sebelum masalah perilaku prososial ini menjadi kajian para ahli, masyarakat awam telah banyak menggunakan istilah ‘monolong’ untuk menggambarkan adanya perilaku seseorang yang memberikan bantuan kepada pihak yang membutuhkan, terlepas dari motif si ‘penolong’ itu sendiri. Lebih lanjut menurut Bierhoff (2002) istilah-istilah seperti perilaku menolong (helping behavior), perilaku prososial (prosocial behavior), dan altruisme (altruism), seringkali digunakan secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk tujuan analisis, istilah-istilah ini dapat dipisahkan dan dijelaskan masingmasing sebagai berikut: a. Menolong merupakan istilah yang paling umum; termasuk semua bentuk dukungan interpersonal, artinya menolong (helping) diartikan sebagai suatu tindakan yang melibatkan hubungan antara seseorang dengan orang lain, dalam hal ini adalah pihak penolong dan pihak penerima pertolongan. b. Perilaku prososial memiliki arti yang lebih sempit; yaitu tindakan yang diharapkan dapat memperbaiki keadaan pihak penerima pertolongan, sementara itu si pelaku (penolong) tidak didorong oleh adanya pemenuhan kewajiban secara profesional; dan pihak penerima pertolongan hanyalah seseorang, bukan sebuah organisasi, artinya perilaku prososial merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan pihak penerima dimana pihak pemberi pertolongan adalah seseorang yang tidak terikat dengan tuntutan profesi (untuk menolong orang lain) dan pihak penerima bantuan pun adalah perseorangan. Sebagai contoh, seorang perawat yang membantu orang sakit tidak termasuk ke dalam bentuk perilaku prososial, karena perawat memang merupakan profesi yang menuntut adanya kesiapan seseorang untuk memberikan pertolongan kepada orang lain, dalam hal ini pasien. Sementara itu, pihak penerima bantuan dalam hal ini adalah perseorangan. Ketika seseorang memberikan bantuan ke sebuah yayasan atau panti asuhan, hal tersebut tidak termasuk ke dalam perilaku prososial, karena pihak penerima bantuan adalah sebuah organisasi, bukan satu orang. c. Altruisme mengacu pada perilaku prososial yang memiliki batasan tambahan, yaitu bahwa dorongan perilaku prososial si pelaku pertolongan ditandai oleh perspektif yang diambil dan empati, artinya dalam altruisme, empati memegang peranan penting, menjadi faktor utama pemicu seseorang untuk memberikan bantuan kepada orang lain dengan merefleksikan pertimbangan untuk benar-benar tidak mementingkan diri sendiri demi kepentingan orang lain. Dengan kata lain, altruisme seseorang (penolong) benar-benar mampu merasakan keadaan emosional pihak penerima pertolongan, merasa simpati, mencoba membantu menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain Baron & Byrne, (2002). Seseorang yang benar-benar berjiwa altrustik benar-benar hanya untuk membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan sama sekali baginya (Myers, 2005) Bila digambarkan dalam bentuk diagram, maka konsep perilaku prososial menurut Bierhoff (2002) sebagai berikut:
Helping behavior
Pro social behavior
Altruism
Diagram : 1
Konsep Hubungan Antara Menolong, Perilaku Proposial, Altruisme ( Hans-Werner Bierhoff, 2001 dalam Hans-Werner Bierhoff, 2002 ) Definisi perilaku sosial menurut Bierhoff sesuai dengan apa yang dikemukakan Batson. Menurut Batson, perilaku prososial adalah kategori yang lebih luas (dibandingkan dengan altruism). Hal ini disebabkan perilaku prososial menurut Batson mencakup setiap tindakan yang dirancang untuk membantu orang lain, seperti dikutip dalam Sears, et al ( 2009) sebagai berikut: ”.....Perilaku Prososial mencakup tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Banyak tindakan prososial bukan tindakan altruistik.....Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribdi...” Terlepas dari perbedaan tersebut, kelanjutannya muncul beberapa definisi perilaku prososial dari beberapa ahli. Perilaku prososial secara singkat didefinisikan sebagai tindakan yang diharapkan dapat menguntungkan bagi orang lain (Kassin, et.al; 2008). Lebih lanjut Baron dan Byrne, (2005) mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan segala tindakan yang menyediakan keuntungan langsung, ( bagi pihak penerima bantuan) & mungkin memiliki risiko tertentu bagi orang yang melakukannya (si penolong). Pendapat ini hampir senada dengan definisi yang dikemukakan Dayakisni & Hudaniah, (2009) bahwa perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Dalam sebuah perilaku prososial terdapat aliran bantuan yang diharapkan dapat meringankan beban si penerima bantuan tersebut, baik bantuan berupa materi/ bersifat kebendaan maupun bantuan berupa dukungan moral. Hal ini berarti bahwa perilaku prososial yang dilakukan seseorang memiliki tujuan semata-mata untuk meringankan beban pihak penerima bantuan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan (Brigham ) bahwa perilaku prososial merupakan sebuah perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material dan psikologis. Perilaku prososial dapat dikatakan bertujuan untuk menyokong dan meningkatkan kesejahteraan (well being) orang lain, yaitu pihak penerima bantuan ( Dayakisni & Hudaniah, 2009).
2. a. 1) 2) 3) 4) b.
c.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang dikemukakan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah suatu bentuk dukungan interpersonal yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, yang membutuhkan, baik bantuan secara material maupun dukungan moral yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pihak penerima bantuan, baik secara fisik maupun psikis namun tidak mendatangkan keuntungan yang jelas bagi pihak penolong, bahkan mengundang risiko tertentu. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial Menurut Schoeder ( Bierhoff, 2002), perilaku prososial mencakup hal-hal sebagai berikut: Menolong, artinya suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan orang lain. Menurut ( Andayani, 2007) menolong dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Casual helping, artinya memberikan bantuan kecil kepada seseorang yang baru dikenal, sebagai contoh: mengambilkan barang yang jatuh dan memberikannya kepada pemiliknya meskipun tidak mengenal pemiliknya. Substantial personal helping , artinya memberikan keuntungan yang nyata kepada seseorang dengan mengeluarkan usaha-usaha yang cukup dapat diperhitungkan, sebagai contoh: membantu teman mengangkut barang ketika akan pindah kos. Emotional helping , artinya memberikan dukungan secara emosional dan personal pada seseorang, sebagai contoh: mendengarkan cerita seorang teman yang tengah menghadapi masalah. Emergency helping , artinya memberikan bantuan kepada seseorang (orang yang tidak dikenal ) yang tengah menghadapi masalah yang serius dan mengancam keselamatan jiwa, sebagai contoh: menolong korban kecelakaan. Altruisme, artinya memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan. Altruisme merupakan perilaku yang merefleksikan pertimbangan untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Altruisme sejati, seseorang hanya peduli pada kepentingan orang lain yang tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain (Baron & Byrne, 2005). Altruisme memiliki ciri dimana seseorang akan melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh dan mungkin berisiko tinggi dan menambahkan kondisi dimana ia harus mengeluarkan harga atas tindakannya tersebut (Andayani, 2007). Namun, fokus utama dalam altruisme adalah pada tindakan memberikan bantuan kepada orang lain. Sementara itu, untuk harga yang harus dikeluarkan oleh si penolong adalah bentuk konsekuensi yang secara sadar diterima atas perilaku menolong yang dilakukan. Kerjasama, artinya hubungan antara dua orang atau lebih yang secara positif saling tergantung berkenaan dengan tujuan mereka, sehingga gerak seseorang dalam mencapai tujuan cenderung akan dapat meningkatkan gerak orang lain untuk mencapai tujuannya. E. CTL ( Contextual Teaching and Learning )
1. Pengertian CTL Contextual Teaching and Learning adalah merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, mendorong siswa mengaitkan antara materi yang diajarkan dalam penerapan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat ( Depdiknas, 2003 ). Pendekatan CTL (Contextual Teaching Learning), Sebagai Pendekatan pembelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), merupakan pendekatan pembelajaran, yang sebenanya hampir sama dengan cooperative learning yaitu bagaimana menghidupkan kelas. Kelas yang hidup
adalah kelas yang memberdayakan siswa, kelas yang produktif, menyenangkan bagi siswa dalam belajar, hanya aspek penekanan yang berbeda antara CTL dan Cooperative Learning. CTL mengandung pengertian suatu pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran siswa di bawa kealam nyata, riil. Ini sejalan dengan yang digariskan Depdiknas, ( 2003). CTL konsep belajar yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Sedang cooperative learning adalah sikap atau perilaku bersama, bekerja saling membantu diantara sesama siswa dalam menyelesaikan, mengerjakan tugas atau memecahkan suatu persoalan. Hal ini sejalan dengan pendapat Slavin, (1990) cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for their team mates learning as well as their own. Artinya cooperative learning bentuk kerja sama antar siswa dalam belajar, yang bertanggung jawab terhadap team belajarnya. Keberhasilan yang dihasilkan adalah merupakan hasil kerja sama dari kelompok. Jadi siswa memang dirancang guru untuk dapat bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, yang hasilnya adalah merupakan kesimpulan dari kerja kelompok. Kerja kelompok ini biasanya akan lebih efektive apabila anggota-anggotanya tidak terlalu banyak. Maksimal lima siswa kerja akan dapat lebih efektive, hasil yang diperoleh adalah merupakan kesepakatan bersama dari hasil diskusi. Lebih jauh Slavin menjelaskan bahwa cooperative learning ini akan lebih efektif karena dapat menciptakan kerja sama antar siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda. Cooperative learning has wonderful bonefist for relationships between students of defferent ethnic backgrounds and between main screamed special education student and their classmatters, adding anather critical reason to use cooperative learning diverse classrooms, Slavin (1990) Pembelajaran cooperative dapat dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain : a) Murid dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil antara empat sampai lima siswa. b) Siswa didorong untuk dapat saling membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan bahan yang bersifat akademik atau menyelesaikan tugas-tugas kelompok c) Siswa diberikan reward sebagai rangsangan untuk memacu siswa dalam meningkatkan prestasinya. Untuk dapat ,mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran contextual teaching and learning harus dapat diterapkan kerja sama, saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru, sharing antar siswa. Lebih lanjut Anita Lie (2004) memberikan gambaran : a) Saling ketergantungan yang positif b) Tanggung jawab perseorangan c) Komunikasi antar anggota d) Evaluasi proses kerja kelompok Dengan demikian keberhasilan dalam pembelajaran sangat tergantung dalam kemampuan berinteraksi siswa dalam kelompok. Kegiatan proses pembelajaran akan dapat berjalan dengan efektife apabila inti kegiatan pembelajaran diketahui dengan pasti. 2. Tahapan-tahapan Dalam CTL Untuk memperjelas pembelajaran contextual teaching and learning Depdiknas (2003) memberikan contoh-contoh bentuk pembelajaran CTL 1). Menemukan ( inquiry ), siswa menemukan sendiri, atau dengan bimbingan guru. 2). Bertanya ( questioning ), dalam pembelajarn produktif kegiatan bertanya sangat berguna, 3). Masyarakat belajar ( community learning ), seseorang dapat dipergunakan orang lain sebagai sumber belajar . 4).
Constructivism , siswa mampu mengkontruksi antara ilmu yang sedang dipelajari dengan ilmu yang sudah dipelajari. 5). Modeling, siswa mampu mencotoh atau menirukan sesuatu yang diberikan guru Contoh; cara melempar bola, cara melafalkan bahasa inggris. 6). Reflection, cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari dan apa yang sudah dilakukan masa lalu. 7). Authentic assessment, proses pengumpulan data, informasi siswa yang dapat memberikan perkembangan pembelajaran. Jadi jelas bahwa CTL akan terjadi jika ada kerja sama, saling pengetian dalam menyelesaikan tugas –tugas akademik atau pun tugas kelompok. Jadi contextual teaching and learning dan cooperative learning adalah merupapakan pendekatan pembelajaran yang keduanya saling mendukung untuk memperoleh hasil yang maksimal.artinya kalau Contextual teaching and learning lebih menekankan komponenkomponen, Contructivism, pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit oleh manusia yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas dan tidak mendadak. Inquiry, menemukan, bagian dari kegiatan pembelajaran CTL. Questionning, pengetahuan dimiliki seseorang dimulai dari bertanya. Learning community, hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Modeling, pembelajaran keterampilan pengetahuan tertentu adalah model yang dapat ditiru. Reflection, cara berfikir tentang apa telah dipelajari, berfikir kebelakang tentang apa-apa yang telah dipelajari. Authentic assessment, proses pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang kemampuan perkembangan siswa Depdiknas( 2003 ). Pembelajaran contextual lebih menekankan pada pembelajaran riil, artinya siswa dibawa kealam nyata sesuai dengan materi yang sedang dikaji dan dipelajari F.. Hakekat IPS 3. Hakikat IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) 1) Pengertain IPS ( Ilmu Pengetahuan Sosial ) Ilmu pengetahuan sosial merupakan salah satu mata pelajaran di SMP, yang terdiri dari sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi. Bertujuan memberi pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan pada siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berfikir inquiry, pemecahan masalah dan ketrampilan sosial Depdiknas, (2004). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial dan kewarganegaraan Saidihardjo, (2004). Jadi, ilmu pengetahuan sosial berupaya mengembangkan pemahaman siswa tentang individu dan kelompok hidup bersama dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan kegiatan bermain peran, komunikasi, dan peran serta siswa, diharapkan dapat memahami dunia sekelilingnya. Dalam praktik pembelajarannya, penyajian Ilmu Pengetahuan Sosial dilakukan secara terpadu, agar pelajaran itu lebih mempunyai arti (lebih bermakna) bagi siswa tidak tumpang tindih Saidihardjo, (2004) bahkan dalam pengkajiannya pun dipisah–pisahkan secara ketat dari masing–masing aspek pelajaran. Artinya, prinsip-prinsip pokok dari fenomena dapat dilihat secara utuh melalui tinjauan berbagai aspek, tetap dipertahankan, dan memberi satu pengertian yang utuh bagi siswa. Mendorong siswa untuk dapat memahami fenomena sosial ditinjau dari berbagai aspek, yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Cara ini akan dapat lebih bermakna bagi siswa dalam mengembangkan pola pikirnya dalam memahami lingkungan, fenomena, pemecahan masalah dan dalam mengantisipasi masa depan. Tahun 1992 the board of directors, istilah Ilmu Pengetahuan Sosial dari NCSS (NationalCouncil for Social Studies) sebagai berikut : Social studies are the integreted study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated , systematic study
drawing upon such diciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political sciene, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics and the natural sciences. (K12-Social Studies 19952007) Artinya, ilmu pengetahuan sosial adalah kajian terpadu ilmu–ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan. Dalam program sekolah Ilmu Pengetahuan Sosial dikoordinasikan sebagai suatu bahasan yang sistematis dibangun dari beberapa disiplin ilmu antara lain: antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, juga mencakup materi humaniora, matimateka dan ilmu alam. Selanjutnya, NCSS ( National Council for Social Studies, 2007 ) menjelaskan bahwa pembelajaran IPS untuk: Help students construct a knowledge base and attitudes drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality. Artinya, IPS membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan dasar serta sikap disiplin suatu ilmu, terutama pandangan yang benar. Lebih jauh lagi untuk dapat memahami IPS, Forum Komunikasi Fakultas Ilmu Pendidikan IPS seluruh Indonesia merumuskan: Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan paedagogis, psykologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam rangka mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila (Saidihardjo, Bahan kuliah IPS: 2006 ). Lebih lanjut, Mulyono, menegaskan bahwa IPS merupakan integrasi berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, politik, ekologi. Jadi dari definisi-definisi ilmu pengetahuan sosial, merefleksikan suatu orientasi yang mengarah pada pendekatan bagaimana membina dan mengembangkan suatu masyarakat yang baik yang dapat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Dengan pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan sebagai tempat tinggalnya. Adanya sikap keterbukaan (transparansi), mampu bersinergi dengan lingkungannya, mampu berkomunikasi dengan baik terhadap lingkungan. Artinya, bahwa manusia yang mempelajari ilmu pengetahuan sosial mereka akan dapat hidup dengan wajar, lebih baik terhadap lingkungan dan menjadi warga negara yang baik. 2) Tujuan Pembelajaran IPS ( Ilmu Pengetahuan Soaial ) Pembelajaran ilmu pengetahuan sosial mengkaji kehidupan masyarakat dari berbagai aspek keilmuan. IPS mata pelajaran yang materinya berkaitan langsung dengan organisasi dan pembangunan masyarakat serta manusia sebagai anggota kelompok sosial. Sejalan dengan pengertian tersebut Chapin and Massick, menyatakan: No other area of the curriculum is more concerned with human relations than the social studies, which is designed to help us understand ourselves as well as ather from our families and nearby neighbours to those who live halfway arround the world. Artinya tidak ada kurikulum selain IPS yang lebih peduli tentang hubungan antar sesama yang dirancang untuk membantu memahami diri sendiri dan orang lain dari keluarga, tetangga yang hidup disekitar kita sampai penduduk dunia. Jadi, jelas dengan pembelajaran IPS siswa memiliki kemampuan dan ketajaman untuk menganalisis problema kehidupan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari tujuan pendidikan nasional Indonesia yang tertuang dalam UU No. 20 (2003) dan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, berbudi pekerti luhur, cerdas dan trampil.
Di samping itu, tujuan utama pembelajaran ilmu pengetahuan sosial adalah untuk mengkaji berbagai aspek kehidupam dalam masyarakat. Agar siswa dapat mengerti dan memahami berbagai persoalah kehidupan yang terjadi didalam lingkungan keluarga, dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunal,(1990) social studies as developing students understending of the society in which they live. Artinya, ilmu sosial mengembangkan siswa mengenal masyarakat dan tempat tinggalnya. Di samping itu, IPS mendorong tumbuh kembangnya wawasan dan pengetahuan, pengalaman, ketrampilan serta nilai–nilai seseorang. Social studies contribute in several fundamental ways.Student gain self realization through experiences that foster each individual’s growth knowledge, skill and personal values. Students better understand human relationship through multiculturel and ethnic studies, the study of various cultures the development of interpersonal skills and analysis of inter group problem.( Michaelis ). Sejalan dengan pengertian tersebut , IPS juga mengembangkan sikap demokrasi sebab warga negara yang baik, seperti yang dikemukakan (Michaelis) social studies contribution to make to the development of demokratic behavior. Dalam Kurikulum 2004 Depdiknas (2004) dikemukakan bahwa tujuan pelajaran ilmu pengetahuan sosial adalah sebagai berikut: Mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan, kewarganegaraan. Mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai–nilai kemanusian. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dalam masyarakat majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional. Pembelajaran ilmu pengetahuan sosial di sekolah dimaksudkan agar dapat memwujudkan pengetahuan sikap, ketrampilan, kemampuan serta kecerdasan yang diperlukan seseorang untuk dapat hidup sejahtera di dalam lingkungannya Mulyono, (1991). Disamping itu IPS bertujuan membentuk siswa yang memiliki rasa integritas sosial yang tinggi, memahami dan mematuhi nilai–nilai sosial yang berlaku serta memiliki kesadaran untuk ikut mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan belajar ilmu pengetahuan sosial siswa diharapkan memiliki kemampuan, ketajaman untuk menganalisis dan memberikan interpretasi atas problem kehidupan masyarakat yang sangat kompleks, sehingga akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri atau masyarakat pada umumnya. Chase (1967) menyatakan pembelajaran IPS adalah To help pupils to develop modes of inquiry and subtantive understandings which will help them think more critically and creatively abaout the world in wich they live. To help them attain an identification with and an emotional attachment to the ideals and values that guide men’s lives in a democratic society.To enable leaners to anticipate and seek to shape changes that will contribute to the advancement of their way of life. Jadi, keterampilan-keterampilan sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Taba Udin Saripudin, (1989), memperjelas bahwa pengajaran Ilmu pengetahuan Sosial adalah memberikan konsep–konsep dasar (basic concepts) seperti interdependensi, perubahan budaya, sikap. Proses berfikir misal pembentukan konsep (concept formation), generalisasi dan penerapan prinsip . Adanya sikap, kepekaan dan perasaan, serta memiliki keterampilan baik keterampilan berpikir ataupun keterampilan akademis. Jadi, dari uraian–uraian tersebut jelas bahwa tujuan pembelajaran ilmu pengetahuan sosial tidak hanya pengembangan intelektual semata. Tetapi
a. b. c.
3)
pengembangan kepribadian siswa secara keseluruhan, berdasar apa yang dipandang baik bangsa dan negara, masyarakat serta kebutuhan siswa. Hal tersebut perlu didukung, diarahkan dan dibina untuk kebaikan bersama, karena keluasan jangkauan tersebut, dapat terwujud mengingat pendidikan ilmu pengetahuan sosial merupakan wahana pendidikan yang menekankan pada kepentingan bangsa, negara dan pribadi siswa. Atas dasar tersebut Mulyono (1980 ) mengelompokkan : Pendidikan IPS bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual siswa. Pendidikan IPS bertujuan mengembangkan pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan IPS bertujuan mengembangkan diri pribadi siswa. Jadi, jelaslah bahwa dalam pembelajaran IPS di sekolah menengah bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta menanamkan sikap serta nilai– nilai, moral dalam pengambilan keputusan baik secara individu atau pun secara berkelompok, sehingga dapat menjadi warga negara yang baik, aktif, kreatif dan bertanggung jawab. Artinya tujuan utama pendidikan IPS membantu siswa belajar tentang lingkungan sosial dan cara hidup mereka dan bagaimana mereka memperoleh cara hidup itu. Belajar menghadapi kenyataan sosial dan mengembangkan pengetahuan sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, pembelajaran IPS lebih luas jangkauannya. Pengembangan kepribadian siswa secara keseluruhan sesuai kebutuhan masyarakat bangsa dan negara. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, yang berakibat perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Tugas guru dalam pembelajaran adalah menciptakan, mengkondisikan lingkungan agar dapat menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Proses pembelajaran perlu dilakukan dengan keadaan tenang, menyenangkan, menarik, bagi para siswa. Hal ini tentu sangat membutuhkan kreatifitas guru dalam menciptakan lingkungan yang dapat menunjang terjadinya interaksi antara siswa guru, sehingga terjadi proses belajar mengajar. Proses pembelajaran itu dapat dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik secara mental, fisik maupun intelektualnya, sebab belajar secara psichologis adalah merupakan proses perubahan tingkah laku dari hasil interaksi dengan lingkungan Slameto, (1995). Ini berarti bahwa dalam setiap proses pembelajaran sasaran utama adalah bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik . Untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibutuhkan guru yang profesional, artinya guru tersebut mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dengan mempergunakan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan pada siswa. Dikemukakan ( Mukminan, (2004) bahwa dalam pembelajaran tidak ada satu metode, untuk mencapai semua tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran guru harus dapat mengembangkan, dan memilih metode yang tepat, cocok dari setiap kompetensi yang disyaratkan. Dengan kata lain, strategi pembelajaran sangat diperlukan oleh seorang guru agar dalam pembelajarannya dapat memperoleh hasil maksimal. Dadang Suleman (1988), berpendapat bahwa pembelajaran sebagai suatu perencanaan yang teliti, metode, atau sebagai suatu seni penggunaan rencana dalam mencapai suatu tujuan. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran menyangkut berbagai faktor baik itu persiapan, perencanaan metode, pelaksanaan, semua dipersiapkan sedemikian rupa agar dalam pelaksanaannya dapat melibatkan seluruh komponen yang ada, dengan harapan akan dapat memperoleh hasil yang maksimal. Jadi, dari uraian di atas bahwa pembelajaran berkualitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah meningkatkan
keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Keterlibatan yang dimaksud adalah aktivitas siswa yang meliputi aktivitas mental yaitu memikirkan jawaban, merenungkan, membayangkan, merasakan. Aktivitas fisik seperti melakukan latihan, bertanya, menjawab pertanyaan, menulis, mengerjakan tugas–tugas, membaca buku sumber dan melakukan pengamatan. G. Metode Pengumpulan data Penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala, Skala perilaku sosial disajikan menggunakan empat pilihan jawaban yaitu Sangat sesuai ( SS ), Sesuai ( S ), Tidak sesuai ( TS ) dan Sangat tidak sesuai ( STS ) yang disajikan dalam bentuk pernyataan Favorable dan unfavorable skala perilaku sosial dapat dilihat lampiran. Pemberian skor untuk butir favorable adalah 4 sampai dengan 1, sedang unfavorable 1 sampai 4. Ketentuan pemberian skor untuk butir favorable adalah 4 untuk jawaban sangat sesuai ( SS ), Skor 3 untuk jawaban sesuai ( S ), Skor 2 untuk jawaban tidak sesuai ( TS ), Skor 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai ( STS ). Ketentuan unfavorable, skor 1 jawaban sangat sesuai ( SS ), Skor 2 jawaban sesuai ( S ), Skor 3 untuk jawaban tidak sesuai ( TS ), dan skor 4 jawaban sangat tidak sesuai ( STS ). Dengan distributor skala Perilaku Prososial sebagai berikut : Skala motivasi belajar disajikan menggunakan empat pilihan jawaban yaitu Sangat sesuai ( SS ), Sesuai ( S ), Tidak sesuai ( TS ) dan Sangat tidak sesuai ( STS ) yang disajikan dalam bentuk pernyataan Favorable dan unfavorable skala perilaku sosial dapat dilihat lampiran. Pemberian skor untuk butir favorable adalah 4 sampai dengan 1, sedang unfavorable 1 sampai 4. Ketentuan pemberian skor untuk butir favorable adalah 4 untuk jawaban sangat sesuai ( SS ), Skor 3 untuk jawaban sesuai ( S ), Skor 2 untuk jawaban tidak sesuai ( TS ), Skor 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai ( STS ). Ketentuan unfavorable, skor 1 jawaban sangat sesuai ( SS ), Skor 2 jawaban sesuai ( S ), Skor 3 untuk jawaban tidak sesuai ( TS ), dan skor 4 jawaban sangat tidak sesuai ( STS ). Dengan distributor skala motivasi belajar sebagai berikut semakin tinggi skor individu semakin tinggi motivasi belajarnya, sebaliknya semakin rendak skor individu semakin rendah pula motivasi belajarnya. G. Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretest-postest control group design, yang bertujuan untuk membandingkan dua perlakuan yang berbeda kepada subjek penelitian. Perlakuan kelompok eksperimen diberikan perlakuan menggunakan pendekatan pembelajaran CTL ( Contextual Teaching and Learning ) dalam proses pembelajaran,
Tabel 5. Desain Penelitian
Kelompok E
Pre tes
Perlakuan
Post tes
P1
X1
P2
Keterangan : E = Eksperimen P1 = Pre tes kelompok eksperimen X1 = Perlakuan menggunakan pendekatan pembelajaran CTL P2 = Post tes kelompok eksperimen H. Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan menyajikan tabulasi dan angka-angka statistik sederhana. Azwar (2003) mengemukakan bahwa “deskripsi data penelitian dapat dimanfaatkan untuk melakukan kategorisasi pada masing-masing skala penelitian yaitu menetapkan kreteria yang didasari asumsi bahwa skor populasi subyek terdistribusi secara normal sehingga dapat dibuat skor secara teoritis yang terdistribusi” Berdasarkan hasil analisis deskripsi data, pengukuran menggunakan skala hanya dilakukan pada variable motivasi belajar dan perilaku prososial, sehingga penjelasan menggenai kataegori deskriptif jawaban subyek pada skala hanya dijabarkan pada variable motivasi belajar dan perilaku prososial. Diskripsi data variable motivasi belajar dan perilaku prososial seperti pada table di bawah ini: a. Pre-test pada motivasi belajar Berdasarkan hasil belajar statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS16 for windows, menujukkan bahwa skor tara-rata motivasi belajar subjek penelitian eksperimen yaitu 121,80 standar deviasi 16.020,dengan skor tertinggi yaitu 145 dan skor rendah yaitu 92. Distribusi frekuensi untuk skor pre-test motivasi belajar selengkapnya untuk keseluruhan subjek kelompok eksperimen dapat dilihat pada lampiran. Untuk mengetahui katagori skor akhir motivasi belajar, maka data pre-test akan digolongkan menjadi tiga katagoris yaitu tinggi, sedang dan rendah dengan rumusan sebagai berikut : Tinggi : M + 1 SD s.d skor tertinggi Sedang : M – 1 SD s,d < M + 1 SD Rendah : Terendah s,d < M – 1 SD
Tabel 7, Kategorisasi skor variabel pre-test motivasi belajar Skor
Frekuensi
Persentase
Kategorisasi
3
10%
Tinggi
24
80%
Sedang
3
10%
Rendah
30
100%
141,00 < X 94,00 < X <= 141,00 X <= 94,00
Keterangan : X = Skor subjek M = Rata-rata SD = Deviasi Standar Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi belajar tinggi sebanyak 3 orang (10%), motivasi belajar sedang sebanyak 24 orang (80%) dan motivasi belajar rendah sebanyak 3 orang (10%). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden penelitian memiliki motivasi belajar yang sedang. b. Pre-test pada prilaku prososial Berdasarkan hasil belajar statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS16 for windows, menujukkan bahwa skor rata-rata prilaku prososial subjek penelitian eksperimen yaitu 110,433 standar deviasi 19.649,dengan skor tertinggi yaitu 133 dan skor rendah yaitu 78. Distribusi frekuensi untuk skor pre-test prilaku prososial selengkapnya untuk keseluruhan subjek kelompok eksperimen dapat dilihat pada lampiran. Untuk mengetahui katagori skor akhir perilaku prososial, maka data pre-test akan digolongkan menjadi tiga katagoris yaitu tinggi,sedang dan rendah dengan rumusan sebagai berikut : Tinggi : M + 1 SD s.d skor tertinggi Sedang : M – 1 SD s,d < M + 1 SD Rendah : Terendah s,d < M – 1 SD Tabel 8, Kategorisasi skor variabel pre-test motivasi belajar
Skor
Frekuensi
Persentase
Kategorisasi
4
13,3%
Tinggi
20
66,6%
Sedang
6
20,0%
Rendah
30
100%
132,00 < X 88,00 < X <= 132,00 X <= 88,00
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang memiliki prilaku prososial tinggi sebanyak 4 orang (13,3%), motivasi belajar sedang sebanyak 20 orang (66,6%) dan prilaku prososial rendah sebanyak 6 orang (20,0%). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden penelitian memiliki prilaku prososial yang sedang. c. Post-test pada motivasi belajar Berdasarkan hasil belajar statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS16 for windows, menujukkan bahwa skor Rara-rata motivasi belajar subjek penelitian eksperimen yaitu 141,233 standar deviasi 18.753,dengan skor tertinggi yaitu 166 dan skor rendah yaitu 103. Distribusi frekuensi untuk skor pos-test motivasi belajar selengkapnya untuk keseluruhan subjek kelompok eksperimen dapat dilihat pada lampiran. Untuk mengetahui katagori skor akhir motivasi belajar, maka data pos-test akan digolongkan menjadi tiga katagoris yaitu tinggi,sedang dan rendah dengan rumusan sebagai berikut : Tinggi : M + 1 SD s.d skor tertinggi Sedang : M – 1 SD s,d < M + 1 SD Rendah : Terendah s,d < M – 1 SD
Tabel 9, kategorisasi skor variabel pre-test motivasi belajar Skor 141,00 < X 94,00 < X <= 141,00 X <= 94,00 jumlah
Frekuensi
Persentase
Kategorisasi
18
60%
Tinggi
12
40%
Sedang
0
0%
Rendah
30
100%
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi belajar tinggi sebanyak 18 orang (60%), motivasi belajar sedang sebanyak 12 orang (40%) dan motivasi belajar rendah sebanyak 0 orang (0%). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden penelitian memiliki motivasi belajar yang tinggi. d. Pos-test pada perilaku prososial Berdasarkan hasil belajar statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS16 for windows, menujukkan bahwa skor tara-rata prilaku prososial subjek penelitian eksperimen yaitu 128,466 standar deviasi 19.261,dengan skor tertinggi yaitu 156 dan skor rendah yaitu 101. Distribusi frekuensi untuk skor pos-test prilaku prososial selengkapnya untuk keseluruhan subjek kelompok eksperimen dapat dilihat pada lampiran. Untuk mengetahui katagori skor akhir perilaku prososial, maka data pos-test akan digolongkan menjadi tiga katagoris yaitu tinggi,sedang dan rendah dengan rumusan sebagai berikut : Tinggi : M + 1 SD s.d skor tertinggi Sedang : M – 1 SD s,d < M + 1 SD Rendah : Terendah s,d < M – 1 SD
Tabel 10, Kategorisasi skor variabel pos-test motivasi belajar Skor 132,00 < X 88,00 < X <= 132,00 X <= 88,00
Frekuensi
Persentase
Kategorisasi
15
50%
Tinggi
15
50%
Sedang
0
0%
Rendah
30
100%
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang memiliki prilaku prososial tinggi sebanyak 15 orang (50%), motivasi belajar sedang sebanyak 15 orang (50%) dan prilaku prososial rendah sebanyak 0 orang (0%). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden penelitian memiliki prilaku prososial yang cukup a. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji-t yang dimaksudkan untuk menguji rata-rata hitung di antara kelompok pre tes dan kelompok pos tes. 1) Uji t untuk motivasi belajar Hipotesis yang diuji : Ho : μ1 = μ2 (Tidak ada perbedaan motivasi belajar antara pre tes dan pos tes). Ha : μ1 ≠ μ2 (Ada perbedaan motivasi belajar antara pre tes dan pos tes).
hasil uji dengan SPSS diperoleh :
Tabel 11. Hasil uji t penelitian Variabel yang diuji
Mean
Pre tes Motivasi
121,80
Pos tes Motivasi
141,23
t
p
Keterangan
-18,525
0,000
Ada beda
Karena p=0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada perbedaan motivasi belajar yang signifikan antara antara pre tes dengan pos tes. Jika dilihat nilai mean nya maka nilai mean pos tes lebih besar dibanding dengan nilai mean pre tes (141,23 > 121,80). Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran CTL efektif untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. 2) Uji t untuk Perilaku prososial Hipotesis yang diuji : Ho : μ1 = μ2 (Tidak ada perbedaan Perilaku prososial belajar antara pre tes dan pos tes). Ha : μ1 ≠ μ2 (Ada perbedaan Perilaku pro sosial belajar antara pre tes dan pos tes). Hasil uji dengan SPSS diperoleh :
Tabel 12. Hasil uji t data penelitian Variabel yang diuji
Mean
Pre tes Perilaku pro sosial
110,43
Pos tes Perilaku pro sosial
128,47
t
p
Keterangan
-18,234
0,000
Ada beda
Karena p=0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada perbedaan perilaku prososial yang signifikan antara antara pre tes dengan pos tes. Jika dilihat nilai mean nya maka nilai mean pos tes lebih besar dibanding dengan nilai mean pre tes (128,47 > 110,43). Sehingga adapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran CTL efektif untuk meningkatkan perilaku prososial siswa. Kesimpulan 1. Karena p=0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti Ada perbedaan motivasi belajar dan prilaku prososial antara pre tes dengan pos tes. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran Contectual teaching learning (CTL) efektif untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. 2. Karena p=0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada perbedaan Perilaku pro sosial yang signifikan antara antara pre tes dengan pos tes. Jika dilihat nilai mean nya maka nilai mean pos tes lebih besar dibanding dengan nilai mean pre tes (128,47 > 110,43). Sehingga dapat disimpulkan bahwa (1) metode pembelajaran Contectual teaching learning (CTL) dalam pembelajaran IPS efektif untuk meningkatkan motivasi belajar dan Perilaku prososial . Referensi Wlodkowski &Jaynes, 2004, Enhancing adult motivation to learn. Jossey Bass. Sardiman.AM. 2010. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Sardiman.AM. 2000. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Hamalik,2001, Metode Belajar dan Kesulitanm Belajar, Tarsindo Bandung. Sanjaya, 2011, Strategi belajar, Surabaya, Erlangga. Depdiknas, 2004, Standart Kompetensi IPS, Depdiknas , Jakarta. Saidihardjo, 2004, Pengembangan Sistim Penilain dalam Pembelajaran IPS, SLTP, FIS (Fakultas Ilmu Pengerahuan Ilmu Sosial ), Yogyakarta, UNY. Ellis, AK. 1977. Teaching and Learnng Elementry Social Studies, Buston: allyn and Bacon Inc. NCSS.2007. National Council for Social Studies, Diambil tanggal : 24 mei 2012.Http/www/cew/wisc.edu/Teachnet/ctl/1k. Depdiknas , 2003, CTL ( contextual Teaching and Learning ), Depdiknas, Jakarta. Sardiman.AM. 2011. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Winkel,WS. 2000. Psikologi Pengajaran, Gracindo, Jakarta.
Bierhoff, Hans Werner. 2002. Prosocial Behavior-social Psikology A. Modular Course, New York. Taylor and Francis Inc. Baron , RA. Berney, 2005. Psykology Social jilid 2 edisi ke -10 ( alih bahasa : Retno Juwita dkk). Jakarta, Erlangga. Bierhoff, Hans-Werner . 2002. Prosocial Behavior- social Psikology a Modular Course, New York Taylor and Francis Inc. Dayakisni , Tri Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial, Malang UMM Press . Andayani. Ami, 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan tingkah laku prososial, skripsi Fakultas Psikologi Universitas Pajajaran, Bandung , tidak diterbitkan. Slavin RE. 1990. Cooperative Learnning teory. Research and Practice. Singapore: allyn Bacon. Chapin. JR. and Massick. 1986. Elementary Social Studies, New York. Longman. Sunnal. Cynthia.1990. Early Childhood Social Studies, Malbourne. Marril Publishing Company. Mulyono, 1980. Pengetian dan karakteristik IPS, Jakarta Depdikbud. Chase W. Linwood. 1967. Guide for the Elementary social Studies, New York. Longman. Udin Sarifudin, EW. 1989. Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Social disekolah Menengah, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Depdikbud. Slameto, 1995. Belajar dan Faktor –faktor yang mempengaruhi, Jaskarta, Rineka Cipta. Mukminan. 2004. Deasin Pembelajaran, Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta. Dadang Soeliman. 1988. Tehnologi Metodologi Pengajaran , Jakarta. Depdikbud. Dirjen Dikti.
Referensi Wlodkowski &Jaynes, 2004, Enhancing adult motivation to learn. Jossey Bass. Sardiman.AM. 2010. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Sardiman.AM. 2000. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Hamalik,2001, Metode Belajar dan Kesulitanm Belajar, Tarsindo Bandung.
Sanjaya, 2011, Strategi belajar, Surabaya, Erlangga. Depdiknas, 2004, Standart Kompetensi IPS, Depdiknas , Jakarta. Saidihardjo, 2004, Pengembangan Sistim Penilain dalam Pembelajaran IPS, SLTP, FIS (Fakultas Ilmu Pengerahuan Ilmu Sosial ), Yogyakarta, UNY. Ellis, AK. 1977. Teaching and Learnng Elementry Social Studies, Buston: allyn and Bacon Inc. NCSS.2007. National Council for Social Studies, Diambil tanggal : 24 mei 2012.Http/www/cew/wisc.edu/ Teachnet/ctl/1k. Depdiknas , 2003, CTL ( contextual Teaching and Learning ), Depdiknas, Jakarta. Sardiman.AM. 2011. Interaksi dan Motivasi belajar Mengajar, Grafindo, Jakarta. Winkel,WS. 2000. Psikologi Pengajaran, Gracindo, Jakarta. Bierhoff, Hans Werner. 2002. Prosocial Behavior-social Psikology A. Modular Course, New York. Taylor and Francis Inc. Baron , RA. BYRNE, 2005. Psykology Social jilid 2 edisi ke -10 ( alih bahasa : Retno Juwita dkk). Jakarta, Erlangga. Bierhoff, Hans-Werner . 2002. Prosocial Behavior- social Psikology a Modular Course, New York Taylor and Francis Inc. Dayakisni , Tri Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial, Malang UMM Press . Andayani. Ami, 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan tingkah laku prososial, skripsi Fakultas Psikologi Universitas Pajajaran, Bandung , tidak diterbitkan. Slavin RE. 1990. Cooperative Learnning teory. Research and Practice. Singapore: allyn Bacon. Chapin. JR. AND Massick. 1986. Elementary Social Studies, New York. Longman.
Sunnal. Cynthia.1990. Early Childhood Social Studies, Malbourne. Marril Publishing Company. Mulyono, 1980. Pengetian dan karakteristik IPS, Jakarta Depdikbud. Chase W. Linwood. 1967. Guide for the Elementary social Studies, New York. Longman. Udin Sarifudin, EW. 1989. Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Social disekolah Menengah, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Depdikbud. Slameto, 1995. Belajar dan Faktor –faktor yang mempengaruhi, Jaskarta, Rineka Cipta. Mukminan. 2004. Deasin Pembelajaran, Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta. Dadang Soeliman. 1988. Tehnologi Metodologi Pengajaran , Jakarta. Depdikbud. Dirjen Dikti.