EDISI 02 • TAHUN XX • SEPT 2014
KETAHANAN ENERGI INDONESIA : Gambaran Permasalahan dan Strategi Memperbaikinya
PERENCANAAN & STARTEGI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
"KONTRAK PELAYANAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN” Sebuah Kebijakan Publik untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan
PENGELOLAAN LIMBAH/RESIDU PERTANIAN UNTUK ENERGI : Potensi Peran Koperasi
DAFTAR ISI 52
2
K KETAHANAN ENERGI IINDONESIA: Gambaran Permasalahan G dan Strategi Memperbaikinya Hanan Nugroho
10
PENGELOLAAN LIMBAH/ RESIDU PERTANIAN UNTUK ENERGI: Potensi Peran Koperasi Herry Suhermanto, Ir., MCP, PhD.
30
PERENCANAAN & STARTEGI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR Amor Rio Sasongko
39 FINANCE IS THE ESSENTIAL THING IN ESTABLISHING THE RELATIONSHIP BETWEEN STATE AND CITY BUT IT IS NOT SUFFICIENT: Learning from Asian and European State-City Rela onships Mohammad Roudo
46 FINANCING PUBLIC HOUSING IN INDONESIA: The Role of Central Government and Local Governments Case study: Mul -Storey Rental Flats
THE IMPACT OF REMITTANCE ON LABOR SUPPLY BY GENDER Case Study : Honduras POTENTIAL CAUSES OF MATERNAL MORTALITY IN INDONESIA Anna Rahmawaty A
74
FASILITASI SOSIALISASI KEBIJAKAN PUBLIK Dalam rangka meningkatkan kapasitas para perencana pembangunan nasional dan daerah, maka “Majalah Perencanaan Pembangunan” bekerja sama dengan Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia (AP2I) Komisariat BAPPENAS menyediakan pelayanan publik dalam bentuk bimbingan teknis (bintek) bagi group dari instansi pusat atau daerah yang berminat. Nara sumber berasal dari berbagai kalangan yang mempunyai kompetensi sesuai dengan topik Bintek. Bimbingan teknis tersebut adalah sebagai berikut :
No
Topik Bintek
1
Penyusunan Dra Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah : RPJPD, RPJMD dan RKPD
• • • • •
2
Penyusunan perencanaan Strategis
• UU SPPN
3
Reformasi Birokrasi
• UU ASN
4
Perencanaan Pembangunan Desa
• UU Desa
5
Keuangan Daerah dan APBD
• UU Pemerintahan Daerah • UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6
Evaluasi Kinerja
• UU SPPN
7
Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Daerah
• UU Keuangan Negara • UU Pemerintahan Daerah • UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
8
Perencanaan Wilayah dan Tata Ruang
• UU Penataan Ruang dan • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN)
Ira Lubis
Istasius A. Anindito
63
Informasi :
THE EFFECT OF BUSINESS CREDIT AND HOUSEHOLD CHARACTERISTICS ON HOUSEHOLD WELFARE IN INDONESIA Citra Sawita Murni Sugiarto, Yusuke Jinnai
87 "KONTRAK PELAYANAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN” Sebuah Kebijakan Publik untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Petrus Sumarsono, JFP Madya
PENANGGUNGJAWAB:SekretarisKementerianPNN/SestamaBappenas|PEMIMPINUMUM:Dr.Ir.BudiHidayat,M.Eng.Sc.|PEMIMPIN REDAKSI : Dr. Bustang, M.Si. | DEWAN REDAKSI : Ir. Hanan Nugroho, M.Sc; Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP; Dr. Guspika, MBA; Drs. Se a Budi, MA; Dr. Haryanto, SE, MA; Dr. Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA; Eko Wiji Purwanto, SE, MPP; Drs. Amich Alhumami, MA, M.Ed, Ph.D; Muhyiddin, S.Sos, MSE, M.Sc; Darmawijaya, SE; Yunhri Trima Vibian, SE, MM; Anantyo Wahyu Nugroho, SE, AK.M.Acc; Budi Cahyono, S.Sos | DESAIN GRAFIS : Sarono Santoso | PHOTO : © Herry Suhermanto | DISTRIBUSI : Ali Sahbana, SH; Shaleh MHD, S.Sos, MAP. SEKRETARIAT : Nurhalik; Thohari; Agustori. ALAMAT REDAKSI : Jalan Taman Suropa No. 2 Gedung Sayap Timur Lantai 3 Jakarta Pusat Telp. (021) 3905650 ext. 3545 Fax. (021) 3161762 Email :
[email protected] Website : h p ://bappenas.go.id Nomor STT : 1685/SK/Ditjen PPG/STT/1991 Nomor ISSN : 0854-3709
Informasi Lebih Lanjut : Redaksi Majalah Perencanaan Pembangunan Phone/Fax : (021) 3192 8284 Halik : 0852 42427456 Email :
[email protected]
UU/Regulasi
UU SPPN UU Keuangan Negara UU Pemerintahan Daerah UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah UU Desa
Pengantar Redaksi
RESENSI BUKU Judul buku Penulis Penerbit Cetakan dan tahun terbit Tebal & Jumlah halaman
: : : : :
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kelembagaan Dr. Bustang A.M Center for Society Studies (CSS) I, 2010 xiv,123 halaman
Mendorong Kelembagaan Lokal Memfasilitasi Pemecahan Masalah*) Persoalan kemiskinan dari dahulu hingga sekarang terus menjadi agenda pembangunan dan secara keseluruhan belum mampu terpecahkan. Wacana kemiskinan karya penulis dapat menjadi perenungan bagi pembaca yang ingin menemukan cara atau strategi penaggulangan yang tepat sesuai akar penyebab permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat kita. Kekurangan sandang, pangan, persoalan energi, dan daya beli masyarakat. Krisis energy yang saat ini terjadi justru akan menambah beban masyarakat miskin semakin berat. Kelompok miskin menurut penulis adalah masyarakat yang memiliki ke dakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimum (sandang dan pangan), keterbatasan memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keterbatasan dalam pemenuhan perumahan, air bersih, keamanan dan sanitasi yang baik. Konsep kemiskinan diwarnai oleh perspek f kultural dan struktural atau situasional. Kajian kemiskinan didasarkan pada riset di wilayah pedesaan mayoritas masyarakat miskin secara ekonomis, psikis dan social dengan mengambil 276 responden dari ga kecamatan dipilih untuk merepresentasikan masyarakat miskin Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Data deskrip f, menunjukkan ngkat pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan cukup beragam. Hasil pengujian empiris membuk kan ngkat pengetahuan, sikap dan keyakinan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dak disebabkan oleh karakteris k pribadinya. Tidak ada perbedaan antara karakteris k jenis kelamin, umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, jenis pekerjaan utama, ngkat pendapatan, tanggungan keluarga dan kesertaan dalam organisasi terhadap pemahaman tentang kemiskinan. Fakta kemiskinan bukan berar meniadakan daya-daya masyarakat. Menurut penulis masyarakat memiliki potensi melakukan kegiatan pemberdayaan dan memberikan perha an pada keluarga miskin lainnya di lingkungan sekitarnya. Bentuk pemberdayaan masyarakat berupa aktualisasi nilai-nilai tanggung jawab sosial yang diberikan kepada sesamanya sebagai wujud rasa kese akawanan dan kewajiban. Masyarakat miskin merupakan bagian dari satu kesatuan sistem kemasyarakatan akan berinteraksi dengan sistem kelembagaan lokal. Kelembagaan lokal mencakup unsur pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan. Peningkatan pemahaman masyarakat pada persoalan kemiskinan dapat
100 10 0
|
EDISI EDI DISI SI 02 02 • TAHUN TAHU TA HUN N XX • SEPTEMBER SEP EPTE TEMB MBER ER 2 2014 014 01 4
dilakukan dengan pendidikan/penyuluhan terencana. Pendidikan yang dapat diintrodusir adalah etos kerja, semangat produk f, dan kesadaran melepaskan diri dari kemiskinan, kemampuan mendayagunakan peluang-peluang usaha secara krea vitas dan produk f. Gagasan mengenai peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan oleh penulis patut diapresiasi. Namun demikian terdapat beberapa hal yang perlu dikri si lebih lanjut adalah (1) bagaimana menyesuaikan materi program pemberdayaan dengan kapasitas dan karakteri k masyarakat miskin. Selama ini masyarakat miskin sulit mengakses pinjaman bunga rendah, bibit varietas unggul, system tanam. Teknologi pertanian membawa perubahan yang mengandung resiko kegagalan; (2) adanya pemerataan kesempatan bagi masyarakat miskin. Program yang diberikan harus di njau sejauhmana kemampuannya menjangkau jumlah warga miskin dalam jumlah besar. Banyak warga miskin dak mendapatkan kesempatan mendapatkan layanan, bantuan, dak dilibatkan dalam ak vitas desa. Ke dakmampuan kelembagaan lokal menjangkau sasaran masyarakat miskin yang lebih luas, dak merata dan dak adil akan berdampak menimbulkan krisis kepercayaan. Masyarakat dak memiliki harapan nasibnya akan membaik. Situasi ini berpotensi melanggengkan anggapan kemiskinan dak dapat dirubah. Penulis menemukan bahwa semakin baik kelembagaan lokal mengaktualkan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik maka semakin baik upaya-upaya mengatasi kemiskinan sebagai wujud perha an dan tanggung jawab sosial. Kelembagaan lokal baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan memiliki kekuatan (power) besar menggerakkan masyarakat miskin untuk membantu dan mengurangi beban social ekonomi masyarakat miskin lainnya. Nilai-nilai tolong menolong, gotong-royong, kebiasaan dalam kebersamaan ‘tudang-sipulung’ ditumbuhkembangkan dan difasilitasi oleh pemerintah untuk membantu masyarakat lainnya yang kurang mampu. Perspek f pemberdayaan masyarakat berbasis kelembagaan lokal dapat dijadikan refleksi pada situasi kekinian. Memperkuat peran kelembagaan untuk bertanggung jawab mengatasi persoalan ke dakberdayaan masyarakat. Menumbuhkembangkan nilai-nilai kese akawanan, kebersamaan, hidup saling tolong menolong sebagai modal masyarakat untuk menggerakkan masyarakat miskin, menemukan potensi-potensi lokal untuk dikelola sebagai sumber energy bersama.
Pembaca Perencanaan Pembangunan yang budiman,
T
opik pertama Perencanaan Pembangunan edisi kali ini adalah mengenai Ketahanan Energi. Indonesia mengalami permasalahan ketahanan energi yang makin serius, dan ini seharusnya mendorong kita melakukan kajian yang lebih intensif mengenai topik mengenai topik yang akan makin hangat ini. Tulisan Hanan Nugroho memberikan gambaran mengenai permasalahan ketahanan energi yang sedang kita hadapi, serta memberikan rekomendasi awal mengenai strategi yang perlu diterapkan untuk membantu kita mengatasi permasalahan itu. Limbah/residu pertanian sebagai salah satu alterna f sumber penyediaan energi (baik untuk minyak maupun listrik) belum banyak dimanfaatkan di Tanah Air. Tulisan Herry Suhermanto “Pengelolaan Limbah/Residu Pertanian untuk Energi: Potensi Peran Koperasi” mengkaitkan “sampah” sebagai sumber energi dengan peranan yang dapat dikembangkan oleh organisasi koperasi. Topik lain berlingkup lebih luas, berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, dikemukakan oleh Amor Sasongko dalam makalahnya “Perencanaan dan Strategi Pembangunan bidang Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air”. Masalah perkotaan terus berkembang di Indonesia, termasuk permasalahan transportasi kotanya. Kajian perlu diperbanyak untuk memahami permasalahan dan membantu mengatasi permasalahan transportasi perkotaan ini. Petrus Sumarsono dalam makalah “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan: Sebuah Kebijakan Publik untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan” menganalisis dan mengusulkan rekomendasi bagi sebuah masalah angkutan umum perkotaan.
Topik-topik lain dalam Perencanaan Pembangunan edisi ini menyebar dari permasalahan keuangan, kesejahteraan rumah tangga, hingga mortalitas ibu. Contoh kasus yang disampaikan dak hanya terbatas di Indonesia, tapi juga mengambil dari negara-negara lain. Riset yang dilakukan pada umumnya cukup mendalam untuk makalah-makalah yang disebutkan belakangan dalam kata pengantar ini. Mereka terdiri dari Citra Sugiarto & Yusuke Jinnai (The effect of business credit and household characteris cs on household welfare in Indonesia), Ira Lubis (Financing public housing in Indonesia: the role of central government and central governments), Istasius Anindito (The impact of remi ance on labor supply by gender: case of Honduras), Mohammad Roudo (Finance is the essen al thing in establishing the rela onship between state and city but it is not sufficient: learning from Asian and European state-city rela onship), dan Anna Rahmawaty (Poten al causes of maternal mortality in Indonesia). Pembaca Perencanaan Pembangunan yang budiman, Dalam usianya yang sekitar 20 tahun, Perencanaan Pembangunan terus hadir untuk menyumbangkan pemikiran bagi pembangunan Indonesia, untuk Indonesia yang lebih baik. Perha an yang besar dari para pembaca selama ini telah meneguhkan Perencanaan Pembangunan untuk terus berkarya, juga karena percaya bahwa masyarakat Indonesia yang maju adalah masyarakat yang berdasar dan mengedepankan ilmu pengetahuan. Perencanaan Pembangunan bangga dapat menjadi bagian dari gerakan untuk mengantarkan ke masyarakat Indonesia ke arah yang ingin dituju itu. Salam dan selamat membaca! Dewan Redaksi
*) Presensi buku oleh Dr. Tan Kus ari (Berprofesi sebagai Dosen, memina Kegiatan dan Kajian Pemberdayaan Masyarakat).
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
1
Ketahanan Energi Indonesia : Gambaran Permasalahan dan Strategi Memperbaikinya1 Hanan Nugroho Perencana Madya di Kedepu an Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup BAPPENAS
DAFTAR PUSTAKA Menko Perekonomian dan JICA; Jabodetabek Urban Transport Policy Integra on 2010 Nolberto Munier; Handbook on Urban Sustainability. 2007 (www.octranspo1.com 14 Juli 2014). the Korea Transporta on Ins tute; Lessons from Transi on in Urban Transport Policy. 2012). (h p ://bmta.thaiwebaccessibility.com 14 Juli 2014). TEMPO.CO, Jakarta 5 September 2013. REPUBLIKA.CO.ID, 25 Juli 2013 Tempointerak f.com Rabu, 29 September 2010.
Abstrak
E
konomi Indonesia yang terus tumbuh telah meningkatkan permintaan terhadap energi. Di sisi lain, kondisi “Ketahanan Energi” Indonesia memburuk, dilihat dari indikator 4-A (availability, accessibility, affordability, acceptability). Makalah ini menggambarkan kondisi ketahanan energi Indonesia. Memper mbangkan lebarnya “kesenjangan” (gap) antara kondisi yang ada dengan “kondisi ideal” ketahanan energi, makalah ini mengusulkan beberapa strategi jangka menengah untuk memperbaiki kesenjangan tersebut. Usulan strategi termasuk meningkatkan produksi minyak bumi, mengurangi impor minyak/LPG, membangun infrastruktur gas bumi, memperluas akses ke pulau kecil/terluar/perbatasan, mempercepat pengembangan energi terbarukan, mendirikan Pusat Konservasi Energi, menaikkan harga BBM dan listrik/mengurangi subsidinya, serta memperkuat kapasitas ins tusi dan sumberdaya manusia terkait pembangunan energi.
News.De k.com; Diperkosa di Angkot M-26 ROS divisum di RS Polri; 14 Desember 2011, news.De k.com; Angkot D-02 tempat karyawa diperkosa dipenuhi s ker cabul, 15 September 2011). Tribunenews.com; 4 Petugas Bus TransJakarta Pelaku Pelecehan Seksual Ditahan. 12 february 2014 Kompas, Rabu 2 Januari 2013, Dua Tewas dalam Kecelakaan di TOL, Hal 15 Kolom 1-3. Undang Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Undang Undang No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1993 tentang Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kementerian Perhubungan : Perhubungan Darat Dalam Angka 2012 Kementerian Perhubungan : Perhubungan Darat Dalam Angka 2010 BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2008
1
2
Makalah ini merupakan bagian atau hasil sementara dari penyusunan Makalah Kebijakan mengenai Ketahanan Energi yang sedang dilakukan oleh Tim Analisa Kebijakan BAPPENAS.
|
EDISI ED DIISSII 02 02 • TAHUN TAH TA HU UN XX XX • SEPTEMBER SEPTE EPTE EP TEM MB BER ER 2 2014 01 0 14
BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2013 14 Juli 2014).
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
99
(MRTA) dan Bangkok Metropolitan Transit Authority (BMTA) di Thailand. Lembaga ini mempunyai tugas dalam menentukan keputusan berbagai isu seper route bus, tarif angkutan, sistem operasinya. Lembaga seper ini juga bisa dibebani atau diberi kewenangan untuk merencanakan, mengembangkan, membangun dan membiayai serta mengoperasikan sistem transportasi regional. Kebijakan tarif terlebih cara mengumpulkan ongkos yang sekarang lebih banyak secara tunai untuk angkutan umum perkotaan harus diubah. Masyarakat kota kebanyakan sudah terdidik dan mengenal kartu kredit sehingga penggunaan kartu semacam Presto di O awa atau T-Money di Seoul dimungkinkan. Hal ini untuk mengetahui kelayakan penghasilan suatu perusahaan angkutan umum yang menjalani suatu trayek sehingga kebijakan besaran tarif bisa ditentukan dengan berbagai alterna f untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan umum di perkotaan yang ramah lingkunggan, selamat, aman, teratur dan terjangkau. Misalnya dengan kondisi atau kecenderungan jumlah pelanggan angkutan umum berapa tarif yang layak agar perusahaan dapat selalu meremajakan armadanya dalam kurun waktu 5 tahun sehingga kendaraan umum selalu siap pakai dan dak mogok diperjalanan.
Konsep “garbage in garbage out” berlaku juga pada pelayanan angkutan umum perkotaan. Data yang ada terkait angkutan umum perkotaan sebagai basis pengambilan keputusan saat ini masih kurang bisa dipercaya. Oleh karena itu perbaikan kualitas dan penyajian data sangat pen ng dilakukan. Untuk bisa menyajikan data yang bisa dipercaya yang juga merupakan gambaran apa adanya memerlukan kerjasama yang baik diantara para pemangku kepen ngan. Kasus data jumlah kendaraan dari BPS Propinsi Jakarta dan Kementerian Perhubungan untuk angkutan umum di Jabodetabek dak sama bahkan sangat jauh berbeda harus dihindarkan. Seharusnya ORGANDA (Organisasi Gabungan Pengusaha Angkutan Darat) bisa berperan ak dalam membantu menyajikan data yang akurat misalnya menyediakan data tentang jumlah kendaraan angkutan umum di Jabodetabek, jumlah awak angkutan umum (sopir/kondektur,kernet) dan jumlah tenaga yang terlibat di pusat kendali perusahaan yang mendukung operasi angkutan umum. Perlu diingat bahwa tak mungkin ada pelayanan angkutan umum yang baik kalau dak ada dukungan administrasi yang baik. *)
Tulisan ini merupakan penyesuaian dari policy paper yang penulis (Petrus Sumarsono) ajukan pada Diklat JFP Utama 2014.
PENDAHULUAN
K
etahanan energi (energy security) digambarkan dengan indikator 4A : bagaimana ketersediaan fisiknya (availability), bagaimana kemudahan mendapatkannya (accessibility), bagaimana keterjangkuan harganya (affordability), serta bagaimana/seberapa kualitasnya yang dapat diterima (acceptability). Secara umum ketahanan energi juga digambarkan melalui elemen bauran energi (energy mix) serta keberlanjutan (sustainability) dari sistem penyediaan-permintaan energi yang ada. Sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung beberapa dekade, pertambahan penduduk (termasuk migrasi dari desa-desa ke kota), serta perubahan gaya hidup yang semakin energy-intensive, permintaan terhadap energi terus tumbuh di Indonesia. Dalam lima tahun mendatang (2015-2019), permintaan energi di Indonesia diperkirakan akan tumbuh dengan laju sebesar 5-6 persen untuk energi primer, dan 7-8 persen per tahun untuk energi final.2 Seiring dengan pertumbuhan konsumsi energinya, Indonesia menghadapi berbagai tantangan/permasalahan ketahanan energi, yang tampak pada semua indikator 4A di atas. Dari segi “availability” terdapat ancaman serius bahwa kemampuan untuk menyediakan energi secara nasional menurun, ditunjukkan dengan merosotnya kapasitas produksi (khususnya minyak bumi). Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, impor minyak bumi (baik crude oil maupun produk minyak) serta LPG (liquefied petroleum gas) terus meningkat. Accesibility terhadap produk energi juga masih merupakan persoalan, ditunjukkan misalnya dengan rasio elektrifikasi yang masih rendah (dibandingkan negaranegara ASEAN, misalnya), serta banyaknya rumah tangga di desa-desa yang belum terlistriki. Di samping itu, “energi modern” seper bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi juga belum menjangkau banyak penduduk yang nggal di tempat terpencil di pegunungan/pulau-pulau kecil.
2
98
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Rancangan Teknokra k Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, Dra .
Acceptability sering dikaitkan dengan mutu dari energi yang dipakai. Mutu BBM yang dikonsumsi ataupun mutu dari listrik yang dipergunakan masih merupakan permasalahan bagi masyarakat. Harga energi, baik BBM atau listrik selalu diperdebatkan. Apakah harga BBM yang ditetapkan Pemerintah itu wajar nilainya? Apakah masyarakat dapat menjangkau harga BBM dan listrik yang ditetapkan itu? Sebaliknya, dengan menetapkan harga BBM yang “murah” kepada masyarakat di dalam negeri apakah Pemerintah “dapat menjangkau” biaya penyediaannya, dalam penger an dak mengorbankan APBN untuk membiayai pos-pos pengeluaran lainnya? Ini termasuk tantangan dalam indikator “affordability”. Selanjutnya dari sisi bauran energi, tantangan yang besar muncul dari masih ngginya ketergantungan pada bahan bakar fosil (khususnya minyak bumi), yang berar pangsa pemanfaatan energi terbarukan yang masih rendah. Ketergantungan berlebihan pada bahan bakar fosil juga menimbulkan pertanyaan pada aspek keberlanjutan (sustainability) dari sistem pemanfaatan energi yang diterapkan di Indonesia. Makalah ini mencoba menggambarkan kondisi ketahanan energi Indonesia. Dengan memper mbangkan bahwa ketahanan energi merupakan bagian pen ng bagi pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional, serta besarnya/makin melebarnya kesenjangan (gap) antara kondisi ketahanan energ Indonesia saat ini dengan kondisi idealnya, makalah ini mengusulkan beberapa hal strategis yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut.
GAMBARAN PERMASALAHAN Tantangan berdasarkan indikasi 4A World Economic Forum menempatkan “ketahanan energi” Indonesia dalam urutan ke-63 dari negara-negara lain di dunia. Urutan pertama, kedua, dan ke ga adalah Norwegia, Selandia Baru, dan Perancis. Negara-negara di kawasan Asia yang hampir dak memiliki sumberdaya energi sendiri masih berada dalam posisi yang lebih unggul dari segi ketahanan energi dibandingkan Indonesia, diperlihatkan misalnya dengan
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
3
Singapura yang berada dalam 62, serta Thailand, Korea Selatan, dan Jepang yang masing-masingnya berada dalam urutan ke 55, 54 dan 38.3 Di Indonesia, apa yang dimaksud dengan “Ketahanan Energi” belum didefinisikan dengan jelas/rinci di dalam produk hukum yang berlaku.4 Makalah ini mengusulkan definisi “Ketahanan Energi” sebagai “kondisi terjaminnya ketersediaan energi serta akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dan mutu yang diterima, melalui suatu bauran energi yang sehat dan berkelanjutan.” Tanpa masuk lebih rinci ke dalam definisi “Ketahanan Energi” seper yang diusulkan oleh makalah ini maupun yang dimaksudkan oleh World Economic Forum, kondisi ketahanan energi Indonesia termasuk tantangannya dapat digambarkan sebagai di bawah ini. Dari segi availability, tantangan utama yang dihadapi adalah kapasitas produksi minyak dan gas bumi yang terus menurun. Indonesia pernah memiliki produksi minyak bumi sebesar 1,7 juta barel per hari (bph) pada tahun 1977, namun –berlawanan dengan permintaan yang terus meningkat-- produksi minyak bumi justru terus menurun. Dalam 5 tahun terakhir, produksi rata-rata minyak bumi Indonesia di bawah 1 juta bph. Pada tahun 2010, produksi tersebut 945 ribu bph, menurun menjadi 825 ribu bph (2013), dan diperkirakan menurun lagi menjadi 804 ribu bph (2014). Produksi menurun karena lapangan produksi yang sebagian besar tua (mature, depleted), pemanfaatan teknologi EOR (enhanced oil recovery) yang terbatas, serta kurangnya tambahan lapangan produksi baru. Kapasitas produksi minyak Indonesia berada dalam keadaan darurat. Di samping minyak bumi, produksi gas bumi juga menurun. Pada tahun 2010, produksi gas bumi 1.582 ribu setara barel minyak (SBM) per hari, namun pada tahun 2013 hanya 1.441 ribu SBM per hari. Kecenderungan ini berlawanan dengan permintaan terhadap gas bumi di dalam negeri yang meningkat. 3
Dalam “The Global Energy Architecture Performance Index 2014 Report”, Global Economic Forum, December 2013.
4
Undang-undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi termasuk dak memberikan definisi yang tegas mengenai “Ketahanan Energi.”
4
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Berlainan dengan minyak dan gas bumi, produksi batubara terus naik. Namun demikian, peningkatan produksi tersebut lebih banyak untuk memenuhi permintaan ekspor. Produksi batubara pada tahun 2010 adalah 275 juta ton, pada tahun 2013 mencapai 421 juta ton. Ekspor batubara pada tahun 2010 sebanyak 208 juta ton, terus meningkat menjadi 349 juta ton (2013). Sekitar 80 persen dari produksi batubara nasional, yang berasal terutama dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, adalah untuk diekspor. Tingkat produksi minyak dan gas bumi Indonesia yang terus menurun tersebut juga disertai dengan ngkat penggan an cadangan (reserves replacement ra o) yang juga rendah, sekitar 67 persen. Ini adalah hal yang mengkhawa rkan yang mengancam “sustainability” dari pasokan minyak bumi Indonesia. Selain tantangan produksi minyak bumi yang menurun, cadangan energi yang dimiliki Indonesia pun sangat terbatas. Indonesia belum memiliki cadangan strategis (strategic reserves) sebagai telah lazim dikembangkan oleh negara-negara OECD, bahkan belum mengan sipasi perlunya cadangan seper BBM (bahan bakar minyak) dan LPG (liquefied petroleum gas) jika terjadi krisis atau kelangkaan energi. Kapasitas penyimpanan saat ini hanyalah sekitar 7,7 juta KL untuk BBM dan 430 ribu ton-metrik LPG. Tantangan dari segi accesability terlihat antara lain dari rasio elektrifiksi nasional yang baru mencapai 80 persen (2013), ar nya belum semua keluarga di Indonesia telah mendapat pelayanan aliran listrik. Walaupun terus diupayakan penambahan, infrastruktur energi yang dikembangkan belum menjangkau hingga ke daerah terpencil dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat di Nusantara. Sistem kelistrikan terinterkoneksi yang mampu menjangkau banyak pelanggan baru dapat dibangun di Jawa, sementara ratusan tempat lain masih harus mengandalkan sistem kecil yang jangkauan pelayanannya terbatas. Infrastruktur energi lainnya, misalnya jaringan pipa gas bumi masih sangat terbatas dan baru dapat mengantarkan gas ke sekitar 1 persen jumlah rumah tangga di Indonesia. Distribusi LPG baru dapat menjangkau
ini belum direvisi sehingga masih banyak individu individu yang menjalankan angkutan umumnya tanpa kena sanksi oleh pemerintah. “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” dapat menghindarkan pengoperasian angkutan umum perkotaan secara individual kendaraan. Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ pasal 148 bahwa pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/ kota tergantung cakupan wilayah perkotaannya) berhak menetapkan jaringan trayek angkutan umum perkotaan dan kebutuhan kendaraan bermotor umum. Dengan demikian prakarsa pelayanan angkutan umum perkotaan sebetulnya ada pada pemerintah. Oleh karena itu pemerintah dalam menyusun jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan umum angkutan umum perkotaan sudah harus memper mbangkan waktu operasi, selang waktu pemberangkatan bus satu dengan bus lainnya (headway), sinergi baik dengan moda transport yang lain maupun pada simpul perpindahan (transfer) dengan jurusan atau pe pelayanan bus lainnya, struktur biaya investasi dan pengoperasian bus sehingga dapat dihitung pembebanan kepada masyarakat melalui kebijakan tarif angkutan umum perkotaan. Apabila pemerintah sudah mampu menyusun jaringan trayek dan kebutuhan angkutan umum perkotaan dengan berbagai per mbangan seper di atas maka kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan seper apa yang ingin diberikan kepada masyarakatnya dan dengan berapa biaya yang bisa ditanggung oleh pemerintah akan ditawarkan kepada pengusaha angkutan umum. Misalnya ada satu koridor yang ditawarkan kepada pengusaha angkutan umum maka informasi awal yang harus ada (keluar) dari pemerintah adalah : 1). lokasi awal dan akhir pelayanan serta rute yang harus dijalani sehingga jarak tempuh bisa dihitung; 2) waktu operasi dan headway pemberangkatan bus baik waktu jam sibuk maupun normal sehingga diketahui jumlah kendaraan yang dibutuhkan; fasilitas pelayanan dari kendaraan umum (ada pendingin udara sehingga diketahui perkiraan biaya pengoperasian bus); 3). perkiraan jumlah penumpang dan tarif sehingga diketahui seberapa besar pendapatan dari ket. Dengan demikian pengusaha angkutan umum harus benar benar berhitung bagaimana mereka dapat memenuhi kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan
yang diminta pemerintah dan tetap bisa untung. Kalau rugi seharusnya mereka nggalkan usaha di angkutan umum sehingga pengusaha yang betul betul berkualitas yang mampu memberikan pelayanan angkutan umum perkotaan. Kontrak pelayanan angkutan umum perkotaan ini menuntut pemerintah sudah lebih siap dalam merencanakan angkutan umum perkotaan dan dak tergantung pada prakarsa pengusaha angkutan terlebih yang sifatnya perorangan. Lebih jauh lagi kontrak pelayanan angkutan umum perkotaan ini akan menghapus sistem setoran dalam pengelolaan angkutan umum karena adanya headway dan waktu operasi yang tetap harus dijalani akan menghindarkan kejar-kejaran antar bus yang satu dengan yang lain. Hal ini juga berar akan mengurangi ngkat kecelakaan yang melibatkan angkutan umum perkotaan.
PENUTUP Pemerintah harus segera menyelesaikan revisi PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan. Semangat UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ hendaknya diturunkan dalam membuat PP tersebut. PP tersebut se daknya menegaskan bahwa jaringan angkutan umum disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan ijin trayek sifatnya bukan pengajuan tetapi pemberian kontrak pelayanan dengan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan sebagai hasil kajian yang mendalam tentang trayek jaringan pelayanan angkutan umum. Pemerintah menyediakan subsidi biaya operasional dan pemeliharaan untuk pelayanan angkutan umum perkotaan atau yang sekarang lebih dikenal sebagai ‘public service obliga on = pso’ sehingga dalam pemberian kontrak per mbangan utama didasarkan pada keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah perlu membentuk otoritas transportasi yang mengelola angkutan umum dak saja yang berbasis jalan raya tetapi juga berbasis jalan rel untuk kota kota aglomerasi seper Jabodetabek. Terlepas apakah lembaga ini seper OC Transpo di Kanada, Metropolitan Transporta on Authority (MTA) dan BSRCC di Seoul Korea Selatan, Mass Rapid Transit Authority of Thailand
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
97
Tabel Perbandingan Armada Angkutan Umum dan Kapasitas Tempat Duduk 2007 dan 2012 Tahun Jenis Angkutan Umum
2007 Unit
Kapasitas tempat duduk per unit
2012 Total Kapasitas Tempat duduk
Unit
Bus Besar
4.783
60
286.980
Bus Sedang
4.979
30
Bus Kecil
9.412
12
Total
19.174
Kapasitas tempat duduk per unit
Total Kapasitas Tempat duduk
2.000
60
120.000
149.370
1.987
30
59.610
112.944
16.671
12
200.052
549.294
20.658
379.662
Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2008 Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2013
Tabel Perbandingan Data Kendaraan Umum di DKI Jaya Antara DKI Jaya dan Kementerian Perhubungan 2012 Sumber data
Mobil Penumpang Umum
DKI Jaya (unit) Kementerian Perhubungan (unit)
Bus Besar
Bus Sedang
Bus Kecil
Total
-
2.000
1.987
16.671
20.658
2.576
2.809
7.821
26.002
39.208
Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2008 Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2013
Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan Pelayanan angkutan umum perkotaan di Jabodetabek masih jauh dari praktek pelayanan angkutan umum yang baik seper Bangkok, Seoul, dan O awa. Di ke ga kota tersebut pemerintah pusat dan pemerintah kota memainkan peranannya yang sangat besar dalam memilih jenis angkutan umum, menentukan trayek dan kebijakan tarif serta memberikan subsidi operasi dan pemeliharaan angkutan umum berikut penegakan hukumnya. Di ke ga kota tersebut untuk pelayanan angkutan umum perkotaan jelas ada kepas an tentang : waktu operasi, jadwal pelayanan ( me table) sehingga bisa dilihat frekuensinya, fasilitas pelayanannya apakah bus pakai Ac atau dak (Di Bangkok), pelayanan reguler atau ekspress dengan sedikit tempat pemberhen an, tarif dan cara pengumpulannya. UU No 22 tahun 2009 sebagai penggan UU 14 tahun 1992 sesungguhnya sudah meletakkan dasar yang baik untuk menciptakan pelayanan angkutan umum perkotaan yang nan diharapkan juga menghasilkan wajah baru transportasi kota yang ramah lingkungan dan menjadikan kota sebagai tempat yang nyaman untuk dihuni. Langkah
96
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
yang pen ng adalah menghilangkan hak individu untuk memberikan pelayanan angkutan umum. Sesuai dengan PP 41 Tahun 1993 tersebut prakarsa pelayanan angkutan umum berasal dari pihak swasta. Oleh karena itu per mbangan utama dalam mengajukan ijin trayek adalah keuntungan sebagai individu atau perusahaan bukan keuntungan untuk masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya dalam praktek pengusaha angkutan umum mengoperasikan kendaraan umum dengan per mbangan utama adalah keuntungan bagi dirinya. Dengan demikian bukan hal yang aneh kalau dalam waktu operasi banyak atau sering nampak kendaraan umum disewakan untuk membawa supporter sepak bola, melayat, dan lain sebagainya. Ar nya apabila mereka merasa lebih untung menyewakan kendaraan nya dari pada menjalani trayek yang mereka miliki maka mereka akan menyewakan kendaraannya dan mengabaikan pelanggan yang dilayani pada ijin trayek yang mereka miliki. Padahal dengan mereka menyewakan kendaraannya berar armada dan kapasitas tempat duduk trayek yang mereka jalani pada periode itu berkurang sehingga masyarakat harus menunggu kedatangan bus lebih lama lagi. Sayangnya PP No. 41 tahun 1993 tentang Angkutan Jalan sampai saat
wilayah perkotaan khususnya di bagian tengah dan barat Indonesia. Infrastruktur pengolahan serta distribusi minyak bumi pada umumnya berumur tua, kurang terpelihara, dengan kapasitas yang meluruh. Kapasitas kilang BBM di dalam negeri hanya 6.740 ribu KL, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Acceptability sering dikaitkan dengan mutu dari energi yang dipakai. Banyak keluhan bahwa BBM yang beredar di masyarakat (di luar outlet pelayanan resmi) dak memenuhi spesifikasi sebagai bahan bakar baik. Di banyak tempat pemadaman aliran listrik masih sering terjadi, bahkan di kota besar seper Jakarta. Frekuensi terputus-putusnya aliran listrik dan dampak lingkungan yang buruk dari upaya penyediaan energi sering di luar batas yang dapat diterima. Keandalan (reliability) dari sistem penyediaan energi Indonesia masih sering menjadi masalah. Affordability (kemampuan) masyarakat terhadap harga energi, yang – untuk beberapa jenis BBM dan listrik ditetapkan oleh Pemerintah berbeda-beda antar golongan. Tantangan yang lebih gen ng justru pada kemampuan Pemerintah untuk membiayai penyediaan BBM – sebagai konsekuensi dari penetapan harga yang dilakukannya serta kesediaan untuk menanggung subsidi. Data APBN menyebutkan subsidi BBM yang diberikan pada tahun 2014 telah mencapai Rp. 246,5 Trilliun serta Rp. 103,8 Trilliun untuk listrik.5 (dalam APBN-P 2014). Tanpa masuk ke de l, permasalahan sustainability sistem penyediaan-permintaan energi Indonesia dapat dideteksi melalui bauran energi (energy mix) primernya, dimana pangsa bahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi, batubara) masih sangat dominan (96 persen pada tahun 2012), yang berar pangsa energi terbarukan (air, panas bumi, bio-fuel) hampir dak/belum berar .6 Ketergantungan nggi pada minyak bumi, sumber energi mahal yang dak ramah lingkungan (dibandingkan gas bumi atau sumber-sumber energi terbarukan) berpotensi menjadi ancaman bagi sustainability sistem energi Indonesia ke depan.
5
Data dari Rancangan APBN 2015, Kementerian Keuangan.
6
Handbook of Energy & Economy Sta s c of Indonesia 2013, Kementerian Energi & Sumberdaya Mineral.
Ketergantungan Impor Salah satu elemen dari indikator availability adalah seberapa besar ketergantungan terhadap impor energi. Walaupun Indonesia masih dikenal sebagai negara pengekspor energi, namun kita juga telah berkembang menjadi pengimpor energi yang cukup besar. Meningkatnya permintaan/konsumsi serta menurunkannya kapasitas produksi energi seper disebutkan tadi telah menyebabkan impor energi Indonesia meningkat cepat. Ini perkembangan yang mengkhawa rkan. Dulu Indonesia termasuk negara pengekspor minyak bumi utama, satu-satunya wakil OPEC dari Asia. Namun tahun 2006 mulai menjadi pengimpor neto minyak bumi, bahkan melepaskan keanggautaan di OPEC tahun 2008. Bensin (gasoline) adalah komoditas energi yang sekarang pun Indonesia sudah termasuk pengimpor besar dunia. Impor bensin (juga solar) terus meningkat, disebabkan oleh melonjaknya konsumsi yang didorong pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor serta harga bensin murah (karena subsidi pemerintah). Diperkirakan sebelum tahun 2020 Indonesia akan menjadi impor r bensin terbesar di dunia. Pada tahun itu impor bensin Indonesia akan mencapai 450 ribu bph, dari saat ini sekitar 350 ribu bph.7 Tidak hanya bensin sebagai produk kilang minyak yang impornya akan membesar, tapi juga minyak mentah (crude oil). Besaran impor minyak mentah belakangan ini telah mencapai 400 ribu bph atau sekitar 1/3 dari kebutuhan minyak mentah yang menjadi intake kilang minyak nasional. Komoditas energi lainnya yang impornya terus meningkat adalah LPG. Di tahun 2006, dipacu oleh lonjakan harga minyak yang terus menerus, pemerintah menjalankan kebijakan untuk menggan kan minyak tanah (kerosin) dengan LPG. Program tersebut cukup berhasil diukur dengan jumlah minyak tanah yang digan kan. Namun, Indonesia bukanlah penghasil LPG yang cukup besar. Karena kapasitas produksi LPG di dalam negeri terbatas (sebagian besar dari kilang minyak dan kilang 7
Angka mengenai perkiraan impor energi Indonesia diperoleh dari beberapa media masa yang mengu p hasil riset misalnya oleh perusahan riset energi Wood Mackenzie.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
5
LNG Bontang, saat ini sekitar 2,5 juta ton per tahun/ jtpt), sementara permintaannya telah meningkat menjadi 5,3 jtpt pada tahun 2014, Indonesia harus mengimpor kekurangannya dari pasar internasional. Kebutuhan impor energi Indonesia yang meningkat juga telah mengubah peta darimana energi itu akan diimpor. Hal ini mungkin akan mempengaruhi tantangan geopoli k energi Indonesia ke depan. Dengan perkataan lain, peningkatan ketergantungan impor energi Indonesia, serta meningkatnya permintaan energi dari negara-negara lain terutama di kawasan Asia terhadap sumber-sumber energi yang berasal dari Indonesia, akan memiliki dampak yang harus diperhitungkan bagi ketahanan energi bahkan ketahanan nasional Indonesia.8 Impor minyak mentah Indonesia nan nya akan berasal dari negara-negara tetangga (Malaysia, Brunei, Vietnam), Timur Tengah, dan bahkan dari Asia Tengah. Sejauh ini sebagian besar impor LPG berasal dari Saudi Arabia (Aramco), tapi di masa depan kita perlu mencari sumber-sumber lain, termasuk Amerika Serikat (yang akan memiliki kapasitas ekspor LPG karena revolusi shale gas mereka). Perkembangan kebutuhan Indonesia akan bensin akan berpengaruh terhadap pasar regional. Secara tradisional kita mengimpor bensin dan produk minyak lainnya dari Singapura yang merupakan pusat kilang minyak regional. Karena rencana pemerintah membangun/ meningkatkan kapasitas kilang nasional tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat (dan kapasitas kilang nasional tetap di sekitar 1,15 juta bph, yang dak berubah dari lebih dari 2 dekade), maka impor bensin dan solar akan meningkat. Peningkatan kapasitas kilang minyak di dalam negeri perlu diupayakan karena dak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor BBM, namun juga memperbaiki kondisi ketahanan energi nasional. Untuk gas bumi, selama ini Indonesia mengekspor gas bumi melalui pipa ke Singapura, baik yang berasal dari laut Natuna maupun yang berasal dari Jambi (disalurkan 8
6
Dibutuhkan kajian yang mendalam untuk menjawab tantangan permasalahan geopoli k energi ini.
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
melalui Batam). Dengan terus meningkatnya permintaan gas bumi di dalam negeri, makin berkembang dan terinterkoneksi-nya infrastruktur gas bumi di Indonesia, serta berhasilnya Singapura mengembangkan posisinya sebagai “gas hub” nan nya, keadaaan mungkin akan berbalik dimana Singapura akan tumbuh menjadi sumber bagi impor gas Indonesia. Alterna f lainnya adalah mengimpor dalam bentuk LNG dari sumber-sumber yang menawarkan harga kompe f, termasuk kemungkinan dari Amerika Serikat yang produksi gas buminya (dari shale gas) akan melonjak.
lima tahun terjadi pergeseran jenis moda angkutan umum yang dioperasikan. Jumlah armada bus besar dan bus sedang berkurang tetapi jumlah bus kecil bertambah dan secara total unitnya bertambah dari 19.174 unit menjadi 20.658 unit namun dalam hal kapasitas tempat duduk malah berkurang dari 549.294 tempat duduk menjadi hanya 379.662 tempat duduk. (Tabel Perbandingan Armada Angkutan Umum dan Kapasitas Tempat Duduk 2007 dan 2012).
Hal yang lebih mempriha nkan dalam manajemen angkutan umum ini adalah bahwa data yang disampaikan oleh lembaga berwenang sangat rancu dan dak konsisten antara pusat dengan daerah. Misalnya DKI Jaya dak mengenal is lah mobil penumpang umum adanya hanya pe bus besar, bus sedang dan bus kecil dan jumlahnya sangat jauh berbeda. DKI melaporkan total armada untuk melayani angkutan umum 20.658 unit sementara Kementerian Perhubungan melaporkan jauh lebih banyak 39.208 unit (lihat Tabel Perbandingan Data Kendaraan Umum antara DKI Jaya dan Kementerian Perhubungan 2012).
MEMPERBAIKI KONDISI KETAHANAN ENERGI INDONESIA Pendekatan analisis Tanpa ketahanan energi yang baik, pertumbuhan ekonomi bahkan ketahanan nasional dapat terganggu. Kondisi ketahanan energi Indonesia yang kondisinya masih “rentan/kurang” sebagaimana digambarkan di atas (dan dalam da ar World Economic Forum) perlu diperbaiki. Karena itu perlu dilakukan beberapa langkah/ ndakan strategis. Pendekatan yang dilakukan untuk merumuskan langkah/ ndakan strategis untuk memperbaiki “Ketahanan Energi” Indonesia dalam penyusunan makalah ini dapat diringkaskan secara sederhana sebagai berikut : Pertama, “memotret” atau melakukan iden fikasi terhadap kondisi ketahanan energi sekarang. Hal ini telah dilakukan dengan menggunakan indikator ketahanan energi 4-A dengan hasil sebagaimana digambarkan di atas. Kedua, mencoba menggambarkan suatu kondisi “ketahanan energi ideal” yang menjadi acuan jangka panjang untuk dituju.9 Ke ga, melakukan “gap analysis”, membandingkan antara “kondisi saat ini” dengan “kondisi ideal” yang ingin dituju. Setelah membandingkan lebarnya kesenjangan (gap) antara “kondisi saat ini” dengan “kondisi ideal” dalam kasus 9
“Ketahanan energi ideal”coba digambarkan sebagai kondisi dimana : (i) energi tersedia secara memadai (dengan ngkat penyediaan dari sumber-sumber dalam negeri mencapai 80 persen), (ii) akses masyarakat terhadap energi telah sempurna (100 persen), (iii) mutu energi yang dikonsumsi/digunakan memenuhi standar “dapat diterima”, (iv) harga energi dapat dijangkau oleh masyarakat dan oleh Pemerintah (yang dak menganggap biaya penyediaan energi menjadi beban, (v) pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer cukup nggi (seper ga dari total), (vi) sistem penyediaan dan konsumsi energi yang dirancang/ diterapkan terjamin keberlanjutannya.
Tabel Perbandingan Armada Pelayanan Angkutan Umum Dengan Bus Besar 2007 dan 2012 Tahun 2007 No
Nama Perusahaan
2012
Jumlah Bus
Jumlah Trayek
rata rata
Jumlah Bus
Jumlah Trayek
rata rata
unit
trayek
unit/trayek
unit
trayek
unit/trayek
1
Perum PPD
1.700
68
25,0
279
17
16,4
2
PT Mayasari Bak
1.595
108
14,8
671
61
11,0
3
PT Pahala Kencana
39
3
13,0
53
0
-
4
PT Bianglala Metropolitan
187
9
20,8
8
5
1,6
5
PT Steady Safe
509
46
11,1
45
7
6,4
6
PT Agung Bak
25
3
8,3
-
-
-
7
Koperasi Arief Rahman Hakim
2
1
2,0
16
1
16,0
8
PT Koda Jaya/AJA P
153
6
25,5
132
6
22,0
9
PT Jasa Utama
60
4
15,0
50
0
-
10
Koperasi Himpuna
90
6
15,0
0
0
-
11
PT Metromini
66
4
16,5
10
1
10,0
12
PT Trans Jakarta
-
0
-
0
0
-
13
PT Putra Tasima
15
1
15,0
0
0
-
14
PT Daya Sentosa Utama
3
1
3,0
23
1
23,0
15
PT Sinar Jaya Megah Langgeng
-
0
-
89
14
6,4
16
PT Hiba
-
0
-
59
5
11,2
4.444
260
17,1
1.435
118
12,2
Total Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2008 Sumber BPS Jakarta; Jakarta Dalam Angka 2013
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
95
wilayah kabupaten/kota tetapi masih dalam satu propinsi kewenangan tersebut ada pada pemerintahan provinsi (Gubernur). Apabila wilayah perkotaan mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/kota dan juga mencakup lebih dari satu provinsi maka kewenangan tersebut ada pada pemerintah pusat. Hal inilah yang dirasa perlu adanya otoritas transportasi untuk kota-kota yang telah menyatu sebagai satu kesatuan ekonomi seper Jabodetabek. Selain itu adanya lembaga otoritas ini dapat membantu pemerintah kabupaten/kota untuk memenuhi SPM angkutan umum perkotaan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Acuan SPM untuk angkutan umum perkotaan mencakup jangkauan pelayanan (ra o antara panjang jalan yang dilayani angkutan umum dengan jumlah panjang jaringan jalan yang ada), ketersediaan prasarana (ra o antara jumlah halte yang ada dengan jumlah halte yang dibutuhkan), dan keselamatan (ra o antara jumlah kendaraan angkutan umum yang memenuhi laik keselamatan dengan jumlah kendaraan angkutan umum yang ada. Menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Angkutan Jalan bahwa kegiatan usaha angkutan umum bisa dilakukan oleh BUMN, BUMD, Badan Usaha milik swasta nasional, koperasi dan perorangan warga negara Indonesia. Sebelum dapat melakukan usahanya mereka harus memiliki Izin Usaha Angkutan (IUA). Untuk memperoleh IUA pemohon mengajukan kepada Menteri Perhubungan dengan persyaratan pemohon harus memiliki : 1). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 2). Akte Pendirian Perusahaan bagi pemohon berbentuk badan dan koperasi serta tanda ja diri bagi pemohon perorangan; 3). Surat keterangan domisili perusahaan; 4). Surat izin tempat usaha (SITU); 5). Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai kendaraan bermotor; 6). Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan bermotor. Menteri akan memberikan IUA apabila memenuhi persyaratan tersebut dan trayek atau wilayah operasi yang akan dilayani masih terbuka. Untuk dapat melakukan kegiatan angkutan dalam trayek termasuk di dalamnya angkutan umum perkotaan apabila perusahaan/ koperasi/perorangan sudah memiliki izin trayek. Untuk mendapatkan Izin trayek pemohon mengajukan kepada
94
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Menteri Perhubungan dengan syarat; 1). Memiliki Izin Usaha Angkutan; 2). Memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan; 3). Memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan kendaraan bermotor; 4). Memiliki atau menguasai fasilitas perawatan kendaraan bermotor. Dalam PP tersebut juga diatur persoalan pembukaan trayek baru dan penetapan trayek yang terbuka untuk penambahan jumlah kendaraan bermotor dengan persyaratan bahwa untuk pembukaan trayek baru dengan perkiraan faktor muatan di atas 70% kecuali angkutan perin s dan untuk penambahan jumlah kendaraan apabila faktor muatan rata rata di atas 70%. Pengusaha angkutan umum yang telah mendapatkan izin trayek wajib memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin trayek, mengoperasikan kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, melaporkan apabila terjadi perubahan domisili dan/atau penanggungjawab perusahaan, melaporkan se ap bulan kegiatan operasionalnya. Dengan ketentuan manajemen angkutan umum seper di atas tanpa secara rinci mengetahui berapa armada yang akan menjalani izin trayek yang telah diberikan tersebut serta dak adanya keharusan penyusunan jadwal pemberangkatan maka sulit mengharapkan pelayanan angkutan umum perkotaan (angkutan umum dalam trayek) akan membaik. Contohnya kasus di Jakarta. Koperasi Arief Rahman Hakim hanya memiliki 2 unit kendaraan untuk melayani 1 trayek dan PT Daya Sentosa Utama hanya memiliki 3 unit untuk melayani satu trayek pada tahun 2007. Pada tahun 2012 ada hal yang aneh bahwa PT Bianglala Metropolitan, yang hanya memilik armada 8 unit diberi izin melayani 5 rute. Ar nya bahwa satu rute dilayani kurang dari dua unit bus. Pertanyaannya adalah berapa lama pengguna menunggu untuk mendapatkan pelayanan angkutan umum pada trayek tersebut?. Kenapa izin trayek diberikan? Hal ini menunjukkan manajemen penyelenggaraan angkutan umum secara makro oleh pemerintah dak baik karena dak memper mbangkan kelangsungan pelayanan angkutan umum. Dampaknya dalam lima tahun terjadi penurunan armada angkutan umum yang sangat besar untuk armada bus besar yang semula 4.444 unit nggal hanya 1.435 unit atau berkurang 67,7%. Catatan ini dak termasuk TransJakarta (Lihat Tabel Perbandingan Armada Pelayanan Angkutan Umum dengan Bus Besar di Jakarta 2007 dan 2012). Hal yang menarik adalah bahwa dalam
“Ketahanan Energi” Indonesia ini, makalah ini kemudian mengusulkan upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
dan debirokra sasi untuk memperbaiki iklim investasi tersebut layak ditempuh.
Pengisian kesenjangan antara “kondisi saat ini” dengan “kondisi ideal” dilakukan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip utama kebijakan energi, yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi.10 Sesuai prinsip kebijakan energi, intensifikasi energi misalnya harus dilakukan dalam hal kemampuan memproduksi sumber energi di dalam negeri telah merosot; hal ini relevan untuk kasus produksi minyak bumi Indonesia. Diversifikasi penyediaan energi yang menjadi usulan utama dalam makalah ini telah memper mbangkan beberapa teknologi energi sebagaimana dikemukakan misalnya oleh Nersesian (Energy for the 21st Century, 2010) maupun MIT (Sustainable Energy, 2012).
Selain meningkatkan produksi minyak dan gas bumi, impor energi harus dicegah agar dak tumbuh cepat atau bahkan dapat dikurangi. Peningkatan ketergantungan impor energi merentankan ketahanan energi, menekan neraca perdagangan internasional Indonesia, di samping menjadi beban berat bagi APBN.
Usulan Strategi
Kedua, mengembangkan infrastruktur energi, terutama untuk gas bumi, sehingga cadangan gas bumi di daerah-daerah terpencil dapat diolah dan secara bertahap terhubungkan dengan pusat-pusat permintaannya. Infrastruktur distribusi untuk mengantarkan gas bumi ke rumah-rumah tangga perlu dikembangkan. Demikian pula, upaya menggunakan bahan bakar gas di sektor transportasi (yang dulu pernah dikembangkan) perlu dihidupkan kembali dan diperbesar jangkauannya. Langkah strategis ini dimaksudkan untuk memperbaiki accessibility terhadap energi bagi masyarakat sekaligus bagian dari strategi diversifikasi untuk memperbaiki energy mix Indonesia. Hal ini juga didukung cadangan gas bumi Indonesia yang besar (dibandingkan minyak bumi) serta faktor-faktor keunggulan gas bumi lainnya (lebih murah dan bersih).
Berdasarkan pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas, makalah mengusulkan beberapa strategi untuk memperbaiki kondisi ketahanan energi Indonesia, dengan penekanan pada hal-hal yang mungkin dilakukan dalam jangka menengah ke depan.11 Pertama, untuk perbaikan availability, perlu ditempuh kebijakan intensifikasi energi. Kebijakan ini diterjemahkan ke dalam langkah-langkah peningkatan produksi minyak dan gas bumi, terutama minyak bumi. Demikian pula harus dilakukan ndakan “pengurasan lanjut” (enhanced oil recovery) dan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan baru. Agar pekerjaan-pekerjaan besar tersebut dapat berlangsung baik, iklim investasi bagi pembangunan minyak dan gas bumi (terutama di sektor hulu) harus diperbaiki. Mengingat pen ngnya peningkatan produksi minyak bumi tersebut bagi ketahanan energi, deregulasi 10
Prinsip-prinsip kebijakan energi ini dikemukan dalam banyak literatur mengenai kebijakan energi, misalnya yang agak baru dalam Michael S. Hamilton : Energy Policy Analysis : A Conceptual Framework (2012).
11
Makalah ini dak berpretensi untuk memberikan usulan yang bersifat lengkap atau dapat menjawab kesluruhan tantangan perbaikan kondisi ketahanan energi Indonesia. Usulan strategis yang diusulkan didasarkan pada per mbangan bahwa hal-hal itu adalah yang kemungkinan besar dapat dilakukan, berdasarkan analisis terhadap kemampuan nyata dalam melakukan pembangunan di bidang energi, misalnya yang ditunjukkan dalam “Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014” (Bappenas, 2013).
Untuk mengurangi laju impor produk minyak, kapasitas kilang minyak dalam negeri pun harus di ngkatkan. Hambatan dalam upaya pengembangan kapasitas kilang minyak selama ini harus disingkirkan, dan terobosan perlu dilakukan agar pembangunan kilang baru terealisasi.
Ke ga, akses terhadap energi perlu di ngkatkan untuk memberikan pelayanan energi kepada penduduk di pulaupulau kecil, pulau-pulau terluar, serta di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Teknologi energi yang sesuai, misalnya tenaga matahari, dapat dimanfaatkan untuk upaya memperbesar akses energi tersebut. Keempat, mempercepat pengembangan potensi energi terbarukan, terutama panas bumi (geothermal) dan air (hydro). Kedua jenis energi terbarukan yang potensinya cukup besar di Indonesia ini –dan sedikit banyak sudah dimanfaatkan—perlu terus didorong pengembangannya. Sumber-sumber energi terbarukan lainnya, terutama yang
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
7
menghasilkan bahan bakar naba (BBN) serta sampah (kota maupun yang berasal dari biomass) perlu terus didorong pengembangannya. Upaya pen ng kelima adalah memasyarakatkan gerakan konservasi energi, membiasakan masyarakat, termasuk industri, transportasi, dan gedung-gedung pemerintah/swasta menggunakan energi lebih hemat. Pemerintah (dengan mengajak pihak swasta) segera membentuk Pusat Konservasi Energi, yang akan melakukan pekerjaan-pekerjaan seper Pusat Konservasi Energi di Jepang, negeri yang program-program konservasi energinya terunggul di dunia. Keenam, pemerintah menaikkan harga BBM dan listrik untuk menyesuaikan dengan harga keekonomian mereka atau mengurangi subsidi untuk pemakaian energi tersebut. Mengurangi subsidi BBM/listrik selain baik dari sisi kebijakan energi dan lingkungan, juga akan mengurangi tekanan fiskal yang makin mencengkeram APBN, akan membantu pemerintah membiayai program-program pembangunan lainnya. Terakhir namun bukan berar tak pen ng, mempercepat pengembangan sumberdaya manusia serta memperbaiki kapasitas ins tusi-ins tusi di Indonesia terkait pembangunan energi. Da ar permasalahan berkaitan dengan pembangunan ketahanan energi di Indonesia sudah sangat panjang, dan hal-hal ini dak mungkin dapat diatasi tanpa ketersediaan sumberdaya manusia yang handal dalam jumlah banyak di bidang-bidang yang berkaitan dengan pembangunan energi.12
RINGKASAN DAN REKOMENDASI Ringkasan Ekonomi Indonesia selama beberapa dekade terus tumbuh dan ini telah meningkatkan permintaan terhadap berbagai jenis energi. Untuk memenuhi permintaan energi yag berkembang tersebut, telah dilakukan upaya-upaya untuk menyediakan energi lebih banyak, menambah 12
8
Pen ngnya pengembangan ins tusi dalam pembangunan negara sangat ditekankan misalnya oleh Daron Acemoglu & James Robinson (Why Na ons Fail : the Origins of Power, Prosperity, and Poverty; 2012).
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
infastruktur distribusi energi, serta memperbaiki kualitas energi termasuk pelayanannya. Di sisi lain, kondisi “Ketahanan Energi” Indonesia berada dalam kondisi yang “kurang sehat” bahkan cenderung melemah dalam tahun-tahun belakangan, dilihat indikator ketahanan energi 4-A (availability, accessibility, affordability, acceptability). Di sisi “availability” misalnya, hal ini ditandai dengan terus merosotnya produksi minyak bumi Indonesia serta meningkatnya impor minyak bumi dan LPG. Dari segi bauran energi, terlihat masih sangat dominannya pemakaian bahan bakar fosil Kesenjangan (gap) yang lebar antara kondisi ketahanan energi Indonesia saat ini dengan kondisi idealnya perlu diatasi/dikurangi dengan mengembangkan strategi energi untuk menjawab tantangan permasalahan tersebut. Rekomendasi strategi yang dikembangkan termasuk memperbaiki pencapaian dari indikator-indikator ketahanan energi.
Rekomendasi Untuk memperbaiki ketahanan energi Indonesia, diusulkan untuk melakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut : 1. Meningkatkan produksi minyak dan gas bumi di dalam negeri melalui eksplorasi cadangan baru dan pemanfaatan teknologi EOR (enhanced oil recovery). Untuk itu, iklim investasi harus diperbaiki, termasuk melakukan deregulasi dan debirokra sasi yang mendukung pembangunan industri minyak dan gas bumi sektor hulu (upstream). 2. Mengurangi ketergantungan impor untuk minyak mentah, produk minyak, maupun LPG. Pengurangan ketergantungan impor minyak mentah dan LPG dapat dikurangi dengan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri. Ketergantungan pada impor produk minyak dapat dikurangi dengan menambah kapasitas pengolahan (kilang) minyak di dalam negeri. Upayakan agar Indonesia dak berkembang menjadi pengimpor LNG dengan meningkatkan produksi gas bumi dalam negeri dan membangun infrastruktur pengolahan dan distribusinya. 3. Mengembangkan infrastruktur energi, terutama untuk gas bumi. Infrastruktur gas bumi yang harus dikembangkan selain untuk memenuhi listrik dan
kendaraan umum yang bersangkutan dan/atau di luar jam operasi angkutan umum. Lebih parahnya lagi pelaku ndak kriminal adalah “sopir tembak” yang adalah awak angkutan umum.9 Bahkan angkutan umum “TransJakarta” yang dikelola dan diberi subsidi oleh pemerintah provinsi DKI Jaya dan ingin dijadikan model pelayanan angkutan umum perkotaan masih terjadi juga pelecehan sexual. 10 Pemerintah yang berwewenang mengatur sistem angkutan umum perkotaan baik itu Pemerintah Pusat (Kementerian Perhubungan) maupun Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemprov DKI Jaya dan Organda (organisasi pengusaha angkutan darat) belum bisa mengendalikan operasi pelayanan angkutan umum perkotaan. Contohnya Mobil Daihatsu Luxio bernomor polisi pelat hitam F 1622 CY mengangkut 10 orang penumpang dengan memungut bayaran (kategori angkutan umum) yang mengambil rute Jakarta-Bogor (lintas propinsi DKI Jaya - Jawa Barat). Tragedinya kendaraan Minibus Daihatsu Luxio ditabrak BMW di jalan Tol pada tanggal 1 Januari 2013 dan mengakibatkan 2 orang meninggal. 11 Hal ini seakan menegaskan kalau pemerintah dak bisa mengendalikan bahkan dak bisa melakukan pengawasan operasi angkutan umum perkotaan.
Kebijakan Publik terkait Penyelenggaraan Angkutan Umum Perkotaan di Indonesia Kebijakan terkait penyelenggaraan angkutan umum perkotaan ini bisa dilihat dari pengaturan pelayanan angkutan umum dan manajemen perusahaan atau operator angkutan umum. Pegaturan angkutan umum perkotaan tentunya harus mengacu pada kebijakan angkutan umum perkotaan berbasis jalan raya yang saat ini diatur dengan Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1993 tentang Angkutan Jalan, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Ada perubahan yang sangat pen ng tentang siapa yang boleh mengoperasikan angkutan umum antara UU
LLAJ yang baru dan lama. Pada UU yang lama seorang warga negara Indonesia mempunyai hak menjalankan kendaraan umum sementara UU yang baru hak perseorangan untuk mengoperasikan angkutan umum sudah dicabut. UU No. 14 tahun 1992 menyatakan bahwa usaha angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia (pasal 41) dan dilakukan berdasarkan izin. Sedangkan UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ mengamanatkan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota wajib menjamin pelayanan angkutan umum perkotaan (pasal 139) dan penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau lembaga berbadan hukum sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Konsekuensi dari UU ini adalah perlunya penggabungan individu individu yang selama ini mengoperasikan angkutan umum untuk membentuk satu badan hukum kalau dak mau kehilangan usahanya. Namun karena PP yang lama belum digan maka masih saja ada individu individu yang memiliki dan mengoperasikan angkutan umum di Jabodetabek tanpa dapat sanksi dari pemerintah. Pemerintah dak bisa melakukan apa apa karena peraturan pelaksanaan UU nya belum ada. PP No. 41 tahun 1993 masih mengacu pada UU No. 14 tahun 1992 tentang LLAJ dan belum direvisi sementara Pemerintah dan DPR RI lebih mendahulukan penyelesaian PP yang lain seper PP tentang Angkutan Mul moda (PP No 8 Tahun 2011), Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu lintas (PP No 32 Tahun 2011),Forum LLAJ (PP No 37 Tahun 2011), SDM di Bidang Transportasi (PP No 51 Tahun 2011), Kendaraan (PP No 55 Tahun 2012), Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PP No 80 Tahun 2012), Inves gasi Kecelakaan Transportasi (PP No. 62 Tahun 2013) dan Jaringan LLAJ (PP No. 79 Tahun 2013). UU LLAJ yang baru sudah sejalan dengan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang memberikan wewenang kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota (Bupa / Walikota) untuk menyusun jaringan trayek dan kebutuhan jumlah kendaraan umum untuk pelayanan angkutan umum perkotaan yang ada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Namun jika wilayah perkotaan mencakup dua atau lebih
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
93
Penyelenggaraan angkutan umum berbasis rel ditangani oleh the Metropolitan Rapid Transit Authority (MRTA) of Thailand yang dibentuk tahun 1992 di bawah kantor Perdana Menteri Thailand. MRTA ini merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pembangunan Sistem Angkutan Massal Cepat (Mass Rapid Transit System) di Bangkok dan sekitarnya (Greater Bangkok Area). MRTA menentukan jalur pelayanan yang akan dihubungkan oleh angkutan massal cepat mengingat saat itu kemacetan lalu lintas di Bangkok sudah sangat parah sehingga diperlukan jalan keluar dengan pembangunan angkutan massal cepat. Pada tahun 2000 berubah namanya menjadi Mass Rapid Transit Authority of Thailand yang diberi kewenangan untuk mengoperasikan Mass Rapid Transit System di Bangkok dan sekitarnya serta propinsi lainnya. MRTA juga diberi kewenangan untuk menjalankan usaha di bidang MRT dan usaha lain untuk keuntungan masyarakat dan MRTA sendiri. Angkutan umum berbasis jalan rel di Bangkok terdiri Bangkok Mass Transit System (BTS) yang dikenal sebagai Skytrain karena dibangun di atas tanah (elevated), Airport Rail Link (ARL) yang menghubungkan pusat kota dengan bandar udara, serta Metropolitan Rapid Transit (MRT) atau subway yang melayani angkutan massal cepat Kota Metropolitan Bangkok. Selama ini MRTA mendapat subsidi dari pemerintah dan pada tahun 2012 menerima subsidi sebesar 373.514.877,62. Sistem tarif yang dikenakan MRTA berdasarkan jumlah stasiun yang dilalui dan umur penumpang yang dikategorikan sebagai lanjut usia, anak anak dan dewasa. Misalnya untuk jalur Chaloem Ratchamongkhon tarif satu, dua, ga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas dan 12-17 stasiun yang dibedakan tarifnya berdasar kan cara pembayarannya apakah pakai Card atau token tunggal perjalanan. Pelajar mendapat perlakuan khusus lebih murah dari orang dewasa meski tetap lebih mahal dari anak anak dan orang lanjut usia. Untuk orang lanjut usia dan anak anak serta pelajar mendapat potongan harga. Waktu operasi Chaloem Ratchamongkhon Line mulai jam 06.00 am sampai tengah malam (jam 12.00 malam) dengan interval 5 menit untuk jam jam sibuk (jam 06.0009.00 am dan 04.30-07.00 pm). MRTA juga menawarkan kartu satu hari pass, ga hari pass dan 30 hari pass. Untuk satu hari (one day pass) dengan tak terbatas perjalanannya dalam satu hari tersebut. Demikian juga ga hari (three
92
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
day pass) dan ga puluh hari (thirty day pass) untuk tak terbatas perjalanannya selama masing masing ga dan ga puluh hari berturut turut. OC Transpo - Canada, BSRCC dan MTA di Seoul Korea Selatan, BMTA dan MRTA Bangkok-Thailand telah membuat jadwal dan waktu operasi, menyebarkan informasi, menyediakan fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus, menetapkan kebijakan harga dan cara pembayaran dengan berbagai kemudahannya. Dengan demikian kualitas pelayanan angkutan umum yang diukur berdasarkan keandalan, kemudahan, keselamatan, keamanan, informasi, konek vitas, keterjangkauan dan ramah lingkungan bisa dinlai. Ar nya tujuan pelayanan angkutan umum perkotaan di O awa, Seoul, dan Bangkok bisa dinilai apakah berhasil dicapai atau dak.
Kondisi Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan di Indonesia : Kasus Jakarta Kasus kecelakaan yang melibatkan dua bus Kopaja (angkutan umum) dan satu truk di Jalan Jembatan Gantung, Cengkareng, Jakarta Barat 6 dan kecelakaan Metro Mini T 42 yang menabrak ga siswi SMP di Jalan Raya Pemuda, Pulogadung 7 menunjukkan ngkat keselamatan penumpang angkutan umum perkotaan kurang terjamin. Mereka kejar kejaran dalam rangka mendapatkan penghasilan di atas jumlah setoran yang harus diberikan kepada pemilik kendaraan. Hal ini mengingat pengusaha angkutan umum masih menerapkan sistem setoran dan mereka juga belum menerapkan me table pelayanan angkutan umumnya. Kasus tewasnya Saifudin sopir Kopaja 608 di depan kantor PT Medco di Jalan Ampera, Jakarta Selatan 8 merupakan suatu indikasi juga bahwa perusahaan atau koperasi belum secara baik mengelola angkutan umum untuk melayani masyarakat. Kendaraan Kopaja disewakan untuk mengangkut pendukung satu pihak yang punya kepen ngan dalam persidangan yang bersangkutan (kasus Blowish) dan mengabaikan pelayanan angkutan umum. Tentunya penghasilan menyewakan lebih besar dari penghasilan kalau menggunakan kendaraan tersebut untuk menjalani trayek seper biasanya.
4.
5.
industri juga untuk sektor transportasi dan rumah tangga. Memperluas akses (jangkauan pelayanan) energi kepada masyarakat di pulau-pulau kecil, pulau terluar dan wilayah perbatasan dengan negara lain. Mempercepat pengembangan potensi energi terbarukan, terutama panas bumi (geothermal) dan air (hydro) untuk pembangkitan listrik. Selain itu, terus mendorong pengembangan energi terbarukan lainnya, termasuk bahan bakar naba (BBN) serta biomass.
6.
7.
8.
Mendirikan Pusat Konservasi Energi, membantu masyarakat (termasuk industri, transportasi, dan gedung-gedung pemerintah/swasta) melakukan gerakan hemat energi. Menaikkan harga BBM dan listrik sehingga mendeka harga keekonomian mereka atau mengurangi subsidinya. Mempercepat pengembangan sumberdaya manusia serta memperbaiki kapasitas ins tusi terkait pembangunan energi.
BACAAN BAPPENAS, 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Kementerian PPN, Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia. BAPPENAS, 2014. Rancangan Teknokra k Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, Dra . Kementerian PPN, Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia. Carlos Pascual & Jonathan Elkind (editors), 2010. Energy Security : Economics, Poli cs, Strategies, and Implica ons. The Brookings Ins tu on, Washington, DC. Daniel Yergin, 2008. The Prize : The Epic Quest for Oil, Money & Power. Free Press, New York-Toronto-London-Sydney. Daniel Yergin, 2011. The Quest : Energy, Security, and the Remaking of the Modern World. The Penguin Press, New York. Daron Acemoglu & James Robinson, 2012. Why Na ons Fail : the Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Crown Business, New York. Hanan Nugroho, 2009. Ques oning our energy security. The Jakarta Post, Juli 27, 2009. Hanan Nugroho, 2011. A Mosaic of Indonesian Energy Policy. IPB Press. Hanan Nugroho, 2012. Energi dalam Perencanaan Pembangunan. IPB Press. Hanan Nugroho, 2012. Reserves and security of our energy supply. The Jakarta Post, Jun. 2, 2012. Hanan Nugroho, 2014. Renewable energy in Indonesia : Present Status and Prospects, dalam “Powering Up : Perspec ves on Indonesia’s Energy Future, A report from the Economist Intellegence Unit”, Jan. 2014. Hanan Nugroho, 2014. Indonesia : Asia’s growing energy market. The Jakarta Post, Feb. 11, 2014. Jefferson W. Tester, Elisabeth M. Drake, Michael J. Driscoll and Michael W. Golay, 2012. Sustainable Energy : Choosing Among Op ons. The MIT Press, Cambridge, Massachuse s. Joko Widodo & Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi Misi dan Program Aksi Calon Presiden/Wakil Presiden. Jakarta, Indonesia. Kementerian Energi & Sumberdaya Mineral, 2014. Handbook of Energy & Economy Sta s c of Indonesia 2013. Kementrian Keuangan (beberapa tahun penerbitan). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta, Indonesia. Michael S. Hamilton, 2012. Energy Policy Analysis : A Conceptual Framework. M.E. Sharpe Publisher, Armonk, New York. Paul Stevens (Brookings Ins tu on), 2011. The “Shale Gas Revolu on”. Chatam House, London, UK. PriceWaterhouseCoopers, 2012. Oil and gas in Indonesia : Investment & Taxa on Guide. PWC Indonesia, Jakarta. Indonesia. Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Jakarta, Indonesia. Roy L. Nersesian, 2010. Energy for the 21st Century : A Comprehensive Guide to Conven onal and Alterna ve Souces. M.E. Sharpe Publisher, Armonk, New York. Tumiran, 2013. Road Map Menuju Kedaulatan Energi. Presentasi dalam Kongres Nasional Kedaulatan Energi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Desember 2013. World Energy Forum, 2013. The Global Energy Architecture Performance Index 2014 Report”, Global Economic Forum, December 2013.
Kasus ndakan pelecehan seksual, perampokan bahkan pembunuhan di angkutan umum terjadi di luar jalur trayek
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
9
Pengelolaan Limbah/Residu Pertanian untuk Energi : Potensi Peran Koperasi
mulai tahun 2005 Pemerintah memberikan subsidy US $ 193,1 juta.4 Dalam reformasi angkutan umum ini termasuk menggabungkan dan mengkoordinasikan struktur ongkos untuk memadukan pelayanan angkutan kereta api bawah tanah (subway) dan bus.
Herry Suhermanto, Ir., MCP, PhD. Perencana Madya - Bappenas
Kebijakan tarif angkutan umum yang sebelumnya didasarkan pada pembayaran untuk sekali perjalanan maka sistem tarif yang baru adalah bervariasi sesuai mode angkutan yang digunakan dan total jarak yang ditempuh penumpang. Pertama dikenakan Tarif dasar untuk pelayanan bus 10 km pertama dan tambahan untuk se ap 5 km tambahan perjalanan. Tarif dasar ini sudah termasuk bebas biaya pindah dari satu moda ke moda yang lain atau jurusan yang lain sampai 4 kali dalam waktu 30 menit sesudah perjalanan yang pertama baik untuk bus maupun subway terlepas jenis angkutan apa yang pertama dipilih. Sistem tarif berdasarkan jarak ini juga digunakan untuk tarif subway yang beroperasi mulai jam 5.30 am sampai tengah malam (jam 12.00 malam) yakni dengan tarif dasar untuk 10 km pertama.
Abstrak
P
emanfaatan limbah/ residu pertanian masih memerlukan penataan dan pengorganisasian hingga bisa memiliki skala ekonomi dan sosial yang berar bagi masyarakat. Limbah/ residu pertanian, dengan pengelolaan yang tepat, merupakan sumber yang pen ng untuk pengembangan energi biomassa. Energi biomassa sebagai energi yang terbarukan merupakan alterna f saat energi fosil dak lagi menjadi andalan. Dukungan dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan energi (biomassa) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat (melalui koperasi). In nya adalah bagaimana mengintegrasikan koperasi dalam pengembangan energi biomassa. Koperasi merupakan instrumen yang sangat pen ng dalam membangun kultur sosial yang mengedepankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menjalankan aksi/ usaha kolek f berbasis keanggotaan. Koperasi sangat potensial dalam membangun integrasi (ver kal/ horisontal) usaha di bidang pengembangan energi (biomassa dan listrik) dengan memanfaatkan limbah/ residu pertanian menjadi energi.
Foto: www.antaranews.com
LATAR BELAKANG
P
emerintah telah mengeluarkan Undang-undang (UU) yang mengatur sampah, yaitu UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia. Sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau residual dari proses alam yang berbentuk padat. Undang-undang tersebut mengatur tentang pengelolaan sampah, pembagian kewenangan dan penyelenggaraannya, serta mengategorikan sampah ke dalam : (a) sampah rumah tangga, (b) sampah sejenis sampah rumah tangga; dan (c) sampah spesifik. Proses alam ataupun kegiatan manusia menyisakan buangan/ residual baik yang berbentuk padat, gas, ataupun cair. Yang dimaksud dengan sampah rumah tangga adalah buangan/ sisa kegiatan yang berasal dari kegiatan sehari-hari rumah tangga, dak termasuk nja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Adapun yang dimaksud dengan sampah spesifik melipu : 1. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun; 2. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun; 3. sampah yang mbul akibat bencana;
10
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Limbah ampas tebu dan enceng gondok bahan pembuatan biobriket.
4. 5. 6.
puing bongkaran bangunan; sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau sampah yang mbul secara dak periodik.
Meskipun dak secara tegas dikemukakan, sampah pertanian dapat dikategorikan sebagai sampah spesifik, yakni sebagai sampah yang mbul secara dak periodik dan yang secara teknologi belum (dapat) diolah. Dalam beberapa hal, sampah pertanian bisa saja mbul secara periodik, sebagai limbah panen dari hasil pola tanam tertentu. Untuk selanjutnya, is lah sampah yang memiliki konotasi sengaja dibuang, kiranya dapat dipahami juga adanya limbah/
Pemerintah Kota Seoul juga membedakan tarif berdasarkan usia dan cara pembeliannya. Penumpang dibedakan penumpang umum dalam ar usia di atas 19 tahun dan penumpang anak anak usia 6-12 tahun, dan remaja usia 13-18 tahun. Penumpang anak anak dan remaja mendapat potongan harga. Pengguna angkutan umum bebas memilih cara pembayaran apakah menggunakan smart card (T-Money) atau tunai. Pembayaran dengan T-Money bebas biaya untuk pindah moda maupun jurusan serta mendapat potongan harga. Efek vitas dari tak adanya biaya pindah angkutan dari bus ke subway mampu meningkatkan jumlah penumpang baik untuk subway maupun bus.
BMTA dan MRTA Bangkok-Thailand Angkutan umum perkotaan di Bangkok pada dasarnya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat melalui Kementerian Transportasi. Pada tahun 1976 dibentuk Bangkok Metropolitan Transport Authority (BMTA) untuk mengambil alih pelayanan angkutan umum bus yang kebanyakan merugi saat itu. Dengan demikian angkutan umum bus (fixed routes) dikuasai oleh The BMTA. Saat ini BMTA merupakan kependekan dari Bangkok Mass Transit Authority yang dibebani untuk
memberikan pelayanan bus kepada orang yang nggal dan bekerja di Bangkok dan propinsi terdekat. BMTA membagi 6 pe pelayanan dan membedakannya dengan warna bus. Ada dua regular bus dengan dua warna yang berbeda yakni warna Cream-Merah dan Pu h-Biru. Tipe pelayanan bus Express dengan warna Cream-Merah. Tiga pe pelayanan bus dengan sistem tarif sekali naik sama atau flat rate dan beroperasi sama yakni mulai jam 05.00 am sampai jam 23.00. Sedangkan Bus yang diberi fasilitas pendingin udara (Air Condi oned Bus) dengan warna Cream-Biru dan Bus yang masuk kategori Euro II dengan tarif yang tergantung pada jarak yang ditempuh. Kedua pe tersebut juga beroperasi mulai jam 05.00 am sampai jam 23.00. Tipe ke enam adalah pelayanan bus malam hari dengan beroperasi mulai jam 23.00 sampai jam 05.00 am dan tarif yang dikenakan sistem flat rate sebesar Thai 8 baht. BMTA juga memberikan potongan harga bahkan membebaskan kewajiban membayar tarif angkutan bus untuk orang orang tertentu yang memenuhi persyaratan. Orang yang dibebaskan dari pembayaran tarif adalah : petugas pengawas bus BMTA, rahib dan calon rahib budha, petugas pos yang sedang bertugas, pemegang kartu pegawai BMTA, dan pemegang sertifikat atau medali yang dicantumkan dalam peraturan pembebasan pembayaran tarif angkutan bus. Sedangkan penumpang yang diberi potongan 50% untuk naik bis reguler adalah : orang buta pemegang sertifikat dari asosiasi orang buta, tentara dan polisi berseragam, pemegang sertifikat atau medali yang dicantumkan dalam pemberian konsesi yang ditetapkan oleh Pengendali Transport yakni Medali Kemenangan, Medali Perang dari Kerajaan Eropa, Medali Petugas Perbatasan, Medali Perlindungan Orang Bebas, Non Aktive Veteran Perang kelas 1,2,3 sampai 4. Sementara itu pengurangan tarif untuk pelayanan bus ber pendingin udara diberikan kepada pemegang sertifikat atau Medali Kemenangan, Medali Perang dari Kerajaan Eropa, Medali Petugas Perbatasan, Medali PerlindunganOrang Bebas, Non Aktive Veteran Perang kelas 1,2,3 sampai 4 serta pemegang kartu pegawai BMTA. BMTA merupakan badan usaha milik pemerintah dibawah kendali Kementerian Transport dan Komunikasi yang sampai saat ini masih mendapat subsidi dari Pemerintah Thailand. Pada tahun 2012 BMTA mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 652,72 juta baht5.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
91
Komisi Transit, Dewan Kota dan OC Transpo di O awa Canada OC (O awa Canada) Transpo merupakan perusahaan milik pemerintah yang dijalankan oleh Kota O awa dengan mandat untuk memberikan pelayanan angkutan umum baik dengan bus maupun kereta api yang lebih menjamin keselamatan, keamanan, dan keramahan dengan harga yang layak. OC Transpo menawarkan pelayanan transit ga route bus utama yang beroperasi 22 jam se ap hari. Ragam pelayanan OC Transpo adalah pelayanan “regular”, “express” pada jam jam sibuk dan “rural” untuk pelayanan ke luar kota. Informasi di masing masing tempat pemberhen an juga cukup lengkap tentang fasilitas apa yang tersedia dan lanjutan atau transfer ke mana saja yang tersedia. Soal kebijakan tarif atau per ketan untuk naik bus yang dioperasikan oleh OC Transpo ada ga cara atau fasilitas memakai kartu pass “Presto”, Coupon, dan Uang Tunai. Sedangkan pengguna dibedakan antara yang dewasa, anak anak dan orang orang usia lanjut yakni orang berusia di atas 65 tahun. Menggunakan kartu pass “Presto”, lebih murah dari pembayaran dengan coupon apalagi dengan uang tunai. Anak anak, pelajar dan lanjut usia juga mendapat potongan tarif discount. Selain itu juga dikenalkan DayPass baik untuk regular maupun express dalam satu hari bebas kemana saja dan kapan saja senilai Canada $ 7.95. OC Transpo juga memberikan fasilitas bulanan yang dibedakan untuk orang dewasa, pelajar dan orang lanjut usia dengan dua model ket reguler dan ket reguler + express. Di samping itu OC Transpo juga mengelola the O-Train yakni suatu pilot proyek kategori a light rail di O awa yang melayani sepanjang 8km dari Greenboro Sta on (selatan) ke Bayview Sta on (utara). The O-Train dak menambah ongkos jika penumpang merupakan pindahan dari bus atau jika menggunakan DayPass. Untuk memberikan pelayanan seper tersebut di atas OC Transpo pada tahun 2012 mendapat subsidi dari pemerintah kota O awa sebesar Canada $ 200 juta3.
BSRCC dan MTA di Seoul Korea Selatan Pada tahun 2003 Pemerintah Kota Seoul membentuk A Bus System Reform Ci zen Commi ee (BSRCC) yang anggotanya terdiri dari Seoul Department of Transporta on, Municipal Council, and Associa on of Bus Company, Ahli ahli Transport dan juga Pengacara.
90
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Pembentukan BSRCC ini merupakan ndakan Pemerintah Kota Seoul yang menghadapi kesulitan mengatur rute bus yang selama ini dak efisien dan kurang dikoordinasikan. Oleh karena itu pemerintah kota Seoul menetapkan untuk mendapatkan kembali kekuasaan dalam menentukan rute bus, jadwal angkutan umum, dan penentuan tarif serta sistem operasinya dengan melibatkan semua pemangku kepen ngan. Pada tahun 2004 dibentuklah Metropolitan Transporta on Authority (MTA) untuk mengkoordinasikan pembicaraan tentang rencana pembangunan angkutan dalam kota di Seoul Metropolitan Area. Salah satu hasilnya adalah Pemerintah memprioritaskan “Transit Oriented Development” atau TOD untuk merancang tata ruang kota dan pada tahun itu juga mulai dilakukan reformasi angkutan umum “bus” perkotaan di kota Seoul. Reformasi angkutan umum bus ini bertujuan untuk merevitalisasi sistem angkutan bus melalui perbaikan regulasi, menyediakan Bus Rapid Transit (BRT), dan memperkuat operasi pelayanan angkutan bus umum. Angkutan Bus di Seoul dibagi 5 type yakni Blue, Green,Yellow, Red, dan Maeul Bus. Waktu operasi mulai jam 4.30 am sampai jam 01.00 am hari berikutnya atau 20 jam. Blue Bus adalah bus yang melayani jalur pinggiran ke pusat kota Seoul dan dibedakan tiga jenis yakni bus berbahan bakar gas (CNG) dengan lantai rendah, dan regular, serta “bus bendable”. Blue bus dikendalikan sebagian oleh Pemerintah Kota Seoul dan berjalan dengan kecepatan tinggi dan jarak perjalanan lebih jauh dibanding bus lainnya. Green Bus adalah bus yang dioperasikan oleh perusahaan swasta yang menghubungkan stasiun subway dan atau terminal bus di pusat kota Seoul. Sedangkan Yellow Bus berputar melayani pusat kota Seoul dan berhenti pada terminal Blue bus dan stasiun utama/besar subway termasuk juga tempat tempat wisata, belanja, dan bisnis (perkantoran). Red bus adalah pelayanan ekpress (cepat) dan merupakan bus yang paling cepat karena berhenti lebih sedikit dibanding bus tipe yang lain dan dirancang setiap penumpang dapat tempat duduk. Terakhir Maeul Bus adalah pelayanan ke komunitas/tempat pemukiman, dengan rute lebih pendek dan ukurannya juga lebih kecil dibanding tipe yang lain. Hal inilah yang sering disebut perubahan sistem dari “private bus system to a quasi-public bus system”. Konsekuensinya
residu terkait pertanian hasil ke daksengajaan dari proses pertanian sehingga terbuang secara alamiah (seper : daun rontok, dahan/ ran ng patah karena pelapukan, dan sekam sebagai residual penggilingan padi). Bagaimanapun juga limbah pertanian pen ng untuk dikendalikan. Pengendalian disini dimaksudkan untuk mengurangi atau memusnahkan limbah/ residu pertanian tersebut tanpa memberikan dampak buruk pada lingkungan dan kehidupan manusia. Bagaimanapun juga dak dapat dilakukan pembiaran terhadap limbah/ residu pertanian, sekalipun sebagian besar limbah/ residu pertanian memang terbuang percuma atau dibakar untuk menguranginya. Ternyata, dak hanya unsur ancaman yang patut diper mbangkan dalam penangangan limbah/ residu pertanian ini, tetapi juga aspek pemanfaatannya ternyata sudah banyak diatur, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang (Yevich et al., 2003; Al-Ansary, Marwa S., et al., 200x). Terkait pemanfaatan sampah, di perkotaan, menurut Jusri Jusuf (www.energi.lipi.go.id, edisi 6 Desember 2004) bahwa apabila sampah rumah tangga di Jakarta yang diproduksi rata-rata 20.000 ton per hari dapat memproduksi energi listrik berdaya 100 megawa , maka limbah/ residu pertanian yang mencapai >100 juta ton pertahun1 berpotensi menghasilkan energi listrik minimal 1300 megawa . Bila 100 megawa dapat memberikan pendapatan rata-rata Rp 320 miliar per tahun, maka penggunaan sampah pertanian untuk energi berpotensi menghasilkan Rp.4,160 triliun, dan lebih besar lagi bila dihitung berdasarkan data Kementerian ESDM. Suatu potensi yang patut diper mbangkan secara ekonomi untuk pengembangan ekonomi nasional dan lokal.2
pemanfaatannya secara terkelola sangat diperlukan, se daknya dibakar sebagai energi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, limbah/ residu pertanian umumnya telah dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan usaha, seper energi dan kompos, namun penyelenggaraannya masih sangat parsial dan belum terlembaga (Yevich et al., 2003).3 Di sini diperlukan pemangku kepen ngan yang paham terhadap pemanfaatan limbah/ residu pertanian dan kapabel dalam mengelolanya secara terintegrasi dan berkesinambungan. Persoalannya, kegiatan usaha yang bergerak di pemanfaatan limbah/ residu pertanian di Indonesia umumnya masih di tahap uji coba. Mereka bergerak di “niche market” dalam upaya untuk menutup biaya riset dari pengembangan prototype yang dak kecil. Sifat produk hasil pengolahan limbah/ residu pertanian yang sangat spesifik kegunaannya (khas, kecil/ bukan produksi masal, dan tersebar)4 mendorong terbentuknya niche market. Tidak (belum) adanya peraturan pendukung yang dapat menjamin secara teknis tata cara/ tata kelola pemanfaatan limbah/ residu pertanian yang baik, benar, serta dapat dipertanggungjawabkan, melemahkan intensi masyarakat (petani) untuk bergerak di bidang usaha ini. Penyediaan bahan baku olahan limbah/ residu pertanian untuk energi secara berkesinambungan untuk jangka panjang tampaknya akan terkendala oleh semakin pesatnya alih fungsi lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk, diantaranya, telah menyebabkan semakin intensifnya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian.5 Hal ini memperkecil lahan pertanian per penduduk, dan karenanya pula kepemilikan lahan pertanian rata-rata per kapita juga mengalami penyusutan. Tanpa didukung penyediaan lahan yang memadai dalam 3
Bisa dilihat juga telaahan pengelolaan sampah dari sumber h p :// www.slideshare.net/risaastrianigin ng/pengelolaan-sampah-27806911 yang menjelaskan pengaruh geografis terhadap kondisi sampah yang dihasilkan, dan pemanfaatannya yang cukup rinci.
4
Untuk skala usaha kecil lihat di “Potensi Biomassa Hasilkan Listrik, Bahan Bakar Kompor, dan Pupuk Organik.” 2013. Naskah asli di h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221, atau lihat catatan Anggit Dwipramana, (2012) di h p ://anggitpramana.com/2012/08/26/ wow-pembangkit-listrik-tenaga-biomassa-pltb-mulai-tumbuh-diindonesia, untuk skala usaha menengah
5
Telaahan Lilis Nur Faizah, 2007, sebagai tugas Mata Kuliah Vak Khusus Hukum Perbandingan Agraria pada FH UGM, mengu p dari Bomer Pasaribu bahwa se ap tahun (pada periode 1992 – 2002) diperkirakan terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 165 ribu hektar untukpemukiman, industri maupun pembangunan infrastruktur lainnya.
Tantangan dan Permasalahan Yang Dihadapi Agar kalori yang dihasilkan dari pembakaran limbah/ residu pertanian dak terbuang percuma, maka 1
Data lihat tabel 1 Potensi limbah/ residu pertanian di Indonesia
2
Sampah perkotaan umumnya bersifat padat, dan begitu pula halnya dengan sampah pertanian. Konversi sampah ke energi dapat dilakukan dengan berbagai metode, sementara itu limbah/ residu pertanian bisa diolah menjadi biomassa yang diketahui ada yang berbentuk padat, bentuk cair, dan gas; kesemuanya berpotensi menghasilkan energi listrik. Kementerian ESDM menghitung potensi listrik dari konversi seluruh potensi biomassa yang ada diperkirakan dapat menghasilkan daya listrik hingga 50 Giga Wa s.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
11
Tabel 1 Potensi Limbah/ Residu Pertanian di Indonesia Komoditi Paddy Corn Peanuts Soybean Cassava Food crop agriculture Kakao Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Te b u Estate Agriculture
1989 Poten al Waste Areal (Ha) Waste (ton) 21,062,414.0 15,534,000.0 2,944,199.0 3,344,000.0 620,817.0 371,000.0 1,198,096.0 2,127,000.0 1,407,870.0 6,714,000.0 27,233,396.0 28,090,000.0 317,705.0 3,055,960.0 3,283,589.0 973,528.0 1,036,550.0 357,752.0 9,025,084.0
240,000.0 59,045,000.0 5,373,000.0 6,214,000.0 3,475,000.0 8,561,606.0 82,908,606.0
ton/ Ha 0.74 1.14 0.60 1.78 4.77 1.03 0.76 19.32 1.64 6.38 3.35 23.93 9.19
Areal 2007 (Ha) 24,295,274.0 3,630,324.0 660,480.0 459,116.0 1,201,481.0 30,246,675.0 2011 (Ha) 1.732.641,0 3.456.127,0 3.767.704,0 8.992.824,0 1.233.698,0 451.788,0 19.634.782,0
pelayanan angkutan umum saya pilih ga negara dengan berbagai ngkat pendapatan per kapita yakni Canada, Korea Selatan (Korsel), dan Thailand yang pendapatan per kapitanya tahun 2012 masing masing adalah US $ 51,570.00; US $22,670.00; US $ 5,210.00. No
Perihal
Dalam mewujudkan potensi limbah/ residu pertanian menjadi kekuatan ekonomi lokal, diperlukan suatu proses yang dapat mengintegrasikan pengolahan limbah/ residu tersebut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi, termasuk menjadikannya sebagai produk/ komoditas energi yang dapat diperdagangkan secara menguntungkan. Tantangan besarnya disini adalah bagaimana menyiapkan atau membangun komunitas yang mandiri dalam penyediaan pangan (hasil pertanian dan perkebunan) dan energi dalam satu rantai nilai. Dalam rantai nilai tersebut limbah/ residu pertanian dimanfaatkan menjadi energi, dan energi dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepen ngan domes k/ rumah tangga ataupun untuk industri. Upaya yang berbasis komunitas atau kelompok sangat diperlukan khususnya untuk menjaga kesinambungan pasokan bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan energi. Skenarionya adalah membangun ketahanan energi dari, oleh dan untuk masyarakat.
12
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Lebih dari seratus juta ton limbah/ residu pertanian pertahun (lihat tabel 1, belum termasuk perikanan dan peternakan) yang dak/ belum dikelola secara memadai untuk kepen ngan yang lebih bermanfaat. Upaya pembakaran untuk menghilangkan/ mengurangi sampah atau limbah yang dihasilkan pertanian dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, kebakaran yang meluas, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan yang dapat diancam sebagai ndakan pidana. Demikian pula halnya dengan pembiaran (pembusukan alamiah), sampah pertanian bisa menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan sistem tata air lingkungan. Pengelolaan limbah/ residu pertanian di daerah tampaknya dak cukup terintegrasi untuk membangun ketersediaan energi non-fosil secara efisien dan efek f dalam skala komunitas, bahkan pengelolaan di sisi usaha pertaniannya itu sendiri.6 Pengintegrasian usaha pertanian yang beragam 6
Dari h p ://www.paskomnas.com/id/berita/Kondisi-PertanianIndonesia-saat-ini-Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-PertanianIndonesia.php (2009) : “Pembangunan pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralis k. Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan : (a) skala kecil, (b) modal yang terbatas, (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi oleh musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) pasar komodi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani.”
Keterangan
Langkah-langkah untuk menunjang dan mengendalikan pelayanan
1
Keandalan (Reliability)
Ketepatan waktu pelayanan (punctuality)
Semakin kecil penyimpangannya (deviasinya) semakin baik
Jadwal (Time Table) Pelayanan
2
Kemudahan (Accesibility)
Rata rata waktu perjalanan untuk komuter **) Ketersediaan fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus (orang buta, berkursi roda, orang tua).
Semakin pendek semakin baik Jumlah kendaraan umum yang dilengkapi fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus (orang buta, berkursi roda, orang tua).
Jadwal (Time Table) Pelayanan Standard fasilitas yang harus ada di terminal, stasiun, halte dan di kendaraannya
3
Keselamatan (Safety)
Jumlah korban meninggal dan atau cacat seumur hidup per kejadian kecelakaan yang melibatkan angkutan umum **)
Semakin kecil semakin baik
Persyaratan baik Pengemudi maupun Kendaraan Angkutan Umum dan Pela han serta Pengecekan Kelayakan Kendaraan dan Kesehatan pengemudi atau awak angkutan umum secara reguler
4
Keamanan (Security ) ***)
Jumlah kejadian ndak kriminal di kendaraan angkutan umum, halte, terminal, stasiun. ***)
Semakin kecil semakin baik
Persyaratan fasilitas baik yang ada pada Kendaraan Angkutan Umum maupun pada fasilitas penunjang yang dicek secara reguler untuk mencegah adanya ndak kriminalitas misalnya CCTV, komunikasi.
5
Informasi (Informa on)
Ketersediaan informasi yang memadai untuk pelayanan angkutan umum seper jadwal kedatangan, keberangkatan, perpindahan (transfer).
Semakin lengkap semakin baik
Standar penyediaan informasi secara jelas baik di kendaraan angkutan umum maupun fasilitas penunjang serta website pada otoritas transportasi
6
Konek vitas (Connec vity)
waktu dan jarak yang dibutuhkan untuk perpindahan baik pada jalur maupun moda transportasi.
Semakin cepat semakin baik
Standar waktu dan jarak perjalanan untuk melakukan perpindahan jalur dan moda transportasi
7
Keterjangkauan (Affordability) ***)
Bagian pengeluaran rumah tangga (household) untuk transport pada 20% rumah tangga berpendapatan terendah. **)
Semakin kecil semakin baik
Standar operasi angkutan umum dan biaya operasi serta umur ekonomis kendaraan umum
8
Ramah Lingkungan (friendly to environment)
Jumlah kendaraan umum yang menggunakan mesin dan bahan bakar yang dikategorikan sebagai mesin dan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Semakin banyak kendaraan angkutan umum standar euro II atau III dan bahan bakar bukan minyak seper CNG atau LPG)
Standar Kendaraan angkutan umum terkait fasilitas untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan penyediaan fasilitas untuk alat transport non motorist,
Sumber : Departemen Pertanian RI
luasan yang menguntungkan untuk dikelola secara korporasi, maka hal ini mempengaruhi minat/ pilihan pengembangan usaha pertanian secara perorangan dengan skala korporasi. Pilihan lainnya adalah : para pemangku kepen ngan pertanian (setempat) dan para pemilik lahan sempit pertanian bekerja bersama (coopera ve) dalam mengembangkan sumber daya ekonomi setempat (pertanian). Maukah mereka bekerja sama?
Indikator
Sumber : *) Nolberto Munier, Handbook on Urban Sustainability, Springer 2007 **) Todd Alexander Litman; Urban Transporta on Management, dalam Nolberto Munier, 2007 ***) usulan - olahan
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
89
umum bersifat individual atau per unit kendaraan dan bukan pengoperasian armada secara keseluruhan dalam satu koridor/trayek pelayanan berdasarkan permohonan ijin trayek yang disetujui oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu suatu ndakan yang dapat mendorong pengoperasian angkutan umum itu dak lagi berdasarkan individual kendaraan tetapi pelayanan suatu armada dalam satu koridor pelayanan bahkan seharusnya pelayanan ke seluruh pelosok kota. “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” merupakan salah satu ndakan yang dapat menghindari pengoperasian angkutan umum perkotaan secara individual untuk meningkatkan kualitas pelayanan. “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” merupakan satu kesepakatan antara pemerintah dan penyedia angkutan umum perkotaan tentang pelayanan angkutan umum seper apa dan dengan biaya seberapa besar yang bisa dibebankan kepada masyarakat baik secara langsung kepada penumpang maupun kepada masyarakat lainnya yang nggal di kota yang bersangkutan.
PERMASALAHAN Awak angkutan umum merupakan orang paling depan (front-liner) untuk dapat mewujudkan pelayanan angkutan umum perkotaan yang baik dalam ar menjamin keselamatan, keamanan, dan keteraturan. Namun pada kenyataannya para awak angkutan umum perkotaan sering melakukan ndakan ngetem (berhen dengan waktu yang cukup lama untuk menunggu penumpang), kejar kejaran, menjejali bis dengan penumpang berlebihan, menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan dan bukan di tempat yang seharusnya yakni halte dan terminal. Tingkah laku awak angkutan umum seper ini yang membuat pelayanan angkutan umum perkotaan dak bisa diandalkan. Persoalannya awak angkutan umum dihadapkan pada sistem “setoran” yang diterapkan oleh pengusaha angkutan umum pemegang ijin trayek. Sistem setoran adalah pengelolaan angkutan umum dengan menetapkan berapa jumlah uang yang harus diserahkan oleh awak angkutan kendaraan umum yang mengoperasikan satu kendaraan dalam satu hari kerja. Jadi kalau awak angkutan umum mau bertahan hidup, mereka harus dapat mengoperasikan sarana angkutan umum seefisien mungkin sehingga mereka mendapat
88
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
uang yang melebihi dari setoran yang ditargetkan oleh pemilik kendaraan angkutan umum tersebut. Dengan demikian pusat perha an para awak angkutan umum bukan pada bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat tetapi pada bagaimana mereka bisa memperoleh pendapatan melebihi jumlah setoran yang harus mereka berikan kepada pemilik kendaraan. Mereka kurang peduli terhadap kepen ngan penumpang sehingga tak k yang diterapkan seper “ngetem”, menjalankan kendaraan dengan kecepatan nggi dan berhen mendadak demi mencapai target setoran dan kelebihan yang mereka inginkan. Mereka tak peduli “ngetem” lama akan merugikan penumpang, bahkan dak segan mereka menye r sembarangan yang membuat penumpang khawa r akan keamanan dan keselamatannya.
Standar PelayananAngkutan Umum Perkotaan di Kota Kota Besar di Dunia Menurut Nolberto Munier dalam bukunya Handbook on Urban Sustainability (2007, hal. 49)2 pelayanan transportasi sebagai subsistem dari keberlangsungan suatu kota (urban sustainability), harus sejalan atau memenuhi kondisi keandalan (reliability), kemudahan pelayanan (accesibility), keselamatan (safety), pelayanan cepat (fast service), frekuensi (frequency), biaya (cost effec ve), konek vitas (connec vity), informasi jelas dan terbuka (informa on), ramah lingkungan (sound environment). Dari sembilan kondisi yang dikemukakan Munier tersebut menurut saya perlu ditambahkan keamanan (security) mengingat di Indonesia keamanan dibedakan dengan keselamatan. Sedangkan cost effec ve lebih tepat digan kan dengan keterjangkauan atau affordability untuk mengukur besaran tarif dengan kemampuan masyarakat maupun pemerintah untuk menanggungnya. Sementara pelayanan cepat dan frekuensi pelayanan sudah diwakili oleh keandalan. Oleh karena itu beberapa karakteris k kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan dengan beberapa indikatornya disampaikan pada Tabel Karakteris k Kualitas Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan. Pada Tabel tersebut disampaikan parameter dan indikator berikut pengukurannya dengan langkah langkah yang diperlukan untuk mengendalikan kualitas pelayanan. Pelayanan angkutan umum perkotaan di luar negeri yang bisa mendeka pandangan Munier cukup banyak dan sebagai bahan acuan untuk perbandingan dengan
di daerah, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat, akan memerlukan kerja sama antar para pemangku kepen ngan termasuk para pelaku usaha. Sayangnya, sebagaimana diindikasikan oleh Wakil Presiden RI (Boediono, 2012), semangat kebersamaan atau “gotong royong” (yang memudahkan upaya pengintegrasian) tampaknya mulai luntur dari konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.7 Seberapa besar perubahan struktural yang diakibatkan oleh lunturnya semangat kebersamaan tersebut dapat diperbaiki, akan sangat tergantung pada seberapa besar manfaat yang bisa diterima masyarakat dari kultur/ budaya kebersamaan tersebut. Wiroutomo (2012) mensyaratkan bahwa perubahan kultural hanya dimungkinkan melalui perubahan struktural, dan tentunya rentang waktu untuk memrosesnya. Sistem nilai yang seharusnya menguatkan sisi kultural bangsa sepatutnya dijaga dan dipertahankan, sehingga dak perlu upaya strukturisasi/ restrukturisasi. Permasalahannya; memelihara semangat gotong royong sebagai sistem nilai budaya Indonesia terkendala oleh perubahan kons tusi yang dak lagi mengedepankan semangat kolek f (UUD 1945), namun cenderung menguatkan semangat individualis dengan alasan hak asasi manusia (UUD NRI 1945). Bagaimanapun juga, secara struktural pemerintahan RI berkepen ngan terhadap pemeliharaan semangat kebersamaan dalam menjaga NKRI secara demokra s. Pemerintah berupaya memelihara semangat kolek f dan memprosesnya dalam struktur yang dijalankan secara melembaga, diantaranya melalui Koperasi yang kelembagaannya diatur melalui UU No. 17/ 2012 tentang Perkoperasian. UU tersebut baru-baru ini dibatalkan oleh Mahkamah Kons tusi, sehingga pengaturan koperasi kembali kepada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki (dibangun) koperasi kiranya bisa dimanfaatkan untuk mengintegrasikan rantai nilai usaha pertanian, terutama pengelolaan limbah/ sampah pertanian hingga menjadi energi listrik untuk kepen ngan masyarakat luas. Dengan semangat kebersamaan, unsur yang harus ditonjolkan dalam proses pengintegrasian tersebut adalah bagaimana membangun 7
WAPRES RI : GELORAKAN GOTONG ROYONG. 2012. h p ://ja m. bkkbn.go.id/berita.php?p=berita_de l
karakteris k usaha pertanian dalam format perkoperasian sebagai penguatan terhadap kapasitas perekonomian masyarakat.
Lingkup Analisa Kebijakan Dalam rangka pemanfaatan sampah pertanian untuk energi, Koperasi tampaknya dapat memberikan k- k temu dalam proses pengintegrasian usaha pengelolaan/ pengolahan sampah untuk energi; karena dapat dikatakan bahwa masyarakat petani (termasuk perkebunan dan peternakan) dipengaruhi oleh perubahan struktural yang terjadi di masing-masing bidang kegiatan/ usaha pertaniannya. Mereka harus lebih terintegrasi dalam rantai nilai usaha mereka secara horizontal dan ver kal berdasarkan kedekatan usaha mereka dengan produksi dan/ atau dengan pemasarannya. Koperasi dapat menjadi instrumen yang efek f untuk komunitas dalam menjalin rantai nilai tersebut, dan mengelolanya secara terintegrasi bidang-bidang kegiatan di rantai nilai pertanian, ex-ante, on going, dan pasca produksi, sekaligus memenuhi aspirasi usaha individu dan kebutuhan usaha bersama masyarakat. Mengubah sampah menjadi energi (energi biomassa) yang terjaga penyediaan bahan bakunya, dapat dilakukan secara individual (berbasis korporasi) ataupun komunitas (berbasis koperasi). Penyediaan energi dalam skala komunitas, dalam hal ini, menjadi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi secara inklusif. Tidak harus sama rata dan sama rasa, namun se daknya apa yang menjadi hakhak dasar masyarakat terhadap energi dapat dipenuhi. Pangan dan energi merupakan hak yang paling dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah.8 Pengintegrasian usaha pertanian dalam rangka penyediaan energi (dan pangan) untuk masyarakat akan memerlukan usaha bersama secara lintas sektor dan lintas lembaga.
8
Untuk pangan dapat dipas kan sebagai hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi, cek di h p ://bkp.pertanian.go.id/downlot. php%3Ffile%3DBuku_Dasawarsa_BKP.pdf, sedangkan energi sebagai hak dasar masih wacana, dimana dukungan poli k dibutuhkan dan dukungan poli k hanya mengiku kemauan poli k, cek situs h p ://power-to-the-people.net/2013/01/renewable-energy-ourfundamental-choice-today/. Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirajd (2008) mengemukakan bahwa “Se ap kebijakan di sektor energi harus diarahkan pada pemenuhan kepen ngan masyarakat, bukan untuk kepen ngan segelin r kelompok atau kepen ngan tertentu.” Cek situs h p ://migasreview.com/kebijakan-sektor-energi-harus-diarahkanpemenuhan-kepen ngan-masyarakat.html#sthash.jWcVodxM.dpuf.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
13
Dalam rangka pencapaian tujuan di atas, dengan metode agenda se ng diharapkan dapat dikenali halhal yang menjadi permasalahan yang bisa memengaruhi keputusan publik, terkait kepen ngan pengiden fikasian pokok-pokok permasalahan agar dapat dilakukan pendalaman dalam mencari solusi secara sistemik yang kemudian dapat dikuatkan dalam suatu agenda kebijakan pemerintah (skenario) yang patut disikapi bersama. Berdasarkan agenda kebijakan yang bersifat sistemik tersebut, kemudian disusun agenda kelembagaan yang disesuaikan dengan peran masing-masing pemangku kepen ngan yang harus dijalankan berdasarkan skenario besarnya (agenda sistemik).
Dalam kerangka pengembangan kebijakan pemerintah di bidang perkoperasian, analisis diarahkan untuk menelaah isu atau permasalahan pokok, yang dihadapi individu ataupun publik, dalam pengelolaan sampah pertanian menjadi energi dalam sistem dan tata kelola perkoperasian. Komunitas pertanian dapat memanfaatkan koperasi sebagai instrumen usaha bersama yang saling menguntungkan; namun, perlu disiapkan skenario pengembangannya dalam satu rantai nilai usaha berdasarkan penawaran dan permintaan, khususnya dalam rangka memaksimalkan nilai keekonomian komoditas limbah/ residu pertanian. Melalui pemahaman terhadap isu pengembangan koperasi yang bersumber dari hal-hal yang bersifat privat dan publik di bidang pertanian dan energi, kemudian ditelaah hal-hal (kebijakan) yang bisa digunakan sebagai solusi menuju “zero waste” dari usaha pertanian dalam bentuk agenda pemanfaatannya untuk energi melalui koperasi. Tulisan ini se daknya memberikan pelajaran terkait perkoperasian di pertanian dan perkoperasian di energi, sebelum akhirnya bisa disiapkan agenda sistemik yang menjelaskan skenario kebijakan yang perlu disikapi oleh lembaga terkait khususnya di pemerintahan.
Gambar 2. Kerangka Umum Agenda Se ng
Foto : www.tempo.com
Untuk itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk dapat menyiapkan alterna f-alterna f kebijakan yang bermanfaat dalam rangka memperkuat perkoperasian sebagai basis usaha masyarakat yang dapat mengintegrasikan rantai usaha (pengolahan limbah/ residu) pertanian hingga menjadi energi yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui tulisan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana strategi dan kebijakan pemanfaatan limbah/ residu pertanian yang sebaiknya diambil dengan hadirnya koperasi. Harapannya adalah koperasi dapat menjadi instrumen kelembagaan yang dapat mengubah pandangan buruk masyarakat terhadap koperasi. Bila usaha individu anggota koperasi ada dalam rantai usaha bersama yang dikelola koperasi, maka anggota dapat memiliki “posisi tawar” (bargaining posi on) yang lebih kuat dalam menghadapi pasar bebas.
“Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” Sebuah Kebijakan Publik untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Petrus Sumarsono, JFP Madya Abstrak
P
elayanan angkutan umum perkotaaan di Jakarta khususnya dan Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) belum dapat diandalkan dalam ar tepat waktu, selamat, aman, teratur dan adil serta terjangkau bagi masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku awak angkutan umum sebagai garda terdepan (front liner) pelayanan angkutan umum perkotaan yang sering melakukan ndakan ‘ngetem’ (berhen menunggu penumpang), kejar kejaran, menyimpang dari ijin trayek yang dimiliki, menurunkan dan menaikkan penumpang sembarangan. Pemerintah hendaknya melibatkan banyak pemangku kepen ngan (stake holder) seper Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) termasuk awak angkutan umum perkotaan sebagai penyedia jasa angkutan umum, Anggota DPR dan atau DPRD sebagai pembuat undang undang dan peraturan, industri otomo f, para pakar transportasi perkotaan serta tentunya masyarakat sehingga rumusan tentang sistem operasi pelayanan angkutan umum perkotaan, kebijakan tarif dan penetapan trayek atau jaringan pelayanan angkutan perkotaan sudah memper mbangkan keuntungan op mal bagi masyarakat secara keseluruhan.
PENDAHULUAN
K
ualitas pelayanan angkutan umum perkotaan di Indonesia saat ini kurang bisa diandalkan. Ar nya, calon penumpang kurang percaya diri untuk menggunakan angkutan umum dalam rangka mencapai tujuan secara aman dan selamat dengan biaya dan waktu yang dapat diperhitungkan secara rasional. Kekurang percayaan calon penumpang angkutan umum ini karena mereka melihat kenyataan bahwa kebanyakan angkutan umum perkotaan di Indonesia dak memiliki jadwal ( me table), belum diselaraskan baik dengan moda angkutan yang lain maupun dengan lokasi yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi, masih ada kecelakaan lalu lintas dan ndak
14
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
kriminal yang melibatkan atau terjadi pada kendaraan angkutan umum maupun di fasilitas pelayanan angkutan umum. Buk itu bisa digambarkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh Kementerian Perekonomian bersama Japan Interna onal Coopera on Agency (JICA) mengenai Moda untuk Perjalanan ke Tempat Kerja menyatakan terjadinya penurunan penggunaan bus dari 38,3 % pada tahun 2002 menjadi hanya 12,9% pada tahun 2010 dan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor roda dua dari 21,2 % pada tahun 2002 menjadi 48,7% pada tahun 2010.1 Hal ini bisa terjadi karena penyedia atau operator angkutan umum perkotaan masih menjalankan operasi kendaraan angkutan
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
87
Yildirim, A. K, 2009. Microfinance For The Poor : Burden or Blessing?. Retrieved from h p ://www. fountainmagazine.com/Issue/detail/ Microfinance-for-the-Poor-Burden-or-Blessing. USA.
POTENSI KOPERASI DALAM PENGELOLAAN LIMBAH/ RESIDU PERTANIAN UNTUK ENERGI Peneli an yang dilakukan oleh El-Haggar Salah M., et.al. (the American University Cairo, Egypt), Wa Hermawa (PAPPIPTEK-LIPI), dan Saleh Siswanto (FT-Universitas Indonesia) mengindikasikan bahwa pemanfaatan limbah/ residu pertanian sudah dilakukan di berbagai tempat, menggunakan bermacam bentuk teknologi dengan skala pengelolaan yang bervariasi. Terindikasi bahwa pengelolaannya umumnya dilakukan secara parsial dan dak/ belum cukup efek f untuk dikembangkan dalam skala usaha yang besar dan berkelanjutan. Kesinambungan pasokan bahan baku energi dari olahan limbah/ residu pertanian ke pusat-pusat pembangkit listrik, merupakan salah satu penyebabnya.
Beberapa negara maju seper Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat secara spesifik menegaskan tata cara pengelolaan limbah pertanian dalam bentuk peraturan dan perundangan.9 Inggris telah merivisi “Agricultural Act 1947” dan membuat sampah atau limbah pertanian sebagai limbah yang harus dikendalikan [melalui “The Waste Management (England and Wales) Regula on 2006 (Statutory Instrument 2006 No.937)].” Kanada mengatur pengelolaan limbah dalam Environmental Management Act (sebelumnya diatur melalui The Waste Management Act); dan yang mengatur secara khusus penanganan limbah pertanian adalah The Agricultural Waste Control Regula on (diper mbangkan juga dalam The Public Health Act). Dalam regulasi tersebut dikemukakan hal-hal terkait praktek memanfaatkan, menyimpan, dan mengelola limbah pertanian yang ramah lingkungan. Sedikit berbeda dengan Kanada, Amerika Serikat (AS) yang cenderung memilah peraturan berdasarkan sumber dan jenis limbah yang harus dikendalikan, mengingat faktor ancamannya yang berbeda.
9
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Pengelolaan limbah.
Environmental Protec on Agency (EPA). Selain itu, masingmasing negara bagian di AS juga mengatur sendiri tata cara mengelola limbah, termasuk limbah/ residu pertanian.
Pengalaman Manca Negara
Di Amerika Serikat, tanggung jawab pengelolaan limbah (sampah) diberikan kepada lembaga The
86
Foto: www.sakter-mccbappenas.blogspot.com
Kusumo, R. A. B., Sunar , E., & Pranadji, D. K, 2008. Analysis on the role of gender in correla on with family welfare of paddy and hor culture farmers in sub urban area. Media Gizi & Keluarga [The Family Nutri on Media], Desember 2008, 32 (2), 52 – 64. Indonesia. Mahjabeen, R, 2008. Microfinancing in Bangladesh : Impact on households, consump on and welfare. Journal of Policy Modelling, 30, 1083 - 1092. Bangladesh. Microfinance Industry Report Indonesia, 2009. Published by the Banking with the poor network, in collabora on with the Small Enterprise Educa on and Promo on Network (SEEP) network, funding by the Ci Founda on, as part of the ac vi es of the Ci network strengthening program. Indonesia. Morton, L. W., Bi o, E. A., Oakland, M. J., & Sand, M, 2007. Accessing food resources : Rural and urban pa erns of giving and ge ng food. Agriculture and Human Values 25 : 107 – 119. USA. Parianom, R, n.d. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Untuk Pembangunan Ekonomi Pedesaan [The Empowerment of Micro Finance Ins tu on for Rural Economic Development]. STIAMI Jakarta. Indonesia. Rahman, S., Rafiq, R.B., & Momen, M.A, 2009. Impact of Microcredit Programs on Higher Income Borrowers : Evidence From Bangladesh. Interna onal Business & Economics Research Journal Vol. 8, No.2. Bangladesh. Rochaeni, S., & Lokollo, E. M, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ekonomi Rumah Tangga Petani di Kelurahan Setugede Kota Bogor [Factors affec ng economic decision of farmers household in Setugede Village, Bogor City]. Journal of Agro Economy, Vol. 23, No. 2 : 133 – 158. Indonesia. Segal, L. M., & Sullivan, D. G, 1998. Trends in homeownership : Race, demographics, and income. Economic Perspec ves, Federal Reserve Bank of Chicago. USA. Sekhampu, T. J, 2012. Socio-Economic Determinants of Household Food Expenditure in a Low Income Township in South Africa. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 3 (3). South Africa. Setyari, N. P. W, 2012. The Evalua on of Micro-Credit Impact Toward Household Prosperity in Indonesia : Panel data analysis. Jurnal ekonomi kuan ta f terapan [Quan ta ve applied economics journal] Vol. 5 No. 2, 141 – 150. Indonesia. Shalla, V., & Schellenberg, G, 1998. The Value of Words : Literacy and Economic Security in Canada. Retrieved from h p ://en.copian.ca/library/research /nls/ials/words/words.pdf. Canada. Teng, S., Prien, S., Mao, N., & Leng, B, 2011. Impacts of Micro-Credit on Household Economics. IJERD – Interna onal Journal of Environmental and Rural Development, 2–1. Cambodia. The Interna onal Energy Agency, 2010. Energy poverty : How to make modern energy access universal?. Retrieved from h p ://www.se4all.org/wp-content/uploads/2013/09/Special_Excerpt_of_WEO_2010.pdf. France. The Popula on Census, Central Bureau Sta s cs of Indonesia, 2010. h p ://www.jpnn.com/read/2011/06/01/93796/ BPS%3A-13-Juta-Keluarga-Tak-Punya-Rumah. Indonesia. The Monthly Report of Socio-economic Data, 2013. Central Bureau Sta s cs of Indonesia Catalogue : 91990017, 40th edi on. Indonesia. Quach, M.H., Mullineux, A.W., & Murinde, V, 2005. Access to credit and household poverty reduc on in rural Vietnam : A Cross-sec onal study. The Birmingham Business School, The University of Birmingham, United Kingdom. West, D. A., & Price, D. W, 1976. The Effects of Income, Assets, Food Programs, and Household Size on Food Consump on. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 58, No. 4, Part 1, pp.725-730. USA.
Untuk Inggris dapat dilihat di : h p ://www.northumberland.gov.uk/ default.aspx?page=1362, untuk Kanada h p ://www.cer fiedorganic. bc.ca/rcbtoa/services/regula ons.html, dan untuk Amerika diatur diantaranya melalui The United States Environmental Protec on Agency dan peraturan di masing-masing negara bagian (h p :// www2.epa.gov/regulatory-informa on-topic/waste).
Di AS dak ada pendekatan/ pengelolaan sampah tunggal yang cocok untuk digunakan di seluruh negara bagian. Dalam mengelola semua aliran sampah/ limbah di segala situasi, EPA telah mengem-bangkan strategi pemeringkatan (hierarki) yang ramah lingkungan, khususnya untuk limbah padat. Strategi Hirarki ini lebih menekankan pada upaya untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sebagian besar limbah sebagai komponen kunci dari Program Sustainable Materials Management (SMM) EPA. Di dalamnya terdapat kepen ngan pembangkitan energi dalam peringkat di
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
15
bawah upaya daur ulang/ compos ng. Di negara ini tampaknya pengurangan volume sampah/ penggunaan kembali sampah sangat dimina .10 Limbah ataupun residu pertanian yang umumnya berbentuk padat (sebelum terurai secara alamiah) telah dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan di banyak negara (termasuk Indonesia). Secara prinsip kepen ngan utamanya adalah mengurangi volume sampah secara bertanggung jawab, baik untuk kesehatan manusia maupun untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Peneli an Yevich dan Logan (2003)11 mengindikasikan masih kuatnya perilaku pembakaran limbah/ residu pertanian di negaranegara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika. Rasio residu pertanian yang dibakar dan yang digunakan sebagai bahan bakar di Asia adalah 37 :63, sedangkan di Afrika rasionya adalah 50 :50. Tampak bahwa masyarakat Asia lebih memilih untuk memanfaatkan limbah/ residu pertanian untuk bahan bakar (energi) dari pada masyarakat di Afrika pada umumnya. Indonesia, dalam telaahan Yevich (et al., 2003) termasuk negara yang memberikan kontribusi residu pertanian terbesar di Asia Tenggara, dan memanfaatkan 14% diantaranya untuk biofuel. Selebihnya, 73% dibakar di ladang-ladang pertanian dan sisanya digunakan sebagai kompos. Data Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM,12 potensi biomassa untuk pembangkitan listrik diperhitungkan dapat mencapai 50 Giga Wa s (GW), namun baru sekitar 4% saja yang telah dikonversikan menjadi listrik. Potensi ini sudah dikenali sejak lama, tetapi pengembangannya terkendala oleh sulitnya mengumpulkan bahan baku biomassa dalam jumlah besar dari berbagai lokasi yang terpencar dan membawa produk biomassa ke pusat-pusat pembangkit listrik.
10
11
12
16
Penggunaan kembali dak sama dengan daur ulang. Daur ulang dipahami sebagai penghancuran material sampah untuk penggunaan selanjutnya, sedangkan penggunaan kembali biasanya sampah dipulung/ direkonstruksi untuk bisa dimanfaatkan lagi sesuai fungsi semula. Rosemarie Yevich andJennifer A. Logan. 2003. “An assessment of biofuel use and burning of agricultural waste in the developing world.” Ar cle first published online : 10 OCT 2003. h p ://onlinelibrary. wiley.com/ h p ://thepresiduntpos ndonesia.com/2013/01/28/listrikbiomassa-diperlukan-penyempurnaan-feed-in-tarrif/
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Koperasi di Bidang Pertanian Badan Pusat Sta s k (BPS) Indonesia mencatat pertanian sebagai sektor yang terdiri dari pertanian (pangan), perkebunan, peternakan, perikanan, hor kultura, dan kehutanan. Produk vitas usaha pertanian dalam ar luas tersebut, bagaimanapun juga, terikat pada faktor produksi yang terdiri dari ruang/ lahan (media tempat tumbuh tanaman), tenaga kerja (petani/ buruh tani), dan benih/ bibit. Pertanian sendiri memang erat dengan suasana perdesaan dan produksi (terutama) pangan. Saat ini pertanian mendapatkan tekanan dan resiko baru berkenaan dengan semakin terintegrasinya sistem pangan global.13 Fulton dan Gibbings (2000, dalam Novkovic et al., 200x) mengindikasikan adanya perubahan yang menantang bagi produsen makanan terkait hadirnya berbagai peraturan baru tentang kesehatan dan keselamatan, pengurangan bantuan harga dan subsidi dari pemerintah, serta peningkatan persaingan sekaligus juga saling ketergantungan internasional. Pada saat yang sama, inovasi teknologi, khususnya di bidang bioteknologi menciptakan integrasi yang lebih besar secara ver kal dan heterogenitas usaha di kalangan petani. An sipasi terhadap perubahan yang menantang tersebut dapat menjadi beban bagi individu pelaku usaha pertanian khususnya mereka yang bermodal lemah.14 Kelompok ini membutuhkan lembaga/ bentuk organisasi yang dapat membantu mereka dalam melakukan transaksi secara interorganisasional. Sebagaimana dikemukakan Bijman15 (et. al., 20xx, mengu p dari Thompson 1967; Galbraith 1977) koperasi adalah organisasi yang berorientasi transaksi; dimana anggotanya (petani) dapat melakukan transaksi penawaran atau transaksi permintaan secara lebih efisien dalam bentuk organisasi daripada secara individual yang lebih sering disibukkan oleh masalah koordinasi intra-organisasi. UU No.25/1992 tentang Perkoperasian sendiri, secara jelas mengemukakan bahwa koperasi dibentuk berdasarkan keanggotaan untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan 13
Sonja Novkovic and Natasha Power. (200x). “Agricultural and Rural Coopera ve Viability : A Management Strategy Based on Coopera ve Principles and Values,” Saint Mary’s University Halifax, Canada.
14
Modal dalam ar finansial dan manusia (human capital). Koperasi sendiri dapat dikatakan merupakan salah satu wujud modal sosial.
15
Jos Bijman, Roldan Muradian and Andrei Cechin. (20xx). “Agricultural coopera ves and value chain coordina on.”
REFERENCES Aikaeli, J, 2010. Determinants of Rural Income in Tanzania : An Empirical Approach. Research Report 10/4, Dar es Salaam, REPOA. Tanzania. Antoni, M., & Heineck, G, 2012. Do Literacy and Numeracy Pay Off? On the Rela onship between Basic Skills and Earnings. IZA Discussion Paper No. 6882. Germany. Arief, B., & Rosmia , M, nd. Dampak akses kredit terhadap kesejahteraan rumah tangga petani padi [Impact of access to credit on the rice farmer’s household welfare]. 30 tahun Ins tut Koperasi Indonesia [30 years Indonesian Coopera ves Ins tute]. Indonesia. Astu , A. W. W, 2013. Peran Ibu Rumah Tangga dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga [The Role of Housewife in Improve Family Welfare]. (Unpublished Undergraduate’s Thesis). Universitas Negeri Semarang. Indonesia. Bertrand, M., Kamenica, E., & Pan, J, 2013. Gender iden ty and rela ve income within households. NBER Working Paper, No. 19023. USA. Bridge, B., Adhikari, D., & Fontenla, M, 2013. Household-level Effects of Electricity on Income. The Himalayan Research Papers Archive is hosted by the UNM University Libraries, Nepal Study Center, University of New Mexico, SouthSouth Coopera on and Development. Nepal. Cahyaningqyas, N. W, 2013. Pengaruh Pemberian Pinjaman Modal Kerja Bergulir Dari Proyek Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Terhadap Pengembangan Usaha Masyarakat [The Influence of Revolving Working Capital Lending From The Urban Poverty Reduc on Project (P2KP) Toward Business Development Community]. h p ://e-journal.upstegal.ac.id/index.php/Sosekhum/ar cle/download/230/233. Indonesia. Diagne, A., & Zeller, M, 2001. Access to credit and its impact on welfare in Malawi. Research Report 116, Interna onal Food Policy Research Ins tute. Washington, D.C. USA. Dose, H, 2007. Securing household income among small-scale farmers in Kakamega district : possibili es and limita ons of diversifica on. GIGA Research Programme : Transforma on in the process of globalisa on. Retrieved from h p ://www.giga-hamburg.de/de/system/files/publica ons/wp41_dose.pdf. Germany. Fadjar, 2013. Jumlah lembaga keuangan mikro Indonesia diperkirakan 567.000-600.000 unit [The number of Indonesian micro finance ins tu on es mated 567.000-600.000 units]. Warta Ekonomi. Retrieved from h p ://wartaekonomi.co.id/berita14501/jumlah-lembaga-keuangan-mikro-indonesia-diperkirakan-567000600000unit.html. Indonesia. Gentry, W. M., & Hubbard, R. G, 2004. Entrepreneurship and household saving. Advances in Economic Analysis & Policy(4)1. USA. Hadinoto, S., & Retnadi, D, 2007. Micro credit challenge : Cara efek f mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia [Effec ve ways of allevia ng poverty and unemployment in Indonesia]. Publisher : PT. Elex Media Kompu ndo. Indonesia. Imai, K. S., & Azam, M. D. S, 2012. Does microfinance reduce poverty in Bangladesh? New evidence from household panel data. The Journal Development Studies, 48 :5, 633-653, DOI : 10.1080/00220388.2012. 661853. United Kingdom. Iqbal, 2013. UU Lembaga keuangan mikro berjalan 2015 [The act of micro finance ins tu on which is applied in 2015]. Retrieved from h p ://www.neraca.co.id/ar cle/32088/UU-Lembaga-Keuangan-Mikro-Berjalan-2015. Indonesia. Iskandar, H., Sumarwan, U., & Khomsan, A, 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga [Factors affec ng family welfare]. Universitas Sumatera Utara [University of North Sumatra], Indonesia (133 – 141). Indonesia. Ismawan, B, 2006. LKM baru layani 12 persen penduduk miskin [The micro finance ins tu on had just serve poor people about 12%]. Retrieved from h p ://www.antaranews.com/berita/45471/lkm-baru-layani-12-persen-pendudukmiskin. Indonesia. Kemeny, Jim, 2004. Home ownership against the welfare state : the thesis and the evidence. ENHR Conference, Cambridge University. USA. Kimhi, Ayal, 2009. Entrepreneurship and Income Inequality in Southern Ethiopia. Research Paper No. 2009/05. The World Ins tute for Development Economics Research (WIDER). Finland.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
85
Summary
Limita ons and Future Research
This study examines the effect of access to business credit and household characteris cs on household welfare in Indonesia by using survey panel data from year 2009 and 2010 and the fixed effect method. Based on the result, the access to business credit increases household income by 6.15% and also increases both household food expenditure by 45.19% and household non-food expenditures by 49.03%.
This study has several limita ons that can be improved in further study. Firstly, this study only uses two year panel survey data SUSENAS from 2009 and 2010. SUSENAS panel core data is available per year while SUSENAS panel module data is done every three years on a rota ng basis. However, it would be be er if the study also includes data in 2008 that has the same database with the years 2009 and 2010. Secondly, this study only includes household’s access to business credit but did not include informa on about the amount of business credit that the household gets from a financial ins tu on including a microfinance ins tu on. The data about amount of business credit is not available in SUSENAS. Thus, it is important in future studies to collect such data. Lastly, this study did not include interest rate data that influence the household’s decision whether to choose to access business credit or not and also to decide to access business credit from government program or not. However, there is no individual level informa on in SUSENAS, thus this study used category household level data such as Sub-district Development Program/ Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Urban Poverty Allevia on/ProgramProgram Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), other government program, bank, coopera ves, and others.
In terms of the effects of access to business credit on household welfare, this has a posi ve and significant impact on household welfare that are represented by variables such as household income, household food expenditure and household non-food expenditure. The finding shows that when the household get business credit or have access to business credit, they will have higher household income and help them to fulfill their food and non-food expenditure rather than household who does not have access to business credit. It is also in line with Teng et al (2001), Quach et al. (2005), Mahjabeen (2008), and Imai & Azam (2012) who find that access to credit provides a posi ve effect and benefit in improving household well-being. However, the effect of household’s access to business credit from government program is posi ve but insignificant on household income, household food expenditure and household non-food expenditure. It might be because the program has not yet right on target for economically ac ve households. In addi on, these households also need con nuous mentoring as also stated in Cahyaningqyas (2013). Other significant result of this study related to household characteris cs is the posi ve and significant impact of spouse-entrepreneurship on household income. The spouse-entrepreneurship (spouse who has their own job) has 6.38% higher income rather than spouse who worked on other people or not working. Since the spouse female sample in this study is about 99.99%, thus wife or spouse-woman entrepreneurship significantly increases household income. By combining the informa on obtained from the significant impact of business credit and spousewoman entrepreneurship on household income, the access to business credit to wife or spouse-woman is important in order to help them start or expand their business so that they can improve their household welfare.
84
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Policy Implica ons This study provides cri cal informa on to decision makers in Indonesia so that they will target woman in business credit programs for a be er improvement in household welfare. Furthermore, this study suggests that the government sustains and designs a program to empower spouse-woman or wife to improve their household welfare through providing loan or business credit, mentoring, and fund knowledge management to them. Moreover, it is also important for the government and each financial ins tu on including microfinance ins tu on to target economically ac ve spouse-women.
bersama anggotanya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Sebagai wadah usaha bersama (berbadan hukum), koperasi dibentuk juga untuk memberdayakan anggotanya sehingga dapat tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri dan tangguh. Dalam hal ini, koperasi dapat dikatakan merupakan wujud dari lembaga swadaya yang dibentuk secara demokra s dan memiliki otonomi dalam kebijakan-kebijakan organisasi dan usahanya.16 Koperasi pertanian dan pedesaan harus menjalankan pengaturan yang bersifat koordina f melalui “musyawarah,” atau trade off, sebagai pilihan untuk dapat melayani lebih dari satu tujuan usaha anggotanya. Pengaturan koordinasi antar kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda, sebagaimana dikemukakan Bijman (et.al., 20xx), akan dihadapkan pada pilihan dan batas kemampuan dari koperasi tersebut untuk bergerak dengan caranya sendiri. Seper yang dikemukakan Novkovic (et al., 200x), koperasi akan mendapat manfaat dari strategi inova f yang menggabungkan iden tas koperasi (mul -tujuan, demokrasi, kolaborasi, dan musyawarah) dan kepen ngan anggota dalam keputusan bisnisnya. Dalam konteks ini, sesuai dengan ngkat kepen ngan dan kekuatan hubungan sosial-ekonomi yang ada didalamnya, koperasi dapat menjadi sarana untuk membangun kultur organisasi yang mengutamakan kebersamaan dan semangat “gotong royong.” Kebersamaan dan semangat gotong royong ini merupakan faktor pen ng bagi keberhasilan aksi kolek f (Wirutomo, 2012; Ostrom 1994, 1999, dalam Bijman et.al., 20xx). Data perkoperasian yang dirilis baik oleh Kementerian Koperasi dan UKM ataupun oleh BPS dak menguraikan koperasi per sektor usahanya, namun dikemukakan dalam bentuk jumlah koperasi, jumlah anggota dan karyawan, jumlah koperasi ak f-non ak f, struktur permodalan dan volume usahanya. Pada tahun 2010,17 secara nasional terdapat 177.482 koperasi dengan anggota sejumlah 30,46 juta orang. Koperasi-koperasi 16
17
Data jumlah koperasi tersedia di website Kementerian KUKM (secara nasional di 2013 terdapat 143.117 koperasi ak f) namun dak dirinci berdasarkan sektor.BPS juga dak menyediakan data tersebut. Data jumlah koperasi berdasarkan sektor usahanya tersedia parsial di berbagai Website yang disiapkan daerah. Sumber : “Rekapitulasi Data Koperasi Berdasarkan Provinsi,” 30 Desember 2010. Kementerian Koperasi dan UKM.
tersebut mempekerjakan 32.050 orang manajer koperasi dan 326.718 karyawan, dengan volume usaha mencapai Rp.76,8 triliun. Dari jumlah koperasi tersebut, 124.855 (70,35%) diantaranya merupakan koperasi ak f. Pada tahun 2013 (dari sumber yang sama), secara nasional terdapat 203.701 koperasi dengan anggota sejumlah 35,26 juta orang yang mempekerjakan 35.063 orang manajer dan 438.541 orang karyawan; serta volume usaha mencapai Rp.125,6 triliun. Dari jumlah koperasi pada tahun 2013 tersebut, 143.117 (70,26%) diantaranya merupakan koperasi ak f. Perkembangan koperasi dalam ga tahun terakhir tersebut (2010-2013), menunjukkan adanya peningkatan secara nominal di jumlah koperasi, jumlah anggota, jumlah manager dan karyawan, hingga ke volume usahanya. Walaupun secara proporsi jumlah koperasi ak f sedikit menurun, namun volume usaha per unit koperasi mengalami peningkatan dari kisaran Rp.432,7 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.616,6 juta pada tahun 2013. Secara parsial dapat dijumpai data jumlah koperasi pertanian/ pedesaan dalam bentuk koperasi unit desa (KUD) 18 di berbagai situs Website daerah. Contohnya di NTT19 dapat ditunjukkan bahwa 29,35% dari total jumlah koperasi di NTT adalah KUD. Hasil monitoring lapangan Kementerian Koperasi dan UKM (2012) mencatat terdapat 10.677 unit KUD di seluruh Indonesia, dimana 7.088 KUD diantaranya termasuk kategori koperasi ak f. Akhir-akhir ini, Kementerian Koperasi dan UKM mendukung revitalisasi KUD. Koperasi pertanian/ pedesaan ini tampaknya harus dapat menjembatani kepen ngan masyarakat dan anggotanya berkenaan dengan efisiensi dan efek vitas usaha, pengelolaan lingkungan, dan fasilitasi anggota (keterjangkauan, kemudahan, ketersediaan faktor produksi, informasi, promosi dan pemasaran). Penguatannya dapat dilakukan melalui kolaborasi berbagai koperasi pertanian sesuai kepen ngan usaha anggota, ataupun antarKUD dengan format kemitraan.
18
KUD menurut Inpres No.4 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD adalah koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di pedesaan dengan wilayah kerja yang bisa mencangkup satu wilayah kecamatan. KUD dapat merupakan penggabungan dari beberapa koperasi pertanian kecil yangcukup banyak jumlahnya di pedesaan.
19
h p ://n .bps.go.id/index.php/ekonomi-dan-perdagangan/ keuangan-dan-harga/48-data/keuangan-dan-harga/236-banyaknyaanggota-koperasi-unit-desa-kud-dan-koperasi-lainnya-menurutkabupaten-kota-dan-statusnya-2011
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
17
Sehubungan dengan pengelolaan limbah/ residu pertanian, koperasi diharapkan menyiapkan agenda kerja yang bersifat strategik (berdasarkan skenario/ Business Plan) terkait pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk kepen ngan masyarakat pada umumnya, dan khususnya untuk melayani kepen ngan usaha para anggota koperasi. Dalam kerangka revitalisasi, KUD dapat menjalankan pengelolaan limbah/ residu pertanian untuk energi (biomassa) yang pasokan bahan bakunya mudah diperoleh dan selalu tersedia. Kolaborasi ataupun kemitraan dapat dijalankan untuk kepen ngan diseminasi informasi, peneli an, pengembangan, pendidikan dan pela han usaha terkait pemanfaatan limbah/ residu pertanian. Urusan penanganan limbah/ residu pertanian tampaknya lebih ditekankan kepada pemerintah daerah untuk mengaturnya bersama masyarakat. Sesuai UU No. 18/ 2008, pengelolaan sampah harus dilakukan secara sistema s, menyeluruh, dan berkesinambungan sehingga ada pengurangan volume sampah dalam pengolahannya. Untuk itu, pengumpulan limbah/ residu pertanian bisa dikelola melalui satu unit KUD, sehingga pengelolaannya bisa sistema s dan terintegra f. Keterlibatan pemerintah dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam penyediaan data dan informasi serta pengenalan berbagai instrumen pengubah limbah/ residu pertanian menjadi energi biomassa, termasuk teknologi pembangkitan energi berbahan baku hasil olahan limbah/ residu pertanian, yang berdaya guna dan berhasil guna. Di Indonesia sendiri cukup banyak koperasi yang menggarap limbah/ residu/ sampah untuk keperluan usaha, baik dalam konteks daur ulang maupun untuk keperluan lainnya. Di Kabupaten Solok, contohnya, dilakukan kegiatan praktek pengolahan limbah menjadi sumber nutrisi untuk peningkatan produksi padi dengan pendampingan dari Pemerintah Daerah.20 Di Kabupaten Karanganyar siap dioperasikan instalasi pengolahan limbah rumah tangga berbahan organik untuk menjadi pupuk kompos; dan yang non-organik untuk kerajinan tangan. Pupuk tersebut bisa digunakan untuk bertani warga setempat, dan telah ada beberapa koperasi pertanian yang siap menampung pupuk kompos tersebut. Perdagangan antarkoperasi ini
20
18
h p ://epetani.deptan.go.id/berita/praktek-pengolahan-limbahmenjadi-sumber-nutrisi-8092
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
diperlukan untuk menutup biaya operasional.21 Selain itu, pengelola program pengolahan limbah di Karanganyar tersebut membuka bank sampah, dimana se ap penduduk diwajibkan memisahkan sampah organik dan non-organik untuk diserahkan kepada pengelola tesebut (Badan Keswadayaan Masyarakat). Pihak Pengelola mengatakan warga menerima bayaran untuk sampah yang disetorkan. Berbagai peneli an yang dimotori pemerintah telah menggarap limbah/ residu pertanian untuk berbagai kegunaan lain, seper : air kelapa sebagai pelarut vaksin penyakit tetelo (ayam buras), amonisasi jerami padi untuk pakan, ampas sagu untuk pakan unggas, asap cair dari cangkang sawit, tembakau rendah tar dan niko n, budi daya jamur merang pada limbah pulp dan kertas, campuran daun mimba dan umbi gadung sebagai pes sida naba , cookies ampas tahu, cuka kulit pisang, daun pare untuk obat cacing lambung pada domba, dendeng jantung pisang, dan fermentasi ampas tebu untuk pakan ternak.22 Tindak lanjut hasil peneli an tersebut dak diketahui, namun se daknya pemerintah juga melihat adanya nilai guna dari limbah/ residu pertanian. Disini tampaknya diperlukan mekanisme yang dapat mengatur hasil peneli an pemerintah dan pemanfaatannya bagi pengembangan dunia usaha. Usaha pertanian yang umumnya bersifat lokal, dak jarang digarap secara korpora f dan padat investasi, terutama pada usaha-usaha pertanian yang menghasilkan komoditas yang laku di pasar “global,” seper sawit, kakao, dan kopi. Limbah/ residu pertanian ini bisa diperoleh secara gra s ataupun dengan penggan an finansial melalui kolaborasi antarusaha (korporasi dengan koperasi). Bagaimanapun juga pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk energi biomassa, hasilnya akan dapat dinikma oleh masyarakat dan anggota koperasi. Cerita gagal dan sukses koperasi di Indonesia cukup banyak dan bisa digali dari bertambahnya koperasi-koperasi yang dak ak f (ma suri) hingga ke koperasi-koperasi yang bisa mengekspor komoditas-komoditas unggulan daerah. Kolaborasi dalam bentuk kemitraan dengan dorongan pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, telah diupayakan diantaranya melalui sinergitas usaha dengan 21
h p ://www.karanganyarkab.go.id/20130607/desa-buran-bersiapoperasikan-instalasi-pengolahan-limbah/.
22
h p ://www.iptek.net.id/ind/pd_limbah/?mnu=2
Table-3. Coefficient es mates (dependent variables : log household food expenditure) Independent Variables
OLS
S.E.
FE
S.E
0.2404431***
0.0114127
0.4519531***
0.0217443
-0.0295663
0.0209295
0.0912186
0.0383885
0.0463349***
0.0015218
-0.0094701
0.0050846
Head’s literacy level
0.1274514***
0.0087891
-0.2409978***
0.0202594
Spouse’s literacy level
0.0795199***
0.007359
-0.0658909***
0.0195353 0.0199547
Access to business credit Access to business credit from government program Household’s size
Child’s literacy level
0.0575744***
0.0073619
0.1733075***
Head’s agricultural job
-0.1164333***
0.0064025
-0.0600663***
0.016279
Spouse’s agricultural job
-0.1085771***
0.006718
-0.0676342***
0.0159633
-0.0337996
0.0139648
-0.0022763
0.0320213
Child’s agricultural job Head’s own job
0.0055511
0.0053087
0.0143534
0.0128622
Spouse’s own job
-0.0146374
0.0070616
0.0248514
0.0159318 0.0376712
Child’s own job Male Head Male Spouse Male Child
0.0123335
0.0180042
0.0423375
0.1079666***
0.0092373
0.0501477
0.0330518
0.1114726
0.0499652
0.0993909
0.1033562
0.0103402
0.0081049
-0.0780856***
0.0236809
Home-ownership
-0.0537953***
0.0066785
0.2224767***
0.0196104
Have electricity
0.0988459***
0.0094401
0.2135163***
0.0287833
_cons
12.60096***
0.0147711
12.79348***
0.0472073
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10%. Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
Table-4. Coefficient es mates (dependent variables : log household non-food expenditure) Independent Variables
OLS
S.E.
FE
S.E
Access to business credit
0.3827402***
0.0137046
0.4903495***
0.0225625
Access to business credit from government program
-0.1877603***
0.0251327
0.0573178
0.0398329
Household’s size
0.0162311***
0.0018274
-0.0426994***
0.0052759
Head’s literacy level
0.2716366***
0.0105542
-0.2264823***
0.0210217
Spouse’s literacy level
0.1444152***
0.0088369
-0.0562671***
0.0202704
Child’s literacy level
0.1543163***
0.0088403
0.1903881***
0.0207056
Head’s agricultural job
-0.2759343***
0.0076883
-0.0775492***
0.0168915
Spouse’s agricultural job
-0.2166201***
0.0080669
-0.0890844***
0.0168915
Child’s agricultural job
-0.128477***
0.0167693
-0.0308527
0.332262
0.0137361
0.0064613
0.0380207***
0.0133462
Head’s own job Spouse’s own job
-0.0152485
0.0084798
0.0519618***
0.0165312
Child’s own job
-0.0136331
0.0216199
0.055176
0.0390886
0.0719893***
0.0110924
-0.0462553
0.0342955
0.0893734
0.0599995
-0.058232
0.1072451
-0.036727***
0.0097326
-0.1236399***
0.0245719 0.0203483
Male Head Male Spouse Male Child Home-ownership
0.073064
0.0080198
0.2904343***
Have electricity
0.4361962***
0.0113359
0.3121869***
0.0298664
_cons
12.03358***
0.0177375
12.44953***
0.0489835
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10%. Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
83
TABLES
Na onal Coopera ve Business Associa on (NCBA) dari Amerika Serikat untuk memasarkan berbagai komoditas rempah-rempah Indonesia agar bisa memasuki pasar ekspor secara khusus.
Table-1. Summary Sta s cs Variables
Mean
Log household income Log household foodexpenditure Log household non-foodexpenditure Access to business credit Access to business credit from government program Household’s member Head’s literacy level Spouse’s literacy level Child’s literacy level Head’s agricultural job Spouse’sagricultural job Child’s agricultural job Head’s own job Spouse’s own job Child’s own job Male Head Male Spouse Male Child Home-ownership Have electricity Household’s living in rural area
Std. Dev. 13.84233 12.94319 12.55329 0.066018 0.0183682 3.970088 0.9001737 0.707046 0.2162148 0.4178963 0.2410849 0.0386117 0.5304036 0.1435411 0.0206277 0.8533001 0.0024132 0.1543085 0.8237649 0.9228304 0.6009253
0.9197259 0.8966978 1.14355 0.2483145 0.1342795 1.715995 0.2997694 0.4551193 0.411664 0.4932148 0.4277433 0.1926684 0.4990767 0.3506252 0.1421351 0.3538078 0.0490655 0.3612456 0.3810215 0.2668614 0.48971
N (total observa ons) = 133,690 household sample
Table-2. Coefficient es mates (dependent variables : log household income) Independent Variables Access to business credit Access to business credit from government program
OLS
S.E.
FE
S.E
0.112289***
0.0137397
0.061562 ***
0.015205
-0.1703352***
0.0247836
0.0205485
0.0272733
Household’s size
0.0608782***
0.001971
0.0186379***
0.0039956
Head’s literacy level
0.3084481***
0.0122046
0.0298302
0.0183563
Spouse’s literacy level
0.3899089***
0.0095541
0.1282021***
0.016151
Child’s literacy level
0.0698228***
0.0086047
0.1071986***
0.0144744
Head’s agricultural job
-0.3012146***
0.0072183
-0.1283361***
0.0121667
Spouse’s agricultural job
-0.2430731***
0.009082
-0.0068835
0.0137239
Child’s agricultural job
-0.0589618***
0.0199841
0.0102978
0.0313058
Head’s own job
-0.1664147***
0.0061516
-0.0643234***
0.0092977
Spouse’s own job
-0.0359719***
0.0076062
0.0638737***
0.0109894
-0.0056536
0.0206745
0.1089285***
0.0306985
0.2959145***
0.0124163
0.3022636***
0.0271887
Child’s own job Male Head Male Spouse
0.3490518***
0.0549325
0.3412449***
0.0716366
Male Child
0.0620504***
0.0092176
0.071886***
0.0165733
-0.0913177***
0.0072859
0.0570274***
0.0127061
0.1427325***
0.0143385
0.112583***
0.0254379
12.9835***
0.0206858
13.22685***
0.0400823
Home-ownership Have electricity _cons
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10% Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
82
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
PT. Coopera ve Business Interna onal (CBI) Indonesia, bekerja sama dengan NCBA, melakukan kerja sama kemitraan dengan koperasi-koperasi di beberapa provinsi dalam membangun jaringan koperasi untuk pemasaran komoditas tertentu yang diminta pasar global. Komoditas vanili, contohnya, diusahakan oleh koperasi di Klaten, Jawa Tengah, sementara komoditasnya berasal dari Timor Leste dan Papua Nugini. Komoditas lainnya yang masuk dalam jaringan usaha ini adalah kayu manis dari Sumatera Barat dan Jambi, yang diusahakan oleh sedikitnya oleh 12 koperasi unit desa (KUD) di kedua provinsi tersebut. Untuk komoditas lada hitam dan kopi arabica diusahakan melalui jaringan koperasi di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh).23 Cerita buruk tampaknya lebih banyak menimpa koperasi (KUD) penggarap produksi beras yang sulit berkembang. Koperasi susu (di Pujon-Malang dan PrigenPasuruan) juga sulit meningkatkan skala dan rantai usahanya, agar dak hanya berperan selaku pemasok tetapi juga sebagai industri (fabrikasi) yang mengolah susu. Ada persoalan regenerasi di koperasi pertanian, yang mana para pengelolanya semakin berusia lanjut, sementara itu dak tersedia insen f yang cukup menarik bagi generasi muda untuk ikut terlibat dalam koperasi di pertanian ini. Kaderkader penggerak yang berjiwa “coop-entrepreneurship” masih sangat kurang, dan hal ini perlu digarap terutama dalam rangka menjemput bonus demografi.24 Pemerintah dan pemerintah daerah ditugaskan oleh UU untuk memberikan kemudahan dan/ atau insen f 23
Uraian lengkap dapat dilihat dih p ://industri.bisnis.com/ read/20131124/12/188468/kemenkop-ajak-ncba-pasarkan-rempahindonesia-Editor : Mar n Sihombing
24
Hasil dialog dan pengamatan penulis selaku Direktur Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas periode 2008-2011, saat dilakukan pemantauan kegiatan KUD di berbagai provinsi, seper di Gorontalo, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Is mewa Yogyakarta dimana KUD umumnya mengelola kegiatan yang dak lagi di usaha in nya (lebih ke simpan pinjam/ jasa pelayanan), ataupun masih di usaha in nya dengan memanfaatkan aset yang ada (mesin-mesin tua penggiling padi berteknologi 1970an), dan para pengurusnya yang sudah berumur (generasi pertama) serta banyak yang masih mengharapkan bantuan dari pemerintah.
yang sesuai dengan kewenangannya dalam mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) secara terintegrasi hingga tercapai nilai keekonomiannya yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Namun, dak tersedianya cukup data dan informasi terkait kegiatan usaha koperasi pertanian/ pedesaan secara nasional merupakan kendala dalam mengurai peran dan kapasitas perkoperasian dalam mengelola kekuatan dan kekhasan pertanian lokal. Penyediaan bahan baku dari sumber limbah pertanian dan pemanfaatannya untuk energi biomassa akan bersandar pada jenis usaha pertanian dan limbah/ residu pertanian yang dihasilkan. Koperasi pertanian dan pedesaan (KUD) dapat menjadi sarana bagi pengembangan “usaha” EBT yang mengolah energi biomassa dari sampah pertanian secara berkolaborasi (bermitra) dengan koperasi energi. Karakter pengelolaan KUD yang khas, bisa melayani usaha individu (anggota koperasi) atau kelompok yang menggarap EBT dalam struktur usaha yang aturan mainnya ditetapkan bersama (sepanjang masih dalam kisi-kisi peraturan dan perundangan yang berlaku).
Koperasi di Bidang Energi Sebagaimana dicerma oleh Fitria,25 limbah hewani, residu pertanian, residu kehutanan dan limbah kayu, limbah industri, dan limbah rumah tangga lainnya dapat dimanfaatkan/ diubah menjadi energi bersih dan efisien dengan berbagai ngkatan teknologi, mulai dari yang sederhana (konvensional) hingga ke teknologi gasifikasi plasma (sophis cated). Pemulihan energi yang diberikan cukup besar, dan menurunkan secara substansial jumlah sampah di pembuangan akhir, sehingga sisanya akan dapat dikelola dengan lebih baik untuk pembuangan yang aman terkendali dan memenuhi standar kontrol polusi. Fitria mengama sisa tanaman yang melipu semua limbah pertanian, seper ampas tebu, jerami, batang, tangkai daun, kulit, kerang, kupas, pulp, dan jerami, tersedia dalam jumlah besar se ap tahunnya di seluruh wilayah di Indonesia, dan masih sangat kurang dimanfaatkan. Beberapa diantaranya, seper jerami, sekam padi, tempurung dan serat kelapa, serta ampas tebu berserat, dapat dengan mudah dikonversi menjadi energi. Kegiatan pengolahan limbah untuk energi memberikan peluang 25
Fitria.Oktober, 2012. “Energi Terbarukan dari Limbah.” Dari situs h p ://lingkungan.net/2012/10/energi-terbarukan-dari-limbah/
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
19
kepada bisnis, kepada lingkungan, dan bagi pembangunan pedesaan. Limbah/ residu pertanian tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan baku/ sumber energi biomassa.26 Residu Pertanian dapat diolah menjadi bahan bakar cair atau termokimia untuk menghasilkan listrik dan panas.
Ketersediaan limbah atau residu pertanian dak jarang dihadapkan pada faktor musim, dan se ap musim dapat memberikan kuan tas dan kualitas bahan baku yang berbeda untuk dapat digunakan sebagai sumber energi biomassa (Fitria, 2012; Yevich, 2003). Rakhman27 mengemukakan bahwa biomassa merupakan sumber energi yang dapat didaur ulang (renewable) dan biomassa perlu dikonversi (melalui suatu proses) hingga menjadi bahan bakar yang mudah dan aman digunakan. Beberapa bahan limbah seper kotoran hewan ternak (sapi) dan limbah buah-buahan telah diolah menjadi biogas yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seper memasak, menghasilkan listrik, ataupun sebagai subs tusi
26
27
20
Biomassa atau energi matahari yang tersimpan pada material biologis (seluruh tumbuhan dan hewan pemakan tumbuhan) merupakan sumber energi terbarukan yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia. h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221 (2013). Diku p dari Maman Rakhman. “Penger an Konversi Energi.” h p :// file.upi.edu/Direktori/FPTK/ JUR_PEND._TEKNIK_MESIN
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
bahan bakar minyak (fosil), di berbagai lokasi di Indonesia.28 Limbah pertanian berbentuk padat juga mudah dikonversi menjadi bahan bakar dan bisa dilakukan di lahan-lahan perkebunan atau kehutanan yang menghasilkan residu dan limbah kayu. Teknik konversi yang digunakan diantaranya digester anaerobik untuk menghasilkan biogas, atau fermentasi untuk menghasilkan etanol (Fitria, 2012), atau pembakaran langsung.
also have lesser household non-food expenditure about 7.75% and 8.9% rather than those who work in the non-agriculture, while the effect of child who work in agricultural job become insignificant (Table 4). The finding is coherent with study done by Dose (2007) who studies that small scale economy farmers household that live in rural area are difficult to meet the life needs (food and nonfood) because they have an unstable income.
earning (Bertrand, Kamenica& Pan, 2013). This is also supported by the common think of people that the male is the backbone of his family. However, the effect of male head and spouse has a posi ve and insignificant impact on household food, while the effect becomes nega ve and insignificant on non-food expenditure. In addi on, the effect of male child is lower household food and non-food expenditure about 7.8% (Table 3) and 12.36% (Table 4).
Walaupun penggarapan sumber energi biomassa di Indonesia tampaknya sudah menjadi pilihan usaha masyarakat, namun pengelolaannya melalui koperasi masih harus didorong oleh pemerintah. Beberapa individu/ kelompok individu telah mengelola pembangkitan energi listrik dalam skala mikro dengan pendistribusian secara terbatas, memanfaatkan potensi mikrohidro, energi surya, energi panas bumi, ataupun biomassa. Biomassa di Indonesia (2012) juga digarap dunia usaha (bukan koperasi), diantaranya dikembangkan swasta di 33 lokasi kabupaten/ kota, seper di Bandung, Tanggerang, Bekasi, Malang, Padang Panjang, Kutai Kartanegara, Banjar, Sigi Palu, Mempawah, Bontang, dan Tenggarong, dengan ngkat perolehan manfaat rata-rata perhari adalah 224 m3 biomethan yang setara dengan 224 kwh atau 107,52 kg LPG, dan sekitar 7200 liter pupuk organik cair.29
The effect of household who working in their own business has lowering household income about 6.43% and increasing household non-food expenditure about 3.80% rather than those who work not in their own business, while its impact become insignificant on household food expenditure (Table 2). In addi on, the spouse who has their own job have posi ve and significant impact on household income and non-food expenditure about 6.38% and 5.19% respec vely, while its impact on household food expenditure become insignificant (Table 3). On the other the effect of child who has their own job is insignificant on household food and non-food expenditure while the effect on household income is posi ve and significant about 10.89% (Table 4). Thus, the contribu on of the wife or woman in family welfare improvement is very important. This finding is coherent with the study done by Astu , A. W. W (2013) that found the presence of women (as a mother or a wife) in a family has a posi ve impact on the fulfillment of the needs of the family in the form of clothing, food, health, and educa on.
Home-ownership implies posi ve and significant impact on household income, food and non-food expenditure. Thus, household who has their own house have higher household income, household food and nonfood expenditure about 5.7% (Table 2), 22.25% (Table 3), and 29.04% (Table 4) rather than those who does not have their own house. Household who owns their own house usually have a be er economy level. There is posi ve rela onship between home-ownership and household welfare (Iskandar & Ujang, 2006). In addi on, household who owns a house tends to have higher non-food expenditure related to the house’s repair and maintenance.
Meskipun “pemulihan” energi dak menjadi strategi yang paling dipilih di Amerika Serikat, namun di Ohio Amerika Serikat terdapat koperasi energi yang didirikan oleh sekelompok petani pada tahun 1936 (di Licking dan Knox, Ohio). Kelompok petani tersebut memutuskan untuk mengambil keuntungan dari program federal yang ditawarkan oleh Rural Electrifica on Administra on (REA, Administrasi Elektrifikasi Pedesaan) dengan membentuk Koperasi listrik yang disebut Licking Rural Electrifica on (LRE). Pada awalnya hanya 5 orang yang dipekerjakan untuk melayani 410 anggota dan 143 kilometer jaringan listrik. Saat ini, koperasi listrik Ohio (LRE) tersebut melayani hampir 340.000 rumah dan bisnis di Ohio dan berkolaborasi dengan hampir 1.000 koperasi listrik pedesaan di seluruh
28
Di Yogyakarta,misalnya ada koperasi pasar yang mengolah sampah pasar sisa dari buah dan sayuran yang dak terjual untuk diolah hingga menjadi biogas yang digunakan untuk menghidupkan generator listrik.
29
h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217211 (2013).
The male gender for the head, spouse and child shows posi ve and significant impact on household income about 30.23%, 34.12%, and 7.19% respec vely (Table 2). A er marriage, wife usually tends to not work, raise child, or find informal job that pay earning much lower than the husband
Electricity is a source of energy and facili es which are essen al for every household, especially in improving the produc vity of household’s economy and household’s quality of life. The finding shows that household who have access to electricity have higher household income, food and non-food expenditure about 11.26% (Table 2), 21.35% (Table 3), and 31.22% (Table 4), when compared to household who do not have access to electricity. This is in line with the study conducted by Bridge, Adhikari & Fontenla (2013) that found household’s access to electricity increase their income and welfare significantly. In addi on, the effect of a household’s access to electricity also results in higher consump on per capita.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
81
of a male head has a posi ve and significant impact on food expenditure about 10.79% while the effect of male spouse and male child are insignificant (Table 3). However, the effect of the male head has posi ve and significant impact on household non-food expenditure about 7.19%, but the effect of male child has nega ve and significant impact on household non-food expenditure about 3.67% (Table 4). In addi on, the male spouse has an insignificant impact on household non-food expenditure. Bertrand, Kamenica & Pan (2013) study that husband in general has a bigger earning rather than wife. On the other hand, this finding is also not coherent with Sekhampu, T. J (2012) that have found gender of head has insignificant impact on household’s food consump on expenditure. The effect of owning a house has a nega ve and significant impact on household’s income of about 9.13%(Table 2). In addi on, household who have their own house has a lower effect on food expenditure of about 5.37% (Table 3), while the effect of home-ownership has an insignificant impact on household non-food expenditure (table 4). This finding is in line with Kemeny Jim (2004) who states that home-ownership have a nega ve and significant rela onship with household’s welfare. The access of electricity in a house has a posi ve effect and significant to improve and raise household income about 14.27% (Table 2). In addi on, the effect of access to electricity also has a posi ve and significant impact on household’s food expenditure of about 9.88% (Table 3). The household that have access to electricity also have a higher effect on non-food expenditure of about 43.62% (Table 4). Bridge, A., & Fontenla (2013) also found the access to electricity have posi ve and significant impact on household’s income and consump on per capita.
Fixed Effect Es ma on The obtaining of business credit gives a posi ve coefficient and significant impact on household income about 6.15% (Table 2). In addi on, the effect of obtaining business credit also increases household food expenditure about 45.19% significantly (Table 3). Moreover, the access to business credit also has posi ve and significant impact on household non-food expenditure about 49.03% (Table 4).Teng et al (2001), Quach et al. (2005), Mahjabeen (2008), and Imai & Azam (2012) find that access to credit providing
80
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
a posi ve effect and benefit in improving household wellbeing. On the other hand, the effect of household access to business credit from a government program has a posi ve but insignificant impact on household income, food and non-food expenditure. It means that access to business credit from government program may have played an important role to increase household income, food and non-food expenditure. Number of household members has different effects on the household income, food and non-food expenditure. The effect of number of household members increases household income about 1.86% (Table 2), while the effect can also lower household non-food expenditure about 4.26% (Table 3). However, the effect becomes insignificant on household food expenditure (Table 4). According to West & Price (1976), the household size has a nega ve and significant on household food consump on by the existence of household economies of scale and technology such as refrigerator to store and preserve food. Literacy level of spouse and child shows posi ve and significant impact on household income about 12.82% and 10.72%, respec vely, rather than those who does illiterate, but the effect of the literacy level for head is insignificant (Table 2). The head’s and spouse’s literacy level significantly decrease household food expenditure about 24.09% and 6.58%, respec vely (Table 3) compared to those who does not have literacy. However, the effect of child’s literacy level becomes insignificant on household food expenditure. The head household’s and spouse’s literacy level have a nega ve and significant impact (about 22.64% and 5.63%) while the child’s literacy level has a posi ve and significant impact about 19.04% on household non-food expenditure (Table 4) when compared to those who are illiterate. Head of household who works in agricultural job has lower household income about 12.83% rather than those who work in the non-agricultural. On the other hand, the effect of spouse and child who have agricultural job is insignificant on household income (Table 2). Besides that, the effect of the head and spouse who work in agricultural job also have nega ve and significant impact about 6% and 6.76%, while the effect of child who work in agricultural job become insignificant on household food expenditure (Table 3). The head and spouse who work in agriculture
Amerika Serikat melayani 25 juta konsumen-anggotanya.30 Sistem keanggotaan yang dijalankan LRE berorientasi pada pelayanan prima mengiku nilai dan prinsip perkoperasian, seper harga jual listrik yang pantas (modest), keuntungan dikembalikan kepada anggota, dan dijalankan sesuai dengan “keinginan” anggota. Dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik untuk komunitas, koperasi melayani penuh calon anggota yang mengalihkan pelayanan energi listriknya ke koperasi dari perusahaan penyedia listrik nonkoperasi (terima beres). LRE juga membuat komitmen yang tegas untuk menjalankan energi hijau. Selain itu, terdapat Koperasi Energi Touchstone (KET) yang berusaha untuk menyediakan listrik yang dapat diandalkan dengan biaya yang kompe f untuk se ap anggota. KET memberikan kekuatan kepada anggota untuk bersuara tentang bagaimana koperasi sebaiknya dijalankan. Koperasi tersebut siap memberikan energi yang dapat diandalkan dan terjangkau untuk meningkatkan kualitas kehidupan anggotanya. Anggota dituntun agar dapat menghemat uang melalui penggunaan energi yang bertanggung jawab secara bersama dalam satu komunitas koperasi yang terkoneksi.31 Di Inggris, terdapat koperasi energi Bristol (BEC, Bristol Energy Coopera ve) yang dimiliki oleh masyarakat setempat (Bristol), bertujuan menumbuhkan pasokan energi hijau dan mendorong pemanfaatan energi secara terbuka untuk semua. BEC adalah anggota dari Bristol Energy Network, sebuah organisasi payung yang melayani semua inisia f akar rumput secara luas di bidang energi dan yang terlibat dalam isu-isu energi keberlanjutan di Bristol. BEC didirikan sehubungan dengan diterapkannya kebijakan Feed-In-Tarif (FIT) di Inggris pada bulan April 2010, sebagai bentuk subsidi pemerintah untuk penggunaan energi terbarukan, termasuk skim energi surya yang menggunakan Photovoltaic (PV) hingga 5MW. FIT ini dibayar oleh perusahaan-perusahaan energi, yang kemudian harus menaikkan harga energi untuk menutup pembayaran (biaya) tersebut. FIT mudah tersedia bagi mereka yang memiliki proper dan modal, namun dak untuk kebanyakan orang yang dak memiliki proper ; dan 30
h p ://www.theenergycoop.com/mainNav/aboutUs/weAre.aspx
31
h p ://www.togetherwesave.com/
mereka harus membayar tagihan energi yang lebih nggi. Kepemilikan ruang hunian dan luasnya menjadi dasar perhitungan subsidi FIT. Beberapa perusahaan besar listrik menawarkan listrik gra s untuk mengkompensasi FIT yang harus dibayarkan melalui sistem sewa berdasarkan luas ruang yang dihuni individu dan organisasi masyarakat yang disubsidi. Perusahaan akan mengambil keuntungan dari FIT yakni dari margin subsidi yang diberikan pemerintah kepada individu/ organisasi masyarakat yang telah di ”sewa” tersebut sebagai imbalannya. Hal ini berar juga menjauhkan keuntungan FIT dari daerah dan masyarakat setempat. BEC bertujuan untuk menjaga keuntungan FIT dan infrastruktur energi dalam kepemilikan masyarakat lokal. Adapun energi listrik yang digunakan BEC bersumber pada energi alam yaitu energi surya dan energi angin, diperoleh dengan cara berkolaborasi dengan berbagai pihak, seper dengan para pemodal, perusahaan penghasil instrumen pembangkitan energi (panel surya), dan komunitas.32 Sementara ini di Indonesia, aspirasi dan keterlibatan daerah dalam desain program ketahanan pangan dan energi masih kurang terakomodasi, khususnya dalam pengembangan perkoperasian energi di daerah. Fasilitasi peraturan untuk membangun pola-pola kolaborasi berbasis kemitraan publik-publik, publik-privat, privatprivat yang dibutuhkan dalam pengembangan koperasi energi belum dimaksimalkan. Pembangunan energi secara swadaya di masyarakat lebih banyak ditopang secara korporasi dari pada koperasi.33 Tampaknya kolaborasi korporasi-koperasi, khususnya antara koperasi pertanian yang akan menyediakan bahan baku (untuk energi) secara berkesinambungan, dan perusahaan pembangkit energi yang lingkup kegiatannya menghasilkan dan mendistribusikan energi (listrik), perlu dibangun dalam perspek f baru yang lebih memberi ar bagi koperasi (new brand). Seluruh unsur masyarakat terlibat, mau berbagi dalam semangat gotong royong dalam bentuk koperasi sebagai kekuatan pendorong sekaligus pengendali ketahanan energi di daerah. 32
h p ://www.bristolenergy.coop/
33
Hasil telaahan melalui situs-situs di Internet dijumpai ruang gerak usaha EBT lebih banyak dimotori oleh unit-unit kerja berstatus perusahaan daripada oleh koperasi. Koperasi lebih banyak digerakkan sebagai koperasi pegawai dari suatu lembaga (pemerintah ataupun perusahaan yang berkecimpung di bidang energi), sehingga secara “genre” jenisnya lebih ke koperasi jasa/ perdagangan dari pada koperasi produksi.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
21
Pen ngnya Strategi Kolaborasi UU No. 25/ 1992 tentang Perkoperasian mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui koperasi dunia internasional. Sedikit perbedaan, terletak pada adanya SHU (Sisa Hasil Usaha) dan penjelasan mengenai pemanfaatannya. Pada Pasal 4 dari UU No. 25/ 1999 dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain : (1) mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, (2) berupaya memper nggi kualitas kehidupan manusia, dengan memperkokoh perekonomian rakyat dan sekaligus ikut mengembangkan perekonomian nasional, serta (3) mengembangkan krea vitas dan jiwa berorganisasi bagi bangsa pembelajar. Mengama perkoperasian di bidang pertanian dan energi di atas kiranya dapat dijumpai beberapa hal mendasar yang patut diper mbangkan sebagai asumsi pokok dalam pengelolaan limbah/ residu pertanian untuk energi, yakni : a. Tidak terpeliharanya semangat “gotong royong” yang dapat digunakan untuk memperkuat usaha (bersama) dalam skala komunitas b. “Liberalisme” koperasi masih bisa diselaraskan dengan ekonomi kerakyatan yang menjadi konsep dasar koperasi di Indonesia (mendalami kasus Amerika Serikat dan Inggris) c. Kolaborasi koperasi pertanian dan korporasi/ koperasi energi dapat dibangun dalam kerangka penawaran dan permintaan yang saling menguntungkan (winwin situa on) d. Dengan strategi kolaborasi tersebut diharapkan pasokan bahan baku energi dan keandalan penyediaan energi (listrik) pada masyarakat dan kegiatan usahanya menjadi lebih terjamin dan terjangkau e. Lebih terstrukturnya pengelolaan limbah/ residu pertanian dalam skala usaha yang berar bagi penyediaan EBT untuk masyarakat luas. Perkoperasian nasional tampaknya memerlukan perbaikan dalam sistem dan tata kelola koperasi mengacu pada hal-hal mendasar di atas. Purifikasi diperlukan untuk dapat mempertahankan semangat gotong royong,
22
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
dan restrukturisasi juga diperlukan dalam menghadapi tekanan/ pengaruh global beserta bawaan liberalismenya. Purifikasi maksudnya adalah mengembalikan ja diri koperasi dengan menerapkan secara seksama nilai dan prinsip koperasi gotong royong sebagai katalisator kolaborasi internal. Kebersamaan dibangun tetapi tetap sesuai dengan “keinginan” anggota dan berorientasi pada pelayanan yang terbaik untuk komunitas. Sedangkan yang dimaksud dengan restrukturisasi adalah langkah-langkah yang patut disikapi pemerintah yang mencakup : (1) pembubaran koperasi yang “ma suri” dengan mencabut statusnya sebagai badan usaha/ hukum, (2) revitalisasi koperasi yang “koma” dalam ar masih ada anggota tetapi dak ak f atau dak punya kegiatan sosial ekonomi dan dak menjalankan RAT, dan (3) pemberian insen f/ fasilitasi untuk upaya konglomerasi/ kolaborasi kemitraan (amalgamasi) melalui penggabungan/ peleburan beberapa koperasi, baik sejenis ataupun dak,dengan melihat rantai produksi dan rantai nilainya. Peningkatan skala usahadan jumlah koperasi harus menjadi per mbangan utama karena masih banyaknya koperasi beraset mikro. Sesuai dengan pengamatan Brazda (2004),34 di Austria telah terjadi perubahan struktur pertanian, dan koperasi pertanian dalam ar tradisional mungkin akan dak ada lagi dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini akan mempengaruhi struktur usaha/ kegiatan koperasi, dimana koperasi harus menjadi lebih terintegrasi dalam rantai nilai horizontal dan ver kal berdasarkan kedekatannya dengan perubahan produksi dan pemasaran. Apabila koperasi ingin terus memainkan peran utama dalam bidang ak vitas yang menjadi ciri usahanya, maka reposisi dan reorientasi usaha harus dilakukan. Sifatnya akan sangat situasional, karena mengubah lingkungan usaha akan mempengaruhi peluang dan risiko usaha, termasuk pengembangan koperasi. Kebutuhan baru anggota yang mbul dan pada saat yang sama menantang koperasi untuk beradaptasi dengan perubahan struktural dalam koperasi itu sendiri, terutama perubahan bentuk organisasi koperasi, ukuran, orientasi dan pola investasi. Pada saat ini, peran pemerintah masih cukup kuat dalam pengaturan dan penggerakan perkoperasian 34
Brazda, Johann. 2004.“Perspec ves of Agricultural Co-opera ves in Austria,” dalam Agricultural Co-Opera ves Are Facing A Challenge,Eigenverlag des FOG, Wien 2004.
welfare. This finding is similar to Quach et.al. (2005) which finds that credit for household has a posi ve and significant impact on household welfare in terms of per capita food and non-food expenditure. However, different results are obtained regarding the effect of obtaining business credit from a government program on a household’s income, food and non-food expenditure when using OLS methods. The effect of obtaining business credit from a government program variable on household income and non-food expenditure have a nega ve coefficient significantly by about 17.03% (Table 2) and 18.77% (Table 4) than those who do not have access from a government program, ceteris paribus. On the other hand, the effect of obtaining business credit from a government program variable on household food expenditure has a nega ve coefficient but insignificant impact about 2.95% (Table 3). The goverment program stated in SUSENAS panel core ques onnaire consist of : District/Sub-district Development Program, Urban Poverty Allevia on Program, and other government programs, while non-government programs are banks, coopera ves, individuals, and others. This finding is also coherent with Diagne, A. and Zeller, M (2001) which is found a nega ve and insignificant rela onship between access to microcredit and crop income and income per capita. The design and services of microcredit ins tu on or microcredit program not accommodate borrower’s constraint and demand. The number of household members has quite large magnitude in increasing household income, food and nonfood expenditure about 6.09%, 4.63%, 1.62% respec vely, ceteris paribus (Table 2, 3 and 4). The household size significantly increases the rural household income (Aikaeli, J, 2010). In addi on, Sekhampu, T. J (2012), studies that household size also has posi ve and significant impact on food expenditure. Literacy level of each head, spouse, and child has a posi ve effect and significant impact in increasing household income about 30.84%, 38.99%, and 6.98% (Table 2) than those who do not have literacy. In addi on, the literacy level of each head, spouse, and child also have a posi ve effect and significant impact in increasing household food expenditure about 12.74%, 7.95%, and 5.76% (Table 3) compare to those who illiterate.
Furthermore, the literacy level of each head, spouse and child also have a posi ve effect and significant impact in increasing household non-food expenditure about 27.16%, 14.44%, and 15.43% (Table 4) than those who do not have literacy. This finding is in line with Antoni, M., & Heineck, Guido (2012) who states that literacy and numeracy skills have posi ve and significant impact on income. The effect of the head, spouse and child who have job in the agricultural sector have decrease household income significantly by about 30.12%, 24.31%, 5.89%,respec vely (Table 2) than those who work in the non-agricultural sector. The effect of the head and spouse who work in the agricultural sector become nega ve and significant on household food expenditure about 11.64% and 10.85% respec vely (Table 3) compare to those who work in the non-agricultural sector. However, child that have agricultural job play an insignificant role on food expenditure. In addi on, the effect of the head, spouse, and child who are employed in the agricultural sector are nega ve and significant on non-food expenditure about 27.59%, 21.66%, and 12.84% respec vely (Table 4) than those who work in the non-agricultural sector. The study conducted by Rochaeni, S., &Lokollo, E. M (2005) find that household who work in non-agricultural sector receive higher income rather than agricultural sector especially for rice’s farm. The self-employment (working in their own business) for the head and spouse have nega ve and significant impact on household income about 16.64% and 3.59% respec vely, but the effect for child have nega ve and insignificant impact about 0.56% (Table 2) than those who do not work by their own business. However, the effect of the head, spouse and child being self-employed are insignificant on household food and non-food expenditure (Table 3 and 4). This result is in contrast with other studies conducted by Kimhi, A (2009) who found that entrepreneurship increase the growth of household income especially in rural area. Household asset is important for entrepreneur’s household and this is o en a barrier to start a business. Male head, spouse, and child are increase household income significantly by about 29.59%, 34.90%, and 6.20%, respec vely (table 2). OLS results also shows that the effect
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
79
The loca on of a household can also affect household income, food and non-food expenditure. From the SUSENAS data, there is informa on whether a household is in a rural or urban area. Thus, this study uses a dummy variable that consists of two values :1 for a household in a rural area and 0 for a household in an urban area. The other important variable that also affects household income, food and non-food expenditure, is whether the household owns their home. Besides affec ng household spending, these variables certainly affect household income. Households who own their own house have no need to spend their income on rent. Thus, they can use their income for other income-genera ng ac vi es. This variable is a dummy variable that is constructed from categorical informa on that is taken from panel SUSENAS data at the household level. This variable also have two values : 1 for a household who owns their own house, and 0 for a household who does not own their own house, and therefore rents their dwelling). The last variable that affect household income, food and non-food expenditure, is a household’s access to electricity. A household which has access to electricity usually has a higher economic capability and produc vity than a householdwhich does not have access to electricity. This variable is also a dummy variable that also consists of two values : 1 for a household’s access to electricity and 0 for no access to electricity. The data used in this study comes from The Indonesian Na onal Socio Economic Survey (SUSENAS) that conducts surveys and is collected by The Central Bureau Sta s cs of Indonesia. The informa on about the data can be seen in ques onnaires to capture household welfare characteris cs such as literacy level, housing status, job, income, and consump on or expenditure. SUSENAS panel data consists of two parts : core and module. SUSENAS core and module data contains general ques ons that are asked every year, but the module data contain expenditure informa on, more specific ques ons, and addi onal data based on specific topics. The study uses household sample data from 2009 and 2010 from Indonesia SUSENAS panel core and module data. In addi on, this study linked household informa on and individual informa on to examine the effect of business credit and household characteris cs
78
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
on household income, food and non-food expenditure. The study uses data from 2009 and 2010 because the Indonesian economy was in a cri cal condi on due to the global economic slowdown (Coordina ng Minister for the Economy, 2008). Thus, it would be of great interest to analyze linkages between access to business credit and the characteris cs of households on household welfare such as income, food and non-food expenditure. Table 1 shows the sta s cs concerning variables for household samples use in the study. Households who obtain business credit amount to around 6.6%, while households who obtain business credit from a government program is about 1.83% from totalhousehold observa ons. The average number of household members is about 3.97% for all household observa ons. The amount of head, spouse and childthat are literate are 90.01%, 70.7%, and 21.62% from all observa ons, respec vely. In addi on, headthat have agricultural jobs is about 41.7%, spouse about 24.1%, and childabout 3.86% from all observa ons. From Table 1, it can also be seen that the head, spouse, and child who have their own job or work as an entrepreuner stand at around 53.04%, 14.35%, and 2.06% respec vely, from all observa ons. However, in the sample, 85.33%of headare mas le; 2.4%of spouses are male; and 15.43%of child. In addi on, in the sample, 82.37%of households own their house, 92.28% of households have access to electricity in their house, and 60.09% of households live in rural areas.
OLS Es ma on The obtaining business credit variable is a main control variable used in this study. The OLS result in Table 2 shows that when a household has an access to business credit, it significantly raises household income by 11.23%, ceteris paribus. Study conducted by Rahman, S., Rafiq, R.B., & Momen, M.A. (2009) states that access to microcredit programs help borrower to raise their income. The result also shows that obtaining business credit also significantly raises food expenditure. Households that obtain business credit have larger food expenditure of about 24.04% (Table 3). Moreover, the obtaining of business credit has a posi ve effect and significant on household non-food expenditure. Households who obtain business credit raise their nonfood expenditure by about 38.27% (Table 4). These results suggest that obtaining business credit improve household
di Indonesia, namun pada saatnya Koperasi harus menjadi lembaga publik non-pemerintah yang mampu menyejahterakan masyarakat (anggota) secara mandiri dan berkesinambungan. Pemerintah perlu memiliki kemauan poli k yang kuat, tegas, jelas, dan pas dalam memberdayakan masyarakat agar mandiri dalam semangat koperasi (gotong royong), sebagai wujud pelaksanaan kons tusi (mencerdaskan, menyejahterakan sekaligus melindungi kehidupan bangsa). Pandangan Brazda di atas dapat menjadi alasan untuk menyatukan kekuatan poli k bahwa koperasi merupakan en tas ekonomi yang dinamis dan patut diperhitungkan perannya sebagai penyangga perekonomian nasional. Baga (2013)35 menduga ada “monopoli” dari Kementerian Koperasi dan UKM dalam pembinaan perkoperasian nasional, walaupun cukup banyak kementerian/ lembaga yang juga ikut mengembangkan dan melakukan pembinaan berciri koperasi di bidang kerjanya masing-masing. Misalnya, Kementerian Pertanian melakukan pembinaan terhadap kelompok tani/ gabungan kelompok tani (Gapoktan), Kementerian Sosial membina kelompok usaha bersama (KUBE), Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kelompok nelayannya, dan banyak lagi lainnya yang menjalankan pembinaan nilai dan prinsip koperasi untuk masyarakat. Kebanyakan mereka tidak mencantumkan kata “koperasi,” karena pengembangan/ pembinaan koperasi bukan merupakan tugas dan fungsi dari kementerian/ lembaga yang bersangkutan. Kekakuan semacam ini mempengaruhi upaya nasional dalam membangun perkoperasian sebagai penggerak ekonomi kerakyatan yang menjadi dasar perekonomian nasional.36 Sementara itu, menurut Baga sudah saatnya pembinaan perkoperasian dilakukan secara bersama secara lintas satuan kerja dan lintas sektor, melalui kolaborasi antar kementerian/ lembaga, dan menggantikan peraturanperaturan yang tidak kondusif dengan upaya ini.
35
Baga, Lukman M. Dr., Ir., MA.Ec. 2013. “Rancangan Pengembangan Produksi, dan Pemasaran serta Kelembagaan Usaha.” Staf pengajar Departemen Agribisnis, Ins tut Pertanian Bogor, kertas kerja masukan dalam penyusunan background Study PRJMN 2015-2019, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Nopember 2013.
36
Keberpihakan poli k masih ada pada ekonomi kerakyatan meskipun roda ekonomi cenderung menjalankan prinsip-prinsip kapitalisme liberal.
POTENSI KOPERASI Terdapat kecenderungan pengaturan yang ingin mengklasifikasikan jenis usaha koperasi berdasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/ atau kepen ngan ekonomi anggota. UU No. 17/ 2012 tentang Perkoperasian yang dibatalkan MK ingin membangun perijinan usaha koperasi berdasarkan klasifikasi koperasi tersebut, yang mencakup : a. Koperasi konsumen : kegiatan usaha pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan anggota dan non anggota b. Koperasi produsen : kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi yang dihasilkan anggota kepada anggota dan non-anggota c. Koperasi jasa : kegiatan usaha pelayanan jasa nonsimpan pinjam yang diperlukan oleh anggota dan non-anggota d. Koperasi Simpan Pinjam : menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani anggota Merujuk pada UU tersebut tampaknya pengelolaan koperasi secara terintegrasi, yang memerlukan penggabungan dua atau lebih jenis koperasi (berkolaborasi) yang menjadi bidang usaha masyarakat, akan menjadi sedikit pelik. Sementara itu, UU No. 25/ 1992 tentang Perkoperasian telah menugaskan pemerintah untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi. Tugas pemerintah tersebut diantaranya, memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi, dimana diharapkan masyarakat dapat termo vasi dan bisa memilih untuk menjadi anggota dari salah satu atau lebih jenis koperasi, yang sesuai dengan bidang kerja/ usahanya. Dalam kaitannya dengan UU No. 25/ 1992, pembinaan yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, Utomo37 mengemukakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan : a. Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada koperasi 37
Utomo, Tri Widodo W. 199x(?). “Analisis Masalah dan Implementasi Kebijakan Perkoperasian dan Usaha Kecil Menurut Pendekatan Ins tu onal Arrangements.”
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
23
b.
Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya Membudayakan Koperasi dalam masyarakat
c.
d.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa dalam rangka bimbingan dan memberikan kemudahan kepada koperasi, pemerintah memiliki peran dalam melakukan bimbingan usaha koperasi yang sesuai dengan kepen ngan ekonomi anggota koperasinya, terutama untuk : a. Mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pela han, penyuluhan dan peneli an perkoperasian b. Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi dan mengembangkan lembaga keuangan koperasi c. Membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang saling menguntungkan antar koperasi d. Memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperha kan anggaran dasar dan prinsip koperasi Ruang gerak pemerintah tampaknya cukup luas, dan ada kepen ngan untuk membangun kolaborasi (jaringan usaha koperasi) yang dimandatkan UU sebagai kebijakan yang patut ditempuh. Selain itu, dalam rangka perlindungan kepada koperasi, pemerintah dapat menempuh kebijakan seper penetapan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi, dan memberikan hak usaha yang telah berhasil digarap oleh suatu koperasi untuk dak diusahakan oleh badan usaha lainnya tanpa ijin koperasi yang bersangkutan. Beberapa per mbangan Utomo yang mengacu pada UU No. 25/1992 tersebut memberikan gambaran adanya peluang bagi upaya pemaduserasian jenis-jenis koperasi yang akan menjalankan pengelolaan dan pengolahan limbah/ residu pertanian, dan koperasi-koperasi yang memanfaatkannya untuk usaha di luar sektor pertanian, seper untuk energi. UU No.17/2012 yang dibatalkan dak memudahkan terjadinya kolaborasi tersebut. Dibekali
24
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
UU No.25/1992 Pemerintah (nasional) dan pemerintah daerah sangat diharapkan dapat mengintegrasikan usaha perkoperasian untuk pengelolaan limbah/ residu pertanian dan energi dalam proses masukan dan keluaran secara terpadu, atau dalam proses penawaran dan permintaan, baik dalam kerangka kolaborasi internal antaranggota koperasi ataupun antarkoperasi. Bersama koperasi, pemerintah dapat mengop malkan kerjasama antarlembaga antardaerah, serta meningkatkan kapasitas SDM dalam sistem pengembangan dan pemberdayaan koperasi-koperasi pengelolaan limbah/ residu pertanian dan pengolahannya untuk energi. Dukungan dan fasilitasi keberpihakan secara poli k tampaknya dibutuhkan. Ada nilai-nilai sosial yang kurang diperhitungkan oleh dunia usaha, dan tampaknya dapat didorong koperasi sebagai media yang dapat memfasilitasi dan sekaligus sebagai wadah sosial bagi (khususnya) usaha mikro, kecil dan menengah.38 Seper diindikasikan oleh Hanley (et al., 2014)39 dalam perusahaan, aspek sosial merupakan benteng harapan untuk produk vitas dan kolaborasi, dimana struktur dan kultur berproses menciptakan kesempatan untuk menuntun secara efek f : siapa tau siapa, siapa tau apa, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan bagaimana keputusan bisa dibuat. Bisnis bernilai sosial (seper yang dijalankan koperasi) idealnya menjalankan bisnis berdasarkan permasalahan yang terdefinisi dengan baik, didukung oleh anggota yang 38
39
Seper halnya di India, produsen komoditas pertanian umumnya petani kecil dan menengah yang dak memiliki banyak kekuatan untuk negosiasi, karena : 1) kuantum dan nilai aset yang mereka miliki terbatas, 2) daya dukung-baik keuangan maupun infrastruktur yang buruk, 3) volume operasi/ produk vitas yang rendah; 4) kurangnya informasi pasar dan 5) kurangnya akses ke mekanisme pembiayaan formal dalam ke adaan agunan. Tidak tersedianya mekanisme pasar alterna f bagi petani kecil dan menengah, berar mendorong mereka menggadaikan produk ke pasar perantara yang akan membuat keuntungan sepihak yang besar dari perbedaan harga di ngkat petani dan harga penjualan di pasar.Mencegah hal tesebut, koperasi memungkinkan petani sebagai anggota untuk menyatukan sumber daya mereka dan mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang ada pada semua ngkatan rantai pasokan, sejak pengadaan bahan baku atau input pertanian, hinggake fasilitasi pembiayaanusaha ataupun untuk pembiayaan sosial lainnya, yang pada akhirnya bisa menghilangkan penjualan di pasar perantara. (Ref. : WP/SYS/R002. Date : 10th Sept. 2005. “The Co-opera ve Model : Success engine for agricultural commodi es.”Website : www.nimble.in) Dave Hanley dan Alicia Hatch. 2014. “Social Ac va on : From passive to ac ve tense.” Copyright ©2014 Deloi e Development LLC. 36 USC 220506. Member of Deloi te Touche Tohmatsu Limited.usdbriefs@ deloi e.com
ameni es, a variety of goods and services, clothing, footwear and headgear, durable goods, taxes, charges, and insurance, as well as expenditures for the purposes of par es and ceremonies (Central Bureau Sta s cs of Indonesia). The income data is available in SUSENAS panel data at the individual level, while food and non-food expenditure data is already available in household level SUSENAS panel data. There are a number of controls or independent variables that are used in the study. The access to business credit and the access to business credit from a government programare variables of interest in the study. The access to business credi s a dummy variable that representstheaccess status to obtain business credit for each household. This dummy variable uses two values : 1 for household get business credit while 0 for not. In addi on, the access to business credit from a government program is also a dummy variable that representsthe access status for each household to obtain business credit from government programs such as : Sub-district Development Program/ Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Urban Poverty Allevia on/ProgramProgram Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) and other government program. This dummy variable also uses two values : 1 for householdswhich can obtain business credit from a government program, and 0 for those households which cannot. The other variables used in the study represent household characteris cs such as household member, literacy, job, gender, housing status, electricity access status, and loca on (rural or urban). First, the number of household members can be used as a control variable in this study because it can determine the amount of income or earning and expenditure of a household. This variable can be associated with household size. Literacy level is also an important variable that could affect the amount of revenue and expenditure of a household. This variable measures each household member such as the head, spouse, andchild. The data informa on obtained from SUSENAS ques onnairesis categorical data. Thus, this study uses this data and creates dummy variables to explain household literacy level. This dummy variable, such as the head’s literacy level, spouse’s literacy level, and child’s literacy level also usestwo values : 1 for literacy :
the individual can read and write; and 0 for illiteracy (they cannot read and write at all). The agricultural sector is the largest sector in providing jobs in Indonesia rather more than any other sector. Based on Popula on Census data from Central Bureau Sta s cs of Indonesia (2010), about 40.5%of the whole working popula onworks in the agricultural sector or farming businesses. Generally, income generated by each household employed in the agricultural sector is lower than income derived from another sector. Thus, this study includes the employment field variable because it could affect a household’s income and expenditure. The data informa on about working place or working field for each household used in this study is also taken from SUSENAS, and is in the form of data category. This study uses categorical data that consisted of 18 job fields and classified those working fields or job fields into twocategories : agricultural jobs and non-agricultural jobs. Because the informa on of the working field is at the individual level, then this study employs a dummy variable for each head, spouse, and childwhich also use two values : 1 when they work on a farm or in the agricultural sectors, and 0 when they work in a non-agricultural employment field. It is also important to determine the effect of employment or job status for the head, spouse, and childin a household on household income, food and non-food expenditure. Because of that, this study also uses a dummy variable concerned with job status from categorical informa on in panel data SUSENAS at the individual level. The dummy variable consists of two values : 1 for selfemployment, and 0 for a worker who works for others. By differen a ng between these two categories, we know the difference of work status on household income, food and non-food expenditure. The gender variable is another control variable that is used in this study. This variable is obtained from panel data SUSENAS at the individual level, which is set up with a dummy variable that have two values : 1 for male, and 0 for female. This variable is also very important to see the effect of the gender of the head, the spouse, and the child on household income, food and non-food expenditure.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
77
it uses a different panel data set that is The Na onal SocioEconomic Survey (SUSENAS) in Indonesia from 2009 and 2010. Moreover, there have been very few studies that examine the impact of business credit and household characteris cs on household income and expenditure in Indonesia. By inves ga ng that topic, this study a empts to make a contribu on to the improvement of households’ welfare policies, par cularly in credit-gran ng programs and welfare programs to households. In order to measure such impact, this study employs the fixed effect model. The introduc on presents background introduc on about credit and financial ins tu ons in terms of historical background, regula ons, and their benefits. The body describes the data and the methodology used in the study and discusses the model and underlying assump ons, the results and discusses the interpreta on of main findings. The conclusion presents conclusions and policy recommenda ons
BODY This study es mates the effects of obtaining business credits and household characteris cs on a household’s welfare by using an ordinary least square (OLS) and fixed effects (FE) method. I studied a two-year period (year 2009 and 2010) in which households and their members were the objects of research. For this study, I analyzed household i at me t. In general, the household’s welfare can be divided into two indicators which are income and expenditures (World Bank, 2011). The welfare of a household can be connected with a household’s characteris cs such as the members’ level of literacy, their job field, their housing status, the gender of each household member, the number of household members. In addi on, this study applies a household fixed effects model to solve the endogeneity problem that arises from unobserved variables such as race, entrepreneurial ability and work ethos of each household member. The general structural form used in this study includes the characteris cs of households and also unobservable indicators as men oned above. The household’s welfare func on can be expressed as : Yit = β0 + β1.Cit + β2.Xit + ai + εit
76
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
where X is characteris cs of household; Y represents household income, household food expenditure, and household non-food expenditure; C represents the access to business credit and the access to business credit from a government program; i represents each household; t represents year 2009 and 2010;airepresents unobservable characteris cs of household i; and εit represents error term. The parameter of interest in this form is β1 which captures the effect of access to business credit on household welfare. Another important part of this study concerns the household sample. The household sample that is used in this study was obtained from The Indonesian Na onal Socio-Economic Survey (SUSENAS). From this survey data, it can be determined that there are households that obtain business credit and other households that do not obtain credit. By using all informa on on households that do and do not obtain credit, this study examines the impact of business credits. Other variables beside household income, household food expenditure, household non-food expenditure and the number of household member are dummy variables. The dummy variables are variables that have 0 or 1 value to show the presence or absence of an effect of categorical variables that can affect the result or outcome. The dummy variables used in this study include obtaining business credit for a household; the level of literacy of the head, the spouse, and the child; the job status and job field of the head, spouse, and child; the gender of the head, spouse, and child; the status of their housing, the type of electricity accessed by each household, and the status of the ability to obtain credit by each household. The logarithm of household income, household food expenditure, household non-food expenditure is the dependent variable used in this study. The purpose of using a logarithm form for household income is to determine the effect of controlling variables in a percentage change. Household income is obtained from a sum of income of all household members such as the head, spouse, and child. Besides that, the household food expenditure is the value of consump on of food, beverage, and tobacco as well purchase either from own produc on or provision of (Central Bureau Sta s cs of Indonesia). The non-food expenditure is expenditures on housing and household
berkomitmen,dan dengan insen f yang terdefinisi baik (jelas, tegas) untuk mereka yang berpar sipasi. Hierarki, pemikiran/ pandangan yang bias, prosedur operasi standar, dan deskripsi pekerjaan yang kaku merupakan wujud dari inersia kelembagaan yang dapat menghambat kemajuan, ungkap Hanley. Pola pikir ini patut dimasukkan sebagai paradigma perkoperasian dalam kerangka pengembangan wajah baru koperasi, dimana untuk memelihara semangat berkoperasi dituntut berbagi “rasa, upaya, dan hasil” sesuai porsi kapasitas usaha dari se ap anggotanya. Dalam pengelolaan sampah dan energi sebagai usaha bersama, akan terlibat didalamnya unsur-unsur pertanian, unsur usaha, unsur pemerintahan, unsur teknologi, unsur sumber daya manusia dan sosial, unsur geografis, dan unsur cuaca/ iklim. Masyarakat selaku anggota koperasi bisa menggunakan bersama atau sendiri-sendiri seluruh atau sebagian barang dan jasa (termasuk energi) yang tersedia/ disediakan oleh berbagai unsur di atas melalui koperasi, dak secara cuma-cuma tetapi disediakan dalam harga yang terjangkau (disepaka ). Produsen dan konsumen anggota koperasi adalah yang berhak mendapat fasilitas pelayanan prioritas. Pembentukan Koperasi simpan pinjam (KSP) dapat dimanfaatkan untuk membiayai usaha pengadaan bahan baku di sektor pertanian dan sektor energi,sebagai unit usaha yang mengakomodasi kepen ngan financial inclusion. Pen ng bagi KSP untuk mengaplikasikan nilai dan prinsip pelayanan prima dan berstandar internasional. Penerapan konsep “Ser fikasi Modal Koperasi” (SMK)40 dapat digunakan untuk memperkuat struktur modal koperasi.41 Jual beli SMK hanya mungkin dilakukan antar anggota, namun tetap menganut prinsip “one man one vote” dak dari besarnya SMK yang dimiliki. KSP dapat berkolaborasi dengan koperasi jasa untuk kepen ngan promosi dan pemasaran produk yang dihasilkan oleh 40
41
Konsep SMK dak sama dengan saham, meskipun menjadi kontroversi karena dak pro ekonomi kerakyatan dan dianggap kapitalis, SMK dapat membantu memperkuat permodalan KSP. Pemilikan SMK dak mempengaruhi kebijakan serta keputusan koperasi yang tetap berada pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) anggota koperasi (Anif Hidayatullah, 2014. “Perbedaan Ser fikat Modal Koperasi dengan Saham.” Dinas Koperasi dan UKM, Kabupaten Kulon Progo). Ada Peraturan Pemerintah (PP) No.33/1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi yang memungkinkan disisipkannya konsep SMK yang lebih “merakyat,” dan PP tersebut dapat diperbaiki bila diperlukan.
anggota ataupun oleh koperasi produsen (energi/ listrik) dalam jaringannya. Koperasi Unit Desa (KUD) tampaknya menjadi cri cal point dalam revitalisasi koperasi, khususnya di jenis koperasi produksi. Penyertaan KUD dalam kemitraan usaha belum dapat mengangkat peran koperasi secara utuh dikarenakan oleh sulitnya untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan mitra koperasi (seper yang ditunjuk/ disarankan pemerintah). Banyak KUD merasa sulit menyediakan modal awal Rp.200 juta yang diminta BUMN Pupuk untuk menjadi distributor pupuk. Menggarap bersama lahan pertanian juga terkendala oleh kepas an pemilikan lahan dan ego anggota. Basis komunitas belum mendapat porsi yang memadai bagi tegak dan berperannya koperasi di masyarakat. Koperasi Anisa di Subang, contohnya, yang menggarap konsep resi gudang juga terkendala oleh modal yang harus disertakan ke PT. Pertani (yang ditunjuk Kementerian Perdagangan sebagai pengendali kualitas) untuk bisa menampung produk pertanian.42 Dalam menjalankan usahanya, Koperasi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat bermitra dengan pelaku usaha lainnya, dan juga untuk menjalankan usahanya dengan prinsip ekonomi syariah. Koperasi syariah adalah badan usaha koperasi yang menjalankan usahanya dengan prinsip-prinsip syariah. Apabila koperasi memiliki unit usaha produk f simpan pinjam, maka seluruh produk dan operasionalnya harus dilaksanakan dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia, dan karenanya koperasi syariah dak diperkenankan berusaha dalam bidang-bidang yang didalamnya terdapat unsur-unsur membungakan uang (riba), memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja (maysir), dan semua jual beli/ transaksi yang mengandung ke dakjelasan; pertaruhan, atau perjudian (gharar). Disamping itu, koperasi syariah juga dak diperkenankan melakukan transaksi-transaksi deriva f sebagaimana lembaga keuangan syariah lainnya juga.43 42
Hasil wawancara dengan salah seorang Kepala Sub Direktorat dari Direktorat Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas.
43
http://just-for-duty.blogspot.com/2012/01/koperasi-syariahpenger an-prinsip.html, untuk definisi riba, masyir dan gharar dari h p://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011/10/normal-0-falsefalse-false-en-us-x-none.html
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
25
Sesuai dengan kebijakan energi nasional, UU No.30/2007 tentang Energi yang mengatur bahwa se ap orang berhak memperoleh energi, dan penyediaan serta pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBT) wajib di ngkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Apa yang dihasilkan dari limbah/ residu pertanian, adalah pemrosesannya lebih lanjut untuk menghasilkan energi biomassa. Bahan bakunya sebagian besar bisa berasal dari tanaman seper ran ng pohon, kayu, dedaunan, dan limbah produk pertanian atau sampingannya (yaitu serbuk gergaji), dedaunan serta sisa vegetasi yang melakukan penangkapan energi melalui fotosinte s lainnya. Biomassa juga dapat diproduksi dalam bentuk gas dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah (kasus di Malang), ataupun dari fermentasi sampah naba / kotoran hewan (tersebar). Di sisi limbah/ residu pertanian ini ada ruang usaha yang bisa ditawarkan kepada komunitas petani yaitu untuk mendaur ulang limbah/ residu tersebut secara teratur dan terkendali dalam suatu kegiatan/ usaha bersama. Kebersamaan diperlukan agar pengumpulan limbah/ redisu pertanian, untuk keperluan apapun –termasuk energi, dapat terhimpun dalam skala ekonomi (volume) yang menguntungkan dan berkesinambungan, baik bagi anggota maupun bagi koperasinya. Limbah/ residu yang diproses menjadi energi (apakah untuk keperluan rumah tangga/ domes k ataupun untuk menghasilkan listrik) sebaiknya dilakukan oleh anggota dan hasilnya didistribusikan kembali kepada anggota, di atas harga dasarnya. Bila ditetapkan pada harga dasar produksi energi dikhawa rkan dak tersedia cukup pendapatan usaha untuk menjalankan koperasi dan pengembangannya. Kalaupun ada, kelebihan energi dapat dijual kepada nonanggota sepanjang peraturan memungkinkan, melalui koperasi jasa dan/ atau koperasi konsumen. Pembiayaan untuk kegiatan usaha di atas dapat didukung melalui KSP.
AGENDA SETTING Sehubungan dengan hal di atas, kiranya dapat disiapkan sistem agenda untuk dapat memfasilitasi pengembangan jaringan/ kolaborasi koperasi yang bergerak di pengelolaan limbah/ residu pertanian dan pengelolaan energi biomassa yang mengolah limbah/ residu pertanian tersebut. Sistem agenda lebih diarahkan kepada penanganannya di sektor
26
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
publik, khususnya kementerian/ lembaga yang menangani pertanian, energi, dan koperasi. Kepen ngannya adalah bagaimana penyiapan dan penindakan disusun sehingga langkah dan kebijakan pengembangan koperasi secara berkolaborasi bisa terimplementasikan. Agenda berikut kiranya dapat menjadi upaya/ langkah dan kebijakan awal untuk mendukung kepen ngan ketahanan energi (dan pangan) : a. Membentuk Kelompok kerja (POKJA) “Pengembangan EBT dari limbah/ residu pertanian untuk koperasi dan Usaha Mikro-Kecil-Menengah” secara lintas K/L terkait b. Melakukan sosialisasi peraturan-perundangan terkait EBT, pertanian, dan koperasi kepada masyarakat dan lembaga-lembaga terkait c. Menyiapkan modul-modul pela han dan pengembangan koperasi dengan kegiatan usaha utama EBT dengan konsentrasi pada biomassa d. Melakukan dialog pengembangan EBT dan KUMKM melalui penguatan komunitas dalam pemanfaatan limbah/ residu pertanian secara berkoperasi e. Membangun jaringan koperasi yang mengintegrasikan koperasi di bidang pertanian dan di bidang energi dalam suatu kolaborasi untuk memenuhi kebutuhan dasar energi khususnya di daerah perdesaan f. Menggerakkan semua jenis koperasi (produsen, konsumen, jasa, dan simpan pinjam) agar fokus pada kerja sama mendorong “zero waste” limbah/ residu pertanian dan memanfaatkannya untuk kegiatan usaha yang memiliki nilai ekonomi nggi secara berkesinambungan g. Mencadangkan ruang usaha di bidang pembangkitan tenaga listrik s/d 10 MW (atau yang disepaka dan diatur kemudian) sebagai bentuk usaha skala kecil dan menengah h. Menyediakan tenaga pendampingan yang terla h dalam teknis pengelolaan limbah pertanian untuk EBT, dan teknis pengelolaan kelistrikan serta pendistribusiannya. Ke delapan agenda tersebut kiranya dapat mengurangi konsumsi pembangkitan listrik yang menggunakan BBM di daerah secara bertahap. Koperasi dapat diberikan peran atau lebih berperan dalam memenuhi kebutuhan listrik di perdesaan di samping Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN sendiri dapat ikut berpar sipasi dak hanya untuk membina koperasi dari sisi jasa kolek f dari para
Besides examining the effect of household characteris cs, this study also analyzes the impact of the business credit program on household welfare. The business credit program is chosen because it is one of the programs that have poten al in improving a household’s economic prosperity. The business credit provision is served by financial ins tu ons including microfinance ins tu ons. Business credit (which can be called loan, credit, or micro-credit) is a small loan offered by financial ins tu ons to people or households in order to improve their lives. There are many types of financial ins tu ons in Indonesia that provide business credit, but they are basically divided into two categories : bank and non-bank ins tu ons. Bank ins tu ons in Indonesia consist of commercial banks, rural banks and sharia banks. These ins tu ons have always been avoided by people and households with low incomes. The procedure to obtain business credit in bank ins tu ons is very difficult, especially when bank ins tu ons insist on collateral as a guarantee in order to provide business credit. The collateral requested by the bank is usually in the form of a le er ownership of assets like a house and a land. In other words, it is almost impossible for low income people and households to access business credit from the banking sector because such individuals do not have assets to offer the banks as collateral. Another type is non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons. Non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons are the financial service providers that aim to provide credit and other financial services to low-income households or communi es (The Consulta ve Group to Assist the Poor, 2009). The concept of microfinance known in the world was first introduced by Mohammad Yunus in the last 1970s through The Grameen Bank (Yildirim, 2009). However, Indonesia has actually applied this concept since 1898 with the establishment of public credit ins tu ons in villages called Lumbung-Lumbung Desa and 1905 by the establishment of people’s credit associa ons (Hadinoto & Retnadi, 2007). Furthermore, in Indonesia, non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons can be categorized into two types : formal and non-formal. These ins tu ons help low income households and people to have access to business credit without asking them for collateral. The formal non-bank ins tu ons consist of coopera ves, rural credit financing
ins tu ons, rural credit associa ons and pawnshops. There are non-formal non-bank ins tu ons that are usually helped by NGOs and are also controlled by community. For instance, the Japan Interna onal Coopera on Agency (JICA) provides expert technical assistance to analyze the determinants of interest rates for people’s business credit (Kredit Usaha Rakyat/KUR). Besides that, the US Agency for Interna onal Development (USAID) has cooperated with the commercial sharia bank ‘Bank Muamalat’ through the establishment of financial ins tu on PT. Mitra Bisnis Keluarga to provide micro-credit for female entrepreneurs in order to reduce poverty and increase people’s welfare. A er seeing the importance of the role of non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons in improving the welfare of low income households, the Indonesian government legalized its existence by establishing Law No. 1, 2013 to regulate Microfinance Ins tu ons (MFIs). MFIs are specialized financial ins tu ons which provide business development services and empowerment through credits, savings, or financing micro-business for its members and the popula on. Although established in 2013, this law will be effec vely applied in 2015. Therefore, with the existence of this law, there is a legal certainty that could be held by microfinance ins tu ons as well as a legal protec on for borrowers. In 2013, The Chief Execu ve Supervisory NonBank Financial Industry – Financial Services Authority of Indonesia, Firdaus Djaelani said that there are about 567,000 to 600,000 microfinance insitu ons throughout Indonesia (Warta ekonomi, 2013). In addi on, the Central Bureau of Sta s cs of Indonesia noted that the number of financial ins tu ons in Indonesia was about 54,765 that consist of11,343 banks, 39,279 non-banks, and 4,143nonformal financial ins tu ons. Thus, microfinance ins tu ons in Indonesia have been recently able to serve about 12% of the poor in Indonesia (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia [The Indonesian Movement for Microfinance Development], 2006). The objec ve of this study is to es mate the rela onship between businesscredit and household characteris cs onhousehold welfare and examine whether they can increase income and smooth expenditure in Indonesia. This study contributes to the literature because
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
75
THE EFFECT OF BUSINESS CREDIT AND HOUSEHOLD CHARACTERISTICS ON HOUSEHOLD WELFARE IN INDONESIA Citra Sawita Murni Sugiarto 1, Yusuke Jinnai 2
Abstrak
T
hesis ini disusun untuk melihat pengaruh kausal dari kredit usaha dan karakteris k rumah tangga terhadap kesejahteraan rumah tangga, yang direpresentasikan oleh pendapatan rumah tangga, pengeluaran makanan rumah tangga dan pengeluaran bukan-makanan rumah tangga. Metode yang digunakan dalam thesis ini adalah metode Fixed Effect dengan menggunakan data panel survey dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Indonesia tahun 2009 dan 2010. Hasil studi dari thesis ini menyatakan bahwa akses terhadap kredit usaha secara signifikan memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Namun, akses terhadap kredit usaha yang diperoleh dari program pemerintah memiliki nilai yang posi f namun berdampak insignifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga. Thesis ini juga menunjukkan bahwa pasangan dari kepala rumah tangga atau istri yang memiliki usaha sendiri atau menjadi wirausaha secara signifikan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang berar bahwa akses terhadap kredit usaha dan kewirausahaan dalam rumah tangga perlu di ngkatkan untuk memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan di Indonesia. Dengan melihat dari hasil thesis ini dan menggabungkan informasi yang diperoleh mengenai pengaruh yang signifikan dari kredit usaha dan kewirausahaan dari istri (spouse-woman) terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maka akses kredit usaha untuk istri (spouse-woman) pen ng untuk membantu mereka dalam memulai atau memperluas usaha mereka sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya. Kata Kunci : Kredit usaha, Berusaha sendiri/Wirausaha, Pendapatan rumah tangga, Pengeluaran makanan rumah tangga, Pengeluaran bukan-makanan rumah tangga.
INTRODUCTION
I
mproving the welfare of people is s ll the main agenda of development in developing countries, including Indonesia. Many programs have been implemented by governments and non-government organiza ons to raise people’s welfare. The main focus of those programs is to increase income and help people in order to meet the necessi es of life. In Indonesia, there are 61.16 million households live in Indonesia. However, 13 million of households are poor (Popula on Census, Central Bureau Sta s cs of Indonesia, 2010).
1
2
74
Household well-being can be one benchmark of the success of a welfare program. When designing a welfare program, it is essen al to take into considera on the characteris cs of the households, which includes level of literacy, job status, and gender of each household member. In addi on, it is also important to examine whether ownership of a house and whether the home has access to electricity also affects household welfare. These considera ons must be made so that the program can be designed and implemented effec vely.
Perencana Pertama di Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas, Jalan Taman Suropa 2, Jakarta 10310. Tel. (21) 3905643, Email : citra.
[email protected]. Dosen pengajar jurusan Graduate School of Interna onal Rela ons, Interna onal Development Program, Interna onal University of Japan, Niigata, 949-7277. Tel. (81) 25-779-1401, Email :
[email protected].
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
pelanggannya saja, tetapi bisa melangkah lebih jauh secara terintegrasi menggerakkan koperasi pembangkitan energi yang mengandalkan EBT biomassa bersumber dari limbah/ residu pertanian. PLN perlu lebih melibatkan koperasi, atau dilibatkan sebagai mitra kerja Koperasi. Melalui koperasi, PLN dapat mengop malkan pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat dengan memberikan insen f tertentu yang dapat memo vasi koperasi untuk bergerak dalam kegiatan usaha pembangkitan tenaga listrik dengan energi primer biomassa.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah memang dak mengatur pengelolaan sampah pertanian, namun ada prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang patut diselenggarakan oleh masyarakat sehubungan dengan penanganan sampah pertanian. Sampah memiliki konotasi nega f sebagai segala bentuk material yang sengaja dibuang masyarakat, yang mana is lah tersebut mungkin kurang pas untuk buangan pertanian/ hasil pertanian. Untuk itu, is lah yang tepat mungkin adalah limbah/ residu pertanian karena sebagian besar material buangan pertanian (dalam ar luas) dapat dikatakan terbuang secara alamiah, namun tetap pen ng untuk dikendalikan dan bisa dimanfaatkan. Limbah/residu pertanian dapat dikategorikan sebagai sampah spefisik, yakni sampah yang mbul secara dak periodik dan yang secara teknologi belum diolah. Pengendalian diperlukan untuk mengurangi atau memusnahkan menuju “zero waste” dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Hal tersebut pen ng dilakukan karena adanya unsur ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidupnya, yakni bila pengelolaan limbah/ residu pertanian dak dilakukan dengan baik dan benar atau bila dibiarkan begitu saja. Pengurangan bahkan pemusnahan limbah/ residu pertanian untuk kepen ngan yang lebih bermanfaat sudah dilakukan masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Pemanfaatan yang menjadi katalisator pengurangan limbah/ residu pertanian adalah mengubahnya menjadi energi biomassa dan kompos. Fokus pemanfaatannya menjadi energi biomassa akan memerlukan pengaturan publik sehingga bisa dibangun nilai ekonomi yang dari proses transformasi limbah (residu) menjadi energi secara op mal. Terbuk 63% limbah/ residu pertanian di Asia telah
diolah dan digunakan sebagai bahan bakar. Pemanfaatannya untuk biofuel di Indonesia masih terbilang rendah (14%), meskipun Kementerian ESDM mencatat biomassa berpotensi menghasilkan daya listrik sebesar 50 GW. Pola penanganan yang parsial dan rendahnya perha an masyarakat terhadap nilai ekonomi yang bisa dikembangkan dari pengelolaan limbah/ residu pertanian merupakan kendala dalam pemanfaatannya menjadi energi biomassa. Saat energi fosil dak lagi menjadi andalan, maka energi biomassa atau energi baru dan terbarukan lainnya akan menjadi penggan . Pembangkitan energi biomassa memerlukan kesinambungan pasokan bahan baku yang pemenuhannya dimungkinkan melalui tata kelola yang terorganisir dalam jaringan kerja sama antara pemasok dan pengguna. Dalam tata kelola yang tepat, Koperasi dapat dikatakan merupakan instrumen yang tepat untuk dapat membantu menjamin kesinambungan pasokan tersebut. Koperasi sangat bermanfaat untuk menciptakan integrasi (ver kal/ horisontal) usaha pemanfaatan limbah/ residu pertanian menjadi energi (biomassa dan listrik). Penyediaan bahan baku, pemasokannya ke unit-unit pembangkitan, proses konversi, pelayanan distribusi, hingga ke advokasi efisiensi dan efek vitas penggunaan energi biomassa bisa dijembatani koperasi. Koperasi memiliki potensi untuk membangun kultur sosial yang mengedepankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menjalankan aksi kolek f berbasis keanggotaan. Yang diperlukan adalah terbangunnya sistem (kolaborasi) berbasis kemitraan intrakoperasi dan interkoperasi, atau antar koperasi dan korporasi (usaha anggota koperasi). Minimnya informasi dan data koperasi pertanian dan koperasi energi secara nasional menjadi kendala tersendiri dalam menilai kiprah perkoperasian di kedua sektor ini sehingga bisa digunakan untuk menyusun kebijakan seper apa yang bisa dibangun untuk meningkatkan hubungan keduanya. Mengu p catatan Garniwa (201x)44 kiranya dapat direkomendasikan hal mendasar dari upaya pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk energi, yakni pen ngnya 44
Garniwa, Iwa, Prof. Dr. Ir. 201x. “Tantangan dan Strategi Pengembangan Tata kelola Energi Gas Untuk Ketahanan Energi Nasional.” Selaku Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI)
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
27
hanyalah mengubah paradigma pengelolaan sumber daya energi dari cara pandang energi sebagai komoditas menjadi energi sebagai modal pembangunan. Sejauh mungkin pemanfaatan sumber daya energi diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri. Bahan baku energi biomassa bisa menjadi sumber devisa atau ekspor, tetapi hal itu hanya dilakukan jika kebutuhan energi di dalam negeri sudah dapat dipenuhi. Energi biomassa dapat menjadi tumpuan energi nasional bila dikembangkan secara terfokus dan terus di ngkatkan cadangannya, dan secara bertahap dapat mengurangi pangsa energi fosil dalam bauran energi nasional. Peran Koperasi sebenar cukup pen ng dalam menjaga kesinambungan bahan baku energi biomassa, dengan memperha kan potensi tata kelola dan pelayanan koperasi yang lebih sesuai untuk komunitas dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan cadangan energi biomassa dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan koperasi yang dijalankan dengan pola kolaborasi. Dukungan
dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan energi (biomassa) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat (melalui koperasi).
Delivered by a Doctor and MMR, Year 2007 Delivered by a Doctor and MMR, Year 2012
Pemanfaatan energi biomassa hasil limbah/ residu pertanian dapat dilakukan dengan memperha kan keseimbangan antara ketersediaan bahan baku, harga produksi di sisi input dan di sisi output, laju produksi maksimum, dan laju penambahan cadangan. Dukungan aturan/ regulasi dibutuhkan terutama terkait kepemilikan usaha dan hak konsesi pembangkitan serta pendistribusian dari limbah/ residu pertanian hingga ke energi (output) yang dihasilkan dengan lebih memperha kan bentuk usaha perkoperasian, tanpa menutup kemitraan dari bentuk-bentuk usaha korporasi (anggota) yang menjadi mitra koperasi. Koperasi patut dipahami sebagai ins tusi yang patut ditangani secara lintas sektor, meskipun pembinaannya dimandatkan ke Kementerian Koperasi dan UKM.
Delivered by a Skilled Provider and MMR, Year 2007 Delivered by a Skilled Provider and MMR, Year 2012
Foto: www.dedykoe.blogspot.com
TFR and Percentage Current Use of Contracep on, 2007 and 2012
Pengelolaan limbah pohon jagung untuk pakan ternak.
28
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
73
Current use female contracep on and MMR, 2007 Current use female contracep on and MMR, 2012
Antenatal care and MMR, Year 2007 Antenatal Care and MMR, Year 2012
Delivered at a Health Facility and MMR, Year 2007 Delivered at a Health Facility and MMR, Year 2012
72
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, h p ://bkp.pertanian.go.id/downlot.php%3Ffile%3DBuku_Dasawarsa_ BKP.pd Anonymous, h p ://power-to-the-people.net/2013/01/renewable-energy-our-fundamental-choice-today/ Anonymous,h p ://migasreview.com/kebijakan-sektor-energi-harus-diarahkan-pemenuhan-kepen ngan-masyarakat. html#sthash.jWcVodxM.dpuf. Anonymous, h p ://www.northumberland.gov.uk/default.aspx?page=1362, Anonymous, h p ://www.cer fiedorganic.bc.ca/rcbtoa/services/regula ons.html, Anonymous, h p ://www2.epa.gov/regulatory-informa on-topic/waste). Anonymous,(2009).h p ://www.paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-saat-ini-BerdasarkanPandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php Anonymous, h p ://thepresiduntpos ndonesia.com/2013/01/28/listrik-biomassa-diperlukan-penyempurnaan-feed-in-tarrif/ Anonymous, h p ://epetani.deptan.go.id/berita/praktek-pengolahan-limbah-menjadi-sumber-nutrisi-8092 Anonymous, h p ://www.karanganyarkab.go.id/20130607/desa-buran-bersiap-operasikan-instalasi-pengolahan-limbah/. Anonymous, h p ://www.iptek.net.id/ind/pd_limbah/?mnu=2 Anonymous, h p ://www.bristolenergy.coop/ Anonymous, 2013, h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221 Anonymous, h p ://just-for-duty.blogspot.com/2012/01/koperasi-syariah-penger an-prinsip.html, Anonymous, h p ://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html Anif Hidayatullah, 2014. “Perbedaan Ser fikat Modal Koperasi dengan Saham.” Dinas Koperasi dan UKM, Kabupaten Kulon Progo Anggit Dwipramana, (2012),h p ://anggitpramana.com/2012/08/26/wow-pembangkit-listrik-tenaga-biomassa-pltbmulai-tumbuh-di-indonesia Astriani Gin ng, h p ://www.slideshare.net/risaastrianigin ng/pengelolaan-sampah-27806911 Bijman, Jos; Roldan Muradian, and Andrei Cechin. (20xx). “Agricultural coopera ves and value chain coordina on.” Baga, Lukman M. Dr., Ir., MA.Ec. 2013. “Rancangan Pengembangan Produksi, dan Pemasaran serta Kelembagaan Usaha.” Staf pengajar Departemen Agribisnis, Ins tut Pertanian Bogor, kertas kerja masukan dalam penyusunan background Study PRJMN 2015-2019, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Nopember 2013. Brazda, Johann. 2004.“Perspec ves of Agricultural Co-opera ves in Austria,” dalam Agricultural Co-Opera ves Are Facing A Challenge, Eigenverlag des FOG, Wien 2004. Marwa S. Al-Ansary, Salah M El-Hagar, and Mahmoud A.Taha et al. (200x).“Sustainable Guidelines for Managing Demoli on Waste in Egypt,” paper presented by Marwa S. Al-Ansary h p ://congress.cimne.upc.es/rilem04/admin/ Files/FilePaper/ p221.pdf Fitria.Oktober, 2012. “Energi Terbarukan dari Limbah.” h p ://lingkungan.net/2012/10/ energi-terbarukan-dari-limbah/ Hanley,Dave dan Alicia Hatch. 2014. “Social Ac va on : From passive to ac ve tense.” Copyright ©2014 Deloi e Development LLC. 36 USC 220506. Member of Deloi te Touche Tohmatsu Limited.usdbriefs@deloi e.com Garniwa, Iwa, Prof. Dr. Ir. 201x. “Tantangan dan Strategi Pengembangan Tata kelola Energi Gas Untuk Ketahanan Energi Nasional.” Selaku Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI) “GELORAKAN GOTONG ROYONG.” 2012. h p ://ja m.bkkbn.go.id/berita.php?p=beritade l Lilis Nur Faizah, 2007. Tugas Mata Kuliah “Vak Khusus Hukum Perbandingan Agraria” pada Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada Novkovic, Sonja and Natasha Power. 2005. “Agricultural and Rural Coopera ve Viability : A Management Strategy Based on Coopera ve Principles and Values,” Saint Mary’s University Halifax, Canada.Journal of Rural Coopera on, 33(1) 2005 :67-78. Yevich, Rosemarie andJennifer A. Logan. 2003. “An assessment of biofuel use and burning of agricultural waste in the developing world.” Ar cle first published online : 10 OCT 2003. h p ://onlinelibrary.wiley.com/ Rakhman, Maman. “Penger an Konversi Energi.” h p ://file.upi.edu/Direktori/FPTK/ JUR_PEND._TEKNIK_MESIN Sihombing, Mar n (ed.), h p ://industri.bisnis.com/read/20131124/12/188468/kemenkop-ajak-ncba-pasarkan-rempah-indonesiaUtomo, Tri Widodo W. 199x(?). “Analisis Masalah dan Implementasi Kebijakan Perkoperasian dan Usaha Kecil Menurut Pendekatan Ins tu onal Arrangements.” WP/SYS/R002. 10th Sept. 2005. “The Co-opera ve Model : Success engine for agricultural commodi es.” Website : www.nimble.in
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
29
Foto: hukum.kompasiana.com
Log regional GDP/cap and MMR, Year 2007 Log regional GDP/cap and MMR, Year 2012
PERENCANAAN & STRATEGI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
Years of Schooling and MMR, Year 2007 Years of Schooling and MMR, Year 2012
Amor Rio Sasongko Fungsional Perencana Utama/Tim Analisa Kebijakan (TAK) Bappenas
Abstrak
U
paya mempercepat pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan tetap menjaga pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, misalnya terhadap pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Untuk itu diperlukan kerangka kerja terpadu guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mbul terutama untuk kegiatan-kegiatan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang menggunakan sumberdaya alam sebagai input. Perencanaan pembangunan bidang kehutanan berhubungan langsung dengan konservasi sumber daya air yang berar pula bagaimana mengelola DAS. Terkait pengelolaan DAS ini, maka ak vitas-ak vitasnya dapat berdimensi biofisik misalnya pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kri s serta pengelolaan lahan pertanian konserva f. Selain dimensi biofisik tersebut, pengelolaan DAS juga berdimensi kelembagaan yang menghasilkan insen f atau disinsen f sesuai dengan sis m ekonomi yang berkembang. Selanjutnya di njau dari dimensi sosial maka pengelolaan DAS dilakukan dengan menyesuaikan kondisi sosial-budaya setempat, yang digunakan sebagai per mbangan dalam menyusun strategi pengelolaan DAS yang efek f dan efisien. Rangkaian kegiatan dalam strategi tersebut harus mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam. Hal ini diperlukan agar kebutuhan manusia tersebut dapat dipenuhi secara berkesinambungan. Pengelolaan daerah hulu yang bersahabat dengan alam sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi terhadap keanekaragaman haya (bio-diversity), terutama yang berhubungan dengan sistem hidrologi dan ekologi. Dengan per mbangan-per mbangan ini maka perencanaan pembangunan bidang kehutanan yang mendukung konservasi SDA perlu mencakup strategi pengelolaan DAS. Perencanaan ini disusun dan dilakukan dalam kerangka pengembangan ekosistem daerah hulu yang sesuai dengan kaidah-kaidah : (i). preservasi (preserva on), (ii). reservasi (reserva on), dan (iii). konservasi (conserva on).
Percentage Woman Decision for Health Care in a Household and MMR, Year 2012
Kata Kunci : Kehutanan, Sumber Daya Air, DAS, Perencanaan Terpadu
30
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
71
APPENDIX
PENDAHULUAN
S
Table A1 : Summary Sta s cs Variable
Observa on
Mean
Std. Dev.
Min
Max
Maternal Mortality Rate 2007
17
306.1765
199.4036
95
828
Maternal Mortality Rate 2012
28
242.1786
208.196
63
804
Log regional GDP per cap 2007
33
7.329394
0.3022184
6.51
7.84
Log regional GDP per cap 2012
33
7.329394
0.2953275
6.8
8.05
Means Female Years of Schooling 2007
33
7.334242
0.9496777
5.73
9.89
Means Female Years of Schooling 2012
33
7.796061
0.8925663
5.84
10.14
Total Fer lity Rate 2007
33
2.860606
0.5419521
1.8
4.2
Total Fer lity Rate 2012
33
2.775758
0.4023605
2.1
3.7
Percentage Current Use of Contracep on 2007
33
58.06061
10.09641
34.1
74
Percentage Current Use of Contracep on 2012
33
43.00303
8.98723
16.2
54.6
Percentage receiving antenatal care from a skilled provider 2007
33
90.72727
6.929343
69
99.5
Percentage receiving antenatal care from a skilled provider 2012
33
93.22727
7.492508
57.8
99.3
Percentage receiving no postnatal care 2007
33
20.92727
14.04894
2
66
Percentage receiving no postnatal care 2012
33
15.60606
12.15877
1.1
53.9
Percentage delivered at a health facility 2007
33
20.92727
14.04894
2
66
Percentage delivered at a health facility 2012
33
15.60606
12.15877
1.1
53.9
Percentage delivered by a doctor 2007
33
1.257576
.7992302
0.3
3.2
Percentage delivered by a doctor 2012
33
1.284848
.9769599
0
3.5
Percentage delivered by a skilled provider 2007
33
38.75758
23.02212
8.6
90.8
Percentage delivered by a skilled provider 2012
33
52.88485
23.29773
16.7
98.4
Percentage decision on woman's own health care 2007
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
Percentage decision on woman's own health care 2012
33
43.00303
8.98723
16.2
54.6
Table A2 : First Local Elec ons Province
First year of local elec on
Province
First year of local elec on
Province
First year of local elec on
Province
First year of local elec on
West Java
2008
Jambi
2005
Lampung
2008
North Maluku
2009
Central java
2008
Maluku
2008
West Nusa Tenggara
2008
Gorontalo
2009
East Nusa Tenggara
2008
West Sumatera
2008
South Kalimantan
2005
Baangka Belitung
2007
Banten
2006
South East Sulawesi
2007
Aceh
2006
Riau Islands
2010
East Java
2008
North Sulawesi
2005
South Sumatera
2008
Bali
2008
North Sumatera
2008
West Papua
2006
Riau
2008
Bengkulu
2005
West Kalimantan
2009
Central Kalimantan
2005
East Kalimantan
2008
Jakarta
2007
South Sulawesi
2007
West Sulawesi
2006
Papua
2008
Yogyakarta
2008
Central Sulawesi
2006
70
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
esuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang ”Sumber Daya Air” maka daerah aliran sungai atau DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Dengan definisi ini maka pada dasarnya seluruh permukaan bumi dapat dibagi habis dalam berbagai daerah aliran sungai atau DAS. Pada era otonomi daerah ini maka DAS juga dipandang sebagai satu kesatuan bio-region yang terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomis saling berkaitan. Dalam hal ini bio-region adalah kawasan atau lingkungan fisik yang pengelolaannya dak ditentukan oleh batasan poli k dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta sistem ekologi setempat. Perencanaan pembangunan bidang kehutanan berkaitan dengan konservasi sumber daya air. Selanjutnya perencanaan sumber daya air dak dapat lepas dari perencanaan terpadu terhadap DAS. Atau sebaliknya, perencanaan terpadu terhadap DAS ini sangat diperlukan dalam kaitannya sebagai bagian dari sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH). Semua ini diperlukan dalam rangka mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Sebagai contoh, apabila terjadi kerusakan SDA dan LH maka kerusakan yang terus menerus akan memicu krisis pangan, krisis air bahkan krisis energi yang berasal dari alam e.g. air terjun. Kerusakan SDA khususnya sumber daya air mengakibatkan kemampuan penyediaan pangan makin terbatas, ha ini karena dak meratanya ketersediaan air dibuk kan dengan turunnya debit air waduk maupun sungai. Menurunnya debit air sungai juga akan menyebabkan kapasitas power plant yang menghasilkan energi akan menurun. Contoh, power plant yang berada di atas Waduk Cirata akan menurun produk fitasnya bila debit air sungai Citarum menurun. Dari contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan bidang kehutanan dan konservasi sumber daya air merupakan bagian yang dak dapat dilepaskan dari upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia menuju masyarakat yang sejahtera.
Dukungan SDA cara penyediaan pangan atau energi harus terus dikelola secara berkesinambungan sehingga keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan kebutuhan hidup masyarakat dapat terwujud. Ada 2 (dua) pendekatan untuk menjaga keseimbangan antara permintaan dan penyediaan SDA yaitu : (1) dengan cara menjaga kelestarian SDA atau (2) dengan meningkatkan cadangannya. Untuk menjaga kelestarian SDA (yang berar pula konservasi hutan atau sumber daya air) dapat dilakukan dengan : (a) efisiensi penggunaan SDA dalam proses produksi berbagai produk industri; (b) subs tusi penggunaan SDA misal energi dari air terjun beralih ke gas alam (diversifikasi); dan (c) mengurangi kebocoran penggunaan atau pemanfaatan SDA akibat pencurian, illegal ac on, penyelundupan dan lain-lain. Sedangkan untuk meningkatkan cadangan SDA dapat dilakukan dengan : (a) rehabilitasi, replan ng, reklamasi, atau recycle. Untuk kelompok renewable ini dapat dilakukan, misalnya dengan reforesta on sehingga daya tangkap air meningkat dan selanjutnya ketersediaan air tersebut akan menambah debit air pada musim kemarau; (b) melaksanakan eksplorasi baru untuk yang non renewable. Secara keseluruhan, baik di njau dari penjagaan kelestarian maupun penambahan cadangan, diperlukan inovasi, kesiapan teknologi dalam mengelola alam, perbaikan tata kelola administrasi pemerintah pusat dan daerah, penyertaan masyarakat dan budaya setempat serta penguatan penegakan hukum. Prinsip kebijakan perencanaan pembangunan bidang kehutanan dan konservasi sumber daya air adalah terpeliharanya hutan secara lestari sehingga konservasi sumber daya air terwujud. Menjaga hutan dari kerusakan akan meningkatkan daya tampung air di hulu sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada musim kemarau misalnya untuk irigasi ketahanan pangan. Selain itu fungsi hutan juga untuk menghindari adanya tanah longsor dan erosi oleh air hujan. Peningkatan kandungan lumpur pada air hujan yang mengalir ke sungaisungai menyebabkan pendangkalan sungai-sungai yang meningkatan kerentanan terhadap banjir. Selain itu erosi juga menurunkan kualitas air akibatnya memerlukan biaya yang nggi apabila akan diproses oleh PAM menjadi air minum. Jadi in dari kebijakan adalah menjaga kelestarian hutan untuk penyediaan air kebutuhan masyarkat baik untuk irigasi ketahanan pangan maupun untuk air minum serta kebutuhan lainnya.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
31
STRATEGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DAS sebagai Fokus Kebijakan Seper disampaikan sebelumnya, hutan perlu dijaga kelestariaannya karena hutan yang lestari berar mendukung konservasi sumber daya airPenebangan hutan yang dak terkendali mengakibatkan DAS menjadi kri s dan air dak cukup tersedia untuk kehidupan. Kekri san tersebut terjadi ke ka DAS yang secara biofisik kondisinya telah mengalami kerusakan. Tanda-tanda kerusakan DAS tersebut adalah menurunnya kualitas dan kuan tas air, degradasi lahan, dan berkurangnya biodiversity secara signifikan. Luas lahan kri s telah mencapai 30.196.800 Ha yang tersebar pada 282 DAS di Indonesia. Banyaknya lahan kri s di Indonesia tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu kategori DAS kri s seluas 23.306.233 Ha, dan kategori DAS sangat kri s yaitu seluas 6.890.567 Ha. Berdasarkan data tahun 1984 terdapat 22 DAS kri s di Indonesia, kemudian meningkat pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kri s. Kondisi pada dan tahun 2006 menjadi semakin parah di mana sebanyak 62 DAS sudah termasuk kategori kri s. Untuk menyusun kebijakan konservasi sumber daya air di daerah aliran sungai perlu dikenali isu-isu pen ng terkait dengan permasalahan yang dihadapi (untuk mengurangi lahan kri s). Beberapa isu pen ng dalam pengelolaan DAS yang dapat diiden fikasi adalah sebagai berikut : a. Terdapat persaingan kepen ngan dalam pemanfaatan DAS (baik air maupun non air) untuk berbagai keperluan baik industri maupun rumah tangga. Persaingan tersebut semakin meningkat dalam pemanfaatan sumber daya yang berada di DAS untuk berbagai keperluan termasuk irigasi. b. Pemanfaatan DAS untuk masyarakat seringkali pelaksanaannya dak sesuai dengan kepen ngan menjaga sumber kehidupan (air) karena dak ada strategi yang terpadu yang mensinergikan programprogram antar sektor dan antar wilayah. Sinergitas seharusnya sudah dituangkan didalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta audit yang reliable. c. Diperlukan peran pemerintah yang kuat untuk menjaga DAS sehingga bermanfaat bagi kemaslahatan
32
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
seluruh rakyat. Pemerintah harus menyusun regulatory framework untuk mengakomodasikan kepen ngan semua sektor dan wilayah yang terkait dengan pemanfaatan DAS. Dalam mengembangkan regulatory framework tersebut, disusun berdasarkan sistem informasi dan database untuk se ap DAS termasuk kapasitas dan daya dukung lingkungan masing-masing DAS. Berdasarkan beberapa isu DAS diatas, strategi pengelolaan DAS harus menggunakan pendekatan lintas sektor dan lintas wilayah, dimana perlu disusun perencanaan pembangunan di Bidang Kehutanan dan Sumber Daya Air secara terpadu. Dalam hal ini, pengelolaan DAS diterapkan berdasarkan prinsip bahwa Satu DAS mempunyai Satu Perencanaan dan Satu Pengelolaan (One watershed, One Plan, One Management). Strategi pengelolaan DAS terpadu ini dituangkan dalam kebijakan kehutanan dan konservasi sumber daya air yang terdiri dari : (a) keterpaduan dalam pengelolaan DAS; (b) peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan; dan (c) peningkatan kualitas penataan ruang kawasan DAS.
Strategi Keterpaduan dalam pengelolaan DAS Pengelolaan DAS terpadu mencaqkup upaya : (i) lintas sektor dan (ii) lintas wilayah, oleh karena itu diperlukan kebijakan yang berlandaskan one watershed, one plan dan one management. Pelaksanaan strategi yang terpadu ini dilakukan juga oleh satu lembaga pengelolaan DAS. Sebagai langkah awal perlu disusun rencana tata ruang kawasan DAS yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah (sebagai payung). Penentuan ini akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, strategi, program, dan rencana aksi lintas sektor dan lintas wilayah. Dimensi waktu terdiri dari jangka pendek (tahunan), jangka menengah (5 tahunan), dan jangka panjang (20 tahunan). Prinsip dasar dalam menyusun strategi pengelolaan DAS terpadu adalah sesuai dengan konsep planning, organizing, actua ng and controlling (POAC).
To inves gate factors for maternal death, I propose panel data fixed effects technique, with family planning as the interest variable. There are three poten al techniques : me fixed effect, province fixed effect, and both me and province fixed effect. However, some weaknesses of this proposal are including : (1) maternal mortality rate at provincial level is es mated by hospitals/health facili es
records, not by survey; (2) women from rural areas isn’t covered by the data, because they are likely to delivering at houses – not health facili es; (3) the es ma on would lead to towards zero bias. It is an urge for government to es mate maternal mortality rate at provincial level – not only at na onal level, and thus appropriate policies could be formulated to decrease maternal death in the future.
REFERENCES Beegle, Kathleen, Elizabeth Frankenberg, and Duncan Thomas.”Bargaining power within couples and use of prenatal and delivery care in Indonesia.”Studies in family planning 32, no. 2 (2001) : 130-146. Cutler, David M., Angus S. Deaton, and Adriana Lleras-Muney.The determinants of mortality.No. w11963.Na onal Bureau of Economic Research, 2006. Deaton, Angus. Global pa erns of income and health : facts, interpreta ons, and policies. No. w12735.Na onal Bureau of Economic Research, 2006. Hsio, W., and Peter Heller. What macroeconomists should know about health care policy.Vol. 7.Interna onal Monetary Fund, 2007. KementerianKesehatan. ProfilKesehatan 2007. Jakarta : KementerianKesehatan. KementerianKesehatan. ProfilKesehatan 2012. Jakarta : KementerianKesehatan. Republic of Indonesia.“Data danInformasiKinerja Pembangunan 2004-2012.” Jakarta : Republic of Indonesia, 2013. Available at : h p ://www.bappenas.go.id/files/6613/7890/Buku_Da n _Kinerja_Pembangunan_2004-2012.pdf Shiffman, Jeremy. “Can poor countries surmount high maternal mortality?.” Studies in family planning 31, no. 4 (2000) : 274-289. Sta s cs Indonesia/BPS.Indonesia Health and Demographic Survey/SDKI 2007. Jakarta : BPS, 2008. Sta s cs Indonesia/BPS.Indonesia Health and Demographic Survey/SDKI 2012. Jakarta : BPS, 2013. Stock, James H., and Mark W. Watson.Introduc on to Econometrics Global Edi on.Pearson Educa on, 2012. Stover, John, and John Ross. “How increased contracep ve use has reduced maternal mortality.” Maternal and Child Health Journal 14, no. 5 (2010) : 687-695. Available at : h p ://download.springer.com/sta c/pdf/805/art%253A10.1007%252Fs10995-009-0505-y. pdf?auth66=1400378312_6bec58c95d0a7b49c88a8aa9d9bf405e&ext=.pdf World Health Organiza on.“Maternal Mortality.”Fact Sheet No. 348, 2014. Available at : h p ://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs348/en/ World Health Organiza on. “Fact Sheet : The Causes of Death.” 2008. Available at : h p ://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs310_2008.pdf World Health Organiza on.“Maternal, Newborn, Child and Adolescent Health.” Available at : h p ://www.who.int/ maternal_child_adolescent/topics/newborn/postnatal_care/en/ World Bank.“Inves ng in Indonesia’s Health : Challenges and Opportunity for Future.”Health Public Expenditure Review. Jakarta : World Bank, 2008.
Rincian dari strategi pengelolaan DAS terdiri dari ak vitas-ak vitas yang berdimensi biofisik misalnya pengendalian erosi, rehabilitasi lahan-lahan kri s, pengelolaan lahan pertanian konserva f. Selain itu juga kegiatan-kegiatan berdimensi kelembagaan seper
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
69
However, the number of observa on is a poten al weakness of the model. Recall that not all provincial government es mates maternal mortality rate. Further, the model is likely to lead a downward to zero bias, because maternal mortality rate is es mated based on health facili es, it wasn’t taken by survey. The data is unlikely es ma ng women in rural areas who delivered babies in their houses.
Year Fixed Effect In order to study factors affect maternal death, I propose to apply panel data with two me periods : before and a er comparisons (before and a er decentraliza on). When data for each state are obtained for T = 2 me periods, it is possible to compare values of the dependent variable in the second period to values in the first period (Stock and Watson, 2012). My interest variable is family planning. The equa on can be wri en as follow :
MMR is maternal mortality rate year 2012 and 2007 at province i and FamilyPlanning is percentage female use contracep on year 2012 and 2007 at province i. I would also include other control variables.
MMRit is maternal mortality rate at year t and province i and FamilyPlanningit is percentage female use contracep on at year t and province i. Zit is control variable at year t and province i. Control variables are log regional GDP per capita, female years of schooling, percentage received antenatal care, percentage delivered at health facili es, percentage doctors help during delivery, and percentage trained health providers help during delivery.
Province Fixed Effect En ty (province) fixed effect could be applied to control provinces that have high maternal mortality rates regardless the me. In other words, the unobserved variables are varies from one province to other, but they are unchanged over me. The interpreta on is based on state-specific compares to one province.
68
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Let αiis β0 +β2Zior province fixed effect. αi,….., αn are treated as unknown intercepts to be es mated, one for each province. Thus, a province with high maternal mortality rate has different effects with a low maternal death province.
Both Time and Province Fixed Effect The combined province and me fixed effects regression model eliminate omi ed variables bias arising both from unobserved variables that are constant over me and from unobserved variables that are constant over state (ibid). As there are only two me periods, me fixed effect can be es mated using before and a er approach. The equa on can be wri en as
Conclusion Some studies have shown that causes of death are shi ed when a country experiences higher incomes. Specifically, numbers of communicable diseases get lesser, while increase in non-communicable diseases. It is also known as epidemiological transi on. Indonesia is a middle income country with rising life expectancy for the last years. Death caused by non-communicable diseases has increased over me. While, death caused by communicable diseases show a decreasing trend. However, maternal mortality – categorized as a communicable disease – has been increased drama cally from 228 (per 100,000 live births) to 359, for period 2007-2012. Poten al factors affect maternal death are income level (proxy : regional GDP per capita), female years of schooling, family planning (proxy current female use contracep on), percentage received antenatal care, percentage delivered at health facili es, percentage doctors help during delivery, and percentage trained health providers help during delivery. As the governmental system has been shi ed to decentraliza on since 2005, local governments tend to not priori ze family planning policy. It has been a decline female contracep ve use from 61.4% to 45.7%, for period 2007-2012. Family planning might be one significant factor for maternal death. It might be a good policy for local governments and central government to re-implemen amily planning programs.
insen f dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang berdimensi sosial lebih diarahkan pada pemahaman kondisi sosial-budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pe mbangan untuk merencanakan strategi ak vitas pengelolaan DAS tersebut. Keseluruhan rangkaian kegiatan dalam strategi ini dilakukan dalam upaya untuk tercapainya pemenuhan kebutuhan manusia yang seimbang dengan kemampuan sumberdaya alam secara berkesinambungan. Perlu diperha kan peran daerah hulu dalam menjamin kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi keanekaragaman haya (bio-diversity). Tujuan dari strategi ini adalah bagaimana sistem hidrologi dan ekologi menjadi lebih baik (dengan adanya pelaksanaan strategi ini). Untuk itu pemanfaatan DAS harus memper mbangkan pengembangan ekosistem daerah hulu dan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi. Harus juga dijaga hubungan daerah hulu dan hilir dalam suatu DAS yang mempunyai keterkaitan biofisik. Sistem keterkaitan dalam satu DAS ditunjukkan dengan adanya daur hidrologi dan daur unsur hara di satu kesatuan DAS tersebut. Ada 3 ( ga) hal yang pen ng untuk diperha kan dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu yaitu : 1 Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian pen ng dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan. 2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat mul disiplin dan lintas sektoral sehingga keterpaduan (integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal. 3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas “Integrated Watershed Management Plan”. Untuk itu dalam se ap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperha kan kejelasan keterkaitan antar sektor pada ngkat regional/ wilayah dan nasional serta kesinambungannya. Dengan memperha kan ke ga hal pokok tersebut di atas maka penyusunan strategi pengelolaan pembangunan DAS terpadu harus sesuai dengan tujuan pengelolaan
DAS yaitu untuk secara berkesinambungan mendapatkan air yang baik secara kualitas, kuan tas dan distribusi yang merata sepanjang tahun. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka penyusunan perencanaannya harus didahului dengan melakukan iden fikasi terhadap struktur DAS secara seksama karena masing-masing DAS mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri. Sedangkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan terpadu sama dan dapat diaplikasikan ke semua DAS. Penerapan konsep one watershed, one plan, one management dalam pengelolaan DAS terpadu terutama adalah untuk memanfaatkan SDA dengan menghindari konflik antara para pemanfaatnya. Sumber daya alam adalah suatu sistem yang terjadi secara alamiah sesuai dengan kondisi bio-fisiknya sehingga dak dapat dipaksakan untuk memenuhi berbagai pihak secara memuaskan. Jumlah yang terbatas menyebabkan konflik, dan konsep pengelolaan terpadu diterapkan untuk menghindari konflik-konflik tersebut. Dalam pasal 3 Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang ”Sumber Daya Air” dinyatakan bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh dan terpadu dan berwawasan lingkungan hidup. Dalam hal ini menandakan bahwa pada prinsipnya ada 3 ( ga) jenis pengelolaan, yaitu : a. Pengelolaan DAS (watershed management), yang terdiri dari : • Perencanaan tata ruang wilayah, • Pengelolaan kawasan hutan, • Pengawasan penggunaan lahan, • Rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, • Pelestarian dan pengelolaan daerah resapan air. Secara keluruhan, pengelolaan DAS juga dapat dikatakan sebagai konservasi sumber daya air. b. Pengelolaan jaringan sumber air (water source management), terdiri dari : • Pengelolaan air rendah (kering), • Pengelolaan nggi (banjir), • Pengelolaan kualitas air, • Pengelolaan prasarana sumber air, • Pengelolaan sumber air dan lingkungan di sekitar sumber air. c. Pengelolaan penggunaan air (water use management), terdiri dari : • Pengelolaan sistem irigasi, • Pengelolaan sistem air minum dan sanitasi, • Pengendalian pencemaran air,
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
33
• Penghematan penggunaan air, • Pengelolaan limbah cair dan sampah. Selanjutnya penyusunan strategi konservasi sumber daya air juga harus fokus pada pengelolaan DAS yang dikelompokkan dalam 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan struktural, dan pendekatan non struktural. Untuk penekatan struktural juga dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu : (a) Bagian Hulu, yang mana jenis kegiatannya dapat terdiri dari pembangunan waduk, rehabilitasi situ, dan penghutanan; serta (b) Bagian Hilir, yang mana pembangunannya dapat terdiri dari pembangunan banjir kanal, bendung an sipasi air pasang, dan bangunan fisik untuk pencegahan keretakan tanah (land subsidence). Sedangkan untuk pendekatan non struktural pada dasarnya hanya dibagi 1 (satu) bagian saja yaitu Bagian Hilir. Kegiatan yang termasuk Bagian Hilir-Non Struktural ini terdiri dari : (i). konservasi DAS (rehabilitasi dan reboisasi), (ii). pengendalian tata ruang, (iii). peningkatan kesadaran masyarakat, (iv). sistem peringatan dini, (v). pemetaan daerah rawan banjir, dan (vi). sistem tanggap darurat. Kebijakan dasar pengelolaan DAS terpadu mengacu pada 2 (dua) hal prinsip. Pertama, pengelolaan DAS harus dilakukan secara holis k, terencana, dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan. Kedua, pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi yang mana pendekatan DAS diposisikan sebagai satuan wilayah pengelolaan sumber daya alam yang dikelola secara menyeluruh (komprenhensif) oleh berbagai pihak yang bertanggung jawab yaitu pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat/LSM, akademisi dan dunia usaha. Selain itu dalam penyusunan perencanaanya juga harus memper mbangkan norma dan kearifan lokal yang ada sehingga perencanaan tersebut dak hanya bersifat dari atas ke bawah (top-down) tetapi juga dari bawah ke atas (bo om-up). Konsep pengelolaan secara terpadu menunjukkan pen ngnya perencanaan untuk satu DAS. Konsep dari one plan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Satu sungai dalam penger an DAS merupakan kesatuan wilayah hidrologi yang dapat mencakup beberapa wilayah administra f yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan yang
34
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
b.
c.
dak dapat dipisah-pisahkan; Dalam satu sungai hanya berlaku satu rencana kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan; Dalam satu sungai diterapkan satu sistem pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan, strategi perencanaan, dan operasionalisasi kegiatan dari hulu sampai hilir.
Konservasi terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan dalam satu kesatuan sistem pelestarian ekosistem alam yang mana DAS dalam ekosis m tersebut fungsinya adalah penghasil air untuk berbagai kebutuhan. Dengan meningkatnya kebutuhan air akibat bertambahnya penduduk, perkembangan industri serta irigasi pertanian diiku dengan perubahan cuaca yang dak menentu menyebabkan ketersediaan air menjadi semakin rentan. Untuk itu mbul upaya untuk menghargai air yang wajar, dalam ar memberi nilai ekonomi kepada air. Perkembangan atas semakin langkanya air dan mengarah air sebagi produk ekonomi telah mengubah pandangan bahwa air sebagai fungsi social menjadi fungsi sosial ekonomi. Peran hutan di daerah hulu sangat pen ng, berkurangnya luas dan alih fungsi hutan akan lingkungan yang mana fungsi hidrologis hulu DAS mengalami penurunan kapasitas untuk menghasilkan air. Di samping itu, kerusakan hulu DAS akan mendorong adanya erosi permukaan tanah sehingga sedimen di sungai meningkat yang berdampak pada penurunan kualitas air dan fluktuasi debit. Untuk menjamin terpeliharanya fungsi kelestarian lingkungan pada daerah hulu DAS tersebut perlu disusun kebijakan perencanaan pembangunan bidang kehutanan yang dikaitkan dengan konservasi sumber daya air. Kebijakan juga diarahkan untuk mencegah mbulnya konflik pemanfaatan DAS karena pekembangan yang memperlakukan air dak lagi hanya sebagai fungsi sosial tetapi juga ekonomi sebagimana disinggung sebelumnya.
Peningkatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk dalam upaya melestarikan hutan untuk konservasi air, maka harus di ngkatkan kepedulian dan komitmen terhadap pengelolaan DAS. Khususnya pada wilayah hutan di bagian hulu (upstream) sungai. Dalam hal ini peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan memperha kan bagaimana sinergi peran
The more literate the female popula on is likely to reduce maternal mortality rate. In Indonesia, a nega ve correla on between female years of schooling and maternal mortality rate for both period 2007 and 2012. More educated women are likely to take ac ons that benefit their life (Shiffman, 2012). Due to limita on data, I only show one period (2012) correla on. The dataset shows no correla on between woman’s own decision for health care and maternal mortality rate TFR of Indonesia has been unchanged for the last 5 years (2007-2012), 2.6. However, varia on changes of TFR among provinces. There is anopposite pa ern between current use of family planning and TFR. A province that experienced a lower TFR for period 2007-2012 has a higher contracep on use. Further, it has beena reversed correla on between contracep on use and maternal mortality rate. As of 2007, contracep on use is posi vely correlated with maternal mortality. It became a nega ve correla on as of 2012. A er decentraliza on, contracep on use at na onal level declined from 58.1% (2007) to 43% (2012). Provincial governments tend to not priori ze family planning policy. In all provinces, percentage of current use contracep on has been declined. Antenatal care has a direct effect for maternal deaths. Pregnant women that have antenatal care are likely to have lower possibility for maternal death. For period 20072012, at na onal level, percentage of receiving antenatal care has increased, from 93.3% to 95.7%. As of 2007, the line of correla on between antenatal care and maternal mortality is rela vely flat and slightly nega ve. However, as of 2012, the correla on became clearly nega ve. A province with higher percentage of antenatal care recipients had a lower maternal mortality rate. Minister of Health men oned that one cause for high maternal mortality rate in Indonesia is many women deliver babies at homes – not at a health facility. For period 2007-2012, at na onal level, percentage of a woman delivered at a health facility increased from 46.1% to 63.2%. In both periods, it has been a posi ve correla on between percentage a woman delivered at a health facility and maternal mortality rate. However, on the average, it has been a decreasing percentage a woman delivered at a health facility. Furthermore, percentage doctors help during delivery is s ll low. For period 2007 and 2012, it has
been unchanged 1% at na onal level. In both periods, it has been a nega ve correla on between doctor providing assistance during delivery and maternal mortality rate. It might be a good sugges on for the government to provide more doctors to assistance women during delivery. However, one big challenge in Indonesia is that “dual prac ce” of government’s medical staffs. The government has allowed its staff to engage in “dual prac ce” since the 1970s in recogni on of the low level of public salaries (World Bank, 2008). They perform differently between public and private health services, and in most cases, they perform more slower in public health services. Therefore, it is important to improve supply side of health sector. Further, at na onal level, percentage delivered by a skilled provider increased from 73% to 83.1%, for period 2007-2012. As of 2007, there was no correla on between percentage delivered by a skilled provider and maternal mortality rate. It became a posi ve correla on. Among poten al causes of maternal death, a higher family planning (current females use contracep on) is associated with a lower maternal mortality rate. However, a er decentraliza on system was applied, local governments tend to neglect family planning policy. Na onal Popula on and Family Planning Board (abbreviate : BKKBN) is not func oned in all provincial levels. Furthermore, according to SDKI 2012, at na onal level, among ever-married women age 15-49 who are not using contracep on, only 5.2% women who were visited by fieldworker who discussed family planning. In other words, local governments are not ac vely promo ng family planning. It is likely that women in rural areas have lesser access on informa on for family planning. In this proposal, I propose family planning as the interest variable to affect maternal mortality.
METHODOLOGY In this proposal, I use panel dataset for two periods, 2007 and 2012, and dataset at provincial level. Indonesia has 33 provinces, but due to limita on data I only use 17 provinces datasets for period 2007 and 28 provinces dataset for period 2012. I propose three poten al methodologies to apply.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
67
Figure 1 : Maternal Mortality Rate Indonesia (per 100,000 live births)
Source : SDKI 1992, 1997. 2002, 2007, 2012 Maternal mortality in rich countries is very low, comparing to lower income countries. Income level is likely to affect maternal mortality rate, because low access to health facili es (WHO, 2014). Further, female educa on and wife’s bargain power in a household affect maternal mortality (Shiffman, 2000,.Beegle et al, 2000).More educated women are likely to take ac ons that benefit their life, more likely to engage in healthful life when they are pregnant (Shiffman, 2000). Bargain power possessed by a wife affects prenatal and delivery decision (Beegle et al, 2000). Besides that, family planning affects maternal death through total fer lity rate (TFR). Family planning – birth spacing and contracep ves use - declines TFR and high-risk births, and eventually reduces maternal mortality rate (Stover and Ross, 2009).According to WHO, access to antenatal, deliver at a health facility and provide trained health providers contribute to sustain decline of maternal mortality rate. A unique cause that might affect maternal mortality rate in Indonesia is a decentraliza on system, because it is related with health policies taken by the provincial government.
MATERNAL MORTALITY RATE BY PROVINCES Data Sources Periods of data that I use in this proposal are 2007 and 2012, in-line with SDKI dataset. Survey is taken in every five years. Moreover, the decentraliza on started in 2005, but there was a different mes for local elec ons. Thus, in order to analyze different pa ern caused by decentraliza on, it is be er to use the 2007 and 2012
66
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
datasets. Indonesia has not collected data of maternal mortality rate on provincial level. However, majority of local governments es mates the rate. It is es mated by using hospitals/health centers records. Na onal maternal mortality rate, however, is es mated by surveys. There are three poten al shortcomings of the dataset : (1) Not all local governments es mate maternal mortality rate; (2) Women from rural areas are unlikely to deliver in a health center. It might be unavailable record about them and thus the maternal mortality rate es ma on tends to be lower; and (3) Each local government has different human capital developments. In this paper, I use maternal mortality rate es mated by provincial governments. Data available at Profil Kesehatanon each province. I use data for regional GDP per capita and female years of schooling published by BPS. Further, data of TFR, percentage of wife bargain power, number of current use of family planning, percentage received antenatal and postnatal care, percentage delivered at a health center, and percentage delivered provided by trained health providers are sourced from SDKI.
Current Condi ons In provincial level, there is a big varia on of maternal mortality rate, as of 2012. A very high maternal mortality rate in West Java Province, which was 804, comparing to na onal’s rate 359. However, Province Jakarta had a very low maternal mortality rate, 97. The condi on in 2007 was similar, West Java Province was the highest maternal mortality rate, and Jakarta was the lowest.
Poten al Causes of Maternal Mortality In Indonesia, income inequality is moderately high with Gini Coefficient of 0.41 as of 2012, according to BPS. As of 2012, the richest province is Jakarta with per capita income of IDR112,142,000(around USD11,214), and the poorest province is North Maluku with per capita income of IDR6,367,000 (around USD6,367). The data show a nega ve correla on between log regional GDP per capita and maternal mortality rate both in the period 2007 and 2012. A wealthier provincecan afford to provide be er health facili es than a rela vely poorer province. As such, skilled health providers are more available in Jakarta, than North Maluku.
pengelolaan DAS. Meskipun demikian, untuk menyusun kebijakan ke depan perlu memper mbankan semakin langkanya air dan berkembang menjadi fungsi ekonomi serta adanya perubahan cuaca.
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Par sipasi masyarakat sekitarnya mempunyai peran yang besar dalam merehabilitasi hutan dan lahan selain itu good governance pengawasan pembangunan akan berjalan dengan baik. Sebagai mana disampaikan sebelumnya, strategi rehabilitasi hutan dan lahan meni kberatkan kepada kegiatan terkait dengan monitoring, evaluasi, dan audit pelaksanaanya. Beberapa program yang sudah dijalankan adalah perlindungan tanaman pertanian (conserva on agriculture), perputaran tanaman (crop rota ons), dan menjaga permukaan tanah yang stabil (permanent soil cover) pada kawasan pertanian. Isu strategis peningkatan fungsi dan daya dukung DAS yang selama ini telah teriden fikasi adalah : (a) meningkatnya jumlah DAS kri s dibuk kan dengan meningkatnya frekwensi kejadiaan tanah longsor, serta banjir; dan (b) belum dijadikannya DAS sebagai basis dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah dan pengembangan wilayah. Untuk itu arah kebijakannya adalah peningkatan fungsi daya dukung DAS dengan indikator rencana pengelolaan DAS prioritas secara terpadu dan rehabilatasi hutan. Adapun sasaran yang akan dicapai yaitu : a. Rencana pengelolaan DAS terpadu pada 108 unit DAS prioritas; b. Penanaman areal rehabilitasi hutan dan lahan serta fasilitasi penanaman lahan kri s dengan arel tanaman seluas 2,5 juta Ha; c. Tersedianya areal pengolahan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta Ha; d. Pembangunan penyedia bibit di ap regional.
Kebijakan lintas bidang yang perlu dilakukan untuk mengan sipasi dampak dan mengendalikan laju perubahan iklim ke depan, yang melipu : (a) meningkatkan upaya mi gasi terutama di sektor kehutanan dan energi; (b) meningkatkan upaya adaptasi pada sektor pertanian dan perikanan terutama pengamanan produksi pangan; (c) meningkatkan pemahaman dan kapasitas terutama di daerah-daerah; dan (d) menyusun kelengkapan instrumen dan peraturan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan pelaksanaan kebijakan pembangunan bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDALH) yang selama ini telah berjalan, maka peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan diprioritaskan pada (a) pemantapan kawasan hutan; (b) konservasi, keanekaragaman haya , dan perlindungan hutan; (c) peningkatan fungsi dan daya dukung DAS; (d) pengembangan peneli an dan iptek sektor kehutanan. Khusus untuk peningkatan fungsi dan daya dukung DAS terdapat beberapa kegiatan yang juga telah dijalankan yaitu : (i) penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas; (ii) pengembangan perhutanan sosial; (iii) pengembangan perbenihan tanaman hutan; (iv) pembinaan penyelenggaraan
Terkait dengan prioritas sumber daya alam dan lingkungan hidup maka arah kebijakannya adalah peningkatan ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Secara terinci hal ini melipu : (a) peningkatan produksi dan produk vitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk mendukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku indutri; (b) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; (c) peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan. Selanjutnya peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, maka arah kebijakan percepatan penyelesaian persoalan pembangunan hutan, terdiri dari : (i) peningkatan kualitas dan ketersediaan data
Sementara itu, upaya konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang berkelanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan resiko bencana untuk mengan sipasi perubahan iklim. Arah kebijakannya melipu : (1) peningkatan kualitas informasi iklim, cuaca dan bencana alam, serta peningkatan adaptasi dan mi gasi terhadap perubahan iklim; (2) pengintegrasian mi gasi bencana dalam perencanaan pembangunan; (3) peningkatan kemampuan tanggap darurat; dan (4) percepatan pemulihan di wilayah pasca bencana. Sedangkan kegiatan prioritasnya terdiri dari : (1) penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas; (2) pembinaan penyelenggaran pengelolaan DAS; (3) pengembangan perhutanan sosial; dan (4) pengendalian kebakaran hutan.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
35
Foto: noerdblog.wordpress.com
CLASSIFICATION OF CAUSES OF DEATH IN INDONESIA
serta informasi potensi sumber daya hutan; (ii) percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang profesional; dan (iii) percepatan pengukuhan dan pemantapan kawasan hutan. Sedanngkan arah kebijakan peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, terdiri dari : (a). eningkatan konservasi keanekaragaman haya dan perlindungan hutan; (b). Peningkatan fungsi daya dukung DAS; dan (c). Pengembangan peneli an dan iptek sektor kehutanan.
Peningkatan kualitas air dan penataan ruang kawasan DAS Dalam menyusun strategi peningkatan kualitas air, perlu per mbangkan kecukupan hak se ap individu atas air. Hal ini dak dapat diterjemahkan secara sempit, yang dipahami hanya sebatas pada kuan tas atau volume air. Selain itu air juga harus dipandang sebagai barang sosial (dan budaya), dak semata-mata sebagai barang ekonomi. Tingkat kualitas dan kecukupan air merupakan upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak atas air. Kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut : (a). Ketersediaan air (supply) untuk masyarakat harus mencukupi dan berkelanjutan dalam rangka pemenuhan kebutuhan individu dan rumah tangga; (b). Kualitas air untuk se ap orang atau rumah tangga harus aman, bebas dari micro-organism, unsur kimia dan radiologi, dak mengancam kesehatan manusia. Selanjutnya air dan fasilitas air juga harus mudah diakses dan pelayanannya bagi se ap orang tanpa diskriminasi. Hal ini mencakup beberapa faktor, yaitu : (i). Mudah diakses
36
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
secara fisik. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat dijangkau secara fisik bagi seluruh golongan yang ada di dalam suatu populasi; (ii). Terjangkau secara ekonomi. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus terjangkau untuk semuanya. Biaya yang mbul, baik secara langsung maupun dak langsung dan biaya lain yang berhubungan dengan air harus terjangkau; (iii). Non-diskriminasi. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat diakses oleh semua, termasuk kelompok rentan atau marjinal, dalam hukum maupun keadaan nyata lapangan tanpa diskriminasi.; (iv). Akses informasi. Akses atas air juga termasuk hak untuk mencari, menerima dan bagian dari informasi sehubungan dengan air. Upaya untuk meningkatkan kualitas air seper disampaikan di atas, dapat dilakukan bila penyusunan perencanaan pembangunan bidang kehutanan untuk pengelolaan DAS disusun dengan secara konsekuen mengacu pada UU Penataan Ruang. Kebijakan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang ”Penataan Ruang”, khususnya pasal 17 ayat 5, mengamanatkan bahwa kawasan lindung nasional harus dikembangkan (termasuk juga kawasan DAS) dengan cara : (a). Memelihara dan melestarikan kawasan lindung; dan (b). Mencegah dampak nega f kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan kawasan lindung. Kedua pendekatan ini sangat pen ng dilakukan untuk memelihara dan melestarikan kawasan lindung nasional sehingga kualitas dan kuan tas air terjaga. Selanjutnya UU nomor 26 tahun 2007 pasal 17 ayat 5 juga mengamanatkan bahwa untuk memelihara dan melestarikan kawasan lindung diperlukan upayaupaya menetapkan kawasan lindung nasional. Penetapan
Life expectancy in Indonesia has been increasing for the last years. According to World Bank, life expectancy at birth for males has increased from 68 to 69 for year 20092012, and from 72 to 73 for female in the same period. In general, there are three groups of cause of deaths, namely group 1 : communicable diseases, group 2 : non communicable diseases, and groups 3 : injuries. Group 1 : Communicable Diseases Children and infant mortality in Indonesia has a decreasing trend over me even though it is s ll considered high. According to Popula on Reference Bureau (PRB), as of 2013, infant mortality in Indonesia is 32 (per 1,000 live births). One leading cause of high infant mortality rate is mothers give birth in their houses, instead in health facili es (Ministry of Health, 2013). Further, for the last years, the country has reduced its rate of malnutri on, stun ng and underweight cases (Unicef, April 2013). There is a very high maternal mortality rate in Indonesia. According to Sta s cs Indonesia (abbreviate : BPS), as of 2012, maternal mortality rate is 359 (per 100,000 live births). This number has jumped hugely from 228, as of 2007. Causes of maternal mortality can be analyzed from supply and demand sides (Ministry of Health, 2011). HIV/AIDS is not a big threat in Indonesia, comparing to African countries. The global burden is dominated by countries in sub-Saharan Africa : the Democra c Republic of the Congo and Nigeria (WHO, 2012). As of 2012, according to the World Bank, 0.4% of people ages 15-49 are infected with HIV. However, tropical disease is a challenge in Indonesia. As of 2011, there are 388 deaths caused by malaria, according to World Health Organiza on (WHO). A very low access to medical treatments of infected malaria pa ents is considered the major cause. Group 2 : Non Communicable Diseases Recall that the number of middle class in Indonesia has been increasing for the last years, because of a stronger economic growth. There has been changed in dietary behavior of
Indonesians middle class. Therefore, like other middle income countries (MICs), numbers of non-communicable diseases are increasing. According to the Ministry of Health, death caused by NCDs has increased over me. Moreover, in the next decades, according to the WHO predic on, cancers pa ents in Indonesia will be increased more than doubled. The implica ons of these changes in the demand for healthcare are important for decisions regarding health financing and alloca on of resources (World Bank, 2008). Group 3 : Injuries According to the Ministry of Health, as of 2013, prevalence of injuries in Indonesia is 8.2%. The number has increased from 7.5%, as of 2007. Of all cases, motorcycles accident is the major cause of injuries. The number of motorcycles in Indonesia has been increasing for the last decades. Further, the number of injuries due to land transporta on accidents has been rising from 25.9% to 47.7% for period 2007-2013.
MATERNAL MORTALITY RATE IN INDONESIA Although communicable diseases have been decreasing, maternalmortality rate is s ll one big health threats in Indonesia. According to WHO, maternal mortality rate is the death of a woman while pregnant or within 42 days of termina on of pregnancy, irrespec ve of the dura on and site of the pregnancy, from any cause related to or aggravated by the pregnancy or its management but not from accidental or incidental causes. A er experienced a decreasing trend, maternal mortality rate increased enormously in the last five years. According to the Indonesian Demographic and Health Survey (abbreviate : SDKI), maternal mortality rate has increased from 228 to 359 (per 100,000 live births), for period 20072012. Indonesia has the highest maternal mortality rate in the region South East Asia. The government has set a target of, in-line with Millennium Development Goals (MDGs), 102 maternal mortality rate by the year 2015.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
65
try to explore about maternal mortality rate in Indonesia. Specifically, I a empt to answer the ques on of what factors affect high maternal mortality rate. The proposal is organized as follows. In the first sec on, I discuss theore cal framework. In the second sec on, I describe ins tu onal framework. In the third sec on, I describe classifica on of causes of death in Indonesia. In the fourth sec on, I lay out maternal mortality rate in Indonesia and studies of factors for maternal mortality rate. In the fi h sec on, I discuss maternal mortality rate by provinces, including data sources and poten al causes of maternal death. In the sixth sec on, I describe a poten al methodology to evaluate maternal mortality rate. I conclude with highlights of key policy recommenda ons.
As the income goes up, low income countries are expected to experience epidemiological transi ons, during which infec ous diseases, which mostly kill children, give way to chronic diseases, such as cancers and heart diseases, which mostly kill elderly people (Deaton 2006).
Ins tu onal Framework In the year 1998, a er 32 years of ruling, the new order under President Soeharto stepped down. During Soeharto era, Indonesia was on a centralizedand authoritarian regime, in the sense that all policies were decided by central government. A er 1998, all next administra ons a empted to change centralized to become decentralized regime, in the hope that local governments know more about what is important for local development than central government.
Theore cal Framework Three groups of causes of deaths are group 1 : communicable diseases, group 2 : non-communicable diseases, and group 3 : injuries. First, by defini on, communicable diseases, also known as infec ous, spreads from a person to another person or from an animal to a person. Children mortality and maternal death are included in communicable diseases. Second, non-communicable diseases also known as chronic diseases, are not passed from person to person, such as diabetes, heart disease and cancers. Last, accidents or uninten onally injuries are included in group 3. Life expectancy in industrialized countries is longer than developing countries. Numbers of evidence have shown that there is a posi ve rela onship between income and life expectancy. The Preston curve in 2000 (Cutler et al, 2006) displays a massive increase in life expectancy for developing countries – economies with GPD per capita lower than $10,000. For industrialized countries – life expectancy is already long, there is a moderate increase of life expectancy as the income grows. The causes of mortality between industrialized and developing countries are different. In industrialized countries, since 1960, cardiovascular disease is a dominant cause for mortality. Medical treatment improvement has been upgraded, and it affects a decline cardiovascular mortality by over 50% (ibid). Besides that, industrialized countries have experienced a reduced infant mortality.
64
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Since 2005, Indonesia has been shi ed its poli cal system from a very centralized government to a decentralized local government. By defini on, decentraliza on is delega ng authori es from central government to local governments to operate governmental func ons under Republic of Indonesia’s system. Thus, the central government transfers budget to the province governments, and they have their power to set priori es. However, in many cases, the priori es are not in alignment with central government’s na onal level goals. In order to implement decentraliza on system, elec ons are applied in all local government. Although decentraliza on system started in 2005, different province has different first me for local elec ons - year 2005 was the first ones and year 2010 was the latest. South Kalimantan, North Sulawesi, Central Kalimantan, and Bengkulu were provinces that implemented local elec on in the year 2005. Meanwhile, Province of Riau Islands was the last one executed the first local government in year 2010.
kawasan lindung dalam satu area ini paling sedikit 30% ( ga puluh persen) dari luas DAS. Dalam menyusun perencanaan untuk mendapatkan kualitas air yang baik dak hanya mengacu pada UU Penataan Ruang tersebut di atas1, tetapi harus tersusun dalam suatu perencanaan pengelolaan DAS terpadu. Perencanaan terpadu diperlukan karena pemanfaatan DAS menyangkut beberapa pihak yang terkait (stakeholders), seper pengelola air, pengelola ruang, pengelola hutan, pengelola DAS kabupaten/ kota, pengelola penegakan hukum (law informent) dan seterusnya. Untuk itu diperlukan regulasi seper perda provinsi/ kebupaten/ kota yang mengatur pelaksanaan UU Penataan Ruang dan Pengelolaan DAS terpadu. Kerja sama dan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat akan mendorong terciptanya sungai yang bersih, sehat, dan produk f yang pada akhirnya membawa manfaat yang berkesinambangun bagi seluruh masyarakat di daerah aliran sungai tersebut.
e.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan paparan yang disampaikan dalam paper ini maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : a. Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dipandang sebagai satu kesatuan bio-region yang melipu beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomis akan saling berkaitan. b. Untuk memenuhi kebutuhan air, misalnya untuk irigasi pertanian, maka langkanya ketersediaan air dapat menyebabkan turunnya debit air sungai dan waduk. Hal ini dapat mengancam ketahanan pangan. Bahkan kebutuhan air untuk energi yang bersumber dari air (air terjun) juga akan terganggu. c. Kebutuhan air (demand) akan semakin meningkat searah dengan peningkatan jumlah penduduk 1
It is appropriate to compare maternal mortality rate for period 2007 and 2012 to inves gate whether or not decentraliza on has impacts on higher maternal death in year 2012.
d.
Dalam undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang ”Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional”, disebutkan bahwa dokumen perencanaan seper RKP, Renja-KL disusun untuk dijadikan acuan bagi pengalokasian anggaran dalam RAPBN. Untuk itu perencanaan pembangunan dalam bidang kehutanan perlu mensyaratkan adanya analisis wilayah berdasarkan tata ruang. Dalam implementasinya juga harus taat pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan DAS seper Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang ”Penataan Ruang”, yang mana pada pasal 17 ayat 5 mengatakan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) proporsi luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS.
f.
sebaliknya dari sisi ketersediaan (supply) maka kualitas dan kuan tas air cenderung menurun. Hal ini antara lain disebabkan kurangnya perlindungan daerah hulu (hutan) sebagai sumber air dan penghijauan pada kawasan lindung DAS di hilir. Hutan perlu dijaga kelestariaannya karena hutan yang lestari terkait dengan konservasi sumber daya air. Selain itu hutan juga dapat menangkap air hujan sehingga dak terjadi bencana. Sebagai conoth, penebangan hutan menyebabkan hutan gundul sehingga ke ka hujan, akan terjadi erosi tanah dan dapat menimbulkan bencana tanah longsor. Dalam rangka menyusun perencanaan pembangunan di bidang kehutanan maka strateginya diarahkan untuk konservasi sumber daya air di wilayah DAS. Pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu dalam rangka konservasi sumber daya air yang efek f. Untuk itu diperlukan : (i) komitmen dari kepemimpinan (pemerintah) pusat dan daerah; (ii) konsistensi dalam kebijakan pusat dan daerah; (iii) keberpihakan pembangunan kepada rakyat; (iv) peran ak f seluruh pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengelolaan DAS; Dalam menyusun perencanaan DAS terpadu maka harus konsisten pada UU Penataan Ruang dan disusun rencana tata ruang kawasan DAS. Perencanaan ini mencakup bagaimana pengelolaan DAS yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.
Rekomendasi Dalam menyusun kebijakan terkait dengan kehutanan dan konservasi sumber daya air (yang diwujudkan dengan pengelolaan DAS terpadu) maka harus dilakukan secara konsisten berdasarkan pada prinsip perencanaan. Sebagaimana diketahui, perencanaan merupakan suatu proses untuk menentukan ndakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia melalui sistem perencanaan yang juga tepat baik untuk jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan. Perencanaan ini dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di ngkat Pusat dan Daerah. Perencanaan tersebut harus sesuai dengan Undang-
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
37
Undang No. 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)” yang ditujukan untuk : (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengop malkan par sipasi masyarakat; dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efek f, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Poten al Causes of Maternal Mortality in Indonesia1 Anna Rahmawaty2
Selanjutnya, perumusan perencanaan dan strategi nasional atas pembangunan bidang kehutanan dan sumber daya air dalam paper ini perlu dilengkapi dengan rencana aksi nasional yang didasarkan pada konsep pembangunan berbasis kerakyatan yang menempatkan manusia sebagi pelaku pembangunan. Pembangunan berbasis rakyat ini merupakan hak dasar manusia di alam demokrasi.
Abstract
A
s the income level of poor countries increase, the causes of death shi – lower infec ous diseases and higher chronic diseases, or it is also known as epidemiological transi on. Indonesia is no longer categorized a low income country, with an increased trend of life expectancy. The number of infec ous diseases decreases, and chronic diseases, such as diabetes, heart disease and cancers, increase. Yet, interes ngly that maternal mortality rate in Indonesia is s ll high, in fact it has increased. A unique cause that might affect maternal mortality rate in Indonesia is a decentraliza on system, because it is related with health policies taken by the provincial government. To inves gate decentralized system impacts maternal mortality rate, I propose panel data fixed effects technique, with family planning as the interest variable. There are three poten al techniques : me fixed effect, province fixed effect, and both me and province fixed effect.
DAFTAR PUSTAKA Pasaribu, H. S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air.”, Bahan Seminar Sehari PERSAKI : DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. 21 Desember 1999. Jakarta. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014”. Jakarta Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan”. Jakarta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.” Jakarta
BACKGROUND
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang “Sumber daya Air”. Jakarta
38 38
|
EDISI ED DIISSII 02 02 • TAHUN TTA AH AH HU UN XX XX • SEPTEMBER SEP EPTTEEM MB BEER R2 2014 01 0 14 14
Foto: warisandayak.blogspot.com
Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang.” Jakarta
N
umbers of studies have shown that the causes of death are different between developed and developing countries. Among others, medical technologies and healthy lifestyle, as such smoking habit, are becoming important factors for longer life expectancy in developed countries. Infec ous diseases can be detected and treated. On the other hand, in low income countries, infec ous diseases and malnutri on are leading diseases. As the income level of poor countries increase, the causes of death also shi – lower infec ous diseases, or it is also known as epidemiological transi on.
been declined. Further, number of HIV/AIDS infec ous is not considered high, comparing to Sub-Saharan Africa. On the other hand, chronic diseases, such as diabetes, heart disease and cancers, are increasing. Yet, interes ngly that maternal mortality rate in Indonesia is s ll high, in fact it has increased. According to Indonesian Demographic and Health Survey (abbreviate : SDKI), as of 2012, maternal mortality rate is 359 (per 100,000 live births), or it has increased enormously from 228 as of 2007. It is likely that Indonesia doesn’t follow the pa ern of “epidemiological transi on.”
Indonesia is no longer categorized a low income country. Indonesia is now included in a lower middle income countries group, with an increased life expectancy in the last years. Thus it is likely that the country is experiencing an epidemiological transi on. On one hand, children and infant mortality, and malaria infec ous have
Poten al indirect factors of maternal mortality are income level, female educa on level, and wife bargain power within households. Direct factors of maternal mortality are supply side, including numbers of health facili es and trained medical providers, and demand side, including antenatal and postnatal care. In this proposal, I
1
The research proposal is prepared for Popula on Economics Class (Econ 380/510)
2
The author is a Center for Development Economics (CDE) fellow, Williams College, Class Year 2014
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
63
es mator for mills lambda for overall test group and male head test group implies that there was sample selec on biased on the model that have been taken care by the Heckman model. While the insignificant mills lambda ra o for female head test group means that there was much less severe sample selec on problem when we confine the observa on just for female had.
preference significantly converges from formal sector and no working to informal sector. Even in the case for public sector workers, when receiving remi ance, female head of households swi away to informal workers. For male head of households, the result is different. Remi ance insignificantly affects working sector preference. For male, public sector worker rigidity theory is prevailed.
Table 4.10. Heckman Regression Total Hours Worked (choice equa on)
A er sample selec on problem were solved, remi ance seems to significantly affect total hours worked for only female head of household. For every 10 point of increase in the rela ve remi ance per capita, total weekly hours worked for female head is reduced by 19.9 hours from their mean. Again, similar with the first model, male head of household total working hours is insignificantly affected by remi ances.
(7) (8) (9) IVHeckman IVHeckman_F IVHeckman_M work Female Age Age2 Married urban ReadWrite Schoollevel linc_pc formalsec workerra o N_Immigrants TChildLT6 TChild7_14 r_remi ance_pc_IV _cons mills lambda
-0.924*** (0.0378) 0.0814*** (0.00867) -0.00108*** (0.0000995) 0.0942** (0.0342) -0.324*** (0.0344) -0.0707 (0.0581) -0.0439*** (0.0130) 0.00210 (0.0163) 1.313*** (0.0440) 2.855*** (0.0807) -0.00754 (0.0401) 0.244*** (0.0170) 0.215*** (0.0142) -0.203*** (0.0377) -1.506*** (0.201)
0.0890*** (0.0139) -0.00117*** (0.000158) -0.00666 (0.0774) -0.0421 (0.0526) 0.0656 (0.0958) -0.0302 (0.0222) 0.00911 (0.0289) 1.946*** (0.0953) 3.389*** (0.134) 0.0590 (0.0563) 0.199*** (0.0264) 0.257*** (0.0224) -0.100* (0.0430) -3.323*** (0.348)
0.0735*** (0.0113) -0.000980*** (0.000131) 0.148*** (0.0396) -0.519*** (0.0462) -0.186* (0.0765) -0.0565*** (0.0164) 0.0123 (0.0203) 1.027*** (0.0491) 2.411*** (0.102) -0.0390 (0.0565) 0.275*** (0.0237) 0.190*** (0.0192) -0.249*** (0.0670) -0.998*** (0.256)
-5.809*** (1.179)
-1.380 (2.210)
-5.853** (2.060)
CONCLUSION Using the large 2006 LSMS data, this paper tried to carefully examine the impact of remi ance to labor supply in Honduras. Overall, the finding shows that the impact of remi ance to labor supply is likely to vary depend on the head of household gender. Remi ance affects female head working sector preference. Female head of household
62
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
More detailed data on informal sector breakdown are needed to be er understand the exact mechanism of female head convergence shi ing. The finding in this research is robust and persistent, but also it contrasts with the common belief of public sector rigidity. Public sector rigidity theory claims that public sector workers tend not to move away to other sector. Public sector is known as highpaying job and provides good working benefits. Hence, it is unlikely that people forgo their job because it is uneasy to a ain. There might be a country-specific phenomenon which explains female head of households in Honduras shi away from public workers to informal workers in the presence of remi ances. Panel data would be an ideal case to carefully examine the impact on labor supply. First difference would be the best technique to prevail the true es mator of the objec ve variables. Other limita on of this paper is that the dataset that I used only contain head of household data. It does not taking into account the other family members. Despite the limita ons, this study provides strong evidence to enrich the understanding about migra on and remi ance pa erns. Remi ance affects the labor supply especially for women migra on. However, no policy recommenda on can be made to date. Further research accommoda ng not only the head of household, but all member of household to generate be er beta es mator is need to thoroughly examine the remi ance effects.
Finance is The Essen al Thing in Establishing the Rela onship between State and City but It is not Sufficient : Learning from Asian and European State-City Rela onships By Mohammad Roudo PhD Program in Interna onal Development The University of Birmingham-The United Kingdom
Abstract
M
engambil contoh dari pengalaman beberapa negara di Asia dan Eropa, kami berpendapat bahwa keuangan merupakan faktor yang sangat pen ng di dalam hubungan antara pusat dan daerah atau kota dan negara, walapun keuangan bukan merupakan satu-satunya faktor yang melandasi hubungan tersebut. Kami menyadari bahwa komponen akuntabilitas poli k dan koordinasi yang baik antar aktor menjadi faktor lain yang juga pen ng di dalam hubungan kota dan negara. Selanjutnya, menyadari bahwa keuangan merupakan dasar dari hubungan kota dan negara atau pusat dan daerah, kami juga yakin bahwa hubungan tersebut menjadi lebih dinamis di dalam sistem yang terdesentralisasi ke ka kota mendapatkan kewenangan yang besar dari negara untuk beberapa urusan. Hanya saja di dalam sistem yang terdesentralisasi ini, hubungan pusat dan daerah menjadi lebih unik dan spesial serta seringkali hubungan ini menjadi’memanas’dan berada dalam tensi yang nggi, karena munculnya perbedaan kepen ngan nasional dan lokal yang sangat besar. Keywords: State-Ci es Rela onships, Mul -level Governance, Financial Decentraliza on
INTRODUCTION
T
he urban popula on in the world has increased significantly and is now mostly concentrated in urban centres of Europe and Asia. In 2000, more than half of the global popula on inhabited urban areas in Asia and Europe (Miller and Bunnel, 2012) with this tendency predicted to increase in future (Kotkin, 2005). The rise of globaliza on has exacerbated the challenges faced by ci es in Asia and Europe, simultaneously opening up opportuni es for coopera on and crea ng networks, but also increasing compe on to appear more a rac ve for ci zen and foreigners, as well as for investment and interna onal events (Hall, 2005; Sassen 2005). These complex challenges necessitate urban development and greater budget, but budgets are o en insufficient to fulfil a city’s unlimited needs, so alterna ve revenue genera on schemes are required from city administra ons, or more precariously
demanding more money from state or higher levels of government. As a result, the rela onships between state and city are grounded on the need for finance. In this paper, we argue that finance is the essen al, but not the solitary component in establishing the rela onship between state and city. We acknowledge the importance of poli cal accountability and coordina on as the other complementary components in the state-city rela onship. Recognising finance as the founda on of the rela onship, we also believe state-city rela onship is more dynamic in a decentralized system where ci es receive devolved powers from state but in this system there are unique and increased tensions in the rela onship since the na onal and local interests are o en different.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
39
This paper will begin by defining the concept of the state-city rela onship through the concept of mul level governance. In this part, two main types of statecity rela onships, centralized and decentralized, will be iden fied. In the second part, the roles of finance in state-city rela onships will be defined. It also explains the complexity and tensions in state-city rela onship in a decentralized system. In the last part, other components of state-ci es rela ons will be acknowledged including their roles and effects.
STATE CITY RELATIONSHIPS One way to understand the rela ons between state and city is through a mul -level government concept. This concept illustrates how the government func ons are distributed and rules are set to produce mutual benefits for different levels of government (Hague and Harrop, 2010). Based on this concept, two main rela onships can be iden fied. The first is centralized, when the state takes central control over local governments including quasi centralized system such as delega on and de-concentra on. Based on centralized systems in China, Wong (1991) argues that the state manages the overall development with the ci es ac ng only as agents of state that implement the development based on the state’s interests/plan. Rondinelli and Cheema (2007) observe that some Southeast Asian Countries also use delega on where some power is given to ci es/local administra on to run specific func ons (e.g. Special Economic Zones) and de-concentra on when the state transfers power to local personnel outside the state’s agencies without followed by a distribu on of authority and financial power. In contrast, while the size of state can be too big and the span of service is too large, the state has the op on to transfer some powers to ci es to running its func ons through decentraliza on or/and devolu on system. Smith (1985) no ces that the delimita on of territory and transfer of power from state to ci es as two main elements of decentraliza on. Gaubatz (2009) asserts that the state should iden fy its op mal capacity to provide effec ve public services to communi es or the power should be decentralized to fit the op mal range of services offered. Also as noted by Bunnel (et al. 2011) that bringing government closer to communi es with expecta on of be er quality public service is the main jus fica on for the decentraliza on
40
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
process in most Southeast Asian Countries. According to Lockwood’s (2006) regardless of their governmental system, whether unitary or federal, shows that decentralized systems support the preferences/interests of ci es/local government is taken into account. This is in line with the claims by Salim and Kombaitan (2009) based on Indonesia’s prac ces that decentraliza on policy gives more space to local authori es and actors to decide what they want to achieve with their city and how to implement it. From a financial perspec ve, a centralized system refers to the kind of fiscal arrangement when money is s ll administered under the central government’s accountability, while ci es depend on direct funding from the state which is not acknowledged as city’s own revenue. Bahl (2009) points out that during the implementa on of centralized fiscal policy in Indonesia and Pakistan, money was directly disbursed from the state’s account to a city’s residents without any consulta on with local administra ons about their needs. Unfortunately, this grant became the only revenue stream for ci es so it created a dependency where the ci es were reliant on the state. In contrast, decentraliza on is the conceptualiza on of fiscal distribu on from the central to local administra on/ accountability and guaranteeing autonomy for ci es to spend/disburse on their needs. ADB (2008) iden fied that in some decentralized European and Asian Countries, the central government transfer comprises more than fi y percent of local government revenues and is even higher in some countries (e.g. Indonesia seventy percent and Pakistan ninety percent) and is accompanied by the decision making powers to spend money based on their interests. Treisman (2007), based on experiences in Sweden, China and Thailand points out that fiscal decentraliza on is set when ci es has the capacity to generate their own revenues through local taxes (property and adver sement taxes) and charges, with direct access to financing from private markets, selling bonds, and public-private partnerships without any scru ny or need for approval from the state. Fengler and Hofman (2009) also add that in devolved fiscal arrangement, more funding is addressed to ci es/municipali es’ account through intergovernmental transfer but the level of state transfers decreases when more autonomy is given to ci es to raise their own incomes through local taxes and other poten al sources of income.
OLS+IV are the same with the hypothesis. This means, the possible endogeniety and omi ed variable biased which might affect the beta es mator and deviate it from the true beta is not very severe or does not exist at all.
Applying Heckman Correc on Model However, regression using OLS+IV would s ll contain poten al sample selec on bias. In the data descrip on (table 2.2) we know that there is some people in the dataset who is not working. In the OLS, the model simply uses all the observa on regardless the observa on contains working hour or not. Not working people would undershoot the mean value which would cause the biased es mator. Hence, we need to correct this sample selec on bias by predic ng the value how many hours would the no working people had they work using his/her own characteris cs. This model employ Heckman correc on model (Heckman, 1979) to solve the sample selec on problem. From the table 4.9, a er solving for sample selec on using Heckman method, shows the rela onship between hours worked and remi ance per capita along with other
control variables. Rela ve remi ance per capita shows significantly reduces hours worked in the overall and female test groups. In overall test group, every 10 point increase in r_remi ance_pc would reduce 11.6 hours/week from its mean which is 45 hours/week. For female head of household, every 10 point increase in r_remi ance_pc would reduce 19.9 hours/week. When the model is confined to male head of household, I found there is no significant impact of remi ance per capita for men working hours. The other control variables in column (7), (8), and (9) behave very consistent and persistent with in column (4), (5), and (6) when I haven’t include Heckman correc on mechanism. For the second equa on in the Heckman model, when the model predict the hours worked for not working people, I used total number of children and number of family who migrates. Total number of children is significant for both children under 6 year old and children between 7 and 14 year old. However, the total number of family abroad is not a significant predictor of working decision. Mills lambda coefficient in Table 4.10 represents the degree of severity of sample selec on problem. The significant
Table 4.9. Heckman Regression Total Hours Worked (main equa on) Dependent Variable Hours Worked Main equa on Female Age Age2 Married urban ReadWrite Schoollevel linc_pc TotPerhh formalsec workerra o r_remi ance_pc_IV _cons N R-sq adj. R-sq Standard errors in parentheses * p<0.05 ** p<0.01 *** p<0.001
(4) IV -7.778*** (0.458) 0.222* (0.0915) -0.00369*** (0.00107) -1.720*** (0.324) 2.509*** (0.347) -2.176*** (0.587) -1.009*** (0.129) 2.784*** (0.172) 0.603*** (0.0864) 2.224*** (0.328) -3.905*** (0.799) -1.468*** (0.420) 28.63*** (1.974) 14786 0.084 0.083
(5) IV_Female
0.205 (0.250) -0.00425 (0.00288) -3.287* (1.407) 4.355*** (0.958) -3.362* (1.692) -1.935*** (0.361) 4.528*** (0.531) 0.950*** (0.238) 2.079* (1.033) -0.473 (2.301) -2.053* (0.867) 8.844 (5.707) 2879 0.085 0.081
(6) IV_Male
0.220* (0.0963) -0.00351** (0.00114) -1.678*** (0.320) 2.222*** (0.365) -1.894** (0.612) -0.803*** (0.135) 2.505*** (0.173) 0.500*** (0.0918) 2.206*** (0.332) -4.851*** (0.787) -1.215* (0.571) 30.64*** (2.063) 11907 0.058 0.057
(7) IVHeckman -6.340*** (0.546) 0.110 (0.0949) -0.00209 (0.00113) -1.855*** (0.327) 2.957*** (0.361) -2.167*** (0.590) -0.973*** (0.130) 2.828*** (0.174) 0.445*** (0.0923) 0.805 (0.440) -6.700*** (0.987) -1.155** (0.427) 33.19*** (2.195) 17872
(8) IVHeckm_F
0.150 (0.264) -0.00352 (0.00310) -3.284* (1.404) 4.388*** (0.957) -3.347* (1.689) -1.912*** (0.362) 4.531*** (0.530) 0.894*** (0.253) 1.318 (1.596) -1.776 (3.104) -1.989* (0.872) 11.41 (7.028) 4933
(9) IVHeckm_M
0.136 (0.101) -0.00227 (0.00123) -1.824*** (0.326) 2.771*** (0.415) -1.729** (0.619) -0.753*** (0.137) 2.548*** (0.175) 0.375*** (0.102) 1.207* (0.487) -6.821*** (1.055) -0.945 (0.583) 33.76*** (2.352) 12939
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
61
Hours Worked In the second model, I tried to generate the impact of remi ance to total hours worked by the head of household. Total hours worked is arguably the best variable to measure labor supply. Total hours is con nuous variable, not binary variable as in the first model, and hence provide more robust interac on in the model. In anywhere in the world, the magnitude of remi ance impact is measured by how many people works less a er people receive remi ances. Weekly total hours worked is a numeric variable thus provide an easy and be er methodology than working sector choice. For this second model, I use Ordinary Least Squared model to check the rela onship between total weekly hours worked and rela ve remi ance per capita. For control variables, I used the same set with the previous model with small adjustment. The second model contains more control variable than the first model. First, I add Age-squared to show the in linear rela onship between hour worked and worker age. The standard human capital theory o en use this 2 type of measurement for age, even though in the mul colinearity test, both age and age-squared highly correlate with each
other. But I tolerated the mul colinearity problem because it is more important to show the nonlinear rela onship between age and total working hours. The other new control variable that I used is formal sector. I define formal sector as head of household who works in either public or private sectors. For the sake of simplifica on and the similarity in nature of formal sector, I combine these two sectors. Table 4.8 column (4), (5), and (6) is the output of the regression using IV for overall, female head, and male head test group. The objec ve variables (remi ance a er correc ng with endogeniety and omi ed variable) behave not too far from the OLS technique. Rela ve remi ance per capita shows significantly reduces in the overall, female head, and male head test group. In overall test group, every 10 point of increase in r_remi ance_pc would reduce 14.7 hours from its mean 45 hours/week. While when the model confine to the female and male head of household separately, every 10 point of increase in r_remi ance_pc would reduce 20.5 hours and 12.2 hours, respec vely. All of the control variables do not deviate compares to the OLS es ma on without IV. All the expected sign in the OLS and
Table 4.8. OLS+IV Regression Total Hours Worked Dependent Variable Hours Worked Female Age Age2 Married urban ReadWrite Schoollevel linc_pc TotPerhh formalsec workerra o r_remi ance_pc
(1) OLS -8.081*** (0.393) 0.235** (0.0891) -0.00376*** (0.00105) -1.818*** (0.319) 2.508*** (0.342) -2.142*** (0.582) -0.990*** (0.127) 2.733*** (0.156) 0.592*** (0.0799) 2.359*** (0.311) -3.363*** (0.714) -1.613*** (0.171)
(2) OLS_Female 0.234 (0.244) -0.00438 (0.00283) -3.427** (1.266) 4.237*** (0.931) -3.209 (1.678) -1.890*** (0.353) 4.477*** (0.471) 0.877*** (0.207) 2.380** (0.920) 0.533 (1.869) -2.432*** (0.384)
(3) OLS_Male 0.225* (0.0937) -0.00357** (0.00110) -1.665*** (0.319) 2.226*** (0.361) -1.905** (0.607) -0.801*** (0.133) 2.491*** (0.161) 0.496*** (0.0850) 2.242*** (0.323) -4.768*** (0.759) -1.189*** (0.194)
r_remi ance_pc_IV _cons N R-sq adj. R-sq Standard errors in parentheses * p<0.05 ** p<0.01 *** p<0.001
60
|
28.28*** (1.964) 14786 0.089 0.088
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
7.741 (5.640) 2879 0.096 0.092
30.59*** (2.057) 11907 0.060 0.059
(4) IV
(5) IV_Female
(6) IV_Male
-7.778*** (0.458) 0.222* (0.0915) -0.00369*** (0.00107) -1.720*** (0.324) 2.509*** (0.347) -2.176*** (0.587) -1.009*** (0.129) 2.784*** (0.172) 0.603*** (0.0864) 2.224*** (0.328) -3.905*** (0.799)
0.205 (0.250) -0.00425 (0.00288) -3.287* (1.407) 4.355*** (0.958) -3.362* (1.692) -1.935*** (0.361) 4.528*** (0.531) 0.950*** (0.238) 2.079* (1.033) -0.473 (2.301)
0.220* (0.0963) -0.00351** (0.00114) -1.678*** (0.320) 2.222*** (0.365) -1.894** (0.612) -0.803*** (0.135) 2.505*** (0.173) 0.500*** (0.0918) 2.206*** (0.332) -4.851*** (0.787)
-1.468*** (0.420) 28.63*** (1.974) 14786 0.084 0.083
-2.053* (0.867) 8.844 (5.707) 2879 0.085 0.081
-1.215* (0.571) 30.64*** (2.063) 11907 0.058 0.057
UCLG (2009) and Gold (2010) dis nguished two types of central-local rela onship with finance as the main component of the rela onship. These are shown in Figure 1 below.
On the other hand, the state also needs money for their interests that cover inter-city and inter-regional interests such reducing income inequality and minimizing nega ve externali es. Musgrave (1959) and Gruber (2009)
Figure 1.State-Ci es Rela ons : Financial Perspec ves Spending
• •
Revenues •
Centralized / Delega on /De-concentra on State controls spending of ci es/municipali es (e.g. • India, Thailand, The UK, Pakistan, Romania) No/less share of inter-governmental transfer, • mostly comes from direct central grants (e.g. China, Indonesia before decentralized system, Belarus) States control/limit local taxing or other local • revenues (e.g. Bangladesh, Nepal, China,, Bulgaria) •
Decentraliza on /Devolu on Moderate/Complete discre on on spending (e.g. Indonesia post reform, Vietnam) Higher share on central government transfer (e.g. Indonesia post reform, Japan a er trinity reform, Denmark, Germany, Sweden) Ci es can set moderate tax or sharing taxes with states (e.g. Indonesia post reform, the Philippines, France, Belgium,) Ci es have discre on to find other alterna ve sources of income such as borrowing money, bond, public-private partnership (e.g. Korea)
Source : Adopted and Modified from UCLG (2009) and Gold (2010)
ROLE OF FINANCE ON STATE CITIES RELATIONS Finance is required by all levels of governments to do rou ne ac vi es (e.g. salaries and opera onal costs) and development. For ci es, finance is required to provide good public health and educa on services. Davey and Devas (1992), focusing on Southeast Asian Countries, show the minimum amount of money required for urban areas to provide sufficient local health and educa on services to their residents. Looking at Indonesia, Lewis (2003), also no ces that local governments devote more than half of their local budget to supply just the minimum standards on health and educa on. Money is also required by ci es for infrastructure (e.g. roads/transporta on, sewage, clean water, electricity and gas) to ensure their ci es are more compe ve for investment and more a rac ve to interna onal visitors, leading to local economic development and public welfare improvement. Dubai spends billions of dollars building ci es equipped with modern and luxurious facili es and sufficient infrastructure to en ce foreign investors and to establish it as central place of business and leisure (Bagaeen, 2007). Warsaw also devotes a higher percentage of its budget to building infrastructure in promo ng their industries (Ners, 2007). Furthermore, extra money can be spent by ci es on building infrastructure for hos ng interna onal events such as the G20 as well as interna onal sports games like the Olympic Games and the World Cup. Chalkley and Essex (1999) noted that, as the hosts of the Olympic Games, Tokyo and London disbursed huge amounts of finance to pay for building facili es and infrastructure.
discovered that fairness on resource alloca on and income distribu on, economic stabiliza on and overcoming the nega ve external problems over city boundaries are some goals of state when u lizing public money. This is also similar to Kazepov’s explana on (2005) asser ng that maintaining macro-economic indicators and reducing inequality among different regions are the main goals of most states in European Countries. Badcock (2002) and UN-Habitat (2008) also iden fy other state concerns including overcoming nega ve externali es such as pollu on, contagious disease, traffic jams and flooding which extend beyond a city’s boundaries and are o en ignored by ci es. In a centralized system, the state-city rela onship is more constant with lower tension since money will be addressed according to the state’s interests. Like in China’s centraliza on system (Zuo, 2009) na onal goals such as reducing disparity and overcoming nega ve externali es will be priori zed rather than local needs. By contrast, in a decentralized system, regardless of the unitary or federalist system, there is space for local needs alongside na onal interests with equal balance and vice versa as men oned by Wa s (2008) which makes the rela onship more dynamic and poten ally beneficial for both state and city. Some tension can exist since the state’s interests are o en extremely different to what a city needs. If we look at Indonesia’s implementa on of fiscal decentraliza on a balance between local needs and na onal interests can be observed. On one hand, Kris ansen and Santoso (2006) and Robinson (2007) report an improvement
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
41
in the quality of and access to local educa on and health services in Indonesia as well as infrastructure supplied by the ci es to the preference of local people. On the other hand, Strategic Asia (2013) point out the existence of specific block grants (Dana Alokasi Khusus) as a main grant transferred by the central government to ci es/regions account, that can guarantee the fulfilment of all na onal priori es like ensuring good public roads, the decrease of diseases such as HIV and dengue fever, and minimizing risks of pollu on and floods and s ll maintaining the needs of ci es to con nuously develop their industries based on their willingness. A similar experience also occurred in China. A er the implementa on of an ini ally limited decentraliza on system, Qiao and Shah (2006) claim that the state objec ves to con nually promote growth balanced with environmental protec ons can s ll be maintained while simultaneously giving some ci es the flexibility to determine which kinds of industries/services they prefer to provide and the types of infrastructure suitable for the needs of the area. As there are the opportuni es for mutually beneficial rela ons and the rela onship becomes dynamic, the tension in city-state rela onships o en increase since the state’s interests o en contrast with local needs. The needs of Jakarta and Bandung, two big ci es in Indonesia, to build more department stores, shopping malls and villas are o en contrary to na onal interests to protect catchment and green areas, reduce levels of pollu on and prevent flooding that poten ally spreads beyond a city’s boundaries (Firman, 2009). In a decentralized system, the state’s interest is some mes sacrificed by the needs of ci es to generate more of their own revenues which possibly crea ng unexpected outcomes. Firman (2003) explains that the increasing demand of ci es to gain more addi onal revenues in addi on to central government’s grants through a new formula of income sharing, reduces the disparity between rich ci es and the state but it increases horizontal inequality between one city an another city/region. In China, although the needs of ci es are be er accommodated by the state the disparity of wealth amongst ci es/regions a er the implementa on of fiscal decentraliza on policy, doubled shown by high rate of its a Gini Coefficient (Xu, 2011). Furthermore, the high level of fiscal decentraliza on by giving the ability to ci es to borrow from commercial
42
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
sectors without any precise calcula on in the ability of ci es to pay can lead to overall macro-economic instability. Devas and Delay (2008) and Peterson and Annez, (2007) take an experience in the Asian and European countries (e.g. India, the Philippines and Hungary) show the accumula on of ci es’ loan to commercial sectors to run more massive development should be recovered by the state which causes the deficit and instability to overall na onal budget and macro-economic condi on. These create unexpected outcomes which disrupts the rela onship between the state’s interests and local needs. Homme (1995) and Vazquez and Vaillancourt (2013) no ced these fiscal problems as dangers and obstacles to decentraliza on and par cularly to na onal goals.
POLITICAL ACCOUNTABILITY AND COORDINATION AS OTHER IMPORTANT COMPONENTS ON STATE CITY RELATIONS It has been shown that finance is the main component in state-city rela ons and its roles become clearer and more essen al in decentralized system. Nevertheless, this understanding is insufficient to recognise the complex nature of state-city rela onships. We acknowledge poli cal accountability and coordina on as other complementary components which comprise state-city rela onships as shown in Figure 2 below. While poli cal accountability represents poli cal aspects, coordina on reflects the administra ve dimension of state-city rela onships (Bardhan and Mookherjee, 2006). Figure 2.The Rela onship between Finance, Poli cal Accountability and Coordina on on State-Ci es Rela ons
Poli cal accountability is another essen al factor which establishes mutually beneficial rela onships between state and city. The poli cal accountability covers a wide range of sub-components including the poli cal
Tabel 4.6. Working Sector Choice between Private Sector-Informal Sector Dependent Variable : Working Sector Choice
(1) MLE_IV
(2) MLE_IV_F
(3) MLE_IV_M
Private sector to informal sector Female
-0.787*** (0.0623)
Age
Married
urban
-0.0497***
-0.0846***
-0.0437***
(0.00180)
(0.00516)
(0.00207)
-0.315***
-0.0981
-0.343***
(0.0420)
(0.197)
(0.0427)
0.400***
0.560***
0.403***
(0.0444)
(0.128)
(0.0479)
-0.0288
1.042***
-0.211*
(0.0787)
(0.250)
(0.0838)
0.0404*
0.194***
0.00237
ReadWrite
Schoollevel
linc_pc
(0.0176)
(0.0503)
(0.0188)
0.364***
0.613***
0.340***
(0.0235)
(0.0766)
(0.0243)
-0.0396
0.0170
-0.0293
(0.0238)
(0.0718)
(0.0257)
TChildLT6
TChild7_14
workerra o
r_remi ance_pc_IV
-0.00865
0.0782
-0.0208
(0.0195)
(0.0641)
(0.0202)
-0.803***
-1.465***
-0.704***
(0.109)
(0.321)
(0.112)
-0.210***
-0.653***
-0.149
(0.0556)
(0.136)
(0.0758)
-0.334
-2.502***
-0.224
(0.174)
(0.543)
(0.189)
_cons
N
15215
2992
12223
pseudo R-sq
0.165
0.260
0.138
Standard errors in parentheses * p<0.05 ** p<0.01 *** p<0.001
In general, rela ve remi ance per capita affects female working decision and it tend to shi female head away from not working, public, and private sector to informal sector. Such a convergent movement is very strong and persistent when the observa on is confined to female head of household. For men, however, there is no evidence that remi ance affects men’s working sector decision. The es mator for remi ances is not significant in any cases. For men, the public sector rigidity is hold. Male head of household working sector preference is not affected by remi ance.
It is difficult to jus fy the reason why female head prefers to become informal worker rather than formal worker in Honduras. One possible reason is she prefer to nurture her children and willing to forgo her income in the formal sector because she has enough non-labor income from remi ance. The higher rela ve remi ance she received the more it mo vates her to le her formal jobs to become informal worker where she can spend more me with her family. However, I doubt this reasoning and strongly believe the be er explana on is that female wanted to work informally. Here is why. The remi ances she received helped her as a required capital to establish a self-employment. Because of some unknown reasons—one of which probably me flexibility—she preferred informal job to any formal job. According to ACDI/VOCA and USAID field report (2012), the typical of women self-employment in Honduras would be working on farm, growing fresh fruit and vegetables, and becoming an informal broker for such commodi es. My hypothesis is supported by the fact that remi ance also shi s women away from not working to become informal sector worker. If their main aim is to spend more me nurturing her children, why would they becoming an informal sector if they already are not working. Confining the model to female head of household, this model displays a very high pseudo R-squared (0.26) even compares to overall test group where number of observa on is much higher (pseudo R-squared 0.16). When I confine the observa on to male head only, the pseudo R-squared decreased to 0.13. This implies that for female head of household, the explanatory variables succeeded to explain the majority her working sector decision. For men, however, there may exist few le out explanatory variables that could explain men’s working decision. Remi ances and possibly other non-labor incomes highly affect female working sector preference because women decision to work is purely because she has insufficient income. While men, he knew what sector he preferred and his decision to work is not solely to provide income, it might be something else which these sets of explanatory variables failed to expose. That explains the lower level of pseudo R-squared and insignificant remi ance per capita to working sector choice for male head of household.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
59
The second result (Table 4.5) compares the possibility of switching between public sector and informal sector. Rela ve remi ance per capita shows significantly affects in the overall and female head test group. While remi ance is not significantly affect male head test group. Every 10 percent of increase in r_remi ance_pc would induce 3.56% shi ing from public sector to informal sector for overall sample and induce 4.43% for female head test group. These results are very strong findings against the common believe of public sector worker rigidity. Public sector workers are associated Tabel 4.5. Working Sector Choice between Public SectorInformal Sector Dependent Variable : Working Sector Choice
(1) MLE_IV
(2) MLE_IV_F
(3) MLE_IV_M
Public sector to Informal sector Female
0.412*** (0.113)
Age
0.00141
-0.00708
0.00545
(0.00332)
(0.00698)
(0.00430)
-0.203*
0.0220
-0.211*
(0.0820)
(0.246)
(0.0878)
0.660***
0.506*
0.779***
(0.0976)
(0.202)
(0.113)
2.787***
4.302***
2.311***
(0.214)
(0.499)
(0.240)
0.540***
0.828***
0.453***
(0.0283)
(0.0607)
(0.0327)
0.655***
0.888***
0.595***
(0.0481)
(0.104)
(0.0543)
0.0629
0.0357
0.0968
(0.0472)
(0.0991)
(0.0557)
TChild7_14
0.0320
0.200*
-0.00936
(0.0407)
(0.0901)
(0.0459)
workerra o
-1.324***
-1.787***
-1.005***
(0.205)
(0.443)
(0.224)
-0.356**
-0.443*
-0.377
Married
urban
ReadWrite
Schoollevel
linc_pc
TChildLT6
r_remi ance_pc_IV
_cons
(0.133)
(0.197)
(0.203)
-10.39***
-13.29***
-9.657***
(0.393)
(0.888)
(0.452)
N
15215
2992
12223
pseudo R-sq
0.165
0.260
0.138
Standard errors in parentheses * p<0.05 ** p<0.01 *** p<0.001
58
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
with educated, difficult to a ain, and for exis ng worker the job is very unlikely to forgo. In this model, even though male head would not sacrifice his public sector works when he receives remi ances, female head would forgo her works and join informal sectors instead. One possible explana on of this phenomenon is it could be a ributed to the role of husband and wife tradi on in Honduras. Tradi onally, wives are expected to stay at home and raise children while husband go to work to provide for the family. A wife or a mother, is preferably working at home in a micro-scale selfemployment thus she would be able to take care of the children rather than going to work. However, a li le can be conclude from this model as the dataset did not contain any variable explaining self-employment. The other control variables in Table 4.5 show interes ng correla on. Income per capita coefficient shows significant result that more wealthy people are more likely to be work in the public sector. The higher educa on someone possesses would be more likely to work in the public sector as well. While age and total number of children is not significantly affect working sector choice between public and informal sector. The third result (Table 4.6) compares the possibility of switching between private sector and informal sector. Although remi ance insignificantly affects male head working sector choice, remi ance significantly affects overall and female head working sector choice. Every 10 percent of increase in r_remi ance_pc would induce 2.1% shi ing from private sector to informal sector for general sample and induce 6.5% for female head of household. Again, remi ance affects women working sector choice, but not for men. Receiving remi ances, women tend to forgo her formal works, public and private, to work in informal sector. This is indeed a very strong findings because it is not just against the public sector worker rigidity but all of the evidences persistently displayed a convergence towards informal workers. The other control variable in Table 4.6 shows very compelling story about the dis nct characteris c of private sector worker about being young, unmarried, educated and living in urban because variable Age, Married, Schoollevel, and urban significantly affect probability to pick between private and informal sector worker.
commitment and clear division authori es. It is formally s pulated in cons tu on/legisla on and prac cally set through procedures/ norms which regulate actors who will be responsible for par cular ac ons/func ons. Cohen and Peterson (1999) no ced in developing Asian Countries that poli cal accountability covers state commitments, local leaders and actors as well as clear task divisions; it guarantees that administra ve opera ons can run, financial resources can be effec vely and efficiently u lized and stable central-local rela onships can be nurtured. In a centralized system the responsibili es of the central government and mandates given to local governments should be clear. In decentralized system, as the interests of local governments are o en different from the central government’s, it is much more important for clearly divided responsibili es between state and ci es and formal commitments s pulated in legisla on. Strategic Asia (2013) records that since the division of authori es are s ll unclear and a low poli cal commitment from both local and central governments in the provision of basic public services; cases of malnutri on, starving, a lack of a clean water supply, slums, squa ers in Jakarta, Surabaya and many big ci es in Indonesia s ll remain. Shakarishvili and Davey (2005) add that the decentraliza on of healthcare in Central and Eastern Europe (e.g. Georgia, Croa a, Bulgaria) has not been successful since there is less poli cal support from the state as well as an unclear division of health responsibili es between different levels of government. Another important element is coordina on. This is part of public management ensuring that communica on and interac on procedures between different levels of government are set to achieve common goals (Polli and Bouckaert, 2011). Campbell and Denezhkina (2009) label it ver cal coordina on, which explains the rules of the interac ons between different levels of government, dis nguishing it from horizontal coordina on. The failure to overcome the danger of flooding in Jakarta and its surrounding areas was caused by a lack of coordina on between the state and ci es and amongst the ci es. The central government blamed the flooding on the failures of Jakarta to manage their river, while Jakarta claimed it was the failure of the central government and other surrounding areas by allowing people to live in catchment areas which caused the water to overrun Jakarta (Texier, 2008).
In addi on, coordina on between state and city cannot be beneficial for either party if the capacity of state and city employees is low. Blore, Devas and Slater (2004) based on experience of India and some Asian Countries consider that the capacity of local government officers in municipali es is essen al to coordinate the implementa on of decentraliza on policy, effec vely and efficiently in u lizing money, achieves a high performance in delivering local services and maintains beneficial rela ons between the state and municipali es.
CONCLUSION It can be concluded that finance is an essen al component in state-city rela onships. It has a very important role in suppor ng both the state and city to achieve their developmental goals by facing the challenges of urbaniza on and globaliza on. Using a mul -level governance concept, two main types of state-city financial rela onship can be iden fied : a centralized and decentralized system. In centralized systems, the state ghtly controls and scru nizes city spending and revenues and ci es have a high dependency on state grants. Contrary to this, in a decentralized system, the state transfers more funds to the city and to some extent gives discre onary power to the ci es to generate their own revenues. Moreover, the dynamics and complexity of state-ci es rela ons can be clearly felt in a decentralized system, when local needs are taken into account with na onal interests in equal balance, poten ally benefi ng both par es. However, in decentralized system, state-city rela onships are o en tense since there is a conflict of interests caused by the different needs of both city and state. O en, the interests of state should be sacrificed to fulfil ci es’ needs and vice versa. However, the role of finance itself is not sufficient to maintain mutually beneficial and stable state and city rela onships. In this paper, we acknowledge poli cal accountability and coordina on as other equally important components in state-city rela onships, complemen ng financial aspects in building and maintaining be er rela onships between state and city. While the first component is related to the poli cal dimension, the second reflects the administra ve or management aspect of statecity rela onships.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
43
REFERENCE ADB (2008) Managing Asian Ci es : sustainable and inclusive urban solu ons. The Philipines : Asian Development Bank. Badcock, B. (2002) Making sense of ci es : a geographical survey. London : Arnold Publisher. Bagaeen, S. (2007) Brand Dubai : the instant city; or the instantly recognizable city. Interna onal Planning Studies. 12 (2) : 173-197 Bahl, R. (2009) “Promise and reality of fiscal decentraliza on”. In Ichimura, S., and Bahl, R. Decentraliza on Policies in Asian Development. Singapore : World Scien fic, pp.1-26 Bardhan, P., and Mookherjee, D. (2006) “The rise of local governments : an overview.” In Bardhan, P., and Mookherjee, D. Decentraliza on and Local Governance in Developing Countries : A Compara ve Perspec ve. Massachuse s : MIT Press, p.1 –52 Blore, I., Devas, N., and Slater, R. (2004) Municipali es and finance : a sourcebook for capacity building. United Kingdom : Earthscan. Bunnel, T., Miller, M. A., and Phelps, N. A. (et al., 2011). “Urban development in a decentralized Indonesia : two success stories?” In the Joint Conference of The Associa on of Asia Studies (AAS) and Interna onal Conven on of Asia Scholar. Hawaii, 2011.
is associated with having more probability of becoming a migrant. Hence, networking would serve as a great candidate for IV because it directly affects remi ances but not directly affects working sectors decision. Networking only affects working sector decision through remi ance received. Because the LSMS 2006 did not contain any ques on about number of neighbor, friends, rela ves working abroad, I had to construct variable networking based on the availability of the data. I defined network as the propor on of family in the same zip-code who receive remi ance.
Campbell, A., and Denezhkina, E. (2009). “Ver cal and horizontal coordina on in Russian Local Government”. In the European Poli cal Research Consor um Conference. University of Postdam, 11 September 2009. Chalkley, B., and Essex, S. (1999). Urban development through hos ng interna onal events : a history of the Olympic Games. Planning Perspec ves. 14 (1999) : 369 -394 Cohen, J. M., and Peterson, S. B. (1999) Administra ve decentraliza on : strategies for developing countries. Connec cut : Kumarian Press. Davey, K., and Devas, N. (1992) Urban Government Finance : The ins tu onal framework of Urban Management Working Paper No 4. Birmingham : Development Administra on Group, School of Public Policy, the University of Birmingham. Devas, N., and Delay, S. (2008) “Local democracy and the challenges of decentralizing the state : an interna onal perspec ve”. In Coulson, A., and Campbell, A. (ed.) Local Government in Central and Eastern Europe : The Rebirth of Local Democracy. United Kingdom : Routledge, pp. 135-153 Fengler, W., and Hofman, B. (2009) “Managing Indonesia’s rapid decentraliza on : achievements and challenges”. In Ichimura, S., and Bahl, R. Decentraliza on Policies in Asian Development. Singapore : World Scien fic, p. 245-262 Firman, T. (2003) Poten al impacts of Indonesia’s fiscal decentralisa on reform on urban and regional development : Towards a new pa ern of spa al disparity. Space and Polity. 7 (3) : 247-271 Firman, T. (2009) The con nuity and change in mega-urbaniza on in Indonesia : A survey of Jakarta–Bandung Region (JBR) development. Habitat Interna onal. 33 (4) : 327-339
Where is network of household of i, is number of households receiving remi ance in par cular neighborhood area of j, and is total number of households in par cular neighborhood. In dataset, there are four level of neighborhood area that can be u lized to construct this IV. Depto, munic, aldea, caserio represents state, city/ town, village, and zip-code. For this model, I used level 4 neighborhoods (zip-code) and level 3 neighborhoods (village). Level 4 neighborhood is provides informa on from friends or rela ves living in the same zip-code which is crucial to provide informa on for future migra on. However, with the development of technology where people can easily access informa on from their friends or rela ves not too close from their home, level 3 (village) network might serve a good candidate for an IV as well.
overall sampling and male head. Remi ance, nonetheless, shows a significant correla on with working sector choice when I confined my observa on to female head. Every 10 percent of increase in rela ve remi ance per capita would induce 5.45% shi ing from not working to informal sector. The other control variables show significantly affects working sector decision between not working and informal such as : gender, age, log income per capita, total number of children, and worker ra o. Tabel 4.4. Working Sector Choice between Not WorkingInformal Sector Dependent Variable : Working Sector Choice
(1) MLE_IV
Gold (2010) Local Government Finance : the challenges of 21th Century, second global report on decentraliza on and local democracy. Barcelona : United Ci es and Local Government and The World Bank. rd
Gruber, J. (2010) Public finance and public policy. 3 ed. The US : Worth Publisher. Hague, R., and Harrop, M. (2010) Compara ve government and poli cs : an introduc on. 8th ed. London : Palgrave Macmillan. Hall, P. (2005) The world’s urban systems : a European perspec ve. Global Urban Development. 1 (1) : 1-11. Homme, R.P. (1995) The dangers of decentraliza on. The World Bank Research Observer. 10 (2) : 201-210 Kazepov, Y. (2005) “Ci es of Europe : changing contexts, local arrangements, and the challenge to social cohesion”. In Kazepov, Y. (ed.) Ci es of Europe : Changing Contexts, Local Arrangements, and The Challenge to Urban Cohesion” The United Kingdom : Blackwell Publishing, pp. 1-42
Female
0.454** (0.174)
Age
Married
0.0148**
-0.00298
0.0158*
(0.00553)
(0.0124)
(0.00674)
-0.00287
0.230
-0.0299
(0.126)
(0.421)
(0.134)
0.0621
-0.616*
0.248
urban
(0.132)
(0.264)
(0.150)
ReadWrite
-0.367
-0.442
-0.362
(0.229)
(0.521)
(0.259)
Schoollevel
-0.00230
-0.0203
0.00516
(0.0522)
(0.118)
(0.0586)
linc_pc
0.271***
0.313
0.263***
Kotkin, J. (2005) The city : a global history. London : Weidenfeld & Nolson. Kris ansen, S., and Santoso, P. (2006) Surviving decentraliza on? Impacts of regional autonomy on health service provision in Indonesia. Health Policy. 17(2006) : 247-259 Lewis, B.D. (2003) Minimum local public service delivery standards in Indonesia : fiscal implica ons and affordability concerns. Research Triangle Ins tute Interna onal. Available from : h p ://www1.worldbank.org/publicsector/decentraliza on/ Feb2004Course/Background%20materials/Lewis.pdf [Accessed 6 December 2013]
44
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
(0.0640)
(0.160)
(0.0698)
TChildLT6
-0.616***
-0.550***
-0.620***
(0.0715)
(0.164)
(0.0814)
TChild7_14
-0.487***
-0.581***
-0.459***
(0.0570)
(0.142)
(0.0625)
workerra o
-12.53***
-12.99***
-12.59***
(0.508)
(1.041)
(0.587)
-0.131
-0.545*
-0.000976
(0.151)
(0.250)
(0.221)
r_remi ance_pc_IV
_cons
The first result (Table 4.4) compares the possibility of switching between not working and informal sector. The column (1) is when the model applied to overall sample, while column (2) and (3) are when the observa ons is confined to female head of household and male head of household, respec vely. The objec ve variable—which is the remi ance—shows no significant correla on in the
(3) MLE_IV_M
Not working to Informal sector
Gaubatz, K. T. (2009) City-state redux : rethinking op mal state size in an age of globaliza on. New Global Studies. 3 (1) : 1 -211 The mul nomial logit model u lized in this research produced coefficient of the possibility of changing one’s dependent variables would change one’s working sector. Working sector for head of household being define as (i) not working, (ii) working in public sector, (iii) working in private sector, and (iv) working in informal sector. For the purpose of this research, this model will use informal sector as a reference group.
(2) MLE_IV_F
-0.0462
2.008
-0.210
(0.518)
(1.248)
(0.587)
N
15215
2992
12223
pseudo R-sq
0.165
0.260
0.138
Standard errors in parentheses * p<0.05 ** p<0.01 *** p<0.001
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
57
is the dummy variable, =1 if working in informal, =0 otherwise is the n vector characteris cs of household i is the rela ve remi ance per-capita of household i is the unobservable The second equa on : MLE model of probability
read and write, years of schooling, log income per capita, total family member, number of family member living abroad, formal sector, worker ra o, number of children is whether not a household i receiving interna onal remi ance. is the unobservable component of household i is the instrument variable (network) of household i The most important result here is as it would represent the impact of remi ance to the total working hours, assuming all other control are constant (ceteris paribus).
RESULT AND DISCUSSION Working Status Choice Where : probability if not working probability if working in public sector probability if working in private sector probability if working in informal sector vector characteris c include female, age, marital status, urban, read and write, schooling level, log income per capita, total family member, worker ra o, number of children is rela ve remi ance per capita of household i is the unobservable component The most important coefficient es mator is as it would represent the effect of remi ance to the possibility of individual move away to par cular sector, rela ve from their reference sector.
Labor Supply Measurement 2 : Total Weekly Hours Worked Using Two Stage Heckman with IV to solve poten al endogeniety and sample selec on bias.
Where : is hours worked of head of household i vector of household characteris cs include female, age, age-squared, marital status, urban,
56
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
In the first model, I es mated the effect of remi ance to head of household working sector decision. One technique to test working sector decision for the head of household is by mul nomial logit model. This technique produces the coefficients of each objec ve and control variables to the possibility of an individual enter par cular sector. The objec ve variable in this model is rela ve remi ance per capita (r_remi ance_pc), which define as total remi ance received in one household each month divides by income per capita.
Lockwood, B. (2006) “The poli cal economy of decentraliza on”. In Ahmad, E., and Brosio, G. (ed.) Handbook of fiscal federalism. United Kingdom : Edward Elgar. Miller, M. A., and Bunnel, T. (2012) Introduc on : Asian Ci es in an era of decentraliza on. Space and Polity. 16 (1) : 1-6 Musgrave, R. A. (1959) The theory of public finance. New York : McGraw Hill. Ners, K. (2007) “Infrastructure development in Poland : the issues at stake”. In Peterson, G. E., and Annez, P. C (ed. ). Financing Ci es : Fiscal Responsibility and Urban Infrastructure in Brazil, China, India, Poland and South Africa.Washington : The World Bank and Sage, p. 158-182 Peterson, G. E., and Annez, P. C. (2007) “Na onal frameworks to balance fiscal discipline and local investment needs.” In Peterson, G. E., and Annez, P. C (ed.). Financing Ci es : Fiscal Responsibility and Urban Infrastructure in Brazil, China, India, Poland and South Africa.Washington : The World Bank and Sage, p. 27-39 Poli , C., and Bouckaert, G. (2011) Public management reform : a compara ve analysis, new public management, governance and the Neo-Weberian state. 3rd ed. Oxford : Oxford University Press. Qiao, B., and Shah, A. (2006) “Local government organiza on and finance : China”. In Shah, A. Local Governance in Developing Countries. Washington : The World Bank. Robinson, M. (2007) Does decentraliza on improve equity and efficiency in public service delivery provision? IDS Bulle n, 38 (1) : 7-17 Rondinelli, D. A., and Cheema, G. S. (2007) “ Implemen ng decentraliza on policies : an introduc on”. In Rondinelli, D. A., and Cheema, G. S. (ed). Decentralizing Governance : Emerging Concepts and Prac ces. Washington : Brooking Ins tu on Press, pp. 1-20 Salim, W., and Kombaitan, B. (2009) Jakarta : the rise and challenge of Capital. City. 13 (1) : 120-127 Sassen, A. (2005) The global city : introducing a concept. The Brown Journal of World Affairs. XI (2) : 27-43 Shakarishvili, G., and Davey, K. (2005) “Introduc on : trends in reforming the provision and financing of healthcare services in CEE/ CIS regions during 1990s.” In Shakarishvili, G (ed) Decentraliza on in Healthcare : Analyses and Experiences in Central and Eastern Europe in the 1990s. Budapest : Local Government and Public Service Reform Ini a ve and Open Society Ins tute, pp. 1-44 Smith, B.C. (1985) Decentraliza on : the territorial dimension of the state. London : Allen and Unwin. Strategic Asia. (2013) Decentraliza on assessment report. Jakarta : UNDP and Strategic Asia. Texier, P. (2008) Floods in Jakarta : when the extreme reveals daily structural constraints and mismanagement. Disaster Preven on and Management. 17 (3) : 358-372
Where is rela ve remi ance per capita of is monthly remi ance received by household i, household i, is total monthly income in household i, is total number of people living in household i. Employing mul nomial logit, this model may generate biased es mator of the coefficient. There is poten al endogeniety and omi ed variable bias in the model. Thus, to solve these problems, I employed Instrumental Variable (IV). I an cipated to produce unbiased es mators of all betas a er the introducing of IV. The IV which had been used in this model is interna onal networking. Networking or family, friends, or neighbors living abroad plays an important role on the decision to migrate. Having friends or rela ves abroad
Treisman, D. (2007) The architecture of government : rethinking poli cal decentraliza on. Cambridge : Cambridge University Press. UCLG (2009) Decentraliza on and local democracy in the World : First Global Report. Barcelona : United Ci es and Local Government and the World Bank. UN-Habitat (2008) State’s of the world ci es 2008/2009 : harmonious ci es. London : Earthscan. Vazquez, J. M., and Vaillancourt, F. (2013) “An overview of the main obstacles to decentraliza on”. In Vazquez, J. M., and Vaillancourt, F (ed.) Decentraliza on in Developing Countries : Global Perspec ves on The Obstacles to Fiscal Devolu on. The United Kingdom : Edward Elgar, p. 1-22 Wa s, R. L. (2008) Comparing federal systems. 3rd Ed. Canada : McGill Queen University Press. Wong, C.P.W. (1991) Central – local rela ons in an era of fiscal discipline : the paradox of fiscal decentraliza on in Post Mao China. The China Quarterly. 128 (1991) : 619 -715 Xu, C. (2011) The fundamental ins tu ons of China’s reforms and development. Journal of Economic Literature. 49 (4) : 1076-1151 Zuo, X. (2009) “China decentraliza on and its impact on urbaniza on.” In Ichimura, S., and Bahl, R. Decentraliza on policies in Asian Development. Singapore : World Scien fic p. 85-106
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
45
Financing public housing in Indonesia : the role of central government and local governments Case study : Mul -Storey Rental Flats Ira Lubis1 Abstrak
P
emerintah Indonesia melaksanakan program rumah susun sederhana sewa (rusunawa) untuk menyediakan hunian bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menargetkan pembangunan 650 twin blok rusunawa. Pelaksanaan pembangunan rusunawa tersebut menghadapi kendala, baik dalam tahap perencanaan maupun pemanfaataan. Hal ini ditunjukan dari belum terhuninya 39% rusunawa yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada 2003-2009 dan 16% rusunawa yang dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. Penyebab rendahnya keterhunian rusunawa mencakup lambatnya proses pengalihan kepemilikan aset rusunawa dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dak tersedianya infrastruktur pendukung rusunawa dan lemahnya pengelolaan rusunawa secara professional. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pembangunan rusunawa sebaiknya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan menggunakan mekanisme dana alokasi baru atau mendesain ulang Dana Alokasi Khusus Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang telah ada. Mekanisme dana alokasi khusus tersebut sebaiknya berdasarkan outputbased matching transfer dan serta disertai dengan peningkatan kapasitas untuk transformasi unit pengelola rusunawa yang lebih profesional.
INTRODUCTION Providing affordable housings for all ci zens is one of objec ves s pulated in the Indonesia Na onal LongTerm Development Plan 2005-2025. The Government of Indonesia has responsibility to provide housing for all. Most of housing for the upper-to-middle-income households is provided through housing market. However, the lower-tomiddle-income households have more limited choices in the market since they have lower ability to pay. To address this issue, the government provides public housing for lowincome households. The mul -storey rental flat or rumah susun sederhana sewa (rusunawa) is one of central government programs that aims to provide affordable housings for low-income families. In the Na onal Medium-Term Development Plan 2010-2014, the Ministry of Public Housing has responsibility to construct 380 twin towers the Ministry of Public Works
1
46
has responsibility to construct another 270 twin towers of rusunawa. Implementa on of the rusunawa program faces several problems. In the planning phase, both ministries face difficul es in iden fying city/regency governments that are interested and ready to par cipate in the program. City/regency governments are required to prepare land for rusunawa and ensure the availability of water supply, electricity and access road. A er the construc on phase, some city/regency governments face difficul es in u lizing rusunawa since assets transfer from central government to city/regency government is lengthy. In addi on, some of city/regency governments do not allocate enough budgets for opera on and maintenance of rusunawa. Consequently, some rusunawa are deteriorated within a short period of me.
Staf Perencana di Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Jalan Taman Suropa 2, Jakarta 10310. Tel. (021) 319-34819, Email : ira.lubis@ bappenas.go.id.
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Honduras job market characteris c is dominated by informal sector. In 2006, share of informal sector workers was 71%, compared to 58% in Mexico (ISACC, 2009). Honduras is among the lowest rank in the World Bank’s Doing Business Index (DBI). In 2014, its DBI rank is 127th out of 189 countries. Registering and running a formal business en ty have become challenging tasks for Hondurans. The U.S. is also a primary des na on for Honduras migrants. A er the Mitch Hurricane (1998), around 90% of Honduran migrants have been living in the U.S. The remaining 10% sca ered in Canada, Spain, Mexico, and other neighboring countries in Central America. Honduran migrants are dominated by young and low-educated workers. Around 65% of them are aged 15-29 years old and 59% of them have completed primary or lower educa on. Tradi onally, rural Hondurans accounted for about two third of the total migrant. Since 2006, the propor on of rural and urban Honduran migrants has become more equal 50-50 (CEMLA, 2008).
Living Standard Measurement Study (LSMS) This research uses micro-level data from Living Standard Measurement Study (LSMS) of 2006 conducted by the World Bank. The 2006 LSMS dataset consist of basic household characteris cs such as age, marital status, educa on, total member of household, children and adult living in household, total income, total hours worked ability to read/write, region, city, village, zip-code, urbanness. This dataset also contain informa on on interna onal migra on (informa on on receiving remi ance or not, amount of remi ance received, and number of family living abroad) and few other informa on. The survey was randomly collected in April 2006 and amounted to 21,076 head of household. However, since this research aim to examine the impact of remi ance on labor supply, this observa on needs to be confined into working age only. Thus, all observa ons must age 15 to 65 years old. This process dropped a few observa ons and in the end this research used 18,140 observa on—of which 13,141 are male and 4,999 are female (Table 2.1). In terms of receiving remi ances, 3,271 respondents reported receiving remi ance and 14,869 respondents reported not receiving remi ance. In terms of schooling, the mean years of schooling in Honduras is 6.8 years, meaning is majority of head of the household for this sample only finished elementary school.
When comparing working sector profile across gender, there is a clear dis nct difference between men and women. While the percent of not working and working in informal sector is more or less the same, the percentage of individual working in public and private sector is really different. Out of all female head of household in Honduras, 12.68 percent of them work as a public employee, while for male head the figure is about one-half which is 6.43 percent. Most of the men, work in private sector (41 percent), of course a er working in informal sector (50.1 percent). Bo om line, it is unlikely that working sector choice is randomly drawn across gender. Women are more likely to be offered a public worker or women prefer working in public sector rather than any other sectors. The hours worked profile in 2006 LSMS for men is 47.3 hours/week while for women is 39.6 hours/week. The mean of hours worked for the en re popula on is 45 hours/week.
THE MODEL Labor Supply Measurement 1 : Working Sector Choice The first ques on : The following are four separate logit regressions to predict the likelihood of an individual to work in a specific sector. Logit regressions
Where : is the dummy variable, =1 if not working, =0 otherwise is the dummy variable, =1 if working in public, =0 otherwise is the dummy variable, =1 if working in private, =0 otherwise
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
55
In Nicaragua, Funkhouser (1992) argued that increase in remi ance would have nega ve impact on domes c labor force par cipa on but a posi ve impact on self-employment. In accordance with Funkhouser, Woodruff and Zateno (2004) argued in Mexico remi ance increase small enterprise growth investment. Cox-Edwards and Ureta (2003) concluded that remi ance reduce school dropout ra o in El Salvador. Hanson and Woodruff (2003) found posi ve rela onship between receiving remi ance and child educa on. In Philippines, Rodriguez and Tiongson (2001) concluded that remi ance reduces labor par cipa on of the recipient household. Labor par cipa on for men reduces by 9.4 percent while for women it reduces by 18.1 percent. However, when the migrant has ter ary educa on interes ng effects occurs. Labor par cipa on for men reduces by 2.9 percent, while for women increases by 12.4 percent. For women, having a ter ary educa on migrant somehow significantly “inspire” them to par cipate in the working labor. While Acosta (2006) in El Salvador, provides more careful research which controlling possible selec on bias and household wealth, found that remi ance has nega ve effect on child labor and adult female labor supply, but not affects adult male labor par cipa on.
Hypothesis Households receiving remi ance have the luxury of having more non-labor income. Households receiving remi ance also possess the capital required to start a family business and thus may shi people away from being formal employees. Remi ance provides the resources required by the household members and broadens their opportuni es. Thus, the first hypothesis of this model is that remi ance do affects household working choice.
54
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Second hypothesis, remi ance not only increases reserva on wage of the recipient, but also provides household member with constant monthly non-labor income. Even though li le is known about the con nuity of this remi ances—whether these remi ances are permanent or temporary shock—remi ance may affect people decision on how many hours they are willing to work. According to basic income and subs tu on effect theories, people receiving remi ance would trade some of their working hours with more leisure me. Hence, the second hypothesis is remi ance do reduces total working hours.
DATA DESCRIPTION Honduras Socioeconomic Background Honduras is a poor country with a total popula on 8 million people, located in Central America, bordered by Caribbean Sea (north), Guatemala (northwest), El Salvador (southwest), pacific ocean (south), and Nicaragua (east). According to CIA World Factbook, in 2010, 60% of its popula on lives under poverty line. The poverty is more severe especially in the rural areas and among indigenous people in South and West part of Honduras. GDP per capita (PPP) is around USD 4,800. Its economic growth in 20102012 was steady at 3.0-4.0%, which was lower than many developing countries, but was much higher than the 1980’s lost decade. Honduras Human Development Index (HDI) is very low, even compared to their peers. In Central America region, Honduras has the second lowest HDI, outranking only Nicaragua. The U.S. dominate its share in Honduras total export and Foreign Direct Investment (70%). Honduras export accounted for 30% of the GDP and remi ance accounted for more than 20% before it went down because of the 2008 U.S. financial crisis. The remi ance/GDP ra o peaked at 21.5% in 2006 and is 16.1% to date. Historically, they heavily depended on export agriculture commodi es, such as banana and coffee, with low-skilled labor work in agricultural sector. Since the introducing of CAFTADR (Central America-Dominican Republic Free Trade Agreement) in 2006, bilateral trade between the U.S. and Honduras has drama cally increased. Honduras has benefited from export apparel enhancement to the U.S since then.
This research paper aims to analyze current implementa on of the rusunawa program including sharing of responsibili es, procedures of implementa on and problems. Further more, this paper will assess the possibility to decentralize the implementa on of the rusunawa program. The assessment covers expenditure assignment, revenue assignment, intergovernmental transfer and capacity building.
THE MULTI STOREY RENTAL FLAT PROGRAM RUSUNAWA Rusunawa are rented out temporarily to low-income families who cannot afford to buy home in urban area. A flat usually consists of 96 units and area of unit is varied from 24 – 36 m2. For example, a rusunawa in Sleman, Yogyakarta is 5-storey flat that has 96 units, in which each unit is 27 m2 (Picture 1). In the following, I will elaborate more about sharing of responsibili es, implementa on and problems of the rusunawa program.
Responsibili es of Rusunawa Program According to the Government Regula on No. 38, 2007, responsibili es in providing rusunawa are shared among central, provincial and city/regency government. Central government is responsible to allocate budget for construc ng flats, u li es and infrastructure. Provincial government is responsible to construct flats, u li es and infrastructure, and to assist city/regency government in managing and maintaining the flats. City/regency government is responsible to construct the flats, u li es and infrastructure. In fact, not only alloca ng budget, central government is actually construc ng flats in selected loca on with the Ministry of Public Housing and the Ministry of Public Works as implemen ng agencies (Table 1). The ministries are also in charge in establishing regula on and standard as well as conduc ng monitoring and evalua on. Provincial government is involved in planning, especially selec ng eligible city/regency governments as well as monitoring and evalua on. Though city/regency governments are involved in u lizing, opera ng and maintain the flats a er the assets are transferred from central government to city/regency governments, involvement in planning and budge ng process is limited to preparing and submi ng proposal to be eligible as program recipients. Source : h p://rusunawa.slemankab.go.id
rather every member works fewer hours than before. Overall, migra on reduces working hour. The simple OLS regression, suggest the migrant sending household tend to work less than non-migrant sending household. The migrant sending household work 5.99 hour/week less than non-migrant sending household (mean 75 hours/ week). When the authors included the IV, migrant sending household works even fewer (26.34 hours/week less) than non-migrant sending household. However, when the analysis considering only female migrant, the migrant sending household does not reduces the working hour.
Procedures in Implemen ng the Rusunawa Program
Picture - 1a. A Mul -Storey Rental Flat in Sleman
The Ministry of Public Housing and the Ministry of Public Works have their own procedures in implemen ng the rusunawa program. In general, the procedures consist of six steps from submi ng city/regency government proposal to opera ng and maintaining the flats (Picture 1b).
Table - 1. Current Shared Responsibility among Levels of Government Actor Ministries Provincial government City/regency government Users Source : several sources
Provision Planning & Financing Budge ng v v v V v
Produc on Cons Asset truc on Transfer v v
U liza on Opera on & Occupancy Maint-enance
v
v v
Policy Regula on & Monitoring & Standards Evalua on v v v v v
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
47
Picture - 1b. Procedures and Steps of Implemen ng the Mul -Storey Rental Flats
Step1 - Preparing and Submi ng Proposal. Before construc ng the flats, the ministries need to iden fy city/ regency governments that need and want to have mul storey rental flats located in their region. The ministries call city/regency governments to prepare and submit proposal as part of the selec on process. The proposal has to reflect local governments commitments to provide land, to allocat matching funds, to ensure availability of u lity and infrastructure, to ease building permit process and to ensure the u liza on, opera on and maintenance of constructed flats. Step 2 – Verifying the Proposal. The ministries will verify the proposals by conduc ng field visits. The verifica on aims to check the validity of proposal and the readiness of city/regency governments. During the verifica on, the Ministry of Public Works also involves provincial government. Step 3 – Defining Program Recipients. Based on verifica on results, the ministries determine eligible city/ regency governments as program recipients every year. In this step, the ministries, provincial and city/regency governments will sign an agreement that cover shared tasks and responsibili es in financing, construc ng, opera on, maintaining and asset management. Step 4 – Construc ng Rusunawa. Based on this agreement, the ministries will execute the procurement for Detailed Engineering Design (DED) and construct rusunawa. Step 5 – Transferring Asset. A er construc on, the ministries will send requests to the Ministry of Finance to process assets transfer of rusunawa from central government to local governments. Step 6 – Opera ng, Maintaining and Managing. A er the asset has been transferred, city/regency governments
48
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
are responsible to u lize, operate, maintain, manage and finance rusunawa. During this phase, city/regency governments need to establish a management unit that will be responsible on day-to-day opera on. The management units are usually under responsibility of local departments, such as Public Works Department or Dinas Pekerjaan Umum. City/regency governments could impose user charges to the flat’s tenants.
could improve income inequality. Another thought is that remi ance affects human capital accumula on in terms of children’s schooling-enrollment and schooling-a endance. Remi ance received by households prevents child labor and provides more resources to finance children tui on fees and schooling supplies. The aim of this paper is to focus on the impact of remi ance on labor supply. Focusing on labor supply, this paper tries to specify the possible route of remi ance effects, finds the correct labor supply variables, selects the correct control variables, solves the possible sample selec on and endogeniety problem, and eventually interprets the result and understanding the limita on of the model.
The Framework Model As explained, there at least three routes of remi ance effects on the economy. Figure 1.1 helps to explain basic conceptual framework of the models that are used in this paper. Figure 1.1. Basic Framework of the paper
Problems in Implemen ng the Rusunawa Program Not all rusunawa are u lized a er the construc on phase. It is a classic problem that has happened in implementa on of the rusunawa program since 2003. According to data from the Ministry of Public Works, there are s ll 39% of unu lized rusunawa that were constructed between 2003-2009. Even more, roughly 85% of rusunawa constructed by the Ministry of Public Works in 2010-2011 were not u lized.While, according to data from the Ministry of Public Housing, 16% of rusunawa were not u lized. Three causes of low u liza on of rusunawa are iden fied. First, not all rusunawa have been transferred to city/regency governments. The Ministry of Finance is processing the transfer of 159 out of 393 twin towers rusunawa constructed from 2003-2012 by the Ministry of Public Works. The transfer asset from central government to city/regency government is a lengthy process because the Ministry of Finance has to undertake several steps, such as asset valua on, administra ve checking and technical assessment. Moreover, if the value of rusunawa is between
This paper focuses on labor supply by using two main variables which are: decision to work and total hours worked. These two main variables are the main objec ve variables or Le Hand Side (LHS) variable, while remi ance and other control variables are the independent variables or Right Hand Side (RHS) variables.
LITERATURE REVIEW There are considerable amount of research covering interna onal migra on and remi ance. All studies selected here are the one which uses current microeconomic survey data on the period between 1990 and 2014. Since countries receiving remi ance are not only La n American and Caribbean (LAC), the literature review presented here is not limited to LAC (Mexico, El Salvador, Nicaragua, Dominican Republic), but several countries as well such as in Central Asia (China, Tajikistan), South Asia (India), SouthEast Asia (Philippines, Indonesia), and also from Middle East (Lebanon) and Africa (Ghana). In spite of many micro level data being used, none of them—except one—using panel data, which is a small drawback of this research. Adams (2010) on his review of the economic impact of remi ance and interna onal migra on claimed that migra on and remi ance tend to reduce labor supply and par cipa on of migra ng sending household. He argued remi ance increases preserva on wage and provides startup fund to create family businesses. In Mexico, Pfeiffer and Taylor (2008) found female migrant associate with less educa on spending than those with male migrant. Guzman et al. (2008) found in Ghana, household receiving remi ance from female have higher expenditure on health, but lower expenditure in educa on and food. However these ar cles in Mexico and Ghana did not taking into account for possible endogeniety problem. Acosta (2011) tried to use panel data in rural El Salvador to be er explain and overcome reverse causality, sample selec on, and omi ed variable problem. He concluded that male migra on has null to slightly posi ve effect on children enrollment ra o while female migra on has the opposite effect. Cabeign (2006) using two stage probit model found in Philippine, remi ance reduces the probability to work full me for both married man and woman. Nguyen and Purnamasari (2011) using Indonesia Family and Life Survey (IFLS) 2007, found that parallel with most of the literature reviews, interna onal migra on has a nega ve impact on average labor supply of remaining household members. In detail, this is not the case of household head withdraws from the labor force but
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
53
The Impact of Remi ance on Labor Supply by Gender Case Study : Honduras
Rp 10 -100 billion, approval from President is required. When the assets are not transferred, it creates opera on and maintenance lag because the ministries do not always allocate budget for opera on and maintenance and city/ regency governments are not allowed to allocate budget if the assets are not owned by them. Consequently, rusunawa are easily deteriorated in the short me.
Istasius A. Anindito1 Abstract
T
ujuan dari makalah ini adalah melakukan inves gasi tentang bagaimana migrasi internasional dan remitansi mempengaruhi suplai tenaga kerja di negara pengirim mirgan. Penulis menggunakan data Living Standard Measurement Survey (LSMS) Honduras tahun 2006 yang diperoleh dari Bank Dunia dan melakukan metode two-step instrument variable (variabel instrumen dua tahap), yakni menggunakan data koneksi migrasi, serta menggunakan Heckman correc on model (model koreksi Heckman) untuk menghasilkan korelasi yang dak bias antara remitansi dan suplai tenaga kerja. Makalah ini menyimpulkan bahwa dampak dari rumah tangga penerima remitansi bervariasi tergantung dari jender kepala rumah tangga. Dalam hal pilihan sektor pekerjaan, kepala rumah tangga wanita penerima remitansi akan cenderung berpindah dari sektor formal dan pengangguran menuju sektor informal. Namun fenomena ini dak terjadi di rumah tangga pria penerima remitansi. Bagian kedua dari peneli an ini mempelajari dampak remitansi kepada jumlah total jam kerja. Setelah memper mbangkan dan memperbaiki sample selec on bias dan masalah endogenitas, model menunjukkan bahwa remitansi secara signifikan mengurangi jumlah total jam kerja bagi kepala rumah tangga wanita. Namun, lagi-lagi, remitansi dak mempengaruhi jumlah total jam kerja bagi kepala rumah tangga pria. Kata Kunci : Remitansi, suplai tenaga kerja, pilihan lapangan pekerjaan, total jam kerja, mul nomial logit, model koreksi Heckman, variabel instrumen
Second, even though local governments have commi ed to provide water supply and electricity in the agreement, some rusunawa are s ll not connected to water supply and electricity. For example, rusunawa in Surabaya and Jepara could not be u lized because the flats are not connected to water supply and electricity. Third, rusunawa are poorly managed due to the absence of professional management unit and sufficient financial resource. City/regency governments usually impose low user charges to the occupants, which could not cover opera on and maintenance cost. Moreover, revenue from user charges could not be directly allocated for opera ng and maintaining rusunawa since all revenue must be transferred to local revenue office (Picture 2). Meanwhile, the annual planning and budge ng process in city/regency governments might not always guarantee a sufficient budget allocated for the rental flats. Without sufficient financial resource, the rusunwa management unit could not repair breakdowns in mely manner.
INTRODUCTION What is remi ance?
The effect of remi ance
Remi ance is a transfer of money by interna onal migrants to individuals or households in their home country. In many of developing countries, remi ance has played an increasingly important role and becoming an integral part of their economics. According to the World Bank (2010), interna onal remi ance accounts for about one third of total global external finance. For some countries in La n American and Caribbean (LAC) it accounts for more than one fi h of their GDP. Increasing amount of remi ance received by the developing countries affects the economy of the recipient countries in many areas, such as: labor supply, income inequality, and human capital accumula on.
Remi ance affects labor supply through increasing the lowest wage rate at which household member would be willing to accept a par cular job (reserva on wage). In some cases, remi ance tends to shi people from being employees to become a self-employed, while in other case it completely shi s people away from labor market. Remi ance can also affect income inequality. A considerable amount of research has tried to examine the net impact of remi ance on overall inequality map. Some believe that remi ance improves income inequality because the recipients of remi ance are not randomly drawn from the popula on; instead migrants are more likely coming from poorer households. Hence, remi ance
1
52
Picture - 2. Flows of User Charges and Opera on & Maintenance Budget
ASSESSMENTS OF THE RUSUNAWA PROGRAM Expenditure Assignment The rusunawa program should be implemented by city/ regency governments rather than by central government, as regulated by the Government Regula on No. 38, 2007. There are five reasons why city/regency governments are more suitable for this expenditure assignment. First, the rusunawa program do not generate spillover effects across city/regency government’s jurisdic on. As argued by Robin Boadway and Anwar Shah, when the infrastructure generates benefits in local scale, the provision of this infrastructure should be decentralized to local level (Boadway, R., Shah, A, p. 147). Second, local governments are likely be er informed on demand and need of rusunawa than the ministries; therefore, the local governments will be more capable in responding different demands and needs (Boadway, R., Shah, A, p. 127). Even though the ministries have collected informa on and assessed local needs by calling proposals from local governments, the ministries s ll have limited me and resources for checking and verifying the validity of informa on. Even more, the agreement among central, provincial and city/regency governments is not enough to guarantee that city/regency governments are able to acquire land and to provide u li es in mely manner as shown by many rusunawa have not been connected to water supply and electricity. Third, city/regency governments might be more effec ve in implemen ng the rusunawa program since they will be able to integrate the program with other related programs, such as slum upgrading program. As argued by Boadway and Shah, “decentraliza on may lead to improvement and innova on in program design and program delivery because of the opportuni es and constraints faced by state-level decision makers.” Fourth, if city/regency governments implemen ng the program, it will reduce administra ve costs of verifica on and transfer asset process since the assets of rusunawa will be directly own by city/regency governments.
Author is a staff from directorate of industry, science-technology and tourism-crea ve economy BAPPENAS and alumni of Graduate Program in Economic Development, Vanderbilt University
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
49
Finally, implemen ng the rusunawa program by city/regency governments will improve accountability and asset management. Unlike current mechanism which core responsibili es are fragmented (the ministries are responsibility to construct the building and city/regency governments are responsible to acquire land and to operate and maintain the flats), keeping the whole core responsibili es will force local governments to be be er in matching capital and opera onal/maintenance expenditures (GTZ, p. 17).
Assessment of Revenue Assignment Based on the benefit principles, costs of providing rusunawa should be borne by beneficiaries. Two groups, at least, will benefit from rusunawa. First, low-income families who rent the flats will get direct benefits because of be er housing and living condi on. Second, neighborhood around the flats will get benefits due to increasing property value. These two groups should bear the cost of providing the flats. Costs of providing rusunawa include investment, opera ng and maintenance costs. Table 2 provides es ma on costs for construc ng rusunawa in Surabaya, East Java. The investment cost should be paid by neighborhood because they will benefit from the existence of rusunawa. However, since it will be difficult to iden fy neighborhood’s willingness to pay, local taxes will be more efficient to finance the investment cost than user charges. The tenants should pay the opera onal and maintenance costs by imposing user charges. As argued by Richard M.Bird, user charges should be levied on the direct recipients of benefits, not only for genera ng revenue but also for be er efficiency in using resources. If the tenants’ ability to pay could not cover the en re opera onal and maintenance costs, city/regency governments could provide subsidy. Table - 2. Rusunawa’s Cost Structure in Surabaya, East Java Cost Structure Investment costs Opera onal costs per year Maintenance costs every 5 year
Rp (million)
$ (Million)
24,421.90
2.4
67.2
0.0067
248.5
0.024
Source : http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-14743presenta onpdf.pdf
50
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Possibility of Using Intergovernmental Transfers Local governments receive intergovernmental transfers (block and condi onal transfers) to finance their expenditures. They could use these transfers to finance the rusunawa program. However, only DKI Jakarta has implemented the program by using its own local budget. It is shown that implemen ng the program is not city/ regency government’s priority and the investment costs might be too expensive for some city/regency governments, which is almost 21% of total expenditure for housing and public u li es in average. Meanwhile, current condi onal transfer for housing sector, Dana Alokasi Khusus Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, could not be used to implement the rusunawa program because this transfer only can be used for construc ng housing u li es such water supply and wastewater treatment. Since providing affordable housing for low-income families is one of central government priori es, central government could establish a new condi onal transfer or redesign the current condi onal transfer to finance the mul -storey rental flat program. Condi onal transfer could be used to provide incen ve for government to implement specific program or ac vi es that are central government’s priori es (Shah, p. 4). There are two types of condi onal transfers : nonmatching transfer and matching transfer. Unlike matching transfers that require local governments to match the transfers to some degree, nonmatching transfers give funds without local matching as long as local governments use it for a par cular purpose (Shah, p. 4). Both of these transfers have their advantages and disadvantages (Table 3). Comparing the advantages and disadvantages, the rusunawa program should be financed by matching transfer. The transfer should be based on output-based condi onality instead of input-based one because it will give local governments more flexibility for designing and implemen ng the program.
Capacity Building for Local Governments Providing an intergovernmental transfer for implemen ng the rusunawa program should be followed by improving local governments capaci es, especially related to asset management. As discussed before, one of problems is that the program is poorly managed due to the absence of professional management unit and sufficient
Table - 3. Advantages and Disadvantage of Nonmatching and Matching Transfers Type
Advantages
Disadvantages
Nonmatching Transfer
It does not distort local priori es that could lead to inefficient alloca on in the targeted expenditure area.
Might provide less incen ve for local governments to ensure budget for opera on and maintenance.
Matching Transfer
It provides greater scru ny and local ownership of grantfinanced expenditures.
It could create burden for a local government that has limited fiscal capacity.
Source :
Anwar Shah. A Prac
oner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers
financial resource. Therefore, it is important to enhance local governments’ capacity, par cularly the rusunawa management units. There are several ways to improve these management units. First, central government could provide trainings and assistances to the rental flat management units. Second, central government could provide assistances to local governments in exploring and developing alterna ve management models for rusunawa. For example, local governments could establish a local government owned company to manage all flats, which would provide be er autonomy to manage revenue and expenditure directly.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS Based on previous discussions and analysis, the rusunawa program should be implemented by city/regency governments instead of central government. Shi ing this expenditure assignment will lead to be er u liza on of the flats, reduce administra on cost and avoid lengthy asset transfer. Central government should consider establishing a new condi onal transfer or redesigning the current condi onal transfer to finance the mul -storey rental flat program. In this case, I suggest using an output-based matching transfer. Providing capacity development is also important in order to gradually introduce professional management in the mul -storey rental flats.
REFERENSI Bahl, R. (2000). Intergovernmental Transfers in Developing and Transi on Countries : Principles and Prac ce. The World Bank. Bird, R. M. User charges in local government finance. Boadway, R., Shah, A. Fiscal Federalism Principles and Prac ces of Mul order Governance. Deutsche Gesellscha für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. (2009). Func onal Assignment in Mul -Level Government. Volume I : Conceptual Founda on of Func onal Assignment. Fisher. Chapter 8. Pricing of Government Goods – User Charges. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Na onal. (2013). Evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014. Retrived from h p ://www.bappenas.go.id/files/1613/7890/3140/Buku-EvaluasiParuh-Waktu-RPJMN_Bappenas.pdf Ministry of Public Work. (2012). Rusunawa komitmen bersama penanganan permukiman kumuh, 2012. Retrieved from h p ://ciptakarya.pu.go.id/bangkim/v2/download/ebook/Buku_Rusunawa_2012. pdf?iframe=true&width=1400&height=650#page=1&zoom=auto,0,124) Shah, A. A Prac oner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers. The Ministry of Public Work. Retrieved from h p ://ciptakarya.pu.go.id/v3/?act=vin&nid=1549 The Ministry of Public Work. Retrieved from h p ://ciptakarya.pu.go.id/v3/?act=vin&nid=1246
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
51