i
UNIVERSITAS INDONESIA
TATALAKSANA NUTRISI PENYAKIT KRITIS PADA ANAK DENGAN PNEUMONIA BERAT
SERIAL KASUS
DIANA FELICIA SUGANDA 1106026791
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA DESEMBER 2013 i
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
TATALAKSANA NUTRISI PENYAKIT KRITIS PADA ANAK DENGAN PNEUMONIA BERAT
SERIAL KASUS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik
DIANA FELICIA SUGANDA 1106026791
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA DESEMBER 2013 i
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Laporan Serial Kasus ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Diana Felicia Suganda
NPM
: 1106026791
Tanda tangan:
Tanggal
: 19 Desember 2013
ii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Serial Kasus ini diajukan oleh : Nama : Diana Felicia Suganda NPM : 1106026791 Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Program Studi Ilmu Gizi Klinik Judul Serial Kasus : Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik pada Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK
(…..…………..)
Penguji
: DR. Dr. Johana Titus, MS, SpGK
(………………..)
Penguji
: Dr. Victor Tambunan, MS, SpGK
(………………..)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 19 Desember 2013
iii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas perlindungan dan berkatMu selama ini yang telah memberikan kesempatan, kekuatan dan ketabahan, sehingga penyusunan laporan serial kasus ini dapat diselesaikan. Laporan serial kasus yang berjudul “Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat”, disusun sebagai tugas akhir dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Gizi Klinik di Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, Jakarta. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Sri Sukmaniah. MSc, SpGK sebagai ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya. Kepada DR.Dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai sekretaris program studi atas kesabaran, bimbingan dan motivasi yang tidak pernah putus. Ucapan terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada DR.Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi dan sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing saya dengan penuh kesabaran selama menempuh pendidikan ini. Terima kasih kepada seluruh dosen pembimbing di RSCM dan rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita, atas bimbingan selama masa pendidikan. Terima kasih kepada teman-teman peserta PPDS Ilmu Gizi Klinik FKUIRSCM angkatan kedua yang telah setia menemani dalam suka maupun duka, melewati segala rintangan selama ini. Kepada semua rekan PPDS Ilmu Gizi Klinik FKUI-RSCM terima kasih atas dukungannya, semoga persahabatan ini tetap berlanjut dan semoga kita dapat memanfaatkan ilmu yang kita dapat untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Terima kasih kepada teman-teman dietisien RSCM, RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita atas kerja sama yang terjalin baik selama ini. Penghargaan tak terhingga kepada semua pasien di seluruh rumah sakit pendidikan. Ucapan terima kasih kepada seluruh karyawan Departemen Ilmu Gizi, atas bantuan dan dukungan selama menyelesaikan pendidikan ini. iv
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
v
Penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada orangtua tercinta atas bantuan dan dukungan serta doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan. Kepada suami tercinta Dr. Brian Indra Gandhi, ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan atas cinta kasih dan kesabarannya mendampingi, memberikan dukungan moril dan materiil selama ini. Kepada dua putra tercinta, Denzel Cristiano Gandhi dan Bradley Ignazio Gandhi, semoga kalian menjadi manusia yang sukses di kemudian hari. Segenap keluarga besar, adik dan kakak sekalian, yang dengan tulus ikhlas memberikan dorongan, dan senantiasa berdoa untuk keberhasilan dalam pendidikan ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala budi baik semua pihak yang telah membantu. Semoga karya tulis ini memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 19 Desember 2013
Penulis
v
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Diana Felicia Suganda
NPM
: 1106026791
Program Studi
: Ilmu Gizi Klinik
Fakultas
: Kedokteran
Jenis Karya
: Serial Kasus
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royaltyfree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Jakarta Pada tanggal 19 Desember 2013 Yang menyatakan
(Diana Felicia Suganda)
vi
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
vii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Pembimbing
: Diana Felicia Suganda : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Program Studi Ilmu Gizi Klinik : Tata Laksana Nutrisi Penyakit Kritis pada Anak dengan Pneumonia Berat : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK
Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi. Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan pada anak sakit kritis yang dirawat intensif dengan tujuan meminimalkan efek fase akut. Sekitar 15-20% anak masuk perawatan intensif sudah dalam kondisi malnutrisi sebelumnya. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien yang bernapas spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Pasien pada serial kasus ini mempunyai rentang usia 3-4,5 bulan. Umumnya keluhan utama adalah sesak napas yang semakin berat, disertai dengan tarikan dinding dada dan malas menyusu. Berkurangnya asupan menyebabkan pasien mengalami masalah gizi sehingga perlu adanya dukungan nutrisi. Terapi nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yang dihitung dengan rumus Schofield atau rumus White jika menggunakan ventilator, kemudian dikalikan faktor stres dan pemberiannya dimulai dari 80% kebutuhan energi basal, yang secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai kebutuhan total. Kebutuhan protein dan lemak disesuaikan dengan kondisi sakit kritis. Pemantauan terapi nutrisi dilakukan pada delapan hingga sebelas hari. Pemantauan mencakup tanda klinis, toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, balans cairan, parameter laboratorium dan antropometri. Selama pemantauan didapatkan bahwa sebagian besar pasien dapat mencapai kebutuhan energi total pada hari keenam hingga delapan pemantauan. Pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis bersifat individual dan mencakup semua aspek. Dengan tatalaksana nutrisi yang baik, diharapkan kualitas hidup pasien pneumonia berat dengan berbagai penyakit penyerta akan lebih baik. Kata kunci : sakit kritis, pneumonia berat, anak, tatalaksana nutrisi
vii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
viii
ABSTRACT
Name Study Programme Title Counselor
: Diana Felicia Suganda : Study Programme of Clinical Nutrition Specialist, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia : Nutritional Management in Critically Ill Children with Severe Pneumonia : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK
Nutrition therapy in critically ill children with severe pneumonia includes the provision of macronutrient, micronutrient, specific nutrition, fluid and electrolyte management and nutrition status monitoring. Adequate nutrition therapy should be given in critically ill children in the intensive care to minimize acute phase effect. Approximately 15-20% children admitted to the intensive care already in malnutrition state. Malnutrition is common in patients with pulmonary disease. Altered nutrition status can effect pulmonary function in spontaneous breathing or in mechanically ventilator dependent patient, because nutritional status can affect muscle function, ventilatory drive, hypoxia response and pulmonary defense mechanism. Patients in this case series have an age range from 3 to 4.5 months. Their chief complaints were dyspnoe (difficulty in breathing) with chest retraction and lack of breastfeed. Reduce intake caused patient prone to nutritional problem. Nutritional support is given according to each patient’s requirement, which is calculated with Schofield equation or White equation if the patient on ventilator, using stress factor and the administration starts with 80% basal energy expenditure, which gradually increased to reach the total energy expenditure. Protein and lipid requirement is calculated based on critically ill state. Patient’s monitoring performed on eight to eleven days. Patient’s clinical signs, food intake tolerance, functional capacity, fluid balance, laboratory and anthropometric parameter were taken. During the monitoring it was found that most patients can achieve total energy requirement on day six to eight monitoring. Nutrition in critically ill patients is individualized and includes all aspects. With the management of good nutrition, expected quality of life of patients with severe pneumonia various comorbidities would be better.
Key word : critically ill, severe pneumonia, children, nutritional management
viii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................ vi ABSTRAK ………………………………………………………………… vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ix DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. xii DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………. xiii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………... xv 1. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1.2. Tujuan …………………………………………………………… 1.2.1. Tujuan umum ……………………………………………. 1.2.2. Tujuan khusus ……………………………………………. 1.3. Manfaat Penulisan ………………………………………………
1 1 3 3 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 5 2.1. Embriologi Paru ………………………………………………… 5 2.2. Anatomi Paru …………………………………………………… 5 2.3. Fisiologi Paru……………………………………………………. 6 2.4. Metabolisme Paru dalam Kondisi Normal …………………….. 8 2.5. Pneumonia ……………………………………………………… 9 2.5.1. Definisi …………………………………………………… 9 2.5.2. Epidemiologi ……………………………………………… 10 2.5.3. Etiologi ……………………………………………………. 11 2.5.4. Faktor Risiko ……………………………………………… 12 2.5.5. Patogenesis dan Patofisiologi ……………………………… 13 2.5.5.1. Pneumonia Bakterial ……………………………… 14 2.5.5.2. Pneumonia Atipik ………………………………… 15 2.5.5.3. Pneumonia Neonatus …………………………….. 16 2.5.6. Diagnosis …………………………………………..……… 16 2.5.7. Pneumonia berat …………………………………………. 20 2.5.8. Terapi ……………………………………………………… 21. 2.5.9. Pencegahan ………………………………………………… 23 2.6. Sindrom Distres Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS) .................................................................. 24 2.7. Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru …………………………. 25 2.8. Perubahan Metabolisme pada Sakit Kritis (Critically Ill)………… 27 2.8.1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat …………………….. 29 2.8.2. Perubahan Metabolisme Protein ………………………….. 30 ix
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
x
2.8.3. Perubahan Metabolisme Lemak …………………………… 31 2.9. Terapi Nutrisi pada Anak Sakit Kritis dengan Penyakit Paru ….. 32 2.9.1. Penilaian Status Nutrisi pada Anak ……………………….. 33 2.9.2. Tatalaksana Nutrisi ………………………………………... 35 2.9.3. Kebutuhan Makronutrien …………………………………. 37 2.9.3.1. Kebutuhan Energi ……………………………….. 37 2.9.3.2. Kebutuhan Protein ………………………...……. 40 2.9.3.3. Kebutuhan Karbohidrat ………………………..… 41 2.9.3.4. Kebutuhan Lemak ……………………………….. 42 2.9.3.5. Kebutuhan Cairan ……………………………….. 44. 2.9.4. Kebutuhan Mikronutrien dan Imunonutrisi …………….… 45 2.9.5. Pemilihan Jalur Pemberian ………………………….…. 46 2.9.6. Monitoring Status Nutrisi pada Anak Sakit Kritis ………… 49 3. KASUS 3.1. Kasus 1 Pneumonia berat, suspek hernia diafragmatika, ARDS, gizi kurang …...................................................................................... 50 3.2. Kasus 2 Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, gizi baik, stunted ……………………...........……. 57 3.3. Kasus 3 dengan Pneumonia berat, HRB (Hiperreaktif bronkus), suspek PJB sianotik, dekstrokardia, gizi baik.....………………….. 62. 3.4. Kasus 4 dengan Pneumonia berat, laringomalasia, gizi buruk…… 67 4. PEMBAHASAN ………………………………………………………. 72 5. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 89 DAFTAR REFERENSI …………………………………………………. 92 LAMPIRAN …………………………………………………………….. 100
x
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Patogen Penyebab Pneumonia Anak Berdasarkan Usia ….. 12
Tabel 2.2.
Faktor Risiko Pneumonia ………………………………….. 13
Tabel 2.3.
Kriteria takipnea menurut WHO ………………………….. 18
Tabel 2.4.
Gejala Klinis Pneumonia pada Anak ……………………… 18
Tabel 2.5.
Klasifikasi WHO pada penyakit pernapasan akut dengan gejala batuk atau sulit bernapas…………………..... 20
Tabel 2.6.
Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat jalan ……..... 21
Tabel 2.7.
Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat inap ….…..... 22
Tabel 2.8.
Respons fase terhadap stres ……………………………...... 28
Tabel 2.9.
Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 0-3 tahun ………………………………....…....... 37
Tabel 2.10.
Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada Anak usia 3-10 tahun ………………….………………..…. 38
Tabel 2.11.
Menentukan faktor aktivitas dan faktor stres …………....... 38
Tabel 2.12.
Derajat stres berdasarkan penyakit ……………………....... 39
Tabel 2.13.
Perhitungan kebutuhan cairan pada anak ..……………......
Tabel 4.1.
Karakteristik pasien………………………………………... 72
Tabel 4.2.
Komposisi energi dan makronutrien dalam ASI matur …... 77
Tabel 4.3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan
45
Pertumbuhan pada pasien PJB …………………………...... 81
xi
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Anatomi paru …………………………………………….... 6
Gambar 2.2.
Pertukaran udara di dalam paru ………………………....... 9
Gambar 2.3.
Proporsi penyebab kematian pada usia 1-4 tahun di Indonesia ………………………………………………...... 11
Gambar 2.4.
Respons metabolik saat stres ………………….………...... 29
Gambar 3.1.
Analisis asupan sebelum sakit dan 4 jam terakhir kasus 1... 53
Gambar 3.2.
Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 1 ……….. 55
Gambar 3.3.
Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 1 …….... 56
Gambar 3.4.
Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 1 …….. 57
Gambar 3.5.
Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 2 59
Gambar 3.6.
Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 2 ………. 60
Gambar 3.7.
Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 2 …….... 61
Gambar 3.8.
Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 2 ……... 62
Gambar 3.9.
Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 3 64
Gambar 3.10. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 3 ……… 65 Gambar 3.11. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 3 …….... 66 Gambar 3.12. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 3…….... 67 Gambar 3.13. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 4 69 Gambar 3.14. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 4 ……….. 70 Gambar 3.15. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 4 …….... 71 Gambar 3.16. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 4 ……. 72
xii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ALI
: acute lung injury
ALP
: alkali fosfatase
ARDS
: acute respiratory distress syndrome
ASPEN
: American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
BB
: berat badan
BB/TB
: berat badan menurut tinggi badan
BB/U
: berat badan menurut umur
BBI
: berat badan ideal
BMR
: basal metabolic rate
CDC
: Centres for Disease Control and Prevention
CO2
: carbon dioxide
CRP
: C-reactive protein
DIT
: diet induced thermogenesis
DRI
: Dietary Reference Intake
EPA
: eicosapentaenoic acid
GGT
: gamma glutamyl transferase
GLA
: gamma linolenic acid
Hib
: Haemophillus influenzae
ICU
: intensive care unit
IMT
: indeks massa tubuh
IVFE
: intravenous fat emulsion
LCT
: long-chain triglyceride
LLA
: lingkar lengan atas
NEC
: necrotizing enterocolitis
NRS
: Nutrition Risk Score
P25
: persentil 25
P3
: persentil 3
PB
: panjang badan xiii
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
xiv
PCO2
: pressure
of carbon dioxide
PICU
: pediatric intensive care unit
PJB
: penyakit jantung bawaan
PNRS
: Pediatric Nutrition Risk Score
PO2
: pressure of oxygen
PYMS
: Pediatric Yorkhill Malnutrition Score
RDA
: Recommended Dietary Allowance
REE
: resting energy expenditure
Riskesdas
: Riset Kesehatan Dasar
RQ
: respiratory quotient
RSV
: respiratory syncytial virus
SCCM
: Society of Critical Care Medicine
SGNA
: Subjective Global Nutritional Assessment
SKRT
: Survei Kesehatan Rumah Tangga
STAMP
: Screening Tool for the Assessment of Malnutrition in Paediatrics
STRONG
: Screening Tool for Risk of Impaired Nutritional Status and Growth
TB
: tinggi badan
TB/U
: tinggi badan menurut umur
VSD
: ventricle septal defect
WHO
: World Health Organization
xiv
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pemantauan Pasien Kasus 1...........................................
100
Lampiran 2.
Pemantauan Pasien Kasus 2............................................
104
Lampiran 3.
Pemantauan Pasien Kasus 3...........................................
108
Lampiran 4.
Pemantauan Pasien Kasus 4...........................................
112
Lampiran 5.
Kurva pertumbuhan bayi prematur Babson Benda........
116
Lampiran 6.
Formulir Skrining STRONG..........................................
117
Lampiran 7.
Formulir Skrining PYMS..............................................
119
xv
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia.2 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan tahun 1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi besar bagi kematian bayi dan anak di Indonesia.3 Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan tempat ke-3 sebagai penyebab kematian neonatus.4 World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens pneumonia anak dan balita di negara berkembang adalah 0,29 episode per anaktahun atau 151,8 juta kasus pneumonia/ tahun, sejumlah 8,7% (13,1 juta) di antaranya merupakan pneumonia berat dan perlu rawat intensif.2 Pneumonia berat ditandai dengan batuk atau (juga disertai) kesukaran bernapas, napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada bayi usia 2 bulan sampai anak usia kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal juga pneumonia sangat berat dengan gejala batuk, kesukaran bernapas disertai gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Pada anak di bawah 2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah.5 Pasien dengan pneumonia berat sering mengalami gagal napas akut yang membutuhkan ventilasi mekanik invasif ataupun noninvasif, sehingga merupakan indikasi perawatan di intensive care unit (ICU).6 Pneumonia berat yang dirawat di ICU menjadi perhatian khusus karena tingginya angka mortalitas dan morbiditasnya.7 Sebaliknya pasien sakit kritis yang dirawat di ICU dapat berkembang menjadi menderita pneumonia berat.8 Pasien tersebut harus mendapat 1
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
perawatan segera secara tepat dalam mengendalikan proses inflamasi dan mencegah disfungsi multi organ.9 Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan pada anak sakit kritis yang dirawat di ICU dengan tujuan meminimalkan efek fase akut. Sekitar 15-20% anak masuk
ICU
sudah
dalam
kondisi
malnutrisi
sebelumnya.10
Malnutrisi
berhubungan dengan deplesi cadangan protein dan lemak, penurunan imunitas, peningkatan risiko infeksi, penyembuhan luka yang buruk dan peningkatan morbiditas serta mortalitas.11 Proses stres katabolik yang berkelanjutan pada anak dengan cadangan tubuh yang lebih sedikit, kebutuhan energi dasar lebih tinggi atau dengan malnutrisi akan mengakibatkan dampak yang lebih berat, sehingga tujuan dukungan nutrisi yang kedua adalah memberikan asupan protein yang adekuat untuk menghasilkan imbang protein yang positif dan untuk memelihara jaringan otot. Pada akhirnya terapi nutrisi harus dapat mendukung proses anabolisme dan pertumbuhan pada fase pemulihan sakit kritis.12 Terapi nutrisi merupakan aspek penting dari perawatan anak sakit kritis yang dirawat intensif. Pemberian nutrisi yang adekuat pada fase akut penyakit berat dapat memperbaiki akibat buruk yang dapat terjadi akibat kurang gizi, terutama pada anak usia di bawah 2 tahun yang mempunyai risiko mengalami gangguan gizi dan gangguan pertumbuhan otak yang tumbuh cepat pada usia ini.12 Serial kasus ini disusun sebagai pembahasan tata laksana nutrisi menyeluruh pada anak dalam periode sakit kritis yang mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien dan nutrien spesifik, pengaturan cairan, serta monitoring status gizi.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
3
1.2.
Tujuan
1.2.1. Tujuan umum Penyusunan serial kasus ini bertujuan untuk membahas tatalaksana nutrisi pada kondisi sakit kritis terutama pada anak dengan pneumonia berat, yang mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi.
1.2.2. Tujuan khusus 1. Mengetahui karakteristik pasien anak dengan pneumonia berat yang dirawat intensif. 2. Mengetahui perubahan fisiologi, dan metabolisme zat gizi pada kasus anak dengan sakit kritis. 3. Mengetahui kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien serta komposisi makronutrien pada anak dengan sakit kritis. 4. Menilai kondisi klinis, riwayat asupan, antropometri, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis status gizi, status metabolik, fungsi saluran cerna, status hidrasi, dan status asam basa pada anak dengan sakit kritis. 5. Melakukan terapi gizi pada anak sakit kritis dengan pneumonia berat yang disertai berbagai komorbid. 1.3.
Manfaat Penulisan 1. Manfaat bagi pasien Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup pasien, mempertahankan bahkan meningkatkan status nutrisi pasien pneumonia berat yang dirawat intensif dengan tatalaksana nutrisi yang optimal, keluarga pasien memperoleh informasi, pengetahuan dan edukasi tatalaksana nutrisi sesuai kondisi pasien. 2. Manfaat bagi institusi Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber tambahan informasi dalam memberikan terapi nutrisi yang optimal kondisi sakit kritis pada anak dengan pneumonia berat. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
4
3. Manfaat bagi penulis Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa pendidikan spesialis, serta sebagai sarana pelatihan dalam menyusun tata laksana nutrisi. 4. Manfaat bagi masyarakat Penulisan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pneumonia berat dan khususnya dalam kondisi sakit kritis.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi Paru Paru
manusia
terbentuk
setelah
embrio
mempunyai
panjang
3
mm.
Pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esofagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud yang merupakan cikal bakal bronkus dan cabang-cabangnya.13 Bronchial tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar sesuai dengan perkembangan
dinding
toraks.
Jadi,
pertumbuhan
dan
perkembangan
paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan somatik berhenti. Saluran napas (tracheobronchial tree) berfungsi sebagai suatu saluran udara yang mengalir dari dan ke alveolar-capillary complexes. Saluran napas terdiri atas trakea dan bronkus utama kanan dan kiri serta cabang-cabangnya, dengan cara membagi diri secara dikotomi. Cabang bronkus ini dikenal sebagai bronkus lobaris, segmental, subsegmental, hingga cabang bronkus yang lebih kecil lagi dan cabang ini berakhir pada bronkiolus. Selanjutnya bagian distal bronkus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris. Bagian distal saluran napas ini bersama-sama dengan sistem pembuluh darah membentuk satu unit yang disebut alveolar-capillary complexes.13
2.2. Anatomi Paru Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru terdiri dari susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus respiratorik, alveoli, pembuluh darah, saraf dan sistem limfatik. Paru merupakan
5
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
6
alat pernapasan utama yang merupakan dua organ berbentuk kerucut dengan apeks diatas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula.14 Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru kanan terbagi menjadi 3 lobus dan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus. Paru mempunnyai hillus paru yang dibentuk oleh arteri pulmonalis, vena pulmonalis, bronkus, arteri bronkialis, vena bronkialis, pembuluh limfe, dan saraf. Paru dilapisi oleh lapisan tipis yang disebut pleura. Pleura terdiri dari pleura viseralis yang melekat pada paru dan pleura parietalis yang melapisi sternum, diafragma dan mediastinum. Ruang diantar kedua pleura tersebut dinamakan rongga pleura, berisi cairan pleura yang memungkinkan paru untuk berkembang dan berkontraksi tanpa gesekan.15
Gambar 2.1. Anatomi Paru Sumber : daftar referensi no 16
2.3. Fisiologi Paru Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional utama yaitu (1) ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru, (2) difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah, (3) transpor oksiden dan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
7
karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan (4) pengaturan ventilasi dan hal lain dari pernapasan.17 Paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara yaitu diafragma bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan depresi elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Pernapasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna melalui metode pertama yaitu melalui gerakan diafragma. Saat inspirasi kontraksi diafragma menarik permukaan paru ke arah bawah, dan saat ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil) dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru. Selama bernapas kuat, daya elastis tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan ekspirasi cepat yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra dari otot-otot abdominal yang mendorong isi abdomen keatas melawan dasar diafragma. 17 Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat rangka iga. Pengembangan paru dapat terjadi karena saat posisi istirahat iga miring kebawah, sternum turun ke belakang kearah kolumna vertebralis. Tetapi bila rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju sehingga sternum sekarang bergerak ke depan menjauhi spinal, membentuk jarak anteroposterior dada kirakira 20% lebih besar selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Oleh
karena
itu,
otot-otot
yang
mengelevasikan
rangka
dada
dapat
diklassifikasikan sebagai otot ekspirasi.17 Paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Tidak terdapat perlekatan antara paru dan dinding dada kecuali pada bagian dimana paru tergantung pada hilum dari mediastinumnya. Paru sebetulnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi lapisan tipis pleura dengan cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru di dalam rongga. Selanjutnya cairan yang berlebihan akan diisap kedalam saluran limfatik.17 Selama pernapasan normal dan tenang, hanya 3 sampai 5 % dari energi total yang dikeluarkan tubuh dipakai pada proses ventilasi paru. Selama latihan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
8
yang berat jumlah energi yang dibutukan dapat meningkat hingga 50 kali lipat, terutama bila orang tersebut mengalami peningkatan resistensi jalan napas atau penurunan compliance paru.17
2.4. Metabolisme Paru dalam Kondisi Normal Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara difusi, pergerakan ini disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat pertama ke tempat yang lain. Dengan demikian, oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru karena tekanan oksigen (pressure of oxygen/PO2) dalam alveoli lebih besar daripada PO2 dalam darah paru. Kemudian di dalam jaringan, PO2 yang sangat tinggi dalam darah kapiler menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam sel. Sebaliknya
bila
oksigen
dimetabolisme
dalam
sel
untuk
membentuk
karbondioksida, tekanan karbondioksida (pressure of carbon dioxide/PCO2) meningkat ke nilai yang tinggi sehingga karbondioksida berdifusi ke dalam kapiler jaringan. Demikian pula karbondioksida berdifusi ke luar dari darah masuk ke dalam alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru lebih besar daripada dalam alveoli.17 Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen terutama ditranspor kedalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan, dimana oksigen akan dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah (plasma).17 Oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar karbondioksida di dalam sel jaringan. Karbondioksida ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida seperti oksigen juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat.17 Pada keadaan normal kira-kira 97% oksigen yang ditranspor dari paru ke jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dalam hemoglobin dalam sel darah merah. Tiga persen sisanya dibawa dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
9
sel. Dengan demikian pada keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhnya oleh hemoglobin. Molekul oksigen bergabung secara longgar dan reversibel dengan bagian heme dari hemoglobin. Bila PO2 tinggi seperti dalam kapiler paru, oksigen akan berikatan dengan hemoglobin, tetapi bila PO 2 rendah misalnya dalam kapiler jaringan, oksigen dilepaskan dari hemoglobin. 17 Gambar pertukaran udara di dalam paru dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 2.2. Pertukaran udara di dalam paru Sumber : daftar referensi no 18
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam setiap 100 ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan dengan maksimal 1,34 ml oksigen. Oleh karena itu rata-rata hemoglobin dalam 100 ml darah dapat bergabung dengan total hampir 20 ml oksigen bila tingkat kejenuhannya 100 persen.17
2.5. Pneumonia 2.5.1. Definisi Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. 1 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
10
Pneumonia pada anak tidak sama dengan pneumonia pada dewasa. Pneumonia pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut bronkopneumonia.1,19 Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak dan balita). Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun, mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak dan balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor 1 (the number one killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit “yang terabaikan‟ (the neglected disease) atau “penyakit yang terlupakan‟ (the forgotten disease) karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia namun sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. 2
2.5.2. Epidemiologi Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia. Di seluruh dunia terjadi 1,6 sampai 2,2 juta kematian anak dan balita karena pneumonia setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan Asia Tenggara. Pada tahun 2005 WHO melaporkan proporsi penyebab kematian anak dan balita di negara berkembang adalah pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8% dan campak 4%. Disamping itu terdapat 37% penyebab kematian pada neonatus, 26% di antaranya disebabkan oleh infeksi berat yaitu sepsis, meningitis dan pneumonia yang secara klinis sukar dibedakan satu sama lain. Data di atas menunjukkan bahwa pneumonia berkontribusi besar sebagai penyebab kematian anak dan balita. Penurunan angka kematian pneumonia anak dan balita menyebabkan penurunan angka kematian anak dan balita keseluruhan.2 Data dari WHO memperkirakan insidens pneumonia anak dan balita di negara berkembang adalah 0,29 episode per anak/tahun atau 151,8 juta kasus Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
11
pneumonia/tahun, 8,7% (13, 1 juta) di antaranya merupakan pneumonia berat dan perlu rawat intensif. Di negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun hingga total di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak dan balita setiap tahun.2 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan tahun 1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi besar terhadap kematian bayi dan anak di Indonesia.3 Sedangkan pada penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus.4
Gambar 2.3. Proporsi Penyebab Kematian pada Usia 1-4 tahun di Indonesia Sumber : daftar referensi no 4
2.5.3. Etiologi Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh hal lain seperti bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)/benda asing yang teraspirasi.20 Pola kuman penyebab pneumonia biasanya sesuai dengan distribusi umur penderita. Sebagian besar kasus penyebabnya adalah virus, yang tersering yaitu Respiratory Syncytial Virus (RSV), virus Parainfluenza, virus Influenza dan Adenovirus. Penyebab berikutnya adalah
bakteri
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophillus
influenza,
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
12
Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik Chlamydia dan Mycoplasma.21 Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Pada anak usia diatas 5 tahun penyebab yang paling sering yaitu Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae.20,22,23 Penyebab pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1. Patogen Penyebab Pneumonia pada Anak Berdasarkan Usia Usia 3 minggu-3 bulan
Patogen Chlamydia trachomatis Respiratory syncytial virus (RSV) Parainfluenza Streptococcus pneumoniae Bordetella pertussis
3 bulan-4 tahun
5 tahun-remaja
RSV, parainfluenza, human metapneumovirus, influenza, rhinovirus Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae Chlamydophilia pneumoniae Streptococcus pnuemoniae Mycobacterium tuberculosis
Keterangan Transmisi vertikal, afebris, infiltrat interstisial pada foto toraks Paling sering bronkiolitis dengan mengi, fokal pneumonia Bronkiolitis atau pneumonia Bakteri penyebab pneumonia tersering Trakeobronkitis dengan batuk paroksismal berat, tidak demam Pneumonia biasanyaterdapat aspirasi Penyebab utama pneumonia pada balita adalah virus Penyebab utama pada kelompok ini Dapat terjadi pada semua usia Insidensi meningkat menjelang usia sekolah Penyebab tersering pada usia sekolahremaja Gejala klinis serupa Mycoplasma Komplikasi seperti empiema sering terjadi Terutama terjadi di daerah prevalensi tinggi tuberkulosis Risiko tinggi pada masa pubertas dan kehamilan
Sumber : daftar referensi no 24
2.5.4. Faktor Risiko Rudan, dkk 2008 melaporkan 3 kelompok faktor risiko yang mempengaruhi insidens pneumonia pada anak. Faktor risiko tersebut adalah “faktor risiko yang selalu ada” (definite risk factors), “faktor risiko yang sangat mungkin” (likely risk Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
13
factors), dan “faktor risiko yang masih mungkin” (possible risk factors). “Faktor risiko yang selalu ada” (definite risk factors) meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak ada/tidak memberikan ASI, polusi udara dalam-ruang, dan pemukiman padat. Faktor risiko ini seharusnya diperhatikan secara serius dan perlu intervensi-segera agar penurunan insidens pneumonia berdampak signifikan pada penurunan angka kematian anak balita.2 Faktor risiko tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Faktor Risiko Pneumonia Faktor Risiko yang selalu ada Malnutrisi (z score BB/U <-2) Berat Badan Lahir Rendah (<2500 g) ASI non eksklusif (4 bulan pertama kehidupan) Tidak/belum imunisasi campak (dalam 12 bulan pertama kehidupan) Polusi udara dalam ruang Pemukiman padat Faktor Risiko yang sangat mungkin Orangtua perokok Defisiensi Seng Pengalaman ibu sebagai pengasuh Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung, asma) Faktor Risiko yang masih mungkin Tingkat pendidikan ibu Curah hujan Ketinggian daerah tempat tinggal Defisiensi Vitamin A Polusi udara luar Urutan kelahiran Sumber : daftar referensi no 25
2.5.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran napas atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal saluran napas bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
14
melalui refleks batuk, pembersihan kearah kranial oleh mukosilier. Sistem respon pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag, dan cell mediated immunity.21 Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran napas menimbulkan respon inflamasi akut pada pejamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebab. Virus akan menginvasi saluran napas kecil dan alveoli, bersifat patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah sel PMN akan didapatkan dalam saluran napas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran napas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total.26,27 Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstitial yang terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa. 26,27
2.5.5.1. Pneumonia Bakterial S. pneumoniae merupakan bakteri penyebab utama pneumonia pada anak. Pneumokokus dapat masuk ke paru melalui aspirasi atau inhalasi. Mereka akan terperangkap dalam bronkiolus, berproliferasi dan memulai proses inflamasi pada ruang alveolar dan mengeluarkan cairan kaya protein. Cairan tersebut menjadi media kultur bagi bakteri dan membantu menyebarkan bakteri ke alveoli sekitar, biasanya menghasilkan pneumonia lobaris. Pada beberapa kasus, bakteremia Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
15
dapat menjadi hematogen ke seluruh paru dan berkembang menjadi pneumonia. Mekanisme ini biasanya terjadi pada Staphylococcus aureus.28 Komplikasi pneumonia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama progresivitas penyakit dapat berkembang menjadi replikasi bakteri subpleura, cidera endotel, deposisi fibrin, perfusi paru yang terganggu (menyebabkan nekrosis) dan penyebaran infeksi seperti empiema, fistula bronkopleura. Mekanisme kedua yaitu saat leukosit mengontrol multiplikasi bakteri, bakteri yang mati melepaskan dinding sel dan komponen lain, pada beberapa kasus terjadi gagal napas. Mekanisme ketiga yaitu bakteremia dapat menyebabkan infeksi metastasis (endokarditis, meningitis) dan disfungsi organ. Mortalitas dapat terjadi akibat sekuele dari bakteremia, meskipun hal ini jarang terjadi.28
2.5.5.2. Pneumonia Atipik Organisme seperti M. pneumonia dan Chlamydophila pneumoniae masuk ke saluran napas melalui droplet aerosol yang menyebar melalui kontak erat. Penempelan spesifik pada jaringan epitel saluran napas terjadi akibat interaksi antara host reseptor sel epitel dengan protein organisme penempel. Setelah terjadi penempelan, terjadi sintesis radikal hidrogen peroksida dan superoksida oleh patogen atipik tersebut, menginduksi stres oksidatif pada epitel saluran napas.28 Pada saluran napas bawah, organisme diopsonisasi oleh komplemen atau antibodi. Makrofag yang teraktivasi memulai proses fagositosis dan terjadi migrasi kemotaksis pada tempat infeksi. Terjadi infiltrasi CD4, limfosit T, limfosit B, dan sel plasma pada paru. Proses berikutnya yang terjadi adalah proliferasi limfosit, produksi imunoglobulin, pelepasan TNF , interferon dan berbagai interleukin. Aktivasi limfosit dan produksi sitokin dapat merangsang mekanisme pertahanan pejamu atau dapat juga mengeksaserbasi penyakit dengan merangsang cidera paru yang dimediasi imun.28 Komplikasi ekstrapulmoner dari infeksi M. pneumoniae dapat terjadi sebagai konsekuensi dari cidera yang dimediasi imun atau oleh invasi langsung.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
16
Efek dari reaksi silang antibodi merupakan mekanisme untuk terjadinya hemolisis dan manifestasi kutaneus.28
2.5.5.3. Pneumonia Neonatus Pneumonia neonatus dapat terjadi melalui tiga cara yaitu kongenital, selama proses kelahiran dan setelah lahir. Penyebab pneumonia kongenital antara lain Toxoplasma gondii, rubella, virus Herpes Simpleks, mumps, adenovirus, Listeria monocytogenes, dan Myobacterium tuberculosis. Penyebab pneumonia selama proses kelahiran yaitu Streptokokus Grup B. Chlamydia trachomatis didapatkan selama kelahiran melalui jalur kelahiran yang terinfeksi, meskipun ada kasus yang terjadi pada bayi yang dilahirkan secara sectio caesarea setelah ruptur membran yang memanjang. Pneumonia berkembang pada 5-20% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi C. trachomatis.28
2.5.6. Diagnosis Diagnosis pneumonia utamanya berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan foto thoraks dan laboratorium perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping itu untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.29 Sebagian besar gambaran klinis pneumonia anak-balita berkisar antara ringan sampai sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat mengancam kehidupan dan perlu rawat inap. Secara umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok. Pertama, “gejala umum‟ misalnya demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan kurang, gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare. Kedua, “gejala respiratorik” seperti batuk, napas cepat (takipnea/fast breathing), napas sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih sering meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia.2 Gejala klinis pneumonia bervariasi tergantung pada kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu sesak, sianosis, dan mungkin juga tidak terlihat jelas gejalanya seperti Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
17
pada neonatus. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut.21 Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan penumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis.21,30 Peradangan pada pleura dapat ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan adanya nyeri dada pada daerah yang terkena. Nyeri dapat berat dan membatasi gerakan dinding dada selama inspirasi, kadang-kadang menyebar ke leher dan perut.21 Gejala ekstrapulmonal dapat ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus aureus. Otitis media, konjungtivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena Streptococcus pneumoniae atau Haemophillus influenzae. Sedangkan epiglotitis dan meningitis khususnya dikaitkan dengan penumonia oleh Haemophillus influenzae.21 Frekuensi napas merupakan indikator paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau pengobatan pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan pada saat anak tenang atau tidur. WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih cepat dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat dan harus dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan antibiotik. 30 Rekomendasi WHO menyatakan bahwa tanda yang paling tepat untuk menentukan pneumonia adalah adanya takipnea dan retraksi, bila di daerah tersebut tidak ada radiografi.1 Takipnea menurut WHO adalah 50 x/menit pada Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
18
usia 2-12 bulan, 40 x/menit pada usia 1-5 tahun dan 20 x/menit pada usia diatas 5 tahun. Pernapasan harus dihitung lebih dari 60 detik untuk melihat adanya pernapasan periodik dan faktor perilaku. Sebuah penelitian di Kanada tahun 1997 menyatakan bahwa tidak terdapatnya takipnea, ronkhi, penurunan suara napas dan distres pernapasan berarti bukan pneumonia.30 Tabel 2.3. Kriteria takipnea menurut WHO Umur 0-2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun > 5 tahun
Laju Napas Normal Takipnea (frekuensi/menit) (frekuensi/menit) 30-50 60 25-40 50 20-30 40 15-20 20 Sumber : daftar referensi no 30
Secara klinis sulit membedakan pneumonia karena bakteri atau virus pada anak. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.26,30 Tabel 2.4. Gejala Klinis Pneumonia pada Anak Sindrom Bakteri (supuratif)
Bakteri Penyebab Pneumococcus
Kelompok Umur Semua umur, lebih sering < 6tahun
Atipik (infant)
Chlamydia trachomatis
< 3 bulan
Atipik (anak lebih besar)
Mycoplasma
> 5 tahun
Virus
Virus multipel
Semua umur, lebih sering pada 3 bulan hingga 5 tahun
Gejala Klinis Onset mendadak, demam tinggi, penampakan sangat sakit, nyeri dada/perut, infiltrat pada foto thoraks Takipnea, hipokemia ringan, jarang demam, wheezing, infiltrat interstisial pada foto thoraks Onset bertahap, demam ringan, pemeriksaan fisik tidak khas, infiltrat difus pada foto thoraks Gejala ISPA jelas, demam ringan/tidak ada, pemeriksaan fisik tidak khas, wheezing, infiltrat interstitial difus pada foto thoraks.
Sumber : daftar referensi no 24
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau ascending dari infeksi intrauterin. Bakteri penyebab utama adalah Streptokokus Grup B selain bakteri gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
19
merintih, napas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, dan hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi pematur, gambaran infeksi karena Streptokokus Grup B menyerupai gambaran Respiratory Distress Syndrome.21 Pemeriksaan radiologis yang memperkuat adanya pneumonia adalah adanya infiltrat baru atau perubahan infitrat pada foto thoraks, namun pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara pneumonia bakterial atau viral dan bersifat nonspesifik (atelektasis, edema atau perdarahan). Pemeriksaan laboratorium yang paling baik untuk diagnosis pneumonia adalah pemeriksaan yang dapat mengidentifikasi adanya kuman patogen dalam saluran napas, bisa dari sputum atau apus bronkus. Pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun sulit mengeluarkan sputum sehingga pemeriksaan ini sulit dilakukan.29 Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu memperkirakan mikroorganisme penyebab. Leukositosis >15000/µL seringkali dijumpai pada anak dengan demam tanpa adanya fokus infeksi, mempunyai sensitifitas 65% terhadap pneumonia. Dominasi netrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab. Leukosit >30000/µL dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus dan stafilokokus.29 Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan pneumonia intestitialis. Kultur darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak berespon terhadap penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia berat dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan.29
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
20
2.5.7. Pneumonia Berat Pneumonia berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran bernapas, napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal juga pneumonia sangat berat dengan gejala batuk, kesukaran bernapas disertai gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Sementara untuk anak di bawah 2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah.31 Tabel 2.5. Klasifikasi WHO pada Penyakit Pernapasan Akut dengan Gejala Batuk atau Sulit Bernapas Klasifikasi Bukan Pneumonia (Batuk pilek)
Gejala Klinis Pernapasan : < 50x/menit (usia 2-11 bulan) < 40 x/menit (usia 12-59 bulan) Tidak ada penarikan dinding dada
Pneumonia
Pernapasan : > 50x/menit (usia 2-11 bulan) > 40 x/menit (usia 12-59 bulan) Tidak ada penarikan dinding dada
Pneumonia Berat
Penarikan dada bagian bawah, dengan atau tanpa pernapasan cepat
Pneumonia Sangat Berat
Tidak bisa minum, kejang, pola tidur abnormal atau sulit dibangunkan, stridor, malnutrisi berat Sumber : daftar referensi no 31
Pneumonia berat harus dirawat di ruang intensif/ICU terutama bila terdapat kegagalan mempertahankan saturasi O2 lebih dari 92% pada fraksi O2 lebih dari 60%, adanya syok, terdapat peningkatan laju pernapasan dan peningkatan denyut nadi atau adanya tanda klinis distres pernapasan dengan atau tanpa peningkatan PaCO2, terdapat apnea berulang atau pernapasan lambat ireguler. 31 Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi napas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
21
ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi usaha napas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang mengakibatkan terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gagal napas.32
2.5.8. Terapi Terapi pneumonia segera diberikan setelah menilai apakah pasien perlu rawat inap di rumah sakit atau rawat jalan. Indikasi rawat inap adalah pneumonia terjadi pada usia yang sangat dini (<3 bulan) karena kondisi pasein dapat memburuk dengan cepat dan lebih rentan terhadap hipoksemia dan bakteremia, hipoksemia persisten yang membutuhkan oksigenasi suplemental, adanya faktor komplikasi seperti dehidrasi atau muntah berat yang membutuhkan jalur intravena, penampilan toksis atau adanya kondisi penyakit kronik yang mendasari. Selain keadaan tersebut, pasien bisa dirawat jalan.24 Pada pasien rawat jalan, pada usia 3 bulan-5 tahun pneumonia biasa disebabkan oleh virus, sehingga bayi atau anak yang hanya menderita demam ringan dan tidak demam dan pada pemeriksaan tidak terdapat napas cepat tidak perlu diberikan antibiotik.24 Tabel 2.6. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat jalan Antibiotik Amoxicillin Cefdinir Cefuroxime Cefpodoxime Ceftriaxone Azithromycin
Dosis (mg/kgBB/hari) 80-100 dibagi BIB/TID 14 dibagi QD/BID 30 dibagi BID 10 dibagi BID 50 mg IM diberikan QD 10 mg QD hari 1, 5mg QD hari 2-5, atau 10 mg QD selama 3 hari
Doxycycline Clindamycin AmoxicillinClavulanate
4 mg dibagi BID 20-40 mg dibagi BID 80-100 mg dibagi BID/TID
Dosis maksimum 1 g TID 600 QD 500 BID 200 mg BID 2 g QD 500 mg 250 mg/hari 500 mg/hari selama 3 hari 100 mg BID 600 mg TID 2 g BID
QD = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular Sumber : daftar referensi no 24 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
22
Pada beberapa kasus diperlukan rawat inap di rumah sakit. Bayi usia 3 minggu hingga 3 bulan yang menderita pneumonia biasanya dirawat di RS, terutama jika terdapat demam, hipoksia, distress pernapasan atau dehidrasi. Bayi-bayi yang lebih besar, anak dan remaja dengan tanda-tanda distress pernapasan yang sedang berlangsung, termasuk takipnea, suara napas merintih, peningkatan usaha bernapas atau hipoksemia, adanya dehidrasi atau panas tinggi dan penampilan toksik juga harus dirawat. Perawatan perlu dipertimbangkan pada anak dengan penyakit seperti jantung, paru, metabolik, imunologi, hematologi (terutama penyakit sel sabit/sickle cell disease). Pasien rawat jalan yang tidak membaik dengan pengobatan yang tepat, atau terjadi komplikasi seperti efusi atau abses harus dirawat di rumah sakit.24 Tabel 2.7. Antibiotik yang digunakan pada pasien rawat inap Antibiotik Ceftriaxone Ampicillin Vancomycin Clindamycin Levofloxacin Azithromycin
Dosis intravena (mg/kgBB/hari) Dosis maksimum 50 2g 200 dibagi QID 12 g 40-60 dibagi BID 3-4 g 30-40 dibagi TID 2,7 g Tidak direkomendasikan pada anak 750 mg 10 mg hari 1, 500mg, 5 mg hari 2-5 250 mg Doxycycline Tidak direkomendasikan pada anak 200 mg Nafcillin/Oxacillin 200 dibagi per 6 jam 12 g Linezolid 30 dibagi TID < 12 tahun 600 mg BID 20 dibagi BID > 12 tahun Ampicillin-Sulbactam 200 ampicillin dibagi per 6 jam 12 g Piperacillin-Tazobactam 300 piperacillin dibagi per 6 jam 16 g Meropenem 60 dibagi per 8 jam 3g QID = 1x/hari, BID = 2x/hari, TID = 3 x/hari, IM = intramuskular Sumber : daftar referensi no 24
Pada perawatan rumah sakit dilakukan foto rontgen thoraks, tes laboratorium darah lengkap, kultur darah dan kimia darah. Hal ini penting untuk menentukan patogen penyebab sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang optimal. Pada anak yang lebih besar dan dapat mengeluarkan dahak, sputumnya harus diperiksa untuk menemukan bakteri patogen. Pada beberapa tempat Mycoplasma, Chlamydophila dan Legionella dapat ditentukan secara serologis. Perawatan di rumah sakit termasuk oksigen suplementasi, suction, cairan intravena, analgetik dan antipiretik. Harus dilakukan pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik secara berkala.24 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
23
2.5.9. Pencegahan Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan non-spesifik misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko seperti polusi udara dalam-ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain.2 Imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan pneumonia. Pneumonia diketahui dapat menjadi komplikasi dari campak, pertusis dan varicella, sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut akan membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Hib. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.2 Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 1530% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan. Kekurangan yang mungkin masih ditemukan sehubungan dengan imunisasi sebagai pencegahan spesifik terutama di beberapa negara berkembang adalah cakupan imunisasi campak dan DPT/pertusis mungkin belum memuaskan, imunisasi Hib belum termasuk imunisasi wajib, imunisasi pneumokokus tidak efektif karena serotipe tidak sesuai, dan imunisasi terhadap patogen lain (RSV, stafilokokus, Gram negatif) belum tersedia.2 Disamping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan nonimunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
24
masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu anak dan balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola makanan sehat, penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah dan pencegahan serta tatalaksana infeksi HIV.2
2.6. Sindrom Distres Pernapasan Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome , ARDS) Pada tahun 1994 American-European Consensus Conference Committee (AECCC) merekomendasikan definisi untuk injuri paru akut (Acute Lung Injury, ALI) dan ARDS. Definisi tersebut mencakup adanya onset akut infiltrat difus bilateral pada foto toraks, rasio tekanan parsial oksigen arteri dengan kadar fraksional oksigen inspirasi (PaO2/FiO2) <300 mm Hg untuk ALI dan <200 mm Hg untuk ARDS, dan tekanan arteri wedge pulmonal <18 mm Hg atau tidak ada tanda klinis kelebihan cairan.33 Menurut Berlin Consensus Conference Definition pada tahun 2012 membagi ARDS menjadi ARDS ringan dengan PaO2/FiO2 ≥300 −≤200 mm Hg, ARDS sedang PaO2/FiO2 ≥200−≤100 mmHg dan ARDS berat PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg.34 Progesivitas ARDS dapat dibagi kedalam tiga fase yaitu fase eksudatif atau fase akut dimana terjadi infiltrasi dan aktivasi sel-sel inflamasi yang menyebabkan terjadinya injuri endotel, disrupsi kapiler dan edema pulmonal. Fase kedua adalah fase proliferatif dimana terjadi infiltrasi dari fibroblas yang akan mengubah tempat inflamasi. Gagal napas sering terjadi pada fase ini dengan manifestasi adanya ronkhi difus, peningkatan FiO2, adanya tanda konsolidasi parenkim dan kondisi status hiperdinamik. Pasien dapat menunjukkan tanda-tanda mengalami kegagalan organ multipel.35
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
25
Pada pasien dengan ARDS dan sepsis terdapat penurunan antioksidan dan peningkatan ROS (reactive oxygen species). Fase terakhir yaitu fase fibrosis atau fase kronik dimana terjadi konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru. Terjadi restriktif paru yang progresif dan dapat terbentuk pneumonia lokal, fibrosis paru dan terjadi gangguan oksigenasi. Fase eksudatif berlangsung pada 24-48 jam pertama, fase proliferatif antara 2-7 hari dan fase fibrosis setelah 7 hari. Pada pasien yang bertahan hidup, fungsi paru kembali normal dalam 6-12 bulan.35 Penyebab ARDS terutama karena injuri paru baik itu direk maupun indirek. Penyebab direk yang sering terjadi antara lain pneumonia dan aspirasi, penyebab direk yang lebih jarang yaitu kontusio paru, emboli lemak/cairan amnion, tenggelam, trauma inhalasi dan trauma reperfusi. Penyebab indirek yang sering adalah sepsis, trauma berat dengan syok dan transfusi multipel. Penyebab indirek yang lebih jarang yaitu luka bakar, bypass kardiopulmoner, overdosis obat (heroin, barbiturat) dan pankreatitis akut.36
2.7. Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru Dukungan nutrisi sangat penting diberikan pada pasien anak yang dirawat intensif dalam proses metabolisme dan pemulihannya. Perubahan metabolisme pada kondisi stres akan mempengaruhi kebutuhan nutrisinya. Perubahan metabolisme protein sering terjadi dan pada anak dengan ARDS pemenuhan nutrisi yang adekuat kadang sulit terpenuhi. Nutrisi yang buruk merupakan kofaktor morbiditas dan mortalitas. Pada pasien ARDS yang sudah dalam kondisi malnutrisi sebelumnya, risiko terjadinya komplikasi meningkat. Malnutrisi dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dan gagal napas. Malnutrisi juga dapat berdampak pada respons metabolik terhadap injuri dan mengubah fungsi organ, respons terhadap infeksi dan imunitas selular.35 Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien yang bernapas spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Pada pasien sakit kritis terjadi Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
26
katabolisme protein sebagai sumber energi. Apabila terjadi asupan nutrisi yang tidak adekuat pada sakit kritis, sumber energi dihasilkan dari katabolisme protein dan glukoneogenesis. Katabolisme protein terbanyak berasal dari protein otot, termasuk otot diafragma dan otot interkostal, sehingga akan mempengaruhi fungsi pernapasan.37 Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak pada kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan juga pada bronkiolus respiratori, alveoli dan kapiler.14 Pada penelitian dengan subyek malnutrisi tanpa penyakit paru, kekuatan otot pernapasan turun hingga 37%, ventilasi volunter maksimum turun 41% dan kapasitas vital paru turun 63%. Pasien dengan penyakit paru kronis cenderung terjadi malnutrisi sebagai mekanisme adaptif untuk menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan kemampuan bernapas. Interaksi antara nutrisi dan kemampuan ventilasi merupakan efek langsung dari peran nutrisi terhadap laju metabolik. Penurunan kekuatan bernapas dan penurunan kemampuan ventilasi dapat menyebabkan penurunan kemampuan batuk dan ketidakmampuan mengeluarkan sekret, dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia pada pasien paru yang bernapas spontan. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan perpanjangan penggunaan ventilator mekanik pada pasien ICU. Penggunaan ventilator mekanik yang memanjang dapat menyebabkan pasien berisiko terhadap infeksi nosokomial, lama rawat yang memanjang dan biaya perawatan. Kondisi malnutrisi jangka panjang dapat mengubah respons imun tubuh dan dapat mengakibatkan infeksi paru kronik atau infeksi paru berulang.37 Berbeda dengan malnutrisi dimana cadangan glikogen sangat terbatas dan cepat habis dengan sumber energi yang dipakai adalah lemak, pada anak sakit kritis sumber energi didapat dari pemecahan protein. Tujuan pemberian nutrisi pada anak sakit kritis adalah mengurangi sekecil mungkin efek hipermetabolisme dan katabolisme yang terjadi, memperbaiki balans nitrogen, mempertahankan fungsi organ dan mencegah disfungsi sistim kardiovaskular, respirasi dan kekebalan tubuh, mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.37
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
27
Terdapat hubungan yang kuat antara malnutrisi dengan disfungsi saluran gastrointestinal, antara lain atropi mukosa, penurunan produksi sel epitel, peningkatan permeabilitas, penurunan aktivitas enzim brush border intestinal, dan perubahan flora usus. Perubahan tersebut menyebabkan anak berisiko tinggi terhadap infeksi sistemik akibat translokasi bakteri usus kedalam sirkulasi sistemik. Pasien menjadi rentan terhadap terjadinya overfeeding. Overfeeding dapat menyebabkan terjadinya deposit lemak di hati dan hiperglikemia, hipertrigliseridemia, dehidrasi, asidosis metabolik, dan peningkatan produksi CO2 dan usaha napas. ASPEN menyetujui rekomendasi Talpers, dkk yang menyatakan bahwa overfeeding merupakan perhatian utama dalam mencegah peningkatan retensi CO2 pada pasien penyakit paru.35
2.8. Perubahan Metabolisme pada Sakit Kritis (Critically Ill) Pada keadaan normal bila tubuh menghadapi stres berat, trauma atau sepsis, akan timbul
mekanisme
pertahanan
melalui
tiga
mekanisme
yaitu
respons
kardiovaskular, respons imunologi, dan respons metabolik. Ketiga mekanisme ini bekerja secara simultan untuk menjaga homeostasis tubuh sehingga bila stres ini dapat dilewati maka pasien akan dapat bertahan hidup.38 Pada pasien sakit kritis yang ditandai dengan fungsi organ yang labil atau organ mudah mengalami perubahan yang akan mempengaruhi fungsi organ lain sehingga timbul sindrom gangguan organ multipel yang dapat menjadi gagal organ multipel dengan mortalitas yang sangat tinggi. Pada pasien ini respons terhadap obat ataupun peralatan sulit diduga dan berbeda untuk tiap individu serta tergantung respons pasien dan perjalanan penyakit.38 Manifestasi klinis respons tubuh terhadap stres melalui dua fase. Fase akut yang dikenal dengan nama fase ebb dan fase flow yang dibagi menjadi 2 fase, respons akut dan respons adaptif. Fase ebb terjadi segera setelah terjadi stress baik itu trauma, infeksi atau sepsis yang berlangsung (2–48) jam yang ditandai dengan periode syok berupa hipovolemia dan penurunan oksigen jaringan, penurunan volume darah yang menyebabkan penurunan curah jantung dan produksi urine, bila pasien dapat melewati fase ini maka akan memasuki awal fase flow yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
28
ditandai dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme, katabolisme dan perubahan respons imun serta hormonal. Bila pasien dapat melewati fase ini, selanjutnya memasuki fase flow berupa fase anabolik yang ditandai dengan pemulihan respons terhadap stres dan timbul proses anabolik serta laju metabolisme kembali normal.39
Tabel 2.8. Respons fase terhadap stres Respons fase Ebb Syok hipovolemik Perfusi jaringan Laju metabolisme Konsumsi O2 Tekanan darah Suhu badan
Respons Fase Flow Respons akut Respons adaptasi Katabolisme dominan Anabolisme dominan Respons hormonal berangsur hilang Glukokortikoid Glukagon Laju hipermetabolik Berhubungan dengan penyembuhan Katekolamin Pelepasan sitokin, mediator lemak Potensi untuk restorasi protein tubuh Produksi protein fase akut Penyembuhan luka Ekskresi nitrogen Laju metabolisme Konsumsi O2 Gangguan penggunaan energi Sumber : daftar referensi no 40
Setiap anak sakit akan mengalami perubahan metabolik, apalagi bila anak tersebut sakit kritis. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan pada energi yaitu hipermetabolisme, serta peningkatan konsumsi oksigen dan glukoneogenesis. Pada metabolisme karbohidrat akan terjadi hiperglikemia, peningkatan piruvat, laktat dan resistensi insulin. Pada metabolisme protein dapat terjadi katabolisme protein, glukoneogenesis asam amino, produksi glutamin, dan mediator inflamasi. Sedangkan sintesis albumin dan hemoglobin mengalami penurunan. Pada metabolisme lemak akan terjadi peningkatan liposisis dan oksidasi trigliserida serta penurunan lipogenesis dan benda keton.41
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
29
Gambar 2.4. Respons metabolik saat stress Sumber : daftar referensi no 42
2.8.1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat Pada keadaan normal sumber energi utama adalah glukosa yang masuk ke dalam sirkulasi, dapat dari dalam (glikogenolisis dan glukoneogenesis) atau dari luar (saluran cerna atau intravena). Glukosa akan dimetabolisme menjadi CO 2, air dan energi (ATP) atau dikonversi dan disimpan dalam bentuk glikogen atau menjadi lemak. Insulin memudahkan ambilan glukosa pada sel, merangsang sintesis glikogen dan menekan glukoneogenesis, sebaliknya katekolamin, glukagon dan kortisol merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis hepatik sehingga ketiganya disebut hormon kontra insulin.43,44 Hiperglikemia merupakan respons metabolik yang paling menonjol setelah terjadi stres atau trauma. Awalnya hiperglikemia terjadi karena mobilisasi cadangan glikogen hati. Hiperglikemia ini menetap karena terjadi peningkatan produksi glukosa tanpa diimbangi pembersihan glukosa. Produksi meningkat selain dari pemecahan glikogen juga terjadi pembentukan glukosa dari asam amino, laktat, gliserol dan piruvat. Asam amino berasal dari pemecahan protein otot, laktat dan piruvat berasal dari glikogenolisis dan glikolisis di otot sedangkan gliserol berasal dari metabolisme trigliserida.43,44
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
30
Insulin sebenarnya juga meningkat akan tetapi terjadi resistensi di perifer sehingga kadar glukosa tetap tinggi, selain itu diduga terjadi sekresi hormon kontra insulin yang lebih tinggi daripada sekresi insulin. Jadi sebenarnya mekanisme hiperglikemia yang terjadi pada saat stres adalah produksi yang meningkat disertai timbulnya resistensi insulin.43,44
2.8.2. Perubahan Metabolisme Protein Meningkatnya hormon katekolamin, glukagon dan kortisol menyebabkan peningkatan katabolisme protein, terutama melalui jalur kompleks ubikuitinproteasom. Selama kondisi stres terjadi peningkatan turnover protein, sintesis protein fase akut mengalami peningkatan, sedangkan sintesis albumin mengalami penurunan. Protein otot banyak didegradasi, dimana asam amino alanin dari otot rangka menjadi substrat jalur alanin-glukosa di hepar sebagai sumber energi. Glutamin di otot rangka banyak didegradasi sebagai sumber energi di hepar, mukosa usus, ginjal, sel imun dan jaringan luka, sehingga kebutuhan tubuh akan glutamin meningkat. Di ginjal, rangka karbon yang terdapat pada glutamin merupakan substrat utama untuk proses glukoneogenesis, menghasilkan amonia yang diekskresikan melalui urin. Oleh karenanya, selain sebagai sumber energi, glutamin juga berperan sebagai buffer amonia di ginjal. Rangka nitrogen pada glutamin merupakan prekursor untuk sintesis nukleotida, terutama bagi sel yang cepat membelah. Sehingga, pada kondisi trauma penting dilakukan pemberian glutamin untuk mencukupi kebutuhannya yang meningkat. 43,44 Asam amino yang ditransfer ke hati akan digunakan untuk sintesis glukosa dan protein fase akut seperti fibrinogen, komplemen, C-reactive protein, haptoglobin feritin dan lain–lain. Banyaknya sintesis protein fase akut seimbang dengan beratnya kerusakan jaringan. Sintesis protein lain seperti albumin, transferin, retinol dan prealbumin akan menurun. Sintesis fase akut protein dipacu oleh IL-1, IL-6, TNF, glukokortikoid dan lipopolisakarida bakteri.43,44,45 Pada anak dengan sakit kritis, saat fase akut dari stres metabolik berakhir, menurunnya reaktan fase akut merupakan pertanda dimulainya fase anabolisme, kemudian terjadi penurunan protein dan nitrogen urine total, serta peningkatan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
31
kadar protein viseral. Hipoproteinemia yang terjadi dapat berakibat pada terlambatnya pengosongan lambung, ileus berkepanjangan, peningkatan risiko terlambatnya proses penyembuhan luka, lambatnya pembentukan kalus tulang, peningkatan risiko infeksi.41 Anak yang sedang sakit akan mengalami stres dengan akibat umum yaitu terjadinya anoreksia, asupan makan berkurang, dapat terjadi starvasi, dan peningkatan
kadar
hormon
antagonis
insulin
(glukagon,
kortikosteroid,
katekolamin, dan growth hormone). Pemecahan protein terus berlanjut dengan akibat wasting otot, termasuk otot-otot pernapasan dan juga otot jantung dengan akibat terjadinya atelektasis, pneumonia, dekompensasio kordis dan kematian. Pemecahan protein berakibat pada penurunan daya tahan tubuh, sehingga tubuh semakin rentan terhadap sepsis.41
2.8.3. Perubahan Metabolisme Lemak Lemak dapat dipakai sebagai sumber energi atau disimpan. Trigliserida rantai panjang (long-chain triglyceride/LCT) yang dimakan akan dicerna menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas dapat dioksidasi menjadi energi atau diesterifikasi menjadi trigliserida kembali. Pada kondisi makan (insulin tinggi) esterifikasi lebih dominan daripada lipolisis sebaliknya pada kondisi kelaparan (rasio insulin : glukagon rendah) lemak dipecah menjadi asam lemak bebas (lipolisis) dan dioksidasi menjadi energi yang diikuti dengan pembentukan benda keton oleh mitokondria hati yang selanjutnya dipakai sebagai sumber energi oleh organ. Oksidasi lemak dari makanan menghambat lipolisis lemak endogen. Mobilisasi lemak yang meningkatkan asam lemak bebas akan menghambat ambilan dan oksidasi glukosa oleh sel otot.43,44 Glukagon dan epinefrin akan meningkatkan laju dan beratnya lipolisis yang diperkuat dengan adanya kortisol karena aktivasi hormon sensitif lipase yang mengendalikan lipolisis adipose. Enzim ini dipacu oleh 1 agonis adrenergik dan dihambat oleh 2. Penelitian menunjukan lipolisis pada sepsis/trauma karena meningkatnya aktivitas 1 dan menurunnya 2.43,44
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
32
Setelah trauma, lipolisis meningkat dan lemak dipakai sebagai sumber energi. Lipoprotein lipase yang melekat di endotel kapiler akan merubah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Hepar akan melepaskan enzim lipoprotein lipase ini ke dalam sirkulasi sehingga terjadi hidrolisis intravaskular. Pada trauma, aktivitas lipoprotein lipase otot meningkat tapi di jaringan adiposa menurun sebaliknya pada sepsis aktivitas lipase ini pada otot menurun. 43,44
2.9. Terapi Nutrisi pada Anak Sakit Kritis dengan Penyakit Paru Salah satu kesulitan dalam mempelajari hubungan antara nutrisi dan diet dengan penyakit pernapasan adalah kurangnya penelitian berbasis evidence terutama dengan penyakit pernapasan yang spesifik, sehingga rekomendasi sulit didapatkan. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara asupan nutrisi dengan penyakit paru hanya berdasarkan studi retrospektif dan bukan intervensi.14 Dukungan nutrisi merupakan faktor penting pada pasien paru dengan sakit kritis yang dirawat di ICU. Meskipun terdapat keterbatasan data dalam menentukan nutrisi spesifik pada penyakit paru, telah diketahui adanya hubungan kuat antara nutrisi dengan fungsi paru. Pasien dengan malnutrisi protein kalori mempunyai peningkatan kejadian pneumonia, gagal napas dan ARDS. Malnutrisi dapat mempengaruhi fungsi paru dengan cara menurunkan kemampuan otot pernapasan, mengubah kapasitas ventilasi dan mengganggu fungsi imun.37 Pemenuhan nutrisi yang tepat dan pencegahan terhadap malnutrisi lebih lanjut selama periode sakit kritis dapat memperbaiki fungsi yang berubah dan merupakan faktor penting dalam memperbaiki keluaran. Pasien sakit kritis dengan penyakit paru rentan terkena komplikasi dari underfeeding atau overfeeding. Pada pasien tersebut sering dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik, mengakibatkan pemberian nutrisi melalui mulut terbatas selama lima hari atau lebih. Berdasarkan pedoman American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN), pemberian dukungan nutrisi dimulai setelah puasa 5-10 hari.37 Pada penyakit paru akut maupun kronis, pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan imunokompromais, wasting otot pernapasan dan disfungsi ventilasi sehingga memperpanjang ketergantungan terhadap ventilator. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
33
Pemberian nutrisi yang berlebihan akan memberikan efek merugikan pada pasien paru karena adanya peningkatan produksi karbon dioksida (CO2) dan kebutuhan oksigenasi yang meningkat pada sistem organ yang sudah terganggu. Tujuan dukungan nutrisi pada pasien paru dalam kondisi sakit kritis adalah untuk memenuhi kebutuhan energi yang sesuai dengan kebutuhan metabolik dan protein, mencegah terjadinya wasting otot pernapasan dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi pernapasan.37 Terdapat hubungan antara peran antioksidan dalam diet seperti Vitamin C, Vitamin E, karoten dan selenium dengan fungsi paru yang baik. Berbagai antioksidan terdapat dalam cairan ekstraselular dan berperan penting dalam melindungi paru dari cidera oksidatif akibat proses inflamasi karena inhalasi asap rokok dan polutan lainnya. Hasil penelitian selama 3 tahun terhadap hubungan asupan antioksidan harian dengan fungsi paru menunjukkan hubungan yang positif antara fungsi paru dengan asupan vitamin C, vitamin E dan karotenoid. Dari semua karotenoid yang diteliti, lutein/zeaxanthin mempunyai hubungan terkuat dengan fungsi paru.14 Penyakit paru dapat memberikan gejala klinis yang dapat mempengaruhi asupan nutrisi, seperti rasa mudah kenyang, anoreksia, penurunan berat badan, batuk dan sesak saat makan. Ketika penyakitnya bertambah berat, gejala klinis sangat berdampak buruk terhadap status nutrisi, sehingga penilaian status nutrisi sangat penting dilakukan. Penilaian tersebut mencakup riwayat berat badan, asupan makanan, pengobatan, marker biokimia (albumin, prealbumin, profil lipid) dan status fungsional.14
2.9.1. Penilaian Status Nutrisi pada Anak Penilaian status nutrisi merupakan suatu tindakan evaluasi secara komprehensif dalam menilai status nutrisi, termasuk riwayat medis, riwayat nutrisi/diet, pemeriksaan fisik, antropometri, dan penunjang/laboratorium. Penilaian status nutrisi ini adalah langkah pertama dari empat langkah proses asuhan nutrisi (nutrition care process) yang terdiri dari penilaian status nutrisi, diagnosis status nutrisi, intervensi nutrisi, pemantauan dan evaluasi hasil intervensi nutrisi. Selain Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
34
itu, penilaian status nutrisi merupakan proses sistematik untuk menentukan, memeriksa dan menginterpretasikan data-data yang berhubungan dengan masalah nutrisi.46,47 Adapun tujuan dari penilaian status nutrisi ini adalah mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi, mengenali lebih dini bila terdapat malnutrisi, menentukan data awal untuk memperkirakan kebutuhan nutrisi, dan melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit. Komponen-komponen penilaian status nutrisi pada anak pada prinsipnya sama dengan pada orang dewasa.46,47 Status
nutrisi
anak
dapat
diketahui
menggunakan
pengukuran
antropometri. Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal dimensi tulang, otot dan jaringan lemak.48 Pengukuran antropometri minimal pada anak umumnya meliputi pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), dan lingkar kepala (dari lahir hingga umur 3 tahun). Pengukuran ini dilakukan berulang secara berkala untuk mengkaji pertumbuhan jangka pendek, jangka panjang dan status nutrisi.49 Berat badan merupakan penghitungan rerata dari status nutrisi secara umum yang memerlukan data lain seperti umur, jenis kelamin dan PB/TB untuk menginterpretasikan data tersebut secara optimal. Berat badan anak sebaiknya diukur dengan baju minimal atau tanpa baju dan tanpa popok pada bayi. Panjang badan atau tinggi badan mencerminkan status nutrisi jangka panjang seorang anak. Anak dengan keterbatasan fisik yang tidak memungkinkan pengukuran PB/TB memerlukan cara pengukuran alternatif. Rentang tangan (arm span), panjang lengan atas (upper arm length) dan panjang tungkai bawah (knee height) merupakan indeks yang dapat dipercaya dan sahih dalam pengukuran PB/TB anak. Pertumbuhan cepat kepala terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupan. Lingkar kepala bukan merupakan indikator baik untuk status nutrisi jangka pendek dibandingkan dengan BB, karena pertumbuhan otak umumnya dipertahankan oleh tubuh saat terjadi masalah nutrisi. Lingkar kepala tidak dapat digunakan sebagai pengukuran status nutrisi pada anak dengan hidrosefalus, mikrosefali dan makrosefali.48 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
35
Persentil BB menurut umur (BB/U) dan TB menurut umur (TB/U) dapat digunakan untuk skrining malnutrisi. Persentase BB ideal, sesuai dengan TB dan BB menurut umur, seringkali digunakan sebagai penanda wasting (kurus) maupun obesitas. Persentil TB menurut umur dianggap cukup untuk meniai status gizi jangka panjang dan digunakan untuk skrining anak sehat dengan perawakan pendek (stunting). Tinggi badan menurut umur diinterpretasikan sebagai berikut, pendek (< persentil 3), normal (persentil 3 sampai 97) dan tinggi (> persentil 97).48 Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) lebih akurat dalam menetapkan dan mengklasifikasikan status gizi pada seorang anak. Pada anak berusia 0 sampai 6 tahun, BB/TB paling sering dinilai dengan menentukan sebuah persentil di grafik pertumbuhan CDC (Centres for Disease Control and Prevention). BB/TB diinterpretasikan sebagai berikut, BB kurang (< persentil 5), BB normal (persentil 5 sampai 95), dan BB lebih (> persentil 95). BB/TB juga dipakai untuk skrining klasifikasi malnutrisi energi protein.48 Status gizi diperoleh dengan perhitungan persentase BB aktual terhadap BB ideal yang diklasifikasikan menurut Waterlow 1972, sebagai berikut obesitas >120%, gizi lebih (overweight) 110-120%, gizi baik 90-110%, gizi kurang 7090%, gizi buruk <70%. Jika ditemukan pasien yang mengalami gizi lebih atau obesitas maka parameter pengukuran menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Jika menggunakan kurva CDC untuk usia 2-10 tahun maka diklasifikasikan sebagai overweight jika antara persentil 85 hingga <95, dan obesitas jika persentil ≥ 95.50
2.9.2. Tatalaksana Nutrisi Kebutuhan gizi pada pasien anak bersifat individual sehingga tidak sama dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (Recommended Dietary Allowance, RDA) atau kecukupan masukan zat gizi yang dianjurkan (Dietary Reference Intake, DRI). Walaupun demikian penggunaan RDA maupun DRI cukup memadai dalam pelayanan gizi. Besarnya kebutuhan zat gizi pada bayi dan anak dapat
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
36
diperhitungkan dengan berbagai rumus. Kecukupan atau adekuat tidaknya pemenuhan kebutuhan dilihat kembali berdasarkan respon pasien.50 Komponen kebutuhan energi terdiri dari empat komponen yaitu basal metabolic rate (BMR), diet induced thermogenesis (DIT), aktivitas fisik dan tumbuh. Kebutuhan energi dapat dipengaruhi oleh status gizi, penyakit dasar, asupan serta keluaran energi, usia dan jenis kelamin. BMR adalah sejumlah energi yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh. Dalam praktek seharihari yang diukur biasanya resting energy expenditure (REE) yang cara pengukurannya sama dengan BMR hanya saja tidak dilakukan segera setelah bangun tidur. Perbedaan REE dengan BMR umumnya tidak lebih dari 10%. BMR dapat meningkat pada keadaan tertentu misalnya peradangan, demam, penyakit kronik (misalnya jantung, paru) atau berkurang sebagai respons terhadap asupan energi yang rendah.50 Kebutuhan nutrisi pada anak sakit kritis (critically ill) dibedakan berdasarkan kondisi stres yang disebut sebagai dukungan metabolik (metabolic support) dan non stres yang disebut sebagai dukungan nutrisi (nutritional support). Selama periode stres metabolik pemberian nutrisi berlebihan (overfeeding) dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme di paru dan hati, dan dapat berakhir dengan meningkatnya angka kematian.50 Komplikasi
overfeeding
meliputi
kelebihan
produksi
CO2
yang
meningkatkan ventilasi, edema paru dan gagal napas, hiperglikemia yang meningkatkan kejadian infeksi,
lipogenesis karena
peningkatan insulin,
imunosupresi, dan komplikasi hati seperti perlemakan hati dan kolestasis intrahepatik. Oleh sebab itu kebutuhan nutrisi pasien harus selalu diperhitungkan agar tidak terjadi underfeeding atau overfeeding. Setelah terdapat perbaikan klinis dan melewati fase kritis dari penyakitnya (setelah hari ke 7-10), kebutuhan kalori serta protein perlu dinilai kembali menggunakan RDA karena diperlukan untuk tumbuh kejar (catch up growth).50
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
37
2.9.3. Kebutuhan Makronutrien 2.9.3.1. Kebutuhan Energi Penentuan kebutuhan energi yang akurat sangat penting pada pasien ALI/ARDS.
Underfeeding
dapat
menghambat
weaning
ventilator
dan
menyebabkan pasien lebih rentan terkena infeksi, sementara overfeeding dapat menyebabkan hiperkapnea dan juga menghambat weaning ventilator. Ada beberapa standar perhitungan kebutuhan energi, namun belum ada konsensus yang menyatakan yang paling akurat.33 Kebutuhan energi pada anak sakit kritis harus dinilai berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya.51 Perhitungan BMR dan REE dapat dilakukan dengan menggunakan kalorimetri indirek yang hasilnya akurat, namun jika kalorimetri indirek tidak tersedia dapat menggunakan berbagai rumus perhitungan atau nomogram, yang paling sering digunakan adalah rumus WHO (1985), Schofield WH (1985) dan Harris-Benedict (1919) dengan memperhitungkan faktor stres. Di antara ketiga rumus tersebut rumus Schofield WH terbukti paling akurat dalam memperkirakan REE dalam keadaan failure to thrive.50,51 Rumus perhitungan REE dan BMR dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 0-3 tahun Sumber WHO Schofield (W) Schofield (WH) Harris-Benedict
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Persamaan REE = 60,9 x BB -54 REE = 61 x BB – 51 BMR = 59,48 x BB – 30,33 BMR = 58,29 x BB – 31,05 BMR = 0,167 x BB + 1517,4 x TB – 617,6 BMR = 16,25 x BB + 1023,2 x TB – 413,5 REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB – 6,76 x U REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB – 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun Sumber : daftar referensi no 52
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
38
Tabel 2.10. Persamaan untuk menghitung REE dan BMR pada anak usia 3-10 tahun Sumber WHO Schofield (W) Schofield (WH) Harris-Benedict
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Persamaan REE = 22,7 x BB + 495 REE = 22,4 x BB + 499 BMR = 22,7 x BB + 505 BMR = 20,3 x BB + 486 BMR = 19,6 x BB + 130,3 x TB + 414,9 BMR = 16,97 x BB + 161,8 x TB + 371,2 REE = 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 x TB – 6,76 x U REE = 655,1 + 9,56 x BB + 1,85 x TB – 4,68 x U
BB = berat badan dalam kg, TB = tinggi badan dalam m, U=umur dalam tahun Sumber : daftar referensi no 52
Penggunaan ventilator mekanik pada anak menurunkan kehilangan panas (heat loss) dan usaha bernapas sehingga akan menurunkan kebutuhan energi untuk termoregulasi. Obat-obatan sedasi menurunkan aktivitas otot antara 10 hingga 15%,
penggunaan obat pelumpuh otot menurunkan REE sebesar 10% pada
penelitian dengan subyek 20 anak yang menggunakan ventilator mekanik. Terdapat penurunan metabolisme yang akan menurunkan pertumbuhan, sintesis neurotransmiter dan sekresi katekolamin.53 Pada pasien yang menggunakan ventilator BEE dikalikan dengan 0,85.54
Tabel 2.11. Menentukan faktor aktivitas dan faktor stres Jenis aktivitas Non ambulatory, diintubasi, sedasi Tirah baring Ambulatory Jenis stres Kelaparan (starvasi) Bedah Sepsis Cedera kepala Trauma ringan Gagal tumbuh Luka bakar Gagal jantung Trauma berat
Faktor aktivitas 0,8-0,9 1,0-1,15 1,2-1,3 Faktor stres 0,7-0,9 1,1-1,5 1,2-1,6 1,3 1,1-1,8 1,5-2 1,2-1,3 1,2-1,3 1,5-1,7
Sumber : daftar referensi no 55
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
39
Tabel 2.12. Derajat stres berdasarkan penyakit Stres ringan Bronkiolitis Gastroenteritis Operasi minor Infeksi minor lain Stres sedang Operasi Kardiopati kronik Enteropati kronik Infeksi berat Cystic fibrosis Penyakit sel sabit Stres berat Operasi jantung Operasi mayor Hemopati Depresi berat Sepsis berat Penyakit kronis perburukan Sumber : daftar referensi no 47
Dalam menghitung REE, persamaan WHO dan terutama Schofield (WH) sebaiknya digunakan pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Untuk anak berusia 10 tahun keatas dapat menggunakan persamaan Harris-Benedict, WHO dan Schofield.52 White MS dkk56 mengadakan penelitian terhadap 100 anak sakit berat dengan ventilasi mekanik yang membandingkan pengukuran pemakaian energi dengan formula standar mendapatkan bias yang lebih besar, karena itu untuk kasus-kasus berat dengan ventilasi mekanik dan pada anak usia di atas 2 bulan dianjurkan menggunakan formula yang lebih akurat dan sesuai yaitu : REE (kkal/hari) = (17 x Umur dalam bulan) + (48 x BB dalam kg) + ( 292 x suhu tubuh dalam oC)-9677 x 0,239
(2.1)
Pada anak sakit kritis yang dirawat di PICU (pediatric intensive care unit) dengan menggunakan ventilator mekanik, berbagai penelitian menunjukkan terjadinya hipermetabolik. Kegagalan dalam memenuhi asupan nutrisi yang cukup dapat menyebabkan kehilangan massa otot tubuh dan juga dapat memperburuk keadaan malnutrisi yang sudah terjadi. Penggunaan obat-obatan sedasi dan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
40
ventilator menyebabkan penurunan energy expenditure karena penurunan aktivitas, penurunan kehilangan cairan (insensible water loss) dan berhentinya pertumbuhan selama sakit kritis. Pasien-pasien ini berisiko terjadi overfeeding jika menggunakan perhitungan kebutuhan energi menggunakan persamaan untuk anak sehat dan tidak memperhitungkan faktor stres.57 Overfeeding juga meningkatkan produksi CO2 dan meningkatkan kerja ventilator sehingga memperpanjang lama penggunaan ventilator. Overfeeding juga dapat mengganggu fungsi hepar dengan merangsang terjadinya steatosis dan kolestasis dan meningkatkan risiko hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi karena overfeeding kalori berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap ventilator dan lama rawat di PICU. Penggunaan Respiratory Quotient (RQ) untuk mengukur penggunaan substrat tidak direkomendasikan pada anak.57
2.8.3.2. Kebutuhan Protein Masa sakit kritis dan penyembuhan ditandai dengan meningkatnya katabolisme dan turn over protein. Keuntungan dari turn over protein yang tinggi adalah aliran asam amino yang terus-menerus tersedia untuk sintesis protein baru. Terutama terjadi redistribusi asam amino dari otot skelet ke hepar, luka dan jaringan yang terlibat dalam respons inflamasi.57 Pada anak sakit kritis terdapat peningkatan degradasi protein tubuh dan juga sintesis protein, namun lebih banyak terjadi degradasi protein selama stres terjadi, sehingga terjadi net negative protein dan balans nitrogen negatif, yang ditandai oleh wasting otot skelet, penurunan berat badan dan disfungsi imun. Katabolisme protein otot untuk menghasilkan glukosa dan sebagai respons inflamasi merupakan adaptasi jangka pendek yang menguntungkan, namun hal ini sangat terbatas karena cadangan protein pada anak dan neonatus sedikit. Pemecahan protein otot yang berkelanjutan dapat mengakibatkan kehilangan otot pada diafragma dan interkostal sehingga menyebabkan gangguan pada proses pernapasan.57 Kebutuhan protein lebih tinggi pada anak sakit kritis jika dibandingkan dengan anak sehat. Penelitian pada bayi menunjukkan peningkatan degradasi Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
41
protein setelah pembedahan sebesar 25% dan peningkatan 100% ekskresi nitrogen urine pada sepsis bakterial. Pemenuhan protein yang adekuat dapat membantu proses sintesis protein, proses penyembuhan luka dan respons inflamasi, dan mempertahankan massa otot skelet. Perkiraan kebutuhan protein pada anak sakit kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13 tahun sebesar 1,5-2 g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari.57 Anak sakit kritis membutuhkan asupan protein 2-3g/kgBB/hari untuk mencapai balans nitrogen yang positif. Anak dengan luka bakar berat membutuhkan protein 3 g/kg BB/hari untuk mendukung penyembuhan luka, dan pada pasien dengan sepsis pemberian protein bisa sampai >4 g/kg BB/hari.57
2.8.3.3. Kebutuhan Karbohidrat Ketika kebutuhan protein sudah tercukupi, pemenuhan kalori dari sumber karbohidrat dan lemak mempunyai efek yang hampir sama pada sintesis protein dan keseimbangan protein secara keseluruhan pada pasien sakit kritis. Glukosa merupakan sumber energi utama pada otak, eritrosit dan medula ginjal dan berguna pada perbaikan jaringan yang terluka. Cadangan glikogen terbatas jumlahnya dan cepat habis pada sakit kritis sehingga meningkatkan kebutuhan akan glukoneogenesis. Pemberian glukosa pada respons stres metabolik tidak menghentikan proses glukoneogenesis, proses katabolisme protein otot untuk menghasilkan glukosa terus berlangsung sehingga pemberian asupan tinggi karbohidrat pada pasien sakit kritis tidak dianjurkan.51 Sebuah rekomendasi dari The Surviving Sepsis Campaign menyatakan pentingnya kontrol glukosa yang ketat pada pasien dewasa yang sakit kritis. Hiperglikemia sering terjadi pada anak sakit kritis dan berhubungan dengan outcome yang buruk. Penyebab hiperglikemia saat respons stres bersifat multifaktorial. Meskipun terdapat data prevalensi hiperglikemia pada anak, namun tidak ada data yang menilai efek kontrol glukosa yang ketat pada kelompok anak.51 Pada pasien ALI/ARDS pemilihan komposisi substrat harus diperhatikan. Tipe dan jumlah substrat yang digunakan untuk memenuhi asupan nutrisi dapat Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
42
mempengaruhi produksi CO2. Overfeeding dapat menyebabkan peningkatan lipogenesis, peningkatan glukosa, disfungsi hepar, dan ketidakmampuan untuk lepas dari ventilator. Pasien ICU dengan kondisi hipermetabolik, deplesi nutrisi, stres, dan tidak mampu mengeliminasi CO2 mudah sekali overfeeding.33 Karbohidrat sering dihubungkan dengan terjadinya hiperkapnea yang berhubungan dengan overfeeding. Namun penelitian Talper tahun 1992 mengklarifikasinya, saat dilakukan pemberian diet isokalori dengan berbagai konsentrasi karbohidrat, produksi CO2 tidak berubah. Saat dinaikkan jumlah kalori totalnya namun kadar karbohidratnya tetap (60%), terjadi peningkatan produksi CO2 yang signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa kalori total harus lebih diperhatikan daripada presentase karbohidratnya. 33 Kontrol
hiperglikemia pada
pasien sakit kritis
dewasa terbukti
memperbaiki outcome. Hiperglikemia dan hipoglikemia sering terjadi pada pasien PICU. Anak sakit kritis yang tidak selamat mempunyai kadar glukosa yang lebih tinggi dan lebih lama mengalami hiperglikemia daripada anak yang selamat. Berdasarkan data yang ada, kontrol glukosa yang tepat pada anak adalah antara 140-180 mg/dL.57
2.8.3.4. Kebutuhan Lemak Pada sakit kritis, trauma ataupun pembedahan, turnover lemak akan meningkat. Penelitian mununjukkan bahwa pada anak sakit kritis terjadi oksidasi lemak yang lebih tinggi. Hal ini menujukkan bahwa pada anak dengan stres metabolik, sumber energi utama adalah asam lemak. Karena terjadi peningkatan kebutuhan akan lemak dan terbatasnya cadangan lemak pada anak, pada anak sakit kritis berisiko terjadi defisiensi asam lemak esensial jika diberikan diet bebas lemak. Gejala defisiensi yang terjadi yaitu dermatitis, alopesia, trombositopenia dan peningkatan infeksi bakteri.51 Untuk menghindari defisiensi asam lemak esensial pada anak sakit kritis diberikan asam linoleat dengan rekomendasi 4,5% dan asam linolenat sebesar 0,5% dari total kalori. Pemberian emulsi lemak intravena (intravenous fat emulsion, IVFE) dapat menurunkan risiko defisiensi asam lemak esensial, yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
43
akan memperbaiki penggunaan protein dan tidak meningkatkan produksi CO2. Pemberian IVFE pada anak sakit kritis dimulai dari 1 g/kg BB/hari dan dapat ditingkatkan dalam beberapa hari hingga 2-4 g/kg BB/hari dengan memonitor kadar trigliserida darah. Pemberian IVFE dibatasi maksimal 30-40% dari kalori total.51 Penelitian al-Saady, dkk tahun 1989 pada 20 pasien sakit kritis dewasa yang membandingkan formula isokalori isonitrogen dengan formula tinggi lemak rendah karbohidrat dan efeknya pada PaCO2 dan lama penggunaan ventilator. Hasilnya saat weaning dari ventilasi mekanik, kadar PaCO2 pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol, dan lama penggunaan ventilator yang lebih singkat. Sehingga timbul hipotesis bahwa formula dengan kadar lemak lebih tinggi dan rendah karbohidrat dapat memperbaiki status respiratorik pada pasien dengan ventilator.58 American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)/ Society of Critical Care Medicine (SCCM) dalam konsensusnya tahun 2009 menyatakan bahwa pemberian formula tinggi lemak rendah karbohidrat untuk memanipulasi respiratory quotient dan menurunkan produksi CO2 tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien ICU dengan gagal nafas akut. Karena berisiko tinggi terhadap retensi CO2, pasien ALI/ARDS yang mendapat dukungan nutrisi harus dimonitor ketat terhadap tanda-tanda underfeeding dan overfeeding.33 Pemberian lemak terutama asam lemak esensial digunakan untuk oksidasi lemak pada tingkat seluler. Banyak penelitian yang menunjukkan efek antiinflamasi pada pemberian asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA, berguna pada penyakit inflamasi kronik termasuk rematoid artritis, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, lupus, multipel sklerosis dan asma. Pemberian lemak antiinflamasi spesifik pada tahap akut yang digunakan untuk menjaga fungsi organ-organ vital dan membantu proses imunitas, inflamasi, dan antioksidan sudah sering dilakukan pada pasien ALI/ARDS di ICU.33 Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan asam lemak omega 3 (EPA dan DHA) yang tepat dapat melemahkan respons metabolik, mengembalikan atau meminimalkan kehilangan jaringan bebas lemak, menghambat kerusakan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
44
oksidatif jaringan, dan memodulasi respons inflamasi. Dewasa ini sering digunakan minyak ikan (EPA dan DHA) pada perawatan intensif untuk mengubah respons metabolik terhadap stres dengan mengubah fosfolipid membran sel, ekspresi gen, memodulasi ekspresi endotel yang mengatur integritas dan fungsi vaskuler.33 Penelitian oleh Gadek tahun 1999 menggunakan formula lemak yang menggunakan EPA, DHA, borage oil dan antioksidan melaporkan adanya perbaikan ventilasi, oksigenasi dan lama rawat ICU yang lebih singkat pada pasien ARDS. Penelitian oleh kelompok Brasil (Brazilian Group) melaporkan penggunaan formula enteral yang mengandung minyak ikan, borage oil dan antioksidan tidak hanya menurunkan morbiditas secara signifikan, namun juga menurunkan mortalitas pada pasien ALI/ARDS dan sepsis. 33 Efek menguntungkan dari pemberian diet dengan EPA dan GLA pada neutrofil paru, pertukaran gas, penggunaan ventilator, lama perawatan ICU dan penurunan kejadian gagal organ menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral ini dapat menjadi terapi ajuvan pada pasien dewasa dengan ARDS atau berisiko mengalami ARDS.58 Gagal napas yang disebabkan oleh ALI/ARDS berhubungan dengan tingginya angka morbiditas pada anak. Nutrisi enteral yang diperkaya oleh EPA, GLA dan antioksidan dapat memperbaiki profil asam lemak dan fosfolipid plasma, menurunkan inflamasi dan memperbaiki kondisi klinis pada pasien dewasa. Namun penggunaannya pada pasien anak belum banyak diteliti sehingga belum dapat direkomendasikan.59
2.9.3.5. Kebutuhan Cairan Kebutuhan cairan pada anak dihitung menggunakan formula yang dikembangkan oleh Holliday-Segar tahun 1957.60 Kebutuhan cairan bervariasi tergantung usia dan berat badan anak. Pembatasan cairan dilakukan pada kondisi anak dengan tekanan tinggi intrakranial, gagal ginjal, penyakit jantung kongenital, dan displasia bronkopulmoner. Pada kondisi ini dapat diberikan nutrisi parenteral dan cairan infus intravena dengan konsentrasi lebih tinggi, nutrisi enteral dapat juga Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
45
diberikan dengan konsentrasi lebih tinggi. Osmolaritas dari cairan ini harus dimonitor dengan seksama untuk menjamin toleransi yang adekuat dan mencegah risiko dehidrasi. Adanya demam dapat meningkatkan kebutuhan cairan dengan adanya kehilangan dari respirasi dan melalui kulit. Pada setiap kenaikan derajat diatas 38oC, terdapat peningkatan insensible water loss sebesar 5 ml/kgBB dalam 24 jam.53 Perhitungan kebutuhan cairan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.13. Perhitungan kebutuhan cairan pada anak Berat badan (kg) 0-10 11-20 >20
Volume (ml/hari) 100 ml/kgBB 1000 ml + 50 ml/kg untuk tiap kg > 10kg 1500 ml + 20 ml/kg untuk tiap kg > 20kg Sumber : daftar referensi no 60
Perhitungan kebutuhan cairan pada anak harus bersifat individual. Tidak ada cairan intravena yang ideal untuk setiap anak selama fase sakit kritis, namun ada bukti empirik yang menyatakan bahwa paling aman menggunakan cairan isotonis. Cairan hipotonis hanya dipertimbangkan jika tujuan terapi adalah mencapai balans bebas air positif. Anak sakit kritis mungkin memerlukan pengurangan hingga 4050% dari rekomendasi volume rumatan. Semua pasien yang mendapatkan infus intravena harus dimonitor ketat berat badan, keseimbangan cairan, parameter biokimia dan klinisnya.61
2.9.4. Kebutuhan Mikronutrien dan Imunonutrisi Pasien sakit kritis sangat berisiko terhadap penurunan kadar mikronutrien dan antioksidan dalam plasma, yang akan berefek negatif terhadap stres oksidatif dan fungsi metaboliknya. Lyons 2001 menyatakan bahwa anak dengan sepsis mengalami peningkatan oksidasi sistein dan penurunan sintesis glutation jika dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Seear 1992 menyatakan bahwa setelah perawatan di PICU selama 2 minggu, 10 dari 80 anak sakit kritis mengalami defisiensi tiamin dan 3 orang kadar riboflavinnya rendah. 57 Pada orang dewasa yang sakit kritis ditemukan keuntungan dengan pemberian selenium dan asam askorbat intravena namun penelitian pada anak sangat jarang. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang implikasi Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
46
defisiensi mikronutrien dan apakah suplementasi mikronutrien pada anak sakit kritis akan mempengaruhi outcome penyakit. Evaluasi terhadap vitamin dan mineral pada anak sakit kritis (>10-14 hari) sangat perlu dilakukan.57 Penggunaan
rutin
imunonutrisi
pada
anak
sakit
kritis
tidak
direkomendasikan. Formula enteral yang mengandung antioksidan dengan -3 PUFA eicosapentanoic acid (EPA) dan -6 PUFA gamma linolenic acid (GLA) memberikan perbaikan pada outcome jika dibandingkan dengan formula isokalori isonitrogen pada pasien dewasa dengan ARDS dan sepsis berat. Outcome yang dinilai adalah peningkatan oksigenasi, penurunan lama pemakaian ventilator, penurunan lama rawat ICU. Penggunaan rutin formula yang mengandung -3 dapat direkomendasikan pada anak yang lebih besar dengan ARDS. 51 Penggunaan probiotik dapat memberikan keuntungan pada pasien anak melalui efek pada gastrointestinal dan sistem imun dan dapat mempersingkat lama diare akut dan diare karena antibiotik. Deshpande 2007 menyatakan probiotik dapat menurunkan insidensi necrotising enterocolitis (NEC) pada bayi berat badan lahir sangat rendah. Namun karena sedikitnya penelitian, penggunaan probiotik pada anak sakit kritis masih perlu dipertimbangkan. Belum ada penelitian yang menyatakan keamanan atau efikasi pemberian probiotik pada anak sakit kritis, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut sebelum probiotik dapat rutin diberikan pada anak yang dirawat ICU.57
2.9.5. Pemilihan Jalur Pemberian Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada anak sakit kritis, harus diperhatikan rute pemberian nutrisinya. Pada anak sakit kritis dengan fungsi saluran gastrointestinal yang masih baik, nutrisi enteral merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bila dibandingkan nutrisi parenteral.51 Nutrisi enteral merupakan pilihan utama bila pemberian oral tidak memungkinkan. Bagaimanapun juga pemberian makanan lewat enteral adalah lebih baik dibandingkan dengan pemberian makanan lewat parenteral. Beberapa keuntungan pemberian nutrisi enteral adalah efek trofik pada vili intestinal, menurunkan translokasi bakteri. 41
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
47
Pemberian
makanan
lewat
enteral
dapat
menjaga
agar
fungsi
gastrointestinal bekerja secara fisiologis, dapat mencegah terjadinya gastropati yang diinduksi oleh stres maupun perdarahan gastrointestinal. Traktus gastrointestinal mempertahankan ekosistem melalui keseimbangan antara beberapa hal yaitu bakteri, nutrien, sistem defens intestinal (luminal, mukosa, sistem imun submukosa). Bahkan dengan pemberian nutrisi enteral yang minimal (trophic feeding), pertumbuhan sel epitel intestinal, aktivitas enzim brush border dan motiiltas usus akan meningkat.41 Sebuah penelitian multisenter menunjukkan bahwa penerapan protokol pemberian nutrisi enteral pada pasien-pasien sesuai indikasi terbukti memberikan dampak terhadap outcome yang positif.62 Nutrisi enteral dini aman diberikan dan dapat ditoleransi pada anak sakit kritis, meskipun dengan obat vasoaktif dan dapat memperbaiki metabolisme protein dan defisit kalori. Pemberian nutrisi enteral pada pasien-pasien PICU sebaiknya dilakukan secara dini setelah melihat toleransi gastrointestinalnya. 57 Anak sakit kritis berisiko terhadap efek dari puasa atau stres berkepanjangan karena mereka mempunyai persentase otot dan lemak yang lebih rendah
dan
kebutuhan
energi
basal
yang
lebih
tinggi
dari
dewasa.
Direkomendasikan anak sakit kritis tidak dipuasakan lebih dari 24 hingga 48 jam. Biasanya banyak anak sakit kritis yang pemberian nutrisinya dimulai terlambat dan tidak menerima kebutuhan energi yang direncanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya restriksi cairan, interupsi karena prosedur, toleransi buruk atau masalah mekanik (obstruksi pipa atau terlepas). Penelitian Briassoulis 2005 menemukan sebanyak 93% anak sakit kritis menerima nutrisi pada hari ketiga setelah masuk perawatan dan energi yang direncanakan baru tercapai penuh pada hari kelima. 63 Belum ada data yang cukup untuk merekomendasikan jalur nutrisi enteral baik itu gastrik atau post pilorik/transpilorik. Pemberian nutrisi post pilorik/transpilorik akan meningkatkan asupan jika dibandingkan dengan gastrik dan lebih baik pada pasien yang berisiko terjadi aspirasi. 51 Nutrisi enteral via gastrik biasanya sulit ditoleransi pada anak dengan penyakit kritis dan yang menggunakan ventilator mekanik dengan sedasi. Hal ini menimbulkan tingginya persentase anak yang tidak mencapai asupan yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
48
direncanakan semula. Nutrisi via transpilorik duodenal-jejunal/transpilorik post pilorik menurunkan volume residu gaster dan jumlah penundaan, menyebabkan nutrisi dapat ditingkatkan bertahap dengan tujuan mencapai jumlah yang direncanakan. Nutrisi transpilorik dapat lebih ditoleransi dan mempunyai komplikasi yang lebih sedikit, meskipun belum ada penelitian yang menunjukkan penurunan insidensi aspirasi pulmonal.63 Pemberian nutrisi parenteral digunakan sebagai tambahan jika pemberian nutrisi enteral saja tidak dapat mencukupi asupan nutrisi, hal ini dapat disebabkan oleh karena adanya intoleransi terhadap nutrisi enteral, pembatasan cairan, penundaan nutrisi enteral karena prosedur dan ketidakstabilan hemodinamik pasien.51 Jika nutrisi enteral tidak dapat diberikan atau tidak dapat ditoleransi selama 5-7 hari pada pasien anak, maka nutrisi parenteral diindikasikan. Duggan, dkk menyatakan bahwa nutrisi parenteral diberikan pada anak malnutrisi jika nutrisi enteral tidak dapat diberikan >3 hari, peneliti menyatakan bahwa pemberian nutrisi parenteral singkat <5 hari tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Pada pasien PICU yang tidak dapat menerima atau tidak toleransi terhadap nutrisi enteral dalam 3-5 hari harus dimulai pemberian nutrisi parenteral.57 Penambahan lemak dalam nutrisi parenteral pada bayi dan anak menurunkan produksi karbon dioksida, minute ventilation dan deposit lemak, meningkatkan oksidasi lemak, menambah retensi protein dan mencegah defisiensi asam lemak esensial. Idealnya nutrisi parenteral untuk pasien PICU sebaiknya mengandung asam amino mengandung sistein, glutamin dan arginin, karbohidrat rendah hingga tinggi, sumber lemak -3 PUFA dan multivitamin serta antioksidan. Sebuah penelitian dari
Li tahun 2008 menyatakan dosis lemak
standar tidak mengubah fungsi imun pada anak setelah operasi saluran cerna. 57 Dewasa ini belum cukup bukti untuk membuat rekomendasi tentang penggunaan prokinetik atau motility agents (untuk intoleransi nutrisi enteral), prebiotik, probiotik atau sinbiotik pada anak sakit kritis. 51
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
49
2.9.6. Monitoring Status Nutrisi pada Anak Sakit Kritis Ada beberapa parameter untuk memantau kemajuan terapi enteral dan parenteral selama di PICU selain kondisi klinis dan hasil laboratorium. Bayi dan anak dengan malnutrisi akut dan kronik, kehilangan berat badan atau puasa lama sangat rentan terkena efek metabolik dan sindrom refeeding. Untuk anak yang berisiko perlu dimonitor secara berkala kadar elektrolit, fosfor, magnesium, kalsium, glukosa, status cairan dan fungsi kardiopulmonal.57 Hiperglikemia sering ditemukan pada anak sakit kritis dalam 48 jam pertama perawatan, hal ini disebabkan oleh resistensi atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Namun setelah periode awal, anak sakit kritis menunjukkan toleransi baik terhadap pemberian karbohidrat enteral, sehingga glukosa darah bukan merupakan indikator yang baik untuk menilai status nutrisi. Albumin mempunyai waktu paruh yang panjang (20 hari) dan mempunyai sensitivitas rendah terhadap perubahan yang akut sehingga bukan merupakan parameter yang baik untuk monitor status nutrisi. Prealbumin dengan waktu paruh yang pendek yaitu dua hari dan volume distribusinya sedikit, sangat sensitif dan spesifik terhadap perubahan status nutrisi. Prealbumin merupakan parameter yang baik untuk monitoring, renutrisi, dan perubahan status nutrisi pada sakit kritis dan satu-satunya parameter yang valid untuk mengevaluasi status nutrisi pada gagal ginjal.63 Anak yang mengalami sepsis setelah trauma atau operasi jantung, mengalami tahap penghentian pertumbuhan (growth-resistant state), yang ditandai dengan penurunan insulin-like growth factors dan peningkatan growth hormone. Kondisi stress yang berkepanjangan dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan, sehingga pengukuran antropometri serial harus dilakukan. Meskipun berat badan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak berhubungan dengan nutrisi di ICU, monitoring berat badan sangat berguna setelah diuresis. Pengukuran tebal lipatan bawah kulit dan lingkar lengan atas dapat mendeteksi perubahan pada massa lemak dan otot. Kalorimeter indirek, respiratory quotient dan balans nitrogen merupakan penentu yang paling baik
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
50
dalam melihat kebutuhan makronutrien dan energi. Fungsi hepar dan paru harus dimonitor untuk melihat sekuele negatif dari underfeeding dan overfeeding.57 Respons inflamasi sistemik akan mengutamakan sintesis protein hepar untuk menurunkan produksi protein transport dan meningkatkan sintesis protein fase akut. Perubahan pada metabolime protein dapat memprediksi outcome ICU selama fase akut. Kadar albumin serum preoperatif berbanding terbalik dengan lama rawat, infeksi dan mortalitas pada anak dan bayi yang menjalani operasi. CRP (C-reactive protein) dan prealbumin juga dapat memprediksi mortalitas pada bayi preoperatif. Normalisasi kadar CRP menunjukkan tahap anabolisme dan peningkatan laju metabolik untuk energi yang digunakan untuk pertumbuhan. 57
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
51
BAB 3 KASUS
Kriteria pengambilan pasien pada serial kasus ini adalah pasien anak yang dirawat di PICU RSABHK dengan pneumonia berat. Pasien anak dengan pneumonia berat termasuk dalam kondisi sakit kritis dengan stres metabolisme yang berat dan kecenderungan terjadinya risiko malnutrisi. Dukungan nutrisi yang optimal memberikan hasil yang lebih baik pada pasien sakit kritis. Pemantauan dilakukan minimal lima hari disertai intervensi nutrisi. Parameter yang dinilai selama pemantauan adalah kondisi klinis pasien, toleransi asupan dan beberapa parameter laboratorium. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat empat kasus serial yang terjaring (1) pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, gizi kurang (2) pneumonia berat, ventricle septal defect (VSD), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, gizi baik, stunted (3) pneumonia berat, hipereaktif bronkus, suspek PJB sianotik, gizi baik (4) pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, gizi buruk
3.1. Kasus 1 dengan Pneumonia berat, suspek hernia diafragmatika, ARDS, gizi kurang Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 4,5 bulan berinisial AK yang dirawat di PICU RSABHK dengan keluhan sesak napas yang semakin berat. Pasien dirujuk dari RS H dengan diagnosis pneumonia berat dan atelektasis lobus superior dextra. Dua hari sebelum masuk RS H, pasien menderita batuk berdahak, pilek dan demam. Ibu pasien memberikan obat batuk pilek, suhu tubuh pasien turun namun kemudian naik lagi. Satu hari sebelum masuk RS H, pasien sesak napas hingga mengalami kesulitan bernapas, pasien kemudian dibawa ke RS H. Pasien dirawat di RS H selama 7 hari, 2 hari terakhir dirawat di ICU dan dilakukan intubasi. Pasien kemudian dirujuk ke PICU RSAB HK. Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, lahir prematur pada usia kehamilan 30 minggu secara sectio caesarea oleh dokter kandungan atas Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
50
52
indikasi lilitan tali pusat. Berat badan lahir adalah 1400 gram, dengan panjang badan 41 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat hamil maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol teratur ke dokter spesialis kandungan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan yaitu 8 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 50, tinggi badan 155 cm, IMT 20,81 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat kepala saat telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1,2, Polio 1,2, DPT 1,2 dan BCG. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, dapat menyusu dengan kuat menurut ibu pasien, setiap kali menyusu sekitar 10-15 menit setiap 2-3 jam sekali. Dua hari sebelum masuk RS H mulai malas menyusu, menyusu hanya sebentarsebentar saja, sekitar 5-10 menit setiap menyusu, menyusu setiap 2-3 jam sekali. Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2 dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 123/65 mmHg, nadi 102 x per menit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 8 dengan frekuensi napas 55 x per menit, suhu 36,8o C. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak asimetris, terdapat retraksi sela iga, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-II reguler, tanpa murmur dan gallop, pemeriksaan paru menunjukkan suara napas vesikuler, suara napas di hemithoraks kanan lebih lemah, terdapat ronkhi basah halus di kedua lapang paru, wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal, supel, distensi tidak ada. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak ada kelainan, kapasitas fungsional bedridden, BAK menggunakan kateter, pasien belum BAB. Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan panjang badan (PB) 55 cm dan berat badan (BB) 4,7 kg. Pasien prematur dengan usia gestasi 30 minggu, usia koreksi adalah 8 minggu. Berat badan ideal (BBI) menurut kurva CDC adalah 5,3 kg. Lingkar lengan atas (LLA) yaitu 14 cm (LLA Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
53
P50 usia 4 bulan laki-laki adalah 14,1 cm), panjang badan termasuk persentil 10 (P10) masih tergolong normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) adalah 88% kesan gizi kurang, berdasarkan perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan standar baku sesuai usia adalah 99% sehingga kesannya adalah sesuai. Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi kurang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto thoraks. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht 34%, leukosit 6200/µL, trombosit 334000/µL, albumin 3,4 g/dL, globulin 2,8 g/dL, protein total 5,8 g/dL, bilirubin direk 0,2 mg/dL, bilirubin indirek 0,6 mg/dL, bilirubin total 0,8 mg/dL, fungsi hati dalam batas normal (SGOT 19 U/L, SGPT 38 U/L). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia (natrium 133 mmol/L), elektrolit lain dalam batas normal (kalium 4,1 mmol/L, klorida 99 mmol/L), CRP 9,9 mg/dL. Foto thoraks kesan pneumonia lobaris, atelektasis lobus superior dekstra, suspek hernia diafragmatika. Terapi yang didapat adalah midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Pasien mendapatkan infus Dekstrosa 10% 5x20 ml dan Benutrion VE 5x4 ml. Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak 18 g dan KH 32 g), analisis 4 jam terakhir (pukul 02.00-06.00) adalah 38 kkal (protein 1 g, lemak 0 g dan KH 10 g). Balans cairan pada pasien ini adalah -30 mL (intake 100 mL dan output 130 mL dalam 4 jam)
Gambar 3.1. Analisis asupan sebelum sakit dan 4 jam terakhir kasus 1 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
54
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, hernia diafragmatika, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hiponatremia, status gastrointestinal dalam batas normal. Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus White dengan menggunakan usia koreksi, didapat 317 kkal (320 kkal) dengan faktor stres 1,2 didapat kebutuhan energi total 380 kkal. Komposisi yang diberikan protein 12 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25% (10,5 g) dan KH 24,7 g. Rencana pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal yaitu sebesar 254 kkal, protein 12 g (20 %), lemak 25% (7 g) dan KH 59,85 g. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 470 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:106. Setiap hari dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan total. Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 200 ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 150 ml/24 jam. Pasien dipantau selama delapan hari perawatan. Pada Gambar 3.2 disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama, yaitu pagi hari.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
55
Gambar 3.2. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 1 Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.2. Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-4 adalah 111 mmHg, sehingga pasien masuk dalam kondisi ARDS. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat masuk masih ada, namun tampak perbaikan pada hari perawatan ke-5 dan 6, namun pada hari perawatan ke-7 frekuensi pernapasan meningkat lagi hingga 50x/menit dan disertai peningkatan suhu tubuh. Selama perawatan pasien menggunakan ventilator dengan fraksi O2 yang bervariasi. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru retraksi sela iga dan ronkhi tetap ada hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pada pemantauan hari ke-5, kurang lebih 20 menit pasca transfusi timbul ruam kemerahan di tungkai bawah kanan, akral tampak sianosis, teraba dingin dengan capillary refill time lebih dari 3 detik, saat itu juga transfusi dihentikan. Pasien kemudian dikonsulkan dengan hasil diagnosis deep vein thrombosis, diberikan terapi heparin dan gejala menghilang pada hari ke-7. Pasien BAB 2 hari sekali dengan bentuk padat dan berwarna coklat.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
56
Pada pemantauan hari ke-7 pasien sesak kembali dengan pernapasan 50 x/menit, hari ke-8 saat divisit pagi hari pernapasan 40x/menit, namun siang harinya pasien menjadi sesak sekali hingga 60 x/menit, tekanan darah menurun hingga dilakukan resusitasi jantung paru namun tidak berhasil. Pasien dinyatakan meninggal dunia di hadapan keluarga. Pemeriksaan laboratorium selama delapan hari masa pemantauan, kadar hemoglobin menunjukkan anemia 6,7 mg/dL dan kemudian menjadi 12,6 mg/dL setelah transfusi, kadar leukosit normal pada awal hingga hari ke-4, namun terjadi leukositosis pada hari ke-5. Terdapat hipoalbuminemia 2,8 g/dL, hiponatremia 132 mmol/L menjadi 136 mmol/L pada hari ke-5. Pemeriksaan laboratorium lain dalam batas normal. Hasil kultur bronkus yang keluar pada hari ke-7 adalah positif Pseudomonas aeruginosa dengan hasil foto toraks kesan perburukan. Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.3 berikut ini
Gambar 3.3. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 1
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi totalnya yaitu 380 kkal pada hari ke-7 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
57
dicapai pada hari ke-4 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 1
3.2. Kasus 2 dengan Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, gizi baik, stunted Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 4 bulan berinisial MF yang dirawat di PICU RSABHK dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien mengalami panas badan tidak terlalu tinggi, naik turun sejak 4 hari SMRS, disertai batuk berdahak dan pilek. Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari SMRS menjadi malas menyusu, muntah 1 x berisi susu. Pasien kemudian dibawa berobat ke poliklinik Aster dan diharuskan untuk rawat inap. Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Sejak usia 1,5 bulan terdapat benjolan di kantung kemaluan sebelah kanan, namun belum direncanakan tindakan operasi. Sejak usia 2 bulan pasien telah didiagnosis adanya kebocoran katup jantung disertai tubuh yang membiru setiap kali menangis. Saat itu telah disarankan untuk dilakukan tindakan operasi, namun karena alasan ekonomi orangtua pasien memutuskan untuk menunda tindakan operasi tersebut. Kebiasaan buang air besar satu kali sehari, lembek berwarna coklat. Pasien merupakan anak pertama, lahir pada usia kehamilan 9 bulan secara normal oleh bidan. Berat badan lahir adalah 3000 gram, dengan panjang badan 47 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
58
cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien tidak mengalami keluhan saat hamil maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilannya, kontrol teratur ke bidan. Usia saat hamil adalah 23 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 55 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan 10 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 55 kg, tinggi badan 157 cm, IMT 22,31 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit adalah miring kiri kanan saat terlentang. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1, Polio 1. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu sebentar-sebentar dan tidak begitu kuat. Setiap kali menyusu sekitar 10 menit, menyusu setiap 2-3 jam. Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2 dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran apatis. Tekanan darah 98/60 mmHg, nadi 142 x permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode SIMV, PEEP 5 dengan frekuensi napas 53 x per menit, suhu 37,3oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik. Mulut terdapat pipa endotrakeal terhubung dengan ventilator. Pemeriksaan thoraks tampak simetris, tampak retraksi dinding dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan kesan batas jantung melebar, bunyi jantung ireguler, terdapat murmur dan gallop negatif, pemeriksaan paru menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang paru, wheezing ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal, supel. Ekstremitas hangat, tidak terdapat oedem, tidak ada sianosis. Genitalia skrotum kanan tampak membesar, BAK menggunakan kateter, BAB 1 x lembek berwarna kecoklatan. Kapasitas fungsional bedridden. Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan panjang badan (PB) 57 cm dan berat badan (BB) 4,8 kg. Berat badan ideal (BBI) menurut kurva CDC adalah 5 kg. LLA yaitu 12,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan lakilaki adalah 13,8 cm), panjang badan dibawah persentil 3 (
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
59
Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi baik dengan stunted. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 11,8 g/dL), Ht 35%, leukosit 8800/µL, trombosit 187000/µL, albumin 3,6 g/dL, globulin 2,5 g/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,3 mg/dL, peningkatan enzim hati (SGOT 88 U/L, SGPT 42 U/L), fungsi ginjal dalam batas normal (ureum 32 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL). Pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia (natrium 132 mmol/L), kalium 5,8 mmol/L, klorida 104 mmol/L, glukosa darah 68 mg/dL, GGT (gamma glutamyl transferase) 69 (<50) U/L, ALP (alkali fosfatase) 282 (anak 110-360) U/L. Foto toraks kesan interstitial pneumonia, kardiomegali. Terapi yang didapat adalah midazolam 7 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 282 kkal (protein 4,6 g, lemak 20 g dan KH 35,4 g. 24 jam sebelum sakit adalah 187 kkal (protein 3 g, lemak 13,3 g dan KH 23,5 g. Balans cairan pada pasien ini adalah positif 92 mL (intake 300 mL dan output 208 mL).
Gambar 3.5. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 2
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, hipernatremia, peningkatan enzim hati. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
60
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus White didapatkan 360 kkal dengan faktor stres 1,2 didapatkan kebutuhan energi total 432 kkal. Komposisi yang diberikan protein 12 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25 % (12 g) dan KH 69 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 288 kkal, protein 12 g. (16,6 %), lemak 25% (8 g) dan KH 42 g. Jalur pemberian nutrisi melalui enteral via NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 480 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:125. Setiap hari dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan total. Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 250 ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 100 ml/24 jam. Pasien dipantau selama delapan hari perawatan. Pada Gambar 3.6 disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.
Gambar 3.6. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 2 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
61
Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.6. Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-4 adalah 147,5 mmHg, sehingga pasien masuk dalam kondisi ARDS. Pada hari ke-5 suhu tubuh naik. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat masuk masih ada, sempat membaik pada hari ke-7 namun sesak lagi pada hari ke-8. Selama perawatan pasien menggunakan ventilator dengan fraksi O2 yang bervariasi. Pasien sempat gelisah dan disertai pernapasan cuping hidung pada hari ke-8. Kondisi pasien mengalami perburukan dan meninggal dunia pada hari ke-8. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru tampak retraksi minimal dan ronkhi di kedua lapang paru yang tetap ada hingga akhir pemantauan. Pada pemeriksaan jantung terdapat murmur hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pasien BAB 1-2 hari sekali dengan bentuk padat dan berwarna coklat. Pemeriksaan laboratorium selama delapan hari masa pemantauan, kadar hemoglobin menunjukkan anemia 8,6 mg/dL dan kemudian menjadi 11,6 mg/dL setelah transfusi, kadar leukosit normal pada awal hingga hari ke-5, namun terjadi leukositosis pada hari ke-7. Terdapat hiponatremia 133 mmol/L menjadi 135 mmol/L pada hari ke-8. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan selama pemantauan adalah kultur darah dengan hasil S.epidermidis (+) dan kultur bronkus dengan hasil Pseudomonas aeruginosa (+). Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 2 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
62
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan gastrointestinalnya. Pasien baru dapat mencapai kebutuhan energi basalnya yaitu 360 kkal pada hari ke-8 pemantauan, kebutuhan energi total belum dapat tercapai. Sedangkan kebutuhan protein total yaitu 12 g dicapai pada hari ke-8 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.8.berikut ini.
Gambar 3.8. Analisis asupan protein selama pemantauan
3.3. Kasus 3 Pneumonia berat, HRB (Hiperreaktif bronkus), suspek penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, dekstrokardia, gizi baik Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 3 bulan berinisial NC yang dirawat di PICU RSABHK dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien mengalami batuk berdahak dan pilek sejak 2 hari SMRS. Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari SMRS menjadi malas menyusu. Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Sejak lahir kuku jari tangan sering biru, daerah sekitar bibir sering kebiruan terutama jika menangis, pasien belum berobat karena keluhannya ini. Pasien merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, lahir pada usia kehamilan 9 bulan secara normal oleh bidan. Berat badan lahir adalah 3150 gram, dengan panjang badan 48 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien pernah mengalami keluar flek saat hamil 5 bulan, kontrol ke bidan dikatakan harus istirahat selama satu minggu, tidak ada keluhan lain saat hamil maupun minum Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
63
obat-obatan tertentu pada saat kehamilan. Usia saat hamil adalah 30 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 52 kg, kenaikan berat badan sampai melahirkan 12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 60 kg, tinggi badan 154 cm, IMT 25,3 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah dapat mengangkat kepala saat telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B, Polio, dan DPT masing-masing 1 kali. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, menyusu tidak begitu kuat dan sebentar-sebentar menurut ibu pasien. Setiap kali menyusu sekitar 15 menit dan menyusu tiap 2-3 jam. Kedua kakak pasien sehat, berumur 5 tahun dan 3 tahun. Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 2 dan perawatan PICU hari ke 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 101/49 mmHg, nadi 155 x per menit, napas spontan dengan frekuensi napas 44 x per menit, suhu 36,2 oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik, terpasang nasal kanul dengan O2 3 liter/menit, tidak terdapat pernapasan cuping hidung. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada mulut terdapat sianosis perioral. Pemeriksaan thoraks tampak simetris, tampak retraksi dinding dada minimal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung ireguler, murmur ada dan gallop tidak ada, pemeriksaan paru menunjukkan suara napas vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang paru, wheezing tidak ada. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal, supel. Ekstremitas atas bawah dingin, tampak sianotik, capillary refill time >2 detik, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK menggunakan kateter, BAB belum sejak 2 hari. Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan panjang badan (PB) 58 cm dan berat badan (BB) 5,3 kg. Berat badan ideal (BBI) menurut kurva CDC adalah 5,4 kg. LLA yaitu 13,1 cm (LLA P50 usia 3 bulan perempuan adalah 13 cm), panjang badan termasuk persentil 25 (P25). Penentuan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 98,1 % kesan gizi baik, berdasarkan perbandingan lingkar lengan atas dengan lingkar lengan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
64
standar baku sesuai usia adalah 100%. Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi baik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto toraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium Hb 15,1 g/dL, Ht 45%, leukositosis (leukosit 25400/µL), trombosit (trombosit 420000/µL), C-reactive protein 1,0 mg/dL, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin indirek 0,4 mg/dL, SGOT 32 U/L, SGPT 24 U/L, PT 14,2 detik, APTT 44,5 detik, glukosa darah 270 mg/dL Pemeriksaan elektrolit natrium 137 mmol/L, kalium 5,2 mmol/L, klorida 105 mmol/L, kalsium 11 mg/dL. Pemeriksaan analisis gas darah pH 7,32, PCO 2 34, PO2 39, BE -6,2, HCO3 18, Saturasi O2 68%, kesan asidosis metabolik. Foto thoraks kesan pneumonia berat, dekstrokardia. Terapi yang didapat adalah Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 1,5 ml p.o. Pasien mendapatkan infus KaEN 3A 10 x 20 ml. Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 254 kkal (protein 4,1 g, lemak 18 g dan KH 32 g dan analisis asupan 10 jam terakhir adalah 21,6 kkal (protein 0 g, lemak 0 g dan KH 5,4 g. Balans cairan pada pasien ini adalah 45 mL (intake 200 mL dan output 155 mL)
Gambar 3.9. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 3
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, asidosis metabolik, status gizi baik.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
65
Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schofield (BB-TB) didapat 266 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total 345 kkal. Komposisi yang diberikan protein 13,25 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25% (9,6 g) dan KH 52 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 210 kkal, protein 10,5 g (20 %), lemak 25 % (5,8 g) dan KH 30 g. Jalur pemberian nutrisi melalui enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 530 mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC adalah 1 : 100. Setiap hari dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan total. Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan asam amino 5 % pediatri sebanyak 120 ml/24 jam. Pasien dipantau selama sembilan hari. Pada Gambar 3.10 disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.
Gambar 3.10. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 3 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
66
Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.10. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat masuk membaik, suhu tubuh masih dalam batas normal. Selama perawatan pasien dapat bernapas spontan, menggunakan nasal kanul dari awal hingga akhir pemantauan. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru tampak retraksi minimal dan ronkhi di kedua lapang paru yang tetap ada hingga akhir pemantauan. Pada pemeriksaan jantung terdapat murmur hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pasien BAB 1-2 hari sekali dengan konsistensi lembek dan berwarna coklat. Pemeriksaan laboratorium selama sembilan hari masa pemantauan, terdapat leukositosis saat awal masuk kemudian membaik pada hari ke-5 pemantauan. Terdapat hiponatremia 131 mmol/L menjadi 132 mmol/L pada hari ke-5 dan 134 mmol/L pada hari ke-6. Pemeriksaan laboratorium lain dalam batas normal. Kondisi pasien membaik dan direncanakan pindah ke ruang perawatan pada hari ke-9 pemantauan. Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 3
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
67
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 345 kkal pada hari ke-5 pemantauan, dan dipertahankan asupannya hingga hari ke-9 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari ke-6 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 3
3.4. Kasus 4 Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, gizi buruk Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 4 bulan berinisial AS yang dirawat di PICU RSABHK dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Awalnya pasien batuk berdahak disertai lendir dan juga pilek selama 3 hari. Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari SMRS menjadi malas menyusu. Pasien dirujuk dari RSAL M, pasien sempat mengalami henti napas saat perawatan, telah terpasang pipa saluran napas (pipa endotrakeal/ETT), Pasien merupakan anak pertama, lahir pada usia kehamilan 9 bulan secara normal oleh dokter spesialis kandungan. Berat badan lahir adalah 2900 gram, dengan panjang badan 47 cm, pasien langsung menangis. Ibu pasien kontrol teratur ke dokter spesialis kandungan, tidak ada keluhan saat hamil maupun minum obat-obatan tertentu pada saat kehamilan. Usia saat hamil adalah 27 tahun, berat badan ibu sebelum hamil adalah 59 kg, kenaikan berat badan sampai Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
68
melahirkan yaitu 12 kg. Berat badan ibu sekarang adalah 65 kg, tinggi badan 160 cm, IMT 25,3 kg/m2. Perkembangan pasien sebelum sakit sudah bisa mengangkat kepala saat telungkup. Imunisasi yang sudah didapat adalah Hepatitis B 1, 2, Polio 1, 2, DPT 1, 2. Sejak lahir pasien diberi ASI saja, Menyusu sebentar-sebentar menurut ibu pasien, sekitar 5-10 menit tiap kali menyusu, dan sering muntah setelah selesai menyusu. Saat dilakukan pemeriksaan pasien telah menjalani perawatan RS hari ke 1 dan perawatan PICU hari ke 1. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran somnolen. Tekanan darah 98/64 mmHg, nadi 171 x permenit, napas menggunakan ventilator dengan mode PSIMV, PEEP 5 dan FiO2 40%, frekuensi napas 54 x per menit, suhu 36,6o C. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubun-ubun tidak cekung, pupil bulat isokor. Pada hidung terpasang pipa nasogastrik, tidak ada aliran balik, tidak terdapat pernapasan cuping hidung. Pada mulut terdapat pipa endotrakeal tersambung dengan ventilator. Pemeriksaan toraks tampak simetris, tampak iga gambang, terdapat retraksi suprasternal, interkostal, pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung III reguler, tanpa murmur dan gallop, pemeriksaan paru menunjukkan adanya stridor saat inspirasi, terdapat ronkhi di kedua lapang paru, wheezing tidak ada. Abdomen tampak cekung, bising usus dalam batas normal, supel. Ekstremitas tampak subcutan fat loss, hangat, capillary refill time <2 detik, tidak terdapat oedem. Genitalia tidak ada kelainan, BAK menggunakan kateter, BAB padat 1 x berwarna coklat. Kapasitas fungsional bedridden. Status gizi pasien terlihat dalam pemeriksaan antropometri, didapatkan panjang badan (PB) 60 cm dan berat badan (BB) 4 kg. Berat badan ideal (BBI) menurut kurva CDC) adalah 5,8 kg. LLA yaitu 10,5 cm (LLA P50 usia 4 bulan perempuan adalah 13,4 cm), panjang badan menurut umur termasuk persentil 25 (P25) masih termasuk normal. Penentuan status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 68% kesan gizi buruk. Berdasarkan klinis, BB/TB dan lingkar lengan atas dapat disimpulkan pasien mempunyai status gizi buruk. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan foto thoraks. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat anemia (Hb 10,7 g/dL), Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
69
Ht 31%, leukositosis (leukosit 26600/µL), kenaikan enzim hati (SGOT 94 U/L, SGPT 44 U/L), glukosa darah 94 mg/dL Pemeriksaan elektrolit natrium 137 mmol/L, kalium 4 mmol/L, klorida 110 mmol/L, hipokalsemia (kalsium 7,9 mg/dL). Pemeriksaan analisis gas darah pH 7,49, PCO2 25, PO2 24 , HCO3 23, BE -2, Saturasi O2 99% (kesan : alkalosis respiratorik). Foto toraks terdapat infiltrat di kedua lapang paru, kesan pneumonia lobaris. Terapi yang didapat adalah Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v, inhalasi Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari. Pasien mendapat infus Kaen 3B 200 ml. Analisis asupan yang didapat sebelum sakit 282 kkal (protein 4,6 g, lemak 20 g dan KH 35,4 g dan 24 jam terakhir adalah 21,6 kkal (protein 0 g, lemak 0 g dan KH 5,4 g. Balans cairan pada pasien ini adalah 40 mL (intake 340 mL dan output 300 mL)
Gambar 3.13. Analisis asupan sebelum sakit dan 24 jam terakhir kasus 4
Diagnosis pada pasien ini adalah pneumonia berat, laringomalasia, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik. Rencana pemberian nutrisi secara bertahap dengan menilai klinis dan toleransi asupan pasien. Perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus White didapat 303 kkal dengan faktor stres 1,3 didapat kebutuhan energi total 393 kkal. Komposisi yang diberikan protein 10 g (2,5 g/kg BB/hari), lemak 25 % (11 g) dan KH 63 g. Pemberian dimulai dari 80% kebutuhan basal 242 kkal, protein 10 g (16%), lemak 25 % (6,7 g) dan KH 35 g. Jalur pemberian nutrisi melalui enteral melalui NGT dan parenteral. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 400 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
70
mL/hari. Rasio perbandingan N : NPC sama dengan 1:126. Setiap hari dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis, toleransi gastrointestinal dan analisis asupan pasien. Pemberian nutrisi akan ditingkatkan 10-20% sampai mencapai kebutuhan total. Jalur pemberian melalui rute enteral dan parenteral. Nutrisi enteral melalui NGT menggunakan formula semi elemental dengan pemberian 8 x 30 ml/24 jam dengan tetesan lambat. Nutrisi parenteral dengan dekstrosa 10% sebanyak 110 ml/24 jam dan asam amino 5 % pediatri sebanyak 100 ml/24 jam. Pasien dipantau selama sebelas hari. Pada Gambar 3.10 disajikan pemantauan tanda-tanda vital pada pasien selama perawatan. Pengambilan data tanda-tanda vital selalu dilakukan pada waktu yang sama yaitu pagi hari.
Gambar 3.14. Pemantauan tanda vital selama perawatan kasus 4
Selama pemantauan kondisi pasien tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen, dengan fluktuasi tanda vital, seperti tergambar dalam Gambar 3.14. Rasio PaO2/FiO2 pada hari ke-1 adalah 60 mmHg, sehingga pasien masuk dalam kondisi ARDS. Tekanan darah baik sistolik maupun diastolik cenderung turun hingga akhir pemantauan. Kondisi sesak yang merupakan keluhan utama saat Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
71
masuk masih ada, sempat membaik pada hari ke-4 namun sesak lagi pada hari ke5 hingga akhir pemantauan, suhu tubuh naik pada hari ke-8. Selama perawatan pasien menggunakan ventilator dan di hari ke-4 pasien sudah bisa weaning dari ventilator dan bernapas spontan, pasien mengalami kondisi ARDS perbaikan. Selama perawatan pasien menggunakan NGT, tidak pernah terdapat aliran balik. Pada pemeriksaan paru tampak retraksi suprasternal dan interkostal selama perawatan, terdapat ronkhi di kedua lapang paru dan stridor insprasi yang tetap ada hingga akhir pemantauan. Abdomen tidak ada kelainan selama pemantauan. Pasien BAB 1-2 hari sekali dengan bentuk lembek hingga padat dan berwarna coklat. Pemeriksaan laboratorium selama sebelas hari masa pemantauan, kadar hemoglobin menunjukkan 10,7 mg/dL pada awal masuk menjadi 9,6 mg/dL dan kemudian menjadi 10,6 mg/dL, kadar leukosit tinggi pada saat masuk namun kembali normal pada pemantauan hari ke-4. Terdapat hipokalemia dan hipoalbuminemia. Kondisi pasien membaik dan direncanakan pindah ke ruang perawatan pada hari ke-11 pemantauan. Analisis asupan energi selama pemantauan tampak pada Gambar 3.15.
Gambar 3.15. Analisis asupan energi selama pemantauan kasus 4
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
72
Pada awal pemantauan asupan diberikan mulai dari 80% kebutuhan basal, dan dinaikkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis, toleransi asupan dan gastrointestinalnya. Pasien dapat mencapai kebutuhan energi total yaitu 393 kkal pada hari ke-11 pemantauan. Sedangkan kebutuhan protein total dicapai pada hari ke-7 pemantauan. Analisis asupan protein selama pemantauan tampak pada Gambar 3.16 berikut ini.
Gambar 3.16. Analisis asupan protein selama pemantauan kasus 4
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
73
BAB 4 PEMBAHASAN
Serial kasus ini membahas empat buah kasus pasien anak yang didiagnosis sebagai pneumonia berat dengan berbagai penyebab, penyakit penyerta, dan kondisi. Tabel dibawah ini memperlihatkan karakteristik empat kasus tersebut.
Tabel 4.1. Karakteristik pasien Kasus 1
2
3 4
Diagnosis Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS Pneumonia berat, VSD, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS Pneumonia berat, PJB sianotik Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS
Usia (bulan) 4,5
Lahir Prematur
Jenis kelamin Laki-laki
PB (cm) 55
BB (kg) 4,7
Status gizi Kurang
4
Cukup bulan
Laki-laki
57
4,8
Baik, stunted
3
Cukup bulan
Perempuan
58
5,3
Baik
4
Cukup bulan
Perempuan
60
4
Buruk
Pada keempat kasus, semua pasien berusia antara 3-4,5 bulan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbanding 1:1. Angka kejadian pneumonia tinggi pada anak dan balita, namun tidak dirinci pada usia berapa pneumonia berat dapat terjadi. Tidak ada kepustakaan yang menyebutkan hubungan antara jenis kelamin dengan angka kejadian pneumonia berat. Keempat pasien masuk kriteria pneumonia berat karena terdapat pernapasan cepat lebih dari 50x/menit dan terdapat penarikan dinding dada. Keempat pasien adalah pasien PICU yang berisiko malnutrisi sehingga harus dilakukan skrining nutrisi. Identifikasi dini terhadap risiko malnutrisi sangat penting dilakukan dan terdapat banyak form skrining nutrisi yang dapat digunakan. Setiap skrining mempunyai tujuan, aplikasi dan proses yang berbedabeda. Namun belum terdapat konsensus untuk skrining awal yang ideal dalam menilai anak yang berisiko mengalami malnutrisi pada masa perawatan rumah sakit dan akan mendapat manfaat dari dukungan nutrisi yang diberikan. 64 Terdapat enam buah skrining nutrisi untuk pasien anak yang dirawat di rumah sakit yaitu Nutrition Risk Score (NRS), Pediatric Nutrition Risk Score Universitas Indonesia
72
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
74
(PNRS), Screening Tool for the Assessment of Malnutrition in Paediatrics (STAMP), Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA), Pediatric Yorkhill Malnutrition Score (PYMS) dan Screening Tool for Risk Of impaired Nutritional Status and Growth (STRONGkids). Semua skrining menggunakan sistem skoring untuk membagi risiko malnutrisi kedalam tiga kelompok yaitu malnutrisi ringan, sedang dan berat.64 Tujuan dari keenam skrining nutrisi pediatri tersebut yaitu untuk mengidentifikasi anak-anak pada awal perawatan rumah sakit terhadap risiko terjadinya malnutrisi dan kebutuhan akan dukungan nutrisi selama perawatan tersebut. STRONG merupakan skrining yang paling praktis, mudah digunakan dan dapat dipercaya untuk menilai risiko malnutrisi. Sedangkan PYMS merupakan skrining yang praktis untuk menilai risiko malnutrisi dan status nutrisi pada saat ini.64 Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia belum ada kriteria yang ideal untuk mendiagnosis malnutrisi rumah sakit maka penting untuk mengenali kasus neonatus, bayi, dan anak yang memiliki risiko masalah nutrisi, yaitu salah satu di bawah ini: 65 Berat badan lahir sangat rendah (<1500 gram) atau berat badan lahir rendah (<2500 gram), dengan atau tanpa kelainan gastrointestinal, paruparu ataupun jantung. Berat badan lahir kurang dari 2 standar deviasi di bawah rata-rata usia kehamilan, dilihat dari fetal weight curve. Kehilangan secara akut 10% berat badan atau lebih, bukan karena dehidrasi atau hilangnya edema. Berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) kurang dari persentil ke 10 atau lebih dari persentil ke 90. Meningkatnya kebutuhan metabolik Terdapat gangguan dalam kemampuan makan melalui oral. Riwayat kekurangan makan atau nutrien yang tidak adekuat Pertambahan berat badan yang tidak adekuat ataupun penurunan yang signifikan dibandingkan pertumbuhan normal. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
75
Faktor risiko untuk terjadinya pneumonia antara lain status gizi malnutrisi, berat badan lahir rendah, ASI non eksklusif, belum imunisasi campak dalam 12 bulan pertama kehidupan.25 Berikut ini akan dibahas mengenai faktor risiko pada masing-masing pasien. Satu pasien yaitu pada kasus 1 lahir prematur dalam usia kehamilan 30 minggu, dengan berat badan lahir yaitu 1400 gram. Berat badan lahir rendah <2500 g merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia. Pada pasien 1 untuk melihat status gizinya perlu digunakan kurva pertumbuhan khusus oleh Babson Benda dengan menggunakan usia koreksi. Untuk memantau tumbuh kembang bayi prematur terdapat beberapa grafik yang dapat digunakan. Grafik pertumbuhan
berdasarkan
pertumbuhan
intrauterin
lebih
diutamakan
dibanndingkan yang berdasarkan pertumbuhan postnatal karena pola dan laju pertumbuhan
intrauterin yang normal merupakan standar pertumbuhan bagi
prematur. Pengukuran pertumbuhan dicatat berdasarkan umur gestasi yang telah dikoreksi ke awal 12 bulan pertama kehidupan.48 Fenton66, menggabungkan serta mempublikasikan beberapa set grafik pertumbuhan yang meliputi periode intrauterin dan periode postnatal dari minggu ke 22 kehamilan sampai minggu ke 10 setelah lahir. Setelah bayi prematur mencapai umur 40 minggu yang telah dikoreksi untuk umur gestasi, disarankan untuk memonitor pertumbuhan dengan menggunakan grafik pertumbuhan CDC yang baru. Bayi bekas lahir prematur dicatat dan ditelusuri dalam grafik ini berdasarkan umur mereka yang telah dikoreksi dengan umur gestasinya. Pasien kasus 1 lahir dalam usia kehamilan 30 minggu dari yang normalnya 40 minggu, sehingga usia koreksinya adalah dikurangi 10 minggu. Usia saat pemeriksaan adalah 18 minggu sehingga usia setelah dikoreksi adalah 8 minggu. Dalam menentukan status gizi dan kebutuhan energi pasien 1 menggunakan usia koreksi. Status gizi keempat pasien bervariasi dari gizi kurang, gizi baik dengan stunted, gizi baik dan gizi buruk. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
76
ventilasi, respon terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Kondisi malnutrisi jangka panjang dapat mengubah respons imun tubuh dan dapat mengakibatkan infeksi paru kronik atau infeksi paru berulang. 37 Pada keempat pasien ini mendapatkan ASI eksklusif, yaitu hanya minum ASI saja. ASI diberikan on demand yaitu sesuai keinginan bayi. Ibu dari keempat pasien tidak pernah memerah ASInya dan tidak pernah mengetahui berapa jumlah ASI yang dihasilkan, sehingga dalam menentukan analisis asupan sebelum sakit baik itu jumlah maupun komposisinya melalui perkiraan sesuai kepustakaan yang didapat. Pada umumnya, komposisi ASI bervariasi selama periode laktasi. Produksi ASI yang pertama yaitu kolostrum yang diproduksi sejak lahir hingga 5 hari postpartum. Kolostrum mengandung rendah lemak tinggi protein dan kaya akan komponen imunoprotektif. Produksi ASI berikutnya adalah ASI transisional, diproduksi selama sekitar 9 hari. Biasanya dalam 15 hari postpartum sudah diproduksi ASI matur dan komposisinya relatif stabil hingga saat penyapihan (weaning). Saat weaning terdapat perubahan pada konsentrasi protein, laktosa, klorida dan natrium ketika volume ASI berkurang hingga 400 ml/hari. Kara dkk67 melaporkan bahwa seng, kalsium dan vitamin B6 dan C cenderung berkurang antara 7 dan 25 bulan postpartum, sedangkan konsentrasi folat tetap stabil dan konsentrasi magnesium menurun setelah 18 bulan laktasi. Komposisi ASI akan berubah dalam tiap saat menyusu, ASI awal (foremilk) yang dihasilkan oleh kelenjar mammae mengandung rendah lemak, sedangkan ASI akhir (hindmilk) mengandung tinggi lemak. Kandungan lemak dalam hindmilk sekitar dua hingga tiga kali lipat dari foremilk, dan mengandung 25-35 kkal/100ml. ASI matur mengandung hampir 88% air dengan osmolaritas 286 mOsm/L. ASI mengandung karbohidrat 70 g/L, lemak 40 g/L, protein 10 g/L, dan mineral 2 g/L. ASI mengandung sekitar 650 hingga 700 kkal/L.67 Komposisi ASI tidak konstan dan tidak sama dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh tahap laktasi, ras, nutrisi ibu dan keadaan gizi ibu.68 Komposisi ASI dapat dilihat dalam tabel 4.2 berikut ini
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
77
Tabel 4.2. Komposisi energi dan makronutrien dalam ASI matur Komposisi Jumlah /liter Energi 677 kkal Total karbohidrat 70-85 g Laktosa 60-70 g Oligosakarida 5-15 g Glukosa 0,2-0,3 g Total Lemak 35-48 g Trigliserida 34-47 g Asam lemak 30-42 g Kolesterol 0,1-0,2 g Kolesteril ester 0,01 g Fosfolipid 0,25-0,3 g Total protein 8-11 g Kasein 3-5 g Whey 5-6 g Sumber : Daftar referensi no 67
Volume ASI yang diproduksi bervariasi berdasarkan masa laktogenesis. Rerata volume produksi ASI pada ibu dengan status gizi baik yang menyusui bayinya secara eksklusif adalah 681 ml/hari dalam bulan pertama kelahiran, 724 ml/hari pada bulan 1-2, 752 ml/hari pada bulan 2-3, 833 ml/hari pada bulan 3-4, 856 ml/hari pada bulan 4-5 dan 925 ml/hari pada bulan 5-6.69 Dari kepustakaan tersebut, dapat diperkirakan jumlah/volume ASI yang diminum pasien, dengan mempertimbangkan kemampuan menyusu dan penyakit yang mendasari, serta status gizi ibu pasien. Ibu pasien dari kasus 1 hingga 4 berturut-turut mempunyai IMT 20,81 kg/m2, 22,31 kg/m2, 25,3 kg/m2, dan 25,3 kg/m2, yaitu status gizinya baik hingga obes sehingga diperkirakan dapat memproduksi ASI dengan baik. Pada semua pasien terdapat kemampuan menyusu yang sebentar-sebentar sekitar 10-15 menit dari waktu normal menyusu yaitu 2030 menit. Sehingga diperkirakan jumlah ASI yang diminum adalah setengah dari jumlah kepustakaan. Terlihat bahwa ternyata asupan pasien hanya setengah dari kebutuhan totalnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak pada kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan juga pada bronkiolus respiratori, alveoli dan kapiler.14 Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidensi pneumonia. Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang anak yang belum mendapat imunisasi campak dan DPT. Pneumonia yang Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
78
disebabkan oleh Haemophillus influenzae dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Hib. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.2 Keempat pasien berusia antara 3 hingga 4,5 bulan dimana imunisasi campak belum didapat, karena imunisasi campak baru diberikan pada usia 9 bulan. Semua pasien sudah mendapatkan imunisasi DPT namun belum tuntas, baru 1 atau 2 kali dari total 3 kali. Hal ini juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya pneumonia pada pasien-pasien ini. Semua pasien didiagnosis dengan pneumonia berat dimana keluhan utama pada semua pasien adalah sama yaitu sesak napas yang semakin berat, dan menjadi malas menyusu. Pada pemeriksaan fisik terdapat pernapasan cepat lebih dari 50x/menit, terdapat retraksi sela iga, suprasternal, dan adanya ronkhi di kedua lapang paru. Kasus dalam laporan ini mempunyai penyakit penyerta yang berbedabeda, pada kasus 1 adalah hernia diafragmatika. Hernia diafragmatika adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan adanya defek yang abnormal pada diafragma akibat penyatuan yang tidak sempurna dari struktur-struktur diafragma selama perkembangan janin. Pada hernia diafragmatika, defek yang terbentuk pada diafragma tersebut membuat organ-organ abdomen dapat memasuki rongga thoraks, dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang berat, sianosis, takikardi dan takipnea saat bayi lahir.70 Ada dua tipe hernia diafragmatika yang utama, tergantung pada letak defeknya. Hernia Bochdalek ditandai dengan defek di posterior diafragma, yang membuat organ-organ, seperti lambung, usus halus, hati dan limpa bergerak ke atas masuk ke rongga thoraks. Hernia Morgagni ditandai dengan defek di anterior diafragma, yang membuat organ-organ, seperti hati dan usus halus dapat memasuki rongga dada. Hernia diafragmatika adalah kondisi yang mengancam jiwa, membutuhkan perawatan secepatnya karena mengganggu gerakan pernafasan normal, mengurangi suplai oksigen dan menyebabkan kematian pada bayi. Pada bayi-bayi seperti ini biasanya dipasang ventilator mekanik untuk Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
79
membantu pernafasan dan harus menjalani pembedahan untuk memperbaiki diafragma.70 Pada hernia diafragmatika kongenital terjadi kompresi paru intratorakal secara kronis akibat herniasi organ abdominal, mengakibatkan hambatan perkembangan paru yang normal. Hipoplasia pulmonal dan hipertensi pulmonal dapat terjadi, berhubungan dengan tingginya mortalitas pada pasien hernia diafragmatika. Janin dengan hernia diafragmatika mempunyai volume paru ipsilateral dan kontralateral yang lebih kecil dari janin yang normal. Pada janin dengan usia gestasi 26 minggu mempunyai volume paru ipsilateral sekitar 15% dan kontralatral 40% dari volume paru normal pada usia gestasi tersebut.71 Gejalanya berupa retraksi sela iga dan substernal, abdomen kecil dan cekung, suara napas tidak terdengar pada paru karena terdesak isi abdomen, bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi abdomen, terdengar bising usus di daerah thoraks, gangguan pernafasan yang berat, sianosis, takipnea, bentuk dinding thoraks kiri dan kanan asimetris, takikardia.71 Penyakit penyerta pada kasus 2 adalah VSD, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra. Sistem kardiovaskuler dan paru mempunyai hubungan yang sangat erat dalam transport gas pernapasan dan hasil metabolisme ke dan dari jaringan perifer tubuh sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh dan dalam batas fisiologis. Bila ada salah satu kerusakan dari sistem tersebut akan mengganggu sistem yang lain melalui mekanisme mekanik, otonomik dan neurohumoral.72 Penyakit VSD merupakan salah satu jenis PJB yang sering ditemukan, yaitu sekitar 30% dari semua PJB.73 Penutupan septum interventrikel tidak terjadi secara sempurna yang dapat disebabkan karena faktor genetik atau lingkungan. Penutupan septum secara spontan pada pasien VSD dapat terjadi.74 Pirau pada defek septum pada umumnya terjadi dengan arah dari ventrikel kiri ke kanan.73 Gejalanya antara lain penurunan toleransi aktivitas fisik yang pada bayi akan terlihat sebagai tidak mampu mengisap susu dengan kuat dan banyak, cenderung terserang infeksi paru berulang dan mungkin timbul gagal jantung yang biasanya masih dapat diatasi secara medikamentosa.75 Anak dengan VSD dapat diketahui atau tidak diketahui menderita gagal jantung ketika bayi. Rata-rata Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
80
tinggi dan berat badan menunjukkan hasil subnormal pada banyak anak dengan VSD, dengan berat badan yang biasanya lebih terpengaruh daripada tinggi badan.74,75 Kenaikan berat badan tidak memuaskan dan pasien seringkali menderita infeksi paru yang memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh.73 Semua gejala ini tampak pada pasien yaitu kemampuan menyusu yang hanya sebentar-sebentar, riwayat diketahui mengalami kebocoran katup jantung sejak usia 2 bulan. Pasien lahir cukup bulan dengan berat badan 3000 g, status gizi pada saat pemeriksaan adalah 96% menurut BB/TB sehingga termasuk gizi baik, namun PB dibawah P3 sehingga berperawakan pendek (stunted). Anak dengan PJB merupakan kelompok anak yang rawan mengalami gangguan
pertumbuhan.
PJB
adalah
kelainan
struktural
jantung
yang
kemungkinan terjadi sejak lahir atau beberapa waktu setelah bayi dilahirkan.76 Bayi dengan PJB, biasanya lahir berat badan yang normal. Namun, masalah nutrisi dan pertumbuhan sering muncul sangat cepat. Berat badan lebih menunjukkan dampak yang lebih buruk daripada tinggi badan, dan laki-laki memiliki kecenderungan malnutrisi lebih besar daripada perempuan. Perawakan pendek (stunted) lebih sering pada anak di bawah usia 2 tahun (49%) daripada pada anak yang usianya lebih tua (4%).77 Biasanya pasien dengan PJB sianotik mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih parah daripada pasien dengan PJB asianotik.74 Pasien kasus 3 disertai dengan PJB sianotik, walaupun anak dengan PJB yang tidak begitu parah biasanya memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang normal, tetapi dengan adanya penyakit jantung yang dimiliknya mereka memiliki risiko yang besar untuk jatuh dalam keadaan nutrisi buruk, anak dengan PJB sering menunjukkan pencapaian berat badan yang tidak baik dan keterlambatan pertumbuhan. Malnutrisi pada penyakit jantung menyebabkan kegagalan perkembangan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat dan gangguan absorbsi. 78
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
81
Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pertumbuhan pada pasien PJB Peningkatan kebutuhan energi
Peningkatan BMR (karena takipneu dan takikardi) Peningkatan Total Energy Expenditure Peningkatan kebutuhan nutrisi otot-otot jantung dan pernapasan Infeksi Prematuritas
Berkurangnya asupan makanan
Anorexia atau cepat merasa kenyang Disfagia Refluks gastroesofageal
Peningkatan kehilangan nutrisi
Malabsorbsi gastrointestinal Hiperosmolaritas Hambatan aliran vena Enteropati yang menyebabkan kehilangan protein Hilangnya elektrolit dari ginjal
Penggunaan nutrisi yang tidak efisien
Asidosis Hipoksia Peningkatan tekanan pulmonal Berkurangnya cardiac output dan renal blood flow Respon terhadap stress Berkurangnya kapasitas gaster atau ketidakmampuan untuk mentolerir peningkatan volume asupan makanan
Kelainan jantung kongestif
Sumber : daftar referensi no 79
Faktor kardiak sendiri dapat melibatkan beban hemodinamik dengan adanya hubungan yang besar dari jantung kiri ke jantung kanan dan pada PJB. Derajat hipoksia pada pasien dengan PJB sianotik tidak berpengaruh secara nyata pada gangguan pertumbuhan kecuali jika PJB tersebut mengurangi jumlah asupan makanan yang masuk karena hipoksemia menyebabkan kelelahan saat makan. 80 Karakteristik pola pemberian makanan ditemukan pada bayi dengan PJB sianotik yang memiliki hubungan antara jantung kiri ke jantung kanan yang besar dan gagal jantung kongestif. Bayi tersebut tampak kelaparan dan menyusu dengan sangat cepat, kemudian mereka mengalami takipneu dan kelelahan karena menyusu dan kemudian mereka menyusu dengan lambat. Lalu mereka menjadi gampang menangis dan akan menolak untuk menyusu atau tertidur, setelah menyusu seperempat sampai sepertiga dari kebutuhan asupan makanan yang seharusnya. Pola tersebut akan berulang satu atau dua jam setelahnya. Asupan makanan yang tidak adekuat tersebut adalah hasil dari penyakitnya. Dispneu dan takipneu karena PJB, kelelahan karena hipoksia, dan kesulitan menghisap ketika Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
82
bayi tersebut memerlukan kontraksi otot-otot besar untuk bernapas menyebabkan kesulitan untuk memasukkan makanan secara adekuat.80 Asupan
nutrisi
dapat
berkurang
karena
takipneu,
dispneu
dan
meningkatnya kelelahan. Berkurangnya perfusi sistemik pada sirkulasi rongga abdomen dapat membatasi pengosongan lambung, mobilitas intestinal dan penyerapan
nutrisi.
Distres
respirasi
juga
dapat
menyebabkan
refluks
gastroesophageal. Bersamaan dengan berkurangnya asupan makanan, terjadi peningkatan kebutuhan energi karena meningkatnya kerja respirasi dan kerja jantung. Lebih lanjut, peningkatan kecepatan metabolisme basal mengakibatkan rendahnya massa tubuh.76,80 Pada pasien kasus 3 PJB sianotik baru diketahui saat masuk perawatan ICU, belum dilakukan pemeriksaan diagnostik lanjut untuk mengetahui jenisnya. Pasien ini masuk rawat dengan status gizi baik dan dapat bernapas spontan. Pemberian nutrisi dapat ditoleransi dengan baik, sehingga peningkatan jumlahnya dapat terus diberikan. Pasien kasus 4 disertai dengan laringomalasia, dimana laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas.81 Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi.81,82 Etiologi laringomalasia masih belum diketahui secara pasti. Tetapi karena tingginya insiden gangguan neuromuskuler pada bayi dengan laringomalasia, beberapa peneliti mempercayai bahwa gangguan ini merupakan bentuk hipotonia laring.83,84 Peneliti lain berpendapat bahwa penyakit refluks gastroesofageal yang ditemukan pada 63% bayi dengan laringomalasia, mungkin berperan, karena menyebabkan edema supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga menimbulkan obstruksi nafas.85 Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun.86 Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan.87,88 Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
83
muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh.89 Pada pasien kasus 4 masuk dengan keluhan sesak napas yang semakin berat, malas menyusu, ada periode apnea saat dirawat di RS sebelumnya, sehingga pasien dirawat di ICU. Terdapat riwayat menyusu sebentar-sebentar dan sering muntah setelah minum. Kebiasaan ini menyebabkan kurangnya asupan sehingga menyebabkan gizi buruk yang diderita pasien Pada pemeriksaan tampak iga gambang, adanya stridor inspirasi dan retraksi otot-otot pernapasan. Pasien kasus 1, 2 dan 4 mengalami kondisi ARDS dengan PaO2/FiO2 berturut-turut adalah 111,6 mmHg, 147,5 mmHg dan 60 mmHg. Sehingga perhitungan kebutuhan makronutrien dan mikronutrien disesuaikan dengan kondisi tersebut. Secara umum kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan kondisi sakit kritis, khususnya yang menggunakan ventilator, dimana kebutuhan energi basal menggunakan rumus White dan mengalikan dengan faktor stres. Khusus pada pasien ketiga yang dapat bernapas spontan kebutuhan energi basal dihitung menggunakan rumus Schofield. Penggunaan ventilator dan juga obat-obatan sedasi
akan
menurunkan
energy
expenditure,
sehingga
hal
tersebut
dipertimbangkan dalam menentukan faktor stres. Penentuan kebutuhan protein yaitu sesuai pada kondisi sakit kritis dengan jumlah 2-3g/kgBB, pada keempat pasien direncanakan pemberian protein sebesar 2,5 g/kgBB dengan mempertimbangkan N:NPC sesuai kondisi penyakitnya. Pemberian protein melalui nutrisi enteral berupa formula semi elemental dan karena belum mencukupi kebutuhan totalnya maka ditambah nutrisi parenteral asam amino pediatri 5% untuk menambah asupan. Pemberian lemak melalui nutrisi enteral susu formula semielemental dan sudah dapat mencukupi kebutuhan lemak total, sehingga tidak diperlukan tambahan emulsi lemak intravena. Semua pasien sebelum perawatan meminum ASI, namun setelah masuk rawat ICU orangtua tidak dapat menyediakan ASI, sehingga diganti dengan susu formula. Menurut American Academy of Pediatric ASI merupakan rekomendasi nutrisi utama bagi bayi. ASI mengandung poliamin, nukleotida, asam lemak Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
84
omega 3 dan 6 yang bermanfaat bagi bayi. Namun jika ASI tidak tersedia dapat diganti dengan susu formula berbahan dasar susu sapi atau susu kedelai. Formula berbahan dasar susu sapi mengandung laktosa sebagai sumber karbohidrat utama. Susu kedelai atau formula bebas laktosa dapat diberikan pada bayi dengan intoleransi laktosa. Pada pasien bayi dengan malabsorpsi lemak dapat diberikan formula yang mengandung MCT.35 Pemilihan pemberian formula enteral pada semua pasien karena fungsi saluran gastrointestinalnya masih baik dan untuk mengurangi refluks yang mungkin terjadi dalam pemberian nutrisi enteral, harus diperhatikan posisi kepala yang lebih tinggi pada saat pemberian, nutrisi enteral diberikan dalam drip lambat menggunakan syringe pump atau feeding buret. Pemilihan formula jenis semi elemental pada pasien-pasien ini karena lebih mudah diabsorpsi, lebih tidak membuat alergi, dapat ditoleransi lebih baik pada pasien malabsorpsi. Pasien dikatakan berisiko mengalami malabsorbsi terhadap pemberian nutrisi enteral jika merupakan pasien anak dengan fungsi gastrointestinal yang terganggu, pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit perawatan intensif, pasien yang menjalani operasi abdomen atau reseksi usus, atau salah satu keadaan diatas yang mengalami diare setelah pemberian nutrisi enteral. Proses absorpsi dan keseimbangan nitrogen pada pasien-pasien tersebut akan lebih baik jika diberikan diet dengan formula semi elemental.90 Formula semi elemental memiliki sumber nitrogen yaitu protein yang sudah terhidrolisis menjadi oligopeptida, dipeptida dan tripeptida. Dipeptida dan tripeptida memiliki mekanisme transport yang spesifik dan dapat diabsorpsi lebih efisien dibanding protein utuh. Formula semi elemental juga mengandung kasein dan hidrolisat laktalbumin yang dapat menstimulasi absorpsi air dan elektrolit di jejunum.90 Pada kasus-kasus ini, kebutuhan mikronutrien didapatkan dari vitamin dan elektrolit yang terkandung dalam asam amino 5% dan suplementasi berupa sirup multivitamin. Dalam 1 sendok teh sirup multivitamin mengandung riboflavin 2 mg, piridoksin 5 mg, sianokobalamin 5 mcg, nikotinamid 10 mg, asam folat 15
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
85
mcg, biotin 100 mcg, vitamin E 5 IU, besi 7,5 mg, seng 7,5 mg, magnesium 35 mg, dan selenium 20 mcg. Penggunaan
rutin
imunonutrisi
pada
anak
sakit
kritis
tidak
direkomendasikan. Penggunaan probiotik dapat memberikan keuntungan pada pasien anak melalui efek pada gastrointestinal dan sistem imun dan dapat mempersingkat lama diare akut dan diare karena antibiotik. Pada semua pasien diberikan probiotik dengan preparat yang dalam tiap sachet (1 gram) berisi Lactobacillus acidophillus 340 mg, whey kalsium 20 mg, magnesium stearat 10 mg, niasin 1 mg, seng oksida 1,3 mg, tiamin 0,3 mg, riboflavin 0,3 mg, piridoksin 0,3 mg dan vitamin C 25 mg. Semua pasien mendapatkan midazolam sebagai sedatif selama perawatan di ICU. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah depresi kardiorespiratori, apnea dan henti napas. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan kejadian depresi pernapasan pada pasien tanpa ventilator adalah 0,099 %, dan kejadian ini terjadi pada pemakaian dosis tinggi dari midazolam. Gejala gastrointestinal yang mungkin muncul antara lain mual, muntah yang terjadi pada 3% pasien.91 Pasien kasus 1 dan 2 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftisoksim yang mempunyai efek leukositosis, trombositopenia, peningkatan SGOT/SGPT, alkaline fosfatase atau bilirubin, nyeri perut, diare berat dengan lendir atau darah dalam feses, mual, muntah, stomatitis, dan nyeri kepala Pasien juga mendapat antibiotik oral yaitu klaritomisin yang mempunyai efek samping diare, mual, nyeri perut, rasa yang abnormal, dispepsia dan sakit kepala. Antibiotik tersebut dapat menurunkan absorpsi vitamin K.92 Pasien kasus 3 dan 4 mendapatkan terapi antibiotik berupa seftriakson yang merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga, bersifat spektrum luas, memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif, gram positif (efektifitas rendah). Aktivitas bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding bakteri dan mengintervensi sintesis peptidoglikan, yang merupakan komponen utama dinding sel bakteri. Obat ini berikatan dengan protein sebanyak 85-95%, dimetabolisme di hati dan diekskresikan di urine sebesar 33-65%. Antibiotik golongan sefalosporin dapat berefek deplesi bakteri normal usus, menurunkan absorpsi vitamin B1, B2, Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
86
B3, B6, B12, K, asam folat, biotin dan inositol.
93
Semua pasien mendapatkan
dexamethasone yang merupakan glukokortikoid yang dapat menurunkan kadar kalsium, kalium dan magnesium dalam darah.94 Pada pemeriksaan laboratorium selama pemantauan kasus 1, 2 dan 4 terdapat anemia, pada kasus 1 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 6,7g/dl pada hari keempat perawatan, pada kasus 2 dari Hb awal 11,8g/dl menjadi 8,6 g/dl pada hari kelima perawatan dan pada kasus 4 dari Hb awal 10,7 menjadi 9,6g/dl pada hari keempat perawatan. Anemia didefinisikan sebagai keadaan kurangnya jumlah atau ukuran dari sel darah merah/eritrosit dan atau jumlah hemoglobin (Hb) yang dikandung per 100 ml darah di bawah nilai normal. Berdasarkan WHO, anemia pada anak usia 659 bulan bila kadar Hb <11 g/dl dan atau jumlah eritrosit <3,9 juta sel/mm3. Sedangkan anak usia 5-11 tahun dikatakan anemia jika kadar Hb <11,5 g/dl dan atau jumlah eritrosit <4 juta sel/mm3.95 Pada pasien penyakit paru ada dua kemungkinan penyebab anemia yaitu anemia sudah ada sebelum infeksi paru terjadi atau anemia terjadi akibat penyakit infeksi parunya tersebut. Pada kondisi yang pertama anemia sudah ada sebelum infeksi paru terjadi. Anemia dalam keadaan ini disebabkan berbagai hal, seperti perdarahan aktif sehingga tubuh terus menerus kehilangan darah (misalnya karena perdarahan lambung kronik dan infeksi cacing),96 gizi buruk/malnutrisi akibat kurangnya asupan sehingga terjadi kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk produksi protein hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya zat besi, kobalamin dan asam folat),97 variasi/kelainan genetik sehingga terjadi kelainan pembentukan dan/atau penghancuran hemoglobin dan/atau eritrosit (misalnya defisiensi G6PD, thalassemia, hemofilia dan kelainan sel sabit),98 atau kombinasi dari berbagai penyebab di atas. Selanjutnya anemia akan meningkatkan risiko seseorang menderita infeksi paru seperti pneumonia dan tuberkulosis.99, 100 Pada kondisi yang kedua yaitu anemia akibat infeksi paru itu sendiri. Infeksi paru, terutama disebabkan oleh bakteri dapat mengganggu metabolisme zat besi tubuh karena zat besi merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan bakteri
untuk tumbuh kembang.101 Situasi ini secara tidak langsung akan Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
87
mengganggu metabolisme zat besi dalam rangka membentuk hemoglobin sehingga terjadi anemia terutama anemia pada penyakit kronik (anemia of chronic disease) atau kini lazim disebut anemia pada keadaan inflamasi (anemia of inflammatory response).102 Pada serial kasus ini kondisi anemia pada pasien disebabkan status gizi malnutrisi akibat kurangnya asupan dan karena infeksi bakteri yang terjadi. Sebaiknya sebelum seorang penderita infeksi paru dengan anemia mendapatkan suplemen zat besi, perlu diketahui bagaimana status zat besi tubuh sehingga tidak terjadi iron overload pada saat diberikan suplemen zat besi. Status zat besi pada infeksi paru dengan anemia dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium darah seperti kadar besi serum, total iron binding capacity (TIBC), kadar transferin serum, saturasi transferin, ferritin. Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan pada keempat pasien. Kondisi terakhir pada pasien kasus 1 yaitu meninggal dunia. Pemberian nutrisi dapat diberikan bertahap hingga mencapai kebutuhan totalnya, namun perjalanan penyakit dengan faktor risiko prematuritas dan gizi kurang memperberat penyakitnya sehingga masuk ke dalam kondisi ARDS hingga akhirnya meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa anak dengan gizi kurang yang menderita ARDS prognosisnya adalah buruk. Pada pasien kasus 2 kondisi terakhirnya adalah meninggal dunia. Pasien dengan VSD, kardiomegali, gizi baik namun stunted (perawakan pendek). Nutrisi dapat diberikan bertahap hingga mencapai kebutuhan basalnya, namun perjalanan penyakit yang semakin berat hingga masuk ke dalam kondisi ARDS membuat pasien meninggal dunia. Hal ini terbukti dengan hasil kultur bronkus yaitu ditemukan Pseudomonas aeruginosa dengan prognosis yang buruk. Pasien kasus 3 yang dari awal perawatan bernapas spontan dapat pindah ke ruang rawat dengan pemberian nutrisi sudah mencapai kebutuhan totalnya. Keluarga pasien diberikan edukasi dalam memberikan nutrisi enteral sehingga dapat meneruskannya di rumah apabila sudah diperbolehkan pulang. Pasien kasus 4 mengalami perbaikan kondisi ARDS dan dapat bernapas spontan di hari keempat dan kemudian dapat pindah ke ruang rawat. Pemberian nutrisi dapat diberikan hingga tercapai Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
88
kebutuhan totalnya. Keluarga pasien diberikan edukasi dalam memberikan nutrisi enteral sehingga dapat meneruskannya di rumah apabila sudah diperbolehkan pulang.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
89
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan paparan keempat kasus di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Semua pasien yang terdapat pada serial kasus ini, mengalami pneumonia berat dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan seimbang dan rentang usia 3-4,5 bulan. 2. Proses infeksi, inflamasi dan perubahan metabolik pada pasien, perlu dikelola dengan baik agar dapat mengoptimalkan perbaikan kondisi pasien. 3. Kebutuhan nutrisi pasien anak dengan pneumonia berat sangat bervariasi, sehingga tim dukungan nutrisi perlu menilai dan mengelolanya secara individual sesuai kondisi pasien. 4. Adanya
penyakit
penyerta
seperti
hernia
diafragmatika,
VSD,
kardiomegali, PJB sianotik, laringomalasia, dan status gizi buruk mempengaruhi hasil akhir dari tata laksana pasien anak dengan pneumonia berat. 5. Pasien dengan status gizi kurang dan pasien dengan risiko terjadinya malnutrisi perlu dilakukan skrining menggunakan skrining STRONG atau PYMS khususnya pada populasi ruang PICU. 6. Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, tatalaksana cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi dan edukasi nutrisi. 7. Tatalaksana nutrisi bersifat individual, sehingga perlu dilakukan penilaian status nutrisi dan perhitungan kebutuhan secara individual dengan seksama. 8. Standar baku perhitungan kebutuhan energi pada anak adalah dengan menggunakan kalorimetri indirek, namun apabila tidak tersedia dapat Universitas Indonesia
89 Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
90
digunakan berbagai formula yaitu WHO, Schofield WH dan HarrisBenedict dengan memperhitungkan faktor stres. Diantara ketiga rumus tersebut rumus Schofield WH terbukti paling akurat dalam memperkirakan REE dalam keadaan failure to thrive. Jika anak menggunakan ventilator maka rumus yang digunakan adalah rumus White. Namun kebutuhan ini juga disesuaikan dengan kondisi kinis, hemodinamik, suhu, penggunaan ventilator dan obat-obatan yang digunakan oleh pasien. 9. Perhitungan kebutuhan protein pada anak sakit kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13 tahun sebesar 1,5-2 g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari. 10. Perhitungan kebutuhan lemak pada anak sakit kritis dimulai dari 1 g/kg BB/hari dan dapat ditingkatkan dalam beberapa hari hingga 2-4 g/kg BB/hari dengan memonitor kadar trigliserida darah. Pemberian infus lemak intravena dibatasi maksimal 30-40% dari kalori total. 11. Nutrisi enteral yang diperkaya oleh EPA, GLA dan antioksidan dapat memperbaiki profil asam lemak dan fosfolipid plasma, menurunkan inflamasi dan memperbaiki kondisi klinis pada pasien dewasa. Namun penggunaannya pada pasien anak belum banyak diteliti sehingga belum dapat direkomendasikan. 12. Pemberian mikronutrien perlu dipenuhi melalui bahan makanan sumber, jika tidak dapat terpenuhi, perlu diberikan suplementasi minimal sesuai RDA. Pemberian rutin imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak direkomendasikan. Pemberian probiotik pada anak sakit kritis masih perlu dipertimbangkan, dapat diberikan jika manfaatnya lebih besar daripada efek sampingnya. 13. Nutrisi enteral dini aman diberikan dan dapat ditoleransi pada anak sakit kritis. Pemberian nutrisi enteral pada pasien PICU sebaiknya dilakukan setelah melihat toleransi gastrointestinalnya. Direkomendasikan pada anak sakit kritis tidak dipuasakan lebih dari 24-48 jam. Pemberian nutrisi parenteral pada kasus ini merupakan tambahan karena nutrisi enteral belum mencukupi kebutuhan total pasien. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
91
14. Selama pemantauan, sejalan dengan terapi simtomatik dan dukungan nutrisi yang diberikan, analisis asupan selama perawatan juga mengalami perbaikan, walaupun ada yang belum mencapai kebutuhan totalnya. 15. Tatalaksana nutrisi pada pasien anak dengan pneumonia berat harus dilakukan secara berkesinambungan dan monitoring pasien selama perawatan sangat penting dilakukan. 16. Edukasi pada pasien dan keluarga perlu diberikan ketika pasien akan pulang dari perawatan di RS, agar asupan makanan di rumah dapat memenuhi kebutuhan pasien, sehingga kualitas hidup pasien lebih baik.
5.2. Saran Sesuai dengan kesimpulan, maka kami mengajukan saran sebagai berikut: 1. Perlu adanya skrining gizi untuk mengetahui risiko malnutrisi sebagai prosedur awal pada anak yang dirawat di rumah sakit. 2. Dalam memilih jenis skrining perlu dipertimbangkan tujuan dan aplikasinya. STRONG merupakan skrining yang paling praktis, mudah digunakan dan dapat dipercaya untuk menilai risiko malnutrisi. Sedangkan PYMS merupakan skrining yang praktis untuk menilai risiko malnutrisi dan status nutrisi pada saat ini. 3. Skrining dilakukan pada awal masuk perawatan oleh perawat dan ditatalaksana lebih lanjut sesuai kategori risikonya. 4.
Pemantauan perlu dilakukan setiap minggu selama anak dirawat di rumah sakit.
5. Anak dengan risiko tinggi malnutrisi harus diberikan konseling nutrisi pada saat pulang dari perawatan.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
92
DAFTAR REFERENSI 1. Gessman LM, Rappaport DI. Approach to Community-Acquired Pneumonia in Children. Clinical Review Article. Hospital Physician Sept/Oct 2009, p 1-5. 2. Said M. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG 4. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010. 3. Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010. 4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 5. Brown SM, Dean NC. Defining and predicting severe community-acquired pneumonia. Curr Opin Infect Dis 2010;23:158–164. 6. Restrepo MI, Mortensen EM, Velez JA. A comparative study of communityacquired pneumonia patients admitted to the ward and the ICU. Chest 2008; 133:610–617. 7. Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and hospital costs in patients with ventilatorassociated pneumonia attributed to potentially antibiotic-resistant Gram-negative bacteria. Chest 2008; 134:281– 287. 8. Muscedere JG, Day A, Heyland DK. Mortality, attributable mortality, and clinical events as end points for clinical trials of ventilator-associated pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Clin Infect Dis 2010; 51 (1): 120–125. 9. Torres A, Ewig S, Lode H, Carlet J. European HAP working group. Defining, treating and preventing hospital acquired pneumonia: European perspective. Intensive Care Med 2009; 35:9–29. 10. Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically ill children. Crit Care Med 1981;9:580. 11. Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill children: associations with physiologic instability and increased quantity of care. J Parenter Enteral Nutr 198;9:309 12. Briassoulis G, Venkataraman S, Thomson AE. Energy expenditure in critically ill children. Crit Care Med 2000;28:1166 13. Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 92
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
93
14. Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth : Cangange Learning 2011:648-681. 15. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003 16. Anonymous, diunduh dari www.healthbase.com 17. Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996:597-653. 18. Anonymous, diunduh dari www.nhlbi.nih.gov 19. Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 20. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB Saunders, 2003:1432-5 21. Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F, editor. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia: WB Saunders, 1998:485-503 22. McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Eng J Med 2002;346(6):429-37 23. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children. Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory Medicine. St.Louis:Mosby Inc, 1999:595-664. 24. Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008;29;147. 25. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:408–416. 26. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin N Am 2003;21:437-51. 27. Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendig’s Disorders of ths Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB Saunders, 1998:518-26. 28. Frank G, Shah S. Uncomplicated Pneumonia. Dalam: Shah SS, editor. Pediatric Practice Infectious Diseases. Philadelphia : McGraw-Hill Companies Inc, 2009:298-309. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
94
29. Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and children. Pediatr Crit Care Med 2005;6(suppl):S9-S13. 30. Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14. 31. British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in Childhood. Thorax. 2002; 57 Suppl 1:1-24. 32. Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F, editor. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart : Thieme FlexiBook, 2000:66-91. 33. Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung Injury/Adult Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin Pract. 2011;26:14-25. 34. The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012; 307:2526. 35. Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the pediatric patient with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin N Am. 2004;16:431-443. 36. Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress Syndrome : A Review Article. BJMP 2010;3(2):324. 37. McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the Critically Ill Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405. 38. Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43. 39. Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and Pathophysiology, Thomson Brooks. 2007. 785-9. 40. Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy for metabolic stress: sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krause’s Food and Nutrition therapy. Elsevier. 2008; 1021-41. 41. Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:49-62. 42. Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in Pediatriccs. Ed 4. Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673. 43. Weissmann C. The metabolic response to stress; an overview and update. Anesthesiology. 1990;73:308-27. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
95
44. Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in neonate. Pediatr Surg Int. 1990;5:307-21. 45. Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to injury. Brit Med Bull. 1999;55:181-95. 46. Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr 1980: 33:1140-1146. 47. Sermet-Gaudelus. Simple pediatric nutritional risk score to identify children at risk of malnutrition. Am J Clin Nutr 2000; 72: 64-70. 48. Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34. 49. Cogill B. Anthropometry indicators measurement guide. Food and nutrition technical asisstance. US Agency for international. 2001. 50. Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:36-48. 51. Mehta NM, Chomper C. ASPEN Clinical Guidelines : Nutrition Support of the Critically Ill Child. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2009;33:260-276 52. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R, Parenteral Nutrition Guidelines Working Group. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. Vol 41, Suppl 2, Nov 2005. 53. Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the critically ill patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405. 54. Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC J.Anaesth. 2008;1(2):135-141. 55. Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for sick or injured patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army Medical Center Borden Institute, Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452 56. White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100 ventilated, critically ill children: improving the accuracy of predictive equations. Crit Care Med 2000;28:2307–12. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
96
57. Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and Children. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534 58. Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with acute respiratory distress syndrome. Enteral Nutrition in ARDS Study Group. Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20. 59. Jacobs BR, Nadkarni V, Goldstein B. Nutritional immunomodulation in critically ill children with acute lung injury: feasibility and impact on circulating biomarkers. Pediatr Crit Care Med. 2013 Jan;14(1):e45-56. 60. Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:323 61. Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J Pediatr. 2007 May;83(2):S3-S10. 62. Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact of Enteral Feeding Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a Multicenter Observational Study. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2010;34:67584. 63. Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance of Enteral Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366. 64. Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children : Methodological considerations. Clin Nutr. 2013;1-5 65. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining malnutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit. 2007 66. Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Benda’s chart updated with recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23. 67. Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins, Walker. Nutrition in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton: BC Decker Inc. 2008:342-353 68. Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical profession. Ed 6. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170. 69. Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr Gastroenterol Nutr 3:108. 1984 70. Mei-Zahav M, Solomon M, Trachsel D, Langer JC. Bochdalek diaphragmatic hernia: not only a neonatal disease. Arch Dis Child 2003;88:532–535 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
97
71. Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 27: 551–554. Left and right lung volumes in fetuses with diaphragmatic hernia 72. Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate secondary to bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations. Pediatrics 1998,101:120-134. 73. Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung Bawaan. Dalam : Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar Kardiologi Anak. Jakarta: IDAI; 1994. 74. Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease. Dalam Ekvall SW, editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and Development Disorder Prevention, Assesment and Treatment. Oxford Univesity Press; 1993. 75. Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh dari http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e858 93e6bbb8907f2.pdf. 76. Wisnuwardhana M. Manfaat pemberian diet tambahan terhadap pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung bawaan asianotik [desertasi]. Semarang : Universitas Diponegoro; 2006. 77. Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart Disease : A Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 34853. 78. Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan C.; 2005. Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9. 79. Rosenthal A. Nutritional Considerations in the Prognosis and Treatment of Children with Congenital Heart Disease. Dalam : Suskind RM, Suskind MM, editor. Textbook of Pediatric Nutrition. Ed 2. New York : Raven Press; 1992. 80. Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren. Pediatric Nutrition. Ed 2. 2005. 81. Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders, 2000:1271-2. 82. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
98
83. Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2008; 72: 501-7 84. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope 1999; 109: 1770-5 85. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13 86. Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7 87. Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003:1049-51 88. Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone CD, Stool SE, Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3. Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1. MR. 89. Bye http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.
Laryngomalacia.
90. Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they superior to polymeric formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005; 34:59-72. www.drugs.com/sfx/midazolam-side91. Anonymous, effects.html#oytmbwU5DMP8VCfw.99 92. Anonymous, diunduh dari www.mims.com 93. Anonymous, diunduh dari www.medscape.com 94. Anonymous, diunduh dari http://medicaldictionary.thefreedictionary.com/dexamethasone 95. Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. Dalam: Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications. Ed 3. Canada: BC Decker; 2003:831. 96. Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in lesser developed countries. Anemia. 2011;260380. 97. Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al. Anemia as a risk factor for infectious diseases in infants and toddlers: results from a prospective study. Eur J Epidemiol. 2005;20(3):277-84. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
99
98. Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and pathophysiology of iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15. 99. Harris AM, Sempertegui F, Estrella B, Narvaez X, Egas J, Woodin M, et al. Air pollution and anemia as risk factors for pneumonia in Ecuadorian children: a retrospective cohort analysis. Environ Health. 2011;10:93. 100. Mourad S, Rajab M, Alameddine A, Fares M, Ziade F, Merhi BA. Hemoglobin level as a risk factor for lower respiratory tract infections in Lebanese children. N Am J Med Sci. 2010;2(10):461-6. 101. Niederweis M. Nutrient acquisition by mycobacteria. Microbiology. 2008;154(3):679-92. 102. Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr. 2010;77(7):789-93.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
100
Pemantauan Pasien Kasus 1 Tanggal 08/02/2013 (H+3)
: 107/48 mmHg : 173x/menit : 46 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 80%) S : 36,5 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 10/02/2013 (H+5) BAB (-), pasca transfusi PRC 55 ml Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 130/84 mmHg HR : 158x/menit R : 30 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 50%) S : 36,2 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : pasca transfusi timbul ruam kemerahan di tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin CRT > 3”, tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2” Kapasitas fungsional: bedridden Laboratorium: Hb 12,6, Ht 37, Leu 28300, Tr 285000, GDS 96, Alb 2,8, Glob 2,6, Bil direk 0,2, Bil indirek 0,6, Na 136, K 4,6, Cl 106, Ca 10,3, LED 6, CRP 6,7, PT 13,1, APTT 34,6 Analisis Asupan : Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g) Pregestimil 8 x 45 276 6,8 13,7 24,8 Dekstrosa10% 24 x4 32,6 9,6 Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 Total 552 337,4 14 13,7 34,4 - Intake : 594,5 mL - Output : 545 mL - Balans cairan : - 49,5 mL
Laboratorium : Na 132, K 3,9, Cl 100, Ca 10,3 Analisis Asupan :
Universitas Indonesia
Pregestimil Dekstrosa10% Benutrion VE Total -
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8 x 30 24 x 4 24 x 4 432 : : : :
E (kkal) 184 32,6 19,2 235,8
P (g) 4,53 4,8 9,33
495 mL 575 mL -80 mL 5 mL/ kg BB/jam
L (g) 9,1 9,1
Laboratorium: Hb 6,7, Ht 20, Leu 8300, Tr 254000, GDS 117 AGD : pH 7,45, pCO2 32, pO2 67, HCO3 23, BE -0,2, KH Saturasi O2 92 (pO2/FiO2 111) (g) Analisis Asupan : Vol E P L KH 16,5 (ml) (kkal) (g) (g) (g) 9,6 Pregestimil 8 x 30 184 4,5 9,1 16,5 24 x4 32,6 9,6 26,1 Dekstrosa10% Benutrion VE 24 x 6 28,8 7,2 Total 480 245,4 11,7 9,1 26,1 - Intake : 572 mL - Output : 610 mL - Balans cairan : - 38 mL - Produksi urin : 5,2 mL/ kg BB/jam
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
100
Universitas Indonesia
Lampiran 1
TD HR R
Tanggal 09/02/2013 (H+4) BAB (2x) padat, coklat Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 111/69 mmHg HR : 184x/menit R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 60%) S : 36,8 ⁰C Saturasi O2 : 85%
S BAB (-) O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
101
Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, hernia diafragmatika, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hiponatremia dalam perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 80 mL Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan tetap 80% KEB (253 kal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1 xRDA -
Universitas Indonesia
Formula semielemental Dekstrosa10% Asam amino 5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
100 150 490
34 30 248
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
7,5 12
9,1
10 26,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
E
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal 09/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi kebutuhan total
- Produksi urin : 4,7 mL/ kg BB/jam Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Targocid 1 x 50mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARRDS, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, hiponatremia dalam perawatan hari ke-4, status saluran leukositosis, hipoalbuminemia dalam perawatan hari kecerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 5, deep vein thrombosis (DVT) femoralis kanan, status 38 mL saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 49,5 mL Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KEB (317 kal) Nutrisi tetap 100% KEB (317 kal) - Rute : per NGT - Rute : per NGT - Jenis : Makanan cair dan parenteral - Jenis : Makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA Vol E P L KH Vol E P L KH (ml) (kkal) (g) (g) (g) (ml) (kkal) (g) (g) (g) Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
Formula semielemental Dekstrosa10% Asam amino 5%
8x45
276
6,8
13,7
24,8
100 150
34 30 340
7,5 14,3
13,7
10 34,8
Total Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka tanggal 10/02/2013 asupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi 100% kebutuhan total
Formula semielemental Dekstrosa10% Asam amino 5%
8x45
276
6,8
13,7
24,8
100 150
34 30 340
7,5 14,3
13,7
10 34,8
Total Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
101
Universitas Indonesia
102
Tanggal 11/02/2013 (H+6)
S BAB (1x) lembek O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD HR R
: 121/63 mmHg : 129x/menit : 35 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 50%) S : 37,1 ⁰C Saturasi O2 : 96% Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : tungkai bawah kanan, sianosis (+), dingin CRT > 3”, tungkai bawah kiri hangat, CRT < 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Analisis Asupan :
Pregestimil
Universitas Indonesia
Benutrion VE Total -
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Tanggal 13/02/2013 (H+8) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 127/78 mmHg HR : 154x/menit R : 40 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 50%) S : 36,7 ⁰C Saturasi O2 : 94%
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : asimetris, retraksi sela iga (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, hemithoraks kanan lebih lemah, ronkhi (+) kedua lapang paru Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : hangat, oedem (-) sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium AGD : pH 7,5, pCO2 29, pO2 81, HCO3 23, BE +0,9, Saturasi O2 96 (pO2/FiO2 162)
Laboratorium : Ur 27, Cr 0,3, Bil total 5,4
Dekstrosa10%
Tanggal 12/02/2013 (H+7) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 129/90 mmHg HR : 188x/menit R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 8, FiO2 50%) S : 37,8 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Analisis Asupan : Vol (ml) 8 x 45 24 x4 24 x 6 552 : : : :
E (kkal) 276 32,6 28,8 337,4
P (g) 6,8 7,2 14
580 mL 550 mL +30 mL 4,77 mL/ kg BB/jam
L (g) 13,7 13,7
KH (g) 24,8 9,6 34,4
Pregestimil Dekstrosa10%
Benutrion VE Total -
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8 x 45 24 x4 24 x 4 552
E (kkal) 276 38,4 19,2 333,6
P (g) 6,8 4,8 11,6
L (g) -
: 590 mL : 530 mL : +60 mL : 5,2 mL/ kg BB/jam
KH (g) 9,6 9,6
Laboratorium: AGD : pH 7,41, pCO2 46, pO2 85, HCO3 29, BE +4,9, Saturasi O2 93 (pO2/FiO2 170) Analisis Asupan : Pregestimil Asam amino 5% Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8x60 100
: : : :
E (kkal) 368 20 388
P (g) 9,1 5 14,1
L (g) 18,2 18,2
KH (g) 33,1 33,1
627,5 mL 990 mL - 49,5 mL 4,7 mL/ kg BB/jam
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
102
Universitas Indonesia
103
Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Heparin 360 Unit (drip), difenhidramin 1 x 5 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. : Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, leukositosis, hipoalbuminemia dalam perawatan hari ke-6, deep vein thrombosis (DVT) femoralis kanan, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 30 ml
Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hiponatremia dalam perawatan hari ke-7, pasca deep vein thrombosis (DVT), status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 60 mL
Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Targocid 1 x 50mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Meropenem 3 x 200 mg i.v, Heparin 2000 Unit (drip dalam NaCl 0,9% 40 ml), Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o, Diflucan 1 x 30 mg Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, hernia diafragmatika, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi kurang, anemia, hiponatremia dalam perawatan hari ke-8, pasca deep vein thrombosis (DVT), status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 49,5 mL
Kebutuhan Nutrisi
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi 100% KET (380 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien :1xRDA
Kebutuhan Nutrisi - Nutrisi 100% KET (380 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien :1xRDA
A Diagnosis Kerja
P Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (380 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA Formula semielemental Asam amino 5% Total
Vol (ml) 8x60
E (kkal) 368
100
20 388
P (g) 9,1
L (g) 18,2
KH (g) 33,1
5 14,1
18,2
33,1
Universitas Indonesia
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
E
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
Terapi : midazolam 7,5 mg i.v, dobutamin 30 mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, Kalmetason 3 x 1 mg i.v, Heparin 2000 Unit (drip dalam NaCl 0,9% 40 ml), Abbotic 2 x 1,5 mg p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
Formula semielemental Asam amino 5% Total
Vol (ml) 8x60
E (kkal) 368
100
20 388
P (g) 9,1
L (g) 18,2
KH (g) 33,1
5 14,1
18,2
33,1
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
Formula semielemental Asam amino 5% Total
Vol (ml) 8x60
E (kkal) 368
100
20 388
P (g) 9,1
L (g) 18,2
KH (g) 33,1
5 14,1
18,2
33,1
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
103
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
104
Pemantauan Pasien Kasus 2 Tanggal 08/02/2013 (H+3)
: 100/57 mmHg : 173x/menit : 46 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 36,5 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 10/02/2013 (H+5) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 100/60 mmHg HR : 140x/menit R : 53 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 37,9 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : -
Laboratorium: AGD : pH 7,39, pCO2 47, pO2 59, HCO3 29, BE +3,9, Saturasi O2 89, (Kesan : Asidosis respiratorik) GDS 94 (pO2/FiO2 147,5) Analisis Asupan :
Laboratorium: Hb 8,6, Ht 26, Leu 7900, Tr 154000, GDS 87, Na 133, K 4, Cl 100, Ca 6,5 AGD : pH 7,49, pCO2 32, pO2 90, HCO3 25, BE +2,6, Saturasi O2 96 (Kesan : alkalosis respiratorik akut) GDS 87 (pO2/FiO2 225) Analisis Asupan :
Analisis Asupan :
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
: : : :
E (kkal) 65,28 65,28
P (g) -
412 mL 707 mL -295 mL 6,1 mL/ kg BB/jam
L (g) -
KH (g) 19,2 19,2
Pregestimil Dekstrosa5% Benutrion VE Total
- Intake - Output
Vol (ml) 8 x 15 24x10 24 x 4 456
E (kkal) 92 40,8 19,2 152
P (g) 2,25 4,8 7,05
L (g) 4,55 4,55
: 460 mL : 532mL
KH (g) 8,25 12 20,25
Pregestimil Dekstrosa5% Benutrion VE Total
- Intake
Vol (ml) 8 x 15 24x6 24 x 4 360
E (kkal) 92 24,5 19,2 135,7
P (g) 2,25 4,8 7,05
L (g) 4,55 4,55
KH (g) 8,25 7,2 15,45
104
Universitas Indonesia
Dekstrosa5% Total
Vol (ml) 24x16
: 463 mL
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Lampiran 2
TD HR R
Tanggal 09/02/2013 (H+4) BAB (1x) lembek, coklat Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 105/65 mmHg HR : 154x/menit R : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 36,7 ⁰C Saturasi O2 :95 %
S BAB (-) O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
105
Terapi : midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 295 mL Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Universitas Indonesia
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
250 100
85 20 289
5 9,5
9,1
25 41,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
E
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
- Balans cairan : - 72 mL - Produksi urin : 4,6 mL/ kg BB/jam Terapi : midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, Rantin 3 x 10 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
- Output : 547 mL - Balans cairan : - 84 mL - Produksi urin : 4,7 mL/ kg BB/jam Terapi : midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o Diagnosis Kerja : Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-4, status saluran enzim hati, dalam perawatan hari ke-5, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 72 mL 84 mL Kebutuhan Nutrisi Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal) Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal) - Rute : per NGT - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA - Mikronutrien : 1xRDA
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
250 100
85 20 289
5 9,5
9,1
25 41,5
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
250 100
85 20 289
5 9,5
9,1
25 41,5
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
105
Universitas Indonesia
106
Tanggal 11/02/2013 (H+6)
S BAB (2x), lembek, coklat O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD HR R
: 120/100 mmHg : 180x/menit : 50 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 36,8 ⁰C Saturasi O2 : 100% Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden Laboratorium : AGD : pH 7,32, pCO2 31, pO2 186, HCO3 17, BE -7,3, Saturasi O2 97 (pO2/FiO2 465) (Kesan : asidosis respiratorik akut) Alb 3,4, Glob 3,1, Bil direk 0,1, Bil indirek 0,5 Kultur darah : S.epidermidis Analisis Asupan :
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
: : : :
E (kkal) 184 4,08 19,2 207,28
P (g) 4,5 4,8 9,4
449 mL 503 mL -54 mL 4,36 mL/ kg BB/jam
L (g) 9,1 9,1
KH (g) 16,5 1,2 17,7
Tanggal 13/02/2013 (H+8) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 102/70 mmHg HR : 98x/menit R : 53 x/menit on ventilator (mode PCMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 37 ⁰C Saturasi O2 : 98%
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), pernapasan cuping hidung (+) mulut : slym kental (+) (plug) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-) mulut : slym kental (+) Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (+) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Genitalia : scrotum kanan membesar Ekstremitas : hangat, oedem (-), sianosis (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium: Hb 11,6, Ht 34, Leu 12100, Tromb 207000 AGD : pH 7,52, pCO2 34, pO2 122, HCO3 28, BE +5,6, Saturasi O2 98 (Kesan : alkalosis respiratorik) GDS 71 (pO2/FiO2 305) Analisis Asupan : Pregestimil Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8x30 250 100
: : : :
E (kkal) 184 85 20 289
P (g) 4,5 5 9,5
L (g) 9,1 9,1
550 mL 500 mL + 50 mL 4,34 mL/ kg BB/jam
Laboratorium: GDS 110, Na 135, K 4,8, Cl 103, Ca 6,8 AGD : pH 7,36, pCO2 45, pO2 56, HCO3 24, BE -0,9, Saturasi O2 85, GDS 87 (pO2/FiO2 140) Kultur bronkhus : Pseudomonas aeruginosa Analisis Asupan :
KH (g) 16,5 25 41,5
Pregestimil Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8x45 200 100
: : : :
E (kkal) 276 68 20 364
P g) 6,8 5 11,8
L (g) 13,6 13,6
KH (g) 24,8 20 44,8
614 mL 787 mL - 173 mL 6,83 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Pregestimil Dekstrosa 5% Benutrion VE Total
Vol (ml) 8 x 30 24x1 24 x 4 360
Tanggal 12/02/2013 (H+7) BAB (1x) lembek Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen, gelisah TD : 71/41mmHg HR : 188x/menit R : 40 x/menit on ventilator (mode PCMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 37,6 ⁰C Saturasi O2 : 90 %
107
Terapi : midazolam 7mg i.v, Tizos 3 x 250 mg i.v aminofilin 4 x 12 mg i.v, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, hiponatremia, peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-6, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 54 mL
Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ARDS, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, leukositosis, hiponatremia, peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-7, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 50ml
Kebutuhan Nutrisi
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi ditingkatkan menjadi KEB (360 kkal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
P Nutrisi diberikan 80% KEB (288 kkal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Universitas Indonesia
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
250 100
85 20 289
5 9,5
9,1
25 41,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
E
Terapi : midazolam 7mg i.v, Targocid 1 x 50 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, dexamethasone 3 x 0,75 mg i.v, Abbotic 2x1,5 ml p.o, Dialac 1 x 1 sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1 cth p.o
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Terapi : midazolam 7mg i.v, Targocid 1 x 50 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, dexamethasone 3 x 0,75 mg i.v, ceftriaxone 1 x 500 mg i.v, Abbotic 2x1,5 ml p.o, Dialac 1 x 1 sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1 cth p.o Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, VSD (ventricle septal defect), kardiomegali, hernia skrotalis dekstra, ards, hipermetabolisme sedang, status gizi baik, perawakan pendek (stunted), anemia, peningkatan enzim hati, dalam perawatan hari ke-8, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 84 mL
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan tetap KEB (360 kkal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P g) 6,8
L (g) 13,6
KH (g) 24,8
200 100
68 20 364
5 11,8
13,6
20 44,8
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asam amino5% Total
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P g) 6,8
L (g) 13,6
KH (g) 24,8
200 100
68 20 364
5 11,8
13,6
20 44,8
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
107
Universitas Indonesia
108
Pemantauan Pasien Kasus 3 Tanggal 19/02/2013 (H+3)
Tanggal 21/02/2013 (H+5) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 102/63 mmHg HR : 134x/menit R : 43 x/menit nafas spontan S : 37,2 ⁰C Saturasi O2 : 94 %
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : Na 131, K 5,4, Cl 106, Ca 10,8 AGD : pH 7,42, pCO2 32 pO2 38, HCO3 21 BE -2,4, Saturasi O2 72 (Kesan : alkalosis respiratorik).
Laboratorium: AGD : pH 7,52, pCO2 28, pO2 41, HCO3 24, BE +2,0, Saturasi O2 81% (Kesan alkalosis respiratorik)
Laboratorium: Hb 16, Ht 49, Leu 13900, Tr 348000, GDS 94, Na 132, K 5,8, Cl 101, Ca 10,5, Albumin 3,3, Globulin 2,9 AGD : pH 7,46, pCO2 45, pO2 32, HCO3 28, BE +3,6, Saturasi O2 98 (kesan alkalosis metabolik) Analisis Asupan :
Analisis Asupan : Vol E P (ml) (kkal) (g) Pregestimil 6 x 15 69,12 1,7 Kaen 3A 24x10 26 Benutrion VE 24 x 4 19,2 4,8 Total 426 114,32 6,5 - Intake : 450 mL - Output : 600 mL - Balans cairan : -150 mL - Produksi urin : 4,71 mL/ kg BB/jam
L (g) 3,42 3,42
KH (g) 6,21 6,48 12,69
Pregestimil Kaen 3A Benutrion VE Total -
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8 x 30 24x5 24 x 4 456 : : : :
E (kkal) 184 13 19,2 216,2
P (g) 1,7 4,8 6,4
L (g) 3,42 3,42
470 mL 532 mL - 62 mL 4,18 mL/ kg BB/jam
KH (g) 6,21 3,24 9,45
Pregestimil Dekstrosa 10% Benutrion VE Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8 x 45 24 x 3 24 x 4 528
: : : :
E (kkal) 276 24,48 19,2 310
P (g) 6,8 4,8 11,6
L (g) 13,68 13,68
KH (g) 24,84 7,2 32,04
564 mL 765 mL - 201 mL 6,01 mL/ kg BB/jam
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Analisis Asupan :
Lampiran 3
TD : 88/43 mmHg HR : 147 x/menit R : 40 x/menit, nafas spontan S : 36,8 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 20/02/2013 (H+4) BAB (1x) lembek, coklat Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 111/72 mmHg HR : 140x/menit R : 38 x/menit , nafas spontan S : 36 ⁰C Saturasi O2 :95 %
S BAB (-) O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
109
Terapi : midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, hiponatremia, alkalosis respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 295 mL Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan 80% KEB (210 kal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA Formula semielemental Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
120 360
24 208
6 10,5
9,1
16,5
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
Terapi : midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o Diagnosis Kerja : pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, alkalosis metabolik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-5, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 201 mL
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan KEB (266 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA -
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (345 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA -
Formula semielemental Total
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P (g) 6,8
L (g) 13,68
KH (g) 24,84
360
276
6,8
13,68
24,84
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P (g) 6,8
L (g) 13,68
KH (g) 24,84
150 120 630
51 24 351
6 12,8
13,68
15 39,84
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
109
Universitas Indonesia
E
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dapat ditingkatkan bertahap
Terapi : midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o Diagnosis Kerja : pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, hiponatremia, alkalosis respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 62 mL
110
Tanggal 22/02/2013 (H+6)
TD : 89/41 mmHg HR : 129 x/menit R : 40 x/menit, nafas spontan S : 36,8 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 25/02/2013 (H+9) BAB (1x) lembek, coklat, pasien rencana pindah ke ruangan rawat Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 96/65 mmHg HR : 142x/menit R : 45 x/menit , nafas spontan S : 36,2 ⁰C Saturasi O2 :98 %
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Hidung : NGT (+), GRV (-), nasal kanul O2 3l/menit Thoraks : simetris, retraksi minimal (+) Jantung : BJ ireguler, murmur (+), gallop (-) Paru : vesikuler, ronkhi (-) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : datar, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas :dingin, oedem (-), sianosis (+), CRT > 2” Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : Na 134, K 4,5, Cl 99, Ca 10,4 AGD : pH 7,48, pCO2 39 pO2 38, HCO3 25, BE -2,4, Saturasi O2 86% (Kesan : alkalosis metabolik).
Laboratorium: AGD : pH 7,52, pCO2 28, pO2 41, HCO3 24, BE +2,0, Saturasi O2 81% (Kesan alkalosis respiratorik)
S BAB (2x), lembek, kecoklatan O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
Analisis Asupan : Analisis Asupan : Pregestimil Dekstrosa 10% Benutrion VE 5% Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
: : : :
E (kkal) 276 51 24 351
P (g) 6,8 6 12,8
650 mL 570 mL 80 mL 4,48 mL/ kg BB/jam
L (g) 13,68 13,68
KH (g) 24,84 15 39,84
Vol (ml) 8x45 150 120 630
Pregestimil Dekstrosa 10% Benutrion VE 5% Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
: : : :
E (kkal) 276 51 24 351
P (g) 6,8 6 12,8
L (g) 13,68 13,68
KH (g) 24,84 15 39,84
670 mL 532 mL 138 mL 4,18 mL/ kg BB/jam
110
Universitas Indonesia
Vol (ml) 8x45 150 120 630
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
111
Terapi : midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, alkalosis metabolik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-6, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 80 mL
Kebutuhan Nutrisi
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan sesuai KET (345 kkal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
P Nutrisi diberikan sesuai KET (345 kkal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P (g) 6,8
L (g) 13,68
KH (g) 24,84
150 120 630
51 24 351
6 12,8
13,68
15 39,84
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, Universitas Indonesia
E
Terapi : midazolam 7mg i.v, ceftriaxone 1 x 400 mg i.v, Glybotic 1 x 80 mg i.v, vitamin C 1 x 200 mg i.v, dexametason 3 x 0,75 mg i.v, aminofilin 4 x 12 mg i.v, Lasix 2 x 2 mg i.v, Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, suspek PJB sianotik, dekstrokardia, hipermetabolisme sedang, leukositosis, alkalosis respiratorik, status gizi baik, dalam perawatan hari ke-9, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 138 mL
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dipertahankan
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x45
E (kkal) 276
P (g) 6,8
L (g) 13,68
KH (g) 24,84
150 120 630
51 24 351
6 12,8
13,68
15 39,84
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, asupan dipertahankan
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
111
Universitas Indonesia
112
Pemantauan pasien Kasus 4 Tanggal 13/02/2013 (H+2)
TD HR R
: 90/70 mmHg : 182 x/menit : 42 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 36,7 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 14/02/2013 (H+3) BAB (-) Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 98/64 mmHg HR : 171x/menit R : 54 x/menit on ventilator (mode SIMV, PEEP 5, FiO2 40%) S : 36,6 ⁰C Saturasi O2 :97 %
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : NGT (+),GRV(-),pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+), interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : NGT (+),GRV(-),pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+) interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : Na 137, K 4, Cl 110, Ca 7,9, GDS 94
Laboratorium: GDS 81
Analisis Asupan :
Analisis Asupan :
S BAB (-) O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
Intake Output Balans cairan Produksi urin
: : : :
P (g) 2,2 2,2
219 mL 295 mL -76 mL 2,3 mL/ kg BB/jam
L (g) 4,56 4,56
KH (g) 8,28 6,9 15,18
Pregestimil Dextrose 10% Benutrion VE Total
-
Intake Output Balans cairan Produksi urin
Vol (ml) 8x15 24x 7 24x3 240
: : : :
E (kkal) 92,16 57,1 14,4 163,66
P (g) 2,2 3,6 5,8
L (g) 4,56 4,56
300 mL 332 mL - 32 mL 3,45 mL/ kg BB/jam
Laboratorium: Hb 9,6, Ht 28, Leu 11400, Tr 239000, GDS 103, Na 136, K 2,5, Cl 109, Ca 9,6, Alb 2,4 AGD : pH 7,49, pCO2 23, pO2 291, HCO3 18, BE -3,3, Saturasi O2 99 (Kesan : alkalosis respiratorik akut) GDS 103
KH (g) 8,28 16,8 Analisis Asupan : Vol 25,08 (ml) Pregestimil 8 x 30 Dextrosa10% 24x4 Benutrion VE 24x4 Total 211,2
E (kkal) 184 32,64 19,2 235,84
P (g) 4,5 4,8 9,3
L (g) 9,1 9,1
KH (g) 16,5 9,6 26,1
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
112
-
E (kkal) 92,16 27,6 119,76
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+) interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Lampiran 4
Universitas Indonesia
Pregestimil Kaen 3B Total
Vol (ml) 8x15 15x17
Tanggal 15/02/2013 (H+4) BAB (1x), padat, coklat, post ekstubasi Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 81/44 mmHg HR : 150x/menit R : 40 x/menit, napas spontan S : 36,2 ⁰C Saturasi O2 : 100%
113
Terapi : Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v, inhalasi Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-2, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 76 mL
Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-3, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 32 mL
Kebutuhan Nutrisi
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan sesuai 80% KEB (242 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA -
P Nutrisi diberikan sesuai 80% KEB (242 kal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
110 100 450
37,4 20 241,4
5 9,5
9,1
11 27,5
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, makaasupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi kebutuhan total
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
- Intake : 250 mL - Output : 300 mL - Balans cairan : - 50mL - Produksi urin : 3,12 mL/ kg BB/jam Terapi : Miloz 7 mg i.v, dobutamin 30 mg, albumin 25% 50ml, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o. Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 50 mL Kebutuhan Nutrisi Nutrisi ditingkatkan menjadi KEB (300 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Vol (ml) 8x30
E (kkal) 184
P (g) 4,5
L (g) 9,1
KH (g) 16,5
110 100 450
37,4 20 241,4
5 9,5
9,1
11 27,5
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, makaasupan dapat ditingkatkan bertahap menjadi kebutuhan total
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x45 35 60 455
E (kkal) 276,5 12 12 300
P g) 6,8
L (g) 13,7
KH (g) 24,8
3 9,8
13,68
3,5 28,3
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
113
Universitas Indonesia
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
E
Terapi : Miloz 7 mg i.v, ceftriaxone 1 x 450 mg i.v, vitamin C 1 x 100 mg i.v, ranitidin 3 x 5 mg i.v, Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, inhalasi Ventolin dan Pulmicort 3 x/hari
114
Tanggal 18/02/2013 (H+7)
TD : 75/43 mmHg HR : 190 x/menit R : 49 x/menit, napas spontan S : 36,2 ⁰C Saturasi O2 : 96%
Tanggal 19/02/2013 (H+8) BAB (1x) lembek, kecoklatan Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 98/46 mmHg HR : 164x/menit R : 50 x/menit, napas spontan S : 37,1 ⁰C Saturasi O2 :98 %
Tanggal 22/02/2013 (H+11) BAB (1x), lembek, coklat Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen TD : 77/41 mmHg HR : 107x/menit R : 48 x/menit, napas spontan S : 36,7 ⁰C Saturasi O2 : 100%
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+) interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat, oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+), interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ubunubun tidak cekung Hidung : sungkup O2 (+) NGT (+),GRV(-), pernapasan cuping hidung (-) Thoraks : simetris, iga gambang (+), retraksi suprasternal (+), interkostal (+) Jantung : BJ reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : stridor inspirasi (+), ronkhi (+) kedua lapang paru, wheezing (-) Abdomen : cekung, BU (+) normal, distensi (-) Ekstremitas : subcutan fat loss (+), hangat,oedem (-) Kapasitas fungsional: bedridden
Laboratorium : -
Laboratorium: Hb 10,6, Ht 31, Leu 12900, Tr 307000, AGD : pH 7,42, pCO2 49, pO2 225, HCO3 32, BE +7,3, Saturasi O2 99 (Kesan : alkalosis metabolik mix asidosis respiratorik) Laringoskopi : Obstruksi laring ec laringomalasia DD/ faringolaringitis akut, oedem laring
Laboratorium: AGD : pH 7,42, pCO2 14, pO2 163, HCO3 16, BE -11,6, Saturasi O2 100 (Kesan : alkalosis respiratorik)
S BAB (-) O Keadaan Umum: tampak sakit berat, somnolen
Analisis Asupan :
Universitas Indonesia
Pregestimil Dekstrosa10% Benutrion VE Total
Vol (ml) 8 x45 24x2 24x4 504
E (kkal) 276,5 16,32 19,2 312
P (g) 6,8 4,8 11,6
L (g) 13,7 13,7
KH (g) 24,8 4,8 29,6
Pregestimil Dekstrose 10% Benutrion VE Total
- Intake - Output - Balans cairan
Vol (ml) 8 x45 24x1 24x4 480
E (kkal) 276,5 16,32 19,2 312
P (g) 6,8 4,8 11,6
L (g) 13,7 13,7
: 514 mL : 680 mL : - 166 mL
Pregestimil Benutrion VE KH Total (g) 24,8 4,8 - Intake - Output 29,2 - Balans cairan
Vol (ml) 8 x 60 100 580
: : : :
E (kkal) 368,6 20 388
P g) 9 5 14
L (g) 18,24 18,24
KH (g) 33,23 33,23
586 mL 595 mL - 9 mL 6,19 mL/ kg BB/jam
- Produksi urin Terapi : Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg,
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
114
- Intake : 550 mL - Output : 525 mL - Balans cairan : 25 mL - Produksi urin : 4,12 mL/ kg BB/jam Terapi : Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o.
Analisis Asupan :
Analisis Asupan :
115
A Diagnosis Kerja
: Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-7, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan positif 25 mL
Kebutuhan Nutrisi
P Nutrisi diberikan tetap KEB (300 kal)
- Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Formula semielemental Dekstrosa 10% Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8x45 35 60 455
E (kkal) 276,5 12 12 300
P g) 6,8
L (g) 13,7
KH (g) 24,8
3 9,8
13,68
3,5 28,3
M Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi,
dexametason, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5 ml p.o, nebulizer Adrenalin 2,5ml+Pulmicort ½ amp (3x/hari)
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi ditingkatkan menjadi 100% KET (393 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Kebutuhan Nutrisi Nutrisi diberikan 100% KET (393 kal) - Rute : per NGT - Jenis : makanan cair dan parenteral - Mikronutrien : 1xRDA
Formula semielemental Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8 x 60 100 580
E (kkal) 368,6
P g) 9
L (g) 18,24
KH (g) 33,23
20 388
5 14
18,24
33,23
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total
Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, hipoalbuminemia, hipokalemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-4, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 9 mL
Formula semielemental Asamamino 5% Total
Vol (ml) 8 x 60 100 580
E (kkal) 368,6
P g) 9
L (g) 18,24
KH (g) 33,23
20 388
5 14
18,24
33,23
Klinis, tanda vital (keadaan umum, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, laktat/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dipertahankan sesuai kebutuhan energi total
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
115
Universitas Indonesia
E
pernapasan, suhu) Toleransi asupan dan status gastrointestinal Antropometri setiap minggu Laboratorium : Darah rutin/hari, elektrolit/hari, gula darah/4 jam, AGD/hari, SGOT/SGPT perminggu, Ureum & kreatinin/3 hari, albumin/minggu. Bila toleransi asupan adekuat, klinis baik, maka pasien selanjutnya dapat diberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan energi total
- Produksi urin : 7,08 mL/ kg BB/jam Terapi : Farmadol 4 x 50 mg i.v, meropenem 3 x 150 mg, dexametason, Dialac 2 x ½ sachet p.o, Zamel syrup 1 x 2 ml p.o., Abbotic 2 x 1,5 ml p.o, Fluimucyl 3 x 1,5 ml p.o. Diagnosis Kerja : Pneumonia berat, laringomalasia, ARDS perbaikan, status gizi buruk, hipermetabolisme sedang, anemia, leukositosis, trombositosis, hipokalsemia, alkalosis respiratorik, dalam perawatan hari ke-8, status saluran cerna dalam batas normal, keseimbangan cairan negatif 166 mL
Lampiran 5
116
Kurva Pertumbuhan Bayi Prematur Babson dan Benda
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Lampiran 6
117
Formulir skrining STRONG No
1
2
3
4
Skor 4-5
1-3
0
STRONGkids (Screening Tool for Risk on Nutritional Status and Growth)
Skor
Tanggal skrining :.................. Penilaian klinis subyektif Apakah pasien dalam status nutrisi yang buruk? 0 (Kehilangan lemak subkutan dan atau massa otot dan atau muka cekung) 1 Penyakit risiko tinggi Apakah ada penyakit yang mendasari dengan risiko malnutrisi/ 0 diperkirakan akan menjalani operasi mayor? 1 (Lihat Tabel) 2 Asupan Nutrisi Apakah ada salah satu keadaan dibawah ini? 0 - Diare berlebihan (≥ 5 x/hari) dan atau muntah (>3 x/hari) dalam beberapa 1 hari terakhir - Penurunan asupan makan dalam beberapa hari sebelum masuk RS (tidak termasuk puasa untuk persiapan operasi) - Pernah mendapat intervensi nutrisi sebelumnya - Rasa nyeri yang mengakibatkan ketidakmampuan mengonsumsi makanan Penurunan berat badan/ kenaikan berat badan Apakah ada penurunan berat badan/ tidak ada kenaikan berat badan (pada bayi 0 < 1 tahun) dalam beberapa minggu/bulan terakhir? 1 Risiko gizi Tatalaksana gizi Risiko tinggi Konsultasi dokter dan dietisien untuk diagnosis dan advis nutrisi individual dan pemantauan Mulai pemberian minuman tambahan hingga diagnosis tegak Risiko sedang Konsultasi dokter untuk diagnosis lengkap, pertimbangkan intervensi nutrisi dengan dietisien Periksa berat badan 2x/minggu dan evaluasi risiko malnutrisi setelah 1 minggu Risiko rendah Tidak diperlukan intervensi Periksa berat badan sesuai kebijakan RS dan eveluasi risiko malnutrisi setelah 1 minggu
Catatan : -
Nomer 1 dan 2 dinilai oleh dokter spesialis anak Nomer 3 dan 4 didiskusikan bersama dengan orangtua/pengasuh Jawaban “tidak jelas” dianggap sebagai ”tidak”
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
118
Penyakit Risiko Tinggi Anorexia nervosa Luka bakar Bronkopulmoner displasia (maksimun usia 2 tahun) Penyakit seliak Sistik fibrosis Dismaturitas/prematuritas (usia koreksi 6 bulan) Penyakit jantung, kronis Penyakit infeksi (AIDS) Inflammatory Bowel Disease Kanker Penyakit hati, kronis Pankreatitis Short Bowel Syndrome Penyakit otot Penyakit metabolik Trauma Keterbelakangan mental/retardasi Akan menjalani operasi mayor Tidak spesifik (diklasifikasikan oleh dokter)
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
Lampiran 7
119
Formulir Skrining PYMS (Paediatric Yorkhill Malnutrition Score) Nama : Nama belakang : Tanggal lahir : Umur : Bangsal :
No MR:
Lk/Pr Konsultan :
1.
Apakah IMT dibawah standard?
2.
Apakah terdapat penurunan BB?
3.
Apakah terdapat penurunan asupan makan ? (dalam beberapa minggu terakhir)
4.
5.
Apakah nutrisi anak akan terpengaruh selama perawatan di RS? (seminggu kedepan)
Jumlahkan no 1-4 Skor PYMS Total 0 1 ≥2
Tanggal Ttd perawat BB TB IMT
Tidak Ya Tidak Ya - Penurunan BB yang tidak dikehendaki - Baju longgar - Kenaikan berat badan lambat (jika < 2 tahun) Tidak (Asupan seperti biasa) Ya (Penurunan asupan seminggu terakhir) Ya (Tidak ada asupan seminggu terakhir) Tidak Ya Setidaknya dalam seminggu : - Penurunan asupan dan/ - Peningkatan kebutuhan dan/ - Peningkatan kehilangan Ya Tidak ada asupan (atau hanya beberapa hisapan)
0 2 0
1
0 1
2 0
1
2
Skor PYMS Total Tindakan Ulangi Skrining PYMS dalam 1 minggu Ulangi Skrining PYMS dalam 3 hari Ulangi Skrining PYMS dalam 1 minggu
Tatalaksana gizi Observasi balans cairan Observasi asupan Membutuhkan Intervensi Nutrisi
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
120
1
Gessman LM, Rappaport DI. Approach to Community-Acquired Pneumonia in Children. Clinical Review Article. Hospital Physician Sept/Oct 2009, p 1-5.
2
Said M. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG 4. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010.
3
Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 3. September 2010.
4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
5
Brown SM, Dean NC. Defining and predicting severe community-acquired pneumonia. Curr Opin Infect Dis 2010;23:158–164.
6
Restrepo MI, Mortensen EM, Velez JA. A comparative study of community-acquired pneumonia patients admitted to the ward and the ICU. Chest 2008; 133:610–617.
7
Kollef KE, Schramm GE, Wills AR. Predictors of 30-day mortality and hospital costs in patients with ventilatorassociated pneumonia attributed to potentially antibiotic-resistant Gram-negative bacteria. Chest 2008; 134:281– 287.
8
Muscedere JG, Day A, Heyland DK. Mortality, attributable mortality, and clinical events as end points for clinical trials of ventilator-associated pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Clin Infect Dis 2010; 51 (1): 120–125.
9
Torres A, Ewig S, Lode H, Carlet J. European HAP working group. Defining, treating and preventing hospital acquired pneumonia: European perspective. Intensive Care Med 2009; 35:9–29.
10
Pollack MM, Wiley JS, Holbrook PR. Early nutritional depletion in critically ill children. Crit Care Med 1981;9:580.
11
Pollack MM, Ruttimann UE, Wiley JS. Nutritional depletions in critically ill children: associations with physiologic instability and increased quantity of care. J Parenter Enteral Nutr 198;9:309
12
Briassoulis G, Venkataraman S, Thomson AE. Energy expenditure in critically ill children. Crit Care Med 2000;28:1166
13
Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
14
Bergman EA, Hawk SN. Diseases of the Respiratory System. Dalam: Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Ed 2. Wadsworth : Cangange Learning 2011:648-681.
15
Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2003
16
Anonymous, diunduh dari www.healthbase.com
17
Guyton AC, Hall HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996:597-653. Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
121
18
Anonymous, diunduh dari www.nhlbi.nih.gov
19
Dahlan Z. Pneumonia : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
20
Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB Saunders, 2003:1432-5
21
Correa AG, Starke JR. Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat F, editor. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia: WB Saunders, 1998:485503
22
McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Eng J Med 2002;346(6):429-37
23
Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children. Dalam : Taussig LM, Landau LI, editor. Pediatric Respiratory Medicine. St.Louis:Mosby Inc, 1999:595-664.
24
Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008;29;147.
25
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:408–416.
26
Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric Pneumonia. Emerg Med Clin N Am 2003;21:437-51.
27
Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, editor. Kendig’s Disorders of ths Respiratory Tract in Children. Edisi 6. Philadelphia : WB Saunders, 1998:518-26.
28
Frank G, Shah S. Uncomplicated Pneumonia. Dalam: Shah SS, editor. Pediatric Practice Infectious Diseases. Philadelphia : McGraw-Hill Companies Inc, 2009:298-309.
29
Langley JM, Bradley JS. Defining pneumonia in critically ill infants and children. Pediatr Crit Care Med 2005;6(suppl):S9-S13.
30
Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14.
31
British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in Childhood. Thorax. 2002; 57 Suppl 1:1-24.
32
Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F, editor. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart : Thieme FlexiBook, 2000:66-91.
33
Turner KL, Moore FA, Martindale R. Nutrition Support for the Acute Lung Injury/Adult Respiratory Distress Syndrome Patient : A Review. Nutr Clin Pract. 2011;26:14-25.
34
The Berlin Definition. The ARDS Definition Task Force. JAMA. 2012; 307:2526.
35
Verger JT, Bradshaw DJ, Henry E, Roberts KE. The pragmatic of feeding the pediatric patient with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Nurs Clin N Am. 2004;16:431-443.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
122
36
Laycock H, Rajah A. Acute Lung Injury and Acute Respiratory Distress Syndrome : A Review Article. BJMP 2010;3(2):324.
37
McCarthy MS. Pulmonary Failure. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the Critically Ill Patient. A Guide to Practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
38
Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med Bulletin. 1999;55:726-43.
39
Neims MN, Sucher K, Lacey K.. Metabolic Stress. Nutrition therapy and Pathophysiology, Thomson Brooks. 2007. 785-9.
40
Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escott SS. Medical nutrition therapy for metabolic stress: sepsis, trauma, burns and surgery. Dalam: Krause’s Food and Nutrition therapy. Elsevier. 2008; 1021-41.
41
Lestari ED. Nutrisi Enteral. Dalam Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:4962.
42
Mehta NM, Jaksic T. The Critically Ill Child. Dalam: Duggan C. Nutrition in Pediatriccs. Ed 4. Hamilton, Ontario, Canada : BC Becker Inc. 2008:663-673.
43
Weissmann C. The metabolic response to stress; an overview and update. Anesthesiology. 1990;73:308-27.
44
Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in neonate. Pediatr Surg Int. 1990;5:307-21.
45
Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating the metabolic response to injury. Brit Med Bull. 1999;55:181-95.
46
Parsons HG. The nutritional status of hospitalized children. Am J Clin Nutr 1980: 33:1140-1146.
47
Sermet-Gaudelus. Simple pediatric nutritional risk score to identify children at risk of malnutrition. Am J Clin Nutr 2000; 72: 64-70.
48
Hendarto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:23-34.
49
Cogill B. Anthropometry indicators measurement guide. Food and nutrition technical asisstance. US Agency for international. 2001.
50
Sjarif DR. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia, Nasar SS. Editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metaboik. Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011:36-48.
51
Mehta NM, Chomper C. ASPEN Clinical Guidelines : Nutrition Support of the Critically Ill Child. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2009;33:260-276
52
Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R, Parenteral Nutrition Guidelines Working Group. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
123
Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. Vol 41, Suppl 2, Nov 2005. 53
Kowalski L, Nucci A. Pediatrics. Dalam: Cresci G. Nutrition Support for the critically ill patient. A guide to practice. Florida : CRC Press. Taylor & Francis Group. 2005:389-405.
54
Samaddar DP. Nutritional load in critically ill: the changing concepts. SAARC J.Anaesth. 2008;1(2):135-141.
55
Walter Reed Army Medical Center Borden Institute. Emergency nutrition for sick or injured patient infants and children. Dalam: Walter Reed Army Medical Center Borden Institute, Fuenfer, Creamer. Pediatric Surgery and Medicine for Hostile Environments, 2001:445-452
56
White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energy expenditure in 100 ventilated, critically ill children: improving the accuracy of predictive equations. Crit Care Med 2000;28:2307–12.
57
Skillman HE, Wischmeyer PE. Nutrition Therapy in Critically Ill Infants and Children. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2008;32:520-534
58
Gadek JE, DeMichele SJ, Karlstad MD. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, and antioxidants in patients with acute respiratory distress syndrome. Enteral Nutrition in ARDS Study Group. Crit Care Med. 1999 Aug;27(8):1409-20.
59
Jacobs BR, Nadkarni V, Goldstein B. Nutritional immunomodulation in critically ill children with acute lung injury: feasibility and impact on circulating biomarkers. Pediatr Crit Care Med. 2013 Jan;14(1):e45-56.
60
Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:323
61
Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in the critically ill child. J Pediatr. 2007 May;83(2):S3-S10.
62
Heyland DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact of Enteral Feeding Protocols on Enteral Nutrition Delivery: Results of a Multicenter Observational Study. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2010;34:675-84.
63
Prieto MB, Cid JLH. Malnutrition in the Critically Ill Child : The Importance of Enteral Nutrition. Int J. Environ. Res. Public Health 2011,8:4353-4366.
64
Joosten KFM, Hulst JM. Nutritional screening tools for hospitalized children : Methodological considerations. Clin Nutr. 2013;1-5
65
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining malnutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit. 2007
66
Fenton TR. A new growth chart for preterm babies : Babson and Benda’s chart updated with recent data and a new format. BMC 2003;3:13-23.
67
Donovan SM. Human Milk : Nutritional Properties. Dalam: Duggan, Watkins, Walker. Nutrition in Pediatrics. Basic Science Clinical Application. Hamilton: BC Decker Inc. 2008:342-353
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
124
68
Lawrence RA, Lawrence RM. Breastfeeding: A guide for the medical profession. Ed 6. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005:105-170.
69
Ferris AM, Jensen RG. Lipids in human milk : a review. J Pediatr Gastroenterol Nutr 3:108. 1984
70
Mei-Zahav M, Solomon M, Trachsel D, Langer JC. Bochdalek diaphragmatic hernia: not only a neonatal disease. Arch Dis Child 2003;88:532–535
71
Peralta CFA, Jani J, Cos T, Nicolaides KH, Deprest J. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 27: 551–554. Left and right lung volumes in fetuses with diaphragmatic hernia
72
Spinella PC, Strieper MJ, Callahan CW. Congestive heart failure in a neonate secondary to bilaeral intralobar and extralobar pulmonary sequestrations. Pediatrics 1998,101:120-134.
73
Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung Bawaan. Dalam : Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku ajar Kardiologi Anak. Jakarta: IDAI; 1994.
74
Hull A. Children with Chronic Congenital Heart Disease and Renal Disease. Dalam Ekvall SW, editor. Pediatric Nutrition in Chronic Disease and Development Disorder Prevention, Assesment and Treatment. Oxford Univesity Press; 1993.
75
Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Diunduh dari http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e85893e6bbb8907f2.pd f.
76
Wisnuwardhana M. Manfaat pemberian diet tambahan terhadap pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung bawaan asianotik [desertasi]. Semarang : Universitas Diponegoro; 2006.
77
Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Lo C. Children with Congenital Heart Disease : A Nutritional Challenge. Nutrition Grand Rounds. 1994 Oct : 348-53.
78
Rosenthal A. Nutritional Considerations in the Prognosis and Treatment of Children with Congenital Heart Disease. Dalam : Suskind RM, Suskind MM, editor. Textbook of Pediatric Nutrition. Ed 2. New York : Raven Press; 1992.
79
Quinn NL. Manual Pediatric Nutrition. Ed 4. London: Hendricks KM, Duggan C.; 2005. Chapter 20, Cardiac Disease; 401-9.
80
Lewis A, Hsieh V. Congenital Heart Disease and Lipid Disorders in Chidren. Pediatric Nutrition. Ed 2. 2005.
81
Stern RC. Congenital anomalies. Dalam: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson textbook of pediatric. Ed 16, Philadelphia: WB Saunders, 2000:1271-2.
82
Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
83
Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2008; 72: 501-7
84
Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope 1999; 109: 1770-5 Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013
125
85
Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13
86
Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2009;73: 885-7
87
Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003:1049-51
88
Cotton RT, Reilly JS. Respiratory disorder of the newborn. Dalam: Bluestone CD, Stool SE, Kenna MA. Pediatric otolaryngology. Vol II. Ed 3. Philadelphia: WB Saunders, 1999:1300-1.
89
90
91
Bye MR. Laryngomalacia. http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527. Makola D, Parish CR. Elemental and semi elemental formulas: Are they superior to polymeric formulas? Nutrition issues in gastroenterology. 2005; 34:59-72. Anonymous, www.drugs.com/sfx/midazolam-side-effects.html#oytmbwU5DMP8VCfw.99
92
Anonymous, diunduh dari www.mims.com
93
Anonymous, diunduh dari www.medscape.com
94
Anonymous, diunduh dari http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/dexamethasone
95
Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. Dalam: Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications. Ed 3. Canada: BC Decker; 2003:831.
96
Shaw JG, Friedman JF. Iron deficiency anemia: focus on infectious diseases in lesser developed countries. Anemia. 2011;260380.
97
Levy A, Fraser D, Rosen SD, Dagan R, Deckelbaum RJ, Coles C, et al. Anemia as a risk factor for infectious diseases in infants and toddlers: results from a prospective study. Eur J Epidemiol. 2005;20(3):277-84.
98
Kohgo Y, Ikuta K, Ohtake T, Torimoto Y, Kato J. Body iron metabolism and pathophysiology of iron overload. Int J Hematol. 2008;88(1):7-15.
99
Harris AM, Sempertegui F, Estrella B, Narvaez X, Egas J, Woodin M, et al. Air pollution and anemia as risk factors for pneumonia in Ecuadorian children: a retrospective cohort analysis. Environ Health. 2011;10:93.
100
Mourad S, Rajab M, Alameddine A, Fares M, Ziade F, Merhi BA. Hemoglobin level as a risk factor for lower respiratory tract infections in Lebanese children. N Am J Med Sci. 2010;2(10):461-6.
101
Niederweis M. Nutrient acquisition by mycobacteria. Microbiology. 2008;154(3):679-92.
102
Kumar V, Choudhry VP. Iron deficiency and infection. Indian J Pediatr. 2010;77(7):789-93.
Universitas Indonesia
Tatalaksana nutrisi….., Diana Felicia, FK UI, 2013