TINJAUAN ANALITIS TERHADAP MODEL PEMBANGUNAN INDONESIA Jullisar An-naf Abstract Development is generally defined as the fulfillment of individual welfare that includes per capita income, educational needs, health, quality of life including the need for self-esteem. In practice the planning and implementation of development is strongly influenced by the ideological perspective, political or development paradigm adopted by the elite in each country. Evolving paradigm begins with Classical Development Theory that was divided into various sects and schools of lower-schools of capitalism and socialism. Furthermore, also develops theories derivatives such as Dualistic Development Thesis, Structural Change Theory, Theory of Linear Stages/Stages of Economic Growth, International Dependency Theory, Counter-Revolution of Neoclassical Theory, and the latter Paradigm of Sustainable Development. Developing countries have doing many experiments with a mixture of the above theories ranging from a centralized to the schools of the liberal ideology which depends on the views adopted. The important thing to note, none of Developing Countries can solve the problem of development with only one theory unanimously adapt and intact. Because the theories of development is growing locally specific, so not entirely applicable to different situations. Since independence in 1945 Indonesia's development itself can be said to have been changing schools. But there is one distinctive feature, namely applying a liberal theories but in a situation that is very centralized and very dominant role of government. However, due to the specific local situation and deepening less recognizable, always exposed to the dead-lock situation both in the Old Order and New Order. Keywords: Development, Model, Indonesia
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
HAKEKAT PEMBANGUNAN Secara umum disepakati bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup, kesehatan, pendidikan, serta keadilan. Karena tumpuan dari proses perubahan tersebut adalah bidang ekonomi, maka definisi dari pembangunan sering terfokus kepada definisi pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pemenuhan kesejahteraan individu yang sering diukur dalam bentuk pendapatan per kapita, (2) pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup secara umum, dan (3) pemenuhan akan adanya harga diri (selfesteem dan self-respect). (Goulet, 1971; Pearce and Warford, 1993). PANDANGAN KLASIK DAN NEOKLASIK Praktek-praktek pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori Pembangunan Klasik yang berkembang pada abad 18-an memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik. Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep pembangunan ini, masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut: Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya terjadi dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional); Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di pedesaan; Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga tercapai keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.
70
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
Sementara Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari tradisional-irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi dalam setiap unsur kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di wilayah pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan. Sedangkan menurut Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan masyarakat. Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless society) dan materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas: (1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis, dan (5) masyarakat komunis. Pada abad 19-an berkembang pandangan-pandangan Neoklasik yang merupakan derivat dari Teori Klasik seperti antara lain Tesis Pembanunan Dualistik. Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior) dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat: Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak yang superior dan inferior hidup berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama; Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu yang bersifar kronis; Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya cendrung menguat untuk menjadi kekal; Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan unsur superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas. Kemudian muncul Teori Perubahan Struktural yang mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis dan Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery. Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1) Sektor Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan produktivitas marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer sedikit demi 71
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern. Pada model lainnya Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk. Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dijelas dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju. Prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Prasyarat penting lainnya adalah harus ada mobilisasi tabungan dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Harrod-Domar mengemukakan bahwa Pertumbuhan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) secara langsung bertalian erat dengan rasio tabungan, yaitu lebih banyak bagian GNP yang ditabung dan diinvestasikan maka akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP tersebut. Dari model yang dikemukakan oleh 72
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
Harrod-Domar tersebut Rostow menyimpulkan bahwa negara-negara yang dapat menabung 10-20% dari GNP-nya dapat tumbuh dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara yang tabungannya kurang dari kisaran tersebut. Di negara-negara berkembang pembentukan modal relatif rendah sehingga untuk memperoleh pertumbuhan yang diinginkan dibutuhkan pinjaman luar negeri. Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan Kolonial dan Model Paradigma Palsu. Model Ketergantungan Kolonial muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan variasi dari teori yang dikembangkan oleh Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya. Secara sengaja negara-negara kaya mengeksploitasi dan menelantarkan ko-eksistensi negara-negara miskin dalam sistem internasional yang didominasi oleh hubungan kekuasaan yang sangat tidak seimbang antara pusat atau centre (negara-negara maju) dan pinggiran atau periphery (negara-negara berkembang). Praktek dan kondisi tersebut menggoda negara-negara miskin untuk mandiri dan bebas dalam upaya-upaya pembangunan mereka yang sulit dan bahkan kadang-kadang serba tidak mungkin. Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara sedang berkembang (tuan tanah, pengusaha, pejabat, militer) yang menikmati penghasilan tinggi, status sosial, dan kekuasaan politik merupakan kaum elit dalam masyarakat. Kepentingannya, sengaja atau tidak sengaja melestarikan ketidakmerataan dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju terhadap negara-negara miskin karena secara langsung atau tidak langsung mereka mengabdi kepada kekuasaan kapitalis internasional. Sementara itu dalam Model Paradigma Palsu dijelaskan bahwa keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktepatan nasihat/saran yang diberikan oleh para penasihat dan para pakar 73
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
internasional dari lembaga-lembaga bantuan negara maju dan donordonor multinasional. Nasihat atau saran tersebut mungkin bermaksud baik tapi sering tidak mempunyai informasi yang cukup tentang negara yang akan dibantu terutama negara-negara sedang berkembang. Teori Kontra Revolusi Neoklasik muncul pada dasawarsa 1980an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan. PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Proses kristalisai Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) dimulai dari tahap perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an mulai dikenal konsep dan argumen pentingnya pembangunan berkelanjutan. World Commision for Environmental and Development (WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan berkelanjutan adalah “perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu “sistem ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993). Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, ekologi, dan sosial. Pendekatan ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis pada penggunaan sumberdaya yang efisien. 74
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik dalam satu generasi maupun antar generasi (Munasinghe, 1993). PEMBANGUNAN DI INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang matang dan membuahkan hasil yang memuaskan, yaitu (Tjokroamidjoyo 1982): Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Panitia ini menghasilkan rencana sementara berjudul “Dasar Pokok Dari Pada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia”. Tapi rencana tersebut tidak sempat dilaksanakan karena perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan. Pada bulan Juli tahun 1947 itu juga, di bawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan “Plan Produksi Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah rencana ini juga tidak sempat dilaksanakan. Kemudian disusun “Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950-1951” (untuk bidang pertanian pangan) yang disusul dengan “Rencana Urgensi Untuk Perkembangan Industri 1951-1952” di bawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. Rencana-rencana ini tidak berjalan dengan baik. Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960” yang disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun pelaksanaannya tertunda hingga tahun 1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana baru. Pada tahun 1960 berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik” dari pada rencana pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis, sehingga rencana kurang berjalan baik dan keadaan ekonomi bertambah parah. Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan Ekonomi Perjuangan Tiga Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Stir”. Rencana ini tidak pernah terselenggara dengan 75
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
baik dan tidak mampu menolong parahnya situasi ekonomi. Akibat tidak satupun rencana pembangunan mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia kian bertambah parah hingga jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965. REPELITA Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintahan Suharto menetapkan prioritas pada stabilisasi ekonomi, terutama penurunan tingkat inflasi yang telah mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan 1966, perbaikan keuangan pemerintah, dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif. Pengoperasian kekuatan-kekuatan pasar digalakan dari sebelumnya, investasi modal asing diundang masuk, dan bantuan (pinjaman) luar negeri dicari secara aktif. Pemerintah meneruskan proses pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dengan tiga tujuan utama (Trilogi Pembangunan) yaitu Stabilisasi, Pertumbuhan, dan Pemerataan.) Juga perlu dicatat bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi titik tolak pembangunan dengan tujuan ganda. Pertama, kebutuhan untuk menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga yang relatif stabil; kedua, kebutuhan untuk menjaga kendali politik di daerah pedesaan (White 1989). Gambaran mengenai kebijaksanaan dan strategi dari REPELITA adalah sebagai berikut (Department of Information Republic of Indonesia 1991): REPELITA I (tahun fiskal 1969/1970 sampai 1973/1974) menekankan pada rehabilitasi perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta perbaikan irigasi dan sistem transportasi. REPELITA II (tahun fiskal 1973/1974 – 1978/1979) difokuskan pada peningkatan standar kehidupan rakyat. Tujuan spesifik dari REPELITA II adalah memenuhi kecukupan pangan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang, papan); memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur, menyebarkan dan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan; serta menyediakan lapangan kerja baru. Anggaran pembangunan untuk bidang kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana lebih besar dibanding dengan pada REPELITA I. Demikian juga dengan anggaran pembangunan untuk bidang industri dan pertambangan. Pembangunan pertanian dan 76
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
pedesaan tetap memperoleh anggaran terbesar. REPELITA III (tahun fiskal 1978/1979 – 1983/1984) diarahkan kepada tiga tujuan pokok, yaitu: memperoleh distribusi yang lebih merata dari hasil-hasil pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan menjaga stabilitas nasional. Sementara itu prioritas pembangunan ditujukan pada Sektor Pertanian untuk mencapai swasembada pangan serta industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi. REPELITA IV (tahun fiskal 1984/1985-1988/1989) meletakan penekanan pada Sektor Pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan terutama swasembada beras. Pengembangan industri diprioritaskan pada industri-industri yang bisa menghasil mesin-mesin ringan maupun berat. REPELITA V (tahun fiskal 1989/1990 – 1993/1994) dinilai sangat menentukan karena merupakan tahap akhir untuk persiapan menuju era tinggal landas (take off) pada periode REPELITA VI. Pada masa REPELITA V ini pembangunan pada bidang ekonomi diberikan prioritas dengan penekanan pada pembangunan pada Sektor Industri dengan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi dari Sektor Pertanian. Catatan yang perlu dikemukan pada rangkaian REPELITA di atas oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas (Ibid.). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu 77
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pada krisis politik sehingga Suharto harus turun dari kursi kepresidenan. TINJAUAN PASCA REFORMASI Belajar dari pengalaman “kegagalan” REPELITA yang mengadopsi metoda perencanaan yang sangat teoritik, diinspirasikan oleh fikiran-fikiran Rostow dengan teori Stage of Economic Groth-nya, kerangka berfikir Program Pembangunan Nasional (PROPENAS (dan diharapkan pula pada Program Pembangunan Daerah/PROPEDA) mengadopsi realitas empirik keadaan bangsa, negara dan daerah yang secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya sedang terpuruk dan nyaris menghadapi kebuntuan pembangunan (development dead lock). Dalam situasi yang demikian, tercermin paling sedikit tiga indikasi faham/aliran atau paradigma baru dalam GBHN 1999-2004 dan PROPENAS 2001-2005. Pertama, Teori Kontra-Revolusi Neoklasik dan interfensi faham ini tidak lepas dari keterikatan hutang Indonesia dengan sindikasi kapital internasional seperti Consultative Group on Indonesia (CGI), World Bank, dan Internasional Monetary Funds (IMF). Hutanghutang yang mereka berikan dilengkapi dengan paket-paket prasyarat yang sarat dengan implementasi dari faham teori di atas. Isue berikutnya adalah Isu Hak-hak Azasi Manusia (Human Right Isue) dan Demokratisasi. Isu Hak-hak Azasi Manusia (HAM) sudah terbukti ampuh digunakan oleh Blok Barat untuk meruntuhkan Uni Soviet dan Blok Timurnya yang menyebarkan faham Komunisme Internasional. Berakhirnya perang dingin dengan kemenangan Amerika dan sekutunya membuat isu HAM ini menjadi azas “polisi internasional”. Namun terlepas dari ekses tersebut, penjaminan HAM memang sudah sejak lama menjadi konsensus internasional seperti dicanagkan PBB dalam Universal Declaration of Human Right yang telah pula diratifikasi oleh Indonesia. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bila dinterpretasikan dengan 78
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
konsekuen juga menjamin eksistensi HAM bagi warga negara. Sesungguhnya pelanggaran HAM yang eksesif di Indonesia berakar dari faktor-faktor yang bersifat internal, yaitu: budaya feodalisme, rasisme dan etnosentrisme, paternalisme diperberat dengan otoriterianisme dan militerisme kekuasaan, dan paradigma pembangunan yang sentralistik. Budaya, faham kekuasaan, dan sentralisme pembangunan baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru pada akhirnya melahirkan pembenaranpembenaran dari kesewenangan penguasa. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa tidak satupun negara atau pemerintahan yang feodalistik, otoriter, militeristik, dan sentralistik berhasil membangun kesejahteraan bagi rakyatnya. Atau dengan kata lain, negara atau pemerintahan yang berhasil membangun kesejahteraan rakyatnya umumnya berfaham egalitarian, demokratis, supremasi sipil, dan desentralistik atau dibungkus dengan satu kalimat “pemerintahan yang demokratis”. Karena itu faham demokrasi pun di kedepankan dengan mengambil contoh-contoh dan pengalaman dari negara-negara maju. Bahwa faham demokrasi tersebut masih mengalami transisi itu adalah proses yang harus dilalui sampai mencapai bentuknya yang mapan. Kemudian diangkat pula Isu Ekonomi Kerakyatan (Peoples’ Economy). Konsep dan Sistem Ekonomi Kerakyatan seperti yang telah digali Hatta dan tertuang dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya bukan hal yang baru. Konsep dan sistem tersebut menganut faham bahwa kekuatan ekonomi suatu negara harus berpijak pada kekuatan ekonomi yang terdistribusi dengan baik pada seluruh rakyat apakah dalam bentuk usaha kecil-menengah, koperasi, ataupun badan usaha swasta dan pemerintah. Semangatnya bukan free “fight” competition akan tetapi cooperation dan sinergi antar pelaku-pelaku usaha. Jadi tidak boleh ada satu jenis atau skala usaha yang membunuh usaha atau skala usaha lainnya. Solusi yang ditawarkan bila terjadi konflik adalah kerjasama atau koperasi. Sesungguhnya Hatta juga mempelajari perkembangan ekonomi di Eropah khususnya Negeri Belanda di mana koperasi petani, usaha-usaha kecil-menengah berkembang dengan sehat bahkan mampu membentuk sebuah bank (Rabbo Bank) yang cukup mempunyai reputasi kala itu. Hatta menegaskan bahwa kunci dari keberhasilan tersebut adalah “hemat” karena itu muncul konsep Saving Economy. Saving Economy pada prinsipnya adalah efisiensi: anti pemborosan, anti konsumerisme, memupuk modal, investasi pada sektor-sektor yang 79
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
produktif. Pemikiran Hatta ini kurang menarik bagi Sukarno. Sukarno memang melontarkan konsep Marhaenisme yang sebenarnya juga sejalan dengan Ekonomi Kerakyatan Hatta. Namun Marhaenisme dalam prakteknya lebih berat ke segi idiologi politiknya katimbang konsep perekonomian. Hingga Sukarno jatuh sumbangan Marhaenisme kepada pembangunan ekonomi Indonesia belum tampak jelas. Di era Orde Baru sistem ekonomi Indonesia terjebak dalam Sistem Kapitalisme Palsu (Pseudo Capitalism). Karena kapitalis-kapitalis yang muncul sesungguhnya bukan Pemilik Modal (Kapitalis Sejati) melainkan konco, kerabat penguasa yang memanfaatkan “katebelece” dari penguasa. Yahya Muhaimin dalam tesis disertasinya mengistilahkan kapitalis klien (clientile capitalism). Kapitalis-kapitalis tersebut umumnya belum mempunyai pengalaman dan merasakan pahit getirnya memupuk modal (accumulating surplus) dalam mekanisme persaingan pasar bebas (free market competation). Basis-basis usahanya juga mengandalkan monopoli, eksploitasi sumberdaya alam yang tidak harus dibeli seperti minyak, bahan tambang/galian, hutan. Sesungguhnya sebagai entrepreneur mereka sangat rentan dan rapuh. Terbukti dari ketidakmampuan mereka mengembalikan hutang yang kemudian menjadi bumerang kejatuhan Suharto. Pada saat bersamaan hampir setiap bank dan konglomerat “bangkrut” ternyata walaupun dengan susah payah Perekonomian Indonesia masih terus bernafas. Petani masih bisa bertani, warungwarung nasi masih tetap buka bahkan tanpa menaikan harga, warungwarung kelontong masih kedatangan pembeli, para pedagang kaki lima masih memadati sisi jalan, beratus macam usaha kecil-menengah masih mampu hidup bahkan jenis-jenis tertentu menjadi berkembang pesat karena bergesernya preferensi konsumen kepada barang-barang murahan. Sektor ekonomi secara tidak langsung mendukung sektor formal, modern dan industri dengan menyediakan barang-barang murah sehingga pegawai dan buruh yang gajinya “pas-pasan” masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Realitas di atas secara jelas dan valid membuktikan bahwa memang fundamental economy Indonesia adalah ekonomi kerakyatan seperti telah dicetuskan dan dimodelkan oleh Hatta. Terakhir, Paradigma Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Paradigm. Sampai dengan dekade 1980-an perencanaan dan strategi pembangunan masih berorientasi pada 80
Jullisar An-naf-Tinjauan Analitis Terhadap Model Pembangunan Indonesia
pertumbuhan ekonomi (economic growth), baik pada negara-negara sosialis yang menerapkan perencanaan yang terpusat maupun pada negara-negara kapitalis yang menerapkan perencanaan yang liberal. Filosofi pertumbuhan ekonomi dilatarbelakangi oleh Teori Neo-Klasik dimana pertumbuhan merupakan fungsi dari modal dan teknologi sedangkan sumberdaya alam sama sekali tidak diperhitungkan karena dianggap pemberian alam yang melimpah. Filosofi tersebut telah melahirkan berbagai ekses terhadap lingkungan, sosial, budaya, maupun hak azazi manusia. Dampak dari penerapan filosofi tersebut telah menimbulkan kemiskinan yang merajalela, rusaknya ekosistem, pencemaran, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia dan kemanusiaan (Pearce and Warford, 1993). Pengalaman hingga tahun 1980-an memperlihatkan bahwa hambatan pertumbuhan ekonomi terjadi apabila faktor sumberdaya alam dan lingkungan tidak dikelola dengan baik. Jika ekonomi dan lingkungan dikelola dengan baik maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi dalam lingkungan yang terpelihara kelestariannya. Perubahan persepsi di atas dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan (Ibid.). Tapi tampaknya kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan mendesak untuk pertumbunan ekonomi menyebabkan paradigma ini belum terfikirkan secara komprehensif oleh pemerintah. DAFTAR ISI Anonim (1990) The Interparliamentary Conference on the Global Environment. April 29-May 2, 1990. Washington D.C. Conway, G.R. and E.B. Barbier (1990) After the Green Revolution: Sustainable Agriculture Development. London, Earthscan Publication Ltd.
for
Djajadiningrat, S.T. (1992)
81
Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1 Maret 2011
Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa Merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Department of Information Republic of Indonesia (1991) Indonesia 1991: An Official Handbook. Department of Information, Directorate of Foreign Information Services. Keynes, J.M. (1936) The General Theory of Employment, Interest and Money. Lewis, W.A. (1954) Economic Development with Limited Supply of Labour.
Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993) World Without End, Economics, Environment Development. Oxford University Press.
and
Sustainable
Paauw, D.S. (1965) Development Planning in Asia. Center for Development Planing, National Planning Association. Rostow, W.W. (1971) The Stage of Economic Growth. Cambridge University Press. TODARO, M.P. (1989) Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited. Tjokroamidjoyo, B. (1982) Perencanaan Pembangunan. Jakarta, PT Gunung Agung White, B. (1989) “Java’s Green Revolution in Long-term Perspective” in: Prisma (English Edition), No. 48, Desember 1989. Jakarta, LP3ES.
82