Akankah hari-hari menyenangkan yang telah berlalu bisa kembali lagi?
A Novel By
Andi Tenri Ayumayasari
Kisah tentang delapan anak kecil yang menghabiskan waktu bermain dan bersenangsenang bersama. Hingga suatu hari salah satu anak perempuan dalam kelompok itu meninggal dalam kecelakaan. Empat Tahun berlalu, Ke tujuh anak lainnya telah beranjak remaja, terus menjalani hidup dan berjalan sendiri dijalan masing-masing. Hingga suatu hari muncul seorang gadis aneh bernama Mikasa Zwart. Kehadirannya membuka kembali kotak pandora dari ingatan paling menyakitkan tentang kecelakaan di hari hujan empat tahun yang lalu. Tak Hanya itu, Mikasa bahkan mencoba menyatukan kembali Ke tujuh sahabat masa kecil itu. Usaha yang dilakukan Mikasa seperti membuka luka baru dan mengorek-ngorek luka lama yang sekuat tenaga ingin mereka buang. Sebuah ikatan yang putus, sanggupkah disatukan lagi, meskipun itu berarti harus berjalan diatas duri?
2
Selanjutnya akan kuperkenalkan tokoh utama di Novel ini : 1. Mikasa Zwart : murid pindahan SMA 45. gadis berambut pendek yang selalu ceria tapi misterius. 2. Bisma Rood : cowok kaya raya, tampan, populer, jagolah raga, pintar, pendiam dan selalu bersikap dingin. Ia adalah siswa nomor 1 dari SMA 45. 3. Rangga Groen: Cowok berkacamata yang punya kebiasaan memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. Selalu rapi, disiplin dan menjabat sebagai anggota dewan kedisiplinan SMA 45. 4. Rafael Purper: cowok bertubuh tinggi, pintar tapi malas melakukan apapun dan suka sekali makan makanan manis. Ia bersekolah di SMA 45. Tidak pernah bisa akur dengan Rangga. 5. Reza Blauw: kakak, sekaligus saudara kembar dari Ilham Indiego. Dia jagoan dan pemimpin berandalan dari SMA 17 tapi sangat sopan terhadap wanita. 6. Ilham Indiego: Adik sekaligus saudara kembar Reza Blauw, dia jagoan dan pemimpin berandalan SMA 45. Ia 3
mendapatkan kesenangan dari berkelahi namun perkelahian yang dilakukannya adalah untuk menjaga keamanan siswa SMA 45. 7. Dicky Geel: vokalis, anggota band SMA 17. Cowok tampan berambut pirang, blasteran Indonesia Jerman. Playboy 8. Chiel Oranje: Gadis pirang keturunan inggris. Pemarah dan selalu berusaha eksis. Senang bergaul dengan gadis-gadis populer.
4
Memori 1
Dia yang namanya tak disebut
“Jangan ikuti aku lagi! Kamu ini benar-benar penganggu!” suara anak laki-laki terdengar marah. “Jangan muncul didepanku lagi! Aku tidak mau melihatmu lagi! Jelek! Pengganggu!” teriaknya penuh amarah. Nafasnya memburu dan wajahnya yang putih berubah memerah. “Bicaramu kasar sekali.” Dua anak laki-laki berumur 11 tahun saling pandang dengan tangan terkepal bersiaga mengayunkan tinju. Sementara 4 anak lain mengerumuni dan berusaha melerai. “Sudah jangan bertengkar.” Suara pelan dari seorang anak laki-laki terdengar tak senang. “Ini gara-gara kamu! Aku benci padamu!” seorang gadis kecil berkacamata berlari menjauh disusul seorang anak perempuan bergaun merah terang, rambutnya yang hitam panjang tergerai tertiup angin. “Tunggu!” teriaknya “Awas!!!” seorang anak laki-laki berkaca mata mengulurkan tangannya. Suara dentuman keras diiringi suara ban mobil yang berdecit saat dipaksa berhenti dalam kecepatan penuh,
5
meninggalkan jejak berbau terbakar diatas aspal. Kap mobil berwarna merah, ringsek menabrak tiang listrik dan terotoar. Asap hitam kecil membumbung dari api yang keluar dari sela-sela mesinnya. Angin sore berembus membawa bau darah yang mengalir membasahi aspal, bersatu dengan sinar jingga matahari yang tenggelam.
*** Sepasang mata seorang pemuda mengerjap-ngerjap saat cahaya pagi menyinari dari balik tirai yang tertiup angin. Tubuhnya tersentak seperti disetrum listrik. “Mimpi itu lagi.” Gumamnya. Setiap kali aku menutup mata, aku tidak pernah bisa melupakan kejadian itu, batinnya. Inilah saat dimana ia ingin tidur lagi, setiap kali mimpi itu datang, yang ia rasakan adalah sakit, tapi bersamaan dengan itu ia juga merasakan kerinduan yang amat mendalam. Mimpi buruk itu seperti penyiksaan, namun berarti juga sebuah penebusan. “Hari ini aku harus ke Sekolah.” Katanya pelan pada dirinya sendiri.
SMA 45, Sebuah sekolah swasta yang dibangun diatas tanah seluas 5 hektar. Tinggi bangunan terdiri dari 3 lantai dengan dua kompleks gedung yang terhubung oleh tangga dan koridor. Ruang-ruang kelas mampu menampung setidaknya 1000 siswa disetiap angkatannya. Fasilitasnya juga lengkap, terdiri dari aula olah raga, kolam renang, lapangan sepakbola, taman, perpustakaan besar dan kantin yang luas. Seragamnya terdiri dari satu setelan jas berwarna hitam, 6
seragam putih dan dasi biru tua. Selain itu sekolah ini juga menerapkan aturan yang cukup ketat terdiri dari standar nilai dalam ujian penerimaan siswanya. Bahkan jika ada siswa yang akan pindah ke SMA 45, mereka terlebih dahulu harus mengikuti ujian masuk, barulah setelah nilainya mencukupi untuk lulus, ia bisa menjadi siswa di SMA tersebut. Selain itu SMA 45 juga melarang siswanya untuk memakai kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Siswa hanya diperbolehkan memakai kendaraan sepeda dan menyediakan bus antar jemput. Dari meskipun sekolah ini masih baru, namun sudah memiliki nilai lebih dikalangan masyarakat.
Bisma Rood, pemuda tampan, bertubuh tinggi 170 cm atletis, mata sipit nan tajam dengan sebuah titik tahi lalat hitam disudut kanan bawah matanya, rambutnya cokelat lurus pendek runcing, ia turun dari mobil hitam tepat didepan pintu gerbang sekolah. “Hari ini aku akan latihan basket sampai sore. Kau tidak perlu menjemputku.” Suara pemuda itu berat namun terdengar begitu tegas saat ia berbicara pada supirnya. Bisma adalah tipe orang yang sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Ia selalu bersikap tenang namun angkuh. Tak berlebihan memang karena ia dilahirkan di keluarga kaya raya, ia pintar dalam pelajaran dan olah raga. Sejak kecil ia menerima banyak pelatihan baik dirumah maupun disekolah. Semua itu karena Bisma adalah anak tunggal dari keluarga Rood dan ialah yang akan menjadi ahli waris perusahaan ayahnya kelak. Meskipun telihat sombong, Bisma tidak seperti kebanyakan anak orang kaya lainnya yang membanggakan dan memamerkan harta. Bisma selalu 7
bersikap kalem dan dingin. Ia selalu bersikap seperti orang yang diberkahi. Karena itu banyak yang mengaguminya. Ia lantas berjalan masuk bersama murid-murid lainnya. Gadis-gadis muda yang berjalan dan berpapasan dengannya nampak berkilau-kilau matanya menatap Bisma yang berjalan tenang. SMA 45 pagi itu mengadakan upacara pembukaan dimulainya semester kedua. “Yo! Kamu datang juga Bis.” Dari arah kanan, seorang pemuda bertubuh 180 cm berjalan santai mendekati Bisma. Pemuda itu sesekali menaikkan kacamata berbingkai putih yang sedikit melorot dari hidungnya. Rambutnya berwarna cokelat lurus sedikit panjang hingga ke telinga dan menutupi bagian atas alisnya. Ia adalah Rangga Groen teman dekat Bisma. “Maksudmu apa?” “Nggak, maksud aku ini cuma upacara pembukaan.” “Hari ini klub basket mulai latihan lagi, kamu kan tahu aku bukan tipe orang yang suka malas-malasan.” Bisma memperlihatkan bola basket yang sedari tadi diapit disamping tubuhnya. “Iya juga sih, meski baru kelas satu tapi ada baiknya mulai memikirkan ujian kenaikan dan ujian masuk universitas dari sekarang.” Rangga dan Bisma berjalan beriringan. Bisma men-drible bola oranye itu sembari memasuki lapangan sekolah. “Bis, lebih baik kamu tahan dulu hasratmu main basket, kalau ada yang terkena bola bagaimana?” Protes Rangga. Rangga dan Bisma memiliki latar belakang keluarga yang hampir sama. Berbeda dengan Bisma yang dingin dan pendiam, Rangga cenderung bersikap lebih kaku dan benci segala sesuatu yang tidak pada tempatnya, dia juga selalu 8
saja cerewet dan memprotes orang-orang yang tidak teratur. Ia adalah tipe orang yang senang jika semua keadaan terencana dan sangat benci pada orang yang bermalas-malasan. Rangga adalah orang yang berbakat, pintar tapi juga pekerja keras. Bisma hanya melirik dengan ujung matanya yang tajam seolah ia tak senang diprotes. Bisma tak melihat bola yang dipantulkannya mengenai kerikil kecil. Mengubah momentum bola basket yang seharusnya lurus kembali ke tangannya justru berpindah arah karena gesekan dengan kerikil. Bisma kehilangan kendali bolanya dan sukses mengenai bahu seorang gadis yang berada tak jauh darinya. Gadis itu jatuh terduduk diatas rumput hijau yang sedikit berembun. “A…duh.. duh!” gadis itu meringis memegangi bahu kirinya “Tuh kan, baru saja aku bilang.” Rangga berlari mengejar bola Bisma sebelum ada lagi yang terkena. “Sorry, aku tidak sengaja. Kamu baik-baik saja?” Bisma mengulurkan tangan pada seorang gadis berambut pendek sebahu. Mata bulat cokelat gadis itu beradu dengan manik mata Bisma yang dingin nan tajam. Gadis itu mengulurkan tangan menerima bantuan dari Bisma. Saat tangan mereka bersentuhan, sekelebat angin tiba-tiba datang dari arah belakang gadis itu, membuat rambut pendeknya yang melengkung kedalam, tergerai liar. Poninya yang lurus menutupi alisnya bergerak-gerak. Untuk sesaat waktu seolah berhenti. Tak ada sekolah, tak ada rerumputan, tak ada murid-murid SMA. Yang ada adalah mereka berdua ditengah tanah lapang.
9
Bisma seolah masuk kedalam alam bawah sadarnya, membuka kotak ingatan yang selama ini terkunci rapat. Dug!Dug!Dug! suara seperti benda memantul menggema. Seorang bocah laki-laki tengah mendribel bola didepan sebuah ring basket. Dengan gerakan lembut ia melompat dari area Three point. “Sial!” keluhnya saat bola itu meleset. “Aduh! Sakit!” suara seorang gadis kecil meringis. Anak laki-laki itu segera berlari ke sumber suara. Disana seorang gadis berkulit putih dengan gaun merah tua tengah duduk memegangi kepalanya. “Maaf aku tidak sengaja.” Katanya membantu gadis mungil berambut panjang sepinggang itu berdiri. “Um, tidak apa-apa kok.” Gadis itu tersenyum, matanya yang sipit mengatup dan melengkung seperti bulan sabit. Bisma tersentak dan seketika tersadar dari lamunannya. “Anuuu…” Gadis itu nampak heran dengan ekspresi Bisma yang tampak melamun. Bisma beradu pandang dengan sepasang mata cokelat muda, dilihatnya kulit putih pucat milik gadis itu. Untuk sesaat ia sedikit mematung dan darahnya serasa terkesiap. Itu tadi apa? Mimpi? Atau… Bisma membatin seraya menatap gadis itu seolah pernah bertemu dengannya sebelumnya. “Bisma ‘kan?” suara gadis itu keluar spontan bahkan tanpa kesadaran dari si empunya.
10
“Umm iya.” Bisma terkejut saat gadis itu mengenalinya, sementara ia sendiri kebingungan, dan sama sekali tak merasa mengenal gadis itu. “Wah lama nggak ketemu. Kamu jadi lebih tinggi sekarang.” Gadis itu tersenyum lebar sambil menarik tangan mencoba menyamakan tinggi dengan Bisma. Gadis itu hanya sebatas bahu Bisma saja tingginya. Ia masih memamerkan deretan gigi putihnya ekspresi gembira. Rona merah hangat muncul dipipinya. Matanya semakin melebar pertanda ia amat antusias dengan pertemuan ini. Namun Bisma sendiri mengeryitkan kening, berusaha menggali ingatan, mencari tahu dimana ia pernah bertemu gadis itu. “Anu, apa kita pernah bertemu sebelumnya? kamu siapa?” tanyanya saat usahanya mengingat tak mendapatkan hasil apa-apa. “Aku? Ah masa kamu lupa sih, aku ini kan…” gadis yang tadinya tersenyum lebar itu sedikit tertegun bingung. “Aku siapa ya?” ia malah bingung sendiri, membuat Bisma berfikir gadis itu adalah gadis yang aneh. “Coba tebak?” tanyanya usil. “Bisma ayo masuk.” Teriak Rangga sembari melemparkan bola basket yang langsung diterima Bisma, saat bel terdengar. Bisma berjalan meninggalkan gadis itu. “Kenalanmu?” Tanya Rangga melirik sekilas gadis yang tadi terkena bola Bisma. “Entah.” Bisma nampak tak peduli, lebih tepatnya ia berusaha tak peduli. Meskipun ada perasaan aneh yang ia rasakan saat sepersekian detik melihat kedalam mata gadis itu. Gadis yang aneh. Pikir Bisma.
*** 11
Rangga tengah duduk didalam kelas menanti pelajaran berikutnya saat Pak Anton, guru wali kelas masuk. Guru bertubuh tegap, berkepala plontos dengan jersei olah raga hijau kuning dilengkapi peluit berwarna merah itu berjalan diiringi seorang gadis bermabut pendek. Murid pindahan, tak berarti apa-apa bagi Rangga. Dia adalah orang asing yang tiba-tiba masuk kedalam sebuah tatanan lingkungan sosial. Kegemparan akan kedatangannya hanya akan seperti kembang api yang meluncur, meledak lalu menghilang tanpa jejak. Beberapa suara dari teman-temannya mulai berbisik, tepatnya mereka mengamati dan menilai objek baru yang masuk kedalam ekosistem kecil ini. A, gadis yang tadi pagi. Batin Rangga mengangkat wajah. “Hari ini akan ada tambahan di kelas 1-3, dia adalah pindahan dari Amerika.” Suara riuh langsung terdengar saat pak Anton menyebut asal gadis itu. Mereka berbisik satusama lain membicarakan pendatang baru yang cantik nan manis. “Selamat siang semua. Namaku Mikasa Zwart, senang bertemu kalian.” Gadis itu membungkuk dan tersenyum. Matanya sekilas beradu dengan Rangga yang duduk dengan ekspresi tegang. “Mikasa, kamu bisa duduk di bangku kosong sebelah sana.” Tunjuk pak Anton. Rangga masih tak bisa menahan degub jantungnya saat menyadari gadis itu sedikit tersenyum dan mengambil tempat didepannya. Suara itu, bagaimana mungkin Rangga melupakan suara itu. Degub jantung dan desiran darah Rangga tak bisa berbohong, Rangga terkejut. Meski sedikit lebih dewasa tapi 12
ia amat yakin dengan suara yang ia dengar. Suara itu berasal dari seseorang dimasa lalunya. Bahkan hanya dengan seuntai kata itu saja sukses membuat nafas Rangga menjadi sesak. Untuk sesaat ia menaikkan kacamatanya dan menarik nafas melalu hidung dengan perlahan dan ia buang melalui mulut. Hal itu ia lakukan beberapa kali hingga ia merasa tenang. Sementara Mika yang melihat Rangga bersikap tegang sedikit memiringkan kepala dan mengerutkan kening. “Apa ada yang aneh dengan wajahku?” suara Rangga terdengar tegas. “A, eh, nggak.” Mika mengambil tempat didepan Rangga. Suara dan hawa keberadaan gadis itu, begitu kental mengingatkan Rangga pada seseorang yang dulu dikenalnya.
*** Jam dinding besar yang terpasang didepan gedung menunjukkan pukul 4 sore. Tim basket SMA 45 baru saja mengakhiri latihannya dengan membersihkan lapangan dan bola. Bisma berjalan keluar aula olah saat dengan menenteng tas olahraga dipundaknya. “Kamu yang tadi pagi.” Ucap Bisma saat menatap Mika, gadis yang tadi pagi terkena bolanya. Bisma sedikit terkejut karena tiba-tiba gadis itu sudah berdiri didekatnya. “Anu, aku mau minta maaf.” “Untuk?” mata Bisma mendelik sinis, sejenak ia merasa tak nyaman dengan gadis itu. Seolah ada sesuatu yang benar-benar aneh yang membuat perasaannya tibatiba gelisah.
13
“Tadi pagi udah bicara aneh dan sok kenal, aku benar-benar minta maaf.” “Oh, tidak usah dipikirkan.” Bisma berjalan cuek melewati Mika. “Aku hanya merasa kita pernah ketemu sebelumnya, makanya tanpa sadar aku malah menyebut nama kamu. Kamu pasti mikir aku ini cewek aneh ya. Aduh pasti gitu kan? Ohya kenalin nama aku…” “Berisik.” Ucap Bisma dengan nada tegas matanya mendelik tajam kearah Mikasa “Eh?” Mikasa sedikit terkejut. “’Kan aku sudah bilang tidak usah dipikirkan.” Tatapan mata Bisma terlihat dingin dan sinis. “Aku juga tidak memikirkan apa-apa tentangmu. Dasar aneh.” Ucap Bisma sambil melangkah santai meninggalkan Mika yang sedikit tertegun. “Namaku Mika!!! Ingat itu ya!!!” teriak gadis itu. “Uahh, sadis banget.” Keluh Mika menatap kepergian Bisma. “Padahalkan dulu dia anak baik, berubah banget.” Ucapan itu tanpa sadar keluar dari bibir Mika. “Apa maksudnya ini?” Rangga yang sejak tadi berdiri bersembunyi dibalik tembok menampakkan diri saat Mika sudah berjalan dan menghilang dari pandangan. “Berubah? Apa dia kenal Bisma sebelumnya? Wajah itu…, dan Bisma? Apa maksudnya ini.” Rangga mengeryitkan kening bingung.
*** Suara jangkrik terdengar nyaring siang itu dibawah terik panas matahari. Hijaunya rerumputan bergerak-gerak melambai terkena angin bulan juni. Disanalah diantara 14
rimbunnya pohon kesemek sebuah sekolah dasar swasta, Niji Elementary School berdiri dengan catnya yang berwarna biru muda. Nampak anak-anak kecil hilir mudik menghabiskan waktu istirahat siang mereka. “Mana uangmu. Sini!” seorang bocah bertubuh gempal berdiri menghadap seorang anak kecil usia 8 tahun yang berdiri tegang dibawah sebuah pohon beringin belakang sekolah. Rangga, ia adalah Rangga kecil yang saat itu duduk dibangku kelas 4 SD. “Ayo cepat, kamu itu anak orang kaya pasti uang jajanmu banyak ‘kan?” seorang anak lain bertubuh tinggi menarik dasinya. Jelas kedua anak itu memang bertubuh lebih besar. Mereka adalah anak kelas 6 dengan kebiasaan buruknya, yakni senang menindas dan memeras anak yang lebih kecil dan tampak lemah. “Aku tidak bawa uang.” kata Rangga takut dan cemas. “Dasar empat mata!” hardik si gendut sambil mendorong bocah itu, tak cukup dengan itu, ia juga merebut kacamata dan menginjaknya hingga kacanya retak. “Kau pasti bohong!” teriak anak satunya sambil memukul anak itu. “Aku tidak bohong.” Bocah berkacamata itu berusaha mengambil kacamatanya. Penglihatannya amat buruk, semua nampak buram tanpa bantuan kacamatanya. “Aaa! kalian sedang apa disana!!!” suara gadis kecil berteriak. Mata Rangga yang buram hanya bisa menangkap bayangan berwarna merah yang berlari mendekat. “Kamu anak perempuan jangan ikut campur!” teriak si gendut marah. “Mau aku pukul juga kau? Hah?” anak bertubuh tinggi yang satunya maju dengan tangan terkepal. 15
“Kalian yakin?” seorang anak laki-laki dengan topi merah berjalan santai. “Sebentar lagi bu guru akan datang loh.” Ia santai. “Bisma! Kamu lama.” Gadis kecil tadi memonyongkan bibir dengan wajah cemberut. “Awas kalian ya! Akan kami ingat ini!” ancam keduanya sambil berlari menjauh. “Hei, kamu nggak apa-apa?” gadis kecil itu menyerahkan kacamata yang salah satu cerminnya retak pada Rangga. Pandangan Rangga yang tadinya buram kini mulai jelas. Seorang gadis cantik nan mungil, berkulit pucat tersenyum lebar kearahnya. Kulitnya putih pucat kontras dengan baju dress selutut merah menyala yang ia kenakan. Rambut gadis itu berwarna hitam legam dan menjuntai panjang hingga kepinggangnya. “Kacamata itu cocok sekali denganmu.” Celetuk gadis itu. “Ya ampun, kenapa kau tidak melawan mereka sih.” Suara anak laki-laki bertopi merah terdengar tak senang. Rangga menatap bingung anak laki-laki yang berjalan santai kearahnya. “Namamu?” Tanya gadis kecil itu. “Rangga Groen.” Rangga berdiri sambil menepuk debu dicelananya. “Aku Bisma Rood.” Bocah bertopi memperkenalkan diri. “Nah karena tadi aku sudah menyelamatkanmu, mulai sekarang Rangga adalah pengikutku. Ya ‘kan?” gadis kecil itu tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Hah? Pengikutmu? Kau lupa bosnya itu aku!” Bisma berteriak. 16
“Kalau begitu aku adalah ratunya.” Gadis kecil itu menyipikan matanya. Tersenyum menawan. Mata Rangga terlihat berkilau-kilau menatap kagum pada gadis mungil berbaju merah yang berdiri dihadapannya. “Ratu? Hah? Ratu dari mananya?” Bisma mengepalkan tangan dan menepuk kepala gadis kecil itu. “Aa sakit tau!” “Anu, namamu siapa?” Dengan senyum secerah mentari, “Aku? Namaku…”
KRING!!! KRING!!! Rangga tersentak kaget. Jam weker di meja samping tempat tidurnya sukses membuatnya terjaga. Pemuda itu mengucek ujung matanya. Ia sempat tertegun sejenak dan tanpa sadar mengusap titik air yang terjatuh dari ujung matanya. “Air mata ya?” Rangga tersenyum sinis, namun raut kesedihan tercetak jelas dari wajahnya. Kenapa aku memimpikan kejadian itu? Tanya Rangga dalam hati.
*** “Kamu kenapa?” tegur Bisma saat Rangga terlihat termenung. Keduanya tengah duduk disalah satu meja dikantin sambil menikmati seporsi pasta daging dan jus melon. “Nggak, nggak apa-apa.” Rangga melepas kacamatanya sambil mengucek kedua ujung mata dengan telunjuk dan jempol kanannya. “Aku gabung ya.” 17
“Prffffff!!!” Bisma menyemburkan minumannya. “Kamu?” seru Rangga. “Heheh?” Mika entah dari mana muncul sambil membawa nampan berisi makan siangnya. “Meja yang lain sudah penuh, tapi disini kosong. Nggak apa-apa kan?” “Lakukan saja sesukamu.” Bisma cuek. Pemuda itu masih dengan tatapan dinginnya. “Hei, Bisma, apa kita pernah bertemu sebelumnya ya?” Mika berujar sambil memakan nasi goreng pesanannya. “Entah, siapa peduli.” Bisma cuek “Mmmm…” Mika nampak cemberut. “Aaa! Itu penjaga kantin itu, dia menambahkan kol dan wortel ke nasi gorengku. Padahal tadi sudah kubilang. Aku tidak suka.” Keluh Mika menyingkirkan sayuran ke pinggir piring. Bisma seperti mengalami de javu. Ia pernah mengalami kejadian seperti itu. Seorang gadis berbaju merah menyala yang sedang memakan nasi goreng mengeluh karena ada banyak sayuran dimakanannya. “Sayuran mengandung zat besi. Itu bagus untukmu. Liat kulitmu pucat begini.” Bisma menarik pipi gadis kecil itu. “Tapi, nggak enak.” Sahut gadis kecil itu dengan ekspresi tak suka. “A… apa yang aku lakukan.” Bisma sadar dari lamunannya. Ia menatap tangannya yang masih mencubit pipi Mikasa. Bisma cepat-cepat melepaskan tangannya. Ia nampak bingung, mencampurkan kenangannya dengan kenyataan. Tidak ada gadis kecil berbaju merah, yang ada adalah Mikasa, gadis berambut pendek yang baru ia temui kemarin.
18
“Anu, kamu baik-baik aja?” Mika nampak bingung dengan tingkah Bisma. “Hah, selera makanku hilang.” Bisma menggeser kursi hendak pergi. “Makananmu ‘kan memang sudah habis.” Celetuk Mika. “Pfffff!” Rangga tanpa sadar menutup mulut menahan tawa. Bisma nampak tak peduli dan langsung melenggang pergi. “Tunggu!” Rangga beranjak pergi menyusul Bisma. “Oi Bisma, kamu tadi bersikap aneh sekali.” “Ah, aku juga merasa begitu.” Pemuda itu berhenti sejenak menatap telapak tangannya. “Cewek itu membuatku tiba-tiba teringat dengan dia.” Tatapan mata Bisma yang dingin berubah menjadi ekspresi sedih. Rangga paham betul yang Bisma maksud dengan “dia” itu. “Mending, kamu jangan berurusan dengan cewek itu lagi.” “Ya, kamu benar.” Bisma melangkah meninggalkan Rangga. Pemuda itu menatap punggung Bisma yang perlahan menjauh, berjalan di lorong sekolah yang ramai, berbaur dengan siswa lainnya. “Ah gawat, aku lupa kacamataku.” Rangga seolah sadar karena kebiasaannya mengangkat gagang kacamata yang melorot. Cepat-cepat pemuda itu kembali kekantin. “Loh? Nggak ada.” Rangga menatap meja kosong dihadapannya. Tak ada kacamata berbingkai putih miliknya. Pemuda itu sempat menengok kebawah meja namun tak ada jejak. Ia menanyakan pada beberapa siswa namun tak ada yang melihat kacamatanya. “Haa aah, hilang.” Keluh Rangga berdiri menghadap jendela yang berbaris di sepanjang koridor. Koridor lantai 19
satu itu menghadap kearah taman kecil yang menjadi pengantara dua gedung yang slaing berhadapan. Tatapan Rangga tertuju pada bunga tulip kecil yang berada pada sisi berlawanan dengan jendela dekat gorong-gorong. “Mencari ini?” Sebuah uluran tangan membuat Rangga tersentak kaget. Kacamata yang dicarinya terulur tepat berada didepan hidungnya. Mikasa dan Rangga berdiri saling berhadapan, yang menjadi jarak diantara mereka hanyalah tembok dan jendela yang kacanya terbuka. “Kamu?” “Nggak sopan ya. Namaku bukan “kamu”, namaku Mika. M-I-K-A, Mika.” Protes gadis itu. “Ah, thanks.” “Ngomong-ngomong kamu kok bisa jalan bebas tanpa kacamata itu tadi. Aneh.” “Eh?” “Perasaan penglihatan kamu buruk banget, nggak bisa lihat apa-apa tanpa kacamata ‘kan? harusnya tadi kamu jalan sambil raba-raba, minimal nabrak orang gitu, hmmm mencurigakan.” Mika memegang kusen jendela, berjinjit berusaha menatap mata Rangga, jarak kedua wajah itu amatlah dekat hingga Rangga harus mundur satu langkah. “Jangan-jangan kacamata itu cuma gaya-gayaan ya? Iya ‘kan? Kamu pake lensa kontak ‘kan?” tuduh Mika. “Huh, bukan urusanmu.” Wajah Rangga agak malu karena tuduhan Mika memang sangat jelas. “Nggak ada salahnya juga sih pake kacamata sebagai gaya-gayaan. Katanya, orang yang pake kacamata itu ‘kan pintar.” “Aku tidak memakainya untuk terlihat pintar, aku ini memang pintar.” Rangga mengambil kacamata dari tangan Mikasa dan memakainya kembali. 20
“Haha seperti biasa, percaya diri sekali.” “Kacamata ini adalah lucky item milikku.” Ia meraba kacamata yang dulunya adalah hadiah dari seseorang yang amat berharga baginya. Karena itu meski memakai lensa kontak, ia akan tetap memakai kacamata itu. “Lucky item? Heheh aneh ya.” Celetuk Mika tersenyum. Matanya melengkung indah seperti bulan sabit. Rangga sejenak tertegun pada senyuman ceria yang mengingatkannya pada seorang gadis dari masa lalunya. Gadis berbaju merah yang selalu ceria dan tersenyum riang. Ia teringat kejadian dibawah pohon belakang sekolah beberapa tahun yang lalu. “Kacamata itu cocok sekali denganmu.” Kata-kata gadis berbaju merah itu persis sama dengan kata yang baru saja diucapkan oleh Mika. “Aku pergi dulu ya.” Pamit Mika berlari menjauh. Tangan Rangga terangkat berusaha mencegah, mulutnya terbuka hendak memanggil. Tapi tak ada suara. Ia hanya mengulurkan tangan tanpa bisa memanggil nama gadis yang harusnya ia panggil. rasanya persis seperti kejadian 4 tahun yang lalu disebuah perempatan didepan taman kota. Ia hanya menatap takut dan mengulurkan tangan tanpa bisa bersuara. Ia ingin, tapi tak bisa menyebut dia yang namanya tak seharusnya disebut.
***
21
Memori 1 Selesai!!! Tertarik membaca memori 2? Silakan pesan novelnya : Format Pemesanan :
Nama lengkap:
Alamat lengkap : nama jalan/ No.rumah/ RT/RW/ Kelurahan/ Kecamatan/ Kota/Provinsi/ kodepos
No. Tlp/HP:
Judul buku/Jumlah buku yang dipesan:
format pemesanan dikirim ke: (*pilih salah satu
22
089 643 222 634 Himetenry
(SMS)
[email protected]
(email)
(LINE)