TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Anatomi dan Morfologi Karang Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia), alga berkapur dan organisme -organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1993). Sementara itu hewan karang adalah hewan yang tidak bertulang belakang dan termasuk dalam Kelas Anthozoa (hewan berbentuk bunga).
Hewan karang umumnya merupakan koloni yang terdiri dari banyak
individu berupa polip dengan bentuk dasar seperti mangkuk dengan tepian berumbai atau tentakel. Ukuran polip umumnya sangat kecil tetapi ada yang besar mencapai beberapa sentimeter seperti Fungia.
Hanya karang yang bersimbiosis dengan
zooxantela yang mampu menghasilkan terumbu dan hidupnya hanya di daerah tropis.
Gambar 2 Anatomi umum polip dan kerangka karang skleraktinia (Veron 1993).
Setiap polip karang tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempeng dasar. Lempeng yang berdiri disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang. Menurut Timotius (2003) dan Suharsono (2004), bagian-bagian tubuh polip karang terdiri dari : 1. Mulut, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri. 2. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovaskuler). 3. Dinding polip yang tersusun dari tiga lapisan, yaitu : a. Ektoderma adalah jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel. Pada lapisan ini banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus (lendir) berfungsi untuk membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat dan sel knidoblast yang berisi sel nematosit. b. Endoderma adalah jaringan yang terdapat di lapisan dalam dimana sebagian besar selnya berisi sel alga (zooxantela) yang merupakan simbion karang. Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesentari. c. Mesoglea adalah jaringan berupa lapisan seperti jely yang terletak di antara ektoderma dan endoderma. Dalam lapisan jely terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam sel otot.
Gambar 3 Jaringan-jaringan dalam tentakel karang (Suharsono 2004). Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana yang telah berkembang dan berfungsi secara baik (Suharsono 2004 dan Wells 1956), yaitu : 1. Jaringan syaraf, tersebar di endoderma dan ektoderma serta mesoglea dan dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel penghubung yang bertanggung jawab memberi respon baik mekanik maupun kimia terhadap adanya stimulasi cahaya. 2. Jaringan otot, biasanya terdapat diantara jaringan mesoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon perintah jaringan syaraf. Sinyal dalam jaringan ini tidak hanya dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain. 3. Jaringan mesenterial filamen, berfungsi sebagai alat pencernaan dimana sebagian besar selnya berisi sel mukus yang berisi enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar jaringan ini dilengkapi sel silia yang halus. 4. Organ reproduksi, berkembang diantara mesentari filamen.
Pada saat tertentu
organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang, terutama untuk jenis- jenis karang yang hidup di daerah subtropis.
Untuk karang yang
hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun.
Dalam satu polip dapat
ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya (hermaprodit).
Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat pemasakan antara gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan. Karang memiliki kemampuan bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dilakukan dengan melibatkan peleburan sel sperma dan sel telur (fertilisasi). Sifat reproduksinya lebih komplek, karena selain terjadi fertilisasi juga melalui sejumlah tahap lanjutan yaitu pembentukan larva, penempelan, pertumbuhan dan pematangan).
Secara umum mekanisme fertilisasi terbagi dua jenis, yaitu
brooding/planulator dan spawning.
Reproduksi aseksual dilakukan dengan tidak
melibatkan peleburan sel jantan dan sel betina. Pada reproduksi ini polip atau koloni karang membentuk polip atau koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni (Partenogenesis dan pertunasan) dan pembentukan koloni baru (Polip bailout dan fragmentasi). Karang dapat menarik dan menjulurkan tentakelnya. Tentakel tersebut aktif dijulurkan pada malam hari, saat karang mencari mangsa. Sementara pada siang hari tentakel ditarik masuk ke dalam rangka. Di jaringan ektoderma tentakel memiliki sel penyengat (knidoblast), yang merupakan ciri khas semua hewan cnidaria. Knidoblast dilengkapi dengan alat penyengat nematosit beserta racun di dalamnya, berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sel penyengat bila tidak digunakan akan berada dalam kondisi tidak aktif, dan alat sengat berada dalam sel. Bila ada zooplankton atau hewan lain yang akan ditangkap, maka alat penyengat dan racun akan dikeluarkan.
Gambar 4 Lapisan tubuh karang dengan nematosit dan zooxantella di dalamnya. Tampak sel penyengat dalam kondisi tidak aktif dengan yang sedang aktif (Mojetta 1995).
Umumnya karang pembentuk terumbu bersimbiosis dengan alga mikroskopik bersel tunggal yaitu zooxantela. Zooxantela adalah alga dari kelompok dinoflagelata yang bersimbiosis dengan hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Jumlah zooxantela dalam tubuh inangnya relatif konstan, dengan kepadatan berkisar 0.6 – 2.0 x 10 6 sel/cm2. Jumlah ini tergantung dari spesies dan kedalaman karang. Zooxantela melalui proses fotosintesis memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya polip karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbondioksida (CO2), posfat dan nitrogen yang digunakan zooxantela untuk fotosintesis dan pertumbuhannya (Muscatine 1980). Suharsono (2004) menyatakan bahwa morfologi terumbu karang tersusun atas kalsium karbonat (CaCO3) dan terdiri atas: lempeng dasar, merupakan lempeng yang berfungsi sebagai pondasi dari septa yang muncul membentuk struktur tegak dan melekat pada dinding yang disebut epiteka.
Keseluruhan skeleton yang terbentuk
dari satu polip disebut koralit, sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk dari banyak polip dari satu individu atau koloni disebut koralum. Permukaan koralit yang terbuka disebut kalik. Septa dibedakan menjadi septa pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, tergantung dari besar-kecil dan posisinya.
Septa yang tumbuh hingga
mencapai dinding luar dari koralit disebut kosta. Pada dasar sebelah dalam dari septa tertentu umumnya dilanjutkan oleh suatu struktur yang disebut pali. Struktur yang berada di dasar dan di tengah koralit sering merupakan kelanjutan dari septa yang disebut kolumela (Gambar 5). KORALUM KOLUMELLA SEPTA KOSTA
KORALIT
LEMPENG DASAR KALIK
PALI KONESTEUM
Gambar 5 Lempeng dasar karang (Suharsono 2004).
Salah satu pemberian nama karang dapat dilakukan dengan melihat skeleton atau cangkang yang terbuat dari kapur. Koralit berdasarkan cara terbentuknya dapat dibedakan menjadi ekstra tentakular yaitu jika koralit yang baru terbentuk di luar dari koralit yang lama dan intra tentakular yaitu jika koralit yang baru terbentuk di dalam koralit yang lama. Cara pembentukan koloni karang yang demikian pada akhirnya membentuk berbagai bentuk koloni yang dibedakan berdasarkan konfigurasi koralit. Bentuk-bentuk tersebut yaitu hydnoporoid, dendroid, phaceloid, plocoid, flabellate, ceriroid dan meandroid (Ditlev 1980 dan Suharsono 1996). Pola septa berbeda dari spesies satu dengan yang lain dan seringkali digunakan sebagai alat identifikasi dan klasifikasi diantara spesies (Nybakken 1993). Berdasarkan atas kemampuannya membentuk terumbu, karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu hermatifik dan ahermatifik. Karang hermatifik dapat menghasilkan terumbu (reef) karena bersimbiosis dengan zooxantela yang hidup di dalam jaringan endoderma dan distribusinya hanya ditemukan di daerah tropis. Sedangkan karang ahermatifik adalah karang yang dapat menghasilkan terumbu karena mempunyai zooxantela dalam jaringannya dan hidupnya tidak tergantung pada cahaya. Karang jenis ini berkembang pada tempat yang tidak terbatas (Nybakken 1993 dan Dahuri 2003). Distribusi dan Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang Terumbu karang tersebar pada perairan dangkal dari daerah tropis hingga subtropis pada posisi 35 0LU dan 32 0 LS. Batas lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh (Ledd 1977 diacu dalam Sukarno 1983). Tiga daerah besar terumbu karang adalah Laut Karibia, Samudera Hindia dan Indo-Pasifik.
Terumbu karang di Laut Karibia tercatat 20 ge nera dan
pertumbuhannya mulai di bagian tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Jenis karang yang tumbuh di Laut Karibia sebagian besar berbeda dengan yang tumbuh di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik. Terbatasnya jumlah marga di Samudera Atlantik lebih disebabkan karena tingginya sedimentasi, rendahnya suhu pada musim dingin di bawah batas toleransi suhu
karang, adanya arus dingin dan upwelling.
Di Samudera Hindia sebaran karang
meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Teluk Oman sampai Samudera Hindia selatan.
Tercatat 50 genera dimana sebaran karang di
daerah ini lebih banyak ditentukan oleh adanya upwelling dan salinitas yang ekstrim yaitu 46 ‰ di Teluk Persia dan 26 ‰ untuk Samudera Hindia bagian Selatan. Terumbu karang di Samudera Pasifik meliputi Laut Cina Selatan sampai pantai barat Australia Barat, pantai Panama sampai pantai selatan Teluk Kalifornia. Karang tumbuh dengan baik di daerah Indo-Pasifik dan sampai saat ini tercatat sekitar 70 genera di daerah tersebut. Faktor alami adalah penyebab melimpahnya karang di kawasan Samudera Pasifik. Menurut Nybakken (1993), jumlah spesies dan genera terumbu karang yang terbesar berada di daerah Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya Kepulaua n Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian Utara Australia. Peta penyebaran terumbu karang di dunia ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 0 C. Faktor – faktor pembatas kelangsungan hidup karang antara lain : 1. Suhu, terumbu karang hidup di perairan dengan rata-rata suhu tahunan 19 0C – 20 0C, dengan pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25 0C – 30 0C (Grashkov dan Yakushova 1977; Randal 1983). Pada suhu rata-rata tahunan di bawah 18 0C pertumbuhan karang terhambat bahkan dapat mengakibatkan kematian. 2. Cahaya yang cukup harus ada untuk keperluan fotosintesis oleh simbiotik zooxanthela di jaringan karang.
Tanpa cahaya laju kemampuan fotosintesis
menurun, dengan demikian akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekret kalsium karbonat dan menghasilkan rangka. 3. Salinitas, karang hermatifik tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas normal (32 ‰ – 35 ‰). Secara fisiologis salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang, karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Sehingga karang jarang ditemukan hidup pada daerah-daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (Ditlev 1980 dan Nybakken 1993).
4. Kedalaman, terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan dengan kedalaman lebih dari 50 m. Sebagian besar karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 m, dimana pada kedalaman tersebut intensitas penetrasi cahaya sangat besar. Faktor kedalaman dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang, sehingga pada daerah keruh dan dalam tidak ditemukan terumbu karang (Ditlev 1980). 5. Sedimentasi, dapat menutupi permukaan karang. Sebagian besar karang dapat menghilangkan sedimen yang melekat dengan mengikatnya menggunakan mukus dan melepaskannya dengan pergerakan silia. Karang juga umumnya tidak dapat bertahan dengan sedimentasi yang berat, dimana silianya bekerja keras untuk membersihkan mukus yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makan mereka. Selain itu sedimentasi pada perairan menyebabkan kekeruhan sehingga keberadaan cahaya untuk fotosintesis menurun jumlahnya dan zooxantela sulit menghasilkan makanan bagi jaringan karang. 6. Pergerakan massa air; berupa gelombang dan arus yang berperan dalam pertumbuhan karang, yaitu dengan membawa oksigen terlarut dan makanan. Selain itu gelombang dan arus dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel dan yang masuk ke dalamnya. Oleh karena itu karang yang tumbuh di daerah ombak dan arus kuat lebih berkembang baik diba ndingkan di daerah yang tenang dan terlindung.
Formasi dan Zonasi Terumbu Karang Perubahan formasi terumbu karang terjadi sepanjang waktu. Diawali dengan pulau karang atau pulau datar tropis yang baru dihasilkan oleh batas daratan dan berubah secara perlahan sepanjang ribuan tahun dari fringing reef , ke barrier reef menjadi atoll dan akhirnya menjadi terumbu yang punah seperti gunung laut atau guyot. Pulau karang atau pulau datar, berasal dari terumbu karang yang tumbuh dari bawah ke atas sampai permukaan kemudian terbentuk pulau karang, seperti terdapat
di Kepulauan Seribu.
Umumnya pulau karang ini akan berkembang ke arah
horisontal atau vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal.
Gambar 6 Tingkatan formasi karang (Andersen 2003).
Terumbu karang tepi (fringing reef) merupakan terumbu karang yang terbentuk di sepanjang tepi pantai dari daratan atau pulau. Hal ini terjadi karena hewan karang pembangun terumbu adalah salah satu dari sebagian kecil organisme laut yang dapat bertahan hidup di perairan tropis yang hangat dengan kandungan nutrien yang sedikit. Dapat mencapai kedalaman 40 m dengan peretumbuhan ke atas dan ke arah luar laut terbuka. Proses perkembangan terumbu ini ditandai dengan adanya ban atau bagian endapan karang mati di sekeliling pulau. Terumbu karang penghalang (barrier reef) terbentuk dari pulau yang berhubungan langsung dengan laut. Diawali dengan tenggelamnya permukaan pulau dan tidak ada pembentukan pulau vulkanik, komposisi terumbu karang bertambah dan terjadi erosi pada permukaan daratan atau pulau. Formasi terumbu ini letaknya relatif jauh dari daratan atau pulau, mencapai 0,5 – 2 km dengan dibatasi kedalaman perairan mencapai 75 km. Kadang-kadang terumbu ini berbentuk laguna. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau besar atau benua dan membentuk pulau karang yang terputus-putus.
Atol terbentuk ketika pulau benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut tetapi terumbu karang terus tumbuh ke arah atas. Atol umumnya berbentuk cincin yang merupakan proses lanjutan dari karang penghalang. Material terumbu yang tererosi dapat bertumpuk dengan bagian atas terumbu lainnya, menghasilkan suatu area di bawah permukaan laut dan pulaunya disebut cay. Cay dapat menjadi sangat stabil (karena seringkali terdapat tumbuhan air) yang memberikan bangunan pulau yang permanen. Cay juga dapat menjadi tidak stabil dan bergerak menjauhi karang atau menghilang. Kedalaman rata-rata atol sekitar 45 m. Jenis terumbu ini banyak ditemukan di Pasifik Selatan dan Indonesia Timur. Zonasi terumbu dikendalikan oleh kemampuan beberapa jenis karang yang mampu beradaptasi terhadap kondisi tingkat cahaya yang tinggi dan atau rendah. Bentuk umum dari pembentukan terumbu tergantung pada (1) waktu relatif tingginya permukaan laut dibandingkan dengan kemampuan akresi ke atas dari terumbu, dan (2) lamanya tinggi permukaan laut per satuan waktu melawan kemampuan terumbu untuk berjuang dalam kondisi tersebut (Birkeland 1997). Tetapi sebenarnya sangat sulit membuat pola zonasi untuk terumbu yang dapat digunakan secara umum, karena adanya tipe-tipe habitat yang berbeda serta luasnya dan kehadirannya dalam terumbu bervariasi di daerah geografis yang berbeda. Pola zonasi, walaupun rumit, bersifat tetap untuk atol, dan ini digunakan sebagai petunjuk umum. Diawali dari bagian yang menghadap ke arah datangnya angin (windward), zona pertama terumbu karang adalah lereng terluar yang menghadap laut (Reef slope = outer seaward slope). Pada kedalaman kurang dari 15 m karang tumbuh dengan subur.
Pada permukaan air tedapat batas terumbu yang menghadap ke arah
datangnya angin (Reef front = windward reef margin), daerah ini juga mendukung pertumbuhan yang subur dari karang pembentuk terumbu yang dominan, seperti Karang bercabang dari jenis Acropora, dan disini perkembangan terumbu karang sangat cepat. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang optimal. Di belakang zona ini terdapat zona batas antara laut yang dalam dengan laut yang dangkal (reef edge). Daerah ini merupakan punggung bukit yang bebas dari karang dan ditutupi oleh alga koralin.
Daerah ini juga menerima pengaruh yang kuat dari energi gelombang,
sehingga tidak terdapat organisme apapun kecuali alga koralin pembentuk lapisan kulit yang keras. Di sepanjang zona ini akan terdapat beberapa saluran-saluran air yang menghubungkannya dengan daerah dalam zona.
WIND
Gambar 7 Profil umum zonasi terumbu pada tipe terumbu karang tepi (fringing reef) (Barnes 1980). Di belakang zona reef edge terdapat zona dataran terumbu (reef flat) yang sangat dangkal. Daerah ini merupakan daerah yang kompleks dengan berbagai faktor lingkungan seperti suhu, kekeruhan, dan terbuka di udara bebas. Faktor-faktor ini dilengkapi dengan kedalaman yang berbeda-beda dan berbagai tipe substrat (batu karang, pasir), membentuk sejumlah besar habitat yang menyebabkan zona ini terbagi menjadi beberapa bagian. Daerah ini juga merupakan salah satu daerah yang kaya akan spesies terumbu.
Pencemaran Logam Berat Menurut Palar (2004), istilah logam berat digunakan untuk menyatakan pengelompokan ion-ion logam ke dalam tiga kelompok biologi dan kimia (biokimia).
Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Logam-logam yang
dengan mudah mengalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur oksigen (oxygenseeking metal), (2) Logam-logam dengan mudah mengalami reaksi kimia bila
bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metal), dan terakhir (3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti (ion pengganti). Air sering tercemar oleh komponen-komponen anorganik, diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Logam berat merupakan unsur kimia yang akhir-akhir ini ramai dituding sebagai bahan pencemaran air. Menurut Palar (2004), pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan hidup biasanya berasal dari limbah yang memiliki daya racun tinggi, seperti limbah kimia (berupa persenyawaan maupun dalam bentuk unsur ionisasi) yang mempunyai bahan aktif dari logam berat. Daya racun yang dimiliki oleh bahan aktif dari logam berat akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim dalam proses fisiologis dan metabolisme tubuh hingga terputus. Di samping itu bahan beracun dari senyawa kimia juga dapat terakumulasi atau menumpuk dalam tubuh sehingga timbul gejala keracunan kronis. Bryan (1976) diacu dalam Supriharyono (2002) menyatakan, secara umum sumber-sumber pencemaran logam berat di laut dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber-sumber yang bersifat alami dan buatan. Logam berat yang masuk ke perairan laut secara alami berasal dari tiga sumber, yaitu: masukan dari daerah pantai (coastal supply) yang berasal dari sungai dan hasil abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari laut dalam (deep sea supply) meliputi logam-logam yang dibebaskan dari aktivitas gunung berapi di laut dalam dan partikel atau sedimen akibat proses kimiawi, serta masukan dari lingkungan dekat daratan pantai (termasuk logam yang ditransportasi ikan dari atmosfer sebagai partikel debu).
Adapun sumber buatan
(man-made) adalah logam-logam yang dibebaskan oleh proses industri logam dan batu-batuan. Beberapa jenis logam berat yang sering mencemari lingkungan antara lain adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Khromium (Cr) dan Nikel (Ni) (Palar 2004). Menurut Bryan (1976) diacu dalam Supriharyono (2002), ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan masalah pencemaran air, walaupun beberapa diantara unsur-unsur logam tersebut merupakan unsur esensial bagi kehidupan organisme, namun dalam jumlah berlebih bersifat
racun dan menghambat kerja enzim. Jenis-jenis logam tersebut antara lain adalah Aluminium (Al), Antimony (Sb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr +6), Kobalt (Co), Copper (Cu), Iron (Fe), Lead (Pb), Mangan (Mn), Merkuri (Hg), Molybdenum (Mo), Nikel (Ni), Selenium (Se), Silver (Ag), Tin (Sn), Vanadium (V), dan Zinc (Zn). Logam berat biasanya menimbulkan efek khusus pada makhluk hidup. Semua logam berat dapat menjadi bahan beracun jika masuk ke dalam tubuh organisme, namun demikian sebagian tetap dibutuhkan dalam jumlah tertentu. Bila kebutuhan dalam jumlah tertentu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme tersebut.
Karena tingkat kebutuhannya sangat
dipentingkan maka logam-logam tersebut juga dinamakan sebagai logam atau mineral esensial tubuh, seperti Zn, Mn, Co, Cu dan Fe. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya racun dari logam berat yang terlarut dalam badan perairan, yaitu : 1. Bentuk logam dalam air (senyawa organik atau senyawa anorganik baik yang tidak dapat larut maupun yang dapat larut). Senyawa organik (yang persisten) dapat larut dalam badan perairan sehingga dengan mudah dapat diserap oleh biota perairan. 2. Keberadaan logam-logam lain dalam badan perairan menyebabkan logam tertentu menjadi sinergenis atau antagonis. Logam berat yang sinergenis bila bertemu pasangannya akan membentuk persenyawaan yang dapat berubah fungsi menjadi racun yang berbahaya (daya racun berlipat ganda). Sebaliknya, logam berat yang antagonis bila bersenyawa dengan pasangannya akan berkurang daya racunnya. 3. Fisiologis dari biota (organismenya). Besar kecilnya jumlah logam berat yang terakumulasi dalam tubuh akan mempengaruhi daya racun yang ditimbulkan oleh logam berat. Proses fisiologi juga mempengaruhi peningkatan kandungan logam berat dalam badan perairan. Ini disebabkan karena ada organisme yang mempunyai toleransi tinggi (mampu menetralisir logam berat sampai konsentrasi tertentu) dan toleransi rendah (tidak mampu menetralisir logam berat). 4. Kondisi biota, biasanya berkaitan dengan fase-fase kehidupan yang dilalui oleh biota tersebut.
Akumulasi Logam Berat pada Biota Laut Mekanisme keracunan logam berat pada biota laut terbagi atas dua fase, yaitu fase kinetik dan fase dinamik. Fase kinetik meliputi proses-proses biologi biasa seperti; penyerapan, penyebaran dalam tubuh, metabolisme dan proses pembuangan atau eksresi.
Adapun fase dinamik meliputi semua reaksi-reaksi biokimia yang
terjadi dalam tubuh, berupa katabolisme dan anabolisme yang melibatkan enzimenzim. Pada fase kinetik, toksikan (bahan-bahan beracun) dan atau protoksikan (bahan-bahan yang mempunyai potensi menjadi racun), akan mengalami proses sinergenis atau sebaliknya proses antagonis.
Proses sinergenis merupakan proses
atau peristiwa terjadinya penggandaan atau peningkatan daya racun yang sangat tinggi, sedangkan proses antagonis merupakan proses atau peristiwa pengurangan dan bahkan mungkin penghapusan daya racun yang dibina oleh suatu zat atau senyawa. Fase dinamik merupakan proses lanjut dari fase kinetik. Pada fase dinamik ini bahan beracun yang tidak mampu dinetralisir oleh tubuh organisme akan bereaksi dengan senyawa-senyawa hasil dari biosintesa seperti protein, enzim, asam inti dan lemak. Hasil reaksi yang terjadi antara bahan beracun dengan produk biosintesa ini bersifat merusak terhadap proses-proses biomolekul dalam tubuh.
Ma’ruf (2007)
melakukan penelitian pada ikan beronang di wilayah pesisir Bontang Kuala, Kaltim dan mengamati tiga bagian tubuh ikan yaitu hati, insang dan daging. Konsentrasi logam Pb tertinggi ditemukan dalam organ hati (47,60 mg/kg), insang (30,35 mg/kg) dan daging tubuh (17,35 mg/kg). Sementara itu untuk konsentrasi logam Cd tertinggi di temukan pada organ hati (3,09 mg/kg), insang (2,69 mg/kg) dan daging tubuh (2,07 mg/kg). Menurut Palar (2004), keberadaan logam-logam berat dalam suatu perairan dapat mengakibatkan kematian terhadap beberapa jenis biota perairan, keadaan ini akan terjadi bila konsentrasi kelarutan dari logam berat pada badan perairan tersebut cukup tinggi. Tingkat kelarutan tersebut dapat dikatakan tinggi bila, jumlah yang terlarut dalam badan air melebihi jumlah kelarutan normalnya.
Melalui cara yang
rumit dan sangat panjang, dalam jumlah yang sedikit logam berat juga dapat membunuh organisme hidup.
Proses itu diawali dengan peristiwa penumpukan
(akumulasi) logam berat dalam tubuh biota. Lambat laun penumpukan logam berat yang terjadi akan melebihi daya toleransi dari biotanya. Keadaan ini awalnya akan menyebabkan kerusakan jaringan hingga nantinya akan menjadi penyebab kematian pada biota. Porites sebagai Pencatat Dampak Lingkungan Terumbu karang di seluruh dunia merupakan objek yang paling intensif mengalami kerusakan. Sebagian besar daerah terumbu karang merupakan pendukung utama dalam menopang kehidupan manusia, tetapi keberadaan mereka terancam oleh aktivitas ekonomi yang mereka dukung.
Dua faktor antropogenik yang turut
menyumbangkan penurunan terumbu karang adalah eutrofikasi dan kerusakan akibat akivitas manusia. Dampak polutan jelas sangat merugikan bagi lingkungan perairan, misalnya penurunan keanekaragaman, penurunan produksi dan kematian
karang.
Scott (1990) dan Esslemont et al. (1999) mengatakan bahwa hewan karang sangat berguna sebagai indikator untuk melihat tingkat polusi yang terjadi pada suatu lingkungan karena dapat menggambarkan keberadaan logam lebih dari ratusan tahun. Karang dari genus Porites, dapat berfungsi sebagai pencatat dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan dan industri (Fallon et al. 2002; David 2003). Suatu daerah dengan dominasi karang dari genus Porites dapat menjadi dasar identifikasi kerusakan lingkungan akibat pengaruh aktivitas manusia. Hal ini berkaitan dengan tipe pertumbuhannya yang berbentuk masif dan ukuran polipnya yang sangat kecil sehingga mampu bertahan dalam kondisi perairan yang ekstrim. Selain logam berat, dampak sedimentasi juga dapat menjadi penyebab kematian karang.
Sedimen dapat mempengaruhi kehidupan karang melalui beberapa cara.
Penumpukan sedimen di atas koloni karang dapat membunuh jaringan dan sedimentasi yang berlebihan sering menimbulkan kematian.
Karang memiliki
beberapa mekanisme untuk membersihkan sedimen dari jaringannya, diantaranya dengan terus menerus mengambil air dan mengalirkannya melalui jaringan, menahan partikel-partikel yang menyebabkan sedimentasi dengan menggunakan silia dan gerakan tentakel serta mensekresi mukus (Stafford-Smith dan Ormond 1992).