TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Definisi Ketahanan Pangan Declaration of Human Right 1998 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti bahwa negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya baik akibat adanya kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan). Ketahanan pangan pada awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Perserikatan Bangsa-bangsa (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga (Maxwell & Smith, 1992). FAO (1983) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan dan pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat (Maxwell & Smith, 1992). Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Ketahanan pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu, yang layak. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996). Hal ini berarti bahwa ketahanan pangan mengandung aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Tersedianya pangan yang cukup merupakan syarat
7 terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Berbagai tantangan yang muncul menurut Rustiadi (2008) adalah untuk membangun sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik, antara lain upaya untuk tetap mempertahankan stabilitas kesetimbangan ketersediaan pangan antara kebutuhan dan pemenuhannya dengan laju pertumbuhan penduduk, permasalahan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan. Untuk itu pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang mendasar dan strategis dalam pembangunan nasional, karena: 1) akses terhadap pangan
dengan
gizi
seimbang
bagi
penduduk
merupakan
hak
asasi,
2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi, dan 3) ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Permasalahan internal maupun eksternal dalam pembangunan ketahanan pangan menurut Nainggolan (2008) dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu: 1) masalah ketersediaan pangan diupayakan sekuat-kuatnya dari dalam negeri; 2) masalah distribusi guna melancarkan alir pangan dari sentra-sentra produksi ke sentra konsumsi; dan 3) masalah akses pangan agar rumah tangga dalam memenuhi standaar konsumsi gizi untuk hidup sehat dan produktif. Permasalahan tersebut dalam rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dirumuskan kedalam tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional, yaitu: 1) ketersediaan pangan pokok harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertumbuhan penduduk, 2) masalah lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang, 3) masalah keamanan pangan, 4) kerawanan pangan dan gizi buruk yang masih memprihatinkan, 5) masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air, 6) pengembangan infrastruktur pedesaan, dan 7) belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural, maupun kelembagaan pangan masyarakat. Sistem Ketahanan Pangan Menurut Suryana (2002) ketahanan pangan merupakan perwujudan hasil kerja suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri dari tiga subsistem yaitu
8 subsistem penyediaan, distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari dalam negeri, cadangan, maupun dari luar negeri. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan ditingkat daerah maupun rumah tangga untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, keragaman, dan keterjangkauan sesuai kebutuhan dan pilihannya. Maxwell
& Smith
(1992) mengatakan bahwa ketahanan pangan
menunjukkan adanya akses setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap waktu. Hal ini berarti ketahanan pangan memiliki empat dimensi yaitu (a) kecukupan pangan, yang ditunjukkan oleh tingkat kecukupan energi untuk aktif dan hidup sehat; (b) akses pangan, yang berarti adanya kemampuan untuk memproduksi, membeli pangan maupun menerima pemberian pangan; (c) jaminan, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan; dan (d) waktu, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan secara berkelanjutan. Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai instansi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Menurut Soetrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu
9 negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Selanjutnya Sawit & Ariani (1997) menyatakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Frankenberger (1997) menyatakan bahwa dua kelompok indikator ketahanan pangan yaitu indikator proses, menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan (produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan) dan akses pangan (sumber pendapatan, akses terhadap modal) serta indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) maupun tak langsung (penyimpanan pangan dan status gizi). Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: 1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, 2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan 3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (DKP, 2006). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang. Ketahanan pangan merupakan suatu konsep yang kompleks yang terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan
10 yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan yang terangkum dalam sebuah kerangka ketahanan pangan (Gambar 1.) (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2004) yang diuraikan sebagai berikut: Aspek ketersediaan dan stabilitas pangan bergantung pada sumberdaya (alam, manusia dan sosial) serta produksi (on farm dan off farm). Aspek akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi.
Kondisi ini
tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan dan produksi pangan rumah tangga. Kondisi ini tergantung pada tingkat harga pangan maupun tingkat sumberdaya dalam keluarga yaitu tenaga kerja, modal, dan pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia serta sumberdaya sosial. Aspek pemanfaatan pangan merupakan cerminan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Perwujudan ketahanan pangan rumah tangga perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan gizi. FOOD Security
Food Access
Food Availability
Resaurces : Natural Physical Human
Production : Farm Nonfarm
Income : Farm Nonfarm
Food Utilization
Consump-tion : Food Nonfood
Nutri-tional status
Gambar 1 Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2004). Kemampuan penduduk untuk mengakses pangan terkait kemampuan produksi pangan tingkat rumah tangga, kesempatan kerja, dan pendapatan keluarga. Hal ini berarti pangan bukan hanya beras dan komoditas tanaman pangan, tetapi termasuk makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Selanjutnya pangan yang cukup tidak hanya dalam jumlah tetapi juga keragamannya sebagai sumber asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dan zat gizi mikro
11 (vitamin dan mineral), untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik, kecerdasan dan produktivitas manusia (Suryana, 2004). Subsistem ketersediaan pangan. Subsistem ketersediaan pangan dapat diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman. Ketersediaan pangan bergantung pada sumberdaya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai SDM yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinyu. Akses pangan hanya dapat terjadi bila rumah tangga berpenghasilan cukup. Konsumsi pangan akan amat menentukan apakah seluruh anggota rumah tangga bisa mencapai derajat kesehatan optimal (Khomsan, 2003). Komponen ketersediaan pangan menurut Baliwati & Roosita (2004) meliputi kemampuan produksi, cadangan maupun impor pangan dengan memperhitungkan ekspor dan berbagai penggunaan lain seperti bibit, pakan ternak, industri makanan/nonpangan dan tercecer. Komponen produksi pangan dapat dipenuhi dari produksi pertanian dan atau industri pangan sehingga ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga dapat dipenuhi dari produksi dan cadangan pangan sendiri maupun produksi dan cadangan kelompok. Kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan pangan masyarakat yang ada di wilayahnya diukur berdasarkan tingkat ketersediaan pangannya dalam kurun waktu tertentu baik yang diperoleh dari produksi sendiri, cadangan pangan ataupun melalui impor. Kemampuan produksi pangan merupakan hasil kerjasama antara para pelaku usaha produksi pertanian dan usaha terkait lainnya, serta para petugas pemerintah yang berkewajiban memberikan pelayanan prasarana dan sarana usaha di bidang pangan (Maxwell & Smith, 1992). Menurut Baliwati & Roosita (2004) tingkat produksi pangan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: cara bertani yang lebih produktif, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang berproduksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan. Metode untuk mengetahui kondisi ketersediaan wilayah tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota adalah dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM) atau food Balanced Sheet (FBS). Satuan untuk mengukur tingkat
12 ketersediaan
pangan
adalah
volume
pangan
(ton/tahun,
kg/kapita/hari,
g/kapita/hari), energi (kkal/kapita/hari) maupun zat gizi (protein: gram/kapita/hari; lemak: gram/kapita/hari; vitamin: misalnya vitamin A: SI/kapita/hari; mineral: misalnya Fe: mg/kapita/hari) (Baliwati & Roosita, 2004). Cadangan
pangan
pemerintah
ditetapkan
secara
berkala
dengan
memperhitungkan tingkat kebutuhan pangan nyata masyarakat dan ketersediaan pangan, serta dengan mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat. Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan wilayah ini pemerintah
harus:
a)
mengembangkan,
membina
dan
atau
membantu
penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah di tingkat pedesaan, perkotaan, provinsi dan nasional; b) mengembangkan, menunjang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi peran swasta dan koperasi dalam mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah mempunyai peran ganda dalam pengembangan sistem cadangan pangan, yaitu pengadaan cadangan pangan pemerintah dan memfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat. Untuk mampu mewujudkan penyediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, pemerintah menyarankan cara yang dapat dilakukan yaitu: a) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, b) mengembangkan efisiensi sistem usaha
pangan,
c)
mengembangkan
teknologi
produksi
pangan,
d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan, e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif (Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002). Sistem penyediaan pangan sebagai salah satu subsistem ketahanan pangan, FAO
mengedepankan
lima
karakteristik
yang
harus
dipenuhi,
yaitu:
1) kapasitas: mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk, 2) pemerataan: mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga, 3) kemandirian: mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan
tekanan
politik
internasional
dapat
ditekan
seminimum
mungkin,
13 4) kehandalan: mampu meredam dampak variasi musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupsediaan pangan dapat dijamin setiap saat, dan 5) keberlanjutan: mampu menjaga keberlanjutan dan kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisno, 2005). Pembangunan ketahanan pangan suatu daerah dipengaruhi oleh potensi/ kapasitas produksi pangan yang saat ini semakin terbatas. Hal ini menurut Nainggolan (2008), diakibatkan adanya beberapa permasalahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas ekonominya sebagai berikut: 1) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian (pemukiman dll), 2) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, 3) semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi pangan akibat kerusakan hutan, 4) kerusakan sarana pengairan mencapai 30%, dan 5) persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan sektor industri dan pemukiman. Subsistem distribusi pangan. Subsistem distribusi pangan menjadi indikator yang dapat menjelaskan bahwa suatu wilayah dikatakan tahan pangan apabila pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wilayah sehingga harga stabil dan masyarakat dapat menjangkau pangan dengan baik (akses fisik maupun ekonomi). Pergerakan harga pangan di suatu wilayah pada periode tertentu dapat mencerminkan tingkat stabilitas harga pangan di wilayah tersebut dan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan, yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Stabilitas harga pangan ini dapat dipengaruhi oleh sifat bahan pangan dan kesesuaian pengelolaan sistem produksi dengan permintaan pasar. Sebagai indikasi dari ketahanan pangan di tingkat mikro, digunakan ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk energi dan protein perkapita perhari. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin hal yang sama di tingkat rumah tangga, karena tergantung kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli) (Suryana, 2004). Subsistem konsumsi. Subsistem konsumsi suatu wilayah dapat dijelaskan tahan atau tidak tahan pangan dengan mengetahui apakah setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup sesuai kebutuhannya untuk mampu
14 mengelola kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu yang dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan
individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati & Roosita, 2004). Menurut Hardinsyah (1996) diacu dalam Madanijah (2004), dalam hal konsumsi pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga masalah belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman konsumsi pangan saat ini sering diartikan terlalu sederhana, berupa penganekaragaman konsumsi pangan pokok, terutama pangan non beras. Penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu pengganekaragaman produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan. Tujuan utama penganekaragaman pangan adalah untuk peningkatan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Kedua tujuan utama ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada perbaikan kesehatan panduduk. Penganekaragaman konsumsi pangan pada pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih bias pada kelompok padi-padian (beras). Selain berfungsi untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, penganekaragaman gizi juga bertujuan untuk perbaikan gizi penduduk dalam mewujudkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing serta meningkatkan ketahanan pangan. Rumusan konsep diversifikasi konsumsi pangan oleh FAO RAPA 1989 diacu dalam Ariani (2006) yaitu: 1) komposisi pangan ideal terdiri dari 57 – 68% dari karbohidrat, 2) 10 – 13% protein, 3) 20 – 30% lemak. Yang di Indonesia diimplementasikan dalam bentuk 9 kelompok pangan dengan istilah pola pangan harapan (PPH). Pedoman umum gizi seimbang yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (1995) guna mewujudkan keseimbangan konsumsi gizi penduduk meliputi 13 pesan dasar gizi seimbang yaitu: 1) makanlah aneka ragam pangan, 2) makanlah pangan untuk memenuhi kecukupan energi, 3) makanlah sumber karbohidrat setengah dari kecukupan energi (50 – 60% yaitu padi-padian 50%, umbi-umbian 6%, serta gula 5% atau 3-4 sendok makan sehari), 4) batasi konsumsi lemak dan
15 minyak sampai seperempat dari kecukupan energi (3-4 sendok makan sehari), 5) gunakan garam beryodium (6 gram atau 1 sendok the sehari), 6) makanlah sumber zat besi, 7) berikan asi saja pada bayi sampai usia 4 bulan (eksklusif), 8) biasakan makan pagi, 9) minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya, 10) lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur, 11) hindari minuman alkohol, 12) makanlah pangan yang aman bagi kesehatan, dan 13) bacalah label pada pangan yang dikemas. Munculnya berbagai indikasi kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh sampai sejauhmana rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan dibedakan atas kerawanan kronis, yaitu yang terjadi secara kontinyu (terus menerus) karena ketidakmampuan membeli atau memproduksi pangan sendiri yang akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan; dan kerawanan sementara (transitori) yang terjadi karena kondisi tak terduga seperti bencana alam atau bencana lainnya. Status gizi. Status gizi masyarakat merupakan keadaan gizi setiap individu yang sangat dipengaruhi oleh asupan bahan pangan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh kemampuan penyediaan dan pengelolaan konsumsi pada masingmasing rumah tangga dan merupakan hasil lanjutan (outcome) dari ketahanan pangan rumah tangga (Suryana, 2004). Hal ini sejalan pendapat Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat adanya konsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan. Gizi seimbang adalah susunan hidangan sehari yang mengandung berbagai zat gizi dalam kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan hidup sehat secara optimal. Zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup sehat adalah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Depkes, 1995). Menurut Suhardjo (1992) pengertian konsumsi pangan seimbang mencakup: 1) seimbang antara zat gizi yang dikonsumsi dengan yang dibutuhkan, 2) seimbang dalam hal kandungan zat gizi, dan 3) seimbang dalam hal appresiasi nilai sosial terhadap pangan.
16 Gizi salah merupakan status gizi yang merupakan keadaan tidak sehat disebabkan oleh makanan yang kurang atau berlebih dalam satu atau lebih zat gizi esensial dalam waktu lama. Jenis gizi salah yang sering terjadi di negara berkembang adalah yang diakibatkan kekurangan gizi atau gizi kurang. Penyebab status gizi kurang bersifat multidimensional yang dipengaruhi oleh faktor pangan maupun non pangan yang berinteraksi membentuk jaringan kompleks dari keadaan deprivasi biologis, sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan (Shetty 2002 diacu dalam Antang 2004). Di Indonesia terdapat empat masalah kekurangan gizi utama menurut Suparmanto (2005) yaitu Kurang Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Sesuai dengan konsep Unicef (1998) diacu dalam Suparmanto (2005) masalah gizi dapat dipengaruhi oleh faktor ketahanan pangan tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan dan kemiskinan. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi energi (dibawah 70% AKE), pola asuh ibu dalam pemberian ASI bayinya yang rendah, pencemaran lingkungan air dan udara oleh bakteri dan zat kimia di atas ambang batas, rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan tingginya angka kemiskinan. Kemandirian Pangan Kemandirian
pangan
daerah
merupakan
keharusan
dalam
upaya
terpenuhinya kebutuhan pangan setiap penduduk untuk dapat hidup sehat dan produktif secara swasembada atau melalui usaha mandiri tanpa bantuan pihak lain (import). Komitmen dalam mewujudkan kemandirian pangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 didefinisikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan halal; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal (Soekartawi, 2008). Pencapaian kemandirian pangan akan memperbesar kebanggaan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghemat devisa, tercapainya jaminan pasokan pangan, penciptaan lapangan kerja yang luas di industri pertanian dan
17 merupakan landasan pembangunan ekonomi yang mantap. Empat komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta dan aspek kualitas/keamanan pangan (Soekartawi, 2008). Ketergantungan terhadap impor dan ketidakmampuan daerah dalam mewujudkan kemandirian pangan akan mengakibatkan terganggunya sistem ketahanan pangan daerah. Hal ini dikarenakan terpenuhinya pangan merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan ketahanan pangan yang merupakan bagian dari sektor pembangunan lainnya, serta sebagai upaya terbentuknya sumberdaya manusia yang berkualitas. Indikator makro terwujudnya kemandirian pangan menurut Nainggolan (2008) adalah: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional serta indikator mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga. Upaya mewujudkan kemandirian pangan daerah harus didukung dengan adanya sarana, prasarana dan infrastruktur serta kebijakan terkait sistem ketahanan pangan. Beberapa kebijakan yang menjadi syarat dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan menurut Nainggolan (2008) adalah dengan memperhatikan kesejahteraan ekonomi petani yaitu: 1) kebijakan moneter (akses modal yang mudah), 2) stimulus fiskal guna meningkatkan pertumbuhan pertanian, 3) kebijakan industri perdesaan pada sentra produksi, 4) kebijakan perdagangan melalui adanya bea masuk yang melindungi produk petani dalam negeri, 5) kebijakan diversifikasi konsumsi guna melepas ketergantungan pada konsumsi beras, dan 6) memperluas skala ekonomi usahatani. Upaya mewujudkan kemandirian pangan terlihat dengan meningkatnya kemampuan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang juga sering disebut swasembada pangan. Kasryno et al. (2003) memberikan pengertian swasembada yaitu kemampuan mencukupi 95 – 105% kebutuhan pangan dalam daerah/negeri. Apriyantono (2006) memaknai swasembada pangan (on trend) dikatakan tercapai jika 90% cadangan pangan (beras) nasional telah terpenuhi dari produksi dalam negeri.
18 Sementara itu makna swasembada bila dilihat dari definisi kemandirian pangan merupakan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri (daerah) secara 100% (absolut). Hal ini berarti juga tingkat ketergantungan terhadap impor diupayakan tidak ada (0%). Kebutuhan Pangan Manusia untuk dapat hidup sehat dan produktif memerlukan 6 kelompok zat gizi yaitu: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air (Karsin, 2004). Untuk itu, konsep kebutuhan gizi minimum satu hari (minimum daily requirement), yaitu jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang untuk hidup sehat serta konsep jumlah yang dianjurkan satu hari dan (recommended dietary allowance, RDA) yaitu suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang (97,5%) menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan optimal (Baliwati & Retnaningsih, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap manusia. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Empat kelompok makanan sehat yang dibutuhkan oleh manusia yaitu makanan pokok (serealia dan umbi-umbian), lauk-pauk, sayur dan buah. Makanan pokok ini berperan utama sebagai sumber energi dan juga (serealia) menyediakan protein, aneka vitamin B dan mineral meskipun dalam jumlah sedikit (Hardinsyah, 1996). Sementara itu sembilan kelompok pangan yang dibutuhkan manusia untuk dapat hidup sehat dan produktif dalam neraca bahan makanan yaitu kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain (Deptan, 2005). Kebutuhan pangan dan gizi berbeda antar individu, menurut Baliwati & Retnaningsih (2004) karena dipengaruhi oleh 5 hal sebagai berikut: 1) tahap perkembangan, meliputi kehidupan sebelum lahir, sewaktu bayi, masa kanakkanak, remaja, dewasa, dan lansia. 2) Faktor fisiologis tubuh, misalnya kehamilan. Pada masa ini, zat gizi dibutuhkan untuk pertumbuhan organ reproduksi ibu
19 maupun untuk pertumbuhan janin. 3) Keadaan sakit dan dalam penyembuhan. 4) Aktivitas fisik. 5) Ukuran tubuh (berat dan tinggi badan). Kebutuhan pangan pokok (beras) bukan hanya terkait jumlah pangan yang dibutuhkan dan harus disediakan, tetapi terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pemenuhannya, yaitu ketersediaan, stabilitas dan kemampuan produksi. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan pokok (beras) tidak hanya dilakukan untuk menutupi kebutuhan konsumsi akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan industri. Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi sendiri sangat penting guna mengurangi ketergantungan pada pasar dunia dan sebagai upaya mempertahankan martabat bangsa di forum internasional (Hafsah & Sudaryanto, 2003). Kebutuhan pangan tidak hanya terkait dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk semata, melainkan juga harus mempertimbangkan adanya penggunaan lain yaitu penggunaan industri, pakan ternak, bibit, dan kehilangan (tercecer), serta ekspor, impor dan adanya perubahan stok (Deptan, 2005). Apabila kemampuan produksi bahan pangan domestik tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhan pangan masyarakat, maka di masa mendatang Indonesia akan menjadi negara importir pangan. Berdasarkan perkiraan tersebut, negara perlu meningkatkan optimasi pemanfaatan sumberdaya domestik dan peningkatan kapasitas produksi pangan nasional agar dapat tumbuh seiring dengan perkembangan kebutuhan pangan yang terus meningkat dalam jumlah, kualitas dan keragamannya. Peningkatan produksi pangan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan bertumpu pada kemampuan produksi dalam negeri melalui pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, pengembangan teknologi produksi pangan, pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan, perlindungan dan pengembangan lahan produktif, serta pemanfaatan potensi sumberdaya lokal. Pemerintah memberikan dukungan pada upaya peningkatan produktivitas pangan, terutama pangan pokok, termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, penataan pertanahan dan sistem tata ruang yang memadai (DKP, 2006).
20 Lahan Pertanian Pangan Sumberdaya pangan dalam rantai sistem pangan dan pertanian terdiri dari dua jenis yaitu sumberdaya manusia/sosial (penduduk, finansial, infrastruktur, teknologi, kelembagaan, industri pangan, pasar dan kerjasama), dan sumberdaya alam (sumberdaya lahan, iklim, air dan perairan umum, kelautan dan sumberdaya hayati) (Baliwati, 2008). Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi penggunaan lahan. Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian) diacu dalam Baliwati (2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan), karena adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka persediaan pangan akan meningkat menurut deret hitung yang membutuhkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan. Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan menurut Rustiadi (2008) merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai common pool resources (CPRs) karena memiliki dua kriteria utamanya yaitu unsur subtractability karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin terbatas, setiap konversi penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya akan mengurangi kemampuan dalam penyediaan pangan. Unsur non excludable karena dalam perspektif publik sangatlah sulit mencegah terjadinya alih fungsi lahanlahan pertanian pangan yang subur. Daya dukung (carrying capacity) berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenik). Definisi daya dukung dalam perspektif biofisik wilayah adalah jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder & Lopez 2000 diacu dalam Rustiadi et al. 2006). Dalam perspektif lingkungan, daya dukung meliputi dua
21 komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung (assimilative capacity). Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan/lahan harus dilakukan dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) sumberdaya dan jasa lingkungan. Langkah perhitungan dalam Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007) diacu dalam Rustiadi et al. (2006) yaitu: daya dukung lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply). Kebutuhan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap penduduk. Ketersediaan lahan ditentukan oleh tingkat produksi dan produktivitas lahan. Terakhir daya dukung lahan diperoleh dari perbandingan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan. Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Lahan sebagai unsur ruang dan modal utama pembangunan merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup penduduk dan wahana bagi penyelenggaraan kegiatan sosial. Dengan demikian lahan memiliki peranan strategis bagi pembangunan dan karena itu pula pengelolaannya harus dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara berkesinambungan. Ruang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama, sehingga memiliki potensi untuk menimbulkan konflik dalam pemanfaatan antar kegiatan sektor pembangunan dan antar jenis pengelolaannya di masyarakat. Menurut Riyadi (2002) salah satu isu penting yang terintegrasi dengan pengembangan kebijakan ketahanan pangan yaitu penataan ruang wilayah terutama melalui proses pembangunan wilayah pertanian yang didasarkan atas competitive forces dengan mengelola hegemonic forces melalui pengembangan kebijakan yang sejalan dengan sistem nilai pengembangan pangan. Kaitannya dengan hal tersebut, maka guna menjamin pengembangan wilayah pertanian dan ketersediaan pangan di suatu daerah diperlukan tata ruang yang jelas peruntukannya. Tata ruang adalah wujud susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional, serta
22 distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budidaya (UU 26 tahun 2007). Dengan demikian kejelasan besaran lahan yang diperuntukan sebagai ruang fungsi budidaya akan sangat menentukan produksi pangan suatu wilayah. Penataan ruang merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah kabupaten (UU Nomor 26 tahun 2007). Riyadi (2002) mengatakan bahwa aspek penting untuk menjamin ketahanan pangan adalah penataan ruang. Penataan ruang bermanfaat terutama dalam pengelolaan pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan mempertahankan pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan kawasankawasan lindung yang pada akhirnya dapat menciptakan tata ruang pertanian yang efektif sebagai dasar pengembangan wilayah pertanian. Hal ini akan dapat mengurangi konversi lahan pertanian ke non pertanian. Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang ke arah yang lebih baik secara sengaja. Sesuai dengan prinsip pembangunan menurut Rustiadi (2004), tujuan dari penataan ruang pada dasarnya adalah: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya melalui mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip efisiensi dan produktivitas), 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya sesuai dengan asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) keberlanjutan (sustainability) karena adanya sifat-sifat irreversibility. Sehubungan dengan pembangunan ketahanan pangan, Suntoro (2004) mengatakan bahwa terdapat lima strategi yang dapat dilakukan, antara lain: 1) penataan zona areal pertanian, 2) pembangunan sarana dan prasarana, 3) pembentukan kelembagaan ketahanan pangan, 4) pemberdayaan masyarakat, dan 5) kemitraan usaha dalam upaya menggalang dan mengoptimalkan berbagai sumberdaya yang ada di daerah. Ketika menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik provinsi maupun kabupaten, hendaknya benar-benar bijaksana dalam menetapkan zona areal pertanian. Berdasarkan areal yang dialokasikan itulah produksi dan ketersediaan pangan daerah bisa diprediksi dan dipetakan, sehingga dapat diketahui apakah pengadaan pangan suatu daerah akan mengalami surplus atau defisit. Penanggulangan terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian dapat dilakukan dengan dikeluarkannya produk hukum guna
23 menetapkan lahan abadi bagi usahatani. Salah satu kendala untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat khususnya di daerah terpencil adalah masih terbatasnya sarana dan prasarana distribusi pangan. Upaya yang perlu dilakukan agar setiap masyarakat dapat mengakses pangan baik secara fisik maupun ekonomi, pembangunan infrastruktur jalan dan pengadaan sarana transportasi secara bertahap berdasarkan skala prioritas, disamping itu pengembangan potensi pangan lokal sesuai dengan spesifikasi dan budaya setempat serta pembentukan kelembagaan ketahanan pangan sebagai wadah koordinasi maupun operasional kegiatan di lapangan. Pengembangan kemitraan usaha antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan lainnya sangat penting dilakukan guna mempercepat pembangunan ketahanan pangan dan ekonomi daerah. Arahan tata ruang pertanian nasional telah dibangun oleh Badan Litbang Pertanian melalui Puslitbangtanak pada skala 1:1.000.000. Penilaian kesesuaian lahan menggunakan beberapa karakteristik lahan seperti tanah, bahan induk, fisiografi, bentuk wilayah, iklim dan ketinggian tempat. Lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian dikelompokkan berdasarkan kelompok tanaman yaitu untuk lahan
basah
dan
lahan
kering
(tanaman
semusim
dan
tanaman
tahunan/perkebunan). Pengelompokkan lahan tersebut, secara garis besar ditentukan oleh bentuk wilayah dan kelas kelerengan. Tanaman pangan diarahkan pada lahan dengan bentuk wilayah datar-bergelombang (lereng <15%) dan tanaman tahunan/perkebunan pada lahan bergelombang-berbukit (lereng 15-30%) (Dirjen PLA, 2006). Ketersediaan lahan pertanian pangan tersebut menurut Rustiadi (2008) berkaitan sangat erat dengan beberapa hal dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yaitu: 1) potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2) produktivitas lahan, 3) fragmentasi lahan, 4) skala luasan penguasaan lahan, 5) sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) konversi, 8) pendapatan petani, 9) kapasitas sumberdaya manusia pertanian, serta 10) kebijakan di bidang pertanian. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Upaya
membangun
kedaulatan
dan
kemandirian
pangan
untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia merupakan hal yang sangat
24 penting untuk direalisasikan, sehingga dapat tercapai kemakmuran, kepercayaan diri dan kemandirian dalam menentukan nasib pertanian dimasa depan, yaitu terwujudnya kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Untuk itu perlu diselenggarakan pembangunan pertanian berkelanjutan. Lahan sebagai faktor strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Permasalahan konversi lahan pertanian akan berdampak terhadap produksi pangan dan semakin sempitnya lahan garapan usahatani sehingga dapat mengakibatkan melemahnya kondisi ketahanan pangan daerah. Untuk itu perlu dilakukan pengendalian konversi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan (RUU, 2008). Bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kedaulatan dan ketahanan pangan merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan pertanian yang ditetapkan sebagai kawasan maupun lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa: 1) sawah beririgasi teknis, 2) sawah beririgasi semi teknis, sederhana, dan pedesaan, 3) sawah tadah hujan, 4) lahan rawa, dan/atau 5) lahan kering. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan yaitu: a) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, b) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, c) mewujudkan kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan, d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, e) meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan petani dan masyarakat, f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, g) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, h) mempertahankan keseimbangan ekologis, dan i) mempertahankan multifungsi pertanian (RUU, 2008). Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan terhadap lahan pertanian pangan yang sudah dan yang potensial atas dasar kriteria yaitu: 1) kesesuaian lahan, 2) ketersediaan infrastruktur, 3) penggunaan lahan, 4) potensi teknis lahan, dan 5) luasan kesatuan hamparan lahan. Perencanaan yang terdiri atas perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan ini didasarkan pada: a) pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
konsumsi
pangan
penduduk,
b)
pertumbuhan
produktivitas,
25 c) kebutuhan pangan nasional, d) kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan, e) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan f) musyawarah petani (RUU, 2008). Kebutuhan Lahan Pertanian Pangan Berdasarkan pengertian ketahanan pangan, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya penyediaan pangan untuk mendukung kegiatankegiatan terkait proses produksi pangan sektor pertanian, dan kegiatan pendukungnya seperti perluasan areal pertanian, pencegahan alih fungsi lahan dan peningkatan produktivitas lahan serta indeks pertanaman? Sehingga perlu adanya usaha maksimal untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk secara mandiri. Produksi pangan merupakan unsur utama dalam memperkuat ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan. Dalam konteks pertanahan upaya peningkatan produksi tersebut dapat ditempuh melalui dua hal, yaitu: jaminan ketersediaan tanah pertanian (land availability) dan peningkatan akses masyarakat petani terhadap tanah pertanian (land accessibility) (Isa, 2006). Untuk dapat menjamin ketersediaan pangan nasional, maka pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan. Lahan ini terbagi dalam 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi dan 15 juta hektar merupakan lahan kering (Syahyuti, 2006). Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi yang strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Posisi lahan yang demikian tidak saja memiliki nilai ekonomis, sosial bahkan secara filosofis lahan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumberdaya pokok dalam usaha pertanian, terutama pada kondisi dimana sebagian besar bidang usaha yang dikembangkan masih tergantung kepada pola pertanian yang bersifat land based agriculture. Lahan merupakan sumberdaya yang unik dimana jumlahnya tidak bertambah, namun kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan nasional (RUU, 2008). Berdasarkan data BPS dalam Dirjen PLA (2006), lahan pertanian dikelompokkan menjadi lahan pekarangan, tegalan/ladang/huma, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan,
26 kolam/tambak, padang rumput, dan lahan sementara tidak diusahakan (alangalang dan semak belukar), dengan total luas 62,7 juta hektar. Ada dua jenis permintaan yang mempengaruhi permintaan lahan, yaitu (1) direct demand (permintaan langsung), dimana lahan berfungsi sebagai barang konsumsi (untuk pemukiman) dan secara langsung memberikan utilitas, dan (2) derived demand (pendorong permintaan). Melalui pendorong permintaan, peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut diperlukan lahan sebagai faktor produksi (Rustiadi et al. 2007). Sistem keterkaitan konversi lahan dengan berbagai komponen sistem ketahanan pangan merupakan sistem dengan keterkaitan yang sangat kompleks. Kebijakan yang terkait dengan pengendalian konversi lahan pada sisi produksi pangan ditentukan oleh luas lahan produksi dan produktivitas lahan, sedangkan luas lahan produksi pertanian ditentukan oleh pengembangan atau pemeliharaan irigasi dan pembukaan, pencetakan lahan baru, yang selanjutnya ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial yang belum dikembangkan dan lahan pertanian lahan kering serta kebijakan perencanaan zonasi/tata ruang/sistem keagrariaan (Rustiadi, 2008). Dua faktor secara garis besar yang menentukan perubahan penggunaan lahan menurut Rustiadi & Wafda (2007), yaitu faktor yang menyangkut kelembagaan dan non kelembagaan. Faktor-faktor non kelembagaan adalah: (1) produktivitas lahan, (2) jumlah penduduk, (3) fragmentasi kepemilikan, (4) aksesibilitas wilayah, (5) tingkat pengkotaan. Faktor-faktor ini dapat berperan sebagai pendorong sekaligus pengendali dalam perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan hasil penelitian Absari (2007) perubahan luas lahan pertanian tersedia di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008 dan 2010 dapat diperkirakan dengan menggunakan tren perubahan luas lahan sawah dan lahan kering selama 10 tahun terakhir, diketahui bahwa ketersediaan lahan sawah dan lahan kering tahun 2008 adalah 42.230 hektar dan 31.196 hektar. Ketersediaan luas lahan ini akan menurun pada tahun 2010 menjadi 42.067 hektar dan 30.941 hektar. Selain itu, hasil penelitian Syafruddin (2006) bahwa kebutuhan lahan di Kabupaten Halmahera Tengah dapat diprediksi dengan memperkirakan kebutuhan
27 pangan penduduk Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2020 berdasarkan pola pangan harapan dengan pendekatan interpolasi linier terhadap mutu dan komposisi penduduk. Pengaruh perubahan penggunaan lahan pertanian menurut Dirjen PLA (2006) meliputi: a) menurunnya produksi pangan yang mengancam ketahanan pangan, b) hilangnya mata pencaharian pertanian menimbulkan pengangguran yang akhirnya dapat memicu masalah sosial, dan c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (jaringan irigasi) yang telah dibangun dengan mahal. Demikian pentingnya ketersediaan lahan mengharuskan adanya upaya pencegahan dan pengendalian terhadap kecenderungan alih fungsi lahan terutama lahan sawah.
Penyusutan tanah pertanian, ketimpangan struktur penggunaan
tanah dan penguasaan tanah akan menjadi hambatan serius dalam memperkokoh ketahanan pangan di masa mendatang (Isa, 2006). Ditambah lagi sektor pertanian masih menghadapi permasalahan pelik berupa laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sekitar 1,4 – 1,5% pertahun, pasokan air untuk sektor pertanian yang semakin menurun, kebutuhan air untuk sektor perkotaan dan industri yang semakin meningkat, dan luas pemilikan lahan perkeluarga semakin menurun, terutama di Jawa. Di lain pihak, anomali iklim secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan (Manan, 2006). Tiga alasan utama perlunya pencegahan dan pengendalian terhadap kecenderungan alih fungsi lahan terutama lahan sawah menurut Sabiham (2008) yaitu: 1) konversi lahan sawah beririgasi teknis yaitu dipandang sebagai ancaman terhadap upaya untuk mempertahankan swasembada pangan nasional, 2) segi sudut lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam environment rent, ekosistem sawah relatif stabil dengan tingkat erosi dan pencucian hara yang kecil, dan 3) sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat, alih fungsi lahan sawah akan mengganggu ketidakseimbangan hubungan sistemik antara petani dan lahannya.