TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Sosial Salah satu tugas perkembangan remaja adalah penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi menuju kedewasaan, remaja harus membuat penyesuaian baru. Bagian terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilainilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock 1997). Sekolah dan pendidikan tinggi menekankan pada konsep perkembangan keterampilan intelektual dan konsep yang penting bagi kecakapan sosial. Namun, hanya sedikit remaja yang menggunakan kedua konsep ini dalam situasi praktis. Kesempatan remaja untuk menguasai konsep demikian biasanya hanya bisa dipraktekkan oleh remaja yang aktif dalam berbagai aktivitas ekstra kurikuler dibandingkan remaja yang tidak aktif, entah karena harus bekerja sepulang sekolah atau karena tidak diterima oleh teman-temannya (Hurlock 1997). Manusia sebagai makhluk sosial, membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, maka hubungan antara sesama manusia dalam konteks hubungan sosial tidak dapat dihindari. Menurut Goleman (2007), kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana interaksi terhadap situasi sosial yang bebeda. Goleman (2007) menyebutkan bahwa terdapat dua unsur kecerdasan sosial, yaitu kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat merasakan keadaaan batiniah seseorang sampai memahami perasaan dan pikirannya. Kemampuan kesadaran sosial meliputi:
Empati dasar, yaitu berhubungan dengan perasaan dengan orang lain dan merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal.
Penyelarasan, yaitu kemampuan untuk mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang.
Ketepatan empatik, yaitu kemampuan untuk memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain.
Pengertian sosial, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja.
8
Sementara itu, fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Fasilitas sosial meliputi:
Sinkroni, yaitu kemampuan yang ditunjukkan seseorang dalam berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal.
Presentasi
diri,
yaitu
berhubungan
dengan
cara
seseorang
mempresentasikan diri sendiri secara efektif.
Pengaruh. Pengaruh seseorang akan membentuk hasil interaksi sosial.
Kepedulian, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Pendapat lain tentang kecerdasan sosial dinyatakan oleh Albrecht (2006).
Secara garis besar, Albrecht menyebut adanya lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang disingkat menjadi kata SPACE. Kata S merujuk pada kata situational awareness atau kesadaran situasional. Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Bagaimana etika penampilan, tutur kata dan sapa yang digunakan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan ketulusan. Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana bekal kemampuan seseorang untuk menyampaikan gagasan dan ide secara menyenangkan dan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara menarik sehingga orang lain tidak berhasil diyakinkannya. Kecerdasan sosial yang produktif memang hanya akan bisa dibangun dengan baik bila seseorang itu mampu mengartikulasikan segenap pemikirannya dengan penuh kejernihan dan kebeningan. Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana seseorang dapat berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Sejauh mana ia memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Seseorang yang bisa merajut sebuah
9
jalinan relasi yang kuat jika dibekali dengan rasa empati yang kuat pula terhadap sesama rekannya. Strategi Koping Sebuah strategi koping (penanggulangan) diperlukan dalam mengatasi stres, terlepas apakah masalah tersebut besar ataupun kecil. Istilah strategi koping memiliki pengertian sebagai cara yang dilakukan untuk mengubah situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan atau dihadapi (Rasmun 2004). National Safety Council (1994) menyatakan bahwa ada berbagai macam koping yang bisa dilakukan, tapi tidak semua bisa jadi koping yang efektif. Definisi koping yang efektif adalah suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat yang terdapat pada diri seseorang. Strategi koping yang berhasil mengatasi stres harus memiliki empat komponen pokok di bawah ini: 1.
Peningkatan kesadaran terhadap masalah: Fokus obyektif jelas dan perspektif yang utuh terhadap situasi yang sedang berlangsung.
2.
Pengolahan informasi: Suatu pendekatan pengalihan persepsi agar ancaman dapat diredam. Pengolahan informasi meliputi pengumpulan informasi dan pengelolaan sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah.
3.
Pengubahan perilaku: Tindakan yang dipilih secara sadar, dilakukan bersama sikap positif yang dapat meringankan, meminimalkan, atau menghilangkan stressor (sumber stres).
4.
Resolusi damai: Suatu perasaan atau kepuasan bahwa situasi stres telah berhasil diatasi. Lazarus dalam Santrock (2007) percaya bahwa penanganan stres atau
koping terdiri dari dua bentuk, yaitu koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused Form Coping Mechanism) dan koping yang berpusat pada emosi (Emotional Focused Form Coping Mechanism). Koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused Form Coping Mechanism) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif dalam penanganan stres atau koping yang digunakan oleh individu dalam menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut. Sedangkan Stuart & Sundeen dalam Hernawati
(2005)
menyatakan
bahwa
koping
ini
diarahkan
untuk
mengembangkan sumberdaya yang ada untuk mengatasi masalah atau untuk
10
mengurangi tuntutan situasi yang dapat menimbulkan stres. Tujuan dari koping ini adalah menghadapi tuntutan dengan sadar, realistis, objektif serta rasional. Jenis dari koping ini antara lain koping konfrontasi, isolasi, dan kompromi. Santrock (2007) mencontohkan, bila ada mahasiswa yang memiliki masalah dengan salah satu mata kuliah, maka koping yang dilakukan adalah dengan mendatangi pusat keterampilan belajar di kampus dan mengikuti salah satu program pelatihan untuk mempelajari bagaimana cara belajar yang lebih efektif. Mahasiswa tersebut telah menghadapi masalah dan mencoba untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Koping yang berpusat pada emosi (Emotional Focused Form Coping Mechanism) adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres di mana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif (bersikap bertahan). Pada penanganan stres yang berfokus pada emosi, seorang remaja bisa saja menghindari sesuatu, merasionalisasi apa yang
telah terjadi padanya,
menyangkal bahwa hal itu tengah terjadi, atau menertawakannya (Santrock 2007). Stuart & Sundeen dalam Hernawati (2005) menyatakan bahwa koping yang berpusat pada emosi (Emotional Focused Form Coping Mechanism) mengarah pada usaha untuk mereduksi atau toleransi stres subjective (somatis, motorik, atau efektif) dari stres emosional yang muncul akibat lingkungan yang menyulitkan. Fungsi koping ini adalah untuk membuat suatu kenyamanan. Jenis dari mekanisme koping ini antara lain: penolakan, rasionalisasi, kompensasi, represi, regresi, sublimasi, identifikasi, proyeksi, konversi, mengalihkan beban, dan reaksi formasi. Santrock (2007) mengungkapkan bahwa ada saat-saat ketika strategi penanganan stres yang berfokus pada emosi menjadi strategi yang adaptif. Penyangkalan misalnya, merupakan salah satu mekanisme psikologis protektif utama yang memungkinkan remaja menghadapi perasaan yang meluap ketika ia harus menghadapi kematian atau keadaan sekarat. Pada situasi yang berbeda, strategi koping yang berfokus pada emosi bukanlah strategi yang adaptif. Remaja yang sedang mengalami masalah di sekolahnya dan memiliki prestasi yang buruk memberikan respon menyangkal, hal ini bukan merupakan tanggapan adaptif. Namun pada kebanyakan kasus, strategi koping yang berfokus pada masalah lebih baik daripada strategi koping yang berfokus pada
11
emosi dan penggunaan mekanisme pertahanan, terutama untuk menangani stres dalam jangka waktu yang panjang. Strategi penanganan stres juga dapat digolongkan menjadi mendekat (approach) dan menghindar (avoidance). Strategi mendekati (approach strategy) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres (Santrock 2007). Adanya dukungan dari orang lain, terutama keluarga dan teman secara konsisten merupakan pertahanan yang baik dalam menghadapi stres pada remaja. Selain itu pola pikir dan kepribadian remaja dapat mempengaruhi remaja dalam menghadapi stres. Satu hal yang penting dalam menangani stres yang efektif adalah bahwa remaja dapat menggunakan lebih dari satu strategi untuk membantu dalam menghadapi stres (Santrock 2007) Beberapa tanda bahaya yang umum dari ketidakmampuan penyesuaian diri remaja menurut Hurlock (1997):
Tidak memiliki tanggung jawab, dapat terlihat dalam perilakunya yang mengabaikan akademiknya, misalkan untuk bersenang-senang
Sikap yang agresif dan sangat yakin pada diri sendiri
Perasaan tidak aman, menyebabkan remaja mengikuti standar-standar dari kelompok
Merasa ingin pulang apabila berada jauh dari lingkungan yang dikenal
Perasaan menyerah
Terlalu banyak berkhayal sebagai akibat dari ketidakpuasan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari
Mundur kembali ke tingkat perilaku sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan Teman Sebaya Pada masa remaja lanjut, pola pergaulan sudah mengalami pergeseran
dari pola pergaulan yang homoseksual ke arah heteroseksual. Mahasiswa juga merasa lebih bebas untuk bergaul dengan siapa saja, hal ini seiring dengan pergeseran dari kondisi dependensi ke independensi. Masalah pergaulan dapat
12
menjadi masalah yang cukup pelik, baik mengenai percintaan, kesulitan penyesuaian diri dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa bersifat negatif (Gunarsa dan Gunarsa 2003). Kelompok teman sebaya (peer group) adalah sekelompok anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama (Santrock 2007). Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk saling berbagi informasi mengenai lingkungan di luar rumah remaja. Beberapa ahli teori menyatakan bahwa budaya teman sebaya turut memengaruhi individu untuk mengabaikan nilai-nilai dan kontrol dari orang tua. Menurut Hightower dalam Santrock (2007) hubungan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada usia pertengahan. Pemuda yang populer biasanya lebih bisa menjalin komunikasi yang baik, mampu menarik perhatian teman-temannya dan bisa tetap mempertahankan percakapan dengan teman sebayanya dibandingkan dengan pemuda yang tidak populer (Kennedy dalam Santrock 2007). Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Menurut Hurlock (1997) para remaja tidak lagi memilih teman berdasarkan kemudahannya entah di sekolah maupun di lingkungan terdekatnya. Selain itu persamaan pada kegemaran di dalam suatu kegiatan tidak lagi menjadi faktor yang penting bagi remaja. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa karena adanya perubahan nilai, maka teman masa kanak-kanak belum tentu menjadi teman dalam masa remaja. Remaja lebih menginginkan teman yang memiliki minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti, yang bisa memberikan rasa nyaman, dan dapat dipercaya. Remaja juga biasanya lebih memilih berbicara kepada teman sebaya daripada kepada orang tua untuk beberapa hal tertentu. Seperti halnya dengan munculnya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga memiliki nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota dalam kelompok sebaya seperti klik, kelompok besar atau geng. Selama masa remaja tidak ada satu sifat atau perilaku tertentu yang akan menjamin penerimaan sosial. Penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku (sindroma penerimaan) yang disenangi remaja dan dapat menambah
13
gengsi dalam kelompoknya. Beberapa unsur yang umum dari sindorma penerimaan menurut Hurlock (1997) antara lain:
Kesan pertama yang menyenangkan akibat dari penampilan yang menarik, sikap yang tenang, dan gembira.
Reputasi sebagai orang yang menyenangkan
Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman sebaya
Perilaku sosial yang ditandai dengan kerjasama, tanggung jawab, cerdas, bijaksana, sopan
Matang, terutama dalam pengendalian emosi
Sifat kepribadian yang baik
Status sosial ekonomi yang sama
Tempat
tinggal
yang
dekat
dengan
kelompok
sehingga
dapat
mempermudah hubungan dan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok Pengelompokkan sosial remaja menurut Hurlock (1997): 1. Teman dekat. Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat, atau sahabat karib yang mempunyai minat dan kemampuan setara. Biasanya saling mempengaruhi satu sama lain meskipun terkadang juga bertengkar. 2. Kelompok kecil. Kelompok ini biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat. 3. Kelompok besar. Penyesuaian minat berkurang di antara anggotaanggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar. 4. Kelompok yang terorganisasi. Kelompok yang dibina oleh orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan sosial remaja yang tidak memiliki kelompok besar. 5. Kelompok geng. Remaja yang tidak termasuk ke dalam kelompok besar atau klik dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisir. Urutan Kelahiran Urutan kelahiran mempunyai peranan penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Urutan kelahiran merupakan kedudukan urutan kelahiran anak berdasarkan jumlah kelahiran dalam keluarga. Posisi urutan kelahiran dapat memengaruhi seorang anak dalam pencarian identitas dan perhatian orang lain (Erlina dalam Wulanningrum 2009). Menurut Gunarsa & Gunarsa (2003) di
14
dalam keluarga dan hubungan antar anggota keluarga terbentuk pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi yang lebih luas lagi. Anak sulung memiliki karakteristik yang bertanggung jawab lebih daripada adik-adiknya. Oleh karena itu biasanya anak sulung berperilaku secara lebih matang karena berhubungan dengan orang dewasa dan karena tanggung jawab yang dipikulnya (Hurlock 1997). Gunarsa (2003) menyebutkan anak sulung lebih terlihat mengalami kesulitan karena orang tua terlalu khawatir melihat lingkungan luar dapat mempengaruhi anaknya. Ketika anak ini memiliki adik baru, sikap yang akan ditunjukkan bisa berbeda. Mungkin dengan menarik perhatian secara berlebihan ataupun bersikap sebagai seorang kakak yang baik, tergantung dari penyikapan orang tua dan keluarga dalam menghadapi adaptasi dalam keluarga, dalam hal ini anak-anaknya. Anak tengah mencari persahabatan dengan teman sebaya di luar rumah yang mengakibatkan penyesuaian sosial yang baik (Hurlock 1997). Anak kedua atau anak tengah lebih mudah bergaul, karena tidak hidup dengan kecemasan orang tua yang berlebihan. Dalam menghadapi lingkungan yang masih asing baginya, biasanya anak kedua juga lebih berani menghadapinya. Ketika adiknya lahir, dia juga harus belajar menyesuaikan diri terhadap keadaan yang baru ini. Bila dibandingkan dengan saudaranya yang lain, anak tengah merasa kurang diperhatikan dan bebas dari tekanan oleh adanya kakak yang baik dan adik yang manja (Gunarsa & Gunarsa 2003). Anak bungsu biasanya lebih populer, tetapi karena kurangnya keinginan untuk memikul tanggung jawab lebih, maka biasanya jarang menjadi pemimpin (Hurlock 1997). Hal yang terjadi dengan anak sulung atau anak pertama kembali dialami oleh anak bungsu. Anak bungsu juga terlihat mengalami kesulitan karena orang tua terlalu khawatir akan pengaruh lingkungan luar terhadap anaknya (Gunarsa & Gunarsa 2003).
15
Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai hubungan teman sebaya, urutan kelahiran, dan strategi koping dengan kecerdasan sosial remaja cukup banyak dilakukan, namun penelitian yang fokus kepada urutan kelahiran masih terhitung sedikit. Kecerdasan sosial yang berhubungan dengan kualitas dan jumlah teman sebaya sejalan dengan penelitian Ghozaly (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi capaian kualitas teman sebaya dan jumlah teman sebaya baik di kelas, asrama, dan di tempat lain, maka akan semakin tinggi pula keterampilan sosial. Uji regresi linear berganda juga menyatakan bahwa kualitas teman sebaya berpengaruh terhadap keterampilan sosial remaja. Noviasari (2002) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kematangan emosional remaja pada anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Anak sulung memiliki tingkat kematangan emosional lebih tinggi daripada anak bungsu dan anak tengah. Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Lailiyah (2010) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Penelitian mengenai strategi koping dan kecerdasan emosional yang dilakukan oleh Sa’adah (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan strategi koping, antara lain kecerdasan emosional yang tinggi cenderung memiliki hubungan dengan strategi emotional focused coping tinggi, sementara pada kecerdasan emosional sedang memiliki hubungan dengan problem focused coping sedang, dan kecerdasan emosional rendah cenderung memiliki hubungan dengan emotional focused coping rendah. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Moradi et al. (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara strategi koping dengan kecerdasan emosional. Penelitian mengenai mahasiswa baru juga telah banyak dilakukan, seperti yang diungkapkan oleh Kertamuda dan Herdiansyah (2009) yang menunjukkan adanya pengaruh strategi koping yang dipilih terhadap penyesuaian diri pada mahasiswa baru. Charles (2009) mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis problem-focused coping dan emotion-focused coping pada anak pertama, tengah, maupun terakhir.
16
Tabel 1 Penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian No 1
Tahun 2011
Penulis Ghozaly LF
2
2002
Noviasari D
3
2010
Lailiyah U.
4
2008
Sa’adah
5
2011
Moradi et al.
6
2009
7
2009
Kertamuda F& Herdiansyah H Charles A
Judul Pengaruh kelompok teman sebaya dan media massa terhadap keterampilan sosial atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta Perbedaan kematangan emosional remaja ditinjau dari status urutan kelahiran dalam keluarga
Studi perbedaan motivasi berprestasi antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu pada siswa MTs. AlMu’awanah, CandiSidoarjo Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi koping stress dalam menghadapi kesulitan belajar pada siswa MAN Malang I The relationship between coping strategies and emotional intelligence Pengaruh Strategi Koping terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru Perbedaan Jenis Coping Stress Pada Remaja Awal yang Mengalami Konflik Interpersonal dengan Orang tua Berdasarkan Urutan Kelahiran
Hasil Terdapat hubungan yang positif antara usia ibu, jumlah teman sebaya di sekolah, kualitas hubungan pertemanan dengan teman sebaya, dan pemanfaatan media massa dengan keterampilan sosial Terdapat perbedaan yang signifikan pada kematangan emosional remaja pada anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Anak sulung memiliki tingkat kematangan emosional lebih tinggi daripada anak bungsu dan anak tengah Terdapat perbedaan motivasi berprestasi antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu.
Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan strategi koping
Terdapat hubungan antara strategi koping dan kecerdasan emosional Terdapat pengaruh strategi koping yang dipilih terhadap penyesuaian diri pada mahasiswa baru. Tidak terdapat perbedaan jenis problem-focused coping dan emotion-focused coping pada anak pertama, tengah, maupun terakhir.
KERANGKA PEMIKIRAN Kecerdasan intelektual tidak sepenuhnya memberikan kontribusi pada kesuksesan seseorang. Salah satu kunci kesuksesan selain kecerdasan intelektual adalah kecerdasan sosial. Salah satu tujuan dibentuknya asrama adalah membentuk mahasiswa yang peka dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang majemuk. Namun sumber permasalahan bagi mahasiswa TPBIPB salah satunya adalah kesulitan beradaptasi dengan lingkungan terutama lingkungan mikronya seperti teman sebaya. Padahal lingkungan pertemanan merupakan sarana untuk mengemukakan pendapat, pengakuan kelemahan, dan mendapatkan bantuan dari masalah sehingga dapat mengasah keterampilan sosial seseorang. Adanya
permasalahan
interaksi
dengan
lingkungan
sekitarnya,
mengharuskan mahasiswi melakukan strategi koping. Strategi koping adalah cara yang dilakukan seseorang untuk mengubah situasi atau menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Mahasiswi yang melakukan koping efektif dapat beradaptasi dengan baik dan bisa diterima oleh lingkungan sosialnya. Urutan
kelahiran
dalam
keluarga
mempunyai
peranan
penting
dalam
perkembangan anak selanjutnya. Lingkungan sosial masing-masing anak tidak akan identik meskipun memiliki orang tua yang sama dan tumbuh dalam keluarga yang memiliki aturan hampir sama. Urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Posisi urutan kelahiran juga dapat memengaruhi kepribadian dan pola perilaku seseorang, serta memengaruhi individu tentang peran yang harus dilakukannya, khususnya peran dalam lingkungan sosialnya. Kualitas hubungan pertemanan, urutan kelahiran dan strategi koping yang dilakukan diduga berhubungan dengan kecerdasan sosial pada mahasiswi. Kecerdasan sosial berkaitan dengan interaksi individu kepada orang lain, berkenaan dengan sosialisasi atau keterampilan interpersonal. Unsur-unsur kecerdasan sosial dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yakni kesadaran sosial (apa yang seseorang rasakan tentang orang lain) dan fasilitas sosial (apa yang selanjutnya dilakukan dengan kesadaran tersebut). Sehingga diduga interaksi teman sebaya, strategi koping, dan urutan kelahiran berhubungan dengan kecerdasan sosial mahasiswi. Hubungan tersebut disajikan pada Gambar 1.
18
Karakteristik keluarga responden : Besar keluarga Usia orang tua Pendidikan orang tua Pendapatan orang tua Pekerjaan orang tua
Karakteristik responden : Urutan kelahiran anak Usia Asal daerah
Teman sebaya : Karakteristik Jumlah teman sebaya Usia teman sebaya Pola hubungan : Frekuensi pertemuan Lama pertemanan Kualitas pertemanan
Strategi Koping Emotional focused coping Problem focused coping
Kecerdasan Sosial Mahasiswa
Kesadaran sosial Fasilitas sosial
Gambar 1 Kerangka Pemikiran