0
HANIA AFANIN
1
Sepertinya kali ini ia merasa kecewa kepadaku, bahkan mungkin sangat-
sangat kecewa. Kuakui semua ini kesalahanku, aku tak pernah tahu kalau dia
benar-benar serius kepadaku. Dia pernah mengatakannya, namun aku tak mempercayainya. Dia pernah berterus terang mengungkapkannya, namun aku sedikit meragukannya. Terserah seberapa banyak alasan yang kubuat, kesimpulannya akan tetap sama.
Tak ada yang bisa kuperbuat lagi. Semua telah terjadi dan dia pun telah
pergi.
Angin malam menyusup masuk dari ventilasi udara yang ada di
kamarku. Mereka berputar-putar lalu seketika membaur dengan udara yang
2
telah menetap di sini. Namun akhirnya tetap saja ada yang ingin pergi keluar, menyerahkan ruang yang sebelumnya telah dimiliki untuk ditempati oleh
mereka yang baru saja masuk. Sedemikian mudahnya mereka berbagi, tapi mengapa aku selalu mengerahkan berbagai usaha untuk berpikir sebelum benar-benar memutuskan memberi?
Aku memandangi ponselku nanar. Sekarang sudah memasuki menit ke-
20 setelah aku mengirim pesan kepadanya. Aku sedikit lelah memandangi
simbol ‘D’ pada pesan yang kukirimkan via Black Berry Messenger itu, simbol ‘D’ adalah pertanda pesan telah terkirim namun belum dibaca oleh penerima
pesan. Aku sangat penasaran dengan respon yang akan ia berikan setelah
menerima pesanku. Kemungkinannya hanya ada dua, kalau tidak menerima, maka ia akan marah.
Aku mengiriminya sebuah pesan dengan maksud agar masing-masing
dari kami bisa fokus menjalani aktivitas pribadi kami. Pasalnya aku baru sadar apa yang telah kuperbuat bersamanya adalah sesuatu yang tidak benar. Meski pernikahan adalah tujuan akhir yang kami harapkan, namun dari hari ke hari secara tak sengaja aku justru semakin berharap kepadanya. Sementara target pernikahan masih lama, aku memutuskan lebih baik kami
berpisah. Entah akhirnya kami berjodoh atau tidak, aku harus bisa menerimanya.
Misi utamaku adalah untuk menjaga hati. Menjaga hatiku dan juga
menjaga hatinya. Meski aku sedikit menyangsikan ia akan memahami keadaan ini dan juga menyangsikan diriku bisa menjalani hari-hari tanpanya. Tapi semoga kali ini ia bisa memahaminya, karena kuakui ini bukan kali
3
pertama aku memintanya untuk memutuskan hubungan. Aku harus memiliki tekad yang bulat untuk konsisten pada keputusan ini. Aku pun harus lebih fokus untuk memperbaiki dan memantaskan diri bagi dia yang memang telah Allah takdirkan untukku.
Kembali kulihat layar ponsel setelah kubuka kunci tombol dengan suatu
pola khusus. Simbol ‘D’ masih betah bertengger di sana. Mungkin dia sudah tidur sehingga belum bisa membaca pesan yang kukirim. Akhirnya
kuputuskan untuk mematikan data seluler yang ada di ponselku, mengatur
jam alarm agar bangun lebih awal dan menyimpannya di atas meja yang ada disebelah tempat tidurku.
Semoga besok aku mendapatkan respon yang baik darinya. Semoga.
20.51
Senin, 18 April 2016
Selamat malam Bandung, selamat malam. Kutitipkan salam perpisahan kepada dia yang telah sedikit banyak berkorban. Kepada dia yang telah sedikit banyak memperjuangkan. Kepada dia yang sedikit banyak telah menerima. Selamat malam Bandung, selamat malam. Peluk
ia
dalam
kehangatanmu,
biar
lelap
tidurnya, biar nyenyak istirahatnya. Peluk ia
4
dalam keheninganmu, biar tentram hatinya, biar lapang dadanya. Selamat malam Bandung, selamat malam. Kutitipkan salam perpisahan kepada dia yang sempat mengisi ruang di hatiku. Itu saja. Selamat Malam
Alarm yang kuatur sebelumnya ternyata tak memberikan pengaruh
apa-apa. Aku justru bangun 30 menit lebih awal sebelum alarm menyala. Kamarku gelap, namun aku tak merasa kaget karena memang sebelum tidur
aku telah mematikan lampu. Berkas-berkas cahaya masuk ke dalam kamarku
lewat ventilasi udara antara kamar dan juga ruang tengah. Samar-samar aku bisa melihat segala yang ada di dalam kamar.
Aku mencoba kembali mengecek ponselku, penasaran apakah dia sudah
membaca pesanku atau justru sebaliknya? Namun setelah kubuka aplikasi BBM yang ada di ponselku, nyatanya aku tak bisa menemukan pesan yang telah kukirim kepadanya. Pesannya menghilang. Aku panik dan segera
mengecek list kontak di menu selanjutnya. Sama, kontaknya pun menghilang. Dia telah menghapus kontakku.
Kuhela napasku panjang, ternyata ia lebih memilih untuk tidak
menghubungiku lagi setelah membaca pesan yang kukirim. Aku tak percaya semuanya harus berakhir seperti ini. Kesangsianku kepadanya sedikit banyak
telah terbukti. Namun ada kekhawatiran lain yang menelisik masuk secara
5
diam-diam kerelung-relung hatiku, apakah aku melakukan hal yang salah? Apakah mungkin aku melukai hatinya? Mengapa ia berbuat seperti ini?
Aku tak langsung menghubunginya, meski aku tak tahu semua
jawabannya.
Aku
cukup
menikmati
masa-masa
kesendirianku.
Aku
mulai
menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas yang lebih bermanfaat dan lebih
banyak berkumpul dengan teman-teman di kampus. Untuk sementara aku bisa melupakannya, namun saat aku pulang dan menyendiri di kamar,
bayangnya tak mampu kunafikan. Selalu hadir dan terbayang-bayang. Jika terus seperti ini lama-lama aku bisa gila! Lalu kapan aku bisa fokus memperbaiki diri?
Akhirnya aku membuka akun media sosialku yang lain, Facebook. Tanpa
ba-bi-bu aku langsung mengirimkan pesan kepadanya dan menanyakan mengapa ia menghapus kontak BBM-ku. Ternyata tak lama setelah ku kirim pesan melalui Facebook, dalam hitungan menit, ia langsung membalas pesanku, ia berkata,
Aku mencoba hidup tanpamu, karena aku tahu kau bukan milikku. Maafkan aku.
6
Aku terdiam setelah dia menjawab pertanyaanku seperti itu. Meski itu
sebenarnya apa yang sangat aku inginkan, karena ia akhirnya memilih untuk fokus menjalani kesibukannya sendiri dan juga memberi kesempatan yang
sama untukku menjalani kesibukanku. Tapi itu seperti tak masuk akal, mencoba hidup tanpaku hanya dengan menghapus kontakku di BBM.
Mengapa di Facebook tidak? Aku sedikit marah kepadanya karena bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa sesuatu yang masih hidup.
Aku berceloteh di sana. Menanyakan kepadanya mengapa tak serta-
merta memblokir semua akun media sosialku yang terhubung dengan media
sosialnya? Menawarkan pula bagaimana jika aku saja yang melakukannya agar bisa lebih memudahkan niatnya untuk hidup tanpaku. Nihil. Dari sekian
banyak pesan yang kukirim padanya, ia sama sekali tak membalas sedikit pun pesan-pesanku itu.
Aku kembali terdiam. Aku tak paham mengapa harus kesal dan marah
kepadanya?
Aku
menghentikan
jari-jemariku
untuk
mengetik
dan
mengirimkan pesan lagi kepadanya. Ini sudah cukup, sudah terlalu banyak dan aku pun sudah terlalu malu. 22.26
Kamis, 21 April 2016
Selamat malam Bandungku. Lihatlah aku malam ini, lihatlah dia juga yang berada jauh di sana. Apakah kami melakukan hal yang sama?
7
Aku sedikit tak menyukai akhir dari hubungan kami. Awalnya aku
berpikir ia mampu menerima semua perkataanku dan kami bisa berpisah
secara baik-baik. Nyatanya yang terjadi malah seperti ini. Aku menangkap
sinyal kekecewaan yang sangat besar darinya. Jika aku tidak salah, sekarang ini sepertinya ia sedang marah padaku.
Lalu bagaimana ini? Semuanya sudah terjadi, aku bisa berbuat apa lagi?
Bisku melaju kencang ingin segera membawaku pulang ke rumah. Aku
melakukan perjalananku seorang diri, memang selalu seperti itu. Aku hanya berdoa semoga orang-orang yang melihatku lebih banyak yang menilai bahwa aku gadis yang mandiri dan bukan gadis yang jomblo. Tapi, siapa pula yang harus peduli dan memusingkan penilaian seorang manusia? Ah, sepertinya aku tak perlu memikirkan itu. Hmm.
Sepanjang jalan kumanfaatkan waktuku untuk tidur. Penampilanku tak
pernah kubuat mencolok, agar para calon pencopet sudah lebih dulu memblacklist diriku sebelum ada niatan untuk mencuri barang yang kubawa. Aku
terhitung ahli tidur dalam keadaan duduk, ini cukup membantu untuk menggantikan waktu istirahatku yang sebelumnya sering terganggu karena mengerjakan tugas.
Sebentar lagi bisku akan sampai di tujuan, aku sudah kembali terjaga dan
bersiap untuk turun dari bis. Ingatan masa laluku mulai memaksaku mengingat setiap kejadian yang pernah kulewati bersamanya. Tak disangka
kenangan yang telah tersimpan dalam ingatanku ternyata banyak sekali. Aku
8
tak bisa menghentikan hatiku untuk merindukannya meski sisi hatiku yang lain terus berusaha keras menepisnya.
“Tak apa-apa, semua butuh proses, kita melakukannya perlahan-lahan
saja,” aku berujar kepada hati sambil mengelus-elusnya dari luar. Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan diriku baik-baik saja. Keputusan yang
ia ambil adalah yang terbaik untuknya dan juga untukku. Aku harus mempercayai itu agar aku merasa lebih baik.
Setelah turun dari bis, disuguhkan ke depan kedua mataku banyak sekali
pemandangan yang memperlihatkan kebersamaan antara sepasang kekasih.
Ada yang sedang menaiki motor berdua, ada yang sedang berjalan kaki sambil bergandengan tangan, ada yang sedang makan di rumah makan berdua dan
masih banyak lagi. Aku merasa iri, bahkan sangat-sangat iri. Namun jika kebersamaan itu terjadi di luar ikatan bernama pernikahan mungkin itu
bukan suatu hal yang perlu kupikirkan. Hanya akan memperbanyak dosa saja. Terakhir kali sahabatku mengingatkanku untuk melupakan dia saja.
Bahkan ia mencubit lenganku saat aku bercerita kepadanya aku kembali
mengiriminya pesan. Ia juga berkata salah satu ciri mantan yang ingin balikan adalah persis seperti apa yang aku lakukan. Aku langsung merinding
mendengar ceritanya. Apa benar aku seperti itu? Jika iya, sungguh itu sangat
memalukan. Karena mengingat cerita itu, meski sedang berjalan kaki aku langsung menutup wajahku sebentar. Aku tersenyum juga.
Kuteruskan perjalananku untuk menaiki kendaraan umum selanjutnya.
Kuabaikan keinginanku untuk mampir ke mini market dan membeli sedikit cemilan. Cuaca memang cukup terik, namun pundakku sudah tak kuat
9
membawa beban berat dari tas yang kubawa untuk berjalan lebih jauh lagi. Rasanya sakit sekali.
Di keheningan malammu kubisikkan isi hatiku
Mencoba ‘tuk merayu agar kau jadikanku kekasih di surgamu Meski kutahu diriku tak layak ‘tuk kau cinta
Namun ajarkanku untuk menjadikanmu muara terakhirku Dalam tausiyah cinta kuberharap arti cinta sesungguhnya ‘Tuk temukan makna cinta sejati untuk mencintaimu Dalam tausiyah cinta kuberharap cinta ini abadi Kuberdoa pada Ilahi Rabbi jagalah hatiku
Lagu original soundtrack film Tausiyah Cinta menemani sisa perjalanan
pulangku menuju rumah. Galau adalah kata yang sulit terdefinisi yang mampu mendefinisikan perasaanku saat ini. Untuk sementara waktu aku meleburkan
kegalauan itu dengan tidur, entah mengapa aku merasa lelah sekali dalam perjalanan kali ini. Aku tak peduli bila cara yang ku pilih seperti melarikan diri atau seperti apa? Tapi tak apalah kalau memang benar.
Sesampainya di rumah, ternyata hanya ada adikku di sana. Ibu dan bapak
kebetulan sedang pergi, ke acara pernikahan anak teman bapak, adik menjelaskan. Aku hanya ber-oh ria, namun dia pun berkata tak ikut dengan ibu dan bapak karena menungguku pulang. Aku yang mendengarnya sedikit
10
percaya tak percaya, terlebih di saat aku sampai rumah adalah waktu adik untuk menonton acara televisi kesukaannya. Aku pun segera masuk ke kamar setelah mengacak-acak rambut adik dan memberikannya susu kotak yang sebenarnya kubeli di warung dekat rumah. Untungnya adik tetap merasa senang, hehehe.
Setelah dua minggu kutinggalkan, ternyata kamarku masih terlihat rapih.
Aku langsung ambil posisi tidur di atas kasur. Sejak turun dari bis kota tadi,
kepalaku terasa sedikit pusing. Ingin rasanya memberi kabar kepadanya
tentang keadaanku saat ini, memberitahunya bahwa aku sedang hampir sakit.
Namun segera kuurungkan, itu berlebihan dan tak perlu kulakukan. Lagi pula itu bisa jadi hanya sekedar pusing karena efek perjalanan dan kurang
istirahat saja. Ah, aku mengerti sekarang mengapa golongan darah A dikatakan sedikit ‘lebay’, karena buktinya aku pun seperti ini. Hmm.
Azan maghrib yang berkumandang membuatku terbangun dari tidur.
Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Kamar masih gelap, gordennya pun masih terbuka. Segera kunyalakan lampu dan kututup gorden. Rasa
pusing di kepalaku ternyata belum hilang, buruknya kini aku merasa tubuhku pun sedikit demam. Aku tak berani bercermin dan melihat wajahku yang
mengkhawatirkan karena dipenuhi minyak. Aku langsung saja mengambil handuk kecil, menutupi wajahku dan pergi ke kamar mandi.
11
“Teh, kapan pulang? Udah makan?” itu ibuku yang bertanya, ia baru saja
melihatku saat aku keluar dari kamar mandi. Teh adalah panggilan untuk kakak perempuan dikalangan orang Sunda.
“Tadi sore, Bu. Teteh langsung tidur, hehe. Jadi belum sempet makan. Itu
masak apa?” jawabku seraya mendekati meja makan melihat makanan yang
terhidang di sana. Kebetulan letak kamar mandi dan dapur tidak terlalu jauh.
Ibu hanya diam, sementara aku mengangguk-ngangguk ada ayam goreng dan juga capcay. Oh, iya, Teteh adalah kepanjangan dari Teh.
“Teteh sholat dulu ya, Bu. Biar tenang makannya, hehe,” kataku sambil
berbalik badan dan kembali ke kamar. Biasanya aku berkata makan dulu biar
sholatnya tenang, namun kali ini aku berkata sholat dulu biar makannya tenang. Sudah terlanjur wudhu, lebih baik mengawalkan sholat.
21.31
Jum’at 22 April 2016
Selamat malam Bandungku. Sungguh harihariku akan baik-baik saja meski tanpa dia. Jika tidak,
maka
aku
pasti
keliru
karena
telah
menganggap dia satu-satunya kebahagiaan dalam hidupku.
Sungguh
aku
sangat
keliru
bila
menganggap dia sebagai satu-satunya yang bisa membuatku
tertawa,
yang
tersenyum.
12
bisa
membuatku
Selamat malam Bandungku. Maaf jika selama ini aku ‘buta’ sehingga tak melihat bagaimana kehadiran sosok ibu, bapak dan juga adik dalam hidupku adalah alasan yang besar mengapa aku bisa tersenyum dan tertawa hingga detik ini. Kehadiran
sahabat-sahabatku,
kawan-kawanku
dengan segala perhatian yang mereka berikan pun aku begitu abai. Selamat malam Bandungku. Ternyata banyak sekali nikmat yang telah Ia berikan kepadaku namun satu-persatu luput begitu saja dari rasa syukurku.
“Bu, Teteh putus sama dia,” kata-kataku meluncur begitu saja dihadapan
Ibu. Ibu yang sedang mengiris wortel langsung menghentikan aktivitasnya dan memandangku.
“Putus? Putus kenapa, teh?”
“Putus aja, bu. Teteh ga mau pacaran lagi, cape.”
“Cape? Pingin langsung nikah aja yah? Hehehe,” Ibu malah menggodaku,
ia kembali melanjutkan mengiris wortel-wortelnya. “Eh, ibu mah.........”
13
“Iya ga apa-apa, teh. Ibu juga ngerti. Teteh udah dewasa, bisa menentukan
mana yang baik dan buruk buat teteh. Apa yang teteh pilih udah bener, kok. Tugas teteh sekarang cuma lebih mendekatkan diri sama Allah, minta sama
Allah biar teteh segera dipertemukan dengan jodoh teteh yang sebenarnya. Yang serius pasti ngajak nikah teh, bukan pacaran. Lagi pula pacaran bisa
menghalangi pemuda yang lebih shaleh buat dateng ke rumah loh, teh. Hehehe,” ibu mengatakan semua itu sambil mengiris wortel, namun diakhir kalimat ia tersenyum memandangku.
“Ih, ibu mah, hehehe. Makasih, Bu,” kupeluk tubuhnya erat. Aku cukup lega
setelah menceritakan semuanya kepada ibu. Terima kasih, Bu.
07.27
Sabtu, 23 April 2016
Selamat pagi, Bandungku. Terima kasih untuk semuanya. Aku akan membuka lembaran baru untuk hidupku yang lebih baik dari sebelumnya. Bismillah....... Selamat pagi
14
Tentang Penulis
H
ania Afanin merupakan nama pena dari Rofi Urrohmah Sutrisman. Penulis yang lahir di Bandung
tanggal
11
Januari
1995
ini
merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Penulis juga
merupakan alumni MA PERSIS 31 Banjaran tahun 2013.
Saat ini penulis aktif kuliah di Universitas
Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Guru Sekolah
Dasar. Meski berkuliah dibidang keguruan, menjadi seorang penulis merupakan salah satu cita-citanya.
15