PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI DALAM PENGGUNAAN INSEKTISIDA UNTUK PENGENDALIAN WERENG BATANG COKELAT DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
ALIFTYA RAMADHANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Penggunaan Insektisida untuk Pengendalian Wereng Batang Cokelat di Kabupaten Lamongan Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Aliftya Ramadhani
ABSTRAK ALIFTYA RAMADHANI. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Penggunaan Insektisida untuk Pengendalian Wereng Batang Cokelat di Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Dibimbing oleh DADANG. Wereng batang cokelat (WBC) merupakan salah satu hama utama padi di Indonesia. Peledakan WBC sering terjadi pada pertanaman padi disebabkan oleh penggunaan insektisida yang tidak tepat karena pengetahuan dan keterampilan petani yang rendah dalam penggunaan pestisida. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisis pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam penggunaan pestisida untuk mengatasi WBC di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metode survei langsung dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk mendapatkan data primer, sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi setempat dan studi literatur. Pemilihan lokasi dilakukan secara terpilih (purposive). Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dengan aplikasi Microsoft Excel 2010. Pengetahuan, sikap, dan tindakan petani di Kecamatan Laren, Sekaran, Maduran, Sukodadi, dan Babat dalam penggunaan pestisida sintetik menunjukkan beberapa perbedaan sesuai dengan karakteristik masing-masing petani. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peledakan WBC antara lain intensitas aplikasi penyemprotan pestisida, penggunaan pestisida yang terlarang, dosis atau konsentrasi yang tidak sesuai dengan dosis anjuran. Kata kunci: dosis atau konsentrasi, sikap kerasionalan petani, wereng batang cokelat.
ABSTRACT ALIFTYA RAMADHANI. Knowledge, Attitude, and Practice in Insecticide Use to Control the Brown Planthopper in Lamongan Regency, East Java. Supervised by DADANG. Brown planthopper (BPH) is one of the major pests of rice in Indonesia. The outbreak of BPH has occurred several times in Lamongan regency due to improper use of insecticides conducted by farmers due to the lack of knowledge and skill of farmers in using pesticides. This study aimed to obtain information and analyze knowledge, attitude, and practice of farmers in the use of pesticides to control the BPH in Lamongan, East Java. The research was conducted by survey method directly using a structured questionnaire to obtain primary data, while secondary data were obtained from several local goverments and literature study. The survey locations were determined by purposive sampling. The data were presented descriptively with software of Microsoft Excel 2010. Knowledge, attitude, and practice of farmers in the district of Laren, Sekaran, Maduran, Sukodadi, and Babat showed some differences in the use of synthetic pesticides according to the characteristics of each farmer. Generally, the farmers at Sukodadi district had low rational attitude in the use of pesticides compared with four other districts. Several factors that may trigger the outbreak of BPH in Lamongan Regency are intensity of pesticide applications, the use of banned pesticide, and the inaccurate doses or concentrations of pesticide used. Keywords: brown planthopper, dose or concentration, rationalitation of the farmer.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI DALAM PENGGUNAAN INSEKTISIDA UNTUK PENGENDALIAN WERENG BATANG COKELAT DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR BOGOR DAN CIANJUR
ALIFTYA RAMADHANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesakan penelitian yang berjudul “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Penggunaan Insektisida untuk Pengendalian Wereng Batang Cokelat di Kabupaten Lamongan Jawa Timur”. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi selama penelitian. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga yang selama ini selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini; teman-teman Departemen Proteksi Tanaman 48 yang banyak membantu penulis; teman- teman SD, SMP, SMA, serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu, diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk kelanjutan penelitian yang lebih baik. Semoga penelitian ini dapat diterima dan menjadi bahan penelitian yang bermanfaat untuk kelangsungan masa depan pertanian yang lebih baik.
Bogor, April 2016 Aliftya Ramadhani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian Permasalahan dalam Usaha Tani Pengetahuan Petani tentang Pestisida Sintetik Tindakan dalam Penggunaan Sintetik Informasi tentang Penggunaan Pestisida Sintetik Jenis dan Bahan Aktif Pestisida yang Digunakan Bentuk Penyimpangan yang Dilakukan oleh Petani Sikap Kerasionalan Petani dalam Menggunakan Pestisida Sintetik Sikap Kecenderungan Petani dalam Mencampur Pestisida Sikap Kepedulian Petani terhadap Dampak Penggunaan Pestisida SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x x 1 1 2 2 3 3 3 3 4 4 6 9 13 16 16 16 18 20 21 22 25 25 25 26 29 36
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik umum petani di lima kecamatan di Kabupaten Lamongan 2 Karakteristik budidaya dan jenis varietas yang digunakan 3 Karakteristik varietas padi dan alasan penggunaan varietas 4 Permasalahan dalam usaha tani di lima kecamatan 5 Karakteristik serangan WBC terhadap padi 6 Pengetahuan petani tentang pestisida sintetik 7 Penggunaan bahan aktif yang tidak diizinkan 8 Sikap kerasionalan penggunaan pestisida sintetik 9 Sikap kecenderungan petani dalam mencampur pestisida 10 Sikap kepedulian petani terhadap dampak penggunaan pestisida
5 7 8 10 13 14 19 21 22 24
DAFTAR GAMBAR 1 Informasi tentang penggunaan pestisida sintetik 2 Bahan aktif pestisida yang digunakan oleh petani responden
16 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman padi merupakan salah satu tanaman pangan utama di Indonesia. Sebagian besar penduduk Indonesia, bahkan penduduk Asia menggantungkan kebutuhan karbohidratnya pada beras. Di bagian dunia lainnya seperti Afrika dan Amerika Latin, sebagian penduduknya juga menjadikan beras sebagai pangan utama. Tanaman padi banyak dijadikan sebagai bahan pangan pokok karena pengelolaan dan budidayanya yang lebih mudah bila dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya (Siregar 1981). Indonesia pernah menjadi negara yang mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Upaya untuk mempertahankan swasembada beras dan peningkatan produksi padi masih dibatasi oleh faktor abiotik, seperti kesuburan lahan dan kondisi iklim, serta faktor biotik berupa organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu hama yang mengancam kegagalan panen petani adalah wereng batang coklat (WBC) (BBPTB 2011). WBC berasal dari Ordo Hemiptera, Famili Delphacide. Pada tahun 1985 hingga 1986 pertanaman padi rusak akibat adanya serangan WBC. Tahun 2008 Indonesia pernah menghasilkan 60 093 juta ton GKG, hal ini bisa tercapai karena diterapkannya teknologi pengendalian yang dikembangkan melalui SL-PHT (Sekolah Lapang-Pengendalian Hama Terpadu) (Baehaki dan Munawar 2008a). Meskipun begitu, WBC masih menghantui produktifitas padi. Berdasarkan hasil pantauan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (BPTB) (2011), sebaran serangan WBC terkonsentrasi di Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang), Jawa Barat (Kabupaten Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon), Jawa Tengah (Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Pekalongan, Pemalang, Tegal), dan Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi, Jember, Bondowoso dan Lamongan). WBC merupakan salah satu hama penting padi di Indonesia karena kemampuannya perkembangan populasinya cukup tinggi dalam waktu singkat dan dapat merusak semua fase pertumbuhan padi. Hama ini menyerang dengan cara menghisap cairan pelepah daun dan berperan sebagai vektor virus kerdil rumput dan virus kerdil hampa. Serangan WBC pada tahun 2010 dan 2012 mencapai 137 768 dan 218 860 ha. Rata-rata kehilangan hasil sebesar 1 hingga 2 ton/ha. Pada tahun 2013-2014 serangan WBC mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Serangan WBC tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Timur mencapai luas maksimum 3 054 ha, Jawa Barat 1 609 ha, dan Jawa Tengah 1 179 ha (BBPOPT 2014). Faktor utama penyebab peledakan WBC adalah potensi biotis WBC yang tinggi, faktor abiotik, dan sistem budidaya padi yang mendukung berkembangnya populasi WBC (Untung dan Trisyono 2010). Ledakan WBC dipicu oleh perubahan iklim global yang mempengaruhi populasi hama terhadap tanaman padi. Tanam tidak serempak juga merupakan pemicu terjadinya ledakan WBC. Petani saling mendahului bertanam padi karena air selalu tersedia dan harga gabah cukup tinggi. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menyebabkan musuh alami mati dan resistensi terhadap hama wereng. Hal ini diakibatkan lemahnya monitoring petani dalam menggunakan pestisida yang menyebabkan melemahnya ketahanan padi (Baehaki 2012). Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah
2 wereng pada tahun 1986 berupa Inpres No. 3 yang melarang penggunaan 57 jenis formulasi insektisida untuk mengendalikan WBC, karena memberikan dampak buruk bagi pertanaman padi. Pada tahun 2011 juga dikeluarkan kebijakan berupa Inpres No. 5 yang salah satu isinya bantuan penanggulangan padi puso (BP3) oleh serangan hama wereng. Munculnya masalah peledakan hama akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, menggugah para ahli proteksi tanaman untuk menciptakan teknologi pengendalian yang aman digunakan yaitu konsep pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep ini memiliki prinsip meminimalkan penggunaan pestisida dengan mengintregasikan berbagai pengendalian ramah lingkungan. Pengendalian yang digunakan antara lain pengendalian hayati, penggunaan varietas tahan, dan penggunaan pestisida dengan bijaksana untuk mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Informasi terkini mengenai teknik pengendalian yang ramah terhadap lingkungan belum dapat diterima sepenuhnya oleh petani karena hasilnya tidak cepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan, sikap, dan tindakan petani yang dapat digunakan untuk pengembangan PHT pada tanaman padi dalam mengatasi WBC. Selain itu hal tersebut dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kerasionalan perilaku petani dalam penggunaan pestisida dalam pengendalian WBC. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi dan menganalisis pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam penggunaan insektisida untuk pengendalian WBC di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan, sikap, dan tindakan petani kepada instansi pemerintah setempat untuk mengawasi peredaran dan penggunaan pestisida yang digunakan untuk pengendalian hama WBC di Kabupaten Lamongan. Informasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengendalian WBC yang mengutamakan teknik pengendalian secara terpadu dan acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dengan memilih lima kecamatan sebagai sentra padi yang sering terjadi serangan WBC. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Laren, Sekaran, Maduran, Babat, dan Sukodadi. Penelitian dimulai dari bulan Maret hingga dengan bulan Juni 2015. Metode Penelitian Penentuan wilayah yang disurvei dilakukan secara terpilih (purposive) yaitu daerah produksi padi yang sering terjadi serangan berat WBC. Setiap kecamatan diambil sebanyak 30 responden, sehingga total petani responden berjumlah 150 orang. Survei terhadap petani responden dilakukan secara langsung di lapangan, warung, dinas pertanian, atau di rumah. Analisis Data Data disajikan dalam bentuk tabulasi dan grafik serta diolah menggunakan Microsoft Excel 2010. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden menggunakan panduan kuisioner terstruktur, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan informasi yang diperoleh dari beberapa instansi pemerintah setempat. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam melakukan usaha taninya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah 181 280 Ha yang secara geografis terletak pada 6o51’54’’-7o23’6’’ LS dan 112o4’41’’-112o33’12’’ BT. Kabupaten Lamongan pada bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto, sedangkan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten Lamongan secara administratif memiliki 27 kecamatan, termasuk Kecamatan Laren, Sekaran, Maduran, Babat, dan Sukodadi. Aspek topografis Kabupaten Lamongan cenderung cekung di tengah, tinggi di sebagian selatan dan utara, serta dilalui Sungai Bengawan Solo. Sungai ini memiliki peranan penting untuk usaha pertanian seperti usaha tanaman padi dan budidaya ikan/udang. Kabupaten Lamongan terdiri dari dataran rendah dan berawa dengan ketinggian 0-25 m dengan luas 50.2%, daratan ketinggian 25-100 m seluas 45.7% dan sisanya 4.1% merupakan dataran dengan ketinggian di atas 100 m dari permukaan air laut. Penggunaan lahan Kabupaten Lamongan terdiri dari penggunaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari kawasan hutan lindung dan kawasan perlindungan setempat. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan pesisir. Kawasan sawah memiliki persentase paling besar yaitu 25.6%. Struktur perekonomian paling dominan di Kabupaten Lamongan adalah sektor pertanian dengan nilai rata-rata 51% dari total PDRB Kabupaten Lamongan pada tahun 2007-2011. Potensi pengembangan Lamongan dalam kawasan pertanian secara keseluruhan memiliki luas 91 458.91 ha dengan rincian pertanian lahan basah (sawah) seluas 79 320 ha dan pertanian lahan kering atau hortikultura seluas 12 138.91 ha. (Pemkab Lamongan 2013). Karakteristik Umum Petani Setiap individu petani memiliki karakteristik umum tersendiri yang mengacu pada karakter gaya hidup serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur sehingga perilaku menjadi lebih konsisten dan mudah untuk diperhatikan. Karakteristik petani responden dikategorikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, jumlah pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, serta keikutsertaan dalam anggota kelompok tani (poktan). Kategori usia petani responden di lima kecamatan umumnya berkisar di atas 40 tahun (Tabel 1). Kurangnya regenerasi petani ini disebabkan oleh adanya pekerjaaan yang dianggap lebih menarik seperti menjual bahan bangunan, membuka toko kelontong di kota, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan sebagainya. Orang tua di beberapa kecamatan tersebut juga menyarankan kepada anak-anaknya agar tidak bekerja sebagai petani. Mereka menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi petani seperti orangtuanya. Semakin tua usia petani biasanya semakin lambat dalam mengadopsi inovasi dan cenderung melakukan kegiatan yang sudah biasa secara turun temurun (Handayani 2006).
5 Tabel 1 Karakteristik umum petani di lima kecamatan di Kabupaten Lamongan Responden (%) Karakteristik petani Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Umur (tahun) 3 0 0 0 0 21-30 0.6 10 23 27 20 10 31-40 18 57 50 47 30 33 41-50 43 30 27 27 50 57 >50 38 Pendidikan terakhir Tidak tamat sekolah dasar Sekolah dasar Sekolah menengah pertama Sekolah menengah atas Perguruan tinggi
20 40 30 7 3
27 40 23 3 7
23 33 27 13 3
17 30 27 27 0
13 33 17 23 13
20 35 25 15 5
Pekerjaan utama Petani Pedagang Buruh bangunan Pegawai negeri sipil Peternak Ibu rumah tangga
63 0 0 3 7 27
83 0 0 7 0 10
80 3 0 3 0 7
60 23 3 0 3 10
77 3 10 10 0 0
73 6 3 5 2 11
Penghasilan per bulan (juta) <1 1-1.5 1.6-2 2-2.5 > 2.5
40 23 10 10 17
17 37 13 27 7
43 0 10 47 0
23 33 27 17 0
0 7 43 50 0
25 20 21 30 5
Jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang 4-5 orang 6-8 orang ≥ 9 orang
10 57 30 3
20 67 13 0
3 60 37 0
3 57 27 13
13 70 17 0
10 62 25 3
Keanggotaan kelompok tani Ya Tidak
33 67
67 33
50 50
60 40
47 53
51 49
Tingkat pendidikan petani di lima kecamatan sebagian besar adalah sekolah dasar (SD), sedangkan untuk perguruan tinggi memiliki persentase paling rendah di semua kecamatan. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran untuk sekolah hingga jenjang yang tinggi (Tabel 1). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
6 penelitian Faridzi (2013) di Kabupaten Serang yang memperoleh data bahwa tingkat pendidikan petani padi umumnya tidak tamat sekolah atau hanya hingga tingkat SD. Mata pencaharian utama petani responden di kelima kecamatan adalah petani, dan pekerjaan lainnya ialah pedagang, buruh bangunan, PNS, peternak, buruh tani, dan ibu rumah tangga. Upah minimum kabupaten (UMK) Lamongan sebesar Rp 1 573 000. Kategori segi pendapatan terbesar di Kecamatan Laren berada dalam kisaran Rp 500 000 hingga Rp 1 000 000 (40%), Kecamatan Maduran dan Sukodadi dalam kisaran Rp 1 000 000 hingga Rp 1 500 000 (37% dan 33%), Kecamatan Sekaran dan Babat berada dalam kisaran Rp 2 000 000 hingga Rp 2 500 000 (47% dan 50%) (Tabel 1). Jumlah pendapatan di Kecamatan Babat relatif paling tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lain karena letaknya yang dekat dengan pusat kota dan pasar, laju ekonomi di kecamatan ini relatif lebih maju bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Jumlah tanggungan keluarga umumnya berada dalam kisaran tiga hingga lima orang di lima kecamatan, jumlah tanggungan keluarga dengan persentase terendah berada dalam kisaran lebih dari 9 orang. Tingkat partisipasi petani dalam mengikuti gabungan kelompok tani berbeda di tiap kecamatan, namun rata-rata petani responden cenderung mengikuti kelompok tani. Kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi rendah berada di Kecamatan Laren (67%) dan Kecamatan Babat (53%). Kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi tinggi berada di Kecamatan Maduran (33%), Kecamatan Sekaran (40%). Kecamatan Sukodadi memiliki persentase yang sama dalam keikutsertaan petani mengikuti kelompok tani (Tabel 1). Petani jarang mengikuti kelompok tani karena menurut rata-rata kelompok tani hanya mengambil sedikit petani di setiap desa. Petani sebenarnya menginginkan bergabung dengan kelompok tani, namun karena keterbatasan jumlah anggota sehingga mereka menjadi enggan untuk bergabung. Ketidakikutsertaan petani responden dalam mengikuti gapoktan membuat informasi tentang budidaya pertanian yang baik masih kurang. Gabungan kelompok tani merupakan sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh dan untuk petani. Gapoktan berfungsi untuk bertukar pikiran antar anggota untuk bisa saling membantu dan menyelesaikan masalah pertanian, merekatkan hubungan antar satu petani dengan satu petani lainnya. Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian Status kepemilikan lahan petani padi di lima kecamatan sebagian besar merupakan petani pemilik dan penggarap. Persentase petani dan penggarap di Kecamatan Laren, Maduran, Sekaran, Sukodadi dan Babat secara berturut-turut adalah 60%, 57%, 53%, 80%, dan 83%. Luas lahan responden rata-rata berkisar antara 5 000m2 hingga 10 000 m2, Kecamatan Babat memiliki persentase tertinggi yaitu 70% (Tabel 2). Status kepemilikan lahan sangat berpengaruh pada biaya usaha yang dikeluarkan karena hal tersebut merupakan salah satu komponen penting dalam usaha tani. Pola tanam monokultur di kelima kecamatan sebagian besar masih dilakukan secara konvensional (Tabel 2). Lahan sawah ditanami padi secara terus menerus dalam satu tahun dan tidak melakukan pola rotasi tanam. Sebagian kecil petani responden melakukan rotasi tanam dengan palawija seperti kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kabupaten
7 Lamongan menginginkan produksi padi secara besar-besaran dalam tiap tahunnya, sehingga mengabaikan pola rotasi tanam dengan palawija. Perlu diketahui bahwa Kabupaten Lamongan merupakan salah satu pemasok padi terbesar di Propinsi Jawa Timur (Pemkab Lamongan 2013). Tabel 2 Karakteristik budidaya petani responden Responden (%) Karakteristik Petani Laren Maduran Sekaran Sukodadi Status kepemilikan lahan Pemilik 30 37 33 13 Penggarap 10 7 7 7 Penyewa 0 0 7 0 Pemilik penggarap 60 57 53 80
Babat 17 0 0 83
26 6 1 67
Luas lahan (m2) < 1 000-2 500 2 500-5 000 5 000-10 000 > 10 000
27 27 33 13
10 37 30 23
13 17 23 47
13 20 47 20
0 0 70 30
13 20 41 27
Pola tanam Padi-padi palawija Padi terus menerus
33 67
33 67
3 97
0 100
20 80
18 82
Teknik pergiliran tanaman merupakan salah satu komponen pengendalian terpadu hama WBC dan hama hama padi lainnya. Salah satu penyebab timbulnya peledakan WBC pada pertanaman padi di Pulau Jawa adalah karena petani terus menerus menanam padi pada lahan sawah. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbaikan sistem irigasi yang mengakibatkan tersedianya air setiap saat (Untung 2011). Pola tanam yang sebaiknya diterapkan oleh petani adalah padi-padi palawija. Pola tersebut bisa memutus siklus OPT yang menyerang tanaman padi. Penanaman padi secara terus menerus juga tidak baik untuk kesuburan lahan. Petani perlu melakukan upaya rotasi tanam untuk mencegah terjadinya peningkatan populasi WBC menggunakan pola padi-padi-palawija, padi-palawija-padi, atau rotasi tanam yang lain. Pemasaran hasil pertanian sebagian besar dijual kepada pengumpul. Hal tersebut umum dilakukan oleh petani karena penjualan padi ke pengumpul dianggap lebih mudah, sehingga petani tidak perlu membawa hasil panen ke pasar secara langsung. Selain itu, kondisi perekonomian petani yang masih rendah menyebabkan petani melakukan peminjaman modal kepada pengumpul. Varietas padi yang dominan dibudidayakan oleh petani di kelima kecamatan adalah varietas Ciherang (Tabel 3). Varietas Ciherang banyak dipilih oleh petani responden karena produktifitas malainya yang tinggi, jumlah anakan banyak, dan tahan terhadap serangan hama penyakit. Varietas selain Ciherang yang dibudidayakan oleh petani adalah varietas Bagendit, Inpari 4, IR 64, beras hitam dan beras merah, Bestari, Mikongga, IPB 3S, Sri Dhenok, dan Kamajoyo. Ragamnya varietas tersebut dikarenakan ada yang dijadikan varietas selingan, ada
8 yang sengaja berganti varietas agar tidak mudah terserang hama penyakit, dan uji coba varietas baru di lahan mereka. Tabel 3 Karakteristik varietas padi yang digunakan petani responden Responden (%) Karakteristik Petani Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Varietas padi 20 3 0 10 0 Bagendit Ciherang 63 80 97 90 83 Inpari 4 3 10 0 13 0 IR 64 37 10 0 7 10 Beras hitam dan merah 3 0 0 0 0 Bestari 3 0 0 0 0 Mikongga 0 7 3 7 0 IPB 3S 0 0 0 0 10 Sri Dhenok 0 0 0 0 3 Kamajoyo 0 0 0 0 3
7 83 5 13 1 1 3 2 1 1
Jarak tanam (cm x cm) 20x20 7 23x23 33 23x25 23 25x25 3 25x27 0 27x27 0 30x30 0 25x20 0 30x25 33
7 23 7 43 3 3 3 10 0
10 13 7 67 0 3 0 0 0
13 27 0 20 10 0 7 0 23
0 27 0 57 17 0 0 0 0
7 25 7 38 6 1 2 2 11
Alasan memilih varietas Tahan HPT Produktivitas tinggi Daya jual tinggi Rasa lebih enak
70 20 3 7
93 7 0 0
83 17 0 0
47 53 0 0
27 67 7 0
64 33 2 1
Sumber benih Membenihkan sendiri Instansi pemerintah Kios tani Petani lain
10 3 83 3
7 30 63 0
0 23 77 0
0 20 80 0
0 40 60 0
3 23 73 1
Jarak tanam adalah salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil panen padi. Jarak tanam padi ditentukan dua faktor, yaitu kemampuan produksi jumlah anakan dan kesuburan tanah. Varietas padi yang memiliki kemampuan merumpun tinggi akan membutuhkan jarak tanam yang lebih lebar dibandingkan dengan varietas padi yang memiliki kemampuan merumpun rendah. Semakin subur tanah semakin lebar juga jarak tanam yang digunakan. Jarak tanam terlalu sempit
9 menyebabkan kurangnya sinar matahari yang menembus ke permukaan tanah, sehingga tanaman padi lebih cepat tinggi namun lemah. Hal ini bisa menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman padi (Siregar 1981). Petani responden umumnya menggunakan jarak tanam seluas 25 cm x 25 cm (Tabel 3). Jarak tanam yang paling baik digunakan petani adalah sistem jajar legowo. Sistem jajar legowo bisa meningkatkan populasi tanaman dengan mengatur jarak tanam dan memanipulasi letak tanaman seolah-olah berada di pinggir (tanaman pinggir). Tanaman yang berada di pinggir biasanya memperoleh lebih banyak cahaya matahari, sehingga kualitas gabah semakin baik dan produksi gabah meningkat. Beberapa manfaat sistem jajar legowo antara lain meningkatkan produksi tanaman padi, mengurangi serangan OPT pada tanaman padi, mempermudah dalam perawatan tanaman padi baik dalam proses pemupukan maupun penyemprotan pestisida, dan dapat menhemat pupuk. Petani mendapatkan benih dari berbagai sumber seperti instansi pemerintah, kios tani, dan petani lain (Tabel 3). Petani responden yang melakukan pembenihan sendiri meyakini bahwa keamanan dan kualitas benih terjamin. Petani responden yang melakukan pembenihan sendiri terdapat di Kecamatan Laren dan Maduran. Petani jarang melakukan pembenihan sendiri karena sulit dan tidak tahu cara membenihkan dengan benar. Petani responden yang mendapatkan benih dari instansi pemerintah umumnya merupakan bagian dari kelompok tani, untuk menguji kelayakan dan ketahanan varietas tersebut. Persentase sumber benih terbanyak berasal dari kios tani yang menjual benih. Petani lebih memilih membeli benih ke kios tani karena petani bisa bertanya ke pemilik kios tentang benih yang akan dibeli dengan mudah. Permasalahan dalam Usaha Tani Permasalahan yang umum dihadapi petani antara lain adalah hama dan penyakit, modal, air, varietas unggul, pupuk, pestisida, dan harga jual gabah yang rendah (Tabel 4). Semakin banyak permasalahan yang dialami oleh petani maka akan berpengaruh pada penggunaan pestisida (Darajat 2014). Berdasarkan hasil survei, hama dan penyakit merupakan permasalahan yang paling sering dihadapi oleh petani. Lima kecamatan menunjukkan persentase tertinggi sebesar 100% di semua kecamatan. Penyakit padi pada lima kecamatan cukup beragam, di antaranya penyakit blast, bercak cokelat, hawar daun bakteri, dan virus tungro. Sedangkan hama pada lima kecamatan yang menyerang tanaman padi selain WBC adalah penggerek batang kuning (Scirpophaga interculas) dan tikus sawah (Rattus argentiventer) (Tabel 4). Tingkat serangan hama pada musim kemarau lebih tinggi bila dibandingkan musim hujan (Fattah dan Hamka 2011). Persentase serangan penggerek batang tertinggi terdapat di Kecamatan Laren (90%). Serangan hama ini bisa menimbulkan serangan hingga 80% (Pracaya 2007). Hama ini pernah mengakibatkan gagal panen pada sebagian petani responden. Serangan hama tikus paling tinggi terjadi di Kecamatan Babat sebesar 87%. Pengendalian hama tikus paling efektif menurut petani responden adalah dengan menggunakan kabel beralirkan listrik yang dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga dini hari. Tikus yang melewati lahan akan mati jika terkena aliran listrik. Pengendalian yang dilakukan petani menggunakan arus listrik sebenarnya kurang baik. Pengendalian yang bisa dilakukan petani yaitu dengan gropyokan,
10 penggunaan musuh alami, dan penggunaan terpal di sekeliling lahan petani. Gropyokan dilakukan dengan menggenangi lubang atau sarang tikus, kemudian setelah tikus keluar dari sarang, dilakukan penangkapan tikus secara bersama dengan petani lain. Selain penggerek batang dan tikus, hama lain yang menyerang sawah milik petani responden ialah ulat grayak, walang sangit, dan keong mas. Permasalahan pupuk juga masih menjadi masalah utama bagi petani responden di lima kecamatan. Permintaan pupuk yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan pupuk yang memadai. Distribusi pupuk terkadang lebih diutamakan ke kelompok tani, lalu dijual dengan harga yang cukup mahal kepada petani lainnya. Petani sangat menyayangkan hal tersebut, namun karena mereka membutuhkan pupuk untuk keberlangsungan usaha taninya maka petani rela membeli pupuk yang mereka butuhkan, terutama pupuk N P K. Serangan WBC umumnya terjadi pada tanaman padi yang telah dewasa, tetapi belum memasuki masa panen. Hama ini terkadang juga menyerang persemaian padi. Menurut Syam dan Wurjandari (2003), fase tanaman yang rentan terhadap serangan WBC dimulai dari fase pembibitan hingga matang susu. Penyerangan WBC tertinggi berkisar di umur 0 hingga 15 hari sebanyak 50% di Kecamatan Babat, umur 15 hingga 30 hari sebanyak 40% dan 43% di Kecamatan Maduran dan Sekaran, umur 30 hingga 45 hari sebanyak 40% di Kecamatan Sukodadi, lebih dari 60 hari sebanyak 33% di Kecamatan Laren (Tabel 5). Umur persemaian hingga panen sebanyak 27% di Kecamatan Sekaran. WBC menyerang tanaman padi pada semua usia. Menurut Baihaki (2009), WBC menyerang tanaman padi saat berumur 10-20 hari setelah masa tanam, dua minggu setelah tanam, atau ketika lilir. Jika tanaman padi muda terserang, warna daunnya menjadi kuning, pertumbuhannya menjadi terhambat, dan tanaman akan tetap kerdil. Serangan hebat akan mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati. Perkembangan akar pun menjadi terhambat. Tabel 4 Permasalahan dalam usaha tani di lima kecamatan Responden (%) Permasalahan Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Masalah yang sering dihadapi 100 Hama Penyakit 100 100 100 100 0 Modal 3 0 0 0 10 Air 0 0 0 0 7 Pupuk 10 57 63 70 10 Obat pestisida 0 10 43 33 3 Harga jual rendah 10 40 43 67 Hama lain yang menyerang Penggerek batang Ulat grayak Walang sangit Tikus Keong mas
90 10 30 7 0
53 0 3 73 0
47 0 13 70 0
53 10 7 7 17
20 0 10 87 3
11 Kehilangan hasil panen yang diakibatkan serangan WBC cukup besar dan menimbulkan kerugian pada petani. WBC dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 100%. Kehilangan hasil panen rata-rata berkisar antara 25-50% (Tabel 5). Hal ini tentu merugikan petani. Penurunan hasil akibat serangan WBC dan wereng punggung putih pada beberapa varietas padi sangat berpengaruh terhadap penurunan hasil (Baehaki dan Kartohardjono 2005). WBC mengakibatkan kerusakan berat pada tanaman padi yang disebut hopperburn. Bentuk kerusakan pada padi seperti membentuk lingkaran-lingkaran kecil, kemudian meluas hingga akhirnya bertemu satu lingkaran dengan lingkran yang lain. WBC berkembang biak di pangkal batang tanaman. Serangga ini menghisap cairan batang hingga tanaman menjadi kuning dan mati kering (Pracaya 2007). WBC mengeluarkan embun madu yang biasanya akan dijadikan media tumbuh oleh cendawan jelaga sehingga daun padi tampak berwarna hitam. Tingginya populasi WBC bisa dilihat dari banyaknya sisa pergantian kulit nimfa yang berwarna putih. Gejala yang dialami petani responden adalah daun padi menjadi kering, pangkal tanaman mengering, daun menjadi berwarna cokelat kehitaman dan kusam, daun batang menguning, pangkal tanaman menghitam. Petani responden umumnya mengalami gejala tanaman menjadi kering. Kumpulan imago dan nimfa menghisap cairan tanaman, mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, daun-daun mulai kuning, layu (Baehaki dan Widiarta 2009). Berbagai bentuk pencegahan dan pengendalian dilakukan petani responden untuk WBC cukup beragam (Tabel 5). Pengendalian untuk menekan dan mencegah terjadinya serangan WBC sudah berkembang dengan baik, namun penerapan di lapangan masih banyak yang tidak berhasil. Berdasarkan hasil survei, penggunaan pestisida sintetik menunjukkan proporsi paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis pencegahan lainnya. Penggunaan pestisida sintetik masih menjadi pilihan utama petani responden. Penanaman padi yang terus menerus menggunakan varietas sama mempunyai gen tahan tunggal dapat mempercepat timbulnya biotipe WBC baru. Secara alami berbagai varietas yang ditanam luas dengan tidak mengandung gen tahan tunggal akan menyeleksi hama WBC, dan penggunaan suatu varietas dalam waktu yang lama membentuk biotipe WBC (Baehaki dan Munawar 2008a), maka dari itu pergantian varietas penting untuk mematahkan gen ketahanan yang terdapat dalam WBC. Aspek sosial kemasyarakatan diperlukan, terutama dalam melakukan kesepakatan penanaman secara serempak. Petani responden yang melakukan tanam serempak hanya terjadi di Kecamatan Laren sebanyak 10% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesepakatan antara sesama di kecamatan lain. Petani saling berloma menanam padi agar harga gabah yang dijual bisa mencapai harga yang tinggi. Penanaman serempak dapat memutus rantai hama penyakit pada tanaman. Tanaman padi yang ditanam serempak dan dipanen bersamaan, akan memutus rantai makanan bagi hama penyakit. Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihan biodiversitas dan pengembangan tanaman bunga di sekitar tanaman padi telah dilakukan di Indonesia dengan memperkenalkan sistem integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA) tahun 2002. Tanaman palawija yaitu menanam kedelai, jagung, dan sayuran seperti sawi dan kacang panjang di sepanjang pematang. Tanaman bunga yang ditanam
12 adalah yang mengandung nektar sebagai sumber makanan parasitoid seperti Wedelian chinensis, Helianthus sp., Lantana camara, Crotalaria, okra atau wijen Sesamum indicum yang ditanam di pematang sawah (Baehaki dan Made 2012). Berdasarkan hasil survei, penanaman bunga hanya dilakukan oleh petani responden yang berada di Kecamatan Laren sebanyak 10% (Tabel 5). Gabungan kelompok tani di kecamatan tersebut sudah maju dengan arahan penyuluh lapang, mereka melakukan tindakan yang sekiranya bisa menekan pertumbuhan hama-hama utama padi. Pengamatan hama secara berkala penting dilakukan petani responden untuk mengetahui sejauh mana serangan OPT menyerang lahan milik mereka. Pengamatan juga dilakukan apakah pestisida yang mereka gunakan sudah cukup ampuh untuk menekan dan mematikan serangan OPT di lahan. Pengamatan hama secara berkala dilakukan di Kecamatan Laren sebanyak 17%. Hal ini penting dilakukan oleh petani untuk mengamati sudah sejauh mana OPT berkembang, jumlah hama per rumpun, atau gejala yang ditimbulkan patogen. Petani yang melakukan pengamatan secara berkala akan lebih mudah dalam mengambil keputusan pengendalian. Pengamatan secara berkala diharapkan dapat membuat petani lebih bijak dalam menggunakan pestisida sintetik. Beberapa petani ada yang memilih mengunakan solar dalam mencegah WBC. Solar dinilai efektif untuk mengendalikan WBC karena bisa membuat daun tanaman licin sehingga menyebabkan telur beserta WBC tidak hinggap kembali. Harga solar juga lebih ekonomis bila dibandingkan dengan harga pestisida sintetik. Umumnya penerapan teknologi baru memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan cara konvensional yang telah dilakukan petani. Menurut Subagio (2008), petani yang sering mengalami kegagalan dalam menerapkan inovasi-inovasi pada kegiatan usahatani yang dijalankan akan memengaruhi sikap dan perilaku petani pada kegiatan usaha tani berikutnya. Pengendalian WBC sebenarnya membutuhkan strategi khusus agar bisa menekan populasi hama secara signifikan. Penggunaan pestisida sintetik selalu menjadi pilihan utama petani responden. Padahal penyemprotan dengan bahan kimia jika tidak hati-hati malah sebaliknya akan menimbulkan dampak buruk pada serangga, manusia dan lingkungan. Penyemprotan harus dilakukan dengan baik agar sasaran pengendalian tercapai seperti penggunaan insektisida kontak yang harus mengenai tubuh serangga hama. Jika yang terkena hanya bagian atas tanaman padi, penyemprotan menjadi tidak efektif karena WBC berada pada bagian pangkal padi (Pracaya 2007). Penggunaan insektisida hayati bisa menjadi salah satu langkah pengendalian yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan cendawan entomopatogenik, namun karena kesulitan dalam penyediaanya termasuk untuk memperoleh bahan dasar cendawan ini, akibatnya tidak terlalu banyak petani yang menggunakannya bahkan cenderung semakin berkurang. Pestisida hayati yang digunakan petani responden di antaranya Beauveria sp. dan Metharizium sp. Penggunaan insektisida hayati ini bisa meningkatkan ketahanan batang tanaman sehingga OPT sulit untuk menginfeksi dan merusak tanaman, tidak menyebabkan resistensi hama, serta aman untuk lingkungan. Di samping itu petani juga mengaplikasikan pestisida nabati seperti ekstrak daun nimba walaupun tidak banyak petani yang menggunakannya.
13 Tabel 5 Karakteristik serangan WBC terhadap padi di lima kecamatan Responden (%) Indikator Laren
Maduran
Sekaran
Sukodadi
Babat
13 0 33 3 33 13
17 40 13 3 3 23
20 43 7 0 3 27
3 20 40 3 10 23
50 20 10 0 0 20
21 25 21 2 10 21
Kehilangan hasil panen (%) 0-25 13 25-50 13 50-75 53 75-100 20
30 67 3 0
3 87 10 0
17 37 13 33
3 43 7 47
13 49 17 20
Umur penyerangan WBC (hari)
0-15 16-30 31-45 46-60 >60 Persemaian-panen
Gejala penyerangan WBC
Kering Pangkal tanaman kering Tanaman coklat kehitaman Daun, batang menguning Pangkal tanaman hitam
90 0 30 0 3
37 27 20 3 23
67 33 0 0 3
7 0 23 70 0
47 7 0 33 13
50 13 15 21 8
Pencegahan WBC Pestisida sintetik Pestisida nabati Pergantian varietas Penanaman serempak Penanaman tanaman bunga Pengamatan hama Penggunaan solar
40 23 13 10 10 13 0
67 17 10 0 0 13 0
83 10 50 0 0 10 10
70 30 0 0 0 7 7
90 7 0 0 0 10 13
70 17 15 2 2 11 6
87
93
87
70
90
20 3
3 17
10 10
30 7
7 13
Pengendalian WBC Pestisida sintetik Pestisida nabati Penggunaan solar
85 14 10
Pengetahuan Petani tentang Pestisida Sintetik Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Perubahan perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat tersebut, sehingga perilaku seseorang sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan. Jika pengetahuan yang dimiliki sudah
14 baik, harapannya akan diterapkan dalam bentuk praktik dalam kehidupan seharihari (Yuantari et al. 2013). Pengetahuan petani responden mengenai pengertian pestisida masih sangat rendah. Petani responden hanya mengerti tentang pestisida adalah obat untuk tanaman padi yang bisa mematikan OPT secara cepat. Perbedaan mengenai jenisjenis pestisida seperti insektisida, rodentisida, fungisida, bakterisida, dan jenis pestisida lainnya masih belum dimengerti dengan baik (Tabel 6). Pestisida pertanian dapat diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk mengurangi dan menghambat perkembangan dan pertumbuhan hama, patogen tanaman, dan gulma (Djojosumarto 2008). Tidak semua pestisida sintetik bekerja dengan membunuh organisme sasarannya, seperti atraktan (penarik), repelen (pengusir), dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Oleh sebab itu sebagai produk perlindungan tanaman, pestisida pertanian meliputi semua zat kimia, campuran zat kimia, atau bahan-bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikrorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan untuk mengendalikan OPT (Djojosumarto 2008). Tabel 6 Pengetahuan petani tentang pestisida sintetik Responden (%) Indikator Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Pengertian Pestisida Tahu 7 27 27 37 40 Tidak tahu 93 73 73 63 60 Perbedaan pesisida Tahu Tidak tahu
13 87
37 63
27 73
33 67
53 47
37 63
35 65
Aplikasi penyemprotan dalam semusim 27 13 1-3x 27 4-6x 47 37 6-10x 20 >10x 23 3
40 47 10 3
47 33 17 3
23 33 33 10
30 37 23 9
Membaca label pestisida Ya 7 Tidak 93
30 70
53 47
37 63
37 63
33 67
Memperhatikan arah mata angin Ya 83 97 Tidak 10 3 Tidak tahu 7 0
83 13 3
93 7 0
97 3 0
91 7 2
Keyakinan petani terhadap kinerja pestisida Ya 83 80 63 Tidak 17 20 64
50 50
97 3
75 31
15 Sebagian besar petani responden tidak membaca label yang tertera pada kemasan pestisida (Tabel 6). Label pada kemasan pestisida penting untuk dibaca karena mencantumkan dosis dan bahan aktif pestisida. Pestisida yang digunakan petani responden hanya berdasarkan pemaparan pemilik kios pestisida, sesama petani, sales pestisida, petugas pertanian, dan berdasarkan pemikiran petani sendiri. Dosis yang dianjurkan oleh informan terkadang melebihi dosis anjuran. Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh petani responden tidak mempengaruhi pemikiran dan pemahaman petani responden terhadap pengertian dan efikasi pestisida. Pengalaman dalam bertani sangat mempengaruhi pola pikir petani dalam bertindak dan menentukan langkah yang akan diambil untuk melakukan usaha taninya. Kemauan dan pengetahuan petani dalam menentukan pestisida yang digunakan bergantung pada lingkungan petani. Petani responden memperhatikan arah angin saat melakukan aplikasi pestisida. Responden memperhatikan arah angin karena mereka sadar bahwa ketika melakukan penyemprotan, arah angin mempengaruhi arah semprotan pestisida. Menurut Sudarmo (1991), cara aplikasi pestisida dilakukan berdasarkan bentuk formulasi yang digunakan. Petani melakukan aplikasi pestisida tidak boleh berlawanan dengan arah angin. Selain itu, cara tersebut membantu operator terhindar dari gangguan kesehatan akibat menghirup pestisida. Tempat pencucian alat semprot mereka lakukan di selokan dekat lahan dan aliran sungai yang mengalir langsung ke Sungai Bengawan Solo (Tabel 6). Intensitas penyemprotan yang dilakukan petani responden tergantung pada tingkat populasi hama dan intensitas penyakit yang menyerang tanaman padi. Petani responden melakukan aplikasi penyemprotan sebanyak tiga kali seminggu, bahkan setiap hari ketika banyak OPT menyerang. Berbeda dengan ketika terserang OPT tinggi (Tabel 6) petani responden jarang melakukan penyemprotan pada kondisi serangan rendah. Petani responden melakukan penyemprotan dengan intesitas sebanyak satu hingga tiga kali atau empat hingga enam kali dalam satu musim tanam. Keyakinan petani terhadap pestisida dalam memusnahkan dan membasmi OPT cukup besar, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan petani dalam aplikasi pestisida di lahan mereka. Sebagian kecil petani responden di lima kecamatan melakukan penyemprotan saat menjelang panen menggunakan fungisida dengan bahan aktif difenokonazol. Petani berpendapat bahwa fungisida golongan azol tersebut dapat meningkatkan bobot malai dan memutihkan bulir padi. Aplikasi fungisida azol dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat tanaman padi berumur kurang lebih 45 HST dan 65 HST, sehingga tanaman padi akan terlihat tumbuh lebih baik terutama bulir padi. Hal inilah yang menjadi daya tarik petani sehingga mereka menyebut fungisida ini sebagai “penjernih padi”. Banyaknya OPT yang menyerang lahan pertanian di lima kecamatan, membuat “pegawai” pestisida mendatangi desa-desa yang ada di Kabupaten Lamongan. Pelatihan mengenai cara membasmi OPT di lima kecamatan diberikan dengan menawarkan juga produk pestisida yang mereka miliki. Perusahaan pestisida menawarkan produk berupa insektisida dengan nama dagang tertentu beserta dosis dan cara penggunaannya yang tepat. Informasi yang diberikan “pegawai” pestisida adalah keampuhan dari pestisida tersebut, anjuran pemakaian, dan keamanan produk terhadap lingkungan sekitar.
16 Tindakan dalam Penggunaan Sintetik Informasi tentang Penggunaan Pestisida Sintetik Kegiatan usaha pertanian membutuhkan banyak informasi terbaru. Petani membutuhkan akses untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya yang mereka butuhkan, mengingat semakin banyak inovasi terbaru dalam penggunaan bahan aktif pestisida pertanian. Akses petani terhadap informasi yang dimaksud adalah kemampuan petani dalam berinteraksi dengan media maupun dengan kontak personal (ZakYatunnufus 2015). Petani responden di lima kecamatan memperoleh informasi tentang penggunaan pestisida dari sesama petani dan kios pestisida. Selain informan tersebut, penggunaan pestisida bisa berdasarkan pengalaman selama bertani, penyuluh lapang, dan sales pestisida (Gambar 1). Peran sesama petani sangat berpengaruh terhadap karakteristik budidaya pertanian yang ada disana. Mereka saling berbagi pengalaman ketika terdapat suatu masalah pertanian, seperti wereng yang populasinya selalu meningkat dan selalu ada di setiap musim menanam padi, penyakit padi yang sulit untuk diatasi seperti penyakit blast, masalah modal, masalah pupuk yang distribusinya terlambat dan tidak merata di seluruh desa, dan lain-lain. Petani umumnya cenderung memercayai dan mengikuti perkataan rekan mereka ketika berhasil menerapkan suatu inovasi di lahannya. Petani responden di lima kecamatan umumnya merasakan kemudahan dalam memperoleh pestisida yang mereka butuhkan, meskipun terkadang harganya relatif tidak terjangkau. Petani umumnya tetap membeli pestisida yang mereka butuhkan karena ada rasa kekhawatiran tersendiri ketika tidak melakukan penyemprotan. Petani responden umumnya memiliki keyakinan yang tinggi bahwa pestisida bisa mengurangi atau mematikan OPT yang ada.
Gambar 1 Informasi tentang penggunaan pestisida sintetik Jenis dan Bahan Aktif Pestisida yang Digunakan Jenis dan bahan aktif pestisida yang digunakan oleh petani di lima kecamatan cukup beragam. Penggunaan jenis dan bahan aktif pestisida yang dilakukan oleh petani umumnya disesuaikan dengan jenis OPT yang menyerang tanaman, jenis tanaman, dan sebagainya.
17 Sebagian besar petani pada umumnya menggunakan insektisida dibandingkan dengan jenis pestisida lain seperti fungisida, herbisida, dan rodentisida. Secara umum terdapat 18 jenis bahan aktif insektisida, 7 jenis bahan aktif fungisida, 1 jenis bahan aktif bakterisida, dan 1 jenis bahan aktif rodentisida. Petani di lima kecamatan umumnya menggunakan jenis pestisida dengan bahan aktif yang berbeda-beda. Bahan aktif insektisida yang umum digunakan oleh petani responden ialah pimetrozin. Responden pengguna pimetrozin Kecamatan Laren (83%), Maduran (80%), Sekaran (83%), Sukodadi (57%), Babat (90%) (Gambar 2). Bahan aktif fungisida yang digunakan petani responden umumnya propineb. Hanya sebagian kecil petani yang menggunakan bahan aktif dari jenis bakterisida dan rodentisida. Pimetrozin adalah bahan aktif insektisida yang termasuk dalam golongan 9B, yaitu sebagai racun saraf yang menghambat aktivitas makan serangga Homoptera (IRAC 2015). Insektisida ini tidak mempunyai efek knockdown, tetapi bekerja dengan cepat mengendalikan serangga pengisap dengan cara menghambat aktivitas makan. Setelah aplikasi pimetrozin, stilet serangga segera berhenti melakukan penetrasi makanan. Serangga tersebut akan mati beberapa hari kemudian, kemungkinan karena kelaparan. Blokade stilet berlangsung beberapa jam setelah serangga terkena pimetrozin. Pimetrozin tidak mempunyai efek repelen dan bekerja di dalam system saraf serangga. Di Indonesia, insektisida pimetrozin terdaftar untuk mengendalikan kutu kebul, walang sangit, wereng batang cokelat, wereng punggung putih, wereng hijau, dan kepinding tanah (Ditjen PSP 2011). Cara kerja pimetrozin di dalam sistem saraf serangga sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Kematian serangga akibat perlakuan pimetrozin lebih lambat dibandingkan serangga yang dilaparkan. Data electrical graph menunjukkan pimetrozin secara signifikan meningkatkan periode non-probing dan menghambat pengisapan floem. Penghambatan tersebut berbanding lurus dengan dosis perlakuan, serangga berhenti mengisap floem pada konsentrasi 400 mg/L. Jadi pimetrozin mengganggu perilaku makan serangga utamanya dengan meningkatkan non-probe period dan menghambat pengisapan floem yang kemudian menyebabkan kematian karena kelaparan (He et al. 2011). Propineb adalah salah satu jenis bahan aktif yang dominan digunakan oleh petani sayuran. Bahan aktif ini bersifat kontak pada target untuk mengendalikan penyakit pada tanaman. Propineb adalah bahan aktif fungisida yang termasuk dala golongan ditiokarbamat. Menurut Hudayya dan Jayanti (2013), propineb merupakan kelompok bahan aktif dari golongan fungisida dengan risiko rendah tanpa tanda-tanda resistensi pada organisme sasaran jika digunakan sesuai anjuran.
18
Gambar 2 Bahan aktif pestisida yang digunakan oleh petani responden Bentuk Penyimpangan yang Dilakukan oleh Petani Petani di lima kecamatan melakukan penyimpangan yang tidak umum dilakukan petani respoden. Beberapa bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh petani antara lain penggunaan pestisida yang dilarang pemerintah, penggunaan merk dagang pestisida yang tidak terdaftar, dan bahan-bahan lain selain pestisida. Informasi tersebut umumnya diperoleh petani dari toko pestisida, anjuran antar sesama petani, dan insiatif sendiri. Petani beranggapan bahwa bahan-bahan tersebut dianggap ampuh dan memiliki manfaat yang sama dengan pestisida sintetik. Meskipun bahan-bahan tersebut juga bisa digunakan sebagai bentuk pengendalian OPT, petani harus tetap memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan. Adanya keterbatasan petani dalam menerima informasi pengendalian OPT yang baik dan benar menjadi salah satu kendala dalam proses budidaya tanaman yang baik, termasuk strategi pengendalian yang digunakan.
19 Hasil survei menunjukkan bahwa masih terdapat pestisida yang beredar di kalangan petani dengan bahan aktif yang dilarang berdasarkan Permentan No. 39 tahun 2015. Berdasarkan hasil survei, terdapat 3 jenis bahan aktif yang dilarang digunakan pada tanaman padi. Bahan aktif tersebut ialah klorpirifos, metomil, dan sipermetrin (Tabel 7). Penggunaan klorpirifos ditemukan paling banyak ditemukan di lima kecamatan, persentasenya secara berturut-turut Kecamatan Laren (20%), Maduran (7%), Sekaran (3%), dan Sukodadi (7%). Persentase penggunaan bahan aktif metomil secara berturut-turut di Kecamatan Laren (23%), Sekaran (3%), dan Kecamatan Sukodadi (3%). Penggunaan bahan aktif sipermetrin haya ditemukan di Kecamatan Laren (3%). Penggunaan bahan aktif klorpirifos dan simpermetrin hanya ditemukan di Kecamatan Laren sebanyak 20%. Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2011), pestisida yang dilarang adalah pestisida yang memiliki klasifikasi Ia (sangat berbahaya sekali) atau Ib (berbahaya sekali) berdasarkan klasifikasi WHO, mempunyai LC50<0.05 mg/lt dalam 4 jam paparan, mempunyai indikasi karsinogenik, onkogenik, teratogenik, dan mutagenik. Tabel 7 Penggunaan bahan aktif yang tidak diizinkan Kecamatan Bahan aktif Jumlah petani (n) Klorpirifos 6 Laren Metomil 7 Sipermetrin 1 Klorpirifos + sipermetrin 6 2 Maduran Klorpirifos Metomil 0 0 Sipermetrin 2 Klorpirifos + sipermetrin Klorpirifos 1 Sekaran Metomil 1 0 Sipermetrin Klorpirifos + sipermetrin 0 2 Sukodadi Klorpirifos Metomil 1 0 Sipermetrin 0 Klorpirifos + sipermetrin Klorpirifos 0 Babat Metomil 0 0 Sipermetrin 0 Klorpirifos + sipermetrin
Proporsi petani (%) 20 23 3 20 7 0 0 7 3 3 0 0 7 3 0 0 0 0 0 0
Kecamatan Laren memiliki persentase tertinggi penggunaan bahan aktif yang dilarang penggunaannya pada tanaman padi (Tabel 7). Kecamatan Laren merupakan kecamatan yang paling terpencil letaknya secara georafis bila dibandingkan dengan kecamatan lain, sehingga penyebaran informasi mengenai bahan aktif yang dilarang pemerintah juga belum menyebar secara merata. Hasil survei menunjukkan bahwa terdapat pestisida tidak terdaftar yang masih digunakan oleh petani responden. Beberapa merek dagang pestisida tersebut adalah
20 Magu 420 EC, Starban 585 EC, Lannate 25/50 WP, Metindo 25 WP. Petani di Kecamatan Sukodadi umumnya menggunakan lebih banyak jenis merek dagang pestisida yang belum terdaftar dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Magu adalah salah satu merek dagang pestisida yang dominan digunakan oleh petani di kecamatan tersebut. Informasi penggunaan pestisida tersebut umumnya diperoleh petani dari toko pestisida dan teman sesama petani. Peran pengawasan dari semua pihak yang terkait perlu ditingkatkan mengingat bahwa masih adanya konsumen pestisida yang menggunakan pestisida yang tidak diizinkan tanpa diimbangi dengan syarat dan ketentuan yang benar. Pengawasan pestisida dilakukan dalam bentuk pemeriksaan terhadap pengadaan, produksi, peredaran, penyimpanan, penggunaan dan pemusnahan pestisida agar terjamin mutu dan efektifitasnya, tidak mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia serta kelestarian lingkungan hidup. Selain itu, pendekatan pertanian berkelanjutan dan pengawasan peredaran pestisida perlu terus ditingkatkan. Pengendalian hama penyakit terpadu (PHT) merupakan salah satu strategi pengendalian yang bisa digunakan untuk menyikapi hal tersebut, mengingat bahwa sistem pengendalian yang terdapat dalam konsep PHT adalah pengendalian yang ramah lingkungan dengan memperhatikan keselamatan petani, konsumen, dan lingkungan. Bahan-bahan lain selain pestisida yang lazim digunakan petani di lima kecamatan adalah solar. Informasi tersebut umumnya diperoleh dari anjuran antar sesama petani dan inisiatif sendiri. Penyemprotan dengan solar dilakukan ketika populasi WBC sudah sangat tinggi dan tidak ampuh diatasi dengan pestisida sintetik. Selain harganya yang murah dan mudah untuk didapatkan, solar juga bisa membasmi hama ini tersebut dengan cepat. Efek samping solar biasanya tanaman akan menjadi panas sehingga mengurangi ketahanan tanaman dan menjadi semakin rentan terhadap OPT lain. Sikap Kerasionalan Petani dalam Menggunakan Pestisida Sintetik Sikap (attitude) adalah faktor paling penting yang akan mempengaruhi keputusan seseorang. Sikap dalam penggunaan pestisida sintetik adalah keefektifan pestisida dalam mengendalikan organisme pengganggu, pestisida merupakan bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia, pestisida juga merupakan pilihan utama pengendalian petani. Konsep sikap sangat terkait dengan konsep kepercayaan dan perilaku. Pembentukan sikap konsumen seringkali menggambarkan hubungan kepercayaan, sikap, dan perilaku (Sumarwan 2005). Sikap kerasionalan petani terhadap penggunaan pestisida sintetik di lima kecamatan cukup beragam. Hasil survei menunjukkan bahwa petani responden di Kecamatan Laren, Maduran, Sekaran, Sukodadi, dan Babat sering menyemprot pestisida karena dapat meningkatkan hasil panen dengan presentasi berturut-turut sebesar 60%, 63%, 47%, 77%, dan 53% (Tabel 8). Beberapa petani masih beranggapan bahwa semakin sering melakukan penyemprotan pestisida, tingkat kerugian dapat ditekan, hasil panen bisa semakin meningkat karena OPT juga menurun. Hal ini terlihat dari sikap petani yang melakukan penyemprotan pestisida seawal mungkin, bahkan saat umur tanaman baru mencapai kurang lebih 10 HST. Sebagian besar petani tidak menyemprot ulang ketika hujan turun, hal ini dilakukan petani dengan alasan menekan biaya, tenaga, dan waktu yang harus dikeluarkan. Harga pestisida juga tidak mempengaruhi intensitas penyemprotan petani. Mereka
21 menyatakan bahwa meskipun harga pestisida murah, namun ketika melakukan penyemprotan lagi biaya yang dikeluarkan akan bertambah dan bisa mengurangi penghasilan ketika waktu panen tiba. Selain itu, sebagian petani menambahkan bahan lain dalam penyemprotan seperti perekat non-ionik agar pestisida yang disemprotkan pada tanaman dapat merekat lebih lama dan tidak mudah tercuci oleh air hujan. Keberadaan OPT di lahan pertanian mendorong petani untuk meningkatkan dosis takaran, frekuensi penyemprotan, dan komposisi jenis campuran pestisida yang digunakan. Tidak sedikit petani yang beranggapan bahwa ada atau tidaknya OPT, aplikasi pestisida harus tetap dilakukan untuk membuat mereka merasa aman (Marinajati et al. 2012). Tabel 8 Sikap kerasionalan penggunaan pestisida sintetik Responden (%) Indikator Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Sering menyemprot untuk meningkatkan hasil Ya 60 63 47 77 53 Tidak 40 37 53 23 47 Penyemprotan dilakukan seawal mungkin Ya 80 87 77 Tidak 20 13 23
83 17
97 3
60 40
85 15
Melakukan penyemprotan ulang jika terjadi hujan setelah menyemprot Ya 3 3 7 7 3 5 Tidak 97 93 97 97 93 95 Sering menyemprot jika harga pestisida murah Ya 0 3 3 Tidak 100 97 97
7 93
7 93
4 96
Alat penakar pestisida Tutup botol 93 Sendok 3 Alat takar 3
67 33 0
67 27 7
71 26 3
73 23 3
57 43 0
Petani responden umumnya menggunakan tutup botol pestisida sebagai alat penakar. Penakar lainnya yang biasa digunakan petani responden ialah sendok dan alat penakar standar, namun hanya sebagian kecil petani yang menggunakan dua alat penakar tersebut (Tabel 8). Tutup botol yang digunakan petani responden tidak memiliki ukuran dosis sehingga mengakibatkan petani menyemprot tidak sesuai dengan dosis anjuran. Hal tersebut bisa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan maupun organisme bukan sasaran, serta dapat mengakibatkan resistensi pada hama sasaran. Petani lebih memilih tutup botol dan sendok karena petani lebih praktis untuk digunakan. Sikap Kecenderungan Petani dalam Mencampur Pestisida Petani responden yang pernah mencampur pestisida persentasenya secara berturut-turut di Kecamatan Laren (37%), Maduran (47%), Sekaran (30%),
22 Sukodadi (43%), dan Babat (3%) (Tabel 9). Petani responden umumnya mencampur 2 jenis pestisida. Hanya sebagian kecil petani yang mencampur 3 jenis pestisida dan lebih dari 3 jenis pestisida. Selain pestisida, beberapa petani menambahkan pupuk tanaman, ZPT (zat pengatur tumbuh) dan bahan lain seperti karbit pada saat melakukan pencampuran. Sebagian besar petani yang melakukan pencampuran pestisida beranggapan bahwa dengan melakukan pencampuran pestisida, OPT yang ada di lahan bisa dikendalikan sekaligus. Selain itu, petani berharap bahwa dengan mencampur beberapa jenis pestisida, petani dapat menghemat biaya, waktu, tenaga, dan bisa mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak melakukan pencampuran pestisida. Petani juga berharap bahwa dengan mencampur pestisida bisa meningkatkan daya bunuhnya. Tabel 9 Sikap kecenderungan petani dalam mencampur pestisida Responden (%) Indikator Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Pernah mencampur pestisida Pernah 37 47 30 43 3 Tidak pernah 63 53 70 57 97
32 68
Mencampur berapa jenis pestisida 2 jenis 23 3 jenis 13 > 3 jenis 0
30 13 3
13 10 7
40 3 0
3 0 0
22 8 2
Alasan mencampur pestisida Hemat biaya 7 Hemat waktu 3 Meningkatkan daya bunuh 27
0 20 40
7 17 7
3 20 27
0 0 3
3 12 21
Penggunaan pestisida sebaiknya tidak mencampur beberapa jenis dalam sekali semprot tanpa melihat bahan aktif yang terdapat dalam kemasan. Bila mencampur hanya menurut pengalaman teman dan ternyata bahan aktif yang digunakan sama walaupun berbeda merek dagangnya. Hal ini tentu menyebabkan pemborosan dalam menggunakan pestisida karena manfaatnya sama. Petani juga harus cermat dalam mencampur pestisida karena pestisida yang dicampur dapat menurunkan daya racun atau bersifat sangat toksik sehingga berbahaya bagi kesehatan petani, konsumen, dan lingkungan. Menurut Irfan (2008) pencampuran pestisida sintetik dapat merugikan, seperti timbulnya antagonistik sehingga keampuhannya berkurang serta menyebabkan spektrum menjadi luas sehingga banyak target bukan sasaran yang terbunuh. Sikap kecenderungan petani dalam mencampur pestisida sintetik semakin memperlihatkan bahwa petani tersebut tidak rasional dalam penggunaan pestisida. Sikap Kepedulian Petani terhadap Dampak Penggunaan Pestisida Petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT dengan harapan hasil produk pertanian meningkat. Disamping dapat meningkatkan hasil produk petanian, pestisida mempunyai dampak negatif seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, pestisida berspektrum luas dapat membantu hama sasaran,
23 parasitoid, predator, hiperparasit serta makhluk bukan sasaran seperti lebah, serangga penyerbuk, cacing dan serangga bangkai (Laba 2010). Petani responden di Kecamatan Laren, Sekaran dan Sukodadi sebagian besar mengetahui tentang residu pestisida pada tanaman padi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah persentase petani di tiga kecamatan berturut-turut sebanyak 53%, 63%, dan 53% telah mengetahui residu akibat penggunaan pestisida (Tabel 10). Namun di Kecamatan Maduran dan Babat, petani responden banyak yang tidak peduli dengan residu pestisida. Persentase petani yang tidak peduli dengan residu pestisida sebanyak 43% dan 47% (Tabel 10). Mereka menganggap bahwa ketika melakukan penyemprotan, pestisida tidak akan meninggalkan residu. Banyak juga petani responden yang tidak mengetahui tentang residu pestisida. Umumnya petani responden yang mengerti tentang residu pestisida adalah petani yang memahami tentang akibat residu pestisida. Pestisida sistemik akan diabsorbsi oleh tanaman dan akan ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman (daun, buah, cabang, akar kulit, dan sebagainya). Pestisida tersebut dapat bersifat toksik pada tanaman pokok, hingga tanaman itu mati atau pertumbuhannya terganggu. Pestisida akan meninggalkan residu pada tanaman. Residu pestisida diperlukan untuk dapat mengenai target atau sasaran, namun sejumlah pestisida tertentu (pestisida yang tergolong sangat persisten) meninggalkan residu pestisida cukup lama pada tanaman sehingga besar kemungkinan ikut terbawa hingga panen. Petani responden di lima kecamatan cenderung menunjukkan sikap ketidakpedulian tehadap organisme bukan sasaran. Persentase petani responden tersebut secara berturut-turut di lima kecamatan tersebut ialah 60%, 67%, 73%, 97%, dan 87% (Tabel 10). Mereka menganggap bahwa meskipun melakukan penyemprotan pestisida secara intensif, tidak akan membunuh organisme bukan sasaran. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan petani responden terhadap peran musuh alami dan agens hayati dalam mengendalikan OPT. Umumnya petani yang peduli dengan residu pestisida pada tanaman dan organisme bukan sasaran mendapatkan informasi dari sekolah pertanian, penyuluh petani, ataupun dari kelompok tani. Petani yang tidak peduli dengan jenis dan merk pestisida yang dilarang pemerintah (ilegal) menunjukkan proporsi yang cukup tinggi di lima kecamatan. Petani yang tidak peduli terhadap pestisida kadaluarsa juga menunjukkan proporsi yang tinggi. Salah satu penyebab rendahnya kepedulian petani responden terhadap pestisida ilegal dan pestisida kadaluarsa adalah rendahnya pengetahuan petani mengenai peredaran pestisida yang sudah tidak layak pakai di toko-toko penjualan pestisida. Pemilik kios pestisida menganggap bahwa pestisida yang kadaluarsa masih layak untuk digunakan karena toksisitas terhadap OPT sasaran tidak akan berkurang. Pengawasan dari dinas pertanian setempat dan perusahaan pestisida terhadap keselamatan petani dan lingkungan merupakan hal yang perlu diperhatikan. Petani responden cenderung tidak mengerti perihal resisten hama yang dapat ditimbulkan dari penggunaan pestisida berlebih atau penggunaan pestisida yang tidak sesuai. Padahal hal ini penting untuk memantau keberadaan hama wereng batang cokelat yang mudah resisten terhadap suatu bahan aktif pestisida. Peran penyuluh pertanian sangat diharapkan untuk menjelaskan mengenai resisten yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida.
24 Tabel 10 Sikap kepedulian petani terhadap dampak penggunaan pestisida Responden (%) Indikator Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Pengetahuan tentang residu pestisida pada tanaman Ya 53 30 63 53 40 48 Tidak 13 43 37 27 47 33 Tidak tahu 33 27 0 20 13 19 Kepedulian terhadap organisme bukan sasaran Ya 23 20 17 Tidak 60 67 73 Tidak tahu 17 13 10
3 97 0
13 87 0
15 77 8
Kewaspadaan tentang pestisida kadaluarsa Ya 13 7 3 Tidak 70 73 90 Tidak tahu 17 20 7
10 77 13
3 90 7
7 80 13
Kewaspadaan terhadap penggunaan pestisida ilegal Ya 30 23 10 13 Tidak 60 57 67 73 Tidak tahu 10 20 23 13
20 70 10
19 65 15
Kepedulian terhadap resisten hama Ya 27 20 Tidak 7 23 Tidak tahu 67 57
27 10 63
27 19 53
33 47 20
30 10 60
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Wereng batang coklat selalu menyerang pertanaman padi di Kabupaten Lamongan, namun tingkat populasinya berfluktuatif. Intensitas penyemprotan pestisida yang cukup tinggi, dosis atau konsentrasi aplikasi yang tidak sesuai anjuran, penggunaan insektisida yang dilarang pemerintah, dan sikap ketidakrasionalan petani berpotensi menimbulkan ledakan populasi serangga hama ini. Saran Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan dasar acuan untuk instansi pemerintah setempat, bahwa masih banyak petani di Kabupaten Lamongan yang belum menerapkan prinsip 5T dalam penggunaan pestisida. Pemerintah setempat diharapkan untuk lebih mengawasi peredaran dan penggunaan pestisida. Pencegahan dan pengendalian OPT tidak hanya dengan penggunaan pestisida sintetik. Beberapa pencegahan dan pengendalian lainnya adalah penanaman tanaman serempak, tidak melakukan tanam padi secara terus menerus dalam satu tahun, dan penggunaan insektisida hayati. Hal ini perlu diinformasikan kepada petani agar produktifitas lahan sawah di Kabupaten Lamongan semakin meningkat. Pemerintah setempat sebaiknya memberikan jaminan asuransi kepada petani, agar mereka mau melaksanakan penanaman padi sesuai anjuran penyuluh. Pemerintah dapat menyediakan lahan percobaan agar petani di Kabupaten Lamongan percaya bahwa anjuran penyuluh bisa meningkatkan hasil dan menyelamatkan tanaman padi dari OPT.
DAFTAR PUSTAKA . Baehaki, S.E. dan A. Kartohardjono. 2005. Penilaian penurunan hasil berdasar skor kerusakan akibat wereng cokelat dan wereng punggung putih. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII. Yogyakarta. Hlm 351-357. Baehaki SE, Munawar D. 2008a. Uji biotipe wereng cokelat, Nilaparvata lugens Stal. di sentra produksi padi [Internet] [diunduh 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://litbang.pertanian.go.id Baehaki SE, Munawar D. 2008b. Identifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Prosiding Apresiasi Hasil Penelitian. 2007 Nov 19; Subang. Subang (ID): BBPTB Subang. Baehaki SE. 2009.Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam perspektif praktek pertanian yang baik. Di dalam: Baehaki SE, editor. Orasi Profesor Riset [Internet]. [Bogor,4 Mei 2006]. Bogor (ID). Hlm 65-78; [diunduh 17 Juni 2013]. Tersedia pada: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip021095.pdf Baehaki SE, Widiarta IN. 2009. Hama Wereng dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Padi. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Baehaki SE. 2012. Perkembangan biotipe hama wereng cokelat pada tanaman padi. Buletin Iptek Tanaman Pangan. 7(1):8-17 Baehaki SE, Made JMI. 2012. Wereng cokelat sebagai hama global bernilai ekonomi tinggi dan strategi pengendaliannya. Buletin Iptek Tanaman Pangan. 9(1):1-12. Baehaki SE, Munawar D. 2013. Uji ketahanan galur padi terhadap wereng cokelat biotipe 3 melalui population build-up. Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1):7-17. [BBPOPT]. Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT). 2014. Waspadai OPT utama padi MH.2013/2014 [Internet]. [diunduh 2015 Feb 20]. Tersedia pada: http://bbpopt.info/artikelku/berita/116-waspdopt2014 [BBPTB] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Hama Padi Potensial dan Pengendaliannya. Subang (ID): BBPTB Subang. [BPTB] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2011. Langkah-langkah pengendalian wereng batang cokelat [Internet]. [diunduh 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://sulsel.litbang.pertanian.go.id [Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian] Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Jakarta (ID). Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian. Darajat YM. 2014. Perbandingan Pola Penggunaan Pestisida pada Petani Sayuran dan Petani Tanaman Hias di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.
27 Faridzi, M. 2013. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani dalam Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi di Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, dan Kecamatan Petir, Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor (ID):Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fattah A, Hamka 2011. Tingkat serangan hama utama padi pada dua musim yang berbeda di Sulawesi Selatan. Di dalam: Makalah seminar, seminar dan pertemuan tahunan XXI PEI; 2011 Juni 7; Makassar (ID). Handayani MD. 2006. Analisis profitabilitas dan pendapatan padi sawah menurut luas dan status kepemilikan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. He Y, Chen Li, Chen J, Zhang J, Chen Liezhon, Shen J, Zhu YC. 2011. Electrical penetration raph evidence that pymetrozine toxicity to the rice brown planthopper is by inhibition of phloem feeding. Pest Manage Sci. 67(2011):67(2011):-491. Hudayya A, Jayanti H. 2013. Pengelompokkan Pestisida berdasarkan Cara Kerja (Mode of Action). Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Irfan B. 2008. Kerasionalan petani sayuran dan padi Daerah sentra dan non sentra di Jawa Barat terhadap penggunaan pestisida [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [IRAC] Insecticide Resistance Action Committeee. 2015. Resistance definition [Internet] [diunduh 2015 Desember 25]. Tersedia pada: http://www.iraconline.org/documents/moa-structures-poster-english/?ext=pdf. Laba IW. 2010. Analisis Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian volume 3. Hlm 120-137. Maria. 2014. Penggunaan pestisida sintetik [Internet] [diunduh 2016 Januari 24] http://www.academia.edu/10659949/penggunaan_pestisida_sintetik. Marinajati D, Endah N, Suhartono. 2012. Hubungan riwayat paparan pestisida dengan profil darah pada wanita usia subur di daerah pertanian cabai dan bawang merah. J Kes Ling Indones. 1(1):61-67. Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Bogor. [Pemkab Lamongan]. Pemerintah Kabupaten Lamongan. 2013. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan [Internet]. [diunduh 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://lamongankab.go.id (17 Januari 2009) Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Jkarta (ID): Penebar Swadaya. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta (ID): Sustra Husada. Subagio H. 2008. Peran kapasitas petani dalam mewujukan keberhasilan usaha tani: kasus petani sayuran dan padi di Kabupaten Malang dan Pasuruan Provinsi Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarmo S. 1991. Pestisida. Yogykarta (ID): Kanisius. Sumarwan U. 2005. Perilaku konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta (ID): PT. Ghalia Indonesia dengan MMA-IPB. Syam M, Wurjandari D. 2003. Masalah lapang : hama, penyakit, hara pada padi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Untung K, Trisyono TA. 2010. Wereng cokelat mengancam swasembada beras [Internet]. [diunduh 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://faperta.ugm.ac.id. Untung Kasumbogo. 2011. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
28 Yuantari, Widiarnako, Sunoko. 2013. Tingkat pengetahuan petani dalam menggunakan pestisida (studi kasus di Desa Curut Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013. Semarang (ID). ZakYatunnufus L. 2015. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Pengunaan Pestisida di Kabupaten Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
30 KUISIONER SURVEI : PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI DALAM PENGGUNAAN INSEKTISIDA UNTUK PENGENDALIAN WERENG BATANG COKELAT DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR. KABUPATEN : ... KECAMATAN : … DESA :… RT/RW
:…
PEWAWANCARA : Tgl. WAWANCARA : Tempat : Di Lahan Di Rumah Waktu :
KARAKTERISTIK PETANI 1. Nama : ( L/P) 2. Umur (tahun) a) < 20 b) 21-30 c) 31-40 d) 41-50 e) >50 3. Pendidikan: a) SD b) SLTP c) SLTA d) PT e) Tidak tamat SD 4. Pekerjaan utama a) Petani b) Pedagang c) Buruh bangunan d) Pegawai Negeri e) Pegawai Swasta f) ……………………………. 5. Penghasilan perbulan : Rp. …………………. 6. Jumlah tanggungan keluarga : a) 3 orang b) 4-5 orang c) 6-8 orang d) >8 orang KEADAAN UMUM 7. Status kepemilikan lahan : a) Lahan sendiri c) Sewa b) Garapan d) Lainnya : ……………………………. 8. Luas lahan yang dikelola : ........................................... 9. Varietas padi :……………………………….. 10. Alasan memilih varietas tersebut? a) Tahan hama dan penyakit b) Produktivitas tinggi c) Daya jual lebih baik d) Rasa lebih enak e) ………………. 11. Darimana anda mendapatkan informasi tentang varietas padi ini ? a) Kios tani b) Petani lain c) Penyuluh pertanian d) Surat kabar/televise/radio
31 e) Lainnya……………… 12. Umur tanaman padi saat ini : 13. Jarak tanam : 14. Bibit padi diperoleh dari: a) Membibitkan sendiri b) Membeli dari perusahaan pembibitan c) Diberikan dinas atau instansi pemerintah d) Membeli dari kios tani e) Lainnya …………………………………. 15. Bagaimana pola tanam yang digunakan : a) Jajar legowo b) Padi-padi palawija c) ……………………………………………. 16. Irigasi yang digunakan : a) Teknis air tersedia terus menerus b) Teknis namun air terjadwal c) Semi teknis d) Tadah hujan e) Lainnya…………………………………………… 17. Bagaimana pemasaran hasil usaha tani ini : a) Dijual sendiri ke pasar b) Dijual ke pedagang pengumpul c) Dijual sendiri ke kota d) Ditebas e) Lainnya : ........................................ PERMASALAHAN DALAM USAHA TANI 18. Masalah yang sering dihadapi dalam usaha tani a) Hama dan Penyakit b) Modal c) Air / irigasi d) Varietas unggul e) Lainnya : ........................................ 19. Apakah pertanaman padi bapak sering mengalami serangan WBC? a) Ya,…………….. b) Tidak,……………….. 20. Selain WBC, hama apa lagi yang sering menyerang tanaman padi Bapak? Sebutkan…….. 21. Pada umur berapa biasanya wereng menyerang tanaman padi? …………………………………………………………………… 22. Apakah Bapak sering berkunjung dan mengamati tanaman padi Bapak? ……………………………………………………………………. 23. Apakah Bapak melakukan pengamatan hama pada pertanaman padi? ……………………………………………………………………. 24. Jika melakukan pengamatan, apa saja yang Bapak perhatikan? …………………………………………………………………….. 25. Gejala yang muncul akibat serangan wereng : a. ………………………………. b. ……………………………….
32 c. ………………………………. d. ………………………………. 26. Dari serangan wereng, kira kira berapa kehilangan hasil panen ……………..% 27. Bagaimana cara mencegah serangan wereng tersebut : a. ……………………………………… b. ……………………………………… c. ……………………………………... d. ……………………………………… 28. Bagaimana cara mengendalikan hama wereng tersebut : a. …………………………………… b. …………………………………… c. …………………………………… d. …………………………………… PENGETAHUAN TENTANG PENGGUNAAN PESTISIDA 29. Apakah tahu pengertian pestisida dan insekisida? a) Ya b) Tidak tahu 30. Apakah membaca label insektisida sebelum aplikasi? a) Ya b) Tidak 31. Berapa kali aplikasi insektisida dalam satu musim tanam? ……………. 32. Merk dagang pestisida yang digunakan petani: a)…………. b)…………. c)…………. d)…………. 33. Apakah pestisida yang digunakan selalu satu jenis merk dagang? a) Ya, karena… b) Tidak, karena… 34. Siapakah yang menganjurkan bapak dalam menggunakan pestisida tersebut? a) Keinginan sendiri b) Pegawai pestisida c) Kios pertanian d) Penyuluh lapang e) Teman-teman petani 35. Apakah bapak sering bertemu dengan pekerja pestisida? a) Ya, b) Tidak 36. Jika ya, informasi apa yang diberikan orang tersebut? a) Keampuhan pestisida b) Cara penggunaan pestisida c) Dosis penggunaan d) Anjuran untuk menggunakan e) Hadiah yang ditawarkan f) Keamanan produk yang ditawarkan g) 37. Apakah bapak sering mencoba merk pestisida baru? a) Ya b) Tidak
33 38. Adakah keyakinan bahwa pestisida dapat mengatasi masalah akibat serangan hama : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 39. Apakah mengetahui perbedaan insektisida, fungisida dan herbisida : a) Ya b) Tidak 40. Pada saat menyemprot, apakah harus searah arah angin : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 41. Bagaimana kelengkapan pakaian ketika menyemprot ? a) Ada b) Tidak c) Tidak tahu 42. Apakah setelah aplikasi, alat aplikasi dicuci? : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 43. Jika ya, dimana? ................................................................................. 44. Pada saat menjelang panen, apakah penyemprotan pestisida masih boleh dilakukan : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 45. Jika setelah menyemprot terdapat sisa pestisida, dimana menyimpan sisa pestisida tersebut ? : a) ........................................ b) ........................................ SIKAP KERASIONALAN PENGGUNAAN PESTISIDA 46. Apakah penyemprotan perlu lebih sering dilakukan untuk meningkatkan hasil? a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 47. Apakah penyemprotan perlu dilakukan seawal mungkin saat gejala serangan hama mulai terlihat : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 48. Apabila anda melakukan penyemprotan pada pagi hari, setelah penyemprotan tersebut turun hujan, apakah pada sore atau keesokan harinya pertanaman perlu disemprot ulang : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 49. Apabila harga pestisida murah, perlukah lebih sering menyemprot : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu 50. Apakah merk dagang yang digunakan berbeda untuk masing-masing jenis hama? a) Ya b) Tidak,… 51. Jika setelah menyemprot insektisida hama tidak mati, apa yang Bapak lakukan? ………………………………………………………………………. 52. Bagaimana Bapak mengukur konsentrasi cairan semprot? ………………………………………………………………………….. SIKAP KECENDERUNGAN MENCAMPUR PESTISIDA 53. Apakah pernah mencampur pestisida : a) Ya b) Tidak Jika Ya...(lanjut ke nomor berikutnya) 54. Berapa macam pestisida yang dicampur ? a) 2 b) 3 c) > 3
34 55. Jenis apa saja yang dicampur ? a) ....................................................................... b) ....................................................................... c) ....................................................................... d) ....................................................................... 56. Mengapa mencampur pestisida ? a) menghemat biaya b) menghemat waktu c) meningkatkan daya bunuhnya d) ...........................................................
57.
58.
59.
60.
61.
SIKAP KEPEDULIAN PETANI TERHADAP DAMPAK PESTISIDA Apakah tanaman yang sering disemprot denga pestisida dapat mengandung racun: a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu Apakah penyemprotan dengan pestisida dapat menyebabkan organisme non sasaran yang ada di pertanaman menjadi punah : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu Apakah pestisida yang sudah kadaluarsa tanggal pemakaiannya masih boleh digunakan : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu Apakah pestisida ilegal (yang belum mendapat izin dari pemerintah) boleh digunakan : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu Apakah penyemprotan dengan pestisida yang terlampau sering dapat menyebabkan patogen penyebab penyakit atau serangga hama menjadi resisten (tahan disemprot pestisida) : a) Ya b) Tidak c) Tidak tahu
INFORMASI PENGGUNAAN PESTISIDA 62. Jenis dan jumlah penggunaan insektisida dalam satu musim tanam (g/l ; cc/l) : a)…………………………sebanyak.................................................... b)…………………………sebanyak .................................................... c)…………………………sebanyak.................................................... d)………………………....sebanyak.................................................... e)…………………………sebanyak .................................................... f)…………………………sebanyak........................................... 63. Jenis dan harga pestisida yang digunakan pada satu musim tanam : a)......................................................Rp .................................................... b)......................................................Rp .................................................... c)......................................................Rp .................................................... d)......................................................Rp .................................................... e)......................................................Rp .................................................... f).......................................................Rp.................................................... 64. Sumber informasi pemilihan pestisida : a) Pengalaman sendiri d) Kios saprotan b) Petugas pertanian e) Sales c) Petani lain f)Lainnya : ..........................
35 65. Apakah Anda mudah mendapatkan pestisida yang Anda inginkan : a) Ya b) Tidak SIKAP PETANI 66. Pernah mengikuti SLPHT atau pelatihan lain a) Ya b) Tidak Jika ya, berapa lama……… 67.Jika menggunakan pestisida kapan diputuskan untuk melakukan penyemprotan? a) Saat menyemprot telah tiba b) Serangan hama/penyakit membahayakan c) Adanya gejala pada tanaman d) Saat cuaca kurang baik e) Lainnya …………………………. 68. Apa yang dilakukan jika hama dan penyakit tidak dapat dikendalikan a) Dibiarkan saja b) Penyemprotan dengan dosis yang sama c) Meningkatkan konsentrasi d) Mengganti dengan pestisida baru 69. Apakah bapak pernah mendapatkan pelatihan atau penyuluhan khusus tentang serangan hama wereng? a) Ya, dari siapa?...... b) Tidak 70. Jika ya apakah bapak menerapkan pelatihan atau penyuluhan yang diberikan? Jelaskan a) Ya, karena…… b) Tidak, karena….. 71. Apakah aktif dalam pertemuan kelompok tani? a) Ya b) Tidak
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 9 Maret 1993 dari ayah M. Syamsul Arief dan ibu Wahyuning Suryati. Penulis adalah puteri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA MuhammadYah 1 Gresik dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama masa perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai sekretaris divisi keprofesian Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) periode 2012/2013 dan periode 2013/2014, sebagai divisi Event Organizer Gentra Kaheman periode 2011/2012, dan anggota tetap Himasurya (Himpunan Mahasiswa Surabaya dan sekitarnya) dari tahun 2011 hingga sekarang. Penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan, antara lain sebagai kepala divisi acara Himasurya Goes to School cabang Gresik 2012, kepala divisi sponsorship Mimitran Gentra 2011, sekretaris National Plant Protection Event (NPV) 2013, anggota divisi acara turun lapang proteksi tanaman 2014, anggota divisi medis PORSSITA 2014, dan sekretaris pada NPV 2014. Penulis pernah mendapatkan beasiswa dari Toyota Astra selama periode dua semester, yaitu semester empat dan lima. Penulis pernah mengikuti Pelatihan End Note oleh forum wacana IPB tahun 2015. Penulis pernah menjadi panitia di luar kampus yaitu kepanitiaan “Temu Pusaka ke-11 2015” di Pemerintah Kota Bogor.