TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan Gastrointestinal pada Penyakit Ginjal Kronis Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede Puskesmas Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Indonesia
ABSTRAK Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penyakit kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis termasuk gangguan gastrointestinal yang berperan terhadap meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Meskipun prevalensi dan insidens gangguan gastrointestinal pada PGK sulit diperkirakan dan beberapa penelitian melaporkan hasil berbeda, prevalensi dan insidensnya lebih tinggi dibanding populasi. Gejala gastrointestinal yang paling sering ditemukan adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen, diare, dan konstipasi. Patogenesis gangguan gastrointestinal pada pasien PGK belum sepenuhnya diketahui. Beberapa kelainan yang mendasari gangguan gastrointestinal pada PGK antara lain gastroparesis, lesi saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran cerna atas dan bawah, angiodisplasia, pankreatitis akut, iskemi mesenterik akut, nekrosis kolon akibat resin penukar ion. Beberapa kelainan gastrointestinal dapat juga terjadi pada PGK yang menjalani dialisis peritoneal seperti peritonitis, divertikulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis gangguan gastrointestinal memerlukan pengamatan dan pertimbangan yang cermat antara temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta indeks kecurigaan yang cukup tinggi. Belum ada pedoman diagnosis dan tata laksana yang baku untuk gangguan gastrointestinal yang menyertai pasien PGK. Tata laksana yang adekuat memberikan prognosis yang lebih baik. Kata kunci: penyakit ginjal kronik, gangguan gastrointestinal, perdarahan saluran cerna
ABSTRACT Chronic kidney disease (CKD) is defined as kidney damage for three or more months with or without decreased glomerular filtration rate. CKD can lead to various clinical manifestations, including gastrointestinal disorders. Gastrointestinal disorders are common in patients with CKD and contribute to increased morbidity and mortality. Although difficult to estimate and results from studies are conflicting, the prevalence and incidence of gastrointestinal disorders in CKD seem higher than in the general population. The most common gastrointestinal symptoms are nausea, vomiting, abdominal pain, diarrhea, and constipation. The pathogenesis of gastrointestinal disorders in patients with CKD remains not fully understood. Underlying gastrointestinal pathologies in CKD include gastroparesis, upper gastrointestinal lesion, gastrointestinal bleeding, angiodysplasia, acute pancreatitis, acute mesenteric ischemia, ion-exchange resin induced colonic necrosis. Gastrointestinal pathologies unique to patients on peritoneal dialysis include peritonitis, diverticulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis of gastrointestinal disorders accompanying CKD requires careful observation and consideration of clinical findings and diagnostic tests, also a high index of suspicion. No clear diagnosis and management guidelines currently exist. Adequate management leads to a better prognosis. Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede. Gastrointestinal Disorders in Chronic Kidney Disease. Key words: chronic kidney disease, gastrointestinal disorders, gastrointestinal bleeding
PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif. NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai : (1) kelainan struktural atau fungsional ginjal selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan LFG, yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan kompo-
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 501
sisi darah atau urin, atau kelainan pada pencitraan; (2) LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Istilah gagal ginjal mengacu kepada penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ ESRD) dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau membutuhkan terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi).1 PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah gangguan gastrointestinal, yang merupakan gangguan non renal yang paling sering ditemukan di samping diabetes melitus dan penyakit arteri
koroner. Gangguan gastrointestinal berkaitan dengan malnutrisi yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal. Oleh karenanya, gangguan gastrointestinal yang menyertai PGK perlu mendapat perhatian.2-7 GEJALA Gejala gastrointestinal dapat diklasifikasikan sebagai gangguan organik dan fungsional berdasarkan ada tidaknya kelainan yang mendasari. Gejala gastrointestinal organik berhubungan dengan lesi di saluran gastrointestinal sebagai penyebab, sedangkan gejala
501 7/8/2012 12:17:23 PM
TINJAUAN PUSTAKA fungsional tidak memiliki kelainan histopatologis dan dipengaruhi oleh faktor psikologis, hipersensitivitas viseral, dan perubahan motilitas saluran cerna.2 Ketidak seragaman pengertian gangguan gastrointestinal dan banyaknya faktor yang mempengaruhinya menyebabkan kesulitan dalam mengetahui prevalensi gangguan gastrointestinal fungsional. Dispepsia dan irritable bowel syndrome adalah contoh gangguan gastrointestinal fungsional yang definisi dan prevalensinya bervariasi. Untuk memudahkan diagnosis dan tatalaksananya, disepakati menstandarisasi definisi gangguan gastrointestinal fungsional dengan menggunakan kriteria Rome dan Gastrointestinal Symptom Rating Scale.2 Prevalensi gangguan gastrointestinal fungsional jauh lebih besar daripada gangguan gastrointestinal organik dengan perkiraan berkisar antara 7%-90% dalam 20 tahun terakhir ini.2 Meski demikian, beberapa penelitian menunjukkan prevalensi gejala gastrointestinal pada PGK yang tinggi antara 70%-79%.2,4,6 Prevalensi tersebut secara umum tidak jauh berbeda di antara kelompok pasien pre-dialisis, hemodialisis dan dialisis peritoneal.2,4 Gejala gastrointestinal yang paling sering ditemukan pada pasien PGK adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen, diare, dan konstipasi.2,4 Gejala lain yang dilaporkan oleh berbagai penelitian antara lain : refluks, indigesti, anoreksia, borborigmi, distensi abdomen, disfagia, dan heartburn.2,4,5 Prevalensi irritable bowel syndrome juga cukup tinggi berkisar antara 11%-44%.2,6 Patogenesis gejala gastrointestinal pada PGK bersifat multifaktorial, akan tetapi mekanisme yang mendasarinya belum sepenuhnya jelas.4,7 Nausea dan vomitus sering ditemukan pada pasien uremia, diduga keterlambatan pengosongan lambung (gastroparesis) berperan pada patogenesisnya.4 Adachi dkk (2007) melaporkan bahwa pada pasien gagal ginjal predialitik, kejadian gejala gastrointestinal tinggi dan terdapat hipomotilitas lambung yaitu terhambatnya aktivitas mioelektrik lambung dan keterlambatan pengosongan lambung sehingga disimpulkan bahwa hipomotilitas lambung merupakan faktor penting dalam terjadinya gejala gastrointestinal.7 Beberapa penelitian menunjukkan keterlambatan pengosongan lambung pada pasien PGK, namun ada penelitian yang melaporkan pengosongan lambung yang normal.2,4,7
502 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 502
Strid dkk.(2002) melaporkan bahwa diare sering ditemukan pada pasien PGK, penyebab tingginya prevalensi diare belum diketahui. Evaluasi diagnostik pada pasien PGK dengan diare tidak menunjukkan etiologi yang spesifik.4 Konstipasi sering dilaporkan pada pasien PGK,2,4,5 dengan prevalensi mencapai 63% pada pasien hemodialisis dan 29% pada pasien dialisis peritoneal, sedangkan prevalensi pada populasi sebesar 10-20%. Penelitian menunjukkan pemanjangan waktu transit kolon yang signifikan, baik total maupun segmental pada pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal jika dibandingkan dengan populasi. Kaitan antara konstipasi dengan PGK berhubungan dengan perubahan gaya hidup yaitu berkurangnya aktivitas, berkurangnya masukan serat karena diet rendah kalium, penggunaan pengikat fosfat, dan adanya komorbid lain seperti diabetes melitus dan penyakit serebrovaskuler. Tata laksana konstipasi pada pasien PGK tidak jauh berbeda dengan tata laksana konstipasi pada umumnya yaitu pemberian pelunak tinja, lubrikan, laksatif, dan enema. Enema yang mengandung magnesium dan fosfat dihindari untuk mencegah hipermagnesemia dan hiperfosfatemia serta untuk mencegah perburukan fungsi ginjal sisa.2 Pemanjangan waktu transit kolon serta berkurangnya digesti protein di usus halus dan diet kurang serat dapat menyebabkan perubahan flora kolon. Hal ini menyebabkan konsentrasi bakteri proteolitik pada pasien PGK lebih tinggi daripada orang normal. Bakteri proteolitik menghasilkan molekul seperti fenol, indol dan amina yang terakumulasi di saluran cerna pasien PGK. Molekul yang disebut sebagai molekul retensi uremik inilah yang diduga berkontribusi menyebabkan sindrom uremia. Tata laksana untuk mengurangi molekul retensi uremik ini meliputi: (1) intervensi untuk mengatur pertumbuhan bakteri dengan terapi prebiotik, probiotik dan modifikasi diet (meningkatkan asupan karbohidrat dan membatasi asupan protein); (2) pemberian adsorben yang mengikat molekul retensi uremik di usus untuk mengurangi absorpsinya yaitu dengan AST-120 (adsorben yang terdiri atas partikel karbon sferis) dan Sevelamer (pengikat fosfat non-metal yang selama ini diberikan untuk mengurangi hiperfosfatemia).2,8 Gangguan psikologis seperti ansietas dan
depresi juga ditemukan pada pasien PGK dengan perkiraan prevalensinya mencapai 20-30%, sedangkan prevalensi depresi yang dilaporkan sendiri oleh pasien mencapai 68%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi. Ansietas dan depresi sering dikaitkan dengan gangguan somatis, termasuk gangguan gastrointestinal, sehingga ansietas dan depresi dianggap salah satu faktor yang berperan menyebabkan gejala gastrointestinal pada pasien PGK.2 KELAINAN YANG MENDASARI 1. Gastroparesis Gastroparesis adalah keterlambatan pengosongan lambung. Strid dkk. melaporkan temuan gastroparesis pada 36% pasien gagal ginjal dengan prevalensi yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal dibanding pasien yang belum menjalani dialisis.4 Penelitian lain melaporkan temuan waktu pengosongan lambung yang lebih panjang pada pasien PGK dibandingkan dengan kontrol sementara lainnya tidak.2,4,7,9 Gastroparesis biasa ditemukan pada pasien diabetes melitus dan berkaitan dengan meningkatnya prevalensi gangguan gastrointestinal pada PGK.2,4 PGK sendiri berkaitan erat dengan diabetes melitus sehingga diduga hiperglikemia dan polineuropati otonom akibat diabetes berperan dalam patogenesis gastroparesis dan gejala yang diakibatkannya.2,4,7,10,11 Gastroparesis lebih sering dijumpai pada pasien dialisis peritoneal dibandingkan pasien predialitik3,7, mungkin disebabkan adanya cairan dialisat di rongga peritoneum yang mempengaruhi motilitas lambung.4,7,11 Akan tetapi beberapa penelitian tidak menemukan pengaruh dialisat terhadap pengosongan lambung.3 Hemodialisis yang efektif tidak memperbaiki waktu pengosongan lambung. Oleh karenanya sampai saat ini patogenesis gastroparesis pada pasien PGK belum jelas diketahui.2 Tata laksana gastroparesis pada pasien PGK bersifat simtomatik. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian gastroprokinetik seperti metoklopramid 4 x 5-10 mg atau eritromisin 4 x 200 mg sebelum makan utama dan sebelum tidur, memperbaiki status gizi yang terlihat dari kenaikan kadar albumin serum sehingga disimpulkan bahwa perbaikan status gizi disebabkan oleh perbaikan motilitas lambung. Akan tetapi penelitian tersebut
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
7/8/2012 12:17:24 PM
TINJAUAN PUSTAKA tidak menyebutkan ada atau tidaknya perbaikan gejala. Penelitian lain dengan pemberian cisapride 10 mg bersama eritromisin 200 mg sebelum makan utama menunjukkan hasil serupa, tetapi cisapride dapat meningkatkan risiko aritmia jantung. Beberapa laporan kasus juga melaporkan pemberian eritromisin intraperitoneal menunjukkan hasil yang efektif.2 2. Lesi saluran cerna bagian atas Farsakh dkk. melakukan penelitian tentang gejala, temuan endoskopik, dan histopatologik saluran cerna bagian atas pada 92 pasien hemodialisis dan 100 pasien rawat jalan dengan fungsi ginjal normal yang menjalani endoskopi atas berbagai indikasi. Prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien hemodialisis sebesar 62% sedangkan pada kontrol meski tidak dicantumkan tetapi dilaporkan tidak jauh berbeda dengan pasien hemodialisis.5 Penelitian lain yang menyelidiki prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien gagal ginjal dengan menggunakan esofagogastroduodenoskopi menunjukkan hasil berbeda. Meski demikian prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK tampaknya lebih tinggi daripada populasi.2,5 Jenis lesi saluran cerna bagian atas yang ditemukan oleh Farsakh dkk secara endoskopis antara lain hiatus hernia, esofagitis, erosi lambung, erosi duodenum, ulkus duodenum, ulkus esofagus, dan angiodisplasia. Jenis lesi yang ditemukan secara histopatologik adalah gastritis superfisial kronik dan gastritis atrofik. Hiatus hernia lebih banyak ditemukan pada pasien hemodialisis, sedangkan kelainan lambung meski juga lebih banyak ditemukan pada pasien dialisis dibanding kontrol tetapi tidak signifikan.5 Beberapa lesi saluran cerna bagian atas yang ditemukan antara lain: gastritis, duodenitis, erosi esofagus, ulkus lambung dan pseudomelanosis duodenum.2,5 Patogenesis lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK belum jelas diketahui. Salah satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon gastrin yang meningkat menyebabkan peningkatan produksi asam lambung oleh sel parietal. Penelitian tentang produksi asam lambung pada pasien PGK melaporkan hasil yang beragam, mulai dari akloridia hingga hiperkloridia. Meskipun tidak ditemukan pada semua pasien PGK, peningkatan produksi asam lambung jelas ditemukan pada sebagian pasien PGK.2,10-12,14
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 503
Hipergastrinemia pada PGK terjadi karena berkurangnya bersihan hormon gastrin sebagai akibat penurunan LFG, tetapi mungkin juga karena meningkatnya sekresi hormon gastrin akibat peningkatan densitas sel G yang terdapat pada PGK. Akloridia diduga merupakan stimulus terjadinya hipergastrinemia melalui mekanisme umpan balik antara sel G dan rendahnya asam yang menstimulasi sekresi gastrin.2,10-12,14 Infeksi Helikobakter pylori diduga salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK. Urease yang dihasilkan H. pylori mengubah urea menjadi amonia. Kadar amonia lambung yang tinggi bersifat toksik terhadap epitel lambung dibanding urea. Hiperamonemia lambung menyebabkan perubahan pada turnover selular dengan cara menginduksi apoptosis sehingga memperlambat penyembuhan lesi mukosa. Prevalensi infeksi H. pylori sendiri dilaporkan bervariasi dengan kisaran 21%-66% pada pasien PGK dan 35%75% pada kontrol. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi H. pylori yang lebih tinggi pada pasien PGK dibandingkan dengan pada populasi umum, tetapi beberapa penelitian lain melaporkan prevalensi yang lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan metode diagnostik yang digunakan, populasi yang diobservasi, prevalensi H. pylori pada individu sehat, ciri klinis dan demografis kelompok yang diteliti, penggunaan antibiotik dan proton pump inhibitor, serta faktor lain yang belum diketahui.2,5,12,13 Tidak adanya korelasi yang jelas antara infeksi H. pylori dengan gejala dispeptik dan antara gejala dispeptik dengan lesi saluran cerna pada PGK membuat para klinisi berbeda pendapat perihal apakah semua pasien PGK dengan dispepsia harus dievaluasi untuk mencari infeksi H. pylori dan diobati jika hasilnya positif. Modalitas diagnostik non-invasif untuk mendiagnosis infeksi H. pylori pada PGK antara lain adalah uji antigen tinja dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 97%. Uji non-invasif lainnya adalah urea breath test (sensitivitas: 93,8%, spesifisitas: 85,3%) dan uji serologi (sensitivitas: 87,5%, spesifisitas: 80%). Keduanya kurang sensitif dan spesifik untuk pasien PGK dibandingkan terhadap pasien dengan fungsi ginjal normal.2 Strategi yang direkomendasikan oleh American Gastroenterological Association untuk mengevaluasi
infeksi H. pylori pada PGK adalah melakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi.2 Tata laksana infeksi H. pylori pada PGK sama seperti tata laksana H. pylori pada umumnya. American Gastroenterological Association merekomendasikan pemberian triple therapy yaitu proton pump inhibitor, klaritromisin, dan amoksisilin/metronidazol. Tidak ada regimen spesifik untuk infeksi H. pylori pada pasien PGK.2 3. Perdarahan saluran cerna Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu komplikasi PGK yang sering ditemukan, dan insidens dan mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan pada populasi. Patogenesis perdarahan saluran cerna pada PGK belum jelas, diduga faktor yang berperan terhadap perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.2,15-17 Angiodisplasia adalah malformasi vaskular yang tidak berhubungan dengan sindrom familial, kelainan kulit ataupun kelainan sistemik manapun, dan merupakan kelainan vaskular saluran cerna yang paling sering ditemukan pada populasi dengan prevalensi 0,82%. Angiodisplasia sebagai penyebab perdarahan saluran cerna lebih sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan pada populasi dengan prevalensi berkisar 19-32% pada pasien PGK dan 5% pada populasi. Angiodisplasia juga merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang pada pasien PGK. Etiologi angiodisplasia belum diketahui tetapi berhubungan dengan proses degeneratif vaskular yang diakselerasi oleh hipooksigenasi mukosa usus akibat penyakit vaskular perifer aterosklerotik.2,15,16 Diagnosis angiodisplasia paling sering ditegakkan melalui endoskopi. Sensitivitas kolonoskopi dalam menemukan angiodisplasia pada kolon yaitu sebesar 81%. Angiodisplasia paling sering ditemukan di sekum dan kolon asendens. Angiografi mesenterika selektif dapat digunakan pada kasus perdarahan aktif. Helical CT angiography merupakan teknik pencitraan baru dan menjanjikan sebagai modalitas diagnostik non-invasif untuk angiodisplasia dan perdarahan samar saluran cerna, tetapi peran angiografi pada PGK terbatas karena
503 7/8/2012 12:17:24 PM
TINJAUAN PUSTAKA penggunaan kontras secara intravena. Technetium-(Tc-) labeled scintigraphy juga dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan akitf namun penggunaannya terbatas karena sensitivitasnya rendah.15,16 Tidak ada tata laksana khusus untuk angiodisplasia pada PGK. Angiodisplasia dapat diterapi lokal menggunakan argon plasma coagulation, koagulasi laser, atau koagulasi panas. Jika ada lesi perdarahan besar, embolisasi atau injeksi vasopresin melalui angiografi dapat digunakan. Untuk kasus perdarahan rekuren atau persisten meskipun sudah diterapi secara endoskopis, reseksi secara bedah harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang bukan merupakan kandidat intervensi bedah, estrogen (dengan atau tanpa progesteron) dapat diberikan, akan tetapi karena efikasi yang masih kontroversial dan efek samping seperti metrorhagia, ginekomastia, retensi cairan, trombosis, stroke, kanker payudara dan endometrium, dibutuhkan uji klinis untuk menentukan efikasi dan keamanan terapi estrogen pada PGK. Terapi jangka panjang menggunakan octreotide dilaporkan dapat menurunkan kebutuhan transfusi dan mencegah rekurensi dengan cara menurunkan aliran darah splanknik.2,15,16 Perdarahan saluran cerna bagian atas akut lebih sering terjadi pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Insidensnya diperkirakan lebih dari 21 kasus perdarahan setiap 1000 orang setiap tahunnya dengan risiko mortalitas yang tinggi. Diperkirakan per-darahan saluran cerna bagian atas akut menyebabkan 3-7% kematian pasien gagal ginjal. Merokok, disabilitas, dan riwayat penyakit kardiovaskular merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada gagal ginjal, sedangkan faktor risiko lain yang biasa dihubungkan dengan perdarahan saluran cerna seperti penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, dan antikoagulan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada pasien gagal ginjal.2,17 Perdarahan saluran cerna bagian bawah baik akut maupun kronik pada gagal ginjal tidak banyak dilaporkan, tetapi adenoma, karsinoma, dan angiodisplasia lebih sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Prevalensi lesi kolon lainnya meningkat pada populasi tertentu saja; contohnya, prevalensi divertikulosis pada pasien PGK, tidak lebih tinggi dibandingkan pada popu-
504 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 504
lasi, tetapi prevalensi divertikulosis dan divertikulitis pada penyakit ginjal polikistik justru lebih tinggi daripada populasi.2,15 Perdarahan saluran cerna kronis biasanya diketahui dengan uji darah samar tinja. Prevalensinya pada pasien PGK diperkirakan sekitar 19%. Lokasi tersering perdarahan saluran cerna kronis bagian atas adalah duodenum, dan lesi duodenum ditemukan pada 61% pasien gagal ginjal. Pada saluran cerna bagian bawah, lokasi perdarahan kronis tersering adalah kolon proksimal. Angiodisplasia dan erosi saluran cerna merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna kronis bagian atas, sedangkan neoplasma merupakan penyebab sering perdarahan kronis saluran cerna bagian bawah.2 Divertikulosis merupakan salah satu penyebab paling sering perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien gagal ginjal. Divertikulosis berkontribusi menyebabkan 30-50% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah pada populasi. Insidens perdarahan saluran cerna bagian bawah karena divertikulosis pada pasien gagal ginjal sama dengan populasi. Akan tetapi insidens perdarahan divertikular pada pasien penyakit ginjal polikistik dewasa yang menjalani dialisis rumatan lebih tinggi yaitu sekitar 83% pada suatu penelitian dan 50% pada penelitian lainnya.2,15 Sembilan puluh persen (90%) divertikuli ditemukan di kolon sebelah kiri, dengan lokasi tersering yaitu pada kolon sigmoid, tetapi sebanyak 50% perdarahan disebabkan oleh divertikuli pada kolon sebelah kanan. Penyebab pasti terbentuknya divertikulosis belum jelas, tetapi dipikirkan karena diskinesia usus dan peningkatan tekanan intralumen kolon. Faktor risiko terbentuknya divertikulosis meliputi kurangnya konsumsi serat, konstipasi dan obesitas15. Modalitas diagnostik awal pilihan untuk mengevaluasi divertikulosis adalah kolonoskopi. Jika endoskopi tidak mungkin atau tidak dapat menegakkan diagnosis, dynamic enhanced helical CT Scan dapat digunakan. Selain itu, contrast-enhanced magnetic resonance angiography (MRA) dapat digunakan untuk mendeteksi divertikuli berdarah dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% dibandingkan skintigrafi nuklir yang sensitivitas dan spesifisitasnya 78% dan 72%.15 Selain bersifat diagnostik, kolonoskopi juga bersifat terapetik jika divertikuli yang berdarah telah diidentifikasi. Arteriografi dengan pemberian vasopresin
ataupun embolisasi hanya digunakan untuk pasien yang tidak mungkin menjalani endoskopi, pasien dengan perdarahan berulang atau menetap, dan hasil kolonoskopi yang tidak diagnostik, mengingat embolisasi dapat berisiko menyebabkan infark. Laparotomi eksplorasi dengan kolektomi parsial ataupun total dianggap teknik diagnostik definitif jika divertikuli yang berdarah sulit diidentifikasi dengan teknik lainnya.15 4. Pankreatitis akut Kaitan antara kelainan pankreas dan PGK telah dilaporkan sejak masa predialitik dengan penelitian otopsi. Pada penelitian postmortem tahun 1987 terhadap 78 pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, ditemukan kelainan pankreas berupa inflamasi, perdarahan, fibrosis, infiltrasi lemak, kista, hemosiderosis, dan deposit amiloid pada 47 pasien, sedangkan pankreatitis ditemukan pada 22 pasien.2,18 Insidens pankreatitis akut pada pasien PGK sulit diperkirakan, karena kesulitan mendiagnosis pankreatitis. Dalam penelitiannya, Bruno dkk. melaporkan insidens pankreatitis akut pada pasien dialisis peritoneal meningkat (7 dalam 241 tahun orang), tetapi insidens pada pasien hemodialisis tidak berubah (1 dalam 614 tahun orang) jika dibandingkan dengan pada populasi.18 Lankisch dkk. melaporkan insidens pankreatitis akut lebih tinggi pada pasien gagal ginjal, terutama yang menjalani dialisis peritoneal (32 kasus per 100.000 tahun pasien hemodialisis dan 148 kasus per 100.000 tahun pasien dialisis peritoneal) dibandingkan pada populasi (19,7 kasus per 100.000 tahun pasien populasi umum).19 Pada pasien dengan insufisiensi renal, terdapat peningkatan signifikan konsentrasi hormon gastrointestinal seperti kolesistokinin, serum gastric inhibitory polypeptide, dan glukagon. Peningkatan hormon tersebut menyebabkan hipersekresi enzim pankreas terutama tripsin dan kerusakan selanjutnya.2,18,20 Diagnosis pankreatitis pada PGK dipersulit dengan ketidakakuratan uji biokimia dan saling tumpang tindihnya pankreatitis dengan penyakit lain seperti peritonitis. Gejala pankreatitis yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal adalah nyeri abdomen hebat (ditemukan pada hampir 100% pasien). Gejala lainnya antara lain nausea, vomitus dan nyeri tekan abdomen yang ditemukan pada
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
7/8/2012 12:17:25 PM
TINJAUAN PUSTAKA 73%, 67% dan 79% pasien.2,19 Enzim pankreas terutama difiltrasi oleh ginjal. Bersihan enzim pankreas yang rendah pada pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal menyebabkan konsentrasinya di darah meningkat.2,18,21 Menurut suatu penelitian, peningkatan amilase serum lebih dari tiga kali lipat batas atas normal dan lipase serum >300 μg/L (>60 IU/L) adalah hal yang tidak biasa pada pasien PGK dan bila disertai nyeri abdomen akut dapat mengindikasikan pankreatitis, tetapi penelitian lain melaporkan bahwa amilase dan lipase serum pada pasien PGK dapat melebihi tiga kali batas atas normal tanpa pankreatitis.2,18,19 Peningkatan kadar amilase cairan dialisat >100 U/L dapat membantu membedakan pankreatitis dari peritonitis pada pasien dialisis peritoneal. Perlu diingat juga bahwa dialisat yang mengandung icodextrin dapat menurunkan aktivitas amilase serum tetapi tidak mempengaruhi aktivitas lipase sehingga lipase dapat membantu penegakan diagnosis pankreatitis pada pasien dialisis peritoneal yang menggunakan icodextrin.2,18,21 Pemeriksaan pencitraan untuk menegakkan diagnosis pankreatitis pada pasien PGK adalah USG abdomen dan CT scan abdomen. CT scan abdomen dilaporkan lebih sensitif dibandingkan USG abdomen dalam mendeteksi pankreatitis.2,18,19 Beberapa penelitian melaporkan insidens pankreatitis pada pasien dialisis peritoneal lebih tinggi daripada hemodialisis atau populasi. Penyebabnya tidak diketahui tetapi faktor keasaman, hipertonisitas, dan konsentrasi glukosa cairan dialisat mungkin bersifat toksik terhadap pankreas. Hipotesis lainnya adalah pemberian jangka panjang cairan dialisat dengan komposisi non fisiologis dalam jumlah besar dan tekanan intraabdomen tinggi menyebabkan gangguan mikrovaskularisasi dan hipoksemia pankreas sehingga menginduksi aktivasi prematur enzim proteolitik, dan selanjutnya mencetuskan pankreatitis akut. Pemberian antibiotik dan antikoagulan dalam pengobatan peritonitis juga diduga dapat menyebabkan kerusakan pankreas.2,18, Umumnya pankreatitis pada pasien PGK ditata laksana secara konservatif dengan pengistirahatan usus dan penghisapan cairan lambung melalui pipa nasogastrik. Drainase dan debridemen sebaiknya hanya dilakukan pada pasien dengan pseudokista atau nekrosis. Penggunaan heparin harus diminimalisir untuk mengurangi risiko perdarahan pankreas.2
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 505
Mortalitas pankreatitis akut pada pasien hemodialisis dan dialisis peritoneal dilaporkan berkisar antara 0%-58%. Sebagai perbandingan, mortalitas pankreatitis akut dalam populasi umum dilaporkan 10%.2,18 5. Iskemia mesenterik akut Iskemia mesenterik akut merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen akut pada pasien PGK. Iskemia mesenterik akut jarang ditemukan pada populasi yaitu 0,09-0,2% per tahun pasien, dan lebih sering terdapat pada pasien hemodialisis (0,3-1,9% per tahun pasien). Pada dialisis peritoneal, iskemia mesenterik non-oklusif sebesar 1,35% per tahun pasien. Iskemia mesenterik pada populasi sebagian besar merupakan tipe oklusif karena pembentukan trombosis pada lesi aterosklerotik yang sudah ada di bagian proksimal arteri mesenterika superior, sedangkan pada pasien hemodialisis sebagian besar merupakan tipe non-oklusif yang biasanya berhubungan dengan kegagalan sirkulasi karena gagal jantung akut, dehidrasi, dan aritmia.2,22,23 Faktor risiko utama terjadinya iskemia mesenterik akut pada pasien hemodialisis adalah kelainan kardiovaskular dan aterosklerosis. Iskemia mesenterik akut sering didahului episode hipotensi intradialitik sehingga tingginya insidens iskemia mesenterik akut pada pasien hemodialisis diperkirakan karena terjadinya hipotensi intradialitik dan instabilitas hemodinamik. Penggunaan obat vasokonstriktif, konstipasi, dan kalsifikasi vaskular berperan dalam patogenesis iskemia mesenterik karena frekuensinya lebih sering ditemukan pada pasien dengan iskemia mesenterik dibandingkan pasien tanpa iskemia mesenterik. Eritropoietin diduga turut berperan dalam terjadinya iskemia mesenterik karena mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh mesenterik.2,22,23 Diagnosis iskemia mesenterik akut sulit ditegakkan karena manifestasi klinis non-spesifik dan membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien yang memiliki faktor risiko iskemia mesenterik. Nyeri abdomen biasanya berlokasi di fossa iliaka kanan disertai demam, tahanan abdomen, dan leukositosis merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan. Dalam penelitiannya terhadap 15 pasien gagal ginjal dengan iskemia mesenterik, Bassilios dkk. melaporkan konfirmasi diagnostik dilakukan melalui kolonoskopi pada 4 pasien dan pembedahan
pada 11 pasien. Opaque enema CT scan dilaporkan dapat membantu menegakkan diagnosis lebih awal dengan sensitivitas sebesar 75%. Angiografi dapat mengonfirmasi diagnosis iskemia mesenterik dan membedakan tipe oklusif atau non-oklusif.2,22,23 Pada pasien dialisis peritoneal, jika ditemukan peningkatan amilase cairan dialisat >100 U/L, atau peritonitis polimikrobial, jamur, gram negatif yang tidak membaik meski sudah mendapat terapi antimikrobial yang sesuai, maka iskemia mesenterik perlu dipikirkan sebagai penyebab.2,23 Iskemia mesenterik biasanya ditata laksana dengan reseksi daerah usus yang infark. Laparotomi eksplorasi juga berguna menentukan diagnosis definitif jika diagnosis iskemia mesenterik belum tegak. Tindakan preventif meliputi pencegahan ultrafiltrasi berlebih dan koreksi keseimbangan cairan lebih awal segera jika terdapat tanda bahaya seperti nyeri abdomen akut. Mortalitas iskemia mesenterik sangat tinggi, berkisar 33%-73%. Penyebab utama kematian dini biasanya karena perluasan lesi iskemik dan syok septik. Diagnosis dan tindakan pembedahan lebih dini memperbaiki prognosis.2,22,23 6. Kelainan lain Selain kelainan di atas, ada beberapa kelainan gastrointestinal yang dapat terjadi pada PGK yang menjalani dialisis peritoneal. Kelainan ini tidak disebabkan oleh PGK sendiri, tetapi disebabkan oleh tindakan yang dilakukan untuk tata laksana PGK tersebut. Peritonitis merupakan infeksi serius pada pasien dialisis peritoneal. Peritonitis Gramnegatif mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan peritonitis Gram-positif, dan peritonitis Gram-negatif, yang biasanya disebabkan oleh bakteri enterik, sering mengindikasikan perforasi usus sehingga harus dipikirkan kemungkinan adanya kelainan yang mendasari seperti iskemia mesenterik akut, kolesistitis, apendisitis dan divertikulitis.2,24 Divertikulosis adalah penyebab paling sering kebocoran saluran cerna pada pasien dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan. Meskipun divertikulosis tidak terbukti lebih sering ditemukan pada pasien dialisis peritoneal dibanding populasi umum, tetapi keberadaan divertikula >10, dengan ukuran >10 mm dan adanya divertikula di kolon asendens, transversum atau desendens dihubung-
505 7/8/2012 12:17:26 PM
TINJAUAN PUSTAKA kan dengan peningkatan risiko peritonitis. Hal ini menyebabkan pasien yang sering mengalami episode divertikulitis dianggap merupakan kontraindikasi relatif untuk dialisis peritoneal.2,15,24 Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah komplikasi dialisis peritoneal yang jarang namun berpotensi mematikan. Komplikasi ini diperkirakan terjadi pada 0-4,4% pasien dialisis peritoneal, dengan insidens >15% pada pasien yang telah menjalani dialisis peritoneal selama >15 tahun. Faktor risiko EPS antara lain penggunaan obat penyekat beta, klorheksidin, dialisat mengandung asetat, penghentian terapi dialisis peritoneal/konversi dari dialisis peritoneal ke hemodialisis, paparan berkepanjangan terhadap dialisat yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi, episode peritonitis berulang, lamanya terapi dialisis peritoneal, dan tidak adanya fungsi ginjal sisa. Penyebab EPS diduga berhubungan dengan mekanisme imunologik.2,25,26 Gejala dan tanda EPS antara lain anoreksia, nausea, vomitus, rasa cepat kenyang, nyeri abdomen, distensi abdomen, penurunan berat badan, sindrom obstruksi usus, konstipasi, dan diare. Peningkatan kadar petanda inflamasi di darah dapat ditemukan tetapi tidak spesifik. Diagnosis sering ditegakkan melalui USG dan CT scan abdomen meskipun keduanya tidak sensitif dan spesifik untuk EPS.2,25,26 Terapi imunosupresif dengan prednisolon, azatioprin, dan mofetil mikofenolat menurut beberapa laporan kasus
cukup efektif. Tamoxifen yang memiliki efek fibrinolitik dilaporkan berguna dalam tata laksana EPS. Pembedahan (enterolisis atau adhesiolisis) dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi sehingga tidak direkomendasikan. Di Jepang, pemberian kortikosteroid dan pembedahan oleh ahli bedah berpengalaman memberikan hasil baik. Mortalitas EPS sangat tinggi yaitu antara 20%-93%, dan pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal selama >15 tahun, mortalitasnya 100%.2,25,26 7. Nekrosis kolon akibat resin penukar ion Kelainan lainnya adalah nekrosis kolon akibat pemberian resin penukar ion. Sodium polystyrene sulfonate (SPS) merupakan resin penukar ion yang biasa diberikan secara oral atau sebagai enema bersama dengan sorbitol untuk mengatasi hiperkalemia. Sorbitol adalah suatu laksatif osmotik yang biasanya ditambahkan ke sediaan SPS untuk mengurangi risiko konstipasi. Meskipun secara umum SPS dapat ditoleransi dengan baik, tetapi jika dikombinasikan dengan sorbitol, dapat menyebabkan nekrosis saluran cerna. Berbagai literatur melaporkan kasus nekrosis ileum dan kolon akibat pemberian SPS-sorbitol baik secara oral maupun rektal. Mekanismenya belum jelas, tetapi sorbitol diketahui merupakan agen yang toksik terhadap mukosa saluran cerna, mungkin dengan cara meningkatkan aktivitas prostaglandin. Faktor risikonya antara lain uremia, hipovolemia, hipotensi, gangguan koagulasi,
imunosupresi, dan riwayat pembedahan yang belum lama.2,27,28 Calcium polystyrene sulfonate adalah resin penukar ion lain yang digunakan untuk pasien yang menjalani restriksi natrium. Seperti SPS, calcium polystyrene sulfonate juga dapat menyebabkan nekrosis usus walaupun tidak diberikan bersamaan dengan sorbitol. Faktor risiko penting yang berperan adalah ileus.28,29 Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab nekrosis usus lain dan menemukan kristal resin penukar ion tersebut di jaringan usus melalui pemeriksaan histopatologis. Untuk tindakan preventif, resin penukar ion harus digunakan secara hati-hati; penggunaannya bersamaan dengan sorbitol atau bila ada perlambatan waktu transit usus atau setelah tindakan pembedahan sebaiknya dihindari. Jika penggunaan enema SPSsorbitol tidak dapat dihindari maka sebelum dan sesudahnya diberikan enema pembersih untuk meminimalisir kontak sorbitol dengan lumen usus.2,27,28,29 SIMPULAN Gangguan gastrointestinal sering dijumpai pada pasien PGK dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK. Patogenesisnya multifaktorial dan belum semuanya diketahui. Meski belum ada pedoman diagnosis dan tata laksana yang baku., tetapi kelainan ini perlu mendapat perhatian. Dengan tata laksana yang tepat, gangguan gastrointestinal pada PGK dapat ditanggulangi.
DAFTAR PUSTAKA 1.
National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease : evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002; 39 (2 Suppl 1) : S1-266.
2.
Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal disorders and renal failure: Exploring the connection. Available from www.medscape.org/viewarticle/724252. Diakses 30 Maret 2012.
3.
Dong R, Guo ZY. Gastrointestinal symptoms in patients undergoing peritoneal dialysis : Multivariate analysis of correlated factors. World J Gastroenterol 2010; 16 (22) : 2812-7. Available
4.
Strid H, Simren M, Johansson AC, Svedlund J, Samuelsson O, Bjornsson ES. The prevalence of gastrointestinal symptoms in patients with chronic renal failure is increased and associated
5.
Farsakh NAA, Roweily E, Rababaa M, Butchoun R. Evaluation of the upper gastrointestinal tract in uraemic patients undergoing haemodialysis. Nephrol Dial Transplant. 1996; 11:847-50.
from: http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v16/i22/2812.htm
with impaired psychological general well-being. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17 : 1434-9
6.
Fiderkiewicz B, Rydzewska-Rosolowska A, Mysliwiec M, Birecka M, Kaczanowska B, Rydzewska G, dkk. Factors associated with irritable bowel syndrome symptoms in hemodialysis patients. World J Gastroenterol 2011; 17(15): 1976-81. Available from : http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v17/i15/1976.htm
7.
Adachi H, Kamiya T, Hirako M, Misu N, Kobayashi Y, Shikano M dkk. Improvement of gastric motility by hemodialysis in patients with chronic renal failure. J Smooth Muscle Res. 2007; 43(5): 179-89.
8.
Evenepoel P, Meijers BK, Bammens BR, Verbeke K. Uremic toxins originating from colonic microbial metabolism. Kidney Int. 2009; 76 (Suppl 114), S12-S19.
9.
Abdulrahman IS, Al-Quorain AA. Prevalence of gastroesophageal reflux disease and its association with Helicobacter pylori infection in chronic renal failure patients and in renal transplant recipients. Saudi J Gastroenterol 2008; 14(4): 183-6.
10. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in chronic renal failure patients : evaluation by endoscopic examination. Tokai J Exp Clin Med. 2009; 34(3):80-3. 11. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in hemodialysis patients. Tokai J Exp Clin Med. 2009; 34(2):48-52. 12. Fallone CA, Maynard S. Gastroesophageal reflux and hyperacidity in chronic renal failure. Perit Dial Int. 2001; 21(Suppl 3):S295-S299. 13. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Role and clinical importance of Helicobacter pylori infection in hemodialysis patients. G Chir 2008;2 (3):81-4.
506 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 506
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
7/8/2012 12:17:26 PM
TINJAUAN PUSTAKA 14. Doherty CC. Peptic ulcer and chronic renal failure. Ulster Med J. 1979; 48: 145-54. 15. Saeed F, Agrawal N, Greenberg E, Holley JL. Lower gastrointestinal bleeding in chronic hemodialysis patients. Int J Nephrol. 2011; 2011:272535. 16. Kaaroud H, Ben Fatma L, Beji S, Boubaker K, Hedri H, Ben Hamida F. dkk. Gastrointestinal angiodysplasia in chronic renal failure. Saudi J Kidney Dis Transplant. 2008; 19(5): 809-12. 17. Wasse H, Gillen DL, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D, dkk. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among end-stage renal disease patients. Kidney Int 2003; 64: 145561. 18. Bruno MJ, van Westerloo DJ, van Dorp WT, Dekker W, Ferwerda J, Tytgat GNJ, dkk. Acute pancreatitis in peritoneal dialysis and haemodialysis : risk, clinical course, outcome, and possible aetiology. Gut 2000; 46: 385-9. 19. Lankisch PG, Webber-Dany B, Maisonneuve P, Lowenfels AB. Frequency and severity of acute pancreatitis in chronic dialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 1401-5. 20. Owyang C, Miller LJ, DiMagno EP, Mitchell III JC, Go VLW. Pancreatic exocrine function in severe human chronic renal failure. Gut 1982; 23: 357-61. 21. Schoenicke G, Grabensee B, Plum J. Dialisis with icodextrin interferes with measurement of serum α-amylase activity. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17: 1988-92. 22. Bassilios N, Menoyo V, Berger A, Mamzer MF, Daniel F, Cluzel P, dkk. Mesenteric ischemia in haemodialysis patients : a case/control study. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18: 911-7. 23. Archodovassilis F, Lagoudiannakis EE, Tsekouras DK, Vlachos K, Albanopoulos K, Fillis K, dkk. Nonocclusive mesenteric ischemia : a lethal complication in peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int. 2007; 27: 136-41. 24. Yip T, Tse KC, Lam MF, Cheng SW, Lui SL, Tang S.dkk. Colonic divertikulosis as a risk factor for peritonitis in Chinese peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int. 2010; 30: 187-91. 25. Brown MC, Simpson K, Kerssens JJ, Mactier RA. Encapsulating peritoneal sclerosis in the new millennium : a national cohort study. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1222-9. 26. Lafrance JP, Letourneau I, Ouimet D, Bonnardeaux A, Leblanc M, Mathieu N, dkk. Successful treatment of encapsulating peritoneal sclerosis with immunosuppressive therapy. Am J Kidney Dis. 2008; 51(2): e7-e10. 27. Trottier V, Drolet S, Morcos MW. Ileocolic perforation secondary to sodium polystyrene sulfonate in sorbitol use : a case report. Can J Gastroenterol. 2009; 23(10): 689-90. 28. Joo M, Bae WK, Kim NH, Han SR. Colonic mucosal necrosis following administration of calcium polystyrene sulfonate (kalimate) in a uremic patient. J Korean Med Sci. 2009; 24: 1207-11. 29. Goutorbe P, Montcriol A, Lacroix G, Bordes J, Meaudre E, Souraud JB. Intestinal necrosis associated with orally administered calcium polystyrene sulfonate without sorbitol. Anns Pharmacother. 2011; 45: e13.
CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 507
507 7/8/2012 12:17:27 PM