TINJAUAN PUSTAKA
Nenas (Ananas comossus L. Merr) Nenas (Ananas comosus L. Merr) adalah tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan. Bangsa Indian diduga mengadakan seleksi dari tumbuhan nenas liar sehingga diperoleh A.comosus yang enak dimakan dan banyak dibudidayakan di dunia saat ini (Ashari, 1995). Nenas saat ini merupakan komoditas buah terpenting ke-3 setelah pisang dan jeruk. Produk utama yang diperjualbelikan di pasar internasional adalah buah segar dan olahannya, seperti buah kalengan dan jus. Pasar internasional nenas didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang mengembangkan infrastruktur untuk pemrosesan maupun pemasaran nenas. Thailand dan Indonesia dapat tergolong pengecualian, di mana komoditas nenas dikembangkan dalam kegiatan prosesing kecil dan bersifat lokal. Walaupun nenas dalam kemasan kaleng sangat diminati, 70% nenas di pasar internasional diperdagangkan dalam bentuk buah segar dan dipasarkan di negara penghasilnya. Negara produsen nenas yang penting seperti Brazil, India, Cina, Nigeria, Meksiko dan Kolumbia memproduksi nenas untuk konsumsi buah segar di dalam negeri (Rohrbach et al., 2003). Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara pengekspor nenas terbesar di dunia setelah Thailand dan Filipina (Purba, 2008). Produksi nenas segar Indonesia selama tahun 2006-2010 rata-rata sebesar 1 612 682,6 ton dengan sedikit fluktuasi. Produksi tertinggi nenas Indonesia adalah sebesar 2 237 858 ton pada tahun 2007, namun pada tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan nilai produksi, hingga mencapai 1 406 445 ton pada tahun 2010 (Deptan, 2011). Ekspor nenas segar Indonesia berdasarkan pangsa pasarnya relatif masih kecil dibandingkan negara produsen dan eksportir nenas lainnya. Suprehatin (2006) dalam penelitiannya mengenai analisis daya saing ekspor nenas segar Indonesia menyatakan bahwa pangsa pasar nenas Indonesia hanya mencapai rata-rata 0,21 persen per tahun pada tahun 2000 hingga 2004. Nenas merupakan tanaman herba monokotil tahunan yang buah majemuknya tumbuh dari bunga terminal. Setelah terjadi pematangan pada buah
4 pertama, tunas-tunas baru pada tumbuhan ini berkembang dan menumbuhkan tegakan yang mampu memproduksi buah baru. Tumbuhan yang sama mampu mengalami serangkaian siklus produksi buah, namun di banyak pertanaman komersial, satu tanaman tidak dibiarkan tumbuh menjadi dua atau tiga tegakan sekaligus karena ukuran dan keseragaman buahnya dapat berkurang. Oleh karena itu, pertanaman secara teratur dibongkar kemudian ditanami kembali setiap musim tanam. Bahan tanam yang digunakan dapat berasal dari tunas tanamantanaman sebelumnya, atau menggunakan bahan lain, seperti mahkota buah, atau tunas yang tumbuh di bagian dasar buah. Tumbuhan nenas dewasa memiliki ukuran tinggi 1-2 m dengan lebar 1-2 m. Tinggi batangnya 25-50 cm dan lebarnya 2-5 cm pada bagian dasar dan 5-8 cm di bagian atasnya. Bagian atas batang tumbuh tegak, sedangkan bentuk batang bagian bawahnya ditentukan oleh jenis bahan tanam yang digunakan. Bentuknya sangat melengkung apabila berasal dari tunas yang tumbuh dari dasar buah (slip), agak melengkung jika berasal dari tunas samping, dan tegak apabila berasal dari mahkota. Daun nenas tumbuh mengitari 2/3 bagian dari tinggi batangnya. Filotaksis daun bervariasi, yaitu 5/13 pada tanaman berbuah besar yang dibudidayakan dan 3/8 pada tumbuhan liar yang berbuah kecil (Kerns et al., 1936 dalam d’Eeckenbrugge dan Leal, 2003). Jumlah daun nenas bervariasi untuk tiap kultivarnya, namun berkisar antara 40-80 helai. Daun-daun yang tumbuh di bagian bawah batang berukuran kecil (5-20 cm) dibandingkan dengan daun-daun yang lebih muda yang tumbuh di bagian atas, di mana panjangnya dapat me1ebihi 1.6 m dan lebarnya mencapai 7 cm. Ukuran daun ditentukan oleh jenis kultivar dan kondisi lingkungan. Daunnya kaku dengan irisan tegak berbentuk menyerupai bulan sabit. Daun tumbuhan nenas berwarna hijau atau hijau tua, atau merah tua dan ungu jika mengandung pigmen antosianin. Permukaan tepi daun berduri, namun ada beberapa kultivar yang durinya sedikit atau tidak berduri sama sekali. Akar primer nenas ditemukan hanya pada nenas yang baru memasuki tahap perkecambahan. Akar-akar tersebut mati dan kemudian digantikan oleh akar-akar adventif, yang membentuk perakaran yang pendek namun padat di bagian dasar batang. Perakaran nenas dapat menyebar hingga radius 1-2 m,
5 dengan kedalaman mencapai 0.85 m. Jumlah akar yang tumbuh ditentukan oleh bobot tunas yang digunakan sebagai bahan tanam. Mahkota buah diketahui menghasilkan lebih banyak akar dibandingkan dengan tunas Bagian dasar buah dan pembungaan berkembang dari meristem apikal. Bunga tunggal yang tumbuh dapat berjumlah di bawah 50 hingga di atas 200. Di atas bunga tumbuh bagian mahkota yang terdiri atas batang pendek yang ditumbuhi dedaunan (jumlah daun dapat mencapai 150 helai). Bagian buah yang dapat dimakan merupakan ovarium, dasar kelopak bunga dan bagian korteks batang. Kulit buahnya merupakan jaringan kelopak bunga dan ujung dari ovarium (Okimoto, 1948 dalam d’Eeckenbrugge dan Leal, 2003). Pembungaan biasanya memerlukan waktu satu hari, dan bunga dapat bertahan 10-15 hari, hingga dalam waktu yang tidak teratur, tergantung dari jenis kultivar yang ditanam. Bunga nenas adalah hermaphrodit, dengan tiga mahkota dan tiga kelopak bunga. Stamen –nya berjumlah enam buah, sedangkan putiknya terdiri atas satu pistil tricarpellate. Mahkota bunganya berwarna putih di dasarnya dan biru keunguan di bagian ujungnya (d’Eeckenbrugge dan Leal, 2003). Nenas dapat tumbuh di sekitar daerah khatulistiwa antara 250 LU/LS. Tumbuhan ini tidak tahan terhadap temperatur dingin. Jenis Cayenne tumbuh di ketinggian 100 hingga 1 100 m diatas permukaan laut. Buahnya lebih kecil dan kandungan asamnya lebih tinggi, apabila ditanam pada tempat yang lebih tinggi. Tanaman ini tahan kekeringan, karena memiliki sel penyimpan air yang efektif (sukulenta). Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan nenas adalah 500 – 2000 mm/tahun, namun produksi optimal terjadi di daerah dengan curah hujan 1000 – 1100 mm/tahun. Nenas dapat tumbuh di segala jenis tanah, asalkan memiliki drainase yang baik, karena tanaman ini tidak toleran terhadap genangan air. Nilai pH tanah yang baik untuk penanaman nenas adalah antara 5-6,5 (Ashari, 1995). Varietas nenas yang dikenal dan biasa dibudidayakan petani di Indonesia adalah Smooth Cayenne dan Queen. Terdapat varietas nenas lain yang jarang ditanam, yaitu Spanish (Red Spanish dan Green Spanish). Smooth Cayenne mempunyai ciri tepi daun tidak berduri atau duri hanya terletak pada bagian ujung daun, mata lebar, daging buah berwarna kuning pucat dan tembus cahaya (transparan), serta menbgandung banyak air. Nenas jenis ini biasanya diolah
6 menjadi buah kalengan. Nenas varietas Queen umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, mempunyai ciri tepi daun berduri, buah berukuran kecil, mata kecil dan menonjol, daging buah kuning keemasan, renyah, dan tidak transparan. Nenas varietas Spanish mempunyai ciri daun berduri dengan warna duri merah dan hijau, mata datar dan lebih lebar dibandingkan dengan Smooth Cayenne, daging buah mengandung banyak air, berserat, dan transparan, serta rasa kurang manis dibanding Smooth Cayenne dan Queen (Indriyani dan Hadiati, 2010) Perbanyakan Nenas Tanaman
nenas
secara
konvensional
dapat
diperbanyak
dengan
menggunakan bibit vegetatif seperti tunas anakan yang tumbuh di bagian batang di bawah tanah, tunas samping yang tumbuh pada batang, tunas mahkota di atas buah, dan tunas-tunas yang tumbuh di tangkai buah (slip) (Ashari, 1995). Penelitian mengenai metode perbanyakan makro (macropropagation) secara efektif telah beberapa kali dilakukan. Weerasinghe dan Siriwardana (2006) menyatakan bahwa perbanyakan nenas menggunakan irisan batang yang diperbanyak sebanyak dua kali siklus perbanyakan dapat menghasilkan 1050 tunas dalam waktu 16 bulan. Agogbua dan Osuji (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh perusakan meristem apikal pada mahkota buah terhadap pertumbuhan tunas aksilar nenas Smooth Cayenne yang diperbanyak dengan metode SCT (Splitted Crown Technique). Ditemukan bahwa terdapat dominansi apikal tinggi pada mahkota dengan meristem utuh (tidak tumbuh tunas), sedangkan mahkota yang telah dipotong memiliki laju pertumbuhan tunas yang bervariasi. Mahkota yang dibagi menjadi empat memiliki jumlah tunas terbesar (543), dibandingkan dengan mahkota yang dibagi menjadi dua bagian (375), dan mahkota yang hanya dirusak jaringan meristemnya (166). Perbanyakan nenas secara konvensional memiliki kelebihan menghasilkan tanaman klon dengan mutu yang sama, akan tetapi bukan merupakan metode yang sesuai apabila bahan tanam dibutuhkan dalam jumlah besar. Solusi untuk masalah ini antara lain adalah perbanyakan tanaman nenas secara kultur jaringan (in vitro).
7 Kiss et al. (1995) menyatakan bahwa satu plantlet nenas yang diperbanyak secara in vitro dengan metode perpanjangan tunas dapat menghasilkan kira-kira 80 000 plantlet per tahun. Almeida et al. (2002) menyatakan bahwa perbanyakan in vitro nenas dengan eksplan potongan melintang mata tunas, yang dikulturkan dalam media cair yang mengandung 1.5 mg/l BAP dapat memaksimalkan laju proliferasi tunas. Diperkirakan dengan metode tersebut, jumlah plantlet yang diproduksi dapat mencapai 161 080 plantlet dalam waktu 8 bulan, dari perbanyakan mata tunas satu tanaman yang memiliki delapan slip dan jumlah mata tunas 10 buah tiap slip. Perbanyakan nenas secara in vitro dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis. Kedua teknik tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti perbanyakan bibit, konservasi plasma nutfah, perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal ataupun manipulasi genetik, hingga pemisahan tanaman khimera, serta pemeliharaan tanaman mutan yang menguntungkan (Roostika dan Mariska, 2003). Akbar et al., (2003) mengemukakan bahwa kalus yang tumbuh pada plantlet nenas yang berasal dari meristem mahkota buah, setelah melalui serangkaian proses tertentu dapat meregenerasi tunas yang ketika ditanam di lapangan, memiliki keseragaman morfologi dengan bentuk daun dan pola pertumbuhan normal. Pemberian kolkisin pada media juga dapat dilakukan untuk menghasilkan variasi morfologis pada kultur tanaman nenas. Sebanyak 5% dari kalus yang diberikan kolkisin menunjukkan gejala albino, mengindikasikan rendahnya kandungan klorofil a dan b. Potensi regenerasi tunas dan akar dan pertumbuhan kalus yang diberi perlakuan kolkisin lebih rendah dibandingkan dengan plantlet normal. Kultur ujung tunas dan kalus dari sumber yang sama secara terus menerus menghasilkan keturunan yang bervariasi dalam 4-5 siklus perbanyakan in vitro (Mujib, 2005). Sitokinin Istilah Zat Pengatur Tumbuh (Plant Growth Regulators) mengacu kepada zat yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur pertumbuhan dan
8 perkembangan tumbuhan. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dapat merupakan golongan hormon tumbuhan (fitohormon) maupun zat kimia sintetik yang memiliki pengaruh hormonal ketika secara eksogen diaplikasikan kepada tanaman.
Sitokinin
merupakan
golongan
hormon
yang
penting
dalam
pertumbuhan karena bersifat esensial dalam pembelahan sel. Sitokinin juga berperan dalam mengurangi atau menunda senescence, dan memperlambat kerusakan klorofil dan protein seluler (Hartmann et al., 1997). Aktivitas biologis dan kimia dari sitokinin telah diketahui dengan baik, akan tetapi cara kerjanya belum banyak diketahui, dan baru belum lama ini gen sitokinin dalam tumbuhan berhasil teridentifikasi (Mok et al. , 2000). Sitokinin merupakan senyawa pengganti adenin yang meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan pertumbuhan. Cara kerjanya sama dengan kinetin (6-furfurylaminopurine). Sitokinin alami yang pertama diisolasi adalah zeatin dalam biji jagung muda. Zeatin merupakan sitokinin yang paling sering ditemukan pada hampir semua tumbuhan tinggi, lumut, cendawan patogenik dan nonpatogenik, bakteri, serta tRNA sel mikroorganisme dan sel hewan. Dewasa ini ada lebih dari 200 sitokinin alami dan sintetik.
Gambar 1. Struktur sitokinin (Harjadi, 2009) Peran sitokinin bagi tumbuhan adalah mengatur pembelahan sel, pembentukan organ, pembesaran sel dan organ, pencegahan kerusakan klorofil, pembentukan kloroplas, penundaan senesens, pembukaan dan penutupan stomata, serta perkembangan mata tunas dan pucuk (Harjadi, 2009). Zat kimia sintetik yang memiliki efek menyerupai sitokinin salah satunya adalah 6-benzylaminopurine (BAP). Penggunaan BAP sebagai zat pengatur
9 tumbuh sudah banyak diteliti. Mullins (1967) mengemukakan bahwa aplikasi pemberian BAP dapat meningkatkan keberhasilan infloresens pada stek anggur (Vitis vinifera). Rangsangan pertumbuhan infloresens oleh BAP diikuti oleh penurunan pertumbuhan vegetatif, dan perkembangan pigmen merah pada infloresens dan daun. Williams dan Cartwright (1980) menyatakan bahwa BAP yang diaplikasikan pada tanaman gandum yang sudah mencapai fase primordium glume pada batang utamanya dapat meningkatkan hasil panen sebesar 57 persen, akan tetapi hasil serupa tidak ditemukan pada gandum yang telah mencapai fase primordium bunga, saat mengalami perpanjangan batang. Sitokinin juga diketahui meningkatkan keseragaman ukuran dan bobot biji di antara batang utama dan anakan pada tanaman gandum. Media kultur jaringan yang mengandung auksin dan sitokinin dapat merangsang terjadinya organogenesis. Menurut Heylen dan Vendrig (1988), media kultur jaringan tembakau (Nicotiana tabacum) yang diberikan auksin dan sitokinin dapat merangsang infloresens. Aktivitas organogenesis akibat sitokinin dan auksin sangat tergantung kepada struktur molekuler zat pengatur tumbuh yang diberikan. Naqvi (1995) menyatakan bahwa pada media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin tinggi, sel membelah secara amorf tanpa mengalami diferensiasi. Konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin menginduksi pembentukan tajuk, sedangkan apabila sebaliknya maka akan memicu pertumbuhan akar. Danso et al. (2008) mengemukakan bahwa pemberian BAP dengan konsentrasi 5 mg/l pada media cair kultur jaringan nenas varietas MD2 dapat meningkatkan laju multiplikasi sebesar 2 atau 5 kali lipat, dibandingkan dengan 7.5 mg/l pada media pada padat.