1
Butuh KINA yang Bisa Dilipat
atkala membuka-buka tumpukan berkas surat lama yang sebagian sudah lengket satu sama lain, mendadak ”pluk…,” sebuah kartu ukuran KTP berlaminasi jatuh. Ternyata sebuah pass masuk PNG. Tertulis ijin berakhir Mei 2007. Karena pass ini berdurasi dua tahun, jadi kejadiannya mungkin pada 2005-an. Samar-samar saya ingat, untuk memasuki kawasan yang banyak menyimpan dan melindungi Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah Papua Barat menggunakan pesawat dari Singapura, dan ini—kata mereka—diperlukan Visa on Arrival sebesar K250 di airport. Saya langsung order ”menteri keuangan”. ”Mbok-e Lia.., aku butuh 250 KINA…” Dia menjawab, ”Agak susah sih sekarang carinya. Tapi aku coba…” Dan saya tahu, emake Lia adalah perempuan yang tidak kenal kata menyerah. Waktu saya menyiapkan kopor untuk ke PNG, dia malahan laporan dengan ”GAGAH WANITA”. ”Aku bawain 1.000 (seribu KINA), mau nggak?” ”Makin banyak makin bagus..,” kata saya membayangkan tumpukan uang yang guede-guede bergambar Cendra-
T
1
2
Jejak Para Pemburu Minyak
wasih. ”Masih dikemas dalam kalengan..,” katanya lagi. ”Nah.., ini dia…” Ada komunikasi berantakan antara suami-istri. Saya butuh KINA yang bisa dilipat, bukan yang ditelan. Terus seribu butir pil kina itu mau dikemanakan? []
2
Pakaian Khusus Anti Malaria
arusan saya menerima selebaran berupa email dari teman di Australia bahwa saat bepergian dari dan ke tempat kerja, pekerja diharuskan memakai baju lengan panjang, celana panjang, kaos kaki yang mampu melumpuhkan nyamuk ataupun serangga lainnya. Saat ini di Amerika, baru satu perusahaan yang memegang paten membuat Serat Baju yang mengandung obat sintetik Permethrin. Senyawa ini mampu melumpuhkan sistem syaraf nyamuk, semut, ataupun caplak. Dulunya bahan Permethrin banyak dipakai untuk pengobatan sakit Kudis (Scabbies) pada hewan ternak seperti Kambing. Pakaian ini mampu melindungi pemakainya sampai 70 kali dicuci. Lewat dari itu, pakaian dinyatakan baju biasa. Ternyata selain mengandung ”built in” racun nyamuk, pakaian ini sudah dilengkapi kemampuan menahan sinar matahari karena sudah ”built in” ditanam bahan anti matahari berkekuatan 30 SPF. Di negeri yang dikenal malaria tinggi, para pekerja dibekali baju kerja yang selain bersifat ”fire retardant” atau bahan tidak mudah terbakar, juga disemprot obat Permethrin. Bahkan beberapa hari sebelum menuju lokasi, pe-
B
3
4
Jejak Para Pemburu Minyak
kerja secara teratur mengonsumsi tablet anti malaria. Penduduk lokal biasanya secara otomatis memiliki kekebalan terhadap Malaria. Mohon maaf bahwa foto yang terpampang pada halaman ini barangnya masih status dipesan sehingga saya main contek dari websitenya.[]
3
Mendadak Pending
aaa, Telo Pendem Tenan. Ini bahasa tidak bermaksud mengejek makanan kesukaan saya, tetapi memang beberapa teman sering menyebut kata tersebut sebagai tanda ”unhappy”. Mestinya saya masih bisa buka laptop mengedit bahan tulisan saya. Namun mendadak datang permintaan sukarela namun KUDU… ”Are U Happy back to Rig..?” Dasarnya senang blusukan sambil cari duit dan inspirasi (caelah), maka permintaannya segera saya balas secepat Reporter TV kita kalau ada umpan lambung kelemahan lawan politik yang kudu ditumpas kelor—entah itu nama baik ataupun nama sekarat. Akan tetapi mata rantai dari jawab ”Yes, no issue from my side..” adalah janji ketemu teman, sebagai bagian dari manusia hidup menjadi buyar.., alias ”OMDO.” Pasalnya, setelah saya baca, ternyata jadwal keberangkatan saya dimajukan beberapa hari. Dan rutenya tidak tanggung-tanggung: Jakarta–Singapura–Manila, baru ke Port Moresby. Tetapi apa mau dikata, urusan APEC di Bali bikin penerbangan ke Denpasar nyaris sulit didapat. Begitu ”maknyuk” di depan counter check-in, si mbak
Y
5
6
Jejak Para Pemburu Minyak
melihat itinerary alias rute perjalanan saya lalu mengusulkan, ”Pak, yang jam 10 diganti jam 7 pagi mau tidak?” Dan jawabnya, ”Ya.. Ya.. Ya…” ”Tapi pak, sebelum ke luar negeri.., tolong Bapak validasi ke bagian Tenaga Kerja Luar Negeri.” ”Waduh.., emang dengan bangga saya mengatakan TKI, tetapi mau cari perkara.., pakai laporan segala…” Namun yang keluar dari mulut adalah, ”Mbak.., (sudah) 30 tahun lebih saya bepergian. Jadi saking seringnya bepergian, ibarat tol Halim jam 08:00 di hari Senin. Rapat dan rapat sekali. Jadi terima kasih dan saya pikir tidak perlu..” Perempuan ini mengatakan bahwa bagasi saya bisa diambil di Port Moresby, tetapi setelah melihat tabel di depannya dan konsultasi dengan seniornya. Setelah membayar airport tax Rp150 ribu—sebagai ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pajak dan pajak—saya pun melenggang ke Imigrasi. * Berbaris di depan petugas Imigrasi, seorang lelaki dengan passport merah dan tulisan Kanji. Dia serahkan paspornya dan petugas memberikan isyarat tangan ”bukan di sini…” Tetapi.., passport Taiwan ya mana ngerti. Dia bergeser ke loket sebelahnya yang juga bertuliskan ”Indonesian”, untuk diusir lagi… ”Woalah pak petugas, apa sih beratnya menunjukkan secara jelas, ’Ini Indonesian Only. Foreigner di sebelah sono’. Tetapi dua loket ini seperti masih separuh jiwanya masih di tempat tidur. Melihat orang plenggang-plenggong, saya ambil alih dan kasih isyarat, ”pindah ke loket yang ada tulisan ’Foreign’”
Mendadak Pending
7
Dia masih butuh beberapa detik sebelum bergeser ke loket yang saya tunjuk. Cuma butuh beberapa detik, kok ya sulit sekali bagi petugas dari negeri yang terkenal sering mengaku ramah tamah, adat ketimuran, gotong royong, suka menolong, memberikan kesan ramah… []
4
Rasanya Menikmati ”Check In” Penerbangan Masih Perdana
erasaan.., apa-apa yang judulnya ”pertama” biasanya berkesan. Lagu A Rafiq, ”Pandangan pertama.., kala kita berjumpa…” mungkin pas kalau saya ceritakan dalam lapor keberangkatan di Denpasar Bali. Apalagi saya baca di majalah penerbangan, ”We are now served Bali - Port Moresby…” Maka seperti biasa saya ngeces kepingin sampai, dari Jakarta ke Bali pada bulan Agustus kemarin. Keburu kepingin merasakan penerbangan INTERNASIONAL dari Bali. Ya.., dari Bali… Begitu mendarat di terminal Domestik Ngurah Rai, saya lihat satu-satunya pintu keluar sudah dipagar betis para ”taksi gelap”, ”taksi terang”, dan ”(taksi) abu-abu”. Mereka mengacungkan tulisan berisi nama, atau sekedar acungan jari… Kok saya seperti merasa berjalan di bawah upacara Pedang Pora. Cuma pedang yang menanungi kami adalah lengan para ”taksiwan gelap” itu tadi. Pedang Pora adalah upacara tradisi lulusan AKABRI. Kalau salah satu mereka menikah akan melewati terowongan yang dibentuk dari susunan pedang.
P
9
10
Jejak Para Pemburu Minyak
Baru menunduk di bawah ketiak kecut pora.., eh sudah ruangan cuma tersisa satu orang bisa lewat.., ada penumpang pakai ngobrol dengan penjemputnya di depan saya. Maaf, sekali lagi saya jadi nggak sabaran. Dan tas kami pun saling bertumburan, pura-pura tak sengaja… Lolos dari (ruang) Domestik bergegas menuju ruang keberangkatan International yang kebetulan di Bali ndak perlu naik roda empat. Kepada petugas saya tanyakan di mana ruang lapor untuk penerbangan Internasional Bali ke Port Moresby. Maaf, saudara-saudara. Kalau Anda tanya Australia, mereka sambil pejam mata akan memberitahu dengan mudah. Tetapi penerbangan saya kudu saya telusuri satu persatu. Dua petugas yang melayani saya saling berpandangan penuh pertanyaan. ”Ke Port Moresby pakai Visa ndak ya..?” Saya memotong, ”Pakai mbak. Ini visanya”. Memang sebesar ijazah legalisiran sih lebarnya, mangkanya belum bisa ditempel di passport..” ”Tapi.., ini bukan Visa, pak. Judulnya ATT (Authorized to Travel).” Anda harus menirukan Kasino Warkop untuk dialog ini: ”Supervisor dicari.., Supervisor dipanggil… Sekali lagi saya menjelaskan status ATT…” Lha Kedubes PNG kasih nama ya kok beda. Jadinya sekalipun namanya lebih tepat tetapi banyakan bingung. ”Tolong dibaca bahwa Visa.., eh, ATT yang diberikan adalah multiple Business Visa…” Teman saya Filipino lima bulan menunggu. Saya dikasih kemurahan hanya dua bulan sudah dikirim pakai Fedex ke rumah. Saya katakan bahwa kedatangan saya ke Port Moresby (POM), tujuannya adalah menempelkan ATT ini ke lem-
Rasanya Menikmati ”Check In” Penerbangan…
11
baran passport hijau saya. Namun harus dilakukan oleh pemerintah PNG di ibukotanya yang bernama Port Moresby, disingkat POM.., bukan oleh saya. Supervisor kelihatannya ingin mengopy ATT saya yang di mata mereka aneh. Akhirnya saya berikan satu lembar salinan Visa.., eh, ATT kepada Supervisor. Sebab kalau beliau yang akan fotocopy, nanti hilang misalnya.., resiko tidak mau saya ambil. Akhirnya mereka mengerti. Sebuah kartu pas penerbangan dikeluarkan. Salah satu dari petugas, sebut saja Ni Luh, menulis tangan. Dan, hore..! Sebuah ”Boarding Pass kelas International” ditulis tangan. Buru-buru saya abadikan. Siapa tahu beberapa tahun mendatang dicari boarding pas yang masih ditulis tangan saat Android dan komputer sudah ditemukan. * Dalam pesawat, penumpang cuma 20 orang sehingga kami bisa tiduran selonjor, masing-masing satu deret. Ini baru mewah dan perdana… []