Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN KERBAU DI KABUPATEN LEBAK BANTEN (Strategy for Buffaloes Farming Development in Lebak District of Banten Province) I.G.M. BUDIARSANA, E. JUARINI dan L. PRAHARANI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Buffalo is one of ruminant animal that is potential in contributing to national meat supply. The specific characteristics of buffaloes can be used as a commodity business in many agro-ekosystem. Field research was conducted in Lebak District, of the Province of Banten to identify farming patterns that are suitable for buffalo breeding system, in July – October 2010, using a survey method involving 20 respondent farmers at the village of Sindangmulya of oil palm plantations agro ecosystems (AES) and 16 farmers in Neglasari which is catagorized as an agroecosistem (AES) of rice field. Selected farmers were selected as key persons such as extension workers, community leaders and officials of Animal Husbandry Department and were interviewed on some aspects of buffalo farming. Variables observed included number of livestock ownership, the experience of raising buffalo, pattern of maintenance, ownership, business purposes. Data were analyzed and presented descriptively. The results showed that the Lebak district has various agroecosystem (rice fields, plantations, beach suburb) that can support the buffalo farming. Business development strategy can be done through a regional pattern approach, supported by the pattern of group development using the partnership systems. The role of government should be able to find partners and farmers and to facilitate the partnership. Key Words: Buffalo, Farming, Agroecosystem ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang berpotensi dalam menyumbang kebutuhan daging nasional. Karakteristik yang spesifik kerbau dapat dimanfaatkan sebagai komoditas usaha diberbagai agroekositem. Penelitian lapang untuk mengidentifikasi pola usaha yang cocok untuk usaha peternakan kerbau dilakukan di Kabupaten Lebak Propinsi Banten pada bulan Juli-Oktober 2010, dengan menggunakan metode survei. Responden yang dilibatkan yaitu 20 orang peternak di Desa Sindangmulya agro ekosistem (AES) lahan perkebunan sawit dan 16 orang peternak di Desa Neglasari dengan (AES) persawahan. Selain itu juga diwawancarai (key person) yaitu: penyuluh, tokoh masyarakat dan pejabat Dinas Peternakan. Peubah yang diamati meliputi jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak kerbau, pola pemeliharaan, kepemilikan, dan tujuan usaha. Data dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Lebak memiliki berbagai agroekosistem (persawahan, perkebunan, dan pinggiran pantai ) yang dapat mendukung usaha peternakan kerbau. Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan melalui pendekatan pola kawasan yang didukung dengan pola pengembangan kelompok dengan kemitraan. Peran pemerintah harus mampu menjembatani mitra dan peternak. Kata Kunci: Kerbau, Ekonomi, Agro-Ekosistem
PENDAHULUAN Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia besar yang sangat potensial berkontribusi dalam penyediaan daging nasional. Populasi kerbau pada tahun 2009 yaitu sebanyak 2,0 juta ekor setara dengan
228
18,8% dari populasi sapi potong di Indonesia. Produksi daging sebesar 46 ribu ton (19%) dari produksi nasional. (DITJENNAK, 2009). Kerbau merupakan ternak semi akuatik di daerah panas dan lembab. Kondisi alam Indonesia merupakan habitat yang baik untuk
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
kerbau dimana 40% dari wilayah Indonesia beriklim tropis basah. Ternak ini dapat ditemui di berbagai agroekosistem, dan hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi kerbau relatif tinggi. Pada daerah tertentu posisi kerbau dijadikan ternak primadona karena preferensi masyarakatnya. Beberapa daerah yang masyarakatnya lebih memilih daging kerbau yaitu masyarakat di Kabupaten Blora dan Banten, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Propinsi Banten merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang populasi kerbau relatif banyak. Jumlah populasi kerbau di propinsi ini yaitu sebanyak 157.594 ekor (DITJENNAK, 2009) atau 8% dari total populasi kerbau Indonesia. Jumlah populasi tersebut menempati ranking nomor 4 di Indonesia setelah Propinsi Nangro Aceh, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Populasi ternak kerbau di Banten lebih tinggi dibandingkan dengan populasi ternak sapi potong, dan tersebar di berbagai Kabupaten. Populasi kerbau di Kabupaten Lebak yaitu sebanyak 56.105 ekor atau 37% dari total populasi Banten. Populasi dan produktivitas kerbau di Indonesia secara umum mengalami penurunan antara lain disebabkan oleh pola pemeliharaan masih tradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kekurangan pakan (musim kemarau), kematian pedet yang cukup tinggi (sekitar 10%), dan penurunan produktivitas. Akan tetapi, di beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah seperti pada daerah perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa) yang memiliki sumber biomass cukup tinggi, usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan dengan pola integrasi dan diharapkan dapat menjadi kawasan pusat pembibitan kerbau. Hingga saat ini perkembangan usaha kerbau belum merakyat dan tidak populer seperti halnya usaha ternak sapi ataupun ternak lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak berkembangnya usaha peternakan kerbau. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas, yang diawali dari rendahnya
kinerja reproduksi maupun breeding. Aspek sosial dan ekonomi juga berperan besar dalam mendorong perkembangan usaha ternak ini. Keterbatasan modal dan kebiasaan peternak perlu dicarikan solusi ataupun jalan keluarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini membahas tentang pola usaha peternakan kerbau, mendeskripsikan model pola kemitraan dan inovasi teknologi yang memungkinkan untuk di terapkan sesuai dengan agroekosistem yang ada di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Lokasi dipilih berdasarkan populasi kerbau terbesar (kantong produksi ternak) dan lokasi yang memiliki pola produksi yang khas yaitu pola dikandangkan dan pola yang terintegrasi dengan tanaman perkebunan. Waktu penelitian yaitu bulan JuliOktober 2010. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Studi Kasus, dengan melibatkan para peternak kerbau sebagai responden. Sebanyak 20 orang peternak di lokasi Solear dan 16 orang peternak di lokasi Neglasari. Kelompok Peternak Solear jaya terletak di Kampung Solear, Desa Sindang Mulya di Kecamatan Maja dengan agroekosistem perkebunan sawit. Sementara itu, kelompok peternak Bukit Satwa Negalasari terletak di Desa Neglasari Kecamatan Rangkasbitung. Daerah ini termasuk agroekositem persawahan. Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang dirancang khusus untuk penelitian ini. Data sekunder meliputi keadaan umum daerah penelitian atau hal-hal yang dirasa perlu untuk mendukung penelitian yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang terkait. Peubah yang diamati meliputi jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak kerbau, pola pemeliharaan, kepemilikan, dan tujuan usaha. Data dianalisis dan disajikan secara deskriptif.
229
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum Kabupaten Lebak Kabupaten lebak secara geografis terletak antara 106,00 – 106,25 BT dan 5 – 10 LS. Secara administratif wilayah Kabupaten Lebak dikelilingi oleh beberapa Kabupaten, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan dua Kabupaten yaitu Serang dan Tangerang, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang, disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi, sedangkan di bagian selatan wilayah Kabupaten Lebak adalah Samudera Indonesia. Tabel 1. Sumber daya lahan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Jenis lahan
Luas (ha)
Sawah
42.023
Tegal/kebun
44.533
Ladang/huma
25.776
Padang pengembalaan
723
Rawa
73
Perkebunan
57.153
Total
170.763
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Lebak 2004 – 2007
Luas wilayah Kabupaten Lebak yaitu 285.996 ha dan sebanyak 170,7 ribu hektar merupakan lahan yang potensial dijadikan
sebagai daerah pengembangan peternakan (Tabel 1) yang sangat mencolok yaitu hampir 33,4% wilayah Kabupaten Lebak merupakan wilayah perkebunan, dan ini sangat potensial di integrasikan dengan ternak. Populasi kerbau Sebaran populasi kerbau Kabupaten Lebak terdapat di berbagai Kecamatan (Tabel 2). Populasi kerbau yang paling banyak (> 3000) terdapat di empat Kecamatan yaitu: Cijaku, Cipanas, Sajira dan Maja. Pada umumnya populasi kerbau di berbagai kecamatan berkisar antara 1000 – 3000 ekor. Karakteristik peternak kerbau Karakteristik peternak kerbau di Kabupaten Lebak tercantum pada Tabel 3. Pada umumnya pekerjaan utama para peternak di kedua lokasi penelitian adalah sebagai petani, sedangkan memelihara kerbau merupakan pekerjaan sambilan. Rataan pemilikan lahan di Kelompok Solear Jaya adalah 0,7 ha sedangkan para peternak kerbau Bukit Satwa Neglasari hanya 0,34 ha. Rataan usia peternak di kedua lokasi tidak jauh berbeda, yaitu 45 tahun di kelompok Bukit Satwa Neglasari sedangkan 50 tahun di kelompok Solear Jaya. Rata-rata pendidikan peternak yaitu sekolah dasar dengan pengalaman berternak kerbau berkisar antara 14 – 17 tahun.
Tabel 2. Populasi dan rasio kerbau jantan dan betina di berbagai kecamatan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Populasi (ekor)
Rasio (%)
Kecamatan
Jantan
Betina
3000 – 4600
18,99
81,01
Cijaku, Cipanas, Sajira dan Maja
2000 – 3000
15,96
84,04
Cikulur, Cibadak, Curug Bitung, Panggarangan, Muncang, Bojongmanik dan Cileles
1000 – 2000
34,45
65,55
Cirenten, Warunggunung , Cibeber, Sobang, Rangkasbitung, Bayah, Cigembong, Lebak Gedong, Cimarga, Cihara dan Kalang Anyar
< 1000
20,31
79,69
Cilograng, Banjarsari, Wanasalam, Malimping, Gunung Kencana dan Leuwidamar
Sumber: DISNAK KABUPATEN LEBAK (2008) (diolah)
230
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Skala usaha peternakan kerbau di Kedua lokasi sedikit berbeda. Di Lokasi kelompok Solear Jaya skala usaha lebih tinggi yaitu 9 ekor/peternak, dibandingkan dengan di kelompok Bukit Satwa Neglasari hanya 3 ekor/peternak. Hal ini disebabkan karena luas pemilikan lahan dan adanya perkebunan sawit di lokasi kelompok Solear Jaya sebagai sumber pakan kerbau cukup tersedia dibandingkan dengan lokai kelompok Bukit Satwa Neglasari. Informasi yang diperoleh dari dinas perkebunan bahwa luas areal perkebunan Sawit di lokasi ini mencapai 4000 ha. Kondisi ini sangat mendukung upaya meningkatkan skala usaha karena para peternak diizinkan untuk mengembalakan kerbau di lahan perkebunan.
Penampilan reproduktivitas
produktivitas
dan
Secara umum terlihat bahwa proporsi karateristik eksterior kerbau di kelompok peternak Solear Jaya lebih besar dibandingkan dengan kerbau di Bukit Satwa Neglasari. Rataan tinggi gumba kerbau umur >2 tahun di Solear Jaya yaitu 122 cm sedangkan di Bukit Satwa Neglasari hanya 120 cm (Tabel 4). Sementara itu, pada ternak jantan dewasa. Dari hasil wawancara dengan para peternak menunjukkan bahwa rataan umur pertama beranak kerbau yaitu berkisar antara 3,5 – 3,7 tahun.
Tabel 3. Karakteristik peternak kerbau di kabupaten lebak Uraian Rata-rata umur petani (tahun)
Kelompok peternak Solear Jaya (n = 16)
Bukit Satwa Neglasari (n = 20)
50,5
45
Pengalaman beternak (tahun)
14
17
Pendidikan
SD
SD
Rata-rata pemilikan lahan (ha)
0,7
0,34
Pekerjaan utama Pekerjaan tambahan Skala usaha (ekor)
Bertani
Bertani
Beternak kerbau
Beternak kerbau
9,5 ± 3,3
3,2 ±1,14
Tabel 4. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau Uraian
Kelompok peternak kerbau Solear jaya
Bukit Satwa Neglasari
Induk umur > 2 tahun
45 ekor
30 ekor
Panjang badan
118,1 + 16,2
112,1 + 14,7
Tinggi gumba
122,1 + 9,6
120 + 11,2
Lingkar dada
176,2 + 13,1
168,5 + 9,3
15 ekor
15 ekor
126,3 + 12,4
116,1 + 10,8
Ukuran tubuh (cm)
Jantan umur > 2 tahun (20 ekor) Panjang badan Tinggi pundak
124,9 + 8,6
121 + 11,4
Lingkar dada
184,6 + 13,2
173,3 + 9,8
Fertilitas (%)
76
70
Umur beranak pertama (tahun)
3,5
3,7
Parameter produktivitas dan reproduktivitas
231
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Keunggulan kerbau Keunggulan kerbau dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya dapat dilihat dari berbagai karakteristiknya yaitu habitat, kerakteristik morfologi hingga anatomi dan fisiologi reproduksi dan nutrisinya. Kerbau dikenal sebagai ternak semi-aquatik (FAO, 1977; TULLOH,1991; WILLIAMSON dan PAYNE, 1965). Hal ini menunjukkan bahwa ternak ini dapat hidup di dua zone ekologi. Kerbau kalang dapat hidup di air atau rawa hampir sepanjang hari, pakannya adalah rumput-rumput yang tumbuh di genangan air. Kondisi ekologi ternak seperti ini dapat ditemui di Kalimantan Selatan dan sebagian pulau Sumatera. Sementara itu, kerbau lumpur dapat hidup di daratan dan di lahan yang kering sekalipun. Kerbau tipe ini sewaktu-waktu juga memerlukan air atau lumpur untuk berendam atau berkubang. Jenis kerbau lumpur ini dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Dibandingkan dengan ternak sapi, kerbau memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memanfaatkan jenis pakan yang berkualitas rendah. MUDGAL, 1999 melaporkan bahwa kerbau sangat tahan mengatasi tekanan dan
perubahan lingkungan yang ekstrim misalnya perubahan temperatur dan perubahan kondisi padang rumput. Dengan karakteristik kerbau seperti tersebut menunjukkan bahwa kerbau sangat responsif jika habitat dan manajemen pemeliharaannya diperbaiki (DAVENDRA dan IMAIZUMI, 1989; OGANOVIC, 1974). Pola usahaternak kerbau di Kabupaten Lebak Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan kerbau juga berbeda diantara kedua lokasi penelitian. Selain itu, peternak di Kelompok Solear Jaya jarang menyediakan pakan tambahan di kandangnya seperti halnya di Kelompok Bukit Satwa Neglasari. Peternak di Bukit Satwa Neglasari selalu menyediakan pakan tambahan di kandang kerbaunya untuk kebutuhan pakan pada malam hari. Penyediaan pakan (hijauan) di kandang kerbau ditujukan untuk ternak yang masih membutuhkan pakan setelah dilepas di padang pengembalaan. Berdasarkan status kepemilikan ternak terlihat bahwa hampir seluruh peternak
Tabel 6. Profil Usahaternak kerbau di Kabupaten Lebak Kelompok peternak kerbau
Uraian
Solear jaya
Bukit Satwa Neglasari
Sistem pemeliharaan
Ektensif
Semi intensif
Kandang
Kandang sederhana dekat dengan perumahan peternak
Kandang sederhana jauh dari perumahan peternak
Pakan
Tujuan usaha
Ekstensif (dilepas di perkebunan sawit)
Ekstensif dilepas di padang rumput
Tanpa penambahan pakan di kandang
Pakan disediakan dalam kandang (rumput lapangan atau jerami padi)
Penghasil anak
Penghasil anak
Produksi daging
Produksi daging
Tambahan pendapatan
Sumber tenaga kerja Sumber pupuk Tambahan pendapatan
Inovasi teknologi
Belum ada
Inseminasi buatan sebagian kecil
Milik sendiri (%)
20
90
Gaduhan (%)
80
10
Status pemilikan
232
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
responden (90%) menyebutkan bahwa ternak yang dipeliharanya adalah merupakan ternak milik sendiri. Sementara itu, di Kelompok Solear Jaya menyatakan bahwa sebagian besar (80%) peternak kerbau menyatakan bahwa ternak yang dipeliharanya merupakan ternak gaduhan. Tidak banyak teknologi peternakan yang diaplikasikan pada sistem usaha peternakannya. Teknologi yang pernah diterapkan adalah inseminasi buatan (IB). Strategi pengembangan usaha peternakan kerbau di Kabupaten Lebak Dalam rangka menentukan strategi pengembangan usaha peternakan kerbau, perlu diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan key person (para ketua kelompok dan pejabat dinas peternakan) di Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa permasalahannya adalah: 1. Peternak sebagai basis produksi relatif belum mengetahui tentang kebutuhan pakan berkualitas, ransum yang seimbang, dan pola penyediaan pakan melalui penanaman hijauan pakan di lahan sendiri jarang dilakukan. Penyebab utama kondisi tersebut yaitu lemahnya modal yang diperparah dengan kepemilikan lahan yang sempit. Kendala ini mungkin akan sulit diperbaiki pada saat sekarang maupun dimasa yang akan datang. Untuk mengatasi permasalahan ini maka salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu menyediakan padang penggembalaan. Lahan ini harus disediakan oleh pemerintah. Keberadaannya perlu dilindungi dengan peraturan Pemda setempat sehingga tidak terjadi konversi lahan padang pengembalaan ke fungsi lain. Mediasi pemerintah sangat diperlukan dalam rangka pemanfaatan lahan perkebunan milik perusahaan sebagai lahan padang pengembalaan kerbau milik peternak 2. Minat untuk bergabung dalam kelompok masih rendah sehingga kondisi ini sangat menyulitkan dalam pembinaan, monitoring dan pemberian bantuan 3. Persepsi peternak bahwa kerbau dapat mencari makanan dan minuman secara sendiri juga menjadi kendala tersendiri
sehingga para peternak enggan untuk membangun atau mengupayakan prasarana lain berkaitan dengan kebutuhan ternak kerbau itu sendiri 4. Perhatian pemerintah, ilmuwan, pengusaha dan mitra usaha peternak sangat kurang terhadap perkembangan usaha ternak kerbau 5. Kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan populasi kerbau sangat kurang 6. Di lapangan para peternak dengan entengnya menyatakan bahwa pemilikan pejantan tidak bermasalah dan tersedia jika dibutuhkan pada saat kerbau dilepas di lapangan pengembalaan. Strategi pengembangan Strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan usahaternak kerbau di Kabupaten Lebak yaitu melalui beberapa pola. 1. Pola pembinaan kelompok dimaksudkan yaitu, pengembangan dan pembentukan kelompok-kelompok peternak kerbau. Melalui kelompok peternak ini segala bentuk pembelajaran dapat dilaksanakan sehingga teknologi yang diperlukan dapat dengan cepat diaplikasikan. Dinamika kelompok ini harus hidup dalam satu wadah organisasi dalam satu misi bersama diantara anggota kelompok yaitu proses produksi yang berkelanjutan. 2. Pola kawasan ini dimaksudkan sebagai pengembangan usaha peternakan kerbau yang akan dilakukan didasarkan atas kondisi agro-ekosistem. Sebelum pengembangan sangat penting dilakukan kajian-kajian tentang kekuatan dan kelemahan suatu wilayah, dipetakan dan diproyeksikan tentang prospek dan kendala yang kemungkinan akan terjadi. Segala sumber daya diidentifikasi, kesesuaian lahan, sumber pakan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat didaerah yang bersangkutan. 3. Pola kemitraan dimaksudkan bahwa pengembangan peternakan kerbau dapat dilakukan melalui kemitraan atau kerjasama. Kerjasama dapat dilakukan dengan pihak swasta baik institusi perorangan atau badan hukum termasuk
233
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
perusahaan perkebunan. Prinsip kerjasama kemitraan yaitu pelaksanaannya dilakukan secara transparan melalui aturan-aturan yang dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak secara baik dan yang terpenting tidak ada salah satu pihak yang merasa tertekan. Selain pola-pola yang telah dijelaskan diatas pola pengembangan yang umum dan sering digunakan oleh pemerintah yaitu pola perguliran. Melalui dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Pada kurun waktu tertentu bantuan ini harus digulirkan kepada peternak lainnya sehingga tercipta rasa keadilan dimasyarakat. Strategi pola pengembangan diatas dapat dilakukan secara partial atau secara bersamaan (simultan). Peran pemerintah (Dinas Peternakan) dalam mengawal perkembangannya secara kontinyiu sangat diperlukan. Mensosialisasikan berbagai teknologi serta peraturan-peraturan daerah tentang rencana tataruang sangat penting dilakukan, dengan demikian tidak terjadi sengketa antar masyarakat peternak dan non peternak. KESIMPULAN Daya dukung wilayah Kabupaten Lebak sangat potensial dijadikan sebagai daerah pengembangan peternakan kerbau, karena masyarakatnya sudah terbiasa memelihara ternak kerbau. Pengembangan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dengan tanaman perkebunan (sawit maupun Karet). Untuk mempercepat pengembangannya, pola yang dapat dilakukan yaitu melalui pola
234
kemitraan didahului dengan penguatan kelompok yang dipayungi dan diawasi oleh kebijakan pemda tanpa bertentangan dengan peraturan yang ada. DAFTAR PUSTAKA DAVENDRA, C. and E. IMAIZUMI. 1989. Ruminant Physiology and nutrition in Asia. Proc. Of Satellite Symposium held during the VII International Symposium on Ruminant Physiology. Sendai. Japan, August 28, 1989. Japan Society of Zootechnical Sci., Japan. 100 pp. DISNAK KABUPATEN LEBAK. 2008. Perkembangan Pembangunan Peternakan 2004 – 2007. Pemerintah Kabupaten Lebak DITJENNAK, 2009. Buku Statistik Peternakan 2009 Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. FAO. 1977. The Water Buffalo. FAO The United Nation Rome, Italy, p. 283. MUDGAL, V.D. 1999. Milking Buffalo. In Small holder Dairying in the Tropics. ILRI Sc. Favey and C. Chantalaksana 9 Eds), Nairobi, Kenya. pp.101 – 116. OGNYANOVIC, A. 1974, Meat and meat production. in: The Husbandry and Health of the Domestic buffalo. COCKRILL, W.R. (Ed). FAO Rome. pp. 377 – 400 TULLOH. 1991. Buffalo and Goats in Asia: Genetic diversity and its apllication. Proc. of Workshop, Kuala Lumpur Malaysia, 10 – 14 February 1991. ACIAR Proc. No 34, p. 144 WILLIAMSON, G. and W.J.A. PAYNE. 1965. An Introduction to animal Husbandry in the Tropics. Longman Group Limited, London, UK. p. 447