TINJAUAN PUSTAKA Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional berlandaskan empat konsep, yaitu sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Tidak ada individu dan sistem yang berfungsi secara independen, tetapi dipengaruhi atau pada gilirannya mempengaruhi individu atau, sistem lain (Winton 1995), dan mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial, yang merupakan sumber utama struktur masyarakat. Konsep struktural fungsional : (a) Setiap subsistem, elemen, atau individu dalam sebuah sistem mempunyai peran dan kontribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan; (b) Adanya saling keter-kaitan antar subsistem, elemen, atau individu dalam sebuah sistem (interdepedensi); (c) keterkaitan antar subsistem, elemen, atau individu dicapai melalui konsensus dari pada konflik; (d) untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan dan integrasi antar subsistem, elemen, atau individu; dan (e) untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan perubahan secara evolusioner (Megawangi 2005). Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan, dan senantiasa menuju keseimbangan. Struktur sosial meliputi bagian dari sistem, sedangkan konsep keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu kemampuan suatu sistem untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga (Winton 1995). Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga, dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat adalah penekanan pada pendekatan struktural fungsional. Prasyarat dalam teori struktural fungsional menjadikan keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga. Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Adanya struktur atau strata dalam keluarga (sebagai sistem kesatuan), dimana masing-masing individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga (Megawangi 2005) : 1. Berdasarkan status sosial, keluarga nuklir biasanya distruktur oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga), dan
anak-anak (balita, sekolah, remaja, dewasa); ada hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda. 2.
Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran instrumental (oleh suami/bapak) dan ekspresif (oleh istri/ibu) dalam keluarga akan membuat keluarga tidak seimbang. Diferensiasi peran diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan.
3. Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggo ta dalam keluarga. Struktural Fungsional menurut Talcott Parson (Hamilton 1983), ekonomi (adaptasi, A) merupakan salah satu dari beberapa sub-sistem masyarakat, yaitu pencapaian tujuan (G), integrasi (I) untuk mencapai keseimbangan, dan pola pemelihraan dan manajemen (L), mempunyai satu sistem nilai dan kepercayaan. Institusi khusus yang berfungsi dalam pemeliharaan laten adalah agama, ilmu pengetahuan, keluarga dan pendidikan. Menurut Parsons, ekonomi merupakan subsistem dari sistem sosial yang tidak dapat mencukupi diri sendiri dalam cara persaingan bebas (laissez faire), tetapi memiliki ketergantungan pada tiga subsistem lainnya, G, I dan L. Berkenaan dengan setting tujuan politik (G), integrasi (I) dari sub sistem melalui hukum, norma dan peraturan lainnya untuk membangun sistem nilai yang dilembagaan secara kebudayaan (L). Pertukaran input - output Person disederhanakan dalam bentuk saling hubungan antara ekonomi (A) dan masing-masing dari tiga sub sistem lainnya G, I dan L dalam bentuk pertanyaan : (a) bagaimana tujuan kehidupan ekonomi disusun ?, melibatkan interaksi antara perca-paian tujuan subsistem dari ekonomi (Ag) dan masyarakat yang lebih luas; (b) bagaimana sumberdaya fisik dan finansial harus berhubungan dengan kehidupan ekonomi yang diperoleh ?,
melibatkan interaksi antara adaptasi subsistem dari
ekonomi (A) dan masyarakat yang lebih luas; (c) Bagaimana nilai normatif diarahkan pada fungsional dari pembangunan ekonomi ?, melibatkan interaksi antara integrasi subsistem ekonomi (Ai) dan masyarakat yang lebih luas; dan (d) Bagaimana nilai kelembagaan dari ekonomi dapat dikembangkan ?, melibatkan
interaksi antara pola-pola pemeliharaan subsistem ekonomi (Al) dan masyarakat yang lebih luas. Prasyarat struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi (Levy dalam Megawangi 2005), meliputi : (1) diferensiasi peranan, yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku. Perilaku dan Sikap Teori yang mendasari strategi coping pada kajian ini adalah teori perilaku. Perilaku merupakan seperangkat perbuatan, tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Ahmadi (1999); Azwar (2003), berpendapat tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap; tindakan, atau tingkah laku merupakan kebiasaan bertindak (Arif, 1995). Sikap adalah tendensi atau kecenderungan awal yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya, dan biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama, dan komposisinya hampir selalu komplek. Sikap itu berbasis pada pendapat, sehingga pada masyarakat timbul hirarkhi sikap. Terbentuknya suatu sikap banyak dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Faktor dalam pribadi manusia (intern), dan interaksi sosial diluar kelompok (ekstern) sampai melalui alat-alat komunikasi (cetak, audio dan audio visual), merupakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap. Tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap (Ahmadi, 1999; Azwar, 2003). Sikap dan tingkah laku ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Agar sikap dan tindakan konsisten, terdapat satu faktor psikologis lain yang harus ada, yaitu niat, dan menurut teori Fishbein dan Azjen (1975), tanpa ada niat suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikapnya sangat kuat. Sikap dan perilaku akan konsisten apabila ada kondisi : (a) spesifikasi sikap dan perilaku, (b) relevansi sikap terhadap perilaku, (c) tekanan normatif, dan (d) pengalaman. Hubungan pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu
kegiatan tidak dapat dipisahkan (Fishbein dan Ajzen, 1976). Sikap dan tindakan mereka akan beradaptasi terhadap perilaku dan budaya yang berlaku pada waktu atau periode mendatang, namun perlu kajian bersifat longitudinal. Perubahan sikap tergantung dari kebutuhan, dan menurut teori fungsional Kazt (1960), Smith, Buner, dan White (1954) dalam Gunawardani (2002), sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar, agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan, dan menurut kebutuhan, sehingga perubahan sikap dan perilaku akan terjadi terusmenerus. Pengetahuan sebagai domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang, dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan, senada Notoatmodjo (2003). Strategi coping yang dilakukan keluarga petani akan sangat menentukan keberlangsungan fungsi keluarga Teori Pilihan Rasional Strategi coping dianggap sebagai ‟turunan‟ secara langsung prinsip rasionalitas.
Konsep
Collemen
pendukung
teori
pilihan
rasional
yang
memperhatikan setting sosial tempat tindakan sosial terjadi di luar individu. Menurut Colemen, pertukaran di dalam kehidupan ekonomi tidak selalu tetap, pertukaran berada dalam suatu setting di mana terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumberdaya antara aktor-aktor (Abell 2000). Konsep utama Colemen adalah aktor dan sumberdaya, berinteraksi dan menentukan organisasi sosial berkisar sekitar transaksi antara siapa yang memiliki dan siapa yang mencari sumberdaya (Turner, 1998). Langkah awal yang penting dalam teori pilihan rasional adalah distribusi kontrol sumberdaya antara aktor. Teori pilihan rasional harus digabungkan dengan teori lain agar dapat digunakan dalam teori-teori sosiologi (Abell 2000). Menurut Collemen (1994), penam bahan kepuasan dengan meningkatkan kendali, modal sosial, hak sosial yang asli dan institusi. Keempat elemen pilihan rasional menunjukan perhatian Collemen pada faktor di luar individu dan keuntungan personal sebagai tujuan tindakan. Faktor kritis teori pilihan rasional neoklasik Weber terlalu menekankan pada individu dan terlalu minimalis (Abell 2000), terlalu terfokus pada pilihan rasional atau semua tindakan manusia harus rasional. Teori pilihan rasional Collemen menjelaskan tindakan ekonomi manusia menggunakan alat-alat analisis yang mencakup dimensi yg lebih luas dari biasanya yang digunakan dalam tradisi neoklasik Weber. Teori ini lebih berkonsentrasi pada aspek sosial dibandingkan keluaran individual dari tingkah laku individual. Pertanyaan kritis kepada penganut tradisional neoklasik meningkat oleh teori ini,
memberi asumsi bahwa tiap individu berbuat rasional ekonomi, akankah keluaran agregat selalu „rasional‟ atau dapat diinginkan ? Colemen
(1994) dalam
Dharmawan (2001), menegaskan bahwa inti teori ini dibangun oleh asumsi bahwa rasionalitas individu memiliki roda preferensi kepuasan dan maksimalisasi utilitas. namun, penegasan teori ini adalah keberadaan organisasi sosial dan lembaga sosial – elemen yg mengarahkan pengaturan tingkah laku manusia, tindakan ekonomi dan hubungan sosial dalam pencapaian kebutuhan keinginan. Elemen ini, yg merupakan konsentrasi teori pilihan rasional, kurang mendapatkan perhatian dari orientasi ekonomik neoklasik. Menurut Colemen, terdapat 4 elemen yg membuat substansi teori pilihan rasional berbeda dari paradigma neoklasik, yaitu : 1. Pencapaian utilitas dengan pemberian kontrol. Menurut asumsi neoklasik, individu ikut dalam pertukaran jika kontrol diperoleh atas sesuatu yg disukainya apakah akan diberikan. Teori pilihan rasional mengatakan bahwa terdapat kemungkinan individu memperoleh utilitas dengan memberikan kontrol atas sumberdaya secara uniteral. Contohnya, seseorang membiarkan dirinya
dipengaruhi
oleh
orang
lain,
atau
lebih
percaya
kepada
keputusan/pengadilan lain dibandingkan dikotanya sendiri. Tindakan ini dilakukan hanya jika pelaku percaya akan keuntungan pada seseorang yang akan memberikan lebih besar jika dia tidak melakukan tindakan. 2. Kapital (modal) social, konsep ini merujuk pada berbagai aspek organisasi sosial informal yg membentuk sebuah sumberdaya produktif untuk satu pelaku atau lebih.
Individu-individu mungkin secara rasional berinvestasi dalam
kapital sosial melalui bentuk persahabatan dan perkenalan jika terdapat harapan jika dengan berinvestasi, seseorang akan banyak memperoleh efek keuntungan dimasa yg akan datang. Kapital sosial ini akan sangat berguna, namun, tergantung sifat struktur sosial, khususnya dalam kedekatan dengan jaringan sosial, keberlanjutan dari relasi sosial, dan relasi multiplex. Ide relasi multiplex mungkin mensejajarkan dengan pemahaman akan keberadaan hubungan erat sebagai akibat dari banyaknya kontak atau koneksi sosioekonomik antar dindividu yg berinteraksi dalam beragam bidang dan aktivitas. 3. Asal hak-hak sosial dan distribusinya. Tindakan rasionalitas dalam berbagai latar belakang sangat tergantung pada distribusi hak-hak. Dalam kerangka kerja ini, seseorang dapat memakai tradisi konflik yg dikembangkan oleh pemikiran pelajar marxian sebagai alat analisis untuk membantu visualisasi kesetaraan alokasi sumberdaya dan distribusi antara individu yg berinteraksi satu sama lain dalam lingkup sosio-ekonomik.
4. Kelembagaan. Colemen mengkritik ekonomik neoklasik sebagai „tanpa lembaga‟ dimana pasar sempurna adalah satu-satunya lembaga yg diakui oleh kerangka kerja pemikiran neoklasik. Dalam arah yg berbeda tetapi masih satu garis dengan argumen ini, Granovetter menyatakan bahwa lembaga ekonomi tidak secara otomatis timbul sebagai respon dari kebutuhan ekonomi. Lembaga ekonomi ini di bangun oleh individu-individu yg merupakan obyek tindakan yg keduanya difasilitasi dan didukung oleh struktur (penyusunan lembaga) dan sumberdaya yg tersedia dalam jaringan sosial di dalamnya. Hal
yang paling sentral dalam teori ini adalah peranan lembaga yg
mengatur tindakan ekonomi manusia dan relasi sosial.
Perkembangan konsep
kapital sosial dalam tradisi dan jaringan sosial informal telah dipandang sebagai sebuah diskursus baru dan penting dalam sosiologi dan ekonomi. Penggunaan bukti ditemukan dlam studi Geertz pada ‟assosiasi kredit rotasional informal‟ (Colemen 1992 dalam Dharmawan, 2001), menunjukkan nilai positif dari kapital sosial untuk perkembangan ekonomi dalam masyarakat tadisional atau negara berkembang. Dalam studi ini, penegakan sosial tercermin dalam aturan dan norma yg memelihara organisasi asosiasi dapat melayani kondisi fungsi kebijaksanaan penggunaan dan pembayaran ulang kredit. dengan mengerjakan ini, aturan dan norma ditambahkan untuk efisiensi dan efektivitas penggunaan skema kredit dan menyumbang perbaikan standar hidup pemakai kredit. Pengakuan bias individual dan kekurangan rasa relasi–sosial yg mendalam dalam tradisi neoklasik sekarang telah mengarahkan pelajar ekonomik untuk membuat sebuah modifikasi dalam formulasi konsep ekonomi baru.
Dengan
menggunakan konsep kapital-sosial dan sitasi Ben-Porath dalam Colemen (1992), menunjukkan ide „ koneksi-K‟ sebagai sebuah realita sosial penting yg secara nyata mempengaruhi tidakan ekonomik manusia dalam bidang ekonomi riil. Menurut ide ini, konsep „koneksi-F‟ yang disusun oleh interrelasi komplek antara keluarga, teman dan perusahaan mampu secara nyata mempengaruhi pertukaran aktivitas. Contoh lain, studi Lin dalam Colemen (1992) dalam Dharmawan (2001) menunjukkan bagaimana orang menggunakan sumberdaya sosial sebagai sebuah alat untuk pemuasan
tujuan
ekonomi,
khususnya
dalam
pencapaian
perbaikan
pekerjaan/jabatan. Dapat disimpulkan, teori pilihan rasional menyarankan lembaga sosial, aspek yg selama ini dilupakan tetapi secara sustansial mempengaruhi tindakan ekonomi manusia, harus dipertimbangkan secara integral dalam pemikiran ekonomi. Pertimbangan ini, asumsi dasar ekonomik neoklasik- usaha individu untuk memaksimalkan utility seringkali dimodifikasi. Semua yg telah disebutkan di atas
telah masuk akal ke agar pemikiran pilihan rasional dipertimbangkan lebih realistik dan sebuah kerangka kerja yg lebih relevan menyediakan basis yg lebih baik ke analisis dari studi. Keluarga Keluarga
adalah
suatu
kelompok
sosial
yang
memiliki karakteristik-
karakteristik mempunyai tempat tinggal bersama, mengatur ekonomi bersama, melakukan reproduksi, termasuk didalamnya orang-orang dewasa dari kedua jenis kelamin, paling sedikit dua orang yang memelihara hubungan seksual yang dibenarkan secara sosial, dan memiliki satu atau lebuh anak, baik anak sendiri maupun mengadopsi, pasangan seksual yang hidup bersama sebagai suami istri (Murdock dalam Hutter 1981). Keluarga yaitu suatu kelompok sosial yang memiliki karakteristik hubungan kekeluargaan (darah dan perkawinan) diantara anggotanya (Zastrow 2000), ia
mengembangkan pengertian keluarga menjadi sekelompok
orang yang dihubungkan oleh perkawinan, keturunan, atau adopsi, tinggal bersamasama dalam rumah tangga yang sama. Defenisi keluarga tersebut di atas mengabaikan tempat tinggal bersama dan pengaturan ekonomi yang bersama. Hal ini cukup beralasan karena dalam beberapa kasus ada keluarga-keluarga yang tidak tinggal bersama untuk beberapa waktu dan mengatur ekonomi sendiri-sendiri. Menurut Mattessich & Hill dalam Zeitlin et al, (1995), keluarga merupakan kelompok-kelompok yang dihubungkan oleh pertalian kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan-hubungan emosional yang dekat dan mereka memperlihatkan empat sistemik yang berorientasi ke masa depan, yakni interdependensi/saling ketergantungan yang intim, memelihara batasbatas yang selektif, kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, serta melaksanakan tugas-tugas keluarga. Hal penting dalam konteks penelitian ini adalah kemampuan keluarga dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan (adaptasi) yang menjadi salah satu sistemik berorientasi ke depan. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan menentukan eksistensi suatu keluarga, sebab merupakan suatu ketahanan yang diperlukan agar keluarga tetap dapat bertahan hidup. Perubahan itu sendiri akan senantiasa terjadi selama hidup. Peristiwa kehidupan (live events) akan senantiasa dihadapi oleh setiap keluarga sepanjang hidup. Keluarga yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan peristiwa perubahan akan menemukan bayak masalah.
Ketahanan Fisik Keluarga Ketahanan keluarga merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik–material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya
untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan
bathin, definisi UU no. 10 tahun 1992 (BKKBN, 1992). Karakteristik atau komponen ketahanan keluarga antara lain dorongan berprestasi, komitmen terhadap keluarga, komunikasi, orientasi agama, hubungan sosial, penghargaan, peran yang jelas dalam keluarga, dan waktu kebersamaan. Perbandingan unsur, karakteristik atau komponen ketahanan keluarga dari berbagai sumber disajikan oleh Sunarti (2001) pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Unsur Ketahanan Keluarga Stinnett & Defrain (1985)
Schumm (1986)
1. Memiliki keuntungan sosial ekonomi, 2. Status sosial, 3. Kemampuan menyediakan sumberdaya pendidikan, sosial dan ekonomi bagi anak, 4. Peran model pendidikan anak dalam masyarakat, 5. Kualitas hubungan suami – istri, 6. Tingkat interaksi antara orang tua dan anak Komponen Ketahanan Keluarga
1. Komitmen, 2. Waktu kebersamaan, 3. Apresiasi, 4. Penanggulangan krisis, 5. Kesejahteraan spiritual, 6. Komunikasi
1. Waktu kebersamaan – menyenangkan & suportif, 2. Perspektif positif, 3. Komitmen, 4. Harga diri, 5. Keterbukaan dan keahlian komunikasi, 6. Sistem nilai
Parson 1. Adaptasi, 2. Penetapan tujuan, 3. Integrasi, 4. Latency
Achord et.al (1986), 1. Komunikasi, 2. Kesejahteraan, 3. Komitmen, 4. Penghargaan, 5. Waktu kebersamaan, 6. Pengelolaan masalah
McCubbin et.al (1997)
Hill (1971)
Scanzoni (1971)
1. Ikatan kekerabatan yang kuat, 2. Orientasi kerja yang kuat, 3. Kemampuan adaptasi terhadap peran keluarga, 4. Orientasi prestasi yang kuat, 5. Orientasi agama yang kuat
Krysan & Zill (1990); 1. Komunikasi, 2. Dorongan berprestasi, 3. Komitmen keluarga, 4. Orientasi agama, 5. Hubungan sosial, 6. Kemampuan adaptasi, 7. Penghargaan, 8. Peran jelas, 9. Waktu kebersamaan
1. 2. 3. 4. 5.
Komunikasi, Penghargaan, Kesadaran, Keunggulan, Kesehatan
dalam Sunarti (2001)
Ukuran ketahanan keluarga melalui pendekatan subsistem input, proses, dan out put dengan uji validitas konstruk menggunakan analisis faktor (eksploratori dan confirmatory) menghasilkan tiga peubah laten, yaitu ketahanan fisik, ketahanan sosial, dan ketahanan psikologis (Sunarti, 2001). Ketahanan fisik meliputi sumberdaya, masalah keluarga, penanggulangan masalah keluarga, dan kesejahteraan fisik (Tabel 2). Ketahanan sosial meliputi
sumberdaya fisik, masalah
keluarga, penanggulangan masalah keluarga, dan kesejahteraan sosial bersifat non fisik. Ketahanan psikologis meliputi penanggulangan masalah keluarga bersifat non fisik dan kesejahteraan psikologis keluarga. Komponen proses, seperti pengelolaan masalah, adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency, serta komponen kesejahteraan (ekonomi, sosial, psikologi) sebagai tujuan keluarga. Tabel 2. Indikator, item, subitem faktor ketahanan fisik keluarga Indikator Sumberdaya Fisik
Item - Pendapatan - Asset keluarga
Subitem - Pendapatan/kapita/bulan - Kepemilikan rumah, tanah/sawah, kendaraan
Masalah Keluarga Fisik
- Ekonomi
- Dukungan keluarga - Dukungan sosial
- Kesulitan memenuhi pangan, pengobatan, biaya pendidikan, keuangan - Gangguan kesehatan, suami/anak sakit, celaka - Suami kehilangan pekerjaan - Penaggulangan kesulitan pangan, ekonomi, pengobatan - Peran keluarga besar meringankan pekerjaan RT, membantu kesulitan ekonomi - Peran tetangga/lingkungan meringankan pekerjaan RT, membantu kesulitan ekonomi
- Pangan - Sandang - Papan - Kesehatan - Pendidikan
- Frekwensi makan utama, lengkap dalam sehari - Frek., jumlah baju yang dibeli dalam setahun - Luas rumah/kapita, kepemilikan k. mandi, WC - Tempat keluarga berobat jika sakit, perawatan - Kemampuan menyekolahkan anak usia sekolah
Penanggulangan Masalah Keluarga Fisik Kesejahtera an Fisik
- Sakit - Kehilangan - Langsung
Keberfungsian Keluarga Ogburn dalam Zastrow (2000) mengidentifikasi tujuh fungsi keluarga, yaitu: 1) fungsi ekonomi/produksi, 2) fungsi perlindungan, 3) fungsi pendidikan, 4) fungsi sebagai pusat kegiatan religius, 5) fungsi rekreasional, 6) fungsi pengakuan terhadap status, dan 7) fungsi afeksional. Menurut Ogburn pada masyarakat Amerika fungsi-fungsi keluarga tersebut telah berubah sejak zaman industrialisasi dimana teknologi telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada sebagian besar keluarga, sumberdaya finansial sekarang di peroleh dari luar rumah. Keluarga tidak lagi berproduksi sehingga memiliki fungsi ekonomi. Fungsi perlindungan juga telah hilang dan sekarang digantikan oleh institusi-institusi seperti polisi, rumah sakit, perusahaan asuransi, dan klinik-klinik perawatan. Fungsi pendidikanpun menurun tajam. Sekolah, day-care centres, dan head start programmers mengambil alih fungsi ini dari keluarga. Sekarang keluarga tidak lagi menjadi pusat kegiatan religius. Institusi-institusi agama dan tempat-tempat ibadah menggantikan fungsi ini. Fungsi rekreasional juga sudah berkurang dengan tajam. Setiap anggota keluarga
pada saat ini lebih suka mengikuti kelompok-kelompok rekreasional di luar rumah. Fungsi pengakuan status juga sudah berkurang. Sekarang, individu-individu menerima pengakuan melalui prestasi mereka sendiri dalam organisasi-organisasi di luar keluarga, seperti di sekolah, tempat kerja, dan di kelompok sosial serta religius. Akan tetapi, keluarga masih tetap memiliki fungsi afeksional. Anggota keluarga memperoleh pemuasan secara emosional dan sosial masih dari keluarga. Banyak kebutuhan akan persahabatan juga dapat dipenuhi dalam keluarga. Pengamatan Ogburn tidak mustahil terjadi pada masyarakat industrialisasi lainya, termasuk pada masyarakat yang sedang mengalami transisi, seperti Indonesia, dan perubahan fungsi keluarga dapat terjadi. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Menurut Megawangi
(1999), tugas tersebut berkaitan
dengan pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Fungsi merupakan konsekuensi dari perilaku seseorang atau aksi kelompok. Konsekuensi aksi yang menguntungkan bagi sistem disebut dengan fungsional, sedangkan aksi yang mendatangkan kerugian bagi sistem disebut disfungsional (Winton 1995). Fungsi utama keluarga yang diuraikan Resolusi Majelis Umum PBB adalah : “keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera” (Megawangi 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun. Secara tradisional keluarga mempunyai beberapa fungsi, baik secara personal maupun sosial. Fungsi sosial nampak dari keikutsertaanya dalam mengabdikan norma-norma sosial melalui interaksi anak dan orangtuanya dalam satu keluarga (Zulyadi 1992). Menurut Suharjo (1989) fungsi keluarga digolongkan menjadi fungsi biologis, fungsi sosial fsikologis, dan fungsi edukatif. Keluarga di dalam kehidupan masyarakat mempunyai berbagai fungsi sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan
manusia
yang
selanjutnya
melestarikan eksistensi
masyarakat ; fungsi sebagai kesatuan masyarakat; fungsi pemersatu dan pelindung bagi warganya ; fungsi sosialisasi anak-anak melalui pendidikan dan fungsi sebagai unit produksi di dalam masyarakat (Sumardjan 1993). Fitzsimmons (1950) menguraikan keluarga sebagai lembaga untuk memenuhi fungsi biologis, ekonomis dan sosial. Nichols, Muwauw, Panther, Plonk, dan Price (1971) menyatakan bahwa
keluarga sebagai agen sosial yang efektif harus mampu memenuhi kebutuhan sosiogenik dan biogenik anggota keluarga dengan menampilkan fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental adalah fungsi yang berkaitan dengan pengadaan dan pengalokasikan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai berbagai tujuan keluarga. Sedang fungsi ekspresif hubungan dengan pengembangan rasa kasih sayang, rasa memiliki dan dimiliki, serta saling memberi dan menerima. Demikian juga pengembangan hubungan yang efektif dalam suatu ikatan moral yang kuat yang dapat membimbing anggota keluarga untuk bekerja sama secara kooperatif dalam organisasi yang terintegrasi (Diana 1991). Selanjutnya dikatakan fungsifungsi tersebut diatas dengan berbagai variasi pada umumnya berlaku kuat di dalam masyarakat adat di pedesaan di Indonesia. Sebaliknya di dalam masyarakat modern seperti di kota-kota besar di tanah air masing-masing fungsi keluarga mengalami proses pelemahan yang semakin lama semakin mendalam. Proses ini terjadi karena tiap fungsi ini sedikit demi sedikit telah diambil oleh pranata sosial yang makin lama makin banyak jumlahnya dan makin besar pengaruhnya pada kehidupan keluarga. Dalam kerangka formal tentang keluarga di Indonesia PP Nomor 21 tahun, 1994 menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, (PP Nomor 21 tahun, 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera). Fungsi keluarga meliputi fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan. Setiap bangsa atau suku, fungsi keluarga dalam pelaksanaanya tidak sama (BKKBN 1997). Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga
anggota
keluarganya
serta
menumbuhkan
dan
mengembangkan
kepribadian anggota-anggotanya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya orang tua dan anak-anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan keluarga adalah reproduksi atau adopsi anak-anak serta sosialisasi. Fungsi keluarga dapat di uraikan sebagai berikut : 1. Pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian (sandang) dan tempat tinggal (papan) adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang merupakan sumber ekspresi bagi individu, pangan memenuhi kebutuhan gizi, untuk
melaksanakan segala aktivitasnya, memelihara kesehatan, dan tanggung jawab keluarga. 2. Perkembangan anggota keluarga dipenuhi melalui memperhatikan kebutuhan dasar dari anggota keluarga, sehingga individu dan keluarga akan mendapatkan ekspresi yang lebih banyak, dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial dari kehidupan mereka. Sesuai teori Maslow, bahwa kebutuhan manusia terdiri dari : (1) kebutuhan fisik atau jasmani seperti makanan, minuman dan sex; (2) kebutuhan akan rasa aman (safety needs) seperti keamanan dan perlindungan; (3) kebutuhan akan kasih sayang, rasa memiliki, memberi dan menerima kasih sayang; dan (4) kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi diri sendiri (self actualization). Keberfungsian keluarga merupakan sebuah konsep yang memiliki banyak dimensi dan didefinisikan secara berbeda berdasarkan prinsip teoritik, serta identitas ras dan budaya. Beberapa praktisi memandang atribut-atribut, seperti kemampuan menyesuaikan diri keluarga (family adaptability), yaitu kemampuan mengubah peranan, aturan, dan hubungan untuk menanggulangi stresor personal dan stresor lingkungan. Atribut lainya adalah ikatan emosional (emotional bonding) anggota keluarga sebagai dimensi keberfungsian keluarga kritis. Praktisi lainya memandang
kemampuan
dalam
memecahkan
masalah
dan
keterampilan
berkomunikasi sebagai dimensi kritik keberfungsian keluarga (Hodges dalam Dubowitz dan De Panfilis 2000). Terlepas dari perspektif teoritik, untuk mengetahui keberfungsian keluarga perlu dilakukan asesmen terhadap keberfungsian keluarga sesuai dengan atribut-atribut tersebut, bertujuan untuk mempelajari bagaimana keluarga
mengelolah
secara
spesifik
kegiatan
kehidupan
sehari-hari
dan
menentukan apakah kegiatan tersebut memuaskan kebutuhan anggota keluarga, baik secara individual maupun keluarga secara keseluruhan. Hodges mengusulkan empat atribut primer keberfungsian keluarga yang sehat, yaitu Connections, Assets, Relationships, dan Environment, disingkat CARE. Atribut-atribut ini meliputi interaksi-interaksi internal keluarga dan transaksi-transaksi di antara keluargakeluarga dengan sistem-sistem yang lebih luas. Gaya hidup sebagai gambaran perilaku seseorang, yaitu bagaimana ia hidup, menggunakan uangnya dan memanfaatkan waktu yang dimilikinya (Sumarwan 2003), misal konsumerisme. Gaya hidup seringkali digambarkan dengan kegiatan, minat dan opini mereka yang tergolong kelas sosial atas akan berbeda dengan mereka yang tergolong kelas menengah dan kelas bawah. Akan tetapi, gaya hidup seseorang tidak permanen dan akan mengalami perubahan, sesuai dengan
perubahan hidup yang dialami. Jika seseorang mendapat promosi sehingga meningkat statusnya dan pendapatanya, maka gaya hidupnya pun berubah. Jabatan baru akan menuntut penampilan yang berbeda, selera yang berbeda, pakaian yang berbeda, pola makan yang berbeda. Perubahan gaya hidup pada intinya akan mengubah pola konsumsi seseorang. Pertanyaanya bagaimana jika seseorang mengalami stres, karena jabatan baru kemungkinan meningkatkan beban kerja, waktu kerja, deadline pekerjaan, dan lain-lain; sehingga bagaimana menggunakan uang dan waktunya, akan mengubah pola dan konsumsinya, karena stres pekerjaan? Apakah gaya hidup akan berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga? Apakah gaya hidup konsumtif keluarga miskin akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokoknya, kualitas perkawinan dan pengasuhan?, merupakan variabel yang perlu dipertimbangkan. Menurut Stress Education Center (1999) penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup berdasrkan sejumlah besar bon-bon medis hampir mencapai 50%. Hal ini menunjukan adanya gaya hidup yang negatif dan mengakibatkan kesakitan tertentu. Ada kemungkinan ini berhubungan juga dengan pola konsumsi. Strategi Coping Coping adalah respons tingkah laku dan pikiran terhadap stress, penggunaan sumberdaya pada diri individu dan lingkungan, bertujuan untuk mengurangi
atau
mengatur
konflik-konflik,
sehingga
dapat
meningkatkan
perkembangan kehidupan. Menurut Monat & Lazarus dalam Sussman & Steinmetz (1987), coping mengacu pada upaya untuk menguasai kondisi yang mengganggu atau merusak, mengancam atau menantang, ketika respons rutin dan otomatis tidak ada. Coping juga berhubungan dengan adaptasi terhadap kondisi yang relatif sulit (White dalam Sussman & Steinmetz 1987). Dari perspektif kognitif Lazarus dalam sumber yang sama mendefinisikan coping sebagai suatu kegiatan kognitif yang berhubungan dengan (1) asesment terhadap gangguan yang akan datang (penilaian primer), dan (2) asesment terhadap konsekuensi dari setiap tindakan coping
(penilaian sekunder). Zeitlin et.al (1995) mendefinisikan coping sebagai
suatu proses yang terdiri dari respons kognitif, emosional, dan perilaku dari keluarga sebagai suatu kolektif. Menurut Lazarus dalam Sussman & Steinmetz (1987) coping process adalah penggunaan penilaian kognitif, baik primer maupun sekunder terhadap apa yang terjadi, sedangkan coping strategies merupakan respons aktual terhadap ancaman yang dirasakan. Perilaku coping (coping behavior) terdiri atas (1) perilaku tindakan
langsung, yaitu serangan terhadap atau melarikan diri dari ancaman (fight or flight), dirancang untuk mengubah relasi stress secara fisik dan dalam lingkungan sosial seseorang; dan (2) bentuk intrapsychic coping, yaitu berupa mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) yang dirancang untuk mengurangi bangkitnya emosional, yang lebih baik daripada merubah situasi. Tindakan dan perasaan yang dapat membuat orang merasa lebih baik, meskipun tidak merubah sumber stressnya. Family coping (kebalikan dari mengalami krisis) merupakan variabel proses atau hasil (outcome); berhubungan dengan apa yang dilakukan keluarga terhadap sumber-sumber yang dimiliki. Proses coping dimulai hanya jika keluarga membawa sumberdaya yang dimiliki kedalam tindakan-tindakan. Jika keluarga memiliki sedikit sumberdaya, baik secara individual maupun kelompok, proses coping tidak akan pernah dimulai, dan krisis akan terjadi bila peristiwa stressful terjadi. Sumberdaya coping keluarga adalah kekuatan individual dan kolektif pada saat peristiwa stressor terjadi. Misalnya: ketahanan ekonomi, kesehatan, kecerdasan, keterampilan kerja, kedekatan, semangat kerjasama, keterampilan berelasi dan jaringan serta dukungan sosial. Oleh karena itu, sumberdaya keluarga merupakan aset-aset yang bersifat sosiologis, ekonomis, psikologis, emosional dan fisik (Boss dalam Sussman & Steinmetz 1987). Empat hipotesis tentang bagaimana tindakan coping keluarga bekerja untuk menghindari stress, yakni (1) perilaku coping mereduksi kerawanan keluarga; (2) tindakan coping dapat memperkuat atau memelihara kekohesifan dan organisasi keluarga; (3) coping dapat mereduksi atau mengeliminir peristiwa-peristiwa stressor; dan (4) coping dapat secara aktif beroperasi pada lingkungan untuk melakukan perubahan (McCubbin et.al dalam Rice 1999). Hasil analisis McCubbin, coping juga dapat salah, dan ini dapat menganggu sistem keluarga dalam tiga cara, yaitu (1) coping dapat mengakibatkan gangguan tidak langsung terhadap unit keluarga atau anggota keluarga, misalnya keluarga memotong biaya perawatan kesehatan untuk kompensasi inflasi; (2) upaya coping dapat mengakibatkan gangguan langsung pada keluarga, misalnya anggota keluarga menyalahgunakan alkohol atau bunuh diri sebagai jalan keluar untuk masalah yang sedang di alami; dan (3) coping dapat meningkatkan resiko keluarga dengan memperlambat perilaku adaptif. Strategi coping keluarga bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasakan menekan, menantang, membebani dan melebihi sumber daya yang dimiliki keluarga, atau
mempertahankan berbagai tujuan rumah tangga, seperti
pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status sosial ekonomi. Frigley dalam
Rice (1999) mengidentifikasi beberapa coping strategies yang efektif dalam situasi keluarga yang mengalami stress, yakni : 1. Meningkatkan dan memelihara jaringan dukungan sosial yang tersedia pada keluarga dan teman dekat, sama halnya dengan lembaga pelayanan sosial dengan sumberdaya profesional dan kelompok pendukung. 2. Menghindarkan kehawatiran yang tidak produktif, bencana besar, dan polapola berfikir seperti itu sering terjadi bila kita sedang frustasi, marah, atau sedang menghadapi ketidakpastian. Cara untuk menghindari berfikir negatif yang tidak produktif adalah dengan melibatkan diri lebih banyak dalam kegiatan produktif, terutama kegiatan pertolongan. 3. Memelihara kebiasaan kesehatan yang baik secara personal, sebab coping yang efektif bekerja bila otak yang berusaha mencari solusi di dukung oleh tubuh yang sehat, diperlukan gizi yang baik dan latihan fisik secara teratur. Coping strategy index (CSI) dalam Maxwell (2001) mengatakan semua tindakan untuk memenuhi konsumsi yang berhubungan dengan coping strategy terhadap pangan telah biasa dilakukan keluarga. Empat kategori coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, yaitu (1) perubahan diet, (2) penambahan akses pangan dalam jangka pendek, (3) pengurangan jumlah anggota dalam pemberian makan, dan (4) perubahan distribusi makan. Cara lain menurut Maxwell (2001), yaitu (1) mengurangi makanan kesukaan, (2) meminjam makanan atau uang, (3) membeli makanan dengan berhutang, (4) meminta bantuan di luar rumah tangga, (5) membatasi dan membagi makanan, (6) menyisihkan sedikit uang dari anggota keluarga, (7) membatasi konsumsi pangan pribadi, (8) mengurangi jenis makanan, dan (9) menjalani hari-hari tanpa makanan. Empat tingkat coping strategy yang dilakukan berdasarkan kemiskinan yang berbeda, pertama : adaptasi terhadap perubahan pola makan (jagung pengganti beras, pengurangan ukuran makan per hari, meminjam uang atau pangan). Jika kekurangan pangan berlanjut, keluarga akan melakukan strategi kedua, seperti menjual asset tidak produktif, meminjam, atau pindah pekerjaan. Jika situasi tetap buruk, strategi ketiga, seperti menjual tanah, peralatan, hewan ternak, atau asset produktif. Pada tingkatan keempat, berpindah secara permanen, atau mencari bantuan pangan (Cobertt 1988 dalam Anonymus 2004). Penelitian coping strategy yang dilakukan Usfar (2002) menggunakan daftar cara yang dikembangkan oleh Chen (1991), Maxwell & Smith (1992); Adam (1992), Adam et.al. (1998), dan Maxwell et.al. (1999); yang terdiri dari 33 cara coping yang dikelompokan dalam lima bentuk
coping strategy, yaitu (1) peningkatan pendapatan (5 cara), (2)
perubahan diet (7 cara), (3) peningkatan akses terhadap pangan (8 cara), (4) akses terhadap uang tunai (9 cara), dan (5) langkah yang lebih tegas (4 cara). Kecukupan konsumsi pangan sangat mempengaruhi kesehatan sebagai kebutuhan utama. Strategi food coping dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar (exchange properties) untuk menjamin kelangsungan hidup individu atau anggota rumahtangganya (Davis 1993; Maxwell et.al. 1999 dalam Usfar 2002; Anonymous 2003). Faktor- faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga adalah (1) karakteristik sosial ekonomi (status pekerjaan, total pendapatan rumah tangga, dan pendidi kan); (2) karakteristik demografi (umur, status perkawinan, jenis kelamin, dan ukuran rumah tangga); (3) wilayah tinggal, (4) tekanan dari tempat kerja, dan (5) responden sebagai pekerja di rumah (Puspitawati 1992). Strategi food koping dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar untuk menjamin kelangsungan hidup individu atau anggota rumahtangga (Davis 1993; Maxwell et.al. 1999 dalam Usfar 2002; Anonymous 2003). Variasi dan detail food coping strategy yang dilakukan rumah tangga memberi indikasi tingkat keparahan kerawanan pangan rumahtangga tersebut. Penelitian food coping strategy harus dilaku-kan pada masing-masing tipe rumahtangga tahan pangan dan
rawan
pangan (transitory, akut, kronis) untuk mengetahui ukuran tingkat keparahan dari kerawanan pangan. FAO (2002) memakai empat jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai ketidaktahanan pangan baik pada tingkat rumahtangga atau individu, yaitu (1) ketersediaan pangan (dietary energy supply), (2) konsumsi energi, (3) status gizi secara anthropometri, dan (4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure).Manifestasi keberhasilan food coping strategy rumahtangga tergantung dari sistem nilai yang mendukung yang ada dan hidup pada masyarakat. Pilihan food coping strategy tergantung pada faktor luar, seperti ekonomi, politik, iklim, budaya, dan infrastruktur; dan faktor dalam, seperti dinamika atau struktur demografi rumah tangga, status sosial ekonomi, dan jaringan kerja sosial. Coping, salah satu komponen ketahanan keluarga. Penelitian Strategi Coping Terdahulu Penelitian yang dilakukan mahasiswa Institut Pertanian Bogor antara lain, cara keluarga di Warung Kondang (Cinajur) mengatasi kekurangan pangan pada rumah tangga dengan kategori cukup tahan pangan, dengan mendapatkan bantuan dari keluarga, atau tetangga. Pada rumahtangga rawan pangan dengan membeli kredit (utang) dan mengurangi frekwensi makan (Harefa 2001, Harefa et.al. 2001). Upaya food coping mechanism yang dilakukan rumah tangga miskin di perkotaan, yaitu ada kecenderungan merubah kebiasaan makan, mencari pekerjaan tambahan,
meminjam dalam bentuk uang/pangan, dan menjual asset (Purlika 2004). Cara keluarga nelayan lokal dan nelayan migran di Kec. Indramayu dalam mengatasi kekurangan konsum si pangan, yaitu dengan mengubah prioritas pembelian pangan setiap hari, setiap hari mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi, < 2 kali/minggu meminjam uang ke keluarga/ teman untuk membeli pangan, serta membeli pangan dengan hutang (Polin 2005). Penelitian tentang strategi coping sebagian besar mengarah pada bagaimana keluarga miskin merespon tekanan ekonomi. Penelitian Maxwell (1995), tentang strategi keluarga miskin dalam upaya mencari alternatif ketahanan pangan di daerah pertanian perkotaan, Kampala. Puspitawati (1998) menguji tingkat kemiskinan keluarga pedesaan di lowa (USA), berdasarkan pedoman pelayanan kesehatan dan kemanusiaan, serta menguji hubungan antara kemiskinan dengan konflik uang dalam keluarga, dan strategi coping yang dapat menjadi media hubungan antara tingkat kemiskinan dengan konflik uang dalam keluarga. Fuwa (2000) menemukan rumahtangga miskin yang dikepalai wanita (female-headed household) di Panama, secara keseluruhan rata-rata better-off, dan hasil penelitiannya sensitive terhadap asumsi tentang skala ekonomi konsumsi rumah tangga. BPS dan CIDA (2000) meneliti ketahanan pangan keluarga miskin di DKI Jakarta, Bekasi Barat dan NTT. Moser (1998) mengidentifikasi strategi keluarga miskin perkotaan dalam menanggulangi tekanan ekonomi di empat wilayah kota Selandia Baru (Chawana, Commonwealth, Cisne Dos, dan Angyalfold). Hasil penelitianya, keluarga miskin adalah manager untuk asset vulnerability framework [tangible asset, seperti modal manusia dan tenaga kerja (istri/perempuan dan anak-anak), dan intangible assets, seperti hubungan dalam rumahtangga dan modal sosial]; gambaran bagaimana pengaruh manajemen asset terhadap kemiskinan dan kerawanan rumah tangga. Lawson et al. (2000) menggunakan konsep thriving, surviving, dan struggling dari rumahtangga di daerah pinggiran kota Albania Utara, dengan fokus bagaimana mereka memandang dan berinteraksi terhadap mayarakat, pasar dan negara. Hasilnya, tentang pentingnya sumberdaya sosial, manusia, dan material dalam menentukan keberhasilan. Gambarkan bagaimana strategi rumahtangga miskin mengorganisasikan diri mereka saendiri secara ekonomi. Wolf (1992) melakukan studi kasus di daerah Banjaran, Jawa Barat untuk mengkonseptualisasikan perempuan miskin, dinamika rumah tangga dan industrialisasi, dengan menganalisis kompleksitas hubungan antara produksi pertanian subsisten, perkembangan industri kapitalis, pabrik,
pekerja perempuan muda di pabrik, dan keluarga mereka di Jawa. Wolf memfokuskan pada dinamika intra rumahtangga, dalam hal keputusan ekonomi penting, seperti keputusan anak perempuan bekerja di pabrik yang mendapat penolakan dari agama sebagai immoral, yang menimbulkan konflik dalam rumahtangga, terancam perceraian, campur tangan orang tua, kontrol terhadap penghasilan, dan akhirnya kembali utuh sebagai keluarga. Hancock (2001) melakukan penelitian serupa di Banjaran (Jawa Barat) dengan sasaran perempuan pekerja pabrik. Strategis coping selama krisis ekonomi yang menjadi perhatian adalah : (1) kontribusi mencari nafkah di pabrik terhadap anggaran rumah tangga, (2) coping melalui adaptasi pada konsumsi, melibatkan pada wanita-wanita muda dalam pengambilan keputusan untuk pengeluaran biaya rumah tangga. Penelitian Bolles (1996) di Kingstone Jamaica, tentang perempuan kelas pekerja pabrik dengan dua konteks, yaitu rumahtangga dan pabrik tempat mereka bekerja. Bolles mengkaji kelas, gender, keberadaan orang lain (extented family), dampak kebijakan ekonomi nasional dan tindakanya, serta dampak rembesan dari kebijakan internasional (khususnya perusahaan dan IMF), dan semua bentuk pilihan yang tersedia bagi perempuan untuk berjuang bertahan hidup dan hidup dengan harga diri. Bentuk strategi coping keluarga lainya adalah wiraswasta (self-employment), diantaranya memproduksi barang sendiri, seperti produk kerajinan tangan (boneka, hiasan, produk seni), furniture (meubel), membuka restoran, pedagang kaki lima. Penelitian Brooksbank (2000) untuk melihat jumlah individu yang terlibat dalam selfemployment and small firms di UK, trend dan perubahan besar dalam stok selfemployment, dan menghubungkan tema penting dengan data dasar. Abdullah dan Bakar (2000) juga meneliti tentang small dan medium Enterprises di Asia Pasifik yang dikaitkan dengan implikasi krisis ekonomi. Tambunan (2000) meneliti tentang industri skala kecil pada keluarga miskin di pedesaan Indonesia, seperti industri tekstil, sepatu-sandal, produk elektronik. Suharto (2002) meneliti tentang pedagang kaki lima (PKL : laki-laki, perempuan, dan anak-anak) di kota Bandung sebagai salah satu bentuk strategi coping (fenomena semakin marak PKL di kota-kota besar di Indonesia setelah krisis ekonomi pada pertengahan 1997). Hasilnya, tidak ada kaitan langsung antara PKL dengan kemiskinan, dan antara PKL dengan kemakmur-an, sedikit PKL yang berhasil, dan sebagian besar masih menunjukan kerawanan. Hal ini disebabkan pendapatan yang berubah-ubah, tempat yang tidak aman, sumberdaya ekonomi terbatas, teknologi yang tidak memadai untuk
kemajuan, kurangnya akses pada pelayanan finansial formal, produksi dalam skala kecil. Rettig, Danes, dan Leichtentrit (1997) melakukan studi tentang respon afektif, kognitif dan perilaku terhadap economic stress, tujuannya untuk menguji hipotesis tentang teori stress dan manajemen berkenaan dengan responsnya terhadap tekanan ekonomi, dan mengidentifikasi perbedaan diantara laki-laki dan perempuan petani dalam merespons peristiwa yang sama. Hasil studi menunjukan bahwa strategi perilaku penyesuaian diri (adjusment) secara ekonomi dipengaruhi oleh respons-respons afektif terhadap penerimaan stress emosional, dan proses keputusan kognitif. Akan tetapi, hasil analisis tidak berhasil mendukung hipotesis bahwa penerimaan stress emosional akan memotivasi responden untuk memulai proses keputusan kognitif. Terdapat perbedaan dalam hal pengaruh usia dan pendidikan dalam menjelaskan keragaman proses kognirif dan perilaku strategi penyesuaian diri secara ekonomi dalam rumah tangga. Danes dan Rettig (NA) juga meneliti tentang strategi penyesuaian diri ekonomi petani laki-laki dan perempuan yang mengalami stres ekonomi. Hasilnya, (1) persepsi tentang stres ekonomi prediktif untuk penggunaan secara ekstensif strategi penyesuaian diri ekonomi baik bagi laki-laki maupun perempuan; (2) persepsi tentang penghasilan yang tidak memadai prediktif untuk penggunaan secara ekstensif strategi penyesuaian diri untuk
perempuan;
(3)
peningkatan
manajemen
penghasilan
rumahtangga
merupakan strategi yang lebih disukai oleh perempuan yang lebih tua dan mereka yang mengalami lebih banyak stres emosional, dan tidak demikian bagi mereka yang mempunyai penghasilan memadai yang lebih tinggi. Bila Moser (1998) memfokuskan penelitianya pada manajemen asset keluarga miskin, Lopez-Gonzaga (1998) melakukan studi tentang manajemen waktu dalam rumah tangga di Filipina. Studinya terhadap perempuan kebun tebu, memfokuskan pada pembagian kerja dalam rumah tangga, alokasi waktu (mengambil air, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, bertani, mencari nafkah, dan merawat bayi), dan kontribusi perempuan dan anak-anak. Rata-rata jumlah jam yang digunakan kedua jenis kelamin per minggu dilaporkan 41.1 jam untuk laki-laki dan 41.6 jam untuk perempuan. Strategi manajemen waktu diteliti juga oleh Puspitawati (1992), yang digunakan dalam rumahtangga untuk meningkatkan penghasilan di dalam rumah, yang bertujuan untuk menguji hubungan antara karakteristik sosioekonomi dan demografik rumah tangga dengan pemilihan strategi manajemen waktu untuk menanggulangi demands pekerjaan berbasis rumah. Dua skala strategi yang digunakan adalah : (1) tambahan waktu untuk bekerja melalui
perubahan komitmen, pola keluarga dan mengurangi tanggung jawab, (2) memperoleh bantuan tambahan untuk pekerjaan berbasis rumah dan rumah tangga. Hasilnya, (a) responden yang menggunakan strategi personal realokasi waktu lebih banyak dari pada strategi memperoleh bantuan tambahan, (b) pendapatan total rumah tangga, tekanan dari pekerjaan berbasis rumah, dan usia, merupakan prediktor signifikan dalam penggunaan kedua strategi, dan (c) terdapat perbedaan variabel prediksi penggunaan setiap strategi berdasarkan pertanyaan apakah responden pekerja berbasis rumah ?. Strategi Nafkah Kajian terhadap berbagai pengertian strategi dari Scott (1981), Crow (1989) dalam Dharmawan (2001), dan nafkah dari Farrington (1999), Chambers dan Conway (1992), atau Ahmed dan Lipton
dalam Ellis (2000), Chambers (1991)
dalam Dharmawan (2001), atau Nurmalinda (2002), strategi nafkah (livelihood strategy) adalah seperangkat pilihan tindakan dari berbagai alternatif yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya (baik sumberdaya berupa barang atau kegiatan ekonomi, maupun dengan memanfaatkan modal sosial) untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup guna mempertahankan keberlangsungan hidup. Strategi nafkah sebenarnya dilakukan pada level individu, tetapi bentuk akhir tindakan tersebut didefinisikan pada level rumahtangga (Dharmawan, 2001), karena dalam kerangka kerja organisasi keluarga, individu tidak sepenuhnya bebas dalam mengambil keputusan, akan tetapi dipengaruhi oleh anggota keluarga yang lain, selaras asumsi yang digunakan Weber (1978). Scoones (1998) menggolongkan strategi nafkah petani setidaknya menjadi tiga golongan, yaitu : (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, artinya usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja, atau teknologi (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda, artinya usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan lain selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan); misalnya para komputer di Tasikmalaya dengan profesinya sebagai tukang kredit dan pedagang kerupuk; dan (3) rekayasa spasial, artinya usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkuler atau komutasi (migrasi). Dua jenis strategi nafkah dalam keluarga petani (Dharmawan 2001), yaitu (a) strategi nafkah normatif, dalam kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial ekonomi, seperti kegiatan produksi, migrasi,
strategi subtitusi, juga disebut “peacefull ways” karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan (b) strategi nafkah illegal, dalam kategori tindakan negatif yang melanggar hokum, seperti merampok, mencuri, melacur, korupsi, juga disebut “nonpeacefull ways” karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan kekerasan. Keluarga petani dalam memilih strategi nafkah yang akan diterapkan berkaitan dengan fungsi sosial ekonomi, merupakan suatu bentuk strategi yang diterapkan dalam merespon keadaan. Menurut Manig (1991) dalam Dharmawan (2001), ada enam fungsi keluarga berkaitan dengan strategi nafkah, yaitu (1) alokasi sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan, (2) menjamin tercapainya berbagai tujuan keluarga, (3) memproduksi barang dan jasa, (4) membuat keputusan dalam penggunaan pendapatan & konsumsi, (5) pengaturan dengan masyarakat luar, dan (6) fungsi reproduksi material dan sosial, serta kemampuan setiap anggota keluarga. Ada dua macam strategi yang dikembangkan oleh rumahtangga peasant (produsen bertenaga kerja keluarga yang menggunakan alat-alat sederhana) terkait dengan fase-fase kehidupannya, yaitu strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan normal (masa dimana rumahtangga dapat melakukan aktivitas nafkah secara optimal, pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan dasar), dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan krisis (pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya). Menurut Manig (1997) dalam Dharmawan (2001), ada empat strategi yang dikembangkan rumahtangga peasant saat keadaan normal, yaitu (1) strategi akuisisi (segala aktivitas yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di alam), (2) strategi alokasi (mengalo-kasian segala sumberdaya, baik materiil maupun immateriil untuk memenuhi kebutuhan, misalnya mengalokasian tanah, pengetahuan, dan keahlian bertanam,
serta
tenaga
kerja
untuk
memproduksi
bahan
pangan
bagi
rumahtangga), (3) strategi produksi (mentransformasi materi menjadi bentuk energi lain, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia), dan (4) strategi peman-faatan jaringan sosial (pemanfaatan struktur sosial, ditempuh dengan membangun jaringan sosial untuk menjamin keamanan dan keberlang sungan kehidupan). Menurut Herbon (1988) dalam Dharmawan (2001), ada lima strategi yang dikembangkan rumahtangga saat keadaan normal, yaitu (1) strategi akuisisi, (2) strategi alokasi, (3) strategi transformasi (mentransformasi materi menjadi bentuk energi lain, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia), (4)
strategi konsumsi (dengan mengubah sumber nafkah menjadi pendapatan berupa uang tunai, sehingga dapat dibelan jakan untuk memenuhi konsumsi), dan (5) strategi reproduksi (ditempuh dengan memelihara dan mengkonsolidasikan semua elemen yang dilakukan untuk kehidupan yang lebih baik). Herbon
(1988)
dalam
Dharmawan
(2001),
membagi
strategi
yang
dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan krisis (ketidakpastian) dalam 3 tahap, yaitu pertama tahapan mengantisipasi krisis, meliputi kegiatan untuk membangun jaringan sosial yang memberikan jaminan keamanan materiil atau immateriil, produksi untuk mencukupi kebutuhan subsisten, mengakumulasikan surplus,
dan mengakuisisi sumberdaya keluarga, komunitas, atau struktur yang
lebih besar. Kedua, fase terjadinya krisis dihadapi dengan mengeksploitasi berbagai macam sumberdaya seoptimal mungkin, mengurangi konsumsi dan melakukan perlawanan komunal. Ketiga tahapan pemulihan dari krisis diisi dengan aktivitas untuk memperbaiki kerusakan dan mengusahakan kembali akses terhadap sumberdaya. Sistem kehidupan (livelihood system) keluarga petani pada setiap lapisan atau strata sosial ekonomi akan berbeda. Pada keluarga petani lapisan bawah, petani gurem (miskin), penghasilan dari usahatani dan buruh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka akan mengalokasikan tenaga kerja ke sektor non pertanian sebagai strategi bertahan hidup (White 1991). Pada konsep segilima pentagon (Gambar 1), ada lima tipe modal yang dapat dimiliki/dikuasai keluarga untuk pencapaian sistem kehidupannya, yaitu modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal alam dan modal sosial. Konsep ini menjadi aset utama bagi orang miskin dalam kehidupannya (dalam Ellis 2000). Kelima modal perlu dikelola secara berkelanjutan, agar faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antar faktor, serta keberlanjutan untuk menyambung hidup. Rumahtangga usahatani gurem atau tak bertanah (miskin) umumnya menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).
Modal Sosial
Modal Fisik
Modal Manusia
Modal Alamiah
Modal Finansial
Gambar 1. Konsep segilima pentagon (model) (Ellis, 2000)
Untuk mempermudah memahami seberapa besar akses keluarga dari setiap tipologi aktivitas nafkah terhadap setiap jenis modal, kami berusaha memvisualisasi grafik pentagon dalam dua dimensi, yaitu : (1) Tanda negatif (arah panah mengarah ke dalam) di dalam komponen setiap modal yang menjadi sumber menandakan masalah yang perlu penanganan, (2) Tanda positif (arah panah mengarah ke luar) menunjukkan modal yang dapat dikembang kan lebih lanjut. Perbandingan antara tanda plus dan minus akan menentukan arah panah yang berada dalam pentagon, bila tanda minus lebih banyak dari pada tanda plus, maka panah dalam pentagon akan mengarah ke dalam, sebaliknya. Agar terbentuk sumber daya manusia yang berkualitas tidak cukup hanya terpenuhi pangan bagi setiap rumahtangga (UU no. 7/1996), UNICEF (1998) telah memperkenalkan
model
untuk
mengidentifikasi
tahapan-tahapan
penyebab
masalah gizi, baik penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah, dan akar permasalahan. Keterkaitan antara potensi sumberdaya, ketidaktahanan pangan terkait dengan ketahanan keluarga rumah tangga dan status gizi.
Sumberdaya
pada model ini merupakan asset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Asset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker, 1987 dalam Sunarti, 2001), untuk pencapaian sistem kehidupannya, dengan konsep segilima pentagon (Gambar 5). Konsep ini menjadi aset utama bagi orang miskin dalam kehidupannya (dalam Ellis, 2000). Ada keterkaitan antara akses modal ”manusia, alam, finansial, fisik, sosial” dengan status gizi kurang (Gambar 2), atau buruk. Gizi Kurang
Penyakit
Ketidakcukupan Konsumsi Pangan
Perawatan Anak dan Ibu Kurang Ketidaktersediaan Pangan Tk. RT
Pelayanan kesehatan tidak memadai
Dampak Penyebab langsung tingkat individu
Penyebab tidak langsung di tingkat keluarga
Kemiskinan, kurang pendidikan, kurang keterampilan Akses modal ”alam, manusia, finansial, fisik dan sosial” keluarga terbatas/tidak ada
Pokok Masalah Sistem Sosial Ekonomi Buda ya, Kepercayaan dan Politik
Kebutuhan Pokok Keluarga Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia, baik yang terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian), maupun keperluan pelayanan social tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan, pendidikan). Manulang (1971) dalam Sumardi dan Evans (1985) membedakan menjadi kebutuhan primer (kebutuhan yang paling utama untuk dapat mempertahankan hidup seperti makan, minum, pakaian dan perumahan), dan kebutuhan skunder (kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer, seperti alat-alat dan perabot). Wie (1978) dalam Sumardi dan Evers (1985) mendefinisikan kebutuhan pokok sebagai suatu paket barang dan jasa yang oleh masyarakat dianggap perlu tersedia bagi setiap orang. Kebutuhan ini merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati oleh seorang, sehingga kebutuhan pokok berbeda-beda dari satu keluarga ke keluarga yang lain, dari satu komunitas ke komunitas yang lain, kebutuhan pokok itu spesifik. Menurut Green (1978) dan Derodjatun Koentjoro Jakti (1978) dalam Sumardi model kebutuhan dasar sebagai suatu strategi memenuhi lima sasaran pokok yaitu; (1) dipenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, atau perumahan, peralatan sederhana dan berbagai kebutuhan yang dipandang perlu; (2) dibukanya kesempatan luas untuk memperoleh berbagai jasa, pendidikan untuk anak dan orang tua, program preventif dan kuratif kesehatan air minum, pemukiman dengan lingkungan yang mempunyai infrastruktur dan komunikasi, baik rural maupun urban; (3) dijaminya hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif (termasuk menciptakan sendiri) yang memungkinkan adanya balas jasa setimpal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga; (4) terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa, ataupun dari perdagangan internasional untuk memperolehnya
dengan
kemampuan
untuk
menyisihkan
tabungan
bagi
pembiayaan usaha selanjutnya; (5) menjamin adanya partisipasi massa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan proyek-proyek. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah membentuk masyarakat yang sejahtera,
pada taraf awal pembangunan adalah suatu masyarakat yang
kebutuhan pokoknya terpenuhi (pangan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan ( Kartasasmita 1996) dalam Hatuwe (2000). Garis kemiskinan yang ditentukan oleh batas minimum pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok bisa dipengaruhi oleh; (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan; (2) posisi manusia dalam lingkungan sekitarnya; (3) kebutuhan obyektif manusia bisa hidup secara manusiawi. Selanjutnya dikatakan persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang
dimilikinya.
Untuk
mendapatkan
kebutuhan
pokok
tergantung
dari
perbandingan tingkat golongan penghasilan, golongan berpenghasilan rendah (miskin)
yang jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan
pokoknya (Sumardi dan Evans, 1985), diduga penyediaan bahan kebutuhan pokok sandang, pangan, pendidikan sangat rendah, demikian pula kemaampuan untuk penyediaan peru-mahan dan kemampuan memperbaiki kesehatan juga rendah. Pendapat senada dikemukakan Soemardjan (1994), bahwa pemenuhan kebutuhan keluarga mencakup kebutuhan yang sangat mendasar sampai kebutuhan yang diperlukan untuk perkembangan diri dari keluarga. Ukuran taraf pemenuhan kebutuhan pokok dilihat dari indikator keluarga sejahtera, kebutuhan : (1) dasar atau ’basic needs’ (pangan, sandang, papan, kesehatan); (2) sosial pisikologis (’social-psychological needs’ (pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal); dan (3) pengembangan (’deveplopmental needs’) (tabungan, pendidikan, khusus/ kejuruan, akses terhadap informasi) (Haryanto dan Tomagola, 1997). Maslow dalam Rivai (1991), kategori kebutuhan manusia, yaitu fisiologikal, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan dalam hirarakhi yang terendah adalah kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok untuk menjaga agar manusia tetap hidup, seperti makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Jika kebutuhan fisiologikal belum terpenuhi maka usaha manusia sebagian besar akan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ini, dan kebutuhan-kebutuhan lain akan menempati prioritas yang lebih rendah. Jika kebutuhan fisiologikal telah terpenuhi maka kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan personal, yaitu pendidikan, rekreasi, nilai-nilai, estetika, agama. Jika kebutuhan personal telah terpenuhi maka kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan emosional,
akan rasa aman menjadi dominan, jika kebutuhan ini secara relatif dapat dipenuhi maka kebutuhan dalam hirarkhi berikut, yaitu kebutuhan sosial menjadi menonjol.
Modal sosial Modal sosial sangat populer sebagai salah satu isu pembangunan, terutama dengan munculnya kajian-kajian berharga dari Robert D Putnam (1993, 1995, 2002), Prancis Fukuyama (1999, 2002), James Coleman (1990, 1998); Paul Bullen (2000, 2002), Eva Cox (1995); Cohen dan Prusak (2001) dalam Hasbullah (2006).
Human Capital Kemampuan Personal (pendidikan, pengetahuan, kesehatan, keahlian, dan keadaan terkait lainnya)
Produced Economic Capital Asset Ekonomi, Sumber daya , dan asset finansial
Community Capital
Social Capital Norma/nilai( trust, reciprocity, norma sosial lainnya), partisipasi dalam jaringan, proactivity,
Natural Capital Contoh: Sinar Matahari, Cuaca, Air, Flora dan Fauna, Sumber energy, tanah, dll
Gambar 3. Modal Komunitas (Community Capital) (Hasbullah 2006) Karya Robert D Putnam seperti Making Democracy Work : Civic Transition in Modern Italy (1993), dan Bowling Alone: America’s Declining Social Capital (1995). Francis Fukuyama dengan karyanya The End of History and The Last Man (1992); Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995); The Great Disruption, Human Nature and The Reconciliation of Human Order (1999); Social Capital and Civil Society (1999); Social Capital and Development: The Coming Agenda (2002), dan beberapa karyanya yang lain. Pierre Bordieu (1983, 1986) dengan sosial teorinya, James Coleman yang mengkhususkan bahasannya pada dimensi Modal Sosial dan pendidikan (l998), dan masih banyak lagi para pemikir Modal Sosial yang lainnya. Modal sosial merupakan bagian dari modal komunitas yaitu modal manusia (human capital), modal/sumber daya alam (natural capital) dan financial/ built/produced economic capital (Gambar 3). Unsur-unsur utama yang menopang modal sosial dipengaruhi oleh faktor internal maupun oleh faktor-faktor eksternal kebudayaan (Gambar 4). Faktor internal
berupa pola organisasi sosial yang tumbuh dalam suatu setting kebudayaan masyarakat lokal seperti tatanan sosial yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional, pola-pola pembagian kekuasaan dalam masyarakat, pola/sistem produksi dan reproduksi serta nilai-nilai dan norma itu sendiri. Faktor Dari Luar Komunitas
Agama Globalisasi Urbanisasi Politik, Pemerintahan Kebijakan Pemerintah Pendidikan Hukum Dan PerundangUndangan Tingkat Kriminalitas Nilai-Nilai Universal
Social Capital Norma dan Nilai: Trust Reciprocity Norma/Nilai Sosial lainnya Partisipasi Dalam Jaringan Proactivity
Faktor Dari Dalam Komunitas: Organisasi Sosial Dalam Komunitas - Kepercayaan Lokal - Pola dan Sistim Produksi dan Reproduksi - Politik Lokal Norma dan Nilai-Nilai (Nilai uang, waktu, dan nilai nilai yang ada dalam komunitas)
Group dan Jaringan Sosial (Groups and Social Networks) Typology Jaringan (Network Type: Bonding, Bridging dan Linking), Struktur Jaringan (Network Structure: Relasi Kekuasaan, Rentang dan Besaran, Orientasi Hubungan Dll ) Spekturum Transaksi Jaringan dan Kualitas Jaringan (Network Transaction and Network Qualities: Support structure, kualitas interaksi)
Hasil/Dampak Negatif Social Capital Hasil/Dampak Positif Social Capital - Memperluas Jar. Eksternalitas Positip. - Sikap Toleran dan Inklusif. - Meningkatnya Ketahanan Sosial dan Komunitas. - Kemampuan Mengatasi Kerawanan Sosial. - Memberi Hasil Yang Lebih Optimal Pada Pembangunan. - Meningkatnya Pengetahuan, Ide Baru dan Kesejahteraan Masyarakat.
-
-
Eksklusifisme Sosial, Kesukuan, Sektarian Sikap Intoleran Terhadap Perbedaan dan Pihak lain Hancurnya Kesatuan Korupsi Dan Nepotisme Atas nama Kelompok Munculnya Berbagai Hambatan Pembangunan
Penentangan Terhadap Perubahan
Gambar 4. Social Capital dan Dinamika Interrelasinya dengan Faktor Internal dan Eksternal Komunitas (Hasbullah 2006)
Faktor yang lebih luas yang diklasifikasikan sebagai faktor eksternal seperti pengaruh agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum dan perundang-undangan, ekspansi pendidikan, politik dan pemerintahan serta nilai-nilai universal
seperti
nilai
demokrasi,
persamaan,
kebebasan,
dan
keadaban
merupakan kumpulan determinan yang saling pengaruh mempengaruhi dengan unsur-unsur pokok modal sosial. Hubungan interaktif antar kotak sejajar pada Gambar 2 akan menentukan komposisi, kualitas, pola-pola transaksi dan tipologi jaringan yang pada akhirnya akan menentukan kualitas hasil/outcome modal social.
Budaya Massa Kebudayaan yang berkembang sangat beraneka ragam, namun dalam perbedaan tersebut pada tiap-tiap kebudayaan dijumpai unsur-unsur serupa, dan oleh Kluckhohn (1953) sebagaimana dikutip oleh Soetarto dan Agusta (2003) disebut sebagai unsur kebudayaan universal. Koentjaraningrat (1994) mengatakan, setiap unsur universal kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu : 1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan, dan nilai-nilai ; 2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktur) dari manusia dalam masyarakat; dan 3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan) yaitu benda-benda hasil karya manusia. Kebudayaan massa adalah istilah untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman masse dan kultur. Kebudayaan massa sebenarnya
merupakan
istilah
yang
mengandung
nada
mengejek
atau
merendahkan; istilah ini merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi. budaya massa merupakan penyusupan atau pengaruh budaya asing (Damono 2004). Ibrahim (2004) mengutip pendapat Siregar, menyebutkan istilah massa (mass culture) sering dipertukarkan dengan budaya populer (popular culture), begitu pula dengan hiburan massa (mass entertainment). Walaupun budaya massa tidak hanya bersifat hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi (consumer goods) sebagai produk massa yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaaanya bersifat luas. Budaya populer sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk budaya yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat tertentu (Fishwick dan Wilson dikutip Liliweri 1991). Budaya ini merupakan pengaruh rangsangan dari luar (termasuk media massa) yang tidak kita sadari namun membuat kita melakukanya. Semua pikiran, perasaan, dan perbuatan kita diarahkan kepada yang disukai dan banyak yang disukai orang. Gejala seperti inilah yang disebut masyarakat sudah memiliki budaya massa. Kita dapat menganalogikan orang yang berbudaya pop itu seolaholah orang yang sedang demam mode. Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat beramai-ramai memilih jenis produk tertentu contohnya penggunaan telepon seluler. Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer, yang diproduksi
untuk pasar massal (Strinati 2004). Strinati mengutip MacDonald (1957) menyebut budaya massa sebagai suatu kekuatan revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi, selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai budaya homogen. Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, karena penilaian mengimplikasikan adanya diskriminasi/pembedaan. Sifat-sifat budaya massa adalah sebagai berikut : komersial, menghibur, populer modern, merupakan paket, mempunyai audiens yang luas, dan dapat diperoleh secara demokratis (Hannah Arent dalam Kayam 2004). Meskipun budaya massa seperti budaya pop dipandang sebagai budaya yang ”dangkal” didalam wacana kebudayaan, tetapi wacana budaya pop dipengaruhi bukan hanya oleh kepentingan ekonomi dan kapitalisme. Pada umumnya kebudayaan pop dipahami sebagai ekpresi kebudayaan yang memiliki ciri-ciri ringan, sesaat, gampang diterima oleh masyarakat kebanyakan dan kebanyakan masyarakat, massal, dan menghibur. Dikalangan masyarakat tertentu, kebudayaan pop seringkali juga di persepsi sebagai atribut modernitas. Pada penelitian ini batasan budaya massa lebih terfokus pada pengaruh media massa, masih mengacu beberapa definisi budaya massa yang diungkapkan para ahli di atas. Artinya komunikasi massa sebagai proses dimana komunikator secara profesional menggunakan media massa dalam menyebarluaskan pesan yang melampaui jarak untuk mempengaruhi khalayaknya dalam jumlah banyak. Media massa memiliki kekuatan ampuh dalam mempengaruhi khalayaknya baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Pengaruh jangka panjang sering diperso-alkan
karena
mempunyai
kekuatan
tertentu
dalam
mempengaruhi
kebudayaan khalayak penerima pesan. Pengaruh komunikasi massa terhadap khalayak massa yang merubah menjadi ciri massa inilah yang menciptakan budaya massa. Menurut Mc.Quail (1972) dalam Liliweri (1991), untuk memahami massa paling tidak diketahui beberapa karakteristiknya, massa mempunyai tingkat yang rendah, tujuan atau objek perhatian yang dikelola, kontrol/organisasi eksternal yang dimanipulatif, dan kadar kesadaran yang rendah. Dari kriteria inilah dapat dibatasi pengertian budaya massa dalam penelitian ini yaitu segala yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat. Sebagai yang dimiliki itu tidak harus material tetapi juga imaterial, mungkin sekali dalam bentuk cara berpendapat dan berpikir, cara merasakan sesuatu, sampai pada tindakan yang menggunakan produk tertentu.
Pemilikan unsur budaya itu sebagai akibat dari pesan-pesan media massa yang dimanipulasi
oleh
sang
komunikatornya.
Pesan-pesan
itu dikelola
secara
profesional, disebarkan dengan tingkat frekwensi dan jumlah tertentu dengan teknologi media secara besar-besaran kepada sejumlah orang. Hasilnya, mereka yang menerima terdorong oleh sikap yang berkadar kesadaran rendah, kurang mengontrol diri sendiri kemudian menerimanya sebagai suatu perilaku tertentu secara bersama-sama. Akibatnya, terciptalah orang sebagai manusia yang cenderung ”hanyut” di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya hidup) tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Dengan kata lain semua pikiran, perasaan dan perbuatan kita diarahkan hanya kepada yang disukai dan yang banyak orang sukai. Sehingga dapat dianalogikan orang yang berbudaya pop itu seolah-olah orang yang sedang demam mode. Meskipun mode yang ditawarkan rendah namun orang mengikutinya karena beramai-ramai. Ghanney (1972) dan Mc Quail (1989) dalam Liliweri (1991) mengungkapkan bahwa peranan media massa (dalam kaitanya dengan budaya massa) berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilaku khalayak. Proses budaya massa, Allan O‟Connor, salah seorang pengkaji budaya yang dikutip Ibrahim (2004) menyoroti topik ”popular cultural”, dan menjelaskan bahwa tema ini mengacu pada ”proses budaya yang berlangsung diantara masyarakat umumnya (general public). Kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok atau bagian masyarakat (produser budaya) yang merancang atau memproduksinya. Produk budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang ”dibutuhkan” oleh sejumlah massa yang besar, semua ini tidak mungkin ada tanpa melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi
adalah hasil peradaban manusia
yang penting tidak hanya dalam menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa disebarkan (dissemination). Proses terjadinya budaya massa ini dapat dilihat pada Gambar 5. Produser Budaya
Produk Budaya
Teknologi Media massa
Massa
Budaya Massa/ Pop Culture
Gambar 5. Proses terjadinya budaya massa Ada tiga tahap perkembangan media massa bila dikaitkan dengan budaya massa, menurut Lowenstein dan Merril dalam Winarni (2003) yaitu (1) Tahap elit,
media massa dikonsumsi oleh golongan elit; (2) Tahap popular, media massa tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit saja melainkan sudah merambah pada masyarakat berpendidikan dan masyarakat umumnya; dan (3) Tahap spesialisasi, media massa mulai diarahkan pada target audiensnya. Dengan berkembanganya teknologi komunikasi dan penggunaan media, maka akan berdampak pada perkembangan budaya masyarakat yang menerima pesan-pesanya. Untuk itulah banyak ilmuwan komunikasi yang mulai menaruh perhatian pada kajian hubungan antara media massa dengan kebudayaan masyarakat. Masyarakat massa (Mass Society)
Media massa (Mass Media)
Budaya massa (Mass Culture) Gambar 6. Teori Triple M
Salah satu teori yang membahas hubungan antara media massa dengan masyarakat massa sampai terbentuknya budaya massa adalah teori Triple M. Ada tiga unsur penting dalam teori ini, yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa, Menurut Mowlana dalam Liliweri (1991) ketiga unsur tersebut terkait satu dengan yang lain dan membentuk satu segitiga seperti pada Gambar 6. Budaya massa sebagai setting industri, bersamaan proses industrialisasi, televisi dipandang sebagai pencipta kebudayaan massa. Di satu sisi, budaya massa merupakan konsekuensi dari lahir dan adanya masyarakat industri, disisi lain dengan kemampuanya sebagai “the extension of man”, dan potensialnya melipatgandakan pesan, televisi membawakan dan menyebarluaskan simbol-simbol budaya masyarakat industri yang kemudian menjadi me-massa. Tetapi juga harus diingat, televisi juga dilahirkan dari perut masyarakat industri. Dengan kata lain, kebudayaan massa lebih diartikan sebagai hasil lingkungan masyarakat industri yang telah berkembang. Karena industri biasanya berkembang di kota-kota, maka budaya massa juga terutama mulai ada dan berkembang dikota-kota, lalu merambah ke desa-desa. Pertanian Lahan Kering Potensi lahan kering di Indonesia diperkirakan seluas 12,23 juta ha (Puslitbang Tanah 2002) sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal, padahal sebagian besar lahan kering tersebut masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. Rendahnya tingkat produktivitas ini disamping disebabkan kondisi lahannya memang kurang subur dengan pH masam dan topografi berlereng, juga
disebabkan modal petani yang terbatas, sehingga penggunaan input produksi relatif rendah. Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa kendala atau pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal, dan lahan perbukitan. Lahan kering dibagi dua golongan, yaitu lahan kering dataran tinggi (lahan pada ketinggian > 700 meter di atas permukaan laut/dpl) dan lahan kering dataran rendah (ketinggian 0 – 700 meter dpl.) (Hidayat et.al. 2000). Sejak akhir abad 19 perkembangan pertanian lahan kering di Jawa dirasakan meningkat pesat, selama 50 tahun (1875 – 1925) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen. Kegiatan memodifi kasi ekosistem hutan menjadi agroekosistem
lahan
kering
semakin
hari
menunjukkan
gejala
semakin
mengkhawatirkan. Sejak akhir abad 18 gejala kerusakan agroekosistem lahan kering di Jawa, akibat pembukaan lahan hutan terutama untuk pertanian menetap, telah dirasakan (Lombart 2000). Lahan kering di Jawa hingga saat ini masih dianggap mempunyai potensi besar untuk pembangunan usaha pertanian, walaupun secara teoritis dinilai tidak lagi memenuhi persyaratan ekologis, yaitu pemanfaatan lahan-lahan berkemiringan tinggi (> 30%). Gambaran, relief tanah ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Lahan kering berelief perbukitan jika memiliki kelerengan 15 – 30 dengan perbedaan ketinggian 50 – 300 meter. Proporsi lahan kering berelief perbukitan di Jawa Tengah mencapai 40 persen paling besar, juga di D.I. Yogyakarta 60 persen. Sekitar 87.376.500
ha dry low land lahan kering di Indonesia terutama
banyak dijumpai di Kalimantan dan Sumatera, dan sekitar 30 juta ha dry high land yang tersebar di Irian Jaya, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera (Puslitbangtanak, 2003). Petani lahan kering umumnya kurang menguasai teknologi pengelolaan lahan yang benar, dan sebagian petani bahkan sama sekali belum menggunakan input komersial. Sedikitnya tenaga kerja terampil, kelembagaan usaha tani yang belum berkembang dan dikuasainya pasar oleh pedagang perantara, merupakan kendala lain (Puslitbang Tanah 2002). Akumulasi dari berbagai kendala tersebut di atas tentunya berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas, tingkat penerimaan petani, atau pendapatan petani. Masalah kemiskinan di pedesaan lebih banyak dijumpai di wilayah lahan kering (Puslitbang Sosek 1993). Munculnya gejala kemiskinan tersebut disebabkan antara lain oleh daya dukung alam yang relatif kurang, prasarana sosial ekonomi yang belum memadai, kelembagaan sosial ekonomi yang belum menjangkau masyarakat setempat, serta mutu sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Selama ini pengembangan teknologi di lahan kering – yang merupakan kosentrasi petani miskin – relatif tertinggal, bahkan kurang
diprioritaskan. Hal ini menunjukkan tingkat kehidupan petani lahan kering menuntut perhatian dan komitmen yang besar untuk mengatasinya. Juga dengan dukungan fasilitas umum dan pengembangan informasi dan diseminasi teknologi pertanian sering kali belum dirancang untuk petani miskin. Faktor ini antara lain yang menjadikan mereka semakin terpuruk, dan akhirnya masuk kedalam perangkap kemiskinan. Kemiskinan dan Rumahtangga Petani Household resources dapat diartikan sebagai sumber dari kekuatan, potensi, dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat, atau tujuan. Household resources dapat dipilah menjadi human resources dan physical resources. Human resources mencakup time, skill, dan energi dari setiap anggota rumah tangga. Physical resources mencakup financial resources yang dapat diurutkan dari yang most liquid sampai dengan less liquid. Sumberdaya yang most liquid berupa cash, sedangkan yang less liquid berupa credit line, saving accounts, saham, surat obligasi, mobil, rumah, dan tanah (Bryant 1990). Sumberdaya mempunyai berbagai jenis, dapat diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, segi ekonomi, dan letak/asal (Guhardja et.al. 1992). Berdasarkan jenisnya, sumberdaya diklasifi-kasikan sebagai sumberdaya manusia dan bukan manusia, atau materi. Sumberdaya manusia mempunyai dua cirri, yaitu pribadi/ personal dan interpersonal. Sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah asset/kekayaan keluarga. Tabel 2. Jumlah unit rumahtangga pertanian menurut jenis usaha pertanian di Jawa dan luar Jawa (SP 2003) Jenis usaha Padi
Pulau Jawa Unit Persen 8.457.724 62,27
Luar Pulau Jawa Unit Persen 5.312.376 47,07
Palawija
6.771.722
49,86
4.086.536
36,21
10.834.342
79,77
7.424.516
65,78
Hortikultura
4.747.004
34,95
3.710.224
32,87
Perkebunan
1.717.092
12,64
5.226.071
46,31
13.582.578
100,00
11.286.097
100,00
Padi+palawija
Total Sumber : BPS (2004)
Hasil Sensus Pertanian (SP) 1983; jumlah rumahtangga pertanian (RTP) 19,5 juta, pada SP 1993 meningkat menjadi 21,5 juta, serta pada SP 2003 lebih dari 24 juta, sehingga selama 20 tahun telah terjadi peningkatan lebih dari 27 persen (Tabel 2). Jumlah RTP sebagian besar (54,6 persen) terkonsentrasi di pulau Jawa, dan sebagian besar merupakan RTP tanaman padi, dan palawija. RTP
menurut golongan luas lahan sebagian besar menguasai lahan relatif sempit, yaitu sebanyak 55,6 persen untuk lahan kurang dari 0,5 hektar, dan untuk pulau Jawa lebih banyak lagi mencapai 74,7 persen (Tabel 3) hasil SP 2003.
Tabel 3. Jumlah RTP menurut golongan luas lahan di Jawa, luar Jawa (SP, 2003) Luas lahan (m2) < 1.000 1.000 – 4.999 5.000 – 9.999 10.000 – 19.999 20.000 – 29.999 > 30.000 Jumlah Rataan lahan (ha)
Jawa (%) 17,84 56,83 17,23 6,15 1,18 0,76 100,00 0,458
Luar Jawa (%) 5,87 27,31 22,71 25,00 11,14 7,97 100,00 1,382
Total (%) 12,34 43,26 19,75 14,82 5,76 4,07 100,00 0,883
Sumber : BPS (2004)
Badan Pusat Statistik menamakan rumahtangga ini sebagai ”rumahtangga petani gurem”. Jumlah ini meningkat dibandingkan SP 1983 (40,8 persen), atau SP 1993 (48,5 persen). Hal ini berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan, dan ada kecenderungan berimplikasi terhadap rumah tangga miskin di daerah pertanian. Jumlah penduduk miskin di Indonesia selama kurun waktu 1976 – 1996 telah mengalami penurunan secara drastis. Periode 1976 – 1981 turun dari 54,2 juta jiwa (40,1%) menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%), pada tahun 1990 turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa (15,1%), dan pada tahun 1996 tinggal 22,5 juta jiwa (11,2%). Krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan penduduk miskin melonjak kembali, tahun 1998 menjadi 49,5 juta jiwa (24,23%), dan sedikit menurun pada tahun 1999 menjadi 47,9 juta jiwa (23,4%), tahun 2000 menjadi 37,3 juta jiwa (18,9%), tahun 2001 menjadi 37,1 juta jiwa (18,4%), tahun 2002 menjadi 38,4 juta jiwa (18,2%), dan tahun 2003 menjadi 37,3 juta jiwa (17,4%) (Menkesra 2004). Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang perlu diimplementasikan. Penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan natural – kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan karena faktor alamiah, seperti sakit kronis, lanjut usia. Kemiskinan kultural disebabkan faktor budaya, seperti malas, tidak disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan kurang memiliki rasa malu. Kemiskinan struktural disebabkan faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijaksanaan ekonomi yang diskriminatif, korupsi dan kolusi yang merajalela, atau tatanan perekonomian yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Jumlah keluarga miskin yang mencapai di atas 9 juta dengan berbagai program penanggulangan.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Empat konsep teori Struktural Fungsional yang melandasi penelitian, yaitu sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Keluarga sebagai sistem yang dinamis, terdiri dari berbagai bagian subsistem yang saling berhubungan, berfungsi memelihara keseimbangan sosial masyarakat. Sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan, dan senantiasa menuju keseimbangan. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga, dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Sistem berarti baik berada pada lapisan individual, lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan masyarakat. Sistem keluarga juga tidak akan lepas dari interaksinya dengan sistem-sistem lainnya yang ada, seperti sistem
ekonomi,
politik, pendidikan, kesehatan, dan agama, juga keluarga dapat berfungsi dalam memelihara keseimbangan sosial masyarakat. Menurut Struktural Fungsional (Talcott Parson), ekonomi (adaptasi, A) merupakan salah satu dari beberapa subsistem masyarakat, yaitu pencapaian tujuan (G), integrasi (I) untuk mencapai keseimbangan, dan pola pemelihraan dan manajemen (L), mempunyai satu sistem nilai dan kepercayaan. Institusi khusus yang berfungsi pemeliharaan laten adalah agama, ilmu pengetahuan, keluarga dan pendidikan. Ekonomi merupakan subsistem dari sistem sosial yang tidak dapat mencukupi diri sendiri dalam cara persaingan bebas, tetapi memiliki ketergantungan pada tiga subsistem lainnya, G, I dan L. Pada sistem kehidupan keluarga petani miskin di Kab. Blora, diduga penghasilan dari usahatani dan buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, mereka akan mengalokasikan tenaga keluarga, pola nafkah ganda, mengerjakan berbagai jenis pekerjaan (the multiple employment strategy), senada temuan White (1991), Dharmawan et al (2004) di luar Blora, dan nafkah berbasis modal sosial {kepercayaan, relasi, dan jaringan sosial (Putman)} sebagai strategi bertahan hidup, yang sangat tergantung pada pertanian. Jika keberlanjutan nafkah terancam mereka
akan melakukan strategi coping, dengan mengubah strategi
nafkah yang biasa dengan strategi nafkah baru, menggunakan sumber-sumber nafkah. Teori yang mendasari strategi coping adalah teori perilaku. Tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap (Ahmadi, 1999; Azwar, 2003). Sikap dan tingkah laku ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pengukuran sikap kami lakukan pada peubah lingkungan sosial ekonomi dan ekologi (meso), serta dukungan sosial ekonomi dan kebijakan (makro). Strategi coping yang dilakukan
dalam konteks krisis, dalam kontek penelitian ini musim tidak panen (durasi waktu) yang dominan, atau kemarau panjang, yang disertai tekanan sumberdaya, diduga berbeda dengan strategi coping dalam kondisi normal, dalam kontek penelitian ini musim panen. Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga petani miskin diharapkan dapat mengoptimalkan keberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan) dari berbagai kerentanan, perubahan sumberdaya, dan krisis. Tingkat pemenuhan kebutuhan pokok menurut Sunarti (2001) termasuk pada kategori ketahanan fisik keluarga. Setiap keluarga akan mengembangkan sistem penyesuaian diri (adaptasi) dalam merespon perubahan, baik bersifat jangka pendek (coping mechanism), atau yang lebih bersifat jangka panjang (adaptive mechanism). Secara operasional, diduga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi strategi coping, nafkah berbasis modal sosial, keberfungsian keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial sebagai bagian dari perilaku keluarga akan dipengaruhi berbagai faktor predispocing (pengetahuan, sikap, dan nilai), faktor enabling (sarana dan fasilitas), dan faktor reinforcing (dukungan masyarakat dan lingkungan). Apabila keluarga memiliki sedikit sumber coping, baik secara individu atau kolektif, maka proses coping tidak akan pernah dimulai, dan tekanan, krisis dapat terjadi berkelanjutan. Penelitian ini berfokus tentang ekosistem keluarga dalam menganalisis strategi coping,
strategi nafkah berbasis modal sosial, dan dampaknya terhadap
keberfungsian keluarga, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan), dan ketahanan fisik keluarga. Keluarga tergantung kepada berbagai sistem eksternal (unit-unit di luar sistem keluarga), dan berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tergambar dalam sebuah sistem. Berdasarkan pokok pikiran di atas, kerangka pemikiran penelitian terlihat Gambar 8 di bawah ini.
pada
Input (A)
Proses (B)
Output (C)
Karakteristik Keluarga Petani 1. Pekerjaan 2. Pendidikan 3. Pendapatan 4. Jumlah anggota keluarga
STRATEGI COPING Sikap Keluarga : Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya dan Ekologi 1. Potensi dan masalah sumber nafkah 2. Kerentanan 3. Keterdedahan budaya massa
Sikap Keluarga : Dukungan Sosial Ekonomi, Kebijakan
KEBERFUNGSIAN KELUARGA
KETAHANAN FISIK KELUARGA STRATEGI NAFKAH BERBASIS MODAL SOSIAL
PEMENUHAN KEBUTUHAN POKOK
1. Pangan, 2. Kesehatan, 3. Pendidikan, 4. Perumahan
1. Masyarakat/lembaga 2. Pemerintah Gambar 8. Strategi coping dan nafkah serta dampaknya terhadap keberfungsian dan ketahanan fisik keluarga