Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 81-96
STRATEGI MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK Alwi Hashim Batubara Abstract “Through their tax payments, citizens are investors in public services and publicly-owned assets. Through their votes, citizens are shareholders who elect the “board of directors” responsible for government performance. Elected officials are the people’s stewards not only to manage finance but also to produce results. An “owner” wants to know whether governments is getting the job done. Citizens-shareholders may ask this in several ways. For example: Are our concern being addressed by public services? Is the job being done fairly and ethically? Does the result provide value for the money spent?”Wray et all (2000). Keywords: public service, accountability, public need Pendahuluan Sejak gelombang reformasi yang berawal tahun 1997 mulai meruntuhkan tembok keangkuhan birokrasi dan melahirkan masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Tuntutan masyarakat mengenai perlu dilakukannya perbaikan kinerja birokrasi publik (pemerintah pusat dan daerah serta unit kerja pemerintahan) telah menjadi wacana publik sampai saat ini. Di samping itu, semakin maraknya isu demokratisasi telah memperkuat posisi masyarakat sipil untuk menuntut hak-hak mereka ketika berhubungan dengan birokrasi. Dalam konteks yang demikian, birokrasi publik dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanannya agar tidak ditinggalkan oleh warga pengguna layanan atau pelanggan (customers). Salah satu pilihan strategis untuk mengembangkan good governance di Indonesia adalah melalui pengembangan penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan nilai-nilai yang selama ini melekat pada good governance (Dwiyanto, 2005). Pelayanan publik merupakan salah satu dari produk birokrasi publik. Mengutip pendapat Subarsono (2005) pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksudkan di sini adalah warga negara yang membutuhkan
pelayanan publik, seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta kelahiran, akta nikah, akta kematian, sertifikat tanah, izin usaha, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin gangguan (HO), izin mendirikan pengambilan air bawah tanah, berlangganan air minum, listrik, dan sebagainya. Berbeda dengan produk berupa barang yang mudah dinilai kualitasnya, pelayanan publik tidak mudah dinilai karena berupa jasa. Menurut Lenvine (1990: 188) pelayanan publik di dalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiviness, responsibility dan accountability. Responsiveness adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan. Responsibility adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan. Accountability adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Mengutip pandangan Albrecht dan Zemke (1990: 41), kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumder daya manusia pemberi pelayanan, strategi, dan pelanggan (customers).
Alwi Hashim Batubara adalah Dosen Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU 96
Batubara, Strategi Meningkatkan Kualitas...
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan dilakukan oleh birokrasi publik tentunya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan atau menekan saklar lampu, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, dan upaya tersebut juga berdampak luas terhadap budaya organisasi secara luas. Sebenarnya, strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik cukup banyak, tulisan ini hanya akan membahas beberapa di antaranya yang diadopsi dari strategi yang digunakan oleh perusahaan jasa. Di antara berbagai faktor yang perlu mendapat perhatian, sesuai dengan pendapat Tjiptono (1996: 88) adalah mengidentifikasi determinan utama kualitas pelayanan, mengelola harapan pengguna layanan (customers), mengelola bukti (evidence) kualitas pelayanan, mendidik konsumen tentang pelayanan, mengembangkan budaya kualitas, menindaklanjuti pelayanan, menciptakan automating quality dan mengembangkan sistem informasi kualitas pelayanan. Mengidentifikasi Kualitas Pelayanan
Determinan
Utama
Setiap birokrasi publik perlu berupaya untuk memberikan kualitas pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pengguna layanan (customer). Untuk itu dibutuhkan identifikasi determinan utama kualitas pelayanan dari sudut pandang masyarakat pengguna layanan tersebut. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan riset untuk mengidentifikasi palayanan mana yang paling penting bagi masyarakat pengguna layanan, misalnya apakah pelayanan cepat, murah, hemat energi, dan sebagainya. Dalam dunia perbankan sekarang dikembangkan konsep Know Your Customers (KYC), yaitu sebuah prinsip kehati-hatian sebelum melakukan transaksi. Prinsip ini mengharuskan bank untuk berhati-hati dalam bertindak guna melindungi bank dari berbagai risiko di dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party. Dalam konteks pelayanan publik, prinsip KYC dapat digunakan oleh birokrasi publik untuk mengenali kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan sebelum memutuskan jenis pelayanan apa yang akan diberikan. Untuk mengetahui keinginan, kebutuhan, dan kepentingan pengguna layanan, birokrasi publik harus mendekatkan diri dengan mereka.
Tidak ada alasan bagi birokrasi pemerintah untuk tidak berbuat seperti itu (Osborne dan Gaebler, 1996). Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan para pengguna layanan adalah survei, wawancara, dan observasi. Langkah berikutnya adalah birokrasi publik dapat memfokuskan upaya peningkatan kualitas pelayanannya pada determinan-determinan tersebut. Namun birokrasi publik perlu memantau setiap determinan sepanjang waktu, karena sangat mungkin perioritas pelayanan mengalami perubahan. Mengelola Harapan Pengguna layanan Tidak jarang suatu organisasi berusaha melebih-lebihkan pesan komunikasinya kepada pengguna layanan dengan maksud agar mereka terpikat. Hal seperti ini dapat menjadi ‘bumerang’ bagi organisasi tersebut. Semakin banyak janji yang diberikan, maka semakin besar pula harapan mereka (bahkan bisa menjurus tidak realistis) yang pada gilirannya akan menambah peluang tidak dapat terpenuhinya harapan mereka oleh organisasi. Untuk itu ada satu hal yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu: ‘Jangan janjikan apa yang tidak bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari apa yang dijanjikan’. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Parasuraman dan kawankawan pada tahun 1988 (dalam Fitzsimmons dan Fitzsimmons, 1994; Zeithaml dan Bitner, 1996) salah satu dimensi pokok kualitas pelayanan adalah keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. Mengelola Bukti Kualitas Pelayanan Pengelolaan bukti (evidence) kualitas pelayanan bertujuan untuk memperkuat persepsi pengguna layanan selama dan sesudah pelayanan diberikan (Fandy Ciptono, 1996: 89). Oleh karena pelayanan merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang, maka pelanggan cenderung memperhatikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan pelayanan sebagai bukti kualitas. Dari sudut pandang organisasi birokrasi publik, bukti kualitas pelayanan meliputi segala sesuatu yang dipandang masyarakat pengguna pelayanan sebagai indikator ‘seperti apa 97
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 97-101
pelayanan yang telah diberikan’ (pre-service expectation) dan ‘seperti apa pelayanan yang telah diterima’ (post-service evaluation). Buktibukti kualitas pelayanan bisa berupa fasilitas fisik pelayanan seperti gedung, peralatan, penampilan petugas, dan sebagainya. Selain itu, berbagai faktor seperti musik, aroma, warna, lokasi gedung, dan sebagainya dapat pula menciptakan persepsi tertentu terhadap organisasi publik misalnya keramahan, ketenangan, kecermatan, wibawa, rasionalitas, stabilitas maupun fleksibilitas. Mendidik Masyarakat tentang Pelayanan Membantu masyarakat pengguna layanan dalam memahami pelayanan publik merupakan upaya yang sangat positif dalam rangka menyampaikan kualitas pelayanan. Warga pengguna layanan yang lebih ‘terdidik’ akan dapat mengambil keputusan secara lebih baik. Oleh karenanya kepuasan mereka dapat tercipta lebih tinggi. Upaya mendidik masyarakat tentang pelayanan publik dapat dilakukan oleh birokrasi publik dalam bentuk: a. Mendidik masyarakat pengguna layanan untuk melakukan sendiri pelayanan tertentu, misalnya mengambil dan mengisi sendiri blanko/formulir pendaftaran dan lain-lain. b. Membantu pengguna layanan untuk mengetahui kapan menggunakan suatu pelayanan, yaitu sebisa mungkin menghindari periode puncak/sibuk dan memanfaatkan periode biasa (bukan puncak). c. Mendidik pengguna layanan mengenai cara menggunakan pelayanan. d. Meningkatkan persepsi terhadap kualitas dengan cara menjelaskan kepada pengguna layanan alasan-alasan yang mendasari suatu kebijaksanaan yang bisa mengecewakan mereka. Mengembangkan Budaya Kualitas Budaya kualitas merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan penyempurnaan kualitas secara terus-menerus (Tjiptono, 1996: 90). Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. Agar dapat tercipta budaya kualitas yang baik, dibutuhkan komitmen menyeluruh pada seluruh 98
anggota organisasi. Ada beberapa faktor yang dapat memperlancar dan sekaligus dapat pula menghambat pengembangan pelayanan yang berkualitas, yaitu: a. Manusia, misalnya deskripsi kerja, seleksi, pelatihan, imbalan/gaji, jalur karier. b. Organisasi/struktur, meliputi integrasi/ koordinasi fungsi-fungsi dan struktur pelaporan. c. Pengukuran, yaitu evaluasi kinerja dan pemantauan keluhan dan kepuasan pengguna layanan. d. Pendukung sistem, yakni faktor teknis, komputer, database. e. Pelayanan, meliputi nilai tambah, rentang dan kualitas, standar kinerja, pemuasan, dan harapan. f. Program, meliputi pengelolaan keluhan, alat-alat penjualan/promosi, alat-alat manajemen. g. Komunikasi internal, terdiri atas prosedur dan kebijaksanaan, umpan balik dalam organisasi . h. Komunikasi eksternal, yakni pendidikan pengguna layanan (customer education), penciptaan harapan, citra (image) organisasi. Upaya membentuk budaya kualitas, dapat dilakukan melalui pengembangan suatu program yang terkoordinasi yang diawali dari seleksi dan pengembangan pegawai. Pegawai merupakan aset utama dalam rangka memenuhi kebutuhan dan memuaskan pengguna layanan. Kualitas pelayanan internal yang mengarah pada kepuasan pegawai pada gilirannya akan dapat memberikan manfaat yang besar bagi organisai birokrasi publik. Ada tujuh program pokok yang saling terkait guna membentuk budaya kualitas, yaitu: a. Pengembangan individual Birokrasi publik menyusun manual yang terprogram mengenai instruksi pekerjaan, sehingga pegawai baru dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas sesuai dengan jabatannya. b. Pelatihan manajemen Birokrasi publik perlu mengikutsertakan semua tingkatan manajemennya dalam program pengembangan manajemen, seperti seminar, simposium, kursus singkat, dan lokakarya.
Batubara, Strategi Meningkatkan Kualitas...
c. Perencanaan sumber daya manusia Birokrasi publik mengidentifikasi caloncalon potensial untuk menduduki posisi kunci untuk periode yang akan datang. d. Standar kinerja Birokrasi publik menyusun suatu pedoman (bisa berupa booklet) yang berisi instruksi dan prosedur melaksanakan suatu tugas, misalnya bagaimana memberikan pelayanan kepada masyarakat. e. Pengembangan karier Melalui program pengembangan pekerjaan dengan tuntutan keahlian dan tanggung jawab yang semakin besar, diharapkan setiap pegawai memiliki kesempatan untuk berkembang. f. Survei opini Birokrasi publik perlu melaksanakan survei pendapat tahunan untuk mendapatkan masukan yang berharga guna melakukan penyempurnaan kualitas dan mencegah timbulnya perilaku yang tidak baik. g. Perlakuan yang adil Pegawai diberi buku pegangan yang berisi harapan dan kewajiban terhadap mereka. Buku pegangan tersebut juga berisi ketentuan atau prosedur yang dibutuhkan oleh karyawan yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi suatu masalah atau kesulitan. Menindaklanjuti Pelayanan Menindaklanjuti pelayanan dapat membantu memisahkan aspek-aspek pelayanan yang perlu ditingkatkan. Birokrasi publik perlu mengambil inisiatif untuk menghubungi sebagian atau semua warga pengguna layanan untuk mengetahui tingkat kepuasan dan persepsi mereka terhadap pelayanan yang diberikan. Birokrasi publik dapat pula memberikan kemudahan bagi para pengguna layanan untuk berkomunikasi, baik menyangkut kebutuhan maupun keluhan mereka. Selain itu, pentingnya birokrasi publik berkomunikasi karena warga yang menggunakan pelayanan sering tidak memahami hak dan kewajibannya sebagai pengguna. Mereka sering tidak mengetahui persyaratan apa saja yang harus dipenuhi dan mengapa persyaratan itu diperlukan. Akibatnya, ketika berhubungan dengan para penyelenggara, para pengguna sering tidak dapat secara mudah mengetahui apakah mereka diperlakukan secara wajar atau sebaliknya, Dwiyanto (2005).
Menciptakan Automating Quality Adanya automatisasi dapat mengatasi variabilitas kualitas pelayanan yang disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki. Meskipun demikian, sebelum memutuskan akan melakukan automisasi, birokrasi publik perlu melakukan penelitian secara seksama untuk menentukan bagian yang membutuhkan sentuhan manusia dan bagian yang memerlukan automisasi. Perlu dihindari adanya automisasi yang mencakup keseluruhan pelayanan. Mengembangkan Sistem Informasi Kualitas Pelayanan Sistem informasi kualitas pelayanan merupakan suatu sistem yang menggunakan berbagai macam pendekatan riset secara sistematis untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi kualitas pelayanan guna mendukung pengambilan keputusan. Informasi yang dibutuhkan mencakup segala aspek, yaitu data saat ini dan masa lalu, kuantitatif dan kualitatif, internal dan eksternal, serta mengenai organisasi dan pengguna layanan. Pengembangan suatu sistem informasi kualitas pelayanan tidak hanya terbatas pada tingkat teratas organisasi birokrasi publik. Mendengar ‘suara pengguna layanan’ merupakan hal yang mutlak harus dilakukan di tingkat mana saja pun pada organisasi birokrasi publik. Untuk memahami suara pelanggan tersebut diperlukan riset mengenai harapan dan persepsi dari pengguna layanan. Melalui riset ini akan diperoleh informasi tentang kekuatan dan kelemahan pelayanan yang sudah diberikan dari sudut pengguna layanan yang memanfaatkan atau menggunakan pelayanan. Secara umum sistem informasi kualitas pelayanan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya: a. Memungkinkan pihak manajemen birokrasi publik untuk memasukkan ‘suara pengguna layanan’ dalam pengambilan keputusan. b. Dapat mengetahui prioritas pelayanan yang akan diberikan. c. Memperlancar proses identifikasi prioritas penyempurnaan pelayanan dan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya. d. Memungkinkan dipantaunya kinerja pelayanan yang sudah diberikan setiap waktu.
99
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 97-101
e. Memberikan gambaran mengenai dampak inisiatif dan investasi kualitas pelayanan. f. Memberikan performance-based data untuk keperluan penilaian, yaitu memberikan imbalan kepada pelayanan yang unggul dan melakukan koreksi atas pelayanan yang buruk.
____ .
2005. Tansparansi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Fitzsimmons, James A. and Mona J. Fitzsimmons. 1994. Service Management for Competitive Advantage. New York: McGraw-Hill, Inc.
Penutup Sebagai penutup dapatlah disebutkan bahwa, meningkatkan kualitas pelayanan publik sangat mendesak untuk dilaksanakan dalam rangka mewujudkan good governance. Birokrasi publik merupakan figur kunci dalam perwujudan good governance, yaitu sebagai katalisator sebagai koordinator bagi institusi semipemerintah dan non-pemerintah untuk bersamasama membentuk kolaborasi yang efektif untuk mengatasi permasalahan, menampung kepentingan publik, dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Langkah pertama atau sebagai pintu masuk untuk mewujudkan good governance adalah melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, baik berupa penataan kembali manajemen publik maupun profesionalisme pegawai dalam pelaksanaan pelayanan publik. Daftar Pustaka Albert, Karl and Ron Zemke. 1985. Service America! Doing Business in The New Economy. Homewood, Illionois: Dow Jones-Irwin. Dwiyanto, Agus. 2005. Mengapa Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
100
Lenvine, Charless H., et al. 1990. Public Administration: Chalenges, Choices, Consequences. Illionis: Scott Foreman. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik, Reinventing Government (terjemahan). Jakarta: CV. Teruna Grafica. Subarsono, AG. 2005. Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif, dan Non-Partisan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tjiptono, Fandy. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Penerbit Andi Yokyakarta. Wray, L. D., dkk. 2000. Engaging Citizens in Achieving Results that Matter: A Model for Effective 21st Century Governance.