KEANEKARAGAMAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI PARASITOID TELUR WERENG COKLAT, Nilaparvata lugens STAL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
NURULLAH ASEP ABDILAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Keanekaragaman dan Biologi Reproduksi Parasitoid Telur Wereng Coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Nurullah Asep Abdilah NIM G352120051
RINGKASAN NURULLAH ASEP ABDILAH. Keanekaragaman dan Biologi Reproduksi Parasitoid Telur Wereng Coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan DAMAYANTI BUCHORI. Keberadaan parasitoid telur di alam dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk mengendalikan Nilaparvata lugens. Keberadaan parasitoid telur N. lugens mengalami perubahan seiring berubahnya kondisi lingkungan dan praktik budidaya yang diterapkan. Informasi mengenai keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur N. lugens terkait dominansi dapat dijadikan strategi dalam pemilihan parasitoid telur yang digunakan sebagai agens pengendali hayati. Anagrus nilaparvatae adalah parasitoid telur yang menyerang wereng coklat, Nilaparvata lugens. Keberhasilan parasitoid A. nilaparvatae dalam mengendalikan N. lugens ditentukan oleh reproduksi parasitoid betina. Reproduksi yang baik ditunjukkan dengan potensi produksi telur, jumlah telur yang diletakkan dalam inang, dan tingkat parasitisasi yang tinggi serta lama hidup imago yang panjang. Semakin banyak telur yang dapat diletakkan dalam inang mengakibatkan tingginya mortalitas inang, sehingga pengendalian menjadi efektif. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman dan dominansi parasitoid telur N. lugens, pematangan telur parasitoid A. nilaparvatae, pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan serta interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae. Parasitoid telur N. lugens diperangkap dengan cara menempatkan tanaman padi umur satu bulan yang telah diinfestasi telur N. lugens di lapangan selama 2 hari. Tanaman Padi diambil kembali dan dipangkas daunnya 12 cm dari pucuk daun. Padi dipelihara dalam kurungan plastik mika (8 cm x 50 cm) sampai imago parasitoid muncul. Parasitoid dibuat preparat sementara dan diidentifikasi. Penentuan pola pematangan telur parasitoid A. nilaparvatae dilakukan dengan mematikan parasitoid betina yang baru keluar dari inang dalam freezer. Parasitoid dibedah abdomennya di atas gelas objek yang sebelumnya sudah ditetesi air. Telur matang parasitoid diamati dan dihitung jumlahnya. Metode untuk mempelajari pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap kapasitas reproduksi A. nilaparvatae dilakukan dalam skala laboratorium. Parasitoid betina A. nilaparvatae yang baru keluar dari inang diberi pakan larutan madu 10% atau air dan tidak diberi inang selama 3, 6, 9, 12, dan 18 jam. Parasitoid diinfestasikan ke dalam tabung reaksi (1 cm x 10 cm) berisi bibit padi yang sudah diinfestasi telur N. lugens. Bibit padi diganti dengan bibit padi baru yang telah diinfestasi telur N. lugens setiap 24 jam. Pengamatan meliputi jumlah telur yang diletakkan parasitoid dalam inang di hari pertama dan hari kedua, keperidian, tingkat parasitisasi, telur yang tersisa dalam ovari, potensi produksi telur, dan lama hidup imago betina. Parasitoid telur N. lugens yang dikoleksi dari pertanaman padi di Dramaga, Bogor sebanyak 4.156 individu terdiri atas 4 famili dalam 6 spesies, yaitu Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Anagrus sp. (Mymaridae), Oligosita sp. (Trichogrammatidae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), dan Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae). Parasitoid Oligosita
sp. dan A. nilaparvatae ditemukan dominan dalam penelitian ini. Kelimpahan Oligosita sp. tertinggi di antara parasitoid telur N. lugens lainnya. Parasitoid betina A. nilaparvatae memiliki telur yang sudah matang ratarata 30,67±4,35 telur di awal kehidupan dewasanya. Jumlah telur matang A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam, yaitu menjadi 37,07±5,18 telur. Jumlah telur matang A. nilaparvatae selanjutnya cenderung tetap. Telur matang A. nilaparvatae berbentuk elips dilengkapi dengan pedunculus yang ramping dan panjang. Kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang, meliputi jumlah telur yang diletakkan dalam inang di hari pertama dan kedua, keperidian, tingkat parasitisasi, dan lama hidup imago betina. Penurunan jumlah telur yang diletakkan di hari pertama dan kedua, keperidian, serta tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae terjadi setelah parasitoid tidak mendapatkan inang selama 9 jam dan semakin menurun sampai 18 jam. Lama hidup imago betina tertinggi terjadi pada parasitoid yang tidak diberi inang selama 9 jam dan terendah pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 18 jam. Pemberian larutan madu 10% sebagai pakan selama ketiadaan inang dapat mengurangi dampak penurunan kapasitas reproduksi akibat ketiadaan inang. Kata kunci: Anagrus nilaparvatae, keanekaragaman, ketiadaan inang, pematangan telur, pengendalian hayati
SUMMARY NURULLAH ASEP ABDILAH. Diversity and Reproductive Biology of Egg Parasitoids of Rice Brown Planthopper, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Supervised by TRI ATMOWIDI and DAMAYANTI BUCHORI. The existence of egg parasitoids in nature can be used as agents for biological control of N. lugens. Information related to the diversity and abundance of egg parasitoid of N. lugens can be used as pest control strategies, especialy on selection of egg parasitoid that can be used as biological control agents. Anagrus nilaparvatae Pang et Wang (Hymenoptera: Mymaridae) is a major egg parasitoid of brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). The success of biological control using A. nilaparvatae is greatly dependent on the reproductive ability of female parasitoids. Fitness of female parasitoids are shown by the high potential fecundity, parasitization rate, and lifespan of adult females. The more eggs that can be laid in the host will result in high mortality of the host so that the control becomes effective. The aims of this study were to study the diversity and abundance of egg parasitoids of N. lugens, the pattern of egg maturation of parasitoid A. nilaparvatae, effect of host deprivation and feeding, and interaction between host deprivation and feeding on the reproductive capacity of parasitoid A. nilaparvatae. A. nilaparvatae were collected by placing 30 days-old rice plants on 8 cm diameter plastic pots that has been infested by eggs of N. lugens. Exposure in the field were done for 2 consecutive days. After 2 days, rice plants were brought to Biological Control Laboratory and the leaves were cut 12 cm from above. Rice plants were kept in 8 cm x 50 cm plastic (mica) cages until adult stage of parasitoids emerged. Determination of A. nilaparvatae egg maturation pattern was done by dissecting newly eclosed females and counting the eggs inside the ovaries. Females ages 1, 2, 3, 4, 5, and 6 hours were also dissected. Wasps were mounted on glass objects using water and the abdomens dissected using micro pin. Mature eggs were calculated and documented. The effect of host deprivation toward reproductive capacity of A. nilaparvatae were observed by depriving female parasitoids of hosts for 3, 6, 9, 12, and 18 hours consecutively. Females were divided into two groups, i.e those that were fed 10% honey, and the other group were fed water. After treatments, female parasitoids were put into a 1 cm x 10 cm test tube containing rice seeds that had been infested eggs of N. lugens for 24 hours. Rice seeds were replaced with new rice seeds that had been infested eggs of N. lugens every 24 hours until the parasitoid died. Another group of parasitoids were given water and were treated with the same length of deprivation period. Variables measured included realized fecundity, parasitization rate, remaining eggs in the ovary, potential fecundity, and longevity of female parasitoid. Results showed that altogether, there were 4.156 individuals parasitoids captured that belonged to four family, and six species, i.e. Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Anagrus sp. (Mymaridae), Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), and Oligosita sp. (Trichogrammatidae). Oligosita sp. and A. nilaparvatae were dominant of egg parasitoid of N. lugens. Abundance of Oligosita sp. is highest among other egg parasitoids of N. lugens. Females of A.
nilaparvatae has mature eggs as many as 30.67 ± 4.35 eggs in early adult stage. The number of mature eggs increased to 37.07 ± 5.18 eggs after three hours. After that, the number of mature eggs relatively constant. Mature egg of A. nilaparvatae was elliptical with slender and long peduncle. Reproductive capacity of A. nilaparvatae decreased with increasing duration of deprivation period, including realized fecundity, parasitization rate, and longevity of female wasp. The decline in the reproductive capacity was strongly detected on host deprivated for 9 hours. Longevity of female wasps varied from one to three days, with higher values for 9 hours host deprivation and lower values for 18 hours host deprivation. Feeding 10% honey solution during the host deprivation reduce the impact of the decline in reproductive capacity due to the host deprivation. Key words: Anagrus nilaparvatae, biological control, diversity, host deprivation, egg maturation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEANEKARAGAMAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI PARASITOID TELUR WERENG COKLAT, Nilaparvata lugens STAL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
NURULLAH ASEP ABDILAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Pudjianto, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah ketiadaan inang, dengan judul Keanekaragaman dan Biologi Parasitoid Telur Wereng Coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Tri Atmowidi dan Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori selaku pembimbing serta Bapak Dr Ir Pudjianto selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori yang telah memberikan izin bagi penulis untuk menggunakan segala fasilitas laboratorium. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Araz Meilin, Ibu Adha Sari, Ibu Retno, Silvia Puspitasari, dan Budi Setiawan yang telah membantu dalam kelancaran dalam pengumpulan data. Penulis menyampaikan terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar Biosains Hewan (BSH) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, motivasi, perhatian, dan nasihat selama ini. Ucapan terima kasih untuk teman-teman Biosains Hewan angkatan 2012 atas kebersamaan, keceriaan, kehangatan, solidaritas, dan semangat yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk seluruh temanteman di Zoocorner Biosains Hewan, Departemen Biologi, FMIPA IPB dan Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman IPB atas dukungan dan persahabatan selama ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Februari 2015
Nurullah Asep Abdilah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 KEANEKARAGAMAN DAN DOMINANSI PARASITOID TELUR WERENG COKLAT, NILAPARVATA LUGENS STAL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) DI PERTANAMAN PADI DRAMAGA, BOGOR Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 3 PEMATANGAN TELUR, PENGARUH LAMA KETIADAAN INANG DAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KAPASITAS REPRODUKSI PARASITOID ANAGRUS NILAPARVATAE PANG ET WANG (HYMENOPTERA: MYMARIDAE) Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
1 1 3 3
4 5 6 9 29
30 31 33 37 53
4 PEMBAHASAN UMUM
54
5 SIMPULAN DAN SARAN UMUM
59
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
72
RIWAYAT HIDUP
77
DAFTAR TABEL 1 Kekayaan dan kelimpahan masing-masing spesies parasitoid telur N. lugens pada waktu pemerangkapan I, II, dan III di pertanaman padi Dramaga, Bogor 2 Jumlah telur yang diletakkan parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan 3 Keperidian parasitoid A. nilaparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan 4 Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan 5 Jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilaparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan 6 Potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan 7 Pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan pada parasitoid A. nilaparvatae terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul dan mati dalam jaringan padi
11 39 41 41 44 44
46
DAFTAR GAMBAR 1 Pembiakan N. lugens menggunakan bibit padi umur 2 minggu dalam stoples plastik 2 Pemerangkapan parasitoid telur N. lugens 3 Vegetasi habitat di lokasi pemerangkapan parasitoid telur N. lugens 4 Tumbuhan liar di pematang sawah dan sekitar lahan yang dijadikan tempat pemerangkapan parasitoid telur N. lugens 5 Kelimpahan relatif masing-masing spesies parasitoid telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor 6 Kekayaan, keragaman, kemerataan, dan dominansi spesies parasitoid telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor 7 Morfologi Anagrus nilaparvatae 8 Morfologi Anagrus sp. 9 Morfologi Oligosita sp. 10 Morfologi Tetrastichus formosanus 11 Morfologi Gonatocerus sp. 12 Morfologi Cyrtogaster near vulgaris 13 Morfologi tarsus dari parasitoid telur N. lugens yang diperangkap di area pertanaman padi Dramaga, Bogor 14 Pembiakan parasitoid A. nilaparvatae 15 Telur matang parasitoid A. nilaparvatae 16 Jumlah telur matang dalam ovari parasitoid A. nilaparvatae 17 Interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan parasitoid A. nilaparvatae di hari kedua 18 Interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari kedua 19 Interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap lama hidup imago betina parasitoid A. nilaparvatae
7 8 9 10 11 12 14 15 16 17 18 19 20 34 37 38 40 43 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 Telur N. lugens belum terparasit, telur N. lugens terparasit, pupa parasitoid A. nilaparvatae, dan praimago parasitoid A. nilaparvatae yang mati saat perkembangan dalam inang 2 Hasil analisis data
72 73
1 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pengendalian hayati merupakan upaya memanipulasi dan memanfaatkan musuh alami untuk mengurangi dan mengendalikan populasi hama, sehingga populasi hama berada di bawah ambang ekonomi (Mangoendiharjo dan Mahrub 1984; DeBach dan Rosen 1991; Norris et al. 2003). Musuh alami terbagi atas tiga kelompok, yaitu predator, parasitoid, dan patogen (Mangoendiharjo dan Mahrub 1984; Huffaker 2013). Peran parasitoid sebagai pengendali serangga hama berkaitan dengan sifat hidupnya. Parasitoid adalah serangga yang selama tahap pradewasa hidup di dalam atau di permukaan tubuh serangga atau arthropoda lain yang menjadi inangnya. Pradewasa parasitoid akan memakan bagian tubuh inangnya untuk tumbuh dan berkembang mencapai tahap dewasa. Inang dari parasitoid akan mengalami kematian dan dewasa parasitoid akan keluar dari inang serta hidup bebas (Quicke 1997). Menurut Godfray (1994), kelebihan parasitoid dibanding musuh alami lainnya adalah mampu mengendalikan hama secara spesifik, populasinya di lapang relatif cukup tinggi dan mampu menekan populasi serangga hama secara signifikan. Elzinga (2004) juga melaporkan beberapa kelebihan penggunaan parasitoid, yaitu umumnya sangat selektif, resistensi hama lebih sedikit, efek terhadap ekosistem lebih sedikit, dan tidak berbahaya terhadap manusia. Parasitoid dapat dibedakan menjadi parasitoid soliter dan parasitoid gregarius. Driesche et al. (2008) menyatakan bahwa bila hanya satu individu parasitoid yang dapat berkembang menjadi dewasa per individu inang disebut parasitoid soliter, sedangkan bila beberapa individu parasitoid dapat berkembang menjadi dewasa per individu inang disebut parasitoid gregarius. Pemanfaatan parasitoid sebagai agens pengendali hayati memerlukan beberapa studi, seperti eksplorasi, taksonomi, biologi, perilaku, dan ekologi (Barbosa 1998). Peran parasitoid dalam mengendalikan serangga hama dilakukan oleh individu betina dewasa melalui mekanisme oviposisi. Kebugaran terkait biologi perilaku reproduksi dari parasitoid betina menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan penekanan populasi serangga hama dalam pengendalian hayati. Kebugaran parasitoid betina dapat dilihat dari keperidian, tingkat parasitisasi, potensi produksi telur, nisbah kelamin keturunan, dan lama hidup. Keperidian menunjukkan jumlah telur yang diletakkan parasitoid dalam inang selama hidupnya. Tingkat parasitisasi merupakan banyaknya inang yang diparasit dari keseluruhan inang yang tersedia. Potensi produksi telur merupakan jumlah telur yang dapat diproduksi betina parasitoid selama hidup. Betina parasitoid yang berumur panjang akan memiliki lebih banyak waktu untuk oviposisi. Kebugaran dari betina parasitoid pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam reproduksinya (Handayani et al. 2004). Biologi reproduksi parasitoid adalah dasar dan terapan penting sebagai komponen sejarah hidup utama yang berkaitan dengan produksi telur dan fekunditas betina (Jervis et al. 1996), serta memengaruhi dinamika populasi inang dan parasitoid (Hegazi et al. 2013).
2 Pengendalian hama dilakukan parasitoid melalui parasitisasi terhadap serangga hama yang menjadi inangnya. Parasitisasi terjadi ketika betina parasitoid meletakkan telurnya dalam inang (Li et al. 1994). Parasitoid yang membiarkan inang tetap berkembang setelah telur diletakkan disebut koinobiont, sedangkan parasitoid yang menginjeksikan venom yang dapat melumpuhkan bahkan mematikan inang disebut idiobiont. Telur parasitoid menetas menjadi larva yang akan memakan bagian tubuh dari inang untuk mencapai tahap dewasa. Aktivitas makan dari larva parasitoid mengakibatkan mortalitas inang (Althoff 2003; Cameron et al. 2005; Desneux et al. 2009). Parasitisasi parasitoid yang mematikan inang menjadikan parasitoid merupakan agen kontol biologi yang baik (Jonsson et al. 2008; Shanker et al. 2012). Produksi dan pematangan telur parasitoid dapat terjadi selama perkembangan dalam inang menjelang tahap dewasa (proovigenik), atau setelah mencapai tahap dewasa (synovigenik). Proovigenik umumnya hidup singkat dan muncul pertama kali dari inang dengan telur matang yang lengkap (Flanders 1950). Selama perkembangan dalam inang, sumberdaya banyak dikonversi untuk produksi dan pematangan telur, sehingga menyebabkan lama hidup dewasa lebih singkat (Seyahooei et al. 2011). Produksi telur memerlukan energi yang besar dan dapat menyebabkan penurunan harapan hidup (Tatar dan Carey, 1995). Parasitoid synovigenik umumnya hidup lebih lama dan selama masa hidup dewasa mampu memproduksi telur matang (Kapranas et al. 2008). Kondisi ekologi seperti cuaca, suhu, dan ketersediaan inang dapat memengaruhi aktivitas parasitoid (Thompson et al. 2010). Keefektifan parasitoid sangat bergantung pada kemampuan mencari inang (host finding) dan menangani inangnya dalam kondisi lingkungan tertentu, seperti suhu, kelembapan, curah hujan, kualitas, jumlah, dan kepadatan inang (Godfray 1994; Dutton et al. 1996). Ketersediaan inang yang terbatas dapat memicu terjadinya superparasitisme dan mengakibatkan kematian pradewasa parasitoid (Hasriyanty 2008). Ketiadaan inang juga dapat menyebabkan penurunan jumlah telur, terutama disebabkan oleh penyerapan kembali dan kehilangan telur serta hasil dari penurunan keperidian secara umum (Fleury dan Bouletreau 1993; Navasero dan Elzen 1992; Hougardy et al. 2005; Hegazi et al. 2007; Rohmani et al. 2008; Akbar dan Buchori 2012). Parasitoid synovigenik mampu menyesuaikan produksi dan pematangan telur berdasarkan ketersediaan inang melalui resorpsi dan produksi kembali telur. Resorpsi telur yang dilakukan parasitoid synovigenik dapat menurunkan keperidiannya (Pelosse et al. 2011). Parasitoid proovigenik umumnya tidak mampu melakukan resorpsi telur ketika inang tidak tersedia. Penundaan oviposisi karena ketiadaan inang dapat menurunkan keberhasilan reproduksinya (Kant et al. 2013). Ketiadaan inang, baik selama pembiakan masal maupun setelah dilepas di lapangan, tampaknya menjadi faktor pembatas bagi parasitoid dalam mengendalikan hama. Pemantauan terhadap keberadaan inang perlu dilakukan sebelum parasitoid dilepas di lapangan karena akan menentukan ketepatan waktu pelepasan. Ketepatan waktu pelepasan parasitoid akan mengefisienkan pengendalian hayati yang dilakukan (Smith 1996). Ketersediaan pakan di alam juga merupakan faktor pembatas parasitoid dalam keberhasilan reproduksinya. Ketersediaan pakan pada tahap dewasa parasitoid dapat membatasi potensi oviposisi (Wackers 2004; Luo et al. 2010). Jervis et al. (1996) dan Thompson (1999) melaporkan bahwa parasitoid dewasa setelah muncul dari inang umumnya memerlukan pakan, seperti nektar atau serbuk sari untuk mempertahankan aktivitas mencari pakan dan mempertahankan
3 oogenesis. Proovigenik mengalokasikan pakan untuk pemeliharaan metabolisme tubuh, sedangkan parasitoid synovigenik, pakan lebih dibutuhkan untuk reproduksi (Savino et al. 2012). Keberhasilan pengendalian hayati dapat ditingkatkan melalui penyediaan tanaman penghasil nektar pada lanskap pertanian (Wackers 2004; Evans et al. 2010; Diaz et al. 2012; Shanker et al. 2012). Ketersediaan tanaman penghasil nektar juga dapat meningkatkan potensi pengendalian hayati, karena meningkatnya keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid (Herlinda 2007; Yaherwandi et al. 2008; Bianci dan Wackers 2008; Yaherwandi 2012). Salah satu serangga hama yang sampai saat ini sulit dikendalikan adalah wereng coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Pengendalian N. lugens secara hayati menggunakan parasitoid memerlukan beberapa studi yang saling terkait. Studi mengenai jenis-jenis parasitoid yang menyerang N. lugens dapat menjadi tahap awal untuk mendapatkan informasi mengenai parasitoid yang berpotensi dijadikan agens pengendali hayati N. lugens. Kajian perilaku reproduksi parasitoid betina, seperti pematangan telur dan pengaruh ketiadaan inang serta pakan terhadap kapasitas reproduksi betina parasitoid dapat menjadi acuan dalam strategi pengendalian hayati. Dalam tesis ini diuraikan beberapa judul atau topik, yaitu keanekaragaman dan dominansi parasitoid telur N. lugens pada pertanaman padi Dramaga, Bogor, pematangan telur parasitoid Anagrus nilaparvatae, serta pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman dan biologi reproduksi parasitoid telur wereng coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae) dan implikasinya terhadap pengendalian hayati.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam strategi pengendalian N. lugens di lapangan menggunakan parasitoid A. nilaparvatae.
4
2 KEANEKARAGAMAN DAN DOMINANSI PARASITOID TELUR WERENG COKLAT, NILAPARVATA LUGENS STAL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) PADA PERTANAMAN PADI DRAMAGA, BOGOR ABSTRAK Wereng coklat, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae) merupakan hama utama tanaman padi. Parasitoid telur dapat dijadikan agens pengendali hayati untuk menekan populasi N. lugens. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman dan dominansi parasitoid telur yang menyerang N. lugens. Parasitoid diperangkap dengan cara menempatkan 12 tanaman padi umur satu bulan yang telah diinfestasi telur N. lugens di pertanaman padi (5m x 25 m) dengan jarak 10 m antar tanaman. Tanaman padi dibiarkan selama dua hari. Tanaman padi diambil kembali dan diinkubasi di laboratorium sampai imago parasitoid muncul. Pemerangkapan dilakukan sebanyak tiga kali dengan rentang dua hari antar pemerangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parasitoid telur N. lugens yang dikoleksi dari pertanaman padi di Dramaga, Bogor sebanyak 4.156 individu, terdiri atas 4 famili dalam 6 spesies, yaitu Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Anagrus sp. (Mymaridae), Oligosita sp. (Trichogrammatidae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), dan Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae). Parasitoid Oligosita sp. dan A. nilaparvatae merupakan parasitoid yang dominan pada N. lugens. Kata kunci: Anagrus nilaparvatae, Oligosita, pengendalian hayati
ABSTRACT Brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae) is a major pest of rice. Egg parasitoids attacking N. lugens can be used as biological control agent. The aims of this study was to study the diversity and abundance of egg parasitoids of N. lugens. Parasitoids were collected by placing rice plants (30 days old) infested by eggs of N. lugens in 5 m x 25 m rice field with a distance of 10 m between pants. Rice plants were exposed for two days in the field. After 2 days, rice plants were brought to Biological Control Laboratory and the leaves were cut 12 cm from above. Rice plants were kept in 8 cm x 50 cm plastic (mica) cages until adult stage of parasitoids emerged. Collections of parasitoids were done 3 times with two days span between trapping. Results showed that altogether, there were 4.156 individuals parasitoids captured that belonged to four family, and six species, i.e. Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Anagrus sp. (Mymaridae), Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), and Oligosita sp. (Trichogrammatidae). Oligosita sp. and A. nilaparvatae were dominant of egg parasitoid of N. lugens. Abundance of Oligosita sp. is highest among other egg parasitoids of N. lugens. Key words: Anagrus nilaparvatae, biological control, Oligosita
5
PENDAHULUAN Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal: Hemiptera: Delphacidae) adalah serangga hama yang hidup dengan cara menghisap cairan pelepah daun tanaman padi sehingga pertumbuhan tanaman padi menjadi terhambat. N. lugens memiliki siklus hidup yang singkat, yaitu berkisar 23-25 hari pada suhu 28ºC. Imago betina N. lugens mampu menghasilkan sebanyak 100-500 telur. Telur menetas menjadi nimfa setelah 7-11 hari. Nimfa mengalami lima instar. Imago N. lugens terdiri atas dua bentuk, yaitu makroptera yang memiliki sayap sempurna sehingga mampu terbang dan brakhiptera yang memiliki sayap pendek (Mochida dan Okada 1979). Serangan N. lugens ditandai dengan menguningnya tanaman padi yang berlanjut pada kematian tanaman seperti terbakar (hopperburn) (Mochida dan Okada 1979). Serangan N. lugens secara luas di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1969 di Tegal yang mencapai 1.633 ha. Serangan semakin luas pada tahun 1975 yang mencakup hampir semua provinsi di Indonesia (Soenardi 1978 dalam Soemawinata dan Sosromarsono). Komulatif luas serangan N. lugens mencapai 3.119 ha pada tahun 2011 sampai dengan bulan Juni (Dinpertan 2012). Serangan N. lugens dilaporkan dari beberapa daerah diantaranya Tuban, Kudus, Demak, Karanganyar, Bojonegoro, Jombang, Lamongan, Wonogiri, dan Cianjur pada tahun 2013 hingga bulan Juli. N. lugens memiliki sifat plastis yang menjadikannya mudah beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan. N. lugens mampu membentuk populasi baru dalam waktu singkat, sehingga sulit untuk dikendalikan (Baehaki dan Munawar 2007). Pengendalian N. lugens sejauh ini masih menggunakan insektisida kimia yang dapat memicu terjadinya resistensi dan akhirnya berdampak pada resurgensi (Pedigo 2002). Penggunaan tanaman varietas tahan juga tidak mampu mengatasi serangan N. lugens dan menimbulkan biotipe baru yang lebih resisten (Baehaki dan Munawar 2007). Pengendalian N. lugens secara hayati dengan memanfaatkan musuh alami belum banyak dilakukan. Musuh alami, seperti parasitoid telur dari N. lugens yang sering dijumpai di lapangan adalah Anagrus sp. (Hymenoptera: Mymaridae), Gonatocerus sp. (Hymenoptera: Mymaridae), dan Oligosita sp. (Trichogrammatidae) (Yaherwandi dan Syam 2007). Anagrus sp. selain menyerang N. lugens juga dapat menyerang wereng hijau (Diani et al. 1992). Beberapa jenis Anagrus yang dapat ditemukan di Asia, antara lain Anagrus incarnatus Haliday, A. japanicus Sahad, A. nigriventris Giraulti, A. flaveolus Waterhouse, A. frequens Perkins, A. hirashinae Sahad, A. subfuscus Forster, A. optabilis Perkins, A. paniciculae Sahad, A. perforator Perkins (Sahad dan Hirashima 1984), serta A. nilaparvatae (Meilin 2012). Anagrus sp. yang dominan di Indonesia adalah A. optabilis dan A. flaveolus, serta A. nilaparvatae (Santosa dan Sulistyo 2007; Meilin 2012). Kemampuan Anagrus sp. memarasit telur N. lugens mencapai 38% pada tanaman padi dengan siklus hidup berlangsung selama 11-13 hari (Diani et al. 1992). Parasitoid Oligosita sp. termasuk parasitoid telur dari wereng batang dan wereng daun. Jenis Oligosita yang dapat ditemukan di lapangan, yakni Oligosita aesopi Girault dan O. neas Girault. Kemampuan Oligosita sp. memarasit telur N. lugens berkisar antara 10,5-37,2% dengan siklus hidup berlangsung selama 11-12 hari (Diani et al. 1992). Gonatocerus sp. juga merupakan parasitoid telur wereng
6 batang dan wereng daun. Beberapa spesies dari Gonatocerus sp. yang ditemukan di Asia, antara lain Gonatocerus decvivitatakus, G. litoralis, G. narayani, G. fukuokensis, G. sulfuripes, G. ulterdecomes, G. mumarus, G. cicadellae, G. miurae dan G. cincticipitis (Sahad and Hirashima 1984). Gonatocerus sp. mampu memarasit telur N. lugens dengan tingkat parasitisasi berkisar antara 1,16-6,04 %, wereng hijau 34,08 % dan wereng punggung putih 7,05 % (Diani et al. 1992). Chiu (1979) melaporkan terdapat 79 jenis musuh alami N. lugens diantaranya 34 parasitoid, 37 predator dan 8 patogen. Maryana (1994) dalam penelitiannya yang dilakukan di daerah Bogor dan Cianjur melaporkan bahwa parasitoid telur yang menyerang wereng hijau Nephotettix virescens (Distant) dan N. lugens meliputi lima spesies dalam dua famili, yaitu Trichogrammatidae dan Mymaridae, 4 spesies diantaranya termasuk famili Mymaridae. Yaherwandi dan Syam (2007) mengoleksi 8 spesies parasitoid telur N. lugens di Sumatera Barat, meliputi famili Mymaridae, Trichogrammatidae dan Eulophidae. Meilin (2012) melaporkan terdapat dua famili parasitoid telur N. lugens yang dikoleksi dari pertanaman padi di daerah Bantul, Yogyakarta, yaitu Mymaridae dan Trichogrammatidae. Keberadaan musuh alami mengalami perubahan seiring berubahnya kondisi lingkungan dan praktik budidaya yang dilakukan. Kajian mengenai keanekaragaman dan dominansi parasitoid telur N. lugens dapat menjadi acuan dalam strategi pengendalian N. lugens secara hayati. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman dan dominansi parasitoid telur yang menyerang N. lugens.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013-September 2014 di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Pembuatan preparat parasitoid dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi, FMIPA IPB. Pemerangkapan parasitoid telur N. lugens dilakukan di area pertanaman padi Dramaga, Bogor.
Penyediaan Tanaman Padi Benih padi yang digunakan adalah varietas Mekongga yang rentan terhadap N. lugens. Benih padi direndam dalam air selama 24 jam. Benih dibilas kemudian disemai dalam stoples plastik. Stoples ditutup dengan kain kasa sebagai aerasi. Benih dibiarkan tumbuh menjadi bibit dan dipelihara. Bibit padi umur satu minggu digunakan sebagai medium pembiakan N. lugens. Sebanyak tiga benih padi ditanam dalam medium pada gelas plastik (diameter atas 8 cm dan bawah 6 cm). Medium terdiri atas tanah kebun dan kompos dengan perbandingan 1:1. Benih padi yang tumbuh menjadi bibit dipelihara hingga menjadi tanaman.
7 Tanaman padi umur satu bulan digunakan untuk pemerangkapan parasitoid di lapangan.
Pembiakan N. lugens N. lugens diperoleh dari Rumah Kaca Cikeumeuh, Cimanggu, Bogor. N. lugens dibiakkan dalam bibit padi (umur satu minggu setelah semai) yang ditanam secara hidroponik dalam stoples plastik (Gambar 1). Selama pembiakan, air selalu dikontrol untuk menjaga kelembaban dalam stoples. Imago betina N. lugens yang gravid digunakan untuk persiapan dalam pemerangkapan parasitoid. N. lugens yang gravid dicirikan dengan abdomen yang lebih besar.
Gambar 1 Pembiakan N. lugens menggunakan medium bibit padi umur satu minggu dalam stoples plastik.
Pemerangkapan Parasitoid Telur N. lugens Pemerangkapan parasitoid dilaksanakan di pertanaman padi umur satu bulan. Pemerangkapan dilakukan sebanyak tiga kali dengan rentang waktu antar pemerangkapan adalah 2 hari. Duapuluh imago betina N. lugens gravid diinfestasikan ke tanaman padi umur satu bulan. Tanaman padi dikurung dengan kurungan plastik mika bening berbentuk silinder (diameter 8 cm, tinggi 50 cm) dengan bagian atasnya diberi kain kasa. Imago N. lugens gravid dibiarkan meletakkan telur dalam jaringan tanaman padi selama dua hari. Parasitoid diperangkap dengan menempatkan duabelas tanaman padi yang telah diinfestasi telur N. lugens pada area pertanaman padi (luas 1.250 m2) secara sistematis dengan jarak 10 meter antar masing-masing tanaman. Tanaman padi selanjutnya diambil dan dibawa ke laboratorium setelah dua hari. Daun tanaman padi dipangkas sehingga hanya tersisa bagian batangnya. Pemangkasan daun bertujuan untuk membuang telur serangga lain yang mungkin diletakkan pada daun selama di lapangan. Tanaman padi diberi kurungan silinder (diameter 8 cm, tinggi 50 cm) dari plastik mika yang bagian atasnya diberi kain kasa. Tanaman
8 padi dipelihara sampai akhir pengamatan. Imago parasitoid yang muncul ditangkap menggunakan tabung reaksi (Gambar 2). a
b
c
Gambar 2 Pemerangkapan parasitoid telur N. lugens: persiapan (a), peletakan padi di lapangan (b), padi yang daunnya telah dipangkas (c).
Pengamatan dan Identifikasi Parasitoid yang Terperangkap Kelimpahan dan keanekaragaman parasitoid dihitung berdasarkan parasitoid yang muncul. Parasitoid dibuat preparat sementara dengan meletakkannya di atas gelas objek yang telah ditetesi dengan larutan polivinil ethanol, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Preparat dipanaskan pada hot plate selama tujuh hari selanjutnya diamati menggunakan mikroskop Olympus BX51 dan didokumentasikan dengan kamera Olympus. Bagian yang menjadi fokus pengamatan adalah antenna, sayap depan (forewings), tarsus, dan alat genetalia betina. Spesimen diidentifikasi berdasarkan Askew (1965), Doutt (1955), Graham dan Robert (1969), Heydon (1989), Huber et al. (2009), Lin et al. (2007), Pricop (2013), Timberlake (1921), Triapitsyn (2000), Triapitsyn (2002), Triapitsyn dan Berezovskiy (2004), Triapitsyn (2010), Viggiani dan Rao (1978), Yousuf dan Shaffe (1978). Berdasarkan karakter morfologi dari spesies-spesies yang telah teridentifikasi dilakukan pembuatan kunci identifikasi untuk famili dan morfospesies. Analisis Data Analisis data meliputi penghitungan kekayaan spesies (S), indeks keragaman Shannon (H’), kemerataan spesies Pielou (J’), dan indeks dominansi Simpson (D) (Magurran 1988).
9
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Deskripsi Lokasi Pemerangkapan Parasitoid Telur N. lugens Lokasi yang dijadikan tempat pemerangkapan parasitoid N. lugens merupakan area pertanaman padi polikultur. Pertanaman palawija, seperti kacang hijau, jagung, dan cabai juga ditemukan di lokasi pemerangkapan (Gambar 3). Lokasi pertanaman padi berdekatan dengan jalan raya dan pemukiman penduduk. Jarak antara jalan raya dan pemukiman penduduk dengan lokasi pertanaman padi berkisar 20-100 m. Di sekitar pertanaman padi terdapat tumbuhan liar, semak belukar, dan terdapat aliran sungai kecil. Tumbuhan liar berbunga juga ditemukan di pematang sawah (Gambar 4). a
b
c
d
Gambar 3 Vegetasi habitat di lokasi pemerangkapan parasitoid N. lugens: pertanaman padi (a), pertanaman kacang hijau, cabai dan jagung (b), semak belukar (c), tumbuhan liar dan rerumputan (d).
10
Gambar 4 Tumbuhan liar di pematang sawah dan sekitar lahan tempat pemerangkapan parasitoid telur N. lugens.
Keanekaragaman dan Kelimpahan Parasitoid Telur N. lugens di Pertanaman Padi Dramaga, Bogor Parasitoid telur N. lugens yang berhasil dikoleksi dari pertanaman padi di Dramaga, Bogor sebanyak 4.156 individu, meliputi 6 spesies dalam 4 famili, yaitu Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Anagrus sp. (Mymaridae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Oligosita sp. (Trichogrammatidae), dan Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae). Parasitoid telur N. lugens paling sedikit didapatkan dari pemerangkapan I dan paling banyak didapatkan dari pemerangkapan II (Tabel 1). Parasitoid Oligosita sp. dan A. nilaparvatae lebih dominan dibandingkan dengan parasitoid telur N. lugens lainnya (Gambar 5). Pemerangkapan I memperoleh parasitoid telur N. lugens sebanyak 759 individu dalam 5 spesies, yaitu A. nilaparvatae (178 individu), Anagrus sp. (3 individu), Oligosita sp. (524 individu), T. formosanus (34 individu), dan Gonatocerus sp. (20 individu). Pemerangkapan II memperoleh 2.331 individu parasitoid telur N. lugens dalam 5 spesies, yaitu A. nilaparvatae (495 individu), Anagrus sp. (5 individu), Oligosita sp. (1.721 individu), T. formosanus (95 individu), dan Gonatocerus sp. (15 individu). Pemerangkapan III memperoleh parasitoid telur N. lugens sebanyak 1.066 individu dalam 6 spesies, yaitu A. nilaparvatae (153 individu), Anagrus sp. (4 individu), Oligosita sp. (814 individu), T. formosanus (65 individu), Gonatocerus sp. (12 individu), dan Cyrtogaster near vulgaris (18 individu) (Tabel 1).
11 Tabel 1 Kekayaan dan kelimpahan masing-masing spesies parasitoid telur N. lugens pada waktu pemerangkapan I, II, dan III di pertanaman padi Dramaga, Bogor. Spesies parasitoid Anagrus nilaparvatae Anagrus sp. Oligosita sp. Tetrastichus formosanus Gonatocerus sp. Cyrtogaster near vulgaris Total individu Total spesies
Waktu pemerangkapan I II III 178 495 153 3 5 4 524 1721 814 34 95 65 20 15 12 0 0 18 759 2331 1066 5 5 6
Famili Mymaridae Mymaridae Trichogrammatidae Eulophidae Mymaridae Pteromalidae
Kelimpahan relatif parasitoid telur N. lugens dari keseluruhan pemerangkapan (I, II, dan III) berturut-turut, adalah A. nilaparvatae sebanyak 826 individu (19,87%), Anagrus sp. sebanyak 12 individu (0,29%), Oligosita sp. sebanyak 3.059 individu (73,60%), T. formosanus sebanyak 194 individu (4,67%), Gonatocerus sp. sebanyak 47 individu (1,13%), dan Cyrtogaster near vulgaris sebanyak 18 individu (0,43%). Kelimpahan Oligosita sp. tertinggi dibandingkan dengan parasitoid N. lugens lainnya (Gambar 5).
4.67% 1.13% 0.43% Anagrus nilaparvatae Anagrus sp. 73.60%
19.87%
Oligosita sp. Tetrastichus formosanus Gonatocerus sp.
0.29% Cyrtogaster near vulgaris
Gambar 5 Kelimpahan relatif masing-masing spesies parasitoid telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor
Hasil pemerangkapan parasitoid telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor dari pemerangkapan I, II, dan II memiliki kekayaan, keragaman, kemerataan, dan dominansi spesies yang cenderung tidak berbeda. Kekayaan spesies parasitoid telur N. lugens dari pemerangkapan III memiliki nilai tertinggi (S=6 spesies), sementara pemerangkapan I dan II memiliki kekayaan spesies yang sama (S=5 spesies). Indeks keragaman tertinggi hingga terendah berturut-turut
12 diperoleh pada pemerangkapan I (H’=0,85), III (H’=0,79), dan II (H’=0,72). Distribusi kelimpahan spesies pada pemerangkapan I (J’=0,53) lebih merata dibandingkan pemerangkapan II (J’=0,45) dan III (J’=0,44). Dominansi spesies tertinggi terdapat pada pemerangkapan III (D=0,60), diikuti dengan pemerangkapan II (D=0,59) dan I (D=0,53) (Gambar 6). 7 6 Nilai indeks S, H', J', dan D
6 5
5
5 4 3 2 0.85 0.72 0.79
1
0.53 0.45 0.44
0.53 0.59 0.6
Kemerataan spesies (J')
Dominansi spesies (D)
0 Kekayaan spesies (S)
Keragaman spesies (H')
Pemerangkapan I
Pemerangkapan II
Pemerangkapan III
Gambar 6 Kekayaan, keragaman, kemerataan, dan dominansi spesies parasitoid telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor.
Deskripsi Parasitoid Telur N. lugens Imago A. nilaparvatae memiliki panjang tubuh berkisar 0,4-0,6 mm, berwarna coklat kemerahan. Bagian kepala berbentuk segiempat. Kepala lebih besar dari toraks. Pada kepala terdapat 3 oseli. Parasitoid jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk dan jumlah ruas antena. Jantan memiliki antena beruas 13 dan tidak bergada, sedangkan betina memiliki antena beruas sembilan dan pada ruas terakhir antena berbentuk gada. Sayap depan sempit dengan silia diskal jarang. Sayap belakang lebih sempit dan lebih pendek dari sayap depan. Silia marjinal pada sayap depan dan sayap belakang panjang (Gambar 7). Tarsus beruas empat (Gambar 13) (Meilin 2012). A. nilaparvatae memiliki funikel ruas pertama hampir berbentuk bulat (subglobular), ukurannya lebih pendek 4 kali dari panjang funikel ruas kedua dan ovipositornya panjang kurang excerted. Imago Anagrus sp. memiliki panjang tubuh berkisar 0,4-0,6 mm. Anagrus sp. memiliki funikel ruas pertama langsing dengan ukuran lebih panjang dari pedisel (Gambar 8). Ovipositor Anagrus sp. lebih pendek dan excerted (langsing) serta bagian akhir tarsomer termodifikasi menjadi taji (Gambar 13).
13 Imago Oligosita sp. memiliki panjang tubuh berkisar 0,5-0,6 mm dan memiliki warna kecoklatan. Antena pada betina parasitoid pendek, menyiku dan berujung gada. Gada memiliki 3 ruas. Funikel antena betina terdapat dua ruas (cincin+hanya funikel). Sayap depan agak memanjang dengan silia marjinal. Panjang silia marjinal adalah setengah dari lebar sayap maksimum. Silia diskal (mikrotrikhia) sayap depan tersusun dalam baris dan tidak banyak (jarang). Pedisel lebih pendek dari skapus. Funikel berukuran dua kali panjang pedisel (Gambar 9) (Meilin 2012). Ujung abdomen jantan berwarna gelap kehitaman namun terang pada betina. Tarsus memiliki 3 ruas (Gambar 13). Panjang tubuh imago betina Tetrastichus formosanus berkisar 0,94-1,53 mm, sedangkan jantan berkisar 0,8-1,13 mm. Imago berwana kuning pucat kehijauan dengan berkas kehitaman pada bagian dorsal toraks dan abdomen. Kepala agak lebih lebar dari toraks. Antena berwarna kuning pucat kecoklatan. Antena betina terdiri atas 10 segmen yang tersusun atas skapus, pedisel, cincin 4 ruas, funikel 3 ruas dan klub. Ruas cincin pertama dan keempat lebih panjang daripada ruas cincin yang lainnya. Funikel ruas pertama lebih panjang dibandingkan dua ruas funikel lainnya. Funikel dan klub dilengkapi dengan rambut sensila yang panjang dan lebat sementara rambut sensila pada skapus dan pedisel lebih pendek dan jarang. Pronotum dengan deretan rambut-rambut halus di sepanjang marjin posterior. Mesoskutum dengan dua atau tiga pasang rambut di setiap sisinya. Sayap depan lebar dengan silia marjinal yang panjang pada margin posterior. Silia marjinal lebih pendek dari vena stigmal. Vena marjinal lebih dari dua kali submarjinal yang dilengkapi dengan sebelas atau duabelas rambut yang sedikit lebih panjang dari rambut pada margin posterior. Sayap belakang lebih sempit dari sayap depan. Imago jantan memiliki antena yang terdiri atas 3 ruas cincin, 4 ruas funikel, dan klub. Skapus antena jantan mengalami pembesaran dan berbentuk cenderung globular (Gambar 10) (Timberlake 1921). Imago Gonatocerus sp. memiliki panjang tubuh berkisar antara 1-2 mm. Kepala dan mesosoma betina dan jantan gelap. Betina memiliki antena bersegmen 11 dengan klub dan 8 ruas funikel. Jantan memiliki antena bersegmen 13 dan tidak memiliki klub. Sayap depan luas dengan panjang 2-3 kali dari lebar. Venasi sayap depan pendek kurang dari separuh panjang sayap. Pronotum terbagi dan tanpa carinae melintang. Gaster coklat muda sampai coklat tua kehitaman (Gambar 11). Petiole tidak jelas. Tungkai panjang dan ramping. Tarsus beruas lima (Gambar 13). Tubuh sangat tersklerotisasi namun kurang terkitinisasi (Pricop 2013). Imago Cyrtogaster near vulgaris memiliki panjang tubuh berkisar 2 mm. Maksila jantan pada segmen kedua dari belakang menggembung. Sayap depan dengan sel basal. Spekulum sayap depan terbuka ke bawah. Gaster betina mengalami sklerotisasi (tergit) sekitar tigaperempat dari gaster. Toraks membungkuk (gibbous) (Gambar 12) (Askew 1965). Tarsus beruas lima dengan bagian akhir tarsomer termodifikasi menjadi taji (Gambar 13).
14
a
b
c
d
e
f
Gambar 7 Morfologi Anagrus nilaparvatae: imago betina (a), imago jantan (b), antena betina (c), antena jantan (d), sayap depan betina (e), sayap depan jantan (f).
15
a
b
c
d
e
f Gambar 8 Morfologi Anagrus sp.: imago betina (a), imago jantan (b), antena betina (c), antena jantan (d), sayap depan jantan (e), sayap belakang jantan (f).
16
a
b
c
d
e
Gambar 9 Morfologi Oligosita sp.: imago betina (a), imago jantan (b), sayap depan betina (c), sayap belakang betina (d), dan antena betina (e).
17 a b
c
d
e
f Gambar 10 Morfologi Tetrastichus formosanus: imago betina (a), imago jantan (b), antena jantan (c), antena betina (d), sayap depan betina (e), sayap belakang betina (f).
18 a
b
c
d
e
Gambar 11 Morfologi Gonatocerus sp.: imago betina (a), ovipositor (b), antena betina (c), antena jantan (d), sayap jantan (e).
19
a
b
c
d
e
f Gambar 12 Morfologi Cyrtogaster near vulgaris: imago betina (a), imago jantan (b), antena betina (c), antena jantan (d), sayap depan betina (e), sayap belakang betina (f).
20 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) Gambar 13 Morfologi tarsus parasitoid telur N. lugens: Anagrus nilaparvatae (1), Anagrus sp. (2), Oligosita sp. (3), Tetrastichus formosanus (4), Gonatocerus sp. (5), Cyrtogaster near vulgaris (6).
21 Kunci Identifikasi Famili Parasitoid Telur N. lugens dari Pertanaman Padi 1 Tarsi terdiri atas 3 segmen, berukuran sangat kecil (minute), antena sangat pendek dan terdiri atas 3 segmen, silia diskal tersusun dalam garis longitudinal......................................................................... Trichogrammatidae - Tarsi terdiri atas 4 atau 5 segmen, berukuran sangat kecil (minute) sampai agak besar, antena panjang dan terdiri atas 9-11 segmen, silia diskal lebih merata tidak tersusun dalam garis longitudinal.............................................................. 2 2 Bagian basal sayap belakang menyerupai tangkai, sayap dan tungkai panjang serta ramping, silia marjinal sebagian besar panjang, soket antena berjauhan, gaster umumnya memiliki petiole.................................................... Mymaridae - Bagian basal sayap belakang tidak menyempit seperti tangkai, sayap dan tungkai gemuk dan berbeda bentuk, silia marjinal tidak panjang...................... 3 3 Sayap depan memiliki vena marjinal yang panjang dan luas, postmarjinal, dan vena stigmal yang berkembang dengan baik, spekulum jelas, bagian akhir tarsomer termodifikasi menjadi taji (clawn)...................................Pteromalidae - Sayap depan memiliki vena marjinal yang relatif panjang, postmarjinal, dan vena stigmal yang pendek, bagian akhir tarsomer tidak mengalami modifikasi.......................................................................................... Eulophidae
Kunci Identifikasi Morfospesies Parasitoid Telur N. lugens dari Pertanaman Padi 1 Tarsi terdiri atas 4 atau 5 segmen, bagian basal sayap belakang menyempit seperti tangkai..................................................................................................... 2 - Tarsi terdiri atas 3 segmen, bagian basal sayap belakang tidak menyempit seperti tangkai, antena betina terdiri atas 2 segmen funikel (cincin dan funikel), sayap depan memiliki silia diskal yang jarang dan tersusun dalam baris, silia marjinal setidaknya setengah dari lebar sayap maksimum.............. Oligosita sp. 2 Ovipositor pendek dan langsing (exerted), antena betina terdiri atas 6 funikel dan klub yang padat, funikel ruas pertama langsing dan lebih panjang dari pedisel, antena jantan bersegmen 13 dan tidak memiliki klub................................................................................................... Anagrus sp. - Ovipositor panjang dan kurang exerted...............................................................3 3 Gaster melekat dengan propodeum, mesopostphragma jelas memproyeksikan terhadap gaster, antena betina memiliki 6 segmen funikel dengan klub, funikel ruas pertama berbentuk subglobular berukuran 4 kali lebih pendek dari panjang funikel ruas kedua, skutelum diikuti oleh sepasang pelat yang terpisah dengan jelas (postskutelum), antena jantan bersegmen 13 dan tidak memiliki klub ........................................................................................... Anagrus nilaparvatae
22 - Gaster melekat pada propodeum atau memiliki petiole yang jelas atau kurang jelas, mesopostphragma tidak atau hampir tidak memproyeksikan terhadap gaster................................................................................................................... 4 4 Tarsi terdiri atas 5 segmen.................................................................................. 5 - Tarsi terdiri atas 4 segmen.................................................................................. 6 5 Petiole pendek dan tidak jelas, propodeum tanpa atau dengan carinae longitudinal, gaster coklat muda sampai coklat tua kehitaman, kepala dan mesosoma betina maupun jantan gelap, antena betina terdiri atas 11 segmen dan memiliki klub sedangkan jantan 13 segmen tanpa klub............................................................................................ Gonatocerus sp. - Petiole lebih panjang dari lebar, toraks membungkuk (gibbous), antena betina maupun jantan terdiri atas 11 segmen dan memiliki klub, segmen terakhir dari palpus maksila pada jantan berbentuk klavata........... Cyrtogaster near vulgaris 6 Gaster melekat pada propodeum, antena jantan terdiri atas 10 segmen (3 cincin dan 4 funikel) dan klub terbagi atas 3 ruas, skapus antena jantan mengalami pembesaran dan berbentuk globular, antena betina terdiri atas 4 cincin dan 3 funikel serta klub yang terbagi atas 2 ruas................... Tetrastichus formosanus
23
PEMBAHASAN Keanekaragaman parasitoid telur N. lugens dari hasil penelitian ini lebih bervariasi dibandingkan dengan hasil penelitian Meilin (2012) yang mengoleksi dua famili parasitoid telur N. lugens, yaitu Mymaridae (Anagrus nilaparvatae dan A. optabilis) dan Trichogrammatidae (Oligosita sp.). Yaherwandi dan Syam (2007) mengoleksi 8 spesies parasitoid telur N. lugens yang terdiri atas tiga famili, yaitu Eulophidae, Mymaridae, dan Trichogrammatidae. Maryana (1994) berhasil mengoleksi 5 spesies dalam dua famili parasitoid telur N. lugens, yaitu Mymaridae dan Trichogrammatidae. Berbedanya keanekaragaman ini mungkin disebabkan oleh perbedaan lokasi yang dijadikan sebagai tempat koleksi parasitoid telur N. lugens. Meilin (2012) mengoleksi parasitoid telur N. lugens di daerah Bantul, Yogyakarta, Yaherwandi dan Syam (2007) di Sumatera Barat, dan Maryana (1994) di Bogor dan Cianjur. Perbedaan lokasi dalam cakupan yang luas dapat menunjukkan kondisi abiotik dan biotik, seperti garis lintang, demografi, iklim, curah hujan, suhu, vegetasi habitat, dan lanskap yang berbeda (Noyes 1989; Hamid 2002; Herlinda 2007; Altieri 1999; Yaherwandi et al. 2008). Kondisi abiotik dan biotik memengaruhi perkembangan organisme dan jejaring makanan dalam ekosistem, sehingga memengaruhi komposisi spesies flora dan fauna (Herlina et al. 2011). Hamid (2002) menyatakan bahwa parasitoid dengan inang yang sama di suatu daerah cenderung berbeda dengan daerah lainnya dan menunjukkan jumlah spesies yang berbeda. Adaptasi parasitoid terhadap lingkungan berbeda di setiap daerah, sehingga keanekaragamannya berbeda (Corff et al. 2000). Lokasi yang dijadikan tempat koleksi parasitoid telur N. lugens oleh Meilin (2012) berupa hamparan luas pertanaman padi monokultur (lanskap sederhana), sedangkan dalam penelitian ini, koleksi parasitoid dilakukan di area pertanaman padi polikultur, meliputi padi, palawija, dan tumbuhan liar (Gambar 3). Yaherwandi dan Syam (2007) melakukan koleksi di pertanaman padi monokultur dan polikultur. Keanekaragaman habitat dan struktur lanskap suatu daerah memengaruhi keanekaragaman parasitoid telur N. lugens. Perovic et al. (2010) menyatakan bahwa lanskap sederhana dari suatu pertanian memiliki pengaruh negatif terhadap keanekaragaman dan aktivitas musuh alaminya. Lanskap pertanian kompleks suatu daerah yang luas meningkatkan keanekaragaman parasitoid (Hamid 2002; Kruess 2003; Yaherwandi et al. 2008). Lanskap pertanian yang kompleks menyediakan vegetasi yang bervariasi daripada lanskap sederhana. Menurut Herlinda (2007), vegetasi tumbuhan yang lebih bervariasi cenderung memiliki keanekaragaman spesies fauna yang lebih tinggi. Hamid et al. (2006) melaporkan bahwa lanskap Nyalindung dengan struktur yang kompleks dan terdiri atas ekosistem padi, palawija, dan sayuran memiliki jumlah individu, spesies, dan famili Hymenoptera yang lebih tinggi daripada lanskap Gasol dan Selajambe yang merupakan ekosistem padi monokultur. Yaherwandi (2009) melaporkan bahwa ekosistem sayuran polikultur yang terdiri dari berbagai habitat (padi, sayur-sayuran dan tumbuhan liar) membentuk struktur lanskap pertanian yang lebih kompleks daripada ekosistem sayuran dan padi monokultur. Habitat-habitat tersebut menyediakan berbagai sumberdaya seperti inang alternatif, pakan serangga dewasa (serbuk sari dan nektar), habitat tanaman lain sebagai tempat berlindung, kontinuitas ketersediaan pakan, dan iklim mikro yang sesuai
24 bagi kelangsungan hidup dan keanekaragaman parasitoid. Menurut Hamid et al. (2003), persawahan dengan struktur lanskap yang berdekatan dengan hutan memiliki keanekaragaman parasitoid yang tinggi dikarenakan terjadi invasi parasitoid dari hutan ke persawahan. Habitat di sekitar pertanaman padi, termasuk tumbuhan liar, dapat meningkatkan keanekaragaman parasitoid telur N. lugens. Selama pengamatan di lapangan dijumpai banyak tumbuhan liar berbunga di pematang sawah dan sekitar lahan (Gambar 4). Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid dapat dipengaruhi oleh keberadaan tumbuhan liar berbunga sebagai sumber serbuk sari dan nektar (Bianchi dan Wackers 2008; Yaherwandi, 2012; Meidalima 2013). Yaherwandi et al. (2008) menambahkan bahwa habitat tumbuhan liar di sekitar pertanaman padi, selain menyediakan nektar, juga merupakan sumber serangga herbivor bukan hama yang dapat menjadi inang alternatif bagi Hymenoptera parasitoid. Herlinda (2007) melaporkan bahwa habitat musuh alami hama padi tidak hanya pertanaman tetapi juga habitat bukan pertanaman (uncrop habitats), seperti tumbuhan liar yang tumbuh di pinggir atau sekitar pertanaman padi. Lahan pinggir bervegetasi liar tersebut tidak hanya menyediakan mangsa/inang bagi musuh alami, melainkan juga menyediakan sumber pakan (nektar, embun madu dan serbuk sari) bagi predator maupun parasitoid, sebagai tempat berlindung (refuges), dan sebagai koridor yang menghubungkan dua musim tanam padi. Menurut Suana dan Haryanto (2007), habitat pinggir di sekitar tanaman budidaya dapat menjadi habitat sementara bagi serangga, apabila tanaman budidaya tidak tersedia di sawah, lalu melakukan rekolonisasi apabila habitat utamanya telah tersedia. Herlina et al. (2011) menambahkan bahwa kondisi habitat sekitar lahan dapat memengaruhi jejaring makanan (food web) antara parasitoid dengan inangnya. Manipulasi lanskap pertanian dengan menyediakan berbagai tanaman penghasil bunga dapat meningkatkan keanekaragaman musuh alami yang berada di dalamnya (Rebek et al. 2005). Lokasi yang dijadikan tempat pemerangkapan parasitoid dalam penelitian ini berupa pertanaman padi dataran rendah yang di sekitarnya terdapat semak belukar dan dekat dengan sungai kecil (Gambar 3). Pemerangkapan parasitoid dilakukan selama musim kemarau. Keanekaragaman parasitoid diantaranya dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat dan musim. Keanekaragaman parasitoid di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi dikarenakan beragamnya tipe habitat di dataran rendah, seperti rawa dan semak belukar atau hutan sekunder yang merupakan sumber invasi parasitoid. Faktor lingkungan di musim kemarau lebih mendukung untuk perkembangan berbagai spesies serangga. Faktor abiotik seperti suhu dan kelembapan pada musim kemarau lebih sesuai untuk berbagai spesies parasitoid dan serangga inang berkembangbiak dibandingkan musim hujan (Riyanto et al. 2011; Hamid et al. 2003). Kondisi tersebut membuat keberadaan serangga inang lebih melimpah dan beragam di musim kemarau daripada musim hujan. Tingginya keanekaragaman serangga inang akan memengaruhi tingkat tropik di atasnya dalam hal ini parasitoid yang menggunakan serangga inang sebagai sumberdaya bagi kelangsungan hidupnya. Keanekaragaman serangga inang yang tinggi menyebabkan parasitoid yang menyerang serangga inang pada pertanaman padi menjadi lebih beragam. Ketersediaan pilihan inang yang lebih banyak selanjutnya akan mempertinggi indeks keanekaragaman parasitoid (Hamid
25 et al. 2003). Keanekaragaman parasitoid akan mengikuti keanekaragaman inangnya pada kondisi habitat yang mendukung (Heinrichs et al. 1994). Selama pengamatan di lapangan, tumbuhan liar yang terdapat di pematang sawah maupun di sekitar lahan tidak dibersihkan (Gambar 3). Praktik pertanian tradisional meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid. Menurut Hamid et al. (2003), penggunaan bahan-bahan alami dalam pengendalian serangga hama yang tidak mematikan parasitoid memberikan keuntungan dalam mempertinggi keanekaragaman parasitoid. Praktik pertanian dengan tidak membersihkan tanaman yang berada di sekitar sawah menyebabkan parasitoid dapat memperoleh pakan tambahan sehingga kelangsungan hidupnya terjaga. Praktik pembersihan tanaman yang ada di sekitar sawah turut memengaruhi keberadaan parasitoid karena sumberdaya yang dibutuhkan parasitoid tidak atau kurang tersedia sehingga kelangsungan dan keberadaanya di sawah juga akan menurun. Hal ini erat kaitannya dengan berkurangnya serangga inang primer dan alternatif di dalam pertanaman dan habitat sekelilingnya. Penyemprotan pestisida di lokasi pemerangkapan parasitoid tidak dilakukan secara intensif, melainkan diaplikasikan sebanyak dua kali selama musim tanam. Cara budidaya dengan penggunaan bahan kimia secara rasional dapat meningkatkan kelimpahan musuh alami terutama predator (Widiarta et al. 2006). Garratt et al. 2011 melaporkan bahwa sistem pertanian organik (tanpa pestisida) dapat meningkatkan keanekaragaman dan aktivitas musuh alami. Penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida) yang intensif dalam budidaya tanaman dapat menekan populasi musuh alami karena musuh alami lebih rentan terhadap pestisida daripada serangga hama (Widiarta et al. 2006). Wei et al. (2005) menyatakan bahwa aplikasi insektisida secara intensif terhadap kutudaun dapat membunuh banyak musuh alaminya termasuk parasitoid. Aplikasi pestisida harus dibatasi waktu, kuantitas, dan intervalnya untuk menciptakan habitat yang sesuai bagi musuh alami. Menurut Coll (1998) penggunaan pestisida dapat berakibat langsung maupun tidak langsung terhadap parasitoid. Secara langsung pestisida yang mengenai tubuh parasitoid dapat membunuh parasitoid. Secara tidak langsung pestisida dapat mengakibatkan nektar dan polen yang diambil dari tanaman oleh parasitoid menjadi beracun dan residu yang ditinggalkan pada bagian tanaman dapat membunuh parasitoid. Kekayaan dan keanekaragaman parasitoid telur N. lugens dari pemerangkapan I, II, dan III dalam penelitian ini cenderung tidak berbeda (Gambar 6). Hal ini mungkin disebabkan karena rentang antara pemerangkapan I ke pemerangkapan berikutnya hanya dua hari. Keanekaragaman parasitoid telur N. lugens dari pemerangkapan I lebih tinggi walaupun kekayaan spesiesnya lebih rendah dari pemerangkapan III dan kelimpahannya lebih rendah dari pemerangkapan II dan III. Hal ini terjadi karena indeks kemerataan pada pemerangkapan I lebih tinggi daripada pemerangkapan II dan III. Indeks kemerataan menunjukkan komunitas parasitoid N. lugens pada pemerangkapan I lebih merata dibandingkan pemerangkapan II dan III. Dominansi spesies juga lebih tinggi terjadi pada pemerangkapan II dan III (Gambar 6). Indeks keanekaragaman Shannon (H’) dipengaruhi oleh kemerataan spesies dalam komunitas (Magurran 1988). Hasil penelitian ini mirip dengan yang dilaporkan Meilin (2012) bahwa A. nilaparvatae dan Oligosita sp. merupakan spesies yang dominan memarasit telur
26 N. lugens pada pertanaman padi di Bantul, Yogyakarta. Maryana (1994) melaporkan bahwa Anagrus sp. dan Oligosita sp. merupakan spesies yang dominan memarasit telur N. lugens pada pertanaman padi di Bogor dan Cianjur. Yaherwandi dan Syam (2007) juga melaporkan bahwa Anagrus sp., Gonatocerus sp.A, dan Oligosita sp. adalah spesies parasitoid telur N. lugens yang umum ditemukan pada lanskap Sungai Sapih dan Kayu Tanduk di Sumatera Barat. Parasitoid Hymenoptera yang umum ditemukan menyerang N. lugens di pertanaman padi adalah dari famili Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae dan Pteromalidae (Heong dan Hardy 2009; Yaherwandi et al. 2007). Anagrus (Mymaridae), Gonatocerus (Mymaridae), dan Oligosita (Trichogramatidae) merupakan parasitoid yang sering ditemukan sebagai musuh alami dari N. lugens di pertanaman padi (Heong dan Hardy 2009; Gurr et al. 2010). Anagrus dan Oligosita merupakan parasitoid telur yang bersifat polifag. A. nilaparvatae dan Oligosita sp. dominan dalam penelitian ini mungkin karena inang utama dari Anagrus dan Oligosita adalah telur N. lugens (Xiang et al. 2008). Selain N. lugens, inang dari Anagrus antara lain Laodelphax striatellus, Toya sp., Delphacodes sp., Unkanodes sapporonus, Dicranotropis nagaragawana, Stenocranus sp., N. bakeri, Stenocranus minutus, Sogatella vibix, Peregrinus maidis, Hirozunka japonica, Tagosodes pusanus, Perkinsiella saccharicida, Tarophagus proserpina, Sogatella furcifera, T. propinqua, Pundaluoya simplicia, dan Harmalia sames. Kemampuan Anagrus sp. memarasit telur N. lugens mencapai 38% pada pertanaman padi. Oligosita memiliki kisaran inang selain N. lugens, diantaranya Tagosodes pusanus, N. bakeri, S. furcifera, Toya spp., U. sapporonus, S. vibix, dan Tarophagus colocasiae (Heong dan Hardy 2009). Oligosita sp. mampu memarasit telur N. lugens berkisar 10,5-37,2% (Diani et al. 1992). Parasitoid A. nilaparvatae yang berhasil dikoleksi dari penelitian ini merupakan parasitoid yang pertama kali dilaporkan Meilin (2012). Spesies ini sudah dilaporkan di Indonesia pada tahun 1993 (Triapitsyn dan Berezovsky 2004). Hasil penelitian ini memperoleh dua jenis Anagrus yang berbeda, yaitu Anagrus sp. dan A. nilaparvatae. Keduanya sama-sama memarasit telur N. lugens, namun kelimpahan Anagrus sp. sangat rendah jika dibandingkan dengan A. nilaparvatae. Perbedaan kelimpahan kedua parasitoid ini diduga karena adanya kompetisi dalam mendapatkan inang. Hal itu sesuai dengan teori seleksi alam, spesies yang lebih mampu menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap faktorfaktor alam akan lebih survive. Spesies parasitoid yang memiliki daya cari dan kemampuan yang tinggi untuk menemukan inang lebih sukses dalam reproduksinya. Peningkatan populasi, salah satunya ditentukan oleh natalitas. A. nilaparvatae diduga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mencari dan menemukan inang dibandingkan dengan Anagrus sp. Bogran et al. (2002) melaporkan bahwa kompetisi interspesifik parasitoid dapat terjadi di lapangan berkaitan dengan penggunaan inang yang sama. Terjadi interaksi kompetisi antara tiga parasitoid Bemisia argentifolii Bellows & Perring (Hemiptera: Aleyrodidae), yakni Encarsia pergandiella Howard, Eretmocerus mundus Mercet, dan Encarsia formosa Gahan. Interaksi yang kompetitif di antara parasitoid tidak memengaruhi penekanan populasi inang. Gonatocerus dalam penelitian ini tidak dominan, seperti yang dilaporkan Yaherwandi dan Syam (2007), sementara Meilin (2012) tidak menemukan Gonatocerus selama pengoleksian. Hal tersebut diduga terdapat inang lain yang
27 lebih disukai Gonatocerus dibandingkan telur N. lugens. Gonatocerus merupakan parasitoid telur polifag dengan kisaran inang, antara lain N. lugens, U. sapporonus, T. pusanus, N. bakeri, S. vibix, Perkinsiella, Peregrinus, Toya sp., dan S. furcifera (Heong dan Hardy 2009). Parasitoid polifag memiliki banyak jenis inang namun tetap memiliki inang utama yang lebih disukai. Selama pengamatan di lapangan dijumpai adanya wereng hijau di pertanaman padi yang dijadikan tempat pemerangkapan parasitoid telur N. lugens. Maryana (1994) melaporkan bahwa Gonatocerus lebih suka memarasit telur wereng hijau (Nephotettix virescens) daripada telur N. lugens. Gonatocerus sp. mampu memarasit telur N. lugens (1,166,04%), wereng hijau (34,08%), dan wereng punggung putih (7,05%) (Diani et al. 1992). Cyrtogaster near vulgaris memiliki inang utama dari ordo Diptera famili Agromyzidae seperti Phytomyza sp. (Askew 1965), sehingga kelimpahannya paling rendah daripada parasitoid N. lugens lainnya. Kelimpahan Oligosita sp. dalam penelitian ini paling tinggi di antara spesies parasitoid telur N. lugens yang dikoleksi (Gambar 5). Hasil yang sama dilaporkan Meilin (2012) namun berbeda dengan Yaherwandi dan Syam (2007) yang melaporkan bahwa Anagrus sp. paling melimpah di antara parasitoid N. lugens. Tingkat parasitisasi parasitoid pada inang yang sama dapat berbeda di lokasi daerah geografi yang berbeda. Perbedaan kemampuan parasitisasi menghasilkan kelimpahan parasitoid yang berbeda (Tabadepu 2003; Hamid 2002). Tingginya kelimpahan parasitoid dari hasil penelitian ini berkaitan dengan keturunan yang dihasilkan. Kemampuan Oligosita dalam menghasilkan keturunan lebih tinggi dibandingkan dengan parasitoid Anagrus spp. (Meilin 2012). Satu individu betina Oligosita sp. dapat menghasilkan keturunan sebanyak 299 individu (Atmadja 1997), sedangkan satu individu betina A. nilaparvatae dapat menghasilkan 20-40 individu (Xiang et al. 2008). Keberhasilan reproduksi parasitoid betina dalam menghasilkan keturunan akan memengaruhi populasinya di alam. Kemampuan betina parasitoid yang tinggi dalam menghasilkan keturunan dan lebih banyak betina akan meningkatkan populasi parasitoid. Tetrastichus formosanus ditemukan cukup melimpah di pertanaman padi Dramaga, Bogor. T. formosanus dari hasil penelitian ini merupakan parasitoid telur N. lugens yang baru pertama kali dilaporkan ditemukan di Indonesia. T. formosanus pertama kali ditemukan dari telur Perkinsiella saccharicida Kirkaldy di daerah Formosa, Hawaii oleh Timberlake (1921). Parasitoid ini juga ditemukan sebagai parasitoid telur N. lugens di Thailand (Wongsiri et al. 1980), Philipina (Barrion et al. 1981), Malaysia (Peninsular) (Vreden dan Ahmadzabidi 1986), dan Vietnam (Lam 1992). Pemerangkapan parasitoid telur N. lugens dalam penelitian ini dilakukan sebanyak tiga kali di lokasi yang sama, yaitu area pertanaman padi umur satu bulan. Perbedaan umur tanaman padi antara satu pemerangkapan dengan pemerangkapan berikutnya hanya 2 hari, sehingga tanaman padi masih dalam fase pertumbuhan yang sama. Meskipun demikian, kelimpahan dan jumlah jenis parasitoid telur N. lugens yang diperoleh menunjukkan perbedaan dari setiap waktu pemerangkapan. Yaherwandi dan Syam (2007) melaporkan bahwa fase pertumbuhan tanaman padi memengaruhi kelimpahan dan jumlah spesies parasitoid telur N. lugens. Kelimpahan dan jumlah spesies parasitoid telur N. lugens menurun sejalan dengan pertumbuhan tanaman padi. Kelimpahan dan jumlah spesies parasitoid telur N. lugens tertinggi diperoleh dari pertanaman padi
28 umur 20 hari setelah tanam (hst) (62 individu, 7 spesies), diikuti 50 hst (52 individu, 6 spesies), dan 80 hst (44 individu, 5 spesies). Hal ini kemungkinan karena populasi N. lugens juga menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman padi. Kelimpahan dan kinerja parasitoid akan meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi inang dan akan menurun apabila populasi inangnya rendah. Herlina et al. (2011) melaporkan adanya korelasi positif antara umur tanaman padi dengan keanekaragaman Hymenoptera parasit yang mengindikasikan bahwa keanekaragaman parasitoid cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman padi. Menurut Heinrichs et al. (1994) fase pertumbuhan tanaman padi yang berbeda menyebabkan keberadaan musuh alami juga berbeda untuk setiap fasenya. Hal ini karena hama yang merupakan inang dari musuh alami, berbeda jenisnya pada setiap fase baik vegetatif maupun fase generatif. Kelimpahan parasitoid juga dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik. Parasitoid lebih melimpah di saat musim kemarau dibandingkan musim hujan. Curah hujan yang tinggi dapat mengganggu aktivitas pemarasitan parasitoid terhadap inang. Tingginya kelimpahan parasitoid pada musim kemarau, terutama di dataran rendah, dipengaruhi oleh suhu yang lebih tinggi. Kelimpahan parasitoid erat kaitannya dengan suhu dan populasi inang di musim kemarau. Suhu tinggi dapat meningkatkan aktivitas parasitoid. Inang yang melimpah meningkatkan populasi parasitoid (Riyanto et al. 2011). Yaherwandi et al. (2007) melaporkan bahwa kelimpahan Hymenoptera parasitoid lebih tinggi di musim kemarau daripada musim hujan. Hal ini karena serangga herbivor yang menjadi inangnya lebih melimpah di musim kemarau. Melimpahnya inang di musim kemarau berkaitan dengan tingginya konsentrasi asam amino dalam tanaman inang. Musim kemarau membuat tanaman menjadi kekurangan air sehingga mengganggu proses metabolisme nitrogen dan menyebabkan terjadinya hidrolisis protein yang meningkatkan konsentrasi asam amino dalam tanaman (Brodbeck dan Strong 1987; Mattson et al. 1987). Asam amino yang tinggi dalam tanaman inang menguntungkan serangga herbivor, terutama serangga penghisap cairan tanaman, seperti Hemiptera. Ketersediaan asam amino yang optimum dapat meningkatkan keberlangsungan hidup dan reproduksi serangga herbivor (Mattson et al. 1987). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah jenis-jenis parasitoid telur yang menyerang N. lugens berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan populasi N. lugens. Informasi mengenai keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur N. lugens menjadi tahap penting dalam perencanaan untuk penerapan pengendalian hayati N. lugens. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid sejalan dengan keanekaragaman dan kelimpahan serangga inangnya, sehingga upaya pengendalian tidak dilakukan dengan mengeradikasi serangga hama, melainkan mengatur populasi serangga hama tetap di bawah ambang yang dapat merugikan secara ekonomi. Pestisida dianjurkan tidak digunakan atau diaplikasikan seminimal mungkin dan hanya dalam kondisi benar-benar sangat diperlukan. Populasi serangga hama tetap berada di bawah ambang ekonomi dapat dicapai jika parasitoid sebagai agens pengendali dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Parasitoid dapat menjalankan fungsinya apabila populasinya di lapangan mencukupi. Sering kali di lapangan parasitoid sudah tersedia namun populasinya sangat rendah, sehingga tidak dapat berperan dalam mengatur populasi serangga hama. Populasi parasitoid di lapangan dapat ditingkatkan melalui pembiakan masal di laboratorium yang selanjutnya parasitoid dilepas ke
29 lapangan secara inundasi atau inokulasi. Kanekaragaman dan kelimpahan parasitoid yang tinggi akan meningkatkan parasitisasi terhadap hama sehingga memengaruhi efektifitas dan efisiensi program pengendalian hama. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid di lapangan juga dapat ditingkatkan melalui manipulasi faktor ligkungan, seperti manajemen lahan dengan memodifikasi lanskap sederhana menjadi lanskap kompleks. Peningkatan ragam vegetasi habitat akibat modifikasi lanskap menjadi kompleks akan meningkatkan keanekaragaman serangga inang yang dapat menarik berbagai jenis parasitoid. Tumbuhan liar di pematang sawah dan sekitar lahan perlu dipertahankan dan dikelola untuk konservasi parasitoid, karena dapat mendukung kinerja parasitoid dalam memarasit inang dan berkembangbiak. Keberadaan tumbuhan liar juga dapat menjadi tempat berlindung bagi parasitoid saat pestisida diaplikasikan dan menjaga keberlangsungan hidup koloni parasitoid terutama saat masa panen.
SIMPULAN Parasitoid yang menyerang telur N. lugens di pertanaman padi Dramaga, Bogor berdasarkan kelimpahan tertinggi sampai terendah secara berturut-turut adalah Oligosita sp. (Trichogrammatidae), Anagrus nilaparvatae (Mymaridae), Tetrastichus formosanus (Eulophidae), Gonatocerus sp. (Mymaridae), Cyrtogaster near vulgaris (Pteromalidae), dan Anagrus sp. (Mymaridae). Parasitoid Oligosita sp. dan A. nilaparvatae lebih dominan daripada parasitoid telur N. lugens lainnya.
30
3 PEMATANGAN TELUR, PENGARUH LAMA KETIADAAN INANG DAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KAPASITAS REPRODUKSI PARASITOID ANAGRUS NILAPARVATAE PANG ET WANG (HYMENOPTERA: MYMARIDAE) ABSTRAK Anagrus nilaparvatae Pang et Wang adalah parasitoid telur utama wereng coklat Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pematangan telur, pengaruh lama ketiadaan inang dan pakan, serta interaksi antara lama ketiadaan inang dan pakan terhadap kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae. Penentuan pematangan telur dilakukan dengan cara membedah abdomen imago betina A. nilaparvatae. Imago betina parasitoid A. nilaparvatae umur 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 jam dimatikan dalam freezer. Abdomen parasitoid dibedah di atas gelas objek menggunakan jarum mikro bertangkai. Telur matang parasitoid yang teramati dihitung dan didokumentasikan. Perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan dilakukan pada imago betina A. nilaparvatae yang baru muncul, diberikan larutan madu 10% dan tidak diberikan inang selama 3, 6, 9, 12, dan 18 jam, kemudian diberikan inang (telur N. lugens) setiap hari sampai parasitoid mati. Kelompok parasitoid A. nilaparvatae lain diperlakukan dengan ketiadaan inang dan diberi air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parasitoid betina A. nilaparvatae memiliki rata-rata 30,67±4,35 telur matang di awal kehidupan dewasanya. Jumlah telur matang meningkat setelah 3 jam, yaitu menjadi 37,07±5,18 telur. Jumlah telur matang selanjutnya cenderung tetap. Telur matang parasitoid A. nilaparvatae berbentuk elips dilengkapi dengan pedunculus yang ramping dan panjang. Berdasarkan pematangan telurnya, parasitoid A. nilaparvatae termasuk proovigenik. Jumlah telur yang diletakkan, keperidian, dan tingkat parasitisasi menurun dengan semakin lamanya A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang. Pemberian larutan madu 10% selama ketiadaan inang mengurangi penurunan kapasitas reproduksi akibat ketiadaan inang. Kata kunci: Anagrus nilaparvatae, kapasitas reproduksi, ketiadaan inang, Nilaparvata lugens, pematangan telur, proovigenik.
ABSTRACT Anagrus nilaparvatae Pang et Wang (Hymenoptera: Mymaridae) is a major egg parasitoid of brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). The purpose of this study was to study the pattern of maturation, the effect of host deprivation and feeding, and interaction between the host deprivation and feeding on the reproductive capacity of parasitoid. Determination of egg maturation was done by dissecting females of A. nilaparvatae. Adult females aged 0, 1, 2, 3, 4, 5, and 6 hours were killed in the freezer. Abdominal of wasp was dissected by micro pin. Mature egg of wasp were calculated and
31 documented. Treatment of host deprivations and feeding were conducted by feeding 10% honey solution and depriving female parasitoids of host for 3, 6, 9, 12, and 18 hours, respectively. After treatments, female parasitoids were given hosts (N. lugens eggs) every days until the parasitoids died. Another group of parasitoids were given water and were treated with the same lenght of deprivation period. Results showed that females of wasp had 30.67 ± 4.35 mature eggs in early adult life. A number of mature eggs increased (37.07 ± 5.18 eggs) after three hours. Furthermore, a number of mature eggs become constantly. Mature egg of wasp was elliptical with sleek and long peduncle. Based on the pattern of egg maturation, A. nilaparvatae is proovigenic parasitoid. The number of eggs laid, fecundity, and parasitization rate decreased with increasing duration of deprivation period. Feeding 10% honey solution during the host deprivation reduce the impact of the decline in reproductive capacity due to the host deprivation. Key words: Anagrus nilaparvatae, egg maturation, host deprivation, Nilaparvata lugens, proovigenic, reproductive capacity
PENDAHULUAN Keberhasilan pengendalian serangga hama dengan memanfaatkan peran parasitoid sangat bergantung pada perilaku reproduksi parasitoid betina. Keberhasilan reproduksi parasitoid betina ditentukan antara lain oleh tipe parasitoid dan ketersediaan inang. Parasitoid secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu proovigenik dan synovigenik (Heimpel dan Rosenheim 1998). Proovigenik adalah parasitoid yang sudah memiliki telur matang di awal kehidupan dewasanya sehingga siap oviposisi, sedangkan parasitoid yang belum memiliki telur matang di awal kehidupan dewasanya disebut synovigenik (Mutitu et al. 2013). Parasitoid synovigenik harus memproduksi telur matang terlebih dahulu untuk dapat oviposisi. Produksi telur matang oleh parasitoid synovigenik dapat berlangsung selama fase hidup dewasanya dan sangat bergantung pada ketersediaan inang (Mafi dan Ohbayashi 2010; Heimpel et al. 1997). Pematangan telur parasitoid synovigenik memerlukan waktu dan membutuhkan sumberdaya dari inang dan non-inang. Parasitoid synovigenik memakan hemolimfe inang dan sumberdaya eksternal untuk mematangkan telur-telurnya (Kapranas dan Luck 2008; Savino et al. 2012). Pasokan pakan madu pada parasitoid proovigenik tidak digunakan untuk memproduksi atau mematangkan telur, melainkan untuk meningkatkan lama hidup (Cronin dan Strong 1990). Perbedaan tipe ini memengaruhi perilaku dari parasitoid di lapangan dan berdampak terhadap strategi pengendalian hayati yang diterapkan. Parasitoid synovigenik dapat meresorpsi telur dan memproduksi kembali telur bergantung pada ketersediaan inang (Kapranas dan Luck 2008). Parasitoid synovigenik melakukan resorpsi telur ketika inang tidak tersedia (Heimpel et al. 1997; Irvin dan Hoddle 2009). Parasitoid proovigenik umumnya tidak mampu melakukan resorpsi telur (Cronin dan Strong 1990; Riddick 2005). Dalam beberapa kasus, parasitoid proovigenik dapat melakukan resorpsi telur saat inang
32 tidak tersedia namun tidak mampu memproduksi kembali telur ketika inang sudah tersedia (Kant et al. 2013). Cronin dan Strong (1993) melaporkan bahwa parasitoid Mymaridae adalah proovigenik yang menunjukkan parasitoid pertama kali keluar dari inang sebagai imago sudah memiliki telur matang yang lengkap. Studi lain menunjukkan bahwa parasitoid Mymaridae, Anaphes nitens Girault (Santolamazza dan Cordero 2003) dan Gonatocerus ashmeadi Girault (Irvin dan Hoddle 2009) termasuk synovigenik. Pematangan telur parasitoid di alam lebih banyak bertipe kontinum (continuum), yakni antara proovigenik dan synovigenik. Riddick (2005) melaporkan bahwa parasitoid proovigenik Anaphes iole (Hymenoptera: Mymaridae) mampu memproduksi kembali telur di masa hidup dewasanya. Rohmani et al. (2008) melaporkan bahwa pematangan telur dari parasitoid Trichogrammatoidea armigera (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dan Trichogramma japonicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae) adalah prosynovigenik, yakni serangga dewasa muncul dengan sejumlah telur matang dan mampu memproduksi kembali telur matang sepanjang masa hidup dewasanya. Ketersediaan inang di alam sangat fluktuatif. Inang yang tersedia dalam jumlah banyak akan meningkatkan kesempatan parasitoid dapat meletakkan telurnya (Garcia dan Tavares 2001). Ketersediaan inang memicu produksi dan kematangan telur dalam ovari parasitoid (Handayani et al. 2004). Rohmani et al. (2008) melaporkan bahwa semakin lama Trichogrammatoidea armigera Nagaraja dan Trichogramma japonicum Ashmead tidak mendapatkan inang, maka dapat menurunkan jumlah telur yang diletakkan, telur yang tersisa dalam ovari, dan potensi produksi telur. Ketiadaan inang pada T. armigera juga dapat menurunkan tingkat parasitisasi seiring dengan semakin lamanya T. armigera tidak mendapatkan inang. Tarla (2011) melaporkan bahwa ketiadaan inang tidak memengaruhi periode oviposisi dan lama hidup parasitoid telur Trissolcus grandis Thompson (Hymenoptera: Scelionidae). Anagrus nilaparvatae adalah parasitoid telur utama yang menyerang telur wereng coklat, Nilaparvata lugens (Xiang et al. 2008; Meilin 2012). Sifatnya yang polifag, fekunditas yang tinggi, dan didukung dengan siklus hidup yang singkat (10-13 hari), menjadikan A. nilaparvatae digunakan sebagai agens pengendali N. lugens di lapangan (Meilin et al. 2012). Pengendalian N. lugens sebelumnya masih banyak mengandalkan insektisida kimia yang diterapkan secara intensif sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Kartohardjono 2011). Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkaji perihal kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae terkait dengan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Pematangan telur dari parasitoid betina A. nilaparvatae juga belum pernah dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pematangan telur, pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan, serta interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae.
33
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013-Juni 2014 di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Pemerangkapan parasitoid A. nilaparvatae dilakukan di area pertanaman padi Dramaga, Bogor. Pembedahan abdomen parasitoid dan jaringan padi dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi, FMIPA IPB.
Penyediaan Tanaman Padi Penyediaan tanaman padi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan N. lugens, pemerangkapan parasitoid A. nilaparvatae di lapangan, dan perbanyakan parasitoid A. nilaparvatae di laboratorium. Tanaman padi yang digunakan adalah varietas Mekongga yang cukup rentan terhadap N. lugens. Benih padi didapatkan dari toko pertanian Darmaga Tani IPB. Benih padi direndam dalam air selama 24 jam, kemudian dicuci dengan air dan disemai dalam stoples plastik (diameter 16 cm, tinggi 16 cm) dan diberi air secukupnya (benih tidak terendam), kemudian stoples ditutup dengan kain kasa. Bibit padi umur 7 hari setelah semai digunakan sebagai pakan N. lugens sedangkan perbanyakan parasitoid A. nilaparvatae menggunakan bibit padi umur 2 minggu. Tanaman padi umur satu bulan digunakan untuk memerangkap parasitoid A. nilaparvatae di lapangan. Tanaman padi untuk pemerangkapan parasitoid A. nilaparvatae diperoleh dengan memindahkan bibit padi umur satu minggu setelah semai dari stoples ke dalam gelas plastik (diameter atas 8 cm dan bawah 6 cm) yang telah berisi tanah lumpur dan kompos (1:1) dengan jumlah bibit padi sebanyak 3 bibit/pot.
Pembiakan N. lugens Imago N. lugens jantan dan betina sebanyak 50 individu diinfestasikan ke dalam stoples plastik berisi bibit padi umur satu minggu dengan bantuan aspirator. Imago betina N. lugens akan bertelur setelah 3-4 hari. Telur N. lugens akan menetas menjadi nimfa 7-8 hari kemudian. Nimfa dipelihara sampai menjadi imago. N. lugens harus dipindahkan ke bibit padi yang baru apabila bibit padi yang lama telah menguning. Bibit padi baru yang digunakan adalah bibit padi umur tujuh hari setelah semai. Pemindahan N. lugens dari bibit padi lama ke bibit padi baru dilakukan dengan menggunakan aspirator. Imago N. lugens betina yang siap meletakkan telur (gravid) diinfestasikan pada tanaman padi yang akan digunakan untuk memerangkap parasitoid di lapangan dan perlakuan ketiadaan inang.
34 Pemerangkapan Parasitoid A. nilaparvatae Imago betina N. lugens siap bertelur sebanyak 20 individu diinfestasikan ke tanaman padi umur satu bulan dalam pot (gelas plastik bening dengan diameter atas 8 cm dan bawah 6 cm) yang dikurung dengan kurungan plastik mika bening berbentuk silinder (diameter 8 cm dan tinggi 50 cm) dengan bagian atasnya diberi kain kasa. Imago N. lugens dibiarkan bertelur selama dua hari. Pemerangkapan parasitoid A. nilaparvatae dilakukan dengan menempatkan tanaman padi (umur satu bulan setelah semai) dalam pot yang telah diinfestasi telur N. lugens umur dua hari pada area pertanaman padi. Tanaman padi selanjutnya diambil dan dibawa ke laboratorium. Tanaman padi pada setiap pot dipotong daunnya sehingga hanya tersisa bagian batangnya, kemudian diberi kurungan silinder (diameter 8 cm dan tinggi 50 cm) dari plastik mika yang bagian atasnya diberi kain kasa. Tanaman padi dipelihara sampai akhir pengamatan. Parasitoid A. nilaparvatae yang muncul ditangkap menggunakan tabung reaksi.
Pembiakan Parasitoid A. nilaparvatae Parasitoid A. nilaparvatae hasil pemerangkapan di lapangan diinfestasikan ke dalam bibit padi umur 2 minggu setelah semai yang telah diinfestasi telur N. lugens umur dua hari dalam baki plastik (32 cm x 25 cm x 5 cm). Baki plastik diberi kurungan kotak plastik mika bening (ukuran 14 cm x 18,5 cm x 18,5 cm) yang salah satu sisinya diberi tabung reaksi untuk panen parasitoid dan sisi lainnya diberi kain kasa untuk aerasi. Imago A. nilaparvatae akan keluar dari inang pada hari ke-9 sampai 13 setelah infestasi. Imago A. nilaparvatae yang keluar dari inang akan bergerak menuju tabung reaksi karena imago A. nilaparvatae bersifat fototaksis positif. Imago parasitoid A. nilaparvatae selanjutnya dipanen dan digunakan untuk perlakuan.
Gambar 14 Pembiakan parasitoid A. nilaparvatae menggunakan bibit padi umur dua minggu dalam kotak plastik.
35 Penentuan Pematangan Telur Parasitoid A. nilaparvatae Penelitian dilakukan berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dan diulang sebanyak 15 kali dengan masing-masing perlakuan menggunakan imago betina A. nilaparvatae sebanyak 15 individu. Imago betina A. nilaparvatae umur 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 jam segera dimatikan dalam freezer. Imago betina A. nilaparvatae yang sudah mati diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi air (satu tetes). Abdomen A. nilaparvatae selanjutnya dibedah menggunakan jarum mikro bertangkai dan diamati dengan mikroskop stereo Olympus SZ51. Imago betina A. nilaparvatae yang telah dibedah abdomennya diamati telur dalam ovarinya dengan bantuan mikroskop compound Olympus BX51. Telur matang A. nilaparvatae yang teramati dihitung jumlahnya dan didokumentasikan.
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pakan terhadap Kapasitas Reproduksi Parasitoid A. nilaparvatae Penelitian dilakukan berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor dan diulang sebanyak 15 kali. Faktor pertama adalah lama ketiadaan inang yang meliputi 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, dan 18 jam. Faktor kedua adalah pemberian pakan, meliputi larutan madu 10% dan air. Satu bibit padi umur 2 minggu diberi kapas pada bagian akarnya, kemudian dibungkus dengan alumunium foil (1 cm x 6 cm). Kapas diberi air agar tanaman tetap segar. Ujung bibit dipotong agar panjang bibit sama dengan panjang tabung reaksi (10 cm). Bibit dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan bagian akar berada pada mulut tabung. Tiga individu imago betina N. lugens yang siap bertelur dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi bibit padi (umur 2 minggu), selanjutnya ditutup dengan kain kasa dan diikat dengan karet gelang. Imago N. lugens dibiarkan bertelur pada tanaman padi selama dua hari, kemudian dikeluarkan. Imago betina A. nilaparvatae yang baru keluar dari inang tidak diberikan inang selama 3, 6, 9, 12 dan 18 jam. Imago A. nilaparvatae selanjutnya diberi pakan larutan madu 10% dengan cara dioleskan pada alumunium foil (0,5 cm x 4 cm) yang dimasukkan dalam tabung reaksi. Imago A. nilaparvatae yang telah diperlakukan ketiadaan inang dan pakan dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi yang telah berisi bibit padi dan telah diteluri N. lugens. Sementara itu, kelompok imago A. nilaparvatae lain dengan perlakuan ketiadaan inang dan hanya diberi air. Bibit padi setiap 24 jam diganti dengan bibit padi baru yang telah diinfestasi telur N. lugens umur dua hari. Pergantian bibit padi dilakukan sampai imago A. nilaparvatae mati. Pengamatan meliputi jumlah telur yang diletakkan parasitoid dalam inang (realized fecundity) di hari pertama dan kedua, keperidian, tingkat parasitisasi, telur yang tersisa dalam ovari, potensi produksi telur (potential fecundity), dan lama hidup imago parasitoid betina. Parasitisasi diamati dengan cara membedah jaringan tanaman padi di akhir pengamatan. Jumlah telur yang diletakkan parasitoid ditentukan dengan cara menjumlahkan imago parasitoid yang keluar dari inang dengan imago parasitoid (pradewasa) yang mati dalam inang. Keperidian parasitoid merupakan jumlah telur yang diletakkan parasitoid dalam
36 inang selama hidup. Tingkat parasitisasi ditentukan dengan cara membagi jumlah parasitoid yang keluar dan mati dalam inang dengan jumlah nimfa N. lugens, total parasitoid dan nimfa N. lugens yang mati dalam padi. Potensi produksi telur parasitoid ditentukan melalui penjumlahan antara total telur yang diletakkan parasitoid dalam inang dengan telur yang tersisa di dalam ovari (Meilin 2012). Telur yang tersisa dalam ovari ditentukan dengan cara membedah abdomen parasitoid yang sudah mati di akhir perlakuan dan dihitung jumlahnya dengan mikroskop Olympus BX51. Lama hidup parasitoid betina ditentukan sejak awal kemunculannya menjadi imago hingga mati.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Two-Way Analysis of Variance dilanjutkan dengan uji Tukey. Data keperidian ditransformasi akar dilanjutkan dengan transformasi logaritma natural sebelum dianalisis, karena distribusinya tidak normal. Data jumlah telur yang diletakkan dan tingkat parasitisasi di hari kedua serta lama hidup imago betina dianalisis menggunakan uji Friedman TwoWay Analysis of Variance by Ranks dilanjutkan dengan uji Wilcoxon Signed-Rank Test. Data jumlah telur matang dalam ovari untuk penentuan pematangan telur ditransformasi kuadrat sebelum di analisis menggunakan One-Way Analysis of Variance. Tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 0,05. Pengolahan data menggunakan program SPSS 16.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pematangan Telur Parasitoid A. nilaparvatae Penelitian menunjukkan bahwa A. nilaparvatae memiliki telur yang sudah matang di awal kehidupan dewasanya. Telur matang A. nilaparvatae berbentuk elips dilengkapi dengan pedunculus yang ramping dan panjang (Gambar 15). Ratarata telur matang A. nilaparvatae di awal kehidupan dewasanya sebanyak 30,67±4,35 telur. Jumlah telur matang A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam menjadi 37,07±5,18 telur. Jumlah telur matang A. nilaparvatae selanjutnya cenderung tetap. Rata-rata telur matang dalam ovari A. nilaparvatae umur 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 jam secara berturut-turut, yaitu 30,67±4,35 telur, 30,73±2,93 telur, 30,93±5,23 telur, 37,07±5,18 telur, 37,13±5,37 telur, 40,07±2,68 telur, dan 40,53±2,56 telur (Gambar 16).
Gambar 15 Telur matang parasitoid A. nilaparvatae (perbesaran 60x10).
38
Gambar 16 Jumlah telur matang dalam ovari A. nilaparvatae. Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata pada taraf 5% (uji Tukey).
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Jumlah Telur yang Diletakkan Parasitoid A. nilaparvatae dalam Inang Penelitian menunjukkan bahwa jumlah telur yang diletakkan parasitoid A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari pertama dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,021). Tidak terdapat interaksi yang nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae di hari pertama (P=0,854). Jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae di hari pertama menurun setelah tidak mendapatkan inang selama 9 jam dan nilainya semakin menurun secara konsisten seiring dengan semakin lamanya A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang yang ditunjukkan dengan perlakuan ketiadaan inang selama 9 jam, 12 jam, dan 18 jam berbeda nyata terhadap perlakuan ketiadaan inang lainnya (P<0,05). Parasitoid A. nilaparvatae meletakkan telur di hari pertama paling banyak pada perlakuan ketiadaan inang selama 3 jam dan paling sedikit pada perlakuan ketiadaan inang selama 18 jam. Parasitoid A. nilaparvatae yang diberi pakan larutan madu 10% mampu meletakkan telur lebih banyak dibandingkan dengan A. nilaparvatae yang hanya diberi air (Tabel 2).
39 Tabel 2 Jumlah telur yang diletakkan parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Lama ketiadaan inang (jam) kontrol 3 6 9 12 18 Pemberian pakan Larutan madu 10% Air a
Telur yang diletakkan (telur) 21,13±2,59d 21,57±2,02d 20,80±2,17d 17,40±3,01c 15,37±2,35b 13,07±3,05a Telur yang diletakkan (telur) 18,67±3,97b 17,78±4,17a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
Hasil analisis ragam menunjukkan jumlah telur yang diletakkan parasitoid A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari kedua dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,000). Terdapat interaksi yang sangat nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari kedua (P=0,000). Semakin lama parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang akan menurunkan jumlah telur yang diletakkan di hari kedua, meliputi parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air. Jumlah telur yang diletakkan di hari kedua tertinggi pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3 jam dan terendah pada parasitoid yang tidak diberi inang selama 18 jam, baik yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air. Pemberian pakan larutan madu 10% pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3, 6, dan 9 jam secara nyata dapat meningkatkan jumlah telur yang diletakkan di hari kedua. Hal tersebut terlihat dari jumlah telur yang diletakkan parasitoid di hari kedua lebih rendah pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang dalam rentang waktu yang sama tetapi diberi pakan air (P<0,05). Rataan telur yang diletakkan A. nilaparvatae di hari kedua pada perlakuan ketiadaan inang selama 0 (kontrol), 3, 6, 9, 12, dan 18 jam baik yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air masing-masing sebesar 3,67±2,12 telur dan 0,33±0,90 telur, 1,73±1,16 telur dan 0,47±1,24 telur, 1,53±1,72 telur, 0,20±0,77 telur, 15,87±2,61 telur dan 14,87±2,03 telur, serta 13,73±3,05 telur dan 12,40±2,99 telur (Gambar 17).
40
Gambar 17 Interaksi antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari kedua. Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata pada taraf 5% (uji Wilcoxon).
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Keperidian Parasitoid A. nilaparvatae Keperidian parasitoid A. nilaparvatae dipengaruhi oleh lamanya parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antara lama ketiadaan inang terhadap keperidian parasitoid A. nilaparvatae (P=0,000). Pemberian pakan memengaruhi keperidian parasitoid A. nilaparvatae (P=0,000) namun tidak terdapat interaksi yang nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap keperidian parasitoid A. nilaparvatae (P=0,370). Keperidian parasitoid menurun setelah parasitoid tidak mendapatkan inang selama 9 jam dan semakin menurun secara konsisten seiring semakin lamanya parasitoid tidak mendapatkan inang. Keperidian parasitoid tertinggi ditunjukkan pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3 jam dan terendah pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 18 jam. Keperidian parasitoid A. nilaparvatae yang diberi pakan larutan madu 10% lebih tinggi dibandingkan parasitoid yang diberi pakan air (P=0,000) (Tabel 3).
41 Tabel 3 Keperidian parasitoid A. nilaparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Lama ketiadaan inang (jam) kontrol 3 6 9 12 18 Pemberian pakan Larutan madu 10% Air a
Keperidian (telur) 22,87±3,10d 23,53±3,11d 21,90±2,49d 18,27±3,58c 16.07±2,77b 13.30±2.91a Keperidian (telur) 20,41±4,91b 18,23±4,45a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Tingkat Parasitisasi Parasitoid A. nilaparvatae Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari pertama dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,011). Tidak terdapat interaksi yang nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama (P=0,949). Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari pertama menurun setelah parasitoid tidak mendapatkan inang selama 9 jam dan semakin menurun seiring parasitoid semakin lama tidak mendapatkan inang. Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama tertinggi ditunjukkan pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3 jam dan terendah pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 18 jam. Parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% mampu memarasit lebih tinggi dibandingkan parasitoid yang diberi pakan air (Tabel 4). Tabel 4 Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari pertama setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Lama ketiadaan inang (jam) kontrol 3 6 9 12 18 Pemberian pakan Larutan madu 10% Air a
Tingkat parasitisasi (%) 27,19±5,23c 28,39±4,51c 26,73±4,10c 22,61±4,76b 18,49±3,55a 15,36±3,26a Tingkat parasitisasi (%) 23,95±6,25b 22,31±6,51a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
42 Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari kedua lebih rendah dibandingkan hari pertama. Tingkat parasitisasi A. nilaparvatae di hari kedua dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,000). Terdapat interaksi yang sangat nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari kedua (P=0,000). Tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari kedua cenderung menurun dengan semakin lamanya parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang, meliputi parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air. Tingkat parasitisasi di hari kedua tertinggi ditunjukkan pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3 jam dan terendah pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 18 jam, baik yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air. Pemberian larutan madu 10% selama perlakuan ketiadaan inang dapat meningkatkan parasitisasi A. nilaparvatae di hari kedua. Hal tersebut terlihat dari parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3, 6, 9, dan 12 jam yang diberi pakan larutan madu 10% menunjukkan tingkat parasitisasi di hari kedua yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan parasitoid yang tidak mendapatkan inang dalam rentang waktu yang sama namun diberi pakan air (P<0,050). Perbedaan yang nyata juga terlihat dari tingkat parasitisasi di hari kedua pada parasitoid yang tidak mendapatkan inang selama 3 jam terhadap kontrol (langsung mendapatkan inang) antara yang diberi pakan larutan madu 10% dengan yang diberi pakan air (P<0,050). Parasitisasi di hari kedua oleh parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% meningkat setelah 3 jam tidak mendapatkan inang, sebaliknya menurun pada parasitoid yang diberi pakan air. Rata-rata tingkat parasitisasi A. nilaparvatae pada telur N. lugens di hari kedua setelah perlakuan ketiadaan inang selama 0, 3, 6, 9, 12, dan 18 jam, baik yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air masing-masing sebesar 2,74±0,01% dan 1,45±0,02%; 4,81±0,02% dan 0,42±0,01%; 2,34±0,01% dan 0,62±0,01%; 1,78±0,02% dan 0,28±0,01%; 1,62±0,02% dan 0,32±0,00%; serta 0,41±0,00% dan 0,24±0,00% (Gambar 18).
43
Gambar 18 Interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi parasitoid A. nilaparvatae di hari kedua. Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata pada taraf 5% (uji Wilcoxon).
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Telur yang Tersisa dalam Ovari Parasitoid A. nilaparvatae Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilaparvatae dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,021). Tidak terdapat interaksi antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilparvatae (P=0,652). Semakin lama parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang jumlah telur yang tersisa dalam ovarinya semakin meningkat. Jumlah telur yang tersisa dalam ovari pada parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% lebih rendah dibandingkan dengan parasitoid yang diberi pakan air (Tabel 5).
44 Tabel 5 Jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Lama ketiadaan inang (jam) kontrol 3 6 9 12 18 Pemberian pakan Larutan madu 10% Air a
Telur yang tersisa dalam ovari (telur) 11,23±2,70a 14,93±3,19b 18,67±3,26c 22,43±3,70d 24,70±4,21d 27,43±4,63e Telur yang tersisa dalam ovari (telur) 19,27±6,14a 20,53±7,14b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Potensi Produksi Telur Parasitoid A. nilaparvatae Potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae tidak dipengaruhi oleh pemberian pakan (P=0,082), namun dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000). Tidak terdapat interaksi antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae (P=0,351). Potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae meningkat setelah parasitoid tidak mendapatkan inang selama 3 jam, selanjutnya cenderung tetap. Hasil analisis statistik lanjut menunjukkan bahwa potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae pada perlakuan kontrol berbeda nyata terhadap perlakuan ketiadaan inang selama 3 jam (P=0,000), 6 jam (P=0,000), 9 jam (0,000), 12 jam (P=0,000) dan 18 jam (P=0,000). Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan ketiadaan inang selama 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, dan 18 jam (P>0,05) (Tabel 6). Tabel 6 Potensi produksi telur parasitoid A. nilaparvatae setelah perlakuan ketiadaan inang dan pemberian pakan. Lama ketiadaan inang (jam) kontrol 3 6 9 12 18 Pemberian pakan Larutan madu 10% Air a
Potensi produksi telur (telur) 34,10±3,61a 38,47±4,32b 40,53±3,34b 40,70±3,43b 40,77±2,94b 40,73±3,03b Potensi produksi telur (telur) 39,67±3,95a 38,77±4,42a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
45 Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Lama Hidup Imago Parasitoid Betina A. nilaparvatae Lama hidup imago parasitoid betina dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang (P=0,000) dan pemberian pakan (P=0,000). Terdapat interaksi yang sangat nyata antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap lama hidup imago parasitoid betina (P=0,000). Lama hidup imago parasitoid betina meningkat setelah 9 jam tidak mendapatkan inang dan menurun setelah 18 jam tidak mendapatkan inang, mencakup parasitoid yang diberi pakan larutan madu 10% maupun air. Imago parasitoid betina hidup paling lama pada perlakuan ketiadaan inang selama 9 jam dan hidup paling singkat pada perlakuan ketiadaan inang selama 18 jam. Pemberian pakan larutan madu madu 10% selama ketiadaan inang dapat meningkatkan lama hidup imago parasitoid betina. Hal tersebut terlihat dari parasitoid secara nyata hidup lebih lama pada perlakuan ketiadaan inang selama 3, 9, dan 12 jam ketika diberi pakan larutan madu 10% dibandingkan air (Gambar 19).
Gambar 19 Interaksi antara lama ketiadaan inang dengan pemberian pakan terhadap lama hidup imago parasitoid betina A. nilaparvatae. Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata pada taraf 5% (uji Wilcoxon).
46 Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan pada Parasitoid A. nilaparvatae terhadap Persentase Total Nimfa N. lugens yang Muncul dan Mati dalam Jaringan Padi Lama ketiadaan inang pada parasitoid A. nilaparvatae memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,000). Semakin lama parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang, persentase total nimfa N. lugens yang muncul semakin banyak. Pemberian pakan selama ketiadaan inang pada parasitoid A. nilaparvatae juga memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,000). Persentase total nimfa N. lugens muncul lebih banyak pada perlakuan di mana A. nilaparvatae hanya diberi pakan air selama ketiadaan inang daripada yang diberi pakan larutan madu 10%. Lama ketiadaan inang terhadap parasitoid A. nilaparvatae tidak memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang mati dalam jaringan padi (P=0,868). Pemberian pakan terhadap parasitoid A. nilaparvatae selama perlakuan ketiadaan inang juga tidak memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang mati dalam jaringan padi (P=0,112). Tidak ada interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan pada parasitoid A. nilaparvatae terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,110) maupun mati dalam jaringan padi (P=0,439) (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan pada parasitoid A. nilaparvatae terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul dan mati dalam jaringan padi. Lama ketiadaan inang (jam)
Persentase total nimfa N. lugens yang muncul (%)
kontrol 3 6 9 12 18
74,70±2,47ab 73,35±2,20a 74,96±2,01b 77,14±2,50c 79,23±2,00d 81,38±1,85e
Perlakuan
Persentase total nimfa N. lugens yang muncul (%)
Larutan madu 10% Air
76,19±3,55a 77,39±3,42b
a
Persentase total nimfa N. lugens mati dalam padi (%) 9,95±1,08a 10,50±1,04a 10,45±1,12a 10,69±0,95a 10,29±0,94a 10,28±0,95a Persentase total nimfa N. lugens mati dalam padi (%) 10,35±1,25a 10,37±0,75a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).
47
PEMBAHASAN
Pematangan Telur Parasitoid A. nilaparvatae Parasitoid A. nilaparvatae termasuk parasitoid tipe proovigenik karena sudah memiliki telur yang matang di awal kehidupan dewasanya. Parasitoid A. nilaparvatae mampu memproduksi kembali telur matang di masa hidup dewasanya, namun telur yang belum matang tidak terdeteksi. Deposisi telur parasitoid A. nilaparvatae tidak sepenuhnya berlangsung selama masa hidup dewasa, namun hanya sampai 3 jam sejak parasitoid keluar dari inang sebagai imago. Chantarasa-ard et al. (1984) melaporkan bahwa produksi telur pada beberapa parasitoid betina Anagrus incarnatus Haliday masih berlanjut selama masa hidup dewasa ketika parasitoid diberi pakan madu dan dipelihara pada 20ºC. Parasitoid telur proovigenik Anaphes iole Girault (Hymenoptera: Mymaridae) mampu memproduksi telur matang di masa hidup dewasanya, walaupun telur yang belum matang tidak terdeteksi (Riddick 2005). Hal yang sama terjadi pada parasitoid A. nitens (Santolamazza dan Cordero 2003). Produksi telur matang pada spesies parasitoid proovigenik yang tidak sepenuhnya selesai sebelum oviposisi dimulai. Deposisi telur dapat terjadi beberapa saat setelah parasitoid keluar dari inang (Flanders 1950). Parasitoid proovigenik umumnya hidup singkat dan sedikit makan. Dari sifatnya tersebut, keuntungan yang dimiliki parasitoid proovigenik, yaitu dapat langsung meletakkan sejumlah besar telurnya ketika muncul menjadi imago (Riddick 2005). Total jumlah telur matang A. nilaparvatae rata-rata sebanyak 30-40 telur. Cronin dan Strong (1990) melaporkan bahwa total jumlah telur matang dalam ovari untuk satu individu betina A. optabilis rata-rata 33 telur (21-46 telur). Telur matang A. optabilis sama seperti telur matang parasitoid Mymaridae lainnya, yakni berbentuk elips menyerupai sosis dan disertai dengan pedisel/pedunculus yang ramping dan panjang. Sebelum mencapai tahap dewasa, parasitoid hidup dalam inang. Pradewasa parasitoid memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam inang untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Inang memiliki kandungan, antara lain asam amino, lipid, vitamin, dan mineral. Perkembangan reproduksi, yakni produksi dan pematangan telur pada parasitoid proovigenik berlangsung selama perkembangan dalam inang menjelang dewasa (Flanders 1950; Quicke 1997). Pematangan telur pada parasitoid melibatkan peran sumber energi berupa lipid (Zhang et al. 2011). Arrese dan Soulages (2010) melaporkan bahwa selama pematangan, kadar lipid oosit serangga meningkat, biasanya dalam satu atau dua hari. Ziegler dan Antwerpen (2006) menyatakan bahwa sebagian besar lipid yang terakumulasi pada oosit berasal dari lemak tubuh dan diangkut ke ovarium oleh lipophorin. Produksi telur matang pada betina A. nilaparvatae tampaknya mulai berhenti setelah 3 jam. Berhentinya proses produksi telur matang diduga ada kaitannya dengan ruang ovari untuk menampung telur maupun saluran telur sudah mencapai kapasitas yang maksimum. Hegazi et al. (2007) melaporkan bahwa pematangan telur tambahan pada betina parasitoid Microplitis rufiventris (Kok.) terhambat setelah kapasitas maksimum saluran telur telah tercapai. Roberts dan Schmidt (2004) menyatakan bahwa ketika kapasitas penyimpanan telur di saluran
48 telur telah tercapai dan oogenesis terhenti. Pematangan telur pada parasitoid Venturia canescens Grav. (Hymenoptera: Ichneumonidae) mencapai maksimum pada hari keenam dengan 160 telur. Tingkat pematangan telur ditentukan oleh laju sintesis prekursor lemak tubuh yang dimodifikasi oleh umpan balik sensoris dari ovipositor. Parasitoid yang ekstrim proovigenik (strickly proovigenic) mempunyai indeks ovigeny sebesar 1, sedangkan parasitoid yang ekstrim synovigenik (strickly synovigenic) memiliki index ovigeny sebesar 0. Indeks ovigeny merupakan jumlah telur matang parasitoid ketika pertama kali keluar dari inang dibandingkan dengan potensi produksi telur parasitoid selama hidup. Parasitoid yang ekstrim proovigenik tidak memiliki kemampuan menambah kembali jumlah telur matang setelah keluar dari inang sebagai imago meskipun parasitoid telah melakukan oviposisi (Jervis et al. 2001). Parasitoid A. nilaparvatae termasuk dalam parasitoid proovigenik, namun tidak ekstrim proovigenik karena masih memproduksi telur matang setelah keluar dari inang sebagai imago. Jumlah telur matang parasitoid A. nilaparvatae di awal kemunculannya sebagai imago kurang lebih 75% dari potensi produksi telur selama hidupnya, sehingga indeks ovigenynya sebesar 0,75. Di alam banyak spesies yang memiliki tipe kontinum (continuum), yakni antara ekstrim proovigenik dan ekstrim synovigenik (Quicke 1997). Implikasi hasil penelitian ini terkait strategi pengendalian hayati adalah parasitoid A. nilaparvatae dapat langsung dilepas di lapangan untuk mengendalikan N. lugens, karena parasitoid mampu segera oviposisi ketika menemukan telur N. lugens. Parasitoid synovigenik perlu diberi inang terlebih dahulu sampai beberapa saat sebelum parasitoid dilepas di lapangan. Pemberian inang sebelum parasitoid synovigenik di lepas bertujuan untuk menstimuli produksi dan pematangan telur sehingga parasitoid sudah siap untuk oviposisi saat parasitoid dilepas di lapangan. Selain itu, masa hidup imago A. nilaparvatae sangat singkat (1-3 hari), sehingga dalam pemanfaatannya sebagai agens hayati perlu dilakukan upaya konservasi yang cermat, terarah, tepat, dan berkelanjutan agar A. nilaparvatae dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Konservasi harus mampu memfasilitasi A. nilaparvatae dalam menemukan inang untuk menjamin keberlangsungan hidup A. nilaparvatae dan memengaruhi populasinya.
Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Kapasitas Reproduksi Parasitoid A. nilaparvatae Lama ketiadaan inang tampaknya dapat menstimulasi parasitoid A. nilaparvatae untuk meletakkan telur. Semakin lama parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang akan mengurangi stimulus yang dapat memicu parasitoid untuk meletakkan telur (Akbar dan Buchori 2012). Ketiadaan inang dapat menyebabkan parasitoid gagal untuk menanggapi rangsangan oviposisi. Ketiadaan inang selama 9 dan 12 hari menurunkan tingkat parasitisasi parasitoid Microplitis croceipes (Cresson) pada larva Heliothis virescens (F.) (Navasero dan Elzen 1992). Ketiadaan inang yang terlalu lama dapat menurunkan kemampuan oviposisi parasitoid dalam inang akibat penuaan dini. Umur parasitoid betina
49 penting dalam menentukan keberhasilan parasitisasi (Amalin et al. 2005). Penerimaan stimulus kemosensorik yang berasal dari inang (Herrebout 1969) dan efisiensi parasitisasi (Cui et al. 1986) dapat menurun dengan bertambahnya umur betina parasitoid. Kemampuan parasitisasi tertinggi dari parasitoid Ceratogramma etiennei (Hymenoptera: Trichogrammatidae) ditunjukkan oleh betina umur 1-2 hari (Amalin et al. 2005). Keberhasilan parasitoid pupa Brachymeria intermedia (Nees) dalam memproduksi keturunan mengalami penurunan dengan meningkatnya umur betina (Barbosa et al. 1986). Ketiadaaan inang yang terlalu lama dapat menyebabkan parasitoid A. nilaparvatae tidak memiliki pengalaman dalam meletakkan telur, sehingga keperidiannya menjadi rendah. Keperidian parasitoid yang rendah mengakibatkan telur yang tersisa dalam ovari parasitoid semakin banyak. Pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasa parasitoid betina penting untuk kemampuan oviposisi berikutnya. Parasitoid betina yang memiliki pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasanya mampu meletakkan telur dalam inang lebih banyak. Parasitoid betina yang tidak memiliki pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasanya dapat meletakkan telur dalam inang lebih sedikit (Drost dan Carde 1992; Rohmani et al. 2008). Keputusan oviposisi parasitoid dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi fisiologi (egg load, status kawin), ketersediaan inang, dan pengalaman bertemu inang sebelumnya (Papaj 2000). Wang dan Messing (2003) melaporkan bahwa pengalaman oviposisi pada parasitoid synovigenik, seperti Fopius arisanus (Hymenoptera: Braconidae) dapat menstimuli pematangan telur. Pengalaman oviposisi dalam memicu pematangan telur dikonfirmasi Hegazi et al. (2013) pada prasitoid Microplitis rufiventris (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid dari ngengat Noctuidae. Pengalaman bertemu inang di awal kehidupan dewasa parasitoid menentukan keberhasilan dalam menemukan inang berikutnya (Ueno dan Ueno 2005; Bleeker et al. 2006). Ketiadaan inang yang terlalu lama dapat mengubah perilaku dari parasitoid A. nilaparvatae dalam menemukan dan menangani inang. Hougardy dan Mills (2007) melaporkan bahwa parasitoid yang sebelumnya diperlakukan dalam ketiadaan inang, lebih banyak beristirahat daripada memeriksa atau mencari inang ketika inang sudah tersedia. Parasitoid membutuhkan lebih banyak waktu untuk menangani dan menerima inang. Peningkatan lamanya waktu di mana betina parasitoid tidak mendapatkan inang berakibat pada menurunnya jumlah keturunan yang diproduksi. Semakin lama periode ketiadaan inang maka semakin lama hidup parasitoid Trichogramma kaykai Pinto & Stouthamer (Hohmann et al. 2001). Efek ketiadaan inang terhadap lama hidup parasitoid betina juga bergantung pada ukuran imago parasitoid betina. Pada betina berukuran besar, semakin lama tidak diberi inang semakin lama hidupnya, namun tidak berlaku bagi betina berukuran kecil. Betina berukuran besar memiliki sumberdaya yang memungkinkan untuk hidup dalam waktu yang lama, tanpa mengorbankan fekunditas (Hohmann & Luck 2004). Fekunditas parasitoid Pennsylvanicum Ashmead (Hymenoptera: Scelionidae) menurun dengan meningkatnya durasi ketiadaan inang. Betina yang diperlakukan dalam ketiadaan inang meletakkan telur 40% lebih sedikit daripada betina yang diberi inang secara rutin. Betina mampu hidup lebih lama ketika diperlakukan dalam ketiadaan inang (Vogt dan Nechols 1993). Parasitoid soliter Chetogena edwardsii
50 (Diptera: Tachinidae) yang ditunda oviposisinya selama 2-7 hari mengakumulasi 1 telur per hari. Jumlah telur yang diletakkan oleh betina yang ditunda oviposisinya selama 2-5 hari tidak berbeda dengan betina yag langsung oviposisi sejak awal (Terkanian 1993). Bruce et al. (2009) melaporkan bahwa peningkatan durasi ketiadaan inang diikuti dengan penurunan fekunditas akibat resorpsi dan peningkatan lama hidup betina Telenomus isis (Hymenoptera: Scelionidae). Parasitoid akan memaksimumkan peletakan telurnya pertama kali mendapatkan inang dan menurun pada hari berikutnya (Handayani et al. 2004; Hougardy et al. 2005). Tarla (2011) melaporkan bahwa jumlah telur yang diletakkan parasitoid Trissolcus grandis Thompson (Hymenoptera: Scelionidae) dalam inang meningkat di hari pertama mendapatkan inang dan menurun pada hari berikutnya. Garcia dan Tavares (2001) menyatakan bahwa ketika inang disediakan setiap hari, parasitoid T. cordubensis memiliki tingkat reproduksi tertinggi di hari pertama parasitisasinya dan selanjutnya menurun. Produksi telur parasitoid A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam dan stimulus pemicu untuk peletakan telur diduga masih bekerja dengan baik sehingga laju penerimaan inang meningkat. Penerimaan inang oleh parasitoid ditunjukkan dengan parasitoid meletakkan telurnya dalam inang tersebut. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah semakin lama A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang, akan mengubah perilaku A. nilaparvatae dalam meletakkan telur. Parasitoid A. nilaparvatae meletakkan telurnya lebih sedikit jika sebelumnya parasitoid terlalu lama tidak mendapatkan inang, akibatnya telur N. lugens yang menetas menjadi nimfa jumlahnya akan semakin banyak (Tabel 7). Peletakan telur parasitoid pada inang merupakan salah satu komponen dari kapasitas reproduksi yang penting dalam upaya pengendalian serangga hama. Semakin banyak telur yang dapat diletakkan parasitoid betina, semakin banyak mortalitas serangga hama yang ditimbulkan, sehingga pengendalian menjadi efektif (Handayani et al. 2004). Peningkatan jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilaparvatae dikarenakan telur yang diletakkan parasitoid semakin menurun, seiring parasitoid semakin lama tidak mendapatkan inang. Selama parasitoid tidak mendapatkan inang, tidak terjadi penyerapan kembali telur yang telah diproduksi (oosorption), sehingga telur yang tidak diletakkan parasitoid dalam inang tetap disimpan di dalam ovari. Banyaknya telur yang tersisa dalam ovari mengindikasikan rendahnya kemampuan parasitoid dalam menekan populasi inang terkait dengan ketiadaan inang. Potensi produksi telur merupakan kemampuan parasitoid betina menghasilkan telur selama masa hidupnya, yang meliputi jumlah telur yang diletakkan dalam inang dan jumlah telur yang tersisa dalam ovari (Handayani et al. 2004). Potensi produksi telur menunjukkan kemampuan yang dimiliki parasitoid betina untuk melakukan oviposisi pada inang. Semakin tinggi potensi produksi telur, semakin banyak telur yang mampu diletakkan terlepas dari ketiadaan inang (Rohmani et al. 2008). Potensi produksi telur A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam tidak mendapatkan inang, kemudian cenderung tetap. Peningkatan potensi produksi telur parasitoid setelah 3 jam diikuti dengan meningkatnya keperidian dan parasitisasi parasitoid. Besarnya potensi produksi telur A. nilaparvatae pada perlakuan ketiadaan inang selama 6, 9, 12, dan 18 jam sama dengan perlakuan ketiadaan inang selama 3 jam, namun keperidian dan tingkat parasitisasi menurun.
51 Hal tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan parasitisasi didukung oleh potensi parasitoid dalam memproduksi telur, tetapi potensi produksi telur tidak menentukan tingginya parasitisasi. Tingginya potensi produksi telur tidak berarti bahwa parasitoid tersebut memiliki kemampuan parasitisasi yang tinggi (Handayani et al. 2004). Tingginya kemampuan parasitisasi dalam penelitian ini tampaknya bergantung pada stimulus pemicu oviposisi (Akbar dan Buchori 2012). Implikasi dari hasil penelitian ini dalam hal pengendalian N. lugens menggunakan A. nilaparvatae adalah ketiadaan inang selama beberapa waktu di lapangan, dapat menurunkan kemampuan parasitisasi walaupun potensi produksi telurnya tinggi. Kemampuan parasitisasi A. nilaparvate yang menurun akan mengurangi efisiensi pengendalian N. lugens. Potensi produksi telur parasitoid proovigenik adalah tetap dan ditentukan pada saat parasitoid keluar dari inang sebagai imago (Heimpel dan Rosenheim 1998; Aung et al. 2010). Produksi telur matang A. nilaparvatae masih berlangsung sampai dengan 3 jam setelah keluar dari inang. Produksi telur matang spesies proovigenik yang tidak sepenuhnya selesai sebelum oviposisi dimulai. Deposisi telur dapat terjadi beberapa saat setelah parasitoid keluar dari inang (Flanders 1950). Parasitoid proovigenik hidup singkat dengan potensi produksi telur yang tetap menyebabkan parasitoid ini menghadapi beberapa risiko, diantaranya parasitoid mati sebelum menemukan inang yang sesuai untuk oviposisi atau parasitoid kehabisan telur ketika masih tersedia banyak inang yang sesuai untuk oviposisi (Rosenheim et al. 2008). Gizi pada tahap dewasa, seperti madu sangat penting untuk mendukung kinerja parasitoid dalam menekan populasi inang (Divya et al. 2011). Madu menyediakan nutrisi penting bagi parasitoid terutama karbohidrat sebagai sumber energi. Energi menentukan keaktifan parasitoid dalam bergerak mencari inang, berkopulasi, dan memarasit (Handayani et al. 2004). Ozkan (2007) melaporkan bahwa larutan madu secara signifikan meningkatkan peletakan telur Venturia canescens. Larutan madu tidak memengaruhi potensi produksi telur A. nilaparvatae, karena produksi dan pematangan telur pada parasitoid proovigenik memanfaatkan sumberdaya yang diperoleh selama perkembangan dalam inang (Flanders 1950). Pemberian larutan madu tidak memengaruhi produksi telur parasitoid dilaporkan juga oleh Chantarasa-ard et al. (1984) pada A. incaratus Haliday, Mutitu et al. (2013) pada Cleruchoides noackae (Hymenoptera: Mymaridae). Madu di alam dapat diperoleh dari nektar yang dihasilkan oleh rerumputan dan tumbuhan liar berbunga (Herlinda 2007; Meidalima 2013). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah rerumputan di pematang sawah dan tumbuhan liar di sekitar persawahan yang menghasilkan bunga penting untuk konservasi parasitoid A. nilaparvatae di lapangan, sebagai penyedia nektar guna menunjang kinerja parasitoid A. nilaparvatae dalam menekan populasi N. lugens. Lama ketiadaan inang sampai 9 jam tampaknya membuat imago parasitoid betina A. nilaparvatae menyimpan lebih banyak energi, karena hanya sedikit melakukan oviposisi dibandingkan imago betina yang langsung mendapatkan inang ketika pertama kali keluar dari inang (Handayani et al. 2004). Energi tersebut lebih digunakan untuk memelihara metabolisme tubuh sehingga dapat hidup lebih lama (Cronin dan Strong 1990). Hohmann dan Luck (2004) melaporkan bahwa parasitoid yang dibiarkan melakukan oviposisi pada inang terbatas selama hidupnya, mampu hidup lebih lama dibandingkan parasitoid yang
52 dibiarkan oviposisi pada inang tanpa batas setiap hari selama hidupnya. Parasitoid T. cordubensis yang setiap hari melakukan oviposisi memiliki hidup lebih lama daripada parasitoid yang oviposisi hanya setiap 3 hari atau tidak oviposisi (Garcia & Tavares 2001). Parasitoid proovigenik umumnya tidak memanfaatkan inang sebagai pakan (Chan dan Godfray 1993). Spesies parasitoid yang pada tahap dewasa tidak memanfaatkan inang sebagai pakan sangat bergantung pada sumberdaya yang tersimpan selama perkembangan dalam inang dan atau sumberdaya pakan tambahan dari lingkungan, seperti karbohidrat (Steppuhn dan Wackers 2004). Larutan madu 10% yang diberikan selama perlakuan ketiadaan inang dapat menjadi tambahan energi bagi parasitoid. Madu merupakan sumber karbohidrat bagi serangga (Jervis dan Kidd 1986). Tingkat metabolisme dan kemampuan untuk menggunakan karbohidrat merupakan penentu penting dari kelangsungan hidup dewasa parasitoid (Seyahooei et al. 2011). Pakan pada parasitoid proovigenik digunakan untuk meningkatkan lama hidup (Thompson 1999; Mutitu et al. 2013). Menurut Hanan et al. (2010), banyak parasitoid membutuhkan karbohidrat untuk kelangsungan hidup dan dalam ketiadaan inang. Parasitoid yang diberi larutan madu hidup lebih lama daripada parasitoid yang hanya diberi air. Franz (2008) melaporkan bahwa komposisi kimia madu terdiri atas air (17,10%), fruktosa (38,50%), glukosa (31%), maltosa (7,20%), sukrosa (1,31%), asam organik (0,57%), protein (0,7%), dan abu (0,17%). Komposisi kimiawi utama dalam madu total karbohidrat (78,90 g), kadar air (78,00 g), protein (1,20 g), lemak (0 g), serat kasar (0 g), abu (0,20 g), kalori (295,00 kal), kalsium (2 mg), fosfor (12 mg), zat besi ( 0,8 mg%), natrium (10 mg), thiamin (0,1 mg), flavonoid (0,02 mg), dan niacin (0,02 mg). Umumnya, fruktosa dan glukosa siap diserap dalam usus (Arrese dan Soulages 2010). Madu juga mengandung berbagai macam enzim (amylase, diastase, investase, katalase, peroksidase, lipase) untuk reaksi kimia berbagai metabolisme di dalam tubuh (Puspitasari 2007). Penelitian sebelumnya menunjukkan terjadi peningkatan lama hidup parasitoid betina T. euproctidis empat kali lebih lama dibandingkan betina tanpa madu (Tuncbilek et al. 2012). Kelangsungan hidup betina parasitoid Acerophagus papayae (Hymenoptera: Encyrtidae) yang diberi larutan madu, tiga kali lebih tinggi dibandingkan betina yang diberi air (Divya et al. 2011). Parasitoid Ooencyrtus nezarae (Hymenoptera: Encyrtidae) hidup lebih lama dengan pemberian larutan madu daripada air (Aung et al. 2010). Larutan madu secara signifikan memperpanjang lama hidup parasitoid Eretmocerus warrae (Hymenoptera: Aphelinidae) (Hanan et al. 2010). Lama hidup parasitoid dewasa merupakan faktor penting dalam dinamika populasi parasitoid dan memengaruhi efektivitas dalam memanfaatkan inang (Eliopoulos et al. 2005). Semakin lama parasitoid hidup, jantan dapat membuahi betina lebih banyak, sedangkan betina dapat meletakkan telur lebih banyak (Jervis et al. 1996). Lama hidup dewasa merupakan karakteristik spesifik spesies yang dipengaruhi oleh berbagai faktor biotik (inang, ukuran tubuh, status kawin, pakan dewasa, laju metabolisme) (Tarla 2011; Bezemer et al. 2005; Wackers 2001; Ueno dan Ueno 2005; Ueno dan Ueno 2007; Zang dan Liu 2009; Zang et al. 2011; Seyahooei et al. 2011) dan abiotik (suhu, kelembaban, penyinaran) (Jervis & Copland, 1996; Eliopoulos et al. 2003; Eliopoulos et al. 2005).
53 Peningkatan lama hidup penting untuk menghadapi kondisi inang yang jarang di alam, sampai parasitoid menemukan inangnya. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah madu sangat penting bagi parasitoid, terutama ketika inang yang sesuai di alam tidak tersedia atau jarang. Hanan et al. (2010) melaporkan bahwa ketika inang jarang atau tidak tersedia di mass rearing, peningkatan lama hidup E. warrae (5-9 hari) dilakukan dengan pemberian madu yang memungkinkan parasitoid bertahan sampai menemukan inang. Imago parasitoid betina A. nilaparvatae yang hanya diberi pakan air, hidup lebih singkat dibandingkan dengan imago betina yang diberi larutan madu 10%. Pematangan telur memerlukan lipid yang diperoleh selama perkembangan tahap pradewasa dalam inang (Flanders 1950; Ellers 1996). Kelangsungan hidup dewasa tampaknya sangat bergantung dari cadangan energi yang disimpan dalam bentuk fat body (Stephunn dan Wackers 2004). Penelitian ini menunjukkan bahwa ketiadaan inang dapat menurunkan kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae, yang meliputi keperidian, tingkat parasitisasi, dan lama hidup imago betina. Potensi produksi telur selama perlakuan ketiadaan inang tidak menentukan kemampuan memarasit. Madu penting bagi parasitoid A. nilaparvatae untuk meningkatkan kemampuan memarasit inang dan meningkatkan lama hidup. Kemampuan A. nilaparvatae dalam memarasit inang yang tinggi didukung dengan kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama akan mengefektifkan dan mengefisienkan pengendalian N. lugens di lapangan. Di alam, diupayakan dengan mempertahankan rerumputan liar di pematang sawah dan tumbuhan liar berbunga di sekitar lahan sebagai penghasil nektar.
SIMPULAN Parasitoid A. nilaparvatae sudah memiliki telur yang matang di awal kehidupan dewasanya. Telur matang parasitoid A. nilaparvatae berbentuk elips dilengkapi dengan pedunculus atau pedisel yang ramping dan panjang. Produksi telur matang A. nilaparvatae masih berlangsung sampai 3 jam di masa hidup dewasa. Ketiadaan inang dapat mengubah perilaku parasitoid betina sehingga mampu menurunkan kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae, meliputi jumlah telur yang diletakkan, keperidian, tingkat parasitisasi dan lama hidup imago betina. Penurunan kapasitas reproduksi mulai terjadi setelah 9 jam parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang sampai 18 jam. Pemberian larutan madu sebagai pakan selama ketiadaan inang dapat mengurangi penurunan kapasitas reproduksi akibat ketiadaan inang.
54
4 PEMBAHASAN UMUM Pengendalian hayati menggunakan parasitoid pada prinsipnya adalah melindungi, mengembangkan, dan meningkatkan peran parasitoid sehingga dapat memberikan fungsinya sebagai pengatur populasi hama dalam ekosistem (Lubis 2005). Pengendalian Nilaparvata lugens secara hayati sangat mungkin dilakukan, karena sama seperti serangga hama lainnya memiliki musuh alami yang sudah tersedia di alam (Lubis 2005; Santosa dan Sulistyo 2007). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di lapangan N. lugens sudah memiliki musuh alami, yakni parasitoid telur. Parasitoid telur yang menyerang N. lugens tidak hanya satu spesies namun beranekaragam, meliputi famili Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae, dan Pteromalidae. Parasitoid telur tersebut dapat dimanfaatkan oleh petani untuk mengendalikan populasi N. lugens karena sangat potensial sebagai agens pengendali hayati. Penelitian ini menemukan enam spesies parasitoid telur N. lugens, yaitu Anagrus nilaparvatae, Oligosita sp., Tetrastichus formosanus, Anagrus sp., Gonatocerus sp., dan Cyrtogaster near vulgaris. Jumlah spesies parasitoid telur N. lugens yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak daripada hasil koleksi Maryana (1994) dan Meilin (2012), namun lebih sedikit dari hasil koleksi Yaherwandi dan Syam (2007). Keanekaragaman spesies parasitoid telur N. lugens dari hasil penelitian ini cukup tinggi. Keanekaragaman spesies yang tinggi mengindikasikan interaksi dengan baik, sehingga terjadi keseimbangan antara populasi herbivora dengan musuh alaminya. Kondisi seperti ini menyebabkan herbivora yang terdapat pada ekosistem tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang nyata pada tanaman budidaya (Lubis 2005; Nurindah dan Sujak 2006). Nurindah dan Sujak (2006) menyatakan bahwa informasi mengenai keanekaragaman spesies parasitoid pada suatu ekosistem diperlukan sebagai petunjuk untuk menilai kesehatan suatu agroekosistem. Keberadaan suatu spesies parasitoid dalam suatu ekosistem petanian di suatu daerah mengindikasikan kemampuan adaptasi parasitoid dengan kondisi lingkungan, seperti suhu dan kelembapan (Susiawan dan Yuliarti 2006). Keanekaragaman, kelimpahan, dan parasitisasi parasitoid telur N. lugens menunjukkan perbedaan antar daerah (Maryana 1994; Diani et al. 1992; Yaherwandi dan Syam 2007; Meilin 2012). Fenomena tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk penerapan pengendalian hayati dalam mengintroduksi suatu spesies parasitoid dari daerah lain guna mengatasi serangga hama. Introduksi spesies perlu memperhatikan kondisi daerah asal spesies parasitoid dan daerah yang akan dilakukan introduksi, serta kemampuan adaptasi dari parasitoid. Hal ini bertujuan untuk mengefektifkan pengendalian hayati yang diterapkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan Herlinda (2005) menunjukkan bahwa Trichogrammatoidea cojuangcoi lebih sesuai digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk daerah dataran tinggi karena kelimpahan dan aktivitas pemarasitan parasitoid ini mencapai maksimum di daerah yang memiliki suhu rendah. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur N. lugens memberikan informasi keberadaan musuh alami yang dapat dijadikan agens pengendali hayati, namun dalam pengendalian hayati perlu dilakukan manipulasi terhadap musuh alami (Effendi 2009). Pengendalian hayati dilakukan dengan memanipulasi musuh
55 alami dan faktor lingkungan dalam meningkatkan peran dari musuh alami sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam mengendalikan populasi hama (Lubis 2005; Untung 2006). Manipulasi parasitoid dalam ekosistem dapat dilakukan jika informasi mengenai biologi, perilaku, dan ekologi dari parasitoid sudah didapatkan (Barbosa 1998). Sifat biologi, perilaku, dan respon parasitoid terhadap faktor ekologi memengaruhi keberhasilan hidup, pertumbuhan, perkembangan, dan perkembangbiakan yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan populasi dan kinerja parasitoid dalam mengendalikan hama (Jervis dan Kidd 1996). Salah satu parasitoid telur N. lugens yang dominan dari hasil penelitian ini, yaitu A. nilaparvatae telah dikaji karakteristik bioekologinya mengenai pematangan telur dan perilaku reproduksi betina terkait ketiadaan inang dan ketersediaan pakan pada tahap dewasa. Kondisi ketiadaan inang di alam jelas tidak menguntungkan bagi parasitoid. Inang merupakan media reproduksi bagi parasitoid untuk memperoleh keturunan (Quicke 1997). Keberlangsungan hidup imago dan generasi parasitoid dapat terhenti jika di lapangan tidak tersedia inang. Parasitoid A. nilaparvatae merupakan proovigenik dengan masa hidup imago yang sangat singkat (1-3 hari). Ketiadaan telur N. lugens di lapangan akan mengancam keberlangsungan hidup parasitoid A. nilaparvatae. Solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk pengendalian hayati ketika inang dari A. nilaparvatae belum tersedia di lapangan adalah melalui pemasangan tanaman perangkap yang telah terinfestasi telur N. lugens di lapangan. Pemasangan tanaman perangkap ini harus melalui pemantauan sebelumnya dengan memperhatikan kelimpahan dan fase N. lugens. Kuantitas dari tanaman perangkap yang dipasang perlu disesuaikan dengan kuantitas parasitoid, karena pemasangan tanaman perangkap ini berupaya menambah jumlah inang di lapangan. Pemasangan tanaman perangkap tanpa memperhatikan kuantitas inang dan parasitoid akan merugikan dan berdampak negatif bagi program pengendalian. Takagi (1999) menjelaskan bahwa pengendalian hayati dalam praktiknya dilakukan dengan melindungi populasi inang namun pada kepadatan yang rendah dapat berpengaruh terhadap dinamika populasi inang dan parasitoid dalam mencapai kestabilan. Konsekuensi dari ketiadaan inang juga berdampak terhadap pembiakan masal parasitoid di laboratorium. Ketiadaan inang selama pembiakan akan menyebabkan terhentinya proses pembiakan yang berakibat kematian masal dan terputusnya generasi parasitoid. Oleh karena itu, selama pembiakan A. nilaparvatae juga dilakukan pembiakan serangga inangnya. Upaya pembiakan N. lugens juga harus mampu menyediakan telur N. lugens yang berumur muda (1-2 hari) setiap saat A. nilaparvatae memerlukan inang. Pengalaman selama pembiakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa parasitoid A. nilaparvatae yang dibiakkan pada telur N. lugens umur lima hari menghasilkan keturunan imago dalam jumlah sangat rendah. Keberhasilan pembiakan masal A. nilaparvatae akan memengaruhi kesuksesan program pengendalian hayati yang diterapkan khususnya dalam memenuhi kebutuhan untuk proses pelepasan parasitoid ini di lapangan. Pembiakan masal A. nilaparvatae yang berhasil juga dapat mendukung penelitian terkait parasitoid ini di laboratorium (Djuwarso dan Wikardi 1999). Pembiakan A. nilaparvatae dalam penelitian ini berhasil dilakukan dengan menggunakan kotak plastik (Meilin 2012) yang dimodifikasi pada lubang aerasi
56 (3 aerasi), umur bibit padi yang digunakan (2 minggu), dan ukuran baki plastik (32 cm x 25 cm x 5 cm) sebagai tempat menanam bibit padi. Pembiakan parasitoid Anagrus spp. sebelumnya telah dilaporkan oleh Atmadja (1997) dan Yaherwandi dan Syam (2007) menggunakan kurungan mika silinder pada tanaman padi umur satu bulan, namun tidak ada informasi mengenai cara pemanenan parasitoid. Chandra dan Dyck (1988) memperoleh tiga kali lipat populasi A. flaveolus menggunakan kurungan plastik berbentuk silinder dengan bagian ujung atas dilengkapi tabung panen dan diberi dua atau tiga lubang aerasi di dinding kurungan. Dalam pengendalian hayati, pembiakan masal musuh alami tidak hanya berupaya untuk meningkatkan kuantitas, tetapi juga kualitas musuh alami. Obrycki et al. (1997) menyatakan bahwa pemilihan spesies musuh alami perlu diperhatikan lebih dari sekedar dapat dibiakkan dalam jumlah besar, tetapi juga kemungkinan dilakukan pengendalian kualitas, peningkatan keefektifan musuh alami yang dilepas dan penilaian ekologi serta ekonomi. Peningkatan kualitas A. nilaparvatae mengacu dari hasil penelitian ini dapat diupayakan dengan pemberian larutan madu pada imago parasitoid. Pemberian larutan madu 10% dapat meningkatkan kemampuan dalam memarasit inang dan lama hidup imago betina parasitoid. Djuwarso dan Wikardi (1999) menyatakan bahwa pemberian larutan madu dapat menghindari resiko musnahnya parasitoid apabila jumlah parasitoid yang tersedia jumlahnya sangat terbatas. Parasitoid Anagrus spp. dapat membedakan antara inang yang belum atau sudah diparasit melalui feromon yang diinjeksikan selama oviposisi atau melalui gesekan ovipositor di sekitar lokasi oviposisi (Baaren et al. 1995; Conti et al. 1999). Walaupun betina parasitoid dapat membedakan inang terparasit dan tidak terparasit serta inang berkualitas, namun tidak berarti bahwa parasitoid dapat menghindari superparasitisme (Lenteren et al. 1978). Upaya pengendalian hayati tidak lepas dari konservasi musuh alami (Naranjo 2001). Keanekaragaman parasitoid telur N. lugens perlu dipertahankan melalui perlakuan konservasi sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan (Hendrival et al. 2011). Konservasi dapat dilakukan dengan menciptakan atau memanipulasi faktor-faktor lingkungan yang medukung aktivitas parasitoid untuk berkembang dan melaksanakan perannya sebagai organisme pengendali populasi hama serta mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pembatas bagi parasitoid (Barbosa 1998). Driesche dan Bellows (1996) menjelaskan kegiatan konservasi musuh alami meliputi penggunaan pestisida secara terbatas dan selektif, melestarikan spesies gulma yang mendukung inang parasitoid atau mangsa alternatif predator, memfasilitasi perpindahan musuh alami, dan memodifikasi sistem budidaya tanaman. Tumbuhan liar yang berada di pematang sawah dan sekitar lahan turut memberikan peranan penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem. Tumbuhan liar dapat mengurangi kerusakan tanaman budidaya terutama ketika hama makan pada tumbuhan liar. Tumbuhan liar juga memfasilitasi serangga menguntungkan seperti musuh alami dalam mendapatkan inang alternatif dan sumber pakan dewasa seperti polen dan nektar. Tumbuhan liar dapat memengaruhi suhu pada tajuk tanaman. Selama aplikasi pestisida, tumbuhan liar dapat menjadi tempat berlindung bagi musuh alami (Norris dan Kogan 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber pakan tahap dewasa, yakni
57 larutan madu 10% penting dalam meningkatkan kemampuan memarasit dan lama hidup imago betina A. nilaparvatae. Di alam, gula dapat diperoleh parasitoid dari nektar yang dihasilkan tumbuhan liar berbunga. Tumbuhan liar berbunga dapat mendukung A. nilaparvatae agar tetap dapat bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya dalam kondisi telur N. lugens belum tersedia beberapa waktu atau tersedia jarang di lapangan. A. nilaparvatae muncul dari inang sebagai individu dewasa yang memiliki telur matang dalam jumlah besar sementara parasitoid ini tidak mampu melakukan resorpsi dan umur dewasa yang sangat singkat. Apabila A. nilaparvatae tidak memperoleh media untuk reproduksinya maka telur-telur dalam ovarinya akan tetap disimpan. A. nilaparvatae akan mengalami kematian sebelum dapat meletakkan telur-telurnya. Tumbuhan liar berbunga menyediakan nektar yang dapat dimanfaatkan A. nilaparvatae sebagai sumber energi untuk meningkatkan lama hidup. Tumbuhan liar berbunga juga merupakan sumber inang alternatif yang dapat digunakan A. nilaparvatae sebagai media untuk melangsungkan reproduksinya. Keberadaan inang alternatif memungkinkan dapat dimanfaatkan karena A. nilaparvatae bersifat polifag. Keberadaan tumbuhan liar di sekitar pertanaman sering dibersihkan di awal musim tanam oleh petani karena dianggap sebagai gulma dan penyebab penyakit pada tanaman. Walaupun tumbuhan liar berstatus sebagai gulma, namun jika dikelola dengan benar dan tepat akan bermanfaat dalam penurunan populasi hama (Norris dan Kogan 2000). Masih banyaknya petani yang belum mengerti akan keuntungan dari keberadaan tumbuhan liar, tampaknya perlu dilakukan sosialisasi pada para petani terkait peran penting tumbuhan liar dalam pengendalian hama. Pengendalian hayati N. lugens dapat ditingkatkan melalui peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid yang menyerang N. lugens. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid yang tinggi akan meningkatkan parasitisasi (Nurindah dan Sujak 2006). Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid dapat ditingkatkan melalui manajemen lahan dan praktik budidaya (Pickett dan Bugg 1998). Manajemen lahan dapat dilakukan dengan membuat atau meningkatkan peran lingkungan untuk meningkatkan jumlah musuh alami. Manajemen lahan, misalnya dengan menambah keanekaragaman tanaman dalam suatu pertanaman atau lanskap (Altieri dan Letourneau 1982). Upaya yang dapat dilakukan dengan memodifikasi pertanian monokultur menjadi polikultur. Sistem tanam tumpangsari (intercropping) merupakan salah satu cara penambahan keanekaragaman dalam suatu pertanaman (Verkerk et al. 1998). Sistem tumpangsari padi dengan palawija selain memberikan keuntungan ekonomi juga membantu dalam pengendalian hama karena dapat meningkatkan populasi musuh alami (Nurindah dan Sujak 2006). Populasi musuh alami yang tinggi dapat mempertahankan populasi hama untuk selalu berada pada populasi di bawah ambang ekonomi (Murdoch 1994). Nurindah dan Sujak (2006) melaporkan bahwa sistem tanam tumpangsari meningkatkan parasitisasi telur Helicoverpa armigera yang disebabkan oleh adanya peningkatan keanekaragaman parasitoid. Struktur tanaman yang kompleks dapat memengaruhi kinerja parasitoid dalam menemukan inangnya. Proses penemuan inang oleh Trichogramma spp. (foraging) dipengaruhi oleh kompleksitas struktur tanaman. Inang yang terdapat pada struktur tanaman yang sederhana lebih mudah ditemukan daripada inang pada struktur tanaman yang lebih kompleks (Gingras et al. 2003).
58 Parasitoid N. lugens sudah terdapat di alam, namun sering kali tetap terjadi ledakan N. lugens di lapangan. Secara alami, laju kepadatan populasi parasitoid mengikuti kepadatan populasi inangnya secara fluktuatif (Stiling 1988). Laju parasitisasi oleh parasitoid Plutella xylostella lebih dipengaruhi oleh fluktuasi populasi inangnya (density dependence), sedangkan fluktuasi inang dipengaruhi oleh musim (Herlinda 2004). Ledakan hama dapat terjadi karena parasitoid tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai musuh alami dalam menekan populasi hama. Parasitoid tidak mampu menjalankan fungsinya karena kelimpahannya yang rendah, sementara kelimpahan serangga hama sangat tinggi (Lubis 2005). Kelimpahan parasitoid yang rendah mungkin disebabkan oleh cara bercocok tanam dan praktik budidaya yang tidak tepat, seperti penggunaan pestisida secara intensif (Meilin 2012). Parasitoid telur N. lugens memberikan peran yang sangat besar bagi terciptanya keseimbangan ekosistem melalui perannya sebagai musuh alami terutama dalam memutus siklus hidup N. lugens. Pengendalian hayati menggunakan parasitoid telur dinilai sangat baik karena memarasit hama pada fase telur, sehingga hama tidak berkembang menjadi larva, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi hama, dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar, serta pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya (Wilyus et al. 2012). Selain itu, parasitoid telur mudah untuk dikembangbiakkan secara massal (Hassan 1993). Upaya untuk meningkatkan peran parasitoid telur sebagai agen hayati pengendali hama dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membantu parasitoid agar lebih mudah menemukan inangnya, menyesuaikan keberadaan parasitoid dengan tersedianya telur inang, meningkatkan proporsi populasi parasitoid terhadap telur inang, menggunakan pestisida yang aman terhadap parasitoid, dan menyeleksi strain musuh alami yang mempunyai daya cari dan daya adaptasi yang tinggi (DeBach dan Hagen 1965). Penerapan pengendalian hayati sebagai salah satu komponen pengendalian hama terpadu telah terbukti menguntungkan secara ekonomi maupun ekologi. Hasil penelitian ini memberikan informasi keberadaan dan bioekologi dari parasitoid telur N. lugens yang dapat dimanfaatkan dalam penerapan, pengelolaan, dan pengembangan pengendalian N. lugens secara hayati. Penyuluhan dan sosialisasi perlu dilakukan terhadap para petani, sehingga penerapannya dapat sampai ke petani. Penelitian dan pengembangan musuh alami juga tetap perlu dilakukan sampai ke tingkat petani untuk memberikan peluang dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan musuh alami.
59
5 SIMPULAN DAN SARAN UMUM Simpulan Parasitoid telur N. lugens dengan keanekaragaman yang tinggi dapat meningkatkan potensi program pengendalian N. lugens secara hayati. Ketersediaan inang dan sumberdaya gula serta pola pematangan telur dapat menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan dan keberlangsungan reproduksi parasitoid telur N. lugens. Saran Anagrus nilaparvatae dapat dijadikan agens hayati untuk mengendalikan populasi Nilaparvata lugens di lapangan. Pemberian larutan madu 10% perlu dilakukan sebelum parasitoid dirilis untuk meningkatkan kemampuan memarasit dan lama hidup. Tumbuhan liar dan berbunga di sekitar lahan dan pematang sawah perlu dikelola untuk konservasi parasitoid.
60
DAFTAR PUSTAKA Akbar ME, Buchori D. 2012. Pengaruh lama ketiadaan inang terhadap kapasitas reproduksi parasitoid Snellenius manilae Ashmead (Hymenoptera: Braconidae). J Entomol Indones. 9:14-22. Althoff DM. 2003. Does parasitoid attack strategy influence host specificity? a test with new world braconids. Ecol Entomol. 28:500-502. Altieri MA, Letourneau DK. 1982. Vegetation management and biological control in agroecosystems. Crop Protection. 1:405-430. Altieri MA. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agric Ecosys Environ. 74:19-31. Amalin DM, Pena JE, Duncan RE. 2005. Effects of host age, female parasitoid age, and host plant on parasitism of Ceratogramma etiennei (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Florida Entomol Soc. 88:77-82. Arrese EL, Soulages JL. 2010. Insect fat body: energy, metabolism, and regulation. Ann Rev Entomol. 55:207-225. Askew RR. 1965. The Holarctic species of Cyrtogaster Walker and Polycystus Westwood (Hym., Pteromalidae), including the description of a new species of Cyrtogaster from Britain. Entomophaga. 10:179-195. Atmadja WR. 1997. Pembiakan Anagrus sp. dan Olygosita sp., parasitoid telur wereng batang coklat. Prosiding Seminar Nasional Entomologi, 8 januari 1997. Bogor, hal 55-61. Aung KSD, Takagi M, Ueno T. 2010. Influence of food on the longevity and egg maturation of the egg parasitoid Ooencyrtus nezarae (Hymenoptera: Encyrtidae). J Fac Agr. 55:79-81. Baaren JV, Nenon JP, Boivin G. 1995. Comparison of oviposition behavior of a solitary and a gregarious parasitoid (Hymenoptera: Mymaridae). J Insect Behav. 5:671-686. Baehaki SE, Munawar D. 2007. Identifikasi biotipe wereng coklat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Apresiasi Hasil Penelitian padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Barbosa P, Martinat P, Bennett R. 1986. Consequences of maternal age and host deprivation on the production and development of Brachymeria intermedia (Nees) and the mortality of its gypsy moth (Lymantria dispar) host. J Appl Entomol. 101:215-223. Barbosa P. 1998. Conservation Biological Control. Toronto: Academic Press. Barrion AT, Pantua PC, Bandong JP, dela Cruz CG, Raymundo FA, Lumaban MD, Apostol RF, Litsinger JA. 1981. Food web of the rice brown planthopper in the Philippines. International Rice Research Notes. 6:13-15. Bezemer TM, Harvey JA, Milss NJ. 2005. Influence of adult nutrition on the relationship between body size and reproductive parameters in a parasitoid wasp. Ecol Entomol. 30:571-580. Bianchi FJJA, Wackers FL. 2008. Effects of flower attractiveness and nectar availability in field margins on biological control by parasitoids. Biol Cont. 46:400-408.
61 Bleeker MAK, Smid HM, Steidle JLM, Kruidhof HM, Loon JJA, Vet LEM. 2006. Differences in memory dynamics between two closely related parasitoid wasp species. Anim Behav. 71:1343-1350. Bogran CE, Heinz KM, Ciomperlik MA. 2002. Interspecific competition among insect parasitoids: field experiments with whiteflies as hosts in cotton. Ecology. 83:653-668. Brodbeck B, Strong D. 1987. Amino acid nutrition of herbivorous insects and stress to host plants. In: Brodbeck B, Strong D, eds. Insect Outbreaks. Academic Press. New York. Bruce AY, Schulthess F, Mueke J. 2009. Host acceptance, suitability, and effects of host deprivation on the West African egg parasitoid Telenomus isis (Hymenoptera: Scelionidae) reared on East African stemborers under varying temperature and relative humidity regimens. Environ Entomol. 38:904-919. CameronTC, Wearing HJ, Rohani P, Sait SM. 2005. A koinobiont parasitoid mediates competition and generates additive mortality in healthy host populations. Oikos. 110:620-628. Chandra G, Dyck VA. 1988. New techniques of rearing Anagrus fleveolus (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of the brown planthopper. Entomophaga. 33:239-243. Chan MS, Godfray HCJ. 1993. Host-feeding strategies of parasitoid wasps. Evol Ecol. 7:593-604. Chantarasa-ard S, Hirashima Y, Miura T. 1984. Effects of temperature and food on the development and reproduction of Anagrus incarnatus Haliday (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of the rice planthoppers. Esakia. 22:145-158. Chiu SC. 1979. Biological control of the brown planthopper. In Brown Planthopper: Threat to Rice production in Asia. Los Banos (Philipines): International Rice Research Institute. Coll M. 1998. Parasitoid activity and plant species composition in intercropped system. In: Pickett CH, Bugg RL (editors). Enhancing Biological Control: Habitat management topromote natural enemies of agricultural pests. London: Univ California Pr. Conti E, Jones WA, Bin F, Vinson SB. 1999. Oviposition behavior of Anaphes iole, an egg parasitoid of Lygus hesperus (Hymenoptera: Mymaridae; Heteroptera: Miridae). Ann Entomol Soc Am. 90:91-101. Cronin JT, Strong DR. 1990. Biology of Anagrus delicatus (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of Prokelisia marginata (Homoptera: Delphacidae). Entomol Soc Am. 83:846-854. Cronin JT, Strong DR. 1993. Substantially submaximal oviposition rates by Mymarid egg parasitoid in the laboratory and field. Ecology. 74:18131825. Cui H, Barbosa P, Martinat PJ. 1986. Influence of age of female Glyptapanteles flavicornis (Marsh) (Hymenoptera: Braconidae) and its periodicity of oviposition activity on levels of parasitism and reproductive output. Ann Entomol Soc Am. 79:280-282.
62 DeBach P, Hagen KS. 1965. Manipulation of entomophagous species. In De Bach P (Eds.). Biological Control of Insect and Weeds. London: Chapman and Hall Ltd. DeBach P, Rosen D. 1991. Biological Control by Natural Enemies (Second edition). Britain: Univ Pr Cambridge. Desneux N, Barta RJ, Delebecque CJ, Heimpel GE. 2009. Transient host paralysis as a means of reducing self-superparasitism in koinobiont endoparasitoids. J Insect Physiol. 55:321-327. Diani D, Atmadja WR, Kusdiaman D, Supriyadi. 1992. Komposisi parasitoid pada telur wereng (Nilaparvata lugens Stal.). Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. Dinpertan 2012. Waspada terhadap wereng batang coklat. dinpertan.grobogan.go.id. Diakses 22 Juli 2013. Diaz MF, Ramirez A, Poveda K. 2012. Efficiency of different egg parasitoids and increased floral diversity for the biological control of noctuid pests. Biol Cont. 60:182-191. Divya S, Kalyanasundaram M, Karuppuchamy P. 2011. Effect of adult nutrition on longevity and parasitisation efficiency of Acerophagus papayae Noyes and Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae). J Biol Cont. 25:316-319. Djuwarso T, Wikardi EA. 1999. Teknik perbanyakan Trichogramma spp. di laboratorium dan kemungkinan penggunaannya. J Litbang Pert. 18:111119. Driesche RGV, Bellows JTS. 1996. Biological Control. London: Chapman dan Hall. Driesche RV, Mark H, Ted C. 2008. Control of Pest and Weeds by Natural Enemies: An Introduction to Biological Control. Oxford: Blackwell Publishing. Drost YC, Carde RT. 1992. Influence of host deprivation on egg load and oviposition behaviour of Brachymeria inntermedia, a parasitoid of gypsy moth. Physiol Entomol. 17:230-234. Doutt RL. 1955. Insects of Micronesia Hymenoptera: Trichogrammatidae and Mymaridae. Insects of Micronesia. 19:1-17. Dutton AF, Cerutti, Bigler F. 1996. Quality and environmental factors affecting Trichogramma brassicae efficiency under field conditions. Entomol Exp App. 81:71-79. Effendi BS. 2009. Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam perspektif praktik pertanian yang baik (good agricultural practices). Peng Inov Pert. 2:65-78. Eliopoulos PA, Harvey JA, Athanassiou GC, Stathas GJ. 2003. Effect of biotic and abiotic factors on reproductive parameters of the synovigenic endoparasitoid Venturia canescens. Physiol Entomol. 28:268-275. Eliopoulos PA, Stathas GJ, Bouras SL. 2005. Effects and interactions of temperature, host deprivation and adult feeding on the longevity of the parasitoid Venturia canescens (Hymenoptera: Ichneumonidae). Eur J Entomol. 102:181-187 Ellers J. 1996. Fat and eggs: an alternative method to measure the trade-off between survival and reproduction in insect parasitoids. Netherlands J Zoology. 46:227-235.
63 Elzinga RJ. 2004. Fundamentals of Entomology. New Jersey: Prentice Hall. Evans EW, Anderson MR, Bowling PD. 2010. Targeted sugar provision promotes parasitism of the cereal leaf beetle Oulema melanopus. Agric Forest Entomol. 12:41-47. Flanders, SE 1950. Regulation of ovulation and egg disposal in the parasitic Hymenoptera. Can Entomol. 82:134-140. Fleury F, Bouletreau M. 1993. Effects of temporary host deprivation on the reproductive potential of Trichogramma brassicae. Entomol Exp App. 68:203-210. Forman RTT, Godron M. 1986. Landscape Ecology. New York: John Willey and Sons. Franz JB. 2008. Sehat Dengan Terapi Lebah (Apitherapy). Jakarta (ID): Elex Media Komputindo. Garcia P, Tavares J. 2001. Effect of host availability on Trichogramma cordubensis (Insecta: Hymenoptera) reproductive strategies. Arquipélago. 2:43-49. Garratt MPD, Wright DJ, Leather SR. 2011. The effects of farming system and fertilisers on pests and natural enemies: a synthesis of current research (Review). Agriculture, Ecosystems and Environment. 141:261-270. Graham V, Robert MW. 1969. The Pteromalidae of North-Wester Europe (Hymenoptera: Chalcidoidea). Bulletin of The British Museum (Natural History). 14:1-882. Gingras D, Dutilleul P, Boivin G. 2003. Effect of plant structure on host finding capacity of lepidopterous pests of crucifers by two Trichogramma parasitoids. Biol Cont. 27:25-31. Gurr GM, Liu J, Read DMY, Catindig JLA, Cheng JA, Lan LP, Heong KL. 2010. Parasitoids of Asian rice planthopper (Hemiptera: Delphacidae) pests and prospects for enhancing biological control by ecological engineering. Ann Appl Biol. 158:149–176.doi:10.1111/j.1744-7348.2010.00455.x. Hamid H. 2002. Keanekaragaman, parasitisasi dan penyebaran parasitoid pada pertanaman padi dan tebu di daerah geografik yang berbeda di Pulau Jawa [tesis]. Bogor (ID): IPB. Hamid H, Buchori D, Triwidodo H. 2003. Keanekaragamana parasitoid dan parasitisasinya pada pertanaman padi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Hayati. 10:85-90. Hanan A, He XZ, Shakeel M, Wang Q. 2010. Effect of food supply on reproductive potential of Eretmocerus warrae (Hymenoptera: Aphelinidae). New Zealand Plant Protection. 63:113-117. Handayani RS, Buchori D, Prijono D. 2004. Pengaruh pakan dan inang terhadap lama hidup dan produksi telur Trichogramma pretiosum Riley (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Dalam: Arifin et al. (Ed.), Prosiding Seminar Nasional Enlomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial (Bogor, 5 Oktober 2004). Pp. 45-60. Bogor: IPB. Hasriyanty. 2008. Jumlah inang dan kepadatan parasitoid: pengaruhnya terhadap perilaku selfsuperparasitism parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja dan Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae). J Agroland. 15:27-31.
64 Hassan SA. 1993. The mass rearing and utilization of Trichogramma to control lepidopterous pests: achievements and outlook. Pest Management Science. 37:387-391. Hegazi E, Aziz GMA, Shazly AYE, Khafagi WE. 2007. Influence of host age and host deprivation on longevity, egg load dynamics and oviposition rate in Microplitis rufiventris. Insect Sci.14:485-495. Hegazi E, Khafagi W, Schlyter F. 2013. Egg maturation dynamics of the parasitoid Microplitis rufiventris: starvation speeds maturation in early life. Physiol Entomol. 38:233-240. Heimpel GE, Kattari D, Rosenheim JA. 1997. Adult feeding and lifetime reproductive success in the parasitoid Aphytis melinus. Entomol Exp Appl. 83:305–315. Heimpel GE, Rosenheim JA, Mangel M. 1997. Predation on adult Aphytis parasitoids in the field. Oecologia. 110:346-352. Heimpel GE, Rosenheim JA. 1998. Egg limitation in parasitoids: a review of the evidence and a case study. Biol Cont. 11:160-168. Heinrichs EA, Aguda RM, Barrion AT, Bharathi M, Chelliah S, Dalle D, Gallagher K O, Kritani K, Litsinger J A, Loevinsohn M E, Naba K, Ooi PAC, O.Parada, Roberts D W, Rombach M C, Shepard BM, Smith CM, Weber G. 1994. Biology and Management of Rice Insects. New Delhi, India: International Rice Research Institute-Willey Eastern. Hendrival, Hidayat P, Nurmansyah A. 2011. Keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada pertanaman cabai merah di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J Entomol Indones. 8:96-109. Herlina N, Rizali A, Moerfiah, Sahari B, Buchori D. 2011. Pengaruh habitat sekitar lahan persawahan dan umur tanaman padi terhadap keanekaragaman Hymenoptera parasitika. J Entomol Indones. 8:17-26. Herlinda S. 2004. Potensi parasitoid telur, Trichogrammatoidea sp. dalam mengatur populasi dan serangan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) di pertanaman sawi. Inovasi. 1:48-56. Herlinda S. 2005. Parasitoid dan parasitisasi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) di Sumatera Selatan. Hayati. 12:151-156. Herlinda S. 2005. Variasi kebugaran jenis/strain Trichogramma pada telur Plutella Xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). J Perlindungan Tanaman. 11:51-59. Herlinda S. 2007. Struktur komunitas dan potensi kumbang predator (Carabidae dan laba-laba) penghuni ekosistem sawah dataran tinggi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar dan Konferensi Nasional Konservasi Serangga 2007, Konservasi Serangga pada Bentang Alam Tropis. Peluang dan Tantangan, Bogor, 27-30 Januari 2007. Herrebout WM. 1969. Habitat selection in Eucarcelia rutilla Will. (Diptera: Tachinidae) experiments with females of known age. Angew Entomol. 63:336-349. Heydon SL. 1989. Relationships among holarctic genera in the Cyrtogaster-group with a review of the species of North America North of Mexico (Hymenoptera: Pteromalidae). J New York Entomol. 97:192-217.
65 Hohmann CL, Luck RF, Stouthamer R. 2001. Host deprivation effect on reproduction and survival of wolbachia-infected and uninfected Trichogramma kaykai Pinto & Stouthamer (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Neotropical Entomol. 30:601-605. Hohmann CL, Luck RF. 2004. Effect of host availability and egg load in Trichogramma platneri Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) and its consequences on progeny quality. Brazilian Archives of Biology and Technology .47:413-422. Holzschuh A, Dewenter IS, Tscharntke T. 2010. How do landscape composition and configuration, organic farming and fallow strips affect the diversity of bees, wasps and their parasitoids?. J Anim Ecol. 79:491-500. Hougardy E, Mills NJ, Bezemer TM. 2005. Effects of host deprivation and egg expenditure on the reproductive capacity of Mastrus ridibundus, an introduced parasitoid for the biological control of codling moth in California. Biol Cont. 33:96-106. Hougardy E, Mills NJ. 2007. Influence of host deprivation ang egg expenditure on the patch and host-finding behavior of the parasitoid wasp Mastrus ridibundus. J Insect Behav. 20:229-246. Huber JT, Viggiani G, Jesu R. 2009. Order Hymenoptera, family Mymaridae. Arthropod fauna of the UAE. 2:270-297. Huffaker CB. 2013. Theory and Practice of Biological Control. New York: Academic Pr. Irvin NA, Hoddle MS. 2009. Egg maturation, oosorption, and wing wear in Gonatocerus ashmeadi (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of the glassy-winged sharpshooter, Homalodisca vitripennis (Hemiptera: Cicadellidae). Biol Cont. 48:125-132. Jervis MA, Kidd NAC. 1986. Host-feeding strategies in hymenopteran parasitoids. Biol Rev. 61:395-434. Jervis M, Kidd N. 1996. Insect Natural Enemies. Practical Approaches to Their Study and Evaluation. London: Chapman Hall. Jervis MA, Heimpel GE, Ferns PN, Harvey JA, Kidd NAC. 2001. Life history strategies in parasitoid wasps: a comparative analysis of ‘ovigeny’. J Anim Ecol. 70:442-458. Jonsson M, Wratten SD, Landis DA, Gurr GM. 2008. Recent advances in conservation biological control of arthropods by arthropods. Biol Cont. 45:172-175. Joyce AL, Bellows TS, Headrickl DH. 1999. Reproductive biology and search behavior of Amitus bennetti (Hymenoptera: Platygasteridae), a parasitoid of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae). Environ Entomol. 28:282-289. Kant R, Minor M, Trewick S, Sandanayaka M. 2013. Effects of mating and oviposition delay on parasitism rate and sex allocation behaviour of Diaeretiella rapae (Hymenoptera: Aphidiidae). Biol Cont. 65:265-270. Kapranas A, Luck RF. 2008. Egg maturation, host feeding, and longevity in two Metaphycus parasitoids of soft scale insects. Biol Cont. 47:147-153. Kapranas A, Giudice DL, Luck RF, Morse JG. 2011. Biology and behavior of Metaphycus angustifrons Compere (Hymenoptera: Encyrtidae), a newly
66 discovered parasitoid of soft scale insects (Hemiptera: Coccidae) in California. Biol Cont. 56:139-144.doi:10.1016/j.biocontrol.2010.11.003. Kartohardjono A. 2011. Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama padi berbasis ekologi. Peng Inov Pert. 4:29-46. Kruess A. 2003. Effects of landscape structure and habitat type on a plantherbivore-parasitoid community. Ecography. 26:283-290. Corff JL, Marquis RJ, Whitfield JB. 2000. Temporal and spatial variation in a parasitoid community associated with the herbivores that feed on Missouri Quercus. Environ Entomol. 29:181-194. Lam PV. 1992. Species composition of natural enemies of the brown planthopper. Plant Protection Journal. 6:4-7. (Vietnamese). Lenteren JCV, Bakker K, Alphen JJMV. 1978. How to analyse host discrimination. Ecol Entomol. 3:71-75. Lin NQ, Huber JT, Salle JL. 2007. The Australian genera of Mymaridae (Hymenoptera: Chalcidoidea). Zootaxa. 1596:1-111. Li SY, Henderson DE, Myers JH. 1994. Selection of suitable Trichogramma spesies for potential control of the blackheaded fireworm infesting cranberries. Biol Cont. 4:244-8. Lubis Y. 2005. Peranan keanekaragaman hayati Arthropoda sebagai musuh alami pada ekosistem padi sawah. J Penelitian Ilmu Pertanian. 3:16-24. Luo S, Li J, Liu X et al .2010. Effects of six sugars on the longevity, fecundity and nutrient reserves of Microplitis mediator. Biol Cont. 52:51-57. Mafi S, Ohbayashi N. 2010. Biology of Chrysocharis pentheus, an endoparasitoid wasp of the citrus leafminer Phyllocnistis citrella Stainton. J Agr Sci Tech. 12:145-154. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Chapman and Hall. Mangoendiharjo B, Mahrub E. 1984. Pengendalian Hayati. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Maryana, N. 1994. Iventarisasi parasitoid telur wereng hijau Nephotettix virescens (Distant) dan wereng coklat Nillaparvata lugens (Stal.) di Daerah Bogor dan Cianjur serta pengamatan biologi Gonatocerus sp. [tesis]. Bogor (ID): IPB. Mattson WJ, Haack RA. 1987. The role of drought stress in provoking outbreaks of phytophagous insect. In: Brodbeck B, Strong D, eds. Insect Outbreaks. Academic Press. New York. Meidalima D. 2013. Pengaruh tumbuhan liar berbunga terhadap tanaman tebu dan keberadaan parasitoid di pertanaman tebu lahan kering, Cinta Manis Sumatera Selatan. J Lahan Suboptimal. 2:36-44. Meilin A. 2012. Dampak aplikasi insektisida pada parasitoid telur wereng batang coklat dan Deltametrin konsentrasi subletal terhadap Anagrus nilaparvatae (Hymenoptera: Mymaridae) [disertasi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Meilin A, Trisyono YA, Martono E, Buchori D. 2012. The effects of Deltamethrin applied at sublethal concentrations on the adults of Anagrus nilaparvatae (Hymenoptera: Mymaridae). ARPN J Agric Biol Sci. 12:1032-1037.
67 Menalled FD, Marino PC, Gage SH, Landis DA. 1999. Does agricultural landscape structure affect parasitism and parasitoid diversity?. Ecol Appl. 9:634-641. Mochida O, Okada T. 1979. Taxonomy and biology of Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae), pp. 21-24. In Brrown Planthopper. Threat to Rice Production in Asia. IRRI, Los Banos, Phillipines. Mosser SE, Obrycki JJ. 2009. Non-target effects of neonicotinoid seed treatments; mortality of coccinellid larvae related to zoophytophagy. Biol Cont. 51:487-492. Murdoch WW. 1996. Population regulation in theory and practice. Ecology. 75:271-287. Mutitu EK, Bush SJ, Garnas JR, Harney M, Hurley BP, Wingfield MJ, Slippers B. 2013. Biology and rearing of Cleruchoides noackae (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid for the biological control of Thaumastocoris peregrinus (Hemiptera: Thaumastocoridae). J Econ Entomol. 106:1979-1985. Naranjo SE. 2001. Conservation and evaluation of natural enemies in IPM systems for Bemisia tabaci. Crop Protection. 20:835-852. Navasero R, Elzen G. 1992. Influence of maternal age and host deprivation on egg production and parasitization by Microplitis croceipes (Hym: Braconidae). Entomophaga. 37:37-44. Norris RF, Kogan M. 2000. Interactions between weeds, arthropod pests, and their natural enemies in managed ecosystems. Weed Science. 48:94-158. Norris KR, Caswell-Chen, M Kogan. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. Noyes JS. 1989. The diversity of Hymenoptera in the tropic with special reference to parasitica in Sulawesi. Ecol Entomol. 14:197-207. Nurindah, Sujak. 2006. Keanekaragaman spesies parasitoid telur Helicoverpa armigera (Hubner) pada sistem tanam monokultur dan polikultur kapas. J Entomol Indones. 3:84-93. Obrycki JJ, Lewis LC, Orr, DB. 1997. Augmentative release of entomophagous spesies in annual cropping systems. Biol Cont. 10:30-36. Ozkan C. 2007. Effect of food, light and host instar on the egg load of the synovigenic endoparasitoid Venturia canescens (Hymenoptera: Ichneumonidae). J Pest Sci. 80:79-83. Papaj DR. 2000. Ovarian dynamics and host use. Ann Rev Entomol. 45:423-448. Pedigo LP. 2002. Entomology and Pest Management. Ed ke-4. New Jersey (US): Prentice Hall. Pelosse P, Jervis MA, Bernstein C, Desouhant E. Does synovigeny confer reproductive plasticity upon a parasitoid wasp that is faced with variability in habitat richness?. Biol J Linn Soc. 104:621-632. Perovic DJ, Gurr GM, Raman A, Nicol HI. 2010. Effect of landscape composition and arrangement on biological control agents in a simplified agricultural system: a cost-distance approach. Biol Cont. 52:263-270. Pickett CH, Bugg RL. 1998. Enhancing Biological Control: Habitat Management to Promote Natural Enemies of Agricultural Pests. America (US): Univ California.
68 Pricop E. 2013. Identification key to European genera of the Mymaridae (Hymenoptera: Chalcidoidea), with additional notes. ELBA Bioflux. 5:6981. Puspitasari I. 2007. Rahasia Sehat Madu. Yogyakarta (ID): Bentang Pustaka. Quicke DLJ. 1997. Parasitic Wasps. London (GB): Chapman and Hall. Rebek EJ, Sadof CS, Hanks LM. 2005. Manipulating the abundance of natural enemies in ornamental landscapes with floral resource plants. Biol Cont. 33:203-216. Riddick EW. 2005. Are lab-cultured Anaphes iole females strictly proovigenic? Bio Cont. 50:911-919.doi:10.1007/s10526-005-1311-0. Riyanto, Herlinda S, Ihsan C, Umayah A. 2011. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies serangga predator dan parasitoid Aphis gossypii di Sumatera Selatan. J HPT Tropika. 11:57-68. Roberts HLS, Schmidt O. 2004. Lifetime egg maturation by host-deprived Venturia canescens. J Insect Physiol. 50:195-202. Rohmani A, Buchori D, Sari A. 2008. Pengaruh ketiadaan inang terhadap tanggap reproduksi Trichogrammatoidea armigera Nagaraja dan Trichogramma japonicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dan implikasinya terhadap penerimaan inang. J Entomol Indones. 5:71-80. Rosenheim JA, Jepson SA, Matthews CE, Smith DS, Rosenheim MR. 2008. Time limitation, egg limitation, the cost of ovipostion, and lifetime reproduction by an insect in nature. Am Natur. 172:486–496. Sahad KA, Hirashima Y. 1984. Taxonomic studies on the genera Gonatocerus Nees and Anagrus Haliday of Japan and adjacent regions, with notes on their biology (Hymenoptera: Mymaridae). Bull Inst Trop Agr Kyushu Univ. 7:1-78. Santolamazza CS, Cordero RA. 2003. Egg load and adaptive superparasitism in Anaphes nitens Girault (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of the eucalyptus snout beetle Gonipterus scutellatus Gyllenhal (Coleoptera: Curculionidae). Entomol Exp Appl. 106:127-134. Santosa SJ, Sulistyo J. 2007. Peranan musuh alami hama utama padi pada ekosistem sawah. J Inov Pert. 1:1-10. Savino V, Coviella CE, Luna MG. 2012. Reproductive biology and functional response of Dineulophus phtorimaeae, a natural enemy of the tomato moth, Tuta absoluta. J Insect Sci. 153:1-14. Seyahooei MA, Alphen JJMV, Kraaijeveld K. 2011. Metabolic rate affects adult life span independently of developmental rate in parasitoid wasps. Biol J Linn Soc. 103:45-56. Shanker C, Katti G, Padmakumari AP, Padmavathi C, Sampathkumar M. 2012. Biological control, functional biodiversity and ecosystem services in insect pest management. Crop Stress and its Management: Perspectives and Strategies (Eds: Venkateswarlu AK, Shanker C, Shanker, Maheswari M). Netherland: Springer. Smith SM. 1996. Biological control with Trichogramma: advances, successes, and potential of their use. Ann Rev Entomol. 41:375-406. Soemawinata AT, Sosromarsono S. 1986. Hama wereng coklat dan masalah pengendaliannya di Indonesia. Dalam wereng coklat dan pengendaliannya. Prosiding Diskusi Ilmiah. 22 Desember 1986. IPB, Bogor.
69 Soenardi, 1978. The present status and control of the brown planthopper in Indonesia. In The Brown Planthopper. Proc Symp Brown Planthopper. The 3rd Inter-Congress of The Pac Sci Ass, Bali, Indonesia. 22-23 July 1977. 91-101. Stepphun A, Wäckers FL. 2004. HPLC sugar analysis reveals the nutritional state and the feeding history of parasitoids. Functional Ecology. 18:812-819. Stiling P. 1988. Density-dependent processes and key factors in insect populations. J Anim Ecol. 57:581-593. Suana IW, Haryanto H. 2007. Keanekaragaman laba-laba pada ekosistem sawah monokultur dan polikultur di pulau Lombok. Mataram (ID): Universitas Tabadepu H. 2003. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur dari daerah geografi berbeda di Sumatera [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Takagi M. 1999. Perspective of practical biological control and population theories. Res Pop Ecol. 41:121-126. Tarla S. 2011. Impact of host deprivation on the reproductive potential of the egg parasitoid Trissolcus grandis Thompson (Hymenoptera: Scelionidae). Egyptian J Biol Pest Cont. 21:111-117. Tatar M, Carey JR. 1995. Nutrition mediates reproductive trade-offs with agespecific mortality in the beetle Callosobruchus maculates. Ecology. 76:2066-2073. Terkanian B. 1993. Effects of host deprivation on egg quality, egg load, and oviposition in a solitary parasitoid, Chetogena edwardsii (Diptera: Tachinidae). J Insec Behav. 6:699-713. Thies C, Dewenter IS, Tscharntke T. 2003. Effects of landscape context on herbivory and parasitism at different spatial scales. Oikos. 101:18-25. Thompson SN. 1999. Nutrition and culture of entomophagous insects. Ann Rev Entomol. 44:561-592. Thompson LJ, Macfadyen S, Hoffmann AA. 2010. Predicting the effects of climate change on natural enemies of agricultural pests. Biol Cont. 52:296306. Timberlake PH. 1921. Description of a new species of Ootetrastichus from Formosa. Proceedings of the Hawaiian Entomol Soc. 4:558. Triapitsyn SV. 2000. A new Anagrus (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of Idona minuenda (Hemiptera: Cicadellidae), a pest of avocado in Mexico. Folia Entomol Mex. 110:89-94. Triapitsyn SV. 2002. Descriptive notes on a new and other little known species of Anagrus Haliday, 1833 (Hymenoptera: Mymaridae) from the new world tropics and subtropics. Entomotropica. 17:213-223. Triapitsyn SV, Berezovskiy VV. 2004. Review of the genus Anagrus Haliday, 1833 (Hymenoptera: Mymaridae) in Rusia, with notes on some extralimital species. Ear Fastern Entomol. 139:1-36. Triapitsyn SV. 2006. A key to Mymaridae (Hymenoptera) egg parasitoids of proconiine sharpshooters (Hemiptera: Cicadellidae) in the Nearctic region, with description of two new species of Gonatocerus. Zootaxa. 1203:1-38. Triapitsyn SV, Huber JT, Logarzo GA, Berezovskiy VV, Aquino DA. 2010. Review of Gonatocerus (Hymenoptera: Mymaridae) in the Neotropical region, with description of eleven new species. Zootaxa. 2456:1-243.
70 Tuncbilek AS, Cinar R, Canpolat U. 2012. Effects of artificial diets and floral nectar on longevity and progeny production of Trichogramma euproctidis Girault (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Turk Entomol. 36:183-191. Ueno K, Ueno T. 2005. Effect of wasp size, physiological state, and prior host experience on host-searching behavior in a parasitoid wasp (Hymenoptera: Ichneumonidae). J Ethol. 23:43-49. Ueno T, Ueno K. 2007. The effects of host-feeding on synovigenic egg development in an endoparasitic wasp, Itoplectis naranyae. J Insect Sci. 46:1-13. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Verkerk RHJ, Leather SR, Wright DJ. 1998. The potential for manipulating croppest-natural enemy interactions for improved insect pest management. Bull Entomol Res. 88:493-501. Viggiani G, Rao BRS. 1978. Notes on some Trichogrammatid parasites associated with rice pests in Thailand with the description of a new species. Boll Lab Entomol Agr. 35:3-7. Vreden VG, Ahmadzabidi AL. 1986. Pests of Rice and Their Natural Enemies in Peninsular Malaysia. Wageningen: Centre for Agricultural Publishing and Documentation (Pudoc). Wackers FL. 2001. A comparison of nectar and honeydew sugars with respect to their utilization by the hymenopteran parasitoid Cotesia glomerata. J Insect Physiol. 47:1077-1084. Wackers FL. 2004. Assessing the suitability of flowering herbs as parasitoid food sources: flower attractiveness and nectar accessibility. Biol Cont. 29:307314. Wang XG, Messing H. 2003. Egg maturation in the parasitoid Fopius arisanus (Hymenoptera: Braconidae): do host-associated stimuli promote ovarian development?. Ann Entomol Soc Am. 96:571-578. Wang HY, Yang Y, Su JY, Shen JL, Gao CF, Zhu YC. 2008. Assessment of the impact of insecticides on Anagrus nilaparvatae (Pang et Wang) (Hymenoptera: Mymaridae), an egg parasitoid of the rice planthopper, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae). Crop Prot. 27:514-522. Waterhouse DF. 1993. Biological Control Pasific Prospect- Supplement 2. Australian Control for International Agricultural Research. Melbourne: Incata Press. Wei JN, Bai BB, Yin TS, Wang Y, Yang Y, Zhao H, Kuang RP, Xiang RJ. 2005. Development and use of parasitoids (Hymenoptera: Aphidiidae and Aphelinidae) for biological control of aphids in China. Biocont Sci and Technology. 15:533-551. Widiarta IN, Kusdiaman D, Suprihanto. 2006. Keragaman Arthopoda pada padi sawah dengan pengelolaan tanaman terpadu. J HPT Tropika. 6:61-69. Wilyus, Nurdiansyah F, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y. 2012. Potensi parasitoid telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker pada beberapa tiopologi lahan di Provinsi Jambi. J HPT Tropika. 12:56-63. Wongsiri T, Wongsiri C, Tirawat C, Navavichit S, Lewvanich A, Yatsumatsu K. 1980. Abundance of natural enemies of rice insect pests in Thailand.
71 Proceedings of the Symposium on Tropical Agricultural Research. 6:131149. Xiang C, Ren N, Wang X, Sumera A, Cheng J, Lou Y. 2008. Preference and performance of Anagrus nilaparvatae (Hymenoptera: Mymaridae): effect of infestation duration and density by Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae). Environ Entomol. 37:748-754. Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P, Prasetyo L. 2006. Analisis spasial lanskap pertanian dan keanekaragaman Hymenoptera di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Hayati. 13:137-144. Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P, Prasetyo LB. 2007. Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid pada struktur lanskap pertanian berbeda di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat. J HPT Tropika. 1:10-20. Yaherwandi, Syam U. 2007. Keanekaragaman dan biologi reproduksi parasitoid wereng coklat Nilaparvata lugens Stal. (Homoptera: Delphacidae) pada struktur lanskap pertanian berbeda. J Akta Agrosia. 10:76-86. Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P dan Prasetyo L. 2008. Struktur komunitas Hymenoptera parasitoid pada tumbuhan liar di sekitar pertanaman padi di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat. J HPT Tropika. 8:90-101. Yaherwandi. 2009. Struktur komunitas Hymenoptera parasitoid pada berbagai lanskap pertanian di Sumatera Barat. J Entomol Indones. 6:1-14. Yaherwandi. 2012. Struktur komunitas Hymenoptera parasitoid yang berasosiasi dengan tanaman Brassicaceae dan tumbuhan liar. J. Nusantara Bioscience. 4: 22-26. Yong MAM, Pu PZ, Yuan HE. 2012. Effects of temperature on functional response of Anagrus nilaparvatae Pang et Wang (Hymenoptera: Mymaridae) on the eggs of whitebacked planthopper, Sogatella furcifera Horváth and brown planthopper, Nilaparvata lugens Stål. J Integrative Agric. 11:1313-1320. Yousuf M, Shaffe SA. 1978. Taxonomy of Indian Trichogrammatidae (Hymenoptera: Chalcidoidea). Indian J Sist Ent. 4:55-200. Zang LS, Liu TX. 2009. Food-deprived host-feeding parasitoids kill more pest insects. Biocontrol Science and Technology. 19:573-583. Zang LS, Liu TX, Zhang F, Shi SS, Wan FH. 2011. Mating and host density affect host feeding and parasitism in two species of whitefly parasitoids. Insect Sci. 18: 78-83. Zhang YB, Liu WX, Wang W, Wan FH, Li Q. 2011. Lifetime gains and patterns of accumulation and mobilization of nutrients in females of the synovigenic parasitoid, Diglyphus isaea Walker (Hymenoptera: Eulophidae), as a function of diet. J Insect Physiol. 57:1045-1052 Zhu P, Chen G, Gurr GM, Heong K, Yang Y, Xu H, Zheng Z. 2013. Laboratory screening supports the selection of sesame (Sesamum indicum) to enhance Anagrus spp. parasitoids (Hymenoptera: Mymaridae) of rice planthoppers. Biol Cont. 64:83-89. Ziegler R, Antwerpen RV. 2006. Lipid uptake by insect oocytes. Insect Biochemistry and Molecular Biology. 36:264-272.
72 Lampiran 1 Telur N. lugens belum terparasit (1), telur N. lugens terparasit (terlihat orange dari luar jaringan bibit padi, terdapat larva parasitoid) (2), pupa parasitoid A. nilaparvatae (3), praimago parasitoid A. nilaparvatae yang mati selama perkembangan dalam inang (4).
1 2
3
4
5
73 Lampiran 2 Hasil Analisis Data Lampiran 2.1 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae dalam inang di hari pertama Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square a Corrected Model 1899.778 11 172.707 26.441 .000 Intercept 59768.889 1 59768.889 9.151E3 .000 Pemberian Pakan 35.556 1 35.556 5.443 .021 Lama Ketiadaan Inang 1851.444 5 370.289 56.691 .000 Pemberian Pakan*Lama 12.778 5 2.556 .391 .854 Ketiadaaan Inang Error 1097.333 168 6.532 Total 62766.000 180 Corrected Total 2997.111 179 Lampiran 2.2 Anova (Friedman test) pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap jumlah telur yang diletakkan A. nilaparvatae dalam inang di hari kedua N 180 Chi-Square 80.000 Asymp. Sig. .000 Lampiran 2.3 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap keperidian A. nilaparvatae Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square Corrected Model 428.589a 11 38.963 32.846 .000 Intercept 10680.554 1 10680.554 9.004E3 .000 Pemberian Pakan 31.508 1 31.508 26.561 .000 Lama Ketiadaan Inang 390.634 5 78.127 65.861 .000 Pemberian Pakan*Lama 6.446 5 1.289 1.087 .370 Ketiadaaan Inang Error 199.287 168 1.186 Total 11308.430 180 Corrected Total 627.876 179
74 Lampiran 2.4 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi A. nilaparvatae di hari pertama Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square Corrected Model 4324.027a 11 393.093 21.560 .000 Intercept 96340.618 1 96340.618 5.284E3 .000 Pemberian Pakan 122.100 1 122.100 6.697 .011 Lama Ketiadaan Inang 4180.916 5 836.183 45.862 .000 Pemberian Pakan*Lama 21.010 5 4.202 .230 .949 Ketiadaaan Inang Error 3063.101 168 18.233 Total 103727.746 180 Corrected Total 7387.128 179 Lampiran 2.5 Anova (Friedman test) pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap tingkat parasitisasi A. nilaparvatae di hari kedua N 180 Chi-Square 66.469 Asymp. Sig. .000 Lampiran 2.6 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap telur yang tersisa dalam ovari A. nilaparvatae Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square a Corrected Model 5741.533 11 521.958 39.240 .000 Intercept 71281.800 1 71281.800 5.359E3 .000 Pemberian Pakan 72.200 1 72.200 5.428 .021 Lama Ketiadaan Inang 5625.267 5 1125.053 84.580 .000 Pemberian Pakan*Lama 44.067 5 8.813 .663 .652 Ketiadaaan Inang Error 2234.667 168 13.302 Total 79258.000 180 Corrected Total 7976.200 179 Lampiran 2.7 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap potensi produksi telur A. nilaparvatae Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square Corrected Model 1164.683a 11 105.880 8.877 .000 Intercept 276830.450 1 276830.450 2.321E4 .000 Pemberian Pakan 36.450 1 36.450 3.056 .082 Lama Ketiadaan Inang 1061.383 5 212.277 17.797 .000 Pemberian Pakan*Lama 66.850 5 13.370 1.121 .351 Ketiadaaan Inang Error 2003.867 168 11.928 Total 279999.000 180 Corrected Total 3168.550 179
75 Lampiran 2.8 Anova (Friedman test) pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap lama hidup imago betina A. nilaparvatae N 180 Chi-Square 75.908 Asymp. Sig. .000 Lampiran 2.9 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square Corrected Model 1506.480a 11 136.953 31.570 .000 Intercept 1061598.722 1 1061598.722 2.447E5 .000 Pemberian Pakan 64.788 1 64.788 14.935 .000 Lama Ketiadaan Inang 1402.009 5 280.402 64.638 .000 Pemberian Pakan*Lama 39.683 5 7.937 1.830 .110 Ketiadaaan Inang Error 728.784 168 4.338 Total 1063833.986 180 Corrected Total 2235.264 179 Lampiran 2.10 Anova pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan terhadap persentase total nimfa N. lugens yang mati dalam inang Type III Sum Mean Source df F Sig. of Squares Square a Corrected Model 14.547 11 1.322 1.268 .247 intercept 19333.420 1 19333.420 1.853E4 .000 Pemberian Pakan .029 1 .029 .028 .868 Lama Ketiadaan Inang 9.467 5 1.893 1.815 .112 Pemberian Pakan*Lama 5.052 5 1.010 .968 .439 Ketiadaaan Inang Error 175.272 168 1.043 Total 19523.239 180 Corrected Total 189.819 179
76
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 18 Desember 1988 sebagai putra dari pasangan Bapak Surdi dan Ibu Anayi. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sumber pada tahun 2007. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Jurusan Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) melaluli jalur SPMB Nasional dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan perkuliahan untuk strata 2 di Mayor Biosains Hewan (BSH), Departemen Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh Program Pascasarjana, penulis mendapatkan Program Beasiswa Unggulan Dikti (BU DIKTI) sebagai Calon Dosen.