5
TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Hurlock
(1999)
mengelompokkan
anak
usia
sekolah
berdasarkan
perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Usia sekolah merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya. Lee (1993) menyatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia sekolah relatif stabil jika dibandingkan dengan periode pra sekolah dan remaja. Pertumbuhan anak lambat dan stabil, tetapi asupan gizi yang cukup tetap dibutuhkan
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidupnya,
diantaranya:
mencukupi
kebutuhan energi untuk aktivitas, menjaga tubuh agar tetap tahan dari penyakit, menyediakan kebutuhan untuk pertumbuhan, menyediakan penyimpanan zat gizi yang cukup untuk membantu pertumbuhan pada periode dewasa. Pada masa sekolah, pertumbuhan dan perkembangan anak akan mengalami proses percepatan pada usia 10-12 tahun. Secara umum, pada usia ini aktivitas fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan motoriknya. Kemampuan kemandirian anak di lingkungan luar rumah, dalam hal ini adalah sekolah dirasakan cukup besar. Dimana beberapa masalah sudah mampu diatasi dengan sendirinya dan anak sudah mampu menunjukkan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada. Rasa tanggung jawab dan percaya diri dalam tugas mulai terwujud sehingga dalam menghadapi kegagalan maka anak seringkali dijumpai reaksi kemarahan atau kegelisahan (Hidayat 1994). Pada masa anak-anak, jumlah energi yang diperlukan tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa remaja. Seiring pertambahan umur, jumlah energi tersebut akan semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat lanjut usia (Suhardjo 1989). Anak usia sekolah dasar berada pada usia pertumbuhan dan perkembangan. Walaupun tidak secepat pertumbuhan dan perkembangan pada anak remaja, namun anak usia sekolah tetap membutuhkan konsumsi makanan yang seimbang baik jenis dan jumlahnya. Pada umumnya mereka mempunyai kesehatan yang lebih
6
baik dibanding dengan kesehatan anak balita. Masalah-masalah yang timbul pada kelompok ini antara lain: berat badan rendah, defesiensi Fe (kurang darah), dan defesiensi vitamin E. Masalah ini timbul karena pada umur-umur ini anak sangat aktif bermain dan banyak kegiatan baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. Dipihak lain, anak kelompok ini kadang-kadang nafsu makanan mereka menurun, sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan energi yang dibutuhkan (Notoatmodjo 2003). Banyak penelitian melaporkan bahwa pada usia ini kebanyakan anak hanya mau makan satu jenis makanan selama berminggu-minggu (food jag), namun orangtua tidak perlu merasa kuatir kalau makanan itu dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Anak-anak usia SD 6-12 tahun adalah kelompok yang memiliki interaksi yang intensif dengan lingkungan sekolah, teman, media massa dan program pemasaran perusahaan. Mereka pada dasarnya memiliki karakter yang sangat mudah terpengaruh oleh lingkungannya termasuk dalam memilih makanan. Anak-anak belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih makanan yang baik bagi mereka, sehingga belum menjadi konsumen yang kritis dan bijaksana, mereka akan mudah menerima dan menyukai makanan yang juga disukai teman-temannya (Sumarwan 2007). Anak pada umur ini suka mengkonsumsi minuman bersoda dan jarang mengkonsumsi susu sehingga mereka rentan untuk kekurangan kalsium dan vitamin D sesuai yang dianjurkan untuk mereka. Anak suka mengkonsumi jajanan seperti keripik, kue-kue, donat, makanan gorengan dan minuman bersoda. Dimana jajanan tersebut hanya menyuplai energi (Walker 2005). Alasan lain yang mendorong anak untuk mengkonsumsi makana jajanan adalah daya tarik seperti rasa, warna dan kemasan makanan tersebut, Penelitian tentang kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2003, menyatakan terjadinya peningkatan konsumsi pada semua anak terhadap makanan jajanan yang terjadi antara tahun 1977 hingga tahun 2003 (Piernas 2003). Gizi yang diperoleh seorang siswa melalui konsumsi makanan setiap hari berperan besar untuk kehidupan siswa tersebut. Agar dapat memenuhi dengan baik dan cukup, ternyata ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk siswa. Seorang siswa juga dapat mengalami defisiensi zat gizi yang
7
berakibat pada berbagai aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka pendek, dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan yang benar (Santoso 2004). Pengetahuan Gizi Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Sukandar 2009). Cicely William dalam Sukandar (2009) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington 1999 menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik. Penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa SD di Bogor tahun 2010 tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan, sebanyak 63% siswa SD di kota maupun di kabupaten, memiliki pengetahuan gizi yang masih rendah meskipun masih ada yang tergolong baik hanya sebanyak 3.0% siswa dan sisanya tergolong sedang 34.0% (Adriani 2010). Sedangkan hasil penelitian Syarifah (2010) mengenai kebiasaan makanan jajanan anak sekolah di Bogor menyatakan bahwa secara umum pengetahuan gizi makanan jajanan anak hampir merata, baik yang tergolong kategori kurang, sedang maupun baik yang yakni masing-masing 30.0%, 35.0% dan 35.0%. Hasil penelitian yang dilakukan Andarwulan (2009) tentang pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan secara nasional pada siswa SD, rata-rata skor pengetahuan gizi sekitar 63 atau termasuk cukup. Siswa di SD yang berakreditasi A memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa di SD yang berakreditasi B, C, dan tidak terakreditasi. Sedangkan siswa di luar Jawa memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan lebih baik dibandingkan dengan siswa di Jawa.
8
Kelompok anak sekolah merupakan kelompok yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya dan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi pendapat keluarga mengenai hal ini (Sediaoetama 2008). Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan penentuan jumlah makanan yang dikonsumsi. Tingkat pengetahuan gizi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Keamanan Pangan Jajanan Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Hardinsyah & Syarief 2000). Menurut World Health Organization (WHO), keamanan pangan adalah keadaan dimana pangan tidak akan membahayakan konsumen bila disiapkan sesuai ketentuan. Keamanan makanan berarti bahwa pada saat dikonsumsi, makanan tidak mengandung kontaminan dalam kadar yang dapat membahayakan kesehatan (WHO 2000). Makanan jajanan (street food) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya enak dan cocok dengan selera kebanyakan orang (Saparinto 2006). Meskipun memiliki beberapa keunggulan, makanan jajanan juga berisiko terhadap kesehatan. Hal ini disebabkan oleh penanganannnya yang sering tidak higienis. Akibatnya, peluang bagi mikroba untuk tumbuh dan berkembang cukup besar. Selain itu, dalam proses pembuatannya sering kali ditambahkan bahan tambahan makanan pangan yang tidak diizinkan (Saparinto 2006). Penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak dianjurkan dapat mengakibatkan kemunduran kerja otak. Tidak semua senyawa kimia yang ditambahkan dalam makanan mampu dicerna secara sinergis dengan komponen senyawa alami yang ada dalam tubuh kita.
9
Keamanan pangan tercermin dari angka keracunan pangan di suatu wilayah. Keracunan pangan adalah suatu penyakit yang disebabkan karena memakan makanan yang berbahaya atau terkontaminasi. Gejala yang paling umum adalah sakit perut, muntah-muntah dan diare (Gaman & Sherrington 1992). Sebagai upaya melindungi konsumen, BPOM menguji makanan jajanan siswa di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 provinsi diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang dengan jumlah makanan 861 contoh. Hasil uji menunjukkan 39.9% (344 jajanan) tidak memenuhi syarat keamanan pangan seperti es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri pathogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.5%) serta kerupuk (56.2%). Dari total jajaan itu, 10,45% mengandung pewarna yang dilarang yakni rhodamin B, methanol yellow dan amaranth. Sebagian contoh jajanan mengandung boraks, formalin, siklamat, sakarin, dan benzoat melebihi batas. Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan pada anak di sekolah meningkat pada tahun 2004. Menurut Rahayu et al (2005) dalam Fitri (2007), terjadinya kasus keracunan atau gangguan kesehatan di lingkungan sekolah akibat keamanan pangan dikarenakan oleh: (1) ditemukannya produk pangan olahan di lingkungan sekolah yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis dan kimia); (2) kantin sekolah dan pangan siap saji di sekolah yang belum memenuhi syarat higienitas; dan (3) donasi pangan yang bemasalah. Makanan Jajanan Makanan jajanan juga dikenal sebagai street foods adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, di lingkungan sekolah, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi sejenis. Makanan jajanan banyak sekali jenisnya dan sangat bervariasi dalam bentuk, keperluan dan harga. Pada umumnya makanan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu pertama adalah makanan sepinggan atau main dish contohnya nasi rames, nasi rawon, nasi pecel dan sebagainya, kelompok yang kedua adalah penganan atau snack contohnya kue-kue, onde-onde, pisang goreng, dan lain sebagainya dan kelompok yang ketiga adalah golongan minuman es teller, es buah, teh, kopi, dawet, jenang gendul dan lain
10
sebagainya, dan kelompok yang keempat adalah buah-buahan segar, seperti mangga, jeruk, pisang dan lain sebaginya (Winarno 2004). Jenis makanan atau minuman yang disukai siswa-siswa adalah makanan yang mempunyai rasa manis, enak, dengan warna-warna yang menarik, dan bertekstur lembut. Jenis makanan seperti cokelat, permen, jeli biskuit dan snack merupakan produk makanan favorit bagi sebagian besar siswa-siswa. Kelompok produk minuman dikenal berbagai minuman warna-warni (air minuman dalam kemasan maupun es sirup tanpa label), minuman jeli, es susu, minuman ringan dan lainlainnya (Nuraini 2007). Menurut Marotz (2005) makanan jajanan yang baik untuk siswa sekolah jajanan yang dapat memberikan kontribusi zat gizi yang cukup sesuai dengan kebutuhan siswa, namun kebanyakan makakan jajanan hanya mengandung gula dan lemak. Hasil penelitian secara nasional tahun 2009 menunjukkan bahwa pangan jajanan yang paling banyak dijual di lingkungan sekolah adalah kelompok makanan ringan 54.1%, dibandingkan kelompok minuman 26.0% dan makanan utama 2.0%. Rata-rata konsumsi pangan harian siswa adalah 455.0 g/kap/hari yang mengandung 1220 kkal dan protein sebesar 27.4 g. Makanan jajanan dapat menyumbang 31.5% energi dan 34.4% protein dari konsumsi pangan harian. Konsumsi pangan harian, tingkat konsumsi energi sebesar 71.4% dan tingkat konsumsi protein 65.8%. Data ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan harian siswa masih dibawah kecukupan yang dianjurkan (Andarwulan et al 2009). Makanan jajanan dan anak sekolah merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Makanan jajanan mampu memberikan kontribusi energi dan protein untuk anak-anak. Kebiasaan jajan yang baik tentunya dapat memberikan pengaruh yang positif bagi kesehatan anak dan sebaliknya. Kebiasaan jajan yang sehat adalah dimana anak mampu memilih makanan jajanan yang sehat dan tidak tercemar baik secara kimia maupun mikrobiologi (Andarwulan et al 2009). Pada umumnya siswa SD lebih menyukai jajanan di warung maupun di kantin sekolah daripada makanan yang telah tersedia di rumah. Kebiasaan jajan sebenarnya memiliki beberapa manfaat/keuntungan antara lain sebagai upaya memenuhi kebutuhan energi, mengenalkan siswa pada diversifikasi jenis makanan dan dapat meningkatkan gengsi siswa di mata teman-temannya. Namun jajan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif antara lain nafsu makan
11
menurun, makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satu penyebab terjadinya obesitas pada siswa dan kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin (Irianto 2006). Kebiasaan anak yang sering menonton televisi dapat mempengaruhi kebiasaan jajan anak. Penelitian yang dilakukan di Washington DC pada tahun 1993 hingga tahun 1995 menunjukkan bahwa siswa-siswa yang sering menghabiskan waktunya lebih banyak menonton televisi memiliki intik konsumsi daging, sayur, buah dan jus lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang sedikit menghabiskan waktu di depan televisi (Coon 2001). Penyajian makanan jajanan yang baik, penting untuk mendukung keadaan gizi anak sekolah karena jajanan berperan besar pada pertumbuhan anak. Pada tahun 1977 hingga 1996, energi yang didapat dari konsumsi jajanan anak sekolah meningkat sebanyak 120 kkal per harinya (Marmonier 2010).