Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU AZMI 1) , GUNAWAN1) dan EDWARD SUHARNAS3) 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu 2) Universitas Bengkulu
ABSTRAK Kerbau Benuang adalah ternak kerbau yang umumnya dipelihara secara ekstensif dan dikembangkan sejak lama oleh para petani Kabupaten Bengkulu Selatan dengan populasi ± 200 ekor. Pada tahun 2004 dilaksanakan studi polimorfisme genetik untuk mengetahui sumberdaya genetik atau plasma nutfah ternak yang terdapat di Propinsi Bengkulu. Identifikasi karakteristik morfologis dilakukan secara manual berdasarkan aspek subyektif diarahkan kepada pengalaman masyarakat terhadap ternak kerbau yang dipeliharanya, identifikasi karakteristik genetik dilakukan dengan menganalisis protein darah kerbau Benuang dengan menggunakan teknik elektroforesis. Analisis polimorfisme protein darah kerbau Benuang dilakukan terhadap 15 sampel yang diambil secara acak dari 25 ekor kerbau Benuang di Desa Babatan Ilir, Seginim, Air Umban, Tanjung Agung dan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan. Dari hasil studi diperoleh kesimpulan bahwa ciri morfologis kerbau Benuang yaitu warna bulu umumnya putih kemerahan dan hitam dengan bulu tubuh jarang dan kasar. Bentuk tubuh panjang dan padat, kepala kecil, rata-rata bertanduk sedang sampai panjang. Berat badan jantan dewasa antara 500 – 850 kg, betina dewasa 400 - 650 kg. Calving Interval (CI) 1,5 tahun dengan umur dewasa kelamin rata-rata 2,5 tahun. Kerbau ini cenderung liar dan lebih suka hidup di hutan. Analisis polimorfisme genetik pada protein darah menunjukkan bahwa (1) variabilitas genetik kerbau Benuang rendah, (2) memiliki variasi genotipee dan fenotip kerbau Sumatera dan (3) variasi frekuensi gen yang ditampilkan hampir sama dengan kerbau Sumatera Barat, sehingga dapat disimpulkan secara filogenetik kerbau Benuang satu keluarga dengan kerbau Sumatera Barat. Kata kunci: Kerbau Benuang, karakteristik morfologis dan genetik, lokus albumin, transferin, post transferin
PENDAHULUAN Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Wilayah Indonesia yang membentang luas dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah menciptakan keanekaragaman plasma nutfah yang sangat tinggi. Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal (KURNIAWAN et al., 2004). Untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, maka perlu perhatian yang besar terhadap plasma nutfah yang ada terutama varietas-varietas lokal baik tanaman maupun hewan. Perhatian diberikan dalam bentuk kegiatan inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi). Guna meningkatkan nilai gunanya perlu diikuti dengan upaya identifikasi karakter penting melalui kegiatan
karakterisasi dan evaluasi secara sistematis dan berkelanjutan seperti melalui seleksi maupun rakayasa genetik agar dapat dimanfaatkan (HANDOYO, 2005). Menurut MAEDA et al. (1980), sangat diperlukan upaya untuk mempertahankan ternak-ternak lokal di suatu daerah atau negara karena ternak-ternak tersebut telah begitu beradaptasi dengan keadaan lingkungan sendiri baik terhadap makanan yang bernilai gizi rendah maupun penyakit terutama di daerah tropis. Namun inventarisasi terhadap potensi berbagai sumberdaya genetik ternak, distribusi dan performans trend perkembangan populasinya masih belum lengkap sehingga sangat sulit dilakukan kebijakan-kebijakan yang strategis khususnya arah dan program kerja manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya genetik ternak baik secara morfologis maupun genetik. Akibat perkawinan silang ternak lokal dengan ternak-ternak impor yang dilaksanakan tanpa rencana dan evaluasi yang mantap, akan menyebabkan keragaman gen di dalam bangsa
107
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
dan antara bangsa ternak. Ternak-ternak lokal telah mengalami seleksi alam dan buatan oleh manusia setempat dan telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Sifat daya adaptasi ternak lokal yang baik terhadap lingkungan alamnya menjadi berkurang dikarenakan persilangan dengan bangsa-bangsa ternak lain, sedangkan untuk meningkatkan mutu genetik ternak-ternak lokal kurang sekali dilakukan (HARDJOSWORO, 1985). Suatu masalah penting dalam upaya pelestarinan sumberdaya genetik ini adalah mengenai macam keragaman genetik dan gengen yang perlu dipertahankan dalam populasi. Yang jelas gen-gen yang mengontrol daya tahan terhadap pengaruh lingkungan yang ekstrim seperti temperatur yang tinggi dan temperatur yang rendah dan terhadap penyakit virus, bakteri harus dipertahankan (YELLITA, 1998). Daya tahan umumnya sudah dimiliki oleh ternak-ternak lokal setempat dan daya tahan ternak-ternak lokal ini berkurang oleh pengaruh persilangan dengan ternak-ternak impor dari daerah lain. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk mempertahankan dan melestarikan ternak-ternak lokal ini secara murni dan meneliti tentang gen-gen unik yang dimiliki (MANSJOER, 1985). Populasi ternak kerbau di Propinsi Bengkulu tahun 2005 berjumlah 45.536 ekor ekor (DINAS PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN BENGKULU, 2006), diantaranya terdapat kerbau Benuang. Kerbau ini banyak tersebar dan telah lama dipelihara secara ekstensif di Kabupaten Bengkulu Selatan. Kerbau tersebut disinyalir sebagai ternak asli Bengkulu. Penelaahan informasi genetik kerbau Benuang ini dirasa penting jika dilihat keadaan morfologisnya di tingkat lapangan serta lokasi pemeliharaannya. Diasumsikan bahwa dari hasil inventarisasi karakter morfologis yang telah dilakukan sebelumnya bahwa semakin dekat jaraknya dengan daerah lain yang memiliki ternak dengan spesies yang berbeda, semakin besar kemungkinan terjadinya perkawinan silang. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dilakukan studi tentang karakteristik morfologis dan genetik kerbau Benuang. Studi bertujuan selain untuk menginventarisasi plasma nutfah atau sumberdaya genetik ternak
108
yang terdapat di Bengkulu juga memperoleh data dasar tentang karakteristik morfologis dan genetik ternak yang diduga merupakan spesifik Bengkulu. MATERI DAN METODE Studi dilaksanakan pada tahun 2004, selama 1 tahun, meliputi kegiatan inventarisasi, identifikasi karakterisasi morfologis dan genetis. Inventarisasi plasma nutfah dilaksanakan dengan (1) pengumpulan data sekunder dan informasi dari Dinas/instansi terkait di seluruh Kabupaten dan Kota untuk menentukan jenis ternak yang paling berpeluang sebagai bahan inventarisasi, (2) pengumpulan data primer dengan pengamatan di lapangan dan (3) melakukan uji karakteristik genetik terhadap sampel darah ternak. Pengamatan morfologis dilakukan di daerah dengan penyebaran/populasi tertinggi (5 desa), secara manual berdasarkan aspek subyektif diarahkan kepada pengalaman masyarakat terhadap ternak kerbau yang dipeliharanya. Semua karakter atau ciri-ciri morfologis ditabulasikan sehingga diperoleh ciri-ciri morfologis yang diharapkan. Identifikasi karakteristik genetik dilakukan dengan menganalisis protein darah kerbau Benuang dengan menggunakan teknik elektroforesis. Analisis polimorfisme protein darah kerbau Benuang dilakukan terhadap 15 sampel yang diambil secara acak dari 25 ekor kerbau Benuang. Protein merupakan salah satu makromolekul yang dihasilkan sel hidup yang berfungsi antara lain sebagai tempat menyimpan informasi genetik (RODWELL, 1983), dan merupakan produk langsung gen yang relatif tidak terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Setiap kelompok protein diwariskan dari generasi ke generasi dan merupakan penampilan bentuk alel pada lokusnya (NICHOLAS, 1987), sehingga dengan mengetahui karakteristik protein darah dapat diketahui genotipe setiap individu dan populasinya. Elelektroforesis merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk memisahkan berbagai molekul kimia dengan menggunakan arus listrik. Pemisahan dilakukan berdasarkan ukuran, berat molekul
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
dan muatan listrik yang dikandung oleh makro molekul (OGITA dan MARKET, 1979). Menurut MAEDA et al. (1980), elektroforesis tidak hanya digunakan untuk mendeteksi variasi alel gen dari suatu individu tetapi juga dapat digunakan untuk menduga variasi genetik dalam suatu populasi. Perbedaan yang diatur secara genetis telah ditemukan dalam globulin (transferin), albumin dan enzim-enzim darah dan haemoglobin. Perbedaan tersebut ditentukan dengan prosedur biokimia antara lain dengan elektroforesis. Polimorfisme biokimia yang diatur secara genetis sangat berguna untuk membantu penentuan asal usul dan menyusun hubungan filogenetis antara spesies-spesies.
dari Sumatera Barat yang dibawa oleh para pedagang ke Bengkulu. Dari hasil inventarisasi, diperoleh ciri-ciri morfologis kerbau Benuang seperti disajikan pada Gambar 1. Warna bulu umumnya putih kemerahan dan hitam dengan bulu tubuh jarang dan kasar. Bentuk tubuh panjang dan padat, kepala kecil, rata-rata bertanduk sedang sampai panjang. Berat badan jantan dewasa antara 500 – 850 kg, betina dewasa 400 - 650 kg. Calving Interval (CI) 1,5 tahun dengan umur dewasa kelamin rata-rata 2,5 tahun. Kerbau ini cenderung liar dan lebih suka hidup di hutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil elektroforesis terdapat 3 (tiga) jenis protein darah yang dapat diamati yaitu : Albumin (Alb), Transferin (Tf) dan Posttransferin (Ptf), disajikan pada Gambar 2, penampilan plasma darah kerbau Benuang dengan menggunakan gel acrilamid disajikan pada Gambar 3. Pengamatan ini sama dengan hasil penelitian MARTOJO et al. (1980) ditemukan 3 jenis protein yang sama pada kerbau yang terdapat di Indonesia dikutip dari Hardjosworo (l985).
Karakteristik morfologis Kerbau Benuang adalah ternak kerbau yang umumnya dipelihara secara ekstensif dan dikembangkan sejak lama oleh para petani Kabupaten Bengkulu Selatan. Petani tidak mempunyai kandang khusus untuk memelihara kerbau ini. Populasi ± 200 ekor, banyak tersebar di Desa Babatan Ilir, Seginim, Air Umban, Tanjung Agung dan Kedurang. Berdasarkan informasi, kerbau tersebut berasal
Karakteristik genetik
Gambar 1. Karakteristik morfologis kerbau Benuang
109
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Ptf
Tf
Alb
Keterangan Type Ptf
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
Type Tf
DE
AE
DE
DE
DE
DE
AE
DE
DE
DE
Type Alb
AX
AX
AX
AX
AA
AX
AX
AX
AX
AA
Gambar 2. Bektroporegram albumin, transferin, post transferin plasma darah kerbau Benuang
Gambar 3. Plasma darah kerbau Benuang menggunakan gel acrilamid
Lokus Albumin (Alb), ditampilkan oleh semua individu sampel yang dianalisis. Jumlah band (pita) yang ditampilkan sebanyak 3 (tiga) pita yaitu : Tipe A (AlbA) dengan frekuensi gen 0,60, tipe B (AlbB) frekuensi gen 0 dan Tipe X
110
(AlbX) frekuensi gen 0,4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi genotipe maupun fenotipe pada Lokus Albumin pada individu ternak kerbau Benuang.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Hal ini sesuai dengan penelitian MARTOJO (1980) yang dilaporkan Hardjosworo (l985) bahwa pada kerbau Sumatera pada umumnya juga ditemukan variasi genotipe seperti yang terdapat pada kerbau Benuang Bengkulu Selatan. Namun frekuensi gen yang ditampilkan kerbau Benuang hampir sama dengan kerbau Sumatera Barat yaitu : Tipe A (AlbA) frekuensi gen 0,4118, tipe B (AlbB) 0 (nol) dan Tipe X (AlbX) 0,5882. Diperoleh kesimpulan bahwa tipe Albumin seperti ini merupakan gen penciri semua kerbau Sumatera. Pada Lokus Transferin (Tf), ditemukan 3 (tiga) tipe alel transferin yaitu : Tipe A (AlbA) dengan frekuensi gen 0,1, tipe D (AlbD) frekuensi gen 0,4 dan Tipe E (AlbE) frekuensi gen 0,5, disajikan pada Tabel 1. Hal ini berarti bahwa pada alel transferin terdapat polimorfik. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian MARTOJO tersebut di atas bahwa 3 tipe alel pada umumnya dimiliki oleh kerbau Sumatera, termasuk kerbau di Sumatera Barat dengan
frekuensi gen masing-masing yaitu 0,3055, 0,6667 dan 0,0278. Sedangkan pada kerbau Jawa, Toraja dan Ujung Pandang tidak ditemukan adanya tipe E (AlbE) atau frekuensi gen lokus ini adalah 0 (nol). Frekuensi gen 0,4118, tipe B (AlbB) 0 (nol) dan Tipe X (AlbX) 0,5882. Tipe Albumin seperti ini merupakan gen penciri semua kerbau Sumatera. Dengan demikian diasumsikan bahwa kerbau Benuang merupakan keturunan atau secara filogenetik satu keluarga dengan kerbau Sumatera Barat. Keragaman genetik Berdasarkan hasil interpretasi fenotipe masing-masing individu yang dianalisa dapat diduga tingkat variabilitas genetik individuindividu kerbau Benuang dengan rata-rata angka heterozigositas 0,3533 atau 35,33%, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Variasi elektroforesis serum fenotipe albumin (Alb), transferin dan post-tranferin dan frekwensi gen kerbau Benuang Jenis serum
Jumlah. sampel
Fenotipe
Frekwensi gen
A
AB
AX
B
BX
X
A
B
X
Albumin
5
1
0
4
0
0
0
0,6
0
0,4
Transferin
5
A
AD
AE
D
DE
E
A
D
E
0
0
1
0
4
0
0,1
0,4
0,5
A
AB
B
-
-
0
A
B
5
0
0
1,0
0,0
Posttransferin
5
Tabel 2. Variabilitas genetik kerbau Benuang No
Lokus / Gen
Heterozigositas (h)
1
Albumin
0,48
2
Transferin
0,58
3
Post transferin
Jumlah
0 1,06
Rata-rata
0,3533
Persentase
35,3
111
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Rendahnya angka hetrozigositas ini menunjukan keadaan sering terjadinya silang dalam populasi. Hal ini perlu diwaspadai karena kemungkinan terjadi peningkatan derajat inbreeding yang akan menyebabkan terjadinya implikasi negatif pada perkembangan populasi kerbau Benuang pada generasi berikutnya. Karena setiap terjadinya silang dalam (inbreeding) akan selalu diikuti dengan menurunnya usia hidup, laju kematian meningkat dan menurunnya tingkat kesuburan sekitar 54 - 72% (HELVOORT, 1988) dalam YELLITA (l998). Selain itu diperkirakan karena adanya perkawinan yang sering terjadi di padang penggembalaan antara kerbau Benuang dengan kerbau lain di lokasi yang sama dengan potensi genetik yang sama. KESIMPULAN DAN SARAN Karakteristik morfologis kerbau Benuang adalah warna bulu umumnya putih kemerahan dan hitam dengan bulu tubuh jarang dan kasar. Bentuk tubuh panjang dan padat, kepala kecil, rata-rata bertanduk sedang sampai panjang. Berat badan jantan dewasa antara 500 – 850 kg, betina dewasa 400 - 650 kg. Calving Interval (CI) 1,5 tahun dengan umur dewasa kelamin rata-rata 2,5 tahun. Kerbau ini cenderung liar dan lebih suka hidup di hutan. Kerbau Benuang memiliki gen penciri kerbau Sumatera, secara filogenetik sama dengan kerbau Sumatera Barat. Tingkat variabilitas genetik kerbau Benuang masih rendah. Perlu dilakukan upaya lanjut guna melestarikan plasma nutfah kerbau Benuang dengan melakukan kegiatan seleksi yang ketat dan penangkaran untuk mempertahankan variabilitas gen spesifik yang dimilikinya. Kegiatan pelestarian dan penangkaran yang dimaksud butir 1 dibuat dalam suatu program yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kegiatan yang terstruktur setiap tahun. Dibutuhkan dukungan semua instansi terkait dan multi disiplin ilmu dalam rangka
112
meneliti dan melestarikan plasma nutfah kerbau Benuang yang terdapat di Bengkulu. Hasil ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar ada kesamaan visi antara pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya pelestarian plasma nutfah ternak spesifik Bengkulu sebagai suatu keanekaragaman hayati di Propinsi Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN BENGKULU. 2006. STATISTIK PETERNAKAN KABUPATEN BENGKULU 2005. BENGKULU. HARDJOSWORO, P.S. 1985. Konservasi Ternak Asli. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor HANDOYO J., SHERLY SISCA dan MASTUTININGSIH. 2005. Sekilas Keragaman Hayati di Jawa Tengah. Warta Plasma Nutfah Indonesia. No.17. KURNIAWAN, IDA HARANIDA S, HADIATMI dan ASADI. 2004. KATALOG DATA PASPOR PLASMA Nutfah Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. MAEDA, Y., K.W. WASBURN and H.I. MARKS. 1980. Protein polymorphism in Quail population selected for largebody. Anim. Bloods Grps. Biochem. Genet. 11 : 215-260. MANSJOER, S.S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. NICHOLAS, F.M. 1987. Veterinary Clarendon Press. Oxford.
Genetics.
OGITA, Z. I and C.L. MARKET. 1979. A Miniaturized system for electrophorensis on polyacrilamide gells. Analytical Biochem. 99:233:241. RODWELL, V.N. 1983. Protein Biokimia (Review od Biochemistry) Edisi 19. EGC Penerbit Buku Kedokteran. YELLITA, Y. 1998. Pola Polimorfisme Protein Darah Itik Lokal Sumatra Barat. Thesis Pascasarjana Universitas Andalas Padang.