16
TINJAUAN PUSTAKA Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) diduga berasal dari daerah Afrika tropik, kemudian menyebar ke wilayah Georgia (Kaukasus), Kuba, Asia dan Australia Tropik. Penyebarannya di Indonesia, yaitu di Jawa sejak 1928, India, Malaysia, Vietnam dan Thailand (de Padua et al. 1999).
Gambar 1 Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Menurut Dalimartha (2000) kumis kucing tersebar di Sumatera dengan nama daerah kumis kucing (bahasa Melayu), di Jawa dengan nama daerah kumis kucing (bahasa Sunda) atau remujung (bahasa Jawa) dan soengoet koceng (bahasa Madura). Sentra produksi kumis kucing yaitu Jawa Tengah (Ambarawa, Kopeng dan Blora), Jawa Barat (Sukabumi dan Bogor), Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan Sulawesi Utara (Mahendra dan Fauzi 2005). Berdasarkan ilmu taksonomi (Mahendra dan Fauzi 2005) tata nama kumis kucing adalah sebagai berikut. Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Sympetalae
17
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Labitae (Laminaceae)
Genus
: Orthosiphon
Spesies
: Orthosiphon stamineus Benth
Tanaman kumis kucing berakar tunggang, termasuk tanaman tahunan, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 100-150 cm. Batang berbentuk persegi empat agak beralur, bercabang-cabang, berambut pendek atau gundul, berwarna hijau atau keunguan dan berdiameter sekitar 1.5 cm. Daun berbentuk bulat telur, lonjong, lanset atau belah ketupat dengan permukaan berbintik-bintik dan licin karena adanya kelenjar dalam jumlah banyak dan berwarna hijau keunguan. Panjang daun sekitar 10 cm dan lebar 3-5 cm (Mahendra dan Fauzi 2000). Bunga majemuk dalam tandan yang keluar di ujung percabangan, berwarna ungu pucat atau putih, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berupa buah kotak, bulat telur, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwarna coklat. Biji kecil, masih muda berwarna hijau, setelah tua berwana hitam Kumis kucing biasa tumbuh liar di sepanjang anak sungai dan selokan atau ditanam di pekarangan sebagai tumbuhan obat. Tumbuhan ini dapat ditemukan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 700 m diatas permukaan laut (Dalimartha 2000). Menurut Mahendra dan Fauzi (2005) serta Dalimartha (2000), kumis kucing mengandung banyak komponen bioaktif seperti orthosiphon glikosida, tanin, minyak atsiri, minyak lemak, saponin, sapofonin, garam kalium (0.6-3.5%) , myoinositol dan sinensetin. Berdasarkan hasil penelitian Olah et al. (2003), kumis kucing mengandung polifenol yaitu polymethoxylated flavonoid dan turunan caffeic acid. Identifikasi lebih lanjut menunjukkan adanya kandungan caffeic acid, cichoric acid, rosmarinic acid, sinensetin dan eupatorine. Loon et al. (2005) melakukan penentuan tiga jenis flavonoid dari kumis kucing di dalam plasma mencit dengan metode HPLC dan deteksi dengan sinar ultraviolet. Ketiga jenis flavonoid tersebut adalah sinensetin, eupatorin dan 3’-hydroxy5,6,7,4’tetramethoxyflavone.
Kumis kucing rasanya manis sedikit pahit dan
sifatnya sejuk. Penelitian yang dilakukan terhadap efek yang ditimbulkan setelah seorang responden yang sehat meminum teh kumis kucing adalah dapat mencegah
18
asam urat dan terbentuknya batu yang mengandung asam urat dalam kandung kemih.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya alkalinitas urin (Nirdnoy dan
Muangman 1991).
Hasil penelitian Isparyanto (1999)
menunjukkan bahwa
pemberian infus daun kumis kucing berdosis 12.85 g/kg bobot badan selama 7 hari dapat menurunkan asam urat darah tikus dengan efek yang sama dengan pemberian obat kimia Alopurinol 42.85 mg/kg bobot badan. Efek diuretik dari ekstrak air kumis kucing pada mencit menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran urin (Casadebaig-Lafon et al. 1989; Beaux et al. 1999) .
Kandungan Natrium dalam urin mencit juga meningkat dengan
pemberian ekstrak air kumis kucing (Beaux et al. 1999). Berdasarkan penelitian Sari (1985) efek maksimal terhadap sifat diuretikum dari rata-rata 1 ml infus dengan kandungan 5%, 10% dan 20% daun kumis kucing berturut-turut adalah 275.22%, 376.64% dan 646.12%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kumis kucing mengandung Kalium yang berfungsi sebagai pelarut batu ginjal dan batu saluran kemih. Dibandingkan dengan batangnya potensi diuretikum daun kumis kucing lebih baik. Volume urin rata-rata kelinci yang diberi infus daun kumis kucing sebesar 27.0 ml sedangkan volume urin rata-rata kelinci yang diberi infus batang sebesar 22.4 ml (Garnadi 1998). Daun kumis kucing juga dapat berfungsi sebagai anti bakteri.
Hasil
penelitian Sofiani (2003) menunjukkan adanya sifat anti bakteri dari ektrak daun kumis kucing terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Eschericia coli dengan daya penghambatan yang berbeda. Sinensetin yang terkandung di dalam daun kumis kucing juga menghambat relatif besar
terhadap Staphylococcus
epidermidis. Tanaman ini yang biasa digunakan adalah daun atau seluruh bagian tanamannya, baik segar maupun sudah dikeringkan (Anonim 2005). Bunga Knop (Gomphrena globosa L.) Bunga knop (Gomphrena globosa L.) berasal dari Amerika (Dalimartha 2000 ; Anonim 2005) dan Asia (Anonim 2005).
Tanaman ini tumbuh liar di
ladang yang cukup mendapat sinar matahari dan dapat ditemukan pada ketinggian 1- 1.300 m di atas permukaan laut (Dalimartha 2000).
19
Gambar 2 Tanaman bunga knop (Gomphrena globosa L.) Di Indonesia, bunga knop tersebar di Sumatera dengan nama daerah bunga knop, kembang puter dan ratnapakaja. Nama daerahnya di Jawa adalah adasadasan, kembang gundul dan bunga kancing
Selain itu dikenal pula di Bali
dengan nama daerah ratna serta di Gorontalo dengan nama daerah taimantulu (Dalimartha 2000). Berdasarkan ilmu taksonomi (Anonim 2000), tata nama bunga knop adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Caryophyllales
Suku
: Amaranthaceae
Marga
: Gomphrena
Jenis
: Gomphrena globosa L.
Tanaman ini berupa perdu dengan batang hijau kemerahan, berambut dan bercabang-cabang serta tinggi mencapai 60 cm (Anonim 2005). Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang. Helaian daun bentuknya bulat
20
telur sungsang sampai memanjang, ujung meruncing, tepi rata, berwarna hijau, berambut kasar berwarna putih di permukaan atas dan berambut halus di permukaan bawah.
(Dalimartha 2000).
Bunga bentuk bonggol seperti bola,
berwarna merah tua keunguan, putih (Anonim 2005) atau merah muda (Dalimartha 2000). Bijinya banyak dengan ukuran kecil-kecil panjang (Anonim 2005), sedang buahnya buah kotak berbentuk segi tiga terbungkus oleh lapisan tipis berwarna putih, berbiji satu (Dalimartha 2000). Menurut Mahendra dan Fauzi (2005) serta Dalimartha (2000), bunga knop mengandung gomphrenin I, II, III, V dan VI, amaranthin, minyak atsiri, saponin dan flavon.
Menurut Cai et al (2001), bunga knop banyak mengandung
komponen pigmen alami yaitu dari kelompok betasianin sebesar 1.3 mg/g sampel segar.
Betasianin ini terdiri dari komponen gomphrenin I (betanidin 6-0-â-
glukosida) sebesar 16.9%,
isogomphrenin I (isobetanidin 6-0-â-glukosida)
sebesar 8.8%, gomphrenin II (betanidin 6-0-(6’ -0-E-4-coumarooyl)-â-glukosida) sebesar 11.1%, isogomphrenin II (isobetanidin 6-0-(6’ -0-E-4-coumarooyl)-âglukosida) sebesar 3.5%, gomphrenin III (betanidin 6-0-(6’ -0-E-4-feruroyl)-âglukosida) sebesar 40.8% dan isogomphrenin III (isobetanidin 6-0-(6’ -0-E-4feruroyl)-â-glukosida).
Menurut Cai et al (2001), betasianin merah yang terdiri
dari betanin dan amaranthin bersifat tahan terhadap panas dalam sistem buffer, tetapi bersifat tidak stabil pada suhu di atas 40oC dan bersifat lebih stabil pada suhu 40oC tanpa adanya udara dan sinar. Penelitian yang dilakukan terhadap Amaranthus spinosus L., yaitu tanaman yang biasa digunakan sebagai obat di Afrika menunjukkan adanya kandungan betalain utama yang diidentifikasi sebagai amaranthin dan isoamaranthin. Selain itu tanaman ini juga mengandung hidroksisinamat, quersetin dan kaempferol glikosida yang semuanya merupakan senyawa fenolik (Stintzing et al. 2004). Warna bunga dan buah tanaman dari famili Caryophyllales berasal dari betalain yang berwarna merah-ungu untuk betasianin dan kuning untuk betaxanthin, keduanya menggantikan anthosianin. Betalain biasa digunakan sebagai pewarna makanan dan mempunyai sifat antioksidan yang dapat mencegah stress oksidatif (Strack et al. 2003).
Pengujian terhadap kandungan polifenol Amaranthus sp.
menunjukkan bahwa penambahan ekstrak Amaranthus sp. dengan konsentrasi
21
polifenol sampai dengan 0.2 µg/ml dapat meningkatkan perlindungan terhadap stress oksidatif oleh H2O2 yang menginduksi kerusakan DNA dari limfosit (Kapiszewska et al. 2005). Aurone I (E) -3’ –O - ß- D- glucopyranosy l-4,5, 6,4’ - tetrahydroxy -7,2’ dimethoxyaurone dan dua senyawa lain yaitu aurantiamide acetate dan tiliroside diisolasi dari ekstrak etanol Gomphrena agretis.
Evaluasi terhadap aktivitas
biologis ekstrak etanol Gomphrena agretis dan ketiga senyawa di atas menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa (Ferreira et al. 2004).
Ekstrak petroleum eter dari Gomphrena martiana dan Gompohrena
boliviana yang kemudian difraksinasi menghasilkan lima jenis 5,6,7-trisubstituted flavon.
Pengujian secara terpisah terhadap hasil fraksinasi ini menunjukkan
aktivitas antimikrobial yang tinggi terhadap M. Phlei dengan minimum inhibitory concentration (MIC) 15, 20 dan 75 µ/ml, mendekati hasil yang didapat dengan bakterisida komersial (Pomilio et al. 1992). Kultur sel dari sel endotel tali pusat manusia (HUVEC) yang diberi ekstrak Amaranthus sp. menunjukkan tidak dihasilkannya IL-1 sebagai proinflamatory sitokin yang menginduksi aktivasi AP-1. Mekanisme aktivitas penghambatan ini belum jelas, tetapi kemungkinan kandungan polifenol dari tanaman merupakan salah satu mediatornya (Stalinska et al. 2005). Bunga knop rasanya manis, sifatnya netral dan biasa digunakan sebagai obat batuk, obat sesak, obat astma, obat bronkhitis kronis, peluruh dahak, panas pada anak, disentri dan penambah nafsu makan. Tanaman ini yang biasa digunakan adalah bunga atau seluruh bagian tanamannya
baik segar maupun sudah
dikeringkan (Anonim 2005). Pengeringan Pengeringan bahan-bahan pertanian seperti sayuran dan buah-buahan adalah suatu cara untuk mengawetkan bahan-bahan pertanian (Imre 1995).
Produk
pertanian yang sudah dikeringkan berkurang kadar air dan kelembabannya, sehingga tidak memberi kesempatan pada mikroorganisme seperti bakteri dan
22
kapang untuk hidup (Sokhansanj dan Jayas 1999; Jayaraman dan Das Gupta 1995). Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pengeringan adalah bentuk dari bahan mentah dan sifatsifatnya, karakteristik dan bentuk fisik yang diinginkan untuk produk akhirnya dan biaya operasional. Tiga cara yang biasa digunakan untuk mengeringkan buah-buahan dan sayur-sayuran adalah pengeringan dengan sinar matahari, pengeringan atmosfirik baik secara batch (tower atau cabinet dryers) atau kontinyu (tunnel, belt, Spray atau pemanasan dengan microwave) serta dehidrasi subatmosfir (vacuum shelf belt dan freeze dryer). Perubahan warna, aroma dan penampakan terjadi pada produk yang dikeringkan. Pengeringan dapat pula meningkatkan kualitas dan nilai nutrisi suatu produk pangan dan pakan, seperti rasa yang lebih enak dan daya cerna serta perubahan metabolik yang meningkat (Sokhansanj dan Jayas 1995).
Selama
pengeringan terjadi degradasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun seperti klorofil yang memberi warna hijau pada daun.
Degradasi klorofil
tergantung pada ph, waktu, kerja enzim, oksigen dan cahaya (Jayaraman dan Das Gupta 1995). Pengeringan dengan sinar matahari adalah suatu metode pengeringan tradisional yang telah berabad-abad dilakukan. Pengeringan ini dilakukan pada waktu matahari bersinar dengan suhu produk sewaktu dikeringkan berkisar antara 5-15oC di atas suhu ambient (Sokhansanj dan Jayas 1999).
Masalah yang
mungkin timbul pada pengeringan dengan sinar matahari antara lain adalah terjadinya hujan atau mendung, kontaminasi oleh debu, serangga, burung dan binatang lainnya, kurangnya pengawasan sehinga terjadi pengeringan melewati batas dan kemungkinan terjadi pembusukan baik secara kimiawi, enzimatis atau mikrobiologis karena waktu pengeringan yang lama (Jayaraman dan Das Gupta 1995).
Selain itu dapat terjadi penurunan mutu selama penyimpanan karena
terjadi ketidakseragaman pengeringan (Imre 1995). Menurut Mahendra dan Fauzi (2005) pengeringan daun kumis kucing dengan sinar matahari dilakukan selama 2-3 hari (bila matahari bersinar penuh) dan dapat pula dilakukan dengan menggunakan oven yang dapat diatur suhunya sebesar 60oC selama 3 – 6 jam.
23
Senyawa Fenolik Senyawa fenolik dalam bahan pangan meliputi asam-asam fenolik, polimer fenolik yang dikenal sebagai tanin dan flavonoid. Asam-asam fenolik terdiri dari kelompok asam hidroksibenzoat dan asam hidroksisinamat. Senyawa polimer fenolik adalah senyawa dengan berat molekul tinggi seperti tanin.
Flavonoid
adalah kelompok fenolik terbanyak yang terkandung dalam tanaman dan biasanya ditemukan dalam bentuk glikosida. Fenol adalah antioksidan terbanyak dalam tumbuhan yang berperan sebagai antioksidan pemutus rantai. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus –OH yang menghalangi senyawa radikal yang reaktif seperti radikal peroksil (RO2’) -OH + RO2’
R-O’ + ROOH
Hasil reaksi di atas menghasilkan radikal fenoksil yaitu R-O’ yang cenderung mempunyai sifat kurang reaktif karena terjadi delokalisasi elektron ke cincin aromatik. Hal ini menyebabkan radikal reaktif RO2’ berkurang kereaktifannya. Fenol kadangkala mempunyai mekanisme reaksi antioksidan tambahan seperti reaksi mengkelat ion logam transisi (Halliwell 2002). Penelitian yang dilakukan Cai et al. (2004) terhadap 112 tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan kanker secara tradisional di Cina menunjukkan adanya hubungan yang positif dan berbanding lurus antara aktivitas antioksidan dengan kandungan total fenolik dalam tanaman-tanaman tersebut. Nilai TEAC tanaman-tanaman tersebut berkisar antara 46.7 sampai 17,323 µM dan GAE sebesar 0.22 sampai 50.3 g GAE/100g berat kering. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa- senyawa fenolik merupakan senyawa antioksidan yang dominan dalam tanaman-tanaman tersebut. Senyawasenyawa fenolik utama yang terkandung di dalam tanaman-tanaman tersebut yang telah diidentifikasi dan dianalisa adalah asam-asam fenolik, flavonoid, tanin, coumarin, lignan, quinon, stilbene dan curcuminoid. Tanaman-tanaman tersebut dengan demikian kemungkinan merupakan sumber potensial antioksidan alami dan kemopreventif untuk mencegah kanker. Penelitian yang dilakukan terhadap aktivitas antioksidan pigmen betalain dari
beberapa
tanaman
yang
termasuk
famili
Amaranthaceae
dengan
menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryhydrazyl) yang dimodifikasi menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang tinggi untuk semua tanaman yang
24
diteliti. Betasianin tipe gomphrenin (rata-rata = 3.7 µM) dan betaxanthin (ratarata = 4.2 µM) menunjukkan aktivitas antioksidan tertinggi, 3-4 kali lebih tinggi dari asam askorbat (13.9 µM) dan lebih tinggi dari rutin (6.1 ì M) dan catechin (7.2 µM).
Penelitian ini juga mempelajari hubungan antara struktur kimia
dengan aktivitas antioksidan betalain.
Aktivitas antioksidan dari betalain
biasanya meningkat dengan meningkatnya jumlah gugus hidroksil/imino dan juga tergantung dari posisi gugus hidroksil dan glikosilasi dari aglikon dalam molekulnya (Cai et al. 2003). Aktivitas radical scavenging beberapa senyawa terhadap DPPH memberikan hasil sebagai berikut aktivitas asam kafeat > asam sinapat > asam ferulat > ester asam ferulat > asam p-kumarat (Kwon et al. 2003). Aktivitas antioksidan biasanya meningkat dengan adanya peningkatan jumlah gugus hidroksil dan menurun dengan adanya glikosilasi (Fukumoto dan Mazza 2000). Penelitian yang dilakukan dengan membandingkan tiga metode yaitu metode DPPH, static headspace gas chromatography (HS-GC) dan beta-carotene bleaching test (BCBT)
untuk menentukan aktivitas antioksidan menunjukkan
bahwa metode DPPH paling cocok digunakan uintuk menentukan aktivitas antioksidan karena dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan tidak tergantung pada kepolaran sampel (Koleva et al. 2002). Flavonoid bukan hanya dapat dianggap sebagai antioksidan, karena pada kondisi reaksi tertentu dapat pula menunjukkan aktivitas prooksidan. Sifat yang tidak diinginkan ini dapat dijadikan penjelasan terhadap toksisitas dari beberapa flavonoid secara in-vivo (Kessler et al. 2003). Penelitian Kang et al. (2003) terhadap ekstrak heksan, etilasetat, n-butanol dan air dari 10 herbal yang biasa digunakan sebagai obat di Korea menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak dengan pelarut yang bersifat lebih polar (n-butanol dan air) relatif lebih tinggi dari aktivitas antioksidan ekstrak dengan pelarut bersifat non-polar (heksan dan etil asetat). Penggunaan asam tanat sebagai standar untuk memenentukan total fenol menggunakan metode Folin-Ciocalteau berdasarkan reaksi reduksi asam fosfomolibdat oleh fenol dalam larutan alkali. Metode ini menentukan total gugus fenolik bebas dengan demikian juga menentukan total fenolik terlarut. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat membedakan antara tanin dan fenolik
25
lain yang bukan tanin. Senyawa seperti asam askorbat, tirosin dan mungkin juga glukosa ikut terukur (Waterman dan Mole 1994). Keamanan Pangan Keamanan
pangan adalah suatu kebijakan yang menentukan keamanan
suatu bahan pangan untuk dapat dikonsumsi. Suatu bahan pangan diminimalkan resikonya yang dapat menyebabkan sesuatu yang mambahayakan bagi kesehatan, karena tidak ada bahan pangan yang 100% bebas dari kontaminan (Finley dan Robinson 1992). Untuk mengevaluasi resiko atau keamanan dari suatu bahan pangan atau bahan yang digunakan sebagai komposisi dalam bahan pangan yang baru, maka perlu dilakukan penentuan tipe bahaya potensial yang dapat ditimbulkan oleh bahan tersebut.
Sebagai contoh, untuk suatu bahan yang merupakan komposisi
dalam suatu bahan pangan harus ditentukan bahaya potensial baik yang bersifat kimiawi maupun biologis yang berhubungan dengan bahan tersebut. Bila ada bahaya yang dikandung suatu bahan, perlu ditentukan konsentrasi dimana bahan tersebut dapat bersifat toksik.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah
pengaruh bahan tersebut terhadap nilai nutrisi bahan pangan dan pengaruhnya terhadap penyerapan nutrien-nutrien lainnya (Finley dan Robinson 1992). Bahan pangan yang aman tidak dapat mengesampingkan adanya toksikan alami baik yang terkandung secara alami dalam bahan maupun yang diinduksi karena adanya bahan-bahan lainnya.
Makrokomponen di dalam suatu bahan
pangan terutama lemak dan protein serta komponen-komponen anti kanker dan penghambat kanker yang banyak terdapat dalam bahan pangan tampaknya berinteraksi dengan komponen-komponen bahan pangan lainnya yang dapat memodulasi resiko kanker. Komponen-komponen yang secara alami terkandung dalam bahan pangan pada konsentrasi tertentu mempunyai aktivitas anti kanker, tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi menjadi bersifat toksik dan seringkali batas antara konsentrasi yang menguntungkan dan yang toksik sangat kecil (Shank dan Carson 1992). Penentuan dosis merupakan suatu hal yang kritis untuk menguji senyawasenyawa yang bersifat immunomodulator. Dosis tinggi yang dapat menyebabkan
26
toksisitas atau menurunnya berat badan harus dicegah, sebaliknya dosis terlalu rendah yang menyebabkan stress dan malnutrisi sehingga memodulasi fungsi imun tertentu juga harus dicegah (Dean et al. 1989). Penelitian untuk mengetahui efek immunomodulator suatu komponen dapat dilakukan dengan menggunakan limfosit darah tepi manusia. Limfosit ini diisolasi kemudian diinkubasikan secara in vitro dalam kultur yang telah banyak digunakan untuk menguji fungsi immun.
Komponen yang akan diuji efek
immunomodulatornya kemudian ditambahkan ke dalam kultur ini (Dean et al. 1989).
Hasil penelitian Duthil et al. (2003) menunjukkan bahwa beberapa
polifenol dapat bersifat toksik dan mutagenik di dalam suatu sistem kultur sel tertentu. Limfosit dan Proliferasi Sel Limfosit Sistem yang berfungsi melindungi tubuh manusia dari unsur-unsur patogen disebut sistem imun. Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam merespon antigen endogenus dan eksogenus. Salah satu jenis sel yang berfungsi dalam merespon antigen adalah sel darah putih (Baratawidjaja 2000).
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah
satu bagian dalam sistem imun yang ukurannya lebih besar dari eritrosit dan bebas bergerak (Roitt 1991). Menurut Baratawidjaja (2000) leukosit terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk di dalam sumsum tulang. Granulosit terdiri dari sel limfosit dan monosit sedang agranulosit terdiri dari basofil, neutrofil dan eusinofil (Roitt 1991). Limfosit adalah kunci pengatur sistem imun dan merupakan 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa. Sel limfosit dibentuk dalam kelenjar timus dan sumsum tulang, merupakan sel nongranulosit berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7 – 15 µm. Sel limfosit selain dalam darah terdapat pula paada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan
timus
(Baratawidjaja 2000). Sel limfosit terdiri atas sel T dan sel B. Sel T yang dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi berproliferasi dan berdiferensiasi di dalam kelenjar timus berperan dalam sistem imun spesifik seluler untuk pertahanan terhadap bakteri
27
yang hidup intraseluler, virus, jamur parasit dan kanker (Baratawidjaja 2000). Sel T merupakan 65-80% dari jumlah sel limfosit yang ada di dalam sirkulasi darah (Kresno 1991). Sel T terdiri dari tiga populasi utama yaitu sel Thelper (Th), sel Tsupressor (Ts) dan Tcytotoxic (Tc). Masing-masing populasi sel T mengekspresikan pertanda permukaan atau Cluster Determinant (CD) berupa molekul glikoprotein yang berbeda-beda. Subset Th ditandai oleh glikoprotein CD4, sel Tc oleh glikoprotein CD8, sedangkan semua subset sel T ditandai oleh molekul CD3. Sel Th membantu sel B dalam memproduksi antibodi, sel Ts menekan pembentukan antibodi dan sel Tc berfungsi menghancurkan sasaran (Roitt 1991). Sel T berproliferasi menjadi sel T memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin ini dapat mengaktivasi sel B, sel Tc, sel NK (Natural Killer) dan sel lain yang terlibat dalam respon imun (Roitt 1991). Sel B yang berasal dari sel asal multipoten berperan dalam sistem imun spesifik humoral. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tesebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menghasilkan antibodi.
Antibodi inilah yang mempunyai fungsi utama
melawan infeksi
ektraseluler virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya (Baratawidjaja 2000). Sel B merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno 1991). Proliferasi sel limfosit dapat distimulasi oleh bahan-bahan alamiah yang disebut mitogen. Glikoprotein (lectin) asal tanaman yaitu concanavalin A (Con A) dan phytohemaglutinin (PHA) merupakan mitogen poten untuk sel T dan berguna untuk identifikasi dan mempelajari fungsi sel tersebut. Lipopolisakarida (LPS) yang diperoleh dari dinding sel bakteri gram-negatif mempunyai efek mitogen terhadap sel B sedangkan pokeweed merupakan mitogen baik untuk sel B maupun sel T (Baratawidjaja 2000). Macam-macam mitogen yang biasa digunakan untuk menentukan fungsi limfosit manusia dapat dilihat pada Tabel 1. Sebanyak 50-60% limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen misalnya Phytohemaglutinin (PHA) dan concanavalin A (Con A). Respon terhadap mitogen dianggap menyerupai respon terhadap antigen, sehingga uji
transformasi limfosit
dengan
rangsangan
mitogen
banyak
dipakai
28
untuk menguji fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen menimbulkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme Tabel 1. Mitogen-mitogen ”nonspecific” yang mengaktivasi sel limfosit manusia Mitogen
Singkatan
Phytohemaglutinin Concanavalin A
PHA
Sumber biologis Phaseolus vulgaris
Con A
Canavalia ensiformis
Antilympcyte globulin
ALG
Heterologous antisera
Staphylococcus protein A
SpA
S aureus
PWM
Phytolacca americana
Pokeweed mitogen Stites (1991)
Spesifisitas relatif sel T sel T (subset yang berbeda dengan PHA) sel T dan sel B sel B sel T-independent sel B sel T-independent
lemak dan lain-lain. Secara morfologik perubahan tersebut tampak menyerupai sel blast yaitu sel bersitoplasma biru dengan zone perinuklear yang terang, berinti besar dan beranak inti. Sel ini pada umumnya dapat dibedakan dengan limfosit yang tidak terangsang, namun kadang-kadang sulit membedakan sel yang terangsang dengan limfosit besar, sehingga penilaian morfologik kadang-kadang meragukan.
Puncak respon limfosit normal terjadi pada hari ketiga setelah
rangsangan. Limfosit B juga dapat memberi respon terhadap rangsangan mitogen, tetapi puncak respon limfosit B biasanya terjadi lebih lambat yaitu pada hari kelima atau keenam
(Kresno 1991).
Fungsi sel imun ditentukan oleh
keseimbangan oksidan-antioksidan terutama untuk memelihara integritas dan fungsi lipida
membran, protein selular dan asam-asam nukleat serta untuk
pengaturan signal transduksi dan ekspresi gen di dalam sel-sel imun (Wu dan Meydani 1998). Tejasari (2000) melakukan pengujian efek komponen oleoresin jahe terhadap respon proliferatif limfosit (sel B dan T). Pada kondisi tanpa stress oksidatif penambahan senyawa oleoresin dengan konsentrasi 50 µg/ml meningkatkan proliferasi sel B tertingi sebesar 456%, sedangkan penambahan senyawa gingerol dengan konsentrasi 150 µg/ml secara nyata meningkatkan proliferasi sel T sebesar 39%.
29
Pengaruh aktivitas ekstrak tanaman cincau hijau terhadap proliferasi sel limfosit manusia menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit yang ditunjukkan oleh nilai indeks stimulasi.
Penambahan ekstrak air akar heksan daun kultur
dengan konsentrasi 0.13655 mg/ml memberikan nilai indeks stimulasi sebesar 1.03, sedangkan penambahan ekstrak heksan akar dengan konsentrasi 0.08683 mg/ml dan sebesar 0.34732 mg/ml memberikan indeks stimulasi berturut-turut sebesar 1.31 dan 1.06 (Pandoyo 2000). Immunomodulator Immunonodulator adalah senyawa-senyawa yang secara langsung merubah fungsi imun spesifik atau memberikan efek baik positif maupun negatif terhadap aktivitas sistem imun (Jaffe dan Sherwin 1991). Menurut Baratawidjaja (2000) Immunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui immunostimulasi dan immunosupresi.
immunorestorasi,
Immunorestorasi dan immunostimulasi
disebut immunopotensiasi atau up regulation, sedangkan immunosupresi disebut juga down regulation. Penggunaan immunomodulator yang memberikan efek positif (stimulasi) terhadap aktivitas sistem imun diantaranya adalah untuk mengobati defisiensi imun seperti pada pengobatan penderita AIDS, sedangkan yang memberikan efek negatif (menekan) terhadap fungsi imun yang normal atau berlebihan seperti pada pengobatan penyakit autoimun (Jaffe dan Sherwin 1991). Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
suatu
komponen
bersifat
immunomodulator antara lain adalah dosis, cara dan waktu pemberian. Bentuk dan lokasi terjadinya mekanisme immunomodulasi juga berperan terhadap sifat immunomodulator suatu komponen (Tzianabos 2000). Pengujian ekstrak air dari Amaranthus sp. terhadap sel splenosit dari mencit BALB/c menunjukkan kemampuan ekstrak ini untuk menstimulasi proliferasi sel splenosit. Sel B yang diisolasi dapat distimulasi juga oleh ekstrak ini. Pemurnian ekstrak air dari Amaranthus sp menghasilkan protein (GF1) dengan berat molekul 313kDa. GF1 mempunyai aktivitas immunomodulator 309 kali ekstrak air yang belum dimurnikan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air
Amaranthus sp. mempunyai aktivitas immunomodulator dengan secara langsung
30
menstimulasi aktivitas proliferasi sel B dan proliferasi subset sel T secara in vitro (Lin et al. 2005).
Penelitian terhadap aktivitas immunomodulator dari suatu
polisakarida tertentu menunjukkan adanya pengaruh terhadap respon imun selama proses penyembuhan penyakit infeksi. Polimer-polimer ini dapat mempengaruhi imunitas spesifik dan non spesifik melalui interaksinya dengan sel T, monosit, makrofag dan limfosit polimorfonuklear (Tzianabos 2000). Penelitian mengenai aktivitas immunomodulator dari ekstrak akar Echinacea spp. menunjukkan bahwa ekstrak Echinacea spp. dapat menstimulasi proliferasi sel mononuklear darah tepi manusia, tetapi aktivitas immunomodulator ini dapat berubah bila sebelumnya Echinacea spp. ini disimpan pada 40C selama 4 hari. (Senchina et al. 2005). Kultur Sel Kultur sel adalah suatu teknik untuk memelihara atau mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Tujuan dari pemeliharaan sel atau jaringan ini adalah untuk mempelajari sifat-sifat sel di luar tubuh. Kultur sel mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat dikontrolnya lingkungan tempat hidup sel, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 yang menjadikan kondisi fiologis kultur relatif konstan. Selain itu kultur sel juga mempunyai kelemahan, seperti hilanganya spesifisitas sel, karena sel di luar tubuh bekerja sendiri-sendiri sedang di dalam tubuh (in vivo) bekerja secara terintegrasi di dalam satu jaringan (Freshney, 1995). Kondisi kultur harus disesuaikan dengan kondisi
di dalam tubuh untuk
menunjang pertumbuhan sel yang optimal. Kultur sebaiknya berada pada pH sekitar 7.4 dan tidak di bawah 7.0, karena pH di bawah 6.8 akan menghambat pertumbuhan sel. Sistem buffer dalam kultur biasanya menggunakan sistem CO2bikarbonat yang analog dengan sistem dalam darah. Sistem ini masih berada di bawah kondisi optimum fisiologis sehingga masih diperlukan tambahan CO2 5% pada bagian headspace kultur untuk menjaga stabilitas pH. Stabilitas pH juga dapat dijaga dengan menggunakan buffer yang bersifat zwitterion seperti buffer bikarbonat dan HEPES (N-2-hidroksimetil-piperazin-N-2-etan-sulphonic acid) (Freshney 1995).
31
Medium standar yang biasa digunakan untuk kultur sel adalah Dulbecco’s modified Eagle’s (DME) dan RPMI 1640. Medium ini diperkaya dengan 10% Fetal Bovine Serum (FBS). FBS digunakan karena mengandung molekul IgG dengan konsentrasi yang sangat rendah. Suplemen pertumbuhan lainnya tidak diperlukan kecuali bila jumlah sel yang tumbuh sangat rendah (kira-kira di bawah 103 sel/ml).
Antibiotik yang biasa ditambahkan ke dalam medium adalah
penisilin dan streptomisin. Penisilin efektif untuk membunuh bakteri gram positif sedang streptomisin efektif membunuh bakteri gram negatif (Harlow dan Lane 1988).