Tatkala Multimedia Massa Kian Dekat ke Publiknya Oleh Priyambodo RH (Cyberjournalist ANTARA Multimedia Gateway; Pengajar Cyberjournalism di Lembaga Pers Dr. Soetomo/LPDS – Dewan Pers, dan Galeri Foto Jurnalistik ANTARA/GFJA)
Dunia kewartawanan ber-Internet (cyberjournalism) di Indonesia memasuki 2008 tampak kian semarak dengan berkembangnya bisnis pemberitaan sejumlah portal berita. Bahkan, beberapa di antara mereka selama 2007 meraup keuntungan terbilang besar, yakni ada yang mencatat angka mencapai miliaran rupiah. Sejumlah portal berita yang berbasis media massa cetak dan elektronik (radio dan televisi) ada yang secara drastis mengubah tampilan desainnya. Namun, ada pula satu portal berita yang tercatat paling populer dan meraup keuntungan terbesar di negeri ini terlihat masih mempertahankan tampilan desain di bagian berandanya. Hanya saja, yang pasti, mereka semua menjaring iklan lebih banyak dan mengembangkan fitur khusus (kanal)-nya, termasuk layanan blog berbasis komunitas, secara beragam sesuai misi dan visi masing-masing. Niche content adalah salah satu rumusan yang mereka terapkan. Isi berita (content) – sekaligus tampilan desain gambar, warna dan tekstur-- yang berdaya tarik dan berbeda dengan lainnya itulah satu rumusan pengembangan desain yang hadir di multimedia massa Indonesia. “Gue banget gitu lho!” Begitulah komentar yang agaknya ingin ditampilkan setiap portal berita tersebut, layaknya jargon anak muda masa kini. Rumusan itu membuka peluang bisnis lebih besar lagi bagi pengelola niche content. Ideologi mereka bukan sekedar lagi menyediakan berita “layak siar”, tetapi juga “layak jual”. Salah satu cara mereka meraup keuntungan besar adalah menyajikan aturan bisnis “bayar per klik” (pay per click) bagi pemasang iklan yang menarik perhatian peselancar di dunia maya. Sedangkan, pengunjung (pembaca) pada umumnya mendapatkan berita secara gratis, dan baru membayar untuk jenis berita khusus atau berlangganan melalui fasilitas aplikasi nirkabel (Wireless Application Protocol/WAP) atau layanan bernilai tambah (Value Added Service/VAS) di telepon seluler (ponsel). Multimedia massa yang memanfaatkan niche content setidak-tidaknya memperhitungkan tiga hal sebagai berikut: -. Berapa besar biaya yang harus disiapkan? Dan, berapa besar pula keuntungan signifikan yang bakal mampu diraih? Hal ini menjadi satu keputusan keredaksian sekaligus bisnis yang harus diambil oleh pengelola multimedia massa untuk tidak sekadar terus berhasil melanggengkan kehidupannya (survive), tetapi juga harus menjadi penentu kecenderungan pasar (market trendsetter). -. Bagaimana adaptasi publik? Hal ini senantiasa menjadi pertimbangan utama bagi pengelola multimedia massa lantaran selera publik cenderung cepat berubah. Keredaksian dan pemasaran mereka 1
dituntut harus mampu menerapkan content bermakna sebagai pemberi gagasan utama (agenda setting) dan melayani sepenuhnya apa yang khalayak inginkan (uses of gratification yang menganut azas give the people what they wants). Selain itu, semua fasilitas yang ada di tampilan laman (situs Internet) mereka haruslah bersahabat dengan khalayaknya (user friendly). -. Berapa banyak pengakses? Hal berkaitan langsung dengan pilihan teknologi yang diterapkan pengelola multimedia massa, agar lamannya dapat diakses secara lebih cepat (speedy), isi berita akurat (accuracy) dan lengkap (completely), sehingga menjadi penting (important) bagi khalayaknya. Dalam hal ini ideologi bisnis mereka adalah mendapatkan sebanyak mungkin pengunjung, dan berita yang disajikan harus mampu berada di halaman utama laman bermesin pencari informasi (search engine) populer, seperti Google (http://www.google.com), Yahoo! (http://www.yahoo.com), Altavista (http://www.altavista.com), MSN (http://www.msn.com), dan Infoseek (http://www.infoseek). Selain itu, mereka memanfaatkan fasilitas penyebar data (data-feed) melalui cara topik berita yang secara mudah tersindikasi (Really Simple Syndication/RSS) sesuai keinginan setiap pengaksesnya. Niche content dalam penerapan keredaksian, pemasaran dan pengembangan Teknologi Informasi (TI) multimedia massa terlihat pula menjadi salah satu pendukung kecendurangan konvergensi media (media convergence). Michael O. Wirth dari University of Denver di Amerika Serikat (AS) dalam bab ke-20 di buku setebal 750 halaman berjudul Handbook of Media Management And Economics – yang ditulisnya bersama Alan B. Albarran, dan Sylvia M. Chan-Olmted, terbitan Rotledge Massmedia pada 2005 ber-ISBN: 0805850031, kemudian masuk ke Net Library Published—mencatat bahwa konvergensi media setidak-tidaknya dipengaruhi oleh tujuh hal, yakni: 1. Inovasi TI, terutama perkembangan Internet dan revolusi digital, 2. Deregulasi/liberalisasi dan globalisasi, termasuk Aturan Telekomunikasi pada 1996, formasi Uni Eropa (UE) dan privatisasi jasa telekomunikasi dan media massa di seluruh dunia, 3. Berubahnya selera para konsumen dan meningkatnya kemakmuran mereka, 4. Standarisasi teknologi, 5. Pencarian informasi menuju sinergi, 6. Timbulnya ketakutan bakal tertinggal dan besarnya ego kalangan pebisnis, termasuk di kalangan media massa, sehingga di kebijakan tingkat atasnya muncul kecenderungan penggabungan dan dibelinya perusahaan media maupun perusahaan telekomunikasi di semua belahan dunia, 7. Tata ulang tujuan dari kinerja media massa berpola lama menjadi ke tahapan multimedia massa yang mengembangkan serangkaian formula baru. Konvergensi media di Indonesia juga tampak semarak. Banyak pemilik perusahaan media massa mengembangkan bisnisnya menjadi multimedia massa, tanpa meninggalkan
2
bisnis inti (core business)-nya. Di antara mereka ada yang melakukan penggabungan perusahaan dan atau membeli perusahaan media lainnya. Bahkan, mereka tak sedikit yang bekerjasama dengan pihak asing. Selain itu, di jajaran pemilik multimedia massa nasional hadir pula wajah-wajah baru yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pebisnis non-media. Banyak pemilik perusahaan media yang akhirnya mau tidak mau dan suka tidak suka menerapkan kebijakan “banting setir” (change direction sharply) sekaligus “menambah kecepatan” (overdrive) dalam menjalankan roda bisnisnya. Memadukan niche content dan media convergence adalah salah satu formula pilihan utama mereka. Hasil perpaduan tersebut membuat tampilan beranda portal berita di Indonesia –sama halnya di berbagai belahan dunia— menjadi kian meriah dengan menghadirkan isi berita yang tidak lagi sekadar teks dan foto, tetapi dilengkapi dokumen suara berformat sekelas kualitas radio dan televisi berbasis web streaming. Publik pun kian akrab dengan isi berita beristilah radio streaming dan TV streaming. Mereka juga kian merasakan nikmatnya berselancar ke portal berita lantaran kecepatan akses Internet kian tinggi. Bahkan, mereka dapat menikmatinya secara bergerak (mobile) memanfaatkan teknologi nirkabel (wireless). Dengan kata lain, bisnis multimedia massa secara prinsip belum terlalu banyak bergeser, yakni sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak publik atau khalayak yang mengaksesnya --menjadi pelanggan gratis maupun berbayar (membership)—dan seberapa besar iklan memberikan pemasukan. Perhatian publik dan iklan tetap menjadi kata kunci dalam bisnis media. Hanya saja, di Internet hubungan di antara media dengan publiknya kian setara (egaliter) dan dimungkinkan saling berinteraksi (interaktif). Hal itu pula yang memungkinkan bisnis media ber-Internet (cybermedia) kembali bangkit sekaligus menjanjikan serangkaian peluang dan keuntungan di negeri ini, setelah banyak perusahaan bisnis portal berita berjatuhan dalam periode 2000-2005.
Kewartawanan Multi-platform dan Mobile Medio April 2008, Bristish Broadcasting Corporation (BBC) –penyedia jasa layanan multimedia massa online, yang diawali siaran radio pada 1927 di Kerajaan Inggris— melakukan kebijakan redaksional yang sangat signifikan guna lebih dekat dengan publiknya sekaligus melakukan strategi bisnis secara efesien dan efektif. BBC menyebutnya ruang redaksi ibarat banyak anjungan yang menyatu (multi-platform newsroom). Pemimpin Redaksi BBC, Peter Horrocks mengemukakan bahwa konsep ruang redaksi multi-platform itu memungkinkan kinerja jurnalis –pewarta dan redaktur tulis, penyiar radio/televisi, serta portal berita—dapat bekerja secara terpadu. Setiap jurnalis dengan keahlian dan peliputan khususnya juga semakin diarahkan bekerja lebih terpadu.
3
“Alur kerja berkurang secara signifikan karena kami akan lebih banyak menabung. Kami mengenalkan sejumlah aturan bermultimedia, tetapi setiap orang dapat mengembangkan keterampilannya. Sekali lagi, kami pertama-tama membawa semua platform duduk berdampingan satu sama lain secara bersama dan sangat efektif. Masing-masing memiliki keahlian, namun berpola pikir menyatu,” ujarnya kepada pers. Horrocks pun memberikan ilustrasi bahwa dalam sistem kerja ruang redaksi multiplatform, maka jurnalis BBC di setiap karakter media –radio dan televisi—maupun di setiap seksi pemberitaan –nasional, internasional/mancanegara— tetap bertanggungjawab mengerjakan berita di seksi berbasis teks (text-based) yang dikirimkan ke seksi berita online, sehingga sistem konvergensi media dapat berjalan. Manakala jurnalis BBC Online bergabung ke ruang redaksi multi-platform pada Juni 2008, maka sistem operasional pemberitaan online dibagi menjadi dua seksi. Seksi pertama berada di lantai dua ruang pemberitaan yang bergabung dengan seksi televisi internasional/mancanegara (BBC World News TV), dan seksi kedua berada di lantai pertama bersama seksi pemberitaan radio domestik dan produk buletin TV. Sistem kerja semacam itu, menurut Horrocks, sangat memungkinkan jurnalis BBC Radio, BBC Television dan BBC Online bekerjasama secara lebih dekat, dan mengurangi adanya duplikasi dalam proses pembuatan berita. “Jika ada breaking news, maka kami bisa langsung menyiarkannya secara serentak dalam versi radio, televisi maupun online,” katanya. Untuk menerapkan sistem ruang redaksi multi-platform tersebut, BBC mengalokasikan dana senilai 555.000 Pounsterling, termasuk untuk pembiayaan pembuatan dan promosi logo baru yang semua karakter multimedia massanya. Salah satu target utama BBC menerapkan sistem tersebut adalah meningkatkan kinerja jurnalisnya sekaligus mendekatkan mereka dengan publik. Upaya mendekatkan proses pemberitaan yang dikerjakan jurnalis dengan publiknya juga dilakukan oleh Reuters –kantor berita transnasional dari Kerajaan Inggris yang didirikan pada 1851, dan memiliki 196 biro di seluruh dunia—menjelang tutup tahun 2007 memperkenalkan sistem kerja Mobile Journalism (MoJo) bagi jurnalisnya. Reuters menerapkan aktivitas tersebut didukung Nokia –perusaan elektronik dari Finlandia yang produk ponselnya masih merajai pasar dunia—yang memungkinkan jurnalisnya membuat, menyunting dan mempublikasikan berita secara bergerak (mobile) guna mengejar faktor kecepatan pemberitaan. Apalagi, sejumlah perangkat ponsel cerdas (smartphones) dan komputer bergerak sangat canggih (Ultra Mobile Personal Computer /UMPC) sudah menggantikan fungsi komputer jinjing (laptop) karena mampu mendukung kinerja jurnalis memproduksi berita berbasis teks, foto, dan audio-visual televisi dengan memanfaatkan web Internet nirkabel berjaringan data paket berkecepatan tinggi (High-SpeedDownlik Packet Access/HSDPA atau 3.5G) Bagaimana di Indonesia?
4
Sejumlah organisasi media di negeri ini yang telah menerapkan perpaduan niche content dan media convergence telah pula memasuki tahapan layaknya multi-platform newsroom ala BBC maupun Mojo dari Reuters, namun tentunya dalam kapasitas masing-masing. Oleh karena, penerapan kebijakan keredaksian sekaligus pemasaran semacam itu termasuk berkategori padat teknologi yang berujung ke padat modal. Sekalipun demikian, organisasi media yang berani menerapkannya secara tepat, maka berpeluang mendapatkan keuntungan dari sisi efisiensi dan efektivitas kinerja, serta pemasukan finansial. Apalagi, Internet juga membuka peluang sangat besar di bidang pemasaran, karena produknya dapat diakses publik secara global. Hanya saja, sejumlah praktisi pers, akademisi dan tokoh publik ada yang khawatir dengan etika ataupun perilaku pekerja media, terutama jurnalis online. Salah satu kasus menarik adalah pemberitaan mengenai jatuh dan hilangnya pesawat jenis Boeing 737-4Q8 milik maskapai Adam Air bernomor penerbangan 574 yang hilang dalam perjalanan dari Bandar Udara (Bandara) Juanda di Surabaya, Jawa Timur, menuju Bandara Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara, pada 1 Januari 2007. Sejak pesawat itu secara resmi dinyatakan hilang, maka semua media massa nasional – juga internasional—menjadikannya berita utama. Para jurnalis, termasuk portal berita yang memiliki layanan berita teks, foto, radio streaming dan TV streaming, berlomba menyajikan informasi terkini dan terinci mengenai kasus Adam Air 574. Sempat beredar berita bahwa ada 12 orang di antarai 96 penumpang (85 dewasa, 7 anak-anak, dan 4 bayi) dan dilayani 6 awak pesawat dinyatakan selamat. Selain itu, sempat pula tersiar berita bahwa reruntuhan pesawat terlihat jatuh di kawasan pegunungan di kawasan Sulawesi Tengah. Banyak pejabat negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) memberikan komentarnya seputar kecelakaan sekaligus upaya evakuasi korban yang selamat. Ternyata, berita yang menyatakan ada 12 korban selamat itu terbukti bohong. Bahkan, bangkai pesawat tidak ditemukan berada di kawasan pegunungan layaknya yang diberitakan media massa, terutama portal berita, televisi dan radio yang lebih cepat dibanding media cetak. Akibatnya, kinerja menyangkut perilaku dan kode etik jurnalis pun dipertanyakan banyak pihak. Bahkan, sejumlah kalangan ada yang menyebut bahwa kecenderungan cyberjournaslist menerapkan cara kerja asal kutip atau sekadar copy dan paste berita dari informasi/berita pihak lain. Namun, dalam kasus hilangnya Adam Air 574, sedikit pihak yang tampaknya mau mempertanyakan kredibilitas pejabat berwenang –pemerintah, TNI dan Polri-- yang notabene menjadi nara sumber dan ikut memberikan pernyataan eksklusif, yang pada gilirannya terbukti bohong belaka. Perilaku dan etika jurnalis online atau jurnalis ber-Internet (online journalist/cyberjournalist) agaknya paling sering dipertanyakan tatkala muncul kasus beredarnya foto dan atau video cabul menyangkut publik figur maupun anggota masyarakat biasa. Dengan karakter multimedianya yang berbasis web Internet (web based), maka portal berita lebih dimungkinkan mempublikasikan “barang bukti” foto/video cabul dibandingkan media massa lainnya. Bahkan, di portal berita setiap
5
pengaksesnya sangat dimungkinkan memberikan komentar interaktif, yang biasanya disediakan oleh pengelola portal berita. Masalah pun bisa merembet ke kasus hukum, manakala portal berita mempublikasikan “barang bukti” tersebut apa adanya. Oleh karena, portal berita semacam itu bakal terkena pasal menyebarkan pornografi. Padahal, jurnalis secara profesional tetap dapat memberitakan materi dari kasus tersebut dengan menerapkan kode perilaku (code of conduct) dan kode etik (code of ethic) jurnalistik. Misalnya, cyberjournalist memberitakan kasus tersebut secara berimbang dengan tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah (presumption of innocence), melindungi saksi/korban/pelaku berusia di bawah umur (pelajar). Selain itu, cyberjournalist juga dapat mengembangkan keingintahuan publik menyangkut faktor “bagaimana dan mengapa” (how & why) berkaitan dengan “barang bukti” berkategori cabul atau terlarang sesuai kaidah umum. Masih banyak jurnalis di negeri ini lebih suka sekadar mengutip keterangan nara sumber/pakar multimedia guna menyimpulkan apakah “barang bukti” tersebut asli atau palsu/rekayasa digital. Dalam hal ini, cyberjournalist akan lebih baik mengutamakan pertanyaan “bagaimana menguji keaslian, dan kemungkinan proses rekayasa digital?” yang kemudian dijelaskan tahapan teknisnya, sehingga publik pun memiliki wawasan tambahan untuk ikut mengujinya.
Paradoks Cybermedia di Indonesia Kebangkitan kembali bisnis cybermedia di Indonesia memasuki dua tahun terakhir ini terlihat mengiurkan seiring dengan kenaikan jumlah pengakses Internet di dalam negeri dibarengi semakin banyaknya masyarakat internasional –termasuk orang Indonesia yang bermukim di luar negeri—mengakses informasi/berita ke portal berita di negeri ini. Menteri Komunikasi dan Infomatika (Menkominfo), M. Nuh, saat ICT Outlook 2008 di Jakarta pada 31 Januari 2008 memaparkan bahwa Indonesia berhasil mengejar ketertinggalan di bidang Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK atau Information, Communication and Technology/ICT), khususnya di bidang telekomunikasi. Menurut M. Nuh, sektor telekomunikasi di Indonesia pada 2007 mengalami pertumbuhan 48%, terutama di sector seluler yang mencapai 51% dan telepon nirkabel FWA (Fixed Wireless Access) mencapai 78% dibanding setahun sebelumnya. Ia pun mengharapkan setidak-tidaknya ada nilai pertumbuhan yang sama pada 2008. Pertumbuhan kepemilikan komputer, menurut mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut, juga tumbuh secara signifikan mencapai 38%, dan angka pengguna Internet –yang menjadi salah satu indikator makro TIK nasional—telah mencapai jumlah 2.000.000 pemakai atau naik senilai 23% dibanding 2006. Pada 2008, M. Nuh mengharapkan, pengguna Internet di negeri ini dapat mencapai angka 2,5juta. Adapun, kalangan penyedia jasa layanan jaringan telepon seluler (cellular provider) nasional memiliki data bahwa total pengguna Internet di Indonesia mencapai angka
6
sekira 20 juta, namun yang benar-benar aktif hanya sekira 10%-nya. Angka 20 juta tersebut mencakup pengguna Internet berjaringan telepon tetap (fixed phone), broadband dan televisi kabel, jaringan listrik yang dikelola PT PLN, maupun secara nirkabel melalui ponsel dan komputer saku (Pocket PC dan Personal Digital Asisstant/PDA) ataupun modem seluler. Tahun 2007, bagi penyedia jasa jaringan ponsel di Indonesia menjadi babak baru dengan diterapkannya secara resmi teknologi telekomunikasi selular generasi ketiga (3rd Generation/3G) dan generasi ke-3,5 (3.5G). Menjelang medio 2008 ada 20 kota di negeri ini memiliki jaringan HSDPA atau 3.5 G dan sekira 80 kota dilayani 3G. Secara teknis, pengguna Internet berteknologi 3G dan 3.5G dapat mengakses data berkecepatan downlink 3,6Mbps menjadi 7,2Mbps, dan kecepatan uplink dari 384Kbps menjadi 1,4Mbps. Alhasil, pengguna Internet menggunakan ponsel berteknologi 3.5G dan di wilayahnya sudah tercakup layanan tersebut, maka dapat menikmati radio streaming dan TV streaming (juga produk televisi digital berbasis Internet Protocol Television/IPTV) secara mudah. Namun demikian, The Nielsen Company –perusahaan berskala global di bidang informasi dan media-- (http://www.nielsen.com/media/2007/pr_071001.html) dalam laporannya pada 1 Oktober 2007 memperlihatkan terjadi kecenderungan paradoks di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang pertumbuhan akses publiknya ke Internet kian meningkat, namun tingkat kepercayaan mereka terhadap produk komersial yang diiklankan masih lebih banyak melalui informasi dari mulut ke mulut. Dalam laporan survei berjudul Word-of-mouth the Most Powerful Selling Tool: Nielsen Global Survey, mereka melakukan survei dua kali dalam setahun terhadap 26.487 pemakai Internet di 47 pasar dari kawasan Eropa, Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika. Survei tersebut mencakup kebiasaan responden menyangkut 13 jenis periklanan, mulai dari yang konvensional melalui surat kabar dan televisi hingga ke Internet. Data Nielsen Online Global Consumer Study pada April 2007, antara lain memperlihatkan tingkat kepercayaan orang Asia terhadap informasi periklanan yang disampaikan dari mulut ke mulut (word of mouth) dan atas saran orang lain adalah sebagai berikut: Hong Kong Taiwan Indonesia India Korea Selatan
93% 91% 89% 87% 87%
Sebanyak 47 pasar konsumen yang disurvei Nielsen Global ada di Afrika Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgia, Brazil, Ceko, Chile, China, Denmark, Filipina, Estonia, Finlandia, Hongkong, Hungaria, Inggris, India, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Latvia, Lithuania, Malaysia, Meksiko, Mesir, Norwegia, Polandia, Portugal, Prancis, Rusia, Selandia Baru,
7
Singapore, Spanyol, Swedia, Swiss, Taiwan, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Vietnam, dan Yunani, Sementara itu, Pusat Agen Intelijen Amerika Serikat (Central Inteligence Agency) dalam publikasi World of Fact Book (https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/id.html) mencatat kondisi telekomunikasi di Indonesia sebagai berikut: -. Jumlah Penduduk -. Jumlah Satuan Sambungan Telepon -. Jumlah Sambungan Telepon Seluler -. Jumlah Stasiun Televisi Lokal
237,512,355 14,821 juta 63.803 juta 54
-. Jumlah Internet Host -. Jumlah Pengguna Internet
559.359 16 juta.
(perkiraan hingga Juli 2008) (pada 2006) (pada 2006) (pada 2006, ada 11 stasiun bersiaran nasional) (pada 2007)
Paradoks juga dialami cybermedia di Indonesia. Oleh karena, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa lalu-lintas Internet secara nasional hingga Mei 2007 mencapai 80 Gigabit per detik/second (Gbps), yang meliputi trafik melalui satelit (Very Small Aperture Terminal/VSAT), leased line dan koneksi melalui pertukaran Internet Indonesia (Indonesia Internet eXchange/IIX). APJII menilai, dari total lalu-lintas Internet nasional itu ada sekira 70% merupakan koneksi Internet dari daerah ke Jakarta, sedangkan sisanya (30%) merupakan akses dari dalam kota sendiri. Selain itu, catatan APJII menunjukkan bahwa meningkatnya lalulintas penggunaan Internet secara nasional seiring dengan naiknya jumlah pelanggan dan pengguna Internet, yang sebagian besar dari mereka “sangat dimungkinkan” mengakses game online, laman bergambar berkapasitas besar, aktivitas pengiriman data surat elektronik (e-mail) atau dokumen perkantoran, dengan intensitas pemakaian secara keseluruhan tanpa dibatasi waktu. Dengan kata lain, pemain utama cybermedia nasional yang berada di posisi penentu kecenderungan pasar (market trendsetter) jelas terlihat di lamannya menerapkan pula rumusan berbisnis secara kreatif di tengah paradoks yang ada. Sejumlah portal berita trendsetter lamannya bukan sekadar menyajikan berita yang cepat, akurat dan lengkap, sehingga bernilai penting bagi publiknya. Mereka pun menjaring iklan secara kreatif, mulai dengan memanfaatkan agen iklan yang juga semakin banyak beralih ke bisnis berbasis Internet, sampai dengan memanfaatkan sejumlah produk TI terbaru. Sementara itu, cybermedia yang berada di posisi menantang pasar (market challenger) banyak yang menyajikan berita bukan sebagai hal utama. Mereka di lamannya lebih banyak membuka kanal non-berita lempang (straight news), tetapi mengutamakan informasi hiburan (information-entertainment/infotainment), antara lain mengenai artisartis terkenal. Selain itu, mereka melengkapi infotainment artis bersangkutan dengan kanal database iklan berisikan foto-foto, cuplikan film (clips), potongan lagu untuk nada tunggu ponsel, dan jalur percakapan (chatting). Hal ini juga dilakukan oleh pengelola cybermedia yang berada di posisi sekadar mengikuti selera pasar (market follower).
8
Cybermedia di posisi market trendsetter dalam konsep bisnisnya dalam dua tahun terakhir ini juga terlihat menerapkan konvergensi media secara lebih kuat. Mereka melakukan pula kerjasama dengan pengembang aplikasi portal berita berbasis komunitas yang dikenal dengan sebutan Web 2.0 sekaligus menggandeng kerjasama dengan penyedia jasa jaringan ponsel. Bisnis pemberitaan online di negara maju pun, terutama di kawasan Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), apalagi Jepang,China dan Korea Selatan, terlihat bahwa pengelola cybermedia yang ingin berada di posisi market trendsetter harus dekat atau terlibat langsung dengan kepentingan publiknya di ranah web berbasis PC sekaligus ponsel. Apalagi, penyedia jasa jaringan ponsel –termasuk di Indonesia-- dewasa ini menerapkan sistem mobile cellular advertising (mobile ads) sekaligus On Device Portal (ODP). Mobile Ads sangat jelas bermanfaat sebagai sarana beriklan/promosi melalui ponsel. Sedangkan, ODP dapat diterjemahkan sebagai “aplikasi memindahkan fungsi web Internet dari PC/laptop ke ponsel” dengan berbagai manfaat tambahan, antara lain memantau kegiatan secara geografis menggunakan peta digital online, time), mengunggah/mengunduh mengirim/menerima e-mail seketika (real (upload/downlad) isi berita sesuka hati, termasuk content prakiraan cuaca berdasarkan kode pos, sehingga akurasi datanya mencakup tingkat kelurahan di Indonesia. Percakapan tatap muka melalui ponsel pun menjadi hal mudah. Semua aktivitas menggunakan ODP itu dapat direkam atau didokumentasikan, bahkan secara mudah pula dapat diunggah (upload) sebagai berita aktual atau sekedar content ke blog pribadi. ODP menjadi “mainan baru” sekaligus tantangan bagi cybermedia dalam menjalankan sistem keredaksian dan pemasarannya. Oleh karena, ODP –yang mengandalkan teknologi 3G & 3,5G yang dikembangkan pertama kali oleh perusahaan aplikasi komputer Virtuser—bertujuan mendukung konvergensi media yang dikembangkan sejak 2001. ODP dalam serangkaian uji pendahuluan pasarnya, ternyata mampu menggaet konsumen mulai usia enam tahun, sekalipun penggemar utamanya berada di kisaran usia 12 hingga 50 tahun. Salah satu tantangan nyata bagi cybermedia dengan kehadiran Mobile Ads dan ODP – yang sudah diawali penyebaran isi berita melalui sistem WAP dan VAS di ponsel— adalah semakin banyaknya penyedia jasa isi berita (Content Provider/CP) yang bukanlah organisasi pers cetak, elektronik dan portal berita. CP menjual produknya –yang justru kebanyakan mereka peroleh/beli dari organisasi pers cetak dan elektronik— dan menjalankan bisnisnya sebagai perpanjangan tangan cellular provider. Dengan kata lain, pengolah pengembangan isi berita di CP “bukanlah” (atau sulit disebut) jurnalis – sekalipun beberapa di antara mereka adalah mantan jurnalis atau masih mengantongi kartu pers—lantaran kinerja mereka lebih banyak sebagai pemaket data, informasi dan berita untuk didistribusikan ke publik melalui pihak cellular provider. Hanya saja, semua cellular provider di Indonesia terkesan “terjebak” untuk lebih mempromosikan “perang tarif”, sehingga cenderung mengabaikan pembelajaran kepada publik mengenai manfaat dari berbagai fasilitas yang mereka sediakan. Salah satu
9
kenyataan yang terjadi di khalayak adalah semakin banyak orang memiliki ponsel kelas cerdas (smartphone), tetapi mereka jarang atau hampir tidak pernah menggunakannya untuk mengakses Internet. Mereka memanfaatkan kecerdasan ponselnya sekadar untuk berbicara dan berkirim atau menerima pesan singkat (Short Message Service/SMS). Namun demikian, pemilik cellular provider secara bisnis media dapat diibaratkan sebagai pemimpin perusahaan sindikasi cybermedia lantaran pada praktiknya mengelola banyak CP yang memerlukan jaringan distribusi secara seluler. Oleh karena itu pula, sejumlah cybermedia yang mengincar posisi market trendsetter bergabung atau bahkan membeli (membentuk) perusahaan penyedia jasa jaringan telepon/data seluler. Di Indonesia sampai dengan akhir 2007 ada lebih dari 150 CP, tetapi hanya sekira kurang dari 5% yang menghasilkan produk berita secara mandiri lantaran yang 95% lainnya memilih berada di posisi market follower, antara lain menjadi pelanggan kantor berita atau bahkan mengliping berita berformat digital dari berbagai media massa, termasuk laman cybermedia berbahasa asing. Jenis berita yang populer atau banyak diakses pun belum terlalu banyak berubah dengan selera publik media selama ini, yaitu seputar masalah seks, kriminal, peperangan/konflik, olahraga dan hiburan (sex, crime, war/conflict, sport & entertainment). Kalaupun ada jenis berita yang juga digemari publik, antara lain perkembangan dunia TI dengan perlengkapan praktis sekaligus serba guna berukuran kecil (gadget), temuan teknologi kesehatan/pengobatan, dan kuliner, serta gaya hidup (life style). Secara terpisah, ranah jurnalisme warga (citizen-journalism) dan blog juga semakin diramaikan dengan sistem kerja yang diberi nama buatlah beritamu sendiri (Create Your Own News/Crayon). Konsep idealisnya adalah semua orang dapat menjadi wartawan, terutama melalui blog. Hal ini juga sangat disadari oleh pengelola cybermedia yang berada di posisi market trendsetter dan market challenger, sehingga laman mereka pun menyediakan kanal cybercommunity yang menghubungkan blog pribadi dan komunitasnya. Bahkan, sejumlah cybermedia menempatkan sekelompok redaktur seniornya yang masing-masing menjadi moderator sekaligus produser komunitas blog. Mereka, antara lain bertugas sebagai pemandu gagasan, menjembati masalah perdebatan dalam diskusi/forum, dan menghubungkan jejaring baru dalam komunitas blog bertopik tertentu yang dikelolanya. Dalam bisnis cybermedia agaknya kian memperkuat kenyataan bahwa jurnalisme yang mampu mendekatkan diri sekaligus menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan publiklah yang bakal mendapatkan kredibilitasnya.=================*808*=============
10
Priyambodo RH
[email protected] [email protected] http://cyberjournalism.wordpress.com . 2001 -
: -.Cyberjournalist ANTARA Multimedia Gateway, Jakarta -.Pengajar Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta -.Pengajar Universidade Independente (UnI), Lisabon-Portugal . 2000 - 2001 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Eropa di Brussel, Belgia . 1999 - 2000 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Lisabon, Portugal . 1997 - 1998: -. Konsultan Pengembangan Web Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Ditjen PPG), Departemen Penerangan RI -. Konsultan Pengembangan Web Komisi Kebudayaan & Informasi (COCI), ASEAN Secretariat - http://www.aseansec.org . 1996 : -.Pengajar Lembaga Pendidikan Jurnalistik Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta -.Pengajar Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA), Jakarta . 1996 - 1999 : -.Kepala Biro Kerjasama Internasional LKBN ANTARA -.Kepala Bagian Evaluasi dan Pengembangan LKBN ANTARA -.Pengajar Universitas Indonesia Esa Unggul (IEU), Jakarta . 1995 : -.Pendidikan Spesialis Jurnalisme Lingkungan Hidup dan Jurnalisme Online di International Institute for Journalism (IIJ) di Berlin, Jerman . 1993 : -.Redaktur Pelaksana II WartaBumi/EarthWire, LKBN ANTARA- UNESCO . 1993 - 1996 : -. Wakil Kepala Meja Sunting Spektrum, Redaksi Berkala LKBN ANTARA . 1992 : -.Staf Meja Sunting Spektrum LKBN ANTARA . 1989 - 1992 : -.Wartawan LKBN ANTARA Biro Surabaya . 1985-1989 : -. Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa - Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS, Surabaya, Jawa Timur). Keluarga: -. Ayah tiga putri -Marchia Kalyanitta, Maytha Indrayani Kalyanitta dan Decira Indrayani Kalyanitta- dari pernikahan dengan ATS Ernawati.****808RH****
11