ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat)
SYAHRU ROMADHON G24103044
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat)
OLEH : SYAHRU ROMADHON
G24103044
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
:
Analisis Tingkat Serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Berdasarkan Faktor Iklim (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat)
Nama
:
Syahru Romadhon
NIM
:
G24103044
Menyetujui : Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP. 131473999
Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP. 131473999
Tanggal Lulus :
ABSTRAK SYAHRU ROMADHON. Analisis Tingkat Serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Berdasarkan Faktor Iklim (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di wilayah Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2007 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Wereng Batang Coklat (WBC) merupakan salah satu hama yang sangat penting pada tanaman padi, terutama di wilayah Asia Pasifik yang serangannya sporadis dan sangat merusak pertanaman padi. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan sel tanaman. Iklim dan cuaca telah diketahui pengaruhnya terhadap kehidupan dari serangga sejak dua setengah abad yang lalu, tetapi penelitian mengenai hal itu baru dilakukan 80 tahun kemudian. Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga, termasuk WBC . Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa setiap kabupaten endemik WBC memiliki fluktuasi faktor iklim yang mempengaruhi luas serangan yang berbeda-beda tiap bulannya tergantung pada stadia WBC. Kabupaten Cirebon, Indramayu, Karawang dan Subang merupakan kabupaten yang terserang WBC paling sering dan paling luas. Setiap kabupaten endemik juga memiliki koefisien determinasi (R2) yang bervariasi berdasarkan faktor iklimnya. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh relatif kecil disebabkan oleh faktor data luas serangan WBC yang hanya menyerang pada bulan-bulan tertentu. Setiap stadia (fase) hidup WBC mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda-beda pada tiap kabupaten. Jika dikelompokkan berdasarkan curah hujan dan ketinggiannya, di dataran rendah (0-100 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim hujan, sedangkan di dataran tinggi (>300 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim kemarau. Dari hasil analisis diketahui faktor iklim yang paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan berturut-turut adalah curah hujan musim hujan, suhu maksimum, curah hujan musim kemarau, kelembaban udara, suhu rata-rata dan suhu minimum. Fase WBC yang paling dipengaruhi faktor iklim secara umum adalah telur dan imago. Kabupaten endemik yang faktor iklimnya berperan paling besar terhadap luas serangan menurut analisis regresi linier berganda adalah kabupaten Sukabumi yang keeratannya mencapai 26.6% pada waktu tunda dua bulan (stadia telur). Hal ini dapat disebabkan faktor lain, khususnya tata cara pengolahan pertanian termasuk teknik pengendalian WBC di kabupaten ini tidak seketat pengendalian di kabupatenkabupaten di wilayah Pantura yang luas serangannya lebih besar, sehingga pengaruh faktor iklim lebih kuat.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1986 sebagai anak keenam dari enam bersaudara, anak dari pasangan Bapak Sukaryanto dan Ibu Daryati.. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SMUN 35 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis berhasil masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Berkaitan dengan salah satu mata kuliah wajib mahasiswa Program Studi Meteorologi, penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian Jakarta dari bulan Juli-Agustus 2006.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas kehendak-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi) ini. Untuk itulah, penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu. Terutama untuk : 1. Kedua orangtua, bapak dan ibu yang telah memberikan kasih sayang dan doa tulus yang tiada hentinya untuk penulis, serta seluruh keluarga yang telah mendukung apa yang dilakukan oleh penulis. 2. Bapak Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono, MS sebagai pembimbing skripsi atas bantuan, konsultasi, saran, bimbingan dan nasehat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi, dan juga sebagai pembimbing akademik selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 3. Bapak Ir.Impron, M.Agr,Sc dan bapak Dr.Ir.Imam Santosa, MS yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi. 4. Bapak I Putu Santikayasa,S.Si,M.Sc atas bimbingannya dalam menyelesaikan laporan Praktek Lapang, serta seluruh dosen pengajar di Departemen GFM atas ilmu-ilmu yang telah diberikan selama ini. 5. Bapak Dedi Saefuddin beserta staf UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat di Bandung dan juga BMG Darmaga untuk penyediaan data-data yang dibutuhkan penulis. 6. “Ateu” Eva Nurhayati, teman setia selama penelitian. Terima kasih untuk kebersamaan dalam mencari data, canda tawa serta saling bertukar pikiran. 7. My second family di Wisma Aulia : ”Mamah” Qq, “Om” Kolay, “Papa” Latief untuk semua bantuan, dukungan, cerita-cerita dan candatawa. Bapak dan ibu Marmo serta teman-teman lainnya di Wisma Aulia terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya. 8. Kakak-kakak kelas: K’Ferly untuk konsultasi jarak jauhnya, A Erwin untuk saransarannya, K’Linda untuk buku hamanya, K’Away untuk pinjaman laptopnya selama seminar dan sidang, K’Ipit, K’Nita dan K’Lupi untuk cerita-ceritanya, “Paman” Samba untuk cerita dan candaannya, serta kakak-kakak lainnya yang telah memberikan bantuan. 9. Teman-teman seangkatan GFM 40, terima kasih untuk segala kebersamaan, cerita-cerita dalam suka dan duka selama empat tahun ini. Ayo tetap semangat!!! 10. Staf administrasi Departemen GFM: Mas Azis, Pa Toro, Bu Inda, Pa Djun, Pa Pono, Pa Udin, Mba Wanti dan Mba Icha, terimakasih untuk segala bantuannya. 11. Staf di dekanat FMIPA IPB : Bu Fitri, Pa Sudin, Pa Maman dan yang lainnya. Terima kasih untuk bantuannya. 12. Pa Aris Pramudia dan teman-reman di lab Agromet, serta terima kasih juga untuk semua orang yang telah memberikan bantuan baik moril dan imateriil namun penulis tidak dapat sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini, saran dan masukannya sangat dihargai. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi orang lain. Terima Kasih. Bogor, Agustus 2007
Penulis
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .............................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................................
Halaman iii iv vi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1.2 Asumsi ........................................................................................................................ 1.3 Tujuan .........................................................................................................................
1 1 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) ................................................... 2.2 Unsur-unsur Iklim yang Berpengaruh pada Serangga dan Wereng Batang Coklat..
2 3
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat...................................................................................................... 3.2 Bahan dan Alat............................................................................................................ 3.3 Metode.........................................................................................................................
5 5 5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat..................................... 4.2 Uji Koefisien dalam Penentuan Peubah Suhu yang Signifikan Terhadap Luas Serangan .......................................................................................... 4.3 AnalisisPerbandingan Hubungan Faktor Iklim dengan Luas Serangan WBC Berdasarkan Ketinggian .............................................................................................
24
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 5.2 Saran ...........................................................................................................................
25 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................................................
26 28
6 23
iii
DAFTAR TABEL No. Tabel 1. Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat .............................................. Tabel 2. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Bekasi .............................................................................................. Tabel 3. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Bekasi ..................... Tabel 4. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Cianjur ............................................................................................. Tabel 5. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Cianjur..................... Tabel 6. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Cirebon ............................................................................................ Tabel 7. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Cirebon.................... Tabel 8. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Garut ................................................................................................ Tabel 9. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Garut........................ Tabel 10. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Indramayu...................................................................................... Tabel 11. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Indramayu ............. Tabel 12. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Karawang ..................................................................................... Tabel 13. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Karawang .............. Tabel 14. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Majalengka .................................................................................... Tabel 15. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Majalengka............ Tabel 16. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Subang ........................................................................................... Tabel 17. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Subang................... Tabel 18. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Sukabumi....................................................................................... Tabel 19. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Sukabumi............... Tabel 20. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Tasikmalaya .................................................................................. Tabel 21. Nilai R2 Luas Serangan versus Faktor Iklim di Kabupaten Tasikmalaya .......... Tabel 22. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda antara Luas Serangan dan Lima Faktor Iklim yang Berperan Terhadap Luas Serangan....................... Tabel 23. Hasil Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan.... Tabel 24. Hasil Regresi Stepwise Untuk Memilih Peubah Suhu yang Signifikan ............
Hal. 5 6 6 8 8 10 10 11 11 13 13 14 14 15 16 17 18 19 19 21 21 23 23 24
iv
DAFTAR GAMBAR No. Gambar 1. Padi hopperburn akibat serangan WBC ............................................................ Gambar 2. Telur WBC ......................................................................................................... Gambar 3. Nimfa WBC ....................................................................................................... Gambar 4. Imago makroptera dan brakhiptera WBC.......................................................... Gambar 5. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik) ....................................................................... Gambar 6. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik) ....................................................................... Gambar 7. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Bekasi (kuadratik) ....................................................................... Gambar 8. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Bekasi (kuadratik) ....................................................................... Gambar 9. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Bekasi (linier).............................................................................. Gambar 10. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)..................................................................... Gambar 11. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)..................................................................... Gambar 12. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata9 di Kabupaten Cianjur (kuadratik)..................................................................... Gambar 13. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cianjur (kuadratik)..................................................................... Gambar 14. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cianjur (linier)............................................................................ Gambar 15. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik) .................................................................... Gambar 16. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik) .................................................................... Gambar 17. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cirebon (kuadratik) .................................................................... Gambar 18. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cirebon (kuadratik) .................................................................... Gambar 19. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cirebon (linier)........................................................................... Gambar 20. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Garut (kuadratik)........................................................................ Gambar 21. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Garut (kuadratik)........................................................................ Gambar 22. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Garut (kuadratik)........................................................................ Gambar 23. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Garut (kuadratik)........................................................................ Gambar 24. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Garut (linier)............................................................................... Gambar 25. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik) ............................................................... Gambar 26. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik) ............................................................... Gambar 27. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Indramayu (kuadratik) ............................................................... Gambar 28. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Indramayu (kuadratik) ............................................................... Gambar 29. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Indramayu (linier) ...................................................................... Gambar 30. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Karawang (kuadratik) ................................................................
Hal. 2 2 3 3 7 7 7 7 7 8 9 9 9 9 10 10 10 11 11 12 12 12 12 12 13 13 13 14 14 15
v
Gambar 31. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Karawang (kuadratik) ................................................................ Gambar 32. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Karawang (kuadratik) ................................................................ Gambar 33. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Karawang (kuadratik) ................................................................ Gambar 34. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Karawang (linier) ....................................................................... Gambar 35. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik).............................................................. Gambar 36. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik).............................................................. Gambar 37. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Majalengka (kuadratik).............................................................. Gambar 38. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Majalengka (kuadratik).............................................................. Gambar 39. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Majalengka (linier)..................................................................... Gambar 40. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Subang (kuadratik)..................................................................... Gambar 41. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Subang (kuadratik)..................................................................... Gambar 42. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Subang (kuadratik)..................................................................... Gambar 43. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Subang (kuadratik)..................................................................... Gambar 44. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Subang (linier)............................................................................ Gambar 45. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)................................................................. Gambar 46. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)................................................................. Gambar 47. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)................................................................. Gambar 48. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)................................................................. Gambar 49. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Sukabumi (linier) ....................................................................... Gambar 50. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) ............................................................ Gambar 51. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) ............................................................ Gambar 52. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) ............................................................ Gambar 53. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) ............................................................ Gambar 54. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Tasikmalaya (linier) ...................................................................
15 15 15 16 16 17 17 17 17 18 18 18 19 19 20 20 20 20 21 21 22 22 22 22
vi
DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1. Peta Sebaran Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat .................. Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC dan Faktor Iklim di 10 Kabupaten Endemik WBC .................................................................... Lampiran 3. Hasil Output Minitab 14 Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan................................................................................. Lampiran 4. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Linier Berganda ......................... Lampiran 5. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Stepwise .....................................
Hal. 29 30 35 41 49
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesesuaian iklim dan potensi lahan bagi berbagai jenis tanaman pangan merupakan aspek yang sangat penting yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan produksi dan produktivitas tanaman pangan yang tinggi. Aspek lain yang juga berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman pertanian adalah serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pertumbuhan dan perkembangan populasi OPT dipengaruhi oleh interaksi antara OPT itu sendiri, tanaman, sistem budidaya tanaman, musuh alam, faktor cuaca/iklim, serta faktor lingkungan fisik lainnya. Hal ini menyebabkan fluktuasi luas serangan OPT pada tanaman pangan bervariasi menurut musim. Penyimpangan iklim ekstrim menyebabkan bencana alam baik berupa banjir maupun kekeringan khususnya pada tanaman pangan, namun secara tidak langsung juga dapat menimbulkan serangan OPT (Deptan, 2003). OPT pangan merupakan salah satu kendala utama dalam setiap usaha tani yang dilakukan oleh petani. Kerugian akibat serangan OPT dapat menurunkan hasil secara kuantitas dan kualitas. Pada beberapa daerah endemik, serangan OPT dapat mengakibatkan kerugian besar bahkan puso. Demikian pula pada ekosistem tanaman pangan terdapat kompleks OPT dan musuh alaminya sebagai bagian atau elemen dari ekosistem. Oleh karena itu, pengetahuan dan pengenalan kompleks OPT dan musuh alami dalam suatu ekosistem pertanian penting sebagai dasar untuk menyusun strategi dan teknik pengendaliannya (Deptan, 1992). Salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia adalah wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) untuk selanjutnya disebut WBC. Hama ini menimbulkan kerusakan yang luas dan hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam dan merupakan OPT yang sangat ganas dan sering terjadi ledakan serangan yang mengakibatkan kerugian ekonomi sangat tinggi jika terjadi puso. Kerusakan pada pertanaman dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, yaitu dengan menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati. Sedangkan secara tidak langsung karena hama ini dapat menjadi
vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Subroto et al., 1992). Serangan hama WBC di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1931, merusak pertanaman padi di Darmaga, Bogor, kemudian di Mojokerto (Jawa Timur) pada tahun 1939 dan Yogyakarta pada tahun 1940 Serangan hebat di pulau Jawa terjadi pada tahun 1969/1970 dan di Sumatera Utara pada tahun 1972/1973. Luas serangan WBC meliputi seluruh wilayah Indonesia, kecuali Maluku dan Papua (Subroto et al., 1992). Dalam usaha pengendalian WBC, sistem peringatan dini (early warning system) adalah sangat diperlukan, karena melalui sistem ini persiapan dalam gerakan untuk antisipasi ledakan (outbreaks) serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Sistem peringatan dini ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam pada daerah endemik WBC, sehingga dapat mengurangi potensi kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat serangan WBC. 1.2 Asumsi • •
•
Fase WBC yang menyerang padi adalah fase nimfa dan imago. Seluruh daerah kajian memiliki faktor suhu udara yang sesuai bagi kehidupan WBC, sehingga dapat menimbulkan ketidakkonsistenan pengaruh suhu pada persamaan-persamaan regresi yang dihasilkan. Luas serangan WBC berbanding lurus dengan luas areal sawah yang ada di kabupaten tersebut.
1.3 Tujuan Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di wilayah Jawa Barat.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Wereng batang coklat (WBC) merupakan salah satu hama yang sangat penting pada tanaman padi, terutama di wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia yang serangannya sporadis dan sangat merusak pertanaman padi. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan WBC dengan menghisap cairan sel tanaman (Sogawa, 1971). Di Pulau Jawa, WBC menyerang hampir semua daerah pertanaman padi dari dataran rendah hingga dataran tinggi, namun lebih banyak dijumpai di dataran rendah. Penyebarannya terpusat di beberapa daerah tertentu yang dikenal dengan sebutan “daerah endemik”. Contoh daerah endemik untuk WBC di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Subang dan beberapa kabupaten lainnya. 2.1.1 Bioekologi Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal) termasuk ke dalam ordo Homoptera, sub ordo Auchenorrhyncha dan famili Delphacidae. Hama ini memiliki sinonim nama latin lain, yaitu Calligypona oryzae dan Delphacodes oryzae. Menurut Sogawa (1971), WBC merupakan hama yang aktif pada siang hari (diurnal) dan kemampuan reproduksinya tinggi jika keseimbangannya lingkungan hidupnya terganggu, baik oleh penanaman varietas yang peka, perubahan iklim (curah hujan) maupun salah aplikasi insektisida sehingga menyebabkan kekebalan (resurjensi) wereng batang coklat. 2.1.2 Gejala Serangan Pada umumnya serangan WBC terjadi pada tanaman padi yang telah dewasa tetapi belum memasuki masa panen, namun terkadang juga menyerang persemaian padi. Tanaman yang masih muda yang masih terserang warna daunnya menjadi kuning, pertumbuhannya terhambat, sehingga tanaman akan menjadi kerdil. Serangan yang hebat akan mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati karena perkembangan akarnya terhambat. WBC juga mengeluarkan sekresi berupa kotoran embun madu yang biasanya
akan ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga daun padi akan berwarna hitam yang gejalanya disebut hopperburn. Apabila banyak terlihat kotoran putih bekas pergantian kulit nimfa, maka hal tersebut menunjukkan bahwa populasi WBC telah tinggi (Pracaya, 1991). Selain mematikan pertanaman padi dengan menghisap cairan selnya, WBC juga diketahui merupakan vektor pembawa penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa, sehingga harus benar-benar diperhatikan penanggulangannya begitu terjadi gejala serangan WBC (Subroto et al., 1992).
Gambar 1. Padi hopperburn akibat serangan WBC (Sumber : http://www.deptan.go.id/ditlin-tp) 2.1.3 Morfologi 2.1.3.1 Telur WBC mempunyai telur berwarna putih kecoklatan berbentuk lonjong dengan ukuran 1.3 mm x 0.33 mm yang biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi. Peletakan telurnya secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Telur akan menetas menjadi nimfa instar pertama setelah sekitar 6-9 hari. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan telur sekitar 390 butir (Sogawa, 1971).
Gambar 2. Telur WBC (Sumber : http://www.deptan.go.id/ditlin-tp)
2
2.1.3.2 Nimfa WBC yang baru menetas sebelum menjadi dewasa (imago) akan melewati sekitar lima tahapan ganti kulit (instar) nimfa yang dibedakan menurut ukuran bentuk tubuh dan bakal sayapnya. Periode setiap instar nimfa berkisar antara 2-4 hari, sehingga WBC rata-rata menghabiskan 12-15 hari pada seluruh fase nimfa ini (Sogawa, 1971)
.
Gambar 3. Nimfa WBC (Sumber : http://www.deptan.go.id/ditlin-tp)
2.1.3.3 Imago Serangga dewasa WBC mempunyai dua bentuk, yaitu yang bersayap normal dapat terbang (makroptera) serta yang bersayap pendek tidak dapat terbang (brakhiptera). WBC makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera. Dalam Natawigena (1990), pada kepadatan populasi tinggi atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera.
Gambar 4. Imago makroptera dan brakhiptera WBC (Sumber : http://www.deptan.go.id/ditlin-tp)
2.1.4 Siklus Hidup Siklus hidup satu generasi WBC di daerah tropis rata-rata berkisar antara 32-54 hari, dengan seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk imago brakhiptera lebih dahulu bertelur daripada bentuk makroptera. Berdasarkan umur padi dan umur imago WBC dalam setiap generasi, maka selama satu musim tanam dapat timbul 2-8 imago WBC (Hidayat, 2000). WBC sangat aktif sepanjang tahun pada iklim tropika, tetapi mereka tidak dapat bertahan pada musim dingin pada iklim temperate. Hama ini juga mampu bermigrasi pada jarak yang jauh dan membentuk koloni kembali di wilayah temperate tiap tahun pada bulan juni atau Juli. Pada bulan September, banyak WBC yang kembali lagi ke wilayah tropika saat angin mendukung. 2.1.5 Teknik Pengendalian WBC sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Hal ini disebabkan WBC mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Untuk mengatasi dengan aman, dilakukan pengendalian secara terpadu sehingga memberi peranan penting pada musuh alami sebagai komponen yang tidak dapat ditinggalkan. Usaha pengendaliannya telah banyak dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemakaian insektisida dan pengaturan cara bercocok tanam. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas tahan tidak dapat dilakukan terus menerus, sehingga perlu dicari cara pengendalian lain, seperti penggunaan musuh alami (Deptan, 2003). 2.2 Unsur-unsur Iklim yang Berpengaruh pada Serangga dan Wereng Batang Coklat Iklim dan cuaca telah diketahui pengaruhnya terhadap kehidupan dari serangga sejak dua setengah abad yang lalu, tetapi penelitian mengenai hal itu baru dilakukan 80 tahun kemudian. Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga (Koesmaryono, 1987) 2.2.1 Suhu Udara Seperti halnya jenis hewan lain, serangga memiliki batasan suhu untuk dapat beraktivitas dengan normal. Serangga tergolong sebagai hewan berdarah dingin
3
(poikilotermal), maka setiap jenis serangga memerlukan suhu lingkungan yang berbeda. Perubahan temperatur diurnal sangat mempengaruhi aktivitas dari ordo Homoptera, dan juga beberapa spesies ulat dari ordo Lepidoptera (Pedgley, 1982). Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya tergantung pada tiap spesies serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang lebar (eury-thermal) dan ada pula yang hanya mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang sempit (stenothermal). Namun Sunjaya (1970) menyebutkan bahwa serangga mempunyai suhu optimum sekitar 260C. Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembangan stadia telur dan nimfanya adalah pada suhu 2530°C, menurut Hirano (1942, dalam Subroto et al., 1992) untuk perkembangan embrio WBC akan terhenti pada suhu lingkungan kurang dari 100C. Sedangkan Suenega (1963, dalam Subroto et al., 1992) menyebutkan bahwa WBC makroptera jantan memiliki kisaran suhu 9-300C untuk berperilaku normal, sedangkan WBC makroptera betina antara 10-320C. Akhirnya Subroto et al. (1992) menyimpulkan bahwa suhu paling sesuai untuk pemunculan WBC dewasa di lapangan adalah pada suhu 28-300C di siang hari. 2.2.2 Kelembaban Udara Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium (tingkatan kehidupan) pada masing-masing perkembangan. Pada serangga, kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100% (Sunjaya, 1970). Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan WBC. WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85%. Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari (Hino et al., 1970 dalam Alissa, 1990).
2.2.3 Curah Hujan Peranan hujan cukup besar pengaruhnya dalam bidang ekologi serangga, terutama pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Sunjaya (1970) menyatakan bahwa periodisitas timbulnya suatu hama erat hubungannya dengan periodisitas curah hujan tahunan dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik langsung dapat menghanyutkan serangga-serangga yang berukuran kecil, sedangkan secara tidak langsung curah hujan dapat mempengaruhi kelembaban udara. Sebagian kecil peneliti mengatakan bahwa ledakan populasi WBC lebih banyak terjadi pada musim hujan, tetapi mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC (Hidayat, 2000). 2.2.4 Cahaya dan Radiasi Reaksi serangga terhadap cahaya erat hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, bila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya (Sunjaya, 1970). Penyinaran yang kuat dan berlangsung secara kontinu serta dalam waktu yang cukup lama menyebabkan pertumbuhan serangga terhenti, pembiakan terhenti, bahkan dapat mati. Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda antara serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dengan yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya (Uvarov, 1931 dalam Koesmaryono, 1985). 2.2.5 Angin dan Gerak Udara Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga. Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya saja pada serangga yang bertubuh ringan
4
walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi karena adanya gerak udara, baik gerak udara vertikal (pengaruh konveksi) maupun gerak udara horizontal (pengaruh angin musim dan angin pasat) (Sunjaya, 1970). 2.2.6
Pengaruh Topografi Terhadap Penyebaran Serangga Topografi suatu wilayah menggambarkan situasi alam atau keadaan setempat dimana sifatnya dapat menghambat, menghalangi, menyebarkan atau memencarkan suatu hama dari satu daerah ke daerah lainnya. Keadaan topografi antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya tidak akan sama. Laut adalah penghalang fisiografis yang utama karena laut memisahkan flora dan fauna di berbagai benua serta mengisolasi pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Selain laut, topografi yang berupa gunung, sungai, bukit, padang pasir, padang rumput, serta zona penghalang iklim lainnya merupakan barrier topografi bagi penyebaran serangga (Sunjaya, 1970).
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2007 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Dengan wilayah kajian di daerah endemik WBC Provinsi Jawa Barat. Tabel 1. Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat No
Kabupaten
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Subang Karawang Bekasi Indramayu Cirebon Majalengka Sukabumi Tasikmalaya Garut Cianjur
Ketinggian Tempat Rata-rata 10 mdpl 15 mdpl 20 mdpl 20 mdpl 30 mdpl 70 mdpl 150 mdpl 300 mdpl 400 mdpl 900 mdpl
3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data iklim bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun (2001-2006) yaitu data curah hujan (CH), data suhu maksimum (T maks), data suhu minimum (T min), data suhu rata-rata (T rata), dan data kelembaban udara (RH). (Sumber : BMG Darmaga) 2. Data Luas Serangan WBC bulanan di wilayah kajian selama 6 tahun (2001-2006). (Sumber : UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat). Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office 2007 (Word dan Excel) dan Minitab 14. 3.3 Metode Metode yang digunakan dalam analisis data adalah dengan metode regresi linier sederhana untuk tiap curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis sebelumnya. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Metode regresi lainnya tidak digunakan karena kurang mewakili pola sebaran data di setiap kabupaten endemik secara umum setelah dilakukan uji kesesuaian model regresi.. Persamaan umum regresi linier sederhana :
y = a + bx ............................... (1)
Persamaan sederhana :
umum
regresi
kuadratik
y = a + b1 x1 + b2 x2 .............. (2) 2
Persamaan umum regresi linier berganda: y = a + b1x1 + b2 x2 + b3 x3 + b4 x4 + b5 x5 ... (3) Dimana y = Luas Serangan WBC x = Unsur iklim a, b = Konstanta Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan 5 faktor iklim secara bersama-sama terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum.
5
Sedangkan untuk mengetahui faktor iklim yang paling berperan digunakan analisis untuk 5 faktor iklim yang memiliki pengaruh terhadap bioekologi WBC [suhu maksimum (T maks), suhu minimum (T min), suhu rata-rata (T rata) dan, kelembaban udara (RH)], sehingga didapat persamaan regresi kuadratik yang menyatakan hubungan tiap faktor iklim dengan luas serangan WBC pada berbagai waktu tunda (timelag). Khusus untuk faktor curah hujan, analisis regresi linier sederhana yang digunakan dan dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April-September adalah musim kemarau, dan bulan Oktober-Maret adalah musim hujan. Satu siklus hidup WBC berkisar antara 32-54 hari atau diasumsikan kurang lebih dua bulan, maka terdapat dua waktu tunda yang masing-masing menggambarkan perkembangan hidup WBC sejak fase telur, nimfa, imago, dan akhirnya mati. Pada analisis tanpa lag, berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan saat itu atau ketika WBC berada pada fase imago yang aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda satu bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan dengan WBC sedang berada pada fase nimfa. Sedangkan analisis yang dilakukan pada waktu tunda dua bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan saat WBC berada pada fase telur. Pada analisis regresi linier berganda dapat terjadi gejala multikolinieritas (antara peubah-peubah bebas terjadi korelasi yang kuat), terutama antara tiga faktor suhu (maksimum, minimum dan rata-rata) sehingga dilakukan uji koefisien dengan metode regresi stepwise untuk memilih peubah suhu yang memiliki korelasi yang lebih besar dengan peubah luas serangan dan menghilangkan peubah suhu lain karena peubah suhu tersebut yang memiliki korelasi lebih besar dianggap sudah mewakili.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Wilayah Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat Daerah endemik WBC adalah suatu daerah yang selalu diserang oleh WBC pada setiap musim tanamnya, sehingga diperlukan upaya untuk meminimalisasi kerugian yang diakibatkannya. Serangan WBC di provinsi Jawa Barat cenderung selalu terjadi di daerah dataran rendah yang dekat dengan wilayah pesisir pantai (Peta selengkapnya di Lampiran 1). 4.1.1. Kabupaten Bekasi Tabel 2. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Bekasi Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
144340
58298
11
40.389
0.019
2002
144340
58250
19
40.356
0.033
2003
144340
57212
6166
39.637
10.777
2004
144340
57962
26
40.157
0.045
2005
144340
56993
827
39.485
1.451
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Berdasarkan Tabel 2 diatas diketahui bahwa tingkat penggunaan lahan di kabupaten Bekasi yang digunakan untuk sawah cukup dominan, yaitu rata-rata 40% dari luas wilayah keseluruhan. Luasan sawah terserang WBC yang paling parah di kabupaten Bekasi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 6166 ha atau lebih dari 10% wilayah persawahan. Tabel 3. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Bekasi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Tanpa lag 8.0%
Lag 1 4.0%
Lag 2 3.9%
3.5%
2.9%
3.2%
7.7%
3.9%
3.8%
7.1%
4.1%
3.6%
0.1%
1.9%
0.3%
7.6%
1.4%
0.1%
6.4%
5.6%
4.7%
6
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag)
Luas Serangan (Ha)
150
100
50
0 21
22
23
24
25 T rata (oC)
26
27
28
29
Gambar 7. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Bekasi (kuadratik) Hubungan paling erat antara faktor RH dengan luas serangan WBC diperoleh saat terjadi serangan (tanpa lag ), yaitu saat WBC berada pada fase imago dengan nilai R2 sebesar 7.1% yang memenuhi persamaan LS = 148 - 43.5RH + 0.317 RH2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) 200
150
150
100
50
0
100
45
50
55
60
65 RH (%)
70
75
80
85
50
Gambar 8. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Bekasi (kuadratik)
0 24
26
28
30 T max (oC)
32
34
Gambar 5. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag) 200
150
Faktor curah hujan yang memiliki pengaruh paling besar dalam kehidupan WBC di kabupaten Bekasi, yaitu pada waktu musim hujan saat WBC sudah menjadi imago (tanpa lag ) dengan nilai R2 sebesar 7.6% dengan persamaan LS = - 0.57 + 0.0364 CH.
100
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (tanpa lag) 200
50
0 18
19
20
21 22 T min (oC)
23
24
25
Gambar 6. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Bekasi (kuadratik)
Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
200
Luas Serangan (Ha)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag) 200
Luas Serangan (Ha)
Dari hasil analisis regresi pada Tabel 3 diketahui bahwa untuk faktor suhu maksimum saat terjadi serangan (tanpa lag) diperoleh nilai R2 yang terbesar dibanding pada waktu tunda lain, yaitu sebesar 8.0 % dengan persamaan LS= 3275- 237Tmax+ 4.27Tmax2 yang berarti suhu maksimum memiliki peranan yang lebih besar terhadap aktivitas imago WBC yang menyukai suhu yang cukup tinggi daripada saat fase nimfa (lag 1) ataupun telur (lag 2) yang memiliki nilai R2 yang lebih kecil. Untuk faktor suhu minimum dan suhu rata-rata juga diperoleh hasil yang sama, yaitu saat terjadi serangan (tanpa lag) masing-masing mempunyai nilai R2 sebesar 3.5% dengan persamaan LS = 173 - 171Tmin+ 4.22Tmin2 dan 7.7% dengan persamaan LS = 4192 - 344Trata+ 7.03Trata2. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh suhu di kabupaten Bekasi paling berperan saat terjadi serangan (saat WBC pada fase imago) dibandingkan fase WBC lainnya.
.
150
100
50
0 0
100
200
300 CH MH (mm)
400
500
600
Gambar 9. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Bekasi (linier)
7
Jika dilakukan analisis regresi linier berganda antara luas serangan WBC di kabupaten Bekasi dengan semua faktor iklim yang dianalisis sebelumnya maka diperoleh hubungan paling erat saat terjadi serangan (tanpa lag) atau pada saat WBC berada pada fase imago dengan nilai R2 sebesar 6.4% yang memenuhi persamaan LS = - 1 + 257Tmax +282 Tmin-531Trata- 1.31RH0.082CH. Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di kabupaten Bekasi yaitu suhu maksimum (T max) saat terjadinya serangan (tanpa lag).
Tabel 5. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Cianjur
4.1.2. Kabupaten Cianjur
Di kabupaten Cianjur, faktor suhu maksimum dan minimum pada waktu tunda dua bulan memiliki hubungan yang paling erat dibandingkan waktu tunda lainnya dengan nilai R2 sebesar 6.4% dengan persamaan LS = 37.6+ 1.22Tmax0.0999Tmax2, dan 4.4% dengan persamaan LS = -74.3+ 1.16Tmin+ 3.40 Tmin2 saat WBC sedang berada pada fase telur. Pada analisis tanpa lag dan lag 1 menunjukkan bahwa suhu maksimum dan minimum tidak banyak mempengaruhi luas serangan, hal ini dapat diakibatkan suhu maksimum (suhu pada siang hari) dan suhu minimum (suhu pada dini hari) yang rendah di kabupaten Cianjur kurang mendukung bagi aktivitas imago WBC.
Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
371683
58585
45
15.762
0.077
2002
371683
58823
49
15.826
0.083
2003
371683
61771
410
16.619
0.664
2004
371683
61587
2
16.570
0.003
2005
371683
62876
36
16.917
0.057
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Tingkat penggunaan lahan untuk persawahan padi di kabupaten Cianjur tidak terlalu besar, hanya berkisar 15-16% dari luas wilayah keseluruhan. Walaupun termasuk daerah endemik WBC, serangan WBC tidak terlalu luas di kabupaten Cianjur. Salah satu faktornya disebabkan wilayah sawah yang terbatas bagi WBC untuk mencari makan. Luas serangan yang tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang meliputi 410 ha sawah atau sekitar 0.6% dari total luas sawah di kabupaten Cianjur, untuk selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 4.
Faktor Iklim
1.
Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK)
2. 3. 4. 5.
Tanpa lag 0.2%
Lag 1
Lag 2
3.2%
6.4%
2.2%
1.8%
4.4%
3.6%
1.9%
1.5%
0.7%
1.0%
1.3%
0.2%
4.9%
5.5%
6.
Curah Hujan Musim Hujan (CHMH)
0.9%
0.0.%
0.0%
7.
Semua faktor iklim diatas
4.4%
8.2%
13.2%
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 2) 90 75 Luas Serangan (Ha)
Tabel 4. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Cianjur.
No
60 45 30 15 0 23
24
25
26
27
28
T max (oC)
Gambar 10. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)
8
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 2) 90
75
75 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 2) 90
60 45 30
60 45 30 15
15
0
0 15
16
17 T min (oC)
18
60
19
65
70
75
80
85
90
95
RH (%)
Gambar 11. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cianjur (kuadratik)
Gambar 13. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cianjur
Untuk faktor suhu rata-rata terjadi sebaliknya, hubungan paling erat justru diperoleh pada analisis tanpa lag dengan nilai R2 sebesar 3.6% dengan persamaan LS = 3528- 334Trata+ 7.91Trata2, sedangkan saat lag 2 memiliki nilai R2 yang paling kecil. Hal ini dapat diakibatkan suhu rata-rata sepanjang hari di kabupaten Cianjur lebih cocok bagi aktivitas imago WBC daripada fase WBC lainnya.
Kejadian serangan WBC di kabupaten Cianjur cenderung lebih dipengaruhi curah hujan pada musim kemarau saat WBC berada pada fase telur (lag 2) dibandingkan pada musim hujan yang biasanya banyak terjadi serangan dengan nilai R2 mencapai 5.5% dan memenuhi persamaan LS = -1.61+ 0.0297CH. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MK (Lag 2) 90
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag) Luas Serangan (Ha)
75
90
Luas Serangan (Ha)
75 60 45
60 45 30 15
30
0 0
15
100
200
300 CH MK (mm)
400
500
600
0 20.0
20.5
21.0
21.5 T rata (oC)
22.0
22.5
Gambar 12. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cianjur (kuadratik) Pada analisis antara luas serangan dan kelembaban udara diperoleh hubungan terbaik saat dilakukan analisis pada lag 2 dengan nilai R2 sebesar 1.3% dan persamaan LS = 3.7- 0.157RH+ 0.00195RH2. Saat itu WBC berada pada fase telur yang membutuhkan kelembaban tinggi agar dapat menetas.
Gambar 14. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cianjur (linier) Menurut hasil analisis regresi linier berganda, hubungan terbaik antara luas serangan dan faktor iklim di kabupaten Cianjur diperoleh jika dilakukan analisis pada waktu tunda dua bulan saat WBC sedang berada pada fase telur yang memiliki nilai R2 mencapai 13.2% dan memenuhi persamaan LS = 139+42.7Tmax +52.1 Tmin -97.7 Trata - 0.371RH- 0.0094CH. Berdasarkan hasil analisis, maka faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan di kabupaten Cianjur adalah suhu maksimum saat fase telur WBC (lag 2).
9
4.1. 3. Kabupaten Cirebon Tabel 6. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Cirebon Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
108364
56328
211
51.981
0.375
2002
108364
56360
382
52.010
0.678
2003
108364
58352
1946
53.848
3.335
2004
108364
55715
180
51.415
0.323
2005
108364
55396
13236
51.121
23.893
6761- 163Tmin- 4.48Tmin2. Sedangkan untuk faktor suhu rata-rata mempunyai hubungan terbaik jika dianalisis saat waktu tunda dua bulan yang mempunyai nilai R2 sebesar 2.2%. dan persamaan LS = - 3417 + 54 T rata + 2.60 T rata2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) 5000
Luas Serangan (Ha)
4000
3000
2000
1000
0
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
24
2
Tabel 7. Nilai R Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Cirebon
26
2.
Suhu minimum (T min)
3.
Lag 1 2.2%
Lag 2 3.7%
3.0%
4.3%
3.1%
Suhu rata-rata (T rata)
0.5%
0.6%
2.2%
4.
Kelembaban udara (RH)
13.9%
11.7%
14.0%
5.
Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK)
0.8%
1.0%
0.1%
Curah Hujan Musim Hujan (CHMH)
1.6%
Semua faktor iklim diatas
10.8%
6.
7.
Tanpa lag 4.3%
32
34
36
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 1)
4000
3000
2000
1000
0 23
24 T min (oC)
25
26
Gambar 16. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 2) 5000
4000
2.1%
5.4%
Luas Serangan (Ha)
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max)
30 T max (oC)
5000
22
No 1.
28
Gambar 15. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Cirebon (kuadratik)
Luas Serangan (Ha)
Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah endemik WBC terbesar di Jawa Barat, salah satu sebabnya yaitu tingkat penggunaan lahannya banyak didominasi persawahan seperti tersaji di Tabel 6 yang mencapai lebih dari separuh luas wilayah keseluruhan. Serangan WBC terparah yang melanda kabupaten Cirebon terjadi pada tahun 2005 yang menyerang 13236 ha atau 23.8% lebih sawah yang terserang.
3000
2000
1000
0
11.5%
13.4%
Tabel 7 menyajikan hasil analisis regresi antara luas serangan dan faktor iklim di kabupaten Cirebon. Suhu maksimum paling berperan dalam mempengaruhi luas serangan saat terjadi serangan (tanpa lag) ketika WBC sudah berada pada fase imago dengan nilai R2 sebesar 4.3% dan persamaan LS = 17943- 1286Tmax+ 22.6Tmax2. Sedangkan faktor suhu minimum memiliki hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan analisis pada lag 1, yaitu saat WBC berada pada fase nimfa dengan nilai R2 sebesar 4.3% dan memenuhi persamaan LS =
23
24
25
26
27 T rata (oC)
28
29
30
31
Gambar 17. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Kelembaban udara adalah faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan dibandingkan faktor iklim lain yang dianalisis, hal ini dikarenakan kondisi kelembaban yang cocok bagi perkembangan WBC, terutama saat fase telur (lag 2) yang mempunyai koefisien determinasi tertinggi sebesar 14.0% dan persamaan LS = -6499+ 35.2RH+ 0.508RH2. Untuk analisis tanpa lag
10
(imago) dan pada lag 1 (nimfa), peranan kelembaban udara juga terlihat dominan yang ditandai dengan koefisien determinasi yang cukup tinggi.
4.1. 4. Kabupaten Garut Tabel 8. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Garut Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
309769
51045
36
16.478
0.071
2002
309769
51045
160
16.478
0.313
2003
309769
50814
480
16.404
0.945
2004
309769
50037
0
16.153
0.000
2005
309769
50194
1
16.204
0.002
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 2) 5000
Luas Serangan (Ha)
4000 3000
2000 1000 0 75
85 RH (%)
95
Gambar 18. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Cirebon (kuadratik) Curah hujan di kabupaten Cirebon lebih mempengaruhi luas serangan pada saat musim hujan ketika WBC berada pada fase telur (lag 2) dengan hasil koefisien determinasi sebesar 5.4% dan memenuhi persamaan LS = 30.0 + 0.281 CH. Sedangkan analisis yang dilakukan saat musim kemarau menghasilkan nilai R2 yang tidak terlalu tinggi pada semua waktu tunda yang berarti curah hujan saat musim kemarau di kabupaten Cirebon tidak berperan besar dengan aktivitas WBC.
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Penggunaan lahan untuk sawah di kabupaten Garut rata-rata 16% dari total wilayah keseluruhan seperti tersaji pada Tabel 8. Luas sawah yang terserang WBC di kabupaten Garut tidak tinggi, serangan terluas terjadi pada tahun 2003 yaitu 480 ha atau hampir 1% dari wilayah persawahan di kabupaten Garut. Tabel 9. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Garut No 1. 2. 3.
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 2) 3000
4.
Luas Serangan (Ha)
2500
5.
2000
6.
1500 1000
6.
500
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Tanpa lag 7.0%
Lag 1 6.6%
Lag 2 6.4%
6.4%
8.1%
7.0%
7.6%
8.5%
7.5%
7.9%
4.8%
4.8%
4.7%
9.7%
18.3%
0.3%
0.2%
4.7%
9.8%
9.9%
6.4%
0 0
100
200
300 400 CH MH (mm)
500
600
700
Gambar 19. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Cirebon (linier) Analisis regresi linier berganda yang dilakukan untuk semua faktor iklim yang dianalisis terhadap luas serangan di kabupaten Cirebon memiliki hubungan terbaik pada waktu tunda dua bulan (lag 2) dengan nilai R2 sebesar 13.4% dan memenuhi persamaan LS = - 11753 +1421 Tmax +1459 Tmin - 2751 Trata + 99.9RH -0.02 CH.
Di kabupaten Garut, faktor suhu maksimum yang mempunyai nilai R2 terbesar adalah saat dilakukan analisis tanpa lag, jadi suhu maksimum secara langsung mempengaruhi luas serangan saat WBC sudah dewasa, yaitu sebesar 7.0% dan persamaan LS = - 301+ 18.5Tmax0.279Tmax2. Untuk faktor suhu minimum dan suhu rata-rata, hubungan terbaik diperoleh pada waktu tunda satu bulan saat WBC berada pada fase nimfa dengan nilai R2 sebesar 8.1% dengan persamaan LS = -23.70.07Tmin+ 0.0593Tmin2, dan 8.5% dengan persamaan persamaan LS = -65.4+ 0.81Trata+ 1.84Trata2. Hal ini menunjukkan bahwa suhu minimum dan suhu rata-rata di kabupaten Garut cukup cocok bagi
11
perkembangan nimfa WBC agar dapat menjadi imago.
mencapai 18.3% dan persamaan LS = -3.09+ 0.0308 CH. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) 60
50
50 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) 60
40 30 20
40 30 20 10
10
0
0 27
28
29
30 31 T max (oC)
32
33
70
34
Gambar 20. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Garut (kuadratik)
80 RH (%)
85
90
Gambar 23. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Garut (kuadratik)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 1)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MK (Lag 2)
60
60
50
50 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
75
40 30 20 10
40 30 20 10
0 0 18
19
20
21 T min (oC)
22
23
0
Gambar 21. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Garut (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 1) 60
Luas Serangan (Ha)
50 40 30 20 10 0 23
24
25
26
27
28
T rata (oC)
Gambar 22. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Garut (kuadratik) Faktor kelembaban udara di kabupaten Garut memiliki pengaruh yang kuat pada saat terjadi serangan atau analisis tanpa lag dimana WBC sudah menjadi imago. Nilai R2 saat itu sebesar 7.9% dan persamaan LS = - 520 + 13.8 RH - 0.0900 RH2, paling tinggi dibanding waktu tunda satu dan dua bulan yang hanya 4.8%. Curah hujan saat musim kemarau di kabupaten Garut paling berperan terhadap aktivitas WBC saat fase telur (analisis pada lag 2), dengan koefisien determinasi
100
200 300 CH MK (mm)
400
500
Gambar 24. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Garut (linier) Dari hasil analisis regresi linier berganda untuk semua faktor iklim, maka diperoleh hubungan terbaik pada waktu tunda satu bulan (lag 1) saat nimfa WBC dengan nilai R2 sebesar 9.9% dan persamaan LS = 0.9- 6.2 Tmax - 3.9Tmin + 12.1 Trata0.488RH+ 0.00494CH. Nilai R2 saat dilakukan analisis tanpa lag tidak berbeda jauh dengan lag 1, yaitu sebesar 9.8%. Hal ini berarti semua faktor iklim yang dianalisis di kabupaten Garut berperan cukup besar pada dua fase WBC, yaitu fase nimfa dan imago. Faktor iklim yang paling mempengaruhi luas serangan di kabupaten Garut dari hasil analisis regresi kuadratik sederhana adalah suhu rata-rata, sedangkan curah hujan saat musim kemarau merupakan faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi luas serangan menurut hasil analisis regresi linier yang keeratannya mencapai 18.3% .
12
4.1. 5. Kabupaten Indramayu Tabel 10. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Indramayu Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
205713
118513
502
57.611
0.424
2002
205713
109905
741
53.426
0.674
2003
205713
115038
1926
55.922
1.674
2004
205713
114141
929
55.485
0.814
2005
205713
110548
5384
53.739
4.870
sebesar 6.0% dan persamaan LS = 319770.6Tmax- 0.86 Tmax2. Hal ini menunjukkan bahwa suhu adalah faktor paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan saat imago WBC beraktivitas, terutama untuk faktor suhu rata-rata. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 1) 3000
Luas Serangan
2500 2000 1500 1000 500 0
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
28
Tabel 11. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Indramayu
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Tanpa lag 5.1%
31 T max (oC)
32
33
34
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag) 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 20.5
21.5
22.5 T min (oC)
23.5
24.5
Gambar 26. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik)
Lag 1 6.0%
Lag 2 5.3%
7.0%
6.7%
6.7%
2500
11.2%
10.4%
11.0%
2000
2.4%
7.4%
3.6%
1.7%
0.8%
0.0%
0.2%
24.2%
0.8%
17.4%
13.6%
11.0%
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag)
Luas Serangan (Ha)
No 1.
30
Gambar 25. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Indramayu (kuadratik)
Luas Serangan (Ha)
Kabupaten Indramayu dikenal sebagai salah satu sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat, tidak mengherankan sebab tingkat penggunaan lahan yang diperuntukkan untuk areal persawahan mencapai 57% dari total wilayahnya. Serangan hama juga banyak terjadi di kabupaten Indramayu, salah satunya WBC yang luas serangannya cukup besar tiap tahunnya. Pada tahun 2005 yang merupakan tahun dimana WBC menyerang paling parah, WBC menyerang 5384 ha sawah atau hampir 5% wilayah sawah di kabupaten Indramayu.
29
1500
1000
500
0
Faktor suhu secara umum memiliki pengaruh paling kuat terhadap luas serangan saat dilakukan analisis tanpa lag, yaitu saat terjadi serangan untuk faktor suhu suhu minimum dan suhu rata-rata yang masingmasing mempunyai nilai R2 sebesar 7.0% dengan persamaan LS = 24325- 1980Tmin+ 40.3Tmin2, dan 11.2% dengan persamaan LS = 55171- 3862Trata+67.5 Trata2. Sedangkan faktor suhu maksimum lebih berperan mempengaruhi luas serangan saat dilakukan analisis pada lag 1 (fase nimfa) dengan R2
25
26
27 T rata (oC)
28
29
Gambar 27. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Di kabupaten Indramayu, kelembaban udara mempunyai hubungan paling erat dengan luas serangan saat WBC memasuki fase nimfa, yaitu pada analisis dengan waktu tunda satu bulan (lag 1) yang mempunyai nilai R2 sebesar 7.4% dengan persamaan LS = - 397 - 12.4 RH + 0.238 RH2. Untuk fase telur, peran kelembaban udara lebih rendah daripada fase nimfa dan
13
fase imago merupakan fase yang pengaruh kelembaban udaranya paling rendah terhadap luas serangan WBC. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 1)
4.1.6. Kabupaten Karawang Tabel 12. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Karawang Tahun
2500
Luas Serangan (Ha)
2000
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
1500
2001
187496
93590
364
49.916
0.389
2002
187496
93585
75
49.913
0.080
2003
187496
92815
8982
49.502
9.677
2004
187496
92786
159
49.487
0.171
2005
187496
92588
1204
49.381
1.300
1000
500
0 70
75
80 RH (%)
85
90
Gambar 28. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Indramayu (kuadratik) Curah hujan di musim hujan mempunyai peran yang cukup dominan dalam mempengaruhi luas serangan dibanding curah hujan pada musim kemarau. Hubungan terbaik diperoleh saat dilakukan analisis pada lag 1 saat fase nimfa yang mempunyai koefisien determinasi mencapai 24.2% dan memenuhi persamaan LS = - 33.2 + 0.658 CH. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 1)
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Kabupaten Karawang juga dikenal sebagai salah satu sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat. Alokasi penggunaan lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian (sawah) mencapai hampir 50% dari total luas wilayahnya seperti terlihat di Tabel 12. Berbagai jenis hama hampir tiap musim tanam menyerang, termasuk WBC. Serangan terluas terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 8982 ha atau hampir 10% sawah yang terserang. Tabel 13. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Karawang
2500
Luas Serangan (Ha)
2000
No 1.
1500
1000
2. 500
3. 0 0
100
200
300
400 500 CH MH (mm)
600
700
800
900
Gambar 29. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Indramayu (linier) Hubungan paling erat dari hasil analisis regresi linier berganda untuk semua faktor iklim di kabupaten Indramayu terhadap luas serangan WBC diperoleh saat analisis tanpa lag atau saat terjadi serangan dan WBC sedang beraktivitas memakan tanaman padi, nilai R2 saat itu sebesar 17.4% dengan persamaan LS = 5183+953 Tmax + 979Tmin - 2155Trata +15.1RH -0.749CH.
4. 5.
6.
7.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Tanpa lag 3.3%
Lag 1 5.0%
Lag 2 3.2%
4.3%
2.4%
4.0%
3.4%
3.6%
3.4%
11.1%
7.5%
8.6%
5.8%
4.0%
3.1%
0.4%
12.8%
0.0%
11.2%
8.1%
10.7%
Dari tabel diatas diketahui bahwa untuk faktor suhu maksimum yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di kabupaten Karawang yaitu saat fase nimfa (lag 1) dengan nilai R2 sebesar 5.0% dan diperoleh persamaan LS = -359+ 21.2Tmax0.236Tmax2 yang berarti bahwa suhu maksimum paling mempengaruhi aktivitas nimfa WBC daripada fase lainnya.
14
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 1) 1500
1200
1200 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 1) 1500
900
600
900
600
300
300
0
0 24
26
28
30 T max (oC)
32
21
34
22
23
24
25 T rata (oC)
26
27
28
29
Gambar 30. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Karawang (kuadratik)
Gambar 32. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Karawang (kuadratik)
Hubungan paling erat untuk faktor suhu minimum terhadap luas serangan didapat pada analisis tanpa lag saat fase imago WBC yang mempunyai koefisien determinasi sebesar 4.3% dan persamaan LS = 3650 - 346 T min + 8.25 T min2. Hal ini menunjukkan bahwa suhu minimum di kabupaten Karawang lebih berpengaruh pada aktivitas imago WBC.
Faktor kelembaban udara merupakan faktor iklim yang paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan di kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil analisis regresi kuadratik sederhana didapat bahwa kelembaban berperan cukup besar terhadap seluruh fase dari WBC dari telur hingga imago, namun fase yang paling terpengaruh oleh kelembaban udara adalah fase imago WBC (analisis tanpa lag) yang mempunyai nilai R2 sebesar 11.1 % dan memenuhi persamaan LS = 1708- 47.9RH+ 0.338 RH2.
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag) 1500
Luas Serangan (Ha)
1200
900
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) 600
1500
300
18
19
20
21 22 T min (oC)
23
24
25
Gambar 31. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Karawang (kuadratik) Suhu rata-rata memiliki pengaruh yang sama terhadap luas serangan saat dilakukan analisis tanpa lag dan pada lag 2, yaitu dengan koefisien determinasi sebesar 3.4%. Tetapi, hubungan terbaik diperoleh saat analisis pada lag 1, yaitu saat WBC berada pada fase nimfa. Nilai R2 pada waktu tersebut sebesar 3.6% dan memenuhi persamaan LS = - 314 + 19.6Trata0.191Trata2.
Luas Serangan (Ha)
1200
0
900
600
300
0 45
50
55
60
65 RH (%)
70
75
80
85
Gambar 33. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Karawang (kuadratik) Dari hasil analisis regresi linier sederhana, faktor curah hujan di kabupaten Karawang memiliki hubungan paling erat terhadap luas serangan WBC jika dilakukan analisis pada musim hujan saat lag 1 dengan nilai R2 sebesar 12.8% dan memenuhi persamaan LS = - 22.0+ 0.290CH. Tetapi jika dilakukan analisis saat lag 2 pada musim yang sama, tidak ada korelasi yang didapat yang ditunjukkan dengan nilai R2 0%.
15
Tabel 15. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Majalengka
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 1) 1500
Luas Serangan (Ha)
1200
No 1.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max)
Tanpa lag 0.8%
2.
Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Lag 1 1.2%
Lag 2 0.3%
1.8%
0.0%
0.1%
0.7%
0.7%
0.1%
0.8%
2.0%
3.1%
1.5%
0.1%
0.3%
0.2%
2.4%
1.0%
4.5%
4.4%
6.3%
900
600
3.
300
4.
0 0
100
200
300 CH MH (mm)
400
500
600
5.
Gambar 34. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Karawang (linier)
6.
7.
4.1.7. Kabupaten Majalengka Tabel 14. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Majalengka Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
2001
130793
51087
74
39.060
0.145
2002
130793
51045
2
39.027
0.004
2003
130793
50937
399
38.945
0.783
2004
130793
50925
0
38.936
0.000
2005
130793
50906
401
38.921
0.788
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Tingkat penggunaan lahan untuk areal persawahan cukup besar di kabupaten Majalengka rata-rata 39% dari total wilayahnya seperti tesaji di tabel 14, sedangkan serangan WBC yang teluas terjadi pada tahun 2005 yang meliputi 401 ha sawah atau hampir 0.8% dari total luas sawah di kabupaten Majalengka.
Berdasarkan hasil analisis regresi di kabupaten Majalengka yang tersaji dalam Tabel 8, terlihat bahwa semua faktor iklim yang dianalisis memiliki pengaruh yang tidak terlalu besar terhadap luas serangan WBC. Faktor suhu maksimum memiliki hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan analisis pada lag 1 (fase nimfa) yang mempunyai nilai R2 sebesar 1.2% dan memenuhi persamaan LS = 17+ 1.48Tmax0.0532Tmax2. Untuk faktor suhu minimum diperoleh keeratan tertinggi saat analisis tanpa lag dengan koefisien determinasi sebesar 1.8% dan persamaan LS = - 3320+ 285Tmin- 6.10Tmin2. Sedangkan untuk faktor suhu rata-rata, hasil analisis tanpa lag dan saat lag 1 menunjukkan nilai keeratan yang sama besar yaitu 0.7%, tetapi analisis tanpa lag (saat terjadi serangan) dianggap memiliki hubungan terbaik karena nilai S (residual)nya yang lebih kecil dengan persamaan LS = - 1749 + 124 T rata - 2.19 T rata2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 1) 150
120 Luas Serangan (Ha)
Dalam analisis regresi linier berganda di kabupten Karawang, pengaruh semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa waktu tunda yang memiliki koefisien determinasi sebesar 11.2% dan memenuhi persamaan LS = 72 435 T min - 435 T max + 875 T rata - 2.31 RH - 0.082 CH.
90 60 30
0 30
31
32
33 34 T max (oC)
35
36
37
Gambar 35. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik)
16
terbaik antara semua faktor iklim yang dianalisis dengan luas serangan di kabupaten Majalengka diperoleh saat waktu tunda dua bulan (lag 2) ketika WBC masih berupa telur dengan koefisien determinasi sebesar 6.3% dan memenuhi persamaan LS = -12846.8Tmax - 47.0Tmin + 95 Trata+1.36 RH0.0403 CH.
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag) 150
90 60 30 0 21.5
22.5
23.5 T min (oC)
24.5
25.5
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 1)
Gambar 36. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag)
150
120 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
120
90
60
30
150 0 Luas Serangan (Ha)
120
0
100
200
300 400 CH MH (mm)
500
600
700
800
90
Gambar 39. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Majalengka (linier)
60
30
0 26
27
28
29 T rata (oC)
30
31
4.1. 8. Kabupaten Subang Gambar 37. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Majalengka (kuadratik) Dibandingkan faktor iklim lain di kabupaten Majalengka, kelembaban udara merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi luas serangan. Hubungan terbaik diperoleh saat dilakukan analisis pada lag 2 ketika WBC berada pada fase telur, dengan nilai R2 sebesar 3.1% dan persamaan LS = 3.9- 0.388RH+ 0.00559 RH2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 2)
Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
214754
84701
242
39.441
0.286
2002
214754
84701
478
39.441
0.564
2003
214754
84701
3726
39.441
4.399
2004
214754
84701
76
39.441
0.090
2005
214754
83165
2036
38.726
2.448
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
1500
1200 Luas Serangan (Ha)
Tabel 16. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Subang
900
600
300
0 50
60
70 RH (%)
80
90
Gambar 38. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Majalengka (kuadratik)
Dari tabel 16 diketahui bahwa tingkat penggunaan lahan yang diperuntukkan untuk areal persawahan di kabupaten Subang cukup besar yaitu rata-rata 39%, sedangkan tingkat serangan WBC tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencakup 3726 ha sawah yang terserang atau mencapai lebih dari 4% dari total wilayah persawahan.
Curah hujan pada waktu musim hujan cenderung lebih mempengaruhi luas serangan di kabupaten Majalengka saat dilakukan analisis pada lag 1 (fase nimfa) dengan nilai R2 sebesar 2.4% dan persamaan LS = 1.33 + 0.0142 CH. Menurut hasil analisis regresi linier berganda, hubungan
17
Tabel 17. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Subang
1500
No 1.
1200
2. 3. 4. 5.
6.
7.
Tanpa lag 0.2%
Lag 1 3.7%
Lag 2 1.4%
8.1%
7.9%
8.7%
5.2%
8.7%
8.4%
0.5%
1.2%
0.4%
8.0%
1.8%
1.5%
5.2%
10.5%
0.6%
8.1%
9.1%
10.1%
Luas Serangan (Ha)
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 2)
900
600
300
0
Di kabupaten Subang, faktor iklim cukup berperan dalam meluasnya serangan WBC seperti terlihat pada hasil analisis regresi yang disajikan dalam tabel 17, peran suhu maksimum terlihat saat dilakukan analisis pada lag 1 ketika WBC berada pada fase nimfa yang mempunyai nilai R2 sebesar 3.7% dan memenuhi persamaan LS = 804 + 14.9 T max - 38.3 T max2.
21
22
23 T min (oC)
24
25
Gambar 41. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Subang (kuadratik) Analisis regresi kuadratik sederhana yang dilakukan antara luas serangan dan suhu rata-rata di kabupaten Subang menunjukkan bahwa hubungan terbaik diperoleh saat dilakukan analisis pada waktu tunda satu bulan (lag 1) ketika WBC berada pada fase nimfa yang memiliki nilai R2 sebesar 8.7% dan memenuhi persamaan LS = 135519.0Trata- 1.04Trata2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 1) 1500
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 1) 1200 Luas Serangan (Ha)
1500
Luas Serangan (Ha)
1200
900
900
600
300
600
0
300
25
26
27 T rata (oC)
28
29
0 29
30
31
32 T max (oC)
33
34
35
Gambar 40. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Subang (kuadratik) Untuk faktor suhu minimum, pengaruhnya terhadap luas serangan hampir sama, tetapi hubungan paling erat didapat saat dilakukan analisis pada lag 2, yaitu saat fase telur WBC. Ketika itu, koefisien determinasinya mencapai 8.7% dengan persamaan LS = 1541 - 43.6 T min - 20.7 T min2.
Gambar 42. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Subang (kuadratik) Kelembaban udara di kabupaten Subang tidak berpengaruh besar terhadap luas serangan, dari hasil analisis hubungan paling erat didapat saat dilakukan analisis pada waktu tunda satu bulan ketika WBC sedang menjadi nimfa dengan koefisien determinasi sebesar 1.2% dengan persamaan LS = 190 - 3.98 RH + 0.0304 RH2.
18
4.1. 9. Kabupaten Sukabumi
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 1)
Tabel 18. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Sukabumi
1500
Luas Serangan (Ha)
1200
900
Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
2001
428757
64019
140
14.931
0.219
2002
428757
65940
97
15.379
0.147
2003
428757
64574
566
15.061
0.877
2004
428757
65515
35
15.280
0.053
2005
428757
64970
1
15.153
0.002
600
300
0 65
70
75
80
85
90
RH (%)
Gambar 43. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Subang (kuadratik) Faktor curah hujan di kabupaten Subang paling mempengaruhi WBC adalah pada musim hujan saat stadia nimfa (waktu tunda satu bulan), nilai R2 saat lag 1 tersebut sebesar 10.5% dengan persamaan LS = 5.8 + 0.285 CH . Tetapi jika dilakukan analisis pada lag 2, pengaruh curah hujan langsung menurun hingga 0.6%. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (Lag 1) 1500
Luas Serangan (Ha)
1200
900
600
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Penggunaan lahan untuk sawah di kabupaten Sukabumi tidak dominan, hanya meliputi rata-rata 15% dari total wilayahnya seperti terlihat pada tabel 18. Tingkat serangan WBC juga tidak besar atau berbanding lurus dengan luas sawahnya. Serangan terluas terjadi pada tahun 2003 yang meliputi 566 ha atau sekitar 0.8% dari total wilayah persawahan di kabupaten Sukabumi. Tabel 19. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Sukabumi
300
0 0
100
200 300 CH MH (mm)
400
500
Gambar 44. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Subang (linier) Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, secara bersama-sama semua faktor iklim di kabupaten Subang mempunyai hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan analisis pada waktu tunda dua bulan (lag 2) ketika WBC masih berupa telur yang mempunyai koefisien determinasi sebesar 10.1% dan memenuhi persamaan LS = 431-121Tmax -144Tmin + 220Trata+ 10.5 RH- 0.550CH.
No 1.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max)
2.
Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musm Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
3. 4. 5. 6. 7.
Tanpa lag 4.5%
Lag 1 1.2%
Lag 2 16.7%
2.3%
3.3%
0.7%
5.8%
3.1%
15.7%
2.0%
3.6%
1.4%
0.0%
1.4%
1.5%
3.8%
0.0%
1.1%
9.4%
7.8%
26.6%
Tabel 19 menyajikan hasil analisis regresi yang telah dilakukan antara luas serangan dan faktor iklim. Dari tabel tersebut diketahui bahwa faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi luas serangan di kabupaten Sukabumi adalah suhu maksimum. Saat dilakukan analisis tanpa lag dan lag 1, peran suhu maksimum terhadap kehidupan WBC tidak begitu terlihat. Tetapi saat dilakukan analisis pada lag 2 ketika WBC masih berupa telur, peran suhu maksimum terlihat sangat nyata dengan koefisien determinasi mencapai 16.7% dan memenuhi persamaan LS = 55.7+ 0.11Tmax0.0628Tmax2. Hal yang sama terjadi pada
19
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (Lag 1) 150
120 Luas Serangan (Ha)
hasil analisis pada lag 2 antara luas serangan dan suhu rata-rata yang mempunyai nilai R2 sebesar 15.7% dan persamaan LS = 128 2.15 T rata - 0.107 T rata2. Hal ini dapat terjadi karena WBC membutuhan suhu udara yang lebih tinggi saat fase telur dibandingkan pada fase lainnya, sedangkan di kabupaten Sukabumi suhunya agak rendah.
90
60
30
0 19.0
19.5
20.0
20.5 21.0 T min (oC)
21.5
22.0
22.5
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (Lag 2)
Gambar 47. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)
150
Luas Serangan (Ha)
120
90
60
30
0 26
27
28
29 T max (oC)
30
31
32
Gambar 45. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Sukabumi (kuadratik)
Analisis pada waktu tunda satu bulan ketika WBC berada pada fase nimfa merupakan hubungan paling erat yang didapat saat meregresikan luas serangan dengan faktor kelembaban udara di kabupaten Sukabumi. Koefisen determinasinya sebesar 3.6% dengan persamaan LS = -2.5- 0.166 RH+ 0.00289RH2.
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (Lag 2) 120
120 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (Lag 1) 150
90
60
30
0
90
60
30 23
24
25 T rata (oC)
26
27 0 70
Gambar 46. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Sukabumi (kuadratik) Untuk faktor suhu minimum di kabupaten Sukabumi, pengaruhnya tidak sebesar suhu maksimum dan suhu rata-rata. Hubungan terbaik diperoleh saat dilakukan analisis pada lag 1 ketika WBC berada pada fase nimfa dengan nilai R2 sebesar 3.3% dan persamaan LS = 4.5 - 2.18 T min + 2.17 T min2.
75
80
85
90
95
RH (%)
Gambar 48. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Sukabumi (kuadratik) Faktor curah hujan saat musim hujan di kabupaten Sukabumi lebih berpengaruh terhadap luas serangan dibanding curah hujan saat musim kemarau. Hubungan terbaik diperoleh saat dilakukan analisis tanpa lag ketika terjadi serangan WBC (fase imago aktif). Nilai R2 saat itu sebesar 3.8% dengan persamaan LS = 3.26 +0.00348CH.
20
Tabel 21. Nilai R2 Luas Serangan versus faktor iklim di Kabupaten Tasikmalaya
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MH (tanpa lag)
Luas Serangan (Ha)
120
No 1.
90
2.
60
3. 30
4. 0 0
100
200
300
400 500 CH MH (mm)
600
700
800
5.
900
Gambar 49. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Sukabumi (linier) Jika dilakukan analisis regresi linier berganda antara luas serangan dengan semua faktor iklim yang dianalisis, maka hubungan terbaik diperoleh saat waktu tunda dua bulan ketika WBC masih berupa telur dengan koefisien determinasi mencapai 26.6% dan memenuhi persamaan LS = 162+29.8Tmax + 34.9Tmin - 70.5Trata +0.165RH- 0.0105CH. 4.1.10. Kabupaten Tasikmalaya Tabel 20. Perbandingan Luas Sawah dan Luas Sawah Terserang WBC Tahun 2001-2005 di Kabupaten Tasikmalaya Tahun
Luasan Admin (Ha)
Luasan Sawah (Ha)
Luasan Sawah Terserang WBC (Ha)
2001
293440
55574
27
18.939
0.049
2002
293440
40109
26
13.669
0.065
Persentase Sawah (%)
Persentase Sawah Terserang WBC (%)
6. 6.
Faktor Iklim Suhu maksimum (T max) Suhu minimum (T min) Suhu rata-rata (T rata) Kelembaban udara (RH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Curah Hujan Musim Hujan (CHMH) Semua faktor iklim diatas
Tanpa lag 1.7%
Lag 1 1.3%
Lag 2 1.2%
0.6%
0.6%
0.6%
1.0%
1.0%
1.0%
1.7%
0.1%
0.1%
0.0%
1.5%
3.1%
0.1%
0.6%
2.6%
8.0%
1.8%
8.9%
Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah endemik WBC terakhir yang dianalisis, hasil analisis tersaji pada tabel 21. Faktor suhu maksimum paling berperan terhadap luas serangan saat dilakukan analisis tanpa lag ketika WBC dewasa dengan nilai R2 sebesar 1.7% dan persamaan LS = - 677+ 43.7 Tmax- 0.70Tmax2. Sedangkan untuk faktor suhu minimum dan suhu rata-rata semua hasil analisis tanpa lag, lag 1 dan lag 2 mempunyai koefisien determinasi yang sama besar, yaitu masing-masing 0.6% dan 1.0%. Tetapi untuk memilih hubungan terbaik maka dilihat nilai S (residual)nya yang paling kecil yang dimiliki oleh hasil analisis tanpa lag (saat terjadi serangan) yang masing-masing sebesar LS = -117+ 9.9Tmin0.20Tmin2 dan LS = -312+ 22.7Trata0.40Trata2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T max (tanpa lag) 120
293440
49949
1860
17.022
3.724
2004
293440
56080
7
19.111
0.012
2005
293440
55884
17
19.044
0.030
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006)
Berdasarkan tabel 20, rata-rata tingkat penggunaan lahan untuk wilayah persawahan di kabupaten Tasikmalaya berkisar antara 13-19% dari total wilayahnya, untuk serangan WBC tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencakup 1860 ha atau hampir mencapai 4% dari total wilayah sawahnya.
100 Luas Serangan (Ha)
2003
80 60 40 20 0 27
28
29
30 31 T max (oC)
32
33
34
Gambar 50. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Maksimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik)
21
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T min (tanpa lag)
Hubungan Terbaik Luas Serangan dan CH MK (Lag 2)
120
100
80 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
100 80 60 40
40
20
20
0
0 18
19
20
21 T min (oC)
22
23
0
Gambar 51. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Minimum di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Hubungan Terbaik Luas Serangan dan T rata (tanpa lag) 120 100 Luas Serangan (Ha)
60
80 60 40 20 0 23
24
25
26
27
28
T rata (oC)
Gambar 52. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Suhu Rata-rata di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik)
100
200
300 CH MK (mm)
400
500
600
Gambar 54. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Curah Hujan di Kabupaten Tasikmalaya (linier) Semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama mempunyai hubungan paling erat dengan luas serangan ketika dianalisis pada lag 2, yaitu saat WBC masih berupa telur dengan koefisien determinasi sebesar 8.9% dan memenuhi persamaan LS = - 168 +96.0 Tmax +95.1Tmin- 188Trata +1.33RH -0.0209CH. Berdasarkan hasil analisis yang telah diperoleh, maka dapat dibuat tabel-tabel yang merupakan ikhtisar (rekapitulasi) sebagai berikut.
Faktor kelembaban udara di kabupaten Tasikmalaya mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa lag (saat terjadi serangan) dengan nilai R2 sebesar 1.7% dan memenuhi persamaan LS = -946+ 24.1RH- 0.152RH2. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan RH (tanpa lag) 120
Luas Serangan (Ha)
100 80 60 40 20 0 70
75
80 RH (%)
85
90
Gambar 53. Hubungan Terbaik Luas Serangan dan Kelembaban Udara di Kabupaten Tasikmalaya (kuadratik) Faktor curah hujan mempunyai hubungan paling erat terhadap luas serangan saat dilakukan analisis pada musim kemarau saat waktu tunda dua bulan (lag 2) ketika WBC berada pada fase telur dengan nilai R2 sebesar 3.1% dan persamaan LS = 4.790.0100CH.
22
Tabel 22. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda antara Luas Serangan dan Lima Faktor Iklim yang Berperan Terhadap Luas Serangan No
Kabupaten
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Subang Karawang Bekasi Indramayu Cirebon Majalengka Sukabumi Tasikmalaya Garut Cianjur
Koefisien determinasi (R2) 10.1 % (lag 2) 11.2 % (tanpa lag) 6.4 % (tanpa lag) 17.4 % (tanpa lag) 13.4 % (lag 2) 6.3 % (lag 2) 26.6 % (lag 2) 8.9 % (lag 2) 9.9 % (lag 1) 13.2 % (lag 2)
Persamaan
LS = 431-121Tmax -144Tmin + 220Trata+ 10.5 RH- 0.550CH LS = 72-435Tmax -435Tmin +875T rata -2.31RH- 0.082 CH LS = -1+257Tmax+282Tmin-531Trata-1.31RH-0.082CH LS = 5183+953Tmax+979Tmin -2155Trata+15.1RH -0.749CH LS = -11753+1421Tmax+1459Tmin-2751Trata+99.9RH -0.02 CH LS =-128-46.8Tmax-47.0Tmin+ 95Trata+1.36RH-0.0403 CH LS = 162+29.8Tmax+34.9Tmin -70.5Trata +0.165RH- 0.0105CH LS =-168+96.0 Tmax +95.1Tmin- 188Trata +1.33RH -0.0209CH LS =-0.9-6.2Tmax-3.9Tmin+12.1Trata-0.488RH+0.00494CH LS = 139+42.7Tmax+52.1Tmin -97.7Trata -0.371RH-0.0094CH
Tabel 23. Hasil Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan No
Kabupaten
1.
Subang
2.
Karawang
3.
Bekasi
4.
Indramayu
5.
Cirebon
6.
Majalengka
7.
Sukabumi
8.
Tasikmalaya
9.
Garut
10.
Cianjur
4.2
Faktor Iklim Paling Berperan Curah hujan musim hujan (linier) Curah hujan musim hujan (linier) Suhu maksimum (kuadratik) Curah hujan musim hujan (linier) Kelembaban udara (kuadratik) Kelembaban udara (kuadratik) Suhu maksimum (kuadratik) Curah hujan musim kemarau (linier) Curah hujan musim kemarau (linier) Suhu maksimum (kuadratik)
Uji Koefisien dalam Penentuan Peubah Suhu Yang Signifikan Terhadap Luas Serangan Dalam uji koefisien ini digunakan metode regresi stepwise untuk memilih peubah suhu yang memiliki korelasi yang lebih besar terhadap luas serangan. Regresi stepwise merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah regresi berganda yang peubah-peubah bebasnya memiliki korelasi yang kuat (Iriawan &Astuti, 2006) Kriteria yang digunakan adalah yang pertama dengan memilih nilai R2 adjusted yang terbesar dan selanjutnya dengan memilih p-value yang paling kecil (selengkapnya dapat dilihat di lampiran 5).
Koefisien determinasi (R2) 10.5 % (lag 1)
LS = 5.8 + 0.285 CH
12.8 % (lag 1)
LS = - 22.0+ 0.290CH
8.0 % (tanpa lag)
LS = 3275-237Tmax+4.27Tmax2
24.2 % (lag 1)
LS = - 33.2 + 0.658 CH
14.0 % (lag 2)
LS = -6499+ 35.2RH+ 0.508RH2
3.1 % (lag 2)
LS = 3.9- 0.388RH+ 0.00559 RH2
16.7 % (lag 2)
LS = 55.7+ 0.11Tmax- 0.0628Tmax2
3.1 % (lag 2)
LS = 4.79- 0.0100CH
18.3 % (lag 2)
LS = -3.09+ 0.0308 CH
6.4 % (lag 2)
LS = 37.6+ 1.22Tmax- 0.0999Tmax2
Persamaan
Tabel 22 menyajikan hasil analisis regresi linier berganda dimana semua faktor iklim yang dianalisis dimasukkan seluruhnya ke dalam persamaan regresi, namun setelah dilakukan regresi stepwise maka untuk tiap kabupaten terdapat variasi peubah suhu yang digunakan dalam persamaan regresinya, ada yang hanya satu peubah suhu yang digunakan, ada pula yang semua peubah suhu tetap dimasukkan ke dalam persamaan dan ada yang sama sekali tidak memasukkan peubah suhu karena dianggap tidak mempunyai pengaruh yang nyata (signifikan). Berikut hasil regresi stepwise untuk memilih peubah suhu yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap luas serangan.
23
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tabel 24. Hasil Regresi Stepwise Untuk Memilih Peubah Suhu Yang Signifikan Kabupaten Peubah Suhu Yang Persamaan Signifikan Subang T min LS = 431-144Tmin + 10.5 RH- 0.550CH Karawang T max, T min, T rata LS = 72-435Tmax -435Tmin +875T rata -2.31RH- 0.082 CH Bekasi T rata LS = -1-531Trata-1.31RH-0.082CH Indramayu T max, T min, T rata LS = 5183+953Tmax+979Tmin -2155Trata+15.1RH -0.749CH Cirebon T max, T min, T rata LS = -11753+1421Tmax+1459Tmin-2751Trata+99.9RH -0.02 CH Majalengka Tidak ada LS =-128+1.36RH-0.0403 CH Sukabumi T max, T min, T rata LS = 162+29.8Tmax+34.9Tmin -70.5Trata +0.165RH- 0.0105CH Tasikmalaya T max, T min, T rata LS =-168+96.0 Tmax +95.1Tmin- 188Trata +1.33RH -0.0209CH Garut T max LS =-0.9-6.2Tmax-0.488RH+0.00494CH Cianjur Tidak ada LS = -0.371RH-0.0094CH 4.3.
Analisis Perbandingan Hubungan Faktor Iklim dengan Luas Serangan WBC Berdasarkan Ketinggian 4.3.1. Ketinggian 0-100 mdpl Kabupaten yang termasuk pada kelompok ketinggian 0 -100 mdpl sebagian besar berada di daerah Pantura Jawa Barat, seperti Bekasi (20 mdpl), Cirebon (30 mdpl), Indramayu (20 mdpl), Karawang (15 mdpl). Majalengka (70 mdpl), dan Subang (10 mdpl). Berdasarkan data yang telah diperoleh selama periode 2001-2006, pada kelompok ketinggian 0-100 mdpl suhu rataratanya berkisar antara 21.60C hingga 30.40C. Sementara kelembaban udara berkisar antara 51% sampai 95%. Untuk curah hujan tertinggi pada kelompok ketinggian ini mencapai 705 mm/bulan. Luas serangan WBC di ketinggian inipun sangat tinggi, bahkan pernah menyerang lebih dari 10000 ha areal persawahan (Grafik fluktuasi berbagai faktor iklim dan luas serangan WBC tiap kabupaten selengkapnya di Lampiran 2). Dari hasil analisis regresi kuadratik sederhana, nilai koefisien determinasi terbaik untuk tiap kabupaten antara tiap faktor iklim dan luas serangan WBC di wilayah ketinggian ini rata-rata tidak terlalu tinggi. Untuk faktor suhu maksimum (T max), yang tertinggi terdapat di kabupaten Bekasi yaitu 8.0% (tanpa lag) dan yang terendah 1.2% (lag 1) di kabupaten Majalengka. Nilai keeratan tertinggi untuk faktor suhu minimum (T min) diperoleh di kabupaten Subang dengan 8.7% (lag 2) dan terendah 1.8% (tanpa lag) di kabupaten Majalengka. Selanjutnya, suhu rata-rata (T rata) memiliki nilai determinasi tertinggi di kabupaten Indramayu sebesar 11.7% (tanpa lag) dan terendah di kabupaten Majalengka sebesar 0.7% (tanpa lag).
Faktor kelembaban udara (RH) mempunyai nilai hubungan tertinggi dengan luas serangan adalah di kabupaten Cirebon sebesar 14.0% (lag 2), dan terendah di kabupaten Subang sebesar 1.2% (lag 1). Analisis regresi yang dilakukan untuk curah hujan (CH) yaitu analisis regresi linier sederhana, tetapi dilakukan berdasarkan musim (musim kemarau dan musim hujan). Nilai koefisien determinasi terbaik untuk kelompok ketinggian ini semuanya diperoleh jika dianalisis pada waktu musim hujan, yang tertinggi sebesar 24.2% (lag 1) di kabupaten Indramayu dan terendah 2.4% (lag 1) di kabupaten Majalengka. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian serangan WBC pada kelompok ketinggian ini cenderung terjadi di musim hujan daripada di musim kemarau dan sebagian besar WBC berada pada fase nimfa. Untuk analisis semua faktor iklim yang dianalisis sebelumnya (T max, T min, T rata, RH, CH) dilakukan dengan analisis regresi linier berganda. Nilai koefisien determinasi terbaik yang diperoleh berkisar antara 6.3% (lag 2) di kabupaten Majalengka hingga 17.4% (tanpa lag) di kabupaten Indramayu. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, pada kelompok ketinggian ini menunjukkan adanya keeratan hubungan yang cukup kuat antara faktor-faktor iklim terhadap luas serangan WBC. Kondisi iklim (terutama suhu dan kelembaban udara) dan topografi yang cukup memenuhi syarat bagi WBC untuk beraktivitas dan berkembangbiak membuat ledakan hama WBC sering terjadi, ditambah lagi areal persawahan yang sangat luas padai kelompok ketinggian ini. 4.3.2. Ketinggian 100-300 mdpl Pada kelompok ketinggian ini ada dua kabupaten endemik yang dianalisis, yaitu kabupaten Sukabumi (150 mdpl) dan
24
Tasikmalaya (300 mdpl). Suhu rata-rata di kelompok ketinggian ini bervariasi antara 23.00C hingga 27.70C, kelembaban udaranya antara 70%-95%, sedangkan curah hujan tertingginya mencapai 881 mm/bulan. Nilai koefisien determinasi terbaik untuk faktor suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, maupun kelembaban udara yang tertinggi seluruhnya diperoleh di kabupaten Sukabumi, yaitu masing-masing 16.7% (lag 2), 3.3% (lag 1), 15.7% (lag 2) dan 3.6% (lag 1), sedangkan di kabupaten Tasikmalaya hanya sebesar masing-masing 1.7% (tanpa lag), 0.6% (semua waktu tunda), 1.0% (semua waktu tunda) dan 1.7% (tanpa lag). Untuk faktor curah hujan, kabupaten Sukabumi mempunyai hubungan terbaik terhadap luas serangan pada waktu musim hujan, yaitu 3.8% (tanpa lag) yang berarti kejadian serangan WBC di kabupaten Sukabumi cenderung terjadi di musim hujan saat terjadi serangan (fase imago WBC). Sedangkan di kabupaten Tasikmalaya, kecenderungan terjadinya serangan WBC adalah pada musim kemarau saat fase telur, hal ini didukung oleh analisis yang dilakukan menunjukkan hubungan terbaik antara curah hujan dan luas serangan diperoleh saat musim kemarau, yaitu sebesar 3.1% (lag 2). Dalam hasil analisis regresi linier berganda diperoleh nilai R2 sebesar 8.9% (lag 2) di kabupaten Tasikmalaya, hingga mencapai 26.6% (lag 2) di kabupaten Sukabumi. Pengaruh lima faktor iklim di kabupaten Sukabumi yang sangat kuat bahkan paling besar terhadap luas serangan WBC dibandingkan kabupaten lainnya salah satu sebabnya adalah tata cara pengolahan pertanian termasuk teknik pengendalian WBC di kabupaten ini tidak seketat pengendalian di kabupaten-kabupaten di wilayah Pantura, sehingga menyebabkan faktor iklim lebih mempengaruhi serangan WBC. Berdasarkan hasil analisis tersebut, pada kelompok ketinggian ini pengaruh faktor iklim cukup besar terhadap luas serangan WBC. Kondisi iklim sesuai dengan syarat hidup WBC, tetapi karena keadaan topografi yang lebih berbukit-bukit serta areal persawahan yang terbatas menyebabkan luas serangan WBC pada kelompok ketinggian ini tidak besar.
4.3.3. Ketinggian lebih dari 300 mdpl Kabupaten endemik WBC yang berada pada kelompok ketinggian ini adalah kabupaten Garut (400 mdpl) dan Cianjur (900 mdpl). Suhu rata-rata berkisar antara 20.40C-27.70C, kelembaban udaranya antara 62% sampai 93% dan curah hujan tertingginya 881mm/bulan. Nilai koefisien determinasi terbaik untuk faktor suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata dan kelembaban udara yang tertinggi semuanya juga diperoleh di kabupaten Garut, masing-masing bernilai 7.0% (tanpa lag), 8.1% (lag 1), 8.5% (lag 1) dan 7.9% (tanpa lag). Sedangkan di kabupaten Cianjur sebesar masing-masing 6.4% (lag 2), 4.4% (lag 2), 3.6% (tanpa lag) dan 1.3% (lag 2). Kejadian serangan WBC pada kelompok ketinggian ini cenderung terjadi pada musim kemarau berdasarkan analisis curah hujan. Hubungan terbaik diperoleh di kabupaten Garut sebesar 18.3% (lag 2) dan 5.5% (lag 2) di kabupaten Cianjur. Hasil ini menunjukkan bahwa curah hujan sangat berpengaruh pada fase telur WBC. Untuk analisis regresi linier berganda, hubungan terbaik yang tertinggi justru diperoleh di kabupaten Cianjur, yaitu sebesar 13.2% (lag 2), sedangkan di kabupaten Garut sebesar 9.9% (lag 1). Menurut hasil analisis diatas, pada kelompok ketinggian ini peran iklim cukup berpengaruh terhadap luas serangan WBC. Kondisi iklim di wilayah ini sebenarnya sudah tidak terlalu sesuai bagi aktivitas dan perkembangan WBC, terutama suhu udaranya yang cukup rendah karena posisi ketinggiannya. Tetapi pada beberapa kasus, banyak WBC yang mampu bertahan dan beradaptasi pada suhu dibawah suhu optimumnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa setiap kabupaten endemik WBC memiliki fluktuasi faktor iklim yang mempengaruhi luas serangan yang berbedabeda tiap bulannya tergantung pada stadia WBC. Kabupaten Cirebon, Indramayu, Karawang dan Subang merupakan kabupaten yang terserang WBC paling sering dan paling luas. Setiap kabupaten endemik juga memiliki koefisien determinasi (R2) yang bervariasi berdasarkan faktor iklimnya. Nilai
25
koefisien determinasi (R2) yang diperoleh relatif kecil disebabkan oleh faktor data luas serangan WBC yang hanya menyerang pada bulan-bulan tertentu. Setiap stadia (fase) hidup WBC mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda-beda pada tiap kabupaten. Jika dikelompokkan berdasarkan curah hujan dan ketinggiannya, di dataran rendah (0-100 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim hujan, sedangkan di dataran tinggi (>300 mdpl) serangan WBC cenderung terjadi di musim kemarau. Dari hasil analisis diketahui faktor iklim yang paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan berturut-turut adalah curah hujan musim hujan, suhu maksimum, curah hujan musim kemarau, kelembaban udara, suhu rata-rata dan suhu minimum. Fase WBC yang paling dipengaruhi faktor iklim secara umum adalah telur dan imago. Ketidakkonsistenan pengaruh suhu dalam persamaan-persamaan regresi yang dihasilkan disebabkan oleh karena faktor suhu udara pada semua daerah kajian berada pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan WBC. Kabupaten endemik yang faktor iklimnya berperan paling besar terhadap luas serangan menurut analisis regresi linier berganda adalah kabupaten Sukabumi yang keeratannya mencapai 26.6% pada waktu tunda dua bulan (stadia telur). Hal ini dapat disebabkan tata cara pengolahan pertanian termasuk teknik pengendalian WBC di kabupaten ini tidak seketat pengendalian di kabupaten-kabupaten di wilayah Pantura yang luas serangannya lebih besar, sehingga pengaruh faktor iklim lebih kuat. Banyaknya pencilan data (outliers) yang terlihat pada gambar grafik-grafik regresi disebabkan oleh banyaknya faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan, misalnya ketersediaan tanaman inang (padi), Adanya musuh alami (predator) WBC, tata cara pengolahan pertanian dan lain-lain. 5.2 Saran Untuk analisis yang lebih dalam tentang WBC, data lain yang perlu dilengkapi adalah data populasi WBC dan luas tanam tiap musim tanam, sehingga dapat lebih menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap dinamika perkembangan WBC. Data faktor iklim dan luas serangan yang digunakan juga sebaiknya dalam jangka waktu yang lebih
panjang (>10 tahun) agar peramalan ledakan WBC dapat dilakukan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA [Deptan] Departemen Pertanian. 1992. Paket Teknologi Penerapan Pengendalian Hama Terpadu dalam Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman pada Padi dan Kedelai. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.Departemen Pertanian, Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.Departemen Pertanian. Jakarta Alissa, R.M. 1990. Tinjauan Agroklimatologi di Sentra Peramalan Hama Penyakit Tanaman Pangan JatisariCikampek. Laporan Praktek Lapang. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. http://www.deptan.go.id/ditlin-tp Hidayat, T. 2000. Analisis Hubungan Iklim dengan Populasi dan Luas Serangan Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) di Jatisari, Karawang. Laporan Praktik Lapang. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Iriawan, N. dan Astuti S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Koesmaryono, Y. 1985. Biologi Kutudaun Gandum (Rhopalosiphum padi, Linn)(homoptera:aphididae) di Dua Habitat dengan Iklim yang Berbeda. Tesis. Jurusan Agroklimatologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koesmaryono, Y. 1987. Pengaruh Iklim terhadap Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah dalam Training Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. IPB dan BKS-B, Bogor.
26
Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian.Orba Sakti, Bandung. Pedgley, D.E.1982. Windborne Pests and Diseases:Meteorology of Airborne Organisms.Research Meteorologist, Centre for Overseas Pest Research, London. Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Sogawa, K. 1971. Feeding Behaviors of The Brown Planthopper and Varietal Resistance of Rice to This Insect. Tropical Agriculture Research Center. Ministry of Agriculture and Forestry, Tokyo Subroto, S.W.G., Wahyudin, T. Hendarto, H.Sawada. 1992. Taksonomi dan bioekologi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Kerja Sama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta Sunjaya, P.I . 1970. Dasar-dasar Ekologi Serangga. Diktat tidak dipublikasikan. Bagian Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
27
Lampiran 1. Peta Sebaran Kabupaten Endemik WBC di Provinsi Jawa Barat
29
Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC dan Faktor Iklim di 10 Kabupaten Endemik WBC 2. Kabupaten Cianjur
1. Kabupaten Bekasi
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
140
140
120
120
Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2006
100 80 60 40 20 0
100 80 60 40 20 0
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
72
6
12
18
24
40 35 30 25 20 15 10 5 0
42
48
54
60
30
T min
66
T rata
T min
20
T rata
15 10 5 0
6
12
18 24
30 36
42 48 54
60
0
66
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 Bulan ke
Bulan ke
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2006 100
80
80 RH (%)
100
60 40
60 40 20
20
0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
0
66
6
12
18
24
600 CH (mm)
500 400 300 200 100 0 12
18
24
30
36
Bulan ke
36
42
48
54
60
66
60
66
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2006
6
30
Bulan ke
Bulan ke
0
72
T max
25
T max
0
RH (%)
36
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
Suhu (0C)
Suhu (0C)
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2006
CH (mm)
30
Bulan ke
Bulan ke
42
48
54
60
66
700 600 500 400 300 200 100 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
Bulan ke
30
4. Kabupaten Garut
3. Kabupaten Cirebon
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Garut Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Cirebon Tahun 2001-2006 60
9000
Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
10500
7500 6000 4500 3000 1500
50 40 30 20 10 0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
72
6
12
18
24
40 35 30 25 20 15 10 5 0
T min T max T rata
6
12
18 24
30
36
42 48
48
54
60
66
54
60
T max T rata
0
66
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Garut Tahun 2001-2006 100
80
80 RH (% )
100
60 40 20
60 40 20
0
0
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
Bulan ke
30
36
42
48
54
60
66
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Garut Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Cirebon Tahun 2001-2006 1000
800 700 600 500 400 300 200 100 0
CH (m m )
800 600 400 200 0
0
6
12
18
24
30
36
Bulan ke
72
T min
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Cirebon Tahun 2001-2006
RH (%)
42
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bulan ke
CH (mm)
36
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Garut Tahun 2001-2006
S uhu (0 C)
Suhu (0C)
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Cirebon Tahun 2001-2006
0
30
Bulan ke
Bulan ke
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
Bulan ke
31
6. Kabupaten Karawang
5. Kabupaten Indramayu Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2006
3500
Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
4000 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
72
6
12
18
24
30
T min T max T rata
12
18
24
30
36
42
48
54
60
Suhu (0 C)
Suhu (0 C)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 6
54
60
66
T max T rata
0
66
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2006 100
80
80 RH (%)
100
60 40 20
60 40 20
0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
Bulan ke
30
36
42
48
54
60
66
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2006 600
800
500 CH (mm )
1000
600 400 200
400 300 200 100
0
0 0
6
12
18
24
30
36
Bulan ke
72
T min
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2001-2006
RH (%)
48
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bulan ke
CH (mm)
42
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2001-2006
0
36
Bulan ke
Bulan ke
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
Bulan ke
32
8. Kabupaten Subang
7. Kabupaten Majalengka Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Subang Tahun 2001-2006 1000 Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
300 250 200 150 100 50
800 600 400 200
0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
0
6
12
18
24
Bulan ke
T max T rata
18 24
30 36
42 48
54 60
Suhu (0 C)
S uhu (0 C)
T min
12
54
60
66
66
T max T rata
0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 Bulan ke
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten SubangTahun 2001-2006 100
80
80 RH (% )
100
60 40 20
60 40 20
0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
Bulan ke
30
36
42
48
54
60
66
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Subang Tahun 2001-2006
800 700 600 500 400 300 200 100 0
600 CH (m m )
500 400 300 200 100 0 0
6
12
18
24
30
36
Bulan ke
72
T min
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2001-2006
RH (% )
48
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bulan ke
CH (m m )
42
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Subang Tahun 2001-2006
40 35 30 25 20 15 10 5 0 6
36
Bulan ke
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2001-2006
0
30
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
Bulan ke
33
10. Kabupaten Tasikmalaya
9. Kabupaten Sukabumi Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Sukabumi Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi Luas Serangan WBC Bulanan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2006
60
Luas Serangan (Ha)
Luas Serangan (Ha)
50 40 30 20 10
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
72
6
12
18
24
30
Bulan ke
35 30 25 20 15 10 5 0
T min T max T rata
6
54
60
66
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66
T max T rata
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2006 100
80
80 RH (% )
100
60 40 20
60 40 20
0
0
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
Bulan ke
30
36
42
48
54
60
66
Bulan ke
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2006
Grafik Fluktuasi CH Bulanan di Kabupaten Sukabumi Tahun 2001-2006 1000
800
800 CH (m m )
1000
600 400 200
600 400 200
0
0
0
6
12
18
24
30
72
T min
Grafik Fluktuasi RH Bulanan di Kabupaten Sukabumi
RH (% )
48
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bulan ke
CH (m m )
42
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2006
S uhu (0 C)
Suhu (0C)
Grafik Fluktuasi Suhu Bulanan di Kabupaten Sukabumi Tahun 2001-2006
0
36
Bulan ke
36
Bulan ke
42
48
54
60
66
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
Bulan ke
34
66
Lampiran 3. Hasil Output Minitab 14 Analisis Faktor Iklim yang Paling Berperan Terhadap Luas Serangan 1. Subang (Curah Hujan Musim Hujan)
Regression Analysis: Luas serangan versus CH MH Lag 1 The regression equation is Luas serangan 2 = 5.8 + 0.285 CH MH Lag 1 35 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant CH MH Lag 1
Coef 5.82 0.2850
S = 112.231
SE Coef 30.92 0.1451
R-Sq = 10.5%
T 0.19 1.96
P 0.852 0.058
R-Sq(adj) = 7.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 33 34
SS 48612 415662 464274
MS 48612 12596
F 3.86
P 0.058
Unusual Observations
Obs 12 24 35
CH MH Lag 1 521 493 333
Luas serangan 2 0.0 5.0 568.0
Fit 154.3 146.4 100.7
SE Fit 54.6 50.8 30.5
Residual -154.3 -141.4 467.3
St Resid -1.57 X -1.41 X 4.33R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
2. Karawang (Curah Hujan Musim Hujan)
Regression Analysis: Luas Serangan versus CH MH Lag 1 The regression equation is Luas Serangan 2 = - 22.0 + 0.290 CH MH Lag 1 35 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant CH MH Lag 1
Coef -22.00 0.2897
S = 102.493
SE Coef 29.60 0.1314
R-Sq = 12.8%
T -0.74 2.21
P 0.463 0.034
R-Sq(adj) = 10.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 33 34
SS 51099 346657 397756
MS 51099 10505
F 4.86
P 0.034
35
Unusual Observations
Obs 24 35
CH MH Lag 1 557 482
Luas Serangan 2 0.0 627.0
Fit 139.4 117.6
SE Fit 52.1 43.0
Residual -139.4 509.4
St Resid -1.58 X 5.47RX
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
3. Bekasi (Suhu Maksimum)
Regression Analysis: Luas Serangan versus T max, T max^2 The regression equation is Luas Serangan = 3275 - 237 T max + 4.27 T max^2 Predictor Constant T max T max^2
Coef 3275 -237.1 4.270
S = 126.545
SE Coef 2015 139.9 2.414
R-Sq = 8.0%
T 1.63 -1.70 1.77
P 0.109 0.095 0.081
R-Sq(adj) = 5.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 2 69 46 23 71
SS 95964 1104937 503317 601620 1200901
MS 47982 16014 10942 26157
F 3.00
P 0.057
0.42
0.994
34 rows with no replicates Source T max T max^2
DF 1 1
Seq SS 45867 50097
Unusual Observations
Obs 22 26 38 57
T max 33.6 24.1 24.1 33.1
Luas Serangan 10.0 0.0 3.0 1102.0
Fit 128.8 40.7 40.7 104.9
SE Fit 47.2 53.7 53.7 37.6
Residual -118.8 -40.7 -37.7 997.1
St Resid -1.01 X -0.36 X -0.33 X 8.25R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
4. Indramayu (Curah Hujan Musim Hujan)
Regression Analysis: Luas Serangan versus CH MH Lag 1 The regression equation is Luas Serangan 2 = - 33.2 + 0.658 CH MH Lag 1 35 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant CH MH Lag 1
Coef -33.17 0.6577
SE Coef 58.91 0.2027
T -0.56 3.24
P 0.577 0.003
36
S = 231.629
R-Sq = 24.2%
R-Sq(adj) = 21.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 33 34
SS 564769 1770520 2335288
MS 564769 53652
F 10.53
P 0.003
Unusual Observations
Obs 11 24 35 36
CH MH Lag 1 682 866 560 134
Luas Serangan 2 699.0 198.0 1195.0 797.0
Fit 415.4 536.4 335.1 55.0
SE Fit 102.1 137.2 79.8 42.6
Residual 283.6 -338.4 859.9 742.0
St Resid 1.36 X -1.81 X 3.95R 3.26R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
5. Cirebon (Kelembaban Udara)
Regression Analysis: Luas Serangan versus RH, RH^2 Lag 2 The regression equation is Luas Serangan = - 6499 + 35.2 RH + 0.508 RH^2 Lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant RH RH^2 Lag 2
Coef -6499 35.20 0.5082
S = 1165.50
SE Coef 2819 38.41 0.2264
R-Sq = 14.0%
T -2.31 0.92 2.25
P 0.024 0.363 0.028
R-Sq(adj) = 11.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 2 67 54 13 69
SS 14824662 91011746 90226024 785722 105836407
MS 7412331 1358384 1670852 60440
F 5.46
P 0.006
27.64
0.000
48 rows with no replicates Source RH RH^2 Lag 2
DF 1 1
Seq SS 7976807 6847855
Unusual Observations
Obs 9 55
RH 74.0 93.0
Luas Serangan 0 10172
Fit -308 1361
SE Fit 440 369
Residual 308 8811
St Resid 0.29 X 7.97R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
37
6. Majalengka (Kelembaban Udara)
Regression Analysis: Luas Serangan versus RH, RH^2 Lag 2 The regression equation is Luas Serangan = 3.9 - 0.388 RH + 0.00559 RH^2 Lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant RH RH^2 Lag 2
Coef 3.92 -0.3877 0.005591
S = 34.5417
SE Coef 37.19 0.5474 0.003818
R-Sq = 3.1%
T 0.11 -0.71 1.46
P 0.916 0.481 0.148
R-Sq(adj) = 0.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 2 67 64 3 69
SS 2565 79940 78258 1682 82505
MS 1282 1193 1223 561
F 1.07
P 0.347
2.18
0.288
65 rows with no replicates Source RH RH^2 Lag 2
DF 1 1
Seq SS 7 2558
Unusual Observations
Obs 56
RH 70.0
Luas Serangan 279.00
Fit 13.46
SE Fit 6.46
Residual 265.54
St Resid 7.83R
R denotes an observation with a large standardized residual.
7. Sukabumi (Suhu Maksimum) Regression Analysis: Luas Serangan versus T max, T max^2 Lag 2 The regression equation is Luas Serangan = 55.7 + 0.11 T max - 0.0628 T max^2 Lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T max T max^2 Lag 2 S = 8.49314
Coef 55.67 0.105 -0.06282
SE Coef 30.99 1.106 0.01808
R-Sq = 16.7%
T 1.80 0.10 -3.47
P 0.077 0.925 0.001
R-Sq(adj) = 14.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 2 67 66 1 69
SS 969.40 4832.94 4824.94 8.00 5802.34
MS 484.70 72.13 73.11 8.00
F 6.72
P 0.002
9.14
0.258
38
68 rows with no replicates Source T max T max^2 Lag 2
DF 1 1
Seq SS 98.97 870.43
Unusual Observations
Obs 4 5 7 17 48
Luas Serangan 29.00 28.00 56.00 20.00 26.00
T max 29.3 26.0 29.5 31.1 28.7
Fit 12.27 7.74 16.31 2.40 1.77
SE Fit 2.47 3.79 3.62 1.94 1.65
Residual 16.73 20.26 39.69 17.60 24.23
St Resid 2.06R 2.67RX 5.17RX 2.13R 2.91R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
8.
Tasikmalaya (Curah Hujan Musim Kemarau)
Regression Analysis: Luas Serangan versus CH MK Lag 2 The regression equation is Luas Serangan 1 = 4.79 - 0.0100 CH MK Lag 2 34 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant CH MK Lag 2
Coef 4.790 -0.009997
S = 7.98546
SE Coef 2.484 0.009940
R-Sq = 3.1%
T 1.93 -1.01
P 0.063 0.322
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 32 33
SS 64.50 2040.56 2105.06
MS 64.50 63.77
F 1.01
P 0.322
Unusual Observations
Obs 9 13 18
CH MK Lag 2 578 128 20
Luas Serangan 1 2.00 42.00 20.00
Fit -0.99 3.51 4.59
SE Fit 3.92 1.59 2.32
Residual 2.99 38.49 15.41
St Resid 0.43 X 4.92R 2.02R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
9. Garut (Curah Hujan Musim Kemarau)
Regression Analysis: Luas Serangan versus CH MK Lag 2 The regression equation is Luas Serangan 1 = - 3.09 + 0.0308 CH MK Lag 2 34 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant
Coef -3.094
SE Coef 2.876
T -1.08
P 0.290
39
CH MK Lag 2
0.03079
S = 9.24611
0.01151
R-Sq = 18.3%
2.68
0.012
R-Sq(adj) = 15.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 32 33
SS 611.75 2735.70 3347.44
MS 611.75 85.49
F 7.16
P 0.012
Unusual Observations
Obs 8 9
CH MK Lag 2 255 578
Luas Serangan 1 29.00 50.00
Fit 4.76 14.70
SE Fit 1.67 4.54
Residual 24.24 35.30
St Resid 2.67R 4.38RX
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
10. Cianjur (Suhu Maksimum) Regression Analysis: Luas Serangan versus T max, T max^2 Lag 2 The regression equation is Luas Serangan = 37.6 + 1.22 T max - 0.0999 T max^2 Lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T max T max^2 Lag 2 S = 14.9289
Coef 37.55 1.216 -0.09993
SE Coef 63.48 2.305 0.04730
R-Sq = 6.4%
T 0.59 0.53 -2.11
P 0.556 0.600 0.038
R-Sq(adj) = 3.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 2 67 61 6 69
SS 1020.1 14932.4 14930.9 1.5 15952.6
MS 510.1 222.9 244.8 0.3
F 2.29
P 0.109
979.08
0.000
59 rows with no replicates Source T max T max^2 Lag 2
DF 1 1
Seq SS 25.6 994.6
Unusual Observations Luas Obs T max Serangan 14 23.1 6.00 16 25.6 9.00 22 27.7 0.00 24 25.9 0.00 28 26.3 117.00 71 27.3 0.00
Fit 1.17 15.35 7.77 -7.63 10.52 -1.57
SE Fit 5.57 5.53 5.67 6.17 3.83 5.85
Residual 4.83 -6.35 -7.77 7.63 106.48 1.57
St Resid 0.35 X -0.46 X -0.56 X 0.56 X 7.38R 0.11 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
40
Lampiran 4. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Linier Berganda 1. Bekasi Regression Analysis: Luas Serangan versus T min, T max, T rata, RH, CH The regression equation is Luas Serangan = - 106 - 216 T min - 211 T max + 435 T rata - 1.82 RH + 0.061 CH Predictor Constant T min T max T rata RH CH
Coef -105.7 -216.1 -211.1 435.3 -1.817 0.0610
S = 130.537
SE Coef 281.6 288.0 287.8 575.3 2.344 0.1458
R-Sq = 6.4%
T -0.38 -0.75 -0.73 0.76 -0.78 0.42
P 0.709 0.456 0.466 0.452 0.441 0.677
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min T max T rata RH CH
DF 1 1 1 1 1
DF 5 66 71
SS 76271 1124630 1200901
MS 15254 17040
F 0.90
P 0.490
Seq SS 33965 12055 19801 7464 2986
Unusual Observations
Obs 14 24 57
T min 18.7 24.0 24.0
Luas Serangan 2.0 0.0 1102.0
Fit -1.4 22.0 81.5
SE Fit 67.1 67.6 32.8
Residual 3.4 -22.0 1020.5
St Resid 0.03 X -0.20 X 8.08R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
2. Cianjur Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas Serangan = 139 + 52.1 T min lag 2 + 42.7 T max lag 2 - 97.7 T rata lag 2 - 0.371 RH lag 2 - 0.0094 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
Coef 138.5 52.14 42.74 -97.74 -0.3709 -0.00939
SE Coef 102.0 30.04 30.65 61.53 0.3682 0.01222
T 1.36 1.74 1.39 -1.59 -1.01 -0.77
P 0.179 0.087 0.168 0.117 0.318 0.445
41
S = 14.7083
R-Sq = 13.2%
R-Sq(adj) = 6.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 5 64 69 DF 1 1 1 1 1
SS 2107.2 13845.4 15952.6
MS 421.4 216.3
F 1.95
P 0.099
Seq SS 637.6 578.0 591.0 172.7 127.8
Unusual Observations
Obs 24 28
T min lag 2 16.6 18.2
Luas Serangan 0.00 117.00
Fit -9.89 19.81
SE Fit 7.75 5.52
Residual 9.89 97.19
St Resid 0.79 X 7.13R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
3. Cirebon Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas Serangan = - 11753 + 1459 T min lag 2 + 1421 T max lag 2 - 2751 T rata lag 2 + 99.9 RH lag 2 - 0.02 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
Coef -11753 1459 1421 -2751 99.88 -0.025
SE Coef 6474 2178 2180 4373 35.73 1.017
S = 1196.97
R-Sq = 13.4%
T -1.82 0.67 0.65 -0.63 2.80 -0.02
P 0.074 0.505 0.517 0.531 0.007 0.981
R-Sq(adj) = 6.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 5 64 69 DF 1 1 1 1 1
SS 14141695 91694712 105836407
MS 2828339 1432730
F 1.97
P 0.094
Seq SS 89179 2390291 374239 11287126 859
42
Unusual Observations
Obs 5 41 42 55
T min lag 2 23.9 24.1 24.1 24.2
Luas Serangan 0 1 0 10172
Fit -457 -519 -196 1343
SE Fit 703 625 658 385
Residual 457 520 196 8829
St Resid 0.47 X 0.51 X 0.20 X 7.79R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
4. Garut Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 1, T max lag 1, ... The regression equation is Luas Serangan = - 0.9 - 3.9 T min lag 1 - 6.2 T max lag 1 + 12.1 T rata lag 1- 0.488 RH lag 1 + 0.00494 CH lag 1 71 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 1 T max lag 1 T rata lag 1 RH lag 1 CH lag 1
Coef -0.95 -3.89 -6.16 12.06 -0.4878 0.004943
SE Coef 71.33 16.24 16.59 32.60 0.5782 0.007210
S = 8.37485
R-Sq = 9.9%
T -0.01 -0.24 -0.37 0.37 -0.84 0.69
P 0.989 0.811 0.712 0.713 0.402 0.495
R-Sq(adj) = 2.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 1 T max lag 1 T rata lag 1 RH lag 1 CH lag 1
DF 5 65 70 DF 1 1 1 1 1
SS 498.80 4558.97 5057.77
MS 99.76 70.14
F 1.42
P 0.228
Seq SS 381.81 49.82 0.16 34.05 32.97
Unusual Observations
Obs 12 14 17 18
T min lag 1 22.0 22.2 23.2 23.2
Luas Serangan 29.000 29.000 29.000 50.000
Fit 1.268 5.230 7.518 7.386
SE Fit 2.222 2.939 2.258 2.683
Residual 27.732 23.770 21.482 42.614
St Resid 3.43R 3.03R 2.66R 5.37R
R denotes an observation with a large standardized residual.
43
5. Indramayu Regression Analysis: Luas Serangan versus T min, T max, T rata, RH, CH The regression equation is Luas Serangan = 5183 + 979 T min + 953 T max - 2155 T rata + 15.1 RH 0.749 CH Predictor Constant T min T max T rata RH CH
Coef 5183 979.2 953.1 -2155 15.11 -0.7489
S = 468.040
SE Coef 3267 752.7 760.3 1502 17.68 0.4723
R-Sq = 17.4%
T 1.59 1.30 1.25 -1.43 0.85 -1.59
P 0.117 0.198 0.214 0.156 0.396 0.118
R-Sq(adj) = 11.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min T max T rata RH CH
DF 1 1 1 1 1
DF 5 66 71
SS 3041341 14458050 17499391
MS 608268 219061
F 2.78
P 0.025
Seq SS 1149926 564216 665719 110801 550680
Unusual Observations
Obs 38 55
T min 21.6 21.7
Luas Serangan 18.0 3801.0
Fit 44.2 572.2
SE Fit 289.3 132.4
Residual -26.2 3228.8
St Resid -0.07 X 7.19R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
6. Karawang Regression Analysis: Luas serangan versus T min, T max, T rata, RH, CH The regression equation is Luas serangan = 72 - 435 T min - 435 T max + 875 T rata - 2.31 RH - 0.082 CH Predictor Constant T min T max T rata RH CH
Coef 71.7 -435.2 -435.2 875.3 -2.306 -0.0819
S = 137.255
SE Coef 296.1 302.8 302.6 604.9 2.465 0.1533
R-Sq = 11.2%
T 0.24 -1.44 -1.44 1.45 -0.94 -0.53
P 0.810 0.155 0.155 0.153 0.353 0.595
R-Sq(adj) = 4.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error
DF 5 66
SS 157236 1243365
MS 31447 18839
F 1.67
P 0.154
44
Total
71
Source T min T max T rata RH CH
DF 1 1 1 1 1
1400602
Seq SS 27802 15321 78659 30069 5385
Unusual Observations
Obs 14 24 32 56 57 62 68
T min 18.7 24.0 18.9 23.6 24.0 24.5 21.3
Luas serangan 12.0 0.0 385.0 580.0 703.0 627.0 363.0
Fit -29.5 57.8 94.3 138.6 136.5 94.7 85.0
SE Fit 70.6 71.0 36.9 33.2 34.5 42.6 45.3
Residual 41.5 -57.8 290.7 441.4 566.5 532.3 278.0
St Resid 0.35 X -0.49 X 2.20R 3.31R 4.26R 4.08R 2.15R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
7. Majalengka Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas Serangan = - 128 - 47.0 T min lag 2 - 46.8 T max lag 2 + 95 T rata lag 2+ 1.36 RH lag 2 - 0.0403 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
Coef -128.4 -47.00 -46.77 95.2 1.3622 -0.04031
SE Coef 175.4 63.36 64.72 127.8 0.8432 0.03065
S = 34.7498
R-Sq = 6.3%
T -0.73 -0.74 -0.72 0.74 1.62 -1.31
P 0.467 0.461 0.473 0.459 0.111 0.193
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 5 64 69 DF 1 1 1 1 1
SS 5221 77283 82505
MS 1044 1208
F 0.86
P 0.510
Seq SS 60 279 1454 1340 2088
Unusual Observations
Obs 24
T min lag 2 24.3
Luas Serangan 0.00
Fit -18.40
SE Fit 17.69
Residual 18.40
St Resid 0.62 X
45
56
23.5
279.00
22.19
8.73
256.81
7.64R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
8. Subang Regression Analysis: Luas serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas serangan = 431 - 144 T min lag 2 - 121 T max lag 2 + 220 T rata lag 2+ 10.5 RH lag 2 - 0.550 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
Coef 431 -143.6 -121.1 219.8 10.506 -0.5497
SE Coef 1503 292.8 299.9 587.5 8.951 0.2646
S = 158.871
R-Sq = 10.1%
T 0.29 -0.49 -0.40 0.37 1.17 -2.08
P 0.775 0.626 0.688 0.710 0.245 0.042
R-Sq(adj) = 3.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 5 64 69 DF 1 1 1 1 1
SS 181019 1615366 1796385
MS 36204 25240
F 1.43
P 0.224
Seq SS 45742 20451 5864 17 108944
Unusual Observations
Obs 16 56 57 62
T min lag 2 22.4 22.7 22.5 22.8
Luas serangan 0.0 905.0 681.0 568.0
Fit -6.6 127.8 127.8 91.9
SE Fit 108.4 34.2 43.0 27.6
Residual 6.6 777.2 553.2 476.1
St Resid 0.06 X 5.01R 3.62R 3.04R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
9. Sukabumi Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas Serangan = 162 + 34.9 T min lag 2 + 29.8 T max lag 2 - 70.5 T rata lag 2+ 0.165 RH lag 2 - 0.0105 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
46
Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
162.13 34.86 29.83 -70.50 0.1652 -0.010464
47.91 16.18 15.94 32.41 0.4244 0.007222
S = 8.15648
R-Sq = 26.6%
3.38 2.15 1.87 -2.18 0.39 -1.45
0.001 0.035 0.066 0.033 0.698 0.152
R-Sq(adj) = 20.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 5 64 69 DF 1 1 1 1 1
SS 1544.54 4257.80 5802.34
MS 308.91 66.53
F 4.64
P 0.001
SE Fit 1.706 4.972 3.019 2.052 1.936
Residual 19.508 29.957 15.362 20.095 26.489
Seq SS 3.35 1079.51 310.48 11.55 139.65
Unusual Observations
Obs 5 7 13 17 48
T min lag 2 21.8 20.0 21.8 22.0 21.4
Luas Serangan 28.000 56.000 19.000 20.000 26.000
Fit 8.492 26.043 3.638 -0.095 -0.489
St Resid 2.45R 4.63RX 2.03R 2.55R 3.34R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
10. Tasikmalaya Regression Analysis: Luas Serangan versus T min lag 2, T max lag 2, ... The regression equation is Luas Serangan = - 168 + 95.1 T min lag 2 + 96.0 T max lag 2 - 188 T rata lag 2+ 1.33 RH lag 2 - 0.0209 CH lag 2 70 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Constant T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
Coef -168.0 95.08 95.96 -188.45 1.331 -0.02095
SE Coef 177.0 40.21 41.09 80.72 1.442 0.01786
S = 20.7375
R-Sq = 8.9%
T -0.95 2.36 2.34 -2.33 0.92 -1.17
P 0.346 0.021 0.023 0.023 0.360 0.245
R-Sq(adj) = 1.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 64 69
SS 2673.4 27522.7 30196.1
MS 534.7 430.0
F 1.24
P 0.300
47
Source T min lag 2 T max lag 2 T rata lag 2 RH lag 2 CH lag 2
DF 1 1 1 1 1
Seq SS 35.9 18.4 1839.2 188.5 591.4
Unusual Observations
Obs 23 27
T min lag 2 22.0 22.0
Luas Serangan 0.00 170.00
Fit 8.36 17.62
SE Fit 10.54 5.89
Residual -8.36 152.38
St Resid -0.47 X 7.66R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
48
Lampiran 5. Hasil Output Minitab 14 Analisis Regresi Stepwise 1. Bekasi Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 -259.21
2 -280.06
T min T-Value P-Value
-287 -1.08 0.283
-9 -0.38 0.705
T max T-Value P-Value
-281 -1.05 0.296
T rata T-Value P-Value
577.3 1.09 0.280
19.3 0.89 0.375
11.5 1.65 0.104
129 5.48 1.31 4.0
129 3.94 1.15 3.1
129 3.74 2.36 1.3
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
3 -272.64
4 20.63
130 -0.00 0.00 1.9
2. Cianjur Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 -53.334
2 -77.787
3 -30.440
T min T-Value P-Value
41.7 1.38 0.171
2.4 1.07 0.290
2.0 0.92 0.361
T max T-Value P-Value
41.4 1.36 0.180
1.6 0.66 0.515
T rata T-Value P-Value
-80 -1.31 0.195
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
15.0 4.22 0.00 4.0
15.1 1.81 0.00 3.7
15.0 1.20 0.00 2.1
4 4.069
15.0 0.00 0.00 1.0
3. Cirebon Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
49
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 3486.3
2 3944.2
3 6582.9
T min T-Value P-Value
-2602 -1.21 0.231
-322 -1.70 0.093
-264 -1.45 0.150
T max T-Value P-Value
-2293 -1.06 0.291
T rata T-Value P-Value
4730 1.10 0.277
142 1.08 0.284
1209 6.11 1.97 4.0
1210 4.55 1.78 3.1
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
1212 2.93 1.55 2.3
4 228.9
1221 -0.00 0.00 2.4
4. Garut Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 -54.35
2 -55.90
T min T-Value P-Value
6.2 0.41 0.686
0.8 0.68 0.498
T max T-Value P-Value
6.65 0.45 0.656
1.39 1.48 0.143
1.73 2.19 0.032
T rata T-Value P-Value
-11 -0.35 0.724 8.26 7.06 4.36 2.1
8.23 6.43 5.09 0.6
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
8.31 7.23 3.14 4.0
3 -48.65
5. Indramayu Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant T min T-Value P-Value
1 5709
2 5673
3 5674
1169 1.56 0.123
50
T max T-Value P-Value
1191 1.61 0.111
46 0.52 0.606
T rata T-Value P-Value
-2568 -1.73 0.088
-257 -2.05 0.044
-204 -2.81 0.006
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
472 13.60 9.79 4.0
476 10.50 7.90 4.4
474 10.15 8.86 2.7
6. Karawang Stepwise Regression: Luas serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 -190.0
T min T-Value P-Value
-575 -2.05 0.045
T max T-Value P-Value
-567 -2.01 0.049
T rata T-Value P-Value
1151 2.05 0.045
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
137 8.69 4.67 4.0
7. Majalengka Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 37.502
2 28.438
3 38.479
-0.9 -0.32 0.752
T min T-Value P-Value
-96 -1.54 0.129
T max T-Value P-Value
-97.4 -1.55 0.125
-1.6 -0.21 0.836
T rata T-Value P-Value
192 1.54 0.128
1 0.09 0.927
4 7.653
51
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
35.1 3.51 0.00 4.0
35.5 0.16 0.00 4.4
35.2 0.14 0.00 2.4
35.0 -0.00 0.00 0.5
8. Subang Stepwise Regression: Luas serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 1281
2 1284
3 1138
T min T-Value P-Value
-72 -0.25 0.804
-46 -2.32 0.024
-47 -2.34 0.022
T max T-Value P-Value
-30 -0.10 0.917
-5 -0.25 0.802
T rata T-Value P-Value
51 0.09 0.930
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
158 7.37 3.29 4.0
156 7.36 4.68 2.0
155 7.28 5.95 0.1
9. Sukabumi Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72 Step Constant
1 80.317
2 61.693
3 61.250
T min T-Value P-Value
30 1.71 0.092
T max T-Value P-Value
29.8 1.72 0.090
0.2 0.15 0.880
T rata T-Value P-Value
-62.6 -1.78 0.080
-2.5 -0.97 0.333
-2.2 -1.28 0.205
8.97 6.36 2.22 4.0
9.09 2.32 0.00 4.9
9.03 2.29 0.89 3.0
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
4 4.111
9.07 -0.00 0.00 2.6
52
10. Tasikmalaya Stepwise Regression: Luas Serangan versus T min, T max, T rata Alpha-to-Enter: 0.05
Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Luas Serangan on 3 predictors, with N = 72
Step Constant
1 -32.274
2 -52.908
T min T-Value P-Value
71.7 1.92 0.059
0.5 0.17 0.862
T max T-Value P-Value
71.4 1.95 0.055
1.5 0.66 0.514
1.8 0.89 0.375
T rata T-Value P-Value
-142 -1.92 0.060 20.8 1.17 0.00 5.7
20.7 1.13 0.00 3.7
S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p
20.4 6.23 2.09 4.0
3 -48.229
4 4.431
20.6 -0.00 0.00 2.5
53