TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR BAWANG MERAH
JANUAR ARIFIN RUSLAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Januar Arifin Ruslan NRP : H453130061
RINGKASAN JANUAR ARIFIN RUSLAN. Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SUHARNO. Aspek off-farm menjadi masalah utama dalam pengembangan sayuran. Bawang merah merupakan komoditi penting di Indonesia dengan tingkat fluktuasi harga yang besar. Selama tahun 2008-2014, rata-rata margin pemasaran bawang merah di sentra produsen-grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan grosir pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Ini menunjukan adanya disparitas harga yang besar antara lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia. Disparitas harga ini juga terkait dengan perilaku lembaga pemasaran yaitu adanya interaksi antar lembaga pemasaran. Pemodelan proses interaksi antar lembaga pemasaran diperlukan untuk memahami proses dalam penentuan harga. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir, (3) mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah. Penelitian ini menggunakan model Houck dan ECM-EG untuk menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah dan model ECM menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. Analisis teori permainan digunakan untuk mengindentifikasi perilaku pasar dalam pembentukan harga bawang merah. Data yang digunakan merupakan kombinasi dari data deret waktu dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sedangkan data primer diperoleh dari wawancara langsung ke lembaga pemasaran bawang merah. Hasil penelitian menunjukan bahwa transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah bersifat asimetris baik pada hubugan produsen-grosir maupun grosir-pengecer. Asimetri transmisi harga antara produsen-grosir dipengaruhi oleh faktor jangka pendek yaitu adjusment cost sedangkan grosirpengecer dipengaruhi oleh adanya market power di tingkat pedagang pengecer. Pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, bahan bakar minyak (BBM) dan harga impor bawang merah sedangkan dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, BBM, dan harga konsumen bawang merah pada waktu sebelumnya. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa pembentukan harga sangat dipengaruhi struktur pasar setiap lembaga pemasaran bawang merah. Kondisi pasar yang bersifat oligopsoni di tingkat petani menyebabkan strategi terkait harga bukan nash equlibrium bagi petani sebaliknya pengecer dengan kekuatan pasarnya dapat menentukan harga. Kata kunci : bawang merah, hubungan petani-grosir-pengecer, asimetris transmisi, perilaku pasar
SUMMARY JANUAR ARIFIN RUSLAN. Price Transmission and Market Behaviour of Shallot. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SUHARNO. Off-farm aspect is the main problem in development of vegetables agriculture. Shallots are important commodity in Indonesia with large price fluctuations. In 2008-2014, the marketing margin of shallot between farmwholesaler was Rp 3 100 while the marketing margin between wholesale - retailer was Rp 5 700. This shows there is a great price disparity between marketing agents. Price disparity also associated with the marketing agents’ behaviour, which indicates the existance of marketing relationship between agents. The modeling of the interaction between marketing agents is required to understand the process in determining the price. The purposes of this study were to: (1) analyze the price transmission between marketing agents (2) analyze the factors affecting prices of shallots at the final consumer (3) identify the behaviour of marketing agencies in the formation of shallot prices. This research used the Houck and ECM-EG model to analyze price transmission between marketing agents and the ECM model to analyze the factors affecting prices of shallots at the final consumer. Game theory used to identify the behaviour of marketing agencies. The data used in this study was combination of time series data and primary data. Secondary data were obtained from the Central Bureau of Statistics and central market of Kramat Jati, while primary data obtained from direct interview to marketing agents. The results showed that price transmission at farmer to wholesale was asymmetric in short-term while wholesalers to retailers was asymmetric in the long term. The asymmetric price transmission in short term was exist due to adjusment cost and in long term was due to the existence of the market power abuse. Formation of shallot prices at the level of the final consumer in the short term was influenced by wholesale prices, producer prices, fuel and import prices, whereas in long term was influenced by wholesale prices, farm price, fuel and consumer prices at the previous period of time (t-1). The analysis of market behavior showed that the price formation was influenced by the market structure of each marketing agents. The oligopsony market structure at farm level caused the pricing strategy wasn’t nash equlibrium for farmer otherwise the retailer with market power can determine the price. Keywords: shallots, farmer-wholesaler-retailer linkage, asymmetric transmission, market behaviour
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR BAWANG MERAH
JANUAR ARIFIN RUSLAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Judul Tesis Nama NIM Mayor
: Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah : Januar Arifin Ruslan : H453130061 : Ilmu Ekonomi Pertanian
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Ketua
Dr Ir Suharno, MAdev Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian : 2 Februari 2016
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai pemasaran bawang merah di Indonesia, dengan judul Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi., selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Suharno, MAdev., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis. 2. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi., selaku penguji Luar Komisi dan Dr Meti Ekayani, S Hut MSc, selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis. 3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan. 4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB. 6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua penulis Ibunda Mastura Barhiman, Kakanda Nuning Ruslan dan Ade Ruslan dan adikku Ria Ruslan atas doa dan dorongan serta semangat yang diberikan selama studi. Dengan iringan doa kepada almarhum ayahanda tercinta Ruslan H. Kasmin, terima kasih atas semua nasihat dan do’anya semasa hidup. 7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini. Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk kepentingan yang lebih baik.
Bogor, Maret 2016
Januar Arifin Ruslan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1 1 2 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Teori Harga Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas Perilaku Pasar Game Theory dalam Analisis Perilaku Pasar Kerangka Pemikiran Hipotesis
5 5 7 9 10 11 12 13 15 17
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Sampel Metode Analisis Data
18 18 18 18 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi dan Perdagangan Bawang Merah Gambaran Pergerakan Harga Bawang Merah Transmisi Harga Bawang Merah Faktor Pembentuk Harga Bawang Merah di Tingkat Konsumen Analisa Game Theory dalam Pembentukan Harga Bawang Merah
26 26 28 29 41 47
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 59
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
64
RIWAYAT HIDUP
74
DAFTAR TABEL 1 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer. 2 Perkembangan produksi bawang merah per provinsi di Indonesia tahun. 2010-2014 (Ton). 3 Deskripsi statistik harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014. 4 Hasil uji stationerita data. 5 Hasil estimasi kointegrasi harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah. 6 Hasil estimasi Granger causality harga produsen-grosir dan grosirpengecer bawang merah. 7 Hasil estimasi model asimetris Houck dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014. 8 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014. 9 Elastisitas transmisi harga dengan model Houck dan ECM-EG. 10 Hasil estimasi Wald test pada kesimetrisan harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia. 11 Hasil uji stationeritas data 12 Hasil Johanssen cointegration test 13 Hasil kointegrasi menggunakan ADF pada residual 14 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek. 15 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka panjang. 16 Analisis profitabilitas usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes, tahun 2015 17 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer
25 26 29 31 31 32 33 35 37 39 43 43 44 45 47 51 55
DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir, dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014 2 Kerangka pemikiran penelitian 3 Extensive form game antar petani dengan pedagang desa dan pedagang Pasar Klampok 4 Signaling game antara petani dengan pedagang desa 5 Persentase rata-rata produksi bawang merah per propinsi pada tahun 2008-2014 di Indonesia 6 Perkembangan volume produksi dan impor bawang merah pada tahun 2008-2014 di Indonesia 7 Margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia 8 Perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, dan harga impor di Indonesia 9 Gaming antara petani bawang merah dengan pedagang di sentra produsen (hidden action) 10 Hasil signaling game petani bawang merah dengan pedagang desa 11 Extensive game antar pengecer dalam penetapan harga
2 17 22 23 26 27 28 29 49 53 56
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kontribusi inflasi kelompok bahan makanan di Indonesia, tahun 2013 2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang (Rp) tahun 2012-2013 di Indonesia 3 Rata-rata perkembangan luas lahan dan produksi sub sektor hortikultura tahun 2009-2013 di Indonesia 4 Hasil uji stationeritas 5 Hasil uji kointegrasi 6 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-produsen 7 Uji kausalitas jangka panjang antar produsen-grosir 8 Uji kausalitas jangka panjang antara pengecer-grosir 9 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-pengecer 10 Uji kointegrasi antara produsen-grosir 11 Uji kointegrasi antara grosir-pengecer 12 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG pada hubungan grosirprodusen 13 Hasil estimasi model asimetris Houck pada hubungan grosir-produsen. 14 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen 15 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t 16 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t-1 17 Hasil estimasi dengan model ECM-EG pada hubungan pengecer-grosir 18 Hasil estimasi dengan model Houck pada hubungan pengecer-grosir 19 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen 20 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t 21 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t-1 22 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang mempengaruhi harga di tingkat konsumen dalam jangka pendek 23 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang mempengaruhi harga di tingkat konsumen dalam jangka panjang
65 65 66 66 67 68 68 68 69 69 69 69 70 70 70 70 71 71 72 72 72 73 73
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang berkembang pesat di Indonesia dikarenakan kesesuaian karakteristik lahan, agroklimat dan wilayah yang cocok untuk pengembangannya. Dari segi ekonomi, komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga dapat dijadikan usaha agribisnis hortikultura guna menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat (Dirjen Hortikultura 2011). Sayuran merupakan bagian dari sub sektor hortikultura dengan tingkat permintaan yang tinggi. Data statistik menunjukan bahwa share pengeluaran sayuran terhadap total bahan makanan meningkat dari 7.40% pada tahun 2012 menjadi 8.74% pada tahun 2013 (BPS 2014a). Peningkatan konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran bahan makanan lainnya. Salah satu sayuran unggulan Indonesia yaitu bawang merah. Bawang merah merupakan sayuran dengan luas lahan terbesar dan masuk dalam prioritas pengembangan sayuran dataran rendah di Indonesia (BPS 2014b). Komoditas ini memiliki peluang pasar yang besar sebagai bumbu untuk konsumsi rumahtangga, bahan baku industri pengolahan dan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Untuk itu, pengembangan bawang merah sangat potensial ke depannya meliputi aspek usahatani (on-farm) dan di luar usahatani (off-farm). Irawan (2007) menjelaskan bahwa pengembangan hortikultura pada umumnya lebih banyak dijumpai pada aspek off-farm yaitu penanganan pasca panen dan pemasaran dikarenakan karakteristiknya yang cepat rusak (perishable). Bawang merah merupakan sayuran yang sering mengalami permasalahan pada aspek off-farm yaitu fluktuasi harga yang tinggi. Permasalahan ini dikarenakan produksi bawang merah yang bersifat musiman dan sebagai salah satu sayuran yang mudah rusak. Pada tahun 2013, bawang merah menempati urutan pertama dalam kontribusinya terhadap inflasi dari kelompok bahan makanan yaitu sebesar 0.38% (TPI 2013). Oleh karena itu, aspek harga menjadi permasalahan penting pengembangan bawang merah di Indonesia. Fluktuasi harga yang tinggi pada bawang merah menyebabkan semakin besar marjin pemasaran dan semakin rendah harga yang diterima petani. Irawan (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan demikian terjadi karena harga yang berfluktuasi membuka peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga di tingkat petani dengan alasan adanya perubahan harga di tingkat konsumen. Dengan demikian permasalahan tersebut mempengaruhi proses transmisi harga dari produsen ke konsumen. Oleh karena itu, penting untuk melihat transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia Selanjutnya, dalam proses transmisi harga juga terkait perilaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam distribusi suatu komoditi. Dalam proses pembentukan harga tersebut, perilaku petani dan pedagang memiliki peranan penting karena terkait harga yang diterimanya. Dalam hal ini setiap pelaku pasar menyesuaikan perilakunya dalam menghadapi struktur pasar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Carlton dan Perloff (2000) menjelaskan bahwa struktur dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja. Selanjutnya, perilaku dapat
2
mempengaruhi struktur dan kinerja serta kinerja dapat mempengaruhi perilaku dan struktur. Adanya permasalahan harga yaitu fluktuasi harga pada komoditi bawang merah maka untuk itu akan diangkat sebagai sebuah penelitian. Insyauddin (2011) menyatakan harga merupakan salah satu pendorong bagi petani untuk melakukan pekerjaannya. Sebaliknya untuk konsumen, harga merupakan nilai dari barang yang memberikan manfaat atas pemenuhan kebutuhan dan keinginanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efisiensi pemasaran kaitannya dengan perilaku pasar bawang merah. Dalam penelitian ini akan dilihat proses transmisi harga antar lembaga pemasaran dan proses pembentukan harga melalui analisis perilaku lembaga pemasaran bawang merah. Perumusan Masalah Sentra produksi bawang merah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat (BPS 2014b). Ini menunjukan produksi bawang merah cenderung terkonsentrasi pada beberapa daerah sedangkan konsumen yang tersebar di Indonesia. Sentra produksi dan konsumsi yang tersebar maka diperlukan pasar yang berpadu sehingga pemasaran bawang merah menjadi sebuah sistem yang efisien dan efektif agar mampu mengintegrasikan antara produsen dan konsumen. Salah satu indikator dalam melihat tingkat efisiensi dari rantai pemasaran adalah harga. Berikut adalah gambaran perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 1. 60 000
harga (Rp/kg)
50 000 40 000 30 000 20 000 10 000 2008
2009
2010 Konsumen
2011
2012 Grosir
2013
2014
Produsen
Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014) Gambar 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014. Gambar 1 memperlihatkan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen menunjukkan fluktuasi harga yang seirama. Namun, analisis koefisien keragaman (CV) menunjukan bahwa harga bawang merah di sentar produsen lebih cepat berubah dibandingkan harga bawang merah di tingkat grosir
3
dan pengecer. Simatupang (1999) dalam Irawan (2007) mengemukakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi di tingkat produsen memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Sehingga dari Gambar 1 tersebut mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak sempurna (imperfect price transmission). Indikasi dari transmisi harga yang tidak simetris juga terlihat disparitas margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah. Selama tahun 20082014, rata-rata margin pemasaran petani - grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan grosir - pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Perbedaan margin pemasaran yang besar antar lembaga pemasaran bawang merah menunjukan petani dan konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan bawang merah. Yustiningsih (2012) mengemukakan bahwa semakin tinggi marjin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Sejalan dengan itu, Conforti (2004) menjelaskan bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal yaitu jalur pemasaran yang panjang dan adanya market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin yang terbentuk dalam pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat besar dan tidak efisien. Khusus mengenai market power, Vavra dan Goodwin (2005) menemukan adanya perilaku pedagang perantara yang berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Kondisi inilah yang menyebabkan pengendalian harga pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen. Lebih lanjut, sehubungan dengan proses pemasaran bawang merah dari petani sampai ke tingkat konsumen, maka interaksi antar lembaga pemasaran menjadi penting dalam terbentuknya harga. Interaksi antar lembaga pemasaran ini dapat dilihat perilaku pasar setiap lembaga pemasaran dalam menetapkan harga. Nurasa dan Darwis (2007) menunjukkan bahwa kelembagaan pemasaran bawang merah mencakup petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir (PIKJ) dan pedagang pengecer. Hasil penelitiannya menemukan bahwa di tingkat desa sistem pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni. Sebaliknya, pedagang besar atau di atasnya memiliki kemampuan dalam menetapkan harga. Sejalan dengan itu, Irawan (2007) menjelaskan bahwa petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Di tinjau dari teori pemasaran, perilaku pasar dipengaruhi oleh struktur pasarnya. Sejalan dengan yang dikemukakan Hasibuan (1993) bahwa perilaku merupakan pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Oleh karena adanya perbedaan struktur pasar antara petani dengan pedagang menyebabkan rasionalitas petani terbatas yaitu hanya
4
memanfaatkan variasi harga yang ada. Sebaliknya, rasionalitas pedagang yang mampu menetapkan harga dan perilaku lainnya. Dalam hal ini setiap lembaga (petani dan pedagang) yang terlibat dalam pemasaran bawang merah berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya. Melihat adanya perbedaan kondisi struktur pasar tersebut akan dipetakan perilaku pasar dari petani dan lembaga pemasaran lainnya. Dalam hal ini akan dimodelkan proses interaksi antar lembaga pemasaran sehingga diperoleh perilaku penentuan harga oleh berbagai pihak (lembaga pemasaran). Kaitannya dengan transmisi harga, Peltzman (2000) menyatakan bahwa perlunya pemahaman mengenai keterkaitan pasar secara vertikal untuk memahami fenomena harga yang tidak simetris. Dari uraian tersebut permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah pembentukan harga bawang merah sudah efisien? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah? 3. Bagaimana perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. 3. Mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga digunakan untuk melihat transmisi di tingkat produsen, grosir dan pengecer bawang merah di Indonesia. Data harga yang digunakan merupakan data bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014. Perilaku pasar dalam penelitian ini dikhususkan pada perilaku penetapan harga kaitannya dengan transmisi harga yang dilakukan oleh lembaga pemasaran pada komoditi bawang merah. Saluran pemasaran yang dilihat akan ditelusuri dari petani (Kabupaten Brebes) sampai di tingkat konsumen (Kota Jakarta). Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu hanya menulusuri perwakilan setiap lembaga pemasaran yang dianalisa menggunakan game theory. Lembaga pemasaran yang dianalisa dalam perilaku pasar yaitu petani, pedagang desa, grosir dan pengecer. Harga di tingkat konsumen dan grosir mengambil Kota Jakarta sebagai representasi dari wilayah konsumen terbesar sedangkan harga di tingkat produsen mengambil Kabupaten Brebes sebagai sentra penghasil bawang merah (produsen) terbesar di Indonesia.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu Brooker et al (1987) mengenai transmisi perubahan harga antara petani/ produsen dengan grosir dan antara grosir dengan pengecer pada sembilan jenis sayuran segar di Amerika menunjukkan adanya informasi pasar yang tidak lancar. Respon pengecer terhadap kenaikan harga di tingkat grosir, ternyata lebih cepat dibandingkan respon mereka terhadap penurunan harga. Namun demikian, secara umum penelitian menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat hulu mempengaruhi keputusan pembentukan harga di tingkat grosir dan pengecer. Hal yang serupa dalam penelitian Zhang, Fletcher, dan Carley (1995) tentang kacang tanah yang menunjukan transmisi harga antara petani-pengecer bersifat asimetris dalam jangka pendek namun simetris dalam jangka panjang. Khusus pada bawang merah, Asmara dan Ardhiani (2007) menunjukan bahwa struktur pasar bawang merah cenderung mengarah pada persaingan oligopsoni. Ini diperlihatkan pada struktur pasar di tingkat pedagang besar dengan jumlah yang relatif sedikit sehingga mampu menguasai input maupun output pasar bawang merah. Tingkat pengetahuan pasar juga terbatas pada informasi yang didapat disekitar pelaku pasar, sehingga pengetahuan pelaku pasar tentang informasi harga hanya berkisar pada kondisi di sekitarnya saja. Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa pasar terintegrasi secara lemah baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Informasi pasar umumnya tidak ditransmisikan secara sempurna oleh para pelaku pasar, khususnya pedagang besar yang bertindak sebagai pihak pembuat harga (price maker). Selanjutnya, Dhewi (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar bawang merah yang terjadi adalah struktur pasar oligopsoni. Pembentukan harga di tingkat petani dan pengecer terintegrasi cukup lemah, yang berarti keeratan hubungan antara keduanya cukup lemah. Dalam hal ini pedagang pengumpul bertindak sebagai price setter dan petani sebagai price taker yang menyebabkan bargaining position petani lemah. Analisis elastisitas transmisi harga mengindikasikan bahwa informasi harga di tingkat pengecer belum ditransmisikan secara penuh kepada petani. Kontribusi harga pengecer kurang lebih tiga kali lipat dari kontribusi harga petani. Selain itu didapatkan pula bahwa semakin pendek saluran pemasaran maka semakin besar pula kontribusi harga yang diterima petani. Natawidjaja (2001) menunjukkan lebih lanjut bahwa pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen, para pelaku tataniaga di sebagian besar provinsi penghasil beras utama nasional ternyata mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara yaitu menangguhkan kenaikan harga yang diterima konsumen pada harga yang seharusnya dibayarkan kepada petani. Begitu pula sebaliknya, yaitu pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, maka pelaku tataniaga juga mampu menjaga tingkat marjin keuntungan yang sudah diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani. Irawan (2007) menjelaskan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya relatif tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Transmisi harga
6
sayuran relatif rendah (49% hingga 55%) dibanding buah dan komoditas pangan lain (65% - 81%). Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni/oligopsoni. Kekuatan monopsoni pada pedagang umumnya terbentuk melalui dua cara yaitu : (1) peminjaman modal usahatani kepada petani dengan kesepakatan petani menjual hasil panennya kepada pedagang pemberi pinjaman, (2) kerjasama antara pedagang dalam menentukan harga beli dari petani. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran. Penelitian perilaku pasar seperti Indrawati (2013) menjelaskan bahwa penetapan harga beli dan harga jual pedagang kebutuhan pokok di pasar tradisional pada umumnya di pengaruhi oleh pasokan komoditas kebutuhan pokok oleh distributor/pengepul dan kondisi pasokan barang dalam keadaan banyak dan sedikit dibandingkan pasokan normal. Pada umumnya, 50% pedagang tradisional menetapkan harga jual kepada konsumen adalah berdasarkan harga pasar tertinggi sebesar 50%, sedangkan harga pesaing atau penjual lain sebesar 40%, sisanya sebesar 10% ditentukan oleh biaya produksi yang dikeluarkan pedagang. Selanjutnya, Bassey et al (2013) dalam penelitian mereka di Nigeria menjelaskan umumnya antar pedagang saling berkomunikasi dalam mendapatkan harga dan informasi pemasaran lainnya. Dengan demikian, dalam menetapkan harga setiap pedagang saling memperhatikan harga pedagang lainnya. Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010) menunjukan bahwa pedagang cenderung asymmetric dalam menggunakan informasi untuk meningkatkan dan menurunkan harga. Faktor kelangkaan dan kenaikan harga BBM menjadi pendorong utama keputusan peningkatan harga. Jika dilihat, lakilaki pedagang cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi resiko dibandingkan perempuan pedagang. Lebih lanjut, Li, Carman dan Sexton (2006) menjelaskan bahwa biaya bukan faktor utama dalam menentukan harga. Strategi penjualan yang dilakukan oleh pengecer yaitu penurunan margin ritel daripada penurunan biaya, di mana pengecer menurunkan harga atau margin selama periode permintaan tinggi suatu produk agar dapat bersaing satu sama lain untuk konsumen. Kaitannya dengan strategi, Sudhir (2001) dalam penelitiannya menggunakan model stackelberg antara wholesaler dengan retailer. Hasil menunjukan bahwa adanya keterkaitan antara retailer dengan wholesaler dalam mengatur harga mereka setelah pedagang grosir menetapkan harga grosir mereka. Untuk wholesaler yang menguasai pangsa pasar umumnya berkolusi secara diamdiam dikarenakan pasar yang terkonsentrasi. Alam, et al (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa harga antara grosir dan pengecer cenderung terintegrasi dalam jangka panjang, di mana grosir bertindak sebagai pemimpin dalam menentukan harga di tingkat pengecer. Pedagang pengecer yang berada dalam urutan akhir tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga. Pergerakan harga di tingkat pengecer umumnya mengikuti pergerakan harga yang ditetapkan oleh pedagang besar.
7
Oktavianingsih (2013) dalam penelitiannya menggunakan tiga skenario, yaitu stackelberg-manufacturer game, ketika manufaktur mengambil keputusan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh ritel; cooperation, saat manufaktur dan ritel saling bekerja sama; dan Nash game, manufaktur dan ritel sama sekali tidak melakukan interaksi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model yang paling memberikan peningkatan profit terhadap sistem aktual adalah model Stackelberg-manufacture game. Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Hermawan, et al (2008) menggunakan model Houck mengenai transmisi harga beras dan gabah di Jawa Tengah. Dalam model ini dibagi dua bagian yaitu menggunakan senjang waktu dan tidak menggunakan senjang waktu. Spesifikasi model regresi ini memungkinkan pengujian ketidak simetrisan transmisi harga jangka pendek sedangkan pada model kedua, diregresikan beberapa senjang waktu (multiple lags) perubahan harga gabah yang memungkinkan pengujian respon jangka panjang atau menguji perilaku yang dinamis. Model Houck menggambarkan model kausalitas. Dalam penerapannya, metode ini dipergunakan untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan di transaksi hilir. Demikian pula sebaliknya pergerakan harga di sektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir. Model houck merepresentasikan persamaan asimetrik statik yang spesifikasinya sebagai berikut: Prt 0 1Pft t Di mana Prt dan Pft merupakan harga di tingkat ritel dan di tingkat hulu. Lebih lanjut, dalam model ini secara implisit dijelaskan bahwa pergerakan harga di tingkat hulu ada sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat ritel, atau dalam bahasa lain harga tingkat hulu merupakan Granger cause dari harga di tingkat hilir. Sementara pendekatan kedua adalah pendekatan asimetrik ECM yang menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM. Berbeda dari pendekatan Houck sebelumnya yang tidak melakukan uji kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir. Metode ini dipakai untuk menghindari terjadinya spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner. Bentuk ECM dapat diformulasikan sebagai berikut: k
Pt1 j Pt 2 j 1 t1 t1 t j 1
1
2
Di mana P t dan P t merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan (level pengecer dan level petani). Δ merupakan indikator difference (pengurang Pt-Pt-1), βj dan γ adalah koefisien estimasi da v+t-1 dan v-t-1 merupakan deviasi positif dan negatif dar keseimbangan jangka panjang. Analisa asymmetric price untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten dan Quance (1969) dalam Yustiningsih (2012) dengan menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah. Variabel dummy ini digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga
8
input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik. Boyd dan Brorsen (1988) merupakan orang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian dengan besaran penyesuaian. Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian. Lanjutan dari peneltian tersebut, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif). Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) dalam Vavra & Goodwin, (2005) merupakan orang pertama yang mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna. Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term). Selanjutnya, model dalam analisa perilaku pasar (market conduct) pada umumnya lebih menggunakan metode deskriptif. Asmarantaka (2009) menjelaskan bahwa penggunaan analisa secara deskriptif agar diperoleh informasi secara mendalam mengenai gambaran umum obyektif mengenai industri itu sendiri. Analisa ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif yang sulit dikuatitatifkan. USAID (2008) juga menganalisis secara deskriptif mengacu pada pola perilaku pedagang dan pelaku pasar lainnya dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual atau membeli. Ini termasuk juga perilaku pengaturan harga, membeli dan praktek penjualan. Hal yang sama dengan penelitian Ogisi, Egware dan Akalusi (2012) serta Dzanja dan Kamwana (2014) dalam penelitiannnya menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan perilaku pasar. Dalam penelitian lainnya, Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010) mengembangkan experimental economics untuk meneliti respon pedagang informal terhadap pembentukan inflasi. Dalam metode ini mengukur preferensi terhadap informasi yang digunakan untuk meningkatkan dan menurunkan harga dan mengukur rasionalitas pedagang dalam menhadapi resiko. Selanjutnya, dalam pembentukan harga di mana adanya keterkaitan pedagang dengan pedagang lainnya maka salah satu metode yang dapat digunakan yaitu dengan game theory. Analisis ini merupakan pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Dengan teori ini akan dianalisa proses pengambilan keputusan dari situasi-situasi persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam permainan disebut para pemain (players). Model-model teori permainan dapat diklasifikasikan dengan sejumlah
9
cara, seperti jumlah pemain, keuntungan dan kerugian dan jumlah strategi yang digunakan dalam permainan. Yantu (2011) dalam penelitiannya menggunakan game theory yaitu prinsipal agen antara petani kakao dengan pedagang pengumpul. Dalam analisis ini akan dilihat keputusan-keputusan strategis tersebut berakibat dalam payoff bagi partisipan yaitu petani kakao dan pedagang pengumpul berupa pahala (keuntungan) dan sanksi. Hal yang sama dilakukan oleh Juanda dan Suciati (2011) menggunakan game theory dalam merancang pola kerjasama kelembagaan pengelola irigasi. Dalam model tersebut, dilakukan permainan (gaming) antar pemangku kepentingan (stakeholders) dan pengguna (user) sehingga memperoleh penerimaan/hasil (payoff) yang maksimal diantara interaksi mereka. Permainan ini bertujuan untuk mengetahui model kerja sama ekonomi dan interaksi dalam pengelolaan sumber daya air irigasi dalam mendukung usahatani padi. Dengan melihat penggunaan game theory dapat diterapkan dalam berbagai kasus maka analisa ini dapat diterapkan dalam interaksi antar lembaga pemasaran bawang merah. Teori Harga Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan/pertanian, pembentukan harga tersebut disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trennya (Prastowo, Yanuarti dan Depari 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan/pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Studi empiris yang dilakukan oleh Tomek (2000) menyimpulkan dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan/pertanian, yakni faktor produksi/panen (harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior). Walaupun keberhasilan panen sangat dipengaruhi oleh kondisi musim/cuaca yang sifatnya uncontrolable, pengaruh pola tanam terhadap perkembangan harga komoditas pertanian di Amerika Serikat terlihat sangat dominan. Terdapat pola cyclical yang sistematis antara pola tanam dan varians harga komoditas. Varians harga membesar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen. Sementara keberadaan teknologi penyimpanan atas produk pertanian, khususnya untuk produk yang mudah busuk/basi (durable products), akan mengurangi tekanan fluktutasi harga dari komoditas tersebut. Lebih lanjut, karakteristik penawaran dan permintaan untuk komoditas pangan/ pertanian memang ‘unik’ karena keduanya cenderung bersifat inelastis terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika harga mengalami peningkatan. Konsumen juga tidak bisa mengurangi permintaannya ketika harga meningkat karena komoditas pangan/pertanian tersebut menjadi kebutuhan pokok. Kondisi tersebut membuat
10
harga komoditas menjadi sangat sensitif terhadap stock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan, termasuk indirect stock yang berpengaruh secara tidak langsung seperti gangguan distribusi. Selain dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintaan domestik, harga komoditas juga dapat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar internasional. Pada rezim perdagangan bebas, harga komoditas domestik akan bergerak mengikuti harga internasional, sehingga akan lebih volatile jika pemerintah tidak melakukan intervensi. Banyak negara reluctant untuk bergerak ke arah perdagangan bebas secara penuh untuk komoditas pangan/pertanian karena komoditas tersebut merupakan komoditas penting yang dapat menimbulkan instabilitas politik (Dawe 2001). Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Transmisi harga dan tingkat integrasi pasar dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer dan Von Cramon-Taubadel 2004). Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan menurunkan kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan secara efisien. Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi disisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Yustiningsih 2012). Untuk kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran. Bustaman (2003) menjelaskan bahwa integrasi pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri. Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Bustaman 2003). Menurut Goodwin (2006) menyatakan tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan
11
harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras. Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas Struktur pasar yang terbentuk pada komoditi pertanian umunnya mengarah pada struktur pasar tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price maker) sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker) (Conforti 2004). Akibatnya, pedagang perantara menyalahgunakan market power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya sendiri dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak sempurna. Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (margin squeezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga (Meyer dan von-Cramon Taubadel 2004). Bailey dan Brorsen (1989) menjelaskan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (i) jumlah perusahaan/agen/penjual yang beroperasi di pasar tersebut; (ii) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan/agen/penjual untuk masuk dan keluar dari pasar; (iii) karakteristik dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut berpengaruh terhadap kekuatan dari para agen/penjual di dalamnya untuk mempengaruhi harga pasar (Nicholson 2004). Lebih lanjut, pada struktur pasar yang bersifat monopoli, sebuah perusahaan atau agen tunggal yang menguasai pasar memiliki keleluasaan dalam penetapan harga untuk memperoleh marjin keuntungan yang optimal karena agen tersebut berperan sebagai price setter. Sebaliknya, pada pasar komoditas yang bersifat persaingan sempurna (perfect competition) atau setidaknya highly competition, agen tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi di pasar karena lebih berperan sebagai price taker sehingga marjin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Sementara kemampuan agen/penjual untuk mempengaruhi harga pada jenis pasar duopoli, oligopoli, dan persaingan monopolistik berada di antara pasar monopoli dan persaingan sempurna. Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) menjelaskan kondisi pasar persaingan sempurna terlihat di level petani pada saat panen raya. Homogenitas
12
dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual membuat petani tidak mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga dan pasrah sebagai price taker. Sebaliknya untuk level pedagang pengumpul/tengkulak yang jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar oligopoli sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Seringkali para pedagang pengumpul/tengkulak tersebut membentuk sebuah kartel yang dapat membuat kesepakatan dan membentuk harga pasar. Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang diukur melalui peubah harga, biaya, dan marjin pemasaran, serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl dan Hammond 1977). Asmarantaka (2009) menjelaskan perilaku pasar merupakan perilaku pembeli dan penjual, strategi atau reaksi yang dilakukan pembeli dan penjual secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi dengan penjual dan pembeli lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran suatu pasar. Perilaku pasar merupakan pola perilaku penjual/pedagang dan pelaku pasar lainnya yang mengadopsi untuk mempengaruhi atau menyesuaikan di pasar tempat jual dan beli tersebut. Hal ini termasuk perilaku penentuan harga dan praktek jual-beli. Lebih lanjut, perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan harga dan jumlah yang ditetapkan perusahaan, kolusi yang terjadi antara perusahaan, diskriminasi harga, differensiasi produk, pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan. Dalam perilaku perusahaan terdapat kekuatan pemusatan pasar yang terdiri dari pasar monopoli, oligopoli, dan pasar persaingan sempurna. Pada pasar monopoli dimana terdapat kekuatan pasar pada perusahaan tertentu, perilaku perusahaan bertujuan untuk menggapai kondisi perekonomian secara umum bukan untuk menghadapi pesaing. Perilaku perusahaan monopoli dalam menetapkan harga dan jumlah produk bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Monopoli juga menetapkan harga secara administratif bukan melalui mekanisme pasar. Hasibuan (1993) dalam Asmarantaka (2009) menjelaskan bahwa perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Biasanya perilaku dilakukan dengan melihat kondisi pasar yang akan dimasuki atau kondisi pasar ketika mereka berusaha. Suatu industri melakukan penyesuaian untuk melakukan peranannya di dalam pasar sehingga tercapai tujuannya. Perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan pada kondisi pasar oligopoli. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga, pada oligopoli yang dipimpin oleh suatu perusahaan dominan pada umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya perusahaan monopoli. Perilaku ini juga berkiatan dengan tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan
13
pesaingnya. Perilaku industri akan dianalisis dengan melihat strategi harga produk, strategi produk, strategi distribusi, strategi promosi, dan strategi bisnis. Perilaku pasar juga dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama antar berbagai lembaga pemasaran. Dengan melihat perilaku pasar, maka keragaan pasar yang merupakan suatu keadaan sebagai dampak dari struktur pasar dan perilaku pasar dalam menilai baik tidaknya suatu sistim pemasaran (Dahl dan Hammond 1977). Asmarantaka (2009) mengemukakan tiga cara dalam mengenal perilaku pasar yaitu: 1. Penentuan harga dan setting level of output yaitu menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh pada perusahaan lain dan dilakukan secara bersama-sama penjual atau berdasarkan price leadership (pemimpin harga). 2. Product promotion policy yaitu dilakukan melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan. 3. Predatory and exclusivenary tactics yaitu dengan cara menetapkan harga di bawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan pesaing keluar dari pasar. Lebih lanjut, strategi penetapan harga tergantung dari beberapa faktor produksi terutama bahan baku. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana strategi penetapan harga yang dilakukan oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta apakah ada perilaku kesepakatan harga antar sesama pesaing yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. Strategi penentuan harga penting dalam perilaku karena harga merupakan unsur yang menghasilkan pendapatan (revenue) bagi produsen. Harga juga merupakan unsur yang paling fleksibel dimana unsur ini dapat berubah dengan cepat. Game Theory dalam Analisis Perilaku Pasar Teori permainan (game theory) adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Teori ini dikembangkan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan dari situasisituasi persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Juanda (2009) menjelaskan bahwa game theory merupakan salah satu cara untuk mempertimbangkan dampak strategi pesaing terhadap strategi dan keuntungan suatu perusahaan. Aplikasi teori permainan merupakan perkembangan yang penting dalam ilmu ekonomi. Analisis ini dapat digunakan untuk memahami perilaku pasar dan memberikan solusi tentang bagaimana sebaiknya manajer berpikir mengenai keputusan strategis yang selalu dia hadapi dan harus diterapkan. Model-model teori permainan berusaha mencerminkan situasi strategis yang kompleks dalam situasi yang sangat disederhanakan dan disesuaikan. Game theory termasuk dalam kajian ekonomi eksperimental. Juanda (2009) mengemukakan bahwa sekarang percobaan-percobaan sudah menjadi hal yang lazim dalam penelitian pasar komoditi dan aset, keuangan, perilaku strategis dan subbidang ekonomi lainnya. Inti dari game theory adalah bagaimana dampak dari perubahan perilaku oleh satu
14
ataupun kedua belah pihak dalam sebuah hubungan antar dua pihak yang memiliki interdependency terhadap keseimbangan secara umum. Penerapan game theory dalam analisis ekonomi dapat digunakan untuk menyederhanakan suatu situasi strategis dan atau menyelesaikan permainan yang telah ada, di mana hasilnya adalah suatu prediksi tentang apa yang akan terjadi (Nicholson 2008). Sementara menurut Pindyck (2013), tujuan utama game theory adalah untuk menentukan strategi yang optimal bagi masing-masing pemain. Mengenai penerapan game theory dalam perilaku pasar sangat sesuai dengan kondisi tersebut. Dilihat dari konsep perilaku pasar, di mana menjelaskan tentang perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran dalam struktur pasar tertentu (Asmarantaka 2009). Adanya reaksi dari setiap partisipan (lembaga pemasaran) maka dengan penggunaan analisis ini akan dilihat strategi yang ditempuh oleh setiap pedagang untuk mencapai tujuan masing-masing. Dengan demikian, game theory merupakan alat untuk memperlajari perilaku strategis yaitu perilaku yang memperhitungkan adanya saling ketergantungan antar pemain. Untuk mempermudah pemahaman, biasanya permainan diasumsikan ada dua kompetitor. Dengan demikian, teori permainan adalah suatu studi bagaimana strategi optimal diformulasikan dalam situasi yang bertentangan. Pindyck dan Rubinfeld (2013) menjelaskan bahwa suatu permainan merupakan situasi apa saja di mana para partisipan membuat keputusan-keputusan strategis yaitu keputusan-keputusan yang memprakirakan setiap tindakan dan respon partisipan lainnya. Dengan melihat bahwa setiap pelaku dalam pasar yaitu pedagang pengecer saling memperhatikan tindakan (strategi) yang diambil oleh setiap pedagang lainnya. Strategi-strategi tersebut berakibat dalam payoff bagi partisipan berupa keuntungan dan kerugian yang diterima. Outcome setiap pedagang terkait dengan bagaimana harga atau output yang ditetapkan jika pesaing (pedagang) lainnya mengambil suatu strategi. Dalam pelaksanaannya pedagang pengecer melihat strategi (harga) pedagang pengecer, dan kemudian bergerak mengambil keputusan dalam menetapkan harga. Payoff yang diharapkan oleh kedua pedagang tersebut yaitu peningkatan pendapatan dengan melaksanakan strategi tersebut. Skenario tersebut diasumsikan bahwa pedagang grosir memiliki informasi tentang tindakannya sehingga menetapkan suatu strategi (harga). Selanjutnya, pedagang pengecer dalam mengambil keputusan tentang harga menunggu sinyal yang diberikan oleh pedagang grosir, apakah harga mengalami kenaikan atau tidak. Ini menunjukan bahwa partisipan (player) dalam hal ini pedagang grosir dan pedagang pengecer bergerak secara berurutan. Oleh karena itu, game antara pedagang grosir dan pedagang pengecer dalam penelitian ini disebut sequential game. Dalam jenis game ini, Pyndick dan Rubinfeld (2013) menjelaskan bahwa kuncinya adalah memikirkan melalui tindakan-tindakan yang mungkin dan reaksireaksi rasional setiap player. Lebih lanjut, Varian (2006) menjelaskan bahwa sequential games merupakan situasi di mana salah satu pemain bergerak terlebih dahulu (move first) kemudian pemain lainnya merespon tindakan tersebut. Dalam permainan ini, pemain lainnya (second move) mengobservasi pilihan (strategi) yang diambil pemain pertama kemudian membuat keputusannya.
15
Kerangka Pemikiran Penelitian Bawang merah merupakan komoditi hortikultura strategis di Indonesia. Namun dalam pengembangannya, permasalahan yang dihadapi pada hortikultura dan bawang merah khususnya yaitu fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang sangat tajam dikarenakan produksi bersifat musiman yang mengakibatkan bawang merah sebagai komoditas yang bersifat perishable yakni mudah rusak atau busuk dan tidak tahan lama serta rentan terhadap perubahan cuaca. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di sentra produsen bawang merah. Fluktuasi harga yang tinggi pada bawang merah menyebabkan besarnya marjin pemasaran dan semakin rendah harga yang diterima petani. Kecenderungan demikian dapat terjadi karena harga komoditas yang berfluktuasi membuka peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga. Ini mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak efisien antara lembaga pemasaran. Dalam hal ini terjadinya transmisi harga asimetris (asymmetric price transmission). Asymmetric price transmission terjadi jika harga bawang merah di tingkat hilir merespon secara berbeda antara ketika terjadi kenaikan atau penurunan harga di tingkat hulu. Jika harga bawang merah merespon kenaikan harga lebih cepat atau dengan magnitude yang lebih besar dibandingkan ketika terjadi penurunan maka hal ini akan merugikan konsumen. Oleh karena itu, tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu menganalisis trasmisi harga antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam distribusi bawang merah dari sentra produsen ke sentra konsumen di Indonesia. Analisis ini menggunakan model Houck dan error correction modelengle granger (ECM-EG). Melalui analisis ini, akan dilihat apakah terjadi efisiensi dalam pemasaran bawang yaitu adanya transmisi harga yang simetris. Efisiensi pasar tersebut juga menjadi indikator dari perilaku setiap lembaga pemasaran bawang merah. Lebih lanjut, disparitas harga bawang merah yang besar di tingkat konsumen menunjukan pengecer mengambil markup harga yang lebih pada harga yang terbantuk. Secara teori, harga komoditas yang terbentuk pada tingkat akhir atau level pengguna/konsumen sangat tergantung pada efisiensi pasar yang terjadi. Efisiensi pasar sangat dipengaruhi oleh panjang mata rantai distribusi dan besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil marjin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Dengan kata lain harga dari setiap lembaga pemasaran di bawahnya merupakan komponen biaya bagi lembaga pemasaran yang berada di tingkat akhir. Selain itu, pada komoditi bawang merah pemenuhan kebutuhan nasional juga dilakukan melalui impor untuk mengatasi adanya kelebihan permintaan yang terjadi antar waktu. Data statistik menunjukan, kontribusi impor dalam kebutuhan nasional sebesar 10%. Adanya impor bawang merah, akan mempengaruhi harga yang terbentuk pada tingkat akhir. Harga yang terbentuk juga dipengaruhi oleh kondisi sektor transportasi dalam hal ini gangguan terhadap sektor transportasi yang berakibat pada meningkatnya biaya. Berdasarkan hal tersebut, tujuan kedua dalam penelitian ini akan melihat peran berbagai faktor tersebut dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. Analisis ini menggunakan error correction model (ECM) untuk menganalisis faktor jangka pendek maupun jangka panjang.
16
Adapun variabel yang mempengaruhi harga bawang merah di tingkat konsumen akhir yaitu harga bawang merah di sentra produsen, grosir, harga impor, bahan bakar minyak (BBM) dan pasokan bawang merah yang masuk. Dari keseluruhan faktor, diduga harga impor dan pasokan berpengaruh negatif. Tekanan dari impor akan menurunkan harga yang terbentuk dikarenakan pedagang pengecer berusaha untuk menyesuaikan harganya. Hal yang sama juga adanya tambahan pasokan bawang merah yang masuk. Harga bawang merah di sentra produsen, grosir, dan bahan bakar minyak (BBM) diduga berpengaruh positif dikarenakan merupakan komponen biaya dalam pembentukan harga di tingkat hilir bawang merah. Lebih lanjut, dalam proses pembentukan harga juga terkait dengan perilaku pasar. Menurut Irawan (2007) perilaku petani dan pedagang memiliki peranan penting karena mereka mengatur harga yang terbentuk. Perilaku pasar ini juga terkait dengan struktur pasar yang dihadapi oleh setiap lembaga pemasaran. Nicholson (2004) menjelaskan bahwa struktur pasar suatu komoditas akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menetapkan harga jual dan margin keuntungan. Struktur pasar yang terbentuk ditingkat petani cenderung mengarah pada persaingan sempurna sedangkan di tingkat pedagang desa bersifat monopsoni atau oligopsoni. Hasil penelitian Dhewi (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar bawang merah yang terjadi adalah struktur pasar oligopsoni di mana pedagang pengumpul bertindak sebagai price setter dan petani sebagai price taker. Ini menyebabkan keterbatasan petani dalam menetapkan harga yaitu mengikuti harga pasar yang terbentuk. Sehingga petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Perbedaan struktur pasar antara petani dengan pedagang menyebabkan juga perbedaan pada rasionalitas strategi yang diambil oleh kedua pihak. Petani terbatas hanya memanfaatkan variasi harga yang ada sedangkan pedagang mampu menetapkan harga dan perilaku lainnya. Dalam hal ini setiap lembaga (petani dan pedagang) yang terlibat dalam pemasaran bawang merah berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya. Oleh karena adanya saling ketergantungan antar lembaga pemasaran serta perbedaan perilaku dalam penentuan harga, maka tujuan ketiga dalam penelitian ini yaitu menganalisis perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang merah. Dalam analisis ini menggunakan game theory untuk melihat strategi yang diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini sejalan dengan Gibbons (1992) bahwa teori permainan (game theory) merupakan suatu penelaahan mendasar yang menyangkut interaksi antara para pengambil keputusan (decision makers), terutama yang menyangkut interaksi-interaksi yang terjadi antara para peserta ekonomi (economic agents). Dengan analisa ini akan dilihat strategistrategi yang memprakirakan setiap tindakan dan respon partisipan lainnya. Strategi tersebut berakibat dalam payoff bagi partisipan berupa pendapatan dan kerugian yang diterima. Berdasarkan uraian tersebut, alur pemikiran penelitian ini digambarkan pada Gambar 2.
17
Harga Produsen
Harga Konsumen
Fluktuasi dan disparitas harga bawang merah antara produsen dengan konsumen
Transmisi harga vertikal
Pembentukan harga
Perilaku pasar
Analisis Houck dan ECM-EG
Analisis ECM
Analisis Game Theory
Saran Kebijakan
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Diduga adanya inefisiensi pemasaran bawang merah di Indonesia. 2. Pembentukan harga bawang merah di tingkat hilir diduga dipengaruhi oleh harga bawang di tingkat produsen, di tingkat grosir, pasokan bawang merah, bahan bakar minyak (BBM) dan harga impor bawang merah dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
18
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan kombinasi data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data deret waktu (time series) bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014 yang terdiri dari: 1. Harga rata-rata bawang merah di sentra produsen (Kab. Brebes) (Rp/Kg). 2. Harga bawang merah di tingkat pedagang grosir (PIKJ) (Rp/Kg). 3. Harga bawang merah di tingkat konsumen (Jakarta) (Rp/Kg). 4. Harga bawang merah impor (Rp/Kg). 5. Pasokan bawang merah ke PIKJ (Ton). 6. Harga BBM sebagai proksi dari biaya transportasi (Rp/Liter). Data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sedangkan untuk data primer bersumber dari hasil wawancara kepada lembaga pemasaran bawang merah. Data yang diambil meliputi: 1. Strategi harga meliputi maksimasi keuntungan bersama (kartel, pemimpin harga dan koordinasi terselubung) dan diskriminasi harga. 2. Strategi produk meliputi differensiasi produk, aktifitas (saluran pasar) vertikal. 3. Strategi distribusi. Untuk petani, data yang diambil meliputi biaya dalam usahatani (sarana produksi, tenaga kerja dan biaya lainnya) dan kegiatan pemasaran yang dilakukannya. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dalam penelitian ini akan mengambil Kota Jakarta sebagai sentra konsumen dan Kabupaten Brebes sebagai sentra produsen bawang merah di Indonesia. Untuk Kota Jakarta, penelitian juga dilakukan di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) yang merupakan pusat grosir hortikultura di Indonesia serta diambil pasar pengecer. Penelitian di Kabupaten Brebes mengambil sampel di Kecamatan Wanasari yang merupakan salah satu dari tiga kecamatan dengan luas panen terbesar di Kabupaten Brebes. Penelitian ini akan dilakukan dari Mei sampai Juli 2015. Penentuan Sampel Sampel dalam penelitian ini yaitu petani, pengumpul desa, pedagang grosir, dan pengecer bawang merah. Sampel petani dan pengumpul desa diambil di Kabupaten Brebes sedangkan pedagang grosir dan pengecer diambil di Kota Jakarta. Data primer diperoleh dari wawancara langsung terhadap 10 responden petani dan 2 responden masing-masing untuk pedagang. Sampling untuk petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar (Pasar Klampok) dan pengecer dilakukan dengan teknik snowball sampling dengan mengikuti alur pemasaran
19
dari petani hingga ke konsumen. Teknik ini dipilih agar tidak adanya saluran tataniaga yang terputus dalam kegiatan pengambilan sampel. Metode Analisis Data Dalam analisa penelitian ini sebelum masuk ke dalam uji utama dilakukan uji pra-estimasi yaitu memeriksa stasioneritas data deret waktu menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Adapun formulasi model uji ADF adalah: p
xt a0 xt 1 a1 xt i i t
(1)
i 1
di mana xt xt xt 1 , t adalah periode waktu, dan aj merupakan koefisien model, sedangkan εt adalah galat model. Hipotesis statistik yang diuji adalah Ho: = 0 (data deret waktu xt bersifat tidak stasioner); H1: ≠ 0 (data deret waktu bersifat stasioner). Data yang tidak stasioner selanjutnya distasionerkan melalui proses pendiferensian, yang dapat dilakukan beberapa kali (d kali) hingga diperoleh pola data yang stasioner. Untuk selanjutnya dilakukan uji kointegrasi, untuk melihat apakah terdapat hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang digunakan dalam model. Uji kointegrasi dilakukan apabila data tidak stationer pada level, dengan rumus sebagai berikut: k 1
Pt c Pt 1 B j Pt j t
(2)
j 1
Hipotesis statistik yang diuji adalah H0: rank = r; H1: rank > r. Untuk itu digunakan statistik uji berikut: p
trace (r ) T ln(1 i )
(3)
i r 1
Selanjutnya dilakukan panjang selang yang optimal di dalam model untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem. Untuk itu dapat dilakukan dengan melakukan pendugaan parameter model pada setiap lag p yang mungkin. Nilai p yang optimal ditentukan berdasarkan nilai Schwarz Criterion (SC), dengan rumus sebagai berikut: SSR ( k ) (4) SIC ( k ) T ln n ln T
T
Di mana: T = Jumlah observasi k = Panjang lag SSR = Sum squares residual n = Jumlah parameter yang diestimasi Sebelum pengujian transmisi harga akan dilakukan pengujian kausalitas. Dengan analisis ini, untuk membuktikan apakah pergerakan harga bawang merah dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir atau sebaliknya akan dianalisis menggunakan uji kausalitas sebagai berikut:
20
n1
n2
PG t 1 pg PG t i pp PPt i 1Z t1 i et 1 i 1
i0
n1
n2
PK t 2 pk PK t i pg PG t i 2 Z t 2 i et 2 i 1
(5a) (5b)
i0
Analisis tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu transmisi antara harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah di Indonesia menggunakan model Houck dan ECM-EG. Model Houck (1977) dapat dilihat sebagai berikut: M1
PG a 0
a
M2 1i
PPt i
i0
PK a 0
a
2i
PPt i e t
(6a)
i0
M1
M 2
a 1i PG t i
a
i0
i0
2i
PG t i e t
(6b)
Pengujian apakah terdapat transmisi yang tidak simetris dilihat dalam pendek dan jangka panjang menggunakan wald test. Pengujian asimetris transmisi harga dalam jangka pendek akan dilihat keindentikan koefisien pada t dan t-1. Lebih jelasnya sebagai berikut: H 0 : a1i a 2 i (7) Sedangkan dalam jangka panjang dilihat dari penjumlahan parameter a1dan a2 atau dapat ditulis sebagai berikut: M1
M2
H 0 : a1i a 2i i 0
(8)
i 0
Model ECM-EG yang dikembangkan oleh Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dapat dilihat sebagai berikut: n
n
n
n
PGt a0 PGti PPti 1Zt1 PGti PPti 2 Zt1 t i 1 n
io n
i1 n
PKt a0 PKti PGti 1Zt1 PKti PGti 2 Zt1 t i1
io
i1
(9a)
i0 n
(9b)
i0
Pengujian transmisi harga yang tidak simetri dalam jangka pendek menggunakan hipotesis sebagai berikut: H 0 : 1i 2 i (10) Asimetris dalam jangka panjang pada model ECM-EG dilihat dari keindentikan koefisien ECT+ dan ECT- atau dapat ditulis menggunakan hipotesis sebagai berikut: (11) H0 :1 2 Adanya transmisi harga yang asimetri jika efek kenaikan harga dan penurunan harga tidak sama (π1≠ π2) untuk setiap persamaan. Model tersebut menggambarkan model kausalitas. Dalam penerapannya, metode granger causality dipergunakan untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir, ataukah pergerakan harga disektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir. Tanda plus (+) dan minus (-) pada kedua model menunjukan kenaikan serta penurunan harga. Pengujian tujuan kedua yaitu faktor-faktor pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen Indonesia menggunakan model ECM. Error Correction Mechanism (ECM) merupakan analisis yang digunakan untuk
21
variabel-variabel yang memilki ketergantungan yang sering disebut dengan kointegrasi. Metode ECM digunakan menyeimbangkan hubungan ekonomi jangka pendek variabel-variabel yang telah memiliki keseimbangan/hubungan ekonomi jangka panjang. Adapun model ECM sebagai berikut: PK t a 0 a1 PG t a 2 PPt a 3 PI t a 4 S t a 5 Ot ECT ( 1) et
Di mana: PKt = PPt = PGt = PIt = St = Ot = ECT = t = = t
(12)
Harga bawang merah di tingkat konsumen pada periode ke t (Rp/Kg). Harga bawang merah di sentra produsen pada periode ke t (Rp/Kg). Harga bawang merah di tingkat grosir pada periode ke t (Rp/Kg). Harga bawang merah impor pada periode ke t (Rp/Kg). Pasokan bawang merah ke PIKJ pada periode ke t (Ton). Harga BBM pada periode ke t (Rp/ltr). Error correction term. Waktu (bulan). error.
Selanjutnya pengujian tujuan ketiga mengenai perilaku pasar dianalisis menggunakan game theory. Secara umum teori permainan dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa diterima secara logis dan rasional. Serta digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain didalamnya sama-sama mencapai utilitas tertinggi. Pendekatan ini dimanfaatkan untuk mempelajari strategi terkait harga jual petani dan kelembagaan yang dipilih oleh petani dalam menjual hasilnya. Pendekatan ini juga akan melihat bagaimana pembentukan harga di tingkat pengecer. Unsur dalam teori permainan ini yaitu pemain, strategi, payoff dan informasi (Norwood dan Lusk 2008). Pemain (player) dalam penelitian ini yaitu petani, pedagang desa, dan pengecer sedangkan strategi setiap pemain merupakan tindakan yang dilakukan terhadap suatu kejadian atau rencana tindakan yang akan ditampilkan dalam permainan. Strategi yang akan dilihat meliputi strategi dominan dan alternatif setiap lembaga pemasaran dalam menetapkan harga jual. Sampai sejauh ini, hubungan antara petani bawang merah dan pedagang desa dalam permasalahan bawang merah pada pemodelan game theory bersifat noncooperative game, dimana dalam penetapan harga bawang merah berdasarkan mekanisme pasar, namun pedagang desa berada pada posisi yang lebih kuat karena struktur pasar bawang merah yang bersifat oligopsoni. Dalam upaya membantu memecahkan permasalahan tersebut, Pemerintah turut berperan serta dengan membangun pasar induk di Kabupaten Brebes yaitu Pasar Klampok untuk menfasilitasi petani dalam hal ini memperpendek saluran pemasaran dan mendapatkan harga yang lebih baik. Sebaliknya, bagi pedagang akan mendapatkan jaminan pasokan dari petani. Masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingannya untuk kelangsungan usahanya. Petani bawang merah mengharapkan akan memperoleh tingkat harga yang tinggi sehingga penerimaan dari usahatani akan meningkat pula. Dampak dari tingginya harga bawang merah, diharapkan dapat menjadi insentif bagi petani untuk mengintensifkan pemeliharaan tanamannya sehingga dapat meningkatkan
22
produksi. Sedangkan pedagang mengharapkan dapat menekan biaya produksinya, antara lain dengan menekan biaya pembelian bawang merah. Analisis game theory ini bersifat umum, maka diasumsikan bahwa pihak petani bawang merah merupakan total petani di Kabupaten Brebes. Sementara pihak pedagang merupakan keseluruhan pedagang desa dalam pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Payoff merupakan utilitas yang diperoleh setiap pemain. Payoff dalam penelitian ini yaitu harga atau pendapatan dari setiap lembaga pemasaran sedangkan informasi adalah pengetahuan yang dimiliki pemain ketika mereka melakukan suatu langkah dalam permainan. Analisis antara petani dengan pedagang desa dilakukan dengan analisis sequential game yaitu petani bergerak terlebih dahulu (move first) kemudian pedagang merespon tindakan tersebut. Analisis sequential game dapat dilihat pada game tree pada Gambar 3.
µ*
α*
Payoff Petani dan P. Klampok
α1
Payoff Petani dan P. Klampok
Petani BM Pedagang desa
Pedagang Klampok β*
µ1
Petani BM β1
t0
Payoff Petani dan P. Klampok
Payoff Petani dan P. Klampok
Pedagang desa
t1
Keterangan: BM= bawang merah; µ*= strategi dominan pedagang Klampok, µ1= strategi alternatif pedagang Klampok; α*= strategi dominan petani, α1= strategi alternatif petani; β*= strategi dominan petani, β1= strategi alternatif petani. Gambar 3 Extensive-form game antar petani dengan pedagang desa dan pedagang klampok. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 3, permainan antara petani dengan pedagang dapat dirumuskan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pedagang melakukan transaksi dengan petani sesuai dengan harga jual yang berlaku di Pasar Klampok. 2. Pedagang pasar klampok melakukan hidden action yaitu pengurangan timbangan. Strategi ini berdasarkan hasil wawancara dengan petani
23
bawang merah setempat di mana pedagang di Pasar Klampok melakukan praktik pengurangan sebesar 20% - 25% dari hasil produksi yang dijual oleh petani. 3. Petani bekerjasama dengan pedagang di pasar Klampok sehingga harga yang didapat sesuai dengan yang berlaku di pasar tersebut. Pada saat penelitian harga yang berlaku di pasar Klampok sebesar Rp. 11.500/Kg. 4. Petani tidak menjual hasil produksinya ke pasar Klampok, sehingga menjual hasilnya ke pedagang desa setempat (lapak). Harga yang berlaku di pedagang desa sebesar Rp. 10.000/Kg. Selain itu, dalam analisis teori permainan ini juga dilakukan signaling games antara petani dengan pedagang desa. Dalam gaming ini akan dilihat strategi yang diambil oleh petani berdasarkan kondisi harga dilapangan. Lebih jelasnya analisis tersebut dapat dilihat Gambar 4.
Payoff Payoff
µ*
α1 Pedagang Desa
α*
p =1/2
Payoff
µ1
Payoff
Pedagang Desa
Petani BM
µ1
µ*
Harga tinggi
Nature
1-p Payoff
µ*
µ* Pedagang Desa
Payoff
µ1
Harga rendah
Petani BM β*
Payoff
Pedagang Desa β1
µ1
Payoff
Keterangan: BM= bawang merah; µ*= strategi dominan pedagang desa, µ1 = strategi alternatif pedagang desa; α*= strategi dominan petani, α1 = strategi alternatif petani; β*= strategi dominan petani, β1= strategi alternatif petani Gambar 4 Signaling game antara petani dengan pedagang desa Dari Gambar 4 terlihat bahwa payoff yang diharapkan oleh petani ialah peningkatan pendapatan, melalui perubahan strategi terkait kondisi harga di lapangan. Untuk mendapatkan payoff tersebut, petani menjalankan strategi dominan yaitu memjual dalam bentuk kwintalan pada saat harga tinggi dan menjual dalam bentuk tebasan pada saat harga rendah. Oleh karena gaming antara perwakilan petani dan pedagang desa dirancang atas kondisi harga yang berlaku. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4, permainan antara petani dengan pedagang desa dapat dirumuskan dapat dirumuskan sebagai berikut:
24
1. Petani melakukan transaksi dengan pedagang dengan melihat kondisi harga di lapangan. Dalam transaksi ini petani memliki dua strategi yaitu menjual dalam sistem tebasan dan sistem kwintalan. 2. Dari hasil wawancara, sistem tebasan digunakan petani pada saat harga tinggi sedangkan kwintalan pada saat kondisi harga tinggi. 3. Pedagang dengan melihat perubahan strategi yang dilakukan oleh petani, memutuskan harga jual kepada petani. Penyelesain permainan ini akan dilakukan dengan melihat payoff yang memberikan utilitas terbesar dalam permainan ini. Payoff dalam penelitian dilihat dari keuntungan yang diperoleh petani ketika memutuskan menggunakan stratgei yang diambilnya. Payoff dalam permainan menggunakan zero sum game artinya keuntungan yang diperoleh petani merupakan kerugian bagi pedagang desa. Sehingga, dengan melihat keuntungan yang diperoleh petani dapat melihat keuntungan/kerugian yang diperoleh pedagang. Persamaan keuntungan petani dapat dilihat sebagai berikut:
n
pe tan i ( Pi * Q ) ( P x i * X i )
(13)
i
Di mana: = Keuntungan P = Rata-rata harga jual, i=harga jual dengan tebasan, harga jual dengan kwintalan, harga jual ke pedagang desa dan harga jual ke pasar klampok. Px = harga rata-rata input faktor ke-i Xi = input faktor rata-rata ke-i. Dalam permainan ini, diasumsikan bahwa petani memiliki informasi tentang tindakan-tindakannya, sehingga mengambil inisiatif lebih duluan dari pedagang dengan menjual bawang merah dengan sistem tertentu yaitu tebasan pada saat harga rendah dan kwintalan pada saat harga tinggi. Hal ini terkait pendapat Irawan (2007) di mana petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Untuk itu, dalam permainan ini strategi di tingkat petani bukan hanya melihat dalam memilih lembaga pemasaran, namun juga strategi non harga dalam memaksimumkan utilitasnya. Analisis game theory juga dilakukan pada hubungan antar pengecer. Hal ini didasari dari data statistik yang menunjukan adanya gap harga yang besar pada pengecer dibandingkan lembaga pemasaran lainnya. Ini sejalan Yustiningsih (2012) di mana semakin tinggi marjin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Analisis tersebut dapat dilihat pada matriks payoff pada Tabel 1.
25
Tabel 1 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer Pengecer 2 Pengecer 1 Bersaing Kolusi Bersaing α1, α1 α1, α2 Kolusi α2, α1 α2, α2 Keterangan: ai payoff dari strategi Payoff dalam penelitian dilihat dari harga yang diperoleh pengecer ketika memutuskan menggunakan strategi yang diambilnya. Payoff dalam permainan menggunakan zero sum game artinya harga (strategi) yang digunakan pengecer merupakan kerugian bagi pengecer lainnya. Sehingga, dengan melihat harga tersebut dapat melihat keuntungan/kerugian yang diperoleh pengecer. Posisi strategi antara pengecer sebagaimana yang dijelaskan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pedagang pengecer bertindak sendiri-sendiri dalam menjual harga bawang merah (eceran) yaitu penetapan harga berdasarkan signal kenaikan/penurunan harga dari pedagang di atasnya (pedagang grosir) sehingga harga yang terbentuk sesuai dengan besaran atau penurunan harga. 2. Pedagang pengecer bekerjasama (kolusi) dalam menentukan harga atau mengikuti harga yang berlaku di pasar. Gaming antara petani dengan pedagang desa dan sesama pedagang pengecer yang diaplikasikan dalam penelitian ini mengikuti prosedur Nash. Sebagaimana dikemukakan oleh Nicholson (2004), di bawah prosedur Nash, suatu pasangan strategis, katakanlah (α* ,β*) , didefinisikan menjadi suatu keseimbangan jika α* mewakili strategi yang paling baik (strategi dominan) dari player A ketika player B memainkan β* yang mewakil strategi paling baik dari player B, bersamaan player A memainkan strategi α*. Secara formal suatu pasangan strategi merupakan suatu keseimbangan Nash jika: UA (a*,b*) ≥ UA (a1, b*) untuk semua a1 SA (14a) UB (a*,b*) ≥ UA (a*, b1) untuk semua b1 SB
(14b)
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Produksi dan Perdagangan Bawang Merah di Indonesia Produksi bawang merah di Indonesia dihasilkan di 24 dari 30 provinsi. Provinsi penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kesembilan provinsi ini menyumbang 95.8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2013. Produksi bawang merah di Indonesia untuk setiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkembangan produksi bawang merah per provinsi di Indonesia tahun 2010-2014 (Ton) Tahun Propinsi 2010 2011 2012 2013 2014 Jawa Tengah 506 357 372 256 381 813 419 472 519 356 Jawa Timur 203 739 198 388 222 862 243 087 293 179 Jawa Barat 116 396 101 273 115 896 115 585 130 082 Nusa Tenggara Barat 104 324 78 300 100 989 101 628 117 513 Sumatera Barat 25 058 32 442 35 838 42 791 61 335 Sulawesi Selatan 23 276 41 710 41 238 44 034 51 728 Yogyakarta 19 950 14 407 11 855 9 541 12 360 Bali 10 981 9 319 8 666 7 977 11 884 Sulawesi Tengah 10 301 10 824 7 272 4 400 6 923 Sumatera Utara 9 413 12 449 14 156 8 305 7 810 Propinsi Lainnya 19 139 21 756 23 612 13 954 21 816 Sumber: BPS (2014b) Produksi bawang merah di Indonesia hampir sebagian dihasilkan Propinsi Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 43%. Lebih jelasnya pada Gambar 5. 1% 4%
1%
1%
2% 43%
1% 4% 10% 11%
22%
Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat NTB Sumatera Barat Sulawesi Selatan Yogyakarta Bali Sulawesi Tengah Sumatera Utara Propinsi Lainnya
Sumber: BPS (2014b) Gambar 5 Persentase rata-rata produksi bawang merah per propinsi pada tahun 2008-2014 di Indonesia
27
Dari Gambar 5, terlihat sentra produksi bawang merah utama di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat. Khusus di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes memasok sekitar 75% kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23% kebutuhan bawang merah nasional. Puncak panen bawang merah di Indonesia terjadi hampir selama 6-7 bulan setiap tahun, dan terkonsentrasi antara bulan Juni-Desember-Januari, sedangkan bulan kosong panen terjadi pada bulan Februari-Mei dan November. Musim tanam puncak bawang merah terjadi pada bulan April-Oktober. Selama ini budidaya bawang merah diusahakan secara musiman (seasonal), yang pada umumnya dilakukan pada musim kemarau (April-Oktober), sehingga mengakibatkan produksi dan harganya berfluktuasi sepanjang tahun. Adanya kesenjangan produksi antar waktu atau adanya pasokan bawang merah yang tidak kontinyu maka pemerintah melakukan impor bawang merah. Data statistik menunjukan, proporsi impor terhadap kebutuhan nasional sebesar 10% yang berasal dari Vietnam, India, dan Thailand. Gambaran produksi bawang merah dan impor di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6. 1400 000
Volume (ton)
1200 000 1000 000 800 000 600 000 400 000 200 000 2008
2009
2010 2011 2012 Produksi Impor
2013
2014
Sumber: BPS (2014b) Gambar 6 Perkembangan volume produksi dan impor bawang merah pada tahun 2008-2014 di Indonesia Gambar 6 menunjukkan selama tahun 2008 sampai 2014 Pemerintah melakukan impor dengan melihat kondisi produksi bawang merah di Indonesia. Dalam hal ini, ketika ada kenaikan produksi bawang merah pemerintah menurunkan jumlah impor nasional. Sebaliknya, ketika penurunan produksi pemerintah menaikan jumlah impor bawang merah untuk menutupi kekurangan produksi. Fakta tersebut juga didukung oleh hasil analisis korelasi dengan nilai -0.762 yang artinya adanya hubungan berlawanan antara produksi dan impor bawang merah di Indonesia.
28
Gambaran Pergerakan Harga Bawang Merah Selama periode Januari 2008 sampai Desember 2014 margin pemasaran antara produsen dan grosir cenderung stabil selama periode 2008 - 2010 dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2011. Fluktuasi margin pemasaran antara produsen dan grosir terbesar terjadi pada tahun 2013. Pada hubugan antara grosir dan konsumen, margin pemasaran berfluktuasi pada awal periode 2008 dan mulai stabil pada periode 2009-2010. Fluktuasi margin pemasaran cenderung membesar pada awal periode 2011, di mana disparitas terbesar terjadi pada awal periode 2014. Rata-rata margin pemasaran selama periode 2008-2014 antara grosirprodusen sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan pengecer-grosir sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Berikut adalah gambaran margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah yang dapat dilihat pada Gambar 7. 16 000
Margin (Rp/kg)
14 000 12 000 10 000 8 000 6 000 4 000 2 000 2008
2009
2010
2011
Pengecer-grosir
2012
2013
2014
Grosir-produsen
Sumber: BPS (2014b) dan PIKJ (2014) Gambar 7 Margin pemasaran bawang merah antar lembaga pemasaran di Indonesia Selain produksi dalam negeri, pemenuhan kebutuhan bawang merah di Indonesia juga berasal dari impor bawang merah. Data statistik menunjukan kontribusi impor sebesar 10% terhadap total kebutuhan bawang merah nasional (BPS 2014d). Meskipun dengan proporsi yang kecil, impor mempunyai pengaruh dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dan produsen. Harga bawang merah impor cenderung lebih rendah dibandingkan dengan harga bawang merah domestik Indonesia. Rata-rata harga bawang merah impor selama periode 2008-2014 sebesar Rp 4 220 per kg sedangkan bawang merah domestik Indonesia di sentra produsen (Kabupaten Brebes) sebesar Rp 9 643 per kg. Harga bawang merah impor juga lebih stabil dibandingkan bawang merah lokal di mana nilai koefisien keragamannya lebih rendah dibandingkan bawang merah domestik di sentra produsen yaitu 41.97% dan 50.50%. Berikut adalah perbandingan harga bawang merah domestik Indonesia di sentra produsen dan impor yang dapat dilihat pada Gambar 8.
29
40 000 35 000 Harga (Rp/kg)
30 000 25 000 20 000 15 000 10 000 5 000 2008
2009
2010
2011 Produsen
2012
2013
2014
Impor
Sumber: BPS (2014d) dan PIKJ (2014) Gambar 8 Perkembangan harga bawang merah di sentra produsen dan harga impor di Indonesia Transmisi Harga Bawang Merah Analisis transmisi harga dilakukan pada sentra produsen, grosir dan sentra konsumen bawang merah terbesar di Indonesia. Analisis ini menggunakan data harga di Kabupaten Brebes, Pasar Induk Kramat Jati (Jakarta) dan Kota Jakarta. Data yang digunakan merupakan data bulanan dari Januari 2008 sampai Desember 2014 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Harga bawang di sentra produsen mengambil Kabupaten Brebes dikarenakan merupakan daerah produsen bawang merah terbesar di Indonesia yaitu sebesar 25% dari produksi nasional. Harga di tingkat grosir mengambil Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) dikarenakan sebagai pusat grosir terbesar di Indonesia. Selain itu, adanya aliran perdagangan bawang merah dari Kabupaten Brebes ke Kota Jakarta melalui PIKJ sebesar 70%. Sedangkan harga bawang merah di sentra konsumen mengambil Propinsi Jakarta sebagai pusat konsumen terbesar di Indonesia. Berikut adalah gambaran analisis deskriptif harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan konsumen selama periode 2008 2014 pada Tabel 3. Tabel 3 Deskripsi statistik dari harga produsen, grosir, dan konsumen bawang merah dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 di Indonesia Harga real Logaritma natural Variabel Obs a Rata-rata Std dev CV Rata-rata Std dev CVa Produsen 84 11 417 5 754 50.50 9.24 0.43 4.65 Grosir 84 15 131 7 429 49.09 9.53 0.40 4.28 Konsumen 84 22 054 8 455 38.33 9.94 0.33 3.38 a Keterangan: koefisien varian (persen) Selama periode Januari 2008 sampai Desember 2014 harga bawang merah di tingkat produsen paling bervariasi. Tingginya variasi harga bawang merah di tingkat produsen dilihat dari nilai koefiisen varian-nya (CV) yang paling besar.
30
Hal ini juga menunjukan bahwa harga bawang merah di tingkat produsen lebih cepat berubah sedangkan harga di tingkat pengecer lebih stabil. Harga bawang di sentra produsen yang lebih cepat berubah dibandingkan grosir dan pengecer terkait dengan fasilitas penyimpanan bawang merah di tingkat petani yang masih sedikit sehingga dengan karaktristik yang cepat rusak (perishable) menyebabkan harganya cenderung berfluktuasi paling tinggi. Hasil penelitian di lapangan menunjukan teknik pengeringan yang dilakukan petani adalah penjemuran di bawah sinar matahari yang membutuhkan waktu antara 7-9 hari. Pengeringan dengan teknik ini tentunya sangat tergantung dengan kondisi cuaca saat penjemuran. Saat suaca cerah penjemuran dapat berlangsung dengan baik, tetapi sebaliknya saat cuaca mendung atau bahkan hujan, penjemuran sama sekali tidak dapat dilakukan sehingga umbi bawang merah menjadi cepat busuk. Fluktuasi harga yang tinggi tersebut juga seringkali merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Sebaliknya, kondisi penyimpanan yang lebih baik di tingkat pedagang sehingga dapat mengatur penjualannya. Menurut Simatupang (1999), fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan fluktuasi harga antara produsen, grosir dan pengecer bawang merah. Pengujian Stasioneritas Data Langkah pertama untuk menganalisis transmisi harga adalah dengan menguji stasioneritas series harga bawang merah di tingkat produsen, grosir dan pengecer. Pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression. Konsintensi data diperlukan karena adanya dugaan bahwa data bersifat non stasioner. Sedangkan spurios regression yaitu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua atau lebih data time series menunjukkan karakteritik tren yang kuat dalam kurun waktu. Untuk mengetahui pada kondisi mana data dapat menjadi stasioner, maka data diuji dalam beberapa kondisi. Jika series data bersifat stasioner tanpa melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila series data bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai kondisi (first differences) atau integrasi dari order 1. Secara umum, apabila data time series harus diturunkan sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan dalam bentuk I(d) atau terintegrasi dari orde “d”. Pengujian stasioneritas menggunakan augmented dicky fuller test (ADF) dengan taraf nyata 5%. Uji ini dilakukan pada tingkat level dan first difference. Apabila data tidak stasioner pada level, maka pengujian akan dilanjutkan pada kondisi first difference. Selanjutnya, apabila nilai t-ADF lebih kecil dari nilai
31
kritis Mackinon maka data yang digunakan tersebut stasioner. Hasil uji stationeritas pada tingkat level dan first difference dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji stationeritas data Nilai ADF Harga Level First difference Produsen -0.746 7.830* Grosir 2.517 10.066* Pengecer 1.851 10.155* * Keterangan: Stationer pada taraf 5 % Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukan bahwa variabel harga produsen, harga grosir dan harga pengecer bawang merah tidak stationer pada level. Setelah dilakukan pengujian pada first difference pada semua variabel menunjukan variabel telah stationer. Adanya variabel yang tidak stasioner pada level mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang antar variabel (kointegrasi). Untuk itu, dalam pembentukan model transmisi harga ini harus diuji keberadaan kointegrasi antar variabel yang akan diuji pada tahapan selanjutnya. Pengujian Kointegrasi Harga Kointegrasi adalah keseimbangan yang terjadi antara kedua harga dalam jangka panjang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah johansen cointegration test. Pengujian persamaan yang ditentukan berdasarkan kriteri SC, dimana asumsi yang dipilih adalah intercept (no trend) dan panjang lag optimum juga berdasarkan kriteria SC dimana lag yang digunakan adalah lag 1. Hasil pengujian kointegrasi harga antar lembaga pemasaran bawang merah yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil estimasi kointegrasi antara harga produsen, grosir dan pengecer bawang merah Rank Produsen – grosir Grosir – pengecer 0 37.434* 26.396* * 1 7.128 7.616* Keterangan: *Signifikan pada taraf 5 %. Berdasarkan Tabel 5 terlihat baik pada hubungan produsen – grosir dan grosir – konsumen memiliki nilai Tstatitik yang nyata pada level 5%. Ini menunjukan pada kedua model tersebut terjadi kointegrasi artinya terdapat hubunga jangka panjang di antara variabel. Adanya kointegrasi pada hubungan tersebut juga menunjukan bahwa perubahan harga di tingkat hulu ditransmisikan ke tingkat di atasnya (hilir). Uji Kausalitas Pengujian kausalitas dilakukan untuk melihat variabel yang berpengaruh terhadap perubahan variabel lainnya. Uji ini dengan melihat nilai probabilitas pada taraf signifikan 5%. Jika nilai probabilitas lebih besar maka H0 ditolak dan
32
sebaliknya. Pengujian kausalitas dalam penelitian menggunakan long run causality test. Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah tidak terdapat pengaruh dari harga pada pasar di tingkat hulu ke dan sebaliknya hipotesis alternatif (H1) adalah terdapat pengaruh dari harga pasar di tingkat hulu ke harga pasar di tingkat hilir. Dengan kata lain, pergerakan harga di tingkat hulu sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat hilir atau harga tingkat hulu merupakan granger cause dari harga di tingkat hilir. Kaitannya dengan transmisi harga, pengujian ini dilakukan untuk melihat arah transmisi harga yaitu apakah dalam pemasaran bawang merah di Indonesia harga lebih ditentukan dari sisi hulu (upstream) ataukah lebih ditentukan dari perubahan dari sisi hilir (downstream). Dalam penelitian pengujian kausalitas dilakukan antar lembaga pemasaran bawang merah. Lebih jelas hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil estimasi Granger causality pada hubungan produsen-grosir dan grosir-pengecer bawang merah Hubungan Jumlah lag T-statistik Grosir —> produsen 1 -1.456 Produsen —> grosir 1 -2.238* Grosir —> pengecer 1 -5.804* Pengecer —> grosir 1 -1.301 * —> Keterangan: Signifikan pada taraf 5 %, mempengaruhi Tabel 6 memperlihatkan bahwa harga produsen mempengaruhi harga grosir (PIKJ) sebaliknya harga grosir tidak mempengaruhi harga produsen bawang merah (Kab. Brebes). Pada hubungan grosir-konsumen, menunjukan bahwa harga grosir mempengaruhi harga di tingkat pengecer sedangkan harga pengecer tidak mempengaruhi harga di tingkat grosir. Dengan demikian, menunjukan pembentukan harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia lebih ditentukan dari sisi penawaran (supply side) atau bersifat satu arah yaitu dari hulu ke hilir. Pembentukan harga bawang merah yang lebih ditentukan dari sisi penawaran, Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) menjelaskan bahwa sisi permintaan komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan pokok seperti bawang merah cenderung stabil. Meskipun tekanan dari sisi permintaan dapat terjadi, namun derajatnya relatif rendah. Tekanan dari sisi permintaan hanya bersumber dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Kedua faktor tersebut sifatnya lebih mudah ditekan, dibandingkan faktor cuaca dan musim yang mempengaruhi sisi penawaran. Hasil Estimasi Model Houck dan ECM-EG Setelah melihat arah hubungan melalui uji kausalitas maka selanjutnya adalah mengestimasi persamaan asimetris harga yaitu apakah transmisi harga terjadi secara sempurna antara produsen - grosir dan grosir - konsumen. Dalam penelitian ini, terdapat dua model asimetris yang digunakan. Dalam estimasi pertama, menggunakan model asimetris yang dikembangkan oleh Houck. Houck mengembangkan model pengujian asimetris harga berdasar segmentasi variabel
33
harga menjadi harga naik dan harga turun. Namun, dengan menggunakan pendekatan Houck tidak mensyaratkan pengujian kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir. Dalam model ini, kondisi asimetri jangka pendek akan dilihat dari koefisien segmentasi harga naik dan turun pada waktu t dan t-1 nya sedangkan dalam jangka panjang dilihat dari penjumlahan koefisien pada waktu t dan t-1. Apabila kedua koefisien identik maka transmisi harga terjadi secara simetri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil estimasi model asimetris Houck dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 Variabel Produsen —> Grosir Variabel Grosir —> Pengecer Konstanta 137.064 Konstanta -0.012 (0.628) (0.624) 1.172 0.492 PP t GP t (0.000) (0.000) 1.366 0.657 PP t GP t (0.000) (0.000) 0.025 0.150 PP t1 GP t1 (0.817) (0.104) -0.249 0.097 PP t1 GP t1 (0.004) (0.246) Komulatif 1.197 Komulatif 0.642 turun turun Komulatif 1.117 Komulatif 0.754 naik naik R2 0.877 R2 0.700 2 2 R -adj 0.871 R -adj 0.684 F-Statisitik 138.494 F-Statisitik 44.962 (0.000) (0.000) DW Stat. 2.345 DW Stat. 2.295 Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Keterangan: ( ) probablity-value Tabel 7 memperlihatkan bahwa dalam jangka pendek pada hubungan produsen-grosir terdapat perbedaan koefisien antara PP- dan PP+ pada periode ke t. Perbedaan shock positif dan negatif ini dilihat dari koefisien PP positif dan PP negatif. Ini menunjukan pada saat terjadi kenaikan bawang merah di tingkat petani ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Variabel harga produsen pada periode sebelumnya (t-1) menunjukan nilai signifkansi yang berbeda di mana hanya pada saat kenaikan harga produsen pada waktu sebelumnya yang direspon oleh harga grosir. Artinya bahwa penurunan harga bawang merah di tingkat produsen pada waktu sebelumnya tidak akan berpengaruh pada harga bawang merah di level grosir. Penurunan harga di tingkat produsen (t-1) yang tidak direspon grosir yang tidak direspon mengindikasikan adanya perilaku asimetris di tingkat grosir. Dalam hal ini Ketika terjadi kenaikan harga pada tingkat hulu secara serta merta direfleksikan dengan
34
terjadinya kenaikan harga pada tingkat hilir, namun tidak diikuti dengan pola yang sama ketika terjadi penurunan harga. Hal yang sama juga terlihat pada hubungan grosir - pengecer, di mana variabel harga grosir (GP) pada saat naik dan turun secara deskriptif menunjukan perbedaan respon di tingkat konsumen. Berbeda dengan tingkat respon pada grosir pada model sebelumnya, respon pengecer (harga konsumen) pada saat harga naik lebih besar dibandingkan pada saat harga di tingkat grosir mengalami penurunan. Kedua variabel menunjukan tingkat signifikansi yang sangat nyata artinya pada saat terjadi kenaikan dan penurunan harga grosir akan direspon pengecer dalam menetapkan harga. Selanjutnya pada pengaruh harga grosir pada periode sebelumnya menunjukan tingkat signifikansi yang berbeda, di mana hanya signifikan pada saat harga grosir mengalami penurunan pada periode sebelumnya. Artinya kenaikan harga bawang merah di tingkat grosir pada periode sebelumnya tidak akan berpengaruh pada harga bawang merah di tingkat pengecer (konsumen). Secara komulatif respon kenaikan harga lebih besar dibandingkan pada saat terjadi penurunan harga di tingkat grosir. Sebaliknya pada hubungan produsen-grosir, respon kenaikan harga lebih kecil dibandingkan pada saat terjadi penurunan harga di tingkat produsen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Brooker et al (1997) dan Girapunthong, Reunwick, dan Vansickle (2003) di mana grosir lebih merespon cepat pada saat harga turun dibandingkan pada saat harga naik. Hal ini dilakukan oleh pedagang grosir agar menjaga langganan dan market share-nya. Selanjutnya, pada model dinamis kedua menggunakan metode ECM-EG yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996), dimana transmisi harga tidak simetris dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Beda dari pendekatan Houck sebelumnya yang tidak melakukan uji kointegrasi antara tingkat hulu dan hilir metode ini dipakai untuk menghindari terjadinya spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat nonstasioner. Pada model ini pengujian kondisi asimetris tidak hanya dilakukan terhadap shock positif dan shock negatif variabel bebasnya tetapi juga pada terhadap koefisien ECT+ dan ECT- (Yustiningsih 2012). Error Correction Term (ECT) digunakan untuk mengukur deviasi dari keseimbangan jangka panjang antara dua harga tersebut. Dimasukkannya ECT ini memungkinkan harga yang telah diestimasi merespon perubahan harga dan juga dapat memperbaiki deviasi dari keseimbangan jangka panjang tersebut. Shock positif merupakan kondisi di mana variabel independent mengalami perubahan kenaikan sedangkan shock negatif menunjukan penurunan harga pada variabel independent. ECT dalam model ini akan dibagi menjadi ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT ini pada dasarnya menggambarkan kondisi harga di salah satu level tidak sesuai dengan kondisi keseimbangannya (Yustiningsih 2012). Pergerakan harga dikatakan berada pada garis keseimbangan apabila kenaikan harga di tingkat petani diikuti dengan kenaikan harga di tingkat grosir dan penurunan harga di tingkat petani diikuti dengan penurunan harga di tingkat grosir juga.
35
ECT+ menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka panjang yaitu pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat petani tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level grosir atau pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat grosir tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level konsumen. Sebaliknya, ECTmenggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang yaitu pada saat kenaikan harga bawang merah di tingkat petani tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level grosir atau pada saat penurunan harga bawang merah di tingkat grosir tidak diikuti dengan penurunan harga bawang di level konsumen. Apabila kedua koefisien tersebut identik maka transmisi harga terjadi secara simetris. Berikut adalah hasil estimasi model ECM-EG yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 Variabel Produsen —> Grosir Variabel Grosir —> Pengecer Konstanta 110.596 Konstanta -0.004 (0.661) (0.854) 0.437 0.018 GP t 1 CP t 1 (0.000) (0.910) -0.170 0.278 GP t 1 CP t 1 (0.393) (0.163) 1.155 0.591 PP t GP t (0.000) (0.000) 0.383 0.563 PP t GP t (0.000) (0.000) -0.510 0.131 PP t1 GP t1 (0.004) (0.283) 0.115 -0.261 PP t1 GP t1 (0.650) (0.142) -0.533 -0.875 ECT ECT (0.007) (0.000) + + -0.759 -0.203 ECT ECT (0.001) (0.181) R2 0.927 R2 0.781 R2-adj 0.919 R2-adj 0.758 F-Statisitik 116.436 F-Statisitik 32.724 (0.000) (0.000) DW-Stat. 1.879 DW-Stat. 2.075 Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Keterangan: ( ) probality-value. Dari Tabel 8, transmisi harga dalam jangka pendek antara produsen-grosir secara deskriptif terjadi perbedaan respon harga grosir terhadap kenaikan dan penurunan harga di tingkat produsen. Pada harga produsen pada periode ke-t, dilihat dari koefisiennya menunjukan bahwa perubahan kenaikan ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Perubahan penurunan dan kenaikan memiliki nilai yang signifikan. Perubahan harga naik dan turun di
36
tingkat produsen menunjukan nilai yang signifikan artinya baik pada saat terjadi kenaikan dan penurunan harga bawang merah pada periode t ditingkat produsen akan direspon oleh pedagang grosir. Untuk harga produsen pada periode sebelumnya (t-1) menunjukan hal yang sama yaitu terjadi perbedaan respon oleh harga grosir. Kedua variabel menunjukan tingkat signifikansi yang berbeda yaitu hanya signifikan pada penurunan harga produsen pada periode sebelumnya. Ini menunjukan, hanya penurunan harga di tingkat produsen (t-1) yang direspon oleh pedagang grosir. Lebih lanjut, jika dilihat dari tanda koefisiennya menunjukan nilai negatif artinya pada saat penurunan harga di tingkat produsen pada periode sebelumnya akan direspon oleh pedagang dengan menaikkan harga. Pada transmisi jangka panjang antara produsen - grosir dapat dilihat dari nilai ECT-nya. Dari tabel tersebut terdapat kesamaan tanda koefisien antara ECT+ dan ECT-. Koefisien ECT+ bernilai negatif dengan nilai 0.757 sedangkan ECTdengan nilai 0.533. Koefisien ECT+ dengan nilai koefisien 0.757 menunjukan bahwa pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut akan kembali (harga bawang merah di level grosir akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu kurang lebih 9 bulan. Akan tetapi karena bernilai tidak signifikan, maka penyimpangan tersebut tidak akan mempengaruhi harga bawang merah di level grosir. Koefisien ECT- dengan nilai koefisien 0.533 menunjukan bahwa penyimpangan yang terjadi pada saat berada di atas garis keseimbangan pada suatu periode pasti akan kembali ke garis keseimbangannya. Lama penyesuaian menuju keseimbangan tersebut berdasarkan nilai koefisiennya yaitu 6 bulan. Dengan kata lain ketika terjadi penyimpangan akibat kenaikan harga di level produsen yaitu harga di level grosir akan naik dan kembali ke keseimbangan pada 6 bulan berikutnya. Jika dilihat dari tanda dan signifikansi koefisien variabel ECT+ dan ECTtersebut dapat disimpulkan bahwa transmisi harga bawang merah di level produsen terhadap harga grosir terjadi secara simetris. Meskipun penyimpangan akibat kenaikan harga bawang merah di level produsen (ECT-) akan lebih cepat dikoreksi dibandingkan dengan penyimpangan akibat kenaikan harga bawang merah di level produsen. Hasil ini sesuai dengan pendekatan houck yang disajikan pada tabel 5 sebelumnya. Selanjutnya, pada hubungan grosir-konsumen terlihat transmisi harga dalam jangka pendek antara grosir-konsumen secara deskriptif terjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap kenaikan dan penurunan harga di tingkat grosir. Pada harga produsen pada periode ke-t, dilihat dari koefisiennya menunjukan bahwa perubahan kenaikan ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Perubahan penurunan dan kenaikan menunjukan nilai yang signifikan. Artinya baik pada saat terjadi kenaikan dan penurunan harga bawang merah pada periode t ditingkat grosir akan direspon oleh pedagang pengecer. Untuk harga grosir pada periode sebelumnya (t-1) menunjukan hal yang sama yaitu terjadi perbedaan respon oleh harga konsumen dengan tingkat signifikansi yang tidak nyata. Artinya meskipun terjadi perbedaan respon, namun tidak akan mempengaruhi pembentukan harga di tingkat konsumen.
37
Pada hubungan jangka panjang yang dilihat dari nilai ECT-nya yaitu ECT+ dan ECT- menunjukan nilai signifkansi yang berbeda yaitu hanya signifikan pada koefisien ECT-. Kedua tanda koefisien yang bernilai negatif menunjukan bahwa pada saat penyimpangan harga berada di atas garis keseimbangan maka penyimpangan tersebut akan kembali ke kondisi keseimbangan. Koefisien ECTbernilai signifikan dengan tanda sebesar 0.875 dapat diartikan bahwa penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga bawang merah di level grosir akan terjadi pada periode 10 bulan selanjutnya di tingkat konsumen. Artinya apabila terjadi kenaikan harga di tingkat grosir maka setelah 10 bulan kenaikan harga grosir maka harga di level pengecer akan mengalami kenaikan. Sementara itu, pada koefisien ECT+ dengan dengan koefisien sebesar -0.203 dan dengan nilai yang tidak signifikan. Artinya pada saat terjadi penurunan harga di tingkat grosir maka harga di tingkat pengecer akan menyesuaikan turun pada 2 bulan berikutnya. Akan tetapi dengan nilai yang tidak signifikan maka penyimpangan tersebut tidak akan mempengaruhi harga bawang merah di level konsumen. Selanjutnya, persentase perubahan harga akibat perubahan dari sisi penawaran antar lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Elastisitas transmisi harga dengan model Houck dan ECM-EG Jangka pendek Jangka panjang Kausalitas Variabel Houck ECM-EG Houck ECM-EG PP 0.884 0.841 0.903 0.456 Produsen– + PP grosir 1.030 0.288 0.842 0.375 GP 0.338 0.405 0.397 0.467 Grosir– + pengecer GP 0.451 0.386 0.499 0.306 Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Tabel 9 menunjukkan pada model Houck dalam jangka pendek, saat terjadi penurunan harga di tingkat produsen sebesar 10% grosir akan merespon dengan menurunkan harga sebesar 8.84%, sedangkan pada saat terjadi penurunan harga di tingkat grosir sebesar 10%, pengecer akan menurunkan harga sebesar 3.38%. Hal yang sama juga terlihat pada model ECM-EG, di mana pada saat terjadi penurunan harga, pedagang grosir akan merespon lebih besar di bandingkan pengecer bawang merah. Sebaliknya, saat terjadi kenaikan harga di tingkat produsen sebesar 10% grosir akan merespon menaikkan harga sebesar 10.30% dan pada saat kenaikan harga sebesar 10% di tingkat grosir, pengecer akan merespon dengan menaikkan sebesar 4.51%. Ini menunjukan bahwa dalam rantai pemasaran bawang merah di Indonesia pedagang grosir lebih responsif dalam perubahan harga bawang merah. Selain itu, elastisitas transmisi harga antara produsen dengan grosir pada saat harga turun lebih besar dibandingkan pada saat harga produsen mengalami kenaikan. Nilai elastisitas pada harga petani turun yang lebih besar dari 1 menunjukan transmisi antar keduanya bersifat elastis. Artinya apabila ada perubahan harga di level petani maka harga di level grosir akan langsung berubah sedangkan transmisi harga pada di level petani saat mengalami kenaikan bersifat inelastis. Sebaliknya, pada transmisi harga antara grosir dengan konsumen nilai elastisitas transmisi pada saat harga naik di tingkat grosir lebih besar dibandingkan pada saat harga turun dalam jangka pendek dengan nilai yang lebih
38
kecil dari 1. Ini menunjukan pedagang pengecer bawang tidak akan cepat berubah terhadap perubahan harga bawang merah di tingkat grosir. Dalam jangka panjang, pada model houck transmisi harga bersifat inelastis baik pada hubungan produse-grosir dan grosir-konsumen. Hal yang berbeda, pada model ECM-EG, transmisi harga bersifat elastis dijumpai pada saat harga turun pada hubungan antara produsen-grosir. Dengan demikian, dalam jangka panjang elastisitas transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah bersifat inelastis atau tidak respon perubahan harga dari sisi penawaran. Keterkaitan dengan asimetris harga yang dijumpai pada hubungan grosirkonsumen yang disebabkan oleh perilaku pedagang pengecer dapat dilihat nilai elastisitasnya. Pada kedua model, elastisitas transmisi harga antara grosir dengan konsumen bersifat inelastis. Ini menunjukan bahwa, adanya perilaku tidak respon terhadap perubahan pada pedagang di bawahnya atau dengan kata lain baik saat harga naik atau turun, pedagang pengecer akan menahan perubahan harganya baik dalam jangka dan jangka panjang. Dengan adanya perilaku tersebut, pedagang pengecer berusaha untuk mendapat keuntungan yang lebih sehingga akan mempengaruhi kesejahteraan konsumen dari harga yang dibayarkannya. Pendugaan Asimetri Transmisi Harga Dari hasil pengujian baik dengan model Houck dan ECM-EG dapat dilihat secara deskriptif bahwa terdapat perbedaan respon terhadap perubahan kenaikan dan penurunan harga bawang merah pada hubungan antar lembaga pemasaran. Untuk memastikan perbedaan tersebut, dilakukan Wald test terhadap koefisienkoefisien tersebut apakah identik atau tidak sama. Hasil pengujian ini menjadi ukuran keidentikan antara koefisien shock positif dan shock negatif dalam jangka pendek maupun jangka panjang dari model asimetris dinamis. Apabila berbeda (signifikan) maka terdapat transmisi harga yang bersifat asimetris. Yustiningsih (2012) menjelaskan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost (jangka pendek) dilihat dengan cara memisahakan variabel independent antara variabel positif dengan variabel negatif, dan kemudian membandingkan apakah koefisien keduanya identik atau tidak. Faktor market power (jangka panjang) dapat dilhat dengan memisahkkan ECT positif dan ECT negatif pada model ECM-EG dan penjumlahan antara variabel pada periode t dengan t-1 pada model Houck. Hasil pengujian keidentikan koefisien dengan menggunakan Wald test dapat dilihat pada Tabel 10.
39
Tabel 10 Hasil estimasi Wald test pada kesimetrisan harga bawang Model Hipotesis F-Statistik + Houck 1.575 (0.213) Ho: PP t = PP t + 3.025 (0.082) Ho: PP t-1 = PP t-1 m
Ho:
m
PPt PPt i 0
+ Ho: GP t = GP t + Ho: GP t-1 = GP t-1 m
Ho:
t
GPt
0.284 (0.595)
i0
+ Ho: PP t = PP t + Ho: PP t-1 = PP t-1 + Ho: GP t = GP t + Ho: GP t-1 = GP t-1 Ho: ECT- = ECT+ (produsen-grosir) Ho: ECT- = ECT+ (grosir-pengecer) () Keterangan: probability-value
ECM-EG
1.265 (0.264) 1.187 (0.279)
m
GP i 0
0.162 (0.688)
i 0
3.324 (0.072) 4.126 (0.045) 0.042 (0.836) 2.496 (0.118) 0.420 (0.518) 5.101 (0.026)
Dari hasil uji Wald menunjukan bahwa dalam jangka pendek terdapat asimetris transmisi harga pada hubungan antara petani-grosir. Sebaliknya grosirkonsumen menunjukan hubungan yang simetris. Oleh karena itu, hasil uji Wald ini mendukung uji secara deskriptif yaitu adanya respon yang berbeda antara shock positif dan shock negatif pada hubungan antara produsen-grosir. Mengenai hal ini, Yustiningsih (2012) menjelaskan bahwa asimetris harga dalam jangka pendek disebabkan oleh adanya sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya. Dalam ilmu ekonomi biaya tersebut dikenal dengan adjustment cost atau menu cost, seperti biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label, katalog harga dan biaya periklanan. Hasil penelitian di lapangan menunjukan pedagang grosir akan memasang label harga jika perubahan tersebut dirasakan permanen, akan tetapi apabila perubahan tidak permanen maka tidak akan memasang label harga pada bawang merah yang dijualnya. Menurut McCorriston et al. (2000), ketidakpastian apakah perubahan harga terjadi secara permanen atau hanya bersifat sementara menghalangi pedagang untuk merespon sinyal perubahan harga. Sehingga perubahan harga yang tidak terlalu signifikan tidak akan ditransmisikan secara sempurna oleh pedagang. Asimetris transmisi harga bawang merah dalam jangka pendek dikarenakan dalam perdagangan bawang merah di Indonesia dipengaruhi oleh masuknya bawang merah impor menyebabkan elastisitas substitusi antar bawang merah lokal dengan bawang merah impor sangat tinggi, sehingga pada saat bawang lokal mengalami kenaikan konsumen akan beralih ke bawang impor. Karantininis, Katrakilidis, dan Persson (2011) menjelaskan bahwa transmisi harga tidak simetris dapat terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, transmisi harga disebabkan oleh faktor adjustment cost di mana tanpa adanya market power maka harga akan melakukan penyesuaian kembali menuju ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Sementara itu, dalam jangka panjang yang dilihat dari koefisien ECT positif dan
40
negatif menunjukan hasil yang berbeda. Pada model petani-grosir menunjukan hasil yang tidak signifikan sedangkan grosir-konsumen menunjukan hasil yang signifikan. Ini menunjukkan dalam jangka panjang terdapat transmisi yang asimetris pada hubungan grosir-konsumen. Dengan kata lain adanya market power di tingkat pedagang pengecer. Penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara dalam rantai pasar bawang merah di Indonesia umumnya terkait struktur pasarnya. Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar sangat mempengaruhi besar kecilnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh agen ekonomi dalam rantai pemasaran. Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (1) jumlah perusahaan yang beroperasi di pasar, (2) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan untuk masuk dan keluar dari pasar, dan (3) karakteristik dari produk yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut selanjutnya akan berpengaruh terhadap kekuatan dari para perusahaan didalamnya untuk mempengaruhi harga pasar. Pada struktur pasar yang bersifat monopoli, perusahaan atau agen tunggal berperan sebagai price setter, akibatnya perusahaan memiliki keleluasaan dalam menentapkan harga dan memperoleh marjin keuntungan yang optimal. Sebaliknya, pada pasar persaingan sempurna (atau setidaknya highly competition), perusahaan hanya akan berperan sebagai price taker, dimana perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, sehingga marjin keuntunganyang diperolehnya sangat kecil. Jika dilihat dari struktur pasar pada pedagang pengecer yang cenderung persaingan sempurna maka fakta adanya market power di tingkat pedagang ini mengindikasikan bahwa adanya pengaturan harga oleh satu atau beberapa pedagang pengecer. Kharin (2015) menunjukan hasil yang sama yaitu harga tidak ditransmisikan antar lembaga pemasaran serta pedagang pengecer umumnya mempunyai market power. Dari hasil transmisi harga antar lembaga pemasaran menunjukan adanya inefisiensi dalam pemasaran bawang merah di Indonesia. Perilaku pedagang perantara umumnya terkait mengenai persepsi mereka. Komoditi bawang merah yang tidak mempunyai harga standar seperti HPP pada beras menyebabkan pedagang mempunyai kekuatan dalam menaikan dan menurunkan harga mengikuti perkembangan pasar. Hasil estimasi dari uji Wald pada ECT+ dan ECT- pada dua model yaitu petani-grosir dan grosir-konsumen menunjukan hasil yang berbeda. Pada hubungan produsen-grosir, menunjukan bahwa dalam jangka panjang secara statistik transmisi harga antar keduanya bersifat simetris, sebalikya pada hubungan antara grosir dengan konsumen, pedagang pengecer (tingkat konsumen) lebih respon dalam menaikan harga dibandingkan dengan menurunkan harga akibat perubahan di tingkat konsumen. Pada hubungan produsen-grosir, terlihat bahwa respon pedagang grosir dari sisi besaran lebih tinggi pada saat terjadi penurunan dibandingkan kenaikan harga bawang merah di tingkat produsen. Mengenai hal ini, European Commision (2009) dalam penelitiannya disebutkan bahwa khusus untuk produk pertanian, karakteristik produk, seperti daya simpan dan musiman, merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan transmisi harga produk pertanian. Ward (1982) dalam Serra dan Goodwin (2002) menyebutkan bahwa pada produk pertanian yang daya simpannya singkat, pola transmisi harga asimetris yang terjadi mengarah pada tipe negatif. Pedagang perantara yang menjual
41
barang-barang perishable cenderung tidak akan menaikan harga outputnya meskipun terjadi kenaikan harga input. Alasannya adalah pedagang khawatir barangnya tidak laku. Sehingga pedagang lebih memilih menekan marginnya, dengan tidak menaikan harga output, daripada harus menanggung kerugian yang lebih besar, akibat barang yang tidak laku. Selain itu, pedagang grosir peka terhadap penurunan harga dibandingkan kenaikan harga dikarenakan proses penentuan harga di pasar grosir yaitu Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) bukan hanya berdasarkan kenaikan harga beli dari produsen akan tetapi melihat kondisi dari pasar tersebut. Apabila pasokan bawang merah masuk ke PIKJ banyak maka pedagang grosir akan menurunkan harganya. Sebaliknya, pedagang pengecer lebih merespon kenaikan harga di tingkat grosir. Hal ini menunjukan, pedagang pengecer merasa penurunan harga bawang merah di level grosir hanya bersifat sementara. Sehingga dalam jangka panjang, responnya terhadap penurunan harga bawang merah di tingkat grosir menjadi tidak sensitif. Sebaliknya, pedagang pengecer menganggap bahwa kenaikan harga bawang merah di level grosir sifatnya permanen. Hasil penelitian Nurasa dan Darwis (2007) menunjukan bahwa dalam pemasaran bawang merah dari pusat produksi (Kab.Brebes) sampai pusat konsumsi yang mendapatkan keuntungan terbesar berada pada pedagang pengecer. Hal ini dilihat dari farmer share yang diperoleh pedagang pengecer sebesar 53.55% – 56.03%. Farmer share ini lebih rendah dibandingkan lembaga pemasaran bawang merah lainnya. Ini menunjukan adanya kaitan antara perilaku pedagang pengecer dengan margin yang diterima, di mana pedagang pengecer memaksimumkan keuntungan yang diterima dengan perilaku-perilaku dalam menaikkan atau menurunkan harga sehingga harga tidak tertransmisi dengan baik. Selain itu, dalam pemasaran bawang merah marjin pasar cenderung lebih mengelompok pada pedagang besar dan supplier sehingga pada saat harga turun harga ditransmisikan dengan baik ke tingkat petani. Artinya petani tetap menerima harga yang rendah dan berfluktuasi, meskipun pedagang grosir tidak respon terhadap kenaikan harga. Secara keseluruhan, adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi proses transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia. Pada hubungan produsen-grosir lebih dipengaruhi oleh adjustment cost sedangkan grosir-pengecer disebabkan adanya market power di tingkat pedagang pengecer. Perbedaan faktor ini terkait dengan konsumen yang dihadapinya. Pengecer yang berhadapan dengan tingkat konsumen akhir yang inelastis menyebakan permainan harga menjadi besar. Sebagaimana Acquah dan Onumah (2010) menjelaskan adanya asimetri transmisi harga juga dipengaruhi oleh inelatisitasnya permintaan di tingkat konsumen, sehingga pedagang dapat mengontrol harga jualnya. Jika dilihat, Kota Jakarta sebagai pusat konsumen terbesar di Indonesia dengan tingkat permintaan yang tinggi menyebabkan perubahan harga di tingkat pengecer tidak akan mempengaruhi permintaan konsumen. Sebaliknya grosir dengan volume penjualan yang besar menyebabkan risiko permainan harga menjadi kecil. Perbedaan mendasar antara transmisi harga yang disebabkan oleh market power dengan adjustment cost adalah waktu. Adjustment cost yang terjadi dalam jangka pendek sifatnya hanya menunda proses transmisi atau penyesuaian harga, dan dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian harga yang sempurna (Karantininis 2011; McCorriston, et al 2000). Sementara asimetri yang
42
disebabkan oleh market power dapat bertahan dalam waktu yang lama, karena tidak hanya berpengaruh dari sisi time of adjustment tetapi juga mempengaruhi magnitude of adjustment (Meyer dan von-Cramon Taubadel 2004). Hasil tersebut menunjukan bahwa petani dan konsumen berada pada posisi tawar yang lemah, dan sebaliknya pedagang perantara berada dalam pada posisi dominan dalam perdagangan bawang merah di Indonesia. Khusus mengenai analisa yang digunakan, kedua model yang digunakan yaitu model Houck dan ECM-EG menunjukan hasil yang serupa. Artinya kedua model telah mampu menjelaskan dengan fenomena asimetris transmisi harga yang terjadi pada hubungan antar lembaga pemasaran bawang merah dengan baik. Faktor Pembentuk Harga Bawang Merah di Tingkat Konsumen Analisa faktor pembentuk harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dilakukan kaitannya dengan terintegrasinya lini saluran pemasaran bawang merah. Proses pemasaran bawang merah menjadi beberapa beberapa saluran pemasaran akan berpengaruh terhadap pembentukan harga output di satu rantai yang kemudian menjadi input bagi rantai pemasaran selanjutnya. Sehingga pengaruh lebih lanjutnya adalah terhadap pembentukan harga di tingkat konsumen akhir (end-user). Dalam analisa ini menggunakan data harga di tingkat produsen (Kabupaten Brebes), grosir (PIKJ), konsumen (Propinsi Jakarta), Harga Impor bawang merah, pasokan bawang merah yang masuk ke PIKJ, dan bahan bakar minyak (BBM) sebagai proksi dari biaya transportasi. Estimasi permasalahan ini menggunakan error correction model (ECM). Penggunaan model ini untuk mengatasi permasalahan perbedaan kekonsistenan hasil antara jangka pendek dan jangka panjang dengan cara proporsi disequilibirium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan. Kelebihan dari model ECM adalah seluruh variabel dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi, menghindari terjadinya trend dan regresi semu (spurious regression). Selain itu, dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang diinginkan dalam model dan pemberian makna yang lebih sederhana. Artinya model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independent terhadap dependent dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Uji Stationeritas Sebelum masuk ke dalam pengujian ECM, dilakukan uji stasioneritas pada data-data menggunakan augmented dicky fuller test (ADF) dengan taraf nyata 5%. Apabila nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis Mackinon maka data yang digunakan adalah stasioner. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression. Pengujian ini dilakukan pada level sampai level first difference. Hasil uji stationeritas ini dapat dilihat pada Tabel 11.
43
Tabel 11 Hasil uji stationeritas data Nilai ADF Variabel Level First Difference Harga produsen -0.746 7.830* Harga grosir 2.517 10.066* Harga konsumen 1.851 10.155* * Harga impor bawang merah 3.892 15.336 Pasokan bawang merah -4.143* 10.586 BBM -0.724 -8.867* Keterangan: *Stationer pada taraf 5 % Hasil pengujian menunjukan bahwa variabel harga produsen, harga grosir, harga konsumen bawang merah dan bahan bakar minyak (BBM) tidak stationer sedangkan pasokan dan harga impor bawang merah stationer. Setelah dilakukan pengujian pada first difference semua variabel yang digunakan telah stationer. Adanya beberapa variabel yang stationer pada level yang berbeda mengindikasikan terjadinya hubungan jangka panjang (kointegrasi). Untuk itu, pada tes selanjuntya dilakukan uji kointegrasi. Pengujian Kointegrasi Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan Johannsen cointegration test untuk mengetahui berapa banyak persamaan dalam sistem yang memiliki kointegrasi. Hubungan kointegrasi dalam penelitian ini diuji menggunakan johanssen cointegration test dan ADF test. Pada Johanssen cointegration test dilihat dari nilai trace statistic yaitu terdapat hubungan kointegrasi apabila nilai trace statistic lebih besar dari critical value 5% maka hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah persamaan yang terkointegrasi dalam sistem sedangkan pada ADF test dilihat dari nilai ADF-nya. Hasil uji kointegrasi Johanssen dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil Johanssen cointegration test Jumlah persamaan Eigen Trace Critical terintegrasi value statistic value None 0.408 132.977 95.753 At most 1 0.368 89.853 69.818 At most 2 0.288 52.220 47.856 At most 3 0.138 24.334 29.797 At most 4 0.082 12.136 15.494
Prob 0.000 0.000 0.018 0.186 0.150
Tabel 12 menunjukan bahwa model yang digunakan pada penelitian ini memiliki 3 persamaan kointegrasi. Ini menunjukkan adanya kombinasi liniear yang bersifat stasioner (kointegrasi) dari persamaan tersebut, sehingga error correction model (ECM) dapat digunakan dalam penelitian ini. Engel dan Granger (1987) menyatakan bahwa kointegrasi mengacu pada sejumlah variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama, maka dapat dilakukan uji kointegrasi. Pada penelitian ini semua variabel terkointegrasi pada derajat atau orde 1 I(1). Jika
44
variabel-variabel dalam suatu penelitian terkointegrasi pada derajat yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa variabel-variabel tersebut tidak dapat terkointegrasi. Selanjutnya, uji kointegrasi dilakukan dengan melakukan uji stasioneritas pada residual persamaan regresi dari variabel-variabel yang akan diamati. Apabila nilai statistik ADF lebih kecil dari nilai kritis Mc. Kinnon pada taraf nyata 5% artinya variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan ini sudah terkointegrasi. Tabel 13 Hasil kointegrasi menggunakan ADF pada residual Mc. Kinnon critical value Variabel Nilai ADF 1% 5% 10% Residual -6.402 -3.511 -2.896 -2.585 Dari Tabel 13, menunjukkan nilai ADF pada variabel residual lebih besar dibandingkan nilai kritis Mc. Kinnon pada alfa 1%, 5% dan 10%. Ini menunjukan bahwa pada persamaan ECM yang digunakan untuk mengestimasi faktor pembentuk harga di tingkat konsumen terintegrasi. Dengan demikian, baik uji kointegrasi menggunakan Johanssen dan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada residual menunjukkan hasil yang sama. Estimasi Error Correction Model (ECM) Estimasi error correction mechanism (ECM) digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen. Penggunaan model ini terakit dengan perilaku ekonomi, di mana ketidakmampuan pelaku ekonomi untuk segera menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perilaku variabel ekonomi. Ketidakseimbangan inilah maka error correction mechanism (ECM) digunakan dengan memanfaatkan error dari hubungan jangka panjang untuk menyeimbangkan hubungan jangka pendeknya. Oleh karena itu, estimasi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua analisis yaitu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam persamaan jangka pendek terdapat tambahan variabel yaitu error correction term (ECT). Variabel ECT ini digunakan untuk mengkoreksi kesalahan akibat terjadinya ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Hasil koefisien ini juga sekaligus untuk melihat apakah model tersebut sudah valid atau tidak. Sebaliknya, dalam jangka panjang tidak dimasukkan variabel ECT dan variabel yang digunakan tidak diturunkan (diffrence). Analisis ini menggunakan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen yaitu harga di tingkat grosir (PIKJ), harga di sentra produsen, pasokan bawang merah ke PIKJ, bahan bakar minyak (BBM) sebagai proksi biaya transportasi dan harga bawang merah impor. Hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 12 merupakan hasil estimasi dari model persamaan yang berbentuk logaritma, dengan demikian maka koefisien regresi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai nilai elastisitasnya. Hasil estimasi ECM dapat dilihat pada Tabel 14.
45
Tabel 14 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek Variabel Koefisien Std. Error Prob. Konstanta -0.004 0.008 0.619 Harga Grosir 0.386 0.067 0.000 Harga Grosir (-1) -0.031 0.083 0.667 Harga Produsen 0.246 0.062 0.000 Impor -0.029 0.067 0.029 Impor (-1) -0.006 0.013 0.634 Pasokan 0.004 0.013 0.935 BBM 0.476 0.057 0.001 BBM (-1) 0.264 0.058 0.082 Harga Konsumen (-1) 0.129 0.150 0.202 ECT (-1) -0.738 0.153 0.000 R-squared 0.836 F-statistic 36.270 Adjusted R-squared 0.813 Prob. 0.000 Durbin-Watson stat 1.847 Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Tabel 14 menunjukan nilai F-statistik signifikan pada nilai probabilitas 0.000, artinya secara keseluruhan variabel bebas yang dimasukan mempengaruhi harga bawang merah yang terbentuk di tingkat konsumen akhir (Jakarta). Nilai adjusted R2 sebesar 0.813 menunjukan bahwa variasi dari harga konsumen (tingkat pengecer) yang dapat dijelaskan oleh harga impor, grosir, produsen, bahan bakar minyak (BBM) dan pasokan sebesar 81.30% dan sisanya sebesar 18.70% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukan dalam model. Hasil estimasi menunjukan harga impor bawang merah yang masuk pada periode t ke Indonesia berpengaruh terhadap harga konsumen bawang merah dalam jangka pendek di mana kenaikan harga bawang merah impor akan menurunkan harga bawang merah lokal. Sebaliknya, untuk harga impor sebelumnya menunjukan nilai yang tidak signifikan. Nilai koefisien harga impor pada periode t sebesar -0.029 artinya pengaruh harga impor terhadap harga eceran bawang merah tidak elastis meskipun pengaruhnya berbeda nyata. Tidak elastisnya pengaruh harga impor kemungkinan disebabkan karena waktu impor yang dilakukan oleh pemerintah bersamaan dengan panen raya bawang merah di Indonesia. Selain itu, proporsi impor bawang merah yang kecil yaitu 10% dari kebutuhan nasional menyebabkan kenaikan harga impot maka pedagang pengecer akan beralih ke bawang merah lokal di Indonesia. Adanya pengaruh bawang merah impor pada periode sekarang menunjukan adanya substitutsi antara bawang merah lokal dengan bawang merah impor. Data statistik menunjukan rata-rata harga bawang merah impor sebesar Rp 6 000 per kg sedangkan rata-rata harga bawang merah lokal di tingkat petani sebesar Rp 9 600 per kg. Pengaruh yang negatif ini dikarenakan dengan adanya kebijakan impor bawang merah akan mempengaruhi posisi tawar dari pedagang perantara (pengecer). Khusus pada komoditi bawang merah, Kementerian Perdagangan menetapkan harga referensi sebagai acuan dalam melakukan impor. Harga referensi bawang merah yang ditetapkan sebesar Rp 25 700 per kg di mana
46
jika harga dipasaran di atas harga referensi tersebut maka pemerintah akan membuka impor bawang merah. Hal yang sama juga terlihat pada variabel harga grosir (PIKJ), di mana hanya signifikan pada periode t dengan nilai koefisien sebesar 0.386. Artinya setiap kenaikan harga grosir 10% akan meningkatkan harga bawang di tingkat konsumen sebesar 3.86%. Kenaikan harga tersebut dikarenakan harga grosir merupakan komponen biaya bagi pengecer di mana menetapkan harga berdasarkan harga belinya. Variabel harga produsen berpengaruh signifikan dan positif dalam jangka pendek terhadap harga konsumen dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai koefisien variabel ini sebesar 0.246 artinya kenaikan 10% harga produsen akan meningkatkan harga konsumen sebesar 2.46%. Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa kenaikan harga produsen akan menaikan biaya pembelian yang ditransfer secara tidak langsung melalui pembelian pedagang grosir. Harga bahan bakar minyak (BBM) berpengaruh signifikan baik pada waktu sekarang dan waktu sebelumnya (t-1). Koefisien BBM pada periode t sebesar 0.476. Artinya kenaikan 10% BBM akan menaikan harga bawang merah di tingkat konsumen sebesar 4.76%. Ini menunjukan harga BBM yang dijadikan proksi biaya transportasi/distribusi menjadi faktor dalam pembentukan harga. Harga BBM yang digunakan dalam penelitian ini yaitu harga solar. Hasil ini sejalan dengan penelitian Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) di mana BBM menjadi faktor penting dalam pembentukan harga komoditas pertanian di Indonesia. Pengaruh BBM yang besar dalam pembentukan harga bawang merah terkait dengan sifat komoditi ini yang tidak melalui kegiatan pengubahan bentuk dan penyimpanan karena terkait dengan karakteristik komoditas maupun cita rasanya sehingga kegiatan distribusi untuk menyampaikan komoditas tersebut kepada konsumen menjadi lebih dominan. Pasokan bawang merah yang masuk ke Jakarta tidak berpengaruh signifikan tidak berpengaruh dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. Hal ini dikarenakan, pedagang pengecer lebih melihat dari harga jual di tingkat grosir sehingga jumlah pasokan yang masuk ke Jakarta (PIKJ) tidak berpengaruh dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen. Harga bawang merah di tingkat konsumen menunjukan nilai yang tidak signifikan. Artinya pembentukan harga konsumen bawang merah pada waktu sekarang tidak melihat pengaruh dari sebelumnya. Hasil ini terkait dengan penelitian Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) di mana untuk komoditas penyumbang inflasi penentuan harga di tingkat pengecer cenderung mengikuti harga tertinggi di pasar (26%), biaya langsung ditambah keuntungan yang bervariasi (22%) dan mengikuti harga pesaing (18%). Sehingga harga yang terbentuk pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap bawang merah pada waktu sekarang di tingkat pengecer. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa spesifikasi model yang digunakan telah valid. Ini dilihat dari nilai error correction term (ECT) yang signifikan dan dengan tanda yang negatif. Dari keseluruhan faktor, bahan bakar minyak (BBM) merupakan faktor dengan pengaruh terbesar terhadap pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir. Ini menunjukan bahwa, perubahan pada variabel ini akan memberikan dampak yang besar terhadap harga bawang merah di tingkat konsumen. Hasil ini sejalan dengan kajian Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008)
47
menjelaskan bahwa dampak peningkatan BBM terhadap harga komoditas dan inflasi secara keseluruhan lebih besar dari faktor distribusi lainnya. Selanjutnya untuk melihat faktor yang mempengaruhi harga bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka panjang dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka panjang Variabel Koefisien Std. Error Prob. Konstanta 0.175 0.630 0.781 Harga Grosir 0.373 0.079 0.000 Harga Produsen 0.229 0.068 0.001 Impor -0.020 0.013 0.135 Pasokan -0.022 0.052 0.666 BBM 0.259 0.060 0.000 Harga Konsumen(-1) 0.216 0.048 0.000 R-squared 0.946 F-statistic 221.996 Adjusted R-squared 0.941 Probability 0.000 DW Stat 1.520 Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014), diolah Berdasarkan Tabel 15, dalam jangka panjang harga bawang merah impor dan pasokan tidak mempengaruhi pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen. Hasil ini berbeda dengan model dalam jangka pendek, di mana hanya pasokan yang tidak berpengaruh dalam pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen. Ini menunjukan bahwa, adanya kebijakan impor bawang merah tidak akan mempengaruhi posisi tawar dari pedagang pengecer. Dalam hal ini penetapan harga eceran bawang merah tidak akan dipengaruhi oleh tekanan bawang merah impor yang harganya lebih rendah sehingga kenaikan harga bawang merah impor tidak mempengaruhi harga bawang merah (lokal) di tingkat konsumen. Keterkaitan dengan hasil analisis transmisi harga, ini menunjukan adanya pengaruh dari market power terhadap harga bawang merah di tingkat konsumen, sehingga pengaruh dari harga bawang merah impor menjadi tidak signifikan. Secara keseluruhan, harga di tingkat grosir (PIKJ) merupakan faktor dengan pengaruh terbesar terhadap pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dalam jangka panjang. Analisa Game Theory dalam Pembentukan Harga Bawang Merah Perilaku pasar dalam penelitian ini dilihat dari perilaku pembentukan harga yang terjadi pada lembaga pemasaran bawang merah dan kerjasama yang terjadi dalam rantai tataniaga. Adanya interaksi antar lembaga pemasaran dalam terbentuknya harga diperlukan analisa proses pengambilan keputusan guna memeriksa interaksi antarindividu. Salah satu alat analisis yang dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan yaitu teori permainan. Gibbons (1992) menjelaskan bahwa model teori permainan memungkinkan untuk mempelajari implikasi rasionalitas, kepentingan dan keseimbangan, baik dalam interaksi pasar yang dimodelkan sebagai game (seperti informasi yang tersembunyi, tindakan tersembunyi atau kontrak yang tidak lengkap) dan di pasar
48
non interaksi (seperti regulator dan perusahaan, bos dan pekerja, dan sebagainya). Sejalan dengan itu, Amarullah (2015) mengemukakan teori permainan dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan yaitu strategi optimum dari situasi-situasi persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Penelitian ini akan melihat kondisi persaingan atau konflik antar petani – pedagang desa dan antar pedagang pengecer. Hasil Gaming di Tingkat Petani – Pedagang Pengumpul Analisis teori permainan pada petani dan pedagang akan dilihat interaksi antara para pengambil keputusan (decision makers), yaitu petani dengan pedagang pengumpul. Hal ini terkait dinamika perubahan kelembagaan dalam bentuk matrik konsekuensi pahala (payoff) dan model permainan (game modelling) interaksi ini beserta masing-masing strateginya. Analisis ini juga melihat pada hubungan antara pedagang pengecer. Dari kedua analisis teori permainan pada objek yang berbeda akan dilihat proses pembentukan harga. Ini terkait data statistik yang menunjukan disparitas harga bawang merah yang besar di tingkat pengecer. Komoditi bawang merah di mana tidak adanya kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai harganya di pasar domestik Indonesia sehingga mekanisme pasar (perilaku pasar) perlu dipelajari khususnya mengenai strategi penetapan harganya. Pola pemasaran yang diteliti dalam penelitian ini yaitu dari pusat produksi (Brebes) sampai pedagang pengecer konsumen akhir di Kota Jakarta. Wacana (2011) dalam penelitannya menunjukan bahwa saluran pemasaran ini merupakan salah satu yang ada di Kabupaten Brebes. Dalam hasil penelitiannya menunjukan bahwa sebanyak 10.63% dari keseluruhan sampel menggunakan pola ini dalam pemasaran bawang di Kabupaten Brebes. Kelembagaan prinsipal – agen yaitu petani – pedagang di tingkat desa masing-masing memiliki strategi yang dapat dianalisis menggunakan pendekatan gaming. Untuk penyederhanaan dalam analisis ini, tidak dilihat petani berdasarkan ukuran luas lahan. Selanjutnya, penghitungan keuntungan pedagang pengumpul dan petani didasarkan atas produksi rata-rata per luas lahan (produktivitas) per musim, dan biaya usahatani per luas lahan per musim. Hasil penelitian menunjukan, petani dalam menjual bawang merahnya mempunyai pilihan untuk menjual kepada pedagang pengumpul desa atau menjual hasil panennya ke Pasar Klampok. Harga pasar bawang merah yang berlaku sebesar Rp 10 000 per kg. Apabila menerima tawaran dari pedagang pengumpul maka petani bawang merah akan mendapatkan harga jual sebesar Rp 10 000 per kg. Harga yang diterima ini, jika dibandingkan dengan rata-rata biaya produksi per kg sebesar Rp 8 000 per kg maka keuntungan petani setempat sebesar Rp 2 000 per kg. Dengan melihat bahwa biaya yang dikeluakan oleh petani lebih kecil dari harga jual yang berlaku maka petani akan menerima tawaran tersebut. Menurut petani setempat, harga tersebut cukup baik karena pada periode sebelumnya harga bawang merah pada saat panen raya pernah menurun sampai sebesar Rp 4 000 per kg. Dengan tinggi persaingan pada saat panen raya, petani akan menerima harga yang diberikan oleh pedagang pengumpul, asalkan harga yang diberikan tersebut lebih tinggi dari biaya usahatani yang dikeluarkan. Sebagian besar petani menjual hasil panen ke pedagang desa/lapak selain dikarenakan karena ada hubungan langganan antara pedagang desa, dipengaruhi
49
biaya transaksi yang tinggi apabila menjual ke pasar klampok (pedagang besar) serta menurut pengalaman petani setempat adanya pengurangan timbangan oleh pedagang setempat. Faktor inilah yang menjadi alasan terbesar sehingga petani sebagian besar menjual ke pedagang desa/lapak. Gaming antara petani dengan pedagang desa serta pedagang Pasar Klampok dapat dilihat pada Gambar 9.
µ*
α*
Rp 2 323 850
α1
Rp 5 377 850
Petani BM
Pedagang Klampok β*
µ1
Petani BM β1
t1
Rp 7 922 850
Rp 5 377 850
t0
Keterangan: BM= bawang merah; µ*= strategi dominan pedagang Klampok, µ1= strategi alternatif pedagang Klampok; α*= strategi dominan petani, α1= strategi alternatif petani; β*= strategi dominan petani, β1= strategi alternatif petani Gambar 9 Gaming antara petani bawang merah dengan pedagang di sentra produsen (hidden action) Dari Gambar 9, terlihat petani memiliki pilihan dalam memasarkan bawang merahnya. Strategi dominan petani yaitu memasarkan produksi ke lapak pedagang desa sedangkan strategi alternatifnya yaitu menjual hasil panen tersebut ke Pasar Klampok. Keunggulan dengan memasarkan ke lapak pedagang desa yaitu lebih dekat dengan lokasi usahatani bawang merah. Harga yang ditawarkan oleh pedagang desa umumnya mengikuti harga pasar yang berlaku di mana pada saat penelitian harga yang berlaku sekitar Rp 10 000 per kg sedangkan harga yang berlaku di Pasar Klampok lebih tinggi yaitu berkisar Rp 11 000 per kg. Payoff dalam analisis ini dengan menghitung keuntungan yang didapatkan petani ketika menjual hasilnya ke salah satu pedagang. Fakta di lapangan menunjukan bahwa pedagang bawang merah di Kabupaten Brebes lebih memilih menjual hasilnya ke lapak desa (strategi dominan) dibandingkan ke Pasar Klampok (strategi alternatif). Harga di Pasar Klampok cenderung lebih tinggi dibandingkan harga yang berlaku di lapak pedagang desa akan tetapi dalam praktek penjualannya memiliki kendala sehingga petani cenderung memilih menjualnya ke lapak desa. Kendala yang dihadapi yaitu pengurangan timbangan (hidden action) yang dilakukan oleh pedagang Pasar
50
Klampok sehingga pendapatan yang diterima petani menjadi berkurang. Faktor lainnya yaitu biaya transportasi yang harus ditanggung petani dalam mengantar hasil produksi dari lokasi usahatani atau rumah ke Pasar Klampok. Analisis game theory dalam pembahasan ini menggunakan metode backward induction yaitu dengan melakukan analisa permainan dari akhir (strategi petani) dan kembali ke awal (strategi pedagang). Dari extensive game, ketika petani menjual produksinya ke pedagang Pasar Klampok dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Strategi ini pada awalnya merupakan strategi dominan petani karena memberikan payoff yang lebih besar. Pedagang pasar Klampok yang pada awalnya memberikan signal atau pengumuman mengenai harga yang berlaku (strategi alternatif) melakukan tindakan tersembunyi (hidden action) sebagai strategi dominannya yaitu pengurangan timbangan dalam transaksi dengan petani. Hidden action dalam analisis ini yaitu tindakan yang tersembunyi oleh pedagang di mana mempengaruhi kuatitas barang yang diperdagangkan dan tindakan tersebut tidak dapat diamati oleh pihak lain. Tindakan yang dilakukan oleh pedagang Pasar Klampok ini menyebabkan pendapatan yang diterima petani menjadi berkurang yaitu dari Rp 7 922 850 menjadi Rp 2 323 850. Adanya pendapatan yang berkurang sehingga petani setempat beralih menggunakan strategi alternatifnya yaitu dengan menjual hasilnya ke pedagang desa di mana pendapatan yang diterima sebesar Rp 5 377 850. Meskipun dengan pendapatan yang diterima lebih rendah akan tetapi nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan ketika menjual ke Pasar Klampok (adanya hidden action). Hasil analisis gaming tersebut menunjukkan tidak tercapai keseimbangan Nash dikarenakan kedua player yaitu petani dan pedagang Pasar Klampok tidak memainkan strategi dominan dalam waktu yang bersamaan. Sebagaimana pendapat Gibbons (1992) bahwa keseimbangan Nash tercapai apabila kedua pemain menggunakan strategi dominan pada saat bersamaan. Namun, karena telah terjadi permainan yang berulang (repeated games) di tingkat petani menyebabkan perubahan strategi alternatif petani menjadi strategi dominannya. Pada awalnya petani yang percaya bahwa keberadaan Pasar Klampok dapat meningkatkan pendapatan namun dalam pelaksanaanya tidak berfungsi dengan baik. Sehingga, pada periode berikutnya dalam menjual hasil panenya cenderung menjual ke lapak desa yang ada. Setelah beberapa kali penjualan, petani bawang merah dapat semakin realistis dan tidak lagi menjual ke pedagang Pasar Klampok. Dengan demikian, strategi alternatif petani yaitu menjual ke pedagang desa berubah menjadi strategi dominannya. Oleh karena itu, Nash equilibiirum dalam permainan ini yaitu petani menjual bawang merahnya ke pedagang desa (lapak) karena memberikan payoff lebih tinggi dibandingkan dengan menjual ke Pasar Klampok. Nash equilibirium ini merupakan subgame perfect nash equilibirium yang unik karena petani akan menerima harga yang ditawarkan oleh petani selama harga tersebut, di atas biaya yang dikeluarkan dalam usahatani p > c. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani bawang merah yaitu sebesar Rp 7 886 per kg sehingga ketika petani melihat harga yang ditawarkan oleh pedagang desa lebih besar dari biaya yang dikeluarkan maka petani akan memilih menjual hasilnya tersebut. Berikut adalah gambaran profitabilitas usahatani bawang merah pada responden sampel, yang dapat dilihat pada Tabel 16.
51
Tabel 16 Analisis profitabilitas usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes, tahun 2015 Nilai No Uraian Nilai (Rp/Ha) (Rp/luas lahan) 1. Penerimaan - Produksi 2 545 9 255 - Nilai 25 790 000 93 781 818 2. Pengeluaran - Benih 9 050 000 32 909 091 - Pupuk 497 850 1 810 364 - Pestisida 524 300 1 906 545 - Tenaga Kerja 9 400 000 34 181 818 - Biaya Lainnya 600 000 2 181 818 Total Pengeluaran 20 072 150 72 989 636 3. Keuntungan 5 717 850 20 792 182 4. R/C Rasio 1.285 Sumber: Data primer (2015), diolah Lebih lanjut, kedudukan petani sebagai price taker membuat bargaining position-nya lemah sehingga strategi petani mengenai alternatif harga yang dapat diambil petani tidak tersedia yaitu hanya memmanfaatkan variasi harga yang tersedia. Dengan demikian, petani akan menerima harga berapapun yang ditawarkan oleh pedagang. Oleh karena itu, pedagang akan menawarkan harga terkecil (harga pasar) karena pedagang yakin harga tersebut akan diterima oleh petani. Bagi petani, menerima harga yang berlaku di pedagang desa merupakan keputusan terbaik karena apabila menaikan harga jual lebih tinggi dari harga pasar maka hasil petani tidak akan dibeli pedagang setempat atau pedagang beralih ke petani lainnya. Sebaliknya, apabila menjual pada pada Pasar Klampok dengan konsekuensi adanya pemotogan jumlah timbangan menyebabkan kentungan yang diterima oleh petani menjadi berkurang. Alasan inilah yang menyebabkan petani di Kabupaten Brebes cenderung menjual hasilnya langsung ke Pedagang Desa. Pasar Klampok merupakan pasar lelang bawang merah yang dibentuk pemerintah untuk menjaga stabilitas harga bawang di pasaran dikarenakan harga bawang yang sangat berfluktuatif. Harga yang ditawarkan oleh pasar klampok, biasanya berbeda dengan lapak pedagang pada umumnya. Tindakan petani dengan memasarkan hasil panen ke lapak merupakan Nash Equilibrium karena mampu memberikan payoff tertinggi yaitu sebesar Rp 10 000 per kg. Dari sisi pedagang pengumpul, menetapkan harga jual sebesar Rp 10 000 per kg mengikuti harga pasar merupakan pilihan yang terbaik, hal ini dikarenakan petani hanya mengikuti harga pasar atau sebagai price taker. Nash equilibirium ini merupakan strategi terbaik yang dilakukan keterkaitannya dengan kegagalan fungsi pasar klampok sebagai pasar induk bawang merah yang ada di Kabupaten Brebes. Darwis dan Mayrowani (2007) dalam penelitiannya menunjukan bahwa terdapat beberapa kendala yang timbul dalam pelaksanaan Pasar Klampok. Beberapa kendala tersebut, bangunan fisik yang tidak memadai untuk menampung volume keluar masuk bawang terutama pada musim panen raya, tingginya target PAD tidak sesuai dengan kemampuan
52
pasar dalam menyerap bawang petani, dan mekanisme menyebabkan pasar kurang terawat dengan baik dan terlihat kotor, sehingga pasar kurang menarik. Pada akhirnya, banyak pedagang di luar daerah yang akhirnya mencari bawang merah di lapak-lapak yang tersebar di berbagai daerah di Brebes. Untuk itu, apabila peran Pasar Klampok dapar berfungsi dengan baik maka harga yang diterima oleh petani akan lebih baik sehingga nash equilibirium akan berpindah dari menjual ke lapak pedagang desa ke pedagang di Pasar Klampok. Perangkap keseimbangan pendapatan petani yang rendah (lingkaran setan) dapat diputus, maka petani dan pedagang akan mencapai keseimbangan Nash. Untuk memutus lingkaran setan tersebut sehingga mencapai kondisi winwin dapat dicapai melalui negosiasi dalam hal ini pedagang di Pasar Klampok dapat bertindak sesuai dengan kesepakatan harga yang berlaku. Melalui kesepakatan ini petani bawang merah akan mendapatkan harga yang sesuai dan pedagang mendapatkan jaminan pasokan dari petani. Oleh karena itu, seandainya ada kondisi yang bisa menyebabkan petani dan Pedagang Pasar Klampok bisa keluar dari kelembagaan prinsipel – agen dengan melanggar komitmen kontrak. Konsekuensinya, petani tidak lagi menerima pengurangan timbangan dan sebaliknya, pedagang tersebut tidak mengambil pendapatan dari petani yang hilang. Pedagang pasar Klampok bisa menjalankan strategi alternatifnya dengan mematuhi volume hasil yang dijual oleh petani. Selanjutnya, dalam memasarkan bawang merah, petani setempat mempunyai beberapa cara yaitu pada musim panen raya, petani biasanya menjual dalam sistem borongan atau kontrak sebelum hasil di panen. Menurut petani, dengan sistem ini dapat mengurangi risiko dari produksi yang diperoleh. Sebaliknya, pada saat harga di pasaran sedang tinggi petani setempat akan menjual dalam bentuk kwintalan, di mana harga dihitung per satuan kwintal (Kw). Petani dalam memasarkan bawang merahnya lebih memilih menjual ke pedagang desa setempat yang mempunyai lapak dibandingkan ke padagang Pasar Klampok. Kepastian pembayaran terhadap hasil yang dijual membuat petani bawang merah lebih memilih menjual hasilnya ke pedagang desa serta adanya hidden action oleh pedagang Pasar Klampok. Untuk alasan tersebut, maka gaming dalam pembahasan ini hanya dibatasi antara petani dengan pedagang desa. Berikut adalah permainan (gaming) antara petani dengan pedagang desa pada Gambar 10.
53
Rp 5 377 850
A
Tebasan Pedagang
Rp 0
R
Kwintalan Petani
A*
Rp 7 959 100
Pedagang
Harga tinggi
R
Rp 0
Nature
Rp -9 892 150
Harga rendah
A* Pedagang
Rp 0 R
Tebasan
Petani
A
Rp -13 037 100
Pedagang Kwintalan
R
Rp 0
Keterangan: A: accept, R: reject; * keseimbangan Nash Gambar 10 Signaling game antara petani bawang merah dengan pedagang desa Gaming pada Gambar 10 menunjukkan bahwa petani bawang merah dalam menjual hasil ke pedagang setempat mempunyai dua strategi yaitu kwintalan dan tebasan. Strategi kwintalan di mana bawang merah ditimbang dan harga yang berlaku berdasarkan rupiah per kilogramnya sedangkan tebasan harga dihitung berdasarkan luas area tanam bawang petani. Dari extensive game tersebut, ketika harga bawang merah tinggi di pasaran petani akan memberikan signal yaitu menggunakan strategi kwintalan sebagai strategi dominannya. Strategi ini dilakukan petani terkait perhitungan susut yang lebih kecil yaitu sebesar 25% dari produksi. Harga yang berlaku ketika menggunakan strategi ini sebesar Rp 15 000 per kg. Selain itu, dengan strategi kwintalan, petani akan menjemur bawang merah mereka selama 8-10 hari setelah panen sehingga harus menanggung biaya tenaga kerja dalam penjemuran bawang merah. Sebaliknya, pada saat harga bawang merah rendah, petani menggunakan strategi tebasan sebagai strategi dominannya sedangkan kwintalan sebagai alternatifnya. Lama penjemuran bawang merah dengan strategi ini berkisar selama 3-5 hari sehingga perhitungan susut semakin besar yaitu 35%-40%. Dengan menggunakan strategi tebasan petani akan mendapat harga yang lebih rendah. Meskipun harga yang diterima lebih rendah namun dikarenakan dalam pelaksanaanya menggunakan perkiraan hasil panen dari pedagang sehingga selisih panen tersebut-lah yang menjadi tambahan pendapatan bagi petani. Hasil tersebut ditunjukan pada game tree, di mana ketika menggunakan strategi kwintalan pendapatan petani sebesar Rp -13 037 100 sedangkan strategi tebasan sebesar Rp -9 892 150. Ini menunjukkan kerugian petani kerika menggunakan strategi tebasan sebagai strategi dominannya lebih rendah dibandingkan menggunakan kwintalan. Selanjutnya, pedagang desa ketika melihat perubahan strategi dominan petani tetap menerima bentuk penjualan tersebut sebagai strategi dominannya (accept). Hal ini dikarenakan pedagang desa akan menjual dengan tingkat harga yang lebih tinggi lagi sehingga keuntungan yang diperoleh tetap besar. Gaming tersebut menunjukkan keseimbangan yang terjadi dalam permainan ini yaitu
54
separating equlibrium dalam hal ini petani mengambil strategi yang berbeda tergantung pada kondisi yang terjadi di lapangan. Sebaliknya, pedagang desa tetap menggunakan strategi dominanya yang sama yaitu menerima produksi yang dijual oleh petani. Dalam hal ini, pedagang tetap menggunakan strategi terbaiknya (accept) meskipun petani melakukan perubahan strategi penjualan berdasarkan kondisi (nature) harga di pasaran. Ini menunjukan keseimbangan yang terjadi pada pembentukan harga bawang merah di tingkat petani merupakan separating equlibrium. Keseimbangan terpisah (separating equlibrium) yang terjadi di tingkat petani yaitu menawarkan bentuk penjualan bawang merah sesuai dengan kondisi harga. Separating equilibrium yang terjadi di tingkat petani bawang merah terkait dengan status petani price taker sehingga petani akan berusaha mencari keuntungan yang lebih besar (payoff) dengan merubah bentuk penjualannya. Dengan kata lain, kualitas kadar air bawang merah (kwintalan dan tebasan) menentukan harga yang diterima petani. Dalam hal ini, strategi perubahan terkait harga bagi petani bukan pilihan terbaik bagi mereka. Mengenai keseimbangan yang terjadi, Yantu (2011) menjelaskan bahwa keseimbangan terpisah (separating equlibrium) di mana tipe player yang memiliki informasi memberikan sinyal tindakannya melalui pengumuman. Dalam hal ini petani mendapatkan informasi harga sehingga merespon dengan memilih strategi penjualan bawang merahnya. Kebalikan dari keseimbangan terpisah yaitu keseimbangan bersama (pooling equilibrium) di mana tipe yang berbeda tidak dibedakan, sehingga bukan merupakan keseimbangan. Keseimbangan bersama (pooling equlibrium) tidak terjadi dalam pemasaran bawang merah antara petanipedagang di Kabupaten Brebes dikarenakan harga jual dibedakan berdasarkan kualitas bawang merah yaitu kadar airnya. Lebih lanjut, pedagang desa umumnya menerima bentuk penjualan yang dilakukan oleh petani. Dengan posisi tawar petani bawang merah yang rendah menyebabkan pedagang pengumpul akan menetapkan harga beli serendah mungkin atau mengikuti harga jual yang berlaku. Sehingga keuntungan pedagang desa tetap terjaga meskipun petani melakukan perubahan strategi. Implikasi dari gaming tersebut bahwa harga yang terbentuk di tingkat mengikuti harga di tingkat pasaran (competitive price) sehingga petani tidak bisa untuk menaikkan harga. Apabila menaikkan harga di atas harga pasaran maka pedagang setempat akan melakukan strategi alternatifnya dengan menolak penjualan tersebut. Dengan demikian, dari permainan tersebut menunjukkan bahwa strategi terbaik bagi petani menjual hasil panen berdasarkan harga pasaran (competitive price). Kondisi keseimbangan yang terjadi tersebut menyebabkan petani hanya memanfaatkan variasi harga yang ada. Penetapan harga tidak dapat dilakukan oleh petani. Oleh karena itu, agar petani keluar dari kondisi tersebut maka diperlukan kebijakan mengenai harga bawang merah di tingkat petani. Kebijakan harga dasar (floor price) perlu diterapkan pada komoditi bawang merah. Melalui kebijakan floor price, harga bawang merah diatur sehingga fluktuasi harganya menjadi stabil. Dengan kata lain salah satu player yaitu pedagang desa bekerja sama dengan pemerintah dalam menyerap bawang merah petani.
55
Hasil Gaming di Tingkat Pedagang Pengecer Selanjutnya analisis game theory dilakukan pada hubungan antar pengecer. Hal ini didasari dari data statistik yang menunjukan adanya gap harga yang besar pada pengecer dibandingkan lembaga pemasaran lainnya. Ini sejalan pendapat Yustiningsih (2012) di mana semakin tinggi marjin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Pendapat tersebut, didukung dengan analisa pada sub bab sebelumnya yang menunjukan adanya market power di tingkat pedagang pengecer. Market power yang berada di tingkat pedagang pengecer mengindikasikan adanya kolusi antar pedagang pengecer dalam menaikan harga guna mendapatkan profit yang lebih tinggi. Alfarisi (2010) menjelaskan bahwa dalam prisoner dilemma, pada kondisi suatu pasar, perusahaan-perusahaan yang berada di dalamnya akan dapat lebih memaksimalkan keuntungannya jika perusahaan tersebut saling berkerjasama dalam menentukan harga dan kuantitas produknya. Ketika perusahaan-perusahaan memutuskan untuk saling berkolusi, maka keuntungan yang didapat akan lebih besar dibandingkan jika perusahaanperusahaan tersebut saling berkompetisi. Sehingga, agar keuntungan yang di dapat menjadi maksimal, maka perusahaan-perusahaan tersebut akan membentuk semacam perjanjian kerjasama di dalam menentukan output atau harga (joint profit maximum). Gambaran permainan tersebut berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Matriks permainan antar pengecer dalam menetapkan harga Pengecer I Pengecer 2 Bersaing Kolusi Bersaing 21 000; 21 000 21 000; 22 000 Kolusi 22 000; 21 000 22 000; 22 000* Keterangan: *Nash equlibrium. Sumber: Data primer (2015) Tabel 17 menunjukkan pada saat salah satu pedagang pengecer memutuskan untuk berkolusi sebagai strategi dominannya (dengan payoff yang tinggi) sedankan pengecer lainnya merespon dengan menjalankan strategi alternatifnya yaitu bersaing maka harga yang akan didapatkan pengecer pertama sebesar sebesar Rp 22 000 per kg sedangkan pengecer yang lainnya sebesar sebesar Rp 21 000 per kg. Strategi alternatif yaitu bersaing merupakan penentuan harga di tingkat pengecer berdasarkan besaran kenaikan atau penurunan yang terjadi di tingkat grosir (PIKJ) sehingga harga yang terbentuk tertransmisi sempurna dari grosir ke pengecer. Dari permainan tersebut, terlihat bahwa ketika salah satu pedagang pengecer menggunakan strategi alternatinya yaitu menetapkan harga sesuai dengan kenaikan dan penurunan harga yang terjadi sementara pengecer lainnya menggunakan strategi dominannya yaitu harga kolusi dengan payoff yang lebih tinggi, maka pengecer yang menetapkan harga yang lebih tinggi akan mendapatkan keuntungan yang lebih rendah. Sebaliknya, pengecer yang
56
menggunakan strategi harga yang lebih rendah akan mendapatkan keuntungan yang lebih. Hal ini dikarenakan, market share dari pengecer lainnya pindah ke pengecer yang menerapkan harga lebih rendah. Dalam gaming tersebut tidak tercapai keseimbangan Nash, sebagaimana yang diisyaratkan dalam persamaan (14a) dan (14b) di mana kedua player tidak memainkan strategi dominan dalam waktu yang bersamaan. Kondisi di lapangan menunjukan pedagang pengecer dalam penetapan harganya akan melihat strategi yang diambil pedagang pengecer lainnya. Kondisi ini dapat digambarkan melalui sequential game. Dalam game jenis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Pindyck dan Rubinfeld (2013) bahwa kuncinya adalah memikirkan melalui tindakan-tindakan yang mungkin dan reaksi-rekasi rasional dari setiap player. Permainan ini dimulai ketika pengecer memutuskan untuk mengikuti strategi kolusi (harga tinggi) atau bersaing (harga rendah). Pengecer lainnya bergerak kedepan dengan memutuskan untuk menanggapi dengan strategi kolusi atau bersaing. Jika pengecer pertama memutuskan strategi bersaing, maka permainan tersebut bergerak sepanjang bagian atas cabang tersebut. Sebaliknya, jika pengecer pertama memutuskan strategi kolusi (harga tinggi), permainan tersebut bergerak sepanjang bagian bawah cabang tersebut. Dengan demikian ada empat kemungkinan hasil yaitu : (1) pengecer mengikuti strategi kolusi dan pengecer lainnya merespon dengan harga yang tinggi: (2) pengecer lainnya mengikuti strategi kolusi dan pengecer lainnya merespons dengan strategi bersaing; (3) pengecer pertama mengikuti strategi bersaing dan pengecer lainnya merespons dengan strategi harga kolusi; (4) pengecer pertama mengikuti strategi bersaing dan pengecer lainnya merespons dengan strategi bersaing pada bawang merah. Payoff setiap pengecer ditunjukkan pada sisi kanan permainan. Empat kemungkinan hasil tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Kolusi
Bersaing
Rp 21 000 Rp 22 000
Pengecer 2 Bersaing
Rp 21 000 Rp 21 000
Pengecer 1 Kolusi* Kolusi
Rp 22 000 Rp 22 000
Pengecer 2 Bersaing
Rp 22 000 Rp 21 000
Gambar 11 Extensive game antar pengecer dalam penetapan harga Ketika antar pedagang pengecer memutuskan untuk menggunakan strategi dominannya yaitu berkolusi maka harga yang didapatkan sebesar Rp 22 000 per kg. Harga ini lebih tinggi dibandingkan ketika sesama pedagang pengecer menggunakan strategi alternatifnya yaitu mengikuti penurunan atau kenaikan
57
harga yang terjadi di tingkat grosir. Ketika sesama pengecer memutuskan untuk sama-sama mengunakan strategi alternatifnya, hal tersebut merupakan suatu keseimbangan namun memberikan payoff yang rendah. Fakta di lapangan menunjukkan antar pengecer terjadi komunikasi dalam menentukan harga. Dengan demikian antar pengecer tidak mengalami dilemma tahanan (prisioners dilemma) yaitu pengecer akan menentukan harga rendah dan memperoleh laba yang lebih kecil karena jika dia menentukan harga kolusi, pengecer tersebut tidak bisa mempercayai bahwa pengecer lainnya juga akan menentukan harga yang sama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bond, Chiu dan Estache (2004) bahwa suatu keseimbangan sekuensial terdiri atas suatu set kepercayaan. Dalam penelitian ini, set kepercayaan tersebut mencirikan kepercayaan antar sesama pedagang pengecer dalam berkomunikasi yaitu bekerja sama dan menentukan harga tinggi maka mereka berdua akan memperoleh harga yang lebih tinggi yaitu Rp 22 000 per kg. Ini menunjukan telah terjadi keseimbangan yang stabil antar pedagang pengecer yaitu setiap pedagang pengecer tidak akan merubah strateginya karena adanya saling percaya melalui komunikasi. Tindakan yang dilakukan oleh pengecer dapat diamati dengan apa yang disebut strategi optimum. Pada kondisi ini, setiap pemain dalam game dievaluasi secara terpisah untuk setiap kombinasi strategi-strategi yang dihadapinya, dan untuk setiap kombinasi tersebut pemain tersebut akan memilih strateginya sendiri, yakni strategi yang memberikan hasil (payoff) yang terbaik. Strategi dominan (kolusi) tersebut juga merupakan keseimbangan Nash (nash equilibrium) karena memberikan payoff optimal bagi setiap pemain. Pada keadaan ini masing-masing pemain tidak punya insentif untuk mengubah strateginya, karena sudah terjadi keseimbangan (Gibbons 1992). Hasil permainan tersebut menunjukan bahwa kolusi merupakan strategi terbaik (nash equlibirium) yang efisien karena memberikan payoff (harga) yang lebih besar. Sedangkan, strategi perang harga, merupakan nash equilibirium yang tidak efisien karena masih ada payoff yang lebih baik yaitu berkolusi antar pengecer. Ini sejalan dengan pendapat Zaccour dan Taboubi (2005), ketika pengecer memutuskan untuk tidak mengikuti perubahan (un-integrated) maka pengecer akan mengambil harga lebih (double marginalization). Sebaliknya, apabila terintegrasi dengan grosir maka penambahan margin hanya mengikuti perubahan biaya yang dikeluarkan. Kolusi yang terjadi antar sesama pengecer menunjukan adanya kartel di tingkat pedagang pengecer bawang di Indonesia. Anggraini (2013) menjelaskan kartel secara sempit merupakan sekelompok perusahaan yang seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk menetapkan harga guna meraih keuntungan monopolis. Dari definisi tersebut, menunjukan bahwa pedagang pengecer yang seharusnya bersaing dalam menetapkan harga namun dalam pelaksanaannya menetapkan harga secara bersama guna mendapatkan keuntungan yang lebih. Perilaku kolusi dilakukan secara diam-diam oleh pengecer untuk melakukan konspirasi yaitu dengan melakukan koordinasi untuk menurunkan harga bawang merah yang tidak sesuai dengan signal perubahan di tingkat grosir. Adanya kolusi antar pengecer ini dibuktikan dari hasil wawancara yaitu terjadinya facilitating practice yang dilakukan melalui price signaling dalam pembentukan
58
harga bawang merah dengan melalukan komunikasi antar pengecer. Melalui price signaling ini, setiap pedagang pengecer akan melihat pembentukan harga yang oleh pesaingnya. Price signaling ini menyebabkan harga yang terbentuk cenderung sama atau adanya price parallelism antar pengecer. Dengan harga yang cenderung tingi menyebabkan konsumen bawang merah membayar harga lebih mahal dari yang seharusnya. Hal ini dikarenakan kolusi menyebabkan tidak adanya persaingan sehingga konsumen tidak ada pilihan terutama dalam hal harga beli karena semua barang sejenis telah diatur harganya sehingga menyebabkan mau tidak mau konsumen membeli meskipun dengan harga tinggi atau tidak wajar. Keseimbangan yang terjadi di tingkat pengecer sehingga konsumen membayar harga yang lebih tinggi dapat diputus apabila ada intervensi pemerintah. Untuk memutus ‘lingkaran setan’ tersebut harus ada program intervernsi pemerintah seperti pengaturan harga di tingkat konsumen melalui ceiling price dan pengawasan melalui komisi pengawas persaingan usaha (KPPU). Sehingga seandainya ada ceiling price bisa menyebabkan pengecer keluar dari kondisi tersebut. Dengan demikian, konsumen tidak lagi membayar harga yang terlampau tinggi.
59
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai transmisi dan perilaku pasar bawang merah, dapat disimpulkan: 1. Pemasaran bawang merah terjadi dengan tidak efisien antara daerah sentra produsen dan konsumen di Indonesia. Pemasaran yang tidak efisien tersebut dapat dilihat dari transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah yang bersifat asimetris di mana pada hubugan produsengrosir terjadi asimetris harga dalam jangka pendek sedangkan grosirpengecer terjadi asimetris dalam jangka panjang. 2. Pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, bahan bakar minyak (BBM) dan harga bawang merah impor sedangkan dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, BBM, dan harga konsumen bawang merah pada waktu sebelumnya. 3. Pembentukan harga bawang merah di Indonesia sangat dipengaruhi struktur pasar setiap lembaga pemasaran bawang merah. Kondisi pasar yang bersifat oligopsoni di tingkat hulu menyebabkan strategi terkait harga bukan strategi terbaik (Nash equlibrium) bagi petani sehingga harga yang terbentuk mengikuti harga pasar (price taker) sebaliknya pengecer dengan kekuatan pasar dapat mempengaruhi harga yang diterimanya (price maker). Saran Analisa transmisi harga dan perilaku pasar menunjukkan pedagang pengecer mempunyai market power sedangkan petani mempunyai bargaining position yang lemah dalam penetapan harga. Untuk itu, upaya yang dapat dilakukan yaitu perlu adanya pengaturan harga bawang merah di konsumen maupun produsen. Kebijakan harga atap (ceiling price) di tingkat konsumen diharapkan dapat menghindari perilaku eksploitasi yang dilakukan pedagang perantara, dalam bentuk penentapan harga bawang yang terlampau tinggi di level konsumen. Kebijakan lainnya yaitu pemerintah perlu untuk menentukan rentang harga yang wajar yaitu tingkat harga yang tidak eksploitatif bagi konsumen namun tetap memberikan margin yang ideal bagi pedagang perantara. Kebijakan harga dasar (floor price) sangat diperlukan guna mengatasi harga yang berfluktuasi di tingkat petani. Untuk meningkatkan transmisi harga di tingkat petani, maka pemerintah perlu mengadakan program pemberdayaan petani dalam aspek informasi pasar, dan memfasilitasi pengembangan serta pengawasan kelembagaan pemasaran bawang merah. Untuk penelitian lanjutan, penelitian eksperimental dengan memanfaatkan game theory perlu dilakukan untuk menguji dan memperkuat kesimpulan tentang kelembagaan dan permainan harga yang ditemukan dalam penelitian ini. Selanjutnya, perluasan cakupan penelitian dengan menggunakan data harga antar daerah sehingga bisa menggambarkan perdagangan bawang merah di Indonesia.
60
DAFTAR PUSTAKA Acquah, H. G. dan Onumah, E. E. 2010. A comparison of the different approaches to detecting asymmetry in retail-wholesale price transmission. AmericanEurasian Journal of Scietific Research. 5(1): 60-66. Adiyoga, W., Fuglie, K., dan Suherman, R. 2006. Integrasi pasar kentang di Indonesia: analisis korelasi dan kointegrasi. Informatika Pertanian. 15(2): 835-852. Aguiar, D. R. D., dan J. A, Santana. 2002. Asymmetry in farm to retail price transmission: evidence from brazil. Agribusiness. 18(1): 37-48. Alam, M. J., Begum, I. A., Buysse, J., McKenzie, AM., Wailes, E. J., Van Huylenbroeck, G. 2010. Testing asymmetric price transmission in the vertical supply chain in de-regulated rice markets in bangladesh. Selected paper prepared for presentation at the american association of agricultural and applied economics. 2010 July 25-27; Colorado, United States. Colorado (US): AAEA, CAES, & WAEA Joint Conference. 1 – 19. Alfarisi, D. A. 2010. Metode untuk mendeteksi kolusi. Jurnal persaingan usaha. 3(1): 35-60. Amarullah. 2015. Aplikasi game theory pada pengelolaan sumberdaya pesisir di Selat Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Aplikasi Manajemen. 13(2): 353-361 Amikuzuno, J. dan Ogundari, K. 2012. The contribution of agricultural economics to price transmission analysis and market policy in sub-sahara africa: what does the literature say?. Paper presented at the 86th annual conference of the agricultural economics society. 2012 April 16 – 18; Coventry, United Kingdom. Coventry (UK): Warwick University. Anggraini, T. A. M. 2013. Penggunaan bukti ekonomi dalam kartel berdasarkan hukum pesaingan usaha. Jurnal Hukum PRIORIS. 3(3): 1-23. Asmara, R. dan Ardhiani, R.. 2010. Integrasi pasar dalam sistem pemasaran bawang merah. AGRISE. 10(3): 164-176. Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran produk-produk pertanian. Bunga Rampai Agribisnis: Seri Pemasaran. Bogor (ID): IPB Press. Bailey, D. V. dan B. W. Brorsen, 1989. Price asymmetry in spatial fed cattle markets. Western Journal of Agricultural Economics. 14(2): 246-252. Bassey., Nsikan E.I., Otu W., dan Akapaeti A.J. 2013. Rice market structure, conduct and performance in nigeria: a survey of akwa ibom state rice marketers. Asian Journal of Agriculture and Food Science. 1(3): 102-111. (BPS) Badan Pusat Statistik. 2014a. Harga produsen dan konsumen sub sektor hortikultura kelompok sayur-sayuran. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. . 2014b. Produksi dan luas lahan sub sektor hortikultura kelompok sayur-sayuran. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. . 2014c. Rata‑rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. . 2014d. Buletin impor komoditi Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
61
Bond, E., Steve C., dan Antonio E. 2005. Designing Trade Reform as a Signal to Foreign Investors Lessons for Economies in Transition. Working Paper. World Bank. Boyd, M.S. and B.W Brorsen. 1988. Price asymmetry in the U.S. pork marketing channel. North Central Journal of Agricultural Economics. 10(1): 103-109. Brooker, J.R., Eastwood, D.B., B.T. Carver and Gray, M. D. 1997. Fresh vegetable price linkage between grower/shippers, wholesalers, and retailers. Journal of Food Distribution Research. 28(1): 54-60. Bustaman, A.D. 2003. Analisa integrasi pasar beras di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Carlton, D.W. and J.M. Perloff. 2000. Modern Industrial Organization, 3th edition. New York (US): Addison Wesley Longman, Inc. Conforti, P. 2004. Price transmission in selected agricultural markets. Working Paper. FAO Commoditiy and Trade Policy Research. Dahl, D.C dan Hammond, J.W. 1977. Market and price analysis. New York (US). Mc. Graw Hill. Dai, Y. dan Gao, Y. 2014. Real-time pricing making for retailer-wholesaler in smart grid based on game theory. Hindawi Publishing Corporation. 3(4): 348-356. Dawe, D. 2001. How far down the path to free trade? the importance of rice price stabilization in developing asia. Food Policy. 26(2): 163-175. Dirjen Hortikultura. 2011. Rencana strategis direktorat jenderal hortikultura Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Dzanja, J. dan Kamwana, B. 2014. Structure, conduct and performance of groundnuts markets in Northern and Central Malawi: Case Studies of Mzimba and Kasungu Districts. International Journal of Business and Social Science. 5(6): 130-139. Engle R. F dan Granger C.W.J. 1987. Co-integration and error correction: representation, estimation, and testing. Econometrica. 55(1): 251-276. Gibbons, R. 1992. Game theory for applied economist. New Jersey (US): Princeton University Press. Girapunthong, N., VanSickle dan A. Renwick. 2003. Price asymmetry in the united states fresh tomato market. Journal of Food Distribution Research. 34(3): 51-59. Goodwin, B.K. 2006. Spatial and vertical price transmission in meat markets. Paper Presented at Workshop of Market Integration and Vertical and Spatial Price Transmission in Agricultural Markets. 2006 April 21; Kentucky, United States. Kentucky (US): University of Kentucky. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi industri: persaingan, monopoli dan regulasi. Jakarta (ID): LP3ES. Hermawan, A., Sarjana., Miranti D. P., dan Indri A. 2008. Informasi asimetris dalam transmisi harga gabah dan harga beras. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 6(1): 61-72. Houck, J.P. (1977). An approach to specifying and estimating nonreversible functions. Journal Agricultural Economics. 59(3): 570-572. Indrawati, T.. 2013. Analisis perilaku pedagang dalam pembentukkan harga barang kebutuhan pokok di Kota Pekanbaru. Jurnal Ekonomi. 21(1): 1-9.
62
Insyauddin, V. 2009. Dampak kebijakan harga dasar dan tarif impor terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irawan, B. 2007. Fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(4): 358 – 373. Juanda, B. 2009. Metodologi penelitian ekonomi dan bisnis. Bogor (ID): IPB Press. Juanda, B dan Suciati, L. P. 2011. Aplikasi teori permainan pada perancangan pola kerjasama yang adil dalam pengelolaan irigasi di tingkat petani. Jurnal Agro Ekonomi. 292(2): 217-236. Kharin, S. 2015. Vertical price transmission along the diary supply chain in Russia. Agricultural Economics. 117(2): 80-85. Li, L., Carman, H. F., dan Sexton, R.J. 2006. Grocery retailer pricing behavior for california avocados with implications for industry promotion strategies. California (US): Department of Agricultural and Resource Economics, University of California Davis. McCorriston., Morgan, C. W., dan Rayner, A. J. 2000. Price transmission: the interaction between firm behaviour and returns to scale. Discussion Paper. University Of Nottingham. ISSN 1360-2438. Meyer, J. dan von Cramon-Taubadel, S. 2004. Asymmetric price transmission: a survey. Journal of Agricultural Economics. 55(3): 581-611. Natawidjaja, R.S. 2001. Dinamika pasar beras domestik, bunga rampai ekonomi beras. Jakarta (ID): LPEM-UI Nicholson, W. 2004. Microeconomic theory: basic principles and extensions, 9th edition. Ohio (US): South-Western College Publisher. Norwood, F. B. dan Lusk, J. L. 2008. Agricultural marketing and price analysis. New Jersey (US): Pearson Education. Nurasa, T. dan Darwis, V. 2007. Analisis usahatani dan keragaan marjin pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Jurnal Akta Agrosia. 10 (1): 40-48. Ogisi, O.D., R.A, Egware., dan Akalusi, E.O. 2012. An analysis of the structure, conduct and performance of garri market in ethiope-west local Government area Of Delta State, Nigeria. Agriculture & Forestry. 58(3): 97-104. Oktavianingsih, O. D. 2013. Penentuan harga optimal dan biaya iklan dalam hubungan manufaktur-ritel untuk memaksimalkan profit melalui pendekatan game theory (studi kasus pada brand Dagadu) [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. (PIKJ) Pasar Induk Kramat Jati. 2014. Harga dan pasokan hortikultura ke PIKJ. Jakarta (ID): PIKJ. Peltzman, S. 2000. Prices rise faster than they fall. Journal of Political Economy. 108(3): 466-502. Pindyck, R. S., dan Rubinfeld, D. L. 2013. Mikroekonomi (Edisi Kedelapan). Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Pradiptyo R., Tumengkol, E. A., dan Sasmitasiwi, B. 2010. Response pedagang informal terhadap pembentukan inflasi di Kota Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
63
Prastowo, N. J., Yanuarti, T. dan Depari, Y. 2008. Pengaruh distribusi dalam pembentukan harga komoditas dan implikasinya terhadap inflasi. Working Paper. Bank Indonesia. Serra, T., dan B.K. Goodwin. 2002. Price Transmission asn Asymmetric Adjustment in the Spanish Dairy Sector. Paper presented at 2002 AAEAWAEA Annual Meeting. Simatupang, P. 1999. Industrialisasi pertanian sebagai strategi agribisnis dan pembangunan pertanian dalam era globalisasi, buku-2. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Sudhir, K. 2001. Structural analysis of manufacturer pricing in the presence of a strategic retailer. Marketing Science. 20(3): 244–264. (TPI) Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi. 2013. Laporan pelaksanaan tugas tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Keuangan. Tomek, W. G. 2000. Commodity prices revisited. Agricultural and Resource Economics Review. 29(2): 125-137. Tweeten, L.G., dan Quance, C.L. 1969. Positivistic measures of aggregate supply elasticities: some new approaches. American Economic Review. 59(2): 175183. (USAID) United States Agency for International Development. 2008. Structureconduct-performance and food security. Washington (US). FEWS NET markets guidance. Varian, H. R. 2006. Intermediate micro economics. W.W. New York (US): Norton & Company. Von Cramon-Taubadel, S. and Fahlbusch, S. 1994. Identifying asymmetric price transmission with error correction models. Poster Session EAAE European Seminar in Reading. Von Cramon-Taubadel, S. and Loy, J.-P. 1996. Price asymmetry in the international wheat market. Canadian Journal of Agricultural Economics. 44(3): 311-317. Wacana, A.D. S. 2011. Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ward, RW. 1982. Asymmetry in retail, wholesale, and shipping point pricing for fresh vegetables. American Journal of Agricultural Economics. 62(2): 205 212 Widyarini, M dan Simatupang, M. T. 2014. Actors interaction on price transmission in rice supply chain. 6th International Conference on Operations and Supply Chain Management. Bali, Indonesia. Bali (ID): OSCM 304-316. Yantu, M R. 2011. Model ekonomi wilayah komoditi kakao biji propinsi Sulawesi Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yustiningsih, F. 2012. Analisa integrasi pasar dan transmisi harga beras petanikonsumen di Indonesia [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Zaccour, G. dan Taboubi, S. 2005. Coordination mechanisms in marketing channels: a survey of game theory models. Les Cahiers du GERAD. ISSN: 0711–2440. Zhang, P., Fletcher, S. M., dan Carley, D. H. 1995. Peanut price transmission asymmetry in peanut butter. Agribusiness. 11(1): 13-20.
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Kontribusi inflasi kelompok bahan makanan di indonesia tahun 2013. Bahan Makanan BawangMerah CabeMerah Beras DagingAyam Daging Apel Kentang Tebu CabeKecil MieInstan Sumber: TPI (2013)
% yoy 90.03 113.36 3.38 7.85 11.13 33.44 33.44 14.91 46.78 11.89
KontribusiInflasi(%) 0.38 0.31 0.20 0.11 0.11 0.11 0.08 0.07 0.07 0.06
Lampiran 2. Rata‑rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang (Rp) tahun 2012-2013 di Indonesia. Makanan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Tembakau dan sirih Jumlah Sumber: BPS (2014c).
Tahun 2012 57.908 2.785 26.600 13.075 19.024 23.949 8.443 15.443 12.344 10.934 6.440 6.962 80.532 39.038 323.477
2013 57.956 3.151 28.356 13.252 21.540 31.158 9.444 16.379 11.545 13.385 6.783 7.302 92.254 43.930 356.435
Persentase (%) 2012 2013 17.902 16.26 0.861 0.884 8.223 7.955 4.042 3.718 5.881 6.043 7.404 8.742 2.61 2.65 4.774 4.595 3.816 3.239 3.38 3.755 1.991 1.903 2.152 2.049 24.896 25.882 12.068 12.325 100 100
Selisih -1.642 0.023 -0.268 -0.324 0.162 1.338 0.04 -0.179 -0.577 0.375 -0.088 -0.103 0.986 0.257
66
Lampiran 3. Rata-rata perkembangan luas lahan dan produksi sub sektor hortikultura tahun 2009-2013 di Indonesia. No Jenis Sayuran Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) 1 Bawang Merah 101.153 976.438 2 Cabe Rawit 98.816 624.596 3 Cabe Besar 98.736 573.063 4 Kacang Panjang 80.239 467.605 5 Kentang 66.765 1.082.222 6 Kubis 66.034 1.407.512 7 Tomat 58.164 738.301 8 Bawang Daun 56.506 558.858 9 Kangkung 53.458 339.192 10 Ketimun 53.439 530.995 11 Terung 50.759 503.565 12 Petsai/Sawi 49.581 486.565 13 Bayam 46.441 99.888 14 Buncis 32.071 322.334 15 Wortel 23.402 453.279 Sumber: BPS (2014b). Lampiran 4. Hasil uji stationeritas. Null Hypothesis: PENGECER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.851603 -3.513344 -2.897678 -2.586103
0.3534
t-Statistic
Prob.*
-2.517859 -3.515536 -2.898623 -2.586605
0.1151
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: GROSIR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
67
Null Hypothesis: IMPOR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.892458 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0032
t-Statistic
Prob.*
-0.724416 -3.511262 -2.896779 -2.585626
0.8342
t-Statistic
Prob.*
-0.746699 -3.511262 -2.896779 -2.585626
0.8283
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: BBM has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: PRODUSEN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 5.Hasil Uji kointegrasi. Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5
0.408980 0.368044 0.288284 0.138221 0.082966 0.059544
132.9775 89.85315 52.22041 24.33414 12.13612 5.033999
95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0000 0.0006 0.0184 0.1867 0.1505 0.1248
68
Lampiran 6. Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-produsen. Dependent Variable: D(PRODUSEN) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 11:56 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(PRODUSEN(-1)) D(GROSIR(-1)) ECT2(-1)
0.005177 0.155453 0.015518 -0.068856
0.009660 0.121942 0.041723 0.047285
0.535864 1.274817 0.371916 -1.456201
0.5936 0.2062 0.7110 0.1494
Lampiran 7. Uji kausalitas jangka panjang antara produsen-grosir. Dependent Variable: D(GROSIR) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 11:54 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(GROSIR(-1)) D(PRODUSEN(-1)) ECT1(-1)
0.013185 0.056792 -0.558510 -0.162258
0.027058 0.118712 0.331794 0.072477
0.487289 0.478397 -1.683302 -2.238740
0.6274 0.6337 0.0963 0.0280
Lampiran 8. Uji kausalitas jangka panjang antara pengecer-grosir. Dependent Variable: D(GROSIR) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 12:01 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(GROSIR(-1)) D(KONSUMEN(-1)) ECT4(-1)
0.009200 0.080620 -0.166262 -0.309626
0.028139 0.224253 0.288341 0.237846
0.326941 0.359505 -0.576617 -1.301791
0.7446 0.7202 0.5659 0.1968
69
Lampiran 9. Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-pengecer. Dependent Variable: D(KONSUMEN) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 12:00 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(KONSUMEN(-1)) D(GROSIR(-1)) ECT3(-1)
0.004471 0.000425 -0.000864 -0.400870
0.019385 0.203298 0.153976 0.194569
0.230628 0.002091 -0.005609 -2.060292
0.8182 0.9983 0.9955 0.0427
Lampiran 10. Uji kointegrasi antara produsen-grosir. Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1 *
Eigenvalue 0.308979 0.083260
Trace Statistic 37.43440 7.128417
0.05 Critical Value 15.49471 3.841466
Prob.** 0.0000 0.0076
Lampiran 11. Uji kointegrasi antara grosir-pengecer. Hypothesized No. Of CE(s) None * At most 1 *
Eigenvalue 0.204687 0.088700
Trace Statistic 26.39600 7.616416
0.05 Critical Value 15.49471 3.841466
Prob.** 0.0008 0.0058
Lampiran 12. Hasil estimasi model asimetris ECM-EG pada hubungan grosirprodusen. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GROSIR_NEG(-1) GROSIR_POS(-1) PRODUSEN_NEG PRODUSEN_POS PRODUSEN_NEG(-1) PRODUSEN_POS(-1) ECT_NEG(-1) ECT_POS(-1)
110.5969 0.437743 -0.170684 1.155814 1.383795 -0.510573 0.115870 -0.533194 -0.750922
251.7462 0.126076 0.199013 0.092188 0.067059 0.172528 0.254965 0.193250 0.225102
0.439319 3.472061 -0.857654 12.53764 20.63556 -2.959365 0.454452 -2.759084 -3.335914
0.6617 0.0009 0.3939 0.0000 0.0000 0.0042 0.6509 0.0073 0.0013
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.927326 0.919362 1322.723 1.28E+08 -700.9571 116.4365 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
79.09408 4658.003 17.31603 17.58018 17.42208 1.879930
70
Lampiran 13. Hasil estimasi model asimetris Houck pada hubungan grosirprodusen. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PRODUSEN_NEG PRODUSEN_POS PRODUSEN_NEG(-1) PRODUSEN_POS(-1)
137.0643 1.172497 1.366239 0.025177 -0.249764
282.2968 0.109662 0.083905 0.108689 0.086028
0.485533 10.69187 16.28319 0.231643 -2.903300
0.6287 0.0000 0.0000 0.8174 0.0048
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.877967 0.871627 1668.921 2.14E+08 -722.2080 138.4940 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
79.09408 4658.003 17.73678 17.88353 17.79570 2.345882
Lampiran 14. Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen. Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
Df
Probability
0.648725 0.420844 0.420844
73 (1, 73) 1
0.5186 0.5186 0.5165
Lampiran 15. Hasil Wald test jangka pendek pada model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen pada periode t. Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
-1.823412 3.324830 3.324830
73 (1, 73) 1
0.0723 0.0723 0.0682
Lampiran 16. Hasil Wald test jangka pendek pada model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen pada periode t-1. Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
-2.031420 4.126668 4.126668
73 (1, 73) 1
0.0459 0.0459 0.0422
71
Lampiran 17. Hasil estimasi dengan model ECM-EG pada hubungan pengecergrosir. Dependent Variable: D(KONSUMEN) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 16:47 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KON_NEGATIF(-1) KON_POSITIF(-1) GRO_NEGATIF GRO_POSITIF GRO_NEGATIF(-1) GRO_POSITIF(-1) ECT_NEG(-1) ECT_POS(-1)
-0.004282 0.018920 0.278272 0.591343 0.563425 0.131531 -0.261582 -0.875152 -0.203237
0.023265 0.166908 0.197867 0.081298 0.075626 0.121812 0.176432 0.212357 0.150479
-0.184070 0.113357 1.406359 7.273807 7.450202 1.079784 -1.482624 -4.121133 -1.350602
0.8545 0.9101 0.1639 0.0000 0.0000 0.2838 0.1425 0.0001 0.1810
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.781955 0.758060 0.087820 0.562996 87.87630 32.72425 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.004674 0.178541 -1.923812 -1.659660 -1.817759 2.075940
Lampiran 18. Hasil estimasi dengan model Houck pada hubungan pengecergrosir. Dependent Variable: D(PENGECER) Method: Least Squares Date: 08/15/15 Time: 17:33 Sample (adjusted): 3 84 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GRO_NEGATIF GRO_POSITIF GRO_NEGATIF(-1) GRO_POSITIF(-1)
-0.012315 0.492635 0.657404 0.150108 0.097732
0.025033 0.089207 0.083360 0.091279 0.083712
-0.491945 5.522402 7.886308 1.644497 1.167472
0.6242 0.0000 0.0000 0.1042 0.2466
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.700213 0.684640 0.100263 0.774057 74.82304 44.96231 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.004674 0.178541 -1.703001 -1.556250 -1.644083 2.295120
72
Lampiran 19. Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen. Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
Df
Probability
-2.258647 5.101488 5.101488
73 (1, 73) 1
0.0269 0.0269 0.0239
Lampiran 20. Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen pada periode t. Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
0.206920 0.042816 0.042816
73 (1, 73) 1
0.8366 0.8366 0.8361
Lampiran 21. Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosir-produsen pada periode t-1. Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
1.580061 2.496592 2.496592
73 (1, 73) 1
0.1184 0.1184 0.1141
73
Lampiran 22. Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor yang mempengaruhi harga di tingkat pengecerdalam jangka pendek. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(GROSIR) D(PRODUSEN) D(PASOKAN) D(IMPOR) D(BBM) D(KONSUMEN(-1)) ECT(-1)
-23.30075 0.773602 0.270070 2.757598 -0.078339 1.058567 0.083132 -0.639034
158.9003 0.101042 0.137104 1.750839 0.031038 0.589093 0.035603 0.100868
-0.146638 7.656240 1.969823 1.575015 -2.523980 1.796945 2.334971 -6.335331
0.8838 0.0000 0.0526 0.1195 0.0137 0.0764 0.0223 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.918523 0.910816 1431.784 1.52E+08 -708.0116 119.1767 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
61.10956 4794.404 17.46370 17.69850 17.55797 2.010299
Lampiran 23. Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor yang mempengaruhi harga di tingkat pengecerdalam jangka panjang. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GROSIR PRODUSEN PASOKAN IMPOR BBM KONSUMEN(-1)
-859.8044 0.827714 0.130013 0.524210 -0.069960 0.932183 0.155920
1646.597 0.118742 0.157883 1.493729 0.038163 0.226328 0.039610
-0.522170 6.970687 0.823475 0.350940 -1.833184 4.118725 3.936415
0.6031 0.0000 0.4128 0.7266 0.0707 0.0001 0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.966194 0.963525 1528.535 1.78E+08 -722.6768 362.0201 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
18506.14 8003.469 17.58257 17.78657 17.66453 1.383480
74
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 07 Januari 1990. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan (Alm) Bapak Ruslan H. Kasmin dan Ibu Mastura Barhiman. Pendidikan Sekolah Dasar hingga jenjang sarjana diselesaikan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lulus sekolah dasar di Madrasah Ibtida’iyah Negeri Fathul Mubin Kupang tahun 2001, lulus Madrasah Tsanawiyah Negeri Kupang tahun 2004 dan Madrasah Aliyah Negeri Kupang tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana), lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), IPB dengan beasiswa program pascasarjana dalam negeri (BPPDN) Dikti tahun 2013.