TINJAUAN KEPUSTAKAAN
TATALAKSANA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS
Alfian Nur Rosyid Moch. Thaha
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FK UNAIR – RSUD DR.SOETOMO SURABAYA 2013
2
TATALAKSANA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS Alfian NR Moch. Thaha PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronis (PGK) terjadi karena kerusakan nefron ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal yang menetap dan kronis progresif (NKF-K/DOQI, 2012). Sistem imun alami maupun adaptif turun sebanding dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulur (LFG) (Viasus, 2011). Komplikasi kardiovaskular dan infeksi seperti pneumonia sering terjadi dan berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas (James, 2009). Infeksi saluran napas akut merupakan masalah utama di bidang kesehatan. Laporan WHO tahun 1999 menyebutkan penyebab kematian tertinggi dunia akibat infeksi termasuk pneumonia dan influenza (Soedarsono, 2010). Pneumonia merupakan komplikasi serius pada penderita PGK dengan morbiditas (79%) dan mortalitas (33%) yang lebih tinggi dibanding orang normal. Penderita PGK cenderung mengalami pneumonia yang berat. Semakin rendah LFG maka morbiditas dan mortalitasnya semakin tinggi. Bukan hanya pneumonia komunitas yang mengancam penderita PGK namun juga pneumonia nosokomial (James, 2009; Viasus, 2011). Tatalaksana pneumonia bakterial pada penderita PGK lebih sulit dibandingkan penderita dengan fungsi ginjal normal. Penegakan diagnosis, tingkat severitas, pemberian obat, prognosis, morbiditas dan mortalitas pneumonia pada penderita PGK berbeda dengan orang normal. Tatalaksana kausatif infeksi pneumonia bakterial adalah dengan pemberian antibiotika. (Niederman, 2008; Mandell, 2010). Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada pneumonia yang disertai gangguan ginjal terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan resistensi. Pemilihan antibiotika yang bijak diperlukan guna mengatasi pneumonia agar tidak memberat disamping pencegahan perburukan fungsi ginjal karena efek antibiotika yang nefrotoksik. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada ganguan ginjal sesuai klirens kreatinin atau LFG dengan cara mengurangi dosis dan atau memperpanjang interval pemberian obat (Matzke, 2011). Sulitnya diagnosis dan tatalaksana pneumonia pada penderita PGK yang tidak optimal membuat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Makalah ini akan membahas mengenai tatalaksana pneumonia pada penderita PGK.
Tinjauan Kepustakaan Departemen - SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair – RSUD dr.Soetomo Surabaya, 6 Maret 2013
3
PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK) Penyakit ginjal kronis merupakan sindroma klinis terjadi karena penurunan fungsi ginjal yang menetap dan berjalan kronis progresif akibat kerusakan nefron ginjal yang akhirnya menjadi gagal ginjal terminal (GGT). Menurut NKF-K/DOQI, penyakit ginjal kronis diartikan sebagai kerusakan ginjal berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG selama ≥ 3 bulan atau penurunan LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (NKF-K/DOQI, 2012). Penentuan stadium PGK didasarkan pada LFG dengan menggunakan rumus CockroftGoult atau MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) (Moorthy, 2009). Standar baku emas pengukuran LFG dengan klirens kreatinin dari inulin (Matzke, 2011). Tabel 7 Rumus Cockroft-Gault dan Formula MDRD (Moorthy, 2009, Katiyakara, 2012) Rumus Cockroft-Gault Klirens Kreatinine = LFG =
Formula MDRD 1.
(140-usia) x BB dalam kg x (85% wanita) (72x SK) 2. 3.
Standar LFG = 186 x( SK)–1,154 x (usia) –0,203 x 0,742 (pada wanita) x 1,212 (jika kulit hitam) x 1,227 (jika Cina) LFG Jepang = 0,813x 141 x min (SK/κ, 1)α x max (SK/ κ, 1)-1,209 x 0,993 usia x 1,018 (jika wanita) LFG Thailand = 375,5 x ( SK)0,848 x (usia) –0,364 x 0,712 (pada wanita)
Disebutkan bahwa formula MDRD lebih bermanfaat dibandingkan dengan Rumus Cockroft-Gault dalam menentukan adjustment dose (penyesuaian dosis obat) pada penderita yang relatif memiliki fungsi ginjal yang stabil. Namun formula MDRD belum divalidasi untuk semua dosis antibiotika. Klinisi lebih memilih Rumus Cockroft-Gault karena lebih mudah dipakai sehingga lebih sering digunakan dalam penyesuaian dosis antibiotika. Serum kreatinin sendiri tidak bisa dipakai untuk menilai klirens kreatinin karena serum kreatinin merupakan fungsi LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan massa otot. Pada penderita lanjut usia serum kreatininnya dapat normal meskipun telah terjadi gangguan ginjal (Gilbert, 2011). Tabel 8 Stadium PGK berdasarkan LFG (Moorthy, 2009) Stadium 1 2 3 4 5
Deskripsi Kerusakan ginjal dengan LFG normal / meningkat Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan Penurunan LFG sedang Penurunan LFG berat Penyakit ginjal terminal
LFG (mL/menit/1,73m2) ≥ 90 60 – 89 30 – 59 15 – 29 <15 (atau dialysis)
4
PNEUMONIA DAN PENYAKIT GINJAL KRONIS Penderita PGK memiliki imunitas yang rendah sehingga cenderung lebih mudah mengalami infeksi seperti pneumonia, ISK dan sepsis. Pneumonia merupakan infeksi akut serta komplikasi yang serius. Pneumonia bakterial merupakan jenis pneumonia yang lebih sering dialami penderita PGK (Naqvi, 2006). Sekitar 79% penderita PGK terinfeksi pneumonia perlu rawat inap dengan mortalitas sebesar 33% (Viasus, 2011). Morbiditas dan mortalitas pneumonia pada PGK lebih banyak dialami penderita dengan LFG rendah. Hal ini menunjukkan derajat PGK yang semakin berat merupakan faktor morbiditas dan mortalitas pneumonia. (James, 2009). Faktor mortalitas pneumonia pada PGK berupa lanjut usia dan komplikasi jantung. Faktor lanjut usia dan komorbid memegang peranan penting mortalitas PGK terkait pneumonia. Faktor komorbid pneumonia pada penderita PGK diantaranya gangguan jantung dan diabetes melitus (Viasus, 2011). Disamping akibat kardiovaskular, infeksi seperti pneumonia juga merupakan penyebab kematian yang meningkat pada PGK (James, 2009) Penegakan diagnosis dan severitas pneumonia pada penderita PGK sulit bila memakai patokan suhu dan peningkatan lekosit, karena adanya penurunan respon imun sehingga kurang sensitif. Penderita PGK mengalami penurunan albumin dan sistem imun baik alami maupun adaptif yang sebanding dengan penurunan LFG. Adanya lekositosis menunjukkan respon imun yang masih berfungsi, sebaliknya lekopenia memiliki outcome yang buruk. Sekitar 90% penderita pneumonia – PGK memiliki PSI (Pneumonia Severity Index) skor yang tinggi. Gangguan fungsi ginjal menyebabkan pengurangan ekskresi obat melalui ginjal termasuk antibiotika (Viasus, 2011) Penatalaksanaan pneumonia yang tidak tepat akan menyebabkan perburukan kondisi terkait sepsis dan ARDS. Kondisi sepsis dapat memperburuk fungsi ginjal. Keduanya meningkatkan angka mortalitas. Pemberian antibiotik yang adekuat merupakan faktor yang penting, namun harus diperhatikan bahwa perlunya pemilihan antibiotika yang bijak dengan memperhatikan efektifitas obat tanpa mengurangi resiko perburukan fungsi ginjal. (Viasus, 2011)
PNEUMONIA BAKTERIAL a. Definisi Pneumonia didefinisikan sebagai keradangan parenkim paru yang disebabkan infeksi. Pneumonia bakterial disebabkan kuman gram positif atau negatif selain Mycobacterium
5
tuberculosis (Soedarsono, 2010). Pada makalah ini, kami membatasi mengenai pneumonia bakterial saja. b. Pembagian Pneumonia bakterial dikelompokkan berdasar klinis dan epidemiologis, dibagi menjadi pneumonia komunitas (CAP, Community-acquired pneumonia), pneumonia nosokomial (HAP, Hospital-acquired pneumonia; VAP, Ventilator-associated pneumonia; HCAP, Health care associated pneumonia), dan pneumonia aspirasi. (Soedarsono, 2010). Pneumonia komunitas (CAP) adalah pneumonia yang didapat dari masyarakat. Sedangkan HAP termasuk pneumonia nosokomial yang terjadi pada waktu penderita dirawat di rumah sakit, infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi saat masuk rumah sakit, biasanya terjadi setelah 72 jam pertama masuk rumah sakit. Yang termasuk subgroup dari pneumonia nosokomial adalah VAP yang merupakan penyulit pemasangan ventilator (Soedarsono, 2010). Yang dimaksud HCAP adalah pneumonia yang diderita setelah pulang dari rumah sakit atau terdapat kontak dengan petugas kesehatan, setelah hemodialisis, setelah rawat inap (Viasus, 2011). Penderita PGK memiliki resiko terinfeksi pneumonia baik pneumonia komunitas maupun nosokomial saat penderita rawat inap maupun setelah hemodialisis (James, 2009). c. Etiologi Pneumonia komunitas sering disebabkan oleh kuman gram positif, sedangkan kuman gram negatif sering pada pneumonia nosokomial dan kuman anaerob sering pada pneumonia aspirasi (Soedarsono, 2010). S.pneumonia sebagai penyebab tersering pada CAP semua tingkat severitas. Sedangkan Mycoplasma pneumonia, H.influenza dan Clamydophila pneumonia berhubungan dengan CAP sedang. Staphylococcus aureus, Legionella, dan gram negatif terkait dengan CAP berat (File, 2009). S. pneumonia menjadi penyebab tersering pada penderita PGK (James, 2009; Viasus, 2011). Tabel 1. Kuman penyebab pneumonia bakterial (Mandell, 2010; Torres, 2010) Pneumonia CAP
HAP
Ringan (rawat jalan) Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Chlamydophila pneumoniae Haemophilus influenzae
Early onset (<5 hari) S. pneumonia H. influenza Anaerob
Kuman Sedang (rawat inap) Berat (rawat ICU) Streptococcus pneumoniae Streptococcus pneumonia Mycoplasma pneumoniae Enterik gram-negatif Chlamydophila pneumoniae Staphylococcus aureus Haemophilus influenzae Legionella spp. Enterik gram-negatif Mycoplasma pneumoniae Aspirasi (anaerob) Pseudomonas aeruginosa Legionella spp. Late onset (>5 hari) MRSA (S. aureus methicillin–resisten) Enterik gram-negatif P. aeruginosa
6
VAP HCAP
Acinetobacter baumanii S. maltophilia S.pneumonia MSSA (Metisilin sensitive Staph.aureus) H.influenza Enterik gram negatif S. aureus (methicillin-sensitif atau methicillin-resisten) P. aeruginosa
Keterangan: Peta kuman diatas bisa berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo d. Diagnosis Pneumonia Diagnosis pneumonia didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan foto rontgen dada. Diagnosis pasti ditegakkan bila didapati infiltrat baru atau progresif ditambah 2 atau lebih gejala berupa batuk bertambah berat, dahak berubah purulen, suhu ≥ 37,50C, tanda konsolidasi paru, ronki, lekositosis (≥10.000) / lekopeni (<4000). Untuk menentukan kuman penyebabnya perlu dilakukan hapusan dan kultur dahak (Soedarsono, 2010). Pada penderita PGK, sistem imun yang turun memberikan respon yang berbeda terhadap infeksi termasuk pneumonia. Penderita PGK yang menderita pneumonia kadang sulit untuk batuk dan mengeluarkan dahak, suhu dan lekosit kadang dalam batas normal. Hal ini yang sering menimbulkan keraguan dalam mendiagnosis pneumonia (Viasus, 2011). e. Kriteria Perawatan Penderita pneumonia dikelompokkan menjadi rawat jalan, rawat inap, rawat intensif (ICU). Sistem skoring untuk menentukan severitas/derajat keparahan diantaranya dengan CURB-65 (Confusion, Uremia (BUN>7), Respiratory rate >30, Blood pressure <90, dan usia >65 tahun), CRB-65 (sama dengan CURB namun tanpa kriteria Uremia), PSI (Pneumonia Severity Index) score dan PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) score. Yang paling mudah adalah dengan CURB-65 (Mandell, 2010; Soedarsono, 2010). Semakin tinggi skor CURB-65 maka semakin tinggi pula tingkat mortalitasnya (grup 1=1,5%, grup 2=9,2%, grup 3=22%) (File, 2009). Penderita PGK cenderung memiliki skor CURB-65 yang lebih tinggi. Kesadaran penderita dapat turun terkait Encephalopati uremic, Ureum darah jelas meningkat, frekuensi pernapasan akan meningkat pada asidosis metabolic. Hal ini tumpang tindih dengan kondisi PGK, sehingga keadaan tersebut bisa disebabkan bukan karena pneumonia yang berat. Tekanan darah turun terkait sepsis pada pneumonia. Usia lebih tua diatas 65 tahun memperburuk severitas pneumonia. (Viasus, 2011). f. Terapi Pneumonia Bakterial Pengobatan kausatif pneumonia bakterial dengan antibiotika. Pemilihan antibiotika layaknya berdasar pada data mikroorganisme dan hasil uji sensitivitas, namun antibiotika diberikan secara empiris karena pneumonia yang berat dapat mengancam nyawa, kuman
7
patogen yang didapati dari hasil kultur belum tentu sebagai penyebab pneumonia dan kultur/sensitivitas obat memerlukan waktu. Pengobatan penderita pneumonia perlu memperhatikan klinis serta adanya faktor modifikasi. Bila klinis baik maka tidak perlu rawat inap. Sedangkan faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi oleh mikroorganisme patogen tertentu / spesifik (Soedarsono, 2010). Tabel 2 Faktor Modifikasi Pneumonia (Soedarsono, 2010). Pneumokokus resisten penisilin – Usia >65 tahun – Minum laktam 3 bln terakhir – Pecandu alkohol – Penyakit gangguan kekebalan – Penyakit penyerta multipel
Enterik gram negative – Penghuni rumah jompo – Penyakit dasar jantung paru – Riwayat minum antibiotika – Kelainan penyakit yang multipel
Pseudomonas aeruginosa – Bronkiektasis – Minum steroid > 10mg / hari – Minum antibiotika broad spectrum >7 hari (1 bln terakhir) – Gizi kurang
Penderita PGK memiliki resiko terinfeksi ketiga kuman diatas terkait imunitas, penyakit yang multipel serta riwayat penggunaan antibiotika. (Viasus, 2011) g. Pemilihan Antibiotika pada Pneumonia Bakterial Antibiotika sebaiknya segera diberikan, disebutkan kurang dari 8 jam. Terdapat berbagai panduan tentang pemilihan Antibiotika pada pneumonia bakterial, diantaranya panduan dari PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), IDSA (Infectious Diseases Society of America), Canada, ATS (American Thoracic Society) (Soedarsono, 2010). Lama pemberian antibiotika minimal 5 hari dan harus bebas deman selama 48-72 jam dan tidak didapati gejala klinis terkait Pneumonia (Mandell, 2010). Tabel 3 Panduan pemilihan antibiotika CAP menurut ATS (Mandell, 2010). Skor CURB-65 = 0-1 (grup 1) Rawat Jalan Risk factor resisten S.pneumonia(-) - Makrolid / - Doxycyclin
Skor CURB-65 = 2 (grup 2) Rawat Inap - FQ respirasi / - -laktam ditambah Makrolid / Doxycyclin
Risk factor resisten S.pneumonia(+) (Komorbid jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkohol, kanker, imunosupresi) - Fluoroquinolone respirasi / - -laktam + Makrolid / Doxycyclin
Makrolid: Azitromicin, Klaritromicin, Eritromicin Fluoroquinolone respirasi : Moxifloxacin, Gemifloxacin, Levofloxacin -laktam : high-dose Amoxicillin, Amoxicillin-Clavulanate, Ceftriaxone, Cefpodoxime, Cefuroxime Keterangan: FQ: Fluoroquinolon
-laktam : Cefotaxime, Ceftriaxone, Ampicillin Fluoroquinolone respirasi diberikan bila alergi penisilin
Skor CURB-65 = 3,4,5 (grup 3) ICU - -laktam + FQ respirasi / Makrolid Pseudomonas (+) -laktam antipseudomonas ditambah Ciprofloxacin / Levofloxacin atau Aminoglikosida+ Fluoroquinolon antipneumokokus MRSA (+): ditambah vancomycin / linezolid -laktam : Cefotaxime, Ceftriaxone, AmpicillinSulbactam -laktam antipseudomonas : Piperacillin-Tazobactam, Cefepime, Imipenem, Meropenem
8
Tabel 4 Panduan pemilihan antibiotika CAP menurut PDPI (Soedarsono, 2010). Rawat Jalan
Rawat Inap
ICU
Faktor Modifikasi (-) -laktam atau -laktam + anti -laktamase Faktor Modifikasi (-) -laktam + anti -laktamase iv atau Cefalosporin generasi 2,3 iv atau Fluoroquinolone respirasi iv Risiko infeksi Pseudomonas (-) Cefalosporin generasi 3 nonpseudomonas iv + Makrolide / Fluoroquinolone respirasi iv
Faktor Modifikasi (+) -laktam + anti -laktamase atau Fluoroquinolone respirasi Faktor Modifikasi (+) Cefalosporin generasi 2,3 iv atau Fluoroquinolone respirasi iv Risiko infeksi Pseudomonas (+) Cefalosporin anti-pseudomonas iv atau Karbapenem iv + Fluoroquinolone antipseudomonas iv /Aminoglikosida iv
Tabel 5 Panduan pemilihan antibiotika HAP atau VAP tanpa risiko faktor patogen MDR (Multi-drug resistant), onset dini dan semua derajat penyakit (Soedarsono, 2010). Patogen yang potensial Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza MSSA (Methicilline sensitive Staphylococcus aureus) Enterik batang negative (E.coli, K.pneumonia, Proteus, Enterobacter, Serratia marcercens)
Antibiotika empiris -laktam + anti -laktamase (Amoksisilin-Klavulanat) atau Cefalosporin gen 3 non pseudomonas (Ceftriaxon, Cefotaksim) atau FQ respirasi (Levofloxacin, Moxifloxacin, Gatifloxacin)
Keterangan : Peta kuman diatas dapat berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo Tabel 6 Panduan pemilihan antibiotika HAP atau VAP semua derajat penyakit dengan onset lanjut atau ada faktor risiko patogen MDR (Soedarsono, 2010). Patogen yang potensial Pseudomonas aeruginosa Klebsiela pneumonia (ESBL) Acinetobacter sp. MRSA (Methicilline resistant Staphylococcus aureus)
Antibiotika empiris Cefalosporin anti pseudomonas (Cefepim, Ceftazidime, Cefpiron) atau Karbapenem antipseudomonas (Meropenem, Imipenem) atau -laktam + anti -laktamase (Piperacilin-Tazobactam) ditambah FQ antipseudomonas (Ciprofloxacin, Levofloxacin) atau Aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin, Tobramicin) ditambah Linesolid / Vancomicin / Teikoplatin
Keterangan : Peta kuman diatas dapat berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo
Pemilihan antibiotika empiris menggunakan strategi de-eskalasi, yaitu bentuk optimalisasi pengobatan pneumonia berat diawali dengan dosis awal tinggi spektrum luas lalu diganti dengan spektrum terbatas sesuai hasil kultur dan uji sensitivitas yang didapat. Panduan diatas merupakan pemilihan antibiotika secara empiris
berdasar data kuman dan uji sensitivitas
(Soedarsono, 2010). Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada pneumonia dengan gangguan ginjal terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan resistensi. Kesalahan pemilihan antibiotika menyebabkan tingkat kesembuhan yang berkurang bahkan meningkatkan mortalitas. Kesalahan
9
pemilihan dosis dapat memberikan efek samping bahkan dapat memperburuk kondisi ginjal penderita PGK (Gilbert, 2011). Panduan pemilihan antibiotika pada penderita PGK yaitu memilih antibiotika yang dieliminasi oleh hati, menghindari golongan tetrasiklin atau dengan monitor, obat dilakukan penyesuaian baik dosis maupun interval (Patel, 2010).
ANTIBIOTIKA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PGK Pemilihan antibiotika untuk pneumonia bakterial pada PGK perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini karena pada PGK terjadi gangguan eliminasi obat melalui ginjal serta proses farmakokinetik deposisi obat (absorbsi, distribusi, klirens). Dosis obat yang klirensnya terkait dengan ginjal memerlukan penyesuaian dosis obat sesuai dengan klirens kreatinin atau LFG (Glomerular Filtration Rate). Metode yang direkomendasikan untuk penyesuaian dosis ini ada tiga yaitu pengurangan dosis, pemanjangan interval pemberian atau gabungan keduanya (Matzke, 2011). Lebih dari setengah efek samping terjadi karena penyesuaian dosis yang tidak tepat. Kesalahan dalam penyesuaian dosis obat pada penderita gangguan ginjal dapat menyebabkan efek samping, toksisitas, outcome yang buruk, biaya perngobatan bertambah, dan lama rawat inap. Penyesuaian dosis akan mengoptimalkan efek terapi pada penderita gangguan ginjal (Fahimi, 2012). Pemberian antibiotika bisa dalam dosis inisial / loading dose maupun dosis pemeliharaan / rumatan / maintenance. Dosis inisial diberikan berdasarkan volume cairan ekstrasel bukan berdasarkan penurunan fungsi ginjal. Loading dose diperlukan untuk mendapatkan level terapetik obat dalam plasma secara cepat. Pada dosis rumatan, perlu dilakukan modifikasi dosis pada penderita gangguan ginjal (Gilbert, 2011). Antibiotika yang ekskresinya dan klirensnya melalui ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis pada penderita PGK. Identifikasi penyesuaian dosis optimal penderita PGK perlu dilakukan secara seksama karena terkait dengan efikasi antibiotika, toksisitas dan potensi resistensi antibiotika. Beberapa hal yang perlu diketahui terkait penyesuaian dosis optimal diantaranya farmakokinetik antibiotika pada gangguan ginjal, farmakodinamik terkait efek antimikroba, hubungan pemberian antibiotika terhadap toksisitas dan resistensi antibiotika. Penyesuaian dosis didasarkan pada fungsi ginjal dinilai dari LFG, rumus Cockroft-Gault lebih sering dipakai untuk menghitung LFG (Patel, 2010).
10
Tabel 9 Penyesuaian dosis antibiotika pneumonia pada gangguan ginjal (Gilbert, 2011) Golongan Antibiotika
Jenis Obat
-laktam
Amoxicillin Ampicillin
-laktam dan Anti laktamase Fluoroquinolone respirasi
Amox-Clavul. Ampi-Sulbac Levofloxacin Moxifloxacin Gatifloxacin Ciprofloxacin
Fluoroquinolone antipseudomonas Cefalosporin generasi 2,3 Cefalosporin generasi 3 non-pseudomonas Cefalosporin antipseudomonas Makrolide
Ceftriaxone Cefotaxime Ceftriaxone
Dosis Normal Dosis Interval 500mg po q8h 1g iv q4h 500mg po q6h 500/125mg po q8h 1,5g iv q6h 250-750mg q24h 400mg q24h 400mg q24h 400mg iv q12h 500mg po q12h 1-2g iv q12-24h 1g iv q6h 1-2g iv q12-24h
Metode adjust I I I I I D I
q12h q6h q24h 100% 100% q12h
q24h q12h q24-48h 100% 50% q12h
q24h q24h q48h 100% 50% q24h
I -
100% q6h 100%
100% q12h 100%
100% q24h 100%
Cefotaxime Ceftazidime
1g iv 1-2g iv
q6h q8h
I I
q6h q12h
q12h q24h
q24h q48h
Azitromicin Klaritromicin Eritromicin
250-500mg po/iv 500mg po 250-500mg po 1g iv 0,5-1g
q24h q12h q6h
D -
100% 100% 100%
100% 75% 100%
100% 50% 100%
q6h
D dan I
500mg q6h 100% 60-90% q12h 60-90% q8-12h 100%
250500mg q12h 50% 30-70% q12-18h 30-70% q12h 100%
250500mg q24h 25% 20-30% q24-48h 20-30% q24-48h 100%
Karbapenem
Meropenem
Aminoglikosida
Imipenem Amikacin
0,25-1g 5mg/kg
q6h q8h
D D dan I
Gentamicin
1-1,7mg/kg
q8h
D dan I
Doxycycline
100-200mg iv/po
q12h
-
Doxyxycline
Penyesuaian dosis (GFR) >50 10-50 <10 q8h q12h q24h q6h q8h q12h
Keterangan : Metode adjust D : Dose reduction method (pengurangan dosis) I: Interval extension method (pemanjangan interval)
PNEUMONIA PADA PGK DENGAN HEMODIALISIS Probabilitas kumulatif penderita PGK dengan hemodialisis rutin yang masuk rumah sakit disertai pneumonia sebesar 36% dalam 5 tahun memiliki mortalitas sebesar 28%. Penderita hemodialisis memiliki risiko infeksi blood stream oleh kuman yang resisten, terkait juga multidrug resisten HCAP. Kuman penyebab pneumonia pada PGK dengan hemodialisis regular yaitu S.pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa, Klebsiela, dan H.influenza. Pemilihan antibiotika pneumonia pada PGK dengan hemodialisis tetap berdasarkan panduan yang ada dengan penyesuaian dosis. (Viasus, 2011) Pada penderita end-stage renal disease yang memerlukan hemodialisis terjadi penurunan fungsi sistem imun alami dan adaptif yang sebanding dengan penurunan LFG. Terjadi penurunan proliferasi limfosit yang juga terkait penurunan albumin, dan klirens kreatinin yang meningkatkan mortalitas penderita dengan hemodialisis. Perlunya vaksin
11
polisakarida pneumococcal sebagai faktor protektif pada penderita PGK. Vaksin ini diduga juga menurunkan risiko infark miokar (Viasus, 2011). Rawat inap penderita pneumonia PGK dengan hemodialisis regular memberi dampak prognosis yang buruk. Sehingga pneumonia berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas penderita PGK – hemodialisis. Diperkirakan sepertiga penderita PGK-hemodialisis menderita pneumonia dalam 5 tahun. Sama halnya dengan penderita PGK yang belum hemodialisis, morbiditas dan mortalitas terkait usia tua dan komorbid. Sedangkan transplant ginjal berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pneumonia yang lebih rendah (Slinin, 2006) Mortalitas infeksi paru pada penderita hemodialisis lebih besar 14-16 kali dibandingkan populasi umum. Diperkirakan kematian penderita PGK-Hemodialisis 10 kali lipat bila disertai pneumonia dan 100 kali lipat bila dengan sepsis (Naqvi, 2006). Pengaruh hemodialisis terhadap terapi penderita bergantung pada beberapa faktor diantaranya karakteristik obat, resep hemodialisis and kondisi klinis saat hemodialisis. Yang termasuk faktor terkait obat diantaranya berat dan ukuran molekul, derajat pengikatan protein, volume distribusi. Rekomendasi penyesuaian dosis pada penderita hemodialisis adalah dengan memberikan obat setelah hemodialisis untuk meyakinkan level obat yang aktif sampai pemberian obat selanjutnya, (Matzke, 2011) Metode yang paling sering dipakai untuk menilai efek hemodialisis adalah dengan menghitung klirens dialiser (CLD) obat dalam darah. CLD = Qb [(Ab-Vb)/Ab]. Dimana Qb adalah aliran darah didalam dialiser, Ab adalah konsentrasi obat sebelum masuk dialiser dan Vb adalah konsentrasi obat setelah keluar dialiser (Matzke, 2011). Tabel 10. Penyesuaian dosis antibiotika pada PGK dengan hemodialisis (Gilbert, 2011) Golongan Antibiotika -laktam
Jenis Obat Amoxicillin Ampicillin
Anti -laktamase
Fluoroquinolone respirasi Fluoroquinolone anti-pseudomonas Cefalosporin generasi 2,3 Cefalosporin generasi 3 nonpseudomonas Cefalosporin antipseudomonas Makrolide
Dosis Normal Dosis Intrv 500mg po q8h
Ceftriaxone
1,5g iv 250-750mg 400mg 400mg 400mg iv 500mg po 1-2g iv
Cefotaxime Ceftriaxone
1g iv 1-2g iv
Cefotaxime Ceftazidime
1g iv 1-2g iv
q4h q6h q46h q6h q24h q24h q24h q12h q12h q1224h q6h q1224h q6h q8h
Azitromicin
250-500mg po/iv
q24h
Amox-Clavul Ampi-Sulbac Levofloxacin Moxifloxacin Gatifloxacin Ciprofloxacin
1g iv 500mg po 500/125mg po
Hemodialisis 500mg q24h ditambah dosis normal setelah dialisis 500mg po / 1g iv q12h ditambah dosis normal setelah dialysis 500/125mg po q24h ditambah dosis normal setelah dialysis 1,5g iv q24h ditambah dosis normal setelah dialisis Awal 250mg dilanjutkan 125mg/hari Dosis sama dengan dosis normal 50% dosis normal, diberikan setelah dialisis iv: 200mg bd po: 250-500mg bd Dosis sama dengan dosis normal (maksimal 2g/hari)
Dosis sama dengan dosis normal
q24h ditambah dosis normal setelah dialisis Dosis sama dengan dosis normal (maksimal 2g/hari) q24h ditambah dosis normal setelah dialisis q24h ditambah dosis normal setelah dialisis
12 Klaritromicin Eritromicin Karbapenem Aminoglikosida Doxyxycline
Meropenem Imipenem Amikacin Gentamicin Doxycycline
500mg po 250-500mg po 1g iv 0,5-1g 0,25-1g 5mg/kg 1-1,7mg/kg 100-200mg iv/po
q12h q6h
Dosis sama dengan dosis normal Dosis sama dengan dosis normal
q6h q6h q8h q8h q12h
1-2g 3x/minggu setelah dialisis 250-500mg tiap 12 jam, diberikan setelah dialisis 3mg/kg tiap 48jam 2mg/kg tiap 48jam Dosis sama dengan dosis normal
RINGKASAN Pneumonia merupakan salah satu infeksi dan komplikasi yang serius dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita PGK. Pneumonia bakterial pada penderita PGK banyak disebabkan oleh S. pneumonia. Tatalaksana kausatif infeksi pneumonia bakterial adalah dengan pemberian antibiotika. Antibiotika diberikan secara empiris yang adekuat kemudian dilakukan de-eksalasi sesuai hasil kultur dan sensitivitas. Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada pneumonia dengan gangguan ginjal terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan resistensi. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada penyakit ginjal sesuai dengan klirens kreatinin atau LFG. Penghitungan LFG dapat dilakukan dengan rumus Cockroft-Gault atau formula MDRD. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan mengurangi dosis atau memperpanjang interval dosis obat. Pneumonia pada PGK dapat berupa pneumonia komunitas (CAP) maupun pneumonia nosokomial (HAP, VAP, HCAP). Pemilihan antibiotika berdasarkan panduan yang ada seperti ATS dan PDPI. Pemberian antibiotika dapat satu jenis mau kombinasi tergantung severitas pneumonia. Penyakit Ginjal Kronis merupakan risk factor outcome yang buruk pada penderita pneumonia. Faktor mortalitas pneumonia - PGK berupa usia tua dan faktor komorbid. Penyesuaian dosis antibiotika dilakukan untuk mengurangi efek samping, toksisitas, outcome yang buruk, biaya perngobatan bertambah, lama rawat inap dan mengoptimalkan efek terapi. Antibiotika Moxifloxacin, Ceftriaxone, Azitromicin dan Doxyciclin tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis juga harus dilakukan pada penderita PGK yang rutin hemodialisis.
DAFTAR PUSTAKA Fahimi F, Emami S, Farokhi FR, 2012, ‘The rate of antibiotic dosage adjustment in renal dysfunction’, Iranian Journal of Pharmaceutical Research 11(1): 157-161. File TM, 2009, ‘The science of selecting antimicrobials for Community-Acquired Pneumonia (CAP)’, J Manag Care Pharm 15(2):S5-S11
13
Gilbert B, Robbins P, Livornese LL, 2011, ‘Use of Antibacterial Agents in Renal Failure’, Med Clin N Am 95: 677-702. James MT, Quan H, Tonelli M, 2009, ‘CKD and risk of hospitalization and death with Pneumonia’, American Journal of Kidney Diseases, vol 54, no 1 (July): pp 24-32. Katiyakara C, Yamwong S, Vathesatogkit P, Chittama A, 2012, ‘The Impact of different GFR estimating equations on the prevalence of CKD and risk groups in a Southeast Asian cohort using the new KDIGO guidelines’, Nephrology 2012, 13:1. Mandell LA, Wunderink RG, 2010, Pneumonia, In: HARRISON’S Pulmonary and Critical Care Medicine. New York, McGrawHill. Matzke GR, Aronoff GR, Atkinson AJ, Bennett WM, Decker BS, Eckardt KU, 2011, ‘Drug dosing consideration in patients with acute and chronic kidney disease - a clinical update from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)’, Kidney International 80, 1122–1137. Moorthy AV, Blichfeldt TC, 2009, Anatomy and Physiology of the Kidney. In: Pathophysiology af Kidney Disease and Hypertension, Philadelphia, Saunders Elsevier. Naqvi SB, Collins AJ, 2006, ‘Infectious complication in Chronic Kidney Disease’, Advances in Chronic Kidney Disease, vol 13, no 3 (July): pp 199-294 Niederman Michael S, 2008, Principles of Antibiotic Use and the Selection of Empiric Therapy for Pneumonia. In: Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi 4. New York: McGraw-Hill. NKF-K/DOQI, 2012, ‘KDOQI Clinical Practice Guideline for Diabetes and CKD: 2012 Update’, Am J Kidney Dis. 2012; 60(5):850-886 Patel N, Scheetz MH, Drusano GL, Lodise TP, 2010, ‘Determination of antibiotic dosage adjustments in patients with renal impairment: element for success’, J Antimicrob Chemother, doi:10.1093/jac/dkq323 Slinin Y, Foley RN and Collins AJ, 2006, Clinical epidemiology of pneumonia in hemodialysis patients: the USRDS waves 1, 3, and 4 study. Kidney International 70, 1135–1141 Soedarsono, 2010, Pneumonia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan III. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSUD Dr.Soetomo. Torres A, Menýndez R, Wunderink R, 2010, Pyogenic Bacterial Pneumonia and Lung Abscess. In: Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 5th ed. Philadelphia, Elsevier. Viasus D, Vidal CG, Cruzado JM, Adamuz J, 2011, ‘Epidemiology, clinical features and outcomes of pneumonia in patients with chronic kidney disease’, Nephrol Dial Transplant 26: 2899-2906.