TINJAUAN PUSTAKA
Wereng Batang Cokelat Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål adalah serangga yang termasuk dalam Ordo Hemiptera, Subordo Auchenorrhyncha, Superfamili Fulgoroidea, Famili Delphacidae (CAB International 2005). WBC hidup dan berkembangbiak pada tanaman padi (Oryza sativa) sebagai pakan utama. Di Filipina, WBC dapat ditemukan juga pada padi liar dan gulma jenis rumput Leersia hexandra.
Di Malaysia, rumput Arthroxon hisdipus, Digitaria
adscendens, Echinochloa crus-galli var. oryzicola, Isachne globosa, Leersia japonica, dan Poa annua dilaporkan merupakan inang dari N. lugens. Persebaran N. lugens meliputi daerah Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia bagian tropis, Oseania dan Kepulauan Pasifik (CAB International 2005). Menurut Mochida & Okada (1979), persebaran wereng ini meliputi daerah paleartik (Cina, Jepang, dan Korea), dan wilayah oriental (Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Filipina). Di Indonesia, WBC tersebar luas di seluruh daerah provinsi, kecuali Maluku dan Irian Jaya. WBC adalah serangga penghisap cairan tanaman (CAB International 2005). Habitat wereng umumnya berada di pangkal pelepah batang tanaman di permukaan tanah, tetapi pada kondisi populasi tinggi dapat hidup pada helaian daun, bahkan memenuhi seluruh bagian tanaman (Kalshoven 1981). Pada wereng ini dijumpai dimorfisme imago, yakni brakhiptera dan makroptera. Brakhiptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang pendek, terutama sayap belakang sangat rudimenter, sedangkan makroptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang relatif panjang, dengan pertulangan sayap yang jauh lebih berkembang. Tubuh imago WBC berwarna cokelat kekuningan sampai cokelat tua. Panjang tubuh imago jantan 2-3 mm dan imago betina 3-4 mm.
Wereng
berkembang biak secara seksual dengan masa prapeneluran brakhiptera 3-4 hari dan makroptera 3-8 hari (Mochida & Okada 1979). Tubuh imago betina yang sedang dalam periode prapeneluran lebih besar dibandingkan imago jantan. Imago
5 betina periode prapeneluran memiliki ujung abdomen agak meruncing dibandingkan imago yang sedang dalam periode peneluran yang bertubuh gemuk terutama bagian abdomen tampak membengkak. Seekor imago betina mampu meletakkan 300-350 butir telur selama hidupnya yaitu dalam waktu berkisar antara 10-24 hari (Harahap & Tjahjono 1997). Pada kondisi optimal, seekor betina brakhiptera sehat yang hidup pada tanaman rentan meletakkan 300-400 telur dalam kondisi suhu ruangan 25-30 °C, walaupun ditemukan kasus imago yang meletakkan telur hingga melebihi 1000 telur. Seekor betina betina makroptera umumnya meletakkan 100 telur (CAB International 2005). Telur WBC diletakkan secara berkelompok di ujung pelepah daun atau tulang daun dengan posisi berderet seperti sisir pisang. Satu kelompok telur terdiri atas 3-21 butir (Baehaki 1987; Harahap & Tjahjono 1997).
Telur
menyerupai bentuk buah pisang atau berbentuk bulan sabit dan menyempit di bagian tudung telur (CAB International 2005). Panjang telur 0,99 mm dan lebar 0,3 mm. Telur berwarna putih transparan saat baru diletakkan, kemudian akan terlihat bintik merah yang merupakan calon mata pada bagian kepala saat menjelang menetas. Stadium telur 6-9 hari. Suhu lingkungan mempengaruhi masa inkubasi telur, seperti suhu optimum untuk masa inkubasi telur berkisar antara 25-28 °C, sedangkan suhu kurang dari 10 °C atau di atas 42 °C menyebabkan embrio tidak mampu berkembang dan bertahan hidup. Nimfa terdiri atas lima instar atau mengalami lima kali pergantian kulit. Setiap instar dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bakal sayap yang semakin membesar. Nimfa yang baru menetas berwarna keputih-putihan dengan panjang tubuh 0,6 mm. Setelah ganti kulit pertama, warna tubuh berubah menjadi coklat kehitaman hingga memasuki instar lima yang mencapai panjang 2 mm (Harahap & Tjahjono 1997). Setiap stadium nimfa umumnya memerlukan waktu 2-4 hari pada suhu berkisar antara 25-28 °C. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa bergantung pada bentuk dewasa brakhiptera atau makroptera yang akan terbentuk (Baehaki & Iman 1991). Ukuran tubuh, waktu perkembangan, fekunditas, dan longevitas dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotik, terutama suhu, kelembaban, status nutrisi dan ketahanan inang (CAB International 2005).
Hal ini sangat mempengaruhi
6 perkembangan populasi dan serangan WBC di lapangan. Suhu optimum untuk perkembangan populasi WBC berkisar antara 18-28 °C. Kelembaban mikro yang disebabkan oleh curah hujan/keadaan air sawah dan kerapatan tanaman dilaporkan sangat
berpengaruh
terhadap
perkembangan
populasi
dan
serangannya
(Mustaghfirin 2008).
Faktor-faktor Pertumbuhan Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme dari spesies yang sama yang menduduki ruang atau tempat tertentu yang merupakan satu kesatuan yang berubah-ubah.
Perubahan suatu populasi dipengaruhi oleh
beberapa sifat yang terdapat dalam populasi itu sendiri yaitu natalitas, mortalitas, sebaran umur, potensi biotik, pemencaran, dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan (Odum 1996; Price 1997). Natalitas adalah kemampuan yang sudah merupakan sifat suatu populasi untuk bertambah.
Natalitas maksimum/fisiologis adalah produksi maksimum
individu-individu baru secara teoritis dibawah keadaan yang ideal (yakni tidak ada faktor-faktor yang membatasi secara ekologi, reproduksi hanya dibatasi oleh faktor fisiologis), sedangkan natalitas ekologis yaitu pertambahan populasi dibawah keadaan lingkungan khas (Odum 1996). Mortalitas adalah kematian individu-individu didalam populasi. Mortalitas dapat dinyatakan sebagai individu yang mati dalam kurun waktu tertentu. Individu-individu akan mati karena umur tua yang ditentukan oleh lama hidup imago (longevitas) fisiologis mereka yang seringkali jauh lebih besar daripada longevitas ekologi (Odum 1996). Sebaran umur merupakan sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Oleh karena itu, nisbah dari berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi. Biasanya pada kelompok populasi yang memiliki perkembangan cepat, banyak terdapat individu-individu yang muda, sebaliknya pada populasi yang stationer memiliki pembagian umur individu yang merata dan saat populasi menurun sebagian besar dihuni oleh individu-individu tua (Odum 1996).
7 Potensi biotik berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan & penyebaran hama. Potensi ini meliputi faktor sumber daya makanan yang ada di lapang dan musuh alami. Faktor kualitas dan kuantitas makanan memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya perkembangan populasi hama. Selain itu kehadiran musuh alami seperti predator, parasitoid, patogen, dan kompetitor dalam suatu pertanaman akan menekan perkembangan populasi serangga hama tersebut (Dadang 2006). Pemencaran populasi (dispersal) adalah gerakan individu-individu ke dalam atau keluar populasi atau di daerah populasi. Pemencaran populasi dapat berupa emigrasi, imigrasi dan migrasi. Pemencaran individu membantu natalitas dan mortalitas di dalam memberi wujud bentuk pertumbuhan dan kepadatan populasi. Pola pemencaran populasi dibedakan dalam tiga tipe yaitu pola acak, seragam, dan teratur. Pemencaran secara acak relatif jarang ditemukan di alam, biasanya terjadi pada lingkungan sangat seragam dan individu dalam populasi cenderung berkelompok.
Pemencaran seragam dapat terjadi bila persaingan di antara
individu sangat keras dan terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama.
Pemencaran teratur berupa pemencaran
berkelompok dan mewakili pola yang paling umum terjadi di alam (Odum 1996). Bentuk pertumbuhan atau perkembangan populasi adalah pola-pola pertambahan yang khas yang dimiliki oleh suatu populasi. Dua pola dasar yang sering dijadikan acuan dalam penentuan bentuk pertumbuhan/perkembangan populasi yaitu pola pertumbuhan berbentuk J (=eksponensial) dan S (= sigmoid). Pada pola pertumbuhan bentuk J, kerapatan populasi bertambah dengan cepat secara eksponensial dan kemudian berhenti secara mendadak karena hambatan lingkungan atau pembatas-pembatas lain. Menurut Nicholson 1956 dalam Odum 1996, tipe pola pertumbuhan yang dipicu oleh kepadatan populasi di atas menyebabkan peledakan populasi serangga. Pada pola pertumbuhan bentuk S, kerapatan populasi bertambah secara perlahan-lahan kemudian terjadi percepatan dan melambat karena hambatan lingkungan meningkat sampai tingkat yang kurang lebih seimbang (Odum 1996). Menurut Price (1997) & Baehaki (2008), pola pertumbuhan populasi serangga WBC dikatagorikan r-strategi. Karakteristik dari pola r-strategi yaitu
8 secara umum ukuran tubuh serangga kecil , ukuran imago betina lebih besar daripada jantan, siklus hidup yang pendek, kemampuan memencar yang tinggi sehingga dengan cepat akan menemukan habitat yang baru, berkembang biak dengan cepat dan mampu menggunakan sumber daya makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi. Pola ini terbentuk apabila rata-rata kemampuan reproduksi mencapai maksimum saat terjadi ketidakstabilan lingkungan, yaitu populasi berada dibawah daya dukung lingkungan dan sumber daya alam tidak terbatas. Pertumbuhan populasi jenis ini sangat bergantung pada kemampuan dan kesesuaian hidup serta kemampuan reproduksi setiap individu wereng pada habitatnya (Baehaki 2008).
Pemencaran WBC dan Populasi Makroptera Tiga tipe pemencaran terjadi pada WBC yaitu pemencaran jarak pendek dalam pertanaman padi, biasanya dilakukan oleh nimfa, wereng brakhiptera, dan wereng makroptera, pemencaran jarak pendek antar pertanaman yang dilakukan oleh wereng makroptera, dan pemencaran jarak jauh atau emigrasi dilakukan oleh wereng makroptera (Baehaki 1984 ; Baehaki & Iman 1991). Wereng makroptera biasanya migrasi saat padi mulai ditanam (Baehaki & Widiarta 2008).
Perpindahan individu ini dipicu oleh perilaku WBC yang
meninggalkan tanaman tua.
Pemencaran maksimum terjadi sebelum panen.
Setelah bentuk makroptera menetap, WBC mulai berkembang biak satu atau dua generasi pada tanaman padi stadia vegetatif. Bila migrasi terjadi pada waktu 2-3 minggu setelah tanam (MST), maka imigran berkembang biak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama dan ke dua berturut-turut muncul pada umur padi 5-6 MST dan 10-11 MST. Bila migrasi terjadi setelah padi umur 5-6 MST, puncak populasi nimfa hanya ditemukan satu kali, yaitu pada 9-10 MST. Serangga dewasa yang muncul setelah padi berumur 7 MST, umumnya bersayap pendek (brakhiptera), bertelur ditempat tanaman awal tempat mereka hinggap atau berpindah pada tanaman yang berdekatan, dan tidak bermigrasi pada jarak yang relatif jauh. Makin tinggi kepadatan populasi, maka kerusakan tanaman yang dialami makin berat. Populasi yang berpotensi sangat merusak tanaman adalah stadia nimfa. Jumlah populasi makroptera meningkat saat tanaman memasuki
9 stadium pembungaan.
Generasi populasi akhir ini didominasi oleh betina
brakhiptera dan jantan makroptera. Makroptera inilah yang bermigrasi mencari pertanaman padi muda. Betina makroptera tumbuh pada perkembangan populasi lanjut yang pada dasarnya distimulasi oleh berbagai faktor, seperti kerapatan populasi nimfa yang terjadi akibat peningkatan kepadatan populasi dan penurunan kualitas serta kuantitas pakan atau tanaman inang (Kisimoto 1956, 1957 dalam Mochida & Okada 1979; Kalshoven 1981; Hidayati 1991; Baehaki 1993; Grodnitsky 1999). Peningkatan wereng makroptera dicirikan adanya kepadatan populasi selama stadium nimfa di tempat perkembangbiakannya (Yoshimeki 1966 dalam Baehaki & Widiarta 2008).
Perkembangan individu calon wereng makroptera atau
brakhiptera dapat diamati lebih awal dari pengamatan ukuran bantalan sayap pada nimfa instar akhir.
Nimfa calon betina instar akhir dengan ukuran panjang
bantalan sayap kurang dari 0,94 mm akan mengalami proses ganti kulit menjadi imago brakhiptera, sedangkan nimfa dengan ukuran panjang bantalan sayap lebih dari 0,94 mm dapat membentuk imago brakhiptera maupun makroptera. Nimfa calon jantan instar akhir dengan ukuran panjang bantalan sayap kurang dari 0,94 mm cenderung menjadi wereng dewasa brakhiptera, akan tetapi acuan ukuran panjang bantalan sayap pembentuk imago jantan makroptera tidak dapat dideteksi (Yamada 1990).
Pembentukan bantalan sayap instar akhir dipengaruhi oleh
kepadatan nimfa selama stadium nimfa instar satu hingga instar empat. Kepadatan populasi rendah cenderung menghasilkan nimfa instar akhir dengan bantalan sayap yang berukuran pendek, sebaliknya apabila kepadatan populasi tinggi cenderung menghasilkan bantalan sayap berukuran panjang. Grodnitsky (1999), melaporkan bahwa proporsi kemunculan bentuk sayap pada serangga dewasa sangat dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan kandungan nutrisi tanaman.
Pada pertanaman yang siap dipanen, kualitas dan kuantitas pakan
wereng menjadi berkurang sehingga wereng akan menghadapi katastropi. Kondisi ini memicu wereng segera mengubah posisi membentuk wereng makroptera untuk emigrasi (Baehaki & Iman 1991; Baehaki & Widiarta 2008).
10 Mekanisme Interaksi Ketahanan Tanaman terhadap WBC Varietas tahan adalah varietas yang megurangi peluang keberhasilan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai sumber makanan dan tempat untuk berkembang biak (Anggraeni 2002).
Suatu varietas disebut tahan apabila:
memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman pulih kembali dari serangan hama, mengandung sifat genetik tanaman yang mampu mengurangi tingkat kerusakan disebabkan oleh serangan hama dan mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dari varietas yang lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno 1992). Mekanisme pertahanan tanaman terhadap hama menurut Schoonhoven et al. (2005) digolongkan menjadi tiga macam yaitu antixenosis (non-preferences), antibiosis, dan tolerance.
Antixenosis (non-preferences) adalah kelompok
tanaman tertentu yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak disukai serangga. Sifat-sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa, dan banyaknya rambut-rambut tanaman, sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Bentuk mekanisme ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu antixenosis kimiawi, terjadi penolakan karena kandungan senyawa
allelokimia
dan
antixenosis
fisik,
terjadi
penolakan
karena
ketidaksesuaian struktur atau morfologi tanaman. Menurut Ying et al. (2006) variasi komponen metabolit sekunder pada varietas padi rentan TN-1 dan tahan ASD 7 dan IR 36 dilaporkan berkaitan erat dengan perilaku preferensi atau non preferensi WBC dalam mekanisme pertahanan tanaman. Antibiosis, suatu sifat fisiologis tanaman yang dapat merugikan kehidupan serangga.
Kazushige dan Pathak
(1970) melaporkan bahwa padi yang tahan terhadap WBC memiliki konsentrasi aspargin yang lebih rendah dibandingkan dengan padi yang rentan. Contohnya yaitu WBC yang dikurung pada varietas Mudgo akan mengalami petumbuhan yang lambat, ukuran tubuh kecil, fekunditas yang rendah, dan kematian yang tinggi. Tolerance suatu sifat pada tanaman yang mampu menyembuhkan diri dari serangan hama meskipun jumlah hama yang menyerang berjumlah sama dengan yang menyerang pada tanaman rentan.
11 Interaksi WBC terhahap Varietas Tahan Pengendalian wereng coklat salah satunya dilakukan dengan menggunakan varietas tahan yang disesuaikan dengan biotipe wereng yang dihadapinya. Varietas tahan mempunyai andil yang sangat besar karena dapat mereduksi populasi wereng coklat. Varietas IR 74 (Bph 3) dan IR 64 (Bph 1+) berturut-turut dapat mereduksi wereng coklat sebesar 94,9 dan 77,4% dibanding dengan varietas Cisadane yang tidak dapat menekan populasi wereng coklat biotipe 3 sedangkan Cisanggarung hanya mereduksi 20,3% (BB Padi 2011).
Pertumbuhan,
perkembangan, kesuburan, mortalitas, atau keperidian serangga dipengaruhi oleh komposisi gizi yang terkandung dalam tanaman (Sunjaya 1970 dalam Laksono 1991). Kandungan nutrisi tanaman sangat menentukan kualitas pakan wereng, sehingga akan berpengaruh terhadap pertahanan hidup dan perkembangbiakan wereng. Variasi kandungan asam amino beberapa varietas tanaman padi berkaitan erat dengan ketahanan tanaman terhadap WBC (Ardiwinata et al. 1991; Kazushige & Pathak 1970). Kalode dan Khrisnha (1979) melaporkan bahwa pada padi varietas tahan ditemukan senyawa yang bersifat repelen terhadap WBC. Bahan yang bekerja sebagai repelen, penghambat makan ataupun perusak sistem saluran pencernaan maupun sistem syaraf serangga biasanya berupa bahan metabolit sekunder. Variasi komponen metabolit sekunder pada varietas padi rentan TNI dan tahan ASD 7 dan IR 36 dilaporkan berkaitan erat dengan perilaku preferensi atau non preferensi WBC dalam mekanisme pertahanan tanaman (Ying et al. 2006).