UNIVERSITAS INDONESIA
TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT DENGAN FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK
SERIAL KASUS
CHRISTIANIE SETIADI 1106142583
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JANUARI 2014
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT DENGAN FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK
SERIAL KASUS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik
CHRISTIANIE SETIADI 1106142583
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JANUARI 2014 i
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Laporan serial kasus ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: dr. Christianie Setiadi, MGizi
NPM
: 1106142583
Tanda tangan
:
Tanggal
: 2 Januari 2014
ii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Serial Kasus ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Serial Kasus
: Christianie Setiadi : 1106142583 : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Program Studi Ilmu Gizi Klinik : Tatalaksana Nutrisi Pada Pasien Sindrom Koroner Akut dengan Faktor Risiko Sindrom Metabolik
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik pada Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing
: Dr.dr. Fiastuti Witjacksono, MS, MSc, SpGK
Penguji
: DR.dr. Meilani Kumala, MS, SpGK
Penguji
: dr. Ida Gunawan, MS, SpGK
(.......................)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 2 Januari 2014
iii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji sukur kepada Tuhan atas hikmat karunianya sehingga penyusunan serial kasus ini dapat terselesaikan meskipun dengan banyak kekurangan. Serial Kasus ini membahas mengenai tatalaksana nutrisi terhadap pasien Sindrom Koroner Akut dengan
faktor risiko sindrom metabolik yang dirawat di Rumah Sakit
Sumber Waras Jakarta. Penulisan makalah ini dapat terselesaikan atas bimbingan dosen pembimbing dan staf pengajar Departemen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada DR.dr.Fiastuti Witjaksono, MSc, MS,SpGK sebagai pembimbing sekaligus Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik FKUI, yang telah meluangkan waktunya di antara kesibukan beliau. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Sukmaniah MSc, SpGK sebagai Ketua Program Studi Ilmu Gizi PPDS-1 FKUI dan kepada DR.dr.Johana Titus, MS, SpGK sebagai sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-1 FKUI. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DR.dr. Meilani Kumala, MS, SpGK, dr. Lukman Halim, MS, SpGK, dr. Ida Gunawan, MS, SpGK, dan dr. Tjandraningrum, MGizi, SpGK atas kesempatan dan pengarahan untuk serial kasus ini. Terima kasih penulis sampaikan untuk keempat pasien yang menjadi subyek penulisan serial kasus ini, juga kepada Direktur RS Sumber Waras atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan tugas sebagai PPDS-1 PSIGK. Terima kasih kepada seluruh teman sejawat, dietisien, dan perawat yang terlibat dalam penanganan dan dukungan nutrisi pasien serial kasus ini di RS Sumber Waras. Kepada dr. Lady Dhita Alfara, MGizi, SpGK penulis mengucapkan terima kasih atas pengarahan selama pengerjaan serial kasus ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan PPDS-1 PSIGK angkatan ketiga atas bantuan dan dukungannya selama pendidikan.
iv
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril maupun material selama penulis menjalani proses pendidikan. Kepada adik-adikku terima kasih atas bantuan dan pengorbanan serta motivasi yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Akhirnya penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kesempatan kepada penulis. Semoga kiranya makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 2 Januari 2014
Penulis
v
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Christianie Setiadi
NPM
: 1106142583
Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Gizi Klinik Fakultas
: Kedokteran
Jenis Karya
: Laporan Serial Kasus
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non–exlusive Royalty– Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT DENGAN FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal : 2 Januari 2014 Yang menyatakan
(Christianie Setiadi)
vi
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama Program Judul
: dr. Christianie Setiadi, MGizi : Pendidikan Dokter Spesialis-1, Kekhususan Ilmu Gizi Klinik : Tatalaksana Nutrisi Pada Pasien Sindrom Koroner Akut Dengan Faktor Risiko Sindrom Metabolik Pembimbing : DR.dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK
Penyakit kardiovaskular, salah satunya sindrom koroner akut merupakan penyebab utama kematian di dunia akibat penyakit tidak menular, di mana penyakit ini memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan pengaturan nutrisi. Faktor risiko utama sindrom koroner akut pada pasien serial kasus ini adalah sindrom metabolik yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2. Semua pasien memiliki masalah dengan obesitas abdominal, di mana adipositokin yang disekresikan oleh jaringan adiposa abdominal merupakan mediator inflamasi, menyebabkan stres oksidatif, resistensi insulin, dan mengganggu metabolisme lipoprotein. Dua pasien pada serial kasus ini mengalami miokard infark dengan ST elevasi dan dua lainnya dengan non ST elevasi. Faktor risiko penyerta adalah hipertensi, diabetes melitus tipe 2, dislipidemia, gangguan fungsi hati, dan hiperurisemia. Kebutuhan energi sesuai dengan Harris Benedict dengan faktor stres antara 1,3–1,4 sesuai dengan beratnya kasus. Pada saat kondisi akut setelah hemodinamik stabil, nutrisi mulai diberikan sesuai dengan 80% kebutuhan basal. Kebutuhan makronutrien sesuai dengan National Cholesterol Education ProgramAdult Treatment Panel III. Kebutuhan cairan dan elektrolit diberikan sesuai dengan kondisi jantung pasien. Pemberian mikronutrien seperti vitamin B dan nutrien spesifik yaitu koenzim Q10 dan omega-3 dapat dilakukan pada beberapa kasus. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan meliputi keadaan klinis, antropometri yaitu berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang, serta toleransi asupan, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional. Selama pemantauan didapatkan perbaikan klinis dan peningkatan asupan nutrisi pasien. Selanjutnya diperlukan pengendalian faktor risiko pasien dengan modifikasi gaya hidup yaitu pengaturan nutrisi dan peningkatan aktivitas fisik untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler dan mengendalikan komplikasi yang sudah terjadi agar tidak semakin memburuk. Kata kunci : penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, sindrom koroner akut, tatalaksana nutrisi, peningkatan aktifitas fisik
vii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Study program Title Counsellor
:dr. Christianie Setiadi, MGizi :Clinical Nutrition Specialist, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia :Nutritional Management in Acute Coronary Syndrome with Risk Factor Metabolic Syndrome :DR.dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK
Cardiovascular disease, which one of them is acute coronary syndrome is the most caused of death from non comunicable diseases in the world. It have modified risk factors can be affected by nutrition.In this case series, the risk factor was metabolic syndrome that could elevated risk of cardiovascular diseases and type 2 diabetes mellitus. All of the patients had abdominal obesity, where it secreted adipocytokine, the inflamation mediators that can cause oxidative stress, insulin resistance and interfered lipoprotein metabolism. Two patients in this case series have ST elevation miokard infark dan others were non ST elevation miokard infark. Comorbid risk factors were hypertension, type 2 diabetes mellitus, dyslipidemia, disturbance liver function, and hyperuricaemia. Energy needs were calculated by Harris Benedict with risk factor between 1,3–1,4 depends on severe of the diseases. In acute condition after stable hemodinamic, nutrition was given from 80% basalt. Macronutrients need were appropiate with National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III. Fluids need and electrolyte were given appropiate of heart condition. Micronutrients, like vitamin B and specific nutrients like coenzyme Q10 and omega-3 could be given in several cases. Evaluation and monitoring included clinical condition, antropometric : body weight, height, waist circumference, tolerance intake, fluid balance, and functional capacity. During follow up, the clinical improvement and enhancement nutrient intake were developed. After that we concidered to control patients risk factors with lifestyle modification include nutrition arrangement and elevated physical activity for secondary prevention of cardiovascular diseases and to control complications. Key words :
cardiovascular diseases, metabolic syndrome, acute coronary syndrome, nutrition intervention, elevated physical activity
viii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................iii KATA PENGANTAR ................................................................................. iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ................................. vi ABSTRAK ................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................... ix DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................. 2 1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................. 2 1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 2 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................ 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4 2.1 Jantung ............................................................................................. 4 2.1.1 Anatomi .......................................................................................... 4 2.1.2 Fisiologi.......................................................................................... 5 2.1.3 Metabolisme Energi Jantung ........................................................... 6 2.2 Sindrom Koroner Akut (SKA) .......................................................... 7 2.2.1 Definisi, Etiologi, Gejala Klinis, Diagnosis SKA ............................ 7 2.2.2 Patofisiologi SKA ........................................................................... 8 2.2.3 Metabolisme Energi Miokardium Pada SKA ................................... 9 2.2.4 Komplikasi SKA ............................................................................ 10 2.3 Sindrom Metabolik Sebagai Faktor Risiko SKA .............................. 11 2.4 Tatalaksana SKA dengan Faktor Risiko Sindrom Metabolik ............ 15 2.4.1 Tatalaksana Farmakologi ............................................................... 15 2.4.2 Tatalaksana Nutrisi ........................................................................ 16 2.4.3 Aktivitas Fisik................................................................................ 27 3. KASUS................................................................................................... 29 3.1. Kasus 1 ............................................................................................ 29 3.2. Kasus 2 ............................................................................................ 35 3.3. Kasus 3 ............................................................................................ 40 3.4. Kasus 4 ............................................................................................ 45 4. PEMBAHASAN .................................................................................... 51 5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 66 ix
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 66 5.2 Saran ................................................................................................. 66 DAFTAR REFERENSI ............................................................................ 68 DAFTAR LAMPIRAN................................................................................75
x
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik..................................14
Tabel 2.2
Kandungan Omega-3 dan Omega-6 Dalam Ikan yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia ............................. 22
Tabel 3.1
Karakteristik Pasien Serial Kasus..........................................29
xi
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Persamaan Harris-Benedict.........................................................17
Gambar 2.2
Persamaan untuk Menghitung BB ideal danAdjusted.................18
Gambar 3.1
Pemantauan Tekanan Darah Ny. D Selama Perawatan di RS....33
Gambar 3.2
Analisis Asupan Kalori Ny.D SMRS dan Selama Perawatan di RS.........................................................................34
Gambar 3.3
Analisis Asupan Makronutrien Ny. D Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS......................................................35
Gambar 3.4
Analisis Asupan Kalori Ny. J SMRS dan Selama Perawatan di RS...........................................................................................39
Gambar 3.5
Analisis Asupan Makronutrien Ny. J SMRS dan Selama Perawatan di RS.........................................................................39
Gambar 3.6
Analisis Asupan Kalori Tn.B Sebelum Sakit, SMRS, dan Selama Perawatan di RS............................................................44
Gambar 3.7
Analisis Asupan Makronutrien Tn.B Sebelum Sakit, SMRS, dan Selama Perawatan di RS.....................................................45
Gambar 3.8
Analisis Asupan Kalori Tn.J Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS........................................................................48
Gambar 3.9
Analisis Asupan Makronutrien Tn.J Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS....................................................49 xii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Gambar 4.1
Asupan Energi, KH, Lemak, dan Serat Pasien SMRS.............55
xiii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ATP
: adenosin trifosfat
ASP
: acylation stimulating protein
ATP-III
: Adult Treatment Panel III
AHA
: American Heart Association
ACE
: angiotensin converting enzime
ARB
: angiotensin receptor blocker
ADP
: adenosin difosfat
AMPK
: adenosine monophosphate activated protein kinase
ALA
: α-linolenic acid
ACSM
: The American College of Sports Medicine
ALO
: acute lung oedema
aPTT
: activated partial tromboplastin
BB
: berat badan
BMS
: bahan makanan sumber
BAK
: buang air kecil
BAB
: buang air besar
BU
: bising usus
CICR
: calcium-induced calcium release
CoA
: coenzime A
CK-MB
: creatine kinase muscle brain
CK
: creatine kinase
Ca
: kalsium
CETP
: cholesterol ester transport protein
CDC
: Center for Disease Control and Prevention
CRT
: capillary reffil time
DM
: diabetes melitus
DNA
: deoxyribonucleic acid
DHA
: docosahexaenoic acid
DPJP
: dokter penanggung jawab pasien
DASH
: dietary approach to stop hypertension xiv
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
EKG
: elektrokardiografi
EPA
: eicosapentaenoic acid
FABPs
: fatty acid binding proteins
FAT
: fatty acid translocase
FS
: faktor stres
GLUT
: glucose transporter
GDS
: gula darah sewaktu
GDP
: gula darah puasa
HDL
: high density lipoprotein
HB
: Harris-Benedict
HMW
: high molecular weight
Hb
: hemoglobin
Ht
: hematokrit
IMA
: infark miokard akut
IL
: interleukin
IGF-1
: insulin like growth factor-1
IRAK-1
: interleukin-1 associated kinase
IKK
: Ikβ kinase
IRF3
: interferon regulatory factor 3
IP-10
: interferon-γ inducible protein 10
IDF
: International Diabetes Federation
ICCU
: intensive cardio care unit
ISDN
: isosorbit dinitrat
IG
: indeks glikemik
ICAM-1
: intracellular adhesion molecule
IGD
: Instalasi Gawat Darurat
IV
: intravena
IWL
: insensible water loss
ISK
: infeksi saluran kemih
JVP
: jugular venous pressure
KEB
: kebutuhan energi basal
KET
: kebutuhan energi total xv
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
KH
: karbohidrat
LVEF
: left ventrikel ejection fraction
LTB4
: leukotrien B4
LDL
: low density lipoprotein
MMP
: matrix-metalloproteinase
MCP-1
: monocyte chemoattractant protein
MyD 88
: myeloid differentiating factor 88
MAPK
: mitogen activated kinases
MUST
: malnutrition universal screening tool
MNA
: mini nutritional assessment
MUFA
: monounsaturated fatty acid
MSG
: mono sodium glutamate
MAP
: mean arterial pressure
NSTEMI
: non ST elevasi miokard infark
NF-kβ
: nuclear factor-kβ
NO
: nitric oxide
NCEP
: National Cholesterol Education Program
NRS-2002
: nutritional risk screening 2002
NASH
: non alcoholic steatohepatitis
NYHA
: New York Heart Association
OCTN
: organic cation transporter
PKV
: penyakit kardiovaskular
PCI
: percutaneous coronary intervention
PUFA
: polyunsaturated fatty acid
PAI-1
: plasminogen activated inhibitor-1
PGI2
: prostaglandin I2
PPAR γ
: peroxisome proliferator activated receptor γ
PG
: prostaglandin
PRC
: packed red cell
RAS
: sistem renin angiotensin aldosteron
RS
: rumah sakit
RDA
: recommended dietary allowances xvi
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ROS
: reactive oxygen species
RCT
: randomized controlled trial
RSSW
: Rumah Sakit Sumber Waras
RPD
: riwayat penyakit dahulu
RPK
: riwayat penyakit keluarga
SKA
: sindrom koroner akut
STEMI
: ST elevasi miokard infark
4S
: Skandinavian Simvastatin Survival Study
SFA
: saturated fatty acid
SGA
: subjective global assessment
SNAQ
: the short nutrition assessment questionnaire
SMRS
: sebelum masuk rumah sakit
SGOT
: serum glutamat oxaloacetate transferase
SGPT
: serum glutamate piruvate transferase
SI
: serum iron
TNF-α
: tumor necrosis factor-α
TLR
: toll like receptor
TRAF-6
: tumour necrosis factor associated factor-6
TRIF
: toll/interleukin-1 interferon-β
TRAM
: TRIF related adapted molecule
TG
: trigliserida
TB
: tinggi badan
TMLD
: trimetil lisin deoxigenase
TMABA-DH : 4-trimetilaminobutanal dehidrogenase TXA2
: tromboksan
A2
TD
: tekanan darah
TIBC
: total iron binding capacity
UAP
: unstable angina pectoris
UCP 2
: uncoupling protein 2
VSMCs
: vascular smooth muscle cells
VEGF
: vascular endothelial growth factor
VLDL
: very low density lipoprotein xvii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
VCAM-1
: vascullar cell adhesion molecule-1
WHO
: World Health Organization
xviii
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Skrining Gizi.....................................................................75
Lampiran 2
Lembar Monitoring Kasus 1..........................................................77
Lampiran 3
Lembar Monitoring Kasus 2..........................................................83
Lampiran 4
Lembar Monitoring Kasus 3..........................................................89
Lampiran 5
Lembar Monitoring Kasus 4..........................................................94
xix
Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan data dari The Global Status Report on Noncommunicable Diseases tahun 2010 didapatkan pada tahun 2008, dari 57 juta kasus kematian akibat penyakit di dunia, 36 juta kasus atau 63% disebabkan oleh penyakit tidak menular. Empat penyakit tidak menular yang berkontribusi sebagai penyebab utama adalah penyakit kardiovaskular (PKV) yang berada diurutan pertama diikuti oleh kanker, diabetes melitus (DM), dan penyakit paru kronik. Penyebab kematian terbesar, yaitu PKV berkontribusi terhadap 17 juta kasus kematian atau 48% dari kematian akibat penyakit tidak menular, sedangkan kematian akibat DM didapatkan pada 1,3 juta kasus. Sekitar 80% atau 27 juta kasus kematian tersebut terjadi di negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah, di mana 29% kematian terjadi pada penderita berusia < 60 tahun atau pada usia produktif.1,2 Sindrom metabolik adalah suatu kelompok faktor risiko PKV di mana didalamnya termasuk obesitas, DM tipe 2, dislipidemia, dan hipertensi. Pasien dengan sindrom metabolik memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami PKV dan risiko lima kali lebih tinggi untuk terjadinya DM tipe 2.3 Prevalensi obesitas dan sindrom metabolik meningkat dengan cepat di negara berkembang, yang berperan pada peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat PKV dan DM tipe 2.4 Penyebab dari obesitas sendiri selain faktor genetik adalah asupan nutrisi yang berlebih dan gaya hidup tidak aktif.5 Risiko PKV yang berhubungan dengan sindrom metabolik adalah akibat disregulasi jaringan adiposa yang mensekresikan adipositokin dan merupakan mediator proinflamasi, menimbulkan stres oksidatif dan resistensi insulin, serta mempengaruhi metabolisme lipoprotein. Hal tersebut menyebabkan terjadinya aterosklerosis, ruptur plak, dan aterotrombosis,6 di mana ketiga hal tersebut merupakan 90% penyebab terjadinya sindrom koroner akut (SKA). Manifestasi
1 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
SKA dapat berupa unstable angina pectoris (UAP)
hingga kejadian infark
miokard akut (IMA) yang menyebabkan nekrosis pada otot jantung.7 Suatu SKA merupakan keadaan yang mengancam jiwa6 di mana tatalaksana awal ditekankan pada stabilisasi hemodinamik dan kemudian diikuti dengan intervensi nutrisi. Tatalaksana nutrisi pada SKA bertujuan untuk mengurangi beban jantung selama fase akut dan selanjutnya adalah dengan pengendalian faktor risiko8 seperti obesitas, overweight, hipertensi, kadar kolesterol yang meningkat, DM tipe 2, dan kurangnya aktivitas fisik.9 Serial kasus ini ditujukan untuk membahas tata laksana nutrisi pada pasien-pasien dengan SKA yang memiliki faktor risiko sindrom metabolik seperti obesitas, overweight, hipertensi, DM tipe 2, dan dislipidemia.
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Penyusunan serial kasus ini bertujuan untuk mencapai kompetensi pada tatalaksana nutrisi pasien SKA yang memiliki faktor risiko sindrom metabolik, dengan cara memberikan pelayanan nutrisi komprehensif kepada pasien serta membina kerjasama dengan tim dokter terkait.
1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui
perubahan metabolisme jantung pada SKA dan
menentukan pemberian nutrisi yang sesuai. 2. Mengetahui kebutuhan makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik bagi pasien dengan SKA. 3. Melakukan terapi nutrisi untuk mengendalikan faktor risiko SKA yaitu sindrom metabolik. 4. Memberikan edukasi nutrisi pada pasien SKA untuk menerapkan gaya hidup sehat untuk mencegah kekambuhan.
1.3 Manfaat penulisan 1. Manfaat bagi pasien
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
3
Pasien mendapatkan dukungan nutrisi sesuai dengan penyakitnya dan dapat menerapkan edukasi yang meliputi gaya hidup sehat agar dapat memodifikasi faktor-faktor risiko sindrom metabolik untuk mencegah kekambuhan SKA. 2. Manfaat bagi institusi Sebagai sumber informasi tambahan bagi tatalaksana pasien SKA dengan faktor risiko sindrom metabolik. 3. Manfaat bagi penulis Sebagai sarana pembelajaran untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan spesialis gizi klinik.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung 2.1.1 Anatomi10 Jantung terletak dibagian tengah rongga dada di antara kedua paru dan di belakang dari tulang dada. Ukuran jantung ± sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan berat berkisar antara 200–425 g, dan berbentuk seperti kerucut. Bagian luar jantung terbungkus oleh selaput yang disebut perikardium. Jantung sendiri terdiri dari tiga lapisan struktur, yaitu endokardium yang membentuk ruang jantung bagian dalam dan katup jantung, kemudian miokardium adalah bagian paling tebal penyusun otot jantung, dan paling luar epikardium yang disebut juga perikardium viseralis. Secara anatomi bagian apex jantung dibentuk oleh bagian ujung ventrikel kiri, sedangkan bagian posterior terutama dibentuk dari atrium kiri. Bagian anterior jantung dibentuk dari atrium dan ventrikel kanan, sedangkan bagian inferior jantung terdiri dari kedua ventrikel terutama ventrikel kiri. Sistem pembuluh darah yang menyuplai otot jantung adalah pembuluh darah koronaria, meliputi arteri, vena, dan sistem limfatik di mana struktur ini terdapat di antara jaringan ikat longgar pada lemak epikardium. Otot-otot jantung mendapatkan suplai O2 dan nutrisi dari arteri koronaria kiri dan kanan yang berasal dari aorta. Arteri koronaria kiri menyuplai daerah atrium kiri dan bercabang menjadi arteri koronaria desenden anterior kiri dan arteri sirkumfleksi. Cabang pertama terbagi menjadi dua yaitu cabang septal yang menyuplai 2/3 daerah anterior septum interventrikel serta otot papilaris anterior, dan cabang diagonal yang menyuplai permukaan anterior ventrikel kiri. Sedangkan arteri sirkumfleksi menyuplai daerah posterior jantung bagian kiri, di mana cabang marginalnya menyuplai bagian lateral dan posterior ventrikel kiri. Selanjutnya arteri koronaria kanan menyuplai ventrikel kanan melalui cabangnya yaitu arteri marginal akut, dan cabang lainnya arteri desenden posterior untuk menyuplai daerah inferoposterior jantung hingga ke apex dan 1/3 daerah posterior septum interventrikel.
4 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
5
Sejumlah pembuluh darah kolateral dengan diameter < 200 µm terdapat di antara arteri koronaria, yang sangat berperan pada keadaan aterosklerosis, di mana terjadi sumbatan pada arteri koronaria. Sedangkan distribusi dari vena koronaria mengikuti jalur arteri koronaria, di mana vena membawa kembali darah ke atrium kanan melalui sinus koronaria. Sistem limfatik jantung berlokasi di jaringan ikat subendokardial yang distribusinya mengikuti jalur arteri dan vena koronaria dan berakhir pada sistem limfatik duktus toraksikus. 2.1.2 Fisiologi9,11 Kontraksi miokardium merupakan kontraksi miogenik yang dicetuskan oleh kekuatan rangsangan dari miokardium sendiri. Kontraksi ritmik miokardium dicetuskan oleh potensial aksi melalui stimulasi elektrik akibat flux dari ion Na, K, Ca melalui kanal-kanal spesifik pada sarkolema. Sel-sel jantung yang berperan sebagai pusat eksitasi adalah sel pacemaker yaitu nodus sino atrial, nodus atrioventrikular, serat Purkinje, dan sel-sel otot atrium serta ventrikel. Potensial istirahat sel miokardium adalah -90 mV atau disebut dengan fase 4 pada potensial aksi, di mana pada fase ini kanal Na+ dan Ca++ tertutup. Keadaan yang mencetuskan membran potensial menjadi kurang negatif menyebabkan terbukanya kanal Na+, sehingga terjadi influx Na+ dengan cepat masuk ke dalam sel yang berlangsung hanya beberapa detik. Masuknya Na+ menetralisir membran potensial menjadi 0 mV hingga mencapai keadaan positip yang disebut sebagai fase 0 atau depolarisasi. Selanjutnya terjadi fase repolarisasi atau fase 1 untuk mengembalikan membran potensial pada 0 mV dengan terbukanya kanal K+ sehingga terjadi efflux K+ keluar dari sel. Fase 2 merupakan fase terpanjang dari potensial aksi di mana pada fase ini terjadi keseimbangan dari efflux K+ dan influx Ca++ melalui kanal Ca yang terbuka pada fase 0 saat potensial membran -40 mV. Ion Ca yang masuk pada fase ini berperan untuk mencetuskan pelepasan Ca++ internal dari retikulum sarkoplasma disebut calcium-induced calcium release (CICR) yang berperan pada kontraksi sel otot jantung. Saat terjadi keseimbangan antara influx Ca++ dan efflux K+ dimulailah fase 3 yaitu fase repolarisasi akhir yang mengembalikan potensial membran kembali pada -90mV. Selanjutnya kembali kepada fase 4 dan mempersiapkan sel untuk stimulus selanjutnya untuk depolarisasi. Pada sel Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
6
pacemaker juga memiliki fase yang sama dengan potensial istirahat -60 mV dan fase 0 lebih cepat. Untuk terjadinya kontraksi miokardium, aksi potensial di atas akan menyebabkan terjadinya kontraksi fisik miokardium melalui excitationcontraction coupling, di mana selama proses tersebut digunakan adenosin trifosfat (ATP). Pada keadaan ini peran Ca++ intraseluler pada fase 2 berperan penting pada kontraksi miokardium. 2.1.3 Metabolisme Energi Jantung Miokardium memiliki kemampuan besar untuk beradaptasi pada kondisi stres dengan keberadaan sejumlah besar mitokondria yang berperan pada respirasi aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan memiliki arteri koronaria yang menyediakan O2 dan nutrien. Miokardium dapat menggunakan glukosa, asam lemak bebas, asam amino, benda keton, dan laktat sebagai sumber energi.12 Pada keadaan basal 50–70% sumber energi jantung berasal dari lipid yaitu asam lemak bebas dan trigliserida, sisanya 30% berasal dari glukosa. Asam amino dan benda keton digunakan pada kondisi ketoasidosis, sedangkan pada keadaan starvasi dan peningkatan aktivitas muskuler, digunakan laktat oleh miokardium, di mana pada kondisi tersebut ATP yang terbentuk sekitar 10%. Pada DM sumber energi terutama dari lipid akibat menurunnya induksi glucose transporter (GLUT)-4 pada permukaan sel.13,14 Transpor asam lemak ke dalam sel miokardium diperantarai oleh fatty acid binding proteins (FABPs) dan suatu transporter membran fatty acid translocase (FAT). Selanjutnya terjadi aktivasi asam lemak di sitoplasma yang memerlukan ATP dan coenzim A (CoA)-SH yang diperantarai fatty acyl-CoA synthetase dan kemudian masuk ke jalur oksidasi-β di mitokondria. Asam lemak rantai panjang membutuhkan ester karnitin untuk masuk ke dalam mitokondria. Oksidasi asam lemak menghasilkan ATP lebih banyak dibandingkan dengan oksidasi glukosa, tetapi membutuhkan O2 yang lebih besar sehingga suplai O2 sangat penting untuk pembentukan energi miokardium.15 Utilisasi asam lemak membutuhkan O2 12% lebih besar untuk setiap ATP yang dihasilkan bila dibandingkan dengan glukosa.12 Satu mol palmitat pada oksidasi-β akan menghasilkan 8 mol asetil-CoA yang akan memasuki siklus kreb, sedangkan 1 mol glukosa pada glikolisis hanya Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
7
menghasilkan 2 mol asetil-CoA, dan oksidasi 1 mol palmitat menghasilkan 130 ATP dibandingkan 38 ATP yang dihasilkan pada oksidasi glukosa, tetapi O2 yang dibutuhkan adalah 46 atom O2 untuk palmitat dan hanya 12 atom O2 untuk glukosa.16,17 Glukosa memerlukan transporter untuk dapat masuk ke dalam sel miokardium. Transporter utama adalah GLUT-4 yang sensitif terhadap insulin, dan juga didapatkan pada jaringan adiposa. Selain itu sejumlah kecil GLUT-3 terdapat pada miokardium. Selanjutnya glukosa akan masuk ke jalur glikolisis untuk menghasilkan piruvat dan dimanfaatkan dalam siklus kreb. Glukosa menjadi substrat utama pada miokardium saat kadar asam lemak rendah dan pada keadaan konsentrasi glukosa dan insulin tinggi yaitu saat setelah makan.15,16 2.2 Sindrom Koroner Akut (SKA) 2.2.1 Definisi, Etiologi, Gejala Klinis, Diagnosis SKA Definisi SKA adalah suatu keadaan akut di mana terjadi hambatan pada suplai darah ke miokardium yang dibagi menjadi UAP, non ST elevasi miokard infark (NSTEMI), dan ST elevasi miokard infark (STEMI). Penyebab dari SKA 90% adalah distrupsi dari plak aterosklerosis dengan agregasi platetet yang membentuk trombus intrakoroner. Trombus menyebabkan penyempitan hingga hambatan total yang menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai O2 dan yang dibutuhkan.7 Gejala klinis adalah rasa tidak nyaman di dada yang dapat berupa perasaan seperti ditekan, diremas, atau sensasi rasa penuh di dada bagian tengah yang berlangsung selama 5–30 menit, kemudian keluhan dapat menghilang dan timbul kembali. Keluhan ini dapat menjalar pada satu atau kedua lengan, ke punggung, leher, rahang, dan lambung. Keluhan lain adalah sesak napas yang dapat terjadi sebelum atau bersamaan dengan rasa tidak nyaman di dada, keringat dingin, mual, dan light-headedness.9 Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan keluhan klinis, kelainan akut pada elektrokardiografi (EKG), dan laboratorium yaitu marker serum spesifik terhadap nekrosis miokard. Gambaran EKG berupa depresi segmen ST atau gelombang T inversi didapatkan pada UAP dan NSTEMI sedangkan pada STEMI didapatkan elevasi segmen ST, gelombang T inversi dan gelombang Q. Selanjutnya marker Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
8
serum untuk nekrosis miokard adalah Troponin T yang meningkat 3–4 jam setelah IMA, mencapai puncak pada 18–36 jam dan menurun perlahan hingga 10–14 hari sehingga sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi untuk diagnosis IMA. Marker lainnya adalah Creatine kinase muscle brain (CK-MB) yang ditemukan terutama di jantung, dan organ lain seperti uterus, prostat, gut, diafragma, dan lidah. Bila tidak didapatkan kelainan pada organ lain tersebut CK-MB yang meningkat menunjukkan cedera dari miokard. Untuk penggunaan CK-MB sebagai marker cedera miokard adalah melihat rasio dari CK-MB terhadap creatine kinase (CK) total, di mana nilai > 2,5% merupakan hasil positip. Kadar CK-MB meningkat 3– 8 jam setelah IMA, mencapai puncak dalam 24 jam dan kembali normal dalam 48–72 jam.7 2.2.2 Patofisiologi SKA Aterosklerosis berperan terhadap pembentukan trombus melalui ruptur plak dan disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi dan antitrombotik. Aterosklerosis adalah proses inflamasi kronik pada dinding arteri, yang dimulai dari disfungsi endotel, dilanjutkan dengan akumulasi lipid di dalam tunika intima, terjadinya infiltrasi leukosit, migrasi sel otot polos dari tunika media ke intima, pembentukan sel busa, dan deposisi dari matriks ekstraseluler yang dilindungi oleh fibrous cap.6 Fibrous cap mencegah terjadinya ruptur plak dan mempertahankan elastisitas dengan keberadaan kolagen yang disintesis oleh sel otot polos arteri. Mekanisme ini dihambat oleh produksi interferon-γ oleh sel T teraktivasi sehingga sintesis kolagen dihambat dan juga oleh keberadaan makrofag yang menghasilkan matrix-metalloproteinase (MMP) yaitu MMP-1, MMP-8, dan MMP-13 yang berperan merusak jaringan kolagen. Keadaan ini menyebabkan fibrous cap menjadi tipis dan lemah sehingga mencetuskan ruptur plak, trombosis, dan SKA.18 Ruptur plak menyebabkan terjadinya kontak antara darah dengan material trombogenik pada inti lipid plak yang mencetuskan kejadian trombosis. Saat terjadinya ruptur plak, faktor jaringan yang diproduksi oleh makrofag mengaktivasi pembentukan trombin, aktivasi platelet, dan agregasi. Penyebab lain timbulnya SKA adalah erosi dari ateroma pada arteri koronaria, yang terjadi pada 20–25% kasus. Kejadian ini terutama dialami oleh perempuan dan pada keadaan Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
9
hipertrigliseridemia. Mekanismenya adalah keadaan stres oksidatif yang memicu terjadinya apoptosis akibat produksi asam hipoklorus oleh myeloperoksidase leukosit yang teraktivasi, sehingga sel yang mengalami apoptosis menghasilkan faktor prokoagulasi jaringan dan menyebabkan trombosis pada arteri koronaria.17 Keadaan trombosis menyebabkan hipoksia miokardium dengan penurunan produksi ATP, sehingga terjadi gangguan pada Na+K+ ATPase. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi Na+ intraseluler dan K+ ekstraseluler. Peningkatan Na+ intraseluler menyebabkan terjadinya edema seluler, sedangkan peningkatan K+ ekstraseluler berperan pada terjadinya gangguan potensial elektrik membran yang dapat mencetuskan aritmia. Terjadinya akumulasi Ca++ pada miosit menyebabkan kerusakan sel melalui aktivasi lipase dan protease.6 Perubahan metabolik terjadi selama dua menit setelah terjadinya oklusi, dan menjadi ireversibel bila tidak ditangani dalam 20 menit. Pada keadaan ini terjadi kerusakan pada membran sel dan diproduksi enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan miosit, akibatnya terjadinya peningkatan marker serum yang menandai terjadinya IMA. Selanjutnya dalam 4–12 jam terjadi edema akibat peningkatkan permeabilitas vaskular karena kebocoran protein yang diikuti dengan infiltrasi netrofil, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan bertambah. Dalam 18–24 jam terjadi nekrosis koagulasi dan perubahan morfologi yang luas. Gambaran akhir otot jantung pasca IMA adalah deposisi kolagen yang membentuk jaringan parut.6 2.2.3 Metabolisme Energi Miokardium Pada SKA Oklusi pada pembuluh darah koronaria menyebabkan suplai O2 miokardium menurun sehingga terjadi metabolisme anaerob, oksidasi lipid di mitokondria menurun sehingga produksi ATP menjadi berkurang. Peningkatan aktivitas glikolisis anaerob menyebabkan akumulasi laktat sehingga terjadi penurunan pH.7 Saat terjadi penurunan suplai O2, terjadi flux glikolisis dan ambilan asam lemak akan menurun untuk menyesuaikan dengan aktivitas oksidasi mitokondria. Pada keadaan ini juga terjadi peningkatan aktivitas laktat dehidrogenase dan penurunan aktivitas siklus kreb akibat proses glikolisis yang sebagian menjadi
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
10
anaerob. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya defisiensi energi yang dihasilkan miokardium untuk proses kontraksi.14 Glukosa memegang peranan penting pada keadaan iskemia sebagai sumber energi miokardium. Peran glukosa tergantung pada tingkat keparahan iskemia, di mana pada iskemia moderat yaitu aliran darah koronaria menurun menjadi 75%, ambilan glukosa tidak banyak mengalami perubahan sementara pemecahan glukosa dan pembentukan laktat meningkat. Sedangkan pada iskemia berat akan terjadi hambatan glikolisis, sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa dan terjadi akumulasi proton, Na+, dan Ca++ pada miokardium.15 Asam amino juga berperan pada metabolisme energi miokardium saat keadaan iskemia dan reperfusi. Pemberian asam amino mengurangi kerusakan miokardium saat iskemia dan memperbaiki produksi energi dan utilisasinya. Peran asam amino dalam regulasi energi miokardium adalah melalui gugus karbonnya yang dikonversi menjadi glukosa, glikogen, atau senyawa intermediet pada siklus kreb seperti asetil-CoA, sitrat, ketoglutarat, suksinil-CoA, fumarat, dan oksaloasetat. Semua senyawa tersebut berperan pada produksi dan utilisasi ATP.19 2.2.4 Komplikasi SKA20 Terdapat beberapa komplikasi dari IMA yaitu iskemia seperti angina yang terjadi setelah infark, reinfraction atau infarct extension akibat kegagalan reperfusi. Selain itu dapat terjadi komplikasi mekanik yaitu gagal jantung, syok kardiogenik, disfungsi katup mitralis, aneurisma, dan ruptur kardiak. Komplikasi lain adalah terjadinya aritmia, berupa aritmia ventrikel atau atrial dan disfungsi nodus sinoatrial. Terjadinya trombosis dan emboli pada sistem saraf dan perifer, inflamasi seperti perikarditis, serta kondisi depresi juga merupakan komplikasi IMA. Kegagalan reperfusi sudah jarang terjadi akibat adanya tindakan percutaneus coronary intervention (PCI). Marker serum seperti CK-MB dapat digunakan untuk mengetahui adanya reinfarction atau infarct extension. Keadaan reinfarction seringkali ditemukan pada pasien dengan DM tipe 2 atau pada pasien dengan riwayat infark miokard sebelumnya. Keadaan angina setelah infark dapat terjadi dalam beberapa jam hingga 30 hari setelah IMA, di mana insidennya lebih
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
11
tinggi pada pasien dengan NSTEMI sebelumnya dan pada pasien yang mendapatkan terapi fibrinolitik dibandingkan dengan terapi PCI. Edema paru seringkali didapatkan menyertai IMA yang menunjukan adanya gagal jantung, dan merupakan prognosis kurang baik. Gagal jantung biasanya disebabkan oleh kerusakan miokardium, aritmia, atau komplikasi mekanik seperti regurgitasi mitral dan defek septum ventrikel. Tingkat keparahan gagal jantung tergantung pada luasnya infark dan adanya komplikasi lain. Klasifikasi dari Killip adalah metode yang digunakan untuk menilai keparahan gagal jantung setelah infark miokard. Pada Killip I tidak didapatkan ronkhi dan suara jantung 3, pada Killip II didapatkan ronkhi pada < 50% lapangan paru atau terdengar bunyi jantung 3. Sedangkan pada Killip III terdengar ronkhi pada > 50% lapangan paru, dan pada Killip IV didapatkan adanya syok kardiogenik. 2.3 Sindrom Metabolik Sebagai Faktor Risiko SKA Sindrom metabolik merupakan kelompok faktor risiko termasuk aterogenik dislipidemia, intoleransi glukosa, peningkatan tekanan darah, keadaan proinflamasi, dan trombosis yang disebabkan oleh obesitas abdominal dan resistensi insulin. Risiko PKV yang berhubungan dengan sindrom metabolik diakibatkan oleh disregulasi jaringan adiposa. Adipositokin yang disekresikan oleh jaringan adiposa abdominal merupakan mediator inflamasi, menyebabkan stres oksidatif, resistensi insulin, dan mengganggu metabolisme lipoprotein.6 Adipositokin yang disekresikan oleh jaringan adiposa adalah adiponektin, leptin, resistin, tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-6, plasminogen activated inhibitor (PAI)-1, angiotensinogen, asam lemak bebas, acylation stimulating protein (ASP), vascular endothelial growth factor (VEGF), adipsin, gliserol, dan insulin like growth factor (IGF)-1.21 Jaringan adiposa merupakan suatu organ dinamis, dan tempat utama penyimpanan kelebihan energi, juga merupakan organ endokrin dengan kemampuan mensintesis senyawa bioaktif yang berperan pada pengaturan homeostasis. Jaringan adiposa tersusun dari adiposit dan jaringan stromal vaskular yang terdiri dari sel-sel darah, sel-sel endotel, perisit, dan preadiposit. Proses adipogenesis bervariasi tergantung pada jenis kelamin dan usia. Preadiposit
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
12
mempunyai kemampuan diferensiasi untuk membentuk adiposit dan berekspansi bila diperlukan.20 Asupan energi berlebihan yang berlangsung kronik merupakan penyebab obesitas, sehingga menyebabkan infiltrasi makrofag pada jaringan adiposa yang dipengaruhi oleh monocyte chemoattractant protein (MCP)-1 dan berperan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi.22 Ekspansi jaringan adiposa akibat hipertrofi menyebabkan peningkatan pelepasan saturated fatty acid (SFA), yang bila berikatan dengan toll-like receptor (TLR)-2 dan TLR-4 akan mencetuskan respon proinflamasi. Pengenalan ligan yaitu SFA oleh TLR mengaktivasi jalur myeloid differentiating factor (MyD)88 atau jalur non-MyD88. Ikatan dengan TLR-2 akan mengaktivasi jalur MyD88 sedangkan TLR-4 akan mengaktivasi jalur MyD88 dan non-MyD88. Aktivasi melalui jalur MyD88 menyebabkan fosforilasi dan aktivasi reseptor interleukin-1 associated kinase (IRAK-1). Asosiasi IRAK-1 dengan tumour necrosis factor associated factor-6 (TRAF-6) mengaktivasi komplek Ikβ kinase (IKK) dan mitogen activated kinases (MAPK) menyebabkan pelepasan mediator inflamasi yaitu IL-6, TNF-α, MCP-1, dan IL-1β melalui aktivasi nuclear factor (NF)-kβ.23,24 Pengikatan ligan pada TLR-4 melalui jalur non-MyD88 mengaktivasi Toll/interleukin-1 interferon-β (TRIF) dan TRIF related adapted molecule (TRAM), diikuti aktivasi interferon regulatory factor 3 (IRF3) yang selanjutnya mengaktivasi IFN-1β dan interferon-γ inducible protein 10 (IP-10). Melalui jalur MyD88 dan non-MyD88 yang mengaktivasi NF-kβ akan diekspresikan sitokin proinflamasi sehingga menimbulkan resistensi insulin.22,23 Sedangkan akibat dari disregulasi sekresi adipositokin pada jaringan hati dan otot adalah menurunnya respon jaringan tersebut terhadap insulin akibat deposisi lipid abnormal, yang pada hati disebut dengan steatosis dan inflamasi. Keadaan
ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati melalui
glukoneogenesis dan glikogenolisis, sedangkan pada otot terjadi penurunan ambilan glukosa dan oksidasi asam lemak bebas yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa plasma sehingga resistensi insulin semakin meningkat.21 Resistensi insulin menyebabkan terjadinya peningkatan produksi insulin oleh sel β pankreas, dan bila proses adaptasi ini gagal akan terjadi DM. Kadar
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
13
adiponektin yang rendah diikuti dengan meningkatnya adipositokin yang lain seperti leptin, IL-6, dan TNF-α seperti yang didapatkan pada obesitas dan dihubungkan dengan meningkatnya risiko DM. Mekanisme terjadinya DM pada obesitas adalah akibat akumulasi asam lemak bebas menyebabkan terbukanya kanal K+ sehingga produksi insulin berkurang. Selain itu asam lemak bebas juga berperan meningkatkan ekspresi uncoupling protein (UCP) 2 yang menyebabkan menurunnya produksi ATP yang diperlukan untuk sekresi insulin. Jalur lainnya adalah dengan meningkatnya asam lemak bebas dapat menginduksi apoptosis dari sel β pankreas akibat respon stres pada retikulum endoplasma dan melalui penghambatan ekspresi faktor anti apoptosis Bcl-2. Peran TNF-α menyebabkan hambatan sekresi insulin melalui sintesis nitric oxide (NO) yang menyebabkan kerusakan pada rantai deoxyribonucleic acid (DNA) insulin, sehingga terjadi apoptosis sel β melalui Bcl-2.21 Resistensi insulin akibat disfungsi jaringan adiposa berperan pada timbulnya faktor risiko vaskular dan penyakit vaskular. Peningkatan tekanan darah, kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL), dan peningkatan trigliserida (TG) merupakan faktor risiko independen yang berhubungan erat dengan obesitas abdominal. Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAS) dan leptin dihubungkan dengan terjadinya hipertensi dengan mempengaruhi homeostasis Na dan cairan serta tonus pembuluh darah. Sedangkan peningkatan TG dan penurunan HDL disebabkan oleh pelepasan asam lemak bebas dan cholesterol ester transport protein (CETP) yang meningkat.21 Perkembangan penyakit vaskular berhubungan dengan disfungsi jaringan adiposa akibat inflamasi yang menyebabkan sekresi adiponektin menurun. Adiponektin berperan penting sebagai anti aterosklerosis, terutama adiponektin dengan high molecular weight (HMW). Kadar adiponektin HMW didapatkan rendah pada pasien obes dengan IMA dan kembali normal setelah penurunan berat badan (BB). Terdapat dua reseptor adiponektin yaitu AdipoR1 dan AdipoR2 pada jaringan adiposa, di mana jumlahnya menurun pada resistensi insulin dan obesitas. Faktor lain yang berperan pada timbulnya penyakit vaskular adalah faktor koagulasi dan fibrinolisis. Pengatur utama sistem fibrinolisis adalah PAI-1 yang produksinya meningkat pada obesitas abdominal sehingga dihubungkan
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
14
dengan meningkatnya risiko vaskular. Meningkatnya kadar PAI-1 menyebabkan hambatan pada perpindahan vascular smooth muscle cells (VSMCs), sehingga mudah terjadi ruptur plak dari aterosklerosis.2 Terdapat beberapa definisi sindrom metabolik, yaitu menurut World Health Organization (WHO), National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III, menurut International Diabetes Federation (IDF), atau konsensus terbaru yang merupakan kolaborasi IDF, American Heart Association (AHA), World Health Federation, International Atherosclerosis Society, International Association for the Study of Obesity.6 Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik Definisi WHO
Penegakan Diagnosis Resistensi insulin + 2 parameter lain
Kriteria Diagnosis Hipertensi ≥ 140/90 mmHg TG ≥ 150 mg/dL, HDL : ♂ < 35 mg/dL ♀ < 39 mg/dL atau keduanya IMT > 30 kg/m2, WHR : ♂ > 0,9 ♀ > 0,85 atau keduanya Mikroalbuminuria
NCEP ATP III
Paling sedikit 3 dari 5 parameter
LP : ♂ ≥ 102 cm ♀ ≥ 88 cm TG ≥ 150 mg/dL HDL : ♂ < 40 mg/dL ♀ < 35 mg/dL Hipertensi ≥ 130/85 mmHg GDP ≥ 100 mg/dL
IDF
Obesitas abdominal (sesuai etnis) + 2 dari 4 parameter LP :♂ > 94 cm, ♀ > 80 cm
Konsensus Baru
Paling sedikit 3 dari 5 parameter
TG ≥ 150 mg/dL, atau dalam terapi HDL : ♂ < 40 mg/dL ♀ < 50 mg/dL TD ≥ 130/85 mmHg, atau dalam terapi GDP ≥ 100 mg/dL atau DM Peningkatan LP (sesuai etnis) TG ≥ 150 mg/dL HDL : ♂ < 40 mg/dL ♀ < 50 mg/dL TD ≥ 130/85 mmHg GDP ≥ 100 mg/dL
Keterangan : IMT = indeks massa tubuh, WHR = waist hip ratio, LP = lingkar pinggang, TD = tekanan darah, GDP = gula darah puasa, ♀ = perempuan, ♂ = laki-laki Sumber : Referensi no 2,5
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
15
2.4 Tatalaksana SKA dengan Faktor Risiko Sindrom Metabolik 2.4.1 Tatalaksana Farmakologi Penanganan SKA memerlukan terapi farmakologi dini untuk mengurangi kerusakan dan meminimalisasi komplikasi. Terapi ditujukan pada trombus intrakoronaria untuk mengembalikan keseimbangan suplai O2 agar dapat memenuhi kebutuhan oksigenasi. Terdapat perbedaan pada penanganan UAP dan NSTEMI dengan STEMI di mana pada STEMI mendapatkan manfaat lebih dari pemberian terapi reperfusi.6 Pada pasien dengan SKA memerlukan perawatan di intensive cardio care unit (ICCU) karena diperlukan monitoring EKG. Pasien dalam kondisi bedrest untuk menurunkan kebutuhan O2 dan diberikan O2 menggunakan masker atau kanul nasal bila didapatkan hipoksemia. Pemberian analgesik dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan kecemasan sehingga menurunkan konsumsi O2.6 Penggunaan β-bloker sebagai anti iskemik melalui kerjanya pada sistem saraf simpatik dengan menurunkan konsumsi O2 miokardium. Nitrat seperti isosorbit dinitrat (ISDN) berperan pada menghilangkan keluhan angina melalui dilatasi vena sehingga menurunkan kebutuhan O2 dengan menurunkan aliran balik vena ke jantung.6 Selain itu β-bloker juga berperan sebagai antihipertensi pada pasien dengan riwayat IMA bersama-sama dengan golongan angiotensin converting enzime (ACE) inhibitor dan angiotensin receptor blocker (ARB). Sedangkan pada DM tipe 2 dengan hipertensi dipertimbangkan penggunaan ACE inhibitor dan ARB, dan pada sindrom metabolik yang mengalami hipertensi dapat digunakan golongan ACE inhibitor, ARB, atau antagonis Ca. Pemilihan penggunaan obat antihipertensi tunggal atau kombinasi tergantung pada TD dan risiko PKV yang ada.25 Sedangkan penggunaan antitrombotik termasuk antiplatelet dan anti koagulan untuk mencegah terjadinya oklusi lebih lanjut intrakoroner. Antiplatelet seperti aspirin menghambat sintesis tromboxan A2 suatu mediator untuk aktivasi platelet, sedangkan thienopyridines menghambat pada adenosin difosfat (ADP), di mana kombinasi keduanya lebih baik untuk menurunkan mortalitas. Pemberian antikoagulan seperti heparin berperan dengan mengikat antitrombin III untuk mencegah pembentukan trombin. Antiplatelet lain seperti antagonis reseptor
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
16
glikoprotein
IIb/IIIa,
terapi
fibrinolisis
dengan
recombinant
tissue-type
plasminogen activator dan kateterisasi dilakukan pada pasien dengan STEMI.6 Pasien dengan PKV memiliki risiko tinggi untuk mengalami SKA kembali. Pada pasien tersebut mendapatkan manfaat terapi dengan penurunan kadar kolesterol darah menggunakan golongan statin. Pada Skandinavian Simvastatin Survival Study (4S), yaitu suatu penelitian pencegahan sekunder PKV menggunakan simvastatin dengan dosis 10–40 mg/hari selama 5,4 tahun didapatkan penurunan kejadian IMA ulangan dan mortalitas akibat PKV dan stroke.26 Statin bekerja menurunkan sintesis kolesterol dengan menghambat HMG-CoA reduktase, meningkatkan aktivitas reseptor LDL di hati, dan memiliki efek sedang dalam menurunkan kadar trigliserida darah.27 Pada sindrom metabolik dengan DM tipe 2, lini pertama penanganan dengan terapi farmakoterapi yaitu dengan menggunakan golongan biguanid, metformin.6 Metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa hepatik melalui aktivasi adenosine monophosphate activated protein kinase (AMPK), memperlambat absorpsi glukosa di intestinal, meningkatkan ambilan glukosa dari darah dan menurunkan kadar glukagon plasma. Mekanisme kerja metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah tidak tergantung pada fungsi sel β pankreas, dan efek samping hipoglikemia dan peningkatan BB jarang didapatkan.28 Lini kedua adalah menggunakan golongan thiazolidinedione, inhibitor α-glukosidase, atau golongan inkretin.5 Sedangkan terapi farmakologi pada keadaan hiperurisemia adalah dengan penggunaan allourinol yang bekerja dengan menghambat xantin oksidase sehingga menghambat pembentukan asam urat.29
2.4.2 Tatalaksana Nutrisi Skrining nutrisi Skrining nutrisi merupakan kegiatan penting dalam praktik nutrisi yang baik karena beberapa keadaan patologi dapat menimbulkan malnutrisi. Beberapa metode skrining nutrisi telah dikembangkan seperti subjective global assessment (SGA), malnutrition universal screening tool (MUST) untuk evaluasi nutrisi di komunitas, nutritional risk screening 2002 (NRS-2002) untuk mendeteksi
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
17
keadaan kekurangan gizi dan risikonya pada pasien rumah sakit (RS) dan mini nutritional assessment (MNA) untuk pasien usia lanjut yang dirawat di rumah, panti perawatan, dan RS. Selain itu the short nutrition assessment questionnaire (SNAQ) dikembangkan untuk skrining nutrisi pasien rawat jalan.30 Tatalaksana
nutrisi
pasien
SKA
tahap
awal
adalah
stabilisasi
hemodinamik, kemudian setelah kondisi pasien stabil baru dilakukan intervensi nutrisi. Tujuan tatalaksana nutrisi pasien SKA adalah (1) mengurangi beban kerja jantung dengan menghindari pemberian makanan yang merangsang dan memberatkan kerja jantung (2) memberikan makanan dengan suhu sesuai dengan suhu tubuh (3) memcegah konstipasi dan kembung (4) mengendalikan faktor risiko.8
Kebutuhan Makronutrien Gold
standard
penentuan
kebutuhan
energi
basal
adalah
menggunakan kalorimetri indirek. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan khusus dan waktu persiapan tertentu sehingga seringkali sulit untuk dilakukan. Sehingga digunakan beberapa persamaan untuk menentukan kebutuhan energi basal (KEB) pada manusia. Salah satu persamaan yang seringkali digunakan untuk menentukan kebutuhan basal pada pasien adalah Harris-Benedict (HB), yang menggunakan komponen jenis kelamin, tinggi badan (TB), BB, dan usia. Sedangkan kebutuhan energi total (KET) pasien didapatkan dengan mengalikan dengan faktor stres (FS). Pada pasien dirawat di RS, didapatkan kebutuhan energi meningkat hingga 10– 50% untuk sebagian besar pasien. Nilai terendah digunakan untuk pasien dengan stress ringan sedangkan nilai tertinggi digunakan untuk pasien dengan sepsis atau trauma.31
Laki-laki : 66,47 + 13,75W + 5,00H – 6,76A Perempuan: 655,10 + 9,56W + 1,85H – 4,68A Gambar 2.1 Persamaan Harris-Benedict Sumber : daftar referensi no 30 *W= weight (kg), H= height (cm), A= age (tahun)
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
18
Pada pasien dengan overweight dan obesitas, BB yang digunakan pada perhitungan kebutuhan energi adalah BB ideal untuk overweight dan obes I, sedangkan BB adjusted digunakan untuk obes II atau obes morbid.
BB ideal
: (TB–100) – 10% (TB–100)
BB adjusted
: (BB aktual–BB ideal) x 0,25 + BB ideal
Gambar 2.2 Persamaan untuk Menghitung BB ideal danAdjusted Sumber : Referensi no 32
Tatalaksana untuk pencegahan dan terapi pasien PKV adalah sesuai dengan NCEP-ATP III. Berdasarkan NCEP-ATP III kebutuhan kalori untuk mempertahankan BB ideal dan mencegah kenaikan BB. Kebutuhan protein yang direkomendasikan adalah 15% KET.24 Pemberian protein nabati dapat berperan menurunkan kadar kolesterol darah. Konsumsi 25 g protein kedelai per hari dapat menurunkan kadar kolesterol LDL sebesar 9 mg/dL.33
Asupan protein
dihubungkan dengan rasa kenyang lebih lama setelah makan, dan dihubungkan dengan pemeliharan BB pada sindrom metabolik.34 Kebutuhan lemak yang direkomendasikan adalah 25–35% KET. Komposisi lemak yang dianjurkan untuk SFA < 7% KET, kolesterol < 200 mg/hari,
polyunsaturated
fatty
acid
(PUFA)
hingga
10%
KET,
dan
monounsaturated fatty acid (MUFA) hingga 20% KET. Sedangkan untuk asupan lemak trans diusahakan tetap rendah. Sumber lemak trans adalah minyak tumbuhan terhidrogenasi dan lemak hewani.25,32 Kebutuhan karbohidrat (KH) pada pasien dengan PKV adalah 50–60% KET, dan terutama dari KH komplek yaitu whole grains, sayuran, serta buahbuahan. Pada pasien dengan sindrom metabolik berdasarkan NCEP-ATP III, kebutuhan KH dapat dikurangi hingga 50% dengan meningkatkan asupan lemak hingga 35% terutama dari MUFA dan PUFA.25 Pemilihan bahan makanan sumber (bms) KH juga mempertimbangkan indeks glikemik (IG) bahan makanan. Makanan dengan IG tinggi berhubungan dengan hiperglikemia postprandial dan pelepasan insulin yang lebih banyak setelah makan.32 Penggunaan bahan makanan sumber dengan IG rendah memiliki efek positif pada kadar kolesterol LDL, Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
19
trigliserida, dan menurunkan kadar high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP), yang berhubungan dengan faktor risiko PKV dan DM tipe 2.33 Kebutuhan serat adalah 20–30 g/hari, dengan 25% adalah serat larut atau antara 5–10 g/hari.24,31 Penggunaan serat larut dihubungkan dengan penurunan kadar kolesterol LDL sebesar 5%.25 Kebutuhan cairan pada pasien SKA bila tidak didapatkan gagal jantung adalah sesuai dengan usia dewasa yaitu 30–35 mL/kgBB/hari. Bila didapatkan gagal jantung kebutuhan cairan adalah 1–1,5 L/hari. Pemberian nutrisi dimulai saat hemodinamik pasien telah stabil dan dapat diberikan 80% kebutuhan basal, kemudian ditingkatkan bertahap hingga mencapai KET dalam 5–10 hari. Pemilihan jalur pemberian nutrisi dan bentuk makanan serta frekuensi pemberian disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan fungsi saluran cerna.7
Kebutuhan mikronutrien Pada PKV diperlukan pembatasan asupan Na yaitu < 2400 mg ( 100 mmol) atau setara dengan 6,4 g garam dapur untuk kebutuhan satu hari. Bila didapatkan gagal jantung restriksi Na dapat menjadi 500–1000 mg/hari.31 Mikronutrien lain seperti K diperlukan sebesar 90 mmol/hari, Mg, Ca dibutuhkan sesuai dengan recommended dietary allowances (RDA) menurut usia dan jenis kelamin dari bahan makanan sumber yaitu buah-buahan sebagai sumber K, sayuran berdaun hijau, biji-bijian, lentil, whole grain, alpukat, dan coklat sebagai sumber Mg, dan susu serta produk olahannya serta sayuran berdaun hijau sebagai sumber Ca.25 Kelompok vitamin B seperti vitamin B6, B12, dan folat berperan penting pada metabolisme homosistein. Kadar homosistein yang tinggi dapat diatasi dengan pemberian suplementasi/ bahan makanan sumber folat, B6, dan B12, tetapi tidak berarti reduksi homosistein plasma akan menurunkan risiko PKV.25,32 Rekomendasi kebutuhan folat adalah 400 µg/hari dari bahan makanan sumber, sedangkan batas maksimum suplementasi adalah 1000 µg/hari.25 Vitamin-vitamin yang berperan sebagai antioksidan seperti β-karoten, vitamin C, vitamin E, dan selenium memiliki potensi untuk menurunkan risiko
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
20
PKV, tetapi hasil penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi. Hal ini menyebabkan rekomendasi pemberiannya adalah dalam bentuk bahan makanan sumber dengan jumlah sesuai dengan RDA menurut usia dan jenis kelamin.25,32
Nutrien spesifik L-karnitin L-karnitin merupakan asam amino trimetilasi yang dapat diperoleh dari diet dan sintesis endogen menggunakan prekursor asam amino lisin dan metionin. L-karnitin berperan pada transpor asam lemak rantai panjang pada membran mitokondria. Terdapat dua bentuk L-karnitin yaitu karnitin bebas dan asilkarnitin yang terbentuk dari asil-CoA dan karnitin dengan perantaraan asiltransferase.35,36 Absorpsi L-karnitin di usus menggunakan transport aktif dan difusi pasif. Pada pemberian oral absorpsi mencapai 54–87%. Pemberian suplementasi > 2 g per kali tidak bermanfaat karena absorpsi L-karnitin di mukosa usus telah mencapai titik jenuh. Konsentrasi tertinggi di plasma tercapai dalam 3,5 jam setelah pemberian dan waktu paruh L-karnitin adalah 15 jam. Bahan makanan sumber utama L-karnitin adalah daging merah, ikan, dan produk susu. Sejumlah 1–2 µmol L-karnitin didapatkan dari sintesis endogen/hari dan 2–12 µmol/kg berat bms/hari. Tempat utama sintesis karnitin adalah ginjal dan hati, sedangkan otak, otot, dan jantung tidak dapat mensitesis L-karnitin sendiri.34 Sintesis karnitin diawali dari prekursor trimetil lisin yang mengalami hidroksilasi oleh trimetil lisin deoxigenase (TMLD) pada mitokondria hati, ginjal, jantung, otot, dan otak menghasilkan 3-hidroksi-trimetil-lisin. Selanjutnya senyawa tersebut mengalami konversi menjadi 4-trimetilaminobutiraldehida dan glisin dengan bantuan 3-hidroksi-trimetil-lisin aldolase,
yang kemudian
mengalami dehidrogenasi menjadi 4-trimetilaminobutanoat (butirobetaine) oleh 4trimetilaminobutanal
dehidrogenase
(TMABA-DH).
Jalur
akhir
adalah
hidroksilasi butirobetaine oleh butirobetaine dioxigenase menghasilkan Lkarnitin.34 Setelah disintesis, L-karnitin ditranspor ke sirkulasi dan masuk ke jaringan melalui transpor aktif natrium yaitu organic cation transporter (OCTN) 1,2, dan 3. Transporter terpenting adalah OCTN2 yang mengatur kadar L-karnitin pada
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
21
pool membran plasma, dan juga pada otot, jantung, ginjal, dan fibroblast. Rasio dari asilkarnitin terhadap karnitin bebas berperan menentukan keadaan mitokondria, di mana rasio yang tinggi menunjukkan penurunan kapasitas energi mitokondria.34,35 Karnitin berperan sebagai karier asam lemak rantai panjang agar dapat masuk ke mitokondria dan dapat berperan pada produksi energi. Peningkatan kadar asam lemak bebas menyebabkan disfungsi mitokondria akibat apoptosis dan stres oksidatif. Reactive oxygen species (ROS) menyebabkan disfungsi endotel dan gangguan vasodilatasi pembuluh darah akibat penurunan bioavaibilitas NO. L-karnitin berperan memperbaiki disfungsi endotel dengan memperbaiki biovailabilitas NO dan meningkatkan pelepasan prostaglandin I2 (PGI2) dan tromboksan A2 (TXA2).34,37 Efek kardioprotektif L-karnitin pada keadaan iskemia adalah dengan meningkatkan kadar karnitin jaringan sehingga mengurangi kerusakan iskemik dan memperbaiki pemulihan miokardium selama reperfusi. Penelitian multisenter pada 472 pasien IMA anterior dengan dilatasi ventrikel yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan L-karnitin dan yang mendapatkan plasebo. Penelitian ini memberikan L-karnitin dalam 24 jam setelah nyeri dada dikeluhkan oleh pasien. Dosis yang diberikan sebesar 9 g/hari IV selama 5 hari pertama dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral sebesar 6 g/hari selama 12 bulan. Hasil penelitian ini memperlihatkan suplementasi L-karnitin memperbaiki volume ventrikel kiri dalam 1 tahun pertama setelah serangan IMA dan menurunkan volume end diastolik dan sistolik, tetapi perbaikan LVEF tidak berbeda maknanya pada kedua kelompok. Angka kematian dan kejadian gagal jantung meskipun lebih rendah pada kelompok yang mendapatkan L-karnitin, tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna.38 Penelitian pada subyek sehat dengan BB berlebih didapatkan hasil Lkarnitin mempengaruhi influx asam lemak ke dalam mitokondria, mempengaruhi akumulasi lipid pada otot skeletal, serta meningkatkan oksidasi lipid.39 Penelitian randomized controlled trial (RCT) dengan pemberian suplementasi L-karnitin sebesar 2 x 1 g/hari peroral dan intervensi diet selama 24 minggu pada pasien dengan non alcoholic steatohepatitis (NASH) didapatkan hasil yang signifikan.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
22
Didapatkan perbaikan yang bermakna pada fungsi hati, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida, kadar glukosa darah, kadar TNF-α, dan kadar CRP pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol yang mendapatkan plasebo.40 Dosis terapi L-karnitin adalah 1–2 g, 2–3x/hari dengan dosis total pemberian antara 2–6 g/hari.34
Omega-3 American heart association telah melaporkan manfaat dari omega-3 terhadap risiko PKV pada orang sehat dan pasien yang telah menderita PKV sebelumnya.41 Sumber utama Omega-3 PUFA termasuk eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) adalah ikan.42 Beberapa jenis ikan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seperti tembang, sirkuning, belanak, teri, tenggiri, sardin, kakap, dan cucut.43 Sedangkan α-linolenic acid (ALA) adalah omega-3 yang berasal dari tumbuhan, yaitu dari biji-bijian, kacangkacangan, dan minyaknya. Tubuh manusia tidak dapat mensintesis ALA, sedangkan EPA dan DHA dapat disintesis dari ALA dalam jumlah terbatas. Konversi EPA dari ALA adalah 0,2–8%, sedangkan DHA sebesar 0–4%, sehingga kadar EPA dan DHA jaringan terutama berasal dari diet, dan konsumsi ALA tidak dapat dipertimbangkan sebagai pengganti omega-3 PUFA.41
Tabel 2.2 Kandungan Omega-3 dan Omega-6 Dalam Ikan yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia Jenis Omega-3 Omega-6 Rasio nIkan (g)/100 g (g)/100 g 3/n-6 berat basah berat basah Tembang 1,2 0,3 4,0 Sirkuning 0,2 0,2 1,0 Belanak 0,4 0,3 1,3 Teri 1,4 0,3 4,7 Tenggiri 1,1 0,7 1,6 Sardin 1,2 0,6 2,0 Kakap 0,6 0,3 2,0 Cucut 1,9 0,5 3,8 Sumber : Referensi no 41
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
23
Terdapat beberapa peran omega-3 PUFA pada PKV yaitu dalam menurunkan kadar trigliserida darah, peran pada fungsi endotel, aritmia, dan inflamasi. Mekanisme kerja omega-3 PUFA dalam menurunkan trigliserida adalah dengan mengurangi sintesis very low density lipoprotein (VLDL) hati, meningkatkan oksidasi-β, menurunkan transport asam lemak bebas dan meningkatkan sintesis fosfolipid di hati. Sedangkan mekanisme kerja omega-3 PUFA pada endotel yaitu dengan meningkatkan sistesis NO sehingga membatasi respon vasokonstriktif dari norefinefrin dan angiotensin II dan meningkatkan respon vasodilatasi sehingga memperbaiki compliance arteri. Omega-3 PUFA juga berperan menurunkan marker disfungsi endotel seperti E-selectin, vascullar cell adhesion molecule (VCAM)-1, dan intracellular adhesion molecule (ICAM)1. Peran sebagai antiaritmia omega-3 PUFA adalah dengan mempengaruhi elektrofisiologi miosit atrium dan ventrikel melalui kanal ion. Sedangkan sebagai antiinflamasi adalah dengan menekan produksi TNF-α dan IL1β serta menghasilkan prekursor resolvin dan protektin.42 Asam lemak omega-3 PUFA berperan penting pada fungsi selular, struktur membran, metabolisme jaringan, dan regulasi genetik. Inkorporasi omega-3 PUFA pada membran fosfolipid mempengaruhi caveolae membran sehingga menimbulkan efek seperti perubahan pada H-Ras, penekanan signal protein kinase C-theta dan IL-2, serta distrupsi TLR-4 sehingga timbul inhibisi terhadap proses inflamasi. Selain itu pengaruh omega-3 pada elektrofisiologi jantung adalah melalui perannya pada membran kanal Na+, kanal Ca+ tipe L, dan pertukaran antara Na+ dan Ca+ sehingga menurunkan eksitabilitas miosit dan fluktuasi Ca+ sitosol pada keadaan iskemia dan aritmia. Omega-3 PUFA juga berperan sebagai ligan pada beberapa reseptor nuklear dan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen pada jaringan. Kerja omega-3 PUFA sebagai ligan pada peroxisome proliferator activated receptor γ (PPAR γ) menyebabkan penurunan translokasi NF-kβ ke nukleus dan menghambat pembentukan sitokin proinflamasi. Omega-3 PUFA juga berperan menekan pembentukan eikosanoid proinflamasi dari seri prostaglandin (PG), TXA2, dan leukotrien (LT)B4.42 Penilaian status omega-3 atau indeks omega-3 dalam tubuh adalah melalui pengukuran kadarnya pada membran sel eritrosit dan persentasenya terhadap
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
24
kadar asam lemak total. Indeks omega-3 < 4% dihubungkan dengan peningkatan sudden cardiac death sebanyak 10x lipat dibandingkan dengan indeks omega-3 > 8%.44,45,46 Beberapa metaanalisis memperlihatkan hasil yang berbeda mengenai manfaat konsumsi dan suplementasi Omega-3 PUFA untuk pencegahan PKV. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan seperti tidak adanya blinding, lamanya pengamatan dan compliance jangka panjang tidak terevaluasi dengan baik, perubahan medikasi tidak terevaluasi, dosis omega-3 yang rendah, serta penggunaan MUFA, ALA, serta konsumsi sayur, buah, dan oat sebagai plasebo.42 Dua metaanalisis yang dilakukan pada tahun 2012 gagal memperlihatkan efek positif dari suplementasi omega-3 PUFA terutama terhadap pencegahan sekunder PKV dibandingkan dengan hasil positif dari metaanalisis yang dipublikasi sebelum tahun 2010.47,48 Kemungkinan perbedaan hasil tersebut adalah akibat perbaikan terapi kardioprotektif seperti penggunaan statin yang menutupi efek dari omega-3 PUFA.46 Rekomendasi konsumsi dan suplementasi omega-3 oleh AHA pada pasien-pasien dengan PKV adalah dengan meningkatkan konsumsi EPA dan DHA hingga mencapai 1 g/hari. Pada pasien yang tidak makan ikan, memiliki keterbatasan akses untuk mengonsumsi ikan yang bervariasi, suplementasi dengan minyak ikan dapat dipertimbangkan. Suplementasi minyak ikan yang dianjurkan adalah 3 x 1 g kapsul minyak ikan, di mana setiap kapsulnya mengandung 180 mg EPA dan 120 mg DHA. Efek samping konsumsi suplemen minyak ikan terutama adalah fishly aftertaste dan gangguan gastrointestinal seperti mual.40
Koenzim Q10 Koenzim Q (2,3 dimetoksi-5 metil-6-dekaprenil benzoquinon) atau ubiquinon, bersifat larut dalam lemak dan didapatkan pada semua sel tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada jantung, hati, ginjal, dan pankreas.49,50 Peran koenzim Q10 adalah vital dalam transpor elektron pada rantai pernapasan mitokondria
untuk
pembentukan
ATP.
Selain
itu
koenzim
Q10
juga
memperlihatkan aktivitas mencegah peroksidasi lipid dengan perannya sebagai scavenger radikal bebas dan berperan untuk stabilisasi indirek kanal Ca untuk
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
25
menurunkan Ca yang berlebihan.48 Fungsi bioenergetik koenzim Q10 berperan penting pada sel-sel dengan kebutuhan metabolik yang tinggi seperti miosit jantung.51 Absorpsi koenzim Q10 pada gastrointestinal berlangsung lambat karena berat molekulnya yang besar dan sifatnya yang tidak larut air. Untuk meningkatkan absorpsi koenzim Q10 adalah dengan memberikan bersama-sama dengan makanan yang mengandung lemak. Pada gastrointestinal koenzim Q10 mengalami reduksi menjadi bentuk ubiquinol yang kemudian diabsorpsi. Setelah diabsorpsi Koenzim Q10 yang berasal dari diet atau suplementasi ditransport bersama dengan kilomikron untuk dibawa ke hati, dan kemudian diinkorporasi ke dalam VLDL. Kemudian koenzim Q10 akan didistribusikan ke kelenjar adrenal, limpa, ginjal, paru, dan jantung. Eliminasi koenzim Q10 adalah melalui traktus biliaris dan dieksresikan melalui feses, yaitu sebesar 60 % dari dosis oral.49 Suplementasi koenzim Q10 dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk meningkatkan absorpsi dan mengurangi efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan anoreksia. Suplementasi dalam bentuk ubiquinol mempunyai bioavailabilitas lebih besar dibandingkan bentuk ubiquinon. Kadar koenzim Q10 dalam tubuh selama produksi endogen adalah 0.99 ± 0.30 mg/L (berkisar 0.55–1.87 mg/L). Kadar serum > 2 mg/L dihubungkan dengan penurunan tekanan darah (TD) yang signifikan. Produksi koenzim Q10 endogen mulai menurun pada usia > 20 tahun, dan akan semakin menurun dengan bertambahnya usia.49 Peran koenzim Q10 salah satunya adalah pada regulasi tekanan darah. Keadaan stres oksidatif menyebabkan menurunnya bioavailabilitas NO, menyebabkan penurunan kemampuan otot polos vaskular dan endotel untuk relaksasi yang diperantarai oleh NO, sehingga terjadi vasokonstriksi dan peningkatan TD. Efek dari koenzim Q10 sebagai antioksidan yang bekerja secara langsung pada endotel dan otot polos vaskular sehingga terjadi vasodilatasi. Metaanalisis dari 12 penelitian dengan total 362 pasien hipertensi tanpa menggunakan antihipertensi didapatkan suplementasi koenzim Q10 menurunkan TD sistolik sebesar 17 mmHg dan TD diastolik sebesar 10 mmHg tanpa efek
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
26
samping yang bermakna. Dosis koenzim Q10 yang digunakan adalah 34–225 mg/hari dan lamanya suplementasi antara 2–13 bulan.52 Koenzim Q10 juga berperan pada gagal jantung kongestif, di mana pada keadaan ini terjadi penurunan kadar koenzim Q10 di serum dan jaringan miokardium. Pemberian suplementasi bertujuan untuk meningkatkan produksi ATP sehingga memperbaiki kontraktilitas miokardium. Metaanalisis dari 13 RCT dengan jumlah subyek 395 orang, dengan hasil akhir adalah perubahan pada fraksi ejeksi dan kelas New York Heart Association (NYHA) setelah pemberian suplementasi koenzim Q10. Dosis suplementasi yang diberikan sebesar 60–300 mg/hari, dan sebagian besar penelitian menggunakan dosis 100 mg/hari dengan lama pemberian selama 4–28 minggu. Pada hasil didapatkan perbaikan fraksi ejeksi sebesar 3,7% yang bermakna secara statistik.53 Suplementasi koenzim Q10 berperan untuk mengatasi efek samping miopati akibat pemberian statin. Gejala yang timbul berupa fatique, nyeri otot, kelemahan otot, hingga perburukan gagal jantung.51 Dosis suplementasi sebesar 100–200 mg/hari dapat diberikan pada kasus miopati. Selain itu perlu diperhatikan pemberian suplementasi koenzim Q10 bersama obat-obatan antiplatelet
seperti
aspirin
atau
clopidogrel
terhadap
risiko
timbulnya
perdarahan.49
Phytochemicals Fitosterol merupakan sterol dari tumbuhan yang bekerja dengan menghambat absorpsi kolesterol endogen maupun eksogen sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Sumber alami sterol adalah biji barley, kacang almond, kacang mete, kacang tanah, biji wijen, biji bunga matahari, gandum utuh, jagung, kacang kedelai, dan minyak tumbuhan. Rekomendasi NCEP-ATP III adalah pemberian plant sterols 2–3 g/hari, yang dapat menurunkan kadar kolesterol LDL sebesar 6–15%.32
Interaksi obat dan nutrisi β-bloker memiliki efek meningkatkan kadar TG plasma dan menurunkan kadar kolesterol HDL dengan menghambat aktivitas lipoprotein lipase. Selain itu
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
27
β-bloker berperan meningkatkan kerja insulin sehingga dapat menimbulkan respon hipoglikemia.54 Kerja β-bloker secara selektif pada jantung dengan menurunkan denyut jantung dan kontraksi miokard menyebabkan perubahan pada kebutuhan energi. Pada penelitian didapatkan penurunan KET 5–10% yang setara dengan 100–200 kal/hari. Akibat penurunan KET tersebut didapatkan peningkatan BB antara 1–3,5 kg pada pasien yang mendapatkan terapi β-bloker jangka panjang.55 Metformin yang diberikan jangka panjang dapat menyebabkan penurunan absorpsi vitamin B12, sehingga diperlukan pemeriksaan kadar vitamin B12 dan darah rutin secara berkala. Selain itu metformin menimbulkan gangguan saluran cerna seperti anoreksia, nausea, vomitus, rasa tidak nyaman di perut dan diare. Penggunaan metformin seringkali dihentikan pada 3–5% pasien karena diare persisten.28 Obat golongan statin menghambat sintesis kolesterol, tetapi juga menyebabkan penurunan kadar koenzim Q10 karena menghambat HMG Co-A reduktase. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar koenzim Q10 hingga 40%.49
2.4.3 Aktivitas Fisik Pada pasien PKV dengan faktor risiko sindrom metabolik selain pengaturan nutrisi juga diperlukan peningkatan aktifitas fisik untuk memperbaiki kondisi penyakit kronik. Rekomendasi aktivitas fisik untuk menurunkan risiko penyakit tidak menular adalah : (1) orang dewasa sebaiknya menghindari gaya hidup tidak aktif; (2) sejumlah kebaikan untuk kesehatan didapatkan dengan melakukan aktivitas fisik ≥ 10 menit, dapat merupakan akumulasi, selama 150 menit/minggu dengan intensitas moderat atau 75 menit/minggu dengan intensitas berat, aktivitas aerobik, atau kombinasi keduanya; (3) tambahan keuntungan terhadap kesehatan diperoleh dengan meningkatkan aktivitas fisik aerobik 300 menit/minggu berupa aktivitas fisik intensitas moderat atau 150 menit/minggu dengan intensitas berat atau kombinasi keduanya; dan (4) aktivitas yang melibatkan pembentukkan otot dengan intensitas moderat hingga berat sebaiknya dilakukan ≥ 2 hari/minggu. 56
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
28
Pada pasien baru terdiagnosis PKV jika melakukan aktivitas fisik rutin, dapat kembali bekerja lebih cepat dan memiliki kualitas hidup lebih baik. Pasien pasca IMA yang melakukan aktivitas fisik rutin memiliki penurunan angka kematian sebesar 20–25%. Rekomendasi aktivitas fisik oleh The Surgeon General’s Report, Center for Disease Control and Prevention (CDC)/ The American College of Sports Medicine (ACSM) adalah paling sedikit 30 menit dengan aktivitas moderat setiap hari. Aktivitas moderat setara dengan berjalan dengan kecepatan 5–6 km/jam atau setara dengan aktivitas bersepeda, berenang, berkebun selama 30 menit 5–7x seminggu, di mana aktivitas ini akan membakar kalori sebesar 600– 1200 kal/minggu.57 Rekomendasi lain untuk sindroma metabolik dengan menggunakan pedometer, di mana targetnya adalah 10.000 langkah/hari.6
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
29
BAB 3 KASUS
Serial kasus ini memaparkan hasil tatalaksana nutrisi pada empat orang pasien yang dirawat di RS jejaring PPDS Ilmu Gizi Klinik FKUI dan memiliki masalah dengan jantung. Kriteria pengambilan pasien adalah : (1) usia 18–65 tahun (2) pasien saat skrining dilakukan dirawat di ICCU (3) diagnosis utama adalah SKA dengan faktor risiko sindrom metabolik (4) lama rawat pasien di RS > 5 hari. Saat awal perlakuan dilakukan skrining nutrisi menggunakan formulir skrining gizi RS jejaring yang merupakan modifikasi dari formulir standar. Pemberian nutrisi diberikan sesuai dengan kondisi klinis pasien dan dilakukan pemantauan sejak pasien dirawat di ICCU sampai dengan pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa dan pasien dipulangkan. Parameter yang dinilai selama pemantauan adalah : keluhan subyektif, hemodinamik, keadaan klinis, kapasitas fungsional, antropometri, analisis dan toleransi asupan, imbang cairan, serta parameter laboratorium.
Tabel 3.1 Karakteristik Pasien Serial Kasus No Variabel Kasus 1 Kasus 2 1. Gender Perempuan Perempuan 2. Usia (tahun) 56 56 3. BB/TB 55/146 55/150 (kg/cm) 4. IMT 25,8 24,4 2 (kg/m ) 5. LP (cm) 88 90 6. Diagnosis NSTEMI STEMI ALO, gagal 7. Kondisi Hipertensi, Penyerta dislipidemia,ga jantung, DM ngguan faal tipe 2, hati, hipertensi, hiperurisemia, dislipidemia hipokalemia, ISK hiperkalsemia asimtomatik, hiperurisemia *ALO: acute lung oedema
Kasus 3 Laki-laki 65 75/160
Kasus 4 Laki-laki 57 65/160
29,2
25,4
110 NSTEMI Anemia defisiensi Fe, gastritis erosif, hipertensi, hipokalsemia
100 STEMI Dislipidemia, hiperurisemia, gangguan faal hati, ISK asimtomatik
29 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
30
3.1. Kasus 1 Pasien perempuan berusia 56 tahun datang ke Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dengan keluhan utama sesak nafas yang memberat sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan sesak telah dialami pasien sejak 3 minggu SMRS, yang timbul setelah pasien melakukan pekerjaan rumah tangga. Perasaan sesak digambarkan pasien sebagai rasa tidak nyaman di dada bagian kiri seperti ditimpa benda berat dan nafas menjadi pendek. Pasien juga mengeluhkan punggung bagian atas dan leher terasa pegal. Tidak ada keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman di dada kiri yang menjalar ke rahang dan lengan sebelah kiri pasien. Keluhan diatasi pasien dengan beristirahat kemudian pasien dikerok dan dipijat. Keluhan dirasakan berkurang oleh pasien setelah dipijat dan dikerok tetapi keluhan kembali berulang hari berikutnya. Satu hari SMRS keluhan kembali timbul setelah pasien melakukan kegiatan rumah tangga dan tidak hilang dengan istirahat sehingga pasien langsung dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD) RSSW. Keluhan lain seperti batuk dan demam tidak ada, pasien tidur dengan satu bantal. Keluhan sakit kepala disangkal. Keluhan mual ada, keluhan muntah dan nyeri ulu hati tidak ada. Keluhan kaki bengkak disangkal. Tidak ada keluhan pada buang air kecil (BAK) ataupun buang air besar (BAB). Selama 3 minggu tersebut pasien tidak pernah berobat untuk keluhannya. Pada riwayat penyakit dahulu (RPD) didapatkan pasien mempunyai penyakit darah tinggi sejak lebih kurang 5 tahun yang lalu, penyakit jantung, kencing manis, ginjal, kolesterol, asam urat, dan paru-paru disangkal. Pasien berobat ke dokter praktek dan minum obat tidak teratur. Tekanan darah pasien saat itu mencapai 160/100 mmHg. Pada riwayat penyakit keluarga (RPK) tidak didapatkan darah tinggi, jantung, kencing manis, ginjal, paru-paru, kolesterol dan asam urat. Riwayat penurunan BB disangkal, dan pasien mengalami masalah kelebihan BB sejak melahirkan anak kedua, sejak 25 tahun yang lalu. Riwayat penggunaan KB hormonal dan terapi sulih hormon disangkal. Pada hasil anamnesis kebiasaan makan pasien didapatkan sejak bertambah gemuk, pasien mulai mengurangi makanan yang dimakan. Pasien selalu memasak sendiri makanan yang dikonsumsi. Pasien senang mengonsumsi makanan yang
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
31
digoreng, dan setiap kali makan selalu ada lauk pauk yang dimasak dengan cara digoreng. Untuk selingan pasien juga mengonsumsi camilan yang digoreng. Selain itu pasien juga terbiasa menambahkan hingga 1 sdt garam dan 1 sdt monosodium glutamat (MSG) untuk setiap makanan yang dimasak. Pasien mengonsumsi sambal terasi 2–3 x sehari. Pasien jarang mengonsumsi makanan kalengan, instan, dan yang diawetkan. Pasien juga jarang mengonsumsi sayur dan buah-buahan, dalam satu hari pasien biasanya hanya mengonsumsi 1–2 porsi sayur/buah. Selain itu pasien mempunyai kebiasaan mengonsumsi kopi sachet yang mengandung kopi, susu, dan gula pasir 2–3 x sehari. Kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol dan merokok disangkal. Asupan makanan pasien sebelum sakit adalah : sarapan pagi berupa nasi putih satu centong dengan lauk nabati digoreng yaitu tempe atau tahu 2 potong sedang dan bihun goreng 3 sdm serta kopi satu sachet. Makan siang berupa nasi putih 1 centong dengan lauk nabati 2 potong sedang digoreng atau telur ayam satu butir atau ayam satu potong digoreng dan sayur bayam kuah 1 mangkok sedang dengan sambal terasi 1–2 sdm. Makan malam berupa nasi putih 1 centong dengan lauk nabati 2 potong digoreng dengan sambal terasi 1–2 sdm dan buah jeruk 1 butir. Untuk selingan pasien mengonsumsi kopi sachet 1–2 x dan gorengan tahu atau tempe atau bakwan sayur 1–2 potong. Dalam 24 jam terakhir pasien mengonsumsi makanan seperti sebelum sakit. Aktivitas fisik pasien sehari-hari adalah melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Pasien tidak pernah melakukan kegiatan olah raga di rumah. Pada awal perawatan di ICCU RSSW, pasien tampak sakit sedang, lemah, kesadaran kompos mentis, TD 210/140 mmHg, nadi 120x/menit, frekuensi napas 25 x/menit, saturasi O2 94%, suhu badan 37,5̊ C, mean arterial pressure (MAP) 163 mmHg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pada hidung terpasang kanul O2 4 L/menit, dan pada leher didapatkan jugular venous pressure (JVP) tidak meningkat. Pemeriksaan thorax simetris kiri dan kanan. Pada auskultasi didapatkan suara pernapasan vesikuler, ronki ada di basal paru kiri dan kanan, wheezing tidak ada, bunyi jantung I dan II murni, tidak ada murmur dan gallop. Pemeriksaan abdomen buncit, bising usus
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
32
(BU) normal. Pada ekstremitas tidak didapatkan edema dan capillary reffil time (CRT) < 2”. Pada genitalia terpasang kateter, produksi urin 200 mL, warna kuning jernih. Kapasitas
fungsional pasien adalah bedridden,
dengan kekuatan
genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa. Pada antropometri didapatkan PB 146 cm dengan BB aktual pasien sebelum sakit 55 kg, sehingga IMT pasien adalah 25,8 kg/m2. Pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan Hemoglobin (Hb) 13,4 g/dL, hematokrit (Ht) 39 %, eritrosit 4,68 X 106 juta/µL, leukosit 9000/µL, trombosit 168.000/µL. Pada pemeriksaan enzim jantung didapatkan peningkatan CK dan CK-MB menjadi 1448 U/L dan 258 U/L. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan serum glutamat oxaloacetate transferase (SGOT) meningkat menjadi 142 U/L dan serum glutamate piruvate transferase (SGPT) dalam batas normal yaitu 24 U/L. Sedangkan pada pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan kadar ureum 33 mg/dL dan kreatinin 0,6 mg/dL. Pemeriksaan kadar asam urat didapatkan peningkatan menjadi 6,3 mg/dL. Pemeriksaan activated partial tromboplastin (aPTT) meningkat menjadi 60,6”. Pada pemeriksaan elektrolit Na 139 mmol/L, K 3,4 mmol/L, Cl 106 mmol/L, Ca 10,1 mg/dL, dan Ca-ion 1,11 mmol/L. Pemeriksaan profil lipid didapatkan trigliserida 194 mg/dL, kolesterol total 276 mg/dL, kolesterol HDL 55 mg/dL dan kolesterol LDL 176 mg/dL. Hasil analisis gas darah adalah pH 7,37 PCO2 45 mmHg PO2 73 mmHg HCO3 25 total CO2 27 Base Exess 0 saturasi O2 94%. Pada EKG 12 lead didapatkan axis normal, left ventrikel hypertrophy (-), ventrikel extra systole (-), atrial extra systole (-), interval PR < 0,12, komplek QRS < 0,12, interval QT < 0,4, T inverted I, II, V4–V6, ST depresi I, II, V4, aVF. Terapi yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP) adalah RL 6 tetes tetes/menit, D5% 45 mL + 16.000 IU heparin, diberikan 2 mL/jam, furosemide 40 mg IV, heparin 3300 IU bolus. Sedangkan terapi oral adalah ISDN 3 x 5 mg, simvastatin 1 x 10 mg, aspirin 1 x 80 mg, captopril 2 x 12,5 mg, omeprazole 2 x 20 mg, dan vitamin B kompleks 3 x 1 tablet. Pada imbang cairan didapatkan input yang berasal dari cairan infus 60 mL dan minuman per oral 100 mL, sehingga total menjadi 160 mL/6 jam. Sedangkan
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
33
pada output didapatkan produksi urin sebesar 700 mL, dan insensible water loss (IWL) 182,18 mL, sehingga didapatkan total pengeluaran cairan 822,18 mL/6 jam. Imbang cairan menjadi (-) 722,18 mL/6 jam. Diagnosis kerja gizi adalah NSTEMI, hipertensi grade II, obes I, hipermetabolisme sedang, dislipidemia, hiperurisemia, peningkatan enzim transaminase, hiperkalsemia dan hipokalemia. Penanganan nutrisi meliputi penentuan KEB menggunakan HB, dan didapatkan KEB sebesar 1096,2 kal/hari. Sedangkan KET menjadi 1425 kal/hari, dengan menggunakan FS 1,3. Kebutuhan protein adalah 1,2 g/kgBB ideal/hari yaitu 55 g/hari (15% KET), sedangkan kebutuhan lemak adalah 25% dari KET yaitu 40 g/hari, dan sisanya adalah KH 215 g (60% KET). Untuk sumber protein dipilih dari bahan makanan sumber rendah purin. Sedangkan untuk lemak dipilih rendah kolesterol yaitu <200 mg/hari, SFA < 7%, MUFA ≤ 20%, dan PUFA ≤ 10%, dengan sumber MUFA diperoleh dengan penambahan minyak kanola. Sumber KH terutama KH kompleks dengan KH simpleks < 5%. Kebutuhan serat adalah 20 g/hari dengan 25% adalah serat larut. Kebutuhan mineral yang dipertimbangkan adalah K dengan memberikan bahan makanan tinggi sumber K dan pembatasan Na yaitu 1500–2300 mg/hari. Kebutuhan cairan diberikan 1–1,5 L/hari. Nutrisi awal diberikan sebesar 900 kal/hari (16 kal/KgBB ideal/hari) dengan protein dimulai dengan 1 g/KgBB ideal/hari yaitu 46 g dan lemak 25% KET, dengan Na diberikan 1500 mg/hari. Nutrisi diberikan peroral dalam bentuk makanan cair RS dan diberikan dalam enam kali makan, dengan setiap kali pemberian sebesar 150 kal. Suplementasi mikronutrien yang disarankan adalah koenzim Q10 100 mg per hari, L-karnitin 2 x 1 g, omega-3 yang mengandung EPA dan DHA 1g, dan plant stanol 2 g.
Gambar 3.1. Pemantauan Tekanan Darah Ny. D Selama Perawatan di RS
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
34
Pemantauan pasien dilakukan selama tujuh hari. Pada hari kedua pemantauan
didapatkan
keluhan
BAK
pasien
berwarna
merah
muda.
Pertimbangan DPJP adalah dilakukan observasi terhadap perdarahan saluran kemih dan terapi lain tetap dilanjutkan, bila perdarahan bertambah, maka antitrombotik dipertimbangkan untuk dihentikan. Pada pemantauan hari berikutnya warna urin menjadi kuning jernih kembali, dan pasien mengeluhkan timbulnya batuk. Terapi pasien kemudian ditambahkan dengan obat batuk. Pada pemantauan selanjutnya keluhan batuk dapat disebabkan oleh pemberian captopril, sehingga terapi antihipertensi diganti dengan amlodipine, dan keluhan batuk pasien mulai berkurang. Selama pemantauan juga didapatkan keluhan sesak menghilang, terjadi penurunan TD pasien secara bertahap, ronki basal paru menghilang, terdapat peningkatan kapasitas fungsional, dan perbaikan nilai aPTT sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa pada hari ke-5 perawatan.
Gambar 3.2 Analisis Asupan Kalori Ny.D SMRS dan Selama Perawatan di RS
Nutrien spesifik yang diberikan kepada pasien ini adalah koenzim Q10 pada perawatan hari keempat karena timbul keluhan pasien berupa rasa pegal pada seluruh tubuh. Keluhan pegal dirasakan berkurang setelah pemberian koenzim Q10 100 mg sekali sehari. Suplementasi L-karnitin tidak diberikan kepada pasien ini karena belum disetujui oleh DPJP dan untuk plant stanol tidak ditanggung oleh asuransi pasien. Sedangkan suplementasi omega-3 belum diberikan karena pertimbangan oleh DPJP akan risiko perdarahan, karena pasien sebelumnya mengalami perdarahan saluran kemih, sehingga sumber omega-3 dipilih dari bahan makanan sumber yaitu ikan laut.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
35
Selama pemantauan baik di ICCU maupun di ruang rawat biasa didapatkan peningkatan asupan pasien secara bertahap. Pada awal pemantauan nutrisi diberikan dalam bentuk makanan cair RS selanjutnya ditingkatkan menjadi makanan lunak dalam bentuk bubur selanjutnya nasi tim dan nasi biasa. Saat nutrisi diberikan dalam bentuk makanan lunak, pemberian Na adalah sebesar 2300 mg/hari dengan pertimbangan pada rasa makanan dan toleransi pasien karena sebelumnya pasien terbiasa mengonsumsi makanan dengan kadar Na yang tinggi.
Gambar 3.3 Analisis Asupan Makronutrien Ny. D Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS *SS : sebelum sakit
Pada pemeriksaan ekokardiografi sebelum pasien pulang didapatkan hasil dimensi normal, LVEF 41%, hipokinetik berat posteroseptal/inferior. Pasien dipulangkan setelah tujuh hari dirawat dengan perbaikan kondisi klinis dan laboratorium yaitu tidak ada lagi keluhan sesak, TD terkontrol, dan aPTT dalam batas normal. Terapi pasien saat dipulangkan adalah amlodipine 1 x 10 mg, bisoprolol 1 x 2,5 mg, aspirin 1 x 80 mg, furosemide 1 x 40 mg, simvastatin 1 x 20 mg, vitamin B komplek 3 x 1, dan koenzim Q10 100 mg 1 x 1.
3.2. Kasus 2 Pasien perempuan Ny.J, 56 tahun dirujuk dari RS S Jakarta setelah sehari dirawat karena tidak tersedia ruang ICCU dengan diagnosis ALO, gagal jantung, STEMI anterior ektensif pada infark lama, riwayat hipertensi dan DM tipe 2. Keluhan utama pasien adalah nyeri dada sejak 4 jam SMRS. Nyeri dirasakan seperti ditindih dengan benda berat pada dada bagian tengah. Nyeri disertai Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
36
dengan sesak napas sebelumnya yang timbul saat beraktivitas. Keluhan pusing, mual, muntah dan keringat dingin juga dikeluhkan oleh pasien. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Tidak ada keluhan pada BAB dan BAK pasien. Pada RPD didapatkan riwayat darah tinggi dan kencing manis sejak dua tahun yang lalu dan dikatakan pasien mengalami stroke ringan, saat itu pasien dirawat di RS A selama 1 minggu. Pasien kontrol dan minum obat teratur hingga dua minggu SMRS, di mana pasien tidak kontrol dan minum obat kembali. Obat yang dikonsumsi adalah metformin 1 x 500 mg dan captopril 2 x 12,5 mg. Riwayat sakit jantung, paru, kolesterol, dan asam urat disangkal. Riwayat penyakit dalam keluarga seperti darah tinggi, jantung, kencing manis, ginjal, kolesterol, asam urat, dan paru-paru juga disangkal. Tidak ada keluhan pada BAK dan BAB pasien. Keluhan sering merasa lapar dan haus disangkal pasien. Keluhan kesemutan pada tangan dan kaki, mata kabur juga disangkal. Riwayat penurunan BB ada dan diketahui 2 tahun yang lalu BB pasien 60 kg. Pada anamnesis kebiasaan makan didapatkan sejak menderita kencing manis pasien mulai mengurangi makanan manis seperti kue-kue dan gula pasir. Pasien juga mengganti gula pasir dengan pemanis buatan, sedangkan untuk makanan lain tidak ada perubahan. Pasien menyenangi makanan yang digoreng baik untuk lauk pauk maupun untuk camilannya. Pasien mengonsumsi sayur dan buah 2–3 porsi sehari. Pasien tidak membatasi asupan garam ataupun MSG. Untuk makanan sehari-hari pasien lebih sering membeli makanan di luar. Sebelum menderita kencing manis, pasien makan 3x sehari. Setiap kali makan berupa nasi putih 2 centong dengan lauk hewani (telur/ayam/ikan) satu potong sedang digoreng, lauk nabati (tempe/tahu) satu potong digoreng, sayur nangka
disantan/sayur
asem
satu
mangkok
sedang.
Buah
biasanya
pisang/pepaya/jeruk satu buah/hari. Camilan yang dikonsumsi adalah gorengan lumpia/tahu/tempe/bakwan/kue basah 2–3 potong sehari. Pasien mengonsumsi teh manis (dengan dua sendok makan gula pasir) 2–3x sehari. Setelah menderita kencing manis pasien mengurangi porsi nasi menjadi 1 centong setiap kali makan dengan lauk pauk seperti sebelum sakit. Sedangkan untuk sayur dikonsumsi 1–2 mangkok sehari dengan buah, yaitu pepaya satu potong sedang atau pisang 1 buah sehari. Untuk camilan berupa gorengan 2 potong sehari dan teh manis
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
37
menggunakan pemanis buatan. Analisis asupan 24 jam terakhir adalah seperti kebiasaan makan pasien setelah menderita kencing manis. Pasien sehari-harinya hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja. Saat di rumah pasien tidak pernah melakukan kegiatan olah raga, dan kegiatan rumah tangga juga jarang dilakukan pasien. Pada pemeriksaan awal pasien tampak sakit sedang, nyeri dada masih dirasakan pasien, sedangkan keluhan lemah dan sesak sudah berkurang. Pada tanda vital didapatkan
TD 130/76 mmHg, nadi 88 x/menit, pernapasan 24
x/menit, saturasi O2 100%, Sb 36,6̊ C, MAP 94 mmHg. Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Hidung terpasang kanul O2 2 L/menit. Pada leher terdapat peningkatan JVP. Pada paru, suara pernapasan vesikuler, didapatkan ronkhi di basal kedua paru dan wheezing tidak ada. Pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I dan II murni, murmur dan gallop tidak ada. Pada ekstremitas tidak didapatkan adanya edema dan CRT < 2”. Kapasitas fungsional pasien bedridden, dan kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa. Pada pengukuran antropometri didapatkan TB 150 cm dengan BB aktual 55 kg sehingga didapatkan IMT 24,4 kg/m2. Pemeriksaan penunjang berupa darah rutin didapatkan Hb 11,8 g/dL, Ht 34,5%, leukosit 17.300/µL, dan trombosit 510.000/µL. Pada pemeriksaan enzim jantung didapatkan nilai Troponin T > 2,0 dan CK-MB 26 U/L. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan kadar enzim transaminase dalam batas normal, yaitu SGOT 18 U/L dan SGPT 21 U/L. Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan ureum 33 mg/dL dan kreatinin 1,1 mg/dL. Pada pemeriksaan kadar asam urat didapatkan peningkatan menjadi 6,8 mg/dL. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil Na 137 mmol/L, K 3,9 mmol/L, Cl 104 mmol/L, Ca 9,6 mg/dL, P 4,9 mg/dL, Mg 1,9 mg/dL, dan Ca-ion 1,18 mmol/L. Pada profil lipid, trigliserida 256 mg/dL, kolesterol total 286 mg/dL, kolesterol HDL 38 mg/dL, kolesterol LDL 181 mg/dL dan hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) 223 mg/dL. Pada urinalisis didapatkan darah 2+, esterase leukosit 1+, sedimen : leukosit 1–3/lpb, eritrosit 9–11/lpb, bakteri (+). Pada pemeriksaan EKG di RS S didapatkan sinus takikardia, IMA anterolateral dan septal, serta infark miokard
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
38
inferior lama. Pemeriksaan foto thorax PA didapatkan adanya pembesaran ventrikel kiri dengan tanda awal bendungan paru. Pasien kemudian didiagnosis dengan ALO, gagal jantung, STEMI anterior extensif, pada infark lama anterior dan inferior, hipertensi terkontrol, DM tipe 2, dislipidemia, infeksi saluran kemih (ISK) asimtomatik, obes I, hipermetabolisme sedang, dan hiperurisemia. Terapi pasien dari RS S berupa furosemide 40 mg IV, ISDN 5 mg sublingual, dan terapi oral clopidogrel 150 mg serta aspirin 300 mg. Saat di RSSW diberikan terapi D5% dengan 15.000 IU heparin/24 jam, furosemide 1 x 40 mg IV, dan terapi oral berupa captopril 3 x 6,25 mg, bisoprolol 1 x 1,25 mg, KSR 1 x 1 tablet, metformin 1 x 500 mg, simvastatin 1 x 20 mg, aspirin 1 x 80 mg, allupurinol 1 x 100 mg. Tatalaksana nutrisi meliputi penentuan KEB pasien dengan HB didapatkan sebesar 1141,8 kal/hari. Sedangkan KET dengan FS 1,3 adalah sebesar 1500 kal/hari. Kebutuhan protein 1,2 g/KgBB ideal/hari yaitu 60 g (16% KET), lemak 25% KET yaitu 42 g/hari, sisanya adalah KH 220 g (59% KET). Untuk sumber protein dipilih rendah purin sedangkan lemak dengan pengaturan kolesterol < 200 mg/hari, SFA < 7%, MUFA < 20%, dan PUFA < 10%, dengan sumber MUFA diperoleh dari penambahan minyak kanola pada makanan yang disajikan. Sumber KH terutama dari KH kompleks, dengan KH simpleks < 5%. Kebutuhan serat adalah 20 g/hari dengan serat larut 25% dari total kebutuhan serat. Kebutuhan mineral yaitu Na sebesar 2300 mg/hari. Kebutuhan cairan pasien adalah 1–1,5 L/hari. Suplementasi mikronutrien yang direkomendasikan adalah vitamin B komplek 3 x 1 tablet, seng 1 x 20 mg, koenzim Q10 1 x 100 mg, L-karnitin 2 x 1 g, dan plant stanol 2 g per hari. Nutrisi awal diberikan sesuai dengan 900 kal (18 kal/KgBB ideal/hari) dalam bentuk makanan cair untuk hari pertama perawatan karena kondisi pasien masih lemah dan adanya nyeri dada. Selanjutnya pada hari kedua perawatan setelah keluhan pasien membaik, pemberian nutrisi ditingkatkan 10% dan bentuk makanan diubah menjadi makanan lunak yaitu bubur. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap setiap hari sesuai dengan perbaikan klinis dan toleransi pasien hingga akhirnya mencapai KET pada hari keenam perawatan.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
39
Gambar 3.4 Analisis Asupan Kalori Ny. J SMRS dan Selama Perawatan di RS *H: hari
Nutrien spesifik yang dapat diberikan kepada pasien ini adalah koenzim Q10, sedangkan L-karnitin belum dapat diberikan dan plant stanol tidak dikonsumsi oleh pasien karena masalah pembiayaan. Mikronutrien yang dapat diberikan kepada pasien adalah vitamin B komplek.
Gambar 3.5 Analisis Asupan Makronutrien Ny. J SMRS dan Selama Perawatan di RS
Selama perawatan didapatkan kadar gula darah dan tekanan darah pasien terkontrol dengan medikasi dan terapi nutrisi. Keluhan nyeri dada dan sesak menghilang, terdapat perbaikan pada ISK sesuai hasil urinalisis ulangan, serta
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
40
pasien sudah dapat melakukan aktivitas ringan di sekitar tempat tidur, sehingga pasien direncanakan untuk dipulangkan pada hari ketujuh perawatan dan diminta untuk kontrol kembali ke poliklinik satu minggu kemudian. Saat pulang pasien mendapatkan terapi furosemide 1 x 40 mg, KSR 1 x 1 tablet, metformin 1 x 500 mg, bisoprolol 1 x 1,25 mg, aspirin 1 x 80 mg, captopril 3 x 6,25 mg, allupurinol 1 x 100 mg, levofloxacin 1 x 500 mg, dan simvastatin 1 x 20 mg. Suplementasi mikronutrien yaitu vitamin B kompleks 3 x 1 tablet dan koenzim Q10 1 x 100 mg.
3.3. Kasus 3 Pasien laki-laki, usia 65 tahun dirujuk dari poli jantung RSSW dengan NSTEMI, hipertensi terkontrol, dan anemia defisiensi besi. Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri sejak 2 jam SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertekan benda berat dan timbul saat pasien sedang beristirahat. Nyeri dirasakan selama 10–15 menit. Nyeri tidak menjalar ke rahang dan lengan sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan punggung atas terasa pegal. Keluhan sesak napas ada, dan tidak disertai dengan batuk ataupun mengi. Keluhan nyeri kepala dan kesadaran menurun disangkal, mual dan muntah tidak ada, tetapi pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang dirasakan pasien sejak 3 minggu SMRS. Nyeri ulu hati dirasakan berkurang bila pasien mengonsumsi makanan. Tidak didapatkan keluhan pada BAK, tetapi BAB pasien berwarna kehitaman, konsistensi padat dengan lendir dan darah sejak 3 minggu SMRS. Pada saat dilakukan skrining dan pemeriksaan keluhan nyeri dada serta sesak pasien sudah berkurang. Pada RPD didapatkan pasien MRS 4 bulan yang lalu di RSSW dengan hipertensi, dan anemia defisiensi besi akibat gastritis erosif. Saat dirawat pertama kali didapatkan Hb pasien 8 g/dL sehingga dilakukan transfusi Packed Red Cell (PRC) hingga Hb saat pulang menjadi 10,6 g/dL. Dilakukan pemeriksaan serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), dan kadar feritin dimana didapatkan nilai dibawah normal yaitu SI 14 µg/dL, TIBC 300 µg/dL, dan feritin 10,94 ng/dL. Pada pemeriksaan profil lipid didapatkan trigliserida 183 mg/dL, kolesterol LDL 135 mg/dL, dan kolesterol HDL 38 mg/dL. Hasil pemeriksaan laboratorium lainnya dalam batas normal. Sejak dirawat pasien mulai mengonsumsi obat-
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
41
obatan dengan teratur yaitu captopril 2 x 6,25 mg, simvastatin 1 x 10 mg, dan aspirin 1 x 80 mg. Pada RPK tidak ada riwayat penyakit darah tinggi, DM, jantung, asam urat, kolesterol, dan ginjal dalam keluarga. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal. Pada anamnesis kebiasaan makan pasien didapatkan pasien telah mengubah kebiasaan makannya sejak diketahui sakit 4 bulan yang lalu. Sebelum sakit pertama kali pasien biasanya makan 3x sehari, dengan nasi putih 2 centong dengan lauk telur 1 butir atau ayam bagian paha 1 potong digoreng dengan sayur dimasak santan 1 mangkok kecil. Pasien jarang mengonsumsi buah, tetapi seringkali mengonsumsi gorengan seperti singkong dan ubi 3–4 potong sehari dan bakwan sayur digoreng 2–3 potong disertai teh manis dengan 2 sdm gula pasir 2– 3 x sehari. Setelah sakit 4 bulan yang lalu pasien mengubah kebiasaan makan menjadi 3x sehari dengan mengurangi porsi nasi menjadi 1 centong tiap kali makan dengan lauk tahu/tempe 2 potong sedang, dan sayur dikukus 1 mangkok sedang. Pasien juga sudah mengurangi konsumsi gorengan menjadi 1x sehari dan mengonsumsi susu tinggi kalsium sebanyak 3 sdm bubuk, 2x sehari. Saat 24 jam terakhir di RS pasien mengonsumsi makanan cair RS 1000 kal. Terdapat riwayat penurunan BB sebanyak 5 kg sejak 4 bulan SMRS, di mana BB pasien sebelumnya 80 kg. Pada anamnesis aktivitas fisik pasien sehari-hari didapatkan sebelum MRS 4 bulan yang lalu, pasien jarang berolah raga dan kegiatan pasien sehari-hari lebih banyak duduk. Pasien sudah tidak bekerja lagi dan hanya tinggal di rumah. Setelah MRS yang pertama pasien mulai mengubah kebiasaan sehari-hari dengan mulai melakukan jalan pagi disekitar tempat tinggal pasien. Kegiatan jalan santai dilakukan pasien 4–5 seminggu dengan waktu 30 menit per kalinya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 139/80 mmHg, nadi 83 x/menit, pernapasan 23 x/menit, suhu badan 36,8̊ C. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis. Konjungtiva pucat dan sklera tidak ikterik. Pada hidung terpasang kanul O2 4 L/menit. Pada pemeriksaan mulut didapatkan gigi geligi tidak lengkap, tidak ada stomatitis, dan oral higiene cukup. Pada pemeriksaan leher didapatkan JVP 5+1 cmH2O dan tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thorax didapatkan paru simetris kiri &
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
42
kanan, suara pernapasan vesikuler, serta tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II murni, tidak ada gallop dan murmur. Pemeriksaan abdomen didapatkan buncit, BU normal, supel, hepar dan limpa tidak teraba membesar, tetapi didapatkan
nyeri tekan di daerah epigastrium. Pada ekstremitas tidak
terdapat edema dan CRT < 2”. Pada pemeriksaan penunjang pasien, didapatkan hasil darah rutin adalah Hb 6 g/dL, Ht 18,7%, leukosit 4200/µL, trombosit 308.000/µL dan aPTT 34,7”. Pemeriksaan enzim jantung adalah CK 236 U/L dan CK-MB 37 U/L. Sedangkan pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan hasil dalam batas normal yaitu SGOT/PT 22/21 U/L. Pada pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan kadar ureum 38 mg/dL dan kreatinin 0,8 mg/dL. Pemeriksaan elektrolit darah didapatkan hasil normal yaitu Na 133 mmol/L, K 3,6 mmol/L, Cl 104 mmol/L, dan Ca ion menurun menjadi 1,02 mmol/L. Sedangkan pada pemeriksaan GDS didapatkan hasil 128 mg/dL. Pemeriksaan kapasitas fungsional pasien didapatkan bedridden dengan kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa. Pada imbang cairan didapatkan input yang berasal dari PRC 209 mL, cairan infus 280 mL, dan makanan cair sebesar 1000 mL, sehingga totalnya adalah 1489 mL/18 jam. Sedangkan pada output berupa urin 1950 mL dan IWL 843,75 mL, sehingga total output adalah 2793,75 mL/18 jam. Didapatkan imbang cairan menjadi (-) 1304,75 mL/18 jam. Pada pengukuran antropometri didapatkan BB aktual 75 kg, TB 160 cm, sehingga IMT menjadi 29,2 kg/m2. Diagnosis gizi pada pasien ini adalah NSTEMI, hipertensi grade I terkontrol, anemia defisiensi besi ec gastritis erosif, obes I, hipermetabolisme sedang, dan hipokalsemia. Pasien mendapatkan terapi heparin bolus 4000 IU dan dilanjutkan dengan heparin 23.000 IU dalam D 5% 46 mL, yang diberikan 2 mL/jam.
Saat
didapatkan hasil Hb 6 g/dL, heparin dihentikan dan dilakukan transfusi PRC sebanyak 1 kantong yaitu 209 mL. Terapi lain yang diberikan adalah ISDN 5 mg sublingual, yang selanjutnya diberikan 3 x 5 mg per oral, aspirin 4 tablet @ 80 mg, yang selanjutnya diberikan 1 x 80 mg. Pemberian aspirin juga dihentikan saat diketahui kadar Hb pasien yang rendah. Pasien juga mendapatkan terapi oral lain
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
43
berupa captopril 2 x 12,5 mg, simvastatin 1 x 10 mg, ranitidin 2 x 150 mg, antasida 3 x 15 mL, dan metronidazole 3 x 500 mg. Tatalaksana nutrisi pasien meliputi penentuan KEB pasien dengan HB didapatkan sebesar 1246 kal/hari. Sedangkan KET dengan FS 1,3 adalah sebesar 1600 kal/hari. Kebutuhan protein 1,2 g/KgBB ideal/hari yaitu 72 g (18% KET), lemak 25% KET yaitu 44 g/hari, dan KH 230 g/hari (57% KET). Untuk sumber protein diberikan berupa protein nabati dan hewani dengan perbandingan 1 : 1, sedangkan lemak diberikan dengan pengaturan kolesterol < 200 mg/hari, SFA < 7%, MUFA < 20%, dan PUFA < 10%. Sumber KH terutama dari KH kompleks, dengan KH simpleks < 5%. Kebutuhan serat adalah 23 g/hari dengan serat larut 25% dari total kebutuhan serat. Kebutuhan Na adalah 2300 mg/hari. Kebutuhan cairan pasien 1–1,5 mL/hari. Suplementasi mikronutrien yang direkomendasikan berupa vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg per hari, L-karnitin 2 x 1g, dan omega-3 1g. Nutrisi yang diberikan pada hari kedua perawatan ditingkatkan menjadi sesuai basal yaitu 1250 kal dalam bentuk makanan lunak yaitu bubur lauk lunak dengan bumbu yang tidak merangsang dan menghasilkan gas di lambung agar tidak mengganggu lambung. Nutrisi diberikan dalam 3x makanan utama dan 3x selingan. Selanjutnya pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap 10–20% setiap 1–2 hari sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien hingga mencapai kebutuhan total. Selama perawatan didapatkan tekanan darah pasien terkontrol dengan medikasi dan terapi nutrisi. Pasien mendapatkan tranfusi PRC kembali sebesar 185 mL pada hari kedua perawatan. Pada pemeriksaan kapasitas fungsional hari kedua, didapatkan pasien sudah dapat duduk di tempat tidur. Pada analisis asupan, pasien dapat menghabiskan makanan yang diberikan sehingga pemberian nutrisi kembali ditingkatkan menjadi 1400 kal dan diberikan dalam bentuk makanan lunak yaitu nasi tim dengan lauk lunak dan bumbu tidak merangsang serta tidak menghasilkan gas. Pada hari ketiga perawatan, pasien BAB dengan kotoran berwarna kuning dengan konsistensi lembek, tanpa adanya darah dan lendir. Pada pemeriksaan penunjang yaitu analisis tinja tidak didapatkan adanya darah dan bakteri ataupun amuba. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 8,8
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
44
g/dL, Ht 27,6%, leukosit 4800/µL, trombosit 318.000/µL dan asam urat 6,0 mg/dL. Keluhan nyeri dada dan sesak tidak ada pada hari keempat perawatan, sehingga dengan perbaikan kondisi klinis tersebut, pasien direncanakan dipindahkan ke ruang rawat biasa.
Gambar 3.6 Analisis Asupan Kalori Tn.B Sebelum Sakit, SMRS, dan Selama Perawatan di RS Pemantauan hari keenam didapatkan tanda vital pasien stabil, tidak ada keluhan sesak, nyeri dada, dan nyeri ulu hati. Pada anamnesis juga didapatkan BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pada penilaian kapasitas fungsional pasien sudah dapat berjalan-jalan di sekitar tempat tidur. Pasien kembali mendapatkan transfusi PRC 247 mL, dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan Hb kembali. Pada analisis asupan, pasien dapat menghabiskan semua makanan yang diberikan dan pemberian nutrisi sudah mencapai kebutuhan total pasien dalam bentuk makanan lunak nasi tim dengan lauk lunak. Pada pasien ini karena pembiayaan ditanggung oleh Kartu Jakarta Sehat, dan mikronutrien yang dapat diberikan adalah vitamin B komplek 3 x 1 tablet per hari. Sedangkan untuk nutrien spesifik tidak dapat diberikan kepada pasien karena tidak ditanggung oleh pembiayaan pasien, selain itu karena riwayat perdarahan pada lambung, DPJP juga tidak menyetujui pemberian koenzim Q10 dan omega-3. Sehingga pada pasien ini diberikan omega-3 dari bahan makanan sumber yaitu ikan laut.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
45
Gambar 3.7 Analisis Asupan Makronutrien Tn.B Sebelum Sakit, SMRS, dan Selama Perawatan di RS
Pasien dipulangkan pada hari ketujuh perawatan. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 75 kg dengan LP 110 cm. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10 g/dL, Ht 30 %, leukosit 3800/µL, dan trombosit 246.000/µL. Saat pulang pasien mendapatkan terapi captopril 2 x 6,25 mg, simvastatin 1 x 10 mg, omeprazole 2 x 20 mg, antasida 3 x 15 mL, dan suplementasi Fe 1 x 1 kapsul sehari dan vitamin B komplek 3 x 1 tablet.
3.4. Pasien 4 Pasien Tn. J 57 tahun, MRS dengan keluhan utama nyeri dada kiri sejak 11 jam SMRS. Nyeri dada timbul saat pasien sedang beraktivitas yaitu bermain bulu tangkis, dan berlangsung selama ± 30 menit. Nyeri dirasakan seperti diremas pada dada kiri dan menjalar ke punggung atas. Keluhan sesak juga dikeluhkan oleh pasien. Saat kejadian pasien langsung ditolong dengan ditidurkan di kursi dan dikatakan pasien sempat tidak sadar selama ± 5 menit. Saat sadar pasien langsung diantar pulang ke rumah. Saat di rumah pasien sempat muntah 1x berisi sisa makanan, muntah hitam disangkal, keluhan keringat dingin ada. Pasien kemudian dibawa ke klinik 24 jam dan disarankan untuk MRS. Sejak ± 2 bulan SMRS pasien kadang-kadang merasakan dada terasa nyeri saat beraktivitas berat, tetapi nyeri menghilang saat pasien beristirahat. Tidak ada keluhan pada BAK dan BAB. Pada saat dilakukan skrining nutrisi keluhan nyeri Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
46
dada dan sesak napas masih ada. Pada RPD didapatkan pasien mempunyai riwayat kolesterol dan asam urat yang tinggi sejak 3 tahun SMRS tetapi pasien tidak pernah minum obat dan menjalani diet khusus. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, ginjal, stroke, dan paru disangkal. Pada RPK tidak didapatkan riwayat darah tinggi, kencing manis, jantung, ginjal, stroke, dan paru. Tidak didapatkan riwayat penurunan BB pada pasien sebelumnya. Pada anamnesis kebiasaan makan pasien sehari-hari didapatkan pasien hampir setiap hari makan di rumah makan. Makanan yang biasa dikonsumsi pasien adalah makanan berlemak seperti daging sapi dan daging kambing yang dimasak santan. Pasien mengonsumsi buah 1 potong sedang sehari, biasanya pepaya, melon, atau semangka. Sedangkan konsumsi sayur 1–2 x sehari dan dimasak dengan santan. Pasien jarang mengonsumsi camilan, kopi, ataupun teh. Saat sehat pasien makan 3x sehari, setiap kali makan berupa nasi putih 2–3 centong dengan lauk hewani 1–2 potong sedang dan sayur santan 1 mangkok sedang. Asupan pasien 24 jam terakhir yaitu nasi putih 2 centong, dengan lauk hewani 1 potong, sayur santan 1 mangkok sedang, dan teh manis dengan @ 2 sdm gula pasir sebanyak 3 gelas. Sedangkan aktivitas fisik pasien sebagai karyawan di perusahaan swasta adalah lebih banyak duduk. Saat di rumah pasien juga jarang berolah raga. Aktivitas olah raga yang dilakukan pasien adalah bermain bulu tangkis 1x seminggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, TD 141/85 mmHg, nadi 57 x /menit, pernapasan 22 x/menit, suhu badan 36,5̊ C, MAP 117 mmHg, dan JVP 5+1 cm H2O. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada mulut gigi geligi lengkap, tidak ada stomatitis, dan oral higiene baik. Pada hidung terpasang kanul O2 4 L/menit. Pemeriksaan thorax didapatkan simetris, pada paru suara napas vesikuler tidak ada ronkhi dan wheezing, sedangkan pada jantung, bunyi jantung I dan II murni, tidak ada murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan buncit dengan BU normal. Pada genitalia terpasang kateter urin. Sedangkan pada ekstremitas tidak ada edema, dan CRT < 2’.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
47
Kapasitas
fungsional
pasien
adalah
bedridden
dengan
kekuatan
genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa. Pada antropometri didapatkan BB aktual 65 kg dengan TB 160 cm, sehingga IMT 25,4 kg/m2. Pada imbang cairan didapatkan input yang berasal dari cairan infus 18 mL dan minum per oral 150 mL, sehingga total input adalah 168 mL/10 jam,sedangkan output yaitu dari urine 600 mL dan IWL 365,62 mL, sehingga total output adalah 962,62 mL/10 jam. Imbang cairan menjadi (-) 797,62 mL/10 jam. Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan data Hb 12,7 g/dL, Ht 37,8 %, leukosit 12.900/µL, trombosit 308.000/µL, LED 24 mm/jam I. Pada pemeriksaan penunjang enzim jantung didapatkan peningkatan CK 1101 U/L dan CK-MB 598 U/L. Pada fungsi hati terdapat peningkatan SGOT 217 U/L, sedangkan SGPT dalam batas normal yaitu 41 U/L. Pada pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan ureum sedikit meningkat 58 mg/dL, kadar kreatinin normal 1,2 mg/dL dan asam urat meningkat menjadi 9,3 mg/dL. Pemeriksaan elektrolit didapatkan dalam batas normal, yaitu Na 137 mmol/L, K 4,1 mmol/L, Cl 106 mmol/L, Ca ion 1,14 mmol/L, P 4,7 mg/dL, dan
Mg 1,7 meq/L. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan IMA anteroseptal. Diagnosis kerja gizi pada pasien adalah IMA anteroseptal, dislipidemia, hiperurisemia, obes I, hipermetabolisme sedang, gangguan fungsi hati. Pasien mendapatkan terapi dari DPJP berupa heparin bolus 4000 IU, dilanjutkan dengan heparin 19.000 IU dalam D5% 43 mL, yang diberikan 2mL/jam. Terapi lainnya adalah clopidogrel 150 mg, captopril 3 x 6,25 mg, ISDN 5 mg sublingual, simvastatin 1 x 20 mg, diazepam 1 x 2 mg, laxadine 1 x 15 mL, aspirin 1 x 80 mg, dan ranitidine 2 x 50 mg IV. Tatalaksana nutrisi pasien meliputi penentuan KEB pasien dengan HB didapatkan sebesar 1300,4 kal/hari. Sedangkan KET dengan FS 1,3 adalah sebesar 1700 kal/hari. Kebutuhan protein 1,2 g/KgBB ideal/hari yaitu 72 g (17% KET), lemak 25% KET yaitu 47 g/hari, dan KH 245 g/hari (58% KET). Untuk sumber protein adalah rendah purin, sedangkan lemak dengan pengaturan kolesterol < 200 mg/hari, SFA < 7%, MUFA < 20%, dan PUFA < 10 %, dengan sumber MUFA dari minyak kanola. Sumber KH terutama dari KH kompleks, dengan KH simpleks < 5%. Kebutuhan serat adalah 24 g/hari dengan serat larut 25% dari total
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
48
kebutuhan serat. Kebutuhan Na diberikan sebesar 2300 mg/hari. Kebutuhan cairan pasien adalah 1–1,5 mL/hari. Suplementasi mikronutrien yang direkomendasikan adalah vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg per hari, L-karnitin 2 x 1g, dan omega-3 1g. Nutrisi yang diberikan pada hari kedua perawatan adalah sesuai 80% basal yaitu 1000 kal dalam bentuk makanan cair RS. Protein yang diberikan dimulai dengan 50 g (0,8 g/kgBBI/hari atau 20% KET, N : NPC = 1 : 100) dan dipilih rendah purin. Nutrisi diberikan dalam 7x pemberian sehari yaitu sebesar 6 x 150 kal dan 1 x 100 kal jus buah. Pemilihan nutrisi dalam bentuk cair karena pasien masih mengeluhkan nyeri dada sehingga bentuk makanan cair akan memudahkan pasien untuk mengonsumsi makanan. Monitoring setiap hari adalah kondisi klinis, tanda vital, dan toleransi asupan pasien.
Gambar 3.8 Analisis Asupan Kalori Tn.J Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS
Pada pemantauan hari ketiga didapatkan keluhan nyeri dada dan sesak sudah tidak ada, tanda vital pasien stabil. Pada pemeriksaan penunjang profil lipid didapatkan TG 119 mg/dL, kolesterol total 286 mg/dL, kolesterol HDL 45 mg/dL, dan kolesterol LDL 195 mg/dL. Pada pemeriksaan gula darah puasa (GDP) didapatkan hasil 106 mg/dL dan GD 2 jam setelah makan 128 mg/dL. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan bakteri (+), sehingga terapi pasien ditambahkan
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
49
dengan klindamisin 3 x 300 mg. Pada analisis asupan didapatkan data pasien dapat menghabiskan makanan cair yang diberikan. Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas pemberian nutrisi pasien ditingkatkan menjadi sesuai basal 1300 kal dalam bentuk makanan lunak yaitu bubur. Makanan lunak diberikan dalam 3x makanan utama dan 3x makanan selingan. Nutrien spesifik yang diberikan kepada pasien adalah omega-3 PUFA 1 g/hari, koenzim Q10 100 mg/hari, dan plant stanol 2 g/hari yang dapat disediakan oleh keluarga pasien. Sedangkan mikronutrien adalah vitamin B komplek 3 x 1 tablet sehari. Pada pemantauan selanjutnya hari keempat kondisi pasien stabil sehingga pasien direncanakan untuk dipindahkan ke ruang rawat biasa. Pada pemeriksaan penunjang yaitu ekokardiografi disimpulkan dimensi normal, tidak ada pembesaran ventrikel kiri, kontraktilitas ventrikel kiri cukup dengan LVEF 60%, akinetik anteroapikal, dan keadaan katup baik. Analisis asupan pasien didapatkan pasien mampu menghabiskan makanan lunak yang diberikan, sehingga pemberian nutrisi ditingkatkan menjadi 1500 kal dalam bentuk makanan lunak yaitu nasi tim.
Gambar 3.9 Analisis Asupan Makronutrien Tn.J Sebelum Sakit dan Selama Perawatan di RS Selama perawatan diruangan rawat biasa kondisi klinis pasien stabil, tidak ada keluhan nyeri dada dan sesak. Pada kapasitas fungsional pasien didapatkan perbaikan di mana pasien sudah dapat berjalan-jalan di sekitar ruang rawat pasien
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
50
pada hari kelima perawatan. Selama perawatan juga didapatkan imbang cairan selalu negatif dengan produksi urin ± 1,3 mL/kgBB/hari. Pasien dipulangkan pada hari ketujuh perawatan dengan analisis asupan sudah mencapai KET. Terapi pasien saat dipulangkan adalah aspirin 1 x 80 mg, simvastatin 1 x 20 mg, allupurinol 1 x 150 mg, omeprazole 2 x 20 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, sucralfat 3 x 10 mL, omega-3 PUFA 1g, koenzim Q10 100 mg, dan plant stanol 2 g per hari.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
51
BAB 4 PEMBAHASAN
Pemberian dukungan nutrisi telah dilakukan pada empat orang pasien dengan diagnosis SKA yang memiliki faktor risiko sindrom metabolik. Pada keempat pasien sebelum dilakukan dukungan nutrisi dilakukan skrining menggunakan formulir skrining yang modifikasi dari bagian gizi RSSW. Metode skrining modifikasi oleh bagian gizi RSSW selain menilai penurunan BB dan asupan makanan, juga menilai pasien dalam kondisi khusus seperti DM tipe 2, hipertensi, peningkatan asam urat, hiperkolesterolemia, dan dislipidemia yang dapat memperoleh manfaat dari intervensi nutrisi. Pada skrining gizi yang digunakan di RSSW merupakan modifikasi dari Malnutrition Screening Tool (MST), di mana skor ≥ 2 atau pasien dengan kondisi khusus dilakukan tatalaksana gizi oleh Tim Terapi Gizi (TTG). Pada PKV terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga dengan PKV. Dikatakan penderita terbanyak PKV adalah laki-laki pada usia dewasa muda, sedangkan perempuan usia muda jarang menderita PKV karena faktor proteksi dari hormon estrogen, tetapi kejadiannya akan meningkat hingga sama dengan pria setelah menopause.8 Keadaan tersebut didapatkan pada kedua pasien perempuan dalam serial kasus ini, di mana keduanya berusia 56 tahun dan telah mengalami menopause. Selain itu dengan meningkatnya usia maka risiko untuk mendapatkan penyakit jantung menjadi semakin meningkat akibat aterosklerosis dan fungsi jantung yang menurun.8 Pada semua pasien serial kasus ini tidak ditemukan adanya riwayat keluarga dengan PKV, terutama kematian yang terjadi akibat PKV pada anggota keluarga sebelum usia 55 tahun pada laki-laki dan sebelum usia 65 tahun pada perempuan. Sedangkan faktor risiko PKV yang dapat dimodifikasi meliputi kadar kolesterol darah yang meningkat, hipertensi, obesitas dan overweight, DM tipe 2, kurangnya aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi alkohol.8 Keadaan obesitas dan overweight menyebabkan gangguan proses metabolik yang berhubungan dengan peran insulin terhadap metabolisme glukosa dan asam lemak bebas sehingga
51 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
52
mempengaruhi proses pengendalian kadar glukosa darah, TD, lipid, dan menimbulkan keadaan hiperglikemia, dislipidemia, hipertensi, serta prokoagulasi yang disebut sindrom metabolik.3 Pasien dalam serial kasus ini semuanya memiliki status gizi obes dan overweight dengan LP > 80 cm pada kedua pasien perempuan dan > 94 cm pada kedua pasien laki-laki disertai dengan minimal 2 kriteria lain sesuai kriteria IDF untuk sindrom metabolik.2,5 Pada pasien pertama didapatkan kadar TG
194
mg/dL dan TD 210/140 mmHg sedangkan pasien kedua memiliki kadar TG 256 mg/dL, kolesterol HDL 38 mg/dL. Pasien ketiga berada dalam terapi untuk mengendalikan profil lipid dan TD, kemudian pasien keempat dengan kadar HDL 45 mg/dL dan GDP 106 mg/dL. Berdasarkan data-data tersebut keempat pasien memenuhi kriteria sindrom metabolik sebagai faktor risiko PKV dan DM tipe 2. Gejala klinis SKA yang utama adalah nyeri di bagian tengah dada, yang dapat menjalar hingga ke rahang, lengan sebelah kiri, dan punggung. Nyeri dapat dirasakan hingga 30 menit, yang kemudian menghilang dan dapat timbul kembali dengan aktivitas. Keempat pasien semuanya MRS dengan keluhan nyeri dada yang timbul dengan waktu yang bervariasi antara 10–30 menit. Keluhan juga disertai dengan sesak napas sebelumnya, yang timbul setelah beraktivitas. Pada STEMI biasanya keluhan lebih berat karena terjadi oklusi total arteri koronaria seperti terlihat pada pasien kedua dan keempat dengan adanya light-headedness hingga pasien tidak sadar, timbul keringat dingin, mual, dan muntah.8 Pada semua pasien kemungkinan penyebab adalah aterosklerosis dan kemudian terjadi ruptur plak sehingga terjadi trombosis.17 Sedangkan pada pasien ketiga selain trombosis penyebab timbulnya NSTEMI adalah keadaan anemia. Kelainan hematologi seperti kadar Hb yang rendah atau anemia berperan penting pada kejadian SKA dan prognosisnya. Berdasarkan kriteria WHO, dikatakan anemia pada laki-laki bila kadar Hb < 13 mg/dL sedangkan pada perempuan bila Hb < 12 mg/dL. Kombinasi PKV dan anemia meningkatkan mortalitas dan insiden major adverse cardiac and cerebrovascular events (MACCE). Anemia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan pada pasien dengan PKV, dan angka kejadiannya adalah 19–30% pada pasien dengan SKA. Penyebab anemia pada SKA adalah penyakit kronik (35%), defisiensi Fe
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
53
(15%), blood loss (7%), gagal ginjal, penyakit hati, penyakit endokrin (6,5%), myelodisplasia, leukemia (5,5%), dan defisiensi vitamin B12 serta folat (5,5%). Pada pasien laki-laki dengan STEMI, kadar Hb < 14 g/dL dan pada NSTEMI bila kadar Hb < 11 g/dL dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas setiap 1 g/dL penurunan kadar Hb. Rekomendasi dari The European Society of Cardiology (ESC) adalah pemberian transfusi darah untuk memperbaiki hemodinamik pada pasien dengan kadar Ht < 25% atau kadar Hb < 7 g/dL.58 Pada pasien ketiga dengan NSTEMI dan anemia, didapatkan nilai Hb 6 g/dL sehingga diberikan transfusi PRC. Penyebab anemia pada pasien ini adalah defisiensi Fe, blood loss, dan penyakit kronik. Penegakkan diagnosis defisiensi Fe adalah dengan kadar SI, TIBC, dan feritin rendah pada pasien yang disebabkan oleh blood loss dari gastritis erosif serta perubahan asupan nutrisi pasien, di mana pasien mulai merestriksi jenis protein hewani yang dikonsumsi sejak sakit 4 bulan yang lalu. Obesitas sebagai faktor risiko PKV, selain faktor genetik juga disebabkan oleh asupan nutrisi berlebih yang diikuti dengan gaya hidup tidak aktif.3 Keempat pasien dalam serial kasus ini memiliki asupan nutrisi yang berlebih, dengan ratarata asupan sebelum sakit adalah 1650–2500 kal/hari disertai dengan aktivitas fisik sehari-hari yang rendah. Sebagian besar pasien tidak pernah berolahraga kecuali pasien keempat yang berolah raga bulu tangkis 1x seminggu. Pasien pertama memiliki gaya hidup lebih aktif dibandingkan dengan pasien lainnya karena pasien masih melakukan aktivitas rumah tangga sehari-hari seperti membersihkan rumah, mencuci, dan memasak. Pasien ketiga sejak diketahui menderita hipertensi dan dislipidemia 4 bulan SMRS, sudah mulai mengatur pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik dengan berjalan kaki 4–5 kali seminggu selama 30 menit setiap kalinya. Sedangkan pasien kedua belum mengubah gaya hidup sehari-hari yang tidak aktif. Pada analisis asupan kebiasaan makan pasien sehari-hari, selain konsumsi kalori berlebih didapatkan dalam komposisi makronutriennya juga tinggi KH serta lemak, terutama KH sederhana dan SFA. Proporsi KH yang dikonsumsi adalah 56–62% dari kalori total. Sedangkan rata-rata proporsi lemak dari total kalori adalah 29–32% dari kalori total yang dikonsumsi, di mana hasil ini
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
54
terutama didapatkan dari konsumsi makanan yang digoreng. Data ini bila dibandingkan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 adalah lebih tinggi di mana asupan lemak masyarakat perkotaan di Indonesia ± 28% total kalori dan terutama diperoleh dari konsumsi bahan makanan yang digoreng. Dari data RISKESDAS juga didapatkan konsumsi KH masyarakat Indonesia rata-rata 61% dan sesuai pada pasien serial kasus ini.59 Asupan SFA dihubungkan dengan meningkatnya risiko PKV akibat efeknya secara langsung pada peningkatan kadar kolesterol LDL.60 Pada pasienpasien ini asupan SFA berkisar antara > 10% dari kalori total, hasil tersebut lebih tinggi dari rekomendasi NCEP-ATP III untuk pasien dengan PKV yaitu < 7%.25 Di mana dengan asupan SFA < 7% dihubungkan dengan penurunan kadar kolesterol LDL.59 Sedangkan asupan PUFA adalah 1–6% dan MUFA 4–7% dari kalori total. Dua pasien dalam serial kasus ini yaitu pasien pertama dan keempat jarang mengonsumsi ikan yaitu < 1x /bulan. Rekomendasi asupan PUFA adalah ≤ 10% dan MUFA ≤ 20% dari kalori total.25 Konsumsi PUFA dihubungkan dengan penurunan risiko PKV, di mana penggantian 5% dari kalori total yang berasal dari SFA dapat menurunkan risiko PKV hingga 42%.58,61 Rasio PUFA terhadap SFA ≥ 0,49 secara signifikan berhubungan dengan penurunan risiko PKV dibandingkan hanya dengan menurunkan kadar SFA.60 Biasanya penurunan asupan SFA melibatkan peningkatan asupan KH sebagai penggantinya. Peningkatan asupan KH terutama refined
dihubungkan dengan meningkatnya insiden obesitas dan overweight,
menyebabkan dislipidemia aterogenik yang ditandai dengan peningkatan TG, penurunan HDL, dan peningkatan LDL small dense.59 Analisis asupan pasien pada kasus ini untuk konsumsi KH terutama dari makanan utama yaitu nasi putih dan tepung-tepungan sehingga juga dihubungkan dengan timbulnya obesitas, overweight, dan peningkatan kadar TG serta penurunan kadar kolesterol HDL. Asupan kolesterol pada pasien dengan PKV berdasarkan NCEP-ATP III adalah < 200 mg/hari.25 Konsumsi kolesterol dari bms pada pasien adalah antara 200–300 mg/hari, di mana jumlah ini masih lebih tinggi dari rekomendasi. Jumlah kolesterol dalam makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi efek dari SFA, di mana efek SFA pada kolesterol LDL rendah bila asupan kolesterol rendah.59
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
55
Konsumsi serat pada pasien berdasarkan analisis asupan didapatkan rendah, yaitu antara 8–11 g/hari. Hasil ini sesuai dengan data Puslitbang Departemen Kesehatan RI tahun 2004 yang menyatakan asupan serat rata-rata penduduk Indonesia adalah 10,5 g/hari.62 Asupan ini lebih rendah daripada rekomendasi untuk pasien dengan PKV yaitu 20–30g/hari.25
Gambar 4.1 Asupan Energi, KH, Lemak, dan Serat Pasien SMRS *P= Pasien
Pada pasien kedua dan ketiga, pasien saat ini MRS untuk kedua kali sehingga pasien telah mendapatkan edukasi untuk menurunkan BB dengan pengaturan makan dan olahraga. Pada pasien kedua Ny. J telah mengalami penurunan BB sebesar 5 kg sejak sakit 2 tahun yang lalu, di mana pasien mulai mengurangi asupan makanan sehari-hari sehingga saat ini pasien berada pada status gizi overweight. Pasien ketiga Tn. B sejak MRS pertama kali 4 bulan yang lalu, juga telah mendapatkan edukasi untuk menurunkan BB. Dalam 4 bulan, pasien mengalami penurunan BB 5 kg dengan pengaturan diet dan peningkatan aktivitas fisik. Sedangkan pasien pertama dan keempat belum pernah mengikuti diet tertentu untuk menurunkan BB.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
56
Pasien-pasien pada serial kasus ini saat pemeriksaan pertama tampak lemah. Pada tanda vital didapatkan peningkatan TD pada semua pasien yang merupakan kompensasi dari menurunnya fungsi kontraksi jantung pada SKA. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi basal pada paru, sesuai dengan Killip II yang menunjukkan gangguan fungsi kontraksi jantung akibat SKA sehingga menyebabkan bendungan cairan di paru. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan kadar enzim jantung yaitu CK, CK-MB, dan Troponin T. Pada pasien pertama, ketiga, dan keempat didapatkan rasio CK-MB/CK > 2,5% dan pada pasien kedua didapatkan kadar Troponin T > 2,0 sehingga hasil ini memperkuat diagnosis adanya STEMI/NSTEMI pada keempat pasien ini. Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil adanya NSTEMI pada pasien pertama dan ketiga serta STEMI pada pasien kedua dan keempat. Pasien pertama dan keempat mengalami gangguan fungsi hati, ditandai dengan meningkatnya kadar SGOT, sedangkan kadar SGPT dalam batas normal. Gangguan fungsi hati pada kedua pasien ini dapat disebabkan oleh obesitas. Keadaan ini menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi yang menimbulkan
resistensi
insulin,
sehingga
terjadi
keadaan
hiperinsulin,
hiperglikemia, dan lipolisis perifer. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan inflamasi pada sel-sel hati sehingga terjadi steatosis.63 Sedangkan fungsi ginjal berdasarkan kadar ureum dan kreatinin pada semua pasien dalam batas normal, hanya terjadi sedikit peningkatan kadar ureum pada pasien keempat yaitu 58 mg/dL yang dapat disebabkan oleh kondisi hipermetabolik. Pada tiga pasien didapatkan peningkatan kadar asam urat dan satu pasien memiliki kadar yang normal. Asam urat dihasilkan dari xantin dan hipoxantin dengan bantuan xantine oxidase.64 Asam urat memiliki kapasitas antioksidan dalam plasma yaitu sebagai scavenger peroksinitrit.63,65 Kondisi sindrom metabolik ditandai dengan timbulnya hiperinsulinemia dan resistensi insulin, di mana keadaan ini didapatkan pada hiperurisemia yang asimtomatik, atau pasien dengan DM dan hipertensi. Mekanisme terjadinya adalah melalui kerja insulin pada tubulus proksimalis ginjal untuk menstimulasi reabsorpsi urat bersama dengan Na. Selain itu pasien pertama dan kedua memdapatkan terapi furosemide, yang dapat meningkatkan kadar asam urat melalui stimulasi reabsorpsi urat di
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
57
tubulus proksimalis bersama dengan Na untuk mengendalikan penurunan TD akibat diuretik.64 Pemeriksaan
elektrolit
plasma
pada
pasien
pertama
didapatkan
hipokalemia (K: 3,4 mmol/L) dan hiperkalsemia (Ca: 10,1 mg/dL), sedangkan pada pasien ketiga didapatkan hipokalsemia (Ca ion: 1,02 mmoL/L). Ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi akibat hipoksia miokardium sehingga terjadi gangguan kerja Na+K+ATPase dan akumulasi Ca++ miosit sehingga menyebabkan kerusakan sel.6 Kondisi penyakit penyerta pada pasien pertama saat awal MRS didapatkan keadaan hipoksia pada analisis gas darah, terdapat keadaan hipertensi grade II dengan TD saat awal adalah 210/140 mmHg, dan nilai aPTT yang memanjang. Nilai aPTT sering digunakan untuk memantau pemberian dosis heparin, di mana nilai normal antara 35–45’’.66 Pada pasien ini dilakukan pemberian heparin untuk mencapai nilai aPTT agar mencapai nilai normal kembali. Pada pasien kedua pada pemeriksaan GDS saat awal MRS di RS S didapatkan 223 g/dL, keadaan hiperglikemia ini disebabkan oleh kondisi hiperkatabolik dan pada hari berikutnya didapatkan kadar GDP 156 mg/dL dan GDS 158 mg/dL dengan HbA1C 7,8 sehingga pasien didiagnosis dengan DM tipe 2. Sindrom metabolik meningkatkan risiko untuk terjadinya DM tipe 2 dan PKV akibat resistensi insulin. Pasien ketiga didiagnosis dengan anemia defisiensi Fe et causa gastritis erosif. Sedangkan pada pasien kedua dan keempat didapatkan ISK, dengan adanya bakteri pada saluran kemih dan peningkatan leukositosis. Semua pasien dalam serial kasus ini mengalami dislipidemia yang disebabkan oleh obesitas sehingga terjadi resistensi insulin akibat pelepasan mediator inflamasi.5 Pada pasien pertama, kedua, dan ketiga didapatkan peningkatan kadar TG, di mana pada pasien ketiga telah terjadi penurunan kadar TG akibat penurunan asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik 4 bulan sebelumnya. Semua pasien juga memiliki kadar kolesterol total dan LDL yang tinggi, dan kolesterol HDL didapatkan rendah pada pasien kedua dan keempat. Pada pasien pertama kadar kolesterol HDL dalam batas normal disebabkan pasien masih cukup aktif melakukan aktivitas rumah tangga sehari-hari. Sedangkan pada pasien ketiga kadar kolesterol HDL telah meningkat dengan peningkatan aktivitas
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
58
fisik sehingga terjadi penurunan BB sebesar 5 kg dalam 4 bulan. Penurunan BB berperan meningkatkan reseptor adiponektin di jaringan adiposa sehingga dapat memperbaiki kondisi sindrom metabolik.2 Tatalaksana nutrisi pada keempat pasien ini adalah sesuai dengan PKV dan faktor risiko sindrom metaboliknya. Penentuan kebutuhan energi pada pasienpasien
ini
adalah
menggunakan
HB
dengan
FS
1,3
sesuai
dengan
hipermetabolisme sedang. Faktor stres tersebut sudah dikurangi karena adanya penggunaan β-bloker bisoprolol pada pasien kedua dan sedasi diazepam pada pasien keempat, sehingga KET dikurangi 10%. Sedangkan penentuan kebutuhan makronutrien untuk PKV adalah sesuai dengan NCEP-ATP III, di mana untuk kebutuhan protein adalah 15%, lemak 25–35 % dan KH 50–60%. Untuk lemak komposisinya adalah SFA < 7%, MUFA ≤ 20%, PUFA ≤ 10%, dengan kolesterol < 200 mg/hari.25 Kebutuhan serat adalah 20–30 g/hari atau 14 g/1000 kal/hari, dengan 25% adalah serat larut. Kebutuhan cairan adalah 1–1,5 L/hari bila didapatkan adanya gagal jantung, dan bila tidak diperlukan restriksi cairan dapat diberikan sesuai usia yaitu untuk pasien-pasien ini berkisar antara 30–35 mL/kgBB/hari. Pemberian nutrisi dimulai dari 80% basal saat kondisi hemodinamik pasien sudah stabil, seperti yang diberikan kepada pasien serial kasus ini.7 Pada saat awal diberikan nutrisi dalam bentuk cair untuk mengurangi beban kerja jantung dan untuk memudahkan pasien dalam mengonsumsi makanan karena kondisi pasien masih lemah. Selanjutnya pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap 10–20% setiap 1–2 hari hingga mencapai kebutuhan total dalam 5–10 hari. Bentuk makanan yang diberikan diubah secara bertahap yaitu menjadi makanan lunak, kemudian makanan padat. Pemberian nutrisi secara bertahap juga mempertimbangkan aspek tidak merangsang dan memberatkan kerja jantung serta tidak menimbulkan konstipasi dan kembung.7 Pada saat awal terapi nutrisi makanan cair yang diberikan untuk pasien adalah antara 900–1000 kal/hari, atau rata-rata antara 15–20 kal/kgBB ideal/hari. Komposisi yang diberikan adalah protein 15–17%, lemak 25%, dan KH 58–60%. Tiga dari empat pasien serial kasus ini mengalami hiperurisemia sehingga pada pasien-pasien tersebut diberikan rendah purin, yaitu dengan sumber protein dari
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
59
susu skim dan putih telur untuk makanan dalam bentuk cair. Untuk lemak dipilih rendah kolesterol sehingga tidak digunakan kuning telur dan untuk susu digunakan susu skim. Sebagai sumber MUFA dan PUFA ditambahkan dari minyak kanola kedalam makanan cair RS. Sedangkan untuk sumber KH adalah dari tepung terigu dan maizena dengan penambahan pemanis buatan rendah kalori. Penambahan pemanis buatan rendah kalori disebabkan sebagian pasien memiliki kadar TG darah yang tinggi, dan kadar GDS yang tinggi karena sindrom metabolik dan DM tipe 2. Pemilihan sumber KH terutama adalah KH komplek dan membatasi KH refined. Sumber serat tetap diberikan dalam makanan cair yaitu berasal dari sayuran berupa wortel dan buah seperti pepaya yang juga berperan sebagai sumber KH komplek. Pemberian makanan cair ini dalam porsi terbagi yaitu 6 x 150 kal untuk 900 kal dan ditambahkan ekstra jus buah 100 kal untuk makanan cair 1000 kal dan disajikan sesuai dengan suhu ruangan. Selanjutnya dengan perbaikan kondisi klinis pasien jumlah dan bentuk makanan yang diberikan menjadi meningkat. Komposisi makronutrien yang diberikan tetap sesuai dengan makanan cair yaitu protein 15–17%, lemak 25%, dan KH 58–60%. Pemilihan bahan makanan sumber protein adalah dari putih telur, ikan, ayam untuk sumber protein hewani dan untuk nabati tahu serta tempe dalam jumlah terbatas pada pasien dengan hiperurisemia. Pertimbangan pemberian tahu dan tempe adalah karena efek dari protein kedelai terhadap profil lipid pasien,31 di mana pasien pada serial kasus ini semuanya mengalami dislipidemia. Sebagai sumber PUFA adalah ikan laut yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber EPA/DHA, selain itu minyak kanola juga diberikan sebagai sumber MUFA dan ALA. Minyak kanola yang ditambahkan dalam makanan padat pasien adalah 4–5 sdt/hari untuk diet 1500–1700 kal. Suatu metaanalisis oleh Pan A, tahun 2012 pada penelitian observasional mengenai peran ALA terhadap risiko PKV didapatkan terdapat asosiasi antara asupan ALA dengan penurunan risiko moderat PKV. Didapatkan setiap peningkatan asupan ALA 1g/hari dihubungkan dengan penurunan risiko kematian akibat PKV sebesar 10%.67 Rekomendasi pemberian PUFA menurut AHA masih terbatas pada sumber omega-3 dari ikan sebagai sumber EPA dan DHA, dan belum ada rekomendasi untuk ALA. Rekomendasi pemberian EPA dan DHA
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
60
adalah 1 g/hari dari bahan makanan sumber atau suplementasi.40 Pada serial kasus ini, pasien pertama, kedua, dan ketiga mendapatkan sumber omega-3 dari bahan makanan sumber di mana jumlahnya masih terbatas saat pasien masih dirawat di RS. Pemberian suplementasi omega-3 pada ketiga pasien ini tidak memdapatkan persetujuan DPJP karena pertimbangan adanya risiko perdarahan pada saluran kemih pada pasien pertama dan anemia et causa gastritis erosif pada pasien ketiga. Pasien keempat diberikan suplementasi EPA dan DHA 1g/hari dalam bentuk minyak ikan. Kebutuhan serat selama pasien dirawat di RS diperoleh dari bahan makanan sumber yaitu terutama dari sayur dan buah-buahan. Setiap hari pasien mendapatkan minimal 5 porsi sayur dan buah untuk dapat mencukupi kebutuhan serat 20 g/hari. Pada pemilihan bahan makanan sumber untuk semua pasien dipertimbangkan juga IG bahan makanan, disebabkan pada sindrom metabolik dapat terjadi gangguan toleransi glukosa hingga dapat menjadi DM tipe 2 akibat resistensi insulin.33 Mikronutrien yang dipertimbangkan pada SKA adalah asupan Na bila didapatkan gagal jantung kongestif dan hipertensi. Pada keadaan kongestif jumlah Na yang diberikan antara 2–3 g/hari pada keadaan akut, dan dapat dilakukan restriksi ketat hingga 0,5–1 g/hari.30 Berdasarkan NCEP-ATP III, Na yang direkomendasikan adalah < 2400 mg/hari.25 Pada penelitian mengenai efek dari pembatasan Na disertai dengan diet Dietary Approach To Stop Hypertension (DASH) terhadap TD, dengan menggunakan jumlah Na yang berbeda yaitu 3,5 g Na/hari ( 8,7 g garam dapur, 150 mmol), 2,3 g Na/hari (5,8 g garam dapur, 100 mmol), dan 1,5 g Na/hari (3,7 g garam dapur, 50 mmol) didapatkan hasil penurunan TD yang bermakna. Penurunan TD bermakna didapatkan pada kelompok dengan pemberian 2,3 g Na/hari, dengan efek yang lebih besar jika pembatasan Na disertai dengan diet DASH. Pada kelompok dengan pemberian Na 1,5 g/hari didapatkan penurunan TD yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang diberikan Na 2,3 g/hari, dan efeknya juga meningkat bila diberikan bersama dengan diet DASH. Efek reduksi Na harus dilakukan jangka panjang dan diperlukan kepatuhan dari pasien, sehingga lebih dipertimbangkan pemberian Na 2,3 g/hari.68
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
61
Pada metaanalisis oleh Strazzullo P, tahun 2009 terhadap penelitian prospektif didapatkan asupan garam
yang
tinggi dihubungkan dengan
meningkatnya risiko untuk terjadinya PKV dan stroke.69 Metanalisis lain oleh Aburto NJ, tahun 2013 juga pada penelitian prospektif adalah penurunan asupan Na dihubungkan dengan penurunan TD sistolik maupun diastolik. Sedangkan asupan Na yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pada subyek dengan PKV.70 Asupan garam rata-rata orang dewasa di dunia adalah > 6 g/hari, dan pada beberapa negara di Eropa Timur dan Asia asupan garam dapat mencapai 12 g/hari. Rekomendasi internasional untuk asupan garam adalah 5–6 g/hari. Penurunan asupan garam hingga 6 g/hari dihubungkan dengan penurunan TD sistolik 7 mmHg dan TD diastolik 4 mmHg pada penderita hipertensi, sedangkan pada orang dengan TD normal, didapatkan penurunan TD sistolik 4 mmHg dan TD diastolik 2 mmHg. Dengan penurunan TD tersebut didapatkan penurunan risiko PKV sebesar 18%.698 Pada pasien serial kasus ini asupan garam sehari-hari sulit diketahui karena pasien kebanyakan tidak memasak makanan sendiri. Data mengenai asupan garam hanya dapat diperoleh dari pasien pertama yang memasak makanan sendiri di rumah. Berdasarkan analisis asupan tersebut didapatkan kebiasaan konsumsi garam pasien adalah ± 9 g/hari yang berasal dari garam dapur dan MSG. Pasien sendiri jarang mengonsumsi makanan dengan kadar garam tinggi seperti makanan instant dan yang diawetkan. Pasien pertama ini mempunyai RPD hipertensi sejak 5 tahun SMRS, tetapi pasien tidak mengonsumsi obat teratur dan tidak pernah membatasi asupan garam sehari-hari. Saat MRS TD pasien mencapai 210/140 mmHg sehingga dilakukan pembatasan Na menjadi 1,5 g/hari. Kebutuhan mikronutrien lain yang diperhatikan adalah asupan K, Mg, Ca yang sesuai dengan RDA dalam bahan makanan sumber sehari-hari. Kebutuhan K yang direkomendasikan oleh NCEP-ATP III adalah 90 mmol/hari.25 Pada metaanalisis oleh Aburto NJ tahun 2013 untuk melihat efek dari peningkatan asupan K terhadap risiko PKV, didapatkan data bahwa peningkatan asupan K berperan menurunkan TD sistolik dan diastolik. Pada asupan K 90–120 mmol/hari didapatkan penurunan TD sistolik 7,16 mmHg.71 Pada pasien-pasien ini asupan
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
62
K, Mg, dan Ca diperoleh dari bahan makanan sumber terutama buah-buahan dan sayuran untuk sumber K, sayuran hijau sebagai sumber Ca dan Mg. Untuk meningkatkan asupan Ca sesuai dengan RDA ditambahkan dengan pemberian susu rendah lemak serta tinggi kalsium 1–2 saji/hari yang disediakan oleh keluarga pasien. Sedangkan untuk kelompok vitamin B selain dari bahan makanan sumber juga diberikan suplementasi vitamin B komplek, yang mengandung vitamin B1, B6, dan B12. Asam folat, B6, dan B12 pada pasien PKV berperan dalam menurunkan kadar homosistein.32 Sedangkan vitamin B1 juga berperan pada metabolisme energi di mitokondria. Mikronutrien spesifik yang dipertimbangkan pada pasien PKV dengan SKA adalah L-karnitin, koenzim Q10, dan omega-3. Pada serial kasus ini Lkarnitin tidak diberikan karena tidak mendapatkan persetujuan dari DPJP. Penelitian pemberian L-karnitin untuk pasien dengan SKA adalah secara IV pada fase akut, di mana sediaan ini juga tidak tersedia. Selanjutnya L-karnitin dapat diberikan secara oral. Pemberian L-karnitin minimal untuk pasien jantung adalah 2g/hari yang dapat diberikan dalam dosis terbagi.34 Koenzim Q10 diberikan pada pasien pertama, kedua dan keempat dengan dosis yang diberikan adalah 100 mg/hari dalam bentuk ubiquinol. Sedangkan suplementasi EPA dan DHA diberikan pada pasien keempat sebesar 1 g/hari. Ketiga pasien lainnya tidak diberikan suplementasi omega-3 karena adanya risiko perdarahan yang menjadi pertimbangan DPJP. Berdasarkan literatur kemungkinan terjadinya perdarahan pada pemberian omega-3 PUFA < 3 g/hari sebenarnya adalah rendah.40 Pada semua pasien didapatkan perbaikan kapasitas fungsional sejak pasien dirawat di ICCU. Keadaan kapasitas fungsional awal semua pasien adalah bedridden dan kekuatan genggaman tangan pasien lebih lemah dibandingkan dengan pemeriksa. Pada hari perawatan selanjutnya terdapat perbaikan kapasitas fungsional dengan pasien dapat duduk di tempat tidur, kemudian dapat beraktivitas di sekitar tempat tidur dan pada saat pasien pulang sudah dapat berjalan sendiri atau dengan bantuan keluarga. Kekuatan genggaman tangan semua pasien juga mengalami perbaikan hingga sama dengan kekuatan genggaman tangan pemeriksa saat pulang dari RS.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
63
Pada pemantauan setiap hari pada semua pasien dilakukan penilaian kondisi klinis pasien, toleransi asupan, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional. Pemeriksaan antropometri ulangan dilakukan 1 minggu kemudian atau saat pasien dipulangkan dari RS. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien yaitu pemeriksaan kembali elektrolit K, Ca, dan aPTT pada pasien pertama. Pada pasien kedua dilakukan pemeriksaan kurva gula darah harian. Pada pasien ketiga dilakukan pemeriksaan darah rutin yaitu Hb setelah transfusi. Pada semua pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan CK-MB kembali untuk menilai keadaan IMA. Pada pemeriksaan antropometri pasien sebelum pulang didapatkan status BB pasien sama seperti SMRS. Sejak pasien dirawat di RS hingga saat pasien dipulangkan perlu dilakukan edukasi untuk mengubah gaya hidup menjadi sehat agar dapat mengendalikan faktor risiko sindrom metabolik untuk mencegah kekambuhan SKA. Semua pasien pada serial kasus ini termasuk dalam risiko tinggi PKV sehingga target terapi yang diharapkan juga lebih ketat sesuai dengan NCEP-ATP III. Target TD yang diharapkan < 130/80 mmHg dengan terapi medikamentosa. Profil lipid yang diharapkan adalah kadar kolesterol LDL < 100 mg/dL, TG < 150 mg/dL, dan kolesterol HDL untuk laki-laki > 40 mg/dL dan perempuan > 50 mg/dL. Sedangkan target untuk kadar HbA1C adalah < 7%. Target ini diharapkan dapat dicapai dalam 3–6 bulan setelah intervensi dilakukan.25 Pada semua pasien serial kasus ini dilakukan edukasi nutrisi sejak pasien dirawat di RS dan kondisi pasien stabil dan saat dipulangkan dari RS. Edukasi meliputi tatalaksana nutrisi, peningkatan aktivitas fisik, mengonsumsi obat-obatan secara teratur, dan mematuhi jadwal untuk kontrol kembali. Faktor risiko utama pada pasien serial kasus ini adalah masalah obesitas, sehingga diperlukan intervensi untuk penurunan BB. Intervensi yang diberikan berupa reduksi kalori 500–1000 kal dari kebiasaan makan pasien sebelumnya, agar didapatkan penurunan BB 0,5–1/minggu72 dan meningkatkan aktivitas fisik dengan melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari dan olahraga yaitu berjalan kaki, bersepeda, berenang, atau berkebun selama 30’ dilakukan 5–7 x/minggu.56 Rencana terapi nutrisi yang diberikan kepada pasien di rumah adalah pada pasien perempuan diatur asupan kalori antara 1200–1300 kal/hari, sedangkan pada
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
64
pasien laki-laki asupan kalori yang dipertimbangkan adalah 1500 kal/hari. Komposisi makronutrien adalah 15–20% protein, lemak 25%, dan KH 55–60%. Pemberian KH > 60% tidak dianjurkan pada sindrom metabolik karena pengaruhnya pada kadar TG dan dislipidemia aterogenik. Pemilihan sumber KH adalah terutama KH kompleks dari sayur dan buah-buahan, menghindari KH simpleks seperti gula pasir, tepung-tepungan, kue, selai, sirup, dan es krim. Pemilihan bahan makanan sumber KH juga memperhatikan IG bahan makanan, diutamakan dengan IG rendah. Sumber protein dipilih rendah purin untuk sebagian besar pasien karena adanya hiperurisemia, dengan membatasi asupan jeroan, kacang-kacangan, ikan sardin, jamur, buncis, bayam, kembang kol, dan brokoli. Konsumsi tahu dan tempe masih diperbolehkan 1–3 potong sedang sehari. Sedangkan sebagai sumber lemak terutama ikan laut sebagai sumber EPA dan DHA. Pasien dianjurkan untuk mengonsumsi ikan laut untuk memenuhi kecukupan EPA dan DHA 1g/hari. Sebagai sumber MUFA kepada pasien dianjurkan penggunaan minyak kanola atau minyak zaitun. Penggunaannya adalah dengan cara ditambahkan pada makanan yang telah selesai dimasak. Pasien dapat juga mengonsumsi ayam tanpa kulit dan putih telur sebagai sumber protein dan lemak. Kepada pasien sudah tidak dianjurkan untuk memasak makanan dengan cara digoreng ataupun mengonsumsi camilan yang digoreng. Sebagai pengganti camilan pasien dapat mengonsumsi buah atau sayur atau agar tanpa penambahan gula pasir. Pemanis buatan rendah kalori dapat digunakan oleh pasien sebagai pengganti gula pasir. Konsumsi buah dan sayur minimal adalah 4– 5 porsi sehari. Kebutuhan cairan pasien adalah 30–35 mL/kgBB/hari. Kebutuhan mikronutrien seperti Na juga dibatasi hingga 2,3 g/hari, dengan cara memilih bahan makanan sumber yang rendah Na seperti sayur dan buah-buahan. Makanan dengan kadar Na tinggi seperti makanan yang diawetkan, diasinkan, makanan kaleng, mie instant, saos, kecap, dan sambal sebaiknya tidak dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan Ca, pasien dapat mengonsumsi susu rendah lemak 1–2 saji/hari. Kebutuhan mikronutrien lain K, Mg, folat, B1, B6, B12 didapatkan dari bahan makanan sumber. Suplementasi yang diberikan adalah koenzim Q10 100 mg/hari dan kapsul omega-3 (untuk pasien yang tidak dapat mengonsumsi ikan)
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
65
yang mengandung EPA dan DHA 1g/hari. Saat pasien kontrol kembali ke RS, biasanya satu minggu kemudian pasien diminta kembali di poliklinik gizi untuk pemantauan kembali. Prognosis pada pasien pertama dan ketiga adalah dubia et bonam karena dari proses penyakitnya sendiri lebih baik yaitu NSTEMI dan pasien bersedia untuk mengubah kebiasaan sehari-hari dengan modifikasi gaya hidup menjadi lebih aktif. Sedangkan pada pasien kedua adalah dubia et malam dikarenakan infark yang luas pada pasien ini dan riwayat infark lama. Sedangkan pada pasien keempat adalah dubia karena keadaan penyakitnya yaitu STEMI dan pasien masih kesulitan untuk mengubah kebiasaan makan sehari-hari.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Tatalaksana nutrisi pada SKA terdiri dari dua tahap yaitu pertama saat fase akut setelah hemodinamik stabil. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap, diperlukan modifikasi bentuk dan jenis makanan agar tidak memberatkan kerja jantung. Selanjutnya tahap kedua adalah pengendalian faktor risiko, untuk mencegah kekambuhan kembali di mana pada tahap ini dilakukan modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan BB melalui pengaturan nutrisi dan peningkatan aktivitas fisik. Kondisi pasien dalam serial kasus ini selain mengalami SKA, juga memiliki faktor risiko sindrom metabolik. Semua pasien mengalami obesitas abdominal
yang
menyebabkan
terjadinya
resistensi
insulin,
selanjutnya
menyebabkan timbulnya hipertensi, dislipidemia, DM tipe 2, dan gangguan fungsi hati. Kebutuhan nutrisi di RS dengan mempertimbangkan stres akut saat pasien mengalami SKA dan keadaan penyertanya, di mana pada serial kasus ini diberikan mulai 80% basal dan mencapai kebutuhan total saat pasien dipulangkan dari RS. Pemantauan kondisi klinis didapatkan perbaikan kapasitas fungsional pasien. Pada beberapa kasus juga diberikan nutrien spesifik yang membantu pemulihan dan memelihara kerja jantung seperti koenzim Q10 dan omega-3 PUFA di mana efeknya terhadap jantung adalah jangka panjang. Selanjutnya penanganan pasien adalah pengendalian obesitas abdominal yaitu melalui penurunan BB, yang dilakukan dengan intervensi nutrisi dan peningkatan aktivitas fisik setelah pasien dipulangkan dari RS. Rekomendasi tatalaksana nutrisi adalah sesuai dengan NCEP-ATP III dan aktivitas fisik sesuai dengan ACSM.
5.2 Saran Saran- saran yang dapat dipertimbangkan pada serial kasus ini : 1. Pasien SKA memerlukan tatalaksana nutrisi pada fase akut dan pada fase pemulihan untuk pengendalian faktor risiko seperti sindrom metabolik.
66 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
67
2. Skrining nutrisi pada pasien dengan kondisi ini, cukup sesuai dengan menggunakan formulir skrining modifikasi yang dikembangkan oleh bagian gizi RSSW. 3. Penentuan status gizi pada pasien-pasien ini adalah dengan antropometri : BB, TB, dan LP. Pengukuran LP digunakan untuk penentuan diagnosis sindrom metabolik sesuai IDF atau NCEP-ATP III. 4. Gold standard penentuan kebutuhan energi adalah kalorimetri indirek. Pada serial kasus ini digunakan HB dengan mempertimbangkan FS 1,3– 1,4, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan energi seperti penggunaan β-bloker dan sedasi untuk mengatasi nyeri dada. 5. Kebutuhan makronutrien sesuai NCEP-ATP III, yaitu protein 15%, lemak 25–35% , KH 50–60%, kolesterol < 200 mg, SFA < 7%, MUFA ≤ 20%, PUFA ≤ 10% dari KET. Kebutuhan serat adalah 20–30 g/hari. 6. Pemberian Na sesuai dengan 2300 mg/hari, dan pada kondisi khusus dapat diberikan < 1500 mg/hari. Kebutuhan K, Mg, dan Ca adalah sesuai dengan RDA yang didapatkan dari bahan makanan sumber. Kebutuhan cairan adalah tergantung pada fungsi jantung, pada keadaan edema dan gagal jantung dipertimbangkan 1–1,5 L/hari. 7. Rekomendasi pemberian mikronutrien yaitu vitamin B seperti folat adalah sesuai RDA dari bahan makanan sumber. 8. Nutrien spesifik seperti koenzim Q10 diberikan 100–300 mg/hari pada pasien-pasien jantung, dosis L-karnitin adalah 2–6 g/hari dalam dosis terbagi. Sedangkan omega-3 sesuai rekomendasi AHA adalah dengan EPA+DHA sebesar 1 g/hari dari suplementasi minyak ikan atau dari bahan makanan sumber. Rekomendasi pemberian plant stanol adalah 2 g/hari. 9. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan meliputi kondisi klinis, imbang cairan, toleransi asupan, dan antropometri.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
68
DAFTAR REFERENSI
1.
http://www.who.int/gho/ncd/mortality_morbidity/en/index.html tanggal 27 Oktober 2013
2.
Dunvjak L, Dunvjak M. The metabolic syndrome-an ongoing story. Journal of Physiology and Pharmacology.2009;60:19-24.
3.
Misra A, Khurana L. Obesity and metabolic syndrome in developing countries. J Clin Endocrinol Metab.2008;93: S9–S30.
4.
Abete I,Astrup A,Martínez JA,Thorsdottir I,Zulet MA. Obesity and the metabolic syndrome: role of different dietary macronutrient distribution patterns and specific nutritional components on weight loss and maintenance. Nutrition Reviews.2010;68:214–31.
5.
Tota-Maharaj R, Defilippis AP, Blumenthal RS, Blaha MJ. A practical approach to the metabolic syndrome: review of current concepts and management. Curr Opin Cardiol.2010;25:502–12.
6.
Naik H, Sabatine MS, Lily LS. Acute coronary syndromes. Dalam: Pathophysiology of heart disease. Lily LS,ed.Edisi 4. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.2007.
7.
Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Tatalaksana Gizi Klinik.Jakarta.2008.
8.
Lipsky MS, Mendelson M, Havas S, Miller M. Guide to preventing and treating heart disease. American Medical Association.New Jersey.2008.
9.
Iyer V, Edelman ER, Lily LS. Basic cardiac structure and function. Dalam: Pathophysiology of heart disease. Lily LS,ed.Edisi 4.Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia.2007.
10.
Sheerwood L. Cardiac physiology. Dalam : Human Physiology.Edisi 7.Brooks/Cole.Canada.2010.
11.
Abozguia K, Nallur Shivu G, Ahmed I, Phan TT, Frenneaux MP. The heart metabolism : pathophysiological aspects in ischaemia and heart failure. Current Pharmaceutical Design.2009;15:827–35.
12.
Hulin I, Simko F. Pathophysiology of the cardiovascular system.Dalam: Pathophysiology of heart disease. Lily LS,ed.Edisi 4.Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia.2007.
Klinik
68 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Indonesia.
diunduh
Pedoman
Universitas Indonesia
69
13.
Grynberg A, Demaison L. Fatty acid oxidation in the heart. J Cardiovasc Pharmacol.1996;28:S11–7.
14.
Marin-Garcia J, Goldenthal MJ. Fatty acid metabolism in cardiac failure : biochemical, genetic, and cellular analysis. Cardiovascular Research.2002;54:516–27.
15.
Depre C, Vanoverschelde JLJ, Taegtmeyer H. Glucose for the heart.Circulation.1999;99:578–88.
16.
Kantor PFDyck JRB, Lopaschuk GD. Fatty acid oxidation in the reperfused ischemic heart. Am J Med Sci.1999;318:3–14.
17.
Libby P. Mechanisms of acute coronary syndromes and their implications for therapy. N Engl J Med.2013;368:2004–13.
18.
Pasini E, D’Antona G, Scarabelli TM, Dioguardi FS. Effect of amino acid mixture on the isolated ischemic heart. Am J Cardiol.2004;93:30A–4A.
19.
Cleveland Clinic Center for Continuing Education. Complications of acute myocardial infarction.
20.
Coelho M, Oliveira T, Fernandes R. Biochemistry of adipose tissue: an endocrine organ. Arch Med Sci.2013;9:191–200.
21.
Stienstra R, Van Dippen JA, Tack CJ, Zaki H, Van de Veerdonk FL, Perera D, dkk. Inflammasome is a central player in the induction of obesity and insuline resistance. PNAS.2011;108:15324–9.
22.
Hajer GR, Van Haeften TW, Visseren FLJ. Adipose tissue dysfunction in obesity, diabetes, and vascular diseases. European Heart Journal.2008;29:2959–71.
23.
Jialal I, Kaur H, Devaraj S. Toll-like receptor status in obesity and metabolic syndrome: a translational pespective. J Clin Endocrin Metab.2013;1:1–13.
24.
Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Bohm M, dkk. 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension. J of Hypertension.2013;31:1281–357.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
70
25.
American Heart Association. Third report of the national cholesterol education program (NCEP) expert panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel III) final report. Circulation.2002;106:3143–280.
26.
Malloy MJ, Kane JP. Agents used in dyslipidemia. Dalam :Basic and Clinical Pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editor. Edisi 11. McGrawHill-Lange.USA. 2009.
27.
Nolte MS. Pancreatic hormones & antidiabetic drugs. Dalam : Basic and Clinical Pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editor. Edisi 11. McGrawHill-Lange.USA. 2009.
28.
Furst DE, Ulrich RW, Varkey-Altamirano C. Nonsteroidal antiinflamatory drugs, disease-modifying antirheumatic drugs, nonopioid analgesics & drugs used in gout. Dalam : Basic and Clinical Pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editor. Edisi 11. McGrawHill-Lange.USA. 2009.
29.
Lomivorotov VV, Efremov SM, Boboshko VA, Nikolaev DA, Vedernikov PE, Deryagin MN, dkk. Prognostic value of nutritional screening tools for patients scheduled for cardiac surgery. Interactive CardioVascular and Thoracic Surgery. 2013;16: 612–18.
30.
Heimburger DC. Nutritional assessment. Dalam : Handbook of Clinical Nutrition. Heimburger DC, D Ard J,editor. Edisi 4. Mosby Eselvier. Philadelphia.2006.
31.
Barak N, Wall-Alonso E, Sitrin MD. Evaluation of stress factors and body weight adjustments currently used to estimate energy expenditure in hospitalized patients. J Parent Ent Nutr.2002;26:231.
32.
Ard JD, Franklin FA. Cardiovascular disease. Dalam : Handbook of Clinical Nutrition. Heimburger DC, D Ard J,editor. Edisi 4. Mosby Eselvier. Philadelphia.2006.
33.
Gogebakan O, Kohl A, Osterhoff MA, Van Baak MA, Jebb SA, Papadaki A, dkk. Effects of weight loss and long-term weight maintenance with diets varying in protein and glycemic index on cardiovascular risk factors. The diet, obesity, and genes (Diogenes) study : A randomized, controlled trial.Circulation.2011;124:2829–38.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
71
34.
Sharma S, Black SM. Carnitine homeostasis, mitochondrial function, and cardiovascular disease. Drug Discov Today Dis Mech.2009;6:e31–9.
35.
Ueland T, Svardal A, Oie E, Askevold ET, Nymoen SH, Bjorndal B, dkk. Disturbed carnitine regulation in chronic heart failure-increased plasma levels of palmitoyl-carnitine are associated with poor prognosis. Int J of Cardiology.2012;3;1–8.
36.
Sharma S, Sun X, Agarwal S, Rafikov R, Dasarathy S, Kumar S, dkk. Role of carnitine acetyl transferase in regulation of nitric oxide signaling in pulmonary arterial endothelial cells. Int. J. Mol. Sci.2013;14:255–72.
37.
Iliceto S, Scrutino D, Bruzzi P, D’Ambrosio G, Boni L, Di Biase M, dkk. Effects of L-carnitine administration on left ventricular remodeling after acute anterior myocardial infarction: the L-carnitine ecocardiografia digitalizzata infarto miocardico (CEDIM) trial.JACC.1995;26:380–7.
38.
Wutzke KD, Lorenz H. The effect of L-carnitine on fat oxidation, protein turnover, and body composition in slightly overweight subjects. Metabolism.2004;53:1002–6.
39.
Malaguarnera M, Vacante M, Avitabile T, Malaguarnera M, Cammalleri L, Motta M. L-Carnitine supplementation reduces oxidized LDL cholesterol in patients with diabetes. Am J Clin Nutr.2009;89:71–6.
40.
Kris-Etherton PM, Harris WS, Appel LJ. Fish consuption, fish oil, omega3 fatty acids, and cardiovascular disease. AHA scientific statement.Circulation.2002;106:2747–57.
41.
Mozaffarian D, Wu JHY. Omega-3 fatty acids and cardiovascular disease, effects on risk factors, molecular pathways, and clinical events. J Am Coll Cardiol.2011;58:2047–67.
42.
Hanfiah A, Karyadi D, Lukito W, Muhilal, Supari F. Desirable intakes of polyunsaturated fatty acids in indonesian adults. Asia Pac J Clin Nutr.2007;16:632–40.
43.
Harris W. Omega-3 fatty acid and cardiovascular disease: a case for omega-3 index as a new risk factor. Pharmacol Research.2007;55:217–23.
44.
Harris W. The omega-3 index as a risk factor for coronary heart disease. Am J Clin Nutr.2008;87:1997S–2002S.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
72
45.
Schacky C. Use of red blood cell fatty-acid profiles as biomarkers in cardiac diseases. Biomarkers Medicine.2009;3:25–32.
46.
Kwak SM, Myung SK, Lee YJ, Seo HG. Efficacy of omega-3 fatty acid supplements (eicosapentaenoic acid and docosahexaenoic acid) in the secondary prevention of cardiovascular disease. A meta-analysis of randomized, double-blind, placebo-controlled trials.Arch Intern Med.2012;172:686–94.
47.
Rizos EC, Ntzani EE, Bika E, Kostapanos MS, Elisaf MS. Association between omega-3 fatty acid supplementation and risk of major cardiovascular disease events. A systematic review and metaanalysis.JAMA.2012;308:1024–33.
48.
Bonakdar RA, Guarneri Physician.2005;72:1065–70.
49.
Wyman M. Coenzyme Q10: A theraphy for hypertesion and statin induced myalgia?.Cleveland clinic journal of medicine.2010;77:435–42.
50.
Chandra S,Sahu S, Maurya M. A review on effect of coenzyme q10 on cardiac heart Failure. Pharma science monitor.2013;4:1–24.
51.
Rosenfeldt FL, Haas SJ, Krum H, Hadj A, Ng K, Leong JY,dkk. Coenzyme Q10 in the treatment of hypertension: a meta-analysis of the clinical trials.Journal of Human Hypertension.2007;21:297–306.
52.
Fotino AD, Thompson-Paul AM, Bazzano LA.Effect of coenzyme Q10 supplementation on heart failure: a meta-analysis.Am J of Clin Nutr.2013; 97:268–75.
53.
Robertson D, Biaggioni I. Adrenoceptor antagonist drugs. Dalam : Basic and Clinical Pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editor. Edisi 11. McGrawHill-Lange.USA.2009.
54.
Sharma AM, Pischon T, Hardt S, Kunz I, Luft FC. Β-Adrenergic receptor blockers and weight gain a systematic analysis. Hypertension.2001;37:250–4.
55.
American Heart Association. Guide to the assesment of physical activity: clinical and research applications. Circulation 2013;128:1–14.
E.
Coenzyme
Q10.
Am
Fam
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
73
56.
Myers J. Exercise and cardiovascular health. Circulation 2003;107:e2–e5.
57.
Wańha W,Cornwall J, Wojakowski W. Effect of anemia on clinical outcomes in patients with coronary artery disease treated with percutaneous coronary intervention. Postep Kardiol Inter.2012; 8: 293–6.
58.
Puslitbang Departemen Kesehatan RI.Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Hal 108.
59.
Siri-Tarino PW, Sun Q, Hu FB, Krauss RM. Saturated fat, carbohydrate, and cardiovascular disease.Am J Clin Nutr 2010;91:535–46.
60.
Siri-Tarino PW, Sun Q, Hu FB, Krauss RM Meta-analysis of prospective cohort studies evaluating the association of saturated fat with cardiovascular disease. Am J Clin Nutr 2010;91:502–9.
61.
http://swa.co.id/2010/01/konsumsi-serat-masyarakat-indonesia-masihrendah/
62.
Harrison SA, Kadakia S, Lang KA, Schenker S. Nonalcoholic steatohepatitis: what we know in the new millenniumNonalcoholic Steatohepatitis. The American Journal of Gastroenterology.2002;97:2714– 24.
63.
Ogbera AO, Azenabor AO. Hyperuricaemia and the metabolic syndrome in type 2 DM.Diabetology & Metabolic Syndrome.2010;2:1–8.
64.
Nakagawa T, Cirillo P, Sato W, Gersch M, Sautin Y, Roncal C,dkk. The conundrum of hyperuricemia, metabolic syndrome, and renal disease.Intern Emerg Med.2008;3:313–8.
65.
Widmann FK. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi 9.EGC.Jakarta.1994.
66.
Pan A, Chen M, Chowdhury R, Wu JHY, Sun Q, Campos H, dkk. αLinoleic acid and risk of cardiovascular disease: a systematic review and meta-analysis.Am J Clin Nutr.2012;96:1262–73.
67.
Appel LJ, Moore TJ, Obarzanek E, Vollmer WM, Svetkey L, Sacks FM, dkk. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. N Engl J Med.1997;336:1117–24.
68.
Strazzullo P, D’Elia L, Kandala NB, Cappuccio FP. Salt intake, stroke, and cardiovascular disease: meta-analysis of prospective studies. BMJ.2009;339:1–9.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
74
69.
Aburto NJ, Ziolkovska A, Hooper L, Elliot P, Cappuccio FP, Meerpohl JJ. Effect of lower sodium intake on health: systematic review and metaanlyses. BMJ.2013;346:1–20.
70.
Aburto NJ, Hanson S, Gutierrez H, Hooper L, Elliot P, Cappuccio FP. Effect of increased potassium intake on cardiovascular risk factors and disease: systematic review and meta-analyses. BMJ.2013;346:1–19.
71.
Heimburger DC. Nutritional support:general approach and complications. Dalam: Handbook of Clinical Nutrition. Heimburger DC, D Ard J, editor. Edisi 4. Mosby Elsevier.Philadelphia.2006.
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
75
Lampiran 1
Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
H 2 (ICCU) S Sesak berkurang, nyeri pada rusuk kiri bawah saat batuk. Mual & muntah tidak ada. BAB (-) 1 hari, BAK kateter. O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 133/86 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 t 36 6 102 mmHg, SatO2 100%
H 3 (ICCU) Sesak tidak ada, batuk berdahak, nyeri masih ada. Tidak ada mual & muntah. Makanan lunak RS habis ¾ porsi. BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 140/87 mmHg, N 80 x/mnt, P 22 t 36 C, MAP 105 mmHg, SatO2 100%
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak Leher : JVP 5+0 cmH2O ikterik Hidung : kanul O2 3 liter/mnt Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop Hidung : Kanul O2 3 liter/mnt tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing tidak ada Abdomen : BU (+) normal Paru: vesikuler, ronki +/+ ↓ & wheezing -/- Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning Abdomen : BU (+) normal jernih, volume 450 mL. Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna merah Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, jambu, volume 300 mL. kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan pemeriksa genggaman tangan lebih lemah dari Laboratorium : pemeriksa a TT 31 3” urinalisa : darah 3+, esterase leukosit 1+, sedimen eritrosit banyak, epitel Laboratorium : 1+ GDS = 124 mg/dL, aPTT 60,6" EKG : NSTEMI Foto thorax PA :
77 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Lampiran 2: Lembar Monitoring Kasus 1 H 4 (ICCU) Batuk (+), nyeri tidak ada. Timbul keluhan pegal pada tubuh. Makanan lunak RS habis dikonsumsi. BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 150/90 g 8 t 2 t 36 6 110 mmHg, SatO2 100% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 400 mL. Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa Laboratorium : Hb 12 g/dL, Ht 36,8 leukosit 6700/µL, trombosit 103.000/µL, LED 89 mm/jam I, a TT 37 4”
Kardiomegali tanpa bendungan paru Terapi DPJP : Terapi DPJP : RL 6 tetes/mnt RL 6 tetes/mnt D5% 45 mL + 10.000 IU Heparin, 1,25 D5% 45 mL + 16.000 IU Heparin, 2 mL/jam mL/jam (bila tidak hematuria) ISDN 3 x 5 mg ( TD > 110 mmHg) PO ISDN 3 x 5 mg ( TD > 110 mmHg) PO Simvastatin 1 x 20 mg tablet PO Simvastatin 1 x 10 mg tablet PO Aspilet 1 x 80 mg tablet PO Aspilet 1 x 80 mg tablet PO Captopril 2 x 12,5 mg tablet PO Captopril 2 x 12,5 mg tablet PO Omeprazole 2 x 20 mg kapsul PO Omeprazole 2 x 20 mg kapsul PO OBH 3 x 15 mL sirup PO OBH 3 x 15 mL sirup PO Vitamin B komplek 3 x 1 tablet PO Vitamin B komplek 3 x 1 tablet PO Imbang cairan : Imbang Cairan : Input infus = 448 mL, minum = Input infus = 322 mL, minum = 1150 mL, total = 1568 mL 1000 mL, total = 1322 mL Output urin 2600 mL, IWL = 825 Output urin 1800 mL, IWL = 825 mL, total = 3425 mL mL, total = 2625 mL IC (-) 1857 mL/24 jam IC (-) 1303 mL/24 jam Diuresis 1,96 mL/kgBB/24 jam Diuresis 1,36 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Volume E P L KH Makanan 825 35 23 125 (mL) (kal) (g) (g) (g) lunak MC 1000 900 40 30 150 (bubur)
Terapi DPJP : RL 6 tetes/mnt D5% 45 mL + 10.000 IU Heparin,2 mL/jam Bisoprolol 1 x 2,5 mg tablet PO Aspilet 1 x 80 mg tablet PO Amlodipine 1 x 5 mg tablet PO Captopril 2 x 6,25 mg tablet PO ISDN 3 x 5 mg tablet PO Omeprazole 2 x 20 mg kapsul PO OBH 3 x 15 mL sirup PO Loratadine 1 x 10 mg tablet PO Parasetamol 3 x 500 mg tablet PO Vitamin B Komplek 3 x 1 tablet PO Imbang cairan : Input infus = 653 mL, minum = 1250 mL, total = 1903 mL Output urin 2250 mL, IWL = 825 mL, total = 3075 mL IC (-) 1172 mL/24 jam Diuresis 1,7 mL/kgBB/24 jam
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Makanan 1100 46 30 160 lunak (bubur) A NSTEMI (hari ke 2), Hipertensi grade II, NSTEMI (hari ke 3), Hipertensi grade II NSTEMI (hari ke 4), Hipertensi grade II hipermetabolisme sedang, obes I, terkontrol, dislipidemia, hiperurisemia, terkontrol, dislipidemia, hiperurisemia, hipokalemia, hiperkalsemia hipermetabolisme sedang, obes I, hipermetabolisme sedang, obes I,
78 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
P
KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1100 kal, P 46 g, L 30 g, KH 160 g Bentuk : makanan lunak (bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : elektrolit K, Ca
hipokalemia, hiperkalsemia KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan tetap 1100 kal, P 46 g, L 30 g, KH 160 g Bentuk : makanan lunak ( bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2 g
hipokalemia, hiperkalsemia KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1300 kal, P 50 g, L 36 g, KH 195 g Bentuk : makanan lunak (bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2 g
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas cairan, fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Lab : elektrolit K, Ca Lab : elektrolit K, Ca
79 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
H 5 (ICCU) Pegal masih ada, batuk masih ada. Mual & muntah disangkal. Makanan lunak RS habis dikonsumsi. BAB (+) 1 hari, BAK kateter. O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis T 158 98 g 88 t 2 t 37 118 mmHg, SatO2 100% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 200 mL. S
H 6 ( Ruang Rawat Biasa) Sesak, batuk tidak ada, pegal berkurang Tidak ada mual & muntah. Tidak bisa tidur. Makanan lunak RS habis dikonsumsi. BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 150/100 mmHg, N 84 x/mnt, P 18 x/mnt, Sb 36,5 C Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
H 7 ( Ruang Rawat Biasa) Pegal berkurang. Makanan biasa RS habis dikonsumsi. BAB (+) 1x Pasien direncanakan pulang
Kapasitas fungsional : ambulatory
Kapasitas fungsional : ambulatory
Laboratorium : Hb 13,2 g/dL, Ht 40,2 leukosit 10.300/µL, trombosit 171.000/µL Kapasitas fungsional :kekuatan genggaman Echo : disfungsi sistolik dan diastolik tangan sama kuat dengan pemeriksa ventrikel kiri. Laboratorium : Terapi DPJP : Hb 13,5 g/dL, Ht 37,1 leukosit 6700, Bisoprolol 1 x 2,5 mg tablet PO trombosit 138.000/µL a TT 32 3” Aspilet 1 x 80 mg tablet PO EKG : NSTEMI Amlodipine 1 x 10 mg tablet PO Omeprazole 2 x 20 mg kapsul PO
80 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 140/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 16 t 36 6 Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
Antropometri : TB 146 cm BB aktual 55 kg IMT 25,8 kg/m2 LP = 88 cm Terapi DPJP : Bisoprolol 1 x 2,5 mg tablet PO Aspilet 1 x 80 mg tablet PO Amlodipine 1 x 10 mg tablet PO Furosemide 1 x 40 mg tablet PO Simvastatin 1 x 20 mg tablet PO Vitamin B Komplek 3 x 1 tablet PO
Terapi DPJP : Bisoprolol 1 x 2,5 mg tablet PO Aspilet 1 x 80 mg tablet PO Amlodipine 1 x 10 mg tablet PO Simvastatin 1 x 20 mg tablet PO Omeprazole 2 x 20 mg kapsul PO OBH 3 x 15 mL sirup Loratadine 1 x 10 mg tablet DMP 3 x 10 mg tablet Vitamin B Komplek 3 x 1 tablet Koenzim Q10 1 x 100 mg
Diazepam 1 x 2 mg tablet PO (malam hari) Furosemide 1 x 40 mg tablet PO Simvastatin 1 x 20 mg tablet PO Vitamin B Komplek 3 x 1 tablet PO Diazepam 2 mg tablet (malam hari) Koenzim Q10 1 x 100 mg
Imbang cairan : Input minum = 1250 mL Output urin 2000 mL, IWL = 825 mL, total = 2825 mL IC (-) 1575 mL/24 jam Diuresis 1,5 mL/kgBB/24 jam
Imbang Cairan : Input minum = 1450 mL Output urin 2150 mL, IWL = 825 mL, total = 2975 mL IC (-) 1525 mL/24 jam Diuresis 1,6 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E P (g) L (g) KH(g) (kal) Makana 1300 50 36 160 n lunak (bubur) A NSTEMI (hari ke 5), Hipertensi grade II dispepsia, dislipidemia, hiperurisemia, hipermetabolisme sedang, obes I, hipokalemia, hiperkalsemia
Analisis asupan : E (kal) Makanan 1300 lunak (nasi tim)
Koenzim Q10 1 x 100 mg Pasien direncanakan pulang Imbang cairan : Input minum = 1300 mL Output urin 1500 mL, IWL = 825 mL, total = 2325 mL IC (-) 1025 mL/24 jam Diuresis 1,13 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E(kal) P(g) L(g) KH(g) Makanan 1425 biasa
55
40
215
P (g) L (g) KH(g) 50 36 160
NSTEMI (hari ke 6), Hipertensi grade II dispepsia, dislipidemia, hiperurisemia, hipermetabolisme sedang, obes I, hipokalemia, hiperkalsemia
81 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
NSTEMI (hari ke 7), Hipertensi grade II dispepsia, dislipidemia, hiperurisemia, hipermetabolisme sedang, obes I, hipokalemia, hiperkalsemia
P
KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan 1300 kal, P 50 g, L 36 g, KH 195 g Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : elektrolit K, Ca
KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan 1425 kal, P 55 g, L 40 g, KH 215 g Bentuk : nasi biasa Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2 g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari cairan, Antropometri 1 minggu sekali Lab : elektrolit K, Ca
82 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
KEB = 1096,2 kal KET = 1425 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan 1425 kal, P 55g, L 40 g, KH 215 g Bentuk : nasi biasa Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, L-karnitin 2 x 1g, plant stanol 2 g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : elektrolit K, Ca
Lampiran 2: Lembar Monitoring Kasus 2 H 2 (ICCU) S Nyeri dada dan sesak berkurang, mual & muntah disangkal. Makanan cair habis dikonsumsi, pasien mulai merasa lapar. BAB (-) 1 hari O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis T 112 77 g 8 t 22 t 36 5 89 mmHg, SatO2 100% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur (+), gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki +/+ & wheezing -/Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 100 mL.
H 3 (ICCU) H 4 (Ruangan Rawat Biasa) Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. Makanan lunak RS habis muntah disangkal. Makanan lunak RS habis dikonsumsi. BAB (-) 2 hari dikonsumsi. BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 117/67 mmHg, N 87 x/mnt, P 23 x/mnt, Sb 36,6 C, MAP 84 mmHg, SatO2 92%
Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 115/75 mmHg, N 87 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb 36,8 88 mmHg, SatO2 99%
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur (+), gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki +/+ ↓ & wheezing -/Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 200 mL.
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 200 mL.
Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa pemeriksa Laboratorium : Laboratorium : a TT 34 7” a TT 37 ” G 156 g dL G (ja
Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa
83 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Laboratorium : Hb 11,9 g/dL Ht 36,4 leukosit 10.400 µL trombosit 463.000 µL
11.00) 140 mg/dL GDS (jam 15.00) 158 Terapi DPJP : mg/dL HbA1C 7,80 D5% 45 mL+ 17.000 IU Heparin, 2,3 mL/jam Furosemide 1 x 40 mg IV Terapi DPJP : KSR 1 x 1 tablet D5% 45 mL + 17.000 IU Heparin, 2,3 Metformin 1 x 500 mg tablet mL/jam Simvastatin 1 x 20 mg tablet Furosemide 1 x 40 mg IV Aspilet 1 x 80 mg tablet KSR 1 x 1 tablet Captopril 3 x 6,25 mg tablet Metformin 1 x 500 mg tablet Allupurinol 1 x 100 mg tablet Simvastatin 1 x 10 mg tablet Levofloxacin 1 x 500 mg tablet Aspilet 1 x 80 mg tablet ISDN 5 mg sublingual Captopril 3 x 6,25 mg tablet Diazepam 5 mg oral (malam hari) Allupurinol 1 x 100 mg tablet Imbang cairan : Imbang Cairan : Input infus = 45 mL, minum = Input infus = 45 mL, minum = 900 mL, total = 945 mL 1300 mL, total = 1345 mL Output urin 2700 mL, IWL = 900 Output urin 2100 mL, IWL = 900 mL, total = 3600 mL mL, total = 3000 mL IC (-) 2655 mL/24 jam IC (-) 1655 mL/24 jam Diuresis 1,88 mL/kgBB/24 jam Diuresis 1,46 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Volume E P L KH Makanan 1100 50 30 160 (mL) (kal) (g) (g) (g) lunak (bubur) MC 900 900 40 30 150 A STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM tipe tipe 2,ISK asimtomatik, hipermetabolisme 2, ISK asimtomatik, hipermetabolisme sedang, overweight, dislipidemia sedang, overweight, dislipidemia
84 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Terapi DPJP : D5% 45 mL + 10.000 IU Heparin,2 mL/jam Furosemide 1 x 40 mg IV KSR 1 x 1 tablet Metformin 1 x 500 mg tablet Bisoprolol 1 x 1,25 mg tablet Aspilet 1 x 80 mg tablet Captopril 3 x 6,25 mg tablet Imbang cairan : Input infus = 45 mL, minum = 1300 mL, total = 1345 mL Output urin 2400 mL, IWL = 900 mL, total = 3300 mL IC (-) 1955 mL/24 jam Diuresis 1,67 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E (kal) Makanan 1100 lunak (bubur)
P (g) L (g) KH (g) 50 30 160
STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM tipe 2, ISK asimtomatik, hipermetabolisme sedang, overweight, dislipidemia
P
KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1100 kal, P 50 g, L 30 g, KH 160 g Bentuk : makanan lunak (bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, plant stanol 2g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : kurva glukosa darah harian
KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan tetap 1100 kal, P 50 g, L 30 g, KH 160 g Bentuk : makanan lunak ( bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, plant stanol 2g
KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1300 kal, P 55 g, L 36 g, KH 190 g Bentuk : makanan lunak (bubur) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, plant stanol 2g
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas cairan, fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Lab : kurva glukosa darah harian Lab : kurva glukosa darah harian
85 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
H 5 (Ruangan Rawat Biasa) Keluhan (-), makanan RS habis dikonsumsi, BAB (+) 1x O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 g 8 t 22 t 36 5
H 6 (Ruangan Rawat Biasa) Keluhan (-),makanan RS habis dikonsumsi, BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 88 x/mnt, P 23 x/mnt, Sb 36,5 C
H 7 (Ruangan Rawat Biasa) Keluhan (-), makanan RS habis dikonsumsi, BAB (+) 1x Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb 36,6 C
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada ede a RT< 2”
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
S
Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan pemeriksa pemeriksa genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa Terapi DPJP : Antropmetri : BB = 55 kg, TB = 150 cm, Laboratorium : Furosemide 1 x 40 mg tablet IMT = 24,4 kg/m2 LP = 90 cm Urinalisa : warna kuning jernih, glukosa KSR 1 x 1 tablet 1+, darah 2+, sedimen : leukosit 2-3/lpb, Metformin 1 x 500 mg tablet Terapi DPJP : eritrosit banyak, epitel +, bakteri (-) Simvastatin 1 x 20 mg tablet Furosemide 1 x 40 mg tablet Aspilet 1 x 80 mg tablet KSR 1 x 1 tablet Terapi DPJP : Captopril 3 x 6,25 mg tablet Metformin 1 x 500 mg tablet D5% 45 mL+10.000 IU Heparin,2 mL/jam Allupurinol 1 x 100 mg tablet Bisoprolol 1 x 1,25 mg tablet Furosemide 1 x 40 mg IV Levofloxacin 1 x 500 mg tablet Aspilet 1 x 80 mg tablet KSR 1 x 1 tablet Captopril 3 x 6,25 mg tablet
86 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Metformin 1 x 500 mg tablet Simvastatin 1 x 10 mg tablet Aspilet 1 x 80 mg tablet Captopril 3 x 6,25 mg tablet Allupurinol 1 x 100 mg tablet Levofloxacin 1 x 500 mg tablet
Imbang cairan : Input minum = 1500 mL Output urin 1500 mL, IWL = 900 mL, total = 2400 mL IC (-) 900 mL/24 jam Diuresis 1,0 mL/kgBB/24 jam
Imbang Cairan : Input infus = 45 mL, minum = 1600 mL, total = 1645 mL Output urin 1800 mL, IWL = 900 mL, total = 2700 mL IC (-) 1055 mL/24 jam Diuresis 1,25 mL/kgBB/24 jam
Analisis asupan : E (kal) Makanan 1500 lunak (nasi tim)
Analisis asupan : E(kal) P(g) L(g) KH (g) Makanan 1300 55 36 190 lunak (bubur) A STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM tipe 2, ISK asimtomatik, overweight, hipermetabolisme sedang, dislipidemia P KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 60 g, L 42 g, KH 220 g Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam
Allupurinol 1 x 100 mg tablet Levofloxacin 1 x 500 mg tablet
Imbang cairan : Input minum = 1500 mL Output urin 1700 mL, IWL = 900 mL, total = 2600 mL IC (-) 1100 mL/24 jam P (g) L (g) KH (g) Diuresis 1,2 mL/kgBB/24 jam 60 42 220 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Makanan 1500 60 42 220 biasa
STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM tipe 2, ISK asimtomatik, hipermetabolisme sedang, overweight, dislipidemia KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan tetap 1500 kal, P 60 g, L 42 g, KH 220 g Bentuk : makanan lunak ( nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam
87 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
STEMI anterior extensif, ALO, HF, DM tipe 2, ISK asimtomatik, hipermetabolisme sedang, overweight, dislipidemia KEB = 1141,8 kal KET = 1500 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan 1500 kal, P 60 g, L 42 g, KH 220 g Bentuk : nasi biasa Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam
Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, plant stanol 2g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : kurva glukosa darah harian
Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, asam lemak omega-3 1000 mg, plant stanol 2g
Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B kompleks 3 x 1 tablet, asam folat 400 µg, koenzim Q10 100 mg, plant stanol 2g
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari cairan, Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Lab : kurva glukosa darah harian Lab : kurva glukosa darah harian
88 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Lampiran 2: Lembar Monitoring Kasus 3 H 3 (ICCU) S Nyeri dada tidak ada, sesak kadang-kadang timbul, mual & muntah disangkal. BAB (+) warna kuning, konsistensi lunak O Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 117/62 mmHg, N 68 x/menit, P 20 e it 36 4 8 , SatO2 100% Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 4 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : buncit, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 200 mL.
H 4 (ICCU) H 5 (Ruangan Rawat Biasa) Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. BAB (-) 1 hari muntah disangkal. BAB (+) 1x warna kuning konsistensi lunak Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 112/61 mmHg, N 83 x/menit, P 18 TD 114/60 mmHg, N 78 x/menit, P 20 e it 36 78 at 2 100% x/menit, Sb 36,4 78, SatO2 100% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 liter/mnt Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : buncit, BU (+) normal, supel Ekstremitas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 250 mL.
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 (-) Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : buncit, BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 150 mL.
Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, genggaman tangan lebih lemah dari kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari kekuatan genggaman tangan sama dengan pemeriksa pemeriksa pemeriksa Laboratorium : LED 55 mm/jam I, asam urat 6,0 mg/dL, trigliserida 80 mg/dL, kolesterol total 187 mg/dL, HDL 53 mg/dL, LDL 108 mg/dL Analisa tinja : bakteri (-), amuba (-), darah
Terapi DPJP : NaCl 0,9% 6 tetes/menit Furosemide 1 x 40 mg IV Omeprazole 2 x 40 mg IV Antasida 4 x 10 mL
89 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Laboratorium : Hb 8,8 g/dL, Ht 27,6%, leukosit 4800/µL, trombosit 318.000/µL
samar (-)
Simvastatin 1 x 10 mg tablet ISDN 3 x 5 mg Captopril 3 x 6,25 mg tablet Metronidazole 3 x 500 mg tablet Rencana pindah ruangan
Terapi DPJP : Tra sfusi hi gga ≥ 1 g dL ISDN 3 x 5 mg Simvastatin 1 x 10 mg Omeprazole 2 x 40 mg IV Captopril 2 x 6,25 mg Antasida 4 x 10 mL Metronidazole 3 x 500 mg tablet Imbang Cairan : Input PRC 209 mL, infus = 280 mL, minum = 900 mL, total = 1389 mL Output urin 1950 mL, IWL = 893,75 mL, total = 2793,75 mL IC (-) 1404,75 mL/24 jam Diuresis 1,0 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : Volume E P L (mL) (kal) (g) (g) MC 1000 1000 40 30 A NSTEMI, hipertensi terkontrol, defisiensi besi, hipermetabolisme obes I, hipokalsemia P KEB = 1246 kal KET = 1600 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan
Imbang cairan : Input infus = 425 mL, PRC = 192 mL, minum = 1150 mL, total = 1767 mL Output urin 1700 mL, IWL = 1125 mL, total = 2825 mL IC (-) 1058 mL/24 jam Diuresis 0,94 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E (kal) Makanan 1250 lunak (bubur)
Terapi DPJP : Furosemide 1 x 40 mg IV ISDN 5 mg (kalau perlu) Antasida 4 x 10 mL Omeprazole 2 x 20 mg kapsul Simvastatin 1 x 10 mg tablet Captopril 2 x 6,25 mg tablet Metronidazole 3 x 500 mg tablet Rencana Ekokardiografi
Imbang cairan : Input PRC 192 mL, infus = 400 mL, minum = 1300 mL, total = 1892 mL Output urin 1800 mL, IWL = 1125 mL, total = 2925 mL IC (-) 1033 mL/24 jam P (g) L (g) KH (g) Diuresis 1,0 mL/kgBB/24 jam 55 35 180
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) KH Makanan 1400 60 40 200 (g) lunak 142 (bubur) anemia NSTEMI, hipertensi terkontrol, anemia NSTEMI, hipertensi terkontrol, anemia sedang, defisiensi besi, hipermetabolisme sedang, defisiensi besi, hipermetabolisme sedang, obes obes I, hipokalsemia I, hipokalsemia KEB = 1246 kal KEB = 1246 kal KET = 1600 kal (FS 1,3) KET = 1600 kal (FS 1,3) menjadi Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1400 Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1600
90 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
1250 kal, P 50 g, L 30 g, KH 160 g kal, P 60 g, L 35 g, KH 180 g kal, P 72 g, L 44 g, KH 230 g Bentuk : makanan lunak (bubur) Bentuk : makanan lunak ( nasi tim) Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : darah rutin (Hb)
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari cairan, Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Lab : darah rutin (Hb) Lab : darah rutin (Hb)
91 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
H 6 (Ruangan Rawat Biasa) Nyeri dada dan sesak tidak ada, mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x warna kuning konsistensi lunak O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/60 mmHg, N 80 x/menit, P 20 x/menit, Sb 37 4
H 7 (Ruangan Rawat Biasa) Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x warna kuning konsistensi lunak Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis T 12 9 g 8 e it 18 e it 37 2 C
H 8 (Ruangan Rawat Biasa) Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x warna kuning konsistensi lunak Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 130/80 mmHg, N 80 x/menit, P 18 x/menit, Sb 37 4
Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : buncit, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : buncit, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : buncit, BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2”
Kapasitas fungsional : ambulatory
Kapasitas fungsional : ambulatory
Kapasitas fungsional : ambulatory
Terapi DPJP : Furosemide 1 x 40 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Simvastatin 1 x 10 mg Omeprazole 2 x 20 mg kapsul Captopril 2 x 6,25 mg Antasida 4 x 10 mL Metronidazole 3 x 500 mg tablet Transfusi PRC 257 mL
Laboratorium : Antropometri : TB= 165 cm BB= 75 kg Hb 9,6 g/dL, Ht 30,1%, leukosit 3800/µL, IMT = 29, 2 kg/m2 LP = 110 cm trombosit 246.000/µL. Terapi DPJP : Terapi DPJP : ISDN 5 mg (kalau perlu) Furosemide 1 x 40 mg tablet Antasida 4 x 10 mL Omeprazole 2 x 20 mg kapsul Omeprazole 2 x 20 mg kapsul Antasida 4 x 10 mL Simvastatin 1 x 10 mg tablet Simvastatin 1 x 10 mg tablet Captopril 2 x 6,25 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Metronidazole 3 x 500 mg tablet Captopril 2 x 6,25 mg tablet
S
92 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Imbang Cairan : Input minum = 1650 mL Output urin 1500 mL, IWL = 1125 mL, total = 2625 mL IC (-) 975 mL/24 jam Diuresis 0,8 mL/kgBB/24 jam
Metronidazole 3 x 500 mg tablet Imbang cairan : Input minum = 1700 mL, PRC = 257 mL, total = 1957 mL Output urin 1700 mL, IWL = 1125 mL, total = 2825 mL IC (-) 868 mL/24 jam Diuresis 0,94 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : Jenis E (kal) P (g) L (g) KH (g) Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Nasi tim 1600 72 44 230 Nasi tim 1600 72 44 230 A NSTEMI, hipertensi terkontrol, anemia NSTEMI, hipertensi terkontrol, anemia defisiensi besi, hipermetabolisme sedang, defisiensi besi, hipermetabolisme sedang, obes I, hipokalsemia obes I, hipokalsemia P KEB = 1141,8 kal KEB = 1141,8 kal KET = 1600 kal (FS 1,3) KET = 1600 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan sesuai kebutuhan total Nutrisi diberikan sesuai kebutuhan total Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g, Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : darah rutin (Hb)
Imbang cairan : Input minum = 1750 mL Output urin 1600 mL, IWL = 1125 mL, total = 2725 mL IC (-) 975 mL/24 jam Diuresis 0,9 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E (kal) Nasi tim 1600
P (g) L (g) KH (g) 72 44 230
NSTEMI, hipertensi terkontrol, anemia defisiensi besi, hipermetabolisme sedang, obes I, hipokalsemia KEB = 1141,8 kal KET = 1600 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan sesuai kebutuhan total Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1g
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari cairan, Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : darah rutin (Hb) Lab : darah rutin (Hb)
93 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Lampiran 2: Lembar Monitoring Kasus 4 H 2 (ICCU) S Nyeri dada berkurang, skala VAS 2 mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak O Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 111/65 mmHg, N 75 x/menit, P 21 e it 36 4 8 , SatO2 100%
H 3 (ICCU) H 4 (Ruangan Rawat Biasa) Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM T 112 61 g 83 e it 18 TD 104/66 mmHg, N 68 x/menit, P 20 e it 36 78 at 2 100% x/menit 36 C, MAP 78, SatO2 100%
Konjungtiva tidak pucat,sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 4 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : datar, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 100 mL. Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : datar, BU (+) normal, supel Ekstremitas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 150 mL. Kapasitas fungsional : bedridden, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : datar, BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 150 mL. Kapasitas fungsional : pasien dapat duduk, kekuatan genggaman tangan lebih lemah dari pemeriksa
Terapi DPJP : D5% 45 mL+heparin 15.000 IU, 2 mL/jam Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg Ranitidine 2 x 50 mg IV
Terapi DPJP : RL 12 tetes/menit D5% 45 mL + heparin 15.000 IU, 2 mL/jam Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg
Terapi DPJP : RL 6 tetes/menit D5% 45 mL + heparin 14.000 IU, 1,9 mL/jam Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg
94 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Captopril 3 x 6,25 mg Diazepam 2 mg (kalau perlu) Allupurinol 1 x 300 mg Imbang Cairan : Input infus = 38 mL, minum = 1100 mL, total = 1138 mL Output urin 2250 mL, IWL = 975 mL, total = 3525 mL IC (-) 2387 mL/24 jam Diuresis 1,44 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : Volume E P (mL) (kal) (g) MC 1000 1000 50
L (g) 30
Ranitidine 2 x 50 mg IV Captopril 3 x 6,25 mg Diazepam 2 mg (kalau perlu) Allupurinol 1 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg
Ranitidine 2 x 50 mg IV Captopril 3 x 6,25 mg Diazepam 2 mg (kalau perlu) Allupurinol 1 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg, pindah ruangan
Imbang cairan : Input infus = 1042 mL, minum = 1100 mL, total = 2142 mL Output urin 1500 mL, IWL = 975 mL, total = 2475 mL IC (-) 333 mL/24 jam Diuresis 0,96 mL/kgBB/24 jam
Imbang cairan : Input infus = 400 mL, minum = 1300 mL, total = 1892 mL Output urin 1800 mL, IWL = 1125 mL, total = 2925 mL IC (-) 1033 mL/24 jam Diuresis 1,0 mL/kgBB/24 jam
KH (g) 132
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) MC 1000 50 30 132 A Akut STEMI anteroseptal, Akut STEMI anteroseptal, hipermetabolisme hipermetabolisme sedang, obes I sedang, obes I P KEB = 1300,4 kal KEB = 1300,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,3) KET = 1700 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan sesuai 1000 kal Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1300 Bentuk : makanan cair kal, P 55 g, L 36 g, KH 190 g Jalur : per oral Bentuk : makanan lunak ( bubur) Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Jalur : per oral Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 plant stanol 2 g tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, plant stanol 2 g
95 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Bubur 1300 55 36 190 Akut STEMI anteroseptal, hipermetabolisme sedang, obes I KEB = 1300,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 65 g, L 42 g, KH 220 g Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 1500 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, plant stanol 2 g
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Lab : CK, CK-MB
Monitoring : Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Klinis, tanda vital setiap hari cairan, Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali
96 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
H5 Nyeri dada tidak ada, mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak O Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 e it 36 4 S
H6 H7 Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & Tidak ada nyeri dada dan sesak. Mual & muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak muntah disangkal. BAB (+) 1x lunak Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 110/60 g 83 e it 18 TD 110/60 mmHg, N 80 x/menit, P 16 e it 36 e it 36
Konjungtiva tidak pucat,sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 4 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : datar, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 100 mL.
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, ronki -/- & wheezing -/Abdomen : datar, BU (+) normal, supel Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 150 mL.
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Leher : JVP 5+0 cmH2O Hidung : kanul O2 2 L/menit Jantung : BJ I-II murni, murmur dan gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : datar, BU (+) normal Ekstre itas : tidak ada ede a RT< 2” Genitalia : kateter (+), urin warna kuning jernih, volume 150 mL.
Kapasitas fungsional : ambulatory
Kapasitas fungsional : ambulatory
Kapasitas fungsional : ambulatory
Terapi DPJP : D5% 45 mL+heparin 15.000 IU, 2 mL/jam Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg Ranitidine 2 x 50 mg IV Captopril 3 x 6,25 mg Allupurinol 1 x 300 mg
Terapi DPJP : Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg PO (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg Ranitidine 2 x 50 mg IV Captopril 3 x 6,25 mg Allupurinol 1 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg
Antropometri : TB 160 cm, BB 65 kg, IMT= 25,4 kg/m2 LP= 100 cm
97 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
Terapi DPJP : Aspirin 1 x 80 mg tablet Clopidogrel 1 x 75 mg tablet ISDN 5 mg PO (kalau perlu) Simvastatin 1 x 20 mg Ranitidine 2 x 50 mg IV Captopril 3 x 6,25 mg
Imbang Cairan : Input infus = 45 mL, minum = 2000 mL, total = 2045 mL Output urin 1500 mL, IWL = 975 mL, total = 2475 mL IC (-) 430 mL/24 jam Diuresis 0,96 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E (kal) Nasi tim
1500
P (g) 65
L (g) 42
KH (g) 220
A Akut STEMI anteroseptal, hipermetabolisme sedang, obes I P KEB = 1300,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 72 g, L 47 g, KH 245 g Bentuk : makanan lunak (nasi tim) Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 2000 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, plant stanol 2 g
Imbang cairan : Input minum = 2000 mL Output urin 1500 mL, IWL = 975 mL, total = 2475 mL IC (-) 475 mL/24 jam Diuresis 0,96 mL/kgBB/24 jam Analisis asupan : E (kal) Nasi tim 1700
Allupurinol 1 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg Pasien direncanakan pulang
Imbang cairan : Input minum = 2300 mL Output urin 1750 mL, IWL = 975 mL, total = 2725 mL (-) 425 mL/24 jam P (g) L (g) KH (g) IC Diuresis 1,1 mL/kgBB/24 jam 72 47 245
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH (g) Nasi biasa 1700 72 47 245 Akut STEMI anteroseptal, hipermetabolisme Akut STEMI anteroseptal, hipermetabolisme sedang, obes I sedang, obes I KEB = 1300,4 kal KEB = 1300,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,3) KET = 1700 kal (FS 1,3) Nutrisi diberikan sesuai kebutuhan total Nutrisi diberikan sesuai kebutuhan total Bentuk : makanan biasa (nasi) Bentuk : makanan biasa (nasi) Jalur : per oral Jalur : per oral Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan natrium : 2300 mg/24 jam Kebutuhan cairan : 2000 mL/24 jam Kebutuhan cairan : 2000 mL/24 jam Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 Mikronutrien : vitamin B komplek 3 x 1 tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, tablet, koenzim Q10 100 mg, omega-3 1 g, plant stanol 2 g plant stanol 2 g
Nasi biasa
E (kal) 1700
P (g) L (g) 72 47
98 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014
KH (g) 245
E (kal) P (g) Nasi 1700 72 tim
L (g) 47
KH (g) 245
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari Antropometri 1 minggu sekali
Nasi biasa
E (kal) 1700
P (g)
L (g)
KH (g)
72
47
245
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap hari Toleransi asupan & imbang cairan, kapasitas fungsional setiap hari
cairan,
99 Tatalaksana nutrisi…, Christianie Setiadi, FK UI, 2014