7
II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Wereng Batang Cokelat Nimfa WBC dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter. Serangga brakhiptera memiliki waktu preoviposisi lebih pendek yaitu 3.8 hari dibanding makroptera yaitu 7.2 hari (Mochida dan Okada 1979). WBC berkembangbiak secara seksual, masa pra-peneluran 3-4 hari untuk brakhiptera dan 3-8 hari untuk makroptera. Telur biasanya diletakkan pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi kalau populasinya tinggi telur diletakkan di ujung pelepah dan tulang daun. Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir. Satu ekor betina mampu meletakkan telur 100-500 butir. Telur menetas setelah 7-10 hari. Muncul wereng muda yang disebut nimfa dengan masa hidup 12-15 hari yang terdiri dari 5 instar nimfa dan setelah fase ini menjadi wereng dewasa (Baehaki dan Widiarta 2009). Seleksi Tanaman Inang oleh WBC Hubungan herbivora dan inangnya berkaitan dengan fungsi tanaman inang yaitu sebagai tempat makan, hidup, serta peletakan telur tersebut bagi herbivora. (Schoonhoven et al. 2005). Seleksi tanaman inang oleh herbivora dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor biokimia tanaman (Smith 2005). Secara alami, tumbuhan memiliki ketahanan terhadap herbivora. Ketahanan inilah yang digunakan para pemulia untuk mengembangkan padi tahan WBC. Kekhususan tanaman inang merupakan karakteristik wereng dari Famili Delphacidae. Di lapangan, kelimpahan WBC pada awalnya sama diantara varietas tanaman padi dan tanaman lain, hal ini menunjukkan bahwa WBC tidak memperlihatkan preferensi hinggap (Cook dan Perfect 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan tanaman terhadap WBC tergantung pada senyawa kimia dalam floem karena penolakan terhadap tanaman terjadi setelah pengisapan cairan dalam floem (Sogawa dan Pathak 1970, Sogawa 1982). Seleksi tanaman
8 inang oleh WBC dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi atau pertahanan kimia tanaman. Seleksi tanaman inang berkaitan dengan senyawa kimia dalam floem, dan rendahnya stimulan makan dalam tanaman padi (Cook dan Denno 1994). Hasil penelitian pada varietas Mudgo (Bph1), asam silisik dan asam oksalat mencegah berlanjutnya proses makan oleh WBC (Yoshihara et al.1980). Asam fenol pada tanaman tahan berkaitan dengan ketidakmampuan WBC untuk menemukan dan mengisap cairan floem. Selain itu, WBC menolak varietas padi yang mengandung sedikit asam amino esensial dalam floem (Sogawa 1982). WBC yang dikurung dengan varietas padi Mudgo menyebabkan pertumbuhan lambat, berukuran tubuh kecil, fekunditas yang rendah, dan menyebabkan terjadinya mortalitas (Kazushige dan Pathak 1970). Terdapat dua komponen utama ketahanan padi terhadap serangga hama WBC. Pertama pada floem, termasuk yang terdapat pada varietas tahan Ratthu Heenati (RH). Stevenson et al. (1996) mengemukakan bahwa terdapat ketahanan biokimia dalam floem varietas tahan Ratthu Heenati (RH), dengan adanya schaftosid, isoschaftosid, dan apigenin-C-glycosides total (seluruhnya merupakan Cglycosidic flavonoid) dalam konsentrasi yang tinggi. Mortalitas WBC meningkat dengan meningkatnya konsentrasi schaftosid. Mekanisme yang berasal dari RH diduga merupakan efek antifidan daripada efek toksik. Komponen ketahanan kedua adalah ketahanan biofisik, yaitu pertahanan tanaman berupa karakteristik permukaan tanaman (Panda dan Khush 1995). Pada varietas IR46 (Bph1), kandungan lilin pada permukaan daun menghambat perilaku makan WBC, yaitu WBC harus berkali-kali menusukkan stiletnya untuk mencapai floem (Stevenson et al. 1996). Selain itu, asam silisik dikenal merupakan inhibitor makan yang kuat terhadap WBC, zat ini terletak pada sel-sel parenkim padi (Denno dan Roderick 1990). Varietas standar tahan PTB33 mengandung lipid permukaan lebih tinggi dibandingkan varietas standar rentan TN1 dan mempengaruhi perilaku makan WBC, yaitu menyebabkan lama pengisapan yang lebih pendek dan mobilitas yang lebih tinggi (Nugaliyadde dan Wilkins 2012).
9 Mekanisme Ketahanan Tanaman Ada 4 strategi dasar yang digunakan tanaman untuk pertahanan dirinya guna mengurangi kerusakan akibat serangan serangga herbivor, yaitu: 1) escape atau menghindari serangan serangga berdasarkan waktu atau tempat, misalnya tumbuh pada tempat yang tidak mudah diakses oleh herbivor atau menghasilkan bahan kimia penolak herbivor (repellent); 2) tanaman toleran terhadap herbivor dengan cara mengalihkan herbivor untuk makan bagian yang tidak penting bagi tanaman atau mengembangkan kemampuan untuk melakukan pemulihan dari kerusakan akibat serangan herbivor; 3) tanaman menarik datangnya musuh alami bagi herbivor yang dapat melindungi tanaman tersebut dari serangan herbivor, dan terakhir 4) tanaman melindungi dirinya sendiri melalui mekanisme pertahanan kimia atau fisik seperti menghasilkan toksin yang dapat membunuh herbivor atau dapat mengurangi kemampuan herbivor untuk mencerna tanaman itu yang sering disebut dengan antibiosis (Painter 1951). Oleh karena itu suatu varietas tanaman dapat disebut tahan apabila: (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan; (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama; (3) memiliki sekumpulan sifat genetik yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang; atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno 1992). Painter (1951) membagi mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu: a). Ketidaksukaan (non-preferences) yang kemudian istilah tersebut diganti dengan antisenosis atau menolak kehadiran serangga pada tanaman. Bentuk mekanisme ketahanan antisenosis dibagi dalam dua kelompok, yaitu: antisenosis kimiawi, menolak kerana adanya senyawa allelokimia dan antisenosis fisik, menolak karena adanya struktur atau sifat morfologi tanaman.
10 b). Antibiosis yaitu sifat ketahanan yang memberi pengaruh
fisiologis yang
merugikan pada serangga, yang merupakan akibat dari serangga yang makan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala-gejala akibat antibiosis pada serangga diantaranya adalah: kematian larva atau pradewasa, pengurangan laju pertumbuhan, peningkatan mortalitas pupa, kegagalan pupa menjadi dewasa, imago tidak normal dan fekunditas serta fertilitas rendah, masa hidup serangga berkurang, terjadi malformasi, kegagalan mengumpulkan cadangan makanan dan kegagalan hibernasi, perilaku gelisah dan abnormalitas lainnya. Menurut Kogan dan Ortman (1978) gejala-gejala abnormal tersebut terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: adanya metabolit toksik pada jaringan tanaman seperti alkaloid, glukosid dan quinon, tidak ada atau kurang tersedianya unsur nutrisi utama bagi serangga, ketidakseimbangan perbandingan unsur-unsur nutrisi yang tersedia, adanya antimetabolit yang menghalangi ketersediaan beberapa unsur nutrisi bagi serangga, dan adanya enzim-enzim yang mampu menghalangi proses pencernaan makanan dan pemanfaatan unsur nutrisi oleh serangga. Contoh beberapa kasus antibiosis, antara lain: pengurangan kadar asparagin (Chen 2009) pada varietas yang tahan terhadap WBC. c). Toleran merupakan respon tanaman terhadap serangga, sehingga beberapa ahli tidak memasukannya dalam ketahanan. Beberapa faktor yang mengakibatkan tanaman toleran terhadap serangan hama, adalah: kekuatan tanaman secara umum, pertumbuhan kembali jaringan tanaman yang rusak, ketegaran batang dan ketahanan terhadap rebah, produksi cabang tambahan, pemanfaatan lebih efisien oleh serangga dan kompensasi lateral oleh tanaman tetangganya. Sifat-sifat Ketahanan Tanaman Ketahanan tanaman inang terhadap hama, dapat bersifat genetik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan, dan ketahanan ekologi, yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan (Kogan 1982).
11 Ketahanan Genetik Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe: (1) ketahanan vertikal, ketahanan hanya terhadap satu biotipe hama, dan biasanya bersifat sangat tahan tetapi mudah patah oleh munculnya biotipe baru; (2) ketahanan horizontal atau ketahanan umum, ketahanan terhadap banyak biotipe hama dengan derajat ketahanan yang tidak tinggi (agak tahan); dan (3) ketahanan ganda, memiliki sifat tahan terhadap beberapa jenis hama. Varietas-varietas padi yang dilepas di Indonesia, sebagian besar tidak diketahui gen ketahanannya. Varietas Ciherang dilepas tahun 2000 misalnya, merupakan hasil persilangan IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1 dengan IR64. Berdasarkan hasil pengujian penapisan, varietas ini tahan terhadap biotipe 2 dan agak tahan terhadap biotipe 3. Padi-padi hibrida yang memiliki potensi hasil tinggi, namun belum disertai dengan sifat ketahanan terhadap WBC biotipe 3 (Suprihatno et al. 2010). Tipe ketahanan vertikal dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik ) dan hanya efektif terhadap biotipe hama tertentu. Secara umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri : (1) biasanya diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen, (2) relatif mudah diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan genetik, (3) biasanya dikaitkan dengan hipotesis “gen for gen” , (4) menghasilkan ketahanan genetik tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika timbul biotipe baru maka ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman menjadi sangat rentan terhadap biotipe tersebut, dan (5) biasanya menunda awal terjadinya epidemi, tetapi apabila terjadi epidemi maka kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang rentan (Sutopo dan Saleh, 1992). Tipe ketahanan horizontal disebut juga ketahanan kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan demikian masih menunjukkan sedikit kepekaan terhadap hama tetapi memiliki kemampuan untuk memperlambat laju perkembangan epidemi. Secara teoritis, ketahanan horisontal efektif untuk semua biotipe suatu hama. Oleh karena itu, ketahanan ini umumnya sulit dipatahkan meskipun muncul biotipe baru dengan daya serang yang lebih tinggi. Varietas dengan tipe ketahanan demikian dapat diperoleh dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan
12 minor ke dalam suatu varietas dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional maupun non-konvesional. Ketahanan Ekologi Ketahanan ekologi atau ketahanan terlihat (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) dikendalikan oleh keadaan lingkungan. Ketahanan ekologi ini tidak diturunkan dan tergantung dari kekuatan tekanan dari lingkungan. Genetik hama merupakan faktor internal pengendali perkembangan WBC, sehingga apabila ditanam varietas padi tahan terhadap satu biotipe secara terusmenerus, maka pada beberapa musim saja WBC telah sanggup membentuk biotipe baru yang lebih ganas. Oleh karena itu dikembangkan varietas padi tahan terhadap lebih dari satu biotipe untuk menekan timbulnya biotipe baru, misalnya Inpari13 yang baru dilepas tahun 2009, berdasarkan hasil penapisan, varietas ini tahan terhadap biotipe 1, 2 dan 3. Penggunaan varietas tahan dalam pengendalian hama dianggap cara yang relatif murah dan mudah untuk diterapkan petani, serta ramah lingkungan. Penggunaan varietas tahan dilakukan dengan pola pergiliran tanaman. Pola pergiliran tanaman tersebut didasarkan atas gen ketahanan yang berbeda yang memberikan respon berbeda terhadap WBC. Varietas TN1 yaitu varietas tanpa gen tahan, rentan terhadap semua biotipe WBC. Varietas dengan gen Bph 1 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 3, tetapi rentan terhadap biotipe 2 dan 4. Varietas dengan gen Bph 2 tahan terhadap WBC biotipe 1 dan 2, tetapi rentan terhadap biotipe 3 dan 4 (Baehaki 2005). Ketahanan Tanaman Padi terhadap Wereng Batang Cokelat sebagai Dasar Pembentukan Perakitan Varietas Padi Tahan Di Indonesia pengembangan padi tahan WBC dilakukan oleh lembagalembaga penelitian dan telah menghasilkan berbagai varietas yang memiliki sifat ketahanan terhadap WBC. Sebelum tahun 2006 pengujian galur-biotipe bph2, Bph1 atau keturunan Bph1+, juga disiapkan varietas yang memiliki ketahanan terhadap biotipe 3. Untuk mengatasi cepatnya kepatahan terhadap serangan WBC pada varietas yang memiliki satu gen ketahanan, dikembangkan varietas-varietas yang memiliki beberapa gen ketahanan (ketahanan horizontal), yang dianggap
13 memiliki ketahanan lebih lama karena tekanan seleksi yang terjadi tidak setinggi pada varietas dengan satu gen ketahanan. Dalam pengembangan varietas tahan WBC, proses uji penapisan yang digunakan saat ini adalah standard seedbox screening test (SSST). Benih dari galur yang diuji ditanam pada kotak berukuran 60 cm x 40 cm x10 cm. Varietas standar tahan dan standar rentan ditanam dalam kotak yang sama, kemudian diinfestasi oleh nimfa instar 2 per benih. Ketika tanaman standar rentan TN1 mati, dilakukan skoring terhadap kerusakan tanaman (Velusamy et al. 1986). Metode ini hanya dapat mengevaluasi respon makan nimfa terhadap galur yang diuji. WBC dapat beradaptasi dan mematahkan ketahanan varietas yang semula bereaksi tahan. Penanaman varietas yang sama secara terus-menerus, pemakaian insektisida yang kurang bijaksana, dan teknik budidaya yang kurang baik akan mendorong munculnya biotipe baru WBC (Harahap et al. 1987, Hanarida 1998, Soewito et al. 1995). Saat ini di Indonesia diketahui terdapat WBC biotipe 1, 2, 3, dan 4. Intensifikasi pertanian dengan menggunakan varietas padi lokal, memunculkan biotipe 1 pada tahun 1972. Kestabilan WBC biotipe nol bertahan selama 41 tahun sebelum menjadi WBC biotipe 1. Untuk mengatasi biotipe 1, dilepas varietas IR26 yang dilepas IRRI tahun 1973 diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1975. IR26 dengan gen tahan Bph1 (Bph = Brown Plant Hopper) dapat dipatahkan pada tahun 1976, muncul biotipe 2. Selanjutnya dilepas varietas IR42 pada tahun 1980 dengan gen tahan bph2. Varietas yang tahan terhadap biotipe 2 ternyata bisa dipatahkan dengan munculnya biotipe 3 pada tahun 1981. Pertanaman
monokultur
varietas
IR56
(Bph3)
secara
terus-menerus
mengakibatkan gen tahan Bph3 patah kembali. Perubahan WBC biotipe 1 ke WBC biotipe 2 terjadi hanya dalam waktu 4 tahun, dan perubahan WBC biotipe 2 ke WBC biotipe 3 hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Kemudian dilepas Varietas IR 64 mengandung gen tahan Bph1+ yang tahan terhadap serangan WBC biotipe 3 pada tahun 1986. Varietas IR64, seperti varietas IR26 memiliki gen ketahanan mayor yang sama yaitu Bph1, namun IR64 bertahan lebih lama dibanding IR26. Hal tersebut disebabkan IR64 memiliki satu atau lebih gen ketahanan minor, sehingga dalam penulisannya ditulis sebagai Bph1+. (Cohen et al. 1997). WBC
14 biotipe 3 tersebut bertahan hingga 2005, berarti sudah 25 tahun sejak timbulnya WBC biotipe 2 masih tetap didominasi WBC biotipe 3, namun pada 2006 mulai dilaporkan adanya serangan WBC, yang diduga biotipe 4 di Asahan, Sumatera Utara (Baehaki 2008, Khush dan Virk 2005). Perkembangan penggunaan varietas tahan dan perkembangan biotipe WBC dipaparkan pada Gambar 2.1. Hasil uji biotipe WBC di Indonesia oleh Baehaki dan Munawar (2007) dikemukakan bahwa di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan adalah biotipe 3. WBC yang berasal dari Maros, Sulawesi Selatan adalah campuran biotipe 2 dan 3, sedangkan WBC di Asahan, Sumatra Utara adalah campuran biotipe 2, 3, dan 4.
Biotipe 1, 1972
Biotipe 2, 1976
Biotipe 3, 1981
Biotipe 3, 2005
Gambar 2.1 Perkembangan biotipe dan varietas tahan WBC di Indonesia (Baehaki 2008)
Definisi ketahanan tanaman terhadap serangga yang disampaikan para ahli beragam sesuai sudut pandang mereka, antara lain: Painter (1951) mendefinisikan ketahanan tanaman merupakan sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan pada tingkat serangan hama yang sama dapat berproduksi lebih baik, serta dapat mempengaruhi tingkat kerusakan oleh serangga. Beck (1965) mengemukakan
15 bahwa ketahanan tanaman adalah semua ciri dan sifat tanaman yang memungkinkan
tanaman
terhindar
dan/atau
menekan
pertumbuhan
dan
perkembangan serangga. Senada dengan Painter (1951), Teetes (1996) menyatakan bahwa dalam praktek pertanian, ketahanan tanaman berarti kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman lain dengan tingkat populasi hama yang sama. Dalam penerapan tanaman tahan diharapkan suatu tanaman tahan dapat bertahan lama atau tidak mudah dipatahkan. Dalam prakteknya, tanaman tahan merupakan salah satu komponen PHT dan dalam penggunaan tanaman tahan perlu dikelola sehingga tidak mudah dipatahkan. Hal ini dapat dilakukan apabila dipahami respon WBC terhadap tanaman tahan yang merupakan tujuan penelitian ini, dilihat dari aspek ketahanan biofisik dan biokimia tanaman.