PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYANDANG DISABILITAS MELALUI PELATIHAN VOKASIONAL Kasus Penyandang Disabilitas Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong
SANTI UTAMI DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Kompetensi Penyandang Disabilitas melalui Pelatihan Vokasional, Kasus Penyandang Disabilitas Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong, adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2013
Santi Utami Dewi NIM I351100031
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN SANTI UTAMI DEWI. Pengembangan Kompetensi Penyandang Disabilitas melalui Pelatihan Vokasional: Kasus Penyandang Disabilitas Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong. Dibawah bimbingan: SITI AMANAH dan EVA RAHMI KASIM. Penguasaan kompetensi diperlukan oleh penyandang disabilitas agar penyandang disabilitas dapat memperoleh pekerjaan di pasar kerja terbuka. Pelatihan vokasional yang diselenggarakan oleh Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong merupakan salah satu upaya untuk membekali penyandang disabilitas dengan kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja. Program pelatihan terdiri dari 6 (enam) bidang keterampilan, yaitu: penjahitan, komputer, desain grafis, elektronika, pekerjaan logam, dan otomotif. Bidang penjahitan merupakan bidang keterampilan dengan jumlah lulusan tertinggi yang diserap oleh perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menggambarkan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan; (2) menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan kompetensi lulusan; dan (3) memberikan rekomendasi bagi pengembangan pelatihan vokasional yang lebih efektif bagi penyandang disabiltas di bidang penjahitan. Penelitian dengan metode sensus terhadap 42 penyandang disabilitas lulusan BBRVBD Cibinong bidang keterampilan penjahitan tahun 2006-2012 yang bekerja di 3 (tiga) perusahaan garmen di Jawa Barat telah dilaksanakan pada bulan Juni-Desember 2012. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, pengisian kuesioner, dan wawancara mendalam. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif (distribusi frekuensi) dan statistik inferensia (korelasi Rank Spearman) dengan didukung oleh perangkat lunak SPSS 20.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi lulusan berada dalam kategori tinggi. Performa instruktur dalam memberikan motivasi kepada peserta berkorelasi positif signifikan terhadap kompetensi lulusan. Sedangkan urutan substansi materi, proporsi waktu teori dan praktek, jumlah instruktur, dan sarana prasarana pelatihan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan. Keefektifan pelatihan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan performa instruktur dalam memotivasi peserta melalui pelatihan bagi instruktur (ToT), meningkatkan kurikulum materi pelatihan dan meningkatkan sarana prasarana pelatihan. Sebuah program baru berupa penyaluran kerja dapat diselenggarakan BBRVBD untuk memfasilitasi penyandang disabilitas yang sudah memiliki kompetensi yang baik hasil pelatihan sebelumnya di daerah tapi membutuhkan bantuan penyaluran kerja dari BBRVBD. Koordinasi antara Kementerian Sosial, BBRVBD, dan PSBD/LBK diperlukan agar kurikulum yang ada tidak tumpang tindih. Kata kunci: pelatihan vokasional, rehabilitasi vokasional, penyandang disabilitas, kompetensi menjahit.
SUMMARY
SANTI UTAMI DEWI. The Competence Development of Persons with Disabilities through Vocational Training at National Vocational Rehabilitation Center (NVRC) Cibinong. Supervised by: SITI AMANAH and EVA RAHMI KASIM. A competence mastery is needed by persons with disabilities to enable persons with disabilities having a job in open employment. Vocational training conducted by National Vocational Rehabilitation Center (NVRC) Cibinong is one of the efforts to equip persons with disabilities with the competence needed by the workplace. The training program consists of 6 (six) main skills, i.e.: sewing, computer, graphic design, electro, metal work, and automotive. Sewing class has the highest number of graduated trainess that employed by the companies. The study has three main objectives: (1) to describe the competence of persons with disabilities graduated from NVRC Cibinong -sewing class; (2) to analyze the factors that correlated to competence of graduated trainees; and (3) to formulate a recomendation for developing vocational training approach for persons with disabilities that could ensure its effectiveness. A sensus to 42 persons with disabilities graduated from sewing class of NVRC Cibinong year 2006-2012 that employed by 3 (three) garment companies in West Java province has already conducted on June-December 2012. The data was collected by using observation, questionnaires and in-depth interview techniques and analyzed by using descriptive statistics (distribution of frequency) and inferencial statistics (Rank Spearman correlation) supported by SPSS 20.0 Software. The results show that the competence of graduated trainees is categoryzed in high level. The instructors’ performance in motivating the trainees has a significant positive correlation on competence. Meanwhile, the gradually contents of subjects, the proportion of duration for theory and practice, the number of instructors, and the facilities of Center have a very significant positive correlation on competence. The effectiveness of training could be increased by improving the performance of instructor in motivating the trainees, reinforcing the curriculum and maintaining the facilities of Center. A new program –Job placement- can be implemented by NVRC to support persons with disabilities who have already had a high competence from previous training but need support in finding job. Coordination among Ministry of Social Affairs, NVRC, and PSBD/LBK is needed to make the curriculum in line. Keywords: vocational training, vocational rehabilitation, person with disabilities, sewing competence.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYANDANG DISABILITAS MELALUI PELATIHAN VOKASIONAL: Kasus Penyandang Disabilitas Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong
SANTI UTAMI DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar : Prof Dr Pang S Asngari, MEd
Judul Penelitian
:
Nama NIM
: :
Pengembangan Kompetensi Penyandang Disabilitas melalui Pelatihan Vokasional: Kasus Penyandang Disabilitas Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong Santi Utami Dewi I351100031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua
Dra Eva Rahmi Kasim, MDS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 08 Februari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, hanya dengan karunia rahmat, berkah, hidayah dan kesehatan dari-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul “Pengembangan Kompetensi Penyandang Disabilitas melalui Pelatihan Vokasional: Kasus Alumni Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Komisi pembimbing, Dr. Ir. Siti Amanah, M. Sc sebagai ketua dan Eva Rahmi Kasim, M.DS. sebagai anggota, atas dukungan yang tidak terhingga dalam membimbing dan memberikan saran, masukan serta arahan sehingga penulisan tesis ini dapat lebih baik. 2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB beserta dosen pengajar, yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa pascasarjana PPN IPB dan memberikan ilmu serta teoriteori berkaitan dengan studi yang penulis tempuh. 3. Staf Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, atas kerjasama, dorongan, dan bantuan yang diberikan. 4. Kepala BBRVBD Cibinong dan Kepala Pusdiklat Kemensos atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar. 5. Bapak dan Ibu tercinta, dan saudara-saudara yang telah mendoakan, memberi dorongan dan semangat selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 6. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Damayanti, Suami (Rusmaladi) dan Putera tercinta (Muhammad Adly Bill Abaggi dan Hikmah Radian Wijaya) atas doa, dorongan, dengan penuh pengertian dan kesabaran telah mendampingi penulis selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 7. Teman-teman seangkatan di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (Aminuddin, Ikhsan Hariyadi, Ristianasari, Roy Daniel Samboh, Saptorini, dan Sri Ramadoan) atas segala masukan, bantuan, dan kebersamaan serta kekompakan yang terjalin selama ini. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, karenanya penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan. Masukan, saran dan arahan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Amin. Bogor, Februari 2013 Penulis
Santi Utami Dewi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Berpikir Perumusan Masalah Penelitian Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pelatihan Vokasional Penyandang Disabilitas Kompetensi Lulusan Pelatihan METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi Penelitian Pengembangan Instrumen Penelitian Uji Instrumen Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum BBRVBD Cibinong
vi vii viii 1 1 3 5 6 6 7 8 8 11 12 14 14 14 14 14 20 22 24 24
Karakteristik Peserta Pelatihan
30
Performa Instruktur
32
Kurikulum Pelatihan
34
Profil Penyelenggara Pelatihan
38
Kompetensi Melaksanakan Prosedur K3 dalam Bekerja
40
Kompetensi Menjahit dengan Mesin Employability Hubungan Karakteristik Peserta Pelatihan dengan Kompetensi Hubungan Performa Instruktur dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan Hubungan Kurikulum Pelatihan dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan
42 44 48 49 51
Hubungan Profil Penyelenggara Pelatihan dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan Pengembangan Pelatihan Vokasional bidang Penjahitan bagi Penyandang Disabilitas SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
53 54 56 56 56 58 62
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Rekapitulasi Data Penempatan Kerja Kelayan BBRVBD Cibinong Hasil Uji Instrumen Penelitian Rekapitulasi Data PBK dan Penyaluran Kerja Kelayan BBRVD tahun 1998-2011 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Peserta Distribusi Responden Berdasarkan Performa Instruktur Distribusi Responden Berdasarkan Kurikulum Pelatihan Komposisi Waktu dan Materi Pelatihan Vokasional Jurusan Keterampilan Penjahitan di BBRVBD Cibinong Distribusi Responden Berdasarkan Profil Penyelenggara Pelatihan Distribusi Responden Berdasarkan Kompetensi Melaksanakan Prosedur K3 dalam Bekerja Distribusi Responden Berdasarkan Kompetensi Menjahit dengan Mesin Distribusi Responden Berdasarkan Employability Korelasi Karakteristik Peserta Pelatihan dengan Kompetensi Korelasi Performa Instruktur dengan Kompetensi Korelasi Kurikulum Pelatihan dengan Kompetensi Korelasi Profil Penyelenggara Pelatihan dengan Kompetensi Keterkaitan antara Kesenjangan Kompetensi dan Kurikulum Pelatihan
2 22 28 30 33 35 36 38 41 43 46 48 50 51 53 55
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4.
Lokasi BBRVBD Cibinong Peta Sebaran Asal Provinsi Responden Dokumentasi Kurikulum Pelatihan Vokasional
62 63 64 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kompetensi merupakan aspek yang harus dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya. Begitu pula dengan penyandang disabilitas yang memerlukan penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja, agar ia dapat memperoleh pekerjaan dan bersaing dengan orang yang tidak memiliki disabilitas di pasar kerja terbuka. Penyandang disabilitas merupakan istilah yang digunakan untuk mengganti istilah penyandang cacat. Penyandang disabilitas menurut Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas atau Convention of the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) merupakan istilah bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (UN 2006). WHO (2011) menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di dunia pada tahun 2010 adalah sebanyak 15,6 persen dari total penduduk dunia, atau lebih dari 1 milyar. Menurut ILO (Pozzan 2011) sebanyak 470 juta penyandang disabilitas diantaranya masuk ke dalam kategori usia kerja. Kemudian data World Bank (Pozzan 2011) menyebutkan bahwa sebanyak 80 persen penyandang disabilitas yang tinggal di negara berkembang hidup di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia sendiri, prevalensi penyandang disabilitas pada tahun 2007 adalah sebanyak 21.3 persen (WHO 2011). Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial RI dalam simcat.depsos.go.id pada tahun 2009, memperlihatkan bahwa berdasarkan pekerjaannya, sebanyak 25,3 persen penyandang disabilitas dalam keadaan bekerja dan sisanya sebanyak 74,7 persen tidak bekerja. Padahal rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja menyebabkan sulitnya memutuskan rantai kemiskinan dan disabilitas. Untuk memutus rantai disabilitas dan kemiskinan, para penyandang disabilitas harus memiliki pekerjaan (WHO 2011). Rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat keterampilan yang dikuasai oleh penyandang disabilitas. Data Pusdatin (2009) memperlihatkan bahwa hanya 10,2 persen penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan dan sisanya sebanyak 89,8 persen tidak memiliki keterampilan, padahal sebanyak 34,1 persen penyandang disabilitas berada pada kelompok usia 15-39 tahun yang merupakan kelompok usia produktif. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kompetensi penyandang disabilitas agar mereka memiliki kemampuan memadai yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dunia kerja. Salah satu upaya pemerintah dalam mempersiapkan tenaga kerja penyandang disabilitas dan untuk mewujudkan kemandirian serta meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas, yaitu dengan memberikan pelayanan rehabilitasi dalam bentuk pelatihan vokasional/keterampilan (UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 18(2); UU No. 11 Tahun 2009 tentang
1
2
Kesejahteraan Sosial Pasal 7 Ayat 3(c); PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 47-48). Dalam pelatihan vokasional, penyandang disabilitas dilatih suatu keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja di perusahaan ataupun secara mandiri, sehingga mereka dapat menjadi individu yang mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung kepada orang lain (Yoshimitsu 2003). Hal tersebut sesuai dengan falsafah penyuluhan yang diantaranya adalah falsafah pendidikan, yaitu bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki individu secara optimal dan falsafah membantu, yaitu membantu mereka untuk menolong dirinya sendiri (Amanah 2003). Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong yang diresmikan tahun 1997 sebagai hasil kerjasama Pemerintah RI dan Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) merupakan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan pelatihan vokasional bagi penyandang disabilitas. Di lembaga ini, penyandang disabilitas dibekali pengetahuan, perbaikan sikap dan terutama pelatihan keterampilan kerja. Ekspektasi dari pelayanan tersebut adalah agar para penyandang disabilitas mampu secara profesional bersaing di pasaran kerja (Roebyantho et al. 2010). BBRVBD Cibinong resmi memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas sejak tahun 1998. Setiap tahunnya lembaga ini menerima 100 penyandang disabilitas fisik yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia untuk diberikan pelatihan vokasional, lalu disalurkan magang dan diharapkan dapat bekerja di perusahaan atau usaha mandiri. Jenis keterampilan yang diberikan pada pelatihan vokasional terdiri dari: (1) penjahitan, (2) komputer, (3) desain grafis dan percetakan, (4) elektronika, dan (5) pekerjaan logam. Sejak tahun 2011, lembaga ini meningkatkan kapasitasnya dengan menambah 1 (satu) jenis keterampilan, yaitu keterampilan otomotif sehingga kapasitas peserta pelatihannya bertambah menjadi 120 orang per tahun. Adapun jumlah lulusan pelatihan yang sudah terserap oleh dunia kerja disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi data penempatan kerja kelayan BBRVBD No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Tahun
Angkatan
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total (persen)
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV
Lulusan yang terserap di pasaran kerja (persen) 30 58 71 75 69 47 71 65 80 20 70 61 87 98 65
Mengacu kepada Tabel 1 daya serap tenaga kerja penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong masih fluktuatif. Persentase
3
serapan tertinggi dicapai pada tahun 2011 pada angka 98 persen dan angka terendah pada tahun 2007 sebanyak 20 persen. Hal tersebut diantaranya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi perusahaan-perusahaan mitra, jumlah perusahaan mitra, dan kemampuan atau kompetensi lulusan. Didukung oleh majunya industri garmen dan meningkatnya kebutuhan di dunia sandang, lulusan keterampilan penjahitan merupakan lulusan yang memiliki daya serap paling tinggi di dunia kerja di antara keterampilan-keterampilan lainnya. Berdasarkan data BBRVBD (2011), daya serap lulusan keterampilan penjahitan di dunia kerja berada pada angka 95,3 persen dari total semua lulusan keterampilan penjahitan tahun 1998-2011. Jika dibandingkan dengan total lulusan semua jenis keterampilan di BBRVBD Cibinong yang diserap di dunia kerja, maka lulusan keterampilan penjahitan berada di peringkat paling tinggi, yaitu sebesar 26,9 persen. Tingginya daya serap lulusan keterampilan penjahitan tentunya didukung oleh penguasaan kompetensi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas yang mengikuti pelatihan vokasional di keterampilan penjahitan tersebut. Kompetensi dasar yang dilatihkan kepada semua peserta pelatihan adalah kompetensi melaksanakan prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan (K3) dalam bekerja dan kompetensi menjahit dengan mesin, serta didukung oleh kemampuan non teknis yang dibutuhkan di dunia kerja (employability), yang diperoleh dalam kegiatan pembelajaran selama pelatihan. Kompetensi-kompetensi tersebut harus dikuasai oleh peserta pelatihan agar mereka mampu diserap di dunia kerja. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan pelatihan vokasional di bidang penjahitan terhadap peningkatan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan.
Kerangka Berpikir Pelatihan vokasional merupakan jalur pendidikan yang umumnya ditempuh oleh penyandang disabilitas usia produktif sebagai langkah untuk mendapatkan pekerjaan, dengan alasan waktu pendidikan singkat, mudah diakses, berorientasi pada dunia kerja, dan lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan penyedia lapangan kerja (Mavromaras dan Palidano 2011). Pelatihan vokasional telah terbukti memberikan perbaikan hidup bagi para penyandang disabilitas di negara-negara berkembang, seperti di Bangladesh (Nuri et al. 2012) dan di Nepal (Manish 2010). Model yang lazim digunakan untuk pelatihan vokasional sekarang ini adalah pelatihan vokasional berbasis kompetensi (Smith 2010). Keberhasilan pelatihan ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di dalamnya yaitu diantaranya peserta, instruktur/pelatih, kurikulum/materi dan penyelenggara pelatihan, dimana peserta ditentukan oleh karakteristik peserta (misalnya: demografis, latar belakang pendidikan) yang menentukan lingkup dari pelatihan tersebut (Rose 2009). Khusus untuk penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Instruktur mempunyai peran tersendiri dalam menunjang keberhasilan pelatihan. Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann
4
2010), termasuk didalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005). Keinovatifan mengajar juga berperan dalam menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk belajar (Grosu 2011). Menurut McGehee (Ali 2005), aspek lain dari instruktur yang penting adalah kemampuan memotivasi. Materi pelatihan yang disajikan dalam kurikulum pelatihan sebagai salah satu komponen pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975). Peserta harus mengetahui tujuan pelatihan, adanya praktek yang memadai (proporsional) dan mengetahui hasil belajar dalam bentuk evaluasi (Hickerson dan Middleton 1975). Penyelenggara pelatihan berwenang atas kebijakan dalam menentukan tenaga pengelola pelatihan dan ketersediaan sarana prasarana pelatihan. Kompetensi merupakan aspek yang harus dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya. Kompetensi bidang penjahitan terdiri dari berbagai macam kualifikasi dengan berbagai macam kompetensi di dalamnya. Salah satu kualifikasinya adalah operator penjahit, dimana operator penjahit harus menguasai kompetensi dasar berupa kompetensi melaksanakan prosedur kesehatan, keamanan, dan keselamatan (K3) dalam bekerja dan kompetensi menjahit dengan mesin. Selain kemampuan teknis, diperlukan juga kemampuan non teknis agar para lulusan pelatihan dapat diserap di dunia kerja. Menurut Hillage and Pollard (Pool and Sewell 2007) kemampuan non teknis juga diperlukan agar seseorang dapat memperoleh pekerjaan dan mempertahankan pekerjaannya, kemampuan non teknis ini dikenal dengan employability. Rasul et al. (2010), mengemukakan bahwa employability adalah kesiapan para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir dengan sukses. Sesuai dengan Rekomendasi ILO No. 99, dimana rehabilitasi vokasional didefinisikan sebagai “suatu bagian dari proses rehabilitasi secara berkesinambungan dan terpadu yang menyediakan pelayanan (misalnya: bimbingan kerja, pelatihan kerja, dan penempatan kerja) untuk memungkinkan penyandang disabilitas memperoleh suatu pekerjaan yang tepat dan dapat mempertahankan pekerjaan tersebut”, maka employability perlu dikuasai oleh para peserta pelatihan vokasional agar mereka dapat memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta mengembangkan karir dengan sukses. Wen L. et al. (2010) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa employability yang dibutuhkan di dunia kerja adalah (a) pemecahan masalah, (b) etika kerja, (c) tanggung jawab, (d) bekerja dalam tim, (e) berorientasi pada pelanggan, dan (f) komunikasi dan manajemen konflik. Pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong sudah berjalan selama 15 tahun, dan bidang penjahitan merupakan bidang dengan daya serap tenaga kerja lulusan terbesar, yaitu sebanyak 95,3 persen dari semua total lulusan bidang penjahitan. Fokus penelitian ini adalah untuk menggambarkan kompetensi kerja penyandang disabilitas di bidang penjahitan dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi kerja dalam konteks pelatihan vokasional, dengan kerangka penelitian sebagaimana pada Gambar 1.
5
X1. Karakteristik Penyandang Disabilitas Peserta Pelatihan X1.1. Jenis kelamin X1.2. Usia X1.3. Jenis disabilitas X1.4. Penyebab disabilitas X1.5. Lama menyandang disabilitas X1.6. Pendidikan formal
Y1. Kompetensi Melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Y1.1. Mengikuti prosedur K3di tempat kerja
X1.7. Pendidikan nonformal
Y1.2. Menangani situasi darurat
X1.8. Pengalaman bekerja
Y1.3. Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman
X2. Performa Instruktur X2.1. Penguasaan materi Y2. Kompetensi menjahit dengan mesin
X2.2. Keinovatifan mengajar X2.3. Kemampuan memotivasi
Y2.1. Menyiapkan tempat dan alat kerja Y2.2. Menyiapkan mesin jahit
X3. Kurikulum Pelatihan
Y2.3. Mengoperasikan mesin jahit
X3.1. Proporsi jenis materi penunjang dan utama
Y2.4. Menjahit bagian-bagian potongan pakaian
X3.2. Kejelasan tujuan pelatihan
Y2.5. Merapikan tempat dan alat kerja
X3.3. Kesesuaian materi dan tujuan pelatihan X3.4. Urutan substansi materi pelatihan X3.5. Proporsi waktu teori dan praktek
Y3. Employability:
X3.6. Waktu untuk pelatihan
Y3.1. Pemecahan masalah
X3.7. Evaluasi pelatihan.
Y3.2. Etika kerja Y3.3. Tanggung jawab
X4. Profil Penyelenggara Pelatihan X4.1. Kesesuaian jumlah instruktur X4.2. Tingkat pendidikaninstruktur
Y3.4. Bekerja dalam tim Y3.5. Berorientasi pada pelanggan Y3.6. Komunikasi dan manajemen konflik
X4.3. Kesesuaian jurusan pendidikaninstruktur X4.4. Pendidikan non formal instruktur X4.5. Pengalaman mengajar instruktur X4.6. Sarana dan prasarana pelatihan
. Gambar 1 Kerangka berpikir penelitian
Perumusan Masalah Penelitian Pengembangan kompetensi penyandang disabilitas melalui pelatihan vokasional yang dilaksanakan di BBRVBD Cibinong dimaksudkan agar penyandang disabilitas alumni pelatihan dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja sesuai dengan bidang keterampilannya. Pelatihan sebagai suatu kegiatan pembelajaran bagi orang dewasa yang didesain untuk mengubah perilaku peserta pelatihan tidak bisa lepas dari komponen pelatihan seperti karakteristik peserta pelatihan, performa instruktur pelatihan, kurikulum pelatihan, dan profil penyelenggara pelatihan. Sehingga diperlukan penelitian untuk melihat hubungan pelatihan terhadap kompetensi yang dicapai oleh penyandang disabilitas lulusan pelatihan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana tingkat kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan; (2) Faktor-
6
faktor apa saja yang berhubungan dengan kompetensi lulusan pelatihan vokasional di bidang penjahitan yang diselenggarakan oleh BBRVBD Cibinong; dan (3) Berkaitan dengan pengembangan kompetensi penyandang disabilitas melalui pelatihan vokasional, aspek apa yang bisa dikembangkan dari pelatihan vokasional untuk meningkatkan kompetensi penyandang disabilitas di bidang penjahitan. Hipotesis Mengacu pada permasalahan dan kerangka pikir penelitian, hipotesis penelitian dirumuskan adalah sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik peserta pelatihan (usia, lama menyandang disabilitas, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pengalaman kerja) dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional (melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, menjahit dengan mesin, dan employability) di BBRVBD Cibinong; (2) Terdapat hubungan nyata antara performa instruktur pelatihan (penguasaan materi, keinovatifan mengajar, dan kemampuan memotivasi) dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional (melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, menjahit dengan mesin, dan employability) di BBRVBD Cibinong; (3) Terdapat hubungan nyata antara kurikulum pelatihan (proporsi jenis materi utama dan penunjang, kejelasan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dan tujuan pelatihan, urutan substansi materi pelatihan, proporsi waktu teori dan praktek, waktu untuk pelatihan, dan evaluasi pelatihan) dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional (melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, menjahit dengan mesin, dan employability) di BBRVBD Cibinong; (4) Terdapat hubungan nyata antara profil penyelenggara pelatihan (kesesuaian jumlah instruktur, tingkat pendidikan instruktur, kesesuaian jurusan pendidikan instruktur, pendidikan non formal instruktur, pengalaman mengajar instruktur, dan sarana parasarana pelatihan) dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional (melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, menjahit dengan mesin, dan employability) di BBRVBD Cibinong;
Tujuan Penelitian
(1) (2)
(3)
Penelitian ini bertujuan untuk: Menggambarkan tingkat kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan; Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi penyandang disabilitas di bidang penjahitan melalui pelatihan vokasional; dan Memberikan rekomendasi pengembangan pelatihan vokasional yang lebih efektif bagi peningkatan kompetensi penyandang disabilitas di bidang penjahitan.
7
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan pelatihan vokasional sebagai upaya pengembangan kompetensi penyandang disabilitas dalam mempersiapkan tenaga kerja penyandang disabilitas yang kompeten di bidangnya. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menentukan kriteria dan indikator pengembangan kompetensi penyandang disabilitas di bidang penjahitan melalui pelatihan vokasional. Bagi Ilmu Penyuluhan, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan berkaitan dengan peran penyuluhan dalam bentuk pelatihan vokasional untuk mengembangkan potensi penyandang disabilitas sehingga penyandang disabilitas dapat menolong diri mereka sendiri.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pelatihan Vokasional Pelatihan merupakan kegiatan pembelajaran yang didesain untuk mengubah kinerja orang dalam melakukan pekerjaan (Hickerson dan Middleton 1975). Pelatihan biasanya berhubungan dengan mempersiapkan seseorang untuk melakukan suatu tugas atau peran, dalam suatu setting pekerjaan (Tight 2002). Peters (Tight 2002) menyebutkan bahwa konsep pelatihan diaplikasikan ketika (1) ada beberapa jenis pekerjaan khusus yang harus dikuasai, (2) diperlukan praktek untuk penguasaan materi pekerjaan tersebut, dan (3) hanya diperlukan sedikit berpikir. Goldstein dan Gessner (dalam Tight 2002) mendefinisikan pelatihan sebagai perolehan keterampilan, sikap, dan konsep secara sistematis, yang menghasilkan peningkatan kinerja dalam suatu situasi pekerjaan, dilaksanakan dengan metode langsung di tempat kerja (on the job training) dan bisa juga terpisah di suatu ruangan kelas. Menurut Cushway (dalam Irianto 2001), pelatihan adalah sarana perubahan untuk meningkatkan keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kepandaian (ability) para karyawan yang umumnya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dengan munculnya fenomena internal dan eksternal organisasi seperti staff turner, perubahan teknologi, perubahan dalam pekerjaan, perubahan peraturan, perubahan dan perkembangan ekonomi, cara dan prosedur baru dalam bekerja, market pressure, kebijakan pemerintah, keinginan karyawan, variasi perilaku dan persamaan kesempatan. Menurut Hamalik (2000), konsep sistem pelatihan untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam suatu organisasi adalah: dilaksanakan terus menerus dalam membina ketenagakerjaan, dilakukan dengan sengaja, dilaksanakan oleh tenaga profesional, berlangsung dalam satuan waktu tertentu, meningkatkan kemampuan kerja peserta, dan berkenaan dengan tugas peserta dalam pekerjaannya. Pelatihan merupakan kegiatan pembelajaran. Belajar itu sendiri didefinisikan sebagai proses dimana perilaku diubah, dibentuk, dan dikontrol. Beberapa ahli lain mengistilahkan belajar dengan pengembangan kompetensi (Knowles 1973). Dalam hal ini, pelatihan merupakan proses pembelajaran, dimana dalam pembelajaran tersebut terjadi perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dan atau terjadi pengembangan kompetensi peserta pelatihan, dengan menggunakan pendekatan orang dewasa (Hickerson dan Middleton 1975). Kegiatan pelatihan harus memperhatikan 5 (lima) prinsip berikut ini (Hickerson dan Middleton 1975): (1) Penghayatan tujuan. Peserta harus mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu, (2) Rangkaian bertahap. Peserta harus memproses tahap demi tahap dan tiap tahapan harus berubah menjadi lebih sulit dibandingkan dengan tahapan sebelumnya. (3) Perbedaan individual. Beberapa peserta harus diberikan kesempatan untuk
9
mempelajari dengan cara yang terbaik yang sesuai dengan gaya belajar mereka (4) Praktek yang memadai. Semua peserta harus mempraktekkan aksi pekerjaan yang tergambar dalam tujuan perilaku. (5) Mengetahui hasil belajar. Saat peserta praktek, mereka harus tahu sejauhmana performa mereka benar atau tidak. Komponen-komponen pelatihan dan pengembangan menurut Ali (2005) terdiri atas: (1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur; (2) Para pelatih (trainers) harus memiliki kualifikasi yang memadai. (3) Materi latihan dan pengembangan harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (4) Metode pelatihan dan pengembangan harus sesuai dengan tingkat kemampuan pegawai yang menjadi peserta; (5) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sujudi (2003) menyebutkan bahwa komponen pelatihan setidaknya meliputi 4 (empat) komponen, yaitu: (1) Peserta Pelatihan, yang berhubungan dengan kriteria peserta untuk setiap jenis pelatihan dan jumpal peserta dalam suatu kelas (berhubungan dengan keefektivitasan pelatihan); (2) Pelatih/fasilitator, yang berhubungan dengan kemampuan kediklatan (berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar), kesesuaian tingkat pendidikan pelatih dengan peserta pelatihan, kesesuaian keahlian dengan materi yang diberikan (latar belakang pendidikan/keahlian pelatih); (3) Kurikulum, berhubungan dengan kejelasan tujuan pelatihan, materi pelatihan (termasuk urutan materi, proporsi waktu antara teori dan praktek), variasi metode pelatihan untuk setiap substansi, alat bantu pelatihan (kesesuaian jenis dan jumlah), dan evaluasi pelatihan (meliputi adanya instrumen dan kesesuaian instrumen evaluasi dengan kompetensi yang ingin dicapai); (4) Penyelenggara Pelatihan, yang berhubungan dengan kewenangan hukum yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dan tersedianya tenaga pengelola pelatihan yang sesuai standar; Merujuk kepada Mangkuprawira dan Hubeis (2007), pelatihan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pelatihan umum yang berupa pendidikan dasar untuk semua jenis pekerjaan dan pelatihan khusus yang fokus terhadap suatu bidang pekerjaan, maka pelatihan vokasional ini termasuk ke dalam bidang pelatihan khusus. Pelatihan vokasional merupakan salah satu dari rangkaian program rehabilitasi vokasional, merupakan upaya agar penyandang disabilitas memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk suatu jenis pekerjaan, sehingga dapat mempertahankan pekerjaan tersebut maupun meningkatkan kedudukannya (Yoshimitsu 2003). Pelatihan vokasional merupakan jalur pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif sebagai langkah untuk mendapatkan pekerjaan, dengan alasan waktu pendidikan singkat, mudah diakses, berorientasi pada dunia kerja, dan lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan penyedia lapangan kerja (Mavromaras dan Palidano 2011). Pelatihan vokasional
10
telah terbukti memberikan perbaikan hidup bagi para penyandang disabilitas di negara-negara berkembang, seperti di Bangladesh (Nuri et al. 2012) dan di Nepal (Manish 2010). Model yang lazim digunakan untuk pelatihan vokasional sekarang ini adalah pelatihan vokasional berbasis kompetensi (Smith 2010). Peserta merupakan orang yang paling penting dalam pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Karakteristik peserta bisa dijabarkan secara demografis dan prasyarat yang harus dipenuhi peserta perlu diperhatikan untuk menentukan lingkup dari kegiatan pelatihan yang dilakukan, spesifik pada karakteristik peserta tertentu atau dibuka untuk khalayak yang lebih umum (Rose 2009). Sedangkan jumlah peserta diperlukan untuk menentukan anggaran, rencana pelatihan, akomodasi dan sebagainya (Bray 2009). Selain itu, peserta pelatihan juga harus harus memiliki kualifikasi yang memadai (Ali 2005). Khusus untuk penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Griffin dan Nechvoglod (2008) juga menyebutkan bahwa kebanyakan penyandang disabilitas memiliki latar pendidikan yang rendah ketika mengikuti pelatihan vokasional. Instruktur mempunyai peran tersendiri dalam menunjang keberhasilan pelatihan. Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann 2010), termasuk di dalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005). Keinovatifan mengajar juga berperan dalam menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk belajar (Grosu 2011). Aspek lain dari instruktur yang penting menurut McGehee (dalam Ali 2005) adalah kemampuan memotivasi. Berkaitan dengan kemampuan memotivasi, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yag penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock 2008). Kemampuan memotivasi dalam pelatihan vokasional penyandang disabilitas adalah kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilaku penyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengikuti pelatihan dengan penuh energi dan terarah. Materi pelatihan sebagai salah satu komponen pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975) dan harus sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai (Ali 2005). Tujuan pelatihan harus jelas dan adanya praktek yang memadai (proporsional) dan adanya evaluasi untuk mengetahui hasil belajar (Hickerson dan Middleton 1975). Sementara itu, penyelenggara pelatihan berhubungan dengan kewenangan hukum yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dalam menyediakan tenaga pengelola dan sarana prasarana pelatihan yang sesuai standar (Sujudi 2003). Dari pengertian-pengertian mengenai pelatihan di atas, pelatihan vokasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran mengenai suatu bidang pekerjaan khusus yang dimaksudkan untuk memperoleh suatu pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu atau untuk mencapai suatu kompetensi tertentu yang diperlukan untuk suatu jenis pekerjaan. Adapun komponen pelatihan vokasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas peserta pelatihan, performa instruktur pelatihan, kurikulum pelatihan, dan profil penyelenggara pelatihan.
11
Penyandang Disabilitas Penyandang disabilitas menurut Convention of the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas tahun 2006 adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensori dalam jangka panjang, yang dapat menghambat interaksi mereka secara penuh dan efektif dalam berpartisipasi di masyarakat atas dasar persamaan hak dengan orang lain (those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others). Irwanto et al. (2010) menyebutkan bahwa disabilitas merupakan hasil dari adanya interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mendefinisikan penyandang cacat sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri atas: pertama, penyandang cacat fisik; kedua, penyandang cacat mental; dan ketiga, penyandang cacat fisik dan mental. Penyandang disabilitas fisik dibagi atas (1) penyandang disabilitas tubuh (tuna daksa), yaitu seorang yang menyandang kelainan tubuh pada alat gerak tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar; (2) penyandang disabilitas mata (tuna netra), adalah seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar; dan (3) penyandang tuna rungu/wicara, adalah seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas mental adalah seorang menyandang kelainan mental/jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umumnya dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas fisik dan mental adalah seseorang yang menyandang kelainan fisik dan mental sekaligus, atau disabilitas ganda, seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara, serta mempunyai kelainan mental dan tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara layak dan wajar. Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai kelainan fisik (tuna daksa dan tuna rungu wicara) alumni BBRVBD bidang penjahitan tahun 2006-2012 yang bekerja di perusahaan bidang penjahitan/garmen.
12
Kompetensi Lulusan Pelatihan Kompetensi dipercaya sebagai faktor kunci dalam keberhasilan seseorang dalam pekerjaannya, Konsep kompetensi modern mulai diperkenalkan pada awal tahun 70-an, oleh David McClelland, seorang profesor dari Harvard University. McClelland mendefinisikan kompetensi sebagai: karakteristik yang mendasar yang dimiliki seseorang yang berpengaruh langsung terhadap, atau dapat memprediksi, kinerja yang sangat baik. Figel (2007) mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan konteks. Sedangkan Dave Ulrich, 1997 (Hartoyo 2003) menyatakan bahwa kompetensi adalah gambaran pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang ada pada seorang atau sekelompok pegawai. Mangkuprawira dan Hubeis (2007) mengenai elemen esensial pelatihan berbasis kompetensi, menyebutkan bahwa kompetensi adalah peran yang diturunkan, ditetapkan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. McAshan (dalam Mulyasa 2002) mengemukakan definisi kompetensi sebagai berikut: “...is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactory perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Kompetensi bidang penjahitan terdiri dari berbagai macam kualifikasi dengan berbagai macam kompetensi di dalamnya. Salah satu kualifikasinya adalah operator penjahit, dimana operator penjahit harus menguasai kompetensi dasar berupa kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja dan kompetensi menjahit dengan mesin. Kompetensi mengikuti prosedur K3 dalam bekerja terdiri dari 3 (tiga) subkompetensi, yaitu: (a) mengikuti prosedur K3 di tempat kerja, dengan indikator: menyebutkan konsep dasar dan fungsi serta tujuan keselamatan kerja di tempat kerja, mengikuti prosedur keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dan menerapkannya di tempat kerja, menguasai cara pengoperasian alat dan sarana keselamatan di tempat kerja; (b) menangani situasi darurat, dengan indikator: mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lain-lain) dan melakukan tindakan untuk menguasai situasi darurat sesuai prosedur; dan (c) menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman, dengan indikator: menjaga kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian tempat kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja sesuai kebutuhan, menggunakan alat kerja dengan tepat sesuai kebutuhan (BBRVBD 2011). Sedangkan kompetensi menjahit dengan mesin terdiri dari 5 (lima) sub kompetensi, yaitu: (a) menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan indikator: menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macam-macam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat jahit yang dibutuhkan, dan menyiapkan
13
alat jahit sesuai kebutuhan; (b) menyiapkan mesin jahit, dengan indikator: mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai jenis bahannya, mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan/spul/jarum) dan memasangnya sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan; (c) mengoperasikan mesin jahit, dengan indikator: mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain lain, dan memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan; (d) menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dengan indikator: menyiapkan bagian-bagian potongan bahan pakaian yang akan dijahit, menjahit bagian – bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan menerapkan keselamatan kerja; dan (e) merapikan tempat dan alat kerja, dengan indikator: memelihara alat jahit dengan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, menyimpan alat jahit dan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, dan membersihkan tempat kerja (BBRVBD 2011). Selain kemampuan teknis, diperlukan juga kemampuan non teknis agar para lulusan pelatihan dapat diserap di dunia kerja. Kemampuan non teknis agar seseorang dapat mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan pekerjaannya dikenal dengan employability (Pool dan Sewell 2007). Rasul et al. (2010), mengemukakan bahwa pengertian tentang employability telah banyak diperdebatkan dengan berbagai penafsiran yang cenderung menyatakan bahwa employability adalah kesiapan para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir dengan sukses. Sesuai dengan Rekomendasi ILO No. 99, dimana rehabilitasi vokasional didefinisikan sebagai “suatu bagian dari proses rehabilitasi secara berkesinambungan dan terpadu yang menyediakan pelayanan (misalnya: bimbingan kerja, pelatihan kerja, dan penempatan kerja) untuk memungkinkan penyandang disabilitas memperoleh suatu pekerjaan yang tepat dan dapat mempertahankan pekerjaan tersebut”, maka employability perlu dikuasai oleh para peserta pelatihan vokasional agar mereka bisa memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta mengembangkan karir dengan sukses. Wen L. et al. (2010) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa employability yang dibutuhkan di dunia kerja adalah (a) pemecahan masalah, (b) etika kerja, (c) tanggung jawab, (d) bekerja dalam tim, (e) berorientasi pada pelanggan, dan (f) komunikasi dan manajemen konflik. Dalam pelatihan vokasional yang diselenggarakan di BBRVBD, kemampuan non teknis diperoleh peserta pelatihan melalui mata pelatihan pendukung dan dari program bimbingan mental. Kompetensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kompetensi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional BBRVBD Cibinong yang meliputi kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, kompetensi menjahit dengan mesin, dan employability.
14
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu penelitian yang titik beratnya diletakkan pada penelitian relasional: yakni mempelajari hubungan variabel-variabel (Singarimbun dan Effendi 1989). Penelitian ini mengkaji korelasi pelatihan (karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan, performa instruktur pelatihan, kurikulum pelatihan, dan profil penyelenggara pelatihan) dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan yang diselenggarakan oleh BBRVBD Cibinong. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui observasi dan wawancara menggunakan kuesioner serta dokumentasi. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian bertempat di BBRVBD Cibinong dan perusahaanperusahaan tempat kerja penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional BBRVBD Cibinong bidang penjahitan yaitu di PT Dewhirst Bandung, PT Mattel Indonesia Cikarang, dan PT Rajawali Mulia Perkasa Bogor. Ketiga perusahaan tersebut terletak di provinsi Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan Desember 2012 dimulai dari survei awal, penyusunan kerangka sampling, penyusunan kuesioner, uji coba kuesioner, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisis data. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong bidang penjahitan tahun 2006-2012 yang bekerja di 3 (tiga) perusahaan garmen di Provinsi Jawa Barat yaitu PT Dewhirst Bandung, PT Mattel Indonesia Cikarang, dan PT Rajawali Mulia Perkasa Bogor dengan total populasi sebanyak 42 orang. Seluruh populasi menjadi responden penelitian atau sensus. Pengembangan Instrumen Penelitian Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur, dan wawancara terhadap responden, atasan responden, penyelenggara pelatihan, dan instruktur pelatihan, serta melalui pengamatan secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka terhadap referensi yang terkait dengan penelitian atau terhadap laporan-laporan lembaga terkait.
15
Variabel penelitian Variabel penelitian ini terdiri dari atas 2 (dua) variabel utama, yaitu pelatihan vokasional sebagai variabel independen dan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan sebagai variabel dependen. Variabel independen terdiri 4 (empat) subvariabel, yaitu karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan, performa instruktur, kurikulum pelatihan, dan profil penyelenggara pelatihan. Variabel dependen terdiri dari 3 (tiga) sub variabel, yaitu kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja, kompetensi menjahit dengan mesin, dan employability. (1). Variabel independen (X) terdiri dari: a) Karakteristik peserta pelatihan (X1) dengan indikator: jenis kelamin, usia, jenis disabilitas, penyebab disabilitas, lama menyandang disabilitas, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pengalaman kerja; b) Performa instruktur pelatihan (X2), dengan indikator: penguasaan materi, keinovatifan mengajar, dan kemampuan memotivasi; c) Kurikulum pelatihan (X3), dengan indikator: proporsi materi penunjang dan utama, kejelasan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dan tujuan pelatihan, urutan substansi materi pelatihan, proporsi waktu teori dan praktek, waktu untuk pelatihan, dan evaluasi pelatihan; d) Profil Penyelenggara pelatihan (X4), dengan indikator: jumlah instruktur, tingkat pendidikan instruktur, jurusan pendidikan formal instruktur, pendidikan non formal instruktur, pengalaman mengajar instruktur, dan sarana prasarana pelatihan; (2). Variabel dependen (Y) terdiri dari: a) Kompetensi melaksanakan prosedur kesehatan, keselamatan, dan keamanan (K3) dalam bekerja (Y1) yang meliputi: mengikuti prosedur K3 di tempat kerja, menangani situasi darurat, dan menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman; b) Kompetensi menjahit dengan mesin (Y2), yang meliputi: menyiapkan tempat dan alat kerja, menyiapkan mesin jahit, mengoperasikan mesin jahit, menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dan merapikan tempat dan alat kerja; c) Employability (Y3), yang meliputi: pemecahan masalah, etika kerja, tanggung jawab, bekerja dalam tim, berorientasi pada pelanggan, dan komunikasi dan manajemen konflik. Definisi konsep dan operasionalisasi variabel (1) Sub variabel karakteristik peserta pelatihan (X1), terdiri dari: a) Jenis kelamin adalah perbedaan fungsi biologis responden yang dibawa sejak lahir yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, diukur dengan menggunakan skala nominal, kode 01 untuk kategori Laki-laki dan 02 untuk kategori Perempuan; b) Usia adalah lama hidup responden yang dihitung dari hari lahir hingga saat dilakukan pengambilan data penelitian, diukur dengan skala rasio yang dinyatakan dalam jumlah tahun;
16
c)
(2)
(3)
Jenis disabilitas adalah macam disabilitas yang dialami oleh responden, diukur dengan menggunakan skala nominal, kode 01 untuk kategori Tuna Daksa dan 02 untuk kategori Tuna Rungu Wicara; d) Penyebab disabilitas adalah hal yang menyebabkan responden mengalami disabilitas, diukur dengan menggunakan skala nominal, kode 01 untuk kategori Bawaan Lahir dan 02 untuk kategori Bukan Bawaan Lahir; e) Lama menyandang disabilitas adalah jumlah waktu yang dihitung sejak responden menyandang disabilitas sampai saat pengambilan data, diukur dengan skala rasio yang dinyatakan dalam jumlah tahun; f) Pendidikan formal adalah jenjang pembelajaran formal yang pernah ditempuh responden yang dinyatakan dalam strata/ tingkatan pendidikan,diukur dengan skala ordinal, kode 01 untuk kategori Tamat SD, 02 untuk kategori Tamat SMP, 03 untuk kategori Tamat SMA, dan 04 untuk kategori Perguruan Tinggi; g) Pendidikan non formal adalah kegiatan pembelajaran non formal yang diikuti responden selain pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong yang diikuti sebelum mengikuti pelatihan, dan setelah lulus mengikuti pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong sampai sekarang yang dinyatakan dalam dinyatakan dalam frekuensi pelatihan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Tidak pernah mengikuti pelatihan (0 kali), 02 untuk kategori Jarang mengikuti pelatihan (1-2 kali), 03 untuk kategori Sering (3 kali), dan 04 untuk kategori Sangat sering (lebih dari 3 kali); h) Pengalaman kerja adalah lama bekerja yang dimiliki responden sebelum mengikuti pelatihan, dan setelah lulus mengikuti pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong sampai sekarang, diukur dengan skala rasio yang dinyatakan dalam jumlah tahun; Sub variabel performa instruktur pelatihan (X2), terdiri dari: a) Penguasaan materi adalah tingkat kemampuan instruktur pelatihan dalam memahami materi pelatihan yang diajarkan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; b) Keinovativan mengajar adalah tingkat kemampuan instruktur dalam menciptakan cara-cara baru yang menarik dalam menyampaikan pelatihan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; c) Kemampuan memotivasi adalah kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilaku penyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengikuti pelatihan dengan penuh energi dan terarah, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Sub variabel kurikulum pelatihan (X3), terdiri dari: a) Proporsi jenis materi penunjang dan utama adalah tingkat perbandingan proporsi materi pelatihan penunjang dan materi utama
17
(4)
di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; b) Kejelasan tujuan pelatihan adalah tingkat kepastian tujuan pelatihan vokasional yang dilihat dari: tingkat kejelasan tujuan pelatihan bidang penjahitan, tingkat kejelasan tujuan mata pelatihan, dan tingkat kejelasan tujuan pembelajaran, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; c) Kesesuaian materi dan tujuan pelatihan adalah tingkat kesesuaian antara materi pelatihan dengan tujuan pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; d) Urutan substansi materi pelatihan adalah tingkat kesesuaian urutan materi-materi dalam pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; e) Proporsi waktu teori dan praktek adalah tingkat perbandingan waktu pelatihan untuk penyampaian teori dan pelaksanaan praktek di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; f) Waktu pelatihan adalah tingkat kesesuaian waktu pelatihan yang disediakan dengan standar pencapaian kompetensi di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; g) Evaluasi pelatihan adalah tingkat kesesuaian evaluasi dalam pelatihan vokasional, yang dilihat dari kesesuaian cara evaluasi dengan tujuan evaluasi, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Sub variabel profil penyelenggara pelatihan (X4), terdiri dari: a) Jumlah instruktur adalah tingkat kesesuaian perbandingan jumlah instruktur pelatihan dengan jumlah peserta pelatihan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; b) Tingkat pendidikan instruktur adalah tingkat kesesuaian strata pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh instruktur dengan tingkat pendidikan peserta pelatihan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; c) Jurusan pendidikan adalah tingkat kesesuaian jurusan pembelajaran formal yang telah ditempuh oleh instruktur dengan materi pelatihan yang diajarkan di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal,
18
(5)
dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; d) Pendidikan non formal instruktur adalah tingkat kesesuaian pembejalaran non formal yang telah ditempuh oleh instruktur pelatihan vokasional, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan materi yang diajarkan di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; e) Pengalaman mengajar adalah tingkat kemampuan dan masa kerja instruktur dalam mengajar sebelum mereka menjadi instruktur di pelatihan vokasional, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; f) Sarana prasarana pelatihan adalah tingkat kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pelatihan yang disediakan oleh lembaga penyelenggara pelatihan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Sub variabel kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja (Y1), terdiri dari: a) Mengikuti prosedur K3 di tempat kerja adalah tingkat kemampuan responden dalam mengikuti prosedur K3 di tempat kerja dengan indikator tingkat kemampuan mengikuti prosedur keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dan menerapkannya ditempat kerja, tingkat kemampuan menguasai cara pengoperasian alat dan sarana keselamatan di tempat kerja, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; b) Menangani situasi darurat adalah tingkat kemampuan responden dalam menangani situasi darurat di tempat kerja, dengan indikator: tingkat kemampuan mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lainnya) dan tingkat kemampuandalam melakukan tindakan untuk menguasai situasi darurat sesuai prosedurdiukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; c) Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman adalah tingkat kemampuan responden dalam menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman, dengan indikator: tingkat kemampuan menjaga kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, tingkat kemampuan menjaga kerapian tempat kerja, tingkat kemampuan mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, tingkat kemampuan memilih alat kerja sesuai kebutuhan, dan tingkat kemampuan menggunakan alat kerja dengan tepat sesuai kebutuhan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi;
19
(6)
(7)
Sub variabel kompetensi menjahit dengan mesin (Y2), terdiri dari: a) Menyiapkan tempat dan alat kerja adalah tingkat kemampuan responden dalam menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan indikator: tingkat kemampuan menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, tingkat kemampuan mengidentifikasi macam-macam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat jahit yang dibutuhkan, dan tingkat kemampuan menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; b) Menyiapkan mesin jahit adalah tingkat kemampuan responden dalam menyiapkan mesin jahit, dengan indikator: tingkat kemampuan mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai jenis bahannya, tingkat kemampuan mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan/spul/jarum) dan memasangnya sesuai prosedur, tingkat kemampuan memasang benang jahit sesuai prosedur, dan tingkat kemampuan mengatur jarak setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; c) Mengoperasikan mesin jahit adalah tingkat kemampuan responden dalam mengoperasikan mesin jahit, dengan indikator: tingkat kemampuan mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain lain, dan tingkat kemampuan memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; d) Menjahit bagian-bagian potongan pakaian adalah tingkat kemampuan responden dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dengan indikator: tingkat kemampuan menyiapkan bagian-bagian potongan bahan pakaian yang akan dijahit, tingkat kemampuan menjahit bagian–bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan tingkat kemampuan menerapkan keselamatan kerja, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; e) Merapikan tempat dan alat kerja adalah tingkat kemampuan responden dalam merapikan tempat dan alat kerja, dengan indikator: tingkat kemampuan memelihara alat jahit dengan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, tingkat kemampuan menyimpan alat jahit dan mesin sesuai jenis dan spesifikasinya, dan tingkat kemampuan membersihkan tempat kerja, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Sub variabel employability (Y3), terdiri dari: a) Keterampilan pemecahan masalah adalah kemampuan responden dalam mengidentifikasi masalah, megantisipasi, dan memecahkan
20
b)
c)
d)
e)
f)
masalah, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Etika kerja adalah tingkat kedisiplinan responden dalam bekerja, kemampuan dalam memegang teguh dan mentaati nilai-nilai sosial, dan kemampuan dam menunjukkan perilaku positif sehingga tidak merugikan orang lain maupun tempat kerjanya, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Tanggung jawab adalah kemampuan responden dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kerja, dan kemampuan dalam memahami hubungan antara individu bersangkutan dengan perusahaan tempat kerja, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Bekerja dalam tim adalah kemampuan responden untuk menerima orang lain untuk bekerja sama, kemampuan dalam mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai bersama dalam sebuah tim, kemampuan dalam menghormati dan bekerjasama dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan tim dan memperoleh hasil terbaik, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Orientasi pada pelanggan adalah kemampuan responden dalam memahami kebutuhan pelanggan, kemampuan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, dan kemampuan dalam menjaga hubungan baik dengan pelanggan, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Komunikasi dan manajemen konflik adalah kemampuan responden dalam menunjukkan perhatian tulus kepada orang lain, dan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, diukur dengan skala ordinal, dengan kode 01 untuk kategori Sangat rendah, 02 untuk kategori Rendah, 03 untuk kategori Tinggi, dan 04 untuk Sangat tinggi; Uji coba instrumen
Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai telah dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data penelitian yang diperoleh valid dan reliabel. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal. Validitas internal merupakan kesahihan penelitian apabila kriteria dalam instrumen secara teoritis mencerminkan apa yang akan diukur. Sedangkan validitas eksternal merupakan kesahihan penelitian apabila terdapat kesesuaian
21
antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta di lapangan. Hal ini berarti instrumen yang valid harus dikembangkan berdasarkan teori yang mendukung dan fakta empiris di lapangan. Instrumen penelitian telah diuji validitasnya melalui validitas internal dan eksternal. Pengujian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (a) definisi operasional variabel yang akan diukur; (b) studi literatur/pustaka sebagai referensi/acuan; (c) konsultasi dengan pembimbing sebagai ahli; (d) uji coba instrumen di lapangan; (e) membuat format tabulasi jawaban; (f) menghitung korelasi menggunakan pendekatan korelasi item-total dikoreksi (corrected itemtotal correlation). Model pengujian dengan pendekatan korelasi item-total dikoreksi digunakan untuk menghilangkan spurious overlap, yaitu adanya tumpang tindih atau pengaruh kontribusi masing-masing skor item terhadap skor total. Untuk menghilangkan efek spiruous overlap tersebut maka koefisien korelasi item-total dikoreksi dengan nilai simpangan baku (standard deviation) skor item dengan skor total (Kusnendi 2008). Untuk menentukan apakah sebuah item dinyatakan valid atau tidak maka para ahli menetapkan besaran koefisien korelasi item total dikoreksi sebesar 0,25 atau 0,30 sebagai batas minimal valid tidaknya sebuah ítem. Jika nilai koefisien korelasi sama atau lebih besar dari 0,25 atau 0,30 maka item tersebut memiliki validitas yang memadai (Kusnendi 2008). Reliabilitas instrumen telah diuji menggunakan metode cronbach alpha dengan rumus: Keterangan: α : Koefisien cronbach alpha ∑Vi α= n n : Jumlah item 1n-1 Vt Vi : Varians skor tiap-tiap item ∑Vi : Jumlah varians skor tiap-tiap item Vt : Varians total
[
]
Jika nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran 0.5 – 1.0, maka alat ukur dinilai reliabel. Suatu instrumen dianggap cukup reliabel apabila nilai koefisien alpha ≥ 0.6. dengan ukuran kemantapan sebagai berikut (Babbie 1989): (a). Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.20 berarti kurang reliabel (b). Nilai koefisien alpha 0.21 – 0.40 berarti agak reliabel (c). Nilai koefisien alpha 0.41 – 0.60 berarti cukup reliabel (d). Nilai koefisien alpha 0.61 – 0.80 berarti reliabel (e). Nilai koefisien alpha 0.81 – 1.00 berarti sangat reliabel Berdasarkan hasil uji instrumen, diperoleh hasil uji validitas dan reliabilitas sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan uji reliabilitas, instrumen penelitian dapat dikategorikan reliabel sampai sangat reliabel. Dengan demikian instrumen dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada fenomena yang sama. Sedangkan pada uji validitas, diperoleh hasil bahwa pada umumnya semua item instrumen valid pada koefisien korelasi item total dikoreksi sebesar lebih dari koefisien minimum yaitu 0,25. Hal ini berarti instrumen dapat mengukur apa yang akan diukur.
22
Tabel 2 Hasil uji instrumen penelitian Variabel
Jumlah item
Skala ordinal
3 9 7
1-4 1-4 1-4
Uji reliabilitas (Croanbach Alpha) 0.775 0.738 0.727
9
1-4
15 15
Performa instruktur Kurikulum pelatihan Profil Penyelenggara pelatihan Kompetensi Melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Kompetensi menjahit dengan mesin Employability
Ket
Uji validitas (corrected itemtotal correlation)
Ket
Reliabel Reliabel Reliabel
0.407 – 0.729 0.336– 0.627 0.312–0.663
Valid Valid Valid
0.821
Sangat reliabel
0.657– 0.881
Valid
1-4
0.820
0.812–0.881
Valid
1-4
0.793
Sangat reliabel Reliabel
0.683-0.898
Valid
Analisis Data Data dianalisis secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial untuk mendalami faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong, dan memberikan penjelasan secara kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari kuesioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan, dengan menggunakan skoring dan pengkategorian. Pengkategorian menggunakan skala Likert. Dalam skala ini variabel dijabarkan dalam sub variabel dan indikator. Indikator ini merupakan dasar dalam penyusunan item instrumen. Skala likert yang digunakan terdiri dari 4 (empat) tingkat yang merupakan gradasi dari sangat rendah/buruk sampai sangat tinggi/baik. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi Rank Spearman. Uji Rank Spearman untuk mengetahui tingkat hubungan masingmasing variabel tersebut mempunyai rumus/persamaan: N
1-6Σ di2 i =1
rs = 1-
n (n2 – 1)
Keterangan: rs = Koefisien korelasi spearman di = Selisih antar jenjang n = Banyaknya subyek
Koefesien korelasi merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1, yang berarti koefisien korelasi dapat bernilai positif dan dapat pula negatif. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai
23
variabel Y akan menjadi rendah (dan sebaliknya). Interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel adalah sebagai berikut: (a). 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel (b). > 0 – 0,25: Korelasi sangat lemah (c). > 0,25 – 0,5: Korelasi cukup (d). > 0,5 – 0,75: Korelasi kuat (e). > 0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat (f). 1: Korelasi sempurna Analisis statistik inferensial dengan uji korelasi Spearman dilakukan dengan menggunakan perangkat statistik Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 20.0.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum BBRVBD Cibinong BBRVBD Cibinong atau juga dikenal dengan National Vocational Rehabilitation Center (NVRC) dibangun sebagai wujud persahabatan dan kerjasama Pemerintah RI (Kementerian Sosial) dengan Pemerintah Jepang (JICA) yang peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Sosial RI (Dra. Inten Soeweno) pada bulan November 1996 dan mulai dibangun awal Tahun 1997. Pada tanggal 29 Desember 1997 Gedung BBRVBD diresmikan oleh Wakil Presiden RI Bapak Try Sutrisno dan mulai operasional melakukan pelayanan rehabilitasi vokasional bagi para penyandang disabilitas tubuh dimulai pada awal tahun 1998. BBRVBD Berlokasi di Jl. SKB No. 5, Karadenan, Cibinong, Bogor, Jawa Barat sebagaimana ditunjukkan oleh gambar pada Lampiran 1. untuk mengembangkan dan BBRVBD didirikan dengan tujuan meningkatkan sistem rehabilitasi vokasional di Indonesia agar para penyandang disabilitas memiliki keterampilan dan keahlian dalam pekerjaan, mandiri sehingga mampu hidup bermasyarakat. Di BBRVBD penyandang disabilitas dibekali pengetahuan, sikap dan keterampilan kerja secara profesional agar mampu bersaing di pasaran kerja. BBRVBD dipimpin oleh seorang Kepala dengan jabatan setingkat eselon II.a dan 4 (empat) pejabat eselon III.a dan 12 (dua belas) pejabat eselon IV.a serta Kelompok Jabatan Fungsional. BBRVBD merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis rehabilitasi vokasional bina daksa di lingkungan Kementerian Sosial yang mempunyai tugas melaksanakan pelayanan rehabilitasi vokasional tingkat lanjutan, pelatihan, penelitian/pengkajian dan pengembangan rehabilitasi vokasional bagi penyandang disabilitas tubuh yang berasal dari Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD), Panti Sosial Bina Daksa (PSBD), Loka Bina Karya (LBK) seluruh Indonesia dan masyarakat. Gambaran sebaran asal penyandang disabilitas penerima manfaat BBRVBD dapat dilihat pada gambar di Lampiran 2. Dalam melaksanakan rehabilitasi vokasional, BBRVBD melaksanakan serangkaian kegiatan seleksi termasuk kelengkapan administrasi dengan persyaratan umum sebagai berikut: penyandang disabilitas tubuh dan tidak memiliki disabilitas lainnya seperti tuna netra, tuna grahita/mental dengan kriteria: sehat jasmani dan rohani dan tidak mempunyai penyakit menular yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter, WNI pria maupun wanita, berusia minimal 18 tahun s/d 40 tahun, tidak mempunyai tanggungan keluarga, melampirkan foto copy ijasah pendidikan formal terakhir, diutamakan untuk yang telah lulus mengikuti keterampilan dasar dilengkapi sertifikat dari BBRSBD, PSBD, LBK atau badan diklat/kursus lainnya, tidak memerlukan pelayanan rehabilitasi medik (operasi, pasca operasi, fisioterapi, alat bantu dan lain-lain) selama proses pelatihan berlangsung, tidak menderita epilepsi, tidak buta warna total, tidak memiliki disabilitas ganda, bersedia untuk tinggal di asrama dan mematuhi segala peraturan yang ada. BBRVBD memberlakukan persyaratan khusus bagi jurusan tertentu, seperti untuk jurusan Komputer yaitu pendidikan minimal SLTA sederajat; untuk jurusan Penjahitan, Pekerjaan Logam dan Otomotif adalah pendidikan minimal
25
SD sederajat dan memiliki keterampilan dasar; sedangkan untuk jurusan Desain Grafis dan Elektronika adalah pendidikan minimal SLTP sederajat dan memiliki keterampilan dasar. Pendaftaran dilakukan melalui petugas Dinas Sosial Kabupaten/Kota, Dinas Sosial Provinsi setempat atau ke BBRSBD/PSBD terdekat atau langsung ke BBRVBD, dimana calon peserta mendaftar dan melengkapi berkas pendaftaran di Dinas Sosial Kabupaten/ Kota, Dinas Sosial Provinsi atau ke BBRVBD/BBRSBD/PSBD terdekat atau langsung ke BBRVBD. Kemudian berkas pendaftaran dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota dikirim ke Dinsos Provinsi/ BBRVBD/BBRSBD/PSBD yang terdekat atau langsung menghubungi Dinsos Provinsi atau BBRVBD/BBRSBD/PSBD terdekat untuk dicek kelengkapanya. Calon kelayan yang memenuhi syarat akan dipanggil ke Dinsos Provinsi/ BBRVBD/BBRSBD/PSBD yang terdekat untuk mengikuti assesment test. Pelatihan Vokasional BBRVBD Cibinong Program pelatihan vokasional disusun berdasarkan dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta berorientasi pada kebutuhan lapangan kerja melalui supervisi, penelitian dan pengembangan Bidang Litbang BBRVBD. Pelatihan vokasional di BBRVBD terdiri dari: (1) Jurusan Komputer yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki kemampuan berbagai macam program meliputi: Operating System, Ms.Power Point, Ms.Word, Ms.Excel, Operasional Printer, anti virus Internet, Instalasi PC, Instalasi Software, Instalasi Jaringan Lokal (LAN), Ms.Acces, Algoritma, JAVA, Ms.Visual Basic dan Web Desain. (2) Jurusan Penjahitan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki kemampuan mengoperasikan berbagai macam mesin kecepatan tinggi (high speed) secara tepat dan aman, merancang berbagai macam pola pakaian pria, wanita dan anak-anak, menjahit sistem tailor maupun industri garmen hingga finishing dan pengepakan. (3) Jurusan Percetakan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki kemampuan di bidang grafika, yakni melakukan type setting melalui komputer, membuat desain grafis, pemrosesan photo, pencetakan hitam putih, separasi, penjilidan serta pengoperasian berbagai macam alat/mesin cetak. (4) Jurusan Elektronika yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki kemampuan di bidang Elektronika, yaitu kemampuan membuat sistem relay/sequential control program otomatis dengan PLC, rangkaian logika dan system digital, menggulung motor dan trafo, system pendingin dan instalasi listrik serta audio video system sensor. (5) Pekerjaan Logam yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disablitas tubuh agar memiliki kemampuan berproduksi dengan menggunakan/mengoperasikan alat/mesin bubut, frais, las busur manual/SMAW, las oksigen-asetilen serta gambar teknik autocad.
26
(6)
Jurusan Otomotif yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki kemampuan di bidang otomotif mobil dan motor, sehingga kelayan mengetahui, memahami, dan mampu mereperasi sistem engine group, power train, suspension, electrical, brake, tune-up dan body painting. Setelah mengikuti pelatihan vokasional, penyandang disabilitas peserta pelatihan mengikuti kegiatan Praktek Belajar Kerja (PBK) atau magang (on the job training) yang merupakan suatu proses penerapan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mereka peroleh selama mengikuti pelatihan vokasional, dengan tujuan untuk memberikan wawasan, pengalaman dalam dunia kerja dan sekaligus mempraktekan ilmu dan keterampilannya. Tahap berikutnya adalah tahap penyaluran kerja yang merupakan tahap penempatan kerja bagi peserta pelatihan BBRVBD Cibinong yang sedang dan atau telah mengikuti pelatihan vokasional maupun PBK di perusahaan, instansi pemerintah maupun usaha mandiri/wiraswasta. Lalu peserta memasuki tahap bimbingan lanjut yang merupakan kegiatan bimbingan, monitoring dan evaluasi terhadap lulusan BBRVBD Cibinong yang berkaitan dengan disiplin kerja, motivasi kerja, produktifitas kerja serta pengembanganya. Sedangkan kontribusi dari perusahaan diharapkan dapat memberikan masukan-masukan untuk peningkatan program rehabilitasi vokasional, khususnya kegiatan PBK dan penyaluran kerja. Tahap terakhir dari kegiatan rehabilitasi vokasional yang dilakukan oleh BBRVBD Cibinong adalah tahap terminasi, yaitu kegiatan pemutusan hubungan antara kegiatan rehabilitasi BBRVBD dengan kelayan. Kegiatan ini bertujuan agar kelayan dapat mandiri, dan tidak tergantung dengan BBRVBD tempat mereka memperoleh layanan rehabilitasi vokasional. Data Praktek Belajar Kerja (PBK) dan Penyaluran kerja dari peserta pelatihan dari tahun 1998-2011 dapat dilihat pada Tabel 3. BBRVBD memiliki sarana fisik dengan luas tanah 35.474 m2 dan luas bangunan 12.994 m2. Fasilitas yang tersedia meliputi beberapa fasilitas umum. Aula serbaguna miliki kapasitas tampung maksimum 500 orang, dengan dilengkapi audio visual dan AC. Ruang pertemuan/Aula Melati memiliki kapasitas 200 orang, dilengkapi sound system dan AC. Wisma Mawar berkapasitas 60 orang terdiri dari 23 kamar, kapasitas per kamar 2-3 orang dengan fasilitas AC, TV, kamar mandi di dalam dan tempat cuci. Ruang konferensi memiliki kapasitas 30 orang dilengkapi dengan audio visual dan AC. Ruang Audio-Visual memiliki kapasitas 60 orang, dilengkapi dengan audio visual dan AC. Laboratorium Bahasa memiliki kapasitas 20 orang dilengkapi dengan audio visual dan AC. Ruang Data dilengkapi dengan hasil karya kelayan, ruangan ber AC. Ruang Seminar memiliki kapasitas 16 orang dilengkapi dengan AC. Terdapat tempat Ibadah (Masjid Al-Fattah) dan fasilitas transportasi berupa 3 (tiga) buah bis, 1 (satu) bis besar, 2 (dua) bis kecil dan kendaraan UPSK dengan garasi mobil. Terdapat koridor/selasar dan halaman. Fasilitas untuk Kelayan berupa transportasi dari daerah asal ke BBRVBD, pengasramaan maksimal 9 (sembilan) bulan, permakanan maksimal 9 (sembilan) bulan, pelayanan kesehatan, seragam, pakaian olah raga, fasilitas kesenian (alat musik, karaoke). Fasilitas olah raga untuk bulutangkis, tenis meja, bola volley, billiard. Kelayan mendapatkan widyawisata, perpustakaan, pemondokan pada saat
27
praktek kerja/PBK (selama 2 bulan), uang konsumsi selama PBK (selama 60 hari), transportasi ke tempat PBK, transportasi ke tempat kerja atau untuk kembali ke daerah asal kelayan (apabila kelayan tidak mendapat tempat kerja), fasilitas Pelatihan Vokasional, ruang belajar praktek (workshop) dengan kapasitas 20 kelayan per ruangan. Aktivitas peserta selama pelatihan disesuaikan dengan aktivitas di dunia kerja pada umumnya. Pukul 6 (enam) pagi, peserta melakukan senam pagi dan dilanjutkan dengan sarapan pagi. Peserta baru mengikuti kegiatan pelatihan mulai dari pukul 8 (delapan) pagi sampai dengan pukul 4 (empat) sore, dengan waktu istirahat selama 1 jam. Pengaturan waktu pelatihan seperti ini disesuaikan dengan jam kerja kantor pada umumnya di dunia kerja dengan tujuan agar peserta pelatihan terbiasa mengikuti pola waktu di tempat kerja nantinya. Hari Sabtu digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler bagi peserta. Sedangkan Hari Minggu tetap sebagai hari libur dimana peserta dapat memanfaatkannya untuk kegiatan bebas. Aktivitas seperti ini dilaksanakan dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan selama mereka tinggal di BBRVBD. Aktivitas 2 (dua) bulan berikutnya adalah aktivitas magang di perusahaan, dimana peserta pelatihan benar-benar masuk ke dunia kerja yang sesungguhnya dan mereka tinggal di rumah sewa di sekitar lokasi magang. Masa ini merupakan masa transisi dari kegiatan „bekerja‟ di workshop BBRVBD sebagai ajang pelatihan kepada dunia kerja yang sesungguhnya di pasar kerja terbuka.
1998 / I
1999 / II
2000 / III
2001 / IV
2002 / V
2003 / VI
2004 / VII
2005 / VIII
2006 / IX
2007 / X
2008 / XI
2009 / XII
2010/XIII
2011/XIV
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
JUMLAH
Tahun/ Agkatan
No.
268
18
20
14
17
19
18
19
23
22
18
17
20
22
21
Jahit
233
11
20
17
14
21
16
14
17
13
20
14
25
15
16
Komp
213
11
20
18
16
23
15
9
16
13
15
9
16
20
12
DG
207
11
18
16
10
18
13
11
15
9
18
15
26
13
14
Elktr
223
6
16
21
13
19
19
12
21
7
17
18
13
23
18
PL
Praktek Belajar Kerja (PBK)
Sumber: BBRVBD Cibinong, 2012
1398
113
94
97
97
100
100
99
99
100
99
100
100
100
100
Jumlah Peserta
10
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Oto
28
1154
67
94
86
70
100
81
65
92
64
88
73
100
93
81
Jmlh
82,5
59,3
100,0
88,7
72,2
100,0
81,0
65,7
92,9
64,0
88,9
73,0
100,0
93,0
81,0
perse n
246
18
20
13
17
5
18
19
21
22
17
17
21
24
14
Jahit
160
19
13
12
14
4
15
13
10
6
10
15
14
11
4
Komp
158
22
20
15
16
3
15
9
13
7
11
9
11
5
2
DG
162
20
18
6
10
4
13
12
12
4
12
16
16
12
7
Elktr
Penyaluran Kerja
170
13
16
15
13
4
19
12
15
8
19
18
9
6
3
PL
Tabel 3 Rekapitulasi data PBK dan penyaluran kerja kelayan BBRVD tahun 1998-2011
20
20
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Oto
916
112
87
61
70
20
80
65
71
47
69
75
71
58
30
Jmlh
65,5
99,1
92,6
62,9
72,2
20,0
80,0
65,7
71,7
47,0
69,7
75,0
71,0
58,0
30,0
persen
28
29
PT Dewhirst Indonesia, Bandung PT Dewhirst Indonesia didirikan pada tahun 1998, yang merupakan pabrik besar yang menghasilkan 215.000 unit pakaian per minggu dan memiliki karyawan sekitar 5.400 orang pria dan wanita serta berlokasi di Bandung. Pabrik ini memiliki salah satu pembeli dengan label Marks & Spencer UK. PT Dewhirst merupakan satu dari beberapa pabrik yang memenuhi kuota pekerja penyandang disabilitas sebesar 1 (satu) persen sebagaimana diamanatkan oleh UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kebanyakan dari pekerja disabilitas merupakan hasil perekrutan dari BBRVBD Cibinong dan beberapa lainnya dari LBK di sekitar Jawa Barat. Penyandang disabilitas direkrut dengan perekrutan normal, tanpa ada pengistimewaan. Lokasi PT Dewhirst mayoritas mudah diakses bagi penyandang disabilitas. Sebelumnya salah satu bangunan pabrik memiliki kantin dan ruang beribadah di lantai atas, kemudianmereka menyesuaikan tempat kerja yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, sehingga sekarang semua fasilitas termasuk kantin dan ruang beberibadah terdapat di lantai dasar. Secara umum, PT Dewhirst memiliki standar yang tinggi dalam bidang kesehatan, keamanan, dan kondisi kerja. PT Mattel Indonesia, Cikarang PT. Mattel Indonesia, merupakan perusahaan multinasional dan terdepan dalam bisnis mainan anak-anak. Perusahaan ini merupakan manufaktur boneka terbesar yang memperkerjakan 9000 pekerja di Indonesia. Lokasi perusahaan ini di Jl. Jababeka V B1 G/4-6 Kawasan Industri Jababeka, Cibitung, Bekasi. Produknya yang terkenal adalah boneka barbie, Hot Wheels, Matchbox Car, dan sebagainya. Perusahaan Mattel, Inc (Induk PT. Mattel Indonesia) yang berpusat di Hawthorne, California, berdiri pada tahun 1945 oleh Harrold Matt Masson dan Elliot Handler. Berawal di industri kayu, yang kemudian membuka cabang bisnis di bidang mainan. Dan pada tahun 1959, mulai diproduksi boneka barbie. Selanjutnya Mattel Inc. merevolusi industri mainan anak-anak dan boneka dengan boneka yang bisa bersuara. Selain di Indonesia, Mattel juga mendirikan pabrik di Thailand, Malaysia dan Mexico. Salah satu produk Mattel yang terkenal adalah Barbie. Selain boneka, Mattel Inc. pun memproduksi pakaian dan asesoris untuk boneka Barbie tersebut. Hal inilah yang membuat boneka Barbie tetap bertahan sebagai boneka klasik yang masih bertahan di era modern ini. Mattel Indonesia merupakan mitra baru BBRVBD Cibinong yang baru merekrut lulusan pada tahun 2012 sebanyak 6 (enam) orang penyandang disabilitas. PT Rajawali Mulia Perkasa PT Rajawali Mulia Perkasa merupakan perusahaan garmen yang terletak di Jl. Pembangunan II No. 31 Kedung Halang, Bogor Utara, Bogor. Berdiri sejak 1989, perusahaan ini memproduksi kemeja yang dipasarkan untuk lokal dengan merk Polo, Valero, Nail Man, Van Jose, dan lainnya. Perusahaan ini juga memproduksi pakaian seragam bank-bank ternama di Indonesia. Karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut berjumlah sekitar 186 orang laki-laki dan
30
perempuan. Walaupun perusahaan ini baru memiliki sedikit karyawan, akan tetapi kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas cukup tinggi terlihat dari perekrutan tenaga kerja penyandang disabilitas yang dilakukan oleh perusahaan ini yang prosentasenya sudah melebihi quota 1 (satu) persen.
Karakteristik Peserta Pelatihan Keberhasilan pelatihan ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di dalamnya yaitu diantaranya adalah peserta pelatihan, dimana peserta ditentukan oleh karakteristik peserta (misalnya: demografis, latar belakang pendidikan) yang menentukan lingkup dari pelatihan tersebut (Rose 2009). Khusus untuk penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Karakteristik responden dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan karakteristik peserta No. 1.
Uraian Jenis kelamin
Kategori 1. Laki-laki 2. Perempuan
2.
Usia
1. 2. 3. 4.
Sangat rendah (20-24 tahun) Rendah (25-28 tahun) Tinggi (29-32 tahun) Sangat tinggi (33-36 tahun)
3.
Jenis disabilitas
1. Tuna rungu wicara 2. Tuna daksa
4.
Penyebab disabilitas
1. Bawaan lahir 2. Bukan bawaan lahir
5.
Lama menyandang disabilitas
1. 2. 3. 4.
Sangat rendah (8-15 tahun) Rendah (16-22 tahun) Tinggi (23-29 tahun) Sangat tinggi (30-36 tahun)
6.
Pendidikan formal
1. 2. 3. 4.
Sangat rendah (SD) Rendah (SMP) Tinggi (SMA) Sangat tinggi (Perguruan Tinggi)
7.
Pendidikan non formal
1. 2. 3. 4.
Tidak pernah Jarang (1-2 kali) Sering (3 kali) Sangat sering (>3 kali)
8.
Pengalaman kerja
1. 2. 3. 4.
1-2 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun 7-8 tahun
F 3 39 N=42 13 13 10 6 N=42 0 42 N=42 11 31 N=42 3 9 23 7 N=42 2 24 15 1 N=42 35 7 0 0 N=42 23 4 2 13 N=42
Persen (%) 7,1 92,9 =100% 31,0 31,0 23,8 14,2 =100% 0 100 =100% 26,2 73,8 =100% 7,1 21,4 54,8 16,7 =100% 4,8 57,1 35,7 2,4 =100% 83,3 16,7 0 0 =100% 54,8 9,5 4,8 31 =100%
Jenis Kelamin Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan yaitu sebesar 92,9 persen atau sebanyak 39 orang. Hal tersebut sejalan dengan fakta di
31
lapangan bahwa sektor garmen/penjahitan mempekerjakan mayoritas pegawai perempuan, yaitu sebanyak 70 persen pada tahun 2009 (Putra 2009). Sedangkan responden laki-laki hanya berjumlah 3 (tiga) orang saja atau sekitar 7,1 persen dari total responden. Data BBRVBD tahun 2012 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas peminat pelatihan keterampilan penjahitan adalah mayoritas perempuan, yaitu sebesar 79,2 persen dari total peserta pelatihan keterampilan penjahitan. Usia Berdasarkan hasil penelitian, semua responden berada di usia sangat produktif yang berada di rentang usia 20-36 tahun, dimana mayoritas berada di rentang usia 20-28 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Mavromaras dan Palidano tahun 2011 yang menyebutkan bahwa pelatihan vokasional merupakan jalur pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif. Jenis Disabilitas Khusus untuk pelatihan bagi penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Jenis disabilitas dalam penelitian ini adalah macam keterbatasan fisik yang dimiliki responden yang dinyatakan dengan tuna daksa atau tuna rungu wicara. Mengacu pada Tabel 4, semua responden termasuk ke dalam kategori tuna daksa dan tidak ditemukan responden yang mempunyai kategori tuna rungu wicara. Data di lapangan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas dengan jenis disabilitas tuna daksa yang mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong adalah sebanyak 90 persen yang tersebar di 6 (enam) jurusan penjahitan. Sedangkan penyandang disabilitas daksa yang pernah mengikuti pelatihan vokasional keterampilan penjahitan adalah sebanyak 96,2 persen. Penyebab Disabilitas Penyebab disabilitas adalah hal yang menyebabkan responden menyandang disabilitas yang terdiri dari bawaan lahir dan bukan bawaan lahir. Mengacu kepada Tabel 4, sebanyak 26,2 persen penyebab disabilitas responden adalah karena bawaan lahir, sedangkan sisanya sebanyak 73,8 persen dikarenakan bukan bawaan lahir seperti sakit polio, panas (malpraktek), dan kecelakaan (lalu lintas, tersengat aliran listrik, jatuh dari pohon). Lama Menyandang Disabilitas Mengacu kepada Tabel 4, responden mengalami disabilitas pada range 836 tahun dimana 54,8 persen responden berada dalam kategori tinggi, yang artinya mereka sudah menyandang disabilitas selama 23-29 tahun. Pendidikan formal Mayoritas pendidikan responden berada pada kategori rendah yaitu lulusan SMP yaitu sebesar 57,1 persen dan kemudian terbanyak berikutnya adalah pada kategori tinggi yaitu lulusan SMA sebesar 35,7 persen, dan terdapat 4,8 persen responden yang berkategori pendidikan sangat rendah yaitu lulusan SD. Hal ini sejalan dengan temuan Griffin dan Nechvoglod tahun 2008 yang menyebutkan bahwa kebanyakan penyandang disabilitas memiliki latar pendidikan yang rendah
32
ketika mengikuti pelatihan vokasional. Dalam kasus penelitian ini, rendahnya tingkat pendidikan peserta pelatihan terkait dengan kebijakan lembaga penyelenggara pelatihan mulai tahun 1998-2010 yang mempersyaratkan minimal lulusan SMP untuk menjadi peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan. Kemudian pada tahun 2011 sampai sekarang dibuat kebijakan baru, yaitu minimal lulusan SD bagi peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan. Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal adalah kegiatan pembelajaran non formal yang pernah diikuti responden selain pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong, baik sesudah atau sebelum mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong, yang dinyatakan dalam frekuensi kegiatan. Sebagian besar responden tidak pernah mengikuti pelatihan selain pelatihan di BBRVBD Cibinong, yaitu sebesar 83,3 persen. Hal ini salah satunya disebabkan setelah mereka lulus dari BBRVBD Cibinong dan kemudian diterima kerja, mereka tidak lagi mengikuti pelatihanpelatihan. Hanya sebesar 16,7 persen responden saja yang pernah mengikuti pelatihan, berdasarkan hasil wawancara beberapa responden pernah mengikuti kegiatan pelatihan di tempat rehabilitasi sosial di provinsi asal mereka sebelum mereka masuk ke BBRVBD Cibinong, antara lain di panti sosial, LBK dan tempat kursus menjahit. Pengalaman Kerja Pengalaman kerja adalah lama bekerja yang dimiliki responden sebelum mengikuti pelatihan dan setelah lulus mengikuti pelatihan sampai sekarang yang dinyatakan dalam range waktu. Responden memiliki pengalaman kerja 1-8 tahun. Akan tetapi secara umum responden memiliki pengalaman kerja yang rendah, yaitu 1-2 tahun. Performa Instruktur Faktor lain yang dianggap berhubungan dengan pengembangan kompetensi penyandang disabilitas melalui pelatihan vokasional adalah faktor performa instruktur. Faktor ini meliputi penguasaan materi, keinovativan mengajar, dan kemampuan memotivasi. Adapun performa instruktur dari hasil penelitian ini disajikan dalam Tabel 5. Mengacu kepada Tabel 5, sebesar 69 persen responden menyatakan bahwa keragaan instruktur di BBRVBD Cibinong berada dalam kategori tinggi, yang artinya instruktur memiliki kemampuan yang baik dalam penguasaan materi pelatihan, keinovatifan mengajar termasuk di dalamnya kekreatifan mengajar, dan kemampuan memotivasi penyandang disabilitas peserta pelatihan. Sedangkan sisanya, sebesar 31 persen responden menyatakan bahwa keragaan instruktur berada dalam kategori sangat tinggi, yang artinya mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam penguasaan materi pelatihan, keinovatifan mengajar termasuk di dalamnya kekreatifan mengajar, dan kemampuan memotivasi penyandang disabilitas peserta pelatihan. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan bahwa BBRVBD Cibinong telah melakukan seleksi ketat terhadap calon instruktur agar instruktur yang
33
memberikan pelatihan memiliki kemampuan yang baik dalam bidang pengajaran/pelatihan. Para instruktur yang ada di pelatihan juga telah melalui tahap diklat sertifikasi oleh lembaga terkait. Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan performa instruktur No. 1.
Uraian Penguasaan Materi
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Keinovatifan Mengajar
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Kemampuan Memotivasi
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
4
Total Performa Instruktur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 0 30 12 N=42 0 2 34 6 N=42 0 9 32 1 N=42 0 0 29 13 N=42
Persen (%) 0 0 71,4 28,6 =100 % 0 4,8 81 14,2 =100 % 0 21,4 76,2 2,4 =100 % 0 0 69 31 =100 %
Penguasaan materi Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann 2010), termasuk didalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005). Penguasaan materi dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan instruktur dalam memahami materi pelatihan yang diajarkannya di BBRVBD Cibinong. Dari hasil penelitian, sebanyak 71,4 persen responden menyatakan bahwa penguasan materi pelatihan oleh instruktur berada di kategori tinggi, dan sebanyak 28,6 persen menyatakan penguasan materi pelatihan oleh instruktur berada dalam kategori sangat tinggi. Tingginya penguasaan materi instruktur terkait dengan kualifikasi yang ditetapkan pada saat perekrutan dan adanya kesempatan peningkatan kapasitas bagi instruktur melalui pelatihan-pelatihan yang terkait dengan pekerjaan mereka yang dilaksanakan secara internal oleh Kementerian Sosial ataupun pelatihan eksternal di luar kementerian, di dalam ataupun di luar negeri. Keinovativan mengajar Keinovativan mengajar adalah tingkat kemampuan instruktur dalam inovasi dan kreatifitas mengajar. Keinovatifan mengajar juga berperan dalam menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk belajar (Grosu 2011). Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden menyatakan bahwa tingkat keinovativan mengajar instruktur berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 81 persen, yang artinya bahwa instruktur yang mengajar memiliki kemampuan mengajar yang inovatif dan kreatif, selalu berusaha menyampaikan materi pelatihan dengan cara yang baru yang tidak membosan bahkan membuat peserta pelatihan merasa tertarik dengan materi yang
34
disampaikan dan juga mempercepat pencapaian tujuan dari pembelajaran dalam pelatihan itu sendiri. Pelatih yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu dari kriteria instruktur yang direkrut oleh lembaga penyelenggara pelatihan. selain itu, kegiatan peningkatan kapasitas juga dilakukan oleh lembaga agar instruktur mempunyai kemampuan mengajar yang inovatif dan kreatif, hal tersebut dilakukan dengan memberikan pelatihan “Metode pembelajaran” secara internal bagi para instruktur. Kemampuan memotivasi Berkaitan dengan kemampuan menotivasi, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yag penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock 2008). Kemampuan memotivasi adalah kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilaku penyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengitukuti pelatihan dengan penuh energi dan terarah. Kemampuan memotivasi merupakan aspek dari instruktur yang dianggap penting (Ali 2005) Sebagian besar responden menyatakan bahwa instruktur mempunyai kemampuan memotivasi tinggi. Selain itu responden menyatakan bahwa hubungan responden dan instruktur terjalin dengan baik, penuh dengan keakraban dan kekeluargaan, sehingga responden lebih termotivasi untuk mencapai prestasi. Hal ini menunjukkan bahwa instruktur tidak hanya menyampaikan materi pelatihan saja, tetapi juga mampu memberikan dukungan aktif sebagai support worker bagi para penyandang disabilitas peserta pelatihan agar tetap terus mempunyai motivasi. Fakta di lapangan menujukkan bahwa instruktur pelatihan di BBRVBD Cibinong tidak hanya berperan sebagai instruktur tetapi juga berperan support worker, diantaranya sebagai pekerja sosial dan penyuluh sosial yang senantiasa berperan aktif dalam memberikan dukungan motivasi bagi penyandang disabilitas. Kurikulum Pelatihan Kurikulum pelatihan merupakan salah satu komponen pelatihan yang penting yang harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975) dan dimana tujuan pelatihan harus diketahui oleh peserta dengan kelas, adanya praktek yang memadai (proporsional) dan mengetahui hasil belajar dalam bentuk evaluasi (Hickerson dan Middleton 1975). Faktor kurikulum pelatihan dalam penelitian ini terdiri dari proporsi jenis materi penunjang dan materi utama, kejelasan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dan tujuan pelatihan, proporsi waktu teori dan praktek, waktu untuk pelatihan, dan evaluasi pelatihan. Hasil penelitian mengenai faktor kurikulum pelatihan disajikan dalam Tabel 6. Mengacu kepada Tabel 6, sebesar 52,4 persen responden menyatakan bahwa penyajian kurikulum pelatihan di BBRVBD Cibinong berada dalam kategori tinggi, yang artinya penyajian kurikulum pelatihan di BBRVBD Cibinong telah dilakukan dengan baik.
35
Hal ini didukung fakta di lapangan dimana BBRVBD Cibinong selalu melakukan perbaikan atau pengingkatan kualitas materi pelatihan yang disajikan dalam bentuk kurikulum dengan melibatkan para ahli terkait baik dari internal Kementerian Sosial atau dari kementrian lain seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Peningkatan kualitas kurikulum juga dilakukan dengan melibatkan ahli dari perusahaan garmen yang dianggap lebih profesional. Selain itu, penyusunan kurikulum di BBRVBD Cibinong telah mengacu kepada SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). Tabel 6 Distribusi responden berdasarkan kurikulum pelatihan No. 1.
Uraian Proporsi Jenis Materi Pelatihan Utama dan Penunjang
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Kejelasasn Tujuan Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Kesesuaian Materi Pelatihan dan Tujuan Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
4.
Urutan Substansi Materi Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
5.
Proporsi Waktu Teori dan Praktek
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
6.
Waktu Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
7.
Evaluasi Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Total Kurikulum Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 11 26 5 N=42 0 1 25 16 N=42 0 1 34 7 N=42 0 4 30 8 N=42 0 7 30 5 N=42 0 4 33 4 N=42 0 2 40 0 N=42 0 1 22 19 N=42
Persen (%) 0 26,2 61,9 11,9 =100 % 0 2,4 59,5 38,1 =100 % 0 2,4 81,0 16,7 =100 % 0 9,5 71,4 19,0 =100 % 0 16,7 71,4 11,9 =100 % 0 9,5 78,6 9,5 =100 % 0 4,8 95,2 0 =100 % 0 2,4 52,4 45,2 =100 %
Proporsi jenis materi penunjang dan materi utama Proporsi jenis materi penunjang dan materi utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat perbandingan proporsi materi pelatihan penunjang dan materi utama. Tabel 6 menunjukkan bahwa 61,9 persen responden menyatakan proporsi jenis materi penunjang dan materi utama pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap materi utama dan materi
36
penunjang pelatihan di BBRVBD Cibinong telah disusun dengan proporsional. Adapun yang dimaksud dengan materi utama adalah materi produktif yang berhubungan dengan keterampilan menjahit seperti K3, mengukur tubuh, menggambar busana, membuat pola, memotong bahan, dan menjahit dengan mesin.Sedangkan materi penunjang adalah materi keterampilan umum seperti Pancasila, UUD 1945, Peraturan Ketenagakerjaan, Bahasa Inggris, dan Achievement Motivation Training (AMT). Materi penunjang hanya diberikan 75 jam dari 1618 jam total waktu pelatihan atau sekitar 4,6 persen dari total waktu pelatihan. Sedangkan materi utama diberikan selama 1074 jam atau 66,4 persen dari total waktu pelatihan. Adapun komposisi waktu materi pelatihan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Komposisi waktu dan materi pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan di BBRVBD Cibinong No. 1 2 3 4
Mata Diklat Materi Utama: Materi Penunjang: Evaluasi Akhir Magang (on the job training)
TOTAL Sumber: BBRVBD, 2012 (diolah)
Durasi/ Waktu (jam) 1074 75 39 430
Persen (%) 66,4 4,6 2,4 26,6
1618
100
Kejelasan tujuan pelatihan Kejelasan tujuan pelatihan merupakan hal yang penting untuk dipahami oleh peserta pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Kejelasan tujuan pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kepastian tujuan pelatihan vokasional yang dilihat dari tingkat kejelasan tujuan pelatihan bidang penjahitan, tingkat kejelasan tujuan mata pelatihan, dan tingkat kejelasan tujuan setiap sesi pembelajaran. Tabel 6 menunjukkan bahwa 59,5 persen responden menyatakan tujuan pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap jelas tujuan pelatihan vokasional, tujuan mata pelatihan, dan tujuan setiap sesi pembelajaran. Responden memahami tujuan pelatihan vokasional karena dalam tahap asesmen sebelum mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong, tim asesmen memberikan penjelasan kepada calon peserta pelatihan mengenai tujuan pelatihan vokasional tiap keterampilan, termasuk jurusan penjahitan. Sehingga peserta pelatihan memiliki kejelasan mengenai tujuan pelatihan vokasional. Adapun tujuan setiap mata pelatihan dan setiap sesi pembelajaran disampaikan oleh instruktur ketika mereka akan masuk ke mata pelatihan baru dan pada setiap awal sesi pembelajaran, sehingga peserta pelatihan memahami tujuan suatu mata pelatihan dan tujuan dari suatu sesi pembelajaran. Adapun tujuan dari pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan adalah untuk memberikan bekal keterampilan kepada penyandang disabilitas fisik agar memiliki kemampuan sebagai tenaga kerja profesional di bidang penjahitan (high speed operator) sesuai dengan persyaratan dan peluang kerja yang ada dan untuk menyiapkan penyandang disabilitas fisik agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi lihur berdasarkan Pancasila sehingga mampu membangun dirinya sendiri dan ikut serta berpartisipasi membangun bangsa (BBRVBD 2011).
37
Kesesuaian materi pelatihan dan tujuan pelatihan Tabel 6 menunjukkan bahwa 81 persen responden menyatakan bahwa kesesuaian materi pelatihan dengan tujuan pelatihan berada dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap materi pelatihan telah disajikan sesuai dengan tujuan pelatihan yang ingin dicapai. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa materi pelatihan disajikan disesuaikan dengan SKKNI dan berdasarkan rujukan para ahli pendidikan pelatihan dan juga pengguna lulusan di lapangan pekerjaan (pengusaha). Urutan substansi materi pelatihan Materi pelatihan sebagai salah satu komponen pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 71,4 persen responden menyatakan urutan substansi materi pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap materi pelatihan telah disusun sesuai dengan urutan subtansinya, mulai dari yang paling mudah ke yang paling sulit, mulai dari keterampilan dasar sampai ke keterampilan mahir, sehingga memudahkan pemahaman peserta dalam pelatihan. pada keterampilan menjahit, peserta pertama-tama diajarkan menjahit lurus terlebih dahulu sebelum ke menjahit lengkung yang dianggap lebih rumit. Proporsi waktu teori dan praktek Adanya praktik yang memadai (proporsional) dianggap penting dalam pelaksanaan pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Proporsi waktu teori dan praktek dalam konteks penelitian ini adalah perbandingan waktu pelatihan untuk penyampaian teori dan pelaksanaan praktek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 71,4 persen responden menyatakan proporsi waktu teori dan praktek pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap pembagian waktu untuk lamanya penyampaian teori dan pelaksanaan praktek telah dilakukan secara proporsional. Waktu untuk pelatihan Waktu untuk pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah lamanya pelaksanaan pelatihan vokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50 persen responden menyatakan waktu pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap durasi pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong sudah baik. Pelatihan vokasional dilaksanakan selama 1618 jam pelatihan, yaitu 75 jam untuk materi penunjang, 1074 untuk materi utama, 39 jam untuk evaluasi, dan 430 jam untuk magang (on the job training) di perusahaan. Pelatihan dikemas dalam waktu 8 (delapan) bulan. Evaluasi pelatihan Evaluasi pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kesesuaian evaluasi pelatihan vokasional yang dilihat dari kesesuaian cara evaluasi dan tujuan evaluasi. Hasil penelitian terhadap evaluasi pelatihan menunjukkan bahwa 95,2 persen responden menyatakan evaluasi dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap cara evaluasi dan tujuan evaluasi pelatihan sudah baik.
38
Evaluasi pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong dilaksanakan secara formatif dan sumatif pada akhir masa pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi. Waktu yang digunakan untuk evaluasi adalah sebanyak 39 jam pelatihan. evaluasi dilaksanakan secara internal oleh instruktur dan secara eksternal dari lembaga sertifikasi terkait. Profil Penyelenggara Pelatihan Profil penyelenggara pelatihan berhubungan dengan kewenangan hukum yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dalam menyediakan tenaga pengelola dan sarana prasarana pelatihan yang sesuai standar (Sujudi 2003). Profil penyelenggara pelatihan diduga berhubungan dengan kompetensi penyandang disabilitas adalah faktor penyelenggara pelatihan. Variabel ini meliputi kesesuaian jumlah instruktur, tingkat pendidikan instruktur, kesesuaian jurusan pendidikan instruktur, pendidikan non formal instruktur, pengalaman mengajar instruktur, sarana dan prasarana pelatihan. Adapun hasil penelitian mengenai profil penyelenggara pelatihan disajikan dalalam Tabel 8. Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan profil penyelenggara pelatihan No. 1.
Uraian Kesesuaian Jumlah Instruktur
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Tingkat Kesesuaian Pendidikan Instruktur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Kesesuaian Jurusan Pendidikan Instruktur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
4.
Pendidikan Non Formal Instruktur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
5.
Pengalaman Mengajar Instruktur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
6.
Sarana dan Prasarana Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Total Profil Penyelenggara Pelatihan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 7 26 9 N=42 0 4 35 3 N=42 0 3 36 3 N=42 0 2 39 1 N=42 0 0 35 7 N=42 0 6 26 10 N=42 0 1 29 12 N=42
Persen (%) 0 16,7 61,9 21,4 =100 % 0 9,5 83,3 7,1 =100 % 0 7,1 85,7 7,1 =100 % 0 4,8 92,9 2,4 =100 % 0 0 83,3 16,7 =100 % 0 14,3 61,9 23,8 =100 % 0 2,4 69 28,6 =100 %
39
Mengacu kepada Tabel 8, sebanyak 69 persen responden menyatakan bahwa profil penyelenggara pelatihan berada dalam kategori tinggi, yang artinya lembaga penyelenggara pelatihan dalam hal ini BBRVBD Cibinong telah memiliki kemampuan yang baik dalam menyelenggarakan pelatihan vokasional. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan di mana BBRVBD Cibinong telah menjadi rujukan lembaga penyelenggara rehabilitasi vokasional bagi negaranegara di kawasan Asia Pasifik Afrika sejak tahun 2005. Perekrutan dan pengembangan instruktur serta pengadaan sarana dan prasarana dibuat sebaik mungkin dengan mula-mula dibantu oleh pemerintah Jepang melalui JICA. Kesesuaian jumlah instruktur Kesesuaian jumlah instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbandingan jumlah instruktur pelatihan dengan jumlah peserta pelatihan vokasional di BBRVBD. Sebanyak 61,9 persen responden menyatakan bahwa kesesuaian jumlah instruktur berada di kategori tinggi, yang artinya bahwa jumlah instruktur pelatihan vokasional yang tersedia sudah proposional sesuai dengan jumlah peserta pelatihan. fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah instruktur untuk materi produktif adalah sebanyak 4 (empat) orang untuk 20 orang peserta pelatihan atau 1:5. jumlah tersebut dianggap sudah mencukupi dimana peserta sudah merasa kebuthan mereka akan instruktur sudah terakomodir dengan baik dengan tidak rebutannya instruktur tempat mereka bertanya atau meminta bimbingan praktek. Tingkat kesesuaian pendidikan instruktur Tingkat pendidikan instruktur adalah tingkat kesesuaian strata pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh instruktur dengan strata pendidikan peserta pelatihan vokasional. Tabel 8 menunjukkan bahwa 83,3 persen responden menyatakan bahwa tingkat kesesuaian pendidikan instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa pendidikan formal instruktur telah dianggap sesuai. Data di lapangan menunjukkan bahwa instruktur mempunyai tingkat pendidikan formal sarjana dan SMA. Namun bagi sebagian peserta, tingkat pendidikan bukanlah hal yang penting selama instruktur mempunyai performa yang baik dalam mengajar peserta. Kesesuaian jurusan pendidikan instruktur Kesesuaian jurusan pendidikan instruktur dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kesesuaian jurusan pembelajaran formal yang telah ditempuh oleh instruktur dengan materi pelatihan yang diajarkannya di pelatihan vokasional. Tabel 8 menunjukkan bahwa 85,7 persen responden menyatakan bahwa tingkat kesesuaian jurusan pendidikan instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa pendidikan instruktur dianggap sesuai dengan jurusan yang diajarkannya. Pendidikan non formal instruktur Pendidikan non formal instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kesesuaian pembelajaran non formal yang telah ditempuh instruktur baik di dalam ataupun di luar negeri, dengan materi pelatihan yang diajarkan di pelatihan vokasional. Sebanyak 92,9 persen responden menyatakan bahwa tingkat
40
pendidikan non formal instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa pendidikan non formal instruktur dianggap sesuai dengan jurusan yang diajarkannya. Fakta di lapangan menyebutkan bahwa instruktur yang mengajar telah mengikuti pendidikan non formal di bidang penjahitan baik di dalam (diklat sertifikasi instruktur di Kementerian Tenaga Kerja RI) ataupun di luar negeri (ToT bidang penjahitan di Jepang oleh JICA). Pengalaman mengajar instruktur Pengalaman mengajar instruktur dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan dan masa kerja instruktur dalam memberikan pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83,3 persen responden menyatakan bahwa pengalaman mengajar instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa instruktur yang mengajar dianggap memiliki pengalaman mengajar di bidangnya. Sarana dan prasarana pelatihan Sarana dan prasarana pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pelatihan yang disediakan oleh lembaga penyelenggara pelatihan vokasional. Tabel 8 menunjukkan bahwa 61,9 persen responden menyatakan bahwa sarana dan prasarana pelatihan berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa sarana dan prasarana pelatihan dianggap memiliki kualitas baik dan jumlahnya mencukupi. Jumlah peralatan pelatihan di BBRVBD disesuaikan dengan jumlah peserta, dimana setiap satu peserta mendapatkan satu mesin jahit berkecepatan tinggi untuk praktek. Alat bantu pelatihan yang disediakan di tempat pelatihan merupakan alat yang spesifikasinya sama dengan mesin-mesin yang dipakai di industri garmen, yaitu mesin jahit dengan kecepatan tinggi. Sehingga lulusan sudah terbiasa dengan mesin yang digunakan ketika mereka diterima kerja di perusahaan. Adapun peralatan yang ada di BBRVBD Cibinong merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah Jepang melalui JICA. Adanya 14,3 persen responden yang menyatakan bahwa sarana prasarana dalam kategori rendah dikarenakan tidak semua sarana prasarana dalam kualitas yang baik, misalnya mahalnya biaya sparepart dan perawatan mesin membuat tidak semua mesin terawat dengan baik dan ada yang tidak berfungsi dengan baik. Adanya sarana prasarana yang berkategori rendah ini menuntut kekreatifan intruktur dan lembaga penyelenggara untuk mengoptimalkan fasilitas yang tersedia. Kompetensi Melaksanakan Prosedur K3 dalam Bekerja Salah satu kompetensi peserta pelatihan vokasional yang dianggap mempunyai hubungan dengan pelatihan vokasional adalah kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja yang ditandai dengan kemampuan mengikuti prosedur K3 di tempat kerja, menangani situasi darurat, dan dalam menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman. Hasil penelitian mengenai kompetensi melaksanakan prosedur K3 disajikan dalam Tabel 9. Sebanyak 78,5 persen responden memiliki kompetensi dalam mengikuti prosedur K3 dalam bekerja dengan kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mengikuti prosedur K3 di tempat kerja,
41
menangani situasi darurat, dan menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman. Sisanya sebanyak 21,5 persen berada dalam kategori sangat tinggi. Hal ini sesuai fakta di lapangan di mana pihak perusahaan menyebutkan bahwa penyandang disabilitas lulusan pelatihan mempunyai kemampuan dalam mengikuti prosedur evakuasi darurat, mengetahui arah evakuasi, melaporkan sumber-sumber bahaya di tempat kerja misalnya adanya kabel yang tidak tertata rapi dan memungkinkan menjadi sumber bahaya, mematikan mesin ketika tidak sedang dipakai untuk mencegah terjadinya kecelakaan, dan memakai perlengkapan kerja seperti masker untuk melindungi saluran pernafasan mereka dari serabut kain. Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja No. 1.
Uraian Mengikuti Prosedur K3 di Tempat Kerja
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Menangani Situasi Darurat
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Menjaga Standar Keselamatan Kerja Perorangan yang Aman
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Total Kompetensi Melaksanakan Prosedur
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 10 23 9 N=42 0 4 25 13 N=42 0 1 28 13 N=42 0 0 33 9 N=42
Persen (%) 0 23,8 54,8 21,4 =100 % 0 9,5 59,5 31 =100 % 0 2,4 66,7 31 =100 % 0 0 78,5 21,5 =100 %
Mengikuti prosedur K3 di tempat kerja Mengikuti prosedur K3 di tempat kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam mengikuti prosedur K3 di tempat kerja dengan indikator tingkat kemampuan responden mengikuti prosedur keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dan menerapkannya di tempat kerja, tingkat kemampuan menguasai cara pengoperasian alat dan sarana keselamatan di tempat kerja. Mayoritas responden memiliki kompetensi dalam mengikuti prosedur K3 dalam bekerja dengan kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mengikuti prosedur K3 di tempat kerja. Menangani situasi darurat Menangani situasi darurat dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menangani situasi darurat di tempat kerja, dengan indikator kemampuan responden dalam mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lainnya) dan tingkat kemampuan responden dalam melakukan tindakan untuk menangani situasi darurat sesuai dengan prosedur. Mengacu kepada Tabel 9, sebanyak 59,5 persen
42
responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menangani situasi darurat berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lain-lain) dan dalam melakukan tindakan untuk menangani situasi darurat sesuai dengan prosedur. Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman, dengan indikator: menjaga kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian di tempat kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja sesuai kebutuhan, dan menggunakan alat kerja dengan tepat sesuai kebutuhan. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden memiliki kompetensi dalam menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang amanberada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menjaga kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian di tempat kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja sesuaikebutuhan, dan menggunakan alat kerja dengan tepat sesuaui kebutuhan. Adanya 2,4 persen responden yang memiliki kompetensi menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman yaitu adanya responden yang tidak mau memakai masker di ruang produksi yang lebih dikarenakan kurangnya kesadaran mengenai kegunaan mengenakan masker di ruang produksi yang bisa membantu menjaga kesehatan saluran pernafasannya. Kompetensi Menjahit dengan Mesin Kompetensi lainnya dari peserta pelatihan vokasional yang dianggap mempunyai hubungan dengan pelatihan vokasional adalah kompetensi menjahit dengan mesin yang ditandai dengan kemampuan:menyiapkan tempat dan alat kerja, kemampuan menyiapkan mesin jahit, kemampuan mengoperasikan mesin jahit, kemampuan menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dan kemampuan merapikan tempat dan alat kerja. Hasil penelitian mengenai kompetensi menjahit dengan mesin disajikan dalam Tabel 10. Menyiapkan tempat dan alat kerja Menyiapkan tempat dan alat kerja dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan indikator menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macammacam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat-alat jahit yang dibutuhkan, dan menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan. Mengacu kepada Tabel 10, sebanyak 66,7 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menyiapkan tempat dan alat kerja berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan indikator menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macammacam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat-alat jahit yang dibutuhkan, dan menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan. Adanya 2,4 persen responden yang berkompetensi rendah dikarenakan rendahnya mobilitas responden yang
43
diakibatkan oleh disabilitasnya, sehingga kecepatannya untuk menyiapkan tempat dan alat kerja lebih rendah daripada karyawan yang lain. Menyiapkan mesin jahit Menyiapkan mesin jahit dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menyiapakn mesin jahit yang meliputi: mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai dengan jenis bahannya, mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan, spul, jarum) dan memasangnya sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan. Sebanyak 64,3 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menyiapkan mesin jahit berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai dengan jenis bahannya, mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan, spul, jarum) dan memasangnya sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan. Masih terdapat responden yang memiliki kompetensi rendah dikarenakan mobilitas yang terbatas karena disabilitasnya Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan kompetensi menjahit dengan mesin No. 1.
Uraian Menyiapkan Tempat dan Alat kerja
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Menyiapkan Mesin Jahit
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Mengoperasikan Mesin Jahit
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
4.
Menjahit Bagian-bagian Potongan Pakaian
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
5.
Merapihkan Tempat dan Alat Kerja
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Total Kompetensi Menjahit dengan Mesin
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 1 28 13 N=42 0 2 27 13 N=42 0 6 21 15 N=42 0 5 21 16 N=42 0 4 24 14 N=42 0 2 27 13 N=42
Persen (%) 0 2,4 66,6 31 =100 % 0 4,8 64,2 31 =100 % 0 14,3 50 35,7 =100 % 0 11,9 50 38,1 =100 % 0 9,5 57,1 33,3 =100 % 0 4,8 64,3 31 =100 %
Mengoperasikan mesin jahit Mengoperasikan mesin jahit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam mengoperasikan mesin jahit yang meliputi tingkat kemampuan mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain
44
lain dan tingkat kemampuan dalam memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan. Sebanyak 50 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam mengoperasikan mesin jahit berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain lain dan dalam memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan. Menjahit bagian-bagian potongan pakaian Menjahit bagian-bagian potongan pakaian dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian yang meliputi tingkat kemampuan dalam menyiapkan bagian-bagian potongan bahan pakaian yang akan dijahit, tingkat kemampuan dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan tingkat kemampuan menerapkan keselamatan kerja. Sebanyak 38,9 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian berada dalam kategori sangat tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menyiapkan bagian-bagian potongan bahan pakaian yang akan dijahit, dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan dalam menerapkan keselamatan kerja. Hal ini diakui oleh atasan langsung lulusan yang sangat puas dengan kemampuan lulusan dalam memenuhi target produksi perusahaan. Bahkan terdapat 2 (dua) orang lulusan di PT Mattel yang ditunjuk menjadi guru menjahit dan diberikan tugas tambahan untuk mengajarkan menjahit bagi para karyawan lain (non disabilitas) yang memiliki kemampuan menjahit kurang baik. Kompetensi yang tinggi dalam menjahit didukung oleh sarana pelatihan vokasional di BBRVBD, dimana jenis dan spesifikasi mesin jahit yang dipakai di BBRVBD sudah sama dengan spesifikasi mesin yang dipakai di industri garmen, sehingga lulusan sudah terbiasa dengan jenis mesin yang dipakai di perusahaan. Adanya responden yang mempunyai kompetensi rendah dikarenakan adanya responden yang mengalami penurunan kualitas kesehatan sehingga tidak bisa menjahit secara maksimal dalam mencapai target produksi perusahaan (kasus pada responden di PT Rajawali yang memiliki disabilitas pada tulang belakang) dan cenderng meyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang relatif lama. Merapikan tempat dan alat kerja Merapikan tempat dan alat kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam merapikan tempat dan alat kerja yang meliputi tingkat kemampuan memelihara alat jahit dan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, tingkat kemampuan menyimpan alat jahit dan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dan tingkat kemampuan dalam membersihkan tempat kerja. Sebanyak 57,1 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam merapikan tempat dan alat kerja berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam memelihara alat jahit dan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dalam menyimpan alat jahitdan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dan dalam membersihkan tempat kerja. Adanya responden yang memiliki kompetensi merapikan tempat dan
45
alat kerja rendah dikarenakan adanya sebagian responden yang memiliki mobilitas rendah. Employability Selain kompetensi teknis, diperlukan juga kompetensi non teknis agar para lulusan pelatihan dapat diserap di dunia kerja. Hillage and Pollard (dalam Pool and Sewell 2007) menyebutkan bahwa kemampuan non teknis agar seseorang dapat mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan pekerjaannya dikenal dengan employability. Rasul et al. (2010), mengemukakan bahwa employability adalah kesiapan para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir dengan sukses. Wen L. et al. (2010) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa employability yang dibutuhkan di dunia kerja adalah (a) pemecahan masalah, (b) etika kerja, (c) tanggung jawab, (d) bekerja dalam tim, (e) berorientasi pada pelanggan, dan (f) komunikasi dan manajemen konflik. Dalam pelatihan vokasional yang diselenggarakan di BBRVBD Cibinong, kemampuan non teknis diperoleh peserta pelatihan melalui mata pelatihan pendukung dan dari program bimbingan mental. Adapun hasil penelitian mengenai employability responden disajikan dalam Tabel 11. Mengacu pada Tabel 11, mayoritas responden memiliki employability dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam pemecahan masalah, etika kerja, tanggung jawab, bekerja dalam tim, berorientasi kepada pelanggan, dan komunikasi dan manajemen konflik. Masih adanya 9,5 persen responden yang memiliki employability skills yang rendah merupakan tantangan bagi instruktur dan penyelenggara pelatihan untuk mengoptimalkan potensi mereka dan untuk memberikan bimbingan mental dengan lebih baik. Kasus di lapangan memperlihatkan bahwa rendahnya employability muncul dalam bentuk rendahnya tanggung jawab lulusan terhadap kewajiban mereka sebagai karyawan, seperti datang terlambat, tidak meminta ijin/mengirimkan surat dokter ketika tidak masuk kerja, tidak menyelesaikan reparasi jahitan yang menjadi tanggung jawabnya, menyelesaikan masalah di tempat kerja dengan emosional dan cenderung kepada kekerasan. Pemecahan masalah Pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam mengidentifikasi masalah, mengantisipasi, dan memecahkan masalah. Mengacu kepada Tabel 11, sebesar 64,3 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam pemecahan masalah berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mengidentifikasi masalah, mengantisipasi, dan memecahkan masalah. Etika kerja Etika kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam kedisiplinan bekerja, memegang teguh dan mentaati nilai-nilai sosial, dan kemampuan dalam menunjukkan perilaku positif sehingga tidak merugikan orang lain maupun tempat kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,5 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam etika
46
kerja berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam kedisiplinan bekerja, memegang teguh dan mentaati nilai-nilai sosial, dan dalam menunjukkan perilaku positif sehingga tidak merugikan orang lain maupun tempat kerjanya Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan employability No. 1.
Uraian Pemecahan Masalah
1. 2. 3. 4.
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
2.
Etika Kerja
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
3.
Tanggung Jawab
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
4.
Bekerja dalam Tim
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
5.
Berorientasi pada Pelanggan
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
6.
Komunikasi dan Manajemen Konflik
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Employability
1. 2. 3. 4.
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
F 0 7 27 8 N=42 0 5 25 12 N=42 0 1 27 8 N=42 0 1 28 13 N=42 0 4 35 3 N=42 0 2 31 9 N=42 0 4 29 9 N=42
Persen (%) 0 16,7 64,3 19 =100 % 0 11,9 59,5 28,5 =100 % 0 2,4 64,3 19 =100 % 0 2,4 66,7 31 =100 % 0 9,5 83,3 7,1 =100 % 0 4,8 73,8 21,4 =100 % 0 9,5 69 21,4 =100 %
Tanggung jawab Tanggung jawab dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kerja, dan kemampuan dalam memahami hubungan antara individu yang bersangkutan dengan perusahaan tempat bekerja. Mengacu kepada Tabel 11, 64,3 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam tanggung jawab berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kerja, dan dalam memahami hubungan antara individu yang bersangkutan dengan perusahaan tempat bekerja. Adanya responden yang memiliki tanggung jawab rendah muncul dalam rendahnya tanggung jawab lulusan terhadap kewajiban mereka sebagai karyawan, seperti datang terlambat, tidak meminta ijin/mengirimkan surat dokter ketika tidak masuk kerja, tidak menyelesaikan reparasi jahitan yang menjadi tanggung jawabnya.
47
Bekerja dalam tim Bekerja dalam tim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menerima orang lain untuk bekerja sama, kemampuan dalam mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai bersama dalam sebuah tim, kemampuan dalam menghormati dan bekerjasama dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan tim dan memperoleh hasil yang terbaik. Sebanyak 66,7 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam bekerja dalam tim berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menerima orang lain untuk bekerja sama, dalam mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai bersama dalam sebuah tim, dalam menghormati dan bekerjasama dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan tim dan memperoleh hasil yang terbaik. Responden di ketiga perusahaan bekerja dalam tim (production line) untuk menyelesaikan target tim. Berorientasi kepada pelanggan Orientasi pada pelanggan yang dimaksuddalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam memahami kebutuhan pelanggan, kemampuan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, dan kemampuan dalam menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Mengacu kepada Tabel 11, sebanyak 83,3 persen responden menyatakan bahwa mereka memiliki orientasi yang tinggi terhadap kepuasan pelanggan dengan cara memahami kebutuhan pelanggan, memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, dan menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Hal tersebut menunjukkan kemampuan responden yang tinggi dalam berorientasi kepada pelanggan. Dalam hal ini, responden menunjukkan kemampuan berorientasi kepada pelanggan dalam bentuk pemenuhan permintaan pelanggan sesuai dengan standar kualitas produk. Komunikasi dan manajemen konflik Komunikasi dan manajemen konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menunjukkan perhatian tulus kepada orang lain dan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Sebanyak 73,8 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam komunikasi dan manajemen konflik berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menunjukkan perhatian tulus kepada orang lain dan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Kompetensi komunikasi dan manajemen konflik yang rendah ditunjukkan masih adanya sebagian responden yang cenderung emosional dan mengarah kepada tindak kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Dilihat dari distribusi responden, kompetensi yang paling besar dimiliki oleh alumni pelatihan adalah kompetensi dalam melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja. Kompetensi ini diajarkan bersamaan dengan kompetensi-kompetensi yang diajarkan dalam pelatihan, misalkan bersamaan dengan kompetensi menjahir dengan mesin, kompetensi memotong, dan sebagainya. Instruktur mengajarkan langsung mana yang menjadi sumber bahaya dan bagaimana mencegah dan mengatasi kecelakaan yang bisa terjadi dalam setiap proses pekerjaan. Cara pelatihan seperti ini memudahkan peserta dalam menguasai kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja.
48
Employability merupakan kompetensi terendah yang dimiliki oleh alumni pelatihan, hal ini salah satunya dikarenakan rendahnya waktu yang dialokasikan untuk belajar mengenai employability, yaitu hanya 30 jam pelatihan yang tertuang dalam mata pelatihan AMT. Namun, sejak tahun 2013 BBRVBD telah menambah jam mata pelatihan AMT menjadi sebanyak 202 jam pelatihan. Ditingkatkannya jumlah jam AMT ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan employability lulusan. Hubungan Karakteristik Peserta Pelatihan dengan Kompetensi Analisis korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan atau korelasi antar variabel dalam penelitian ini. Karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan yang diduga memiliki korelasi/hubungan dengan partisipasi meliputi usia, lama menyandang disabilitas, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pengalaman kerja. Hasil analisis korelasi Spearman mengenai hubungan karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan dengan dengan kompetensi lulusan pelatihan disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Korelasi karakteristik peserta pelatihan dengan kompetensi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Sub Variabel
Kompetensi Y1
Usia Lama menyandang disabilitas Pendidikan formal Pendidikan non formal Pengalaman kerja
Keterangan Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin Y3 Employability
Y2 .126 .137 -.142 -.096 .118
Y3 -.054 .121 -.117 -.288 -.030
-.004 .219 -.013 -.474** -.144
Total Y .013 .157 -.097 -.281 .194
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
Tingkat usia akan mempengaruhi aktivitas seseorang. Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa usia tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini berarti bahwa usia responden tidak berhubungan dengan kompetensi mereka sebagai lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan BBRVBD. Hal ini dapat dipahami karena responden berada pada range usia 20-36 tahun yang termasuk kedalam kategori usia produktif. Sebagaimana hasil penelitian Mavromaras dan Palidano (2011) yang menyebutkan bahwa pelatihan vokasional merupakan jalur pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif. Lama menyandang disabilitas seseorang berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat, termasuk dalam belajar mengikuti pelatihan yang akan berpengaruh terhadap prestasi yang dicapai. Selain itu, lama menyandang disabilitas juga berkaitan dengan tingkat adaptasi terhadap kemampuan penyandang disabilitas dalam memaksimalkan kemampuan baru yang dimilikinya setelah memiliki disabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, lama menyandang disabilitas tidak berkorelasi dengan
49
kompetensi, karena penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional telah mengikuti assesment akademik, psikologis dan vokasional sebelum diterima menjadi peserta pelatihan vokasional, sehingga meskipun peserta memiliki lama waktu menyandang disabilitas yang berbeda, peserta pelatihan tetap memiliki tingkat kemampuan akademis, psikologis, dan vokasional yang standar yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pelatihan vokasional. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendidikan formal penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan tidak mempunyai korelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena dengan adanya proses assesment di bidang akademik bagi calon peserta, memungkinkan semua peserta pelathan yang diterima mempunya kemampuan akademik standar sesuai persyaratan lemabaga penyelenggara pelatihan, terlepas dari tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh peserta. Selain itu, pelatihan diaplikasikan ketika hanya diperlukan sedikit berpikir (Peters 1967 dalam Tight 2002), sehingga tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan bahwa walaupun 57,1 persen responden mempunyai pendidikan yang berketegori rendah yaitu lulus SMP, bahkan ada yang sangat rendah yaitu lulusan SD, tetapi secara umum responden mempunyai kompetensi yang tinggi. Secara umum pendidikan non formal tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan. Akan tetapi pendidikan non formal berkorelasi negatif sangat signifikan dengan employability sebagai kemampuan non teknis, terutama dalam pemecahan masalah, etika kerja dan bekerja dalam tim. Adanya faktor kebosanan atas bidang yang sama (penjahitan) dan merasa paling berpengalaman dalam bidang tersebut menyebabkan responden cenderung kurang baik dalam bekerja dengan tim yang pengalamannya dianggap lebih rendah dan dalam menyelesaikan masalah. Faktor ini pula yang menyebabkan sebagian responden cenderung merendahkan orang lain. Tabel 12 menunjukkan bahwa secara umum pengalaman kerja tidak berkorelasi dengan kompetensi, yang artinya bahwa tinggi rendahnya pengalaman kerja lulusan tidak berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki lulusan. Hal ini dapat dipahami, karena jenis pekerjaan pada posisi pekerjaan sebelumnya tidak selalu sama dengan pekerjaan yang sekarang, walaupun dalam bidang yang sama (penjahitan), dan juga terdapat perbedaan spesifikasi alat dan mesin dalam pekerjaan. Secara keseluruhan, karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional tidak mempunyai hubungan dengan kompetensi lulusan. Hanya pendidikan non formal saja yang mempunyai korelasi negatif sangat signifikan dengan employability lulusan (r=-,474**)
Hubungan Performa Instruktur dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya keeratan hubungan antara performa instruktur dengan kompetensi lulusan pelatihan, yaitu faktor kemampuan instruktur dalam memotivasi. Faktor lainnya seperti penguasaan materi oleh instruktur dan keinovatifan instruktur dalam
50
mengajar tidak memiliki korelasi dengan kompetensi. Hasil analisis hubungan performa instruktur dengan kompetensi lulusan pelatihan disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Korelasi performa instruktur pelatihan dengan kompetensi No.
Sub Variabel
Y1
1. Penguasaan materi 2. Keinovatifan mengajar 3. Kemampuan memotivasi 4. Total performa instruktur Keterangan Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin Y3 Employability
-.043 -.054 .228 .112
Kompetensi Y2 Y3 -.002 .047 -.086 -.173 .326* .328* .164 .146
Total Y .020 -.110 .323* .168
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann 2010), termasuk didalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005). Begitu juga dengan keinovatifan mengajar yang berperan dalam menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk belajar (Grosu 2011). Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor penguasaan materi dan keinovatifan mengajar tidak berkorelasi dengan kompetensi. Yang artinya bahwa penguasaan materi pelatihan oleh instruktur dan keinovatifan instruktur dalam mengajar tidak berhubungan dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya peserta pelatihan adalah orang dewasa yang dapat belajar secara mandiri dalam menggali informasi, sehingga peran instruktur tidak 100 persen sebagai sumber materi (informasi). Dalam pendidikan orang dewasa peran instruktur lebih cenderung sebagai sebagai fasilitator yang membantu mempermudah peserta menguasai materi, bukan sebagai satu-satunya sumber materi. Selain itu, sebagian peserta pelatihan pernah mengikuti pendidikan formal di bidang penjahitan sebelumnya, sehingga pelatihan vokasional yang dilaksanakan BBRVBD Cibinong bukan satu-satunya sumber kompetensi bagi peserta pelatihan. Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yag penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock 2008). Kemampuan memotivasi adalah kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilakupenyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengikuti pelatihan dengan penuh energi dan terarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan memotivasi instruktur berkorelasi positif signifikan dengan kompetensi lulusan. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang dalam interaksinya memiliki hambatan dari lingkungan dan membutuhkan motivasi dan active support dari lingkungan untuk dapat keluar dari dunia disabilitasnya (Ellison 2012). Hal ini juga sesuai dengan pendapat McGehee
51
(dalam Ali 2005) yang menyebutkan bahwa pelatih harus mampu memotivasi dan menyebarkan respon yang berhubungan dengan serangkaian materi pelajaran. Dengan demikian, secara keseluruhan faktor performa instruktur tidak berkorelasi dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan. Akan tetapi kemampuan instruktur dalam memotivasi berkorelasi positif signifikan terhadap kompetensi lulusan dalam menjahit dengan mesin (r=0,326*) dan terhadap employability lulusan (r=0,328*)
Hubungan Kurikulum Pelatihan dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan Kurikulum pelatihan merupakan komponen yang substansial dalam pelatihan, dimana materi pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapantahapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai (McGehee dalam Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975). Hasil analisis dengan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa faktor kurikulum pelatihan mempunyai korelasi dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan sebagaimana dalam Tabel 14. Tabel 14 Korelasi kurikulum pelatihan dengan kompetensi No.
Sub Variabel
Kompetensi Y2 Y3
Y1
1. Proporsi jenis materi penunjang dan utama 2. Kejelasan tujuan pelatihan 3. Kesesuaian materi dan tujuan 4. Urutan substansi materi 5. Proporsi waktu teori dan praktek 6. Waktu untuk pelatihan 7. Evaluasi pelatihan 8. Total kurikulum pelatihan Keterangan Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin Y3 Employability
Total Y
*
.219
.266
.171 -.094 .398**
.168 .107 .567**
.182 -.016 .546**
.190 .038 .583**
.351*
.528**
.387*
.479**
-.159 -.081 .212
-.151 .005 .447**
-.196 .146 .323**
-.161 .014 .400**
.263
.347
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
Mengacu kepada Tabel 14, proporsi jenis materi penunjang dan materi utama berkorelasi positif signifikan dengan kompetensi menjahit dengan mesin, hal ini menunjukkan bahwa proporsi jenis materi penunjang dengan materi utama berhubungan erat dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan dalam menjahit dengan mesin. Hal ini sejalan dengan fakta di lapangan bahwa materi menjahit dengan mesin sebagai salah satu materi utama yang memerlukan lebih banyak praktek mempunyai proporsi lebih besar dari materi penunjang. Materi menjahit dengan mesin memakan waktu 381 jam dari total materi produktif (1074 jam) atau sekitar 35,5 persen Kejelasan tujuan pelatihan merupakan hal yang penting untuk dipahami oleh peserta pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975), karena dengan
52
memahami tujuan pelatihan peserta pelatihan akan lebih mengetahui tujuan atau arah pelatihan serta target yang harus dicapai. Kejelasan tujuan pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kepastian tujuan pelatihan vokasional yang dilihat dari tingkat kejelasan tujuan pelatihan bidang penjahitan, tingkat kejelasan tujuan mata pelatihan, dan tingkat kejelasan tujuan setiap sesi pembelajaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa kejelasan tujuan pelatihan tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan yang artinya bahwa kelejasan tujuan pelatihan tidak berhubungan dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena pada hasil wawancara dan observasi menunjukkan bahwa sebagian peserta tidak begitu memperdulikan tujuan dari pelatihan tetapi mereka mempunyai kompetensi tinggi. Secara umum, faktor urutan substansi materi berkorelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi. Artinya bahwa urutan substansi materi pelatihan vokasional bidang penjahitan berhubungan sangat erat dengan kompetensi lulusan. Hal ini sesuai dengan pendapat McGehee (dalam Ali 2005) dan Hickerson dan Middleton (1975) yang menyebutkan bahwa materi pelatihan merupakan komponen yang substansial dalam pelatihan, dimana materi pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Misalnya hasil observasi di lapangan pada kompetensi menjahit, peserta pertama-tama diajarkan menjahit lurus terlebih dahulu sebelum ke menjahit lengkung yang dianggap lebih rumit. Hal tersebut sangat memudahkan peserta dalam meningkatkan kompetensinya. Tabel 14 menunjukkan bahwa proporsi waktu antara teori dan praktek juga menunjukkan korelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan. Yang artinya bahwa proporsi proporsi waktu untuk teori dan waktu untuk praktek dalam pelatihan vokasional bidang penjahitan berhubungan sangat erat dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hickerson dan Middleton (1975) yang menyebutkan bahwa adanya praktik yang memadai (proporsional) dianggap penting dalam pelaksanaan pelatihan. Pada pelatihan vokasional ini, praktek merupakan hal yang menjadi dominasi. Secara umum waktu pelatihan tidak berkorelasi dengan kompetensi, yang artinya lamanya pelaksanaan pelatihan vokasional tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan dalam bidang penjahitan, hal ini dapat dipahami karena semua responden mengikuti pelatihan dengan durasi yang sama. Evaluasi pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kesesuaian evaluasi pelatihan vokasional yang dilihat dari kesesuaian cara evaluasi dan tujuan evaluasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa evaluasi pelatihan tidak berkorelasi dengan kompetensi, hal ini dapat dipahami karena cara dan tujuan instruktur atau lembaga penyelenggara dalam mengevaluasi tidak begitu mempengaruhi kompetensi hasil belajar peserta pelatihan. Secara keseluruhan, analisis terhadap faktor kurikulum pelatihan menunjukkan adanya korelasi positif sangat signifikan antara kurikulum pelatihan dengan kompetensi dengan koefisien korelasi sebesar 0.400**.
53
Hubungan Profil Penyelenggara Pelatihan dengan Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan Profil penyelenggara pelatihan merupakan salah satu komponen pelatihan yang diduga beruhungan dengan kompetensi lulusan. Profil penyelenggara pelatihan berhubungan kewenangan hukum atau kebijakan yang dimiliki oleh penyelenggara dalam melaksanakan pelatihan, termasuk dalam menentukan kualifikasi instruktur dan menyediakan sarana prasarana pelatihan (Sujudi 2003). Hasil analisis Spearman menunjukkan adanya korelasi antara penyelenggara pelatihan dengan kompetensi sebagai disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Korelasi profil penyelenggara pelatihan dengan kompetensi No.
Sub Variabel
Y1
1. Kesesuaian jumlah instruktur 2. Tingkat pendidikan instruktur 3. Kesesuaian jurusan pendidikan instruktur 4. Pendidikan non formal instruktur 5. Pengalaman mengajar instruktur 6. Sarana prasarana pelatihan 7. Total Profil Penyelenggara Pelatihan Keterangan Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin Y3 Employability
.303 .305*
Kompetensi Y2 Y3 ** .427 .298 .147 .131
Total Y .377* .221
.324*
.200
.173
.269
-.045
-.014
.016
-.014
-.068
-.077
-.073
-.072
**
**
.272
.403**
.435**
.339*
.453**
.545
.513**
.428
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif sangat signifikan antara kesesuaian jumlah instruktur dengan kompetensi menjahit dengan mesin yang artinya artinya semakin proporsional jumlah instruktur maka kompetensi perserta cenderung semakin tinggi. Jumlah instruktur yang proporsional memungkinkan peserta memperoleh kesempatan untuk mendapatkan bimbingan yang cukup baik. Idealnya tingkat pendidikan pelatih yang mengajar lebih tinggi dari tingkat pendidikan peserta yang diajarkannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan instruktur tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan, yang artinya bahwa strata pendidikan formal yang ditempuh instruktur tidak berhubungan dengan peningkatan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena bagi sebagian peserta, tingkat pendidikan bukanlah hal yang penting selama instruktur mempunyai performa yang baik dalam mengajar peserta. Hal ini juga sesuai fakta di lapangan dimana terdapat instruktur yang pendidikan formalnya sama dengan tingkat pendidikan pesertanya (SMA) akan tetapi kompetensi lulusan tetap dalam kategori tinggi. Kesesuaian jurusan pendidikan formal secara umum tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami, karena walaupun kemampuan instruktur atas bidang yang diajarkan tidak hanya diperoleh di pendidikan formal saja melainkan bisa melalui pendidikan non formal. Hasil observasi di lapangan
54
menunjukkan bahwa terdapat sebagian instruktur yang jurusan pendidikan formalnya tidak sesuai dengan bidang yang diajaran akan tetapi kompetensi lulusan yang dilatihnya cenderung tinggi. Pendidikan non formal instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kesesuaian pembelajaran non formal yang telah ditempuh instruktur baik di dalam ataupun di luar negeri, dengan materi pelatihan yang diajarkan di pelatihan vokasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor pendidikan non formal tidak berhubungan dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan non formal bukan satu-satunya jalan bagi instruktur untuk mendalami bidangnya, karena instruktur bisa saja mendapatkan kemampuannya dari pendidikan formal. Adanya korelasi antara tingkat pendidikan instruktur dan kesesuaian jurusan instruktur terhadap kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja dapat dipahami, karena pelatihan prosedur K3 menuntut adanya kemampuan konseptual yang lebih tinggi dari instruktur, dimana instruktur harus memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi dan profesional yang bisa didapatnya dari pendidikan formal yang lebih tinggi dan dari jurusan yang sesuai. Pengalaman mengajar instruktur dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan dan masa kerja instruktur dalam memberikan pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman mengajar instruktur tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami, karena hasil observasi menunjukkan bahwa instruktur yang mengajar adalah instruktur yang mempunyai kemampuan mengajar yang baik sesuai standar lembaga penyelenggara, terlepas dari ada tidaknya pengalaman mengajar sebelumnya. Faktor sarana prasarana pelatihan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan. Ketersediaan sarana prasarana yang memadai mendukung pelaksanaan pelatihan yang baik sehingga memungkinkan peningkatan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan dengan lebih baik pula. Secara keseluruhan, profil penyelenggara pelatihan berkorelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan (r=0,453**) yang artinya bahwa semakin baik komponen penyelenggara pelatihan vokasional, maka kompetensi penyandang disabilitas lulusan cenderung semakin tinggi.
Pengembangan Pelatihan Vokasional dalam Meningkatkan Kompetensi bagi Penyandang Disabilitas Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor pelatihan vokasional yang berkorelasi dengan peningkatan kompetensi penyandang disabilitas di bidang penjahitan. Adanya faktor pendidikan non formal yang berkorelasi negatif terhadap kompetensi lulusan perlu disiasati dengan membuat terobosan baru bagi BBRVBD yaitu membuat program “penyaluran kerja” bagi peserta yang sudah mempunyai kompetensi tinggi hasil pelatihan sebelumnya dan mendaftar di BBRVBD karena motif penyaluran kerja saja, sehingga peserta dengan karakter seperti itu tidak perlu mengikuti program pelatihan vokasional tapi cukup dengan langsung menyalurkannya ke perusahaan. BBRVBD sebagai lembaga penyelenggara pelatihan vokasional dapat memaksimalkan jaringan perusahaan mitra yang dimilikinya untuk program baru tersebut.
55
Adanya peserta pelatihan yang mempunyai kompetensi tinggi hasil pelatihan di panti sosial atau di LBK kemungkinan dikarenakan adanya tumpang tindih kurikulum antara BBRVBD, dengan PSBD dan LBK. Terjadinya tumpang tindih kurikulum menuntut adanya pengawasan dan koordinasi dari Kementerian Sosial sebagai payung organisasi UPT-UPT pelaksana rehabilitasi penyandang disabilitas. Sehingga kurikulum di BBRVBD sebagai penyelenggara rehabilitasi vokasional tidak lebih rendah atau sama dengan kurikulum di PSBD yang menyelenggarakan rehabilitasi sosial. Sebagai intisari dari upaya pengembangan kompetensi penyandang disabilitas, Tabel 16 menyajikan keterkaitan antara kesenjangan kompetensi dengan kurikulum pelatihan. Tabel 16 Keterkaitan antara kesenjangan kompetensi dan kurikulum pelatihan No.
Kesenjangan Kompetensi 1. Pengetahuan bidang tugas
Modul Pelatihan*
Indikator Keberhasilan
Pemahaman tugas pokok dan fungsi pekerjaan, aturan dan kewajiban Kesiapan penyandang disabilitas dalam memasuki dunia kerja
Memiliki pengetahuan mengenai bidang kerja secara utuh 2. Psikososial Memiliki kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah, etika kerja, tanggung jawab, bekerja dalam tim, berorientasi kepada pelanggan, dan kemampuan komunikasi dan manajemen konflik 3. Keterampilan Bekerja sesuai SOP dan Bersikap profesional sesuai kerja instruksi pekerjaan dengan standar perusahaan *Modul pelatihan dikemas dalam kurikulum pembelajaran berbasis kompetensi
Meningkatkan kemampuan instruktur dalam memotivasi peserta dan memperkuat faktor materi pelatihan serta meningkatkan kualifikasi instruktur dan kualitas sarana prasarana pelatihan merupakan hal yang penting dan relevan dalam upaya peningkatan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan vokasional. Instruktur pelatihan dalam rehabilitasi vokasional tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga merupakan support worker yang harus memberikan dukungan aktif bagi penyandang disabilitas peserta pelatihan dengan menggunakan pendekatan person centered. Adanya korelasi kuat antara kemampuan instruktur dalam memotivasi mengharuskan adanya pengembangan kapasitas bagi instruktur untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Faktor materi pelatihan yang mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan menuntut BBRVBD untuk mempertahankan dan memperkuat komponen kurikulum terutama dalam proporsi jenis materi penunjang dan materi utama, urutan materi pelatihan yang bertahap, dan proprsi waktu teori dan praktek. Begitu pula dengan adanya faktor penyelenggara pelatihan yang berkorelasi positif menuntut BBRVBD untuk mempertahankan proporsi jumlah instruktur dan mempertahankan kualitas dan meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana prasarana pelatihan.
56
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
(1)
(2)
(3)
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Secara umum pelatihan vokasional bidang penjahitan di BBRVBD Cibinong dapat membekali penyandang disabilitas dengan kompetensi kerja yang diperlukan, terutama kompetensi teknis yaitu kompetensi prosedur K3 dalam bekerja dan kompetensi menjahit dengan mesin, serta kompetensi non-teknis yaitu kemampuan employability yang secara umum berada dalam kategori tinggi. Faktor-faktor pelatihan vokasional yang mempunyai korelasi dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan adalah sebagai berikut: pendidikan non formal peserta pelatihan, kemampuan instruktur dalam memotivasi, urutan substansi materi, proporsi waktu untuk teori dan praktek, proporsi jumlah instruktur, dan sarana prasarana pelatihan. Pengembangan pelatihan vokasional bidang penjahitan bagi penyandang disabilitas dapat ditingkatkan dengan meningkatkan faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan kompetensi lulusan, yaitu dengan meningkatkan performa instruktur dalam memberikan motivasi, memperkuat urutan substansi materi, meningkatkan proporsi waktu untuk teori dan praktek, memperkuat proporsi jumlah instruktur, dan meningkatkan sarana prasarana pelatihan.
Saran Upaya peningkatan kompetensi penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) BBRVBD sebagai lembaga penyelenggara pelatihan yang berwenang atas kebijaka penyediaan tenaga pelatih atau instruktur, perlu meningkatkan kemampuan instruktur pelatihan dalam memotivasi peserta dengan lebih memahami konsep disabilitas dan person centered approach. Hal ini dapat dilakukan dengan ToT bagi instruktur di BBRVBD Cibinong. Karena instruktur selain sebagai pengajar juga merupakan support worker dalam penyelenggaraan rehabilitasi vokasional yang harus memberikan dukungan aktif bagi penyandang disabilitas. (2) BBRVBD perlu membuka terobosan baru berupa program “penyaluran kerja” (selain jalur pelatihan vokasional) untuk memfasilitasi penyandang disabilitas yang sudah memiliki kompetensi hasil pendidikan non formal sebelumnya di daerah (PSBD/LBK) tapi berminat terhadap pekerjaan di perusahaan mitra BBRVBD. (3) BBRVBD perlu memperkuat komponen kurikulum pelatihan terutama dalam urutan substansi materi pelatihan, dan proporsi waktu untuk teori dan praktek, serta meningkatkan proporsi jumlah instruktur dan meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana prasarana pelatihan agar kompetensi penyandang disabilitas lulusan bidang penjahitan dapat lebih meningkat.
57
(4)
Kementerian Sosial sebagai payung organisasi UPT di bidang rehabilitasi penyandang disabilitas di Indonesia, termasuk BBRVBD, dan PSBD-PSBD perlu melakukan pengawasan lebih ketat dan melaksanakan koordinasi dalam penetapan kurikulum, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kurikulum antara BBRVBD sebagai penyelenggara rehabilitasi vokasional dan PSBD sebagai penyelenggara rehabilitasi sosial di daerah.
DAFTAR PUSTAKA Ali MR. 2005. Hubungan Pelatihan dengan Peningkatan Kompetensi Pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Amanah S. 2003. Perencanaan Program Penyuluhan Perikanan di Desa Anturan, Buleleng, Bali. Buletin Ekonomi Perikanan Vol. 5(1). Babbie E. 1989. The Practice of Social Research. Sixth edition. California. Wadsworth Publishing Company. [BBRVBD] Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bisa Daksa Cibinong. 2011. Profil Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong. Bogor: BBRVBD Cibinong. Bray T. 2009. Training Design Manual : The complete practical guide to creating effective and successful training programmes 2nd Edition. London : Kogan Page [UN] United Nations. 2006. Convention of the Rights of Persons with Disabilities. Darling-Hammond L, Holtzman DJ, Gatlin SJ, & Heilig JV. 2005. Does Teacher Preparation Matter? Evidence About Teacher Certification, Teach for America, and Teacher Effectiveness. Education Policy Analysis Archives. 13(42). Tersedia pada http://epaa.asu.edu/epaa/v13n42/ Dutta et al. 2008. Vocational Rehabilitation Services and Employment Outcomes for People with Disabilities: A United States Study. Journal of Occupational Rehabilitation. Ellison C. 2012. Person Centered Approach for Persons with Disabilities. Adelaide: Flinders University. Figel I. 2007. Key Competences for Lifelong Learning, European Reference Framework. European Community: Luxemburg. Griffin T, Nechvoglod L. 2008. Vocational Education and Training and People With a Disability: A Review of the Research. National Centre for Vocational Education Research Grosu MR. 2011. The Role of Innovative Teaching and Learning Methods in Legal Education.[terhubung berkala]. Tersedia pada http://www.pixelonline.net/edu_future/common/download/Paper_pdf/ITL34-Grosu.pdf. [15 Februari 2012] Hartoyo. 2003. Pengaruh Pengalaman dan Pelatihan terhadap Kompetensi Auditor pada Inspektorat Jenderal Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. [tesis] Depok: Universitas Indonesia. 58
59
Hickerson FJ, Middleton J. 1975. Helping People Learn: A Modul for Trainers. Honolulu: East-West Communication Institute. Irianto J. 2001. Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan. Surabaya: Insan Cendekia. Irwanto, Kasim ER, Fransiska A, Lusli M, & Siradj O. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Sebuah Desk Review. Depok: Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia. [Kemensos] Kementerian Sosial R.I. 2009. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat Negara RI. . 2009. Peraturan Pemerintah No. 43 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Jakarta: Sekretariat Negara RI. . 1997. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Knowles M. 1973. The Adult Learner: A Neglected Species. Second Edition. Houston, Texas: Gulf Publishing Company. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Manish, P. (2010). Relevant Vocational Trainings for the Persons with Disabilities in Nepal. [internet]. Tersedia di http:// rcrdnepa.files.wordpress.com/2011/07/relevant-vocational-trainings-forpersons-with-disabilities-in-nepal.pdf Mangkuprawira S, Hubeis AV. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Mavromaras K, Polidano C. 2011. Improving the Employment Rates of People with Disabilities through Vocational Education. [Paper] Bonn: The Institute for The Study of Labor (IZA). Metzler J, Woessmann L. 2010. The Impact of Teacher Subject Knowledge onStudent Achievement: Evidence from Within-Teacher Within-Student Variation. CESifo Working Paper No. 3111. Munich:CESifo Group. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. Nuri MRP, Hoque MT, Waldron SM, & Akand MMK. 2012. Impact Assessment of a Vocational Training Programme for Persons with Disabilities in Bangladesh. DCIDJ. Vol. 23 (12). Pozzan E. 2011. Disability and International Standards. Jakarta: ILO Jakarta. Pool LD, Sewell P. 2007. The Key to Employability: Developing A Practical Model of Graduate Employability. Journal of Education and Training, Vol. 49 (4): 277-289. Emerald Group Publishing Limited.
60
Pusdatin. 2009. Sistem Informasi Kecacatan, [terhubung berkala]. Tersedia di http://www.simcat.depsos.go.id. [12 Februari 2011] Putra AH. 2009. Nasib buruh perempuan lebih buruk dari kaum laki-laki. [internet] Tersedia di http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.indonesia.ppiindia/67257. [15 Maret 2012] Rasul MS, Ismail MY, Ismail N, Rajuddin MR, & Abd. Rauf RA. 2010. Development of Employability Skills Assessment Tool for Manufacturing Industry. Jurnal Mekanikal. 30: 48-61. Roebyantho H, Sumarno S, Mujiyadi. 2010. Penelitian Pola Multi Layanan Pada Panti Sosial Penyandang Cacat. Linting PT, Editor. Jakarta: PUSLITBANG Kementerian Sosial RI Rose J. 2009. Developing a Training Program Framework: Determining the Structure of Corporate Education. Tersedia di http://www.suite101.com/content/developing-a-training-programframework-a120858. [11 Maret 2011] Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Tri Wibowo BS, penterjemah. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group. Terjemahan dari: Educational Peychology, 2nd Edition. Schempp PG, Manross D, Steven KST, & Fincher MD. 1998. Subject Expertise and Teachers' Knowledge. Journal of Teaching in Physical Education. Human Kinetic Publishers, Inc. Singarimbun M, Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Smith E. 2010. A Review of Twenty Years of Competency-Based Training in the Australian Vocational Education and Training System. International Journal of Training and Development 14(1). 54. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Cetakan ke12. Bandung: Alfabeta. Sujudi A. 2003. Standar Akreditasi Lembaga Pelatihan. Jakarta: Departemen Kesehatan Tight M. 2002. Key Concepts in Adult Education and Training 2nd Edition. London and New York: Routledge Falmer, Taylor & Francis Group Wen L, Chen L, Wu M. 2010. A Study of Enhancing Students’ Employability in Vocational Higher Education. International Journal of Technology and Engineering Education. Vol.7(3): 33-42. [WHO] World Health Organization. 2011. World Report on Disability. Malta.
61
Yoshimitsu, K. 2003. Rehabilitasi Sosial Bagi Penyandang Cacat. Jakarta: Japan International Cooperation Agency.
62
Sumber: Google Maps, 2013 (diolah)
Lampiran 1 Lokasi BBRVBD Cibinong
63
BBRVBD Cibinong, Jawa Barat
Lampiran 2 Lokasi Sebaran Asal Provinsi Responden
Gedung Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong
64
Lampiran 3 Dokumentasi
65
Asrama
Kantin
Perpustakaan
Poliklinik
Aksesibilitas
Aula
Sarana/Prasarana BBRVBD Cibinong
66
Kelas Jurusan Penjahitan
Kegiatan Siswa Jurusan Penjahitan
67
Kegiatan Siswa Jurusan Penjahitan
Kegiatan Siswa Jurusan Penjahitan
68
Ruang Produksi PT. Dewhirst
69
Produk PT. Mattel Indonesia. Lulusan Pelatihan BBRVBD di PT. Mattel Indonesia, menjahit pakaian boneka Barbie
70
Produk PT. Rajawali Mulia Perkasa
2.
L
I
I
KONDISI KERJA
LEVEL KOMPETENSI
Bidang Keahlian Kompetensi Tujuan Kode Durasi Pembelajaran
A
B c D I L I 1 2 3 4 I I I Unit ini berlaku untuk seluruh sector" Custom made" Prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja meliputi : Keadaan darurat, kebakaran dan kecelakaan ldentifikasi dan kontrol bahaya Penggunaan pakaian dan perlengkapan pelindung personil Tempat duduk, pengangkat dan penanganan yang aman Sistem kontrol utama Situasi darurat meliputi : a. Perampokan b. Perampokan c. Kebakaran d. Perampokan bersenjata e. Banjir f. Gempa bumi Peraturan K3 No. 1 tahun 1970 Peralatan yang digunakan : a. Pakaian kerja b. Alat pemadam kebakaran Bahan yang diperlukan : Obat-obatan dalam kotak P3K
I
I 5
E
Tata Busana IT ailoring Mengikuti prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan dalam bekerja Siswa mengerti dan memahami prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 39.Bus.C-M. Oh&S.03.A 8 jamlat
I
I 6
F
I
J
7
G
.....,
"'"'
"';s·
~
0
<
:0
g-
::-.
= = 3 ;;; """'
.,.:l.=
~
..."'
~·
"0
t"'
3"'
2. Menangani situasi darurat
• Prosedur keadaan darurat diikuti secara benarsesuaidenqan
darurat yang potensial segera dikenali dan tindakan yang dibuluhkan ditentukan dan diambil dalam ruang lingkup
• Situasi darurat dan
kebijakan perusahaan dan hokumhukum yang berkaitan serta persyaratanpersyaratan asuransi • Pelanggaran prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan diidentifikasi dan dilaporkan segera • Setiap sikap a tau kejadian yang mencurigakan dilaporkan segera kepada orang yang telah ditunjuk .
se-suai dengan
2 Prosedur kesehatan, kese-lamatan dan keamanan diikuti secara benar
1 1. Mengikuti prosedur tempat kerja dan memberikan umpan balik tentang kesehatan, keselamatan dan keamanan
•
KRITERIA KERJA
SUB KOMPETENSI
Kondisi bahaya di tempat kerja
i
I
• Apresiatif terhadap pencegahan terjadinya situasi darurat (bahaya)
I"
•
•
•
Mengetahui jenisjenis bahaya Memahami IandaIanda peringatan bahaya Mengetahui siluasi yang dapal menimbulkan bahaya
Menerapkan penanganan situasi darural sesuai dengan SOP
MATER! POKOK PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PENGETAHUAN SIKAP 6 5 4 3 Menerapkan Menjelaskan Memiliki • I dentifiakasi • • prosedur bekerja kesadaran dalam.. pengertian kesehatan di sesuaidengan kesehatan, · menjaga lingkungan kerja SOP keselamat;om dan kesehatan, • SOP kesehatan, keamanan kerja keselamatan dan keselamatan dan keamanan keraja keamanan di • Memahami tujuan kesehatan, tempat kerja Teliti dalam keselamatan dan • H ukum kesehatan melakukan/ keamanan kerja dan keselamatan rnelaksanakan Mengetahui kNja yang berlaku pekerjaan • Undang-undang secara ketenagakerjaan internasional Memahami • P rosedur • I prosedur bekerja keselamatan, dan I dengan aman keamsnan yang berlaku di industri • Memahami "Custom made" prosedur mencegah kebakaran • Memahami hal-hal yang berkaitan dengan keamanan
LINGKUP BELAJAR
N
_,
'1
3. lvlenjc:ga standar prestasi perorangan yang aman
prosedur perusahaan • Bantuan segera dicari dari kolega dan atau penguasaan lain bila perlu • Rincian situasi darurat secara akurat dilaporkan sesuaidengan kebijakan perusahaan Prestasi personil dipertim-bangkan berdasarkan lingkungan tempat kerja kesehatan dan keselamatan yang meliputi: menjaga kebersihan personil I grooming yang pantas Kesehatan pribc:di
J
I
• lv1 emiliki kesadaran terhadap hygiene personal • A presiatif terhadap \ pencegahan terjadinya situasi darurat (bahaya) kesehatan pribadi
I
•
•
•
dan penyakit dan cara menghindarinya Memahami konsep kesehatan jasmani Memahami konsep penampilan pribadi Memahami prinsip bekerja dengan aman
• Mengetahui infeksi
• Memiliki penampilan pribadi sesuai standar industri • Menerapkan prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan kerja
__, w
SUB KOMPETENSI 1 1 . Menyiapkan temp at kerja dan alat kerja
2. Menyiapkan mesin jahit
-
KONDISI KERJA
I
I
dengan benang dan rata • T egangan benang diatur sesuai dengan spesifikasi bahan • J arak setikan diatur sesuai denqan spesifikasi bahan
• P ersiapan mesin jahit sesuai prosedur
3 Kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja Alat jahit pokok dan alat Bantu Memelihara alat jahit pokok dan alat bantunya
2 Tempat kerja disiapkan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja Mesin jahit yang layak pakai disiapkan sesuai kebutuhan Alat jahit dibersihkan dalam kondisi siap dipakai
I • K umparan benang diisi penuh
LINGKUP BELAJAR
-
• Mesin jal1it dipersiapkan dengan teliti dan benar
SIKAP 4 • M emiliki kesadaran akan pentingnya K3 • M enyiapkan alat jahit dengan cermat dan tertib • M empunyai rasa memiliki terhadap alat dan lingkungan kerja
• M emahami langkah kerja menyiapkan mesin jahit meliputi : - Mengisi kumparan - Mengatur tega-ngan benarlf1_
KETERAMPILAN 6 Menerapkan prosedur K3 Menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan Membersihkan alat jahit sesuai prosedur Mengatasi kerusakan ringan alat jahit
• M engisi kumparan • M engatur tegangan Benang Mengatur jarak setikan mesin jahit Memasa119_jarum
MATERI POKOK PEMBELAJARAN PENGETAHUAN 5 • Memahami • pengetahuan K3 • Memahami fungsi alat • jahit pokok dan alat bantunya • • Memahami prosedur pemeliharaan alat • jahit pokok dan alat bantunya
A c B D E F G 1 5 6 2 3 4 7 I Kompetensi ini akan berhasil secara optimal apabila telah memiliki kompetensi mengoperasikan mesin jahit, pengetahuan bahan tekstil penguasaan pola dasar dan mampu menganalisa struktur tubuh Standard Operating Procedure (SOP} untuk pengoperasian mesin jahit dan alat bantunya sesuai dengan spesifikasi bahan Pembuangan limbah menjahit sesuai peraturan KLH Penyiapan mesin jahit dan alat Bantunya sesuai dengan buku manual peralatan yang berlaku di industri Penyiapa~ area kerja dan alat, sikap kerja dalam menjahit sesuai dengan peraturan Kb3 No.1 tahun 1970 Penjahitan dan penyelesaian busana sesuai dengan teknik meniahit yang dibutuhkan dengan tepat Peralatan yang dipergunakan : Alat jahit meliputi : Mesin jahit (manual, listrik, high speed dan komputer}, mesin penyelesaian dan alat Bantu Alat Bantu meliputi : attachment, jarum jahit, gunting dan lain-lain Bagian-bagian busana antara lain kerah, saku. manset, ban pinggang, belahan
: Tata Busana I Tailoring : Menjahit Dengan Mesin ( Sewing } : Siswa dapat memahami dan mengerti teknik menjahit dengan mesin : 39.Bus.C-M.Sew.14.A : 381 jamlat
KRITERIA KERJA
LEVEL KOMPETENSI
:idang Keahlian ompetensi ujuan :ode :urasi Pembelajaran
__,
....
!
!
4. Menjahit bagian-bagian busana : Rok, Kemeja, Blus, Gaun. Celana formal, Jas
Mengoperasi kan mesin jahit
~~----
I
•
•
Bagian-bagian busana diperiksa kelengkapannya sesuai dengan desain Bagian-bagian busana dijahit sesuai prosedur Busana diselesaikan sesuai dengan teknik menjahit yang tepat Sikap kerja disesuaikan dengan kesehatan dan keselamatan kerja Label merek dan atribut dijahitkan melalui proses lebelin!J ing busana
Setikan mesin dicobakan pada kain tepat pad a garis lurus, Ieng kung, sudut dan lain-lain Jahitan diperiksa apakah setikan sudah sesuai dengan standar jahitan jenis bahan, bila belum disesuaikan
• J arum jahit dipilih dan dipasang sesuai kebutuhiln • K umparan dan skoci dipasang pada rumah skoci sesuai prosedur • Benang jahit bagian atas dipasang pad a mesin jahit sesuai prosedur
I
I
• T 8liti dalam memeriksa kelengkapan bagianbagian busana • M engikuti prosedur dan teknologi menjal1it dalam menjahit bagianb3gian busana • M engikuti prosedur kesehatan dan keselamatan kerja dalam menjahit busana
•
Kelengkapan bagianbagian busana • Langkah menjahit bagian busana • · Teknologi menjahit busana • Sikap kerja
• Teliti dan berhati-hati dalam mengoperasikan mesin jahit
• M engoperasi~an mesin jahit sesuai prosedur
I
• M emahami bagianbagian busana • M emahami prosedur menjahit bagian-bagian busana • Memahami teknologi menjahit busana • M emahami kesehatan dan keselamatan kerja dalam menjahit
• Memahami prosedur mengoperasikan mesin jahit • Memahami cara mengatur setikan mesin jahit sesuai jenis bahan
Mengatur jarak setikan mesin jahit Memasang jarum - Memasang kumparan dan skoci • Memasang benang
I
•
•
•
•
menjahit
Memeriksa kelengkapan bagianbagian busana Menjahit bagian-bagian busana sesuai prosedur Menyelesaikan busana sesuaidengan teknologi menjahit busana Menerapkan prosedur Kesehatan dan keselamat kerja dalam
• M engoperasikan mesin jahit pada garis lurus, lengkun, sudut dan lainlain • M engatur setikan mesin jahit sesuai dengan jenis bah an
• Memasang kumparan dan skoci • Memasang benang
I~
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 10 Juli 1982 dari Ayah M. Madrodji dan Ibu Icah. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2001 penulis di terima di STKIP Siliwangi Bandung jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan lulus pada tahun 2006. Sambil menjalankan kuliah, penulis bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di SLTP Sejahtera 2 Cileungsi, Bogor dan sebagai Auditor dan Trainer Good Manufacturing Practices (GMP) di PT Yupi Indo Jelly Gum, Bogor. Setelah meraih gelar sarjananya, penulis bekerja menjadi guru pada sekolah inklusi, Sekolah Alam dan Sains Al-Jannah Islamic Fullday School Jakarta Timur sampai dengan tahun 2008. Lalu kemudian bergabung sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Sosial dengan ditempatkan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) rehabilitasi penyandang disabilitas yaitu di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan memperoleh beasiswa tugas belajar dari Kementerian Sosial untuk melanjutkan studi pada program magister Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB. Semasa studi magisternya, penulis pernah terlibat aktif dalam beberapa kegiatan seperti menjadi Moderator dan Penterjemah pada acara Third Country Training Program bidang Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas yang diikuti oleh negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik Afrika atas kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA), menjadi fasilitator pada kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM) IPB tahun 2011-2012 dan Pengembangan Softskill Senior Resident Mahasiswa Tahap Persiapan Belajar (TPB) IPB Tahun 2012 yang diselenggarakan oleh Direktorat Kemahasiswaan IPB, sebagai Asisten Peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB yang bekerjasama dengan World Bank dalam kajian Studi Kualitatif Efek Rembesan Pilot PNPM-Lingkungan Mandiri Pedesaan di Indonesia tahun 2012, sebagai Minutes Taker pada Climate Leadership Program yang diselenggarakan oleh Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM-SEAP) IPB dan Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) tahun 2012, dan sebagai peserta pada program Australian Leadership Award Fellowship (ALAF) di bidang disabilitas dan masyarakat inklusi yang diselenggarakan oleh AusAID di Flinders University, Australia Selatan tahun 2012. Semasa studi magisternya pula, penulis pernah menjadi peserta pada beberapa kegiatan seminar dan workshop, seperti Workshop on Employment of Persons with Disabilities yang diselenggarakan oleh ILO dan AusAID tahun 2011, Seminar on Promoting Persons with Disabilities Livelihood yang diselenggarakan oleh Universitas Padjajdjaran Bandung tahun 2011, Seminar on Human Right of Persons with Disabilities in Indonesia-Barriers and Hope yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tahun 2012, Evaluation Forum for Promotion of Rural Women’s Livelihood with ICT Use yang diselenggarakan oleh PSP3 IPB tahun 2012, Situational Leadership
Program for ADS Alumni yang diselenggarakan oleh AusAID tahun 2012, Workshop on Policy and Best Practice of Disability Employment yang diselenggarakan oleh ILO dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) tahun 2013. Sebagian dari hasil penelitian tesis ini akan dipublikasikan pada Jurnal Sosiokonsepsia - Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI.