Tinjauan Pustaka
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik
Nikko Darnindro,* Abdul Muthalib** *Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Subdivisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Abstrak: Hingga saat ini hipertensi tetap menjadi masalah kesehatan yang cukup sulit diatasi. Data World Health Organization pada tahun 1996 menunjukkan bahwa hipertensi meningkatkan morbiditas dan mortalitas terutama di negara negara maju. Dari data epidemiologi beberapa peneliti, prevalensi hipertensi di Indonesia diperkirakan sebesar 6-15% dan diperkirakan diseluruh dunia saat ini lebih dari 1 miliar orang mempunyai tekanan darah tinggi dan sekitar 7,1 juta kematian berkaitan dengan hipertensi. Penyakit Ginjal merupakan salah satu penyebab timbulnya hipertensi pada pasien. Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun sebaliknya hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal. Sindroma nefrotik merupakan salah satu peyakit ginjal kronik yang sering ditemukan. Penanganan pasien hipertensi dengan sindroma nefrotik memerlukan beberapa perhatian, mencakup obat pilihan, efek samping, durasi pengobatan, progresifitas penyakit ginjal pasien dan faktor komorbid pada pasien. Kata kunci: hipertensi, penyakit ginjal kronik, sindrom nefrotik, penatalaksanaan terpilih
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008
57
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik
Treatment of Hypertension in Patient with Nephrotic Syndrome Nikko Darnindro,* Abdul Muthalib** *Faculty of Medicine University of Indonesia **Division of Hematology Oncology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia
Abstract: Up to this moment, hypertension is an issue that hard to be dealt with. According to WHO 1996, hypertension have taken its part as contributing factor on morbidity and mortality mainly in modern countries. The prevalence of hypertension in Indonesia is about 6 to 15%, and the estimated number of 1 billion people across the globe are having this problem, also there are 7,1 millions hypertension related death. One of the causes of hypertension is kidney disease. Chronic kidney disease can cause hypertension and also hypertension can cause chronic kidney disorder. Nephrotic Syndrome is the common chronic kidney disease. Management of hypertension in patients with nephrotic syndrome has to consider long term effect of medication, renal condition, and other comorbid condition. Key words: Hypertension, Chronic Kidney Disease, Nephrotic Syndrome, Treatment of choices.
Rasionalisasi Pemilihan Obat Antihpertensi Pemilihan obat inisial masih merupakan perdebatan. Sejak dipublikasikannya penelitian tentang obat antihipertensi pada tahun 1967 diuretik tiazid telah menjadi pilihan utama dalam penanganan hipertensi karena perannya dalam menurunkan tekanan darah dan menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular. 1 Beberapa penelitian lain membuktikan menurunkan tekanan darah dengan obat antihipertensi lain seperti ACE-inhibitor, ARB, Beta-Blocker (BB), dan Calcium-Channel Blocker(CCB) juga dapat menurunkan komplikasi hipertensi. Dalam penelitian yang membandingkan diuretik dengan obat antihipertensi lain ternyata penggunaan diuretik lebih baik dalam mencegah komplikasi hipertensi. Penelitian ALLHAT yang melibatkan 40 000 pasien hipertensi menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat mortalitas antara penggunaan diuretik tiazid, klortalidon, lisinopril, dan amlodipin, hanya ternyata didapatkan insiden gagal jantung yang lebih besar pada penggunaan CCB dan ACE-inhibitor dibandingkan dengan penggunaan diuretik.1 Dalam penelitian lain didapatkan bahwa pemakaian ACE-inhibitor dapat menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular dimana efek yang menguntungkan terutama terdapat pada pria.1 Dalam penelitian tersebut (ANBP2 study) pengunaan ACE-inhibitor pada pasien berusia lanjut ternyata dapat menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan diuretik meskipun memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan tekanan darah.2 Faktor yang menyebabkan keuntungan penggunaan ACE-inhibitor antara lain adalah dapat menghambat proses
58
arteriosklerosis dengan cara menstabilkan plak dan memperbaiki fungsi endotel, dapat meningkatkan sensitivitas insulin, dan menurunkan laju filtrasi glomerolus.2 Selain itu obat golongan ACE-inhibitor dapat menurunkan pembentukan TGF -β dengan cara menurunkan angiotensin II yang dapat menstimulasi TGF β. TGF β mempunyai efek fibrogenik yang dapat memperburuk progresifitas penyakit ginjal.3 Ketika dilakukan penelitian meta analisis untuk mengetahui efek ACE-inhibitor dan CCB pada kejadian penyakit jantung koroner (PJK), keduanya dapat menurunkan kejadian PJK lebih baik dibandingkan placebo sebesar 20% dan 22%.4 Bila dibandingkan head to head tidak terdapat bukti nyata bahwa salah satu kelas dan golongan obat antihipertensi lebih baik dibanding kelas lain dalam mencegah kejadian PJK. Oleh karena itu dalam pencegahan penyakit jantung koroner lebih dipilih obat yang dapat menurunkan tekanan darah lebih baik pada kondisi pasien tersebut.4 Pemakaian calcium-channel blocker (CCB) juga menguntungkan dalam mengurangi insiden terjadinya stroke. Penelitian metaanalisis mengemukakan bahwa penggunaan CCB tampaknya lebih efektif dibandngkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) dan ACE-inhibitor. Penggunaan CCB short-acting tidak direkomendasikan pada penanganan hipertensi karena dapat meningkatkan risiko reinfark dan kematian dimana mekanisme utama terjadinya efek samping disebabkan stimulasi refleks simpatis.5 Dalam pencegahan stroke ternyata ARB juga mempunyai peranan, hal ini terbukti dalam 2 penelitian (SCOPE dan LIFE) bahwa penggunaan candesartan, suatu ARB dapat menurunkan risiko stroke hingga 42% dan ARB
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindroma Nefrotik dapat menurunkan risiko stroke sebesar 25% dibandingkan dengan penggunaan atenolol, suatu penyekat beta.4 Pada suatu penelitian yang membandingkan suatu ARB (valsartan) dengan CCB (amlodipin) tidak terdapat bukti yang cukup kuat bahwa ARB dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dibandingkan dengan CCB, tetapi pada penggunaan CCB terdapat penurunan 15% terjadinya stroke. Hal ini dapat disebabkan CCB dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan lebih rendah dibandingkan suatu ARB.4 Para ahli masih menyarankan diuretik sebagai pilihan pertama obat antihipertensi pada orang tua karena tidak ada perbedaan signifikan dalam menurunkan tekanan darah maupun dalam menurunkan mortalitas serta dilihat dari segi biaya penggunaan diuretik lebih murah. Pengecualian pada pasien dengan indikasi khusus untuk penggunaan golongan lain seperti pasien dengan pasca infark miokard (penyekat beta dan ACE-inhibitor), pasien dengan diabetik nefropati (ACE-inhibitor, ARB).1 Pendapat yang mengganggap bahwa semua obat antihipertensi mampu mengontrol risiko kardiovaskular telah berubah karena pemberian amlodipine/perindopril lebih unggul dibandingkan dengan penggunaan atenolol/ bendruflumethiazide.6 Para ahli menyarankan untuk tidak lagi menggunakan penyekat beta sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi dan juga hanya menggunakan diuretika pada pasien usia tua yang efektif dengan obat tersebut.6 Penggunaan diuretik yang terbatas juga dapat membatasi efek kumulatif metabolik pada penggunaan diuretik yang digunakan pada usia yang lebih muda (terapi hipertensi adalah terapi jangka panjang).6 The British Hypertension Society menyarankan penggunaan obat antihipertensi mengikuti pola AB*-CD. Untuk penggunaan pada pasien dengan usia muda di bawah 55 tahun lebih diutamakan penggunaan AB yaitu ACE inhibitor dan penyekat beta tak lagi disarankan. Untuk pasien usia lebih dari 55 tahun disarankan penggunaan Calcium Channel Antagonis atau diuretik.6-7 Hipertensi pada Penyakit Ginjal Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal. Dalam kondisi normal terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran darah yang tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus pada tekanan rerata arteri sebesar 80-160 mmHg. Mekanisme ini berjalan melalui8 mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular feedback. Pada kondisi yang abnormal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya dapat dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg. Di bawah nilai tersebut laju filtrasi ginjal dan aliran darah ginjal ikut turun. Tekanan arteri rerata yang tinggi tidak dapat lagi diatur oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan glomerulus Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008
dan menurunnya fungsi ginjal.8 Pasien dengan hipertensi kronis akan terjadi perubahan pada arteriol ginjal temasuk arteriol aferen yang mengakibatkan kehilangan refleks miogeniknya sehingga tekanan intraglomerular menjadi bervariasi menyesuaikan dengan tekanan arteri rerata.8 Gangguan pada autoregulasi ginjal menjelaskan mengapa pada pasien dengan hipertensi dan penyakit ginjal kronik lebih cenderung terjadi peningkatan kadar serum kreatinin ketika tekanan darah menurun. ACE-inhibitor dan ARB merupakan obat antihipertensi yang sering diberikan pada pasien hipertensi dengan kelainan ginjal.9 Hal ini disebabkan kemampuannya dalam menurunkan tekanan intraglomerular dan menurunkan proteinuria sehingga mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut, tetapi obat ini tidak dapat diberikan pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral ataupun pada ginjal polikistik. Pada pasien dengan deplesi volume juga sebaiknya tidak diberikan ACE-inhibitor karena dapat menyebabkan terjadinya azotemia sedang pemberian ARB (hasil percobaan pada hewan) dapat memelihara laju filtrasi glomerolus lebih baik. Penggunaan diuretik tiazid dengan dosis rendah dikombinasikan dengan ACE-inhibitor tidak akan menyebabkan kejadian di atas tetapi bila digabung dengan diuretik loop maka akan terjadi azotemia. Penggunaan CCB dapat menyebabkan progresivitas perburukan penyakit ginjal karena efek kerjanya menyebabkan vasodilatasi pada arteriol aferen pada glomerolus.8 Yang perlu diperhatikan adalah efek samping ACE-inhibitor dapat menyebabkan hiperkalemi sehingga penggunaannya harus berhati-hati dan disarankan pada pasien untuk menghentikan obat yang dapat menyebabkan gangguan ekskresi kalium, serta melaksanakan diet rendah kalium. Penggunaan diuretik dapat efektif untuk mencegah hiperkalemi, tetapi penggunaan diuretik tiazid hanya dapat diberikan pada kadar kreatinin di bawah 1,8 mg/dL. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat dilakukan pemantauan kadar kalium setiap 1-2 minggu pada awal terapi.8 Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan sebagai first-line therapy, yaitu ACE-inhibitor, BB, CCB dan diuretik. Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain, umur, riwayat perjalanan penyakit, factor risiko, kerusakan target organ, diabetes, indikasi dan kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan obat antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri. Untuk mencapai penurunan global risk factor, obat antihipertensi hanya digunakan sebagai salah satu strategi dalam penatalaksanaan hipertensi, disamping penghentian konsumsi merokok, penggunaan statin dan aspirin. 59
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindroma Nefrotik Penghentian konsumsi rokok dapat menambah angka harapan hidup dibandingkan dengan usaha preventif lainnya.10 Statin, seperti obat antihipertensi sangat efektif pada orang dengan risiko tinggi tehadap penyakit arteri koroner. Aspirin saat ini digunakan sebagai upaya intervensi primer pada pasien dengan risiko awal yang cukup tinggi.7 Berdasarkan British Hypertension Society pada penderita hipertensi dengan usia di bawah 55 tahun lebih dahulu digunakan ACE-inhibitor. Dalam beberapa penelitian untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan hampir 2/3 pasien memerlukan terapi kombinasi 2 macam obat, dapat digunakan kombinasi ACE-inhibitor dengan CCB atau dengan diuretik. Calcium Channel Blockers mempunyai efek vasodilatasi pada arteriol aferen dan oleh karena itu jarang menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerolus bila tekanan darah menurun. Meskipun mempertahankan laju filtrasi glomerolus dapat bermanfaat, tetapi vasodilatsi arteriol aferen dapat mengganggu kemampuan autoregularitas ginjal sehigga dapat menyebabkan tekanan intraglomerolus yang senantiasa mengikuti tekanan arteri sistemik sehingga dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal dalam penggunaan yang lama. Meskipun begitu gangguan pada autoregulasi renal lebih jarang dijumpai pada penggunaan CCB golongan nondihidropiridin.8 Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Secara farmakologis kaptopril bekerja secara kompetitif menginhibisi Angiotensin Converting Enzyme yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang menstimulasi sekresi aldosteron. ACE-inhibitor menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan resistensi perifer. Kardiak output dan frekuensi denyut jantung tidak berubah secara signifikan. Tidak seperti vasodilator langsung obat ini tidak menimbulkan refleks simpatis, dan dapat digunakan secara aman pada pasien dengan penyakit jantung iskemia. Tiadanya refleks simpatis dapat disebabkan oleh downward resetting dari baroreseptor atau oleh peningkatan aktivitas parasimpatis.11 ACE-inhibitor dapat dipergunakan dan cukup bermanfaat pada pasien dengan nefropati diabetik karena dapat menurunkan proteinuria dan menstabilkan fungsi ginjal. Efek ACE-inhibitor terhadap proteinuria dapat pula mengakibatkan penurunan kadar lipid plasma yang telah meningkat. Hasilnya ini adalah menurunnya tekanan darah, retensi kalium, dan menurunnya reabsorbsi natrium. Kaptopril diabsorbsi dan mencapai kadar puncak dalam 1 jam, dan makanan akan menurunkan absorbsi sebesar 30-40%. Dalam distribusinya sekitar 25-30% terikat oleh protein, 90% diekskresi melalui ginjal, dan waktu paruhnya sekitar 3 jam.11 Pada pasien dengan pemberian satu jenis obat tidak dapat mengendalikan tekanan darah dapat ditambahkan obat antihipertensi dari kelas lain. Obat dengan mekanisme kerja yang berbeda dapat efektif menurunkan tekanan darah dengan toksisitas minimal. Jika diuretik belum diberikan 60
sebagai terapi pertama biasanya digunakan sebagai tambahan. Jika dibutuhkan kombinasi 3 macam obat maka dapat diberikan diuretic, ACE-inhibitor atau ARB dan direct vasodilator seperti hidralazin atau CCB.11 Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pasien harus dimonitor dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis setiap bulan sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan. Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2 atau dengan penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus dimonitor paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan stabil maka follow up biasanya dapat dilakukan dengan interval 36 bulan sekali, tetapi adanya penyakit penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan mempengaruhi frekuensi kunjungan berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk memonitor perkembangan penyakit. Faktor risiko kardiovaskular lain harus dimonitor dan diperbaiki termasuk dengan menghentikan merokok, diet, dan olahraga. Pemakaian dosis rendah aspirin digunakan setelah tekanan darah terkendali karena bila digunakan pada hipertensi yang belum terkendali dapat menyebabkan terjadinya stroke hemoragik.1 Kesimpulan Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sulit diatasi dan menimbulkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penatalaksaan hipertensi mencakup penatalaksanaan nonfarmakologis dan farmakologis. Pemilihan pengobatan didasarkan pada klasifikasi penderita berdasarkan JNC 7 dan disesuaikan dengan usia, faktor risiko, dan adanya penyakit penyerta pada pasien. Pasien dengan penyakit ginjal kronik sering juga menderita hipertensi, dan penanganan hipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal memerlukan pemilihan obat yang tepat, karena banyak obat hipertensi yang dapat memperburuk kondisi ginjal pasien. ACE-inhibitor dan ARB merupakan obat terpilih untuk pasien hipertensi dengan penyakit ginjal. Pemakaiannya juga memerlukan kontrol yang tepat disesuaikan dengan fungsi ginjal pasien. Daftar Pustaka 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Yogiantoro M. Hipertensi Essensial. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I. editors Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: 2006. Idham Idris. Hypertension in the Elderly. Jurnal Kardiologi Indonesia 2002;26:44-9. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. August 2004. Sinaiko AR. Hypertension in children. N Engl J Med 1996;335: 1968-73. Orth SR, Ritz E. The nephrotic syndrome. N Engl J Med 1998;338: 1202-11. Wing LMH, Reid C, Ryan P, Beilin LJ, Brown MA, Jennings GLR, et al. A Comparison of Outcomes with Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitors and Diuretics for Hypertension in the Elderly. N Engl J Med. 2003;348:583-592.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindroma Nefrotik 7.
August P, Suthanthiran M. Transforming Growth Factor-Signaling, Vascular Remodeling, and Hypertension. N Engl J Med. 2006; 354:2721-3. 8. Williams B. Recent hypertension trials Implications dan controversies. JACC 2005.45:813-27. 9. Cutler JA. Calcium-Channel Blockers for Hypertension - Uncertainty Continues. N Engl J Med. 1998;338:679-681. 10. Sutter M. Systemic Hypertension. In: Mcphee SJ, Papadakis MA, Tierney LM. Editors. Current Medical Diagnosis and Treatment 46th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.p.429-59. 11. William B, Poulter NR, Brown MJ, Davis M, Mclnnes GT, Potter JF, et al. Education and debate British Hypertension Society guidelines for hypertension management 2004 (BHS-IV): summary. BMJ. 2004;328:634-40.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008
12. Palmer BF. Renal Disfunction Complicating the Treatment of Hypertension. N Engl J Med. 2002. 347:1256-61. 13. Volpe M, Alderman MH, Furberg CD, Jackson R, Kostis J, Laragh J, et al. Beyond Hypertension: Toward Guidelines for Cardiovascular Risk Reduction. Am J of Hypertension 2004; 17:1068-74. 14. Benowitz NL. Antihypertension Agents. In: Katzung BG. editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. Singapore: 160-183.
HQ
61