BAB 9 MEMBURU RENTE SEBAGAI PARASIT PEMBANGUNAN “Di kebun tetangga ada pohon rambutan Yang entah mulai kapan, salah satu cabangnya ditumbuhi benalu Ketika parasitnya kecil, cabang itu masih berbuah Maka pohon itu dibiarkan tetap hidup Waktu pun berlalu Parasit menguasai semua cabangnya Si pohon tidak lagi berdaun, apalagi berbuah Ia telah berubah menjadi pohon benalu Tidak sedikit pun karakter rambutan yang tersisa Kecuali etos kerja akar-akarnya Sayangnya, semua sia-sia Karena benalu, si penguasa, selalu melahap semua hasil jerih payahnya” (Rambutan Berbuah Benalu – 17 Agustus 2013)
Puisi di atas adalah sebuah metafora yang saya gunakan untuk menggambarkan, secara ringkas, kasar, dan oleh karena itu, tidak sempurna, tentang Perilaku Memburu Rente (PMR) atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai Parasit Pembangunan. Seperti parasit, ketika dibiarkan, tumbuhan benalu ini tidak hanya akan tumbuh semakin besar, tetapi juga menguasai (mengkooptasi) atau bahkan mengambil alih (mengakuisisi) pohon induk secara keseluruhan. Dalam penyelenggaraan negara, birokrasi pemerintahan yang kleptokratik atau pun parasitik, apabila tidak dilakukan reformasi, akan mengalihkan tujuan negara yang bersangkutan ke tujuan yang dikendalikan oleh para kleptokrat dan kroni-kroninya. Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah benalu macam apakah kira-kira yang akan atau malahan sudah membelokkan atau
PARASIT PEMBANGUNAN
mengubah tujuan Kota Adikarta atau Negara Indonesia, yang ‘seharusnya’ berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945? Pemaparan perilaku memburu rente sebagai parasit pembangunan ini saya diawali dengan daya tarik luar biasa yang ditunjukkan oleh berbagai agensi, khususnya individu dan rumahtangga, dari ranah negara, publik, dan pasar. Mereka tidak raguragu untuk memamerkan status sosial ekonomi (SSE) secara mencolok di ruang sosial dalam bentuk rumah yang mereka bangun, kendaraan yang mereka beli, serta perilaku konsumsi lainnya. Gaya hidup di atas rata-rata itu tentu saja mendorong orang lain untuk mempelajari karakter mereka, khususnya pekerjaan atau lebih sederhananya cara mendapatkan kekayaan itu. Berbagai agensi (individu, rumahtangga, perusahaan, organisasi) yang paling sering mendapat sorotan masyarakat adalah mereka yang bekerja di ranah negara. Sejak jaman kerajaan sampai sekarang, pekerjaan sebagai ‘abdi negara’ ini menduduki rangking tertinggi dalam preferensi para pencari kerja. Akibatnya, masyarakat secara umum bersedia melakukan segala cara untuk mengegolkan keinginan memperoleh ‘status’ itu melalui persaudaraan, pertemanan, kongkalikong dan bahkan suap menyuap atau KKN. Perilaku individu yang menciptakan efek demonstrasi atau menular secara luar biasa ini dihubungkan dengan teori perilaku dalam psikologi oleh Albert Bandura (dalam Santrock, 2003). Pada saat yang sama, studi ini telah menunjukkan bahwa PMR atau KKN itu, khususnya di aras meso dan makro, terjadi sebagai kerjasama antara beberapa agensi dari dan dalam berbagai ranah. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial bisa dan telah menjadi sarana bagi terjadinya transaksi memburu rente. Pertanyaan yang muncul dan ingin dijawab dalam seksi ini adalah: ‘bagaimana modal sosial bisa dan telah memfasilitasi terjadinya perilaku memburu rente itu?” Beberapa penulis, seperti Field (2003) dan Warren (2008) menyebutnya sebagai sisi gelap modal sosial (the dark side of social capital). Kemudian, setelah dicermati dan ditelusuri lebih lanjut, pengertian atau konsep tentang modal sosial ternyata memiliki jiwa 262
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
yang sama dengan konsep lembaga. Oleh karena itu, perilaku memburu rente atau KKN lalu dibahas lebih lanjut sebagai masalah kelembagaan. Topik ini menjadi inti diskusi dalam seksi ketiga. Akhirnya, seperti telah disinggung di awal, bab 9 ini kemudian ditutup dengan semacam rangkuman atau kesimpulan bahwa perilaku memburu rente atau KKN itu menghasilkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat, maka ia disebut sebagai parasit pembangunan. Karena, ia, ketika dibiarkan, pada akhirnya akan menyedot semua sumberdaya masyarakat untuk mencapai tujuan mereka sendiri.
MEMBURU RENTE DAN TEORI PERILAKU Model Bandura (1991 dalam Santrock, 2003) tentang “Pengaruh Timbal Balik antara Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognisi, dan Lingkungan” kiranya bisa menjadi salah satu teori yang tepat untuk menjelaskan perilaku manusia dalam memburu rente. Bandura mengilustrasikan hubungan antara ketiga (kelompok) variabel itu ke dalam gambar 9.1. P[C] adalah Faktor Manusia dan Kognitifnya, B adalah Tindakan atau Perilaku, dan E adalah Lingkungan. Ketiganya saling berinteraksi sehingga Tindakan seseorang (B) dapat mempengaruhi Kognisi (P[C]), dan sebaliknya aktivitas Kognisi individu (P[C]) dapat mempengaruhi Lingkungan (E), kemudian pengaruh Lingkungan dapat mempengaruhi proses Pikiran (kognisi) individu, dan seterusnya. Untuk menjelaskan Teori Bandura, Santrock menggunakan ilustrasi tentang seorang siswa yang berprestasi, seperti berikut ini. “Seorang siswa belajar dengan rajin dan mendapatkan nilai bagus (B). Perilaku belajarnya itu menghasilkan pikiran positif tentang kemampuannya. Lalu, sebagai bagian dari usahanya untuk memperoleh nilai bagus, ia merencanakan dan mengembangkan strategi yang membuat studinya lebih efisien (P[C]). Dengan cara ini, tingkah lakunya (B) telah mempengarui pikirannya (P[C]) dan pikirannya telah mempengaruhi tingkah lakunya. Pada awal semester, sekolahnya (E) membuat program khusus untuk melibatkan siswa dalam program keterampilan 263
PARASIT PEMBANGUNAN
belajar. Si siswa memutuskan untuk bergabung. Sukses siswa tersebut, bersama dengan siswa lain, membuat sekolahnya memperluas program itu di semester berikutnya. Dengan cara ini, lingkungan (E) mempengaruhi tingkah laku (B) dan tingkah laku mempengaruhi lingkungan. Keberhasilan program ini telah menimbulkan harapan bahwa jenis program seperti itu bisa diterapkan di sekolah lain. Dengan cara ini, kognisi (P[C]) mengubah lingkungan (E), dan lingkungan mengubah kognisi” (Santrock, 2003: 53).
B
P[C]
E
Sumber: Santrock, 2003: 53.
Gambar 9.1. Model Bandura tentang Pengaruh Timbal Balik antara Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognitif, dan Lingkungan.
Bandura (1991) dan juga Mischel (1994), (keduanya dalam Santrock, 2003) memercayai bahwa manusia belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Melalui pengamatan, yang juga disebut sebagai modeling atau imitasi, manusia secara kognitif sering meniru tingkah laku atau perilaku orang lain, tidak hanya dalam halhal positif seperti yang dikutip pada alinea sebelumnya, tetapi juga dalam hal-hal negatif, seperti perilaku memburu rente yang menjadi tema dari buku ini. Perilaku seseorang dalam mengatasi sampah, melepasliarkan hewan piaraan, mengurus berbagai dokumen melalui calo, mencari uang dengan mencopet, menjambret, mencuri dan merampok, memalsukan anggaran (memotong atau menggelembung-kan), memenangkan proyek dengan memalsukan administrasi, sampai 264
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
mendapatkan pekerjaan dan jabatan melalui nepotisme, kongkalikong, dan suap (KKN), dan masih banyak daftar yang bisa disebutkan, bisa dijelaskan dengan gamblang oleh teori perilaku Bandura ini. Beberapa kasus yang telah diuraikan dalam Bab 6 sampai Bab 8 bisa diangkat kembali di sini. Misalnya, seseorang membakar sampah (B) dan ternyata tidak mendapat reaksi negatif dari para tetangganya (E). Justru sebaliknya, para tetangganya meniru apa yang dilakukannya, yaitu membakar sampah mereka masing-masing. Hal ini membuat si pembakar sampah dan lingkungan secara umum berkesimpulan bahwa membakar sampah itu sebagai benar (P[C]). Apalagi dari sudut pandangnya, membakar sampah adalah suatu cara mengatasi masalah sampah yang mudah (tidak ribet) dan efisien. Tindakan ini kemudian dilakukannya secara terus menerus sampai suatu pagi salah seorang tetangga barunya (lingkungan) menolak dia untuk membakar sampah di tempat biasanya. Akhirnya ia berhenti membakar sampah dan mengatasi masalah sampahnya dengan cara berbeda. Ketika setiap orang yang sedang membakar sampah ditentang oleh orang lain di lingkungannya, maka bisa diharapkan bahwa pada akhirnya tidak akan ada orang yang membakar sampah sembarangan. Argumentasi yang sama juga berlaku untuk mereka yang melepasliarkan hewan piaraan. Contoh ini menggambarkan dengan secara sederhana bagaimana suatu aksi (B – membakar sampah) itu saling pengaruh dengan lingkungannya (E – para tetangga), dan keduanya juga saling pengaruh dengan cara pandang mereka (P[C] - kognisi). Demikian juga dengan seorang anak SMP yang sehari-hari mengendarai sepeda motor pulang balik sekolah maupun untuk melakukan hal-hal lain. Aksi itu pertama-tama jelas direstui oleh seluruh anggota keluarganya (E), terbukti dengan dibelikannya sepeda motor dan dicarikannya SIM-C melalui calo. Ketika mengendarai sepeda motor pun tidak ada reaksi negatif dari para tetangga, pengurus RT, para gurunya di sekolah, bahkan polisi. Reaksi lingkungan seperti itu membuatnya berpikir (P[C]) bahwa anak SMP sudah boleh mengendarai sepeda motor dan memiliki SIM-C. Perilaku ini kemudian berefek demonstrasi, ditiru oleh temanteman sebayanya, baik di kampung maupun di sekolah, dan teman265
PARASIT PEMBANGUNAN
temannya pun tidak pernah mendapat reaksi negatif dari siapa pun. Akibatnya, semakin banyak anak SMP dan bahkan anak-anak SD yang lebih muda, yang berpendapat bahwa mengendarai sepeda motor itu boleh, meskipun tidak didampingi oleh orang dewasa. Selama mengendarai sepeda motor anak-anak ini pun tidak pernah mendapat reaksi negatif dari lingkungan pergaulannya. Justru sebaliknya, kawankawan seusianya dan bahkan orangtua mereka bereaksi positif dan bangga atas keterampilannya itu, dan oleh karenanya perilaku itu semakin lama semakin meluas. Di kantor Korlantas yang menjadi lembaga penerbit SIM juga terjadi suatu aksi yang semula dilakukan oleh beberapa aktor. Aksi itu bukannya mendapat pertentangan lingkungan dan menghilang, tetapi justru menjadi praktik bersama (nilai baru) sampai kini. Mula-mula ada 1 atau 2 orang polisi yang ‘hanya’ membantu anak, isteri dan saudarasaudaranya untuk mendapatkan SIM dengan mudah. Tentu saja ada beberapa kolega yang menggerutu secara diam-diam atas perilaku tidak etis seperti itu. Tetapi, secara umum lebih banyak sejawatnya yang justru menyambut baik dan meniru apa yang dia lakukan dengan membantu anak, isteri, dan saudara masing-masing. Karena perilaku itu bisa dilakukan dan tidak ada reaksi negatif dari lingkungannya, aksi itu kemudian meluas. Penerbitan SIM yang semula merupakan kewajiban perlahan-lahan berubah dan menginternalisasi menjadi hak. Perilaku yang salah, tetapi karena dilakukan secara terus sehingga menjadi seolah-olah benar, maka perilaku ini menjadi salah kaprah. Para birokrat di lembaga itu kemudian beramai-ramai ‘membantu’ teman-teman dan kenalan, sampai akhirnya mereka yang tidak dikenal pun ‘dibantu’ asalkan mereka setuju dengan syarat yang telah ditentukan. Praktik ini akhirnya menjadi semacam jual-beli SIM yang dilakukan secara luas tidak hanya di Kota Adikarta, tetapi juga di Kota Surakarta (di mana saya tinggal) dan semua daerah di Indonesia. Praktik yang semula merupakan pengecualian (exception) ini akhirnya menjadi kebiasaan (rule). Di lingkungan birokrasi pemerintahan, termasuk Perguruan Tinggi, juga ada kecenderungan yang berangsur-angsur menjadi praktik umum. Para pejabat hampir selalu memasukkan sanak 266
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
saudaranya, sanak saudara dari teman, atau sanak saudara dari kelompok pertemanannya, sebagai pegawai magang untuk mereka yang berpendidikan SLTA dan dosen non-PNS untuk mereka yang berpendidikan magister (S-2). Bagi pegawai magang mereka dimasukkan sebagai sopir, pengantar dokumen antar bagian, perbanyakan dokumen, perawatan alat-alat, dan sebagainya. Setelah beberapa tahun berlalu, para magang ini kemudian menjadi PNS golongan IIa berdasarkan pendidikan SLTAnya. Untuk perbaikan karier para pejabat birokrasi itu mendorong para PNS baru ini menempuh pendidikan tinggi di berbagai universitas swasta yang menyelenggarakan proses belajar mengajar (PBM) sore dan malam hari. Tidak butuh waktu lama (umumnya 2 tahun), mereka sudah lulus dan ijasahnya dipakai untuk menyesuaikan golongan kepangkatannya dari II-a menjadi III-a, dalam tempo yang sama cepatnya. Setelah golongan kepangkatan dan pendidikannya naik, mereka dirotasi atau dipromosi ke berbagai bagian yang ‘cocok’ dengan pangkat dan pendidikan masing-masing. Sedangkan dosen non-PNS tampaknya dijadikan stok sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk mengisi atau mengganti dosen PNS yang memasuki masa pensiun. Karena hubungannya dengan para pejabat, mereka, tentu saja, dengan relatif mudah bisa diterima menjadi dosen PNS, ketika masa penerimaan pegawai baru datang. Tidak hanya itu, mereka, yang telah berubah status menjadi PNS itu pun bisa segera memperoleh beasiswa untuk studi di berbagai Perguruan Tinggi, terutama di Luar Negeri yang memang telah disiapkan kerjasamanya oleh para pejabat itu. Mereka bisa mendahului para dosen PNS lama yang sudah bertahun-tahun menyiapkan diri untuk studi lanjut, sekali lagi karena campur tangan para pejabat universitas yang bersangkutan. Modusnya kira-kira bisa disamakan dengan mengurus dokumen pajak kendaraan bermotor melalui calo. Meskipun persyaratannya tidak lengkap pun, para calo mampu memperoleh antrian (tidak jarang asal serobot saja) untuk mendapatkan pelayanan, sama seperti orang-orang lain yang berhak. Proses yang kurang lebih sama juga terjadi ketika berhubungan dengan promosi jabatan di dalam suatu birokrasi. Salah satu mentalitas Orde Baru bahwa: 267
PARASIT PEMBANGUNAN
“Penguasa memberikan hadiah bagi mereka yang mendukung atau sekurangnya tidak menggoyang perahu, tetapi menghukum dengan keras para penentang atau para pengkritik” (Mackie & MacIntyre, 1994: 3),
dimodifikasi menjadi: “Jabatan strategis pada berbagai eselon yang lebih rendah diberikan kepada saudara, teman, dan kelompok menurut suku, agama, ras, atau golongan yang sama dengannya. Orang-orang di luar itu juga diberi jabatan yang tidak penting untuk mengkamuflase seolah-olah sang pejabat tidak melakukan diskrimininasi terhadap orang-orang di luar keluarga, teman dan kelompoknya”.
Demikianlah salah satu contoh praktik rekrutmen pegawai maupun promosi jabatan yang dilakukan oleh para pejabat di era demokrasi ini. Perilaku ini menjadi praktik yang dilakukan oleh para pejabat di banyak lembaga dan ditiru oleh para pejabat berikutnya. Karena proses seperti itu, tidak mustahil untuk ditemukan bahwa para pejabat dari eselon tertinggi sampai eselon terendah memiliki hubungan persaudaraan sedarah (family and relatives) atau pertemanan dalam jejaring non-formal tertentu menurut suku, agama, ras, atau asal (SARA). Masih banyak kasus lain yang tidak akan ada habisnya untuk diangkat di sini, tetapi beberapa contoh yang sudah disampaikan kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa Teori Perilaku Bandura sangatlah cocok digunakan untuk menjelaskan perilaku memburu rente di Kampung Papringan maupun Kota Adikarta ini. Perilaku seseorang merupakan tiruan terhadap perilaku orang lain sebelumnya, dan perilakunya memiliki efek demonstrasi yang kemudian ditiru oleh orang lain lagi. Demikian seterusnya, akhirnya perilaku itu berantai membentuk tata nilainya sendiri dan akhirnya di bidang lalu lintas menciptakan “Lingkaran Setan Kesemrawutan Lalu Lintas”, atau dalam kepegawaian negara menghasilkan “Lingkaran Setan Ketidak-sehatan Birokrasi”. Oleh karena itu, melalui penjelasan Teori Bandura dan beberapa contoh yang diangkat dalam studi ini bisa dimengerti 268
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
mengapa perilaku memburu rente atau KKN di Kota Adikarta semakin luas. Hal itu karena lingkungan yang berperan menjadi pengawas, pengontrol dan penegak hukum justru mengkomodifikasikan perannya itu.
MEMBURU RENTE SEBAGAI SISI GELAP MODAL SOSIAL Teori Bandura telah menjelaskan perilaku memburu rente di aras mikro yang dilakukan oleh suatu agensi, secara individual, dan merugikan agensi yang lain atau secara akumulatif merugikan agensi di semua aras. Namun, di aras meso dan makro, para agensi, cenderung tidak mampu atau tidak mungkin melakukan pemburu-rentean secara individual, tetapi harus bekerjasama dengan agensi lain. Bahkan seorang polisi anggota Korlantas sekali pun harus meminta bantuan koleganya di berbagai seksi dalam rantai produksi untuk menerbitkan SIM baginya. Demikian juga berbagai kasus yang telah dijabarkan dalam bab 6 menunjukkan bahwa berbagai transaksi memburu rente terjadi dengan melibatkan banyak aktor, baik individu maupun mereka yang mewakili lembaga. Pengurusan berbagai dokumen kependudukan (KK, KTP, Akte Kelahiran, dan sebagainya) yang dilakukan oleh aktor yang menjadi pengurus RT atau aktor penjual jasa atau calo, misalnya, menggunakan koneksi pribadi di dalam struktur pemerintahan kelurahan dan kecamatan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memuluskan jasa yang dilakoninya. Pengurusan SIM juga demikian, para aktor pencari SIM menggunakan rantai hubungan pribadi langsung (maupun tidak langsung lewat para aktor calo swasta) dengan para aktor yang berada dalam struktur yang mengurusi penerbitan SIM (polisi atau ‘orang dalam’) telah memudahkan proses untuk memperoleh SIM yang diinginkan. Proses sindikasi ini bahkan, sering – kalau tidak boleh dikatakan sebagai selalu - menihilkan persyaratan administrasi dan prosedur standar yang dimandatkan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Sementara itu, setiap tahun setiap pemilik kendaraan bermotor harus mengurus (sendiri atau melalui penjual jasa) pembayaran pajak kendaraan bermotornya di Kantor Samsat Kota atau Kabupaten 269
PARASIT PEMBANGUNAN
setempat. Di semua papan pengumuman kantor tersebut sudah terpasang prosedur operasi standar beserta berbagai persyaratan yang wajib dilampirkan dalam proses pembayaran pajak itu. Bahwa setelah formulir diperoleh dari suatu loket dan ditandatangani (oleh siapa saja1 yang tidak dicek secara ketat seperti di bank), ia harus dikumpulkan di suatu spot (loket) tertentu untuk mendapatkan nomor urut dengan dilampiri BPKB asli, 1 eksemplar BPKB fotokopi, KTP asli, 2 lembar KTP fotokopi, STNK asli, 3 lembar STNK fotokopi, dan bukti pembayaran pajak tahun lalu. Namun di spot (loket) ini masyarakat selalu bisa melihat tidak sedikit orang yang mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka tampak hanya menyerahkan STNK saja, tetapi tidak pernah dipanggil untuk melengkapi persyaratan yang diwajibkan. Orang-orang itu ternyata para penjual jasa yang sudah menjadi pelanggan kantor itu dan menjadi salah satu sumber penghasilan tambahan bagi para oknum birokrat atau kantor itu secara umum. Ketidak lengkapan persyaratan itu dikompensasi oleh para penjual jasa dan para oknum dan atau kantor itu dengan sejumlah uang yang telah diketahui (disepakati) oleh kedua belah pihak. Saya menyaksikan sendiri praktik itu sebanyak tiga kali dalam setahun selama puluhan tahun di Kota Surakarta. Demikian pula di Kota Amarta, ketika menemani Pak Kukuh membayar pajak kendaraan bermotornya, saya melihat hal yang sama terjadi. Urutan, lokasi loket, dan alat boleh berubah, tapi berbagai modus untuk mencari tambahan penghasilan bagi para oknum birokrat di kantor itu hampir tidak pernah hilang2. Seorang aktor pengurus RT yang menjadi salah satu anggota panitia pembangunan Gedung Serba Guna juga menggunakan hubungan pertemanannya dengan seorang aktor pengembang (kontraktor) untuk menjadi alibi bagi hilangnya uang bantuan untuk Meminjam perspektif Bandura, praktik ilegal ini (B) dibiarkan atau bahkan disponsori oleh para birokrat atau lingkungan (E) di lembaga tersebut. Oleh karena itu, praktik salah kaprah ini berlangsung terus menerus. Hal ini mengakibatkan banyak orang berpikir (P[C]) bahwa memalsukan tanda tangan (bertindak secara ilegal) itu boleh. 1
Di loket terakhir pengurusan pajak kendaraan bermotor, yaitu pembagian dokumen yang sudah selesai, seorang aparat meminta uang Rp 1.000,- (satu ribu rupiah) untuk mengganti plastik pembungkus STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan). Sebagian besar orang memang memberikan uang yang diminta itu, karena mereka mengira hal itu wajib. Pada hal praktik itu hanyalah semacam ‘beli paksa’. 2
270
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
menyelesaikan proses pembangunan Gedung Serba Guna itu. Demikian juga seorang aktor pengurus RW menggunakan kedudukannya untuk menyerahkan pengerjaan proyek perbaikan jalan yang dibiayai dari PNPM Mandiri kepada seorang aktor pengembang kenalannya, tanpa mengadakan rapat koordinasi dengan para pemuka lingkungan. Meskipun, proyek itu bisa dilaksanakan secara lebih murah melalui kerja bhakti warga kampung secara gotong-royong. Beberapa contoh perilaku memburu rente yang telah disebutkan itu dan telah diulas secara rinci dalam bab 6, sesungguhnya bisa terjadi dan telah terjadi berkat hubungan, baik informal (pertemanan) dan koneksi serta asosiasi formal melalui organisasi (disebut sebagai modal sosial) yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat. Namun demikian, pengertian umum tentang modal sosial itu dengan modal sosial yang digunakan dalam menjelaskan perilaku memburu rente (yang menghasilkan eksternalitas sosial negatif) tampak adanya kontradiksi. Di satu sisi, Bourdieu (1985), misalnya menyebutkan bahwa: “modal sosial merupakan agregasi dari berbagai sumberdaya, baik potensial maupun aktual, yang dimiliki oleh suatu jejaring dari berbagai asosiasi yang terlembaga melalui perkenalan dan pertemuan”.
Begitu pun Serageldin (1996) dan diamini Ife (2002) juga menggambarkan modal sosial itu sebagai “suatu lem perekat yang mempersatukan masyarakat”. Demikian pula definisi yang dirumuskan oleh Grootaert & van Bastelaer (2002: 2), bahwa modal sosial adalah: “lembaga-lembaga, hubungan-hubungan, sikap-sikap dan nilainilai yang mengatur interaksi antar orang dan berguna bagi pembangunan ekonomi dan sosial”.
Semua definisi tersebut memiliki arti positif dengan memberi tekanan pada ‘berguna bagi’ atau ‘bermanfaat bagi’ tidak hanya bagi para individu atau lembaga yang terlibat, tetapi juga bagi masyarakat umum (social good). Ketiga definisi ini lebih menonjolkan arti kata ‘modal’ yang memiliki potensi untuk digunakan dan menghasilkan 271
PARASIT PEMBANGUNAN
manfaat atau keuntungan bagi para pemiliknya maupun masyarakat secara umum. Pemahaman modal sosial seperti diungkapkan oleh beberapa penulis tersebut tampak jelas dalam menonjolkan (atau tepatnya mengandaikan) akibat positif atas penggunaan modal sosial itu. Pada hal di lain sisi, pemanfaatan modal sosial juga bisa berdampak negatif. Hal ini sudah diungkapkan oleh Warren (2008) yang mengilustrasikan bahwa, dalam hal korupsi (dan tentu saja memburu rente), modal sosial telah menghasilkan keburukan sosial di semua negara, khususnya negara-negara sedang berkembang yang masih berjuang untuk memperbaiki kelembagaannya. Putnam (2000) juga menggambarkan bagaimana seorang Anthony McVeith telah memanfaatkan relasinya (modal sosial) untuk melaksanakan missi terornya sendiri dalam mengebom the Capitol Hill, Oklahoma City. Demikian juga, della Porta & Vannucci (1999) meneliti bagaimana modal sosial telah diadopsi oleh suatu asosiasi mafia untuk melakukan ‘Korupsi Politik’ di Italy. Rubio (1997) pun mengungkapkan bagaimana modal sosial yang telah menjadi penjelas bagi kemakmuran masyarakat, telah berubah menjadi basis bagi jejaring perdagangan narkoba internasional yang berpusat di Medillin Antioquia, Columbia. Kedua sudut pandang yang saling berlawanan ini memerlukan definisi yang lebih netral, dalam mencakup kedua sisi, baik positif maupun negatif dari penggunaan modal sosial itu. Definisi yang diberikan oleh Coleman (1988 dicetak ulang dalam Dasgupta & Serageldin, 2000: 16) berikut menggambarkan atau lebih tepatnya menjelaskan kemungkinan dampak positif maupun negatif dari penggunaan modal sosial. Dia menyatakan bahwa: “modal sosial didefinisikan menurut fungsinya. Ia bukan satu entitas tunggal, tetapi berbagai entitas yang berbeda, dengan dua elemen umum: mereka semua terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi berbagai tindakan para aktor – perorangan atau pun lembaga – di dalam struktur itu. Seperti bentuk-bentuk modal yang lain, modal sosial adalah produktif, yang memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yang tanpanya tidak akan tercapai. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak seluruhnya berfungsi, 272
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
tetapi mungkin khusus dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Satu bentuk modal sosial yang sangat bernilai dalam memfasilitasi aktivitas tertentu mungkin saja tidak berguna atau bahkan merugikan yang lain”.
Definisi ini secara eksplisit menunjukkan bahwa modal sosial bisa menghasilkan manfaat atau keuntungan bagi individu yang terlibat dan kebaikan sosial (social good, yang kemudian disebut good social capital) maupun keburukan sosial (social bad, yang kemudian disebut bad social capital). Perilaku memburu rente, tentu saja, menjadi salah satu fenomena ekonomi politik yang memenuhi pengertian bad social capital itu. Karena, ia menguntungkan mereka yang terlibat tapi menghasilkan keburukan sosial, seperti telah diungkap secara teoritis dalam bab 2 maupun didiskripsikan secara empiris dalam bab 6, 7 dan 8. Pertanyaan kunci yang kemudian muncul dalam seksi ini adalah ‘bagaimana modal sosial menjelaskan perilaku memburu rente’. Gambar 9.2 yang disalin dari definisi modal sosial menurut Grootaert & van Bastelaer (2002) bisa digunakan untuk mengawali proses penjelasan itu. Seperti tampak dalam gambar, modal sosial memiliki dua bentuk, yaitu modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Yang pertama mengacu kepada berbagai struktur sosial yang relatif nyata dan bisa diamati, seperti jejaring, asosiasi, dan lembaga, termasuk berbagai aturan dan prosedur di dalamnya. Yang kedua merupakan elemen-elemen subyektif dan tidak kelihatan, seperti sikap (attitude), norma-norma perilaku (norms), nilai-nilai bersama (common values), timbal-balik (reciprocity) dan kepercayaan (trust). Kecuali berbentuk ganda (struktural dan kognitif), modal sosial juga beroperasi dalam tiga aras secara vertikal, yaitu mikro, meso dan makro, seperti sudah dipakai dalam beberapa bab sebelumnya. Pada aras mikro, modal sosial berbentuk jejaring horisontal atar individu, dalam rumahtangga dan antar rumahtangga, serta norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari interaksi di dalam jejaring itu. Pada aras meso, modal sosial meliputi hubungan-hubungan horisontal dan vertikal antar kelompok, serta tentu saja norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam hubungan itu. Pada aras makro, modal sosial 273
PARASIT PEMBANGUNAN
mewujud dalam lingkungan lembaga-lembaga dan politik negara yang bertindak sebagai latar belakang bagi berbagai aktivitas politik, ekonomi dan sosial, serta kualitas pengaturan pemerintahan (governance). Lembaga-lembaga Negara, Aturan Hukum (Institutions of the State, Rule of law)
Lembaga-lembaga Lokal, Jejaring (Local institutions, networks)
Pemerintahan (Governance)
Kepercayaan, Normanorma Lokal, Nilai-nilai. (Trust, Local norms, values)
Sumber: Grootaert & van Bastelaer 2002: 4.
Gambar 9.2. Bentuk dan Cakupan Modal Sosial.
Semua jenis kerjasama dalam lembaga formal (organisasi sosial, politik dan ekonomi) maupun informal (jejaring, pertemanan), baik horizontal maupun vertikal, bisa terbangun ketika, sekurangnya, dua jenis modal sosial kognitif hadir, yaitu mutual trust (saling percaya) dan reciprocity (norma timbal balik) di antara orang-orang yang berjejaring atau berasosiasi itu. Bahwa tujuan dari kerjasama itu adalah untuk menghasilkan manfaat (keuntungan), baik ekonomi maupun non-ekonomi, bagi semua pihak yang terlibat, adalah jelas. Banyak literatur telah menonjolkan hal itu (Castiglione, van Deth & Wolleb,
274
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
20083; Dasgupta & Serageldin, 2000; Grootaert & van Bastelaer, 2002; Saegert, Thomson & Warren, 2001). Yang menjadi persoalan dan harus dikritisi secara teliti di sini adalah apakah kerjasama itu menghasilkan kebaikan sosial ataukah keburukan sosial. Suatu pabrik penghasil barang tentu saja baik bagi para pekerja maupun pemiliknya. Tetapi, kalau pabrik itu menghasilkan limbah, baik cair, padat, maupun gas yang mencemari lingkungan, maka proses kerjasama itu menghasilkan keburukan sosial, dan masuk dalam modal sosial negatif. Demikian pula kerjasama antara para pengusaha, para perantara (calo), dan para aparat pembuat dan eksekutor kebijakan dalam merekayasa volume impor yang dilakukan, jelas sekali menguntungkan semua pihak yang terlibat. Namun, akibat dari kerjasama semacam inilah yang menjadikan masyarakat umum (konsumen) yang harus menanggung getahnya. Karena, masyarakat umum harus membayar keuntungan (rente) monopoli atau oligopoli yang didulang oleh para importir atas semua barang yang diimpor itu, ditambah dengan semua biaya yang dikeluarkan oleh para pengusaha yang bersaing untuk memperoleh lisensi impor maupun kuota bagi pihaknya. Semua jenis kerjasama, apalagi kerjasama yang bersifat ilegal yang sangat tergantung pada keamanan dan kerahasiaan, sangat dipengaruhi atau bahkan tergantung pada trust dan reciprocity ini, dan di sinilah menurut della Porta & Vannucci (1999), Field (2003), Putnam (2000), Rubio (1997), Warren (2008), untuk menyebut beberapa, letak penjelasan penting bagi terjadinya modal sosial negatif. Kedua jenis modal sosial kognitif (trust and reciprocity) itu oleh Putnam (2000) dan Warren (2008) dibedakan menjadi dua, yaitu generalized trust dan particularized trust serta generalized reciprocity dan particularized reciprocity. Generalized trust adalah jenis kepercayaan yang diberikan kepada orang yang dipercayai oleh orang yang memercayai tanpa memperhitungkan risiko yang mungkin timbul akibat tindakan itu. Orang-orang semacam ini tidak membedakan Dari 24 artikel yang tercantum dalam Handbook ini, hanya satu artikel yang berbicara tentang eksternalitas negatif modal sosial, selebihnya menguraikan manfaat atau eksternalitas positif modal sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sisi gelap modal sosial cenderung diabaikan oleh para peneliti modal sosial. 3
275
PARASIT PEMBANGUNAN
secara ketat antara ‘orang dalam’ (in-group) dengan ‘orang luar’ (outgroup). Mereka cenderung menganggap bahwa siapa pun orangnya yang diberi kepercayaan memiliki niat baik untuk menjaga hal yang dipercayakan kepadanya. Orang-orang yang terbuka seperti ini cenderung membangun dan memperluas hubungan dan jejaring, sehingga mereka disebut oleh Putnam (2000) sebagai pengembang bridging social capital, atau oleh Nan Lin (2001) disebut sebagai pembangun weak ties (ikatan lemah). Dengan bahasanya sendiri Warren (2008: 136) menulis: “The generalized truster will tend toward optimistic assessments of the intentions of strangers, and will therefore be more likely to assume the risks of trust. For this reason, generalized trusters are good builders of bridging social capital”.
Sebaliknya, particularized trust adalah kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kepada penerima. Apabila si A memercayakan sesuatu kepada si B, maka si A berharap si B menjaga dan mempertahankan sesuatu yang dipercayakan itu. Tinggi rendahnya tingkat kepercayaan ini menentukan tinggi rendahnya keeratan hubungan antara kedua pihak itu. Keeratan hubungan ini oleh Putnam (2000) disebut sebagai bonding social capital, dan oleh Nan Lin (2001) disebut sebagai strong ties (ikatan kuat). Warren (2008: 136) mengekspresikan begini: “A particularized truster is more risk conscious. He will be suspicious of stranger, and limit trust to those he knows or who are certified as trustworthy by some kind of shared group membership in a family, small community, church, or ethnic group, for example. Particularized trusters will be good builder of bonding social capital”.
Ikatan yang didasarkan pada bentuk kepercayaan jenis ini sering tergantung pada pembedaan antara ‘orang dalam’ (in-group) dengan ‘orang luar’ (out-group). Karena ‘orang dalam’ memiliki norma yang berbeda dengan ‘orang luar’, maka yang dianggap baik oleh ‘orang dalam’ belum tentu baik oleh ‘orang luar’, dan sebaliknya, yang dianggap bagus oleh ‘orang luar’ bisa dianggap buruk oleh ‘orang 276
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
dalam’. Oleh karena itu, particularized trust seperti ini bisa menghasilkan rasisme, etnosentrisme, intoleransi, pengucilan, termasuk perilaku memburu rente yang menjadi bahasan pokok dalam studi ini. Resiprositas juga demikian, ia memiliki sifat generalized maupun specialized. Putnam (2000) dan juga Warren (2008) menyatakan bahwa resiprositas merupakan norma dasar dari pertukaran sosial dan menjadi aturan emas (golden rule) semua kebudayaan. “Jika aku berbuat sesuatu kepadamu, aku berharap kamu akan membalasnya ketika aku memerlukan”. Seseorang yang berpegang pada norma ini menanam semacam piutang (kewajiban) untuk ditagih kembali. Jadi norma resiprositas ini menciptakan modal sosial dalam bentuk kewajiban. Selanjutnya, mereka (Putnam, 2000; Warren, 2008) menyatakan bahwa resiprositas itu bisa spesifik (specialized) – kewajiban terjadi antara kamu dan aku, atau umum (generalized) – kewajiban diterapkan antara aku dan siapa pun. Dalam kasus resiprositas spesifik, aku berharap kewajiban dibayar oleh kamu, bukan orang lain. Jika aku menghayati resiprositas umum, aku merasa bahwa kontribusiku kepadamu akan terbayar kapan-kapan, mungkin oleh seseorang, jika aku memerlukannya. Aku tidak menanam kewajiban kepadamu secara khusus. Aku membantu siapa pun ketika mampu, dan berharap seseorang akan membantuku ketika aku memerlukannya. Warren (2008) menekankan bahwa resiprositas umum mengandung altruisme4, terlepas dari rasa percaya terhadap orang yang dibantu. Lain halnya dengan resiprositas spesifik, ia cenderung berlaku dalam pertukaran yang menghasilkan eksternalitas negatif. Dalam transaksi memburu rente, misalnya, suara ditukar dengan uang (disebut politik uang), undang undang atau legislasi dengan dukungan kampanye, kontrak pemerintah dengan gratifikasi (kickbacks), dan
Altruisme dalam Kamus Inggris-Indonesia diartikan sebagai sifat mementingkan kepentingan orang lain (Echols & Shadily, 1976: 25). 4
277
PARASIT PEMBANGUNAN
seterusnya (lihat juga Rose-Ackerman, 1998). Selanjutnya, Warren (2008: 140) menulis: “Does reciprocity with negative externalities differ in any way from the kind that builds good social capital? The answer is yes. Again, consider political corruption: such exchanges depend upon specific reciprocity because the exchange is exclusive. Not only is the exchange defined by the norm of specific reciprocity, but the exchange itself serves to mark the boundary between those who are part of the corrupt relationship, and those who are not. Generalized reciprocity cannot be corrupt because it cannot solidify this boundary, and so is by nature inclusive”.
Mencermati ulang tentang peran trust dan reciprocity sebagai sumber modal sosial, akhirnya kita bisa menjelaskan perilaku memburu rente melalui diagram 9.1, yang sebenarnya merupakan modifikasi dari gambar 9.2. Diagram ini menggambarkan bahwa perilaku memburu rente, seperti didefinisikan di dalam Bab 2, memanfaatkan perkenalan, hubungan, jejaring dan asosiasi dalam struktur masyarakat, baik informal, terlebih lagi formal. Kemudian, pola hubungan dalam perilaku memburu rente itu terjadi di ketiga aras vertikalnya (mikro, meso dan makro) yang dilandasi atas dua modal sosial kognitif, yaitu kepercayaan (trust) dan norma resiprositas (reciprocity).
278
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
STRUCTURAL SOCIAL CAPITAL
MICRO
MESO
MACRO
RECIPROCITY
TRUST
GENERALIZED
PARTICULARIZED
PARTICULARIZED
GENERALIZED
POSITIVE EXTERNALITIES
NEGATIVE EXTERNALITIES
NEGATIVE EXTERNALITIES
POSITIVE EXTERNALITIES
BAD SOCIAL CAPITAL
GOOD SOCIAL CAPITAL Keterangan: Garis solid untuk menggambarkan terjadinya modal sosial buruk (bad social capital); Garis putus-putus menunjukkan terbentuknya modal sosial baik (good social capital).
Diagram 9.1. Perilaku Memburu Rente sebagai Sisi Gelap Modal Sosial (Bad Social Capital).
Seperti baru saja dijelaskan, kedua jenis modal sosial kognitif ini memiliki dua sifat, yaitu particularized atau specialized atau spesial dan generalized (umum). Tetapi dalam transaksi memburu rente sifat yang pertama, yaitu particularized trust, yang mendominasi. Hal ini 279
PARASIT PEMBANGUNAN
disebabkan oleh sifat dari perilaku memburu rente atau korupsi, kolusi, dan nepotisme itu cenderung bersifat tertutup atau eksklusif. Perilaku itu menciptakan eksternalitas negatif daripada eksternalitas positif. Proses perilaku memburu rente yang memanfaatkan modal sosial tetapi menghasilkan eksternalitas negatif inilah yang kemudian disebut sebagai sisi gelap modal sosial (the dark side of social capital).
MEMBURU RENTE SEBAGAI MASALAH KELEMBAGAAN Bandura telah menjelaskan, dalam seksi pertama bab ini, bahwa perilaku seseorang, termasuk perilaku memburu rente, umumnya dipengaruhi oleh dan mempengaruhi perilaku orang lain atau lingkungan dalam proses yang ia sebut sebagai modeling atau imitasi. Interaksi itu kemudian menentukan kognisi atau cara berpikir, atau oleh Bourdieu (Harker et al, 1990) disebut habitus, orang-orang yang berinteraksi itu. Proses interaksi itu tentu saja sangat dipengaruhi oleh pembatasan sosial, baik formal maupun informal. Berbagai batasan bagi perilaku seseorang di ruang sosial itu oleh North (1981, 1990, 1992) disebut sebagai lembaga. Demikian pula seksi kedua bab ini telah menguraikan bagaimana perilaku memburu rente itu, khususnya di aras meso dan makro, selalu melibatkan orang lain. Sementara itu, kerjasama antara sekurang-kurangnya 2 agensi untuk memperoleh keuntungan bersama itu disebut sebagai modal sosial. Pada hal dalam seksi sebelumnya telah dikutip pengertian modal sosial menurut Grootaert & van Bastelaer (2002), sebagai: “lembaga-lembaga, hubungan-hubungan, sikap-sikap dan nilainilai yang mengatur interaksi antar orang”.
Ketika dicermati lebih lanjut, pengertian mosal sosial ini memiliki jiwa yang sama dengan pengertian lembaga yang telah dirumuskan oleh North (1981, 1990, 1992), yaitu: “pembatasan yang dibuat untuk mengatur interaksi antar manusia. Pembatasan itu terdiri dari aturan formal (Konstitutsi, 280
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
Undang Undang, Peraturan Pemerintah), pembatasan informal (Konvensi, Norma Perilaku, dan Aturan Perilaku yang diterapkan untuk diri sendiri) dan karakteristik penerapan dari keduanya”.
Dengan demikian, masalah perilaku memburu rente adalah persoalan kelembagaan. Lalu, bagaimana perspektif kelembagaan menjelaskan perilaku yang menghasilkan biaya sosial ini? Berikut adalah kerangka berpikirnya. Aoki (2000), misalnya, menyebutkan bahwa para ilmuwan sosial, lebih khusus lagi para ekonom, terpolarisasi ke dalam tiga pengertian lembaga, yaitu dari sudut pandang pemain (players of the game), aturan (rules of the game) maupun hasil (outcome or equilibrium of the game). Yang pertama mengacu kepada pemahaman masyarakat dalam perbincangan sehari-hari, bahwa lembaga adalah organisasi yang sudah mapan, seperti pemerintahan, universitas, perusahaan, yayasan, organisasi keagamaan dan lain-lain. Yang kedua mengacu kepada North (1981, 1990, 1992) bahwa lembaga adalah aturan main dari suatu masyarakat, seperti dikutip di atas. Yang ketiga mengacu kepada para ekonom eksperimental seperti Scotter (1981), Greif (1994, 1999), Milgrom et al (1990), Greif et al (1994), Weingast (1997) dan Young (1998), Bullock & Rustrom (2007), Cadigan (2007), yang menggunakan konsep keseimbangan dalam permainan dilema tahanan berulang (repeated prisoner’s dilemma games). Sementara itu, Jutting (2003) menyampaikan hasil penelusuran literaturnya bahwa lembaga sejauh ini diklasifikasikan dengan tiga cara, yaitu menurut tingkat formalitasnya, tingkat hirarkinya, dan area. Yang pertama mengikuti definisi North (1981, 1990, 1992) seperti telah disebutkan dalam alinea sebelumnya. Yang kedua mengacu ke Williamson (2000) yang membagi lembaga, berdasarkan definisi North, menjadi empat hirarki, yaitu lembaga yang berhubungan dengan struktur masyarakat atau budaya (Level 1), lembaga yang berhubungan dengan aturan main (Level 2), lembaga yang berhubungan dengan permainan (Level 3), dan lembaga yang berhubungan dengan mekanisme alokasi (Level 4). Kemudian yang ketiga mengacu kepada 281
PARASIT PEMBANGUNAN
Bowles (1998) dan Beck et al (2002) yang membagi area menjadi ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Studi ini menawarkan satu varian lain dari perspektif kelembagaan dengan menyederhanakan hirarki kelembagaan Williamson menjadi 3 level, seperti diabstraksikan dalam gambar 9.3. Konsep ini membatasi perilaku memburu rente (KKN) itu sebagai terjadi di dalam bidang atau arena atau ruang sosial, yang digambarkan sebagai lingkaran paling luar dengan batas garis putus-putus. Bidang ini tidak terbatas seperti disebutkan oleh Beck et al (2002) dan Bowles (1998), serta Jutting (2003), tetapi bisa juga meliputi wilayah geografis atau administrasi, maupun bidang atau departemen pemerintahan, yang oleh Janoski (1998) disebut sebagai ranah (sphere). Bagian lebih dalam (Lingkaran Ungu) adalah lembaga tingkat 1 yang merepresentasikan budaya. Apabila ruang sosialnya adalah wilayah geografis (provinsi, kabupaten, kota) atau administrasi (departemen, organisasi lainnya), budaya itu disebut sebagai subbudaya atau budaya lokal. Bagian ini mengakomodasi kelembagaan informal seperti yang didefinisikan oleh North (1981, 1990, 1992), seperti kebiasaan, nilai-nilai dan norma, serta lembaga tingkat 1-nya Williamson (2000), yaitu lembaga yang berhubungan dengan struktur masyarakat, yang perubahannya membutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu dalam rentang abad sampai milenium. ARENA BUDAYA ATURAN FORMAL TEKNIS
Sumber: Diadaptasi dari Kahn 2005 dan Williamson, 2000.
Gambar 9.3. Perilaku Memburu Rente sebagai Masalah Kelembagaan. 282
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
Bagian lebih dalam lagi (Lingkaran Hijau) adalah lembaga tingkat 2, yang merupakan berbagai aturan perundangan atau oleh North disebut sebagai aturan formal yang telah dibuat oleh para pemain, dan dalam hirarki lembaga menurut Williamson masuk ke dalam tingkat 2 (lembaga yang berhubungan dengan aturan main) dan 3 (lembaga yang berhubungan dengan permainan). Perubahan lembaga tingkat 2 ini oleh Williamson terjadi antara 5 tahun sampai 1 abad, tetapi menurut pendapat saya bisa terjadi antara 1 tahun sampai 5 tahun atau paling lambat 10 tahun. Akhirnya, bagian paling dalam (Lingkaran Putih) adalah lembaga tingkat 3, yang merupakan aspek teknis, yaitu berhubungan dengan bagaimana barang dan atau jasa itu dibuat, dihasilkan atau diadakan. Ia berbeda dengan lembaga tingkat 4 menurut Williamson, yaitu lembaga yang berhubungan dengan mekanisme alokasi. Lembaga yang paling rendah ini bisa berubah sewaktu-waktu menurut kebutuhan. Membandingkan konsep kelembagaan, yang terpapar dalam gambar 9.3 ini, dengan masalah perilaku memburu rente (KKN) yang telah diuraikan, studi ini cenderung mengadopsi definisi pertama dan kedua dari kelembagaan yang ditawarkan oleh Aoki (2000), yaitu para pemain (players of game), dan aturan main (rules of the game). Sedangkan definisi ketiga, yaitu hasil permainan (outcomes of the game) digunakan untuk menunjukkan besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh perilaku itu. Oleh karena itu, perspektif kelembagaan, yang ditawarkan dalam studi ini, bisa dikelompokkan ke dalam konsep sosiologi ekonomi kelembagaan baru (The New Institutional Economic Sociology), seperti yang dikerangkakan oleh Victor Nee (2003). Proses penerbitan SIM dan proses belajar mengajar (PBM) di Perguruan Tinggi (PT) di Kota Adikarta diangkat kembali di sini untuk mengilustrasikan bagaimana proses memburu rente itu terjadi di semua level lembaga yang dikonsepsikan dalam studi ini. Diskripsi tentang hal ini dimulai dari lembaga level 3, kemudian level 2, dan akhirnya level 1.
283
PARASIT PEMBANGUNAN
Perilaku memburu rente pada level 3 (lingkaran putih, paling kecil) dilakukan ketika para aparat penerbit SIM menurunkan prosedur operasi standar (SOP) dalam: 1. Pembuatan surat keterangan sehat. Pemohon SIM mendatangi bagian itu, bukan untuk diperiksa oleh dokter, tetapi untuk mengisi identitas pemohon dalam blangko Surat Keterangan Sehat yang sudah ditandatangani oleh dokter. Di bagian ini ditugaskan 2 orang wanita untuk membubuhkan cap dan mengutip uang sebesar Rp 25 ribu. 2. Ujian teori. Proses ujian teori ini sudah dikomputerisasi, tetapi tetap dikendalikan oleh operator. Dalam proses ujian ini pemohon harus menjawab dengan benar paling tidak 20 dari 30 soal yang ditanyakan. Praktiknya: [a] petugas memberi tahu jawabannya, dan [b] petugas meminta pemohon dengan kesalahan lebih dari 10 untuk tetap tinggal di ruang ujian untuk membetulkan jawaban yang salah dengan bantuan operator. 3. Ujian praktik. Diganti dengan ujian simulasi atau ditiadakan, atau untuk SIM A, Surat Keterangan Belajar dari suatu Sekolah Mengemudi dianggap sebagai bukti kompetensi. 4. Surat Keterangan Belajar Mengemudi bisa dibeli dari Lembaga Belajar Mengemudi yang berasosiasi dengan Korlantas. 5. Semua proses itu bisa disederhanakan menjadi: “tinggalkan KTP dan datang lagi jam 14.00 untuk difoto”, dan yang tidak kalah penting adalah membayar sejumlah uang yang sudah ditentukan Semua poin di atas sahih sampai Maret 2010, ketika saya menemani Pak Kukuh memperpanjang SIM B-1 nya di Kantor Korlantas Kota Adikarta. Perilaku memburu rente pada lembaga level 2 (lingkaran hijau) bersifat analisis, sehingga ia mengandung unsur spekulatif. Analisis ini 284
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
tidak didasarkan pada hasil wawancara dengan Polisi dan DPR yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU LLAJ (Lalu Lintas Angkutan Jalan) sebelum disyahkan menjadi UU LLAJ (No 22) tahun 2009. Argumentasi tentang ini didasarkan pada analisis dokumen, yaitu rumusan UU No 22 Tahun 2009 itu. Beberapa bentuk yang saya curigai sebagai perilaku memburu rente di level peraturan perundangundangan ini adalah: 1. Pasal 78(1), yang berbunyi: “pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari pemerintah”, memiliki interpretasi dan implikasi teknis yang berbeda dengan Pasal 77(3), yang berbunyi: “untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri”. Interpretasi atas kedua ayat ini memang cukup jelas, seperti ditulis dalam penjelasan UU itu, tetapi implikasi teknisnya bisa berbeda. Pasal 77(3) membolehkan pemohon SIM untuk belajar mengemudi sendiri (bukan dengan Sekolah Mengemudi), sedangkan Pasal 78(1) meminta pemohon untuk belajar mengemudi kepada Sekolah Mengemudi. Yang pertama lebih terbuka (demokratis), yang kedua bersifat monopolis atau oligopolis. 2. Pasal 81(4), yang berbunyi; “syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: [a] sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan [b] sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. Pasal ini menggambarkan bahwa setiap pemohon SIM harus melampirkan 2 jenis Surat Kesehatan, yang sebenarnya bisa dijadikan 1. Saya berpendapat bahwa pasal ini menjadi pos baru bagi penarikan dana masyarakat bagi Polri. 285
PARASIT PEMBANGUNAN
3. Pasal 81(5), yang berbunyi: syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: [a] ujian teori; [b] ujian praktik; dan/atau [c] ujian keterampilan melalui simulator”. Proses ujian sejauh ini atas item [a] dan [b] saja yang mengabaikan SOP, sudah menjadi ajang pemburuan rente bagi Polri, apalagi ditambah dengan item [c], yang memberikan mandat bagi Polri melalui Korlantas untuk mengadakan mesin simulator, dan setelah diadakan, mesin itu menjadi cara baru bagi Polri untuk menarik dana masyarakat secara berkelanjutan. Analisis ini, meskipun bisa dianggap sebagai spekulatif, tetapi mantan Ketua Korlantas yang kini menjadi narapidana korupsi pengadaan mesin simulator SIM dan pencucian uang, menjadi bukti yang sangat kuat dalam studi ini bahwa perilaku memburu rente juga telah terjadi pada level aturan perundang-undangannya atau rule of the game, tidak hanya pada tataran teknis atau play of the game, seperti diuraikan sebelumnya. Lalu bagaimana perilaku memburu rente terjadi pada level 1 (lingkaran ungu), yaitu pada aturan informal atau informal rule of the game? Di berbagai bagian dalam tulisan ini telah disebutkan banyaknya perilaku yang salah secara sosial, tetapi dibiarkan saja oleh lingkungannya, bahkan oleh aparat negara yang seharusnya mengawasi, menjaga, dan menerapkannya. Kesalahan yang dibiarkan terus, bahkan dilembagakan seperti proses penerbitan SIM yang telah berlangsung puluhan tahun, menjadi salah kaprah. Kesalahan itu seperti privilege, ketika diulang-ulang tanpa komplikasi apa pun akhirnya dianggap sebagai hak (rights). Perilaku salah kaprah yang didukung oleh mentalitas terabas dengan motto “cepat, enak, dan mudah”, apalagi ditambah dengan “murah” itu telah menjadi nilai-nilai baru yang banyak dianut oleh para agensi dari semua ranah (negara, publik, pasar, dan privat), tidak hanya di Kampung Papringan atau Kota Adikarta, tetapi juga di seluruh Indonesia. Demikian juga, proses belajar mengajar (PBM) di Perguruan Tinggi semestinya mengandung 3 komponen atau unsur yang tidak 286
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
terpisahkan (trinity)), yaitu tatap muka, terstruktur, dan mandiri. Namun, praktik umumnya sering hanya salah 1 komponen atau kombinasi antara 2 komponen, itu pun hanya sebagai formalitas. Tugas menulis paper (mandiri), misalnya, hampir tidak pernah dibaca, dikomentari dan dikembalikan kepada mahasiswa. Yang banyak terjadi adalah pengajar menandai siapa saja yang mengumpulkan paper dan memberi nilai atas komponen itu. Karena tidak dibaca, maka pengajar tidak bisa mendeteksi apakah ada mahasiswa yang hanya mengopi alias menjiplak dari temannya atau dari sumber lain. Pada tataran proses belajar mengajar semacam inilah salah satu letak perilaku memburu rente di aspek teknis atau lembaga tingkat 3 dalam gambar 9.3, terjadi. Praktik yang lebih buruk sebenarnya sudah lama dilakukan oleh beberapa PT, seperti pernah disinggung berulang-ulang di sana sini dalam buku ini. Suatu PT, terutama dalam program jarak jauh di berbagai kabupaten, mengadakan tatap muka antara 2 sampai 5 kali dalam satu semester, berdasarkan jumlah mahasiswa. Di kabupaten yang banyak mahasiswanya diselenggarakan 5 kali, tetapi di kabupaten yang jumlah mahasiswanya sedikit hanya dua kali5. Lalu, apa isi dan bagaimana PBM dan tugas akhir mahasiswa diselesaikan? Kiranya perlu diaudit secara khusus untuk itu. Praktik ini menjadi bukti penguat bagi terjadinya PMR pada aspek teknis atau lembaga tingkat 3 gambar 9.3. Para alumni yang dengan bangga mencantumkan gelar dalam kartu namanya, biasanya hanya menjawab “ya begitulah, tahu sendiri”, ketika ditanya tentang bagaimana studinya diselesaikan6. Beberapa mahasiswa dan alumni dari berbagai PT juga menceriterakan bagaimana karya tulis (skripsi, tesis) mereka dan teman-teman lainnya, tidak pernah mendapatkan coretan apapun dari para pembimbing7. Mayoritas atau bahkan semua mahasiswa dari PT ini adalah para PNS lokal, yang dengan cepat menjadi sarjana, menaikkan golongan, pangkat dan jabatan mereka, seperti telah diulas. 5
Begitulah jawaban seorang birokrat di Kelurahan Kebonan, ketika ngobrol dengan saya di bulan Maret 2010. Ketika saya tanya tentang S-1 nya dari mana, dia menjawab: “itu lho sekolahnya Prof. X”, jelas bukan dengan tonasi kebanggaan. 6
Ada kasus seorang mahasiswa yang cukup idealis. Mulai dari proposal, dia tidak pernah mendapat komentar dari pembimbing. Karena ingin mendapatkan komentar tentang karya tulisnya, dia kemudian menghubungi dosen Metodologi Penelitian untuk konsultasi. Akhirnya, selama penulisan skripsi si mahasiswa itu berkonsultasi 287 7
PARASIT PEMBANGUNAN
Kalau tugas akhir saja tidak dibaca, apalagi ‘hanya’ tugas perkuliahan, begitulah kira-kira logika berpikirnya. Kinerja banyak pengajar di PT sebenarnya justru telah menyuburkan plagiasi (penjiplakan), yang oleh Herry-Priyono (2011) juga dimasukkan sebagai korupsi8. Praktik ini telah berhasil mendefinisi ulang ‘budaya pendidikan’ menjadi semacam ‘budaya korupsi’, yang masuk ke dalam lembaga tingkat 1 (lingkaran ungu) gambar 9.3. Berikut adalah satu kesaksian seorang dosen, yang suatu ketika menguji skripsi seorang mahasiswa. Inilah ringkasan dialognya: “Saya ingin mendapat jawaban yang jujur ya, pertanyaannya begini”, si penguji mulai bicara. “Berapa persen dari skripsi yang anda tulis ini merupakan hasil karya anda sendiri?”
Mahasiswa itu hanya diam saja, mungkin tidak menangkap maksud atau arah dari pertanyaan itu. Kemudian, si dosen mengulangi pertanyaannya dengan bahasa berbeda: “Terus terang ya, saya tahu skripsi ini hanya jiplakan saja. Maka pertanyaan saya adalah berapa persen dari skripsi ini yang merupakan hasil pikiranmu sendiri, hasil tulisanmu sendiri?” “Sepuluh persen, pak”. Barangkali dengan terpaksa mahasiswa itu akhirnya menjawab.
Kasus skripsi jiplakan ini pasti bukan yang pertama dan juga bukan yang terakhir. Terjadi di Kota Adikarta, di kota Surakarta dan juga di banyak kota yang lain. Para pengajar PT yang memang tidak memiliki dedikasi dan integritas ilmiah tetap saja menutup mata terhadap pembusukan pendidikan, yang sebagian diakibatkan oleh dengan dosen Metodologi Penelitian, meskipun secara formal pembimbingnya adalah dosen yang lain, sampai studinya berakhir. Seorang penjual jasa pernah menawari saya untuk membantu menyelesaikan berbagai tugas yang berhubungan dengan karya tulis. Saya bertanya ulang apakah jumlah orang yang menggunakan jasanya cukup banyak, ternyata banyak, dan bahkan yang paling banyak justru permintaan karya tulis dari para mahasiswa pasca sarjana, baik paper berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris, maupun tesis. Ada juga permintaan paper dari para guru yang mau naik pangkat. 8
288
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
sikap pengabaian atau ketidakpedulian (ignorance) ini. Oleh berbagai fakta itulah Wiyono (2003) mencetuskan suatu proposisi tentang “Tipologi Pengajar”, sebagai kritik terhadap kinerja para pengajar yang sangat bertentangan dengan idealisme PT sebagai agen perubahan. Beberapa tahun kemudian, Wiyono (2010) mengangkat ulang proposisi tentang “Tipologi Pengajar” itu dalam suatu Jurnal ilmiah. Tetapi seperti bisa diduga, artikel itu tetap tidak mendapat respons apa pun dari para akademisi di mana pun. Agustus 2013 seorang informan menceriterakan tentang anaknya, yang bekerja di sebuah bank di Kota Adikarta. Ia disarankan oleh pimpinannya untuk mendapatkan gelar sarjana di bidang ekonomi, karena ia berlatar-belakang linguistik. Perintah itu dia ikuti dengan melakukan ‘window shopping’ ke berbagai PT di Kota itu, dengan harapan yang jelas, yaitu menjamin selesai dalam waktu secepat-cepatnya. Dari proses pencarian itu akhirnya ditemukan, sekurang-kurangnya, 1 PT yang menawarkan “waktu 1 tahun dengan biaya 10 juta rupiah”. Di banyak PT, ternyata sudah lama ditawarkan program Sarjana 2 tahun bagi lulusan SLA, dan 1 tahun bagi lulusan Diploma 3. Betapa mudah, cepat dan enak, bukan?! Inilah salah satu bukti betapa “penyakit diploma9” (Dore, 1978) masih menjadi epidemi bagi pembusukan pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi di Kota Adikarta dan Indonesia.
RANGKUMAN Bab ini telah memaparkan bahwa di ruang sosial setiap orang selalu mengamati perilaku orang lain, terutama orang lain yang telah berhasil memperbaiki statusnya melalui berbagai artefak yang dimiliki. Kemudian, ketika mengetahui bahwa keberhasilan itu diperoleh secara ‘mudah, cepat, dan enak’, maka orang-orang itu kemudian mengikuti jejak para pendulunya sebagai proses modeling atau imitasi. Demikianlah gambaran sederhana tentang bagaimana PMR telah Penyakit Diploma digunakan untuk menggambarkan suatu proses pendidikan yang tidak mengutamakan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pelajar (mahasiswa), tetapi lebih pada pencetakan ijasah (Gillis et al, 1992: 225). 9
289
PARASIT PEMBANGUNAN
meluas secara makro nasional, menjadi setara dengan budaya, meskipun berkonotasi negatif. Di banyak transaksi memburu rente seseorang tidak mungkin melakukannya sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan orang lain, baik saudaranya, temannya, anggota kelompoknya, atau anggota organisasinya. Proses penerbitan SIM oleh Korlantas dan penerbitan ijasah sarjana dan pasca sarjana oleh Perguruan Tinggi hanyalah contoh kasus memburu rente yang melibatkan persaudaraan, pertemanan, asosiasi atau modal sosial ini. Kedua kasus ini saya ikuti dari Kampung Papringan sampai Kota Adikarta. Kasus-kasus ini merupakan bagian dari samudera kasus memburu rente yang terjadi di Indonesia. Media massa, cetak maupun elektronik, dari hari ke hari tidak pernah berhenti melaporkan kasus-kasus yang berhubungan dengan korupsi, yang menjadi bagian dari perilaku memburu rente. Semua agensi atau komponen dalam semua ranah (negara, publik, pasar, dan privat) tidak henti-hentinya diberitakan telah dan sedang terjerat dalam perilaku memburu rente ini. Dari dua kasus ini kita belajar bahwa berbagai agensi dari 3 ranah masyarakat sipil, baik negara, publik maupun pasar, yang diberi mandat untuk melakukan tugas pokok dan fungsi masing-masing, telah merendahkan nilai (down graded) mandat itu hanya untuk mengakumulasi kemakmuran untuk diri dan kelompoknya saja. SIM dan ijasah, seperti mata uang, memiliki dua sisi nilai, yaitu nilai nominal dan nilai intrinsik yang tidak bisa dipisahkan. Kartu itu merepresentasi atau menggambarkan keahlian yang dimiliki atau dikuasai oleh pemilik SIM dan ijasah itu. Ketika kedua jenis lisensi itu diperoleh dengan prosedur di bawah standar, atau bahkan menyalahi prosedur, maka SIM dan ijasah itu sesungguhnya tidak memiliki legitimasi alias tidak sah. Tetapi praktik salah kaprah (salah tetapi dilakukan dan dibiarkan) ini telah terjadi selama puluhan tahun dan telah menjadi semacam prosedur operasi standar yang baru (nilai-nilai baru sebagai bagian dari budaya baru) bagi berbagai lembaga penerbitan lisensi itu. Praktik ini telah berproses seperti metafora yang telah digambarkan pada permulaan bab ini. Perilaku parasitik ini tidak 290
Memburu Rente sebagai Parasit Pembangunan
hanya telah menciptakan pemborosan sosial secara luar biasa, tetapi juga telah membelokkan tujuan pembangunan bangsa, yaitu dari menciptakan masyarakat bangsa yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat pemburu rente, seperti yang diungkapkan Anne O Krueger 40 tahun yang lalu. Berbagai agensi ini menggunakan potensi dan kreativitasnya untuk mencari keuntungan dalam berbagai ranah (sphere) dengan berbagai cara hanya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya saja. Perilaku mereka benar-benar mencerminkan parasit yang menyedot apa saja dan di mana saja tanpa pandang bulu, dan oleh karena itu perilaku memburu rente adalah Parasit Pembangunan.
*
291