Tinjauan Aspek Perdagangan dan Ketenagakerjaan pada Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dalam Program Penanggulangan Kemiskinan
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Hak Cipta © Organisasi Perburuhan Internasional 2005 Publikasi-publikasi International Labour Office memperoleh hak cipta yang dilindungi oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, bagian-bagian singkat dari publikasi-publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. International Labour Office menyambut baik permohonanpermohonan seperti itu. Perpustakaan, insitusi-institusi dan para pengguna lain yang terdaftar di Inggris dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham Court Road, London W1P 9HE (Fax: + 44 171 436 3986), di Amerika Serikat dengan Copyright Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 (Fax: +1 508 750 4470) atau di negara-negara lain dengan Organisasiorganisasi Hak Reproduksi yang terkait, dapat membuat fotokopi sesuai dengan izin yang dikeluarkan bagi mereka untuk kepentingan ini.
ILO Kantor Perburuhan Internasional, 2005 “Tinjauan Aspek Perdagangan dan Ketenagakerjaan pada Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dalam Program Penanggulangan Kemiskinan” Judul Bahasa Inggris: “SME Development in The Poverty Reduction Program: TRADE AND LABOR ISSUES” ISBN 92-2-017514-2 (print) ISBN 92-2-017515-0 (web pdf)
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Persatuan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang berada didalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International Labour Office mengenai status hukum negara apa pun, wilayah atau teritori atau otoritasnya, atau mengenai delimitasi batas-batas negara tersebut. Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggung jawab pengarang seorang, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Office atas opini-opini yang terdapat didalamnya. Referensi nama perusahaan dan produk-produk komersil dan proses-proses tidak merupakan dukungan dari International Labour Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan. Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor ILO lokal di berbagai negara, atau langsung dari ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog atau daftar publikasi baru akan dikirimkan secara cuma-cuma dari alamat diatas. Dicetak di Jakarta, Indonesia
ii
Sambutan
Saat ini berbagai pihak meyakini bahwa Usaha Kecil Menengah (UKM) patut mendapat perhatian khusus terutama dalam hal pengembangannya karena UKM dinilai telah memberikan kontribusi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat seringkali menyuarakan perhatian mereka mengenai masalah UKM ini. Beberapa di antaranya bahkan terlibat berbagai jenis kegiatan untuk penguatan kinerja UKM, baik dari tingkat kebijakan publik maupun pelaksanaannya. Di tingkat kebijakan, pemerintah bahkan mengagendakan peningkatan UKM untuk memberikan kontribusi bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Bagi dunia usaha, pelaku usaha besar, menengah maupun kecil, kami nilai memunyai peran khusus dalam pembangunan ekonomi bangsa. Untuk itu, dalam menyusun kebijakan pemerintah, pertimbangan mengenai unsur unsur tersebut tidak lagi perlu dipertentangkan, bahkan harus disinergikan agar memberikan kontribusi yang lebih optimal. Secara sederhana, perbaikan UKM mesti mampu menjadikan usaha kecil menjadi usaha menengah, dan usaha menengah menjadi usaha besar. Begitulah sifat dasar pelaku usaha yang umumnya ingin meningkatkan ‘kelas’ dan profit usahanya. APINDO, sebagai asosiasi pengusaha, berkepentingan untuk ikut mendukung usaha
iii
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
pemerintah meningkatkan kinerja UKM. Sebab, disadari adanya hubungan saling membutuhkan antarpelaku usaha. Hubungan ketergantungan pelaku usaha besar-menengah-kecil untuk kepentingan bersama bukanlah sekedar hubungan yang bersifat ‘belas kasihan’ dari pelaku usaha besar terhadap UKM. Untuk mewujudkan dukungan APINDO terhadap upaya pengembangan UKM, yang pada gilirannya diharapkan turut memberikan andil dalam penanggulangan kemiskinan, Tim APINDO dengan dukungan ILO telah melaksanakan sebuah studi yang memberikan rekomendasi praktis bagi APINDO dalam menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UKM. Diharapkan, rekomendasi tersebut dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam upaya memperbaiki iklim usaha, khususnya bagi UKM dan bagi dunia usaha pada umumnya.
Jakarta, 16 Juni 2005 Dewan Pengurus Nasional APINDO
Sofjan Wanandi Ketua Umum
iv
P rakata
Usaha Menengah Kecil (UKM) di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dengan menyumbang lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional (62,42%), serta menyerap hampir keseluruhan angkatan kerja yang tersedia dalam pasar kerja (sebesar 99,44%) dibandingkan dengan Usaha Besar. Indikator ini menunjukkan peran penting UKM dalam pembangunan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja yang menurut perspektif ILO merupakan kunci penangggulangan kemiskinan. Publikasi yang diterbitkan ILO ini merupakan hasil studi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) tentang “Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM” yang menggarisbawahi pentingnya perbaikan kebijakan publik di bidang perdagangan dan ketenagakerjaan bagi pengembangan UKM. Ini merupakan rekomendasi utama APINDO guna menanggulangi kemiskinan di Indonesia. ILO menyadari pentingnya kerangka koordinasi kebijakan untuk meningkatkan prakarsa pengembangan UKM, baik program dan kebijakan, dari para pelaku nasional, pemerintah daerah dan swasta, termasuk APINDO. Oleh karena itu, ILO melalui studi ini mendukung keterlibatan APINDO dalam memperbaiki kebijakan pengembangan UKM. Bukan saja dikarenakan UKM mencakup keanggotaan APINDO, tetapi juga dikarenakan
v
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
sebagian besar laki-laki dan perempuan di Indonesia memperoleh nafkah dan penghasilan dari UKM. Publikasi ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi upaya penyusunan kebijakan yang lebih “ramah” terhadap UKM dengan tetap mengacu pada praktik bisnis yang baik, yang pada gilirannya dapat turut mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Jakarta, 16 Juni 2005
Alan Boulton Direktur ILO Jakarta
vi
Daftar Isi
Sambutan APINDO Prakata ILO Daftar Singkatan Ringkasan Eksekutif
iii v ix xi
1. 1.1. 1.2. 1.3.
LATAR BELAKANG Tujuan Ruang Lingkup Pertanyaan Penelitian
1 2 3 5
2. 2.1. 2.2. 2.3.
METODOLOGI Metode Analisis Kriteria Analisis Kebijakan Sumber Informasi
7 7 7 8
3. 3.1. 3.2.
TINJAUAN UMUM Profil UKM Situasi Terkini mengenai UKM dalam bidang Perdagangan dan Ketenagakerjaan Pihak Pihak Yang Terlibat Dalam Pembangunan UKM Pemerintah Organisasi Non-pemerintah - Dunia Usaha Swasta - Masyarakat - Lembaga Donor
3.3.
4. 4.1.
KAJIAN PERUNDANG-UNDANGAN & PERATURAN YANG MELINGKUPINYA Peraturan Perundang-undangan Yang Mempengaruhi Perdagangan Hambatan Perdagangan Dalam Negeri Hubungan Bisnis Perusahaan Besar – UKM, Kebutuhan akan Pengelompokan Industri
11 11 14 15 15 17 17 20 21
23 25 25 27
vii
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
4.2.
4.3. 4.4. 4.5.
Hubungan Bisnis Perusahaan Besar – UKM, Persaingan Bebas vs Persaingan yang Adil Peraturan Perundang-undangan Yang Mempengaruhi Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja dan Sengketa Ketenagakerjaan Kebijakan Daerah Peraturan Perundang-undangan Lainnya Dampak Kebijakan Terhadap Pengembangan UKM Bagaimana Peraturan Perundang-undangan memungkinkan UKM memberikan kontribusi dalam Mengurangi Kemiskinan
33 33 35 36 39
42
5. 5.1. 5.2. 5.3.
KESIMPULAN & REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi untuk Advokasi Kebijakan APINDO Rekomendasi Tindak Lanjut
45 45 47 48
6. 6.1. 6.2.
LAMPIRAN Daftar Peraturan Perundang-undangan yang Dikaji Referensi
51 51 53
Daftar Tabel Tabel 1. Kontribusi UKM dan Usaha Besar terhadap PDB Tabel 2. Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja UKM dan Usaha Besar Tabel 3. Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perdagangan UKM dan Usaha Besar Tabel 4. Kontribusi Sektor Perdagangan UKM dan Usaha Besar terhadap PDB
viii
30
12 13 40 41
Daftar Singkatan
ADB:
Asian Development Bank
APEC:
Asia Pasific Economic Cooperation
APINDO:
Asosiasi Pengusaha Indonesia
AusAID:
Australian Agency for International Development
BAPPENAS:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BDS:
Business Development Services
BI:
Bank Indonesia
BKKBN:
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPPT:
Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
BPS:
Badan Pusat Statistik
BUMN:
Badan Usaha Milik Negara
CEO:
Chief Executive Officer
EU:
European Union
FGD:
Focus Group Discussion
FORDA UKM:
Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah
FORNAS UKM:
Forum Nasional Usaha Kecil dan Menengah
GEMA PKM:
Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro
ILO:
International Labor Organization
GWM:
Giro Wajib Minimum
JNP UKM:
Jaringan Nasional Pendukung Usaha Kecil dan Menengah
KADIN-Indonesia: Kamar Dagang dan Industri Indonesia KEPPRES:
Keputusan Presiden
KEPMEN:
Keputusan Menteri
KPEN:
Komite Pemulihan Ekonomi Nasional
KPK:
Komite Penanggulangan Kemiskinan
KPPOD:
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
ix
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
x
KPPU:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
LP3ES:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
NGO:
Non-Government Organization
PDB:
Produk Domestik Bruto
PERDA:
Peraturan Daerah
PERR:
Partnership for Enterprise Policy Reform
PINBUK:
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
PP:
Peraturan Pemerintah
PRSP:
Poverty Reduction Strategy Program
PUPUK:
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil
RPJM:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SENADA:
The Indonesia Enterprise and Agricultural Development Activity
SNPK:
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan
TAF:
The Asia Foundation
UKM:
Usaha Kecil Menengah
UMKM:
Usaha Mikro Kecil Menengah
USAID:
United States Agency for International Development
UU:
Undang Undang
WTO:
World Trade Organization
Ringkasan Eksekutif
Salah satu strategi utama untuk mengurangi kemiskinan, sebagaimana disebutkan dalam draf awal SNPK (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan) adalah dengan meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Untuk mencapai sasaran itu, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan sarana efektif guna menyerap para pencari kerja. Pilihan strategi tersebut tepat, karena berdasar data-data yang ada, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Indonesia tidak hanya mampu menyangga perekonomian negara, tapi juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja. Sebagai organisasi utama pengusaha Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berkeinginan ikut serta meningkatkan iklim usaha di Indonesia melalui pembuatan kerangka kebijakan yang kondusif untuk menciptakan dan mengembangkan UKM, yang tak diragukan lagi memainkan peran penting dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan. Untuk mengidentifikasi agenda advokasi kebijakan yang tepat guna menciptakan lingkungan kebijakan dan kerangka peraturan yang lebih baik tersebut, diperlukan suatu studi analisis kebijakan. Fokus utama studi ini adalah pada analisis kebijakan mengenai usaha kecil dan menengah yang terkait dengan aspek Perdagangan dan Ketenagakerjaan.
xi
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Pilihan atas dua aspek itu didasari beberapa pertimbangan, yakni 1) adanya keinginan anggota APINDO yang kebanyakan pelaku usaha besar, untuk membantu UKM dalam memperluas jaringan distribusi produk mereka (perdagangannya) melalui hubungan bisnis antara pelaku usaha besar dan UKM yang saling menguntungkan; 2) kompetensi utama APINDO dalam bidang ketenagakerjaan khususnya, dan hubungan industrial pada umumnya. Studi ini merupakan studi kualitatif dengan melakukan analisis atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang relevan atas dasar sejumlah kriteria yang ditetapkan, wawancara mendalam dengan para narasumber, dan diskusi kelompok (focus group discussion). Beberapa data statistik digunakan dalam studi ini hanya sebagai tambahan informasi untuk mendukung analisis kualitatif tersebut. Hasil analisis kebijakan secara umum, tidak terbatas hanya pada aspek perdagangan dan ketenagakerjaan, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sebagaimana tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang ada, telah menunjukkan keberpihakannya pada kebutuhan spesifik UKM. Melalui sejumlah undang-undang dan peraturan, pemerintah telah melindungi beberapa jenis usaha kecil menengah dari dominasi perusahaan besar, menerapkan suku bunga pinjaman yang rendah untuk usaha kecil menengah, mewajibkan perusahaan negara (BUMN) mengembangkan usaha melalui kemitraan dengan UKM, dan membentuk kementerian khusus untuk menangani UKM. Semua itu telah menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UKM. Kendati demikian, lemahnya koordinasi dan kerjasama antar lembaga pemerintah pusat dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyebabkan dampak berbagai kebijakan tadi terhadap kinerja UKM menjadi kurang optimal. Pada tataran kebijakan, kualitas peraturan perundang-undangan di level nasional dalam bidang perdagangan pada dasarnya cukup memberikan keberpihakan pada pengembangan UKM, meskipun
xii
belum dapat dikatakan sangat kondusif. Tidak adanya Undang-undang Perdagangan Dalam Negeri merupakan hambatan serius dalam mengatur perdagangan dalam negeri. Di sisi yang lain, penerapan aturan perdagangan dalam negeri, khususnya yang mengatur hubungan usaha antara perusahaan eceran dan pemasok menunjukkan kepada kita betapa sangat lemahnya posisi tawar UKM terhadap perusahaan besar (perusahaan eceran besar atau hipermarket), di mana persaingan bebas memperlemah prinsip-prinsip persaingan yang adil. Dalam konteks otonomi daerah, substansi peraturan perundang-undangan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas perdagangan membuka peluang bagi pemerintah daerah menciptakan aturan mereka sendiri yang justru malah menimbulkan ekonomi biaya tinggi melalui penerapan hambatan tarif dan nontarif dalam perdagangan dalam negeri. Pada umumnya, ekonomi biaya tinggi memperlemah daya saing, terutama UKM yang akan paling merasakan dampaknya karena UKM sangat sensitif terhadap perubahan ongkos produksi. Dalam soal ketenagakerjaan, sejauh ini hukum dan peraturan yang ada sudah cukup baik mengatur masalah serikat pekerja dan penyelesaian penselisihan perburuhan. Namun, ketentuan dan aturan soal penangguhan pengupahan minimum masih belum mengakomodasikan kebutuhan spesifik UKM. Salah satunya menyangkut keharusan bagi UKM untuk diaudit oleh akuntan publik sebelum mendapatkan izin penundaan penerapan upah minimum. Persyaratan ini dianggap terlalu berat oleh UKM, sehingga memaksa usaha kecil dan menengah ini beroperasi secara informal. Akibatnya, tenaga kerja pada UKM tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Permasalahan ketenagakerjaan lain adalah adanya kecenderungan penerapan kebijakan pemihakan (affirmative policy) untuk memberikan prioritas penyediaan pekerjaan bagi putera daerah –orang yang berasal atau lahir di daerah yang
xiii
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
bersangkutan, yang diterapkan sejumlah daerah otonom. Meskipun hal ini tidak mempengaruhi UKM yang kebanyakan mempekerjakan tenaga kerja lokal, praktek ini berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi orang untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar yang dianut Indonesia sebagai negara kesatuan yang memberi kebebasan peredaran barang, manusia, dan modal tanpa hambatan di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengeliminasi kelemahan kebijakan dan penyimpangan pelaksanaannya, APINDO sebagai organisasi pengusaha yang mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia, perlu mewujudkan komitmennya dalam mendukung pembangunan UKM, khususnya dalam berbagai hal yang terkait dengan perdagangan dan ketenagakerjaan, dengan melaksanakan dua tingkat kegiatan. Pertama, memberikan advokasi kebijakan dengan mengajukan usulan untuk memperbaiki kelemahan kebijakan yang ada pada saat ini melalui perbaikan peraturan perundangundangan, dan membuat cetak biru pembangunan UKM secara konkrit. APINDO dapat mengambil inisiatif untuk mengembangkan kerjasama yang kondusif dengan melibatkan para pemangku kepentingan utama dalam pengembangan UKM. Kedua, APINDO dapat memfasilitasi hubungan bisnis antara pelaku usaha besar dan UKM. Kemitraan tersebut perlu dikembangkan dalam suatu pola hubungan yang saling membutuhkan dan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak melalui pendekatan pengelompokan (cluster) industri. Dalam kemitraan tersebut, pelaku usaha besar harus memberikan bantuan teknis kepada UKM dalam berbagai aspek seperti produksi, distribusi, dan akses keuangan.
xiv
1. Latar Belakang
Dokumen awal Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) menyebutkan bahwa “kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, untuk menjalani kehidupan secara bermartabat” 1 . Dalam konteks Indonesia, jika merujuk pada data yang ada bahwa tingkat pengangguran masih sangat tinggi, yakni 10,1 persen pada tahun 2003 dan lebih dari 40 persen pekerja sektor formal bekerja kurang dari 36 jam seminggu, tak dapat disangkal lagi bahwa sangat penting untuk memperbaiki perekonomian Indonesia guna mengatasi masalah tersebut, meskipun ekonomi bukanlah satu-satunya jawaban untuk memerangi kemiskinan. Salah satu strategi mengurangi kemiskinan yang disebutkan dalam dokumen itu adalah dengan meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan melalui program pengembangan UKM, yang diharapkan efektif menyerap tenaga kerja. Pilihan untuk mengembangkan UKM ini didasarkan fakta bahwa usaha kecil dan menengah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam menyangga perekonomian Indonesia. Sebagaimana diketahui, data Kementerian Koperasi dan UKM yang dihasilkan 1
Dokumen sementara SNPK (versi Oktober 2004)
1
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
melalui kerjasamanya dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa usaha kecil memberikan kontribusi dalam pembentukan PDB Nasional (berdasar harga berlaku, di luar Minyak dan Gas) sebesar 46,06 persen, Usaha Menengah (16,36 persen), dan Usaha Besar (36,59 persen). Ini berarti bahwa UKM telah memberikan kontribusi lebih dari setengah total PDB. Selain itu, data dalam laporan yang sama juga menunjukkan dalam Usaha Kecil menyerap tenaga kerja sampai 88,43 persen, Usaha Menengah (11,01 persen), dan Usaha Besar hanya mempekerjakan 0,56 persen dari total tenaga kerja yang berjumlah 79.474.991.2 Data-data tersebut menegaskan perlunya pemberdayaan UKM dengan membuat cetak biru pengembangan UKM secara komprehensif agar peran UKM dapat ditingkatkan. Perlu digarisbawahi bahwa cetak biru tersebut harus menciptakan iklim usaha yang mendorong keterkaitan usaha antara pelaku usaha besar, menengah, dan kecil dalam suatu pola hubungan yang saling menguntungkan. Harus dihindari regulasi berlebihan, sebagaimana banyak terjadi di negara-negara miskin, yang justru mengakibatkan inefisiensi pada lembaga-lembaga pemerintah, meningkatnya pengangguran dan korupsi, serta menghambat kemajuan usaha pada umumnya, dan acapkali memaksa pelaku usaha menjalankan usahanya secara informal. Berbagai hal di atas yang melatarbelakangi APINDO menjalin kerjasama dengan ILO untuk melakukan studi ini. Sebagai organisasi pengusaha Indonesia, APINDO ingin memberikan kontribusinya dalam memperbaiki iklim usaha melalui perbaikan kebijakan pengembangan UKM sebagai salah satu strategi pengurangan kemiskinan 3, yang dengan demikian ikut mendukung implementasi SNPK.
1.1. Tujuan
2
Tujuan studi ini lebih bersifat praktis daripada akademis, untuk membantu APINDO merumuskan rekomendasinya dalam memperbaiki kebijakan 2
Data Kementerian Koperasi dan UKM, dan BPS (Badan Pusat Statistik)
3
TOR ILO Program on Poverty Reduction through SMEs Development
pengembangan UKM melalui tinjauan peraturan perundang-undangan.
Studi ini merupakan studi kebijakan dengan 1.2. Ruang fokus kebijakan pengembangan UKM yang terkait Lingkup dengan aspek- 1) Perdagangan, dan 2) Ketenagakerjaan. Pilihan atas kedua aspek tersebut didasari beberapa pertimbangan. Pertama, adanya keinginan APINDO yang sebagian besar anggotanya adalah pelaku usaha besar, untuk membantu UKM memperluas akses pasarnya melalui kerjasama antara pelaku usaha besar dengan UKM yang saling menguntungkan. Kedua, kompetensi utama APINDO adalah di bidang ketenagakerjaan. Ketiga, masih sangat terbatasnya perhatian yang diberikan untuk meningkatkan kapasitas UKM dalam aspek penetrasi pasar. Keempat, ada keterbatasan waktu untuk meninjau masalah ini dari aspek-aspek lain yang lebih luas. Untuk melakukan analisis atas kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan, studi ini mengacu pada peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, yang dalam urutan perundangundangan Indonesia diatur dalam hirarki berikut: UU (Undang Undang), PP (Peraturan Pemerintah), Keppres (Keputusan Presiden), Kepmen (Keputusan Menteri).4 Perda (Peraturan Daerah) yang merupakan hirarki paling bawah peraturan perundang-undangan juga menjadi obyek analisis studi ini untuk melihat dampak penerapan berbagai peraturan, terutama yang lebuh tinggi. Sampel dipilih secara acak dari beberapa daerah yang dipilih. Temuan-temuan dari penelitian lain mengenai Perda juga digunakan untuk membuat analisis.
4
TAP MPR NoIII/2000 menyebutkan hirarki peraturan perundangundangan yaitu: UUD (Undang Undang Dasar), TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat), UU (Undang Undang), PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang), PP (Peraturan Pemerintah), KEPPRES (Keputusan Presiden), PERDA (Peraturan Daerah). Pada tahun 2004, berdasar UU No.10/2004, hirarki tata urutan perundangan tersebut diubah menjadi: UUD, UU, PERPRES (Peraturan Presiden), dan PERDA. Meskipun terdapat pro-kontra publik mengenai hirarki perundangan ini, ketentuan UU ini yang dijadikan acuan oleh pemerintah dan para pakar hukum.
3
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Karena peraturan perundang-undangan yang ada tidak banyak menyebutkan usaha mikro, kajian kebijakan studi ini lebih banyak terkait dengan UKM (usaha kecil dan menengah), usaha skala besar, dan tidak banyak menyinggung usaha mikro. Definisi UKM yang digunakan dalam studi ini mengacu definisi BPS dan Menteri Negara Koperasi & UKM yang membuat kategori perusahaan berdasar nilai penjualan. Perusahaan yang memiliki penjualan di atas Rp 50 miliar (US$ 522 ribu) per tahun dikategorikan sebagai usaha skala besar, nilai penjualan antara Rp 1 miliar-50 miliar (US$ 104 ribu) per tahun dikategorikan usaha menengah, dan nilai penjualan di bawah Rp 1 miliar per tahun dimasukkan dalam kelompok usaha kecil. Kategori usaha kecil tersebut masih dipecah lagi menjadi dua kategori yaitu: Usaha Kecil untuk penjualan antara Rp 50 juta-1 miliar per tahun, dan Usaha Mikro untuk nilai penjualan di bawah Rp 50 juta per tahun. Meskipun saat ini ada banyak definisi UKM yang berbeda-beda yang digunakan oleh berbagai institusi pemerintahan, analisis peraturan perundang-undangan ini menggunakan acuan UU No.9/1995 dalam mengartikan Usaha Kecil, yaitu:5 a. memiliki kekayaan bersih paling banyak sampai Rp 200 juta (US$ 21 ribu), di luar tanah dan bangunan tempat usaha b. memiliki hasil penjualan tahunan paling tinggi Rp 1 miliar (US$ 104 ribu) c. milik Warga Negara Indonesia d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar e. berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi
5
4
Sebagaimana disebutkan dalam UU, jumlah angka dalam poin ‘a’ dan ‘b’ dapat disesuaikan dengan PP (Peraturan Pemerintah).
Tujuan penelitian di atas dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian:
Bagaimana kualitas kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan, dan bagaimana kebijakankebijakan tersebut mempengaruhi aktivitas perdagangan UKM? Apa saja hambatan penerapan kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan yang sudah ada terhadap pengembangan UKM di Indonesia? Apakah kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan yang ada saat ini mendorong terciptanya kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara perusahaan skala besar, dan UKM? Reformasi kebijakan seperti apakah yang diperlukan untuk memperbaiki kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan? Pihak-pihak mana saja yang memiliki komitmen serius mendukung pengembangan UKM di Indonesia?
1.3. Pertanyaan Penelitian
5
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
6
2. Metodologi
Studi Literatur dari berbagai studi dan referensi 2.1. Metode lain yang terkait dengan aspek-aspek Analisis pengembangan UKM. Analisis Data Sekunder atas berbagai peraturan perundang undangan, dan statistik. Wawancara Mendalam dengan berbagai pihak seperti pelaku UKM, perusahaan besar, pejabat pemerintah –terutama para pembuat kebijakan. Diskusi Kelompok yang diikuti pelaku UKM, perusahaan besar, pejabat pemerintah terkait.
Sejumlah kriteria diperlukan untuk menentukan 2.2. Kriteria kebijakan seperti apakah yang bisa disebut sebagai Analisis yang paling tepat (best practice) dalam Kebijakan pengembangan UKM. Dalam analisis kebijakan – dalam hal ini peraturan perundang-undangan – penentuan kriteria-kriteria tersebut tergantung pada tujuan spesifik setiap kebijakan, sehingga kriteria penilaian atas suatu kebijakan bisa berbeda dengan kriteria yang digunakan untuk menilai kebijakan lain. Meskipun demikian, sejumlah kriteria umum bisa digunakan untuk menilai kualitas kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan, selain beberapa kriteria tambahan untuk masing-masing bidang.
7
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Kriteria umum: Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional lainnya Terdapat panduan/arahan yang jelas bagi pemerintah daerah dan berbagai pihak terkait lainnya untuk (taat) mengikuti ketentuan Mengakomodasi kebutuhan spesifik UKM yang berdasarkan karekteristiknya memerlukan perlakuan berbeda dari perusahaan besar. Mengikuti ketentuan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan dengan tepat Kriteria tambahan untuk analisis kebijakan perdagangan: Secara jelas melarang berbagai hambatan perdagangan dalam negeri untuk pergerakan barang dari satu daerah ke daerah lainnya dalam wilayah Indonesia, baik berupa hambatan tarif maupun non tarif Tidak ada diskriminasi perlakuan usaha bagi semua perusahaan baik multinasional, nasional, maupun lokal di seluruh wilayah Indonesia Kriteria tambahan untuk analisis kebijakan ketenagakerjaan: Perlakuan yang sama bagi penduduk Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di seluruh wilayah Indonesia tanpa membedakan daerah asal pencari kerja (provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain).
2.3. Sumber Data Sekunder. Peraturan perundangInformasi undangan dan data statistik diperoleh dari kementerian terkait, dan institusi-institusi pemerintah lainnya. Data atau laporan studi mengenai UKM didapatkan dari perguruan tinggi, lembaga donor, LSM, juga dari lembaga-lembaga pemerintah. Data Primer. Melalui wawancara mendalam secara individual dengan para narasumber (empat narasumber UKM, dua perusahaan besar, empat pejabat pemerintah, dan dua lembaga swadaya
8
masyarakat) diperoleh data primer studi ini. Informasi yang diperoleh dari wawancara individual dikonfirmasi melalui suatu diskusi kelompok yang diikuti oleh para narasumber tersebut bersama manajemen APINDO untuk mendapatkan persepsi kelompok.
9
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
10
3. Tinjauan Umum
Dinamika perkembangan UKM menarik untuk 3.1. Profil dicermati karena UKM memainkan peranan penting Usaha Kecil dalam perekonomian Indonesia. Proporsi UKM Menengah dibandingkan kelompok usaha lainnya merupakan yang terbesar. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2003, 99,99 persen (42.388.505 unit) dari total perusahaan di Indonesia sebanyak 42.390.749 adalah usaha kecil dan menengah. Ketika Indonesia dilanda krisis keuangan pada tahun 1997-1998, UKM mampu menjadi penopang perekonomian Indonesia justru ketika mayoritas perusahaan besar kolaps. Namun, seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, agaknya hanya sedikit perhatian yang diberikan dalam pengembangan UKM. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan kontribusi UKM terhadap total PDB Nasional berdasarkan sektor-sektor utama ekonomi. Jelas terlihat kontribusi UKM yang sangat besar di berbagai sektor perekonomian; khususnya sektor Pertanian (pertanian pangan, peternakan, dan perikanan), dan sektor Perdagangan.
11
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Tabel 1. Kontribusi Usaha Kecil, Menengah, Besar terhadap Total PDB Nasional (%) Berdasarkan Sektor – dalam Persentase (berdasar harga konstan 1993) No
Sektor
1999 Kecil Menengah UKM
1
Pertanian Dalam Pengertian Luas a. Pertanian Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan
83,89
10,38
99,47 72,36 81,48 17,58 87,67
0,53 14,39 16,04 50,06 10,91
2
Pertambangan & Penggalian
10,38
3,24
13,62
3
Industri Pengolahan
18,86
15,11
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,68
8,14
5
Konstruksi
32,51
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran a. Perdagangan Besar dan Eceran
7
Besar
10,34
94,31
99,44 72,35 81,95 17,95 87,53
0,56 14,47 15,62 49,58 11,05
100,00 86,82 97,57 67,53 98,58
86,38
10,36
3,25
13,62
86,38
33,98
66,02
18,82
14,80
33,62
66,38
8,83
91,17
0,66
7,87
8,53
91,47
27,59
60,10
39,90
31,94
28,05
59,99
40,01
76,45
20,32
96,76
3,24
76,39
20,38
96,77
3,23
75,11
21,20
96,31
3,69
74,95
21,36
96,30
3,70
Pengangkutan dan Komunikasi
36,99
25,57
62,57
37,43
36,47
24,90
61,37
38,63
8
Keuangan, Persewaan, Jasa Persh
17,47
46,24
63,71
36,29
17,28
46,76
64,04
35,96
9
Jasa Jasa
32,42
6,35
38,78
61,22
32,78
6,62
39,41
60,59
Total PDB
41,31
16,62
57,93
42,07
41,00
16,64
57,64
42,36
Besar
Kecil Menengah UKM
Besar
Sektor
100,00 0,00 86,74 13,26 97,52 2,48 67,65 32,35 98,58 1,42
1999 Kecil Menengah UKM
1
5,73
Kecil Menengah UKM 83,98
No
94,27
2000 Besar
5,69 0,00 13,18 2,43 32,47 1,42
2000
Pertanian Dalam Pengertian Luas a. Pertanian Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan
83,70
10,45
94,16
5,84
83,70
10,41
94,11
5,89
N/A 72,32 82,07 18,08 87,77
N/A 14,67 15,53 48,75 10,81
N/A 87,00 97,61 66,84 98,58
N/A 13,00 2,39 33,16 1,42
N/A 72,61 82,30 18,18 88,12
N/A 14,73 15,33 48,07 10,46
N/A 87,34 97,62 66,26 98,58
N/A 12,66 2,38 33,74 1,42
2
Pertambangan & Penggalian
10,68
3,25
13,93
86,07
10,99
3,36
14,35
85,65
3
Industri Pengolahan
19,12
15,34
34,46
65,54
19,64
15,19
34,83
65,17
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,66
8,15
8,81
91,19
0,66
8,45
9,11
90,89
5
Konstruksi
32,45
27,93
60,37
39,63
32,35
27,93
60,28
39,72
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran a. Perdagangan Besar dan Eceran
76,23
20,51
96,74
3,26
76,39
20,39
96,78
3,22
74,66
21,59
96,25
3,75
74,72
21,58
96,29
3,71
7
Pengangkutan dan Komunikasi
35,89
24,34
60,23
39,77
35,33
24,11
59,44
40,56
8
Keuangan, Persewaan, Jasa Persh
17,26
45,57
62,83
37,17
17,64
46,02
63,66
36,34
9
Jasa Jasa
33,69
6,87
40,56
59,44
34,49
6,84
41,33
58,67
Total PDB
41,00
16,83
57,83
42,17
41,13
16,91
58,04
41,96
Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)-diolah
Tanpa mengurangi pentingnya kontribusi sektor lainnya, dalam hal penyerapan tenaga kerja, Tabel 2 di bawah menunjukkan besarnya peran sektor Pertanian (dalam pengertian luas) dan Perdagangan.
12
13
3.572.842
59.939.760
Jasa Jasa
Total
3.897.749
65.134.223
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Persh
Jasa Jasa
Total
2
3
4
5
6
7
8
9
Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik) – diolah
115.112
2.306.724
14.971.538
259.506
5.804
6.862.203
347.994
36.367.593
Pertanian Dalam Pengertian Luas
1
Kecil
Sektor
No
106.001
2.190.707
14.982.542
9
6
6.151
235.468
Pengangkutan dan Komunikasi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5
Keuangan, Persewaan, Jasa Persh
Konstruksi
4
235.042
6.771.882
8
Listrik, Gas dan Air Bersih
3
31.839.125
Kecil
7
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
2
Pertanian Dalam Pengertian Luas
Sektor
1
No
7.529.856
1.056.816
270.042
232.358
1.345.325
235.170
79.698
3.408.503
147.295
754.649
Menengah
7.230.084
968.723
248.663
220.671
1.346.314
213.386
84.452
3.363.641
99.486
684.748
Menengah
72.664.079
4.954.565
385.154
2.539.082
16.316.863
494.676
85.502
10.270.706
495.289
37.122.242
UKM
Tahun 2001
67.169.844
4.541.565
354.664
2.411.378
16.328.856
448.854
90.603
10.135.523
334.528
32.523.873
UKM
1999
382.218
38.972
13.203
11.142
25.628
5.111
8.734
225.275
14.794
39.359
Besar
366.478
35.724
12.158
10.582
25.646
4.637
9.255
222.311
9.992
36.173
Besar
73.046.297
4.993.537
398.357
2.550.224
16.342.491
499.787
94.236
10.495.981
510.083
37.161.601
Total
67.169.844
5.510.288
603.327
2.632.049
17.675.170
662.240
175.055
13.499.164
434.014
33.208.621
Total
67.603.174
4.184.836
118.917
2.926.564
15.547.307
408.368
5.998
7.074.711
454.839
36.881.634
Kecil
62.856.765
3.846.265
111.888
2.372.988
15.223.033
265.606
6.758
6.968.297
266.816
33.795.114
Kecil
8.040.576
1.134.655
278.967
294.795
1.397.063
370.071
82.352
3.514.058
192.518
776.097
Menengah
7.550.647
1.042.857
262.477
239.032
1.367.924
240.698
92.789
3.461.201
112.935
730.752
Menengah
75.643.750
5.319.491
397.884
3.221.359
16.944.370
778.439
88.350
10.588.769
647.357
37.657.731
UKM
Tahun 2002*)
70.407.439
4.889.122
374.365
2.612.020
16.590.957
506.304
99.547
10.429.498
379.751
34.525.866
UKM
2000
Tabel 2. Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor
407.897
41.843
13.640
14.136
26.614
8.042
9.024
232.252
19.336
43.010
Besar
382.438
38.457
12.833
11.462
26.058
5.231
10.169
228.758
11.343
38.127
Besar
76.051.647
5.361.334
411.524
3.235.495
16.970.984
786.481
97.374
10.821.021
666.693
37.700.741
Total
70.789.877
4.927.579
387.198
2.623.482
16.617.015
511.535
109.716
10.658.256
391.094
34.563.993
Total
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
3.2. Pengembangan UKM Bidang Perdagangan dan Ketenagakerjaan Saat Ini
Secara umum, terdapat tiga persoalan utama yang menghambat UKM yaitu: 1) akses pasar yang terbatas, 2) sulitnya mendapatkan pinjaman finansial, dan 3) lemahnya manajemen usaha, termasuk di dalamnya kesulitan mengenai kepastian pasokan bahan baku, dan masalah kualitas produk/ jasa UKM. Pada aspek perdagangan, berdasar hasil wawancara dengan pelaku UKM diketahui bahwa jangkauan perdagangan usaha skala mikro umumnya tidak lebih dari radius dua kilometer dari tempat usahanya, sementara untuk usaha Kecil umumnya hanya menjangkau di kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan hanya sebagian kecil yang pasarnya sampai ke luar provinsi asalnya atau ke luar negeri. Dari gambaran sekilas ini diketahui sangat terbatasnya lingkup perdagangan usaha kecil untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Usaha kecil dan menengah juga menghadapi persoalan dengan perusahaan eceran moderen (supermarket/pasar swalayan) untuk mendapatkan tempat bagi penjualan produk mereka. UKM mengeluhkan bahwa pengelola supermarket seringkali resisten dalam memberikan tempat bagi produk UKM untuk dijual di supermarket tersebut; namun pihak supermarket menyatakan bahwa penolakan mereka untuk memajang produk UKM dikarenakan lemahnya kapasitas UKM dalam menjamin kualitas dan kelancaran pasokan produk. Persoalan biaya pendaftaran (listing fee) dan biaya promosi yang dikenakan hipermarket terhadap pemasok UKM untuk menempatkan produknya di hipermarket tersebut juga merupakan hambatan lain akses pasar produk UKM (mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya laporan ini). Sementara itu, dalam hal ketenagakerjaan, kebanyakan UKM, khususnya usaha Kecil, tidak mengikuti ketentuan perundangan-undangan yang ada. Usaha Kecil pada umumnya tidak mengikuti ketentuan upah minimum, dan bahkan ada yang mempekerjakan tenaga kerja anak anak. Ketidakpatuhan untuk mengikuti ketentuan upah
14
minimum disebabkan ketidakmampuan finansial usaha Kecil untuk membayarnya; sedangkan penggunaan tenaga kerja anak anak lebih disebabkan alasan sosial untuk memberi kesempatan pada keluarga miskin untuk mendapatkan penghasilan dengan memberi pekerjaan pada anak keluarga miskin tersebut. Karena praktek praktek di luar ketentuan tersebut, pada umumnya, usaha Kecil menjalankan aktivitas usahanya secara informal (lebih lanjut akan dibahas pada bagian selanjutnya laporan ini).
Berbagai pihak terlibat dalam pengembangan UKM baik dari unsur pemerintah maupun non pemerintah melalui aktivitasnya masing-masing. Elaborasi kegiatan masing-masing pihak pada bagian ini, untuk menggambarkan sekilas peran spesifiknya dalam pengembangan UKM sampai saat ini; dan yang lebih penting untuk identifikasi awal bagi APINDO untuk menentukan calon mitra potensial untuk program kerja APINDO dalam pembangunan UKM ke depan.
3.3. Pihak Pihak-pihak Y ang Yang Terlibat Dalam Pengembangan UKM
Pemerintah Indonesia menempatkan urusan Pemerintah UKM ini dalam posisi yang cukup penting. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kebijakan yang diambil dan diterapkan untuk mengembangkan UKM. Keberadaan Kementrian Negara Koperasi dan UKM (Mennegkop UKM) juga menunjukkan pentingnya UKM. Meskipun demikian, pelembagaan seperti itu tanpa diikuti perencanaan, pengorganisasian, penerapan, dan pengkoordinasian agar harapan bisa menjadi kenyataan malah menjadikan UKM berkembang dengan apa yang ada pada dirinya, termasuk keterbatasannya. Pada kenyataannya, meskipun sudah ada kementerian yang khusus menangani pengembangan UKM, toh banyak lembaga
15
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
pemerintah yang terlibat dalam pengembangan UKM. SMERU6 telah memetakan lembaga-lembaga yang terlibat tersebut. Lembaga-lembaga itu antara lain BKKBN (Badan Koordinasi Keluar Berencana Nasional), BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi), Departemen dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat. Keterlibatan kementrian lainnya tersebut tidak menjadi masalah, bahkan mutlak diperlukan untuk suatu kebijakan yang bersifat komprehensif. Dalam hal kebijakan dasar, arah pengembangan UKM semestinya ditentukan cetak birunya oleh Kementerian Koperasi dan UKM yang didukung kebijakan sektoral oleh kementerian lainnya. Dalam hal perpajakan misalnya, diperlukan dukungan kebijakan perpajakan dari Departemen Keuangan yang pro UKM dengan tingkat pajak tertentu sebagai insentif pengembangan UKM; contoh lain mengenai akses pendanaan, Bank Indonesia bisa menerapkan kebijakan yang mengarahkan perbankan nasional untuk mendukung pengembangan UKM; dan lain sebagainya. Sayangnya, dalam implementasi pengembangan UKM, berbagai kementerian justru terjebak dalam tataran teknis sehingga hampir setiap departemen membuat program yang bersifat proyek percontohan yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu kementerian dengan kementerian lainnya. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, misalnya, mempunyai program kerjasama yang didukung perbankan nasional (BUMN) untuk program penjamin kredit UKM; Kementerian Tenaga Kerja juga mempunyai UKM binaan; demikian juga dengan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara yang mempunyai program sejenis yang berjalan sendiri-sendiri, yang 6
16
SMERU sebuah lembaga penelitian melakukan kompilasi berbagai jenis aktivitas terkait UKM, baik yang dilakukan pemerintah, LSM, Lembaga Donor, sebagaimana dituliskan dalam terbitannya tentang “Upaya Upaya Penguatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil Tahun 1997-2003”.
terkesan kuat tidak adanya pendekatan program pengembangan UKM yang bersifat komprehensif.7 Persoalan pengembangan UKM yang tumpang tindih tersebut tidak terlepas dari keragu-raguan pemerintah dalam membuat TUPOKSI (Tugas, Pokok dan Fungsi) masing masing kementerian. Berdasar Perpres 9/2005 tentang “Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia” (pasal 95) ditetapkan kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM yaitu ‘perumusan kebijakan nasional dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang koperasi dan UKM’, artinya bahwa fungsi kementerian ini tidak sampai pada aktivitas operasional teknis untuk menjalankan program. Namun Perpres yang merupakan dasar kerja Kabinet Indonesia Bersatu yang belum berusia 2 bulan tersebut, sudah akan direvisi karena Kementerian Koperasi dan UKM ingin menjalankan program secara teknis. Berbagai kepentingan itu menunjukkan lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah.
Selain unsur pemerintah, berbagai pihak di luar Non pemerintahan juga terlibat dalam upaya Pemerintah pengembangan UKM, yang dapat dikategorikan dalam: sektor usaha, masyarakat, dan lembaga donor.
Program-program kemitraan antara pelaku Pelaku Usaha usaha besar dan UKM saat ini telah dikembangkan Swasta oleh sejumlah perusahaan besar untuk membantu UKM dalam memperluas jangkauan penjualan produk-produknya. Program-program tersebut pada dasarnya dikelola dengan pendekatan bisnis yang 7
Hal ini sepenuhnya merupakan pandangan subyektif para narasumber studi ini dari unsur non pemerintah (dan sebagian narasumber dari unsur pemerintah) yang disampaikannya dalam wawancara; dalam diskusi kelompok yang dihadiri para nara sumber, tidak ada keberatan mengenai persepsi ini.
17
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bukan merupakan program yang bersifat karitatif. Berikut contoh kemitraan tersebut. Kemitraan Produsen Besar dengan Produsen Kecil (UKM) Contoh I : PT UKMI (Usaha Kita Makmur Indonesia), sebuah perusahaan dagang yang didirikan oleh mantan eksekutif sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman sangat besar di Indonesia untuk menampung hasil produksi UKM untuk dipasarkan ke pasar yang lebih luas (global). Justifikasi program ini adalah untuk saling memberi manfaat (mutual benefit relationship) di antara keduanya. Usaha kecil menengah mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas untuk produk-produk yang dihasilkannya; sementara perusahaan dagang tersebut mendapatkan keuntungan dari marjin penjualan produk yang dipasok UKM. Contoh II: Sebuah kelompok perusahaan besar produsen utama tepung terigu dan produk produk ikutannya (PT Bogasari Flourmills) menjalin kemitraan dengan para produsen mikro dan usaha kecil menengah (UMKM) yang menggunakan bahan baku yang berasal dari Bogasari. Dalam kemitraan tersebut, Bogasari menjamin pasokan bahan baku yang dihasilkannya dengan kualitas prima dan kontinuitas pasokan kepada UMKM yang terlibat. Selain itu, perusahaan tersebut juga memberikan bimbingan teknis kepada para produsen UMKM untuk menghasilkan produk (roti atau mie, misalnya) yang memenuhi standar produk akhir dengan tingkat kualitas prima. Bogasari tidak saja memberikan bimbingan teknis dalam aspek produksi namun juga dari aspek pembinaan manajemen (terutama aspek perdagangannya), dan akses ke lembaga-lembaga keuangan yang hasil akhirnya bertujuan agar UMKM tersebut bisa mandiri untuk mengembangkan pasarnya. Peningkatan kapasitas produsen UMKM tersebut baik dalam aspek produksi maupun pemasarannya telah meningkatkan kemampuan UMKM tersebut untuk meningkatkan pangsa pasarnya masingmasing. Pendekatan kemitraan tersebut tidak saja memberi keuntungan bagi UMKM yang meningkat kualitas produk dan juga berkembang pangsa pasarnya, namun juga memberi keuntungan pada produsen besar tersebut karena dengan meningkatnya pangsa pasar UMKM yang menjadi mitranya (yang menyerap sekitar 60 persen produksi tepungnya) berarti meningkatkan kebutuhan bahan baku yang diproduksinya.
18
Kedua contoh kemitraan tersebut, yang murni merupakan inisiatif sektor swasta, menarik untuk dikaji karena meskipun pada dasarnya kedua jenis kemitraan tersebut merupakan kemitraan bisnis antara pemain besar dengan pemain menengah/ kecil/bahkan mikro, namun arah kemitraan penjualan produknya berbeda. Dalam contoh pertama, UKM merupakan pemasok produk ke pelaku usaha besar, sebaliknya dalam contoh kedua, pelaku usaha besar yang menjadi pemasok UKM. Dalam contoh kedua, yang mesti dicermati adalah apakah peningkatan keuntungan kedua belah pihak secara proporsional seimbang ataukah ada penyerapan keuntungan/manfaat yang jauh lebih dirasakan oleh salah satu pihak sehingga kelak akan menggerogoti tingkat kepercayaan satu sama lain dalam hubungan kemitraan tersebut. Hal ini perlu dikemukakan karena Bogasari mendominasi pasar terigu domestik dan karenanya pasar yang terbetuk adalah pasar yang monopolistik atau pasar tidak sempurna. Dalam kondisi penguasaan pasar yang sangat dominan ini, meskipun telah mendapatkan bantuan teknis peningkatan kapasitas UMKM dari berbagai aspek, posisi tawar UMKM dalam konteks kemitraan ini menjadi sangat lemah untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang proporsional. Bila stuktur pasar komoditi tersebut tetap seperti saat ini, tingkat keuntungan yang memadai/proporsional untuk UMKM sangat tergantung pada ‘rasa keadilan/niat baik’ pelaku usaha besar tersebut. Beragam upaya lainnya digagas dan dilaksanakan oleh banyak perusahaan, antara lain PT Astra International Tbk, PT Bahana Artha Ventura, PT Pos Indonesia, PT Sucofindo, PT Unilever, dan lainlain. Dari kalangan Perbankan berbagai Bank terlibat juga dalam pengembangan UKM diantaranya Bank Indonesia, Bank Bukopin, BCA, Bank Mandiri, Bank Danamon, BRI, Bank Niaga, dan lain-lain8. Dalam pengembangan UKM ini, APINDO juga ikut ambil bagian melalui programnya ‘Kewirausahaan 8
Ibid, SMERU
19
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Perempuan’. Program ini bertujuan memberdayakan para pengusaha perempuan yang kebanyakan UKM, baik anggota maupun non anggota APINDO, untuk meningkatkan kinerja usahanya, dengan memberikan konsultasi mengenai berbagai kebijakan pemerintah (misalnya, perizinan, advokasi mengenai persyaratan perbankan yang rumit), dan pembinaan manajemen (dalam hal: pemasaran, keuangan, hubungan industrial, dan lain-lain). Program yang merupakan kerjasama APINDO Pusat dan Cabang-cabangnya dengan dukungan dana lembaga donor ini, telah dijalankan sejak dua tahun yang lalu di beberapa daerah di Indonesia.
Masyarakat
Berbagai lembaga swadaya masyarakat terlibat dalam upaya-upaya pengembangan UKM, beberapa di antaranya seperti Bina Swadaya, GEMA PKM (Gerakan Masyarakat Pengembangan Kredit Mikro), FORNAS UKM, JNP UKM, PUPUK, Kadin Indonesia, Yayasan Darma Bhakti Astra, LP3ES, PINBUK, dan lain-lain 9 . Lingkup kegiatan lembaga swadaya masyarakat itu ada yang berskala nasional maupun lokal dengan fokus kegiatan di bidang advokasi kebijakan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan akses pasar, peningkatan akses finansial. GEMA PKM misalnya lebih memfokuskan kegiatannya untuk keuangan mikro; Bina Swadaya lebih banyak melakukan pendampingan langsung para pelaku UKM di lapangan untuk sektor pertanian; Fornas UKM menghimpun lebih dari 60 Forda UKM untuk memperluas pasar dan advokasi kebijakan; Kadin Indonesia mendukung suatu perusahaan dagang untuk menghimpun produkproduk UKM agar dapat menembus pasar yang lebih luas; dan lain-lain. Demikian juga LSM Internasional seperti Care International, CRS, Mercy Corps, dan
20
9
Ibid, SMERU
10
Ibid, SMERU
lain-lain10 juga terlibat dalam pengembangan UKM melalui implementasi berbagai jenis programnya masing masing.
Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan sejumlah lembaga donor seperti ADB (Bank Pembangunan Asia), TAF (the Asia Foundation), USAID, AUSAid, Bank Dunia, Uni Eropa (EU), dan lainlain yang mendukung program pengembangan UKM dengan kontribusi dana maupun bantuan teknis (Technical Assistance/TA) kepada berbagai lembaga swadaya masyarakat di atas maupun melalui kerjasama dengan pemerintah.
Lembaga Donor
Bank Pembangunan Asia, misalnya, mendukung peningkatan kapasitas UKM dengan mendirikan pusat layanan bisnis atau BDS (Business Development Services). Menarik untuk disampaikan bahwa pendampingan BDS pada UKM yang semula lebih bersifat karitatif dalam membantu peningkatan kinerja UKM, saat ini sudah dikelola berdasar hubungan bisnis yang menghasilkan manfaat bagi kedua belah pihak. The Asia Foundation, melalui programnya PEPR (Partnership for Enterprise Policy Reform) secara intensif mengembangkan Forum Daerah UKM di berbagai daerah. Selain itu USAID melalui kerjasama dengan TAF dan UKM Lokal, telah menjalankan program yang berhasil memperbaiki iklim usaha, khususnya dalam hal perizinan usaha11.
11
Berdasar laporan The Asia Foundation (TAF) diketahui bahwa TAF mengembangkan sekitar 15 OSS (one-stop-service) pelayanan berbagai jenis perizinan usaha. Hasil implementasi OSS tersebut sangat bagus: 1) waktu yang diperlukan untuk pendaftaran suatu perusahaan turun 60 persen di mana rata-rata hanya membutuhkan waktu 15 hari; 2) biaya perizinan usaha turun 30 persen; 3) setelah mendaftar, hampir 70 persen perusahaan meningkat keuntungan usahanya dan penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan 75 persen upah karyawan; 4) OSS menghasilkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan kemakmuran.
21
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
22
4. Kajian Peraturan Perundang-undangan
Analisis kebijakan publik sangat penting karena keberadaan dan implementasinya akan menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi pendorong atau sebaliknya malah menghambat aktivitas ekonomi, di mana UKM menjadi salah satu bagiannya. Dalam konteks studi ini, analisis kebijakan dalam aspek perdagangan dan ketenagakerjaan UKM harus selalu dikaitkan dengan upaya mengurangi kemiskinan. Dalam konteks tersebut, pengembangan UKM menjadi penting karena perannya yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Oleh karenanya penting untuk menyingkirkan segala hal yang menghambat potensi UKM dalam meningkatkan kinerja ekonominya. Analisis kebijakan publik/pemerintah dalam studi ini yang meliputi UU, PP, Keppres/Perpres, Kepmen, dan Perda, pada dasarnya untuk mengetahui apakah kebijakan pemerintah dalam pengembangan UKM telah dilakukan secara komprehensif. Untuk itu, sebelum membahas isu spesifik mengenai perdagangan dan ketenagakerjaan UKM, akan disampaikan terlebih dahulu prinsip prinsip dasar yang perlu menjadi acuan dalam pengembangan UKM. Mengacu pada kenyataan bahwa belum ada cetak biru pengembangan UKM sebagaimana disampaikan sebelumnya, beberapa hal dasar sebagai acuan adalah pentingnya koordinasi dan
23
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
kerjasama antar instansi pemerintah pusat, hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola hubungan antara pemerintah (pusat dan daerah) dengan sektor non pemerintah – secara khusus, pelaku usaha besar maupun kecil. Selain hal-hal dasar di atas, cetak biru pengembangan UKM juga harus memperlihatkan saling ketergantungan/interdependensi bisnis antara UKM dengan perusahaan besar dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Hal ini penting tidak saja bagi para pelaku usaha (besar dan kecil) sebagai subyek kebijakan, namun juga bagi pemerintah agar tidak terjebak dalam kegiatan karitatif dan melaksanakan kegiatan semata mata hanya demi kegiatan itu sendiri, dengan mengesampingkan tujuan substansial pengembangan UKM. Studi literatur (lihat JICA-GoI, 2004), didukung pendapat para narasumber yang diwawancarai, menegaskan bahwa pengembangan UKM dalam hubungan yang saling tergantung dengan pelaku besar harus didekati melalui pengembangan pengelompokan (cluster) industri yang spesifik untuk tiap jenis industri. Contoh dalam Boks sebelumnya menunjukkan bahwa keberhasilan kemitraan pelaku besar dan UMK menjadi produktif untuk jangka panjang karena adanya keterkaitan bisnis dalam suatu industri tertentu. Atas dasar prinsip-prinsip dasar di atas, analisis terhadap kebijakan-kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan yang berlaku12 yang akan diuraikan berikut ini, menggunakan kerangka pembahasan dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang berlaku dan pengelompokan lini industri terkait, dengan acuan sejumlah kriteria analisis kebijakan yang dikemukakan dalam bagian metodologi di atas. Meskipun analisis kebijakan diupayakan menghasilkan suatu analisis yang komprehensif 12
24
Lihat lampiran daftar peraturan perundang-undangan yang dianalisis dalam studi ini.
untuk pengembangan UKM, namun karena lingkupnya yang terbatas pada kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan, maka sebagai konsekuensi analisis yang dihasilkan merupakan analisis parsial untuk pengembangan UKM.
Tidak seperti sektor sektor usaha lain yang memiliki undang-undang sendiri seperti UU Kehutanan, Pertambangan, Migas, dan lain-lain, hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU Perdagangan Dalam Negeri. Selama tiga tahun terakhir ini, pemerintah berupaya membuat RUU tersebut tapi sampai tulisan ini dibuat, RUU tersebut belum terselesaikan. Kebijakan perdagangan dalam negeri selama ini mengandalkan sejumlah PP, Keppres, dan Kepmen yang langsung berhubungan dengan perdagangan; dan secara tidak langsung diatur dalam UU sektor pemerintahan lainnya yang berimplikasi ke perdagangan. Sementara itu, dalam perdagangan internasional, Indonesia relatif cepat dalam mengadopsi kebijakan perdagangan global dan regional dengan meratifikasi kebijakan perdagangan internasional, seperti WTO. Dalam skala regional, Indonesia juga aktif menerapkan konsensus APEC dengan meminimalisasi hambatan Perdagangan antarnegara anggotanya.
4.1. Peraturan Perundangundangan yang Mempengaruhi Perdagangan Hambatan Perdagangan Dalam Negeri
Dari kajian perundang-undangan di tingkat nasional, ditemukan adanya kemungkinan terjadinya disharmoni antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang berimplikasi ke sektor perdagangan. Melalui UU No.7/1994 tentang Ratifikasi Kebijakan Perdagangan WTO, Indonesia telah mengikuti arus global untuk menghilangkan hambatan perdagangan antarnegara, namun ternyata hal ini tidak diikuti dengan kebijakan perdagangan dalam negeri. UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (di bawah Departemen Dalam Negeri), sebagai dasar UU yang menerapkan otonomi daerah, memberikan kewenangan sepenuhnya pada daerah untuk mengatur kebijakan perdagangannya. Demikian pula dengan
25
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
UU No.34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (di bawah Departemen Keuangan) memberi keleluasaan besar bagi daerah untuk menciptakan kebijakan pajak dan pungutan daerahnya. Pada dasarnya, kedua UU tersebut secara normatif tidak secara langsung bertentangan dengan prinsip “kesatuan ekonomi wilayah perdagangan dalam negeri” dengan mensyaratkan sejumlah kriteria tertentu sebagai pedoman pemerintah daerah dalam membuat kebijakan daerah agar tidak mengganggu perdagangan dalam negeri. Untuk menjamin harmoni peraturan perundang-undangan, kedua UU tersebut juga memberikan kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional. Namun demikian, karena kedua UU tersebut memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk membuat peraturan perdagangan melalui peraturan daerah (Perda), pada kenyataannya berbagai Perda yang dibuat pemerintah daerah telah mendistorsi aktivitas perdagangan dalam negeri. Studi KPPOD dan berbagai lembaga penelitian dan advokasi kebijakan lainya menunjukkan munculnya Perda yang menerapkan hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan dalam negeri13. Berdasar ketentuan hukum, persoalan tersebut semestinya bisa diatasi pemerintah pusat dengan membatalkan Perda tersebut, namun karena lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah pusat dan pembangkangan daerah-daerah otonom, menyebabkan ketentuan perundang-undangan sulit diimplementasikan. Berbagai hambatan perdagangan tersebut telah menyebabkan tambahan biaya perdagangan 13
26
Dari 1.025 Perda yang dianalisis KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), disebutkan sekitar 30,2% Perda berpotensi menyebabkan ekonomi biaya tinggi; salah satu jenis penyebabnya adalah pengenaan pungutan oleh pemerintah daerah terhadap keluar masuknya barang yang diperdagangkan dari satu daerah ke daerah lainnya di wilayah Indonesia. Berbagai asosiai pelaku usaha, termasuk UKM berkeberatan dengan tambahan biaya akibat pungutan tersebut. Lebih jauh, lihat KPPOD: “Laporan Kajian Perda” (2002 dan 2003), dan “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia” (2004).
sehingga menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) tidak saja bagi pelaku usaha pada umumnya namun juga bagi dan terutama menjadi beban UKM yang sangat sensitif terhadap setiap kenaikan biaya produksi/distribusinya. Dalam kondisi transisi Pemerintahan Indonesia dari sistem politik otoritarian menuju demokrasi, dan sistem pemerintahan yang sentralistik menuju desentralisasi dengan segudang permasalahannya, akan tepat apabila kedua UU tersebut di atas memberikan kewenangan terbatas kepada pemerintah daerah untuk membuat Perda pada jenis-jenis kebijakan yang dapat dibuat oleh pemerintah daerah, tanpa memberikan kebebasan membuat kebijakan di luar ketentuan. Selain karena persoalan transisi kelembagaan pemerintahan tersebut, usulan ini mendapat pembenaran dari Kadin Indonesia dalam rekomendasinya kepada Pemerintah Indonesia.14
Selain persoalan hambatan perdagangan di atas, hal penting lainnya dalam kajian kebijakan terkait aktivitas perdagangan adalah mengenai hubungan bisnis antara pelaku besar dan UKM. Mengenai persoalan ini, pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk mengembangkan UKM, di antaranya ditunjukkan dengan adanya kebijakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang mengharuskan pasar moderen (dalam hal ini supermarket) memberikan 20 persen tempat penjualannya untuk produk-produk UKM. Demikian juga kebijakan terhadap pasar moderen lainnya (hipermarket) yang dibatasi keberadaannya hanya dapat beroperasi di lokasi pinggiran kota, dan akan segera dikuatkan dengan rencana penerbitan Peraturan Presiden sebagai revisi Keputusan Menteri Perindag. No.154/MPP/Kep/5/1997 dengan membatasi operasional hipermarket hanya di kota kota Provinsi. Berbagai kebijakan tersebut pada dasarnya untuk memberikan akses yang lebih luas 14
Hubungan Bisnis Pelaku Usaha BesarUKM: Kebutuhan akan Pengelompokan Industri
Lihat dalam “Revitalisasi Industri dan Investasi” Kadin-Indonesia, 2004.
27
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
kepada UKM untuk memasarkan produknya dan untuk menciptakan persaingan dan pola hubungan yang adil antara pelaku usaha besar dan UKM. Sayangnya dalam tataran implementasi, UKM mengalami kesulitan serius untuk memasarkan produknya di supermarket yang didominasi oleh pemasok-pemasok besar sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Menurut UKM, ada resistensi dari pemilik/manajemen pasar swalayan. Sebaliknya, para pemilik/pengelola pasar swalayan mengemukakan bahwa penolakan tersebut lebih dikarenakan tidak dipenuhinya persyaratan kualitas dan kepastian pasokan barang dagangan yang akan menurunkan kinerja pasar swalayan. Dalam situasi yang saling bertentangan tersebut dituntut peran aktif Departemen Perdagangan sebagai pembina masalah perdagangan untuk melakukan pengawasan dan menindaklanjuti hasil investigasi berdasar fakta-fakta di lapangan. Bilamana terjadi kesewenang-wenangan pasar moderen yang tidak mau mengikuti ketentuan kebijakan, semestinya dengan mudah dapat diambil tindakan/intervensi pemerintah untuk membenahinya. Sebaliknya apabila memang didapati kenyataan mengenai lemahnya UKM dalam hal kualitas dan kesinambungan pasokan produk, maka tindakan proaktif harus diambil yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Salah satu cara yang bisa ditempuh misalnya, dengan pendekatan pengelompokan industri yang melibatkan kepentingan berbagai pihak. Pemerintah bisa mengarahkan pemasok bahan baku produsen UKM untuk membina UKM yang bersangkutan dalam meningkatkan kualitas dan kepastian pasokan produknya (Contoh Kemitraan Bogasari Flour Mills dalam Boks di atas) dengan adanya jaminan pasar moderen untuk memajang produk tersebut dengan syarat standar kualitas yang ditetapkannya. Dengan cara tersebut setiap pihak yang berkepentingan memainkan perannya masingmasing dengan cara yang saling menguntungkan. Di sisi lain, komitmen pemerintah dengan alokasi anggaran pemerintah yang terbatas tidak perlu
28
ditujukan untuk menjalankan program kemitraan itu sendiri yang dapat berbiaya besar, namun hanya mengeluarkan anggaran kecil yang diperlukan untuk bertindak sebagai fasilitator kemitraan tersebut. Pentingnya pendekatan pengelompokan lini industri tertentu dalam pengembangan UKM sebenarnya juga menjadi perhatian pemerintah, yang setidaknya bisa dilihat pada “Program Aksi Pemberdayaan UMKM Tahun 2005-2009” Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Dalam rencana tindak tersebut, pemerintah merencanakan membangun jaringan pasar UKM dengan mengembangkan pusat promosi bisnis (trading house) dan informasi pasar berbasis teknologi (ecommerce). Rencana aksi tersebut didukung dengan rencana pengembangan kemitraan usaha pada jenis-jenis usaha yang memiliki saling ketergantungan, dalam berbagai skema seperti intiplasma, waralaba, keagenan, dan lain-lain. Dukungan dari sisi akses finansial UKM juga melengkapi rencana tindak pemerintah dalam skema tersebut.15 Program tersebut pada dasarnya tepat dalam pengertian apabila Kemennegkop dan UKM menempatkan institusinya pada peran sebagai penentu kebijakan, fasilitator dan evaluator penerapannya, dengan menempatkan perusahaan besar dan UKM sebagai pelaku utama dalam program-program tersebut. Saat ini belum bisa dievaluasi secara menyeluruh mengenai pelaksanaan program tersebut di lapangan karena baru mulai dijalankan sehingga belum bisa dinilai apakah Kemenegkop telah menempatkan para pelaku usaha sebagai subyek program tersebut, atau justru Kemennegkop sendiri yang menjadi subyeknya di mana para pelaku usaha hanyalah menjadi obyek program/kegiatan – hanya demi program itu sendiri. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi program tersebut adalah mengenai tata hubungan pemerintah pusat–daerah. Dalam 15
Lihat lebih lanjut dalam “Rencana Aksi Pemberdayaan UMKM Tahun 2005-2009 Kementrian Koperasi dan UKM”
29
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
konteks otonomi daerah, Kemennegkop semestinya menempatkan pemerintah daerah (pemda) sepenuhnya sebagai pihak yang menjalankan program tersebut karena sebagai daerah otonom, pemda mempunyai legitimasi politik kuat di daerahnya masing masing. 16 Pemda juga yang mengetahui secara persis pengelompokan industri/ produk unggulan di wilayahnya masing-masing yang perlu didukung pengembangannya. Kembali perlu ditegaskan bahwa peran pemerintah pusat dengan kementerian-kementerian teknis lainnya sebatas membuat kebijakan pendukung pengembangan UKM, memonitor, dan mengevaluasinya. Unsur pemerintah pusat, melalui instansi vertikalnya masing masing di provinsi terkait dapat mengkoordinasikan pengembangan pengelompokan industri berbasis keunggulan produk daerah masing-masing tersebut untuk mengetahui persis seberapa besar skala ekonomi yang tepat untuk pengembangannya, apakah di tingkat Kabupaten/Kota ataukah di tingkat Provinsi. Tiap karakteristik kelompok industri akan bisa sangat berbeda baik dari sisi strategi pengembangannya maupun untuk lingkup wilayahnya.
Hubungan Pelaku Usaha Besar-UKM, Persaingan Bebas vs Persaingan Adil
Pembahasan bagian ini masih mengenai hubungan bisnis UKM dengan pasar moderen, dalam hal ini dengan hipermarket. Dalam hubungan bisnis, diidenfifikasikan adanya ketidakharmonisan hubungan yang terjadi antara kedua unsur tersebut sebagaimana disinggung sebelumnya; yang pada dasarnya pihak UKM merasa dibebani biaya yang harus ditanggungnya untuk memajang dan menjual produknya di hipermarket.
16
30
Penting untuk dicatat bahwa dalam tata perencanaan pembangunan nasional saat ini, dengan dihapuskannya GBHN, Indonesia tinggal memiliki PROPENAS (Program Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagai dokumen perencanaan pembangunan tertinggi. Propenas yang ditetapkan sebagai UU yang dalam penjabarannya menjadi RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) berdasar PERPRES No.9/2005 secara teorits seharusnya menjadi acuan bagi daerah-daerah otonom dalam penyusunan PROPEDA (Program Perencanaan Daerah) yang lebih lanjut dijabarkan ke dalam RENSTRA (Rencana Strategis) masing-masing. Namun dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung, legitimasi politik pimpinan daerah untuk menjalankan janji-janji politiknya lebih kuat dibandingkan untuk mengikuti ketentuan PROPENAS.
Dalam pola hubungan UKM dengan hipermarket tersebut, hipermarket mengenakan uang pendaftaran (sejumlah uang yang harus dibayar pemasok untuk menempatkan produk dagangannya di hipermarket) dan biaya-biaya lainnya (biaya promosi, dan lain-lain) kepada para pemasoknya, termasuk UKM. Kebijakan uang pendaftaran dan beban biaya promosi oleh para pemasok besar pada umumnya tidak dianggap sebagai masalah karena praktek tersebut sudah lazim dilaksanakan dalam pola hubungan tersebut di manapun. Namun persoalannya menjadi lain ketika UKM pemasok produk tidak mampu membayar uang pendaftaran dan biaya biaya lainnya tersebut. Biaya pendaftaran tersebut menjadi beban biaya yang menghambat akses UKM sebagai pemasok hipermarket. Menurut pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi pemasok pasar moderen (anggotanya kebanyakan UKM), kasus kasus seperti ini sebenarnya cukup banyak terjadi namun sangat jarang persoalan ini dibawa ke publik. Keberanian pelaku UKM untuk membawa kasus ini ke publik menjadi persoalan serius karena sampai ke berbagai institusi terkait termasuk ke KPPU (Komite Pengawasan Persaingan Usaha) dan mendapat tanggapan yang luas dari masyarakat. Dalam penjelasannya di media masa, hipermarket yang bersangkutan menjelaskan bahwa jumlah uang pendaftaran yang dikenakan tergantung pada posisi pasar pemasok, semakin tidak dikenal dan tidak diperlukan produk tersebut, biaya pendaftaran yang dikenakan semakin tinggi. Dalam praktek ini, produk produk perusahaan besar bahkan ada yang tidak harus membayarnya karena hipermarket yang justru membutuhkan produk mereka; namun hampir semua pemasok kecil harus membayar biaya pendaftaran dalam jumlah yang bervariasi. Bila mengacu pada prinsip permintaan dan penawaran, contoh kasus di atas memperlihatkan bagaimana mekanisme pasar tidak sempurna bekerja – modal/kekuatan besar menekan modal kecil. Pertanyaannya adalah apakah adil untuk membebankan biaya pendaftaran kepada UKM, dan
31
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
bahkan ketika pelaku kecil bangkrut, hipermarket menolak untuk mengembalikan uang tersebut. Kompetisi bebas mengalahkan kompetisi yang adil! Dengan adanya persaingan tidak sempurna tersebut, intervensi pemerintah melalui Keppres yang direncanakan akan diterbitkan, seharusnya menekankan prinsip persaingan yang adil dibandingkan persaingan bebas. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk menata ulang pola hubungan bisnis antara UKM dengan hipermarket dengan memberikan perlakuan khusus bagi UKM – bukan untuk mendapat proteksi – namun untuk menjamin kompetisi yang adil, karena UKM mempunyai kesempatan sangat kecil untuk berkompetisi dengan pelaku besar. Dengan mengakomodasi kebutuhan khusus UKM, diharapkan meningkatkan akses perdagangannya yang berujung pada peningkatan kapasitasnya. Dalam kebijakan tersebut, skala pelaku kecil seperti apa yang berhak mendapatkan manfaat perlakuan khusus tersebut tentu harus didefinisikan secara jelas. Maka menjadi penting untuk mengintegrasikan berbagai macam definisi tentang UKM dalam satu UU sebagai referensi tunggal peraturan perundang-undangan lain yang terkait. UU No.9/1995 tentang Koperasi & UKM perlu didefinisikan ulang dengan mempertimbangkan berbagai definisi yang dibuat tiap-tiap departemen/ intitusi pemerintah, untuk menghasilkan suatu definisi yang kelak menjadi satu-satunya acuan untuk berbagai macam kepentingan berbagai pemangku peran pembangunan UKM. Beberapa definisi UKM yang dibuat lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan lain-lain perlu dipertimbangkan untuk mengakomodasi berbagai aspek kebutuhan pengembangan UKM.
32
Permasalahan penting dalam UU No. 13/2000 yang mengatur ketenagakerjaan dan peraturan perundangan pendukungnya adalah mengenai ketentuan pengupahan. Mengenai upah minimum, UU tersebut menentukan bahwa perusahaan wajib mematuhi ketentuan upah minimum untuk melindungi pekerja. UU tersebut telah mengatur dengan baik bahwa perusahaan yang belum mampu memenuhi ketentuan upah minimum diberikan kesempatan untuk mengajukan penundaan tapi sebelumnya harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Ketentuan mengenai hal ini selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No.231/MEN/2003 yang mensyaratkan perusahaan yang meminta penundaan pelaksanaan upah minimum untuk mendapat persetujuan Serikat Pekerja dan menyertakan hasil audit dari perusahaan/kantor akuntan publik dalam permohonannya. Syarat persetujuan dari serikat pekerja dimaksudkan untuk menjamin hubungan industrial antara majikan dan pekerja; sedangkan syarat hasil audit laporan keuangan untuk membuktikan bahwa perusahaan yang bersangkutan memang tidak/belum mampu membayar sesuai ketentuan upah minimum.
4.2. Peraturan Perundangundangan yang Mempengaruhi Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, dan Sengketa Ketenagakerjaan
Untuk usaha kecil dan menengah, khususnya perusahaan kecil, ketentuan hasil audit tersebut sangat memberatkan karena kapasitasnya untuk membuat catatan keuangan perusahaan yang memenuhi ketentuan standar akuntasi sangat minim bahkan di hampir semua kasus sama sekali tidak memiliki kapasitas tersebut. Juga hampir tidak mungkin bagi perusahaan kecil memenuhi kewajibannya membayar kantor akuntan publik untuk melakukan audit keuangan perusahaannya. Hambatan tersebut memaksa perusahaan kecil tidak mematuhi ketentuan yang ada dan tidak melaporkannya ke Departemen Tenaga Kerja, atau dengan kata lain UKM memilih beroperasi secara informal. Setidaknya terdapat dua kerugian negara dan masyarakat karena praktek ini. Pertama, potensi pendapatan pajak negara hilang karena dalam
33
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
ekonomi informal, UKM tersebut tidak akan membayar pajak. Kedua, kewajiban negara untuk memberikan perlindungan tenaga kerja terabaikan. Menghadapi kondisi ini, penyesuaian Kepmen dengan menyertakan ketentuan-ketentuan khusus bagi UKM diperlukan untuk meminimalisasi beralihnya UKM ke sektor informal; misalnya dengan ketentuan bahwa UKM dibebaskan dari ketentuan laporan yang diaudit akuntan publik, atau bila tetap dipersyaratkan, biaya audit tersebut dibebankan kepada negara. Dari kasus ini, terdeteksi adanya kebutuhan UKM untuk mendapatkan bantuan teknis guna meningkatkan kemampuan manajemennya (dalam hal ini pencatatan keuangan) secara internal. Departemen tenaga Kerja dan Transmigrasi bisa memberikan bantuan teknis manajemen tersebut dengan melibatkan departemen teknis terkait lainnya (misalnya Depkeu) sebagai program/ kegiatan bersama, atau memberikan penugasan kepada sebuat tim internal Depnakertrans untuk meningkatkan kapasitas manajemen perusahaan kecil tersebut. Mengenai ketentuan upah lembur sebagaimana diatur dalam Kepmennaker No.102/MEN/VI/2004 juga potensial mendorong UKM untuk beroperasi pada sektor informal dengan latar belakang dan konsekwensi serupa dengan permasalahn ketentuan upah minimum di atas. Dalam Kepmenaker tersebut semestinya dibuat ketentuan pengecualian bagi UKM yang tidak mampu memenuhi ketentuan upah lembur dengan menyerahkannya pada mekanisme bi-partit antara majikan dan pekerja. Peran pemerintah sebatas pengecekan kondisi riil di lapangan dan tindak lanjut bila ada penyelewengan. Kelonggaran ketentuan ini diharapkan memberikan insentif/mendorong UKM untuk mematuhi peraturan; yang pada gilirannya bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat: perusahaan, pekerja, dan pemerintah. Selain masalah umum ketenagakerjaan, persoalan ketenagakerjaan tidak lengkap bila tidak dilihat juga mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Serikat Pekerja (SP),
34
dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Namun begitu, dalam lingkup UKM, tidak seperti perusahaan besar, permasalahan SP dan PPHI sebagaimana diatur dalam UU No. 21/2000 dan UU No. 2/2004 tidak merupakan permasalahan berarti. Bagi perusahaan menengah sebagian harus berurusan dengan persoalan terkait penentuan SP yang berhak mewakili pekerja dalam berhubungan dengan manajemen perusahaan. Namun begitu UU No.21/2000 tersebut telah mengatur mekanisme perwakilan SP dengan cukup memadai.
Persoalan aktual implementasi otonomi daerah Kebijakan memunculkan permasalahan yang mengindikasikan Daerah adanya diskriminasi perlakuan terhadap para pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa pemerintah daerah menerapkan kebijakan untuk mengutamakan putera daerah dalam mendapatkan pekerjaan di wilayahnya. Putera daerah – yang didefinisikan beragam oleh masing masing daerah, namun substansinya adalah penduduk yang berasal dari daerah setempat – di berbagai daerah mendapat kesempatan istimewa untuk mendapatkan pekerjaan di wilayah administratif suatu daerah otonom. Berbagai daerah menerapkan kebijakan tersebut secara resmi melalui penerbitan Perda; yang lainnya menerapkannya tidak melalui kebijakan resmi, namun melalui pembentukan sikap masyarakat sebagai kekuatan penekan perusahaan untuk memprioritaskan putera daerah. Melalui Perda, kebijakan ini diterapkan dengan mengharuskan perusahaan yang menjalankan aktivitas bisnisnya di daerah otonom untuk mematuhi ketentuan kuota pekerja dengan alokasi persentase tertentu bagi putera daerah. Di sejumlah daerah pengaturan itu tidak hanya dalam lingkup kabupaten/kota namun bisa demikian kakunya dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Kebijakan yang dituangkan dalam
35
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Perda tersebut umumnya menerapkan sanksi administratif berupa denda kewajiban membayar kompensasi finansial untuk tiap pelanggaran kepada pemerintah daerah. Meskipun justifikasi dari kebijakan yang bersifat diskriminatif tersebut pada umumnya didasari alasan untuk pemerataan kesempatan kerja bagi putera daerah dan alasan-alasan sosial lainnya, sebagai negara kesatuan yang menganut prinsip kesatuan wilayah Indonesia untuk pergerakan barang, manusia, dan modal; kebijakan tersebut sangat mengganggu baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi politik, yang dikhawatirkan berkembang menjadi bibit disintegrasi nasional. Kebijakan distortif ini terjadi karena kebijakan nasional mengenai otonomi daerah yang tercermin dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan ketenagakerjaan kepada pemerintah daerah. Kebijakan pemihakan (affirmative policy) tersebut di atas umumnya menjadi masalah serius untuk perusahaan-perusahaan besar dan sebagian perusahaan menengah, dan tidak terlalu berimplikasi ke perusahaan kecil yang pada umumnya beroperasi dengan menggunakan tenaga kerja lokal. Namun begitu permasalahan ini tidak bisa diabaikan dalam konteks perlakuan yang adil bagi warga negara untuk mendapat pekerjaan di seluruh wilayah Indonesia tanpa diskriminasi.
4.3. Peraturan Meskipun studi ini memfokuskan kajiannya pada Perundang- kebijakan yang secara langsung mempengaruhi undangan perdagangan dan ketenagakerjaan, namun studi ini Lainnya tidak bisa sepenuhnya menghindari pembahasan kebijakan-kebijakan lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan pengembangan UKM secara umum, yang pada gilirannya juga dapat mempengaruhi kinerja perdagangan. Kebijakankebijakan tersebut antara lain terkait dengan pengaturan sektor-sektor usaha untuk usaha besar,
36
menengah dan kecil; peningkatan akses finansial UKM; pembinaan manajemen UKM, dan kebijakan fiskal dan moneter. Untuk melindungi UKM dari dominasi pelaku usaha besar, melalui Keppres No.99/1999 (kemudian diamendemen dengan Keppress No.127/2001) tentang Sektor Usaha untuk UKM dan Sektor Usaha Yang Terbuka Untuk Perusahaan Besar Melalui Kemitraan dengan Pelaku Usaha Kecil, pemerintah telah mengambil langkah tepat dengan mengurangi kemungkinan penguasaan perusahaan besar atas semua jenis usaha yang bisa dikerjakan oleh pemodal usaha skala kecil. Hal ini positif, karena tanpa pengaturan ini, apabila perusahaan besar juga melakukan bisnis di sektor usaha kecil, maka besar kemungkinan usaha kecil tidak akan mampu bertahan dalam persaingan bisnis. Dalam hal akses UKM untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan, kebijakan bank sentral dalam Peraturan Bank Sentral Indonesia No.3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil, memungkinkan usaha kecil mendapatkan fasilitas kredit ringan untuk mengembangkan usahanya. Secara kualitatif kebijakan ini akan memudahkan akses finansial usaha kecil. Mengenai pembinaan manajemen UKM, setidaknya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/18/2003 yang pada dasarnya merupakan dukungan perbankan terhadap usaha kecil melalui bantuan teknis pelatihan manajemen dan pemberian berbagai jenis informasi (pasar, komoditas unggulan daerah, dan lain-lain) bagi kepentingan pengembangan usaha kecil. Sedangkan Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. KEP-236/BMU/203 mengatur kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil yang mengharuskan BUMN mengalokasikan 1-5 persen keuntungan bersihnya sebagai pinjaman lunak kepada usaha kecil dengan tingkat suku bunga relatif rendah (maksimum 12 persen per tahun)17. 17
Rentang suku bunga pinjaman komersial bank berkisar 17-21% per tahun pada saat keputusan menteri tersebut dibuat. Saat ini suku bunga pinjaman bank berkisar 14-17%.
37
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Dalam Kepmen BUMN tersebut juga diatur dana “pembanguan komunitas” dalam bentuk hibah untuk usaha kecil di sekitar lingkungan usahanya. Meskipun kebijakan BI dan Kementrian BUMN tersebut positif bagi kepentingan pengembangan Usaha Kecil, ada sejumlah catatan kritis yang perlu disampaikan. Pertama, suku bunga pinjaman sebagaimana disebut di atas perlu terus disesuaikan dengan tingkat suku bunga pinjaman perbankan umum yang terus turun dari tahun ke tahun, agar tetap mempunyai nilai lebih dibandingkan pinjaman komersial perbankan umumnya. Jika suku bunga pinjaman tidak masuk kategori pinjaman lunak, apa gunanya untuk UKM? Kedua, dalam implementasi alokasi keuntungan bersih sebesar 1-5 persen tersebut di atas perlu mendapat catatan karena kebanyakan BUMN mengalokasikan ketentuan minimumnya, yaitu hanya satu persen untuk program kemitraan BUMN dengan usaha kecil. Dilihat dari kebijakannya, tidak ada yang salah dalam dua hal di tas, tapi yang kini diperlukan adalah evaluasi komprehensif terhadap dua kebijakan tersebut.18 Kebijakan lain yang mempengaruhi kinerja UKM adalah mengenai kebijakan fiskal khususnya perpajakan, dan kebijakan moneter. Dengan sistem perpajakan yang berlaku, tidak ada perbedaan tarif pajak untuk perusahaan besar maupun UKM, misalnya dalam hal pajak penghasilan badan. Saat ini tim pemerintah bersama unsur dunia usaha yang dimotori Kadin Indonesia sedang berupaya mereformasi sistem perpajakan; satu hal penting bagi UKM adalah adanya rencana untuk menerapkan tarif pajak penghasilan bagi UKM sedikit di bawah tarif perusahaan besar. Sedangkan mengenai kebijakan moneter, ada usulan narasumber yang perlu dikaji lebih lanjut nantinya yaitu tentang perlunya BI memberikan keringanan simpanan giro wajib minimum (GWM – sejumlah dana yang harus dijaminkan perbankan nasional di BI yang merupakan persentase tertentu dari penyaluran dana masyarakat) bagi perbankan nasional, yang 18
38
Dr. Sri Adiningsih dalam “Regulasi Dalam Revitalisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia”
menyalurkan dananya untuk pembiayaan UKM. Dengan keringanan GWM tersebut, diharapkan merangsang perbankan nasional menyalurkan dananya ke UKM.
Dari uraian bagian 4.1, 4.2, dan 4.3 mengenai kebijakan yang mempengaruhi perdagangan dan ketenagakerjaan serta beberapa kebijakan terkait pembangunan UKM lainnya di atas, cukup jelas bahwa kualitas materi dan implementasi suatu kebijakan, secara kualitatif (akan) berpengaruh pada peningkatan kapasitas/kinerja UKM. Analisis materi kebijakan berdasarkan sejumlah kriteria yang ditetapkan, dan konfirmasi para narasumber menegaskan bahwa UKM hanya akan dapat berkembang bila didukung kualitas kebijakan yang baik, dalam tataran materi maupun implementasinya.
4.4. Pengaruh Kebijakan terhadap Pengembangan UKM
Untuk membuktikan bagaimana kebijakan kebijakan terkait UKM berpengaruh terhadap kinerjanya secara memuaskan, sangat sulit apabila hanya mengandalkan pendekatan kajian kualitatif materi kebijakan dan konfirmasi subyektif para narasumber secara individual, meskipun sudah dilengkapi dengan konfirmasi para pemangku kepentingan melalui diskusi kelompok (focus group discussion). Untuk melengkapi analisis kualitatif tersebut, pada dasarnya bisa dilengkapi dengan analisis data-data kuantitatif yang tersedia. Meskipun kajian studi ini tidak menggunakan pendekatan kuantitatif, sejumlah terbatas data kuantitatif yang akan dipaparkan di bawah ini barangkali dapat digunakan sebagai indikator awal untuk melengkapi analisis kebijakan.
39
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
Tabel 3. Perdagangan (Perdagangan & Eceran), Hotel dan Restoran Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja Kecil Tahun
Orang
Menengah %
Orang
Kecil & Menengah
Besar
%
Orang
%
Orang
%
Total Orang
2000
15.223.033
91,61 1.367.924
8,23
16.590.957
99,84
26.058
0,16
16.617.015 100,00
2001
14.971.538
91,61 1.345.325
8,23
16.316.863
99,84
25.628
0,16
16.342.491 100,00
2002
15.547.307
91,61 1.397.063
8,23
16.944.370
99,84
26.614
0,16
16.970.984 100,00
2003
16.145.340
91,61 1.450.801
8,23
17.596.141
99,84
27.637
0,16
17.623.778 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dalam hal penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan (termasuk di dalamnya hotel & restoran), hampir seluruhnya merupakan kontribusi UKM (99,84%) di mana 91,61% diantaranya dari usaha kecil. Secara persentase, struktur kontribusi UKM pada sektor ini tidak berubah sama sekali dari tahun 2000-2003; namun demikian angka absolut penyerapan tenaga kerja meningkat tiap tahun sekitar 3,8 persen selama tiga tahun dari tahun 2001 sampai 2003 (tahun 2001: 1.345.325 menjadi 1.397.063 tahun 2002, dan menjadi 1.450.801 tahun 2003). Hal ini berarti bahwa meskipun kecil, UKM sektor perdagangan terus memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja baru. Dalam hal nilai tambah, Tabel 4 di bawah ini memperlihatkan bahwa kontribusi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sektor perdagangan dari unsur UKM terhadap total kontribusi sektor ini sangat besar, rata rata di atas 96 persen dari tahun 1999-2003 di mana rata rata lebih dari 75 persen merupakan kontribusi usaha kecil. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa dari tahun 1999 sampai tahun 2003 hampir tidak ada perubahan struktur UKM terhadap total kontribusi sektor Perdagangan (rata rata di atas 96 persen), meskipun nilai absolut kontibusinya terus meningkat rata rata pertahun 3,5 persen, mengimbangi kontribusi pelaku usaha besar dari sektor Perdagangan ini.
40
%
Tabel 4: Perdagangan (Perdagangan & Eceran) Kontribusi PDRB Perusahaan Kecil, Menengah, dan Besar (berdasar harga konstan tahun 1993) Kecil Tahun
Juta Rp.
Menengah %
Juta Rp.
Kecil & Menengah
%
Juta Rp.
%
Besar Juta Rp.
%
Total Juta Rp.
%
1999
35.732.573
75,11 10.084.571 21,20
45.817.144
96,31
1.757.357 3,69
47.574.501 100,00
2000
37.723.384
74,95 10.750.036 21,36
48.473.420
96,30
1.860.401 3,70
50.333.821 100,00
2001
38.819.578
77,57 11.227.959 21,59
50.047.537
96,25
1.950.263 3,75
51.997.800 100,00
2002
40.250.202
77,59 11.622.768 21,58
51.872.970
96,29
1.998.449 3,71
53.871.419 100,00
2003
41.503.897
77,34 12.163.674 21,85
53.667.571
96,39
2.009.288 3,61
55.676.859 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Data-data dari tabel di atas masih jauh dari memadai untuk menunjukkan pengaruh kebijakan terhadap kinerja UKM sektor perdagangan. Namun setidaknya data tersebut menjadi indikator awal bahwa kebijakan terkait perdagangan UKM hampir tidak berpengaruh sama sekali terhadap kinerja UKM – tidak menyebabkan peningkatan maupun penurunan kinerja. Barangkali hal ini sejalan dengan analisis kualitatif kebijakan terkait pembangunan UKM dalam aspek perdagangan dan ketenagakerjaan pada bagian sebelumnya dalam tulisan ini (4.1 dan 4.2), yang hanya dinilai cukup baik – tidak sangat baik, namun juga tidak jelek/ distortif. Sedangkan pengaruh kebijakan pembangunan UKM lainnya dalam hal akses finansial dan pembinaan manajemen terkait lembaga perbankan dan kemitraan dengan BUMN (bagian 4.3) sama sekali belum dapat dianalisis dengan mengandalkan data kuantitatif karena kebijakan kebijakan BI dan Kemeneg BUMN untuk pembangunan UKM tersebut dibuat tahun 2003, sementara data agregat tahun 2004 belum tersedia.
41
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
4.5. Bagaimana Peraturan Perundangundangan memungkinkan UKM memberikan kontribusi dalam Mengurangi Kemiskinan
Idealnya, bila mengacu pada urutan proses penyusunan kebijakan nasional, dokumen/kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (National Poverty Reduction Strategy Program – SNPK) seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum penyusunan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Hal itu dimaksudkan agar program pengurangan kemiskinan dapat diakomodasi kedalam dokumen pembangunan RPJM yang sangat strategis dalam menentukan arah pembangunan nasional, yang juga digunakan sebagai acuan pembangunan daerah-daerah otonom. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, dokumen SNPK belum selesai, masih dalam pembahasan di Bappenas untuk nantinya diserahkan ke Menko Kesra, yang rencananya tahun 2005 ini akan dipersiapkan naskah akademiknya sebelum akhirnya disahkan menjadi sebuah UU – sementara RPJM sudah disahkan Presiden. Meskipun demikian, karena secara teknis pihak yang menyusun RPJM adalah Bappenas berdasarkan masukan seluruh kementerian pemerintah lainnya, maka dalam prakteknya Bappenas telah merujuk dokumen SNPK awal ke dalam RPJM.19 Sebagaimana disampaikan di bagian latar belakang, dokumen SNPK menyebutkan bahwa pembangunan UKM merupakan jabaran lebih lanjut dari salah satu strategi utama pengurangan kemiskinan yaitu meningkatkan akses orang untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam strategi pengurangan kemiskinan, pengembangan UKM diharapkan meningkatkan kapasitas UKM untuk mengembangkan bisnisnya – perusahaan mikro berkembang menjadi perusahaan kecil, perusahaan kecil berkembang menjadi perusahaan menengah, perusahaan menengah berkembang menjadi perusahaan besar. Dalam kalkulasi sederhana, peningkatan kapasitas UKM 19
42
Deputi Kepala Bappenas bidang Pembangunan Daerah dan Desentralisasi merupakan orang kunci anggota tim KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan) yang mengkonsolidasikan dan memformulasikan segala input dari kementrian-kementrian teknis, saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap draft dokumen PRSP sebelum disampaikan ke Menko Kesra sebagai ketua tim KPK.
tersebut akan meningkatkan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja dan pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Secara statitik, ini berarti akan mengurangi kemiskinan. Untuk menyelaraskan kebijakan pembangunan UKM agar memberikan kontribusi optimal bagi program pengurangan kemiskinan, prioritas pengembangan UKM dirasa perlu untuk diarahkan pada daerah-daerah miskin di Indonesia. Pemetaan yang dibuat pemerintah mencatat bahwa terdapat 190 kabupaten/kota di Indonesia dikategorikan sebagai daerah tertinggal, di mana salah satu kriterianya terkait erat dengan kemiskinan20. Langkah awal yang bisa diambil untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal tersebut adalah dengan mengenali produk unggulan dari daerah-daerah tersebut yang potensial untuk dikembangkan. Dengan pendekatan pengelompokan industri, mutlak diperlukan sinergi antara produk/potensi ekonomi tersebut dengan UKM dari daerah yang bersangkutan, dan para pelaku usaha besar yang potensial untuk mengembangkannya menjadi kekuatan ekonomi masyarakat. Sinergi tersebut harus mencakup berbagai aspek pengembangan UKM dari sisi produksi (diversifikasi dan kualitas produk, rantai pasokan bahan baku, dan lain-lain), pemasaran dan perdagangannya (kelancaran pasokan produk, jaringan distribusi, dan lain-lain), dukungan lembaga keuangan (perbankan nasional, lembaga keuangan non-perbankan, lembaga keuangan mikro), dan lain-lain. Komitmen pemerintah (pusat dan daerah) untuk mendukung pengembangan pengelompokan industri tersebut bisa ditunjukkan setidaknya dalam tiga hal. Pertama, pembuatan kebijakan pendukung aktivitas kelompok industri tersebut; termasuk di antaranya membatalkan atau merevisi kebijakan kebijakan yang menghambat, di antaranya 20
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam dokumennya “Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal” berdasarkan 6 (enam) kriteria utama (perekonomian masyarakat, SDM, prasarana infrastruktur, keuangan daerah, aksesibilitas, dan karekteristik daerah) telah memetakan daerah-daerah tertinggal di Indonesia yang meliputi 190 kabupaten/kota yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pembangunan.
43
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
sebagaimana dibahas dalam bagian 4.1, 4.2, 4.3. Kedua, menjadi fasilitator, monitoring dan evaluator bagi berjalannya kelompok tersebut. Ketiga, komitmen anggaran keuangan untuk menciptakan berbagai prasarana penunjang aktivitas UKM. Dengan momfokuskan pengembangan UKM di daerah-daerah tertinggal tersebut dengan pendekatan kelompok industri yang bersangkutan, kontribusi optimal pengembangan UKM terhadap pengurangan kemiskinan bisa diharapkan berhasil.
44
5. Kesimpulan & Rekomendasi
Kebijakan pemerintah sebagaimana tercermin 5.1. dalam peraturan perundang-undangan, secara Kesimpulan umum telah menunjukkan keberpihakannya pada kebutuhan spesifik UKM. Kebijakan untuk membatasi ruang pelaku usaha besar agar tidak mengambil jatah usaha UKM, ketentuan tingkat suku bunga perbankan yang lebih rendah dibandingkan suku bunga komersial umumnya untuk UKM, ketentuan program kemitraan BUMN dengan UKM, adanya kementerian khusus yang menangani UKM, dan lainlain, setidaknya dalam level kebijakan, telah mendukung iklim kondusif bagi berkembangnya UKM. Meskipun demikian, dalam tataran implementasi kebijakan, koordinasi dan kerjasama antar lembaga pemerintah di tingkat pusat dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, masih lemah yang menyebabkan efek kebijakan kurang optimal menghasilkan perbaikan kinerja UKM. Secara khusus, berikut ini beberapa temuan spesifik analisis peraturan perundangan-undangan terkait aktivitas perdagangan dalam negeri dan ketenagakerjaan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang menjadi fokus studi ini Dalam tataran kebijakan, kualitas peraturan perundang-undangan nasional yang terkait perdagangan pada dasarnya cukup berpihak pada pengembangan UKM, meskipun belum dapat dikatakan sangat kondusif. Dalam implementasi kebijakan perdagangan dalam negeri, secara
45
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
khusus mengenai pola hubungan antara perusahaan eceran/hipermarket (pelaku usaha besar) dan pemasoknya (UKM), posisi tawar UKM masih sangat lemah dalam suatu persaingan bebas yang mengesampingkan prinsip-prinsip persaingan yang adil. Dalam kaitannya dengan tata pemerintahan pusat-daerah, substansi materi peraturan perundang undangan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas perdagangan, membuka peluang munculnya distorsi kebijakan di tingkat daerah. Akibatnya, muncul peraturan-peraturan daerah yang menerapkan hambatan perdagangan dalam negeri baik yang bersifat tarif dan non-tarif. Bagi UKM, hambatan tarif tersebut menurunkan daya saingnya karena UKM sangat sensitif terhadap setiap tambahan biaya dalam produksi maupun distribusinya. Dalam soal ketenagakerjaan, ada permasalahan dalam ketentuan pengupahan; sedangkan mengenai serikat pekerja dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak menjadi masalah bagi UKM. Dalam hal pengupahan, khususnya mengenai penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan perusahaan yang belum mampu memenuhinya, kebutuhan spesifik UKM belum terakomodasikan. Persyaratan yang ditentukan untuk mendapatkan izin penundaan penerapan upah minimum dari pemerintah terlalu berat untuk dipenuhi UKM sehingga memaksa UKM beroperasi secara informal. Akibat beroperasi secara informal, tenaga kerja UKM tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Permasalahan lain dalam ketenagakerjaan adalah munculnya kebijakan ketenagakerjaan yang diskriminatif. Dalam implementasi otonomi daerah, akibat rendahnya kapasitas sumber daya manusia setempat pemerintah daerah dan lemahnya pengawasan pemerintah pusat, telah menyebabkan diskriminasi perlakuan bagi pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan di luar daerah asalnya.
46
Untuk mengatasi berbagai kelemahan kebijakan dan distorsi implementasi kebijakan, beberapa hal berikut perlu dilakukan APINDO sebagai organisasi pengusaha sebagai kontribusinya dalam pembangunan UKM:
Dalam lingkup luas, APINDO bersama berbagai komponen asosiasi usaha dalam lingkup Kadin Indonesia, membangun kemitraan dengan pemerintah dalam membuat/merevisi berbagai UU sektoral, baik untuk kepentingan UKM maupun perusahaan perusahaan besar.
Dalam hal peraturan perundang-undangan terkait perdagangan, APINDO bersama Kadin Indonesia akan terlibat aktif dalam penyusunan UU Perdagangan Dalam Negeri dengan target pengesahan UU paling lambat akhir tahun 2005.
Mengenai UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang mengakibatkan hambatan perdagangan dalam negeri, perlu dilakukan revisi dengan prinsip utama membatasi jenisjenis pungutan yang boleh diterapkan di daerah untuk menghindari multi intepretasi daerahdaerah otonom di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dalam membuat kebijakan perdagangan daerah. APINDO, bersama dengan KPEN dan KPPOD perlu melakukan advokasi perubahan UU dimaksud dengan target perubahan pertengahan tahun 2005.
Dalam hal ketenagakerjaan, APINDO secara aktif harus terlibat dalam penyusunan PP, Perpres dan Kepmen untuk melengkapi UU No. 13/2000 tentang Ketenagakerjaan. Di antaranya dengan merevisi Kepmen No. 231/MEN/2003 agar membebaskan kewajiban UKM menyertakan hasil audit akuntan publik untuk mendapatkan persetujuan penundaan pemberlakuan upah minimum, yang ditargetkan selesai pada tahun 2005 ini juga.
Untuk mendukung rekomendasi spesifik untuk advokasi kebijakan terkait Perdagangan dan Ketenagakerjaan, studi ini juga merekomendasikan APINDO dengan para
5.2. Rekomendasi untuk Advokasi Kebijakan APINDO
47
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
pemangku peran pembangunan UKM lainnya untuk bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam membuat cetak biru pengembangan UKM yang komprehensif.
Pembuatan cetak biru tersebut setidaknya didasarkan 6 (enam) prinsip utama: 1) definisi UKM yang jelas sebagai sumber referensi; 2) mendukung ekonomi pasar melalui suatu kompetisi yang adil dengan mengakomodasi kebutuhan spesifik UKM, termasuk di dalamnya insentif fiskal dan non-fiskal; 3) keterkaitan antara UKM dan usaha skala besar dalam suatu kelompok industri yang saling menguntungkan kedua belah pihak; 4) menempatkan Kementerian Negara Koperasi dan UKM sebagai lembaga yang memimpin seluruh kementerian pemerintah; 5) peran yang dilakukan pemerintah sebatas pada pembuatan kebijakan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; 6) menempatkan daerah-daerah otonom sebagai entitas terpenting dalam implementasi kebijakan.
5.3. Sebagaimana disampaikan dalam bagian latar Rekomendasi belakang, ada keinginan pelaku usaha besar Tindak Lanjut anggota APINDO untuk membantu pengembangan UKM dalam suatu program kemitraan pelaku usaha besar dengan UKM. Untuk itu, sebagai tindak lanjut advokasi kebijakan, APINDO perlu memfasilitasi program kemitraan yang akan dimulai pada awal tahun 2006 itu dengan memperhatikan beberapa hal berikut.
48
Program kemitraan dikemas dalam suatu hubungan bisnis antara pelaku usaha besar dan kecil yang saling menguntungkan. Untuk itu, program kemitraan tersebut dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kelompok antara pelaku usaha besar dan UKM dalam suatu lini industri yang sama. Pengembangan pengelompokan tersebut harus dilengkapi dengan pembinaan teknis pelaku usaha besar
kepada UKM dalam berbagai aspek pembangunan UKM, baik dalam produksi, distribusi, dan akses finansial.
Dalam konteks program pengurangan kemiskinan, pengembangan pengelompokan tersebut lebih baik dilaksanakan di salah satu daerah dari 190 kabupaten/kota daerah tertinggal yang telah diidentifikasi pemerintah. Pilihan daerah tersebut akan sangat tergantung pada potensi ekonomi daerah, komitmen pemerintah daerah, dan adanya pelaku usaha besar anggota APINDO yang memiliki komitmen kuat dalam pengembangan UKM.
Untuk mendukung pendanaan program tersebut, APINDO perlu menjajaki kemungkinan memperoleh dukungan dana dari berbagai program lembaga donor. Di antaranya program SENADA (“bekerja dalam harmoni”) yang didanai oleh USAID yang akan dimulai pertengahan tahun 2005. Salah satu fokus programnya adalah pengembangan suatu kelompok industri.
49
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
50
6. Lampiran
No Peraturan Perundang-undangan (Diurutkan Lampiran 6.1. Daftar Berdasar Tahun) 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
Peraturan
UU No. 7/1981: Wajib Lapor Ketenagakerjaan PerundangUU No. 25/1992: Perkoperasian undangan UU No.7/1994: Pengesahan Agreement yang Dikaji Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) UU No. 1/1995: Perseroan Terbatas TAP MPR RI XVI/MPR/1998: ‘Politik Ekonomi Dalam rangka Demokrasi Ekonomi’ PP No. 32/1998: Pembinaan UKM UU No. 9/1995: Usaha Kecil UU No. 5/1999: Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat UU No. 22/1999: Pemerintahan Daerah UU No. 25/1999: Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU No. 23/1999: Bank Indonesia UU No. 21/2000: Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No. 25/2000: PROPENAS (Program Perencanaan Pembangunan Nasional) UU 34/2000: (Amandemen UU 18/1997): Pajak Daerah dan Pajak Usaha PP No. 25/2000: Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom Keppres No. 127/2001 (amandemen Keppres No. 99/1998): Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/
51
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
17. 18. 19. 20. 21.
22.
23.
24.
25. 26. 27. 28.
29.
30.
52
Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan Keppres No. 56/2002: Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil Dan Menengah UU No. 13/2003: Ketenagakerjaan Kepmenaker No. 231/MEN/2003: Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Kepmenaker No. 233/MEN/2003: Jenis & Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Terus Menerus Kepmenaker No. 235/MEN/2003: Jenis Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak Kepmen BUMN No. 236/BMU/2003: Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan Kepmenaker No. 244/MEN/2003: Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00-07.00 Peraturan BI No.5/18/PBI/2003: Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil UU No. 2/2004: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kepmenaker No. 102/MEN/VI/2004: Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur Perpres No. 7/2005: Program Pembangunan Jangka Menengah Peraturan Presiden No.9/2005: Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Program Aksi Pemberdayaan UMKM Tahun 2005-2009 Kementerian Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia
ADB, ADB Support For SME Development: Penguatan Lampiran 6.3. Layanan Pengembangan Usaha Untuk Usaha Referensi Kecil dan Menengah (Strengthening Services For Small Medium Enterprise Development) Adiningsih, Sri (2004), Regulasi Dalam Revitalisasi Usaha Kecil Menengah di Indonesia Anas,Titik (2003), “Decentralization and Domestic Trade” in T.A.Legowo and Muneo Takahashi (ed.). Regional Autonomy And Socio-Economic Development In Indonesia – A Multidimentional Analysis, Chiba, Japan. APINDO-IWAPI-ILO (2004), Promoting Women Entrepreneurship Development in Indonesia. Budiantoro, Setyo (2005), Dari Demokrasi Kapital Menuju Demokrasi Ekonomi, Jakarta. Allal, Maurice (2003), Classification Of SMES, ILO General Survey 2003 on Employment related Conventions and Recommendations: Analysis of member States responses to Recommendation 189 (Job Creation in Small and Medium-Sized Enterprises), Chapter III Draft SEED Working Paper, Thailand. ILO (2004), Terbebas Dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia, Jakarta. ILO (2004), Employment Dimension of Macro and Sectoral Policies, Jakarta. ILO (2004), Job Creation and Enterprise Development (SME and Local Economic Development), Jakarta. ILO (2004), Gender and Poverty, Jakarta. ILO (2003), Small Enterprise Development, An Introduction to the Policy Challenge, Geneve, Switzerland. ILO (1998), Job Creation In Small And Medium-Sized Enterprises, Guide to ILO Recommendation No.189, Geneve, Switzerland. JICA-Government of Indonesia (2004), The Study On Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia Final Report
53
“Penanggulangan Kemiskinan melalui Pembangunan UKM”
KADIN-Indonesia (2004), Revitalisation of the Industry and Investment, Kadin-Indonesia Contribution of Thoughts to The Government of the Republic Indonesia Period 2004 – 2009, Jakarta. KPPOD (2004), Regional Investment Attractiveness, A Survey of Business Perception, Jakarta. Lewis, Blane (2003), Empirical Evidence on New Regional Taxes and Charges in Indonesia, Research Triangle Institute, North Carolina, USA, www.gtzsfdm.or.id The Asia Foundation-World Bank, Improving The Business Environment in East Java, View From The Private Sector. Wattanapruttipaisan, Thitapha (2002), Lampiran 6.3. Referensi Thailand.
54