8
TINJAUAN PUSTAKA
Pelatihan Vokasional Pelatihan merupakan kegiatan pembelajaran yang didesain untuk mengubah kinerja orang dalam melakukan pekerjaan (Hickerson dan Middleton 1975). Pelatihan biasanya berhubungan dengan mempersiapkan seseorang untuk melakukan suatu tugas atau peran, dalam suatu setting pekerjaan (Tight 2002). Peters (Tight 2002) menyebutkan bahwa konsep pelatihan diaplikasikan ketika (1) ada beberapa jenis pekerjaan khusus yang harus dikuasai, (2) diperlukan praktek untuk penguasaan materi pekerjaan tersebut, dan (3) hanya diperlukan sedikit berpikir. Goldstein dan Gessner (dalam Tight 2002) mendefinisikan pelatihan sebagai perolehan keterampilan, sikap, dan konsep secara sistematis, yang menghasilkan peningkatan kinerja dalam suatu situasi pekerjaan, dilaksanakan dengan metode langsung di tempat kerja (on the job training) dan bisa juga terpisah di suatu ruangan kelas. Menurut Cushway (dalam Irianto 2001), pelatihan adalah sarana perubahan untuk meningkatkan keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kepandaian (ability) para karyawan yang umumnya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dengan munculnya fenomena internal dan eksternal organisasi seperti staff turner, perubahan teknologi, perubahan dalam pekerjaan, perubahan peraturan, perubahan dan perkembangan ekonomi, cara dan prosedur baru dalam bekerja, market pressure, kebijakan pemerintah, keinginan karyawan, variasi perilaku dan persamaan kesempatan. Menurut Hamalik (2000), konsep sistem pelatihan untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam suatu organisasi adalah: dilaksanakan terus menerus dalam membina ketenagakerjaan, dilakukan dengan sengaja, dilaksanakan oleh tenaga profesional, berlangsung dalam satuan waktu tertentu, meningkatkan kemampuan kerja peserta, dan berkenaan dengan tugas peserta dalam pekerjaannya. Pelatihan merupakan kegiatan pembelajaran. Belajar itu sendiri didefinisikan sebagai proses dimana perilaku diubah, dibentuk, dan dikontrol. Beberapa ahli lain mengistilahkan belajar dengan pengembangan kompetensi (Knowles 1973). Dalam hal ini, pelatihan merupakan proses pembelajaran, dimana dalam pembelajaran tersebut terjadi perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dan atau terjadi pengembangan kompetensi peserta pelatihan, dengan menggunakan pendekatan orang dewasa (Hickerson dan Middleton 1975). Kegiatan pelatihan harus memperhatikan 5 (lima) prinsip berikut ini (Hickerson dan Middleton 1975): (1) Penghayatan tujuan. Peserta harus mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu, (2) Rangkaian bertahap. Peserta harus memproses tahap demi tahap dan tiap tahapan harus berubah menjadi lebih sulit dibandingkan dengan tahapan sebelumnya. (3) Perbedaan individual. Beberapa peserta harus diberikan kesempatan untuk
9
mempelajari dengan cara yang terbaik yang sesuai dengan gaya belajar mereka (4) Praktek yang memadai. Semua peserta harus mempraktekkan aksi pekerjaan yang tergambar dalam tujuan perilaku. (5) Mengetahui hasil belajar. Saat peserta praktek, mereka harus tahu sejauhmana performa mereka benar atau tidak. Komponen-komponen pelatihan dan pengembangan menurut Ali (2005) terdiri atas: (1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur; (2) Para pelatih (trainers) harus memiliki kualifikasi yang memadai. (3) Materi latihan dan pengembangan harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (4) Metode pelatihan dan pengembangan harus sesuai dengan tingkat kemampuan pegawai yang menjadi peserta; (5) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sujudi (2003) menyebutkan bahwa komponen pelatihan setidaknya meliputi 4 (empat) komponen, yaitu: (1) Peserta Pelatihan, yang berhubungan dengan kriteria peserta untuk setiap jenis pelatihan dan jumpal peserta dalam suatu kelas (berhubungan dengan keefektivitasan pelatihan); (2) Pelatih/fasilitator, yang berhubungan dengan kemampuan kediklatan (berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar), kesesuaian tingkat pendidikan pelatih dengan peserta pelatihan, kesesuaian keahlian dengan materi yang diberikan (latar belakang pendidikan/keahlian pelatih); (3) Kurikulum, berhubungan dengan kejelasan tujuan pelatihan, materi pelatihan (termasuk urutan materi, proporsi waktu antara teori dan praktek), variasi metode pelatihan untuk setiap substansi, alat bantu pelatihan (kesesuaian jenis dan jumlah), dan evaluasi pelatihan (meliputi adanya instrumen dan kesesuaian instrumen evaluasi dengan kompetensi yang ingin dicapai); (4) Penyelenggara Pelatihan, yang berhubungan dengan kewenangan hukum yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dan tersedianya tenaga pengelola pelatihan yang sesuai standar; Merujuk kepada Mangkuprawira dan Hubeis (2007), pelatihan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pelatihan umum yang berupa pendidikan dasar untuk semua jenis pekerjaan dan pelatihan khusus yang fokus terhadap suatu bidang pekerjaan, maka pelatihan vokasional ini termasuk ke dalam bidang pelatihan khusus. Pelatihan vokasional merupakan salah satu dari rangkaian program rehabilitasi vokasional, merupakan upaya agar penyandang disabilitas memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk suatu jenis pekerjaan, sehingga dapat mempertahankan pekerjaan tersebut maupun meningkatkan kedudukannya (Yoshimitsu 2003). Pelatihan vokasional merupakan jalur pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif sebagai langkah untuk mendapatkan pekerjaan, dengan alasan waktu pendidikan singkat, mudah diakses, berorientasi pada dunia kerja, dan lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan penyedia lapangan kerja (Mavromaras dan Palidano 2011). Pelatihan vokasional
10
telah terbukti memberikan perbaikan hidup bagi para penyandang disabilitas di negara-negara berkembang, seperti di Bangladesh (Nuri et al. 2012) dan di Nepal (Manish 2010). Model yang lazim digunakan untuk pelatihan vokasional sekarang ini adalah pelatihan vokasional berbasis kompetensi (Smith 2010). Peserta merupakan orang yang paling penting dalam pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Karakteristik peserta bisa dijabarkan secara demografis dan prasyarat yang harus dipenuhi peserta perlu diperhatikan untuk menentukan lingkup dari kegiatan pelatihan yang dilakukan, spesifik pada karakteristik peserta tertentu atau dibuka untuk khalayak yang lebih umum (Rose 2009). Sedangkan jumlah peserta diperlukan untuk menentukan anggaran, rencana pelatihan, akomodasi dan sebagainya (Bray 2009). Selain itu, peserta pelatihan juga harus harus memiliki kualifikasi yang memadai (Ali 2005). Khusus untuk penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Griffin dan Nechvoglod (2008) juga menyebutkan bahwa kebanyakan penyandang disabilitas memiliki latar pendidikan yang rendah ketika mengikuti pelatihan vokasional. Instruktur mempunyai peran tersendiri dalam menunjang keberhasilan pelatihan. Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann 2010), termasuk di dalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005). Keinovatifan mengajar juga berperan dalam menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk belajar (Grosu 2011). Aspek lain dari instruktur yang penting menurut McGehee (dalam Ali 2005) adalah kemampuan memotivasi. Berkaitan dengan kemampuan memotivasi, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yag penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock 2008). Kemampuan memotivasi dalam pelatihan vokasional penyandang disabilitas adalah kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilaku penyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengikuti pelatihan dengan penuh energi dan terarah. Materi pelatihan sebagai salah satu komponen pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975) dan harus sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai (Ali 2005). Tujuan pelatihan harus jelas dan adanya praktek yang memadai (proporsional) dan adanya evaluasi untuk mengetahui hasil belajar (Hickerson dan Middleton 1975). Sementara itu, penyelenggara pelatihan berhubungan dengan kewenangan hukum yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dalam menyediakan tenaga pengelola dan sarana prasarana pelatihan yang sesuai standar (Sujudi 2003). Dari pengertian-pengertian mengenai pelatihan di atas, pelatihan vokasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran mengenai suatu bidang pekerjaan khusus yang dimaksudkan untuk memperoleh suatu pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu atau untuk mencapai suatu kompetensi tertentu yang diperlukan untuk suatu jenis pekerjaan. Adapun komponen pelatihan vokasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas peserta pelatihan, performa instruktur pelatihan, kurikulum pelatihan, dan profil penyelenggara pelatihan.
11
Penyandang Disabilitas Penyandang disabilitas menurut Convention of the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas tahun 2006 adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensori dalam jangka panjang, yang dapat menghambat interaksi mereka secara penuh dan efektif dalam berpartisipasi di masyarakat atas dasar persamaan hak dengan orang lain (those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others). Irwanto et al. (2010) menyebutkan bahwa disabilitas merupakan hasil dari adanya interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mendefinisikan penyandang cacat sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri atas: pertama, penyandang cacat fisik; kedua, penyandang cacat mental; dan ketiga, penyandang cacat fisik dan mental. Penyandang disabilitas fisik dibagi atas (1) penyandang disabilitas tubuh (tuna daksa), yaitu seorang yang menyandang kelainan tubuh pada alat gerak tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar; (2) penyandang disabilitas mata (tuna netra), adalah seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar; dan (3) penyandang tuna rungu/wicara, adalah seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas mental adalah seorang menyandang kelainan mental/jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umumnya dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas fisik dan mental adalah seseorang yang menyandang kelainan fisik dan mental sekaligus, atau disabilitas ganda, seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara, serta mempunyai kelainan mental dan tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai kelainan fisik (tuna daksa dan tuna rungu wicara) alumni BBRVBD bidang penjahitan tahun 2006-2012 yang bekerja di perusahaan bidang penjahitan/garmen.
12
Kompetensi Lulusan Pelatihan Kompetensi dipercaya sebagai faktor kunci dalam keberhasilan seseorang dalam pekerjaannya, Konsep kompetensi modern mulai diperkenalkan pada awal tahun 70-an, oleh David McClelland, seorang profesor dari Harvard University. McClelland mendefinisikan kompetensi sebagai: karakteristik yang mendasar yang dimiliki seseorang yang berpengaruh langsung terhadap, atau dapat memprediksi, kinerja yang sangat baik. Figel (2007) mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan konteks. Sedangkan Dave Ulrich, 1997 (Hartoyo 2003) menyatakan bahwa kompetensi adalah gambaran pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang ada pada seorang atau sekelompok pegawai. Mangkuprawira dan Hubeis (2007) mengenai elemen esensial pelatihan berbasis kompetensi, menyebutkan bahwa kompetensi adalah peran yang diturunkan, ditetapkan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. McAshan (dalam Mulyasa 2002) mengemukakan definisi kompetensi sebagai berikut: “...is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactory perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Kompetensi bidang penjahitan terdiri dari berbagai macam kualifikasi dengan berbagai macam kompetensi di dalamnya. Salah satu kualifikasinya adalah operator penjahit, dimana operator penjahit harus menguasai kompetensi dasar berupa kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja dan kompetensi menjahit dengan mesin. Kompetensi mengikuti prosedur K3 dalam bekerja terdiri dari 3 (tiga) subkompetensi, yaitu: (a) mengikuti prosedur K3 di tempat kerja, dengan indikator: menyebutkan konsep dasar dan fungsi serta tujuan keselamatan kerja di tempat kerja, mengikuti prosedur keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dan menerapkannya di tempat kerja, menguasai cara pengoperasian alat dan sarana keselamatan di tempat kerja; (b) menangani situasi darurat, dengan indikator: mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lain-lain) dan melakukan tindakan untuk menguasai situasi darurat sesuai prosedur; dan (c) menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman, dengan indikator: menjaga kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian tempat kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja sesuai kebutuhan, menggunakan alat kerja dengan tepat sesuai kebutuhan (BBRVBD 2011). Sedangkan kompetensi menjahit dengan mesin terdiri dari 5 (lima) sub kompetensi, yaitu: (a) menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan indikator: menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macam-macam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat jahit yang dibutuhkan, dan menyiapkan
13
alat jahit sesuai kebutuhan; (b) menyiapkan mesin jahit, dengan indikator: mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai jenis bahannya, mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan/spul/jarum) dan memasangnya sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan; (c) mengoperasikan mesin jahit, dengan indikator: mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain lain, dan memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan; (d) menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dengan indikator: menyiapkan bagian-bagian potongan bahan pakaian yang akan dijahit, menjahit bagian – bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan menerapkan keselamatan kerja; dan (e) merapikan tempat dan alat kerja, dengan indikator: memelihara alat jahit dengan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, menyimpan alat jahit dan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, dan membersihkan tempat kerja (BBRVBD 2011). Selain kemampuan teknis, diperlukan juga kemampuan non teknis agar para lulusan pelatihan dapat diserap di dunia kerja. Kemampuan non teknis agar seseorang dapat mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan pekerjaannya dikenal dengan employability (Pool dan Sewell 2007). Rasul et al. (2010), mengemukakan bahwa pengertian tentang employability telah banyak diperdebatkan dengan berbagai penafsiran yang cenderung menyatakan bahwa employability adalah kesiapan para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir dengan sukses. Sesuai dengan Rekomendasi ILO No. 99, dimana rehabilitasi vokasional didefinisikan sebagai “suatu bagian dari proses rehabilitasi secara berkesinambungan dan terpadu yang menyediakan pelayanan (misalnya: bimbingan kerja, pelatihan kerja, dan penempatan kerja) untuk memungkinkan penyandang disabilitas memperoleh suatu pekerjaan yang tepat dan dapat mempertahankan pekerjaan tersebut”, maka employability perlu dikuasai oleh para peserta pelatihan vokasional agar mereka bisa memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta mengembangkan karir dengan sukses. Wen L. et al. (2010) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa employability yang dibutuhkan di dunia kerja adalah (a) pemecahan masalah, (b) etika kerja, (c) tanggung jawab, (d) bekerja dalam tim, (e) berorientasi pada pelanggan, dan (f) komunikasi dan manajemen konflik. Dalam pelatihan vokasional yang diselenggarakan di BBRVBD, kemampuan non teknis diperoleh peserta pelatihan melalui mata pelatihan pendukung dan dari program bimbingan mental. Kompetensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kompetensi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional BBRVBD Cibinong yang meliputi kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, kompetensi menjahit dengan mesin, dan employability.