RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) TERHADAP TUJUH VARIETAS TANAMAN PADI
RAHMINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Respon Biologi Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) terhadap Tujuh Varietas Tanaman Padi” adalah hasil penelitian saya, dengan arahan dari komisi pembimbing selama mengikuti program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini belum pernah dipublikasi dalam bentuk apa pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka yang ada dalam disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Rahmini NIM: A361070041
ABSTRACT RAHMINI. Biological Responses of Brown Planthopper Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) on Seven Rice Varieties. Under supervision of PURNAMA HIDAYAT, ENDANG SRI RATNA, I WAYAN WINASA, and SYAFRIDA MANUWOTO Brown planthopper is one of the major pest on rice in Indonesia. Rice resistance is one of the components to control brown planthopper outbreak. The problem arises when brown planthopper could develop into new biotype that could adapt on previous resistant varieties. In developing new resistant varieties, it is necessary to understand the responses of the brown planthopper to the various rice varieties which have different level of resistance. The purposes of the researches were: (1) to study the biological responses of brown planthopper on biophysical factors of rice varieties; and (2) to study the biological responses of brown planthopper on biochemical factors of rice varieties. These studies were conducted in Research Station of the Indonesian Center for Rice Research, Muara-Bogor, the Indonesian Center for Biology and Genetic Research, Bogor, and the Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor during April 2010-May 2012. Several kinds of biological responses of brown planthopper to rice varieties were studied in terms adult settling preference, feeding activity trough honeydew test, and life performance through life table analysis. Biochemical factors such as sucrose and oxalic acid contents in some rice varieties were analyzed in the Indonesian Center for Biotechnology and Genetics. Microtechnique of rice tissues were prepared in the Indonesian Institute of Science, Cibinong -Bogor. Rice varieties such as TN1 (no resistance gene), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2, Bph3) and Inpari13 (unknown resistance gene) were used in this study. Adults showed same non-preference reactions to resistant varieties, included Inpari13 for settling. Physical factors such as thickness of epidermis were different between TN1 and PTB, IR64, but there were no differences among PTB33, IR64, IR74, IR42, IR26 ad Inpari13. Number of trichomes were not different among varieties studied. There were no contribution of epidermis thickness and number of trichomes in rice resistance to brown planthopper. Feeding activity of adult female was highest on susceptible TN1. The difference in feeding activity between biotype 2 and 3 was on IR64. The highest mortality occurred during the immature stages, especially in the first and second instars. The intrinsic rate of increase (rm), net reproductive rate (Ro) of brown planthopper were higher and shorter doubling time (DT) on susceptible variety such as TN1. High oxalic acid and low sucrose in the resistant variety such as PTB33 could play role in rice resistance to brown planthopper. Key words: biological response, brown planthopper, rice, biophysical factors, biochemical factors
RINGKASAN RAHMINI. Respon Biologi Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) terhadap Tujuh Varietas Tanaman Padi. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT, ENDANG SRI RATNA, I WAYAN WINASA, dan SYAFRIDA MANUWOTO Wereng batang cokelat (WBC) merupakan salah satu hama utama pada tanaman padi di Indonesia. Ketahanan tanaman padi merupakan salah satu komponen dalam pengendalian WBC. Masalah timbul ketika WBC dapat berkembang menjadi biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan tanaman padi tahan yang telah ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan varietas padi baru tahan wereng, diperlukan penelitian terhadap respon biologi WBC terhadap faktor-faktor ketahanan tanaman padi. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui respon biologi WBC terhadap faktor biofisik tanaman padi; 2) mengetahui respon biologi WBC terhadap faktor biokimia tanaman padi. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Fakultas Pertanian IPB di Bogor, dan Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Muara, Bogor, mulai bulan April 2010 hingga Mei 2012. Respon biologi WBC yang diamati meliputi preferensi hinggap, kemampuan makan dan reproduksi, serta analisis tabel kehidupan. Selain itu, sebagai faktor biokimia pendukung komponen pertahanan tanaman, dilakukan pengamatan terhadap kandungan sukrosa dan asam oksalat pada tanaman padi, serta analisis mikroteknik jaringan padi. Pengujian terhadap faktor biokimia dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Genetika, Bogor dan Laboratorium Sitogenetik dan Jaringan Tanaman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Wereng uji yang digunakan adalah WBC biotipe 2 dan 3 yang berasal dari stok biakan laboratorium BB Padi, sedangkan tanaman padi yang diujikan meliputi varietas TN1 (tanpa gen ketahanan), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2, Bph3) dan Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui). Kedua biotipe WBC cenderung hinggap pada varietas rentan yakni TN1, IR26, dan IR 42 dibandingkan varietas tahan atau relatif tahan yakni PTB 33, Inpari13, dan IR74. Preferensi tanaman ini diikuti dengan rerata jumlah peletakan telur 25.8 dan 36.1 butir/induk berturut-turut dihasilkan oleh WBC biotipe 2 dan 3 pada
varietas standar rentan TN1 serta 5.6 dan 7.1 butir/induk pada varietas standar tahan PTB33. Respon tersebut diduga berkaitan erat dengan ukuran ovipositor WBC yang nyata lebih kecil pada WBC biotipe 2 dibandingkan biotipe 3. Sebaliknya, jumlah trikhoma pada permukaan tanaman dan ketebalan jaringan epidermis batang tidak berpengaruh terhadap perilaku hinggap dan peletakan telur. Respon kemampuan makan WBC ditunjukkan dengan luasan bercak embun madu yang nilainya 23.1 dan 2.2 mm2/ekor berturut-turut dihasilkan oleh WBC biotipe 3 dan 2 pada varietas standar tahan PTB33 dibandingkan 132.3 dan 99.1 mm2/ekor pada varietas standar rentan TN1. Kematian WBC sebagian besar terjadi pada individu muda, dan mortalitas rendah pada umur lebih tua. Terjadi penundaan peneluran pada varietas tahan IR74, yaitu puncak peneluran dicapai pada hari ke-25 sebanyak 14,4 butir telur/induk, sedangkan pada varietas inang biotipe 3 yaitu IR42 terjadi pada hari ke-21 sebanyak 16 butir/induk, Kemampuan tumbuh dan berkembang WBC yang lebih tinggi pada TN1 diduga berkaitan erat dengan tingginya kadar sukrosa sebagai sumber nutrisi pakan dan rendahnya kadar asam oksalat sebagai bahan penghambat makan yang terkandung di dalam jaringan tanaman. Semua respon tersebut di atas diekspresikan lebih lanjut pada neraca kehidupan WBC. Pada tanaman standar rentan TN1, WBC memiliki laju pertumbuhan intrinsik dan laju reproduksi bersih yang tinggi, serta waktu penggandaan populasi relatif lebih pendek daripada varietas tahan IR74. Kata kunci: respon biologi, WBC, tanaman padi, faktor biofisik, faktor biokimia.
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya utuk kepentigan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) TERHADAP TUJUH VARIETAS TANAMAN PADI
RAHMINI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Disertasi
: Respon Biologi Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) terhadap Tujuh Varietas Tanaman Padi
Nama
: Rahmini
NIM
: A361070041
Program Studi
: Entomologi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Ketua
Dra. Endang Sri Ratna, Ph.D. Anggota
Dr.Ir. I Wayan Winasa, M.Si. Anggota
Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Pudjianto, M.S.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 31 Juli 2012
Tanggal Lulus
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, maka disertasi yang berjudul “Respon Biologi Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) terhadap Tujuh Varietas Tanaman Padi” dapat diselesaikan. Penelitian dan penulisan disertasi dapat terlaksana atas bimbingan dan arahan komisi pembimbing yaitu Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc, sebagai Ketua, Dra. Endang Sri Ratna, Ph.D, Dr.Ir. I Wayan Winasa, M.Si, Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc, masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas semua bimbingan dan arahan tersebut, penulis menyampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbangtan, Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Ketua Kelompok Peneliti Entomologi-Fitopatologi BB Padi yang telah menugaskan dan memberi kesempatan kepada penulis utuk melanjutkan pendidikan, serta Pemimpin dan staf Bendahara Badan Litbang Pertanian yang telah membantu mempermudah penyaluran dana pendidikan penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Kepala Kebun Percobaan BB Padi di Muara, Bogor atas fasilitas rumah kaca dan laboratorium yang digunakan selama penelitian, juga kepada KKP3T yang telah membiayai penelitian. Kepada Ketua dan seluruh staf dosen Program Studi EntomologiFitopatologi IPB, penulis menyampaikan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan, juga kepada Dr.Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si atas bantuan dokumentasi hasil penelitian. Kepada rekan-rekan Sekolah Pascasarjana Program Studi EntomologiFitopatologi, para staf dan rekan mahasiswa di Laboratorium Virologi, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi, serta Laboratorium Taksonomi, Program Studi Entomologi-Fitopatologi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, penulis menyampaikan terimakasih atas saran, bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang tak terhingga kepada Mamah, kakak-kakak, para keponakan atas doa yang tak putus, dorongan dan dukungannya, serta suamiku Kus Adrianto dan ananda Dani atas doa, pengertian dan pengorbanannya selama penulis mengerjakan dan menyeselesaikan pendidikan. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juli 2012 Rahmini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 Nopember 1970 dari ayah Abidin Gandaatmaja (Alm.) dan ibu Jenab. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandung pada tahun 1989, dan memulai kuliah pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran di tahun yang sama. Pada tahun 1995 menyelesaikan kuliah dan bekerja sebagai peneliti di Kelti Hama Penyakit, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Pudjianto, M.S. Dr. I Nyoman Widiarta
Penguji pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. Arifin Kartohardjono Dr. Ir. Teguh Santoso, D.E.A.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
xv
I
PENDAHULUAN ……….………………………………………… Latar Belakang …………………………………………………….. Perumusan Masalah ……………………………………………….. Kerangka Pemikiran …………………………….…………………. Hipotesis …………………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………….. Manfaat Penelitian ………………………………………..….…….
1 1 3 4 5 5 5
II
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… Biologi Wereng Batang Cokelat …………………………...……… Seleksi Tanaman Inang oleh Wereng Batang Cokelat …….....……. Mekanisme Ketahanan Tanaman …………………….……..……... Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Wereng Batang Cokelat Sebagai Dasar Pembentukan Perakitan Varietas Padi Tahan ……...
7 7 7 9 12
III
RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT TERHADAP KARAKTER BIOFISIK TANAMAN PADI ………. Abstrak ……………………..……………………………….……... Abstract …………………..………………………………….…….. Pendahuluan ……………………………..………………….……... Bahan dan Metode …………………………………………………. Hasil dan Pembahasan ……………………………………………... Kesimpulan …….……………………………………..…………… Daftar Pustaka …….……………………………………………..…
17
RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT TERHADAP BIOKIMIA TANAMAN PADI ……………………………………. Abstrak ……………………………………………………...……... Abstract …………………………..……………………….……….. Pendahuluan ……………………………...………………………... Bahan dan Metode …………………………………………………. Hasil dan Pembahasan ……………………………………………... Kesimpulan ….…………………………………..………………… Daftar Pustaka ………………………….…………………..………
31
IV
17 17 18 19 23 28 29
31 31 32 33 36 42 43
V
PEMBAHASAN UMUM ……….………………………………....
45
VI
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….
49
DAFTAR PUSTAKA …………………..…………………..……………
51
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
55
DAFTAR TABEL 3.1
Halaman Preferensi hinggap imago WBC pada berbagai varietas tanaman padi 23 dan pada waktu yang berbeda setelah dilepaskan ...............................
3.2 Preferensi peletakan telur WBC pada berbagai varietas tanaman padi
25
3.3 Luas ovipositor WBC biotipe 2 dan biotipe 3 berdasarkan morfometri ovipositor ……………………………………..…..………………….
26
3.4 Jumlah trikhoma dan tebal epidermis pada pelepah daun berbagai varietas tanaman padi ………………………………………………..
27
4.1 Kemampuan makan WBC pada berbagai varietas tanaman padi melalui uji embun madu …………………………..…………………
37
4.2 Nilai laju reproduksi bersih (R o ), periode rata-rata satu generasi (T), laju pertumbuhan intrinsik (r m ), dan waktu penggandaan populasi (DT) WBC biotipe 3 yang diinfestasi pada berbagai varietas tanaman padi ………………………………………………………..…………
40
4.3 Kadar Sukrosa dan asam oksalat pada berbagai varietas tanaman padi
41
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Skema faktor-faktor yang mempengaruhi respon WBC terhadap 5 ketahanan varietas tanaman padi. .…………………………………… 2.1 Perkembangan biotipe dan varietas tahan WBC di Indonesia ……....
14
3.1 Trikhoma pada permukaan pelepah daun varietas Inpari13 berdasarkan irisan membujur (perbesaran 200x) .………...………….
28
4.1 Skema pengujian embun madu ……..………………………………..
34
4.2 Kurva kelangsungan hidup (lx) WBC yang diinfestasikan pada berbagai varietas tanaman padi ……………………………………....
38
4.3 Peneluran harian WBC pada berbagai varietas tanaman padi (kurva mx) ……………………………………………………………….…..
39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran1. Aktivitas makan wereng cokelat biotipe3 berdasarkan uji ninhidrin pada berbagai varietas ……………………………
55
Lampiran 2. Aktivitas makan wereng cokelat biotipe 2 berdasarkan uji ninhidrin pada berbagai varietas …………………………
552
Lampiran 3. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas PTB3 ………….
56
Lampiran 4. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas IR74 …………..
574
Lampiran 5. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas IR64 …………..
585
Lampiran 6. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas IR42 ………….
596
Lampiran 7. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas IR26 ……..……
607
Lampiran 8. Neraca kehidupan biotipe 3 pada varietas TN1 …..………
618
1
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hama tanaman merupakan salah satu kendala yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah wereng batang cokelat (Nilapavarta lugens Stål). Hama ini menyerang berbagai varietas tanaman padi khususnya varietas unggul tipe baru (VUTB), padi hibrida yang diketahui rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman, serta padi varietas unggul baru (VUB) (Baehaki 2008). Adanya kebutuhan akan peningkatan produksi beras nasional, maka tanaman padi berdaya hasil tinggi dikembangkan seperti VUTB dan padi hibrida, meskipun padi tipe ini rentan terhadap wereng batang cokelat (WBC). Saat ini beberapa varietas VUTB berstatus agak tahan terhadap biotipe 3, sedangkan varietas hibrida berstatus rentan terhadap biotipe 3 (Suprihatno et al. 2010). Berkembangnya populasi WBC hingga terjadinya ledakan populasi, sering dikaitkan dengan penggunaan pestisida yang berlebihan, introduksi varietas unggul yang rentan terhadap WBC, serta pemupukan yang tinggi (Widiarta dan Suharto 2009). Di Indonesia, serangan serangga ini dilaporkan pertama kali pada tahun 1931-1940 (Baehaki dan Widiarta 2009). Hingga saat ini WBC masih merupakan masalah di pertanaman padi, seiring dengan berkembangnya biotipe WBC (Munawar dan Baehaki 2008). WBC hidup dengan mengisap cairan floem tanaman padi, yang mengakibatkan daun berubah warna menjadi kuning oranye sebelum menjadi cokelat, mengering dan kemudian mati. Kondisi ini, disebut “hopperburn” karena tanaman terlihat seperti terbakar. Perubahan yang terjadi pada tanaman akibat serangan WBC diantaranya adalah penurunan kandungan air (Cagampang et al. 1974), penurunan kandungan protein; ditunjukkan dengan perubahan bagian tanaman yaitu daun yang menjadi cokelat, dan mengandung 73% protein lebih rendah dari daun sehat (Sogawa 1971). Penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa WBC yang diinfestasikan pada tanaman padi menurunkan penyerapan nutrien oleh akar, terutama fosfor (P) dan potasium (K) (Wu et al. 2003). Salah satu penyebab hopperburn adalah berkurangnya laju translokasi fotosintat ke perakaran karena mengeringnya cairan floem dan gangguan transportasi dalam floem yang disebabkan proses penusukan stilet
2 WBC secara terus-menerus dan eksploitasi penyerapan cairan makanan (Sogawa 1982). Selain menyerang langsung tanaman padi, WBC juga dapat menularkan penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput yang disebabkan oleh virus (Hibino et al. 1977). WBC mempunyai keragaman genetik yang cukup luas serta relatif mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hama ini cepat beradaptasi dan dapat mematahkan ketahanan varietas yang semula bereaksi tahan. Penanaman varietas yang sama secara terus-menerus, pemakaian insektisida yang kurang bijaksana, dan sanitasi yang kurang baik akan mendorong munculnya biotipe baru WBC (Harahap et al. 1987, Hanarida 1998, Soewito et al. 1995). Biotipe WBC didefinisikan sebagai suatu populasi serangga yang memiliki reaksi yang sama terhadap suatu varietas tanaman (Bernays dan Chapman 1994). Varietas tanaman padi tahan dikembangkan berdasarkan pemanfaatan ketahanan alami beberapa varietas padi dan padi liar terhadap WBC. Berbagai ketahanan tanaman padi terhadap WBC ditentukan oleh berbagai gen dalam bentuk pertahanan biofisik dan biokimia. Ketahanan varietas padi terhadap hama WBC ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor biofisik seperti ketebalan jaringan tanaman, adanya trikhoma dan faktor biokimia seperti nutrisi atau interaksi kedua faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi aktivitas makan yang menentukan asupan nutrisi, yang pada gilirannya berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan wereng, kemampuan bertahan hidup dan produksi telur. Yoshihara et al. (1980) mengemukakan bahwa perilaku makan berkaitan erat dengan kandungan asam oksalat pada tanaman padi. Asam amino, sukrosa juga diketahui merupakan stimulan makan WBC pada tanaman padi (Chen 2009). Penggunaan varietas tahan dalam pengendalian hama dianggap cara yang relatif murah dan ramah lingkungan. Supaya ketahanan terhadap WBC tidak mudah dipatahkan, penggunaan varietas tahan dilakukan dengan pola pergiliran tanaman. Pola pergiliran tanaman tersebut didasarkan atas perbedaan gen ketahanan yang dikandungnya. Varietas tanpa gen ketahanan, rentan terhadap semua biotipe WBC. Varietas dengan gen Bph 1 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 3, tetapi rentan terhadap biotipe 2 dan 4. Varietas yang memiliki gen bph 2
3 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 2, tetapi rentan terhadap biotipe 3 dan 4 (Baehaki 2005). Ketahanan tanaman inang, dalam hal ini tanaman padi, menimbulkan pengaruh pada respon WBC selanjutnya pada pertumbuhan dan perkembangan WBC. WBC yang dikurung dengan varietas padi Mudgo menyebabkan mortalitas tinggi, pertumbuhan lambat, ukuran tubuh kecil, dan fekunditas yang rendah (Kazushige dan Pathak 1970). Komponen ketahanan pada tanaman padi, misalnya yang terdapat pada Ratthu Heenati (RH) yaitu terletak dalam
floem,
sedangkan
ketahanan
pada
varietas
IR46
menyebabkan
meningkatnya penusukkan oleh WBC pada permukaan tanaman padi, hal ini dihubungkan dengan terdapatnya lilin dari permukaan tanaman (Woodhead dan Padgham 1988). Hasil penelitian pada varietas padi dari Sri Lanka, diketahui schaftosid dan isoschaftosid yang merupakan senyawa fenol pada floem padi dan bersifat antifidan terhadap WBC. Zat tersebut lebih banyak terdapat pada padi tahan dibanding padi rentan (Stevenson et al. 1996). Genetik hama merupakan faktor internal pengendali perkembangan biotipe WBC, apabila ditanam varietas padi tahan terhadap satu biotipe secara terus-menerus, maka pada beberapa musim berikutya WBC telah sanggup membentuk biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan varietas padi tersebut. Adaptasi WBC terhadap varietas tanaman padi ditunjukkan melalui perubahan produksi embun madu, berat tubuh, kelangsungan hidup dan reproduksi (Chen 2009). WBC juga dapat beradaptasi terhadap varietas tahan dalam beberapa generasi melalui pemeliharaan terus-menerus di laboratorium. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang mendasari interaksi WBC dan tanaman padi adalah sangat penting. Perumusan Masalah Penggunaan varietas tahan hama merupakan salah satu teknik pengendalian yang digunakan karena relatif murah, mudah diterapkan, dan tidak mencemari lingkungan. Adanya varietas padi tahan dianggap sebagai penyebab perubahan kemampuan populasi WBC dalam menginfestasi tanaman padi. Di lapangan, dengan adanya pertanaman padi yang mengandung gen tahan secara terusmenerus dapat mempercepat timbulnya biotipe baru atau mempercepat terjadinya kepatahan varietas tahan. WBC diketahui memiliki ketahanan beragam sesuai
4 dengan responnya terhadap berbagai varietas padi yang mengandung faktor ketahanan yang berbeda, sehingga selalu menimbulkan masalah, baik dalam pemuliaan varietas padi maupun penggunaan varietas secara luas. Tanaman tahan secara genetik menghasilkan kondisi tanaman yang menyebabkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan hama tidak optimal. Sifatsifat yang perlu diamati pada mekanisme antisenosis, antara lain adalah preferensi nimfa untuk berkoloni, preferensi imago untuk makan, dan preferensi imago untuk oviposisi. Berdasarkan mekanisme antibiosis, respon serangga yang diamati adalah uji embun madu, lama hidup nimfa dan waktu yang diperlukan hingga mencapai dewasa. Selain itu, dilakukan pengamatan terhadap faktor-faktor ketahanan dari tanaman padi yang diuji diantaranya analisa jaringan dan biokimia tanaman padi dengan berbagai tingkat ketahanan yang berkaitan dengan preferensi hinggap dan perilaku makan, Kerangka Pemikiran Fungsi tanaman inang bagi herbivora antara lain adalah sebagai tempat makan, hidup, serta peletakan telur (Schoonhoven et al. 2005). Seleksi tanaman inang oleh herbivora dipengaruhi oleh zat kimia tanaman yang dinamakan senyawa kimia sekunder (Fraenkel 1959). Kennedy (1965) menyatakan bahwa seleksi tanaman inang adalah berdasarkan respon arthropoda terhadap zat nutrien dan non-nutrien tumbuhan. Secara alami, tumbuhan memiliki ketahanan terhadap herbivora. Faktor ketahanan inilah yang digunakan para pemulia untuk mengembangkan padi tahan WBC. Di Indonesia pengembangan padi tahan dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian, dan telah menghasilkan berbagai varietas yang memiliki ketahanan terhadap WBC. Sebelum tahun 2006 pengujian galur-biotipe Bph1, bph2, atau keturunan Bph1+, juga disiapkan varietas yang memiliki ketahanan terhadap biotipe 3. Untuk mengatasi cepatnya kepatahan pada varietas yang memiliki satu gen ketahanan, dikembangkan varietas-varietas yang memiliki ketahanan terhadap lebih dari satu gen ketahanan (ketahanan horizontal), varietas ini dianggap dapat mempertahankan ketahanan lebih panjang karena tekanan seleksi yang terjadi tidak setinggi pada varietas dengan satu gen ketahanan. Penggunaan varietas dengan ketahanan vertikal akan menyebabkan tekanan seleksi yang kuat terhadap hama sehingga dapat menimbulkan biotipe hama
5 baru dengan daya serang yang lebih kuat (Sharma et al. 2002). Keberhasilan varietas tahan dibatasi dengan timbulnya biotipe baru yang dapat hidup, berkembang, dan selanjutnya dapat mematahkan varietas yang semula tahan (Bahagiawati dan Samudra 1998). Keadaan ini perlu dihindari agar varietas tahan dapat bertahan dalam waktu lama, salah satu upaya adalah dengan mengelola tanaman tahan yaitu melakukan pergiliran tanaman tahan dengan mekanisme resistensi yang berbeda. Tanaman tahan dengan mekanisme resistensi berbeda menimbulkan respon WBC yang berbeda. Faktor-faktor yang memengaruhi respon biologi wereng batang cokelat terhadap berbagai tingkat ketahanan tanaman padi: TN1 (tanpa gen ketahanan); IR26 (gen Bph1); IR42 (geb bph2); IR64 (gen Bph1+); IR74 (gen Bph3); PTB33 (gen bph2 + Bph3); Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui)
pertahanan tanaman: biokimia dan biofisik biokimia: penarik/atraktan --> sukrosa penolak/deteren --> asam oksalat
biofisik: ketebalan epidermis jumlah pembuluh jumlah trikhoma
respon biologi WBC: preferensi hinggap aktivitas makan jumlah telur yang diletakkan, waktu generasi, laju pertumbuhan populasi
Gambar 1.1 Skema faktor-faktor yang mempengaruhi respon WBC terhadap ketahanan varietas tanaman padi. Keterangan: arah panah menunjukkan pengaruh faktor pertahanan tanaman padi terhadap respon biologi WBC Ketahanan tanaman padi terhadap WBC ditentukan oleh berbagai gen dalam bentuk pertahanan biokimia dan biofisik (Gambar 1.1), pada gilirannya ketahanan ini akan mempengaruhi perilaku maupun metabolism WBC meliputi preferensi, aktivitas makan, pertumbuhan dan perkembangan, serta jumlah telur yang diletakkan, yang kemudian akan menentukan laju pertumbuhan populasi. Untuk memahami respon WBC terhadap tanaman padi, langkah-langkah penelitian dibagi menjadi:
6 1. Respon biologi WBC terhadap faktor biofisik tanaman padi pada 7 varietas padi dengan berbagai tingkat ketahanan; pengamatan dilakukan terhadap preferensi hinggap dan preferensi oviposisi. 2. Respon biologi WBC terhadap faktor biokimia tanaman padi pada 7 varietas tanaman padi dengan berbagai tingkat ketahanan; pengamatan dilakukan terhadap kemampuan hidup nimfa dan waktu yang diperlukan hingga mencapai dewasa, tingkat mortalitas imago, waktu penggandaan populasi dan kesesuaian makan melalui uji embun madu WBC. Hipotesis 1. Faktor biofisik tanaman padi berpengaruh terhadap respon biologi WBC seperti preferensi hinggap dan tempat oviposisi WBC. 2. Faktor biokimia tanaman padi berpengaruh terhadap respon biologi WBC yang diamati melalui kemampuan hidup nimfa dan waktu yang diperlukan hingga mencapai dewasa, tingkat mortalitas imago, waktu penggandaan populasi dan kemampuan makan melalui uji embun madu WBC. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui respon biologi WBC terhadap faktor biofisik varietas tanaman padi yaitu preferensi hinggap dan oviposisi WBC. 2. Mengetahui respon biologi WBC terhadap faktor biokimia varietas tanaman padi yaitu kemampuan makan melalui uji embun madu WBC, kemampuan hidup melalui analisis neraca kehidupan. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat mengetahui respon biologi WBC terhadap faktor biofisik dan biokimia beberapa varietas tanaman padi sehingga pengelolaan penggunaan varietas tahan dapat dilakukan. Hal tersebut dicapai melalui informasi mengenai kebugaran WBC melalui hasil penelitian analisis fisiologi WBC dan analisis jaringan dan biokimia jaringan batang tanaman inang. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi metode penapisan ketahanan varietas tanaman uji terhadap serangan biotipe WBC yang umum diberlakukan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Wereng Batang Cokelat Nimfa WBC dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter. Serangga brakhiptera memiliki waktu preoviposisi lebih pendek yaitu 3.8 hari dibanding makroptera yaitu 7.2 hari (Mochida dan Okada 1979). WBC berkembangbiak secara seksual, masa pra-peneluran 3-4 hari untuk brakhiptera dan 3-8 hari untuk makroptera. Telur biasanya diletakkan pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi kalau populasinya tinggi telur diletakkan di ujung pelepah dan tulang daun. Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir. Satu ekor betina mampu meletakkan telur 100-500 butir. Telur menetas setelah 7-10 hari. Muncul wereng muda yang disebut nimfa dengan masa hidup 12-15 hari yang terdiri dari 5 instar nimfa dan setelah fase ini menjadi wereng dewasa (Baehaki dan Widiarta 2009). Seleksi Tanaman Inang oleh WBC Hubungan herbivora dan inangnya berkaitan dengan fungsi tanaman inang yaitu sebagai tempat makan, hidup, serta peletakan telur tersebut bagi herbivora. (Schoonhoven et al. 2005). Seleksi tanaman inang oleh herbivora dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor biokimia tanaman (Smith 2005). Secara alami, tumbuhan memiliki ketahanan terhadap herbivora. Ketahanan inilah yang digunakan para pemulia untuk mengembangkan padi tahan WBC. Kekhususan tanaman inang merupakan karakteristik wereng dari Famili Delphacidae. Di lapangan, kelimpahan WBC pada awalnya sama diantara varietas tanaman padi dan tanaman lain, hal ini menunjukkan bahwa WBC tidak memperlihatkan preferensi hinggap (Cook dan Perfect 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan tanaman terhadap WBC tergantung pada senyawa kimia dalam floem karena penolakan terhadap tanaman terjadi setelah pengisapan cairan dalam floem (Sogawa dan Pathak 1970, Sogawa 1982). Seleksi tanaman
8 inang oleh WBC dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi atau pertahanan kimia tanaman. Seleksi tanaman inang berkaitan dengan senyawa kimia dalam floem, dan rendahnya stimulan makan dalam tanaman padi (Cook dan Denno 1994). Hasil penelitian pada varietas Mudgo (Bph1), asam silisik dan asam oksalat mencegah berlanjutnya proses makan oleh WBC (Yoshihara et al.1980). Asam fenol pada tanaman tahan berkaitan dengan ketidakmampuan WBC untuk menemukan dan mengisap cairan floem. Selain itu, WBC menolak varietas padi yang mengandung sedikit asam amino esensial dalam floem (Sogawa 1982). WBC yang dikurung dengan varietas padi Mudgo menyebabkan pertumbuhan lambat, berukuran tubuh kecil, fekunditas yang rendah, dan menyebabkan terjadinya mortalitas (Kazushige dan Pathak 1970). Terdapat dua komponen utama ketahanan padi terhadap serangga hama WBC. Pertama pada floem, termasuk yang terdapat pada varietas tahan Ratthu Heenati (RH). Stevenson et al. (1996) mengemukakan bahwa terdapat ketahanan biokimia dalam floem varietas tahan Ratthu Heenati (RH), dengan adanya schaftosid, isoschaftosid, dan apigenin-C-glycosides total (seluruhnya merupakan Cglycosidic flavonoid) dalam konsentrasi yang tinggi. Mortalitas WBC meningkat dengan meningkatnya konsentrasi schaftosid. Mekanisme yang berasal dari RH diduga merupakan efek antifidan daripada efek toksik. Komponen ketahanan kedua adalah ketahanan biofisik, yaitu pertahanan tanaman berupa karakteristik permukaan tanaman (Panda dan Khush 1995). Pada varietas IR46 (Bph1), kandungan lilin pada permukaan daun menghambat perilaku makan WBC, yaitu WBC harus berkali-kali menusukkan stiletnya untuk mencapai floem (Stevenson et al. 1996). Selain itu, asam silisik dikenal merupakan inhibitor makan yang kuat terhadap WBC, zat ini terletak pada sel-sel parenkim padi (Denno dan Roderick 1990). Varietas standar tahan PTB33 mengandung lipid permukaan lebih tinggi dibandingkan varietas standar rentan TN1 dan mempengaruhi perilaku makan WBC, yaitu menyebabkan lama pengisapan yang lebih pendek dan mobilitas yang lebih tinggi (Nugaliyadde dan Wilkins 2012).
9 Mekanisme Ketahanan Tanaman Ada 4 strategi dasar yang digunakan tanaman untuk pertahanan dirinya guna mengurangi kerusakan akibat serangan serangga herbivor, yaitu: 1) escape atau menghindari serangan serangga berdasarkan waktu atau tempat, misalnya tumbuh pada tempat yang tidak mudah diakses oleh herbivor atau menghasilkan bahan kimia penolak herbivor (repellent); 2) tanaman toleran terhadap herbivor dengan cara mengalihkan herbivor untuk makan bagian yang tidak penting bagi tanaman atau mengembangkan kemampuan untuk melakukan pemulihan dari kerusakan akibat serangan herbivor; 3) tanaman menarik datangnya musuh alami bagi herbivor yang dapat melindungi tanaman tersebut dari serangan herbivor, dan terakhir 4) tanaman melindungi dirinya sendiri melalui mekanisme pertahanan kimia atau fisik seperti menghasilkan toksin yang dapat membunuh herbivor atau dapat mengurangi kemampuan herbivor untuk mencerna tanaman itu yang sering disebut dengan antibiosis (Painter 1951). Oleh karena itu suatu varietas tanaman dapat disebut tahan apabila: (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan; (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama; (3) memiliki sekumpulan sifat genetik yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang; atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno 1992). Painter (1951) membagi mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu: a). Ketidaksukaan (non-preferences) yang kemudian istilah tersebut diganti dengan antisenosis atau menolak kehadiran serangga pada tanaman. Bentuk mekanisme ketahanan antisenosis dibagi dalam dua kelompok, yaitu: antisenosis kimiawi, menolak kerana adanya senyawa allelokimia dan antisenosis fisik, menolak karena adanya struktur atau sifat morfologi tanaman.
10 b). Antibiosis yaitu sifat ketahanan yang memberi pengaruh
fisiologis yang
merugikan pada serangga, yang merupakan akibat dari serangga yang makan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala-gejala akibat antibiosis pada serangga diantaranya adalah: kematian larva atau pradewasa, pengurangan laju pertumbuhan, peningkatan mortalitas pupa, kegagalan pupa menjadi dewasa, imago tidak normal dan fekunditas serta fertilitas rendah, masa hidup serangga berkurang, terjadi malformasi, kegagalan mengumpulkan cadangan makanan dan kegagalan hibernasi, perilaku gelisah dan abnormalitas lainnya. Menurut Kogan dan Ortman (1978) gejala-gejala abnormal tersebut terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: adanya metabolit toksik pada jaringan tanaman seperti alkaloid, glukosid dan quinon, tidak ada atau kurang tersedianya unsur nutrisi utama bagi serangga, ketidakseimbangan perbandingan unsur-unsur nutrisi yang tersedia, adanya antimetabolit yang menghalangi ketersediaan beberapa unsur nutrisi bagi serangga, dan adanya enzim-enzim yang mampu menghalangi proses pencernaan makanan dan pemanfaatan unsur nutrisi oleh serangga. Contoh beberapa kasus antibiosis, antara lain: pengurangan kadar asparagin (Chen 2009) pada varietas yang tahan terhadap WBC. c). Toleran merupakan respon tanaman terhadap serangga, sehingga beberapa ahli tidak memasukannya dalam ketahanan. Beberapa faktor yang mengakibatkan tanaman toleran terhadap serangan hama, adalah: kekuatan tanaman secara umum, pertumbuhan kembali jaringan tanaman yang rusak, ketegaran batang dan ketahanan terhadap rebah, produksi cabang tambahan, pemanfaatan lebih efisien oleh serangga dan kompensasi lateral oleh tanaman tetangganya. Sifat-sifat Ketahanan Tanaman Ketahanan tanaman inang terhadap hama, dapat bersifat genetik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan, dan ketahanan ekologi, yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan (Kogan 1982).
11 Ketahanan Genetik Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe: (1) ketahanan vertikal, ketahanan hanya terhadap satu biotipe hama, dan biasanya bersifat sangat tahan tetapi mudah patah oleh munculnya biotipe baru; (2) ketahanan horizontal atau ketahanan umum, ketahanan terhadap banyak biotipe hama dengan derajat ketahanan yang tidak tinggi (agak tahan); dan (3) ketahanan ganda, memiliki sifat tahan terhadap beberapa jenis hama. Varietas-varietas padi yang dilepas di Indonesia, sebagian besar tidak diketahui gen ketahanannya. Varietas Ciherang dilepas tahun 2000 misalnya, merupakan hasil persilangan IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1 dengan IR64. Berdasarkan hasil pengujian penapisan, varietas ini tahan terhadap biotipe 2 dan agak tahan terhadap biotipe 3. Padi-padi hibrida yang memiliki potensi hasil tinggi, namun belum disertai dengan sifat ketahanan terhadap WBC biotipe 3 (Suprihatno et al. 2010). Tipe ketahanan vertikal dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik ) dan hanya efektif terhadap biotipe hama tertentu. Secara umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri : (1) biasanya diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen, (2) relatif mudah diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan genetik, (3) biasanya dikaitkan dengan hipotesis “gen for gen” , (4) menghasilkan ketahanan genetik tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika timbul biotipe baru maka ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman menjadi sangat rentan terhadap biotipe tersebut, dan (5) biasanya menunda awal terjadinya epidemi, tetapi apabila terjadi epidemi maka kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang rentan (Sutopo dan Saleh, 1992). Tipe ketahanan horizontal disebut juga ketahanan kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan demikian masih menunjukkan sedikit kepekaan terhadap hama tetapi memiliki kemampuan untuk memperlambat laju perkembangan epidemi. Secara teoritis, ketahanan horisontal efektif untuk semua biotipe suatu hama. Oleh karena itu, ketahanan ini umumnya sulit dipatahkan meskipun muncul biotipe baru dengan daya serang yang lebih tinggi. Varietas dengan tipe ketahanan demikian dapat diperoleh dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan
12 minor ke dalam suatu varietas dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional maupun non-konvesional. Ketahanan Ekologi Ketahanan ekologi atau ketahanan terlihat (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) dikendalikan oleh keadaan lingkungan. Ketahanan ekologi ini tidak diturunkan dan tergantung dari kekuatan tekanan dari lingkungan. Genetik hama merupakan faktor internal pengendali perkembangan WBC, sehingga apabila ditanam varietas padi tahan terhadap satu biotipe secara terusmenerus, maka pada beberapa musim saja WBC telah sanggup membentuk biotipe baru yang lebih ganas. Oleh karena itu dikembangkan varietas padi tahan terhadap lebih dari satu biotipe untuk menekan timbulnya biotipe baru, misalnya Inpari13 yang baru dilepas tahun 2009, berdasarkan hasil penapisan, varietas ini tahan terhadap biotipe 1, 2 dan 3. Penggunaan varietas tahan dalam pengendalian hama dianggap cara yang relatif murah dan mudah untuk diterapkan petani, serta ramah lingkungan. Penggunaan varietas tahan dilakukan dengan pola pergiliran tanaman. Pola pergiliran tanaman tersebut didasarkan atas gen ketahanan yang berbeda yang memberikan respon berbeda terhadap WBC. Varietas TN1 yaitu varietas tanpa gen tahan, rentan terhadap semua biotipe WBC. Varietas dengan gen Bph 1 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 3, tetapi rentan terhadap biotipe 2 dan 4. Varietas dengan gen Bph 2 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 2, tetapi rentan terhadap biotipe 3 dan 4 (Baehaki 2005). Ketahanan Tanaman Padi terhadap Wereng Batang Cokelat sebagai Dasar Pembentukan Perakitan Varietas Padi Tahan Di Indonesia pengembangan padi tahan WBC dilakukan oleh lembagalembaga penelitian dan telah menghasilkan berbagai varietas yang memiliki sifat ketahanan terhadap WBC. Sebelum tahun 2006 pengujian galur-biotipe bph2, Bph1 atau keturunan Bph1+, juga disiapkan varietas yang memiliki ketahanan terhadap biotipe 3. Untuk mengatasi cepatnya kepatahan terhadap serangan WBC pada varietas yang memiliki satu gen ketahanan, dikembangkan varietas-varietas yang memiliki beberapa gen ketahanan (ketahanan horizontal), yang dianggap
13 memiliki ketahanan lebih lama karena tekanan seleksi yang terjadi tidak setinggi pada varietas dengan satu gen ketahanan. Dalam pengembangan varietas tahan WBC, proses uji penapisan yang digunakan saat ini adalah standard seedbox screening test (SSST). Benih dari galur yang diuji ditanam pada kotak berukuran 60 cm x 40 cm x10 cm. Varietas standar tahan dan standar rentan ditanam dalam kotak yang sama, kemudian diinfestasi oleh nimfa instar 2 per benih. Ketika tanaman standar rentan TN1 mati, dilakukan skoring terhadap kerusakan tanaman (Velusamy et al. 1986). Metode ini hanya dapat mengevaluasi respon makan nimfa terhadap galur yang diuji. WBC dapat beradaptasi dan mematahkan ketahanan varietas yang semula bereaksi tahan. Penanaman varietas yang sama secara terus-menerus, pemakaian insektisida yang kurang bijaksana, dan teknik budidaya yang kurang baik akan mendorong munculnya biotipe baru WBC (Harahap et al. 1987, Hanarida 1998, Soewito et al. 1995). Saat ini di Indonesia diketahui terdapat WBC biotipe 1, 2, 3, dan 4. Intensifikasi pertanian dengan menggunakan varietas padi lokal, memunculkan biotipe 1 pada tahun 1972. Kestabilan WBC biotipe nol bertahan selama 41 tahun sebelum menjadi WBC biotipe 1. Untuk mengatasi biotipe 1, dilepas varietas IR26 yang dilepas IRRI tahun 1973 diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1975. IR26 dengan gen tahan Bph1 (Bph = Brown Plant Hopper) dapat dipatahkan pada tahun 1976, muncul biotipe 2. Selanjutnya dilepas varietas IR42 pada tahun 1980 dengan gen tahan bph2. Varietas yang tahan terhadap biotipe 2 ternyata bisa dipatahkan dengan munculnya biotipe 3 pada tahun 1981. Pertanaman
monokultur
varietas
IR56
(Bph3)
secara
terus-menerus
mengakibatkan gen tahan Bph3 patah kembali. Perubahan WBC biotipe 1 ke WBC biotipe 2 terjadi hanya dalam waktu 4 tahun, dan perubahan WBC biotipe 2 ke WBC biotipe 3 hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Kemudian dilepas Varietas IR 64 mengandung gen tahan Bph1+ yang tahan terhadap serangan WBC biotipe 3 pada tahun 1986. Varietas IR64, seperti varietas IR26 memiliki gen ketahanan mayor yang sama yaitu Bph1, namun IR64 bertahan lebih lama dibanding IR26. Hal tersebut disebabkan IR64 memiliki satu atau lebih gen ketahanan minor, sehingga dalam penulisannya ditulis sebagai Bph1+. (Cohen et al. 1997). WBC
14 biotipe 3 tersebut bertahan hingga 2005, berarti sudah 25 tahun sejak timbulnya WBC biotipe 2 masih tetap didominasi WBC biotipe 3, namun pada 2006 mulai dilaporkan adanya serangan WBC, yang diduga biotipe 4 di Asahan, Sumatera Utara (Baehaki 2008, Khush dan Virk 2005). Perkembangan penggunaan varietas tahan dan perkembangan biotipe WBC dipaparkan pada Gambar 2.1. Hasil uji biotipe WBC di Indonesia oleh Baehaki dan Munawar (2007) dikemukakan bahwa di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan adalah biotipe 3. WBC yang berasal dari Maros, Sulawesi Selatan adalah campuran biotipe 2 dan 3, sedangkan WBC di Asahan, Sumatra Utara adalah campuran biotipe 2, 3, dan 4.
Biotipe 1, 1972
Biotipe 2, 1976
Biotipe 3, 1981
Biotipe 3, 2005
Gambar 2.1 Perkembangan biotipe dan varietas tahan WBC di Indonesia (Baehaki 2008)
Definisi ketahanan tanaman terhadap serangga yang disampaikan para ahli beragam sesuai sudut pandang mereka, antara lain: Painter (1951) mendefinisikan ketahanan tanaman merupakan sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan pada tingkat serangan hama yang sama dapat berproduksi lebih baik, serta dapat mempengaruhi tingkat kerusakan oleh serangga. Beck (1965) mengemukakan
15 bahwa ketahanan tanaman adalah semua ciri dan sifat tanaman yang memungkinkan
tanaman
terhindar
dan/atau
menekan
pertumbuhan
dan
perkembangan serangga. Senada dengan Painter (1951), Teetes (1996) menyatakan bahwa dalam praktek pertanian, ketahanan tanaman berarti kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman lain dengan tingkat populasi hama yang sama. Dalam penerapan tanaman tahan diharapkan suatu tanaman tahan dapat bertahan lama atau tidak mudah dipatahkan. Dalam prakteknya, tanaman tahan merupakan salah satu komponen PHT dan dalam penggunaan tanaman tahan perlu dikelola sehingga tidak mudah dipatahkan. Hal ini dapat dilakukan apabila dipahami respon WBC terhadap tanaman tahan yang merupakan tujuan penelitian ini, dilihat dari aspek ketahanan biofisik dan biokimia tanaman.
17
III. RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT TERHADAP FAKTOR BIOFISIK TUJUH VARIETAS TANAMAN PADI (Biological responses of brown planthopper to biophysical factors in seven rice varieties) Abstrak Faktor-faktor biofisik tanaman mempengaruhi perilaku serangga. Faktor ini dapat mempengaruhi aktivitas makan, peletakan telur atau sebagai tempat hidup WBC. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari respon biologi dalam hal preferensi hinggap dan peletakan telur pada tanaman padi. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Muara, Bogor dan berlangsung selama November 2010 – Maret 2012. Pembuatan preparat jaringan dibuat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Biotipe WBC yang diteliti adalah biotipe 2 dan 3, sedangkan varietas tanaman padi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain TN1 (tanpa gen ketahanan), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2+Bph3) and Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui). WBC menunjukkan reaksi non-preferen terhadap varietas tahan, termasuk Inpari13. Peletakan telur WBC biotipe 2 pada varietas rentan TN1 dan IR26 berbeda nyata dengan varietas tahan PTB33 dan IR74. WBC biotipe 3 meletakkan telur lebih banyak pada varietas rentan TN1 dan IR42 dan berbeda nyata dengan PTB33, IR74, IR64 dan Inpari13. Biotipe 3 memiliki ovipositor berukuran lebih besar dari biotipe 2. Jumlah trikhoma pada permukaan tanaman dan ketebalan jaringan epidermis batang tidak berpengaruh terhadap perilaku hinggap dan peletakan telur. Kata kunci: respon biologi, WBC, padi, faktor biofisik Abstract Plant biophysical factors affect the behavior of insects. In the resistance mechanism of rice, antisenosis, these factors could affect feeding activity, oviposition or as shelter of brown planthopper. The aims of the research was to study the biological responses of brown planthopper on biophysical factors of rice varieties in terms of settling and oviposition preferences. The study was conducted in Research Station of the Indonesian Center for Rice Research, Muara- Bogor during November 2010-March 2012. Microtechnique of rice tissue were prepared in the Indonesian Institute of Science, Cibinong -Bogor. Rice varieties such as TN1 (no resistance gene), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2+Bph3) and Inpari13 (unknown resistance gene) were used in this study. Adults showed same non-preference reactions to resistant varieties, included Inpari13 for settling. Oviposition of brown planthopper biotype 2 on susceptible varieties such as TN1 and IR26 was higher than on resistant varieties such as PTB33, IR74. Brown planthopper biotype 3 laid more eggs on susceptible TN1 and IR42 compared to PTB33, IR74, IR64 and Inpari13.varieties. Biotype 3
18 had larger ovipositor than biotype 2. Number of trichomes on leaf sheath and epidermis thickness were not associated with settling and oviposition preference of brown planthoppers. Key words: biological response, brown planthopper, rice, biophysical factors Pendahuluan WBC merupakan hama tanaman padi pada ekosistem padi berpengairan di Indonesia. Beberapa strategi pengelolaan telah diajukan untuk mengendalikan WBC, di antaranya penggunaan tanaman tahan merupakan pilihan yang dianggap paling bersahabat dengan lingkungan dan mudah diimplementasikan petani. Upaya pengendalian hama WBC dengan menanam varietas tahan merupakan metode yang praktis, akan tetapi tantangannya adalah potensi berkembangnya biotipe baru WBC yang mampu mematahkan daya tahan varietas, sehingga varietas yang dulunya tahan akan berubah menjadi tidak tahan. Di Indonesia, terdapat perubahan biotipe WBC, diiringi dengan dilepasnya varietas tahan wereng yang mengandung gen ketahanan. Sehubungan dengan timbulnya biotipe 1 tahun 1972, varietas IR26 dilepas di Indonesia pada tahun 1975, dengan gen tahan Bph1 (Bph = Brown Plant Hopper), pada tahun 1976 muncul biotipe 2. Selanjutnya dilepas varietas IR42 pada tahun 1980 dengan gen tahan bph2 dan tahan biotipe 2. WBC yang semula tahan terhadap biotipe 2 ternyata bisa dipatahkan dengan muculnya biotipe 3 pada tahun 1981. Kemudian dilepas Varietas IR64 dilepas pada tahun 1986.mengandung gen tahan Bph1+ yang tahan terhadap serangan WBC biotipe 3. Varietas IR74 memiliki gen Bph3 dan tahan terhadap biotipe 1, 2, dan 3. PTB33 memiliki dua gen tahan yaitu bph2 dan Bph3, berasal dari India dan merupakan gen donor dalam pembentukan varietas tahan wereng (Baehaki 2008, Khush dan Virk 2005). Dalam program pemuliaan padi tahan, masih sedikit informasi mengenai identifikasi dan pemahaman mekanisme yang mendasari ketahanan tersebut serta respon WBC terhadap sifat ketahanan suatu varietas.. Keberhasilan hidup serangga untuk makan dan bertahan hidup diawali dengan perilaku serangga menemukan dan memakan tanaman inang yang kemudian diikuti dengan kesesuaian tanaman inang (Schoonhoven et al. 2005). Perilaku hinggap WBC, pada tanaman padi meliputi berjalan, berhenti, mengetukkan labium,
19 penyisipan alat mulut, mengecap, sekresi ludah, pengisapan, membentuk seludang ludah melanjutkan pengisapan, dan ekskresi embun madu (Sogawa 1982). Faktorfaktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga pada tanaman dikategorikan dalam dua kelompok yaitu respon serangga terhadap tanaman, dan karakter tanaman yang mempengaruhi respon serangga. Respon serangga termasuk orientasi, perilaku makan, pertumbuhan nimfa menjadi dewasa, lama hidup dewasa, banyaknya telur yang dihasilkan, peletakan telur, dan penetasan telur (Saxena dan Pathak 1979). Mekanisme penemuan tanaman inang seringkali dipengaruhi oleh penghalang fisik pada tanaman terhadap serangga untuk hinggap pada permukaan tanaman. Karakter morfologi tanaman merupakan salah satu kunci ketahanan tanaman terhadap serangga (Heinrichs 1992). Struktur morfologi atau faktor biofisik tanaman seperti bulu daun, lilin di permukaan daun, ketebalan jaringan dan kandungan alelokimia memungkinkan tanaman untuk mempengaruhi perilaku makan serangga (Saxena dan Pathak 1979). Faktor biofisik ini juga berkaitan dengan antisenosis tanaman dalam mengatasi perilaku makan dan peletakan telur oleh serangga herbivora. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon biologi WBC terhadap biofisik tanaman padi meliputi preferensi tempat hinggap/makan dan tempat oviposisi WBC, selain itu diamati pula karakteristik tanaman padi. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di laboratorium dan rumah kaca Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Departemen Proteksi, Fakultas Pertanian IPB di Bogor, pada bulan Nopember 2010 – Maret 2012. Pembuatan preparat tanaman padi dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong. Bahan Penelitian Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah WBC biotipe 2 yang dipelihara pada padi varietas IR26 dan biotipe 3 yang dipelihara pada varietas padi IR42.
20 Materi penelitian yang digunakan terdiri atas tujuh varietas tanaman padi, yaitu PTB33 (bph2, bph3), IR74 (Bph3), IR64 (Bph1+), IR42 (bph2), IR26 (Bph1), TN1 (tanpa gen ketahanan) dan Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui). Metode Penelitian Preferensi Tempat Hinggap Penelitian preferensi tempat hinggap WBC, menggunakan metode Heinrichs et al. (1985). Benih varietas padi yang diuji disemai dalam kotak berukuran 60 cm x 40 cm x10 cm. Masing-masing benih berjarak 4 cm disemai berbentuk lingkaran berdiameter 40 cm. Setiap varietas diulang sebanyak 5 kali. Setelah varietas tanaman padi yang diuji berumur 3 minggu setelah semai, WBC betina imago sebanyak 105 ekor ditempatkan pada piring petri, kemudian diletakkan di tengah lingkaran tanaman. WBC dibiarkan bergerak dan memilih varietas padi untuk hinggap. Pada saat 2, 4, 8, 24, 48, dan 72 jam setelah pelepasan, WBC yang hinggap pada masing masing varietas diamati dan dihitung jumlahnya. Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (α = 0.05) dengan menggunakan SAS v.9. Preferensi Oviposisi WBC Penelitian preferensi oviposisi oleh WBC menggunakan metode Heinrichs et al. (1985). Tujuh varietas tanaman uji disemai pada kotak penapisan berukuran 60 cm x 40 cm x10 cm. Setelah tanaman uji berumur 30 hari setelah semai, tunas tanaman padi dipotong hingga pangkal dan hingga tersisa 2 tunas per rumpun. WBC yang digunakan dalam penelitian berasal dari pemeliharaan di rumah kasa, yaitu biotipe 2 dipelihara pada varietas IR26, dan biotipe 3 dipelihara pada varietas IR42. Sepuluh ekor imago betina diinfestasikan pada setiap rumpun. Setiap varietas diulang 3 kali. Setelah 72 jam, tanaman padi dipotong pada pangkalnya, kemudian diperiksa di bawah mikroskop stereo untuk menghitung jumlah telur pada setiap varietas yang diuji. Banyak telur yang diletakkan pada setiap varietas dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (α = 0.05) dengan menggunakan SAS v.9.
21 Luas Sentroid Ovipositor WBC Analisis morfometri ovipositor WBC, dimulai dengan menyiapkan ovipositor untuk difoto dan kemudian dianalisis. Ovipositor dilepaskan dari abdomen betina dan diletakan di atas kaca obyek yang telah ditetesi pewarna kuku transparan. Pengambilan foto ovipositor dilakukan di laboratorium Jurusan Proteksi Tanaman. Kamera yang digunakan adalah kamera digital Nikon D100 dilengkapi satu paket lensa adapter (terdiri atas: BR-2, Bower 37-52, Bower 2837, dan tabung krom), dihubungkan dengan lensa okuler Olympus PE 3,3 X 125, Mikroskop Olympus BX 41, dan lensa Objektif Olympus Plan 4X/0,01. Setiap foto ovipositor diberi label, kemudian seluruh foto yang akan dianalisis dikumpulkan menjadi satu folder. Pengukuran bagian luasan ovipositor (image) diukur dengan cara menetapkan titik-titik tertentu dari bagian tubuh yang kemudian diukur secara berurutan pada program TPS-util dan TPS-dig2 yang diunduh dari situs http://life.bio.sunysb.edu/morph/, metode ini merupakan modifikasi dari Tantowijoyo dan Hoffman (2010). Penentuan titik dilakukan pada skala perbesaran gambar 0,467 pada program tps.dig2. Hasil ploting setiap titik landmark secara otomatis berubah menjadi nilai angka di dalam koordinat sumbu x dan sumbu y dalam bentuk format data csv (data transformasi gambar ke nilai angka dalam program microsoft excel). Selanjutnya jarak titik pusat terhadap sumbu x (sentroid x) dan sumbu y (sentroid y) dihitung berturut-turut dengan merata-ratakan nilai x 1 , x 2 , x 3 , ......, x n dan y 1 , y 2 , y 3 ,....., yn . Jarak setiap titik terhadap perpotongan sumbu x dan sumbu y (distanced) dihitung dengan mengukur jarak atau garis diagonal perpotongan sentroid x dan sentroid y. Luasan lansekap (bagian) tubuh yang diukur (sentroid size) dihitung dengan merataratakan setiap nilai distanced titik pengukuran. Luasan ini dapat ditransformasikan ke dalam ukuran mikrometer dengan membandingkan nilai sentroid size skala objektif mikrometer. Nilai hasil transformasi tersebut di atas dapat dihitung melalui program microsoft excel dengan rumus sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Sentroid x = (x 1 + x 2 + x 3 + ..........x n )/n Sentroid y = (y1 + y2 + y3 +...........y n )/n Distanced = SQRT ((x n - Sentroid x)^2 + ((y n - Sentroid y)^2 Sentroid size = Sum (distanced 1, distanced 2, ..... distanced n)/n
22 Faktor Biofisik Tanaman Pengamatan karakter morfologi tanaman padi, dimulai dengan pembuatan preparat mikroskopis tanaman padi. Penelitian ini menggunakan metode metode infiltrasi parafin yang digunakan oleh Sass (1951) yang diadopsi oleh Sunarti et al. (2008).
Setiap 1 (satu) cm bagian jaringan diisolasi dari tanaman uji, kemudian direndam dan disimpan sementara (tidak lebih dari 1 hari) dalam larutan 70% etanol teknis. Proses pelemasan jaringan batang biasanya dilakukan melalui perendaman jaringan terlebih dahulu ke dalam larutan 10% KOH di laboratorium selama beberapa jam sebelum difiksasi. Fiksasi jaringan dilakukan di dalam larutan FAA (campuran formalin dan asam asetat glasial) yang diletakkan dalam desikator vakum (wadah gelas hampa udara), selama minimal 24 jam. Setelah fiksasi, jaringan didehidrasi dengan cara memindahkannya ke dalam larutan etanol-silol bertingkat masingmasing selama 3 jam. Selanjutnya infiltrasi parafin ke dalam jaringan dilakukan secara perlahan dengan cara memindahkannya berturut-turut ke dalam larutan campuran silol-parafin bertingkat. Perbandingan antara silol dan parafin adalah 3:1, 1:1, dan 1:3, preparat diletakkan di dalam inkubator suhu ± 60 °C, masing-masing minimal selama 3 jam. Parafin yang digunakan memiliki titik leleh 56-58 °C. Selanjutnya parafin berisi jaringan dikeluarkan dari inkubator dan dibiarkan membeku. Proses ini disebut proses “embedding” dengan tujuan agar spesimen mudah dipotong oleh mikrotom. Jaringan kemudian dipotong dengan arah melintang dan membujur. Serial spesimen irisan jaringan diletakkan di atas permukaan objek gelas yang sebelumnya telah diolesi dengan glycerin. Spesimen ditetesi akuades dan diletakkan di atas hot plate. Untuk menghilangkan parafin, lekapan atau preparat direndam dalam larutan silol selama 2 x 3 menit. Selanjutnya dilakukan penghilangan molekul silol yang berada dalam jaringan dengan memasukkannya ke dalam larutan campuran silol-etanol bertingkat masing-masing selama 3 menit. Pewarnaan jaringan dilakukan dengan cara merendam lekapan ke dalam larutan safranin 1% dalam etanol setelah lekapan berada pada tahap perendaman etanol 70%. Untuk pewarnaan lanjut digunakan larutan pewarna fast green 2% dalam etanol absolut setelah lekapan melalui perendaman etanol bertingkat 70% dan 95%. Kemudian dilakukan dealkoholisasi dan infiltrasi silol ke dalam lekapan sebelum ditetesi bahan pengawet yaitu balsam canada. Setelah itu lekapan ditutup dengan
23 gelas objek. Pengukuran ketebalan epidermis diamati pada irisan membujur preparat tanaman.padi. Pertama-tama preparat yang telah dibuat, difoto dengan kamera Nikon™ dengan pembesaran 200x, lalu ketebalan diukur dengan program Motic Image Plus v.7. Jumlah trikhoma dihitung dengan cara menghitung banyak nya trikhoma pada irisan membujur sepanjang 1 (satu) cm preparat tanaman padi. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan uji selang berganda Duncan. Hasil dan Pembahasan Preferensi Tempat Hinggap dan Peletakan Telur oleh WBC pada Berbagai Varietas Padi Seleksi tanaman inang oleh serangga, seperti halnya pada aphid, meliputi rangkaian proses meliputi aktivitas mencari, orientasi, kemudian di dalamnya termasuk hinggap, lalu melakukan seleksi tempat penusukan hingga penetrasi stilet (Schoonhoven et al. 2005). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap preferensi hinggap WBC pada tanaman padi, dengan hasil disajikan pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Preferensi hinggap imago WBC pada berbagai varietas tanaman padi dan pada waktu yang berbeda setelah dilepaskan Varietas
Jumlah WBC hinggap pada tanaman padi setelah dilepaskan pada jam ke- (ekor)a 2 4 8 24 48 72 TN1 4.8a 5.3a 5.8a 6.2a 5.4a 5.5a IR26 4.2a 4.3ab 5.1ab 4.9ab 4.5ab 4.5ab IR42 3.6ab 3.4abc 3.5bc 3.5bc 3.6ab 3.7ab IR64 3.5ab 3.3abc 3.2bcd 3.3bc 3.6ab 3.2bc IR74 1.6b 1.8cd 1.3de 1.1de 1.5cd 1.7cd PTB33 1.6b 1.2d 0.9e 0.4e 0.4d 0.4d Inpari13 1.6b 1.8cd 1.4de 1.8cde 1.3cd 1.1d a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 5% dengan menggunakan uji selang berganda Duncan Preferensi hinggap WBC pada 2 jam pertama setelah dilepaskan tidak berbeda nyata antara TN1, IR26, IR42, IR64. Tetapi varietas TN1 dan IR26 berbeda nyata dengan varietas tahan IR74, PTB33 dan Inpari13 (Tabel 3.1). Setelah empat jam, preferensi wereng memiliki kecenderungan untuk hinggap pada varietas yang rentan seperti TN1 yang tidak memiliki gen ketahanan dan
24 pada varietas inangnya yaitu IR42. Setelah 24 jam, terlihat preferensi dan varietas tahan berbeda nyata antara varietas IR74, PTB33 serta Inpari13. Pada awal pelepasan ke dalam kurungan, WBC hinggap pada tanaman padi secara acak, kemudian berangsur akan berpindah ke varietas yang lebih disukai yaitu varietas yang lebih rentan. Selama pengamatan, banyaknya WBC hinggap pada varietas TN1 dan IR26 lebih tinggi daripada varietas lainnya, kisaran WBC hinggap pada varietas TN1 selama pengamatan adalah 4.8 hingga 6.2 ekor/tanaman. Berdasarkan ketahanan varietas tanaman padi terhadap WBC, (Khush dan Virk 2005), IR26 dan IR64 tahan terhadap biotipe 3, kedua varietas ini sama-sama memiliki gen mayor Bph1. Preferensi hinggap WBC sama terhadap kedua varietas tersebut mulai pada 2 jam pertama hingga pengamatan 72 jam. Karakteristik tanaman berupa stimulus fisik dapat mempengaruhi aktifitas serangga. Variasi ukuran daun, bentuk, warna, dan ada/tidaknya sekresi glandular mungkin dapat berperan dalam menentukan penerimaan serangga terhadap inangnya. Kondisi permukaan dan jaringan yang kuat dapat menjadi faktor pembatas dalam proses hinggap dan makan serangga. Karakter morfologi atau biofisik tanaman dikaitkan dengan mekanisme antisenosis selain karakter biokimia. Meski karakter biofisik dapat berpengaruh dalam menurunkan respon wereng, namun karakter biofisik tidak dianggap sebagai penyebab utama nonpreferen oleh WBC, karena WBC dapat membedakan varietas tahan dan rentan yang secara morfologi identik (Soundararajan et al. 2005). WBC tidak menunjukkan perbedaan dalam preferensi terhadap varietas yang diuji, tetapi WBC, tidak akan menetap pada variets tahan untuk melakukan aktivitas makan secara terus menerus (Sogawa dan Pathak 1970). Woodhead dan Padgham (1988), mengemukakan bahwa aktivitas wereng pada permukaan tanaman padi dihubungkan dengan kandungan lilin pada bagian epikutikula tanaman. Varietas tahan mengandung lilin lebih tinggi.
25 Tabel 3.2 Preferensi peletakan telur WBC pada berbagai varietas tanaman padi Banyaknya telur yang diletakkan (butir/induk)a± SD Biotipe 2 Biotipe 3 TN1 25.77 ± 4.49 a 36.07 ± 3.13 a IR26 21.53 ± 5.33 a 23.03 ± 4.70 c IR42 9.53 ± 2.29 b 30.10 ± 2.20 b IR64 10.87 ± 1.74 b 15.43 ± 4.74 d IR74 8.77 ± 2.15 b 13.93 ± 3.87 d PTB33 5.63 ± 2.11 b 7.07 ± 0.72 e Inpari13 9.97 ± 2.44 b 12.73 ± 2.29 d a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 5% dengan menggunakan uji selang berganda Duncan Varietas
Preferensi peletakan telur atau oviposisi WBC pada berbagai tingkat ketahanan tanaman padi menunjukkan variasi baik oleh wereng biotipe 2 maupun biotipe 3 (Tabel 3.2). Kedua biotipe WBC menunjukkan pola oviposisi yang serupa pada varietas standar tahan PTB33 (jumlah telur yang diletakkan terendah) dan varietas rentan TN1 (jumlah telur yang diletakkan tertinggi), juga untuk varietas IR74, IR64, dan IR26. Pada varietas IR64, peletakan telur oleh WBC biotipe 2 adalah rendah, juga pada varietas IR42, IR74, PTB33 dan Inpari13 (Tabel 3.2). Menurut Khush dan Virk (2005), IR64 memiliki ketahanan sedang atau moderate resistance terhadap biotipe 2, sedangkan IR42, IR74 dan PTB33 bereaksi tahan terhadap WBC biotipe 2. Inpari13 yang merupakan varietas introduksi dari Vietnam dan belum diketahui gen ketahanannya, bereaksi tahan terhadap WBC biotipe 2 ini. Jadi ada faktor resisten pada varietas IR74, PTB33 dan Inpari13 terhadap respon peneluran WBC. WBC biotipe 3 meletakkan telur terbanyak pada TN1 yaitu sebanyak 36.07 butir diikuti oleh IR42, IR26, IR64, IR74, Inpari13 dan PTB33. Varietas IR42 yang memiliki gen bph2 bereaksi rentan terhadap biotipe 3, sedangkan varietas IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3) dan PTB33 (bph2, Bph3) bereaksi tahan, juga Inpari13. Tingginya peneluran biotipe 3 pada varietas IR42 disebabkan varietas ini merupakan tanaman inang bagi perbanyakan IR42 di laboratorium, sehingga biotipe 3 telah beradaptasi dengan baik pada varietas ini. Menurut Khush dan Virk (2005), IR26 bereaksi tahan terhadap biotipe 3, tetapi tingginya peneluran WBC biotipe 3 pada IR26 dalam
26 penelitian ini menunjukkan bahwa WBC biotipe 3 dapat mengatasi ketahanan IR26. WBC meletakkan telurnya dengan cara menusukkan ovipositor ke dalam jaringan tanaman padi. Berdasarkan penelitian Hattori dan Sogawa (2002), terdapat tiga urutan perilaku peletakan telur WBC setelah penusukan ovipositor, yaitu menggerakan ovipositor seperti menggergaji, pengeluaran telur, dan menarik keluar ovipositor. Gerakan seperti menggergaji inilah yang menyebabkan kumpulan telur WBC kumpulan seperti deretan buah pisang. Luas Sentroid Ovipositor WBC Ovipositor berfungsi untuk menyisipkan telur ke dalam jaringan pelepah daun padi. Berdasarkan pengukuran morfometri pada ovipositor WBC adalah sebagai berikut (Tabel 3.3): Tabel 3.3 Luas ovipositor WBC betina biotipe 2 dan biotipe 3 berdasarkan morfometri ovipositor Populasi WBC
Rerata luas sentroid Uji t ovipositor ± SD Biotipe 2 291.11 ± 25.31 0,0022* Biotipe 3 315.61 ± 17.61 Keterangan: tanda * menunjukkan perbedaan nyata luas ovipositor antara kedua biotipe WBC Hasil analisis morfometri menunjukkan bahwa ovipositor WBC biotipe 3 memiliki luas sentroid ovipositor lebih besar dibandingkan ovipositor WBC biotipe 2. Hasil penelitian terhadap preferensi peneluran (Tabel 3.2) menunjukkan peneluran oleh biotipe 3 lebih banyak daripada biotipe 2, terutama peneluran oleh biotipe 3 pada IR42. Kemungkinannya adalah biotipe 3 telah beradaptasi dengan baik pada IR42 yang merupakan tanaman inangnya. Morfologi ovipositor diduga berkaitan dengan kemampuan menusukkan ovipositor ke dalam jaringan tanaman (Chapman 1998). Pada jangkrik tanah, panjang ovipositor berkaitan dengan kemampuan untuk meletakan telur ke dalam pasir (Reale dan Roff 2002).
27 Faktor Biofisik Tanaman Padi pada Berbagai Varietas Pengamatan terhadap faktor biofisik yang diamati yaitu banyaknya trikhoma dan ketebalan epidermis pada irisan membujur pelepah daun berumur 30 hari setiap varietas disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Jumlah trikhoma dan tebal epidermis pada pelepah daun berbagai varietas tanaman padi Varietas
Rerata jumlah trikhoma
Rerata tebal epidermis ± SD (/cm)a ± SD (µ)a TN1 6.5 ± 2.68 a 23.14 ± 2.90 b IR26 7.9 ± 3.38 a 24.33 ± 2.72 ab IR42 7.6 ± 3.44 a 24.57 ± 2.31 ab IR64 8.4 ± 4.19 a 25.59 ± 2.33 a IR74 8.6 ± 3.13 a 25.38 ± 2.34 ab PTB33 8.5 ± 3.57 a 26.27 ± 2.06 a Inpari13 7.8 ± 2.39 a 24.25 ± 1.31 ab a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 5% dengan menggunakan uji selang berganda Duncan Hasil pengamatan terhadap jumlah trikhoma, tidak terdapat perbedaan nyata antar varietas tanaman padi. Perbedaan dalam perilaku WBC pada berbagai varietas tidak terkait dengan jumlah trikhoma tetapi mungkin berkaitan dengan komposisi kimia permukaan daun (Nugaliyadde dan Wilkins 2012). Hasil penelitian Nwilene et al. (2009) mengenai komponen antisenosis pada tanaman padi, diantaranya disebutkan bahwa kepadatan trikhoma pada daun padi tidak berkaitan dengan ketahanan terhadap African rice gall midge, Orseolia oryzivora. Melalui pengamatan pada struktur trikhoma, terdapat trikhoma dengan bentuk memanjang seperti pada varietas Inpari13 (Gambar 3.1). Jadi dalam mempertimbangkan trikhoma sebagai faktor resistensi hendaknya diobservasi jumlah trikhoma per unit luas area. Selain itu bentuk dan panjang trikhoma perlu diamati. Tebal epidermis varietas tahan PTB33 (26.27µ) berbeda nyata dengan varietas rentan TN1 (23.14µ), tetapi tebal epidermis varietas tanaman padi IR26, IR42, IR74, IR64 dan Inpari13 tidak berbeda nyata dengan PTB33. Hal ini menunjukkan perbedaan gen ketahanan terhadap WBC dalam varietas tanaman padi tidak berkaitan dengan ketebalan epidermis. PTB33 yang mengandung gen ketahanan bph2 dan Bph3, memiliki tebal epidermis yang tidak berbeda dengan
28 IR26 (gen Bph1). IR64 dan PTB33 mempunyai tebal epidermis berbeda dengan varietas standar rentan TNI.
trikhoma
Gambar 3.1 Trikhoma pada permukaan pelepah daun varietas Inpari13 berdasarkan irisan membujur (perbesaran 200x) Faktor-faktor biofisik tanaman yang berperan dalam pertahanan tanaman terhadap herbivor diantaranya trikhoma lilin permukaan, ketebalan jaringan (Smith 2005). Dalam penelitian ini yang diamati adalah trikhoma dan ketebalan jaringan, dari hasil penelitian diduga gen ketahanan varietas padi tidak berkaitan dengan banyaknya trikhoma dan ketebalan epidermis, hanya PTB33 yang menunjukkan perbedaan ketebalan dengan varietas standar rentan TN1. Kesimpulan Dalam proses seleksi tanaman inang, WBC menunjukkan reaksi nonpreferen terhadap varietas tahan PTB33, IR74, IR64, dan Inpari13. WBC biotipe 2 lebih banyak meletakkan telur pada varietas rentan TN1 dan IR26 dibandingkan pada varietas tahan PTB33 dan IR74. WBC biotipe 3 juga meletakkan telur lebih banyak pada TN1 dan IR42 daripada PTB33, IR74, IR64 dan Inpari13. Besar ovipositor WBC juga berperan dalam merespon ketahanan tanaman padi, yaitu WBC biotipe 3 memiliki luas sentroid ovipositor lebih besar dari biotipe 2. Ketebalan sel epidermis dan jumlah trikhoma pada pelepah daun tidak berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman padi terhadap WBC, yaitu dalam hal perilaku hinggap dan peletakan telur.
29 Daftar Pustaka Baehaki SE. 2008. Perkembangan wereng batang cokelat Biotipe 4 http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/171/pdf/perkembangan%20Wer eng%20Cokelat%20Biotipe%204.pdf [10 Juli 2008]. Chapman RF. 1998. The Insect Structure and Function. Ed ke 4. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Hattori M, Sogawa K. 2002 Oviposition behavior of the rice brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stål), and its electronic monitoring. Journal of Insect Behavior 15 (2): 283-293. Heinrichs EA, Medrano FG, Rapusas HR.1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in Rice. Los Banos (Philippines): IRRI. Heinrichs EA. 1992. Rice insects: the role of host plant resistance in integrated management systems. Kor J Appl Entomol 31(3):256-275. Khush GS, Virk PS. 2005. IR Varieties and Their Impact. Los Baños (Philippines): IRRI. Nwilene FE, Okhidevbie O, Agunbiade TA. 2009. An antisenosis component of rice resistance to African rice gall midge, Orselia oryzivora. IRRN. Nugaliyadde L, Wilkins RM. Influence of surface lipid of some rice varieties on the feeding behavior of Nilaparvata lugens. http://www.goviya.lk/agri_learning/Paddy/Paddy_Research/Paddy_pdf/P10. pdf [10 Agustus 2012]. Panda N, Khush GS. 1995. Host Plant Resistance to Insects. Oxon: CAB International. Reale D, Roff DA. 2002. Quantitative genetics of oviposition behaviour and interactions among oviposition traits in the sand cricket. Animal Behaviour 64: 397–406. Sass, J.E. 1951. Botanichal Microtechnique. 2nd Ed. Iowa: The Iowa State University Press. Saxena RC, Pathak MD. 1979. Factors governing susceptibility and resistance of certain rice varieties to the brown planthopper. In: Brown planthopper: Threat of Rice Production in Asia. Los Banos (Philippines): IRRI. hlm 303317. Schoonhoven LM, van Loon JJA, Dicke M. 2005. Insect-Plant Biology. Second Edition. NewYork: Oxford University Press. Smith CM. 2005. Plant Resistance to Arthtropods – Molecular and Conventional Approaches., Netherlands: Springer.
30 Sogawa K. 1982. The rice brown planthopper: Feeding physiology and host plant interactions. Ann Rev Entomol 27: 49-73. Sogawa K, Pathak MD. 1970. Menchanism of brown planthopper resistance in Mudgo variety of rice. Appl Entomol Zool 5: 145–158. Soundararajan RP, Gunathilagaraj K, Chitra N, Maheswaran M, Kadirvel P. 2005. Mechanism and genetics of resistance to brown planthopper, Nilaparvata lugens in rice, Oryza sativa L. – a review. Agric Rev 26 (2): 79 – 91. Sunarti, S., Rugayah, dan E.F. Tihurua. Studi anatomi dan jenis-jenis Averrhoa di Indonesia untuk mempertegas status taksonominya. Berita Biologi 9 (3): 253-257. Tantowijoyo W, Hoffman AA. 2010. Variation in morphological characters of two invasive leafminers, Liriomyza huidobrensis and L. sativae, across a tropical elevation gradient. Journal of Insect Science: 11 (69): 1-16. Woodhead S, Padgham DE. 1988. The effect of plant surface characteristics on resistance of rice to the brown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol Exp Appl 47: 15-22.
31
IV. RESPON BIOLOGI WERENG BATANG COKELAT TERHADAP FAKTOR BIOKIMIA TUJUH VARIETAS TANAMAN PADI (Biological responses of brown planthopper to biochemical factors in seven rice varieties) Abstrak Penelitian respon biologi WBC, terhadap varietas tanaman padi dilaksanakan pada Nopember 2010 hingga Maret 2012 di Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor. Respon biologi WBC terhadap beberapa varietas tanaman padi diteliti dalam hal kemampuan makan melalui uji embun madu, dan analisis neraca kehidupan. Faktor biokimia seperti sukrosa dan asam oksalat dalam beberapa varietas padi dianalisis di Balai Besar Bioteknologi dan Genetika, Bogor. Varietas padi yang digunakan adalah TN1 (tanpa gen tahan), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2, Bph3) and Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui). WBC memiliki kemampuan makan tertinggi pada padi varietas standar rentan TN1, dan terendah pada varietas standar tahan PTB33. WBC yang diinfestasi pada varietas rentan memiliki laju pertumbuhan populasi intrinsik, reproduksi bersih yang lebih tinggi, serta waktu penggandaan populasi yang lebih pendek. Varietas tahan mengandung asam oksalat yang lebih tinggi, sedangkan kandungan sukrosa lebih rendah. Kedua faktor biokimia ini berkontribusi dalam mekanisme ketahanan padi terhadap WBC. Kata kunci: respon biologi, WBC, faktor biokimia Abstract Biological responses of brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stål), to seven rice varieties were conducted on November 2010 to March 2012 in Muara Research Station, Indonesian Center for Rice Research, Bogor. Several kinds of biological responses of brown planthopper to seven rice varieties were studied on feeding activity trough honeydew test, and life performance through life table analysis. Biochemical factors such as sucrose and oxalic acid contents in some rice varieties were analyzed in Indonesian Center for Biotechnology and Genetics. Rice varieties such as TN1 (no resistance gene), IR26 (Bph1), IR42 (bph2), IR64 (Bph1+), IR74 (Bph3), PTB33 (bph2, Bph3) and Inpari13 (unknown resistance gene) were used in this study. Feeding activity of adult female was highest on susceptible TN1 and the lowest on resistant PTB33. The highest mortality occurred during the immature stages, especially in the first and second instars. The intrinsic rate of increase (r m ), net reproductive rate (Ro) of brown planthopper were higher on susceptible variety such as TN1, this insect also had shorter doubling time (DT) on TN1. The resistant variety (PTB33) contained high oxalic acid and low sucrose, in contrary the susceptible varieties such as TN1 contained low oxalic acid and high sucrose. These biochemical factors contributed in rice resistance to brown planthopper Key words: biological responses,brown planthopper, biochemical factors
32 Pendahuluan Pengelolaan ketahanan dengan menggunakan varietas padi tahan merupakan strategi dalam pengendalian hama WBC. Ketahanan alami terhadap WBC terdapat pada beberapa varietas padi dan padi liar (Heinrichs et al. 1985; Saxena 1989). Beberapa varietas tanaman padi diketahui memiliki gen ketahanan yang berbeda. Varietas-varietas berawalan IR sebagian besar merupakan varietas introduksi dari International Rice Research Institute (IRRI), Philippina. IR26 merupakan varietas pertama yang mengandung gen ketahanan Bph1, memiliki ketahanan terhadap biotipe 1 dan dilepas pada tahun 1975, kemudian IR42 (bph2) hasil persilangan IR2042 dan CR94-13 dilepas tahun 1980, memiliki ketahanan terhadap biotipe 1 dan 2. Varietas IR64 (Bph1+) dihasilkan dari persilangan IR5657 dan IR2061 dilepas tahun 1986. IR74 memiliki gen Bph3, termasuk varietas tahan terhadap biotipe 1,2, dan 3 dilepas di Indonesia tahun 1991. PTB33 (bph2, Bph3) merupakan varietas tahan yang diintroduksi dari India, dan merupakan varietas donor dalam pengembangan padi tahan wereng, serta tahan terhadap biotipe 1,2 dan 3. TN1 atau Taichung Nativ 1 berasal dari Taiwan, merupakan varietas rentan dan tidak memiliki gen ketahanan, bersifat rentan terhadap semua biotipe WBC. Tetua dari Inpari13 adalah OM66/IR1838=38-3-3, berasal dari Vietnam belum diketahui gen ketahanannya dilepas tahun 2009, memiliki ketahanan terhadap biotipe 1, 2 and 3 (Suprihatno et al. 2010, Khush dan Virk 2005). Ketahanan tanaman merupakan hasil serangkaian interaksi antara tanaman dan serangga yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga pada tanaman (Saxena dan Pathak 1979). Faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga pada tanaman dikategorikan dalam dua kelompok yaitu respon serangga terhadap tanaman, dan karakter tanaman yang mempengaruhi respon serangga. Respon serangga termasuk orientasi, perilaku makan, pertumbuhan nimfa menjadi dewasa, lama hidup dewasa, banyaknya telur yang dihasilkan, peletakan telur, dan penetasan telur. Faktor biofisik dan biokimia dapat mengganggu
satu
atau
lebih
respon
serangga
tersebut,
menghambat
perkembangan populasi serangga pada tanaman. Faktor biokimia didalamnya termasuk zat kimia primer dan sekunder. Yoshihara et al. (1980) mengemukakan
33 bahwa perilaku makan berkaitan erat dengan kandungan asam oksalat pada tanaman padi. Asam amino, sukrosa juga diketahui merupakan stimulan makan WBC pada tanaman padi (Chen 2009). Varietas standar tahan PTB33 mengandung lipid permukaan lebih tinggi dibandingkan varietas standar rentan TN1 dan mempengaruhi perilaku makan WBC, yaitu menyebabkan lama pengisapan yang lebih pendek dan mobilitas yang lebih tinggi (Nugaliyadde dan Wilkins 2012). Sarana utuk memberikan gambaran megenai kelangsungan hidup, kelahiran dan kematian dari individu-individu hewan pada umur yang berbeda adalah neraca kehidupan (Krebs 1995). Dari neraca kehidupan dapat diketahui laju reproduksi bersih, laju pertumbuhan populasi, dan waktu generasi. Kombinasi kelangsungan hidup dan fekunditas adalah hal penting untuk mengetahui kebugaran hewan. Pertumbuhan, lama hidup, dan reproduksi serangga dapat dipengaruhi ketersediaan sumber makanan (tanaman inang dan mangsa) dan faktor lingkungan seperti temperatur (Ellers-Kirk dan Fleischer 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon biologi WBC terhadap tanaman padi yaitu kemampuan makan melalui uji embun madu WBC, kemampuan hidup nimfa, waktu yang diperlukan hingga mencapai dewasa, tingkat mortalitas imago, dan waktu penggandaan populasi. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di laboratorium dan rumah kaca Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Bogor, pada bulan Nopember 2010 – Maret 2012. Analisis kandungan sukrosa dan asam oksalat dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Genetika di Bogor. Bahan Penelitian Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah WBC biotipe 2 yang dipelihara pada varietas IR26 dan WBC biotipe 3 yang dipelihara pada varietas. IR42. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas tujuh varietas padi, yaitu PTB33 (bph2, Bph3), IR74 (Bph3), IR42 (bph2), IR26 (Bph1), TN1 (tanpa gen ketahanan) dan Inpari13 (gen ketahanan tidak diketahui). Metode Penelitian
34 Pengukuran Embun Madu Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan tanaman yang diuji terhadap suatu populasi/biotipe WBC berdasarkan luas ekskreta (embun madu) yang dikeluarkan oleh WBC yang makan pada varietas uji selama 24 jam. Benih dari tiap varietas tanaman (TN1, IR26, IR42, IR64, IR74, PTB 33, Ciherang dan Inpari13) disemai dan disiapkan untuk pengujian eksresi embun madu saat tanaman berumur 30 hari setelah semai. WBC betina biotipe 2 dipelihara pada varietas IR26 dan biotipe 3 dipelihara pada varietas. IR42.
♀
Gambar 4.1 Skema pengujian embun madu (Paguia et al. 1980) Pengujian dilakukan dengan menginfestasikan 6 ekor WBC betina imago ke dalam kurungan plastik (tabung makan) yang menyungkup bagian batang sebelah bawah dari tanaman yang diuji. Di bagian bawah tabung makan ini telah diletakkan kertas saring (Whatman No. 40 berdiameter 9 cm) yang telah disemprot dengan larutan ninhidrin 0,01 mg/ml aseton. Ekskreta yang dikeluarkan oleh WBC yang berupa embun madu tertampung pada kertas saring dan membentuk bercak berwarna biru/ungu. Bercak embun madu bereaksi dengan
35 ninhidrin dan diameternya diukur (Paguia et al. 1980). Luas area ini diasumsikan berkorelasi positif dengan banyaknya ekskresi dan banyaknya cairan floem yang dihisap oleh serangga. Setiap varietas diulang sebanyak 10 ulangan. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan uji selang berganda Duncan dengan menggunakan program SAS v.9. Neraca Kehidupan WBC Lima pasang WBC biotipe 3 instar 5 diperbanyak dan dipelihara pada varietas padi inang IR42 berumur tiga minggu setelah semai. Wereng dipelihara hingga imago, melakukan perkawinan, dan bertelur, hingga telur menetas menjadi nimfa. Sebanyak 100 ekor nimfa WBC instar 1 diinfestasikan satu-persatu kedalam tabung berisi varietas padi perlakuan (TN1, IR26, IR42, IR64, IR74 dan PTB33) berumur satu bulan setelah semai, kemudian dihitung setiap hari jumlah WBC yang tersisa. Setelah mencapai instar 5, nimfa betina yang masih hidup dimasukkan ke dalam tabung berisi tanaman padi berumur 3 minggu dan dipasangkan dengan nimfa jantan instar 5. Telur yang diletakan dalam jaringan batang tanaman padi dihitung setiap hari. Penghitungan telur yang diletakkan dalam pelepah daun tanaman padi, diamati di bawah mikroskop stereo, dengan cara memeriksa seluruh bagian pelepah daun. Data hasil pengamatan dianalisis dan disusun ke dalam tabel kehidupan. Populasi serangga yang bertahan hidup pada setiap individu berumur x dinyatakan dengan n x. Pengukuran lainnya adalah l x (kelangsungan hidup) yaitu proporsi individu dari kohor yang hidup pada kelas x dan dihitung sebagai l x = n x /n 0. Proporsi kohor yang mati pada stadia x yaitu d x. = l x - l x +1. Adapun tingkat kematian (q x ) = kematian spesifik umur (d x /l x ). Banyaknya telur yang dihasilkan per individu yang bertahan hidup pada umur x dinyatakan dengan m x . Dari data neraca kehidupan tersebut perhitungan dapat dilanjutkan untuk menentukan parameter-parameter demografi lainnya seperti: (1) laju reproduksi kotor (GRR) =∑ m
x;
(2) laju reproduksi bersih (R o ) = ∑
l x m x ; (3) waktu generasi (T) = ∑ x l x m x / ∑ l x m x ; (4) laju pertumbuhan intrinsik = ln Ro/T; (5) waktu penggandaan populasi (Dt) = ln 2/rm
36 Analisis Kandungan Sukrosa pada Berbagai Varietas Tanaman Padi Sebanyak 200 mg sampel segar padi TN1, IR26, IR42, IR64, IR74, PTB33, dan Inpari13, dihaluskan, ditambahkan 20 ml etanol 80%, kemudian dipanaskan selama 20 menit. Setelah itu disaring, filtrat diuapkan dalam waterbath sampai 3ml, disaring kembali, filtrat ditambah 5 ml ZnSO4 5%, 5 ml 0.3N Ba(OH)2 dilarutkan dalam100 ml. Larutan, dikocok, disaring, filtrat diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan 5 ml H 2 SO 4. . Kemudian
dipanaskan selama 15 menit,
dilarutkan menjadi 20 ml, dipipet sebanyak 2 ml, ditambah 1 tetes indikator, dinetralkan dengan 1N NaOH hingga berwarna merah jambu. Ditambahkan 2 ml reagen Cu, dipanaskan selama 10 menit, dinginkan. Setelah dingin, ditambah 2 ml reagen Nelson. Kemudian larutan sampel sebanyak 25 ml diukur dengan spektrometer pada panjang gelombang 500 nm (Bao-ju 2010). Setiap varietas diulang sebanyak 3 kali. Analisis Kandungan Oksalat pada Berbagai Varietas Tanaman Padi. Sampel segar tanaman padi ditimbang sebanyak 1 g, dihaluskan, kemudian ditambah 50 ml bafer asetonitril. Sampel dikocok dengan shaker selama 30 menit dengan kecepatan 130 rpm, kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring. Penyaringan diulang dengan menggunakan milipor, kemudian diinjeksikan ke dalam kromatografi cair berperforma tinggi. Bafer dibuat dengan cara membuat larutan 0.5% diamonium hidrogen posfat (Bao-ju 2010). Setiap varietas memiliki 3 ulangan. Hasil dan Pembahasan Respon Kemampuan Makan WBC pada Berbagai Varietas Tanaman Padi Melalui Uji Embun Madu Ketahanan suatu varietas padi terhadap wereng batang coklat dapat dinilai dari jumlah embun madu yang diekskresikan (Panda dan Khush 1995). Berdasarkan hasil pengamatan luas spot embun madu yang diekskresikan oleh WBC pada varietas TN1 adalah paling tinggi, dan terendah terjadi pada varietas PTB33 baik pada biotipe 2 maupun 3. Fenomena ini menunjukkan bahwa varietas TN1 adalah varietas yang paling rentan karena tidak adanya gen ketahanan (Baehaki dan Widiarta 2009), sedangkan varietas PTB33 memiliki gen bph2 dan
37 Bph3. Paguia et al. (1980) menyatakan bahwa perbedaan jumlah embun madu yang diekskresikan dikaitkan dengan perbedaan jumlah makanan yang dimakan oleh serangga pada varietas tahan dan varietas rentan. Hal ini dapat dikaitkan dengan hasil pengamatan terhadap karakteristik biokimia tanaman padi, yaitu adanya asam oksalat (Tabel 4.3) sebagai penolak makan dengan kadar yang tinggi pada varietas tahan PTB33. Biotipe 2 juga memiliki aktivitas makan yang tidak berbeda antara IR26 dan IR42, dan memiliki aktivitas makan lebih rendah pada IR64, Inpari13, IR74 dan PTB33. Biotipe 3 memiliki aktivitas makan yang tidak berbeda nyata dengan IR26, IR42 dan IR64, sedangkan pada Inpari13, PTB33, IR74, aktivitas makan biotipe ini lebih rendah (Tabel 2). Tabel 4.1 Kemampuan makan WBC pada berbagai varietas tanaman padi melalui uji embun madu Luas bercak ninhidrin (mm2/ekor)a ± SD Biotipe 2 Biotipe 3 TN1 99.1 ± 49.9 a 132.3 ± 28.0 a IR26 49.0 ± 28.0 b 90.5 ± 31.7 ab IR42 58.9 ± 14.9 b 88.6 ± 19.3 b IR64 22.9 ± 7.6 c 79.8 ± 33.4 b IR74 3.9 ± 2.2 c 22.1 ± 14.0 c PTB33 2.2 ± 1.8 c 23.1 ± 15.6 c Inpari13 12.9 ± 11.0 c 30.9 ± 20.6 c a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji selang berganda Duncan Varietas
Secara keseluruhan, rerata luas bercak ninhidrin relatif lebih tinggi pada biotipe 3. Perbedaan antara biotipe 2 dan 3 terlihat dari responnya terhadap varietas IR64. Meski IR42 memiliki gen bph2, aktivitas makan biotipe 3 sangat tinggi hal ini dikarenakan IR42 merupakan varietas inangnya dan varietas ini diketahui memiliki reaksi rentan terhadap biotipe 3 (Khush dan Virk 2005). Dari percobaan rumah kaca dengan menggunakan populasi N. lugens dari Central Luzon, Filipina, IR64 memiliki tingkat sedang untuk ketahanan antibiosis, antisenosis. Respon populasi ini terhadap varietas IR64 dan IR26 menunjukkan IR64 lebih tahan dibanding IR26, meskipun kedua varietas tersebut memiliki gen ketahanan mayor yang sama yaitu Bph1. Hal ini diduga bahwa IR64 memiliki satu atau lebih, gen ketahanan minor (Cohen et al. 1997). Sehingga dalam penulisannya ditulis sebagai Bph1+. Dalam penelitian ini, kemampuan makan
38 IR64 tidak berbeda dengan varietas rentan, sedangkan menurut Khush dan Virk (2005), varietas ini bereaksi tahan terhadap biotipe 3. Saat ini di beberapa daerah tampak adanya kepatahan dari varietas ini terhadap WBC (Baehaki dan Widiarta 2009). Pada penelitian ini tampak biotipe 3 mempunyai aktivitas makan yang tinggi pada IR64. Neraca Kehidupan WBC pada Berbagai Varietas Tanaman Padi Dalam penelitian ini tabel kehidupan disusun untuk memberikan gambaran mengenai kelangsungan hidup, mortalitas dari individu-individu pada umur yang berbeda. Kurva l x atau kurva sintasan memberikan gambaran tentang tingkat kematian individu dalam populasi. Tingkat kematian tertinggi terjadi pada WBC yang diinfestasi pada varietas PTB33, dan hanya dapat bertahan hingga hari ke19, sedangkan pada varietas TN1 dapat bertahan hingga 35 hari (Gambar 4.2). 1
PTB33 IR74 IR64 IR42 IR26 TN1
0,9 0,8 0,7 0,6 lx 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1
6
11
16
21
26
31
umur (hari) Gambar 4.2 Kurva kelangsungan hidup (l x ) WBC yang diinfestasi pada berbagai varietas tanaman padi Terlihat dari kurva, kematian sebagian besar terjadi pada individu muda, dan lebih rendah pada umur lebih tua, hal ini menunjukkan bahwa WBC memiliki kurva kelangsungan hidup tipe III. Pada varietas IR 74 kematian banyak terjadi pada 6 hari pertama, dan pada minggu berikutnya wereng dapat beradaptasi menginjak pra dewasa atau sebagian besar kematian terjadi pada nimfa instar I dan II. Nimfa instar muda lebih rentan terhadap lingkungannya, dan kandungan biokimia tanaman inangnya. Menurut Ellers-Kirk dan Fleischer (2006),
39 pertumbuhan, lama hidup, dan reproduksi serangga dapat dipengaruhi ketersediaan sumber makanan (tanaman inang dan mangsa) dan faktor lingkungan seperti temperatur Kurva m x disusun berdasarkan peneluran harian (Gambar 4.3). Peneluran pertama terjadi pada hari ke-19 dari populasi betina pada varietas TN1 sebanyak 1,25 butir telur. Puncak peneluran terjadi pada hari ke-21 oleh betina WBC pada varietas IR42 sebanyak 16 butir/induk, sedangkan pada puncak peneluran pada IR74 lebih lambat yaitu setelah hari ke-25 yaitu sebanyak 14.4 telur/induk 18
IR74
rerata telur harian (butir)
16
IR64
14
IR42
12
IR26
10
TN1
8 6 4 2 0 1
6
11
16 21 hari ke-
26
31
Gambar 4.3 Peneluran harian WBC pada berbagai varietas tanaman padi (kurva mx) Berdasarkan grafik tersebut terlihat betina WBC pada awal peneluran akan meningkat dengan cepat dan menurun kembali. Peneluran lebih awal terjadi pada varietas rentan TN1 dibanding varietas tahan seperti IR74 (mengandung gen Bph3), atau terjadi penundaan peneluran pada varietas tahan. Kombinasi kelangsungan hidup (l x ) dan fekunditas (m x ) merupakan esensi kebugaran (fitness) hewan.
40 Tabel 4.2 Nilai laju reproduksi bersih (R o ), periode rata-rata satu generasi (T), laju pertumbuhan intrinsik (r m ), dan waktu penggandaan populasi (DT) WBC biotipe 3 yang diinfestasi pada berbagai varietas tanaman padi Varietas
Ro
T (hari)
rm
DT (hari)
TN1 47.35 21.90 0.18 3.85 IR26 37.09 22.09 0.16 4.33 IR42 28.84 20.87 0.16 4.33 IR64 19.37 21.70 0.14 4.95 IR74 18.38 22.21 0.13 5.33 PTB33a a Wereng batang cokelat yang diinfestasikan pada varietas PTB33 seluruhnya mati sebelum bertelur Laju reproduksi bersih (Ro) WBC pada varietas tahan IR74 (Bph3) dengan jumlah
keturunan
yang
dihasilkan
oleh
satu
betina
sebanyak
18.38
telur/induk/generasi. Pada varietas rentan TN1, laju reproduksi bersih yaitu sebanyak 47.35 telur/induk/generasi (Tabel 4.2). Periode satu generasi dari WBC yang diinfestasikan pada varietas IR42 memiliki waktu terpendek yaitu 20.87 hari (Tabel 4.2). Waktu penggandaan populasi terpendek pada varietas TN1 yaitu 3.85 hari. Wereng yang digunakan dalam pengamatan ini adalah biotipe 3 yang dipelihara pada varietas IR42, artinya populasi ini sudah beradaptasi dengan sangat baik pada varietas IR42 (bph2). Laju pertumbuhan intrinsik WBC pada varietas standar rentan TN1 yaitu 0.18 telur/induk/hari, sedangkan pada varietas tahan IR74 memiliki laju pertumbuhan intrinsik yang relatif lebih rendah yaitu 0.13 telur/induk.hari. Kombinasi nilai laju reproduksi bersih yang tinggi, waktu periode generasi yang pendek, laju pertumbuhan intrinsik yang tinggi, serta waktu penggandaan populasi yang pendek dari WBC yang diinfestasikan pada varietas tanpa gen tahan TN1 menunjukkan tingginya perkembangan populasi yang dapat terjadi pada varietas padi tanpa gen ketahanan (TN1). Populasi WBC pada Pelita1 (tanpa gen ketahanan) di laboratorium memiliki laju kenaikan intrinsik sebesar 0.186 dengan waktu generasi 22.76 hari (Baco 1984). WBC yang diinfestasi pada TN1 membutuhkan waktu yang lebih pendek (3.85 hari) untuk menggandakan populasinya dibandingkan varietas tahan. Waktu perkembangan yang pendek dan tingkat reproduksi yang tinggi menggambarkan kesesuaian dengan tanaman inangnya (van Lenteren dan Noldus 1990). Laju pertumbuhan intrinsik, waktu
41 generasi, dan waktu penggandaan populasi berguna sebagai indikasi pertumbuhan populasi (van Lenteren dan Noldus 1990). Lama hidup, fluktuasi populasi, laju reproduksi dan laju pertumbuhan dipengaruhi sumber makanan (tanaman inangnya) (Win et al. 2011). Dalam penelitian ini tingkat ketahanan tanaman padi yang berbeda mengandung kadar nutrisi yang berbeda (Tabel 4.3). Kadar Sukrosa dan Asam Oksalat pada Berbagai Varietas Tanaman Padi Seleksi tanaman inang oleh WBC dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi tanaman yang bersifat menarik atau sebagai perangsang makan, atau zat kimia yang bersifat penolak makan. Dalam penelitian ini dilakukan analisa kandungan sukrosa, serta asam oksalat sebagai penghambat makan dalam berbagai varietas tanaman padi (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Kadar sukrosa dan asam oksalat pada berbagai varietas tanaman padi Rerata kadar sukrosa Rerata kadar oksalat (ppm/200 mg berat basah (ppm/1 g berat basah a sampel) ± SD sampel)a ± SD TN1 0.42 ± 0.01 a 1.05 ± 0.00 g IR26 0.39 ± 0.01 b 1.17 ± 0.00 e IR42 0.36 ± 0.00 c 1.32 ± 0.01 b IR64 0.33 ± 0.01 d 1.30 ± 0.01 c IR74 0.36 ± 0.01 c 1.28 ± 0.01 d PTB33 0.26 ± 0.01 f 1.34 ± 0.01 a Inpari13 0.30 ± 0.01 e 1.13 ± 0.01 f a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji selang berganda Duncan Varietas tanaman padi
Berdasarkan analisis kandungan sukrosa pada tanaman padi, diketahui varietas rentan TN1 memiliki kandungan sukrosa tertinggi, diikuti oleh IR26, IR42, IR64 dan terendah PTB33. Sebagian besar cairan dalam floem tanaman padi mengandung sukrosa (17-25%, berat/volume) dan asam amino bebas (3-8%, berat/volume) (Fukumorita dan Chino 1982). Sukrosa sendiri berperan penting dalam pertumbuhan wereng. Dari penelitian yang dilakukan oleh Koyama (1985), dikemukakan bahwa pemberian pakan yang mengandung 5% sukrosa kepada nimfa instar pertama memiliki waktu perkembangan terpendek untuk menjadi imago. Ketika sukrosa dihilangkan dari pakan, semua nimfa instar pertama mati dalam waktu 3 hari setelah perlakuan. Aktivitas makan WBC mempengaruhi
42 proses translokasi sukrosa dalam tanaman dalam floem, pada gilirannya juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Watanabe dan Kitagawa 2000). Asam oksalat terlarut bersifat toksik terhadap hewan. Masuknya asam ini ke dalam perncernaan herbivora dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan kematian (Korth et al. 2006). Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran asam oksalat, sebagai inhibitor pengisapan oleh WBC, dari berbagai varietas tanaman padi. Dari hasil pengukuran, varietas PTB33 memiliki kandungan asam oksalat yang tertinggi, diikuti oleh varietas IR42, IR64, IR26, Inpari13 dan yang terendah pada TN1. Asam oksalat mengganggu proses makan WBC pada padi yaitu dengan menghambat proses pengisapan pada floem atau bersifat deteren. Oksalat ini juga diketahui sebagai penghambat makan pada jenis serangga lain, misalnya pada kutu daun (Massonie 1980) Kesimpulan WBC menunjukkan respon biologi yang berbeda terhadap berbagai ketahanan tanaman padi. Kemampuan makan imago betina biotipe 2 dan 3 tertinggi pada varietas rentan (TN1), sebaliknya rendah pada varietas tahan (PTB33, IR74) termasuk Inpari13. WBC pada varietas tahan memiliki laju reproduksi bersih (R 0 ), laju pertumbuhan intrinsik (r m ) lebih rendah dan waktu penggandaan populasi lebih panjang dibandingkan dengan varietas standar rentan TN1. Asam oksalat menyebabkan penghambatan makan sebagaimana yang terlihat pada varietas tahan PTB33 (bph2, Bph3). Kandungan sukrosa lebih rendah pada varietas padi tahan. Asam oksalat dan sukrosa memberikan kontribusi pada faktor ketahanan biokimia dan mempengaruhi respon biologi WBC yaitu kemampuan makan, kelangsungan hidup, peneluran, dan laju pertumbuhan populasi.
43 Daftar Pustaka Baco D. 1984. Biologi WBC, Nilaparvata lugens, dan wereng punggung putih, Sogatella furcifera, serta interaksi antara keduanya pada tanaman padi [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Baehaki SE, Widiarta IN. 2009. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada tanaman padi. Dalam: Padi Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Daradjat AA et al., editor. Jakarta: LIPI Press. Bao-ju W, Hong-xing X, Xu-song Z, Qiang F, Zhong-xian L. 2010. High temperature modifies resistance perfoemances of rice varieties to brown planthopper. Rice Science 17 (4): 334-338. Chen Y. 2009. Variation in planthopper-rice interactions: possible interactions among three species? Di dalam: Heong KL,Hardy B. editor. Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Philipines: IRRI. hlm 315-326. Cohen MB, Alam SN, Medina EB, Bernal CC. 1997. Brown planthopper, Nilaparvata lugens, resistance in rice cultivar IR64: mechanism and role in successful N. lugens management in Central Luzon, Philippines. Entomol Exp et Appl 85: 221–229. Ellers- Kirk C and Fleischer S J. 2006. Development and life table of Acalymma vittatum (Coloptera: Chrysomelidae), a vector of Erwinia tracheiphila in cucurbits. Env Entomol 35(4): 875–880. Fukumorita T, Chino M. 1982. Sugar, amino acid and inorganic contents in the rice phloem sap. Plant Cell Physiol 23:273-283. Heinrichs EA, Medrano FG, Rapusas HR.1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in Rice. Los Banos (Philippines): IRRI. Khush GS, Virk PS. 2005. IR Varieties and Their Impact. Los Baños (Philippines): IRRI. Korth KL, Doege SG, Park SH, Goggin FL, Wang Q, Gomez SK, Liu GL, Jia L, dan Nakata PA. 2006. Medicago truncatula mutants demonstrate the role of plant calcium cxalate Crystals as an effective defense against chewing insects. Plant Physiology 141: 188–195. Koyama K. 1985. Nutritional Physiology of the Brown Planthopper, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) http://ag.udel.edu/delpha/2598.pdf [8 Mei 2012] Krebs CJ. 1995. Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Ed. ke-4. California (US): Addison Wesley Educational Publishers Inc.
44 Massonie G. 1980. Breeding of a biotype of Myzus persicae Sulzer on a synthetic medium. V. Influence of oxalic and gentisic acids on the nutritive value of a synthetic medium. Ann Nutr Aliment 34: 139–146. Nugaliyadde L, Wilkins RM. Influence of surface lipid of some rice varieties on the feeding behavior of Nilaparvata lugens. http://www.goviya.lk/agri_learning/Paddy/Paddy_Research/Paddy_pdf/P10. pdf [10 Agustus 2012] Paguia P, Pathak MD, Heinrichs EA. 1980. Honeydew excretion measurement techniques for determining differential feeding activity of biotypes of Nilaparvata lugens on rice varieties. J Econ Entomol 73: 35-40. Panda N, Khush GS. 1995. Host Plant Resistance to Insects. Oxon: CAB International. Saxena RC.1989. Durable Resistance to Insect Pests of Irrigated Rice. International Rice Research Conference. 21-25 September 1987. IRRI, Chinese Academy of Agricultural Science and China National Rice Research Institute. Saxena RC, Pathak MD. 1979. Factors governing susceptibility and resistance of certain rice varieties to the brown planthopper. In: Brown planthopper: Threat of Rice Production in Asia. Los Banos (Philippines): IRRI. hlm. 303317. Suprihatno B, et al., editor. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Padi. van Lenteren JC, Noldus LPJJ. 1990. Whitefly-plant relationship: Behavioural and ecological aspects. In: Whiteflies: Their Bionomics, Pest Status and Management. D Gerling, editor. Hampshire: Intercept Ltd., hlm 47–89. Watanabe H, Kitagawa H. 2000. Photosynthesis and translocation of assimilates in rice plants following phloem feeding by the planthopper Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae). J Econ Entomol 93: 1192-1198. Win SS, Muhamad R, Abidin Z, Ahmad M, Adam NA. 2011. Life Table and Population Parameters of Nilaparvata lugens Stål (Homoptera: Delphacidae) on Rice. Tropical Life Sciences Research 22 (1): 25–35. Yoshihara T, Pathak MD, Juliano BO, Sakamura S. 1980. Oxalic acid as a sucking inhibitor of the brown planthopper in rice (Hemiptera: Delphacidae). Entomol Exp Appl 27: 149-155.
45
V. PEMBAHASAN UMUM Salah satu kendala yang selalu mengancam kelestarian swasembada beras adalah serangan hama WBC. Saat ini sebaran biotipe WBC di Indonesia cenderung didominasi oleh biotipe 3 (Baehaki dan Munawar 2007). Penanaman varietas padi unggul tahan WBC merupakan komponen penting dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Namun demikian, pengembangan varietas tersebut secara luas dan intensif selalu dihadapkan pada berbagai kendala hama dan penyakit serta cekaman lingkungan. Upaya pengendalian hama WBC dengan menanam varietas tahan merupakan metode yang aman, akan tetapi tantangannya ialah berkembangnya biotipe baru WBC yang mampu mengalahkan daya tahan varietas, sehingga varietas yang dulunya tahan akan berubah menjadi tidak tahan (Baehaki dan Widiarta 2009). Padahal pengembangan suatu varietas tahan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Ketahanan varietas padi terhadap hama WBC ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor biofisik dan faktor biokimia. Seleksi tanaman inang oleh WBC dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi atau pertahanan kimia dan pertahanan fisik (Smith 2005). Sebaliknya, serangga memiliki mekanisme perilaku dan metabolisme untuk mengatasi sistem pertahanan tanaman. Respon biologi WBC dalam penelitian ini secara garis besar mengarah ke preferensi, aktivitas makan dan peletakan telur. Pada tahapan penerimaan inang dalam proses seleksi tanaman inang oleh serangga, terdapat rangsangan dari tanaman antara lain nutrisi tanaman. Apabila rangsangan-rangsangan tersebut ada, kemudian ditangkap oleh serangga dan serangga akan menerima inang tersebut. Hasil pengamatan terhadap preferensi tempat hinggap, WBC cenderung memilih tanaman rentan seperti TN1, IR26 daripada tanaman tahan (PTB33, IR74), dalam hal ini tanaman tahan memperlihatkan mekanisme ketahanan antisenosis terhadap WBC. Selain preferensi untuk hinggap, preferensi peletakan telur pun lebih tinggi pada tanaman rentan seperti TN1. Selain pada TN1, telur juga banyak diletakkan pada varietas inangnya, yaitu biotipe 3 pada IR42 dan biotipe 2 pada IR26. Serangga secara umum akan meletakkan telur pada tanaman yang dapat menjamin kelangsungan hidup keturunanannya. Pada varietas IR74, PTB33 dan Inpari13 terdapat ketahanan terhadap respon peneluran WBC. Ovipositor merupakan alat
46 untuk meletakkan telur, dari penelitian ini, ovipositor biotipe 3 lebih besar ukurannya dari biotipe 2. Morfometrik wereng dapat berubah, dari penelitian Claridge et al. (1984), biotipe 1, 2 dan 3 diinfestasikan dan ditumbuhkan pada varietas rentan TN1, menghasilkan ukuran morfometrik pada ketiga biotipe tersebut menjadi tidak berbeda. Faktor biofisik tanaman inang mempengaruhi perilaku serangga. Pada mekanisme ketahanan tanaman padi, misalnya ketahanan antisenosis, faktor ini dapat mempengaruhi aktivitas makan, peletakan telur atau pemilihan tanaman inang sebagai tempat hidup WBC. Melalui pengukuran terhadap ketebalan epidermis, ternyata perbedaan ketebalan yang nyata hanya terjadi antara varietas TN1 dan PTB33, sedangkan antara PTB33 dan varietas IR26, IR42, IR64, IR74, Inpari13 tidak ada perbedaan nyata dalam ketebalan epidermis. Faktor biofisik lain yang diamati adalah banyaknya trikhoma pada pelepah daun padi, hasilnya adalah tidak terdapat perbedaan jumlah trikhoma pada varietas yang diuji. Trikhoma bukan merupakan faktor resistensi pada tanaman yang diuji Perilaku makan merupakan langkah awal untuk memperoleh nutrisi dan dasar proses fisiologi, sedangkan peletakan telur melengkapi siklus hidupnya (Zhong-xian et al. 2005). Dalam penelitian ini, kemampuan makan WBC, diuji melalui uji embun madu, memperlihatkan aktivitas ini lebih tinggi pada varietas rentan yang mengandung sukrosa yang lebih tinggi. Kemampuan makan biotipe 3 juga lebih besar dari biotipe 2. WBC yang hidup pada varietas rentan juga memiliki laju pertumbuhan intrinsik, laju reproduksi bersih yang lebih tinggi, dan waktu penggandaan populasi yang lebih pendek. Kandungan sukrosa yang tinggi pada varietas tanaman padi rentan diduga berperan dalam kebugaran hidup WBC. Sedangkan asam oksalat yang merupakan penghambat makan terkandung lebih banyak pada varietas padi tahan. Menurut Chen (2009), varietas tahan mengandung konsentrasi nutrisi yang rendah dan senyawa pertahanan yang tinggi. Dalam proses penapisan galur di Indonesia, untuk menghasilkan varietas tahan wereng, yaitu dengan menggunakan seedbox screening test, dalam uji tersebut digunakan nimfa instar 2 yang diinfestasikan pada padi berumur 5 hari. Setelah varietas standar rentan TN1 mati, kemudian dilakukan skoring. Dalam
47 metode ini, respon yang diamati hanya respon tanaman. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa WBC memiliki respon yang berbeda terhadap varietas tanaman padi yang memiliki gen ketahanan yang berbeda, misalnya dalam hal kemampuan makan dan kelangsungan hidup serangga. Oleh karena itu, dalam metode penapisan galur tanaman padi dengan tujuan pembentukan varietas tahan wereng, sebaiknya juga melihat respon WBC, atau untuk melihat respon mekanisme antibiosis tanaman padi terhadap WBC, misalnya dilihat dari tingkat mortalitas WBC, peneluran, bahkan perkembangan hidup WBC. Respon WBC terhadap galur yang diuji, bisa dilakukan setelah penapisan masal, untuk tingkat penapisan lanjutan.
45
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan WBC memiliki preferensi tempat hinggap, aktivitas makan dan tempat peneluran pada berbagai varietas tanaman padi. WBC menunjukkan respon biologi yang berbeda terhadap tujuh varietas tanaman padi. Preferensi WBC pada tanaman padi cenderung memilih untuk hinggap dan kemudian beraktivitas pada varietas rentan TN1. Begitu pula untuk peletakan telur, WBC lebih banyak meletakkan telur pada tanaman rentan. Biotipe 3 cenderung meletakkan telur lebih banyak daripada biotipe 2. WBC biotipe 3 memiliki luas sentroid ovipositor lebih besar dibandingkan biotipe 2. Faktor biofisik yang diamati yaitu ketebalan epidermis dan jumlah trikhoma pada permukaan pelepah daun, tidak berkontribusi dalam mekanisme ketahanan tanamann padi terutama dalam hal preferensi hinggap dan peletakan telur. Respon biologi terhadap biokimia tanaman diamati melalui kemampuan makan imago betina biotipe 2 dan 3. Kemampuan makan WBC tertinggi pada varietas rentan (TN1), sebaliknya rendah pada varietas tahan (PTB33, IR74) termasuk Inpari13. WBC yang diinfestasikan pada varietas tahan IR74 memiliki laju reproduksi bersih (R 0 ), laju pertumbuhan intrinsik (r m ) lebih rendah dan waktu penggandaan populasi lebih panjang, dibandingkan pada varietas standar rentan TN1. Asam oksalat menyebabkan penghambatan makan sebagaimana yang terlihat pada varietas tahan PTB33 (gen bph2+Bph3), sebaliknya kandungan sukrosa lebih rendah pada varietas tahan. Faktor-faktor biokimia yaitu sukrosa dan asam oksalat berkontribusi dalam mekanisme ketahanan tanaman padi terhadap WBC. Saran Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan informasi bagi penelitian berikutnya, juga menjadi masukan dalam perbaikan dalam metode penapisan galur untuk pembentukan varietas tahan WBC. Penelitian yang perlu dilakukan adalah melihat respon biologi WBC terhadap varietas-varietas lain yang memiliki gen ketahanan selain yang digunakan dalam penelitian ini.
51
DAFTAR PUSTAKA Baehaki SE, Munawar D. 2007. Identifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm 351-366 Baehaki SE, Widiarta IN. 2009. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada tanaman padi. Dalam: Padi Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Daradjat AA et al., editor. Jakarta: LIPI Press. Baehaki SE. 2005. Bioekologi serta pengelolaan WBC dan penggerek batang padi. Koordinasi Perlindungan Tanaman, Direktorat Perlindungan Tanaman, Banjarmasin 31 Mei- 2 Juni 2005. Baehaki SE. 2005. Permasalahan serangan hama wereng cokelat dan penanggulangan dengan strategi penerapan varietas padi. Pertemuan Antisipasi Dampak Bencana Alam, Kegiatan Pengembangan Produksi Komoditas Unggulan Utama Tanaman Pangan, Bandung 27-28 Juli 2005. Baehaki SE. 2008. Perkembangan wereng batang cokelat biotipe 4 http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/171/pdf/perkembangan%20Wer eng%20Cokelat%20Biotipe%204.pdf [10 Juli 2008]. Bahagiawati AH, Samudra M. 1998. Ketahanan beberapa varietas padi lokal terhadap WBC (Nilaparvata lugens Stal) koloni Sumatera Utara. Penelitian Pertanian 5: 1-7 Beck SD. 1965. Resistance of Plant to Insects. Ann Rev Entomol. 10:207-232. Bernays EA, Chapman RE. 1994. Host-Plant Interaction by Phytophagous Insect. London: Chapman and Hall. Cagampang GB, Pathak MD, Juliano BO. 1974. Metabolic changes in the rice plant during infestation by the brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stal) (Homoptera:Delphacidae). Appl Entomol Zool 9: 174–184. Chen Y. 2009. Variation in planthopper-rice interactions: possible interactions among three species? Di dalam: Heong KL,Hardy B. editor. Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Philipines: IRRI. hlm 315-326. Claridge MF, Hollander JD, Haslam D. 1984. The significance of morphometric and fecundity differences between the ‘biotypes’ of the brown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol Exp et Appl 36: 107-114 Cohen MB, Alam SN, Medina EB, Bernal CC. 1997. Brown planthopper, Nilaparvata lugens, resistance in rice cultivar IR64: mechanism and role in successful N. lugens management in Central Luzon, Philippines. Entomol Exp et Appl 85: 221–229.
52 Cook AG, Denno RF. 1994. Planthopper/plant interactions: feeding behavior, plant nutrition, plant defense, and host plant specialization. In: Denno RF, Perfect TJ, editors. Planthoppers: their ecology and management. New York (US): Chapman and Hall. hlm 114-139. Cook AG, Perfect TJ. 1985. The influence of immigration on population development of Nilaparvata lugens Stål and Sogatella furcifera Horvath (Homoptera: Delphacidae) and its interaction with immigration by predators. Crop Prot. 4:423-433. Denno RF, Roderick GK. 1990. Population biology of planthoppers. Ann Rev of Entomol 35: 489-520. Fraenkel GS. 1959. The raison d-etre of secondary plant substance. Science, 129: 1466–1470. Hanarida IS. 1998. Hama WBC padi: Perkembangan biotipe, mekanisme dan genetika ketahanan varietas. Buletin Agrobio 2(1):36-44. Harahap Z, Soewito, Hanarida I. 1987. Perbaikan ketahanan varietas padi terhadap WBC Nilaparvata lugens Stal. Di dalam: Soejitno, editor. Wereng Batang Cokelat. Ed khusus 1:1-43. Hibino H, Roechan M, Sudarisman S, Tantera DM. 1977. A virus diseases of rice (ragged stunt) transmitted by brown planthopper (Nilaparvata Lugens Stål). Contr Centr Res Ins Agric. Bogor. 35:15. Kazushige S, Pathak MD. 1970. Mechanisms of Brown Planthopper Resistance in Mudgo Variety of Rice (Hemiptera : Delphacidae). Appl Entomol and Zool. 5 (3) :145-158 Kennedy JS. 1965. Mechanism of host plant selection. Ann Appl Biol 56:317-322. Khush GS, Virk PS. 2005. IR Varieties and Their Impact. Los Baños (Philippines): IRRI. Kogan M, Ortman EF. 1978. Antixenosis: A new Term Proposed to fine Painter’s non preference” modality of resistance. Entomol Soc A. Bull. 24:175-176 Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. Di dalam: Metcalf RL, Luckmann WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. New York (US): John Wiley and Sons. hlm 93-134 Mochida O, Okada T. 1979. Taxonomy and biology of Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae). Di dalam: Brown Planthopper: Threat to Rice Production in Asia. Philippines: IRRI. hlm 21-43. Munawar D, Baehaki SE. 2008. Perkembangan populasi wereng pada padi hibrida dan padi tipe baru di berbagai golongan tanam. Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Cabang Bogor, 18-19 Maret 2008.
53 Nugaliyadde L, Wilkins RM. Influence of surface lipid of some rice varieties on the feeding behavior of Nilaparvata lugens. http://www.goviya.lk/agri_learning/Paddy/Paddy_Research/Paddy_pdf/P10. pdf [10 Agustus 2012] Painter RH. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Mac Millan Company, New York. Schoonhoven LM, van Loon JJA, Dicke M. 2005. Insect-plant Biology. 2nd Ed. Oxford University Press. Sharma HC, Franzmann BA, Henzell RG. 2002. Mechanism and diversity of resistance to sorghum midge. Euphytica 124: 1-12. Smith CM. 2005. Plant Resistance to Arthtropods – Molecular and Conventional Approaches., Netherlands: Springer. Soewito T, Kamandalu AANB, Sularjo. 1995. Peningkatan keragaman genetika resistensi varietas padi sawah terhadap wereng batang cokelat. Dalam Prosiding Kinerja Penelitian Tanaman Pangan III Buku 2. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Sogawa K, 1982. The rice brown planthopper: feeding physiology and host plant interactions. Ann Rev Entomol 27: 49–73. Sogawa K, Pathak MD. 1970. Menchanism of brown planthopper resistance in Mudgo variety of rice. Appl Entomol Zool 5: 145 – 158. Sogawa K., 1971. Effects of feeding of the brown planthopper on the components in the leaf blade of rice plants. Jpn J Appl Entomol Zool 15: 132–138. Stevenson PC, Kimmis FM, Grayer RJ, Raveendranath S. 1996. Schaftoside of rice phloem as feeding inhibitor and factor resistance on brown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol Exp et Appl 80: 246-249. Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur. Suprihatno B, et al., editor. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Padi. Sutopo L, Saleh N, 1992. Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur. Teetes GL. 1996. Plant Resistance to Insects: A Fundamental Component of IPM. http://ipmworl.umn.edu/chapters/teetes.htm. [Januari 2008].
54 Velusamy R, Heinrichs EA. 1986. Greenhouse techniques to identify field resistance to the brown planthopper in rice cultivars. Crop Prot 5: 328-333. Widiarta IN, Suharto H. 2009. Pengendalian hama dan penyakit tanaman padi secara terpadu. Di dalam: Suyamto, Widiarta IN, Satoto, editor. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku I. Jakarta: LIPI Press. hlm 441-469. Woodhead S, Padgham DE. 1988. The effect of plant surface characteristics on resistance of rice to the brown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol Exp et Appl 47: 15-22. Wu JC, Liu JLY, Shen C, Xu JX, Jiang YH, Xu SX. 2003. Effect of several pesticides on SOD activity in different rice varieties. Scientia Agricul Sin 35 (4): 451–456. Yoshihara T, Pathak MD, Juliano BO, Sakamura S. 1980. Oxalic acid as a sucking inhibitor of the brown planthopper in rice (Hemiptera: Delphacidae). Entomol Exp et Appl 27: 149—155. Zhong-xian LO, Xiao-ping' Y, Heong KL. 2005. Effects of nitrogen nutrient on the behavior of feeding and oviposition of the brown planthopper, Nilarpavata lugens,on IR64. Journal of Zhejiang University 31 (1):62-70.
55 Lampiran 1 Aktivitas makan WBC biotipe 3 berdasarkan uji ninhidrin pada berbagai varietas
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 rerata
PTB 33 42.00 7.00 26.50 57.17 23.67 15.17 21.33 16.00 8.50 13.83 23.12
IR74 11.50 52.00 19.00 4.83 31.83 8.83 21.33 13.33 31.33 26.50 22.05
Luas bercak ninhidrin (mm2/ekor) IR 64 IR 42 IR26 TNI 103.50 72.00 66.33 87.67 96.17 88.00 26.67 133.33 53.17 65.67 102.50 92.17 97.83 106.00 70.33 157.17 32.83 68.50 287.50 164.00 39.50 75.67 116.00 157.00 46.00 99.00 254.67 114.17 51.50 88.67 79.50 136.83 132.00 98.50 48.67 159.83 85.83 126.83 48.33 121.17 79.83 88.58 90.05 132.33
Inpari13 44.50 90.33 3.50 6.50 13.33 7.00 60.17 19.83 4.83 59.50 30.95
Lampiran 2 Aktivitas makan WBC biotipe 2 berdasarkan uji ninhidrin pada berbagai varietas
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 rerata
PTB 0.33 0.67 1.00 0.67 0.83 2.17 3.50 3.33 4.83 5.00 2.23
IR 74 0.67 1.00 1.50 2.50 2.83 3.33 7.17 6.17 3.50 5.50 3.92
Luas bercak ninhidrin (mm2/ekor) IR 64 IR 42 IR 26 TNI 19.33 52.50 60.00 99.00 16.67 52.67 23.33 99.17 26.67 52.50 13.00 99.00 15.67 52.50 97.83 99.17 19.33 45.00 30.83 97.50 21.83 7.00 31.67 203.50 30.83 75.67 75.67 80.17 40.33 82.00 24.17 41.17 19.67 70.00 63.17 25.17 19.33 35.50 70.33 147.17 22.97 58.93 49.02 99.10
Inpari13 4.33 4.17 2.50 6.83 22.50 12.50 7.17 6.00 29.00 34.00 12.90
56 Lampiran 3 Neraca kehidupan WBC pada varietas PTB33 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 93 1.5 0.93 0 0 3 87 2.5 0.87 0 0 4 68 3.5 0.68 0 0 5 67 4.5 0.67 0 0 6 66 5.5 0.66 0 0 7 51 6.5 0.51 0 0 8 42 7.5 0.42 0 0 9 33 8.5 0.33 0 0 10 30 9.5 0.3 0 0 11 30 10.5 0.3 0 0 12 27 11.5 0.27 0 0 13 16 12.5 0.16 0 0 14 9 13.5 0.09 0 0 15 9 14.5 0.09 0 0 16 4 15.5 0.04 0 0 17 4 16.5 0.04 0 0 18 4 17.5 0.04 0 0 19 0 18.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x
57 Lampiran 4 Neraca kehidupan WBC pada varietas IR74 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 91 1.5 0.91 0 0 3 78 2.5 0.78 0 0 4 73 3.5 0.73 0 0 5 68 4.5 0.68 0 0 6 68 5.5 0.68 0 0 7 68 6.5 0.68 0 0 8 68 7.5 0.68 0 0 9 67 8.5 0.67 0 0 10 66 9.5 0.66 0 0 11 66 10.5 0.66 0 0 12 65 11.5 0.65 0 0 13 52 12.5 0.52 0 0 14 49 13.5 0.49 0 0 15 46 14.5 0.46 0 0 16 46 15.5 0.46 0 0 17 40 16.5 0.4 0 0 18 29 17.5 0.29 3.44 1.00 19 29 18.5 0.29 7.78 2.26 20 18 19.5 0.18 12.56 2.26 21 18 20.5 0.18 12.33 2.22 22 18 21.5 0.18 13.78 2.48 23 13 22.5 0.13 11.89 1.55 24 12 23.5 0.12 13.11 1.57 25 8 24.5 0.08 14.44 1.16 26 8 25.5 0.08 12.44 1.00 27 8 26.5 0.08 11.67 0.93 28 7 27.5 0.07 11.11 0.78 29 6 28.5 0.06 11.56 0.69 30 6 29.5 0.06 4.22 0.25 31 6 30.5 0.06 2.67 0.16 32 6 31.5 0.06 1.22 0.07 33 4 32.5 0.04 0 0 34 3 33.5 0.03 0 0 35 2 34.5 0.02 0 0 36 0 35.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x
58 Lampiran 5 Neraca kehidupan WBC pada varietas IR64 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 98 1.5 0.98 0 0 3 98 2.5 0.98 0 0 4 97 3.5 0.97 0 0 5 97 4.5 0.97 0 0 6 93 5.5 0.93 0 0 7 90 6.5 0.9 0 0 8 90 7.5 0.9 0 0 9 86 8.5 0.86 0 0 10 83 9.5 0.83 0 0 11 83 10.5 0.83 0 0 12 82 11.5 0.82 0 0 13 78 12.5 0.78 0 0 14 76 13.5 0.76 0 0 15 76 14.5 0.76 0 0 16 76 15.5 0.76 0 0 17 76 16.5 0.76 0 0 18 48 17.5 0.48 3.43 1.65 19 26 18.5 0.26 6.86 1.78 20 24 19.5 0.24 11.14 2.67 21 23 20.5 0.23 12.29 2.83 22 19 21.5 0.19 10.29 1.95 23 19 22.5 0.19 13.00 2.47 24 15 23.5 0.15 14.14 2.12 25 9 24.5 0.09 14.14 1.27 26 9 25.5 0.09 12.14 1.09 27 6 26.5 0.06 11.00 0.66 28 6 27.5 0.06 7.29 0.44 29 4 28.5 0.04 6.14 0.25 30 3 29.5 0.03 4.29 0.13 31 3 30.5 0.03 1.86 0.06 32 0 31.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x
59 Lampiran 6 Neraca kehidupan WBC pada varietas IR42 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 96 1.5 0.96 0 0 3 92 2.5 0.92 0 0 4 87 3.5 0.87 0 0 5 87 4.5 0.87 0 0 6 86 5.5 0.86 0 0 7 86 6.5 0.86 0 0 8 85 7.5 0.85 0 0 9 84 8.5 0.84 0 0 10 84 9.5 0.84 0 0 11 82 10.5 0.82 0 0 12 76 11.5 0.76 0 0 13 75 12.5 0.75 0 0 14 70 13.5 0.7 0 0 15 68 14.5 0.68 0 0 16 68 15.5 0.68 0 0 17 64 16.5 0.64 1.25 0.80 18 53 17.5 0.53 3.88 2.05 19 49 18.5 0.49 6.38 3.12 20 44 19.5 0.44 12.13 5.34 21 33 20.5 0.33 16.00 5.28 22 28 21.5 0.28 14.88 4.17 23 20 22.5 0.2 15.13 3.03 24 15 23.5 0.15 11.50 1.73 25 15 24.5 0.15 9.75 1.46 26 13 25.5 0.13 8.25 1.07 27 13 26.5 0.13 3.75 0.49 28 9 27.5 0.09 2.00 0.18 29 9 28.5 0.09 1.13 0.10 30 5 29.5 0.05 0.5 0.03 31 5 30.5 0.05 0.13 0.01 32 5 31.5 0.05 0 0 33 3 32.5 0.03 0 0 34 0 33.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x
60 Lampiran 7 Neraca kehidupan WBC pada varietas IR26 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 98 1.5 0.98 0 0 3 96 2.5 0.96 0 0 4 96 3.5 0.96 0 0 5 88 4.5 0.88 0 0 6 86 5.5 0.86 0 0 7 77 6.5 0.77 0 0 8 54 7.5 0.54 0 0 9 54 8.5 0.54 0 0 10 50 9.5 0.5 0 0 11 47 10.5 0.47 0 0 12 47 11.5 0.47 0 0 13 44 12.5 0.44 0 0 14 44 13.5 0.44 0 0 15 39 14.5 0.39 0 0 16 39 15.5 0.39 0 0 17 37 16.5 0.37 0 0 18 36 17.5 0.36 1.88 0.68 19 36 18.5 0.36 3.88 1.40 20 23 19.5 0.23 7.25 1.67 21 23 20.5 0.23 9.13 2.10 22 23 21.5 0.23 11.88 2.73 23 21 22.5 0.21 10.50 2.21 24 21 23.5 0.21 11.50 2.42 25 21 24.5 0.21 9.50 2.00 26 20 25.5 0.2 6.38 1.28 27 17 26.5 0.17 6.88 1.17 28 17 27.5 0.17 4.50 0.77 29 16 28.5 0.16 3.75 0.60 30 16 29.5 0.16 2.38 0.38 31 9 30.5 0.09 0.75 0.07 32 9 31.5 0.09 0 0 33 7 32.5 0.07 0 0 34 7 33.5 0.07 0 0 35 5 34.5 0.05 0 0 36 5 35.5 0.05 0 0 37 0 36.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x
61 Lampiran 8 Neraca kehidupan WBC pada varietas TN1 Hari ke nx x lx mx l x .m x 1 100 0.5 1 0 0 2 98 1.5 0.98 0 0 3 96 2.5 0.96 0 0 4 96 3.5 0.96 0 0 5 96 4.5 0.96 0 0 6 92 5.5 0.92 0 0 7 90 6.5 0.9 0 0 8 88 7.5 0.88 0 0 9 88 8.5 0.88 0 0 10 88 9.5 0.88 0 0 11 83 10.5 0.83 0 0 12 80 11.5 0.8 0 0 13 80 12.5 0.8 0 0 14 79 13.5 0.79 0 0 15 70 14.5 0.7 0 0 16 65 15.5 0.65 0 0 17 65 16.5 0.65 1.25 0.81 18 60 17.5 0.6 4.25 2.55 19 55 18.5 0.55 8.33 4.58 20 55 19.5 0.55 11.08 6.09 21 55 20.5 0.55 13.17 7.24 22 48 21.5 0.48 10.42 5 23 48 22.5 0.48 11 5.28 24 47 23.5 0.47 11 5.17 25 28 24.5 0.28 10.42 2.92 26 28 25.5 0.28 9.5 2.66 27 23 26.5 0.23 7.42 1.710 28 23 27.5 0.23 6.92 1.59 29 23 28.5 0.23 4.75 1.09 30 13 29.5 0.13 2.67 0.35 31 11 30.5 0.11 1.58 0.17 32 11 31.5 0.11 0.83 0.092 33 7 32.5 0.07 0.5 0.035 34 3 33.5 0.03 0 0 35 3 34.5 0.03 0 0 36 0 35.5 0 0 0 Keterangan: n x = jumlah individu yang hidup pada hari kelas umur x; x = kelas umur (hari); l x = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x; m x = jumlah telur yang diletakkan betina pada kelas umur x; l x .m x = laju reproduksi pada kelas umur x