TINJAUAN PUSTAKA
Nanas (Ananas comosus L. (Merr.)) Nanas dibudidayakan untuk dikonsumsi sebagai buah segar maupun buah kaleng. Nanas merupakan penghasil bromelein, enzim yang diperlukan dalam industri farmasi juga sebagai agen pelunak daging dalam proses pengolahan makanan. Buah ini merupakan komoditas ekspor yang penting bagi Indonesia. Indonesia merupakan produsen nanas menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Thailand dan Filipina (CABI 2005). Tanaman nanas berupa herba tahunan atau dua tahunan dengan tinggi 50-150 cm, terdapat tunas merayap pada bagian pangkalnya. Daun berkumpul dalam roset akar dan pada bagian pangkalnya melebar menjadi pelepah. Helaian daun berbentuk pedang, tebal, panjang 80-120 cm, lebar 2-6 cm, ujung lancip menyerupai duri. Bunga majemuk tersusun dalam bulir yang sangat rapat, letaknya terminal dan bertangkai panjang. Buahnya buah buni majemuk, bulat panjang, berwarna hijau, jika masak warnanya menjadi kuning. Tanaman nanas (Ananas comosus (L.) Merr. merupakan anggota family Bromeliaceae dari kelas Angiospermae (Dalimartha, 2004). Tanaman nanas membentuk suatu roset yang lambat laun daun-daunnya yang lebih besar mencapai ukuran yang mencerminkan pertumbuhan normal. Setelah itu, ukuran daun konstan dan jika meristem pucuknya telah menghasilkan 70-80 lembar daun, dengan kecepatan satu lembar daun per minggu selama perode pertumbuhan yang cepat itu, meristem pucuk itu berubah menjadi bongkol bunga dan bongkol tanaman, yaitu poros tengah yang memanjang ke bunga dan buah (Wee & Thongtham, 1997). Tanaman nanas merupakan herba perennial monokotil. Setelah pematangan buah pertama, pada tanaman berkembang tunas baru dari pucuk aksilar, yang kemudian berkembang dan mampu menghasilkan buah. Pada budidaya nanas komersial, sebaiknya tanaman nanas dipelihara hanya 2-3 generasi, sehingga petani dapat memperoleh buah yang seragam dengan kualitas yang baik (Bartholomew et. al 2003). Selanjutnya harus dilakukan penanaman bibit baru secara regular. Sistem budidaya nanas dengan cara pemeliharaan tanaman sampai pemanenan kedua dan seterusnya setelah pemanenan pertama disebut ratoon crop. Sedangkan
cara budidaya dengan penggunaan bibit baru pada awal masa tanam disebut plant crop. Sistem ratoon crop sangat penting dalam manajemen budidaya nanas karena dapat menekan biaya produksi daripada melakukan penanaman ulang atau plant crop (Bartholomew et. al 2003).
Perbanyakan Tanaman Nanas Perbanyakan tanaman nanas umumnya dilakukan dengan menggunakan mahkota buah (crown), tunas akar (sucker), tunas batang (shoot), tunas tangkai buah (hapas), tunas dasar buah (slips), dan stek batang (Collin 1960). Petani biasanya menggunakan bibit dari tunas-tunas tersebut dengan status kesehatan bibit yang tidak diketahui, dan tidak seragam. Sejumlah besar crown dapat dengan mudah dikumpulkan bersamaan dengan pemanenan buah. Namun, crown tidak dapat dijadikan sebagai bibit jika produksi nanas ditujukan untuk pemasaran buah segar. Hal ini dikarenakan pada produksi nanas untuk pemasaran buah segar buah dijual utuh dengan mahkota buah yang masih melekat pada buah nanas. Hapas dan slips merupakan diferensiasi tunas-tunas lateral yang berkembang pada tangkai buah (peduncle) selama pembentukan buah (Bartholomew et al. 2003). Biasanya hapas dan slips dipanen dari tanaman beberapa minggu setelah pemanenan buah, sehingga membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga kerja dibandingkan penanganan crown. Tidak semua varietas nanas menghasilkan slips, sedangkan keberadaan slips dalam jmlah besar pada tanaman dapat mereduksi rata-rata bobot buah (Collin 1960); (Wang & Chang 1960 dalam Bartholomew et al. 2003). Sucker tumbuh pada tanaman nanas beberapa minggu setelah pemanenan buah, sehingga membutuhkan tenaga kerja untuk pemanenan dengan cara memotong sucker dari tanaman induk. Kelemahan lain penggunaan sucker sebagai bibit yaitu adanya diferensiasi pembungaan sehingga tanaman dari bibit sucker menghasilkan buah yang berukuran lebih kecil (Bartholomew et al. 2003). Ketersediaan bibit dari mahkota buah (crown), tunas akar (sucker), tunas batang (shoot), tunas tangkai buah (hapas), tunas dasar buah (slips) sangat terbatas yaitu dua sampai sepuluh tunas per tanaman per tahun (Bartholomew et al. 2003); Smith et al. (2002). Ketersediaan bibit merupakan faktor penting dalam produksi nanas. Sistem budidaya nanas komersial membutuhkan 60000 bibit nanas per hektar (Bartholomew et al.
2003). Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan dalam rangka
pengembangan metode perbanyakan bibit nanas untuk mendapatkan bibit nanas dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Sistem perbanyakan massal nanas dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan in vitro dan stek (sectioning) (Bartholomew et al. 2003).
Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bahan tanaman yaitu sel, kelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1988). Tujuan dari teknik kultur jaringan antara lain menciptakan tanaman baru bebas penyakit, memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak secara seksual dan memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu singkat (Katuuk, 1989). Perbanyakan nanas dengan kultur jaringan dapat menghasilkan 1 juta tanaman dari satu tunas aksilar selama 2 tahun (Pannetier & Lanaud 1976 dalam Bartholomew et al. 2003). Aplikasi kultur jaringan untuk perbanyakan dan pengembangan nanas meliputi mikropropagasi melalui proliferasi tunas aksilar, proliferasi tunas adventif, regenerasi dari kultur kalus, konservasi plasma nutfah in vitro serta kultur protoplas, ovule, dan anter (Bartholomew et al.
2003). Menurut Roostika dan Mariska (2003) sistem
regenerasi tanaman nanas pada kultur in vitro dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis. Eksplan yang umum digunakan untuk inisiasi kultur nanas yaitu tunas aksilar yang dipotong dari crown (Bartholomew et al.
2003). Tunas aksilar tersebut
kemudian ditanam pada media padat Murashige & Skoog (1962) (MS) dengan penambahan sitokinin, biasanya berupa benzyladenine (BA) dengan konsentrasi antara 2-5 mg/l media. Ketika tunas telah tumbuh dan bermultiplikasi, maka eksplan dipindahkan ke media MS padat yang mengandung auksin, misalnya indole butyric acid (IBA) dengan konsentrasi 2-5 mg/l media atau ke media tanpa ZPT untuk pembentukan akar (Bartholomew et al. 2003). Penambahan ZPT eksogen BA (2 mg/L) dan napthalene acetic acid /NAA ( 2 mg/L) merupakan konsentrasi terbaik untuk menginduksi pembentukan nodul pada bonggol nanas, dan selanjutnya terjadi akumulasi N6 (2-isopentenyl) adenin (iP) dan IAA untuk menginduksi organogenesis tunas (Auer et al. 1999).
Stek (Sectioning) Salah satu alternatif perbanyakan massal bibit nanas yang dapat mengatasi kebutuhan bibit nanas adalah dengan stek (sectioning) (Bartholomew et al. 2003; PKBT 2008). Teknik sectioning dalam sistem perbanyakan nanas merupakan cara baru yang belum umum digunakan. Teknologi perbanyakan massal dengan sectioning, antara lain dengan stek daun, dan
stek batang dapat lebih mudah
ditransfer ke petani, karena tidak membutuhkan keahlian khusus dan biayanya relatif murah. Tunas-tunas vegetatif dari tanaman nanas dapat dipotong untuk perbanyakan bibit dengan stek daun jika setiap potongan mempunyai minimal satu atau dua tunas aksilar dan sebagian daun tanaman induk. Penggunaan stek batang dapat dilakukan dengan melepaskan bagian daun dari batang tersebut, kemudian batang dipotong menjadi empat bagian. Crown juga dapat dipotong menjadi 4 potongan stek atau lebih. Bahan stek tersebut kemudian diberi perlakuan fungisida, selanjutnya bahan stek ditanam pada media semai yang telah dipersiapkan (Bartholomew et al. 2003). Semua bahan stek pada media semai harus ditumbuhkan hingga mencapai ukuran yang cukup dan vigor yang baik untuk siap dipindah tanam ke lahan. Bibit stek akan tumbuh dan berkembang dengan baik di lahan jika bibit tersebut pertumbuhan perakarannya optimal saat dipindah tanam (Bartholomew et al. 2003).
Gejala Penyakit Layu dan Kisaran Inang PMWaV Penyakit layu nanas melibatkan tiga faktor penting yaitu virus, serangga vektor yaitu kutu putih (mealybug) dan keadaan lingkungan yang mendukung munculnya gejala pada tanaman. Virus yang berasosiasi dengan penyakit ini yaitu pineapple mealybug wilt-associated virus-1 (PMWaV-1) dan PMWaV-2 yang telah berhasil diekstrak dari tanaman nanas yang menunjukkan gejala penyakit layu maupun tanaman nanas yang tidak bergejala (Sether & Hu 2001). Hu et al. (1996) menyatakan bahwa gejala layu tidak akan muncul jika pada tanaman hanya ada virus saja atau kutu putih saja. Hal ini berbeda dengan penelitian penyakit layu nanas di Indonesia oleh Hutahayan (2006) bahwa hasil pengamatan baik di rumah kaca maupun di lahan nanas di Simalungun, Sumatra Utara menunjukkan bahwa tanaman menunjukkan gejala layu meskipun tidak terkolonisasi oleh kutu putih.
Serangan penyakit layu oleh PMWaV telah dilaporkan menyebabkan kerugian industri nanas di Hawaii mencapai 35% (Sether & Hu 2002b) serta kehilangan hasil sampai 40% di Kuba (Anonim 1989 dalam Borroto et.al. 2007). Dalam beberapa tahun terakhir penyakit layu nanas oleh PMWaV menjadi masalah serius di sentra budidaya nanas di Indonesia, antara lain di Subang dengan kejadian penyakit layu 6070%, Blitar 90%, Simalungun 50-60%, dan Bogor 50% (Hutahayan 2006). Penyakit layu menyebabkan petani mengalami gagal panen, karena buah yang dihasilkan berukuran sangat kecil dan matang prematur. Rata-rata bobot buah dari tanaman bergejala layu 35% lebih rendah daripada bobot buah tanaman bebas virus, dan 30% lebih rendah daripada tanaman terinfeksi PMWaV-1 (Sether & Hu 2002b). Tanaman induk yang terlihat sehat belum tentu terbebas dari PMWaV karena infeksi PMWaV pada nanas tidak selalu
menunjukkan gejala. Tryono (2006)
melaporkan hasil deteksi TBIA pada sampel tanaman bergejala maupun tidak bergejala menunjukkan adanya variasi infeksi PMWaV-1 dan PMWaV-2 di lapang. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Sether et al. (2001) bahwa tanaman nanas yang tidak bergejala layu umumnya terinfeksi PMWaV-1, dan pada tanaman yang bergejala layu umumnya terinfeksi PMWaV-2. Walaupun tidak menunjukkan gejala layu, infeksi PMWaV-1 menyebabkan reduksi hasil tanaman nanas. Infeksi awal biasanya terjadi pada tanaman di tepi lahan kemudian menyebar ke tanaman di bagian dalam lahan. Gejala penyakit ini berupa nekrotik di ujung daun, tepi daun menggulung ke bawah dan warna daun menjadi kemerahan. Kemudian gejala berkembang menjadi kehilangan kebugaran daun dan menjadi layu. Pada serangan yang parah, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terhambat hingga perakaran lemah, kemudian tanaman roboh. Jika tanaman terinfeksi pada fase awal pertumbuhan maka tanaman tersebut tidak mampu menghasilkan buah, atau hanya menghasilkan buah berukuran kecil (Sether & Hu 2002b). Tryono (2006) telah melakukan pengujian terhadap tumbuhan yang berada di sekitar pertanaman nanas dengan metode uji serologi TBIA. Dua jenis gulma yang berbeda yaitu Panicum sp. dan Chloris sp. dan beberapa tanaman pisang (Musa spp.) merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di sekitar pertanaman nanas di kabupaten Subang. Hasil pengujian terhadap ketiga tumbuhan tersebut menunjukkan hasil negatif terhadap infeksi PMWaV. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman nanas merupakan satu-satunya tanaman yang diketahui sebagai inang bagi PMWaV.
Karakteristik PMWaV Penyakit layu nanas berasosiasi dengan partikel virus dengan asam nukleat berupa ssRNA, partikel berbentuk batang lentur yang tidak beramplop dengan ukuran 1200-1500 nm x 12 nm. Virus tersebut adalah pineapple mealybug wilt-associated virus (PMWaV). PMWaV terdiri atas kompleks dua virus yang berbeda yaitu PMWaV-1 dan PMWaV-2. Berdasarkan morfologi partikel dan karakteristik genom, PMWaV-1 dan PMWaV-2 termasuk genus Ampelovirus Famili Closteroviridae (Melzer et. al
2001, Martelli et. al 2005, Sether et. al 2005). Berdasarkan
karakterisasi genom dilaporkan bahwa PMWaV-1 terdiri dari 10,7 kb (7 ORF nomor aksesi AF4141119), sedangkan PMWaV-2 terdiri dari 14,8 kb (10 ORF nomor aksesi AF283103) (Melzer et. al 2001). Partikel virus yang diwarnai dengan uranyl formate jenuh dalam metanol menunjukkan suatu struktur lubang pada sub unit selubung protein yang merupakan karakteristik Closterovirus (Gunasinghe & German 1989). Deteksi dan identifikasi virus merupakan langkah penting untuk mengetahui keberadaan virus
dan asosiasinya dengan tanaman inang. Cara terbaik untuk
mendeteksi PMWaV adalah dengan mengisolasi dsRNA yang diikuti dengan separasi RNA pada gel elektroforesis (Gunasinghe & German 1989). Deteksi dan identifikasi virus dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain deteksi serologi dan deteksi asam nukleat. Deteksi serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan
Serological Spesific Electron Mycroscopy (SSEM) dapat dilakukan, namun
dengan metode Tissue Blot Immunoassay (TBIA) dapat diperoleh hasil deteksi yang lebih baik. Deteksi asam nukleat dilakukan dengan pengujian reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Kedua PMWaV berbeda dengan 50% asam nukleat yang homolog berdasarkan sekuensi genom yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil deteksi dan identifikasi Tryono (2006) PMWaV yang ada di Indonesia mirip dengan PMWaV yang ada di Hawaii dan partikel virus ini hanya ada pada jaringan pembuluh. PMWaV berhasil diisolasi dari tanaman nanas yang menunjukkan gejala layu maupun tanaman nanas yang tidak bergejala. Tanaman nanas yang bergejala layu lebih banyak terinfeksi PMWaV-2, sedangkan tanaman nanas yang tidak bergejala layu lebih banyak terinfeksi oleh PMWaV-1 (Tryono 2006). Deteksi dengan metode TBIA menunjukkan bahwa distribusi PMWaV pada jaringan tanaman nanas terlokalisir pada jaringan tertentu yaitu jaringan pembuluh (Tryono 2006). Kutu putih
mengintroduksikan PMWaV ke jaringan floem tanaman, kemudian virus tersebut menyebar secara sistemik di dalam tanaman. Sifat virus yang terbatas pada floem merupakan salah satu karakteristik Closteroviridae. Hu et al. (1997) melaporkan bahwa antigen PMWaV terdeteksi dengan TBIA daun berumur sedang, juga pada akar tetapi tidak pada daun muda.
Kutu Putih dan Penularan PMWaV Kutu putih Dysmicoccus brevipes Cockerell (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Dysmicoccus neobrevipes Cockerell (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama utama tanaman nanas yang menjadi masalah serius dalam budidaya nanas (Sether & Hu 1998). Selain sebagai hama yang merusak karena aktivitas makannya, serangga ini juga berperan sebagai vektor PMWaV yang menjadi penyebab penyakit layu nanas (Sether et al. 1998). Kutu putih ditemukan selalu berasosiasi dengan beberapa jenis semut (Rohrbach et at. 1988) sehingga mobilitasnya meningkat demikian juga dengan penyebaran PMWaV di lapangan. Penyakit layu nanas dilaporkan dapat ditularkan melalui perbanyakan vegetatif tanaman nanas dan melalui vektornya yaitu Dysmicoccus brevipes (pink mealybug) (Hemiptera: Pseudococcidae) dan D. neobrevipes (grey mealybug) (Hemiptera: Pseudococcidae) (Sether et al.
1998). Kutu putih tersebut merupakan hama
kosmopolitan pada tanaman nanas (Rorhbach et al. 1988). D. brevipes bersifat polifagus dengan kisaran inang lebih dari 100 genus dari 53 famili tanaman, termasuk beberapa gulma yang tumbuh di sekitar tanaman nanas. PMWaV dapat ditularkan oleh dua spesies kutu putih sebagai vektor yaitu D. brevipes dan D. neobrevipes. Kedua kutu putih ini menularkan PMWaV secara semi persisten, kemampuan menularkan PMWaV akan berkurang beberapa hari setelah akuisisi. Beberapa spesies semut berasosiasi dengan kutu putih. Semut membantu kelangsungan hidup koloni kutu putih dengan mengkonsumsi embun madu yang dihasilkan kutu putih sehingga mencegah kolonisasi cendawan tempat hidup kutu putih, semut juga melindungi kutu putih dari parasitoid dan predatornya (Lim 1985, Sether et al. 1998). Keberadaan semut di lahan nanas sangat berpengaruh terhadap penyebaran kutu putih di lahan tersebut, sekaligus penyebaran PMWaV karena perpindahan kutu putih dibantu oleh semut.
Perbanyakan tanaman nanas yang umum dilakukan hanya dengan cara vegetatif. Jika tanaman induk terinfeksi PMWaV maka tanaman anakannya akan ikut terinfeksi karena penyebaran PMWaV dalam tanaman yaitu secara sistemik pada pembuluh. Petani menggunakan bibit nanas dari ratoon, jika ratoon tersebut berasal dari tanaman induk terinfeksi PMWaV maka bibit yang diperoleh juga terinfeksi PMWaV. Sether et al.
(1998) melaporkan bahwa tidak ada infeksi PMWaV pada
sampel tanaman yang dikumpulkan dari lapang, yaitu gulma, tumbuhan semak, dan pohon yang tumbuh di sekitar lahan nanas. Sether et. al (2002) juga melaporkan tidak ada infeksi PMWaV pada Agave, pisang, ketela pohon, Chenopodium, tembakau, dan rumput-rumputan, di mana tanaman nanasnya sendiri terinfeksi setelah diinokulasi dengan D. brevipes yang viruliferous, meskipun beberapa dari tanaman non nanas ini dapat dijadikan inang oleh D. brevipes.
Pengendalian Penyakit Layu Eradikasi tanaman sakit di lahan dapat menjadi strategi pengendalian penyakit layu di lapang (Sether & Hu et al.
2002b). Namun, teknik eradikasi tanaman
memerlukan banyak tenaga kerja dan tidak efisien karena tidak semua tanaman sakit menunjukkan gejala layu, akibatnya tujuan eradikasi untuk menghilangkan inokulum di lapangan tidak tercapai. Populasi kutu putih yang tinggi sepanjang tahun sangat mendukung penyebaran inokulum di alam. Penanggulangan penyakit layu melalui pengendalian populasi kutu putih juga kurang berhasil. Simbiosis semut dengan kutu putih (Rohrbach et at. 1988; Beardsley 1996) dan tempat hidup (nice) kutu putih di bagian yang tertutup dari tanaman nanas (di ketiak daun dan di pangkal batang bawah tanah) (Beardsley 1996) menyebabkan parasit atau predator alami (maupun yang diinnundasi) tidak dapat bekerja optimal dan tetap menyisakan populasi kutu putih yang potensial menyebarkan PMWaV. semut dengan
Sedangkan pengendalian kutu putih dan
aplikasi insektisida kimia tidak ekonomis karena biaya produksi
semakin tinggi dan juga tidak dapat menjamin populasi kutu putih selalu pada tingkat aman bagi penyebaran PMWaV. Semua varietas tanaman nanas di Indonesia rentan terhadap virus maupun kutu putih (Hidayat 2006) sehingga penanggulangan penyakit ini belum dapat dilakukan
melalui tanaman varietas tahan. Salah satu cara pengendalian penyakit layu yang sangat menjanjikan dan perlu dikaji adalah penggunaan bibit bebas virus. Penggunaan bibit bebas PMWaV dapat menekan sumber inokulum sehingga dapat mengurangi laju infeksi pada tanaman nanas di lahan. Jika infeksi PMWaV dapat dicegah sampai tanaman melewati fase vegetatif,
maka petani dapat
mengurangi resiko penurunan hasil panen. Berdasarkan penelitian Sether & Hu (2002b), tanaman nanas yang terinfeksi PMWaV lebih awal yaitu saat tanaman berumur 3-6 bulan (fase vegetatif) maka tanaman akan menghasilkan buah berukuran relatif lebih kecil dari pada tanaman yang terinfeksi PMWaV setelah berumur lebih dari 10 bulan (fase generatif).
Eliminasi Virus dengan Perlakuan Panas Dalam beberapa tahun terakhir, perlakuan panas (heat treatment) menjadi metode yang umum digunakan untuk memproduksi propagasi tanaman yang bebas virus, viroid dan fitoplasma (Hadidi et al. 1998). Banyak virus yang dapat dieliminasi dari tanaman inangnya dengan cara heat treatment. Awalnya perlakuan panas diperlakukan pada keseluruhan tanaman pada suhu konstan yang berkisar dari 3540°C. Meskipun banyak tanaman yang mati setelah mendapatkan perlakuan ini, beberapa tanaman yang bertahan dapat menjadi tanaman yang bebas virus. Bagian tanaman dorman yang biasa digunakan adalah biji, umbi dan tunas. Secara umum bagian tanaman tersebut lebih tahan terhadap suhu tinggi dari pada jaringan tanaman lainnya. Setelah beberapa tahun, metode heat treatment dimodifikasi, yaitu dikombinasikan dengan kultur meristem apikal untuk memperbesar peluang mendapatkan tanaman bebas virus. Perlakuan panas dapat dilakukan dengan penggunaan air panas (hot wáter treatment) maupun udara panas (hot air treatment). Perlakuan air panas dengan waktu yang lebih singkat lebih sering digunakan daripada perlakuan udara panas. Selain menyebabkan terjadinya dehidrasi tanaman, perlakuan udara panas kurang efektif dibandingkan perlakuan air panas. Perlakuan air panas umumnya diperlakukan pada bagian tanaman dorman seperti biji, maupun tunas. Namun untuk tanaman yang sedang tumbuh lebih sering digunakan perlakuan udara panas pada suhu 35-40°C selama beberapa hari atau beberapa minggu (Hadidi et al. 1998)
Perlakuan panas in vivo menghambat replikasi virus di dalam tanaman, translokasi virus, dan proses-proses dalam tanaman. Perlakuan panas dengan suhu di atas 37 °C
mampu menghambat multiplikasi banyak virus, merusak movement
protein yang sangat berperan dalam transportasi virus dalam tanaman, serta merusak coat protein virus yang juga berperan dalam translokasi sistemik virus dalam tanaman ( Hadidi et.al 1998). Perlakuan panas in vivo tidak hanya berpengaruh terhadap virus di dalam tanaman, tetapi juga menghambat proses fotosintesis, meningkatkan respirasi gelap, dan mereduksi translokasi karbohidrat, mempengaruhi sintesis protein, mempengaruhi pembelahan sel, pertumbuhan sel dan hormon tumbuhan. Perubahan proses dalam tumbuhan juga dapat mempengaruhi virus dalam tumbuhan tersebut ( Hadidi et.al 1998). Salah satu cara mengeliminasi keberadaan PMWaV pada tanaman nanas adalah dengan perlakuan panas pada bibit nanas yang terinfeksi. Beberapa laporan menyebutkan PMWaV dapat dieliminasi dengan cara bibit nanas diberi perlakuan air panas 50°C selama 120 menit (Hadidi et al. 1998). Sedangkan Sether et al. (2001) menyebutkan bahwa
PMWaV dapat dieliminasi melalui perbanyakan vegetatif
dengan kultur jaringan meristem apikal dan meristem lateral dari crown tanaman nanas yang terinfeksi. Eliminasi PMWaV-1 dapat dilakukan dengan cara crown tanaman nanas yang terinfeksi di beri perlakuan air panas di dalam penangas air pada suhu 35°C selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan suhu 58°C selama 40 menit atau 56°C selama 60 menit (Sether et al. 2001).
Eliminasi Virus dengan Ribavirin Kemoterapi dapat diaplikasikan baik pada meristem yang dikulturkan secara in vitro, maupun pada tanaman sebelum pengambilan meristem (Hadidi et al. 1998). Ribavirin merupakan salah satu bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengeliminasi beberapa jenis virus. Perlakuan kemoterapi pada meristem kultur bahan kimia langsung diaplikasikan pada medium kultur, dan dapat mempengaruhi pertumbuhan meristem tersebut. Beberapa bahan kimia telah diuji untuk tujuan tersebut, namun hanya sedikit yang dapat digunakan. Salah satu bahan kimia sintetik yang bersifat antiviral berupa substansi yang analog dengan guanosin yaitu ribavirin. Penambahan 10-50 mg/L ribavirin ke dalam media kultur efektif mencegah infeksi
beberapa virus yaitu PVX, PVY, PVS, dan PVM pada kentang dan tembakau, juga mencegah CMV pada kultur meristem Nicotiana rustika (Hadidi et al. 1998). Keberadaan substansi analog guanosin akan mengganggu pembentukan asam nukleat virus sehingga multiplikasi virus dalam tanaman terhambat. Ribavirin aktif dalam bentuk trifosfat yang menghambat proses capping pada 5’ RNA virus (Dawson & Saldana 1984). Selain itu ribavirin menghambat replikasi virus pada fase awal yaitu dengan mengganggu síntesis RNA-dependent RNA polymerase, dan pada fase akhir dengan mengganggu síntesis selubung protein (Schuster & Huber 1991 dalam Sharma et.al 2006). Berikut ini adalah gambar struktur kimia ribavirin (gambar 1).
Gambar 1 Struktur kimia ribavirin