SKENARIO III:
BAGAI POHON TAK BERBUAH
CIRI-CIRI KUADRAN III
“BAGAI POHON TAK BERBUAH” Sebagai berikut : 1.
Bebas dari rasa takut tetapi masih banyak anak yang putus sekolah; 2. Kurangnya fasilitas pendidikan yang diberikan oleh pemerintah; 3. Masih adanya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme); 4. Menurunnya tingkat kelulusan akhir; 5. Masih adanya pengangguran; 6. Meningkatnya penyalahgunaan tekhnologi; 7. Menurunnya proses belajar mengajar; 8. Menurunnya penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi; 9. Profesionalisme pengajar yang masih kurang; 10. Menurunnya prestasi anak.
2
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
SKENARIO III:
BAGAI POHON TAK BERBUAH
Tepat di bawah menara Eiffel,Jamilah duduk di kursi taman dan membayangkan keadaan di kampung halaman. Empat tahun sudah dia tidak pulang ke Aceh kampung halaman tercinta, yang telah lama dia tinggalkan demi mengikuti pendidikan di negeri orang... Saat jari-jemari jamilah terus bermain di atas laptopnya, dia mengingat kembali belasan tahun yang silam, di saat Aceh damai tetapi banyak pelajar tidak bisa meneruskan pendidikan mereka, meningkatnya pengangguran, dan rendahnya pertumbuhan ekonomi membuat masyarakat Aceh menjerit, sungguh keadaan yang menyedihkan! Jamilah seorang gadis desa, yang bertempat tinggal di pelosok daerah Aceh. Ayahnya hanya seorang pekerja serabutan, tidak mempunyai pekerjaan tetap, ibunya seorang buruh kasar, Jamilah sangat beruntung mempunyai orang tua angkat seorang pengusaha, mereka sangat menyayangi Jamilah seperti anak kandung mereka sendiri. Semua orang tua pasti menginginkan pendidikan yang layak untuk anaknya maka untuk mencapai itu semua, orang tua angkat Jamilah segera mencari sekolah dengan mutu pendidikan baik, di Paris Perancis. Pilihan itu terpaksa dilakukan karena mutu pendidikan di Indonesia dan di Aceh sangat tidak jelas, setiap ajaran baru berganti kurikulum pendidikan. Menurut MENDIKNAS kurikulum yang berubah tiap tahunnya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, tapi yang terjadi di Aceh bukan kemajuan malah semakin menurunkan angka kelulusan. Alasan itu yang membuat orang tua Jamilah segera menyekolahkan Jamilah ke luar negeri. Sampai saat ini Jamilah bisa menalankan pendidikan yang layak.
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
3
Sambil terus mengotak-atik laptopnya. Jamilah terpikirkan keadaan Aceh sekarang. Apakah telah maju, ataukah masih seperti yang dulu? Keesokkan harinya, Jamilah menelpon ayah angkatnya, yaitu Pak Razali, seorang pengusaha Batu Bara di Aceh. Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali
: “Hallo.. Assalamua’laikum, Pak?” : “Waa’laikumsalam, Milah! Peuhaba, neuk?” : ”Haba get, Pak! Bapak ngoen keluarga peuhaba? Kiban haba disinan?” : ”Haba get chit. keadaan di sinoe mantoeng sama. Lagee baroejeh, mantoeng le aneuk yang putoh sikula, cuma keadaan jih ka aman disinoe!” : ”Alhamdulillah, lah menyoe ka aman. Saleum keu keluarga Pak beh! Assalamua’laikum?” : ”Jeut, waa’laikum salam”.
Setelah mendapat kabar dari keluarganya, Jamilah berangkat kuliah, di sebuah universitas yang terkenal di Paris, universitas itu telah banyak menjadikan mahasiswa yang berpotensi dan mampu bersaing dalam era globalisasi. Universitas ini memiliki disiplin yang tinggi, tenaga pengajar yang sangat profesional, fasilitas pendidikan cukup lengkap, tidak seperti di Aceh. Jika dibandingkan dengan Paris “Bagaikan langit dengan bumi” Jam kuliahpun telah berakhir, Jamilah segera pulang, hatinya tidak sabar untuk segera chatting dengan keluarganya di Aceh melalui Adik angkatnya yang bernama Rahmat, Jamilah berpikir lebih enak berkomunikasi lewat internet dari pada lewat handphone, karena bayarnya lebih murah. Jamilah Rahmat Jamilah Rahmat
4
: “Dek apa kabar? Bagaimana sekolahmu di Aceh?” : “Kabarnya kurang baik, Kak! Aku gagal Kak, aku tidak lulus. Di Aceh banyak siswa yang tidak lulus!” : ”Astaghfirullah… Kenapa itu bisa terjadi, kejadian itu sama waktu Kakak di Aceh dulu? Kamu malas belajar ya? karena itu kamu tidak lulus?” : ”Aku belajar Kak, Kakak kan tahu standar kelulusan di Aceh, setiap tahun meningkat semangkin tinggi, sehingga mengakibatkan meningkat pula ketidak lulusan, hampir 75% Kak! Pusing Kak, kalau ini terjadi terus Aceh 2018 akan penuh dengan pengangguran. Sampai disini dulu ya Kak, aku ada urusan sebentar. Wassalam, Kak.
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
Haripun menjelang senja, Jamilah langsung mandi pada saat mandi lamunannya menerawang memikirkan nasib adik dan anak-anak Aceh lain yang tidak lulus, masih saja pemerintah tetap melakukan suatu kebijakan yang salah. Tahun 2018 Aceh menjelma menjadi penghasil generasi dengan masa depan yang buruk, seterusnya Aceh akan hancur, pendidikannya pasti terpuruk, pasti anak Aceh tidak akan merasakan pendidikan yang layak kalau Pemerintah tetap tidak menghiraukannya. Jamilah baru tersadar dari lamunannya, langsung dia keluar dari kamar mandi, dan merapikan dirinya. Malam yang indah selalu dirasakannya di Paris. Jamilah membuka laptopnya untuk membuat tugas kuliah, apabila dia tidak mengerjakan tugas itu, pasti dia akan diberikan sanksi berbeda dengan di Aceh, kalau bahasa Aceh dibilang “aneuk-aneuk Aceh kiban but droe” pengajar nya pun tidak memperdulikan nya, kalau mau, dikerjakan kalau tidak ya “No Problem” lain hal dengan di sini “harus buat!”. Kini sang surya tersenyum, pagi ini aku kuliah lagi, setelah mengumpulkan tugasku, aku langsung mendengarkan penjelasan dari dosen. Pikiranku terpaku memikirkan Aceh…aku teringat akan pendidikanku dulu di Aceh di kala itu tingkat kelulusan menurun, kebingungan terjadi setiap tahun karena tidak ada kepastian tentang kurikulum pendidikan, pengajarnya hanya memberikan materi saja dan muridnya hanya mencatat tanpa diberikan penjelasan yang jelas. Guru di Aceh hanya memikirkan dirinya sendiri tidak memikirkan kualitas pendidikan. Semua murid hanya mencatat, mencatat, dan mencatat seterusnya mencatat tanpa diberikan penjelasan oleh guru. Tanpa terasa lamunannya tentang masa saat dia berada di Aceh dulu telah menghabiskan waktu belajar nya, jamilah pulang karena hari ini dia merasakan lelah dan membuat cacing dalam perutnya berontak, diapun segera makan, tiba-tiba handphonenya berdering sambil berlari ke dalam kamar, dia mengangkat handphonenya.
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
5
Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali Jamilah
: “Hallo.. Assalamua’laikum, dengan Jamilah di sini, ini siapa?” : “ini Bapak Milah, pulang yaa!” : “Ada apa, Pak?” : “Ayah milah sakit keras. Milah pulang yaa!” : “Baiklah Pak, secepatnya Milah pulang!”
Sebelum tidur, dia terus memikirkan keadaan ayahnya yang ada di Aceh, dia tidak sabar untuk terbang ke Aceh. Pagi harinya dia langsung pergi ke bandara, tanpa berpikir panjang dia langsung membeli tiket penerbangan pertama agar segera sampai ke Aceh. Penerbangan 8 jam serasa mencemaskan Jamilah, kini pesawatnya telah mendarat di Bandara Iskandar Muda, tepatnya di Blang Bintang, Aceh Besar. Perubahan itu seketika membuat Jamilah diam seribu bahasa, meskipun diam tetapi hati kecilnya berkata “subhanallah” Serambi Mekkah dulu memiliki bandara yang sangat sederhana, tapi sekarang perubahannya cukup drastis, perkembangan yang luar biasa pesat. Masyarakat telah beraktivitas seperti biasa tidak seperti pada saat Aceh, dilanda konflik. Pemandangan itu tidak membuatnya lupa akan kondisi ayahnya, Jamilah terus berangkat dengan menggunakan taxi ke rumah ayang angkatnya, Pak Razali. Sesampainya di sana, Ia terus meneruskan memikirkan kondisi ayah, perjalanan ke rumah ayah kandungnya di Desa Lamara bersama keluarga Pak Razali. Di tengah perjalanan ia melihat kondisi pembangunan di Aceh tetap masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali,apakah pembangunan di sini tidak ada? Sedangkan Aceh telah damai, dana-dana pembangunan, seperti gedung-gedung sekolah pasti ada tapi kenapa tidak tersalurkan? Itulah yang dipikirkan Jamilah selama diperjalanan. Jamilah terus terdiam, dalam lamunannya ia selintas berpikir akan keadaan itu, ketika warung-warung banyak dipenuhi para pemuda pengangguran. Saat itu, yang ada dipikiran Jamilah hanya tanya??? Mungkin ini adalah pemudapemuda yang tidak lulus yang pernah dibilang Rahmat. Bagaimana masa depan mereka kalau sistem pendidikan selalu berubah, ini sich bukan semakin baik, mau meningkat, eh malah merosot. Ia terus melamun dan membawa pada memorynya saat ia duduk di bangku SMU. Kejadian ini pernah dirasakannya, saat itu tuntutan pemerintah tentang UAN, serta tingkat standar kelulusan yang tinggi, membuat generasi anak Aceh tidak bisa menggapai cita–cita mereka, akibat terhalau oleh kebijakan yang sadar atau tidak sadar menambah angka kebodohan, penganguran, kriminalitas, serta kemiskinan terus mendekap tubuh rakyat Aceh. Kini semua itu mendekati Acehku lagi. Terdengar suara klakson, yang membuatnya terhentak dan memutuskan lamunannya.
6
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
Tidak terasa sampailah Jamilah ke rumah orang tua kandungnya, spontan wajah Jamilah heran, dia tidak tahu bahwa orang tuanya, menderita penyakit yang sangat parah, terlambatnya penyembuhan akibat perekonomian keluargannya tak mampu. Pemerintah tidak memerhatikan kaum miskin seperti ayah Jamilah, kemiskinan yang terus meningkat di daerah perdesaan seperti daerah Lamara, Desa Lamara merupakan desa kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Setelah beberapa minggu di Aceh, Jamilah harus kembali ke Perancis, banyak tugas kuliah yang Jamilah tinggalkan. Sesampai di bandara Jamilah berpesan pada Rahmat adik angkatnya, bahwa pendidikan adalah faktor kunci untuk mencapai kesuksesan. Pesawat terus terbang menuju bandara Paris, dalam perjalanan itu Jamilah terus berpikir apa yang dilakukan oleh Pemerintah, membuat berbagai kebijakan seenak hatinya tanpa memikirkan konsekuensinya! Dasar Pemerintah hanya selalu bisa membuat kebijakan saja, tapi dia yang melanggar! Aceh ternoda lagi, itu kata–kata yang tepat untuk bumi Serambi Mekkah itu, yang terkenal dengan Syariat Islamnya. Ada petugas Wilayatul Hisbah (WH), yang siap menjalankan tugas merazia para remaja Aceh yang tidak memakai jilbab, menangkap para pemuda–pemudi yang berbuat mesum kemudian di cambuk di depan umum. TETAPI peraturan itu tidak berlaku bagi para petugas WH, tidak berlaku bagi para PEJABAT, tidak berlaku bagi HAJI MABUR, mereka berpesta pora melakukan mesum. Bahkan mereka tega memperkosa anak di bawah umur. Jika melihat hal yang pernah terjadi di Aceh saat itu, membuatku mengutuk kebijakan pemerintah yang munafik. Jamilah yang melamun dalam pesawat tak pernah terbayang dalam benaknya, perjuangan dulu dalam mencapai perdamaian ternyata tidak berdampak positif terhadap pendidikan di Aceh. Padahal anak-anak Aceh sangat memerlukan pendidikan. Dia teringat saat itu dalam keadaan konflik dia pergi sekolah, letupan sejata di mana-mana, dentuman bom disetiap daerah membuat Aceh seakan daerah Perang Gerilya. Tapi sekarang damai sudah nyata di tangan kita. Namun masih ada juga anak-anak Aceh yang putus sekolah, akibat keterbatasan ekonomi dan kurangnya lapangan kerja untuk orang tua mereka.
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
7
Lamunannya pun hilang, saat pesawat tiba di bandara internatinonal Paris, hanya perbedaaan yang terasa dibenaknya kini. Saat dia menginjakkan kaki di tanah Aceh, yang terlihat di sana hanya orang nongkrong di warung kopi, sedangkan di sini orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sedikit jumlah pengangguran. Sampai di rumah, dia langsung tertidur, tidak menghiraukan kebisingan orang yang beraktivitas di luar Jamilah bermimpi kalau dirinya kembali ke masa lampau di mana dia masih remaja, banyak anak-anak yang diekploitasi, sangat mengerikan pada masa itu. Dia yang seorang anak gadis desa, merasakan ketakutan yang sangat luar biasa karena biasanya anak-anak dan remaja perempuan dijadikan sasaran empuk oknumoknum yang tidak bertanggung jawab untuk diperdagangkan. Jamilah terbangun dari mimpi buruk itu, dia berpikir kalau itu menjadi kenyataan. Neskipun faktanya dia sudah barada pada situasi damai, bukan lagi tahun di mana manusia di bantai, perempuan dilecehkan, banyaknya traffickin. Kalau dipikir kenangan buruk itu akan selalu membekas bagai luka yang meninggalkan bekas. Kemudian ia segera berwudu, ternyata dia belum salat maghrib, setelah selesai salat dia selalu berdoa agar Aceh maju, tidak ada lagi pengangguran dan anak-anak putus sekolah. Dalam hatinya dia bertanya mungkinkah itu? Apabila pemerintah tidak menghiraukan pendidikan di Aceh, dengan buruknya profesionalitas tenega pengajar, tetap seperti dulu masih memegang program CBSA yaitu catat buku sampai abis, sedangkan didikan nya tidak tau penjelasan dari semua catatan itu.Pendidikan di Aceh akan hancur tidak ada lagi generasi penerus Aceh ini, yang ada hanya kebodohan, pengangguran, dan kemiskinan. Jamilah merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan Aceh karena dia merupakan generasi Aceh. Apabila Aceh hancur Jamilah sangat menyesal karena dia tidak dapat menjadi penerus Aceh, yang dapat menyelesaikan masalah di Aceh terutama masalah pendidikan di Aceh. Keesokkan harinya Jamilah mulai melakukan aktivitas kuliahnya, dia tidak ingin menyia-nyiakan harapan orang tuanya agar dia berhasil dan dia akan berjuang untuk mendapat gelar sarjananya di Universitas yang sudah di kenal Dunia itu. Dia harus membuktikan bahwa anak Aceh bisa dan mampu dalam mencapai gelar sarjana di Universitas Internasional itu, bukan hanya di Aceh atau di Universitas lain di Indonesia.
8
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
Semua orang, meskipun Aceh telah damai, tetapi pendidikannya rendah, karena para pejabat sibuk dengan memperkaya dirinya, makan uang yang bukan haknya, sibuk dengan nafsunya, sampai Britney Spears jadi cintanya, sibuk dengan uang 100 triliunnya menjadi Tikus Got bermain dengan Hukum. Dulu Jamilah mempunyai sebuah cita-cita yang sangat tinggi dia ingin menjadi seorang arsitek profesional, tapi karena kejadian dan keadaan yang dilihatnya pada waktu pulang ke Aceh beberapa waktu yang silam, dia ingin pulang kembali ke Aceh ingin mencuci otak para aparat, namun ia sadar bahwa di Aceh, memegang sistem UANG di atas segalanya. Jamilah ingin sekali mengubah situasi itu,padahal dia tahu itu tidak akan mungkin apa lagi dengan situasi yang sangat luar biasa. Teringat pada masa lalu saat dia masih duduk di sekolah, sewaktu anak-anak menjadi sasaran nafsu birahi “Tua Keladi”. Kasus itu menghebohkan seluruh LSM (organisasi non pemerintah) lokal maupun luar yang menangani masalah anak di Aceh, bersama dengan KPAID setempat melaporkan kejadian itu ke kantor polisi, tetapi permasalahan semakin runyam, ternyata si “Tua Keladi” telah membayar kepolisian dengan uang sehingga masalah itu tidak terselesaikan. itulah Acehku dikatakan damai tapi peraturan yang dibuat dilanggar oleh pejabat dan para orang kaya. Kini kita beralih ke bidang pendidikan, fakta yang terjadi saat ini ialah bahwa kini siswa di Aceh mengalami kemerosoatn moral, Gurunya tidak lagi dihargai, dia pikir ilmu itu untuk guru, padahal ilmu itu untuk para siswa, untuk masa depan mereka. Tapi murid tidak mengerti akan hal itu, hanya ke sekolah untuk D3 (datang, duduk, diam), bagaimana prestasinya dapat di raih kalau sekolah dengan cara seperti itu yang dianut pelajar di Aceh pikir jamilah, kejadian itu membuat Jamilah ingin menjadi guru yang profesional agar dapat menjadikan Aceh maju tahun 2018.
lama ada di Jamilah
Jamilah sekarang kuliah sudah sampai semester 4, tanpa terasa dia sudah lama di Paris, walaupun sudah di Paris, dia tidak pernah mengikuti budaya-budaya yang sekelilingnya. Dia tetap seperti Anak Aceh yang berjilbab dan menutup auratnya. Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
9
Oleh karena rasa kangennya terhadap keluaganya di Aceh, dia langsung berkomunikasi melalui telepone, Jamilah segera menelepone Pak Razali (ayah angkatnya). Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali Jamilah Pak Razali Jamilah
: “Assalamu’alaikum, Pak? Apa kabar, bagaimana keadaan keluarga di sana?” : “Waa’laikumsalam. Kabar baik, saat kita mengalami 1 permasalahan baru, Nak?” : “Apa itu Pak?” : “Masalahnya panjang Nak, tidak bisa bapak cerita di sini, Bapak akan menuliskannya disurat ya, Nak?” : “Kenapa tidak menggunakan email saja, Pak, Kan lebih cepat?” : ”Bapak tidak mengerti masalah email, Nak” : “Kan ada Rahmat?” : “Itulah masalahnya, Adikmu tidak ada dirumah, sampai di sini dulu ya! Nanti pulsamu habis, Assalamua’laikum? : “Waa’laikum salam.”
Sesampai di rumah, Jamilah langsung memikirkan masalah apa yang dialami oleh keluaganya. Semoga saja bukan masalah yang besar pikir Jamilah. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya pagi itu, Jamilah membuka kotak pos yang ada di depan rumahnya, dia langsung melihat isi kotak surat itu dia, membaca tulisan depan amplop, ternyata benar itu surat untuknya, surat dari Aceh, dari keluarganya.
Aceh,10 Agustus 2018
Assalamua’laikum wr.wb
Semoga anakku dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Sekarang Rahmat banyak sekali perbedaan, tidak seperti Rahmat yang dulu, tidak pernah meninggalkan salat lima waktu, selalu pulang tepat waktu, tidak pernah meminta uang yang berlebihan, tapi sekarang Rahmat yang dulu tidak ada lagi Rahmat sekarang selalu pulang telat, marah-marah selalu bentakbentak ibu dan bapak, salat tidak pernah dikerjakan lagi, yang lebih parahnya lagi, sekarang Rahmat sudah tau dengan namanya ganja. Bapak tidak mengerti mengapa bisa begitu,mungkin karena pergaulannya atau karena faktor ketidak lulusannya sehingga dia bisa depresi seperti itu. Bapak tidak tau lagi harus bagaimana cara 10
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
mengatasinya, mudah-mudahan Rahmat bisa kembali ke jalan yang benar, bisa kembali ke Rahmat yang dulu. Tetapi, Jamilah jangan khawatir, Insya Allah bapak bisa mengatasinya walaupun tidak sepenuhnya, sudah dulu ya, Nak. Semoga surat ini dapat menghilangkan sedikit rindu Jamilah kepada kami, salam dari Ayah dan Emak di kampung, Bapak dan ibu mendoakanmu. Bapakmu H.RAZALI Tanpa terasa air mata Jamilah mengalir bercucuran seperti menganak sungai saat membaca surat dari Bapaknya. Dia tidak menyangka kalau masalah keluarganya terlalu besar, dia juga tidak pernah membayangkan bagaimana efek ketidaklulusan berdampak sangat negatif terhadap Rahmat. Jamilah juga berpikir apakah pemerintah tahu kalau dampak ketidak lulusan dapat mengakibatkan sangat fatal terhadap anak-anak. Kenapa pemerintah terlalu tinggi untuk memberikan nilai standar kelulusan akhir, sedangkan pendidikan di Aceh sudah tahu rendah, sementara Gurunya tidak profesional. Itulah yang tidak bisa dipikirkan Jamilah terhadap pemerintah Aceh. Namun Jamilah tahu dia tidak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap pemerintah. Mungkin juga karena teknologi yang berkembang di Aceh. Itulah sebabnya Rahmat terpengaruh oleh penyalahgunaan teknologi, sehingga Rahmat seperti itu. Sekarang Jamilah hanya memikirkan solusi bagaimana cara mengembalikan Rahmat seperti dulu. Tiba-tiba handphone jamilah berbunyi, tapi nomernya tidak dikenal Jamilah. Jamilah Rahmat Jamilah Rahmat Jamilah
: “Hallo Assalamua’laikum. Siapa ini?” : “Ini Rahmat, Kak!” : ”O ada apa, Dek?” Ada yang bisa kakak bantu, sampai kamu nelpon kakak?” : “Kita chatting saja ya lebih murah” : “Ok dech”
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
11
Sesaat kemudian Jamilah membuka laptopnya sambil menunggu masuknya email. Jamilah memikirkan ada apa lagi dengan rahmat, masalah apalagi yang dihadapinya, tak lama setelah itu email Rahmat masuk. “Kak Jamilah, masa depan saya bagaimana sekarang? Coba kakak bayangkan, saya yang tidak lulus sekolah, pengangguran, dan waktu saya mencari pekerjaan di mana-mana tidak ada yang menerima saya, karena tidak ada ijazah” Lalu Jamilah membalas emailnya Rahmat; ”Setiap masalah itu pasti akan ada jalan keluarnya, seperti peribahasa banyak jalan menuju Roma tidak hanya dengan satu jalan. Rahmat jangan terpuruk hanya karena ketidaklulusanmu. Kamu bisa meniti masa depan mu tanpa adanya ijazah” Membaca email dari Rahmat, ingin rasanya Jamilah terus terbang ke kampungnya, melihat kembali keadaan kampungnya. Walaupun sudah damai masih saja dan terus meningkat angka pengangguran. Kata “makmur” belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh hanya merasakan aman tapi tidak pernah mengecap manisnya pendidikan.pendidikan di Aceh hanya dianggap sebagai omongan belaka,tidak ada yang menghiraukan pendidikan di Aceh agar maju. Perbuatan-perbuatan yang anarkis seperti penembakan, penculikan, pembunuhan tidak ada lagi di Aceh yang dulu menjadi faktor utama masyarakat Aceh takut untuk berativitas, takut mencari nafkah, dan takut untuk bersekolah, bukankah sekarang sudah damai tapi mengapa sekarang masih ada juga pengangguran dan putus sekolah? Mungkin tahun 2018 bisa dikatakan Aceh tidak mengenal lagi yang namanya pendidikan. Pendidikan selalu dianaktirikan. Padahal pendidikan itu merupakan salah satu faktor utama untuk memajukan Aceh. Aceh itu kapan maju kalau KEBIJAKAN pemerintah sangat lemah. Mana pemimpin Aceh yang dulu berjanji akan memajukan Aceh ini. Pemimpin sekarang hanya memikirkan perutnya sendiri tanpa menghiraukan rakyatnya, pemimpin sekarang hanya duduk dan goyang kaki di kursi jabatanya. Mereka tidak tahu lagi tugas Negara yang telah di amanahkan buat mereka. Korupsi di tahun 2018,kini sudah menjadi “budaya” dikalangan pemimpin sekarang. Sebenarnya pemimpinlah yang bertanggung jawab untuk memajukan dan mempedulikan Aceh dan rakyatnya. Tapi pemimpin sekaranglah yang menghancurkan rakyat, seperti pemuda-pemuda dan 12
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
anak Aceh yang putus sekolah serta banyaknya pengangguran. Mereka tidak menyadari kalau tidak ada rakyat, mereka tidak akan menjadi pemimpin, faktanya pemimpin sekarang seperti kacang yang lupa pada kulitnya. Dan tahun 2018, bisa diibaratkan dengan peribahasa “BAGAIKAN POHON TAK BERBUAH” di mana Aceh itu sudah damai, aman dan tidak adalagi kekerasan, namun di bidang lain yaitu bidang pendidikan. Pendidikan di Aceh kualitasnya sangat menurun, fasilitas pendidikan tidak pernah tersalurkan. Sebenarnya dana pendidikan itu ada, cuma karena ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, seperti pemimpin yang melakukan korupsi. Karena kurangnya pendidikan yang ada di Aceh, otomatis menyebabkan menurunnya prestasi-prestasi anak Aceh, pengangguran terus meningkat yang akhirnya Aceh ini akan hancur. Peribahasa ”BAGAIKAN POHON TAK BERBUAH” sangat cocok untuk dijadikan gambaran Aceh pada tahun 2018 karena Aceh sudah damai, tapi belum dapat menghasilkan pemudapemuda dan anak-anak yang dapat memajukan Aceh ini.
Mainstreaming Partisipasi Anak Dalam Pembanguna Perdamaian Pandangan Kelompok Anak dan Kaum Muda untuk Mengkonstruksikan Skenario Masa Depan Atjeh
13