daftar isi
Perempuan Bergerak Edisi IV Oktober Desember 2011
warta komunitas Orang Miskin Dilarang Sakit
15
sosok Jaminan Sosial Milik Siapa?
16
bedah buku Hak Rakyat Berobat Gratis
18
bedah film
20 Hidup Sehat Hak Semua Orang! puisi rembug perempuan Adakah Jaminan Sosial Bagi Rakyat?
3
fokus utama Sistem Jaminan Sosial Nasional: Jaminan Setengah Hati Bagi Perempuan
4
opini Ilusi Jaminan Sosial Negara
6
perspektif Era (Masalah) Baru Penyejahteraan Warga
9
warta perempuan Mana Tanggung Jawab Negara?
12
22 Orang-Orang Miskin
Sajak Orang Kepanasan
pojok kata 23 Jaminan Sosial 23 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 23 Asuransi Sosial 23 Tabungan Wajib 23 Bantuan Iuran 23 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 23 Dana Jaminan Sosial 23 Peserta 23 Manfaat 23 Iuran 23 Pekerja 23 Pemberi Kerja 23 Gaji atau Upah 23 Kecelakaan Kerja 23 Cacat 23 Cacat Total
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina, Enita Multina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi : Enita Multina Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 021-7902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
2
Perempuan Bergerak | Edisi IV | Oktober - Desember 2011
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 3 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Sementara itu dalam pasal 34 ayat 2 menyatakan bahwa, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Untuk itu, hak tiap warga negara untuk mendapatkan jaminan sosial dari negara tanpa ada diskriminasi, serta negara wajib menjaminnya. Jaminan sosial juga ada dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952, yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada tiap tenaga kerja. Pada 19 Oktober 2004, Indonesia melahirkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ada lima jaminan yang tercantum dalam undang-undang ini, yakni: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Undang-undang ini juga mengatur tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (pasal 5) dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (pasal 6). Berdasarkan Pasal 5 ayat 3, ada 4 badan penyelenggaran jaminan sosial di tingkat nasional: Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Tujuh tahun sudah undang-undang tersebut disahkan, tetapi hingga hari ini rakyat tidak merasakan adanya jaminan sosial yang menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah memberikan Jamkesmas sebagai bentuk jaminan sosial, tetapi media massa kerap memberitakan bagaimana banyak pasien ditelantarkan pihak rumah sakit, mengusir hingga merawat di emperan rumah sakit, yang menyebabkan nyawa pasien melayang karena tak mampu membayar bea administrasi. Prosedur berbelit-belit harus dilalui rakyat untuk mengakses Jamkesmas. Lalu, masih bergunakah UU Jaminan Sosial Nasional guna melindungi rakyat? Perempuan Bergerak edisi kali ini, melihat bagaimana carut-marutnya jaminan sosial di Indonesia dan minimnya komitmen perlindungan negara terhadap rakyatnya. Semoga pembahasan ini bermanfaat dan meningkatkan pengetahuan kita bersama. Selamat membaca!
rembug perempuan
Adakah Jaminan Sosial Bagi Rakyat?
Jakarta, Desember 2011
Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
3
fokus utama 4
Sistem Jaminan Sosial Nasional: Jaminan Setengah Hati Bagi Perempuan Pengantar
S
istem jaminan sosial merupakan sistem sosial dan ekonomi yang terkait dengan kepentingan vital seluruh anggota masyarakat agar terjaga kemantapan sosial dan pengembangan promosi ekonomi. Sistem ini dirancang untuk menyediakan kompensasi material atau bantuan untuk mengatasi berbagai kesulitan di dalam hidup mereka ataupun bencana yang tidak diharapkan. Sistem jaminan sosial, dalam bentuk keselamatan sosial, adalah produk revolusi industri dan skala produksi sosial yang besar, serta hasil kekuatan produktif yang berkembang sampai batas tertentu. Ketika Inggris mendarat di jalur industrialisasi, kaum tani mengalir ke kota-kota serta jumlah kaum miskin kota meningkat secara drastis. Saat yang bersamaan, kantung-kantung klas buruh meluas secara cepat, gerakan buruh berkembang hari demi hari. Dengan latar belakang ini, tahun 1830, Inggris menggodok Hukum Bantuan Kaum Miskin, dengan cara uang yang dihasilkan sebagai nilai lebih klas buruh diberikan kepada mereka. Suatu sistem sosial dan ekonomi yang baru yang membawa sistem jaminan sosial memulai perannya. Akhir abad 19, klas buruh Jerman berjuang lama melawan kapitalisme dalam rangka memenangkan manfaat ekonomi untuk mereka, hak-hak pekerja dan kepentingannya. Dalam usaha melemahkan kontradiksi klas dan perpecahan di kalangan organisasi buruh sendiri, Jerman berhasil merumuskan aturan jaminan sosial antara tahun 1883-1889. Kemudian beberapa negara Eropa juga mengikuti upaya demikian. Kelahiran jaminan sosial ditandai dengan masuknya sistem jaminan sosial ke tahap yang lebih maju. Selama periode krisis ekonomi tahun 1929-1933, dalam rangka menghapuskan kontradiksi klas dan memulihkan luka ekonomi, Partai Demokratik Swedia yang berkuasa memperkenalkan serangkaian ukuran kesejahteraan untuk menyesuaikan redistribusi pendapatan nasional dan mempersempit jurang penerimaan tiap orang. Ukuran-ukuran tersebut kemudian menjadi dasar teoritik bagi negara kesejahteraan menerapkannya di Swedia. Tahun 1933, sebagai upaya menghentikan krisis ekonomi dan menghapuskan kontradiksi modal kerja, presiden Amerika Serikat, Roosvelt, mengajukan agar negara memperkenalkan tindakan pemulihan masyarakat, jaminan sosial dan kesejahteraan sosial. Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
Kongres Amerika Serikat mengadopsi Hukum Jaminan Sosial tahun 1935, hukum tersebut diserap oleh pemerintahan Federal dan dibawah koordinasi Kesepakatan Baru Roosvelt. Hal ini berarti memperkenalkan Keynesianisme, yang mendorong campur tangan pemerintahan, merangsang dan memperluas kebutuhan masyarakat, serta mengentaskan dan menghapuskan krisis ekonomi yang disebabkan oleh produksi-berlebih (over production). Ini ditandai dengan kelahiran suatu sistem jaminan sosial yang benarbenar modern. Pasca Perang Dunia Kedua, negara-negara Barat, didorong oleh kehadiran kekuatan sosialis dan dibawah tekanan perjuangan klas buruh di masingmasing negara, melembagakan sistem jaminan sosial yang lebih menitikberatkan pada keuntungan-keuntungan material. Inggrislah yang pertama menyatakan pembentukan ‘negara kesejahteraan’ bagi seluruh warga negara mulai dari ‘momongan sampai meninggal’, yang dipastikan oleh jaminan sosial, yang mengikuti Eropa Barat, Eropa Utara, Asia dan Oseania, yang secara eksklusif menerapkan suatu ‘kebijakan kesejahteraan universal’. Saat yang bersamaan, negara-negara sosialis Eropa Timur dan Asia, mengikuti model Uni Soviet, yang mengadopsi model asuransi oleh negara, yang menyediakan jaminan sosial terbesar bagi kelas buruh. Sedemikian jauh, lebih dari 160 negara dan wilayah telah membentuk sistem jaminan sosial mereka yang berbeda-beda tipenya. Pasca awal tahun 1970-an dan 1980-an, standar jaminan sosial di negara-negara maju demikian tinggi, yang bergantung sepenuhnya pada keanggotaan masyarakat dan beban keuangan yang berat bagi pemerintah, ‘kebijakan kesejahteraan universal’ mengalami kemunduran: penundaan angka harapan hidup masyarakat; usia penduduk menurun; peningkatan peralatan medis modern, pembaruan dan peningkatan obat-obatan daripada kemampuan pertumbuhan GDP, yang mendorong peningkatan pengeluaran asuransi sehingga mempengaruhi reproduksi masyarakat dan melemahkan daya saing perusahaan-perusahaan. Kesalahan manajemen artinya pemubajiran sumberdaya dan kesetaraan dalam konsumsi. Dalam situasi ini, berbagai negara telah melakukan berbagai bentuk reformasi. Reformasi tersebut meliputi: 1. Pembatasan keuntungan; 2. Pembatasan usia pensiun; 3. Pengkaryaan kembali pasca usia pensiun; 4. Penuru-
san pensiun atau pembekuan pensiun; 5. Peningkatan investasi sosial; 6. Peningkatan proporsi kontribusi; 7. Peningkatan batas atas dan bawah upah; 8. Alokasi pemerintah; 9. Inisiasi pemungutan pajak baru; 10. Swastanisasi dana asuransi sosial. Di Indonesia, sistem jaminan sosial nasional sudah dituangkan di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini, jaminan sosial ialah bentuk perlindungan sosial untuk melindungi seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan atau anggota keluarganya. Peserta jaminan sosial nasional ialah tiap orang yang telah membayar iuran, termasuk orang asing yang sudah tinggal di Indonesia selama 6 bulan. Badan penyelenggara jaminan sosial nasional yang ditentukan dalam UU ini antara lain: PT. Jamsostek, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes. Jaminan sosial nasional di Indonesia lebih banyak ditujukan kepada para buruh pabrik formal, pegawai negeri, anggota tentara dan polisi. Untuk masyarakat di luar wilayah tersebut, jaminan sosial nasional tidak berlaku. Inilah kelemahan sistem jaminan sosial nasional yang ada di Indonesia. Jamsos di negara-negara lain 1. Jamsos di China Asuransi sosial di China sekarang mencakup jaminan pensiunan hari tua, jaminan pengangguran, perawatan medis, kecelakaan bekerja dan asuransi kelahiran. Asuransi sosial ini dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum negara. Fokus pembaruan asuransi sosial saat ini ialah jaminan pensiunan hari tua dan jaminan untuk pengangguran bagi perusahaan-perusahaan di daerah perkotaan. Dengan demikian, jaminan hidup para buruh yang menganggur dapat dipenuhi. Sementara itu, layanan koperasi kesehatan di daerah pedesaan mengacu kepada sistem layanan kesehatan yang beragam corak dan bentuknya sesuai kebutuhan penduduk setempat, dana ditingkatkan dan dikelola dengan beragam metode. Layanan kesehatan dasar secara komprehensif dilaksanakan di seluruh pedesaan China. Sistem koperasi kesehatan dan medika dibangun di banyak wilayah. Prinsip kerja sistem ini ialah dukungan kolektif, peningkatan dana melalui aneka cara, ukuran yang sesuai dengan kondisi setempat, menerapkan manajemen ilmiah, bertindak sesuai dengan kapasitas. Sistem asuransi kelahiran bagi buruh perempuan di perkotaan diterapkan untuk melindungi hak-hak hukum dan kepentingan mereka, jaminan penikmatan
masa istirahat, layanan medis dan kesehatan, bantuan kelahiran, dan berbagai layanan obatan lainnya selama kelahiran. Beban asuransi disesuaikan dengan kondisi wilayah, perusahaan, dan jenis pekerjaan. Jaminan perumahan di China ditujukan untuk penduduk perkotaan dan pedesaan, yang mengalami reformasi yang lebih komersial. Jaminan perumahan oleh negara tidak menyediakan hal itu untuk semua penduduk, yang mereka yang tingkat pendapatan yang rendah dan menengah yang memperolehnya. Jaminan perumahan juga diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan untuk kebutuhan buruh mereka, yang harus sesuai dengan aturan hukum yang ditetapkan pemerintah. 2.
Jamsos di Filandia
Sistem asuransi sosial di Finlandia berakar dari tradisi sosial politik yang berbeda dengan negara-negara Nordik lainnya. Finlandia sejak lama didominasi oleh pertanian, dibandingkan negara lainnya. Peningkatan jumlah petani sangat pesat meskipun luas lahan yang tersedia tidak bertambah. Finlandia mengalami keterlambatan dalam proses industrialisasi. Jaminan sosial di Finlandia merupakan bagian dari ‘kebijakan pendapatan’ yang bermaksud mendorong penyatuan bangsa. Kemenangan kaum sosial demokrat dalam pemerintahan di Finlandia membuka peluang politik baru untuk mendorong pembaruan kebijakan pasar kerja. Kebijakan pendapatan yang menyeluruh mengemuka bertentangan dengan latar belakang pemaduan ideologi kebangsaan melalui pasar kerja. Layanan kesehatan dan layanan sosial menjadi bersifat universal di Finlandia. Akta Layanan Kesehatan Dasar tahun 1972 menjamin layanan kesehatan dasar bagi seluruh rakyat Finlandia tanpa pandang bulu, universal, setara dan ke segenap wilayah. Negara berkontribusi membayar asuransi tersebut sesuai dengan penggolongan kemampuan pemerintahan lokal. Layanan penitipan anak juga diselenggarakan sebagai bagian sistem kesejahteraan sosial di Finlandia. Pecahnya jaringan sosial di masyarakat pedesaan di mana peran orang tua makin menipis akibat harus bekerja di perkotaan menuntut perlunya dibentuk sistem layanan penitipan anak bagi pekerja. Selain itu ada pula layanan untuk anak-anak di rumah-rumah. Layanan sosial juga diselenggarakan untuk kalangan manula, anak-anak cacat, dan tidak mampu. Pemerintahan lokal bertanggungjawab melaksanakan hal itu. 3.
Jamsos di Chile
Di Chile, sistem rekening perorangan diberlakukan Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
5
opini
sejak tahun 1981. Hal ini menjadi bagian penting dari multi pilar yang memberikan jaminan minimal keuangan oleh pemerintah secara umum melalui pendapatan nasional dan pengurangan pajak pendapatan pensiun. Jaminan sosial nasional yang menyeluruh bagi seluruh warga negara atau penduduk belum diberlakukan dalam sistem jaminan sosial Indonesia. Cakupan pesertanya yang hanya terbatas golongan pekerja formal baik swasta maupun negeri yang menimbulkan jurang yang lebar di kalangan rakyat itu sendiri. Belum lagi, apabila dilihat dari sisi kesetaraan dan universalitas jaminan sosial yang ada saat ini. Jaminan sosial kesehatan untuk buruh perempuan misalnya, akan berbeda jangkauan kemanfaatannya dengan jaminan
6
sosial kesehatan untuk buruh laki-laki. Jaminan sosial nasional harusnya memperlihatkan kebijakan kesejahteraan negara untuk menjamin hak-hak dasar kehidupan warga negara ataupun penduduk di seluruh Indonesia di semua tempat. Negara harus mengalokasikan anggaran untuk mengkover dana jaminan sosial nasional tanpa terjebak kedalam perangkap komersialisasi, yang selama ini masih dilakukan perusahaan-perusahaan pengelola jaminan sosial pekerja formal. Orang-orang Indonesia harus dijamin hak-hak kesehatannya, jaminan pensiun, hari tua, kelahiran, kematian, dan lainnya. Itulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan bagi seluruh perempuan Indonesia. *****(HG)
Ilusi Jaminan Sosial Negara Oleh: Ruth Indiah Rahayu*)
B
elakangan ini ramai dibicarakan tentang jaminan sosial melalui Rancangan UndangUndang BPJS yang telah disahkan Oktober tahun 2011. Undang-undang ini merupakan turunan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dikatakan merupakan hajad negara untuk mengimplementasikan UUD 1945 dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga negaranya. Namun demikian, hajad negara ini menuai pro-kontra tanpa dipahami oleh rakyat secara umum. Kelompok yang pro beralasan bahwa kita telah mempunyai UU SJSN sejak 2004 dan hingga saat ini belum tampak ada pelaksanaannya maka pengesahan UU BPJS sebagai pelaksana jaminan sosial sangatlah signifikan. Seringkali ucapan yang terlontar dari pendukung ini ialah “daripada tidak ada regulasi jaminan sosial, maka sekali pun penuh kelemahan UU SJSN dan UU BPJS harus didukung”. Rakyat pun ketika ditanya tentang jaminan sosial, seketika menjawab “mau”, sebab rakyat secara umum tidak mengetahui konsekuensi dari pelaksanaan jaminan sosial nasional ini. Ada pun yang kontra terhadap UU SJSN dan UU BPJS sebagai regulasi jaminan sosial negara justru hendak menyelamatkan maksud dari konsepsi perlindungan sosial yang sebenarnya merupakan kewajiban negara. Secara umum, masyarakat tidak mengetahui perbedaan istilah perlindungan sosial, pengaman sosial dan jaminan sosial, apalagi istilah tersebut dipergunakan secara tumpang tindih oleh pemerintah, politisi, bahkan para aktivis dan intelektual. Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
Konsep perlindungan sosial berasal dari negara kesejahteraan yang ingin melindungi warganya dari krisis ekonomi atau perubahan sosial melalui suatu kompleksitas sistem. Tujuannya ialah untuk mewujudkan kondisi sosio-ekonomi yang stabil, yang tak akan rentan apabila krisis menyerang. Secara umum perlindungan sosial itu didefinisikan sebagai “segala daya upaya negara berupa tindakan pencegahan, baik dalam program maupun kebijakan, untuk melindungi rakyatnya dari krisis atau kemiskinan” (Pratama, 2011). Serupa dengan itu perlindungan sosial juga didefinisikan sebagai “tindakan publik yang diambil sebagai respon atas tingkat kerentanan, resiko, dan kerugian yang dianggap tidak layak secara sosial dalam suatu masyarakat” (Conway, Foster, Norton 2001:11). Perlindungan ini memiliki dua bentuk, yaitu perlindungan sosial yang diselenggarakan negara (statutory) dan yang diselenggarakan atas inisiatif swadaya warga negara (non-statutory). Bentuk perlindungan sosial yang non-statutory dibedakan dari yang statutory dalam hal pelaksanaannya, di mana yang non-statutory sepenuhnya bergantung pada relasi sosial yang ada. Sedangkan pengaman sosial merupakan sistem pengamanan yang berfungsi melindungi masyarakat miskin pada saat krisis terjadi agar mereka tidak terperosok lebih jauh dalam kemiskinan. Pengaman sosial banyak dipergunakan oleh negara sedang berkembang, sebagai bentuk upaya negara untuk melindungi warganya yang hidup di bawah garis kemiskinan melalui sistem asuransi sosial dan bantuan sosial.
Jika melihat cakupannya, konsep perlindungan sosial jauh lebih luas dari pengaman sosial, karena “perlindungan sosial juga mencakup upaya-upaya pribadi atau tradisional masyarakat untuk mewujudkannya, misalnya lewat relasi gotong royong di komunitas warga atau hubungan kekeluargaan” (García and Gruat 2003:14) Merujuk pada kedua definisi tersebut, terdapat tiga kata kunci yang penting ialah tentang pencegahan krisis, kerentanan masyarakat dan perlindungan negara terhadap warganya. Sedangkan perlindungan sosial yang terjadi sebagai upaya pribadi atau masyarakat tidak akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini, sebab upaya yang demikian telah berlaku di masyarakat. Justru kewajiban negara (c.q pemerintah) selama ini absen untuk melakukan perlindungan sosial, sedangkan krisis selalu berulang terjadi, dan kita tak melihat upaya pemerintah yang komperhensip untuk melakukan tindakan pencegahan agar ketika krisis datang, kondisi sosio-masyarakat dalam keadaan stabil. Apa yang disebut krisis mencakup krisis ekonomi, politik, bahkan ekologi yang berkali-kali kita rasakan dan paling populer dalam memori masyarakat saat ini adalah krisis ekonomi pada 1997, dan krisis yang melanda Amerika-Eropa sejak 2007 sampai saat ini. Di Indonesia pemahaman terhadap krisis tereduksi pada krisis moneter yang seakanakan merupakan musibah yang datang dari langit. Banyak yang tak memahami bahwa krisis moneter hanyalah salah satu manifestasi dari krisis ekonomi-politik-ekologi global akibat ekspansi kapital korporasi perusahaan modal raksasa yang ditanam di sektor properti, otomotif, manufaktur. Ekspansi kapital tersebut memaksa masyarakat menjadi konsumen dengan cara kredit (utang). Ketika masyarakat tak mampu membayar kredit, sirkulasi dana pun macet, sehingga posisi kapital terganggu. Serupa dengan itu, ekspansi kapital di sektor pertambangan juga memaksa adanya konsumen barang-barang tambang, di mana contohnya perang adalah wahana bisnis yang menguntungkan bagi penjualan senjata. Ekspansi kapital dari perusahaan-perusahaan ini juga menghancurkan ekologi, sehingga mengakibatkan krisis pada keadaan udara, bumi, air dan segala isinya, dan juga cuaca. Ekspansi kapital diperuntukkan memperoleh keuntungan yang berganda-ganda (akumulasi kapital) yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi buruh yang dibayar murah dan konsumen yang dipaksa belanja berlebihan. Ini merupakan watak yang abadi dari kapitalisme, dan dengan demikian krisis yang diciptakannya pun akan berulang terjadi. Sekali pun pada kuartal terakhir 2011 pemerintah mengumumkan
kenaikan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 6,5% namun demikian juga diumumkan oleh PBB bahwa angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada 2011 telah turun ke peringkat 124 dibanding sebelumnya di peringkat 108 dari negara-negara di dunia (Kompas, 8/11/2011). Pertumbuhan ekonomi 6,5% tersebut disumbang oleh pertumbuhan di sektor perdagangan, hotel dan restauran, yang sektor ini dapat dimaknai sebagai sektor leisure-plessure (plesiran, bersenang-senang). Alokasi untuk dana plesiran tentu hanya dikeluarkan oleh lapisan masyarakat yang mempunyai anggaran ekonomi rumah tangga berlebih. Adapun menurunnya IPM di Indonesia sebesar 18 poin merupakan barometer statistik tentang kerentanan masyarakat akibat krisis. Pemerintah selalu mengatakan bahwa kita “aman dari ancaman krisis yang melanda Amerika Serikat dan Eropa”, tanpa menyebutkan kerentanan masyarakat makin hari makin mengenaskan. Menurut Barisan Perempuan Indonesia (BPI) bahwa perempuan di Indonesia sekarang dalam kondisi kritis yang ditunjukkan melalui data harian. Setiap hari sebesar 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja, 1600 buruh perempuan di PHK, 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja, 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000,- untuk beaya konsumsi rumah tangga, 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, 48 ibu mati melahirkan, petambak perempuan kehilangan 45 hektar lahannya, 1 orang perempuan bunuh diri (data BPI, 2010). Sedangkan menurut survey pola konsumsi yang telah dilakukan Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena, 2010) menunjukkan utang buruh di kota-kota besar di Indonesia berkisar antara Rp 400.000,- - Rp 5.000.000,- per bulan. Hutang tersebut terbesar untuk belanja pangan, pembayaran air dan energi (listrik, gas, BBM), pembayaran kredit otomotif, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, sewa rumah, pengeluaran sarana komunikasi dan sumbangan sosial. Data tersebut dapat mendeskripsikan bahwa pemilikan atas tanah makin berkurang (panen pun banyak yang gagal karena kehancuran ekologi), masyarakat Indonesia termasuk perempuan telah menjadi tenaga kerja upahan, ancaman kekerasan terhadap perempuan meningkat, kesehatan reproduksi perempuan buruh dan pada akhirnya ekonomi rumah tangga masyarakat Indonesia ditopang oleh hutang. Hutang tersebut diperoleh dari sesama masyarakat (40%), artinya di dalam masyarakat terjadi saling berhutang (Inkrispena, 2010) dalam rangka saling melindungi kerentanan akibat krisis. Deskripsi tersebut membuktikan bahwa maEdisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
7
syarakat telah membangun benteng perlindungan sosial dari krisis dengan siasat saling berhutang. Pelaku hutang untuk kebutuhan ekonomi rumah tangga terbesar adalah kaum perempuan, oleh sebab posisinya di dalam keluarga sebagai penanggungjawab reproduksi sosial, yang menyelamatkan keberlangsungan anggota keluarga. Perlindungan sosial dari sesama orang miskin berupa saling berhutang itulah yang seringkali dimanipulasi oleh pemerintah sebagai “fundamental ekonomi di Indonesia kuat” karena itu tak akan tergoyang dari krisis. Melihat fakta sosial tersebut, nyatalah bukan pemerintah yang memberikan perlindungan sosial kepada rakyatnya dalam masa krisis. Meski pemerintah pernah memberikan BLT, dana bantuan pendidikan (BOS), Jamkesmas, kredit usaha kecil melalui PNPM Mandiri, penetapan upah minimun berdasarkan konversi gas, namun semuanya ini hanya semacam pemadam kebakaran untuk jangka waktu pendek, atau derma sosial untuk meredam gejolak masyarakat. Lagipula seperti kredit usaha kecil PNPM Mandiri, adalah hutang yang harus dikembalikan masyarakat ke Bank Dunia selaku pengucur kredit, namun seolah-olah merupakan sebuah bantuan sosial. Dengan dibuatnya regulasi berupa UU SJSN dan UU BPJS, pemerintah hendak meregulasikan pengaturan bantuan atau pemudahan akses bagi individu terhadap fasilitas jaminan sosial di masa krisis. Namun, berpikir yang mendasar terjadi, sebab jaminan sosial diberikan di saat krisis untuk meredam gejolak sosial, padahal seharusnya diberikan untuk mencegah krisis agar kerentanan masyarakat tidak terjerembab ke jurang kemiskinan. Kedua, UU SJSN dan UU BPJS tidak mengandung maksud perlindungan sosial sebagai kewajiban negara kepada rakyatnya, melainkan jaminan sosial tenaga kerja upahan (yang memiliki relasi dengan perusahaan) yang diasuransikan kepada perusahaan bisnis asuransi. Itu berarti pemerintah telah mereduksi definisi tentang perlindugnan sosial menjadi asuransi sosial. Hal ini melanggar Mukadimah Konstitusi 1945 yang memaklumatkan bahwa “pemerintahan Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Implikasi jaminan sosial versi UU SJSN dan UU BPJS sebagaimana yang terjadi dalam bisnis asuransi. Di dalam bisnis asuransi berlaku tentang kepesertaan, membayar premi asuransi, dan adanya pembatasan jenis-jenis yang diasuransikan. Menurut kedua regulasi tersebut jenis yang diasuransikan teruntuk ketenagakerjaan dan kesehatan. Itu berarti dari segi kepesertaan, jaminan sosial yang
8
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
sekarang menjadi hajad negara itu hanya berlaku bagi tenaga kerja upahan. Sedangkan kita tahu, dalam konteks hubungan kerja-upahan, yang membayar premi itu pastilah kaum pekerja atau buruh yang gajinya secara otomatis akan dipotong atau dimasukkan sebagai pembayaran premi. Tepatnya, kepesertaan kaum pekerja atau buruh itu berlaku wajib bagi calon penerima manfaat jaminan sosial dan bukan kewajiban negara. Ada pun yang berhubungan dengan kesehatan, ternyata hanya berlaku untuk menjamin kesehatan dasar, seperti sakit tropika, akan tetapi tidak menjamin maternitas (fasilitas kesehatan bagi reproduksi perempuan), sakit kanker, HIV/AIDS, dan sakit lainnya yang dipandang “berat”. Kalo basisnya standar HAM (yang universal), maka pertama-tama “jaminan sosial” itu harus dipastikan sebagai “hak setiap orang atas jaminan sosial tanpa pandang bulu (non-diskriminasi)”. Sebagai salah satu hak asasi manusia, maka: (1) orang bebas (tidak boleh dipaksa) untuk menikmati haknya; dan (2) merupakan kewajiban negara untuk menunaikan/ mewujudkan dinikmati/dikenyamnya hak-hak tersebut. Konsekuensinya skema non-iuran yang harus jadi patokan, bukan skema bisnis asuransi dengan iuran dan kepesertaaanya itu. Sehingga jika hak (asasi manusia) atas jaminan sosial tidak ditunaikan atau diwujudkan oleh pemerintah, maka kegagalan ini harus dapat dialamatkan (address) keluhan (complaint)-nya ke pemerintah; dapat dituntut via pengadilan; dan putusan hakim dapat memulihkan hak-hak atas jaminan sosial tersebut jika dilanggar, termasuk kesediaan ganti ruginya (remedy). Dengan mencakup asuransi-sosial (baca: bisnis asuransi) ke dalam sistem jaminan sosial sebagai suatu hak --bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang, yakni hak itu hanya diberikan bila seseorang menjadi peserta--maka tugas negara (c.q. pemerintah) yang pertama-tama dan yang utama adalah menyediakan alokasi anggaran (APBN/APBD) untuk berbagai jenis dan skema jaminan sosial tanpa harus iuran/ membayar premi, sekurang-kurangnya (minimal) untuk: (1) jaminan pengangguran (sebagai bagian dari hak orang atas pekerjaan atau hak untuk bekerja); (2) jaminan kesehatan dasar (sebagai bagian dari hak atas kesehatan); dan (3) tunjangan sosial (selain kesehatan dan pendidikan) untuk fakir miskin. ----------------*)Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) Jakarta.
Oleh: Ah Maftuchan*) “… setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial. Dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua …” – Artikel 22, Deklarasi HAM PBB, 1948.
B
eberapa tahun belakangan ini, isu penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, bottom up planning, pemenuhan pelayanan dasar, pemberantasan korupsi dan lainlain telah menjadi mantra-mantra baru pemerintah dan menggeser mantra lama “pembangunanisme”. Hal itu tak lain dan tak bukan terkait erat dengan gelombang demokratisasi desentralisasi di Indonesia. Intensitas gelombang demokratisasi dan desentralisasi menuntut pula peningkatan kesejahteraan dan telah menghirukkan kehidupan politik di Indonesia. Yang paling mutakhir adalah tuntutan pengesahan rancangan undang-undang badan pelaksana jaminan sosial (RUU BPJS) sebagai acuan implementasi sistem jaminan sosial nasional. Pertanyaannya, apakah jaminan sosial berhubungan dengan kesejahteraan? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Mitos Super-market Mekanisme pasar mengandaikan bahwa semua orang punya “peluang dan kesempatan yang sama” untuk hidup sejahtera. Yaitu, suatu kondisi di mana seseorang, keluarga, komunitas mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara layak serta memungkinkan melakukan pengembangan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya atau memfungsikan lingkungan sosialnya. Secara alamiah, manusia tidak semuanya terlahir normal, manusia rentan terkena penyakit, tidak semua manusia punya posisi yang sama dalam komunitas, manusia punya batas usia produktif dan seterusnya. Ancaman-ancaman ekonomi yang ‘alamiah’ inilah yang tidak dapat dijawab oleh mekanisme pasar secara utuh. Apakah manula mempunyai “peluang dan kesempatan yang sama” dengan pemuda? Apakah “peluang dan kesempatan yang sama” dalam mekanisme pasar itu membawa keadilan atau tidak bagi semua kelompok masyarakat? Tentu kita semua sudah dapat menyimpulkannya. Jika “peluang dan kesempatan yang sama” itu tidak dapat berjalan (hanya) dengan mekanisme pasarnya (market failure), lalu siapa yang harus mengambil peran? Apakah negara dapat mengambil peran menyeluruh? Sementara banyak bukti
lindungan atas kondisi tertentu bagi seluruh warga negara dari kondisi miskin, kondisi sakit, usia lanjut, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat mental-fisik dan lainnya dengan pemberlakuan program-program pelayanan dan pemberian bantuan. International Labor Organization (ILO) mengeluarkan standar minimum jenis-jenis program Jamsos, sekurang-kurangnya mencakup; pelayanan kesehatan, perawatan bagi orang sakit, perlindungan pengangguran, jaminan hari tua, perlindungan kecelakaan kerja, perlindungan berbasis keluarga, jaminan persalinan, perlindungan orang cacat, dan jaminan kematian (Convention ILO No. 102/1952). Dalam perkembangannya, ILO menambahkan bahwa Jamsos juga meliputi; asuransi sosial wajib, skema asuransi sosial pilihan, skema tunjangan keluarga, skema khusus bagi pekerja publik, pelayanan kesehatan publik, bantuan sosial dan bantuan bagi korban perang (ILO Convention 1958). Dalam rumusan Tim SJSN (2002), dalam sistem Jamsos di Indonesia harus dibangun di atas tiga pilar: (i) asuransi sosial (social insurance), pilar ini diperuntukkan bagi si miskin dan tidak mampu (tidak memiliki penghasilan tetap) untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan pemerintah menanggung iuran si miskin/tidak mampu; (ii) bantuan sosial (social assistance), pilar ini merupakan sistem asuransi yang wajib dikuti semua warga yang berpenghasilan mencukupi; (iii) pilar tambahan atau suplemen ( jaminan swasta berbasis sukarela/dagang). Inilah yang kemudian dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diterjemahkan dalam 5 jenis Jamsos; (1) jaminan kesehatan, (2) jaminan kecelakaan kerja, (3) jaminan hari tua, (4) jaminan pensiun, dan (5) jaminan kematian. Program pemberian pelayanan kesehatan (Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas dan jaminan kesehatan masyarakat daerah) sejatinya bagian dari sistem Jamsos. Akan tetapi, dari sisi cakupan pelaksanaannya masih jauh dari prinsip-prinsip keadilan, portabilitas, kegotong-royongan dan ke-universalan. Karena, Jamkesmas/Jamkesda tidak berlaku untuk semua warga karena hanya diperuntukkan bagi fakir miskin, residual dan targeted. Tentu skema ini tidak mencukupi karena kelompok ‘hampir miskin’ Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
perspektif
Era (Masalah) Baru Penyejahteraan Warga
9
empirik yang memperlihatkan bahwa negara juga mengalami berbagai kegagalan (state failure). Bahkan Stalin pun tidak pernah membayangkan bahwa negara mampu menangani segala hal (Esping-Andersen, 1999). Dari pertanyaan ini kita dapat melirik saran “lebih baik memperbincangkan bentuk keterlibatan negara dengan tepat dari pada menihilkan perannya” yang dilontarkan Panayotou (1999). Terlepas dari perdebatan efektifitas dan keadilan, dengan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Pendidikan (BOS), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) dan beberapa program kebijakan sosial lainnya telah memberi petanda bahwa pemerintah telah ‘hadir’ dalam memberi peluang kaum miskin untuk mendapatkan pelayanan dasar. Soal ‘kehadiran’ yang masih menggunakan pendekatan residual dan belum universal institutional itu hal lain dan masih terbuka untuk dilakukan perbaikan. Barr (1998) berkeyakinan bahwa negara selalu dibutuhkan dan perannya merupakan suatu keniscayaan. Lalu, apakah kita keukeuh memeluk paham “emoh negara” (meminjam istilah dari Ignatius Wibowo yang merujuk pada paham atau aksi “pokoknya bukan negara”) padahal market failure dan muncul indikasi bahwa kerinduan akan hadirnya negara secara kaffah mengemuka? Jamsos dan Gerbang Kesejahteraan Jaminan sosial/Jamsos (social security) sejatinya bukan istilah baru di Indonesia. Mulai dari pengaturan tentang kecelakaan kerja di era pasca kemerdekaan melalui UU No 33/1947 jo UU No 2/1951, pembentukan yayasan sosial buruh, yayasan dana jaminan sosial 1964, pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK) tahun 1977, sampai terbentuknya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dengan dasar UU N0 3/1992. Meskipun Jamsostek memiliki program: Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT ) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), tetapi hadirnya Jamsostek ‘hanya’ memayungi tenaga kerja (formal) dan keluarganya. Lalu, ke manakah rakyat miskin, rakyat tidak mampu dan pekerja informal mendapatkan Jamsosnya? Mengeluarkan uang dari saku sendiri yang sudah tidak ada alokasinya untuk belanja kesehatan, jaminan hari tua dan lainnya adalah perkara mustahil. Lalu, apakah negara akan diam saja melihat fakta “yang kaya hidup secara sehat nan produktif ” dan membiarkan “yang miskin hidup dengan penyakit dan tak produktif ”? Disinilah peran negara, sekali lagi, sangat penting dalam ‘melindungi’ dan menjadi ‘juru nikah’ antara efisiensi dan keadilan,
10
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
antara mekanisme pasar dengan mekanisme sosial. Untungnya, amandemen UUD 1945 telah melahirkan amanat pelaksanaan Jamsos: (i) “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28H ayat 3)”; (ii) “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Pasal 34 ayat 2)”. Kedua pasal ini yang melandasi disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tanggal 24 Oktober 2004, dipenghujung masa kepemerintahan Mega-Haz. Meskipun merupakan amanat konstitusi dan tidak bisa ditawar lagi, Jamsos sampai sekarang masih belum implementatif secara utuh. Justru masih banyak orang yang ‘salah kaprah’ memahaminya. Terlihat dengan terang pada saat terjadi pro-kontra dalam penyusunan RUU BPJS bahkan sampai disahkannya menjadi UU BPJS. Soal badan penyelenggara, soal iuran dan pembiayaan yang harus ditanggung pemerintah mendominasi pro-kontra itu. Tentu di samping soal waktu pengimplementasian Jamsos. Jamsos tidak semata-mata soal suatu kebijakan program perlindungan sosial yang dirancang, dipilih dan dilaksanakan oleh pemerintah, namun juga terkait dengan ‘ideologi’ atau ‘pendekatan’ yang dipilih oleh pemerintah dalam memutar roda pemerintahan. Sehingga jika terjadi pro-kontra wajar adanya. Di beberapa negara, isu Jamsos memang selalu menimbulkan perdebatan, seperti program reformasi Medicare & Medicaid dalam sistem Jamsos di Amerika Serikat dan reformasi National Health Service (NHS) di Inggris baru-baru ini. Memang, seperti pengakuan Midgley & Tang (2008) di antara para ahli tidak ada kesepakatan bulat dalam mendefinisikan Jamsos karena ini terkait dengan perbedaan pemahaman para ahli, praktik dan implementasi Jamsos yang berlaku di beberapa negara. Sebelum Jamsos diimplementasikan oleh negara, di beberapa masyarakat telah hidup secara kultural bentuk-bentuk perlindungan sosial tidak hanya bagi kaum rentan tetapi juga untuk seluruh anggota komunitas. Dari beberapa penelusuran yang penulis lakukan, para ahli dan pembuat kebijakan lebih suka menggunakan istilah “income security” atau “income protection” untuk menggambarkan program jaminan sosial (Midgley, 2010). Dalam kelindan dengan pendekatan praktik dan tujuannya, Jamsos dapat diartikan sebagai kebijakan program yang diselenggarakan oleh pemerintah atau badan publik untuk memberikan perlindungan sosial dan per-
dan ‘rentan miskin’ tidak memperoleh Jamkesmas/ Jamkesda sehingga sangat rentan terhadap ancaman sehingga produktifitasnya jatuh menukik, jadi mudah menjadi “sadikin” (sakit sedikit jatuh miskin). Singkatnya, jika menginginkan warga kalis penyakit dan produktif maka harus ada perlindungan yang sistematis dan berkesinambungan. Program Jamsos menjadi sesuatu keniscayaan untuk dilaksanakan. Mengapa niscaya? Sekurangnya ini terkait dengan pentingnya Jamsos sebagai program yang dapat diarahkan; (i) investasi sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif sehingga ekonomi tumbuh, (ii) peningkatan akses warga atas pelayanan dasar yang bermutu sehingga belanja masyarakat di bidang kebutuhan dasar (kesehatan) menurun, (iv) meningkatkan tabungan masyarakat dan daya beli sehingga permintaan domestik naik, (v) menurunkan penyakit menular, angka malnutrisi dan kematian ibu-anak, (vi) menurunkan angka kemiskinan, (vii) meningkatkan angka harapan hidup. Politis-Teknis vs Konstitusional-Substantif Pemerintahan Yudhoyono Jilid I dan bahkan sampai dua tahun masa pemerintahan Yudhoyono Jilid II terbukti telah ‘lalai’ dalam menuntaskan penyusunan RUU BPJS yang diamanatkan oleh UU SJSN. Baru pada tanggal 28 Oktober 2011, rapat paripurna DPR RI mengesahkan RUU BPJS menjadi UU BPJS. Pun setelah parlemen menjadikan RUU BPJS sebagai RUU inisiatif parlemen dan setelah gerakan buruh, organisasi mahasiswa, organisasi masyarakat sipil dan akademisi menggalang demonstrasi dan mengajukan citizen law suit di PN Jakarta Pusat yang memenangkan tuntutan warga agar pemerintah dan parlemen segera mengesahkan BPJS. Ada apa gerangan sehingga pemerintah ogah melaksanakan Jamsos? Sekurangnya ada beberapa alasan yang sangat kental menyelimuti keengganan pemerintah segera menyetujui RUU BPJS yang ditawarkan oleh DPR yang sesuai amanat konstitusi dan UU SJSN; Pertama, aroma politis. Alasan politis ini tentu didasarkan pada proses pengesahan UU SJSN yang merupakan produk pemerintahan Megawati dan getolnya PDI-P dalam proses pengesahan RUU BPJS. Bahkan Fraksi PDI-P menjadi inisiator RUU BPJS sebagai RUU inisiatif parlemen. Tentu setelah didesak oleh publik, termasuk kelompok sipil. Kedua, alasan teknis. Ini terkait dengan pembentukan badan penyelenggaran Jamsos. Ada tekanan ke pemerintah bahwa badan penyelenggara tunggal akan mengakibatkan gejolak besar karena akan ‘melikuidasi’ badan penyelenggara lama (Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri). Teknis lainnya
adalah bentuk badan penyelenggaran, badan penyelenggaran lama (Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri) enggan jika dilebur dalam satu badan penyelenggaran yang berbentuk nirlaba. Ketiga, alasan pengelolaan aset. Seperti yang kita ketahui bersama, 4 badan penyelenggaran di atas mengelola aset yang sangat besar kurang lebih Rp 200 T. Aset sebesar ini memang menggiurkan dan menjadi daya tarik menarik kepentingan berbagai kelompok politik. Keempat, pembiayaan dan keterbatasan pembiayaan (budget constraint). Ini alasan klasik yang agak kontradiktif dengan aset 4 badan penyelenggara yang sangat besar tersebut. Jika kendala itu benar-benar soal pembiayaan, kenapa banyak negara yang lebih miskin dari Indonesia mampu menyelenggaran Jamsos, sebut saja Sri Lanka dan Vietnam. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintah kikir dalam memberikan pelayanan dasar termasuk penyelenggaraan Jamsos bagi warganya. Lihat saja belanja kesehatan di Indonesia yang tidak lebih dari 2% PDB. Ini sangat jauh dari rata-rata beberapa negara Asia yang berkisar antara 4-5% PDB. Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD yang berkisar diangka 20-an persen PDB tentu bak langit dengan bumi. Sementara, pemerintah Indonesia sangat ‘pemurah’ dalam belanja pegawai (gaji, remunerasi, dan tunjangan lainnya). Di samping itu, skema iur dalam SJSN seharusnya menjadi perekat kegotong-royongan dan ketidak-risauan pemerintah dalam pembiayaan Jamsos karena pemerintah hanya akan menanggung iuran warga miskin dan tidak mampu. Pengesahan RUU BPJS menjadi UU BPJS memang momentum bersejarah bagi Indonesia, tetapi jika dicermati lebih mendalam, pengesahan ini juga melahirkan banyak pertanyaan dan permasalahan baru. Bahkan, tidak lama dari hari disahkannya UU BPJS, berbagai kelompok organisasi buruh sudah mendeklarasikan diri untuk melayangkan gugatan konstitusional atas UU BPJS ke Mahkamah Konstutusi. Hal ini disebabkan oleh rancunya beberapa poin krusial dalam UU BPJS terutama terkait dengan proses dan bentuk transformasi badan penyelenggara. Kerancuan ini kental dalam UU BPJS yang mengamanatkan lahirnya BPJS I dan BPJS II. BPJS I mentransformasikan sejumlah program Askes dan Jamsostek dengan menangani jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian dan akan beroperasi per-tanggal 1 Januari 2014. Sedangkan BPJS II mengurusi jaminan pensiun dan hari tua dan pembentukannya akan dimulai pada tahun 2014 diharapkan pada tahun 1 Januari 2015 sudah dapat beroperasi. Adanya BPJS I dan BPJS II menunjukkan bahwa Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
11
warta perempuan
wajah UU BPJS memang masih ‘compang-camping’ dan berpotensi memunculkan masalah baru serta jauh dari harapan. Idealnya BPJS menjadi badan penyelenggaran induk/tunggal yang bersifat nirlaba sehingga akselari dan efektifitas penyelenggaraan Jamsos memenuhi prinsip-prinsip ideal: kehatihatian, keterbukaan, akuntabel, amanat, dari-untuk peserta, kepesertaan bagi semua, nirlaba, gotongroyong dan portabilitas. Memang BPJS I dan BPJS II keluar dari ‘amanat’ SJSN tetapi kita harus tetap optimistis bahwa pengesahan UU BPJS akan mampu menjadi tonggak pelaksanaan Jamsos yang akan membuka gerbang kesejahteraan sosial bagi warga negara seutuhnya. Stigmatisasi pada warga miskin penerima Jamkesmas dan program lainnya yang bersifat residual dan targeted akan terkikis. Jerman membutuhkan waktu sekitar 127 tahun dan Korea Selatan butuh waktu 26 tahun untuk dapat mencapai kepesertaan semesta (universal coverage) bagi seluruh warganya. Oleh sebab itu, yang saat ini sangat penting dilakukan adalah bagaimana seluruh kompenen bangsa, mulai dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sampai organisasi masyarakat sipil adalah mengawal proses penyusunan peraturan pelak-
12
sanaan Jamsos (Peraturan Pemerintah dan regulasi lainnya) sehingga peluang penyempurnaan Jamsos terbuka dan terkawal. Negara harus ‘dipaksa’ berpihak kepada warganya karena negara sering lalai dan tidak Yang harus diingat, bahwa untuk menyelenggarakan Jamsos yang efektif dan berkeadilan sosial tidak seperti “membalik telapak tangan”, banyak negara melakukan proses penyempurnaan dan reformasi. Tetapi, ada hal yang dapat menjadi acuan bahwa Jaminan sosial harus selalu diarahkan menjadi pintu redistribusi dan keadilan sosial dalam konteks investasi bangsa untuk masa depan negara yang kuat. Jamsos yang didesain dengan baik tidak hanya menghasilkan manfaat sosial, tetapi juga akan meningkatkan performa pembangunan ekonomi sebagai jalan menuju kemakmuran serta meningkatkan keunggulan komparatif sebuah negara dalam kompetisi global (Juan Somavia, 2003). -----------------------*) Pemerhati Kebijakan Sosial di PRAKARSA
Mana Tanggung Jawab Negara? “Ada uang ada obat. Tak ada uang, ya sekarat!”
K
alimat itu mengambarkan kondisi yang dialami Martin Ismail (27) dan Susan Kania (29), warga Cabaligo, Cimahi, Jawa Barat. Mereka harus kehilangan anaknya, Nisza Ismail (8 bulan) karena pihak rumah sakit tidak memberikan layanan maksimal, tak ada dokter spesialis yang memeriksa anaknya dengan alasan dokternya tidak masuk hari itu. Demikian pula obat yang harus ditebusnya, karena kehabisan uang untuk membayar administrasi agar anaknya mendapatkan layanan. Martin tak punya uang untuk menebus resep yang diberikan dokter umum. Pihak rumah sakit tidak menggubris hal tersebut. Tidak hanya itu, setelah anaknya meninggal, ketika pihak keluarga ingin mengambil jenasahnya, pihak rumah sakit masih mempersulit karena harus melunasi beaya administrasi terlebih dulu. Peristiwa pengabaian rumah sakit yang berakibat kematian seorang pasien bukan hanya sekali terjadi di Indonesia. Sudah berulang kali media mengangkatnya. Demikian juga dengan penelanta
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
ran pasien oleh rumah sakit, seperti dialami Sudarman (21) warga Desa Lubuk Pedaro, Merapi Selatan, Lahat, Sumatera Selatan. Dia terlantar di teras Instalasi Rawat Darurat (IRD) RS Muhammad Hoesin (RSMH) Palembang, setelah divonis dokter menderita tumor ginjal. Selama 21 hari, Darman harus menumpang di ruang tunggu yang berada di teras IRD rumah sakit tersebut. Padahal, Darman mengidap penyakit serius, yakni tumor ginjal yang sudah diderita selama 6 bulan. Kamar penuh adalah alasan klise yang sering dilontarkan pihak rumah sakit, untuk menolak pasien miskin. Kasus lainnya menimpa Nurcahya, bocah 3 tahun, penderita hidrosepalus atau pembesaran kepala, yang terpaksa meninggalkan Rumah Sakit Umum Daerah Polewali Mandar, karena orangtuanya miskin dan tak sanggup menanggung beaya. Nurcahya sedianya dirujuk ke rumah sakit di Makassar untuk dioperasi, namun niat itu kandas karena orangtuanya tak punya kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Padahal, dia telah dirawat selama 20 hari di rumah sakit umum daerah tersebut.
Peristiwa yang dialami Nisza, Sudarman dan Nurcahya, menambah daftar panjang pengabaian negara terhadap warganya. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1) mengatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam ayat (3) dikuatkan hak dasar tersebut dengan menyebutkan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Kesehatan Sebagai Bentuk Jaminan Sosial Selain dijamin oleh UUD 1945, kesehatan merupakan hak dasar bagi tiap warga Negara. Kesehatan menjadi salah satu jaminan yang ada dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU tersebut, ada lima jaminan yang tercantum yakni: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Jaminan sosial adalah sistem perlindungan sosial, yang menjadi kewajiban negara untuk melindungi segenap warganya, sehingga tiap orang mampu berperan-serta secara sosial dan politik. “Perlindungan sosial itu seharusnya dibutuhkan untuk seluruh aspek kehidupan, bukan hanya kesehatan, pendidikan dan penciptaan lapangan kerja, melainkan tentang lingkungan, budaya, harus ada perlindungan oleh negara” ungkap Arum Rumiyati dari Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB). Jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan sosial sangat dibutuhkan semua warga negara, tak hanya orang miskin, tetapi juga yang mampu secara ekonomis. Untuk itu, seharusnya jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan tidak hanya terbatas pada tindakan kuratif, tetapi juga tahap promotif, yakni bagaimana orang bersikap hidup sehat, menjaga kesehatan dirinya dan kesehatan lingkungan sehingga menjadi upaya preventif terhadap penyebaran penyakit. “Pemerintah seharusnya sejak dini melakukan itu, namun ternyata wacana yang dikembangkan, jaminan sosial itu hanya ketika orang sakit berobat ke puskesmas; kalau sakit tertentu operasi, sakit tertentu butuh imunisasi atau lainnya sampai rehabilitative, itu baru di cover, tidak dari hulunya” demikian Arum Rumiyati menambahkan. Fenomena pengabaian pasien di rumah sakit karena tak ada beaya, menurut dr Marius Widjajarta, ketua Yasasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YKKI), berakar dari ketidak-konsistenan
pemerintah, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saat berkampanye, beliau berjanji bahwa kesehatan masyarakat akan dijamin, sementara sekarang masyarakat sudah dirampok jiwanya” ujarnya. Menurutnya, tak ada gunanya menyalahkan pihak rumah sakit yang mengutamakan hal keuntungan dan mengesampingkan kebutuhan pasien, karena akar masalahnya ialah keengganan pemerintah untuk menepati janjinya selama kampanye. “Kalau mau kita tilik kesalahan rumah sakit satu persatu tidak akan ada habisnya. Yang kita butuhkan sekarang, ialah revolusi sistem; selama sistemnya belum beres, kasus seperti ini akan berulang” tandasnya. Senada dengan Marius, Arum menegaskan bahwa tidak berjalannya UU SJSN karena tidak ada itikad baik pemerintah untuk melindungi tiap warga negaranya. “Sebetulnya, apa yang menjadi hambatan kenapa UU itu tidak dilaksanakan memang itikad politik pemerintah untuk melindungi warganya, terutama kelompok lemah, tidak cukup kuat. Karena UU itu memandatkan pemerintah membuat satu sistem perlindungan pada orang yang paling rentan. Barometernya, lagi-lagi yang paling lemah, misalnya ter-PHK, tidak punya penghasilan; bagaimana dia secara mental dan moral masih kuat berelasi dengan tetangganya secara sosial. Kalau dia sakit dapat berobat untuk menyehatkan dirinya sendiri secara murah. Sampai sekarang, UU itu belum dilaksanakan” ungkapnya. Menurut Ghazalli Situmorang, Ketua Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DSJSN), saat ini sebanyak 118 juta penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Jumlah itu setara dengan setengah jumlah penduduk Indonesia sebesar 237 juta jiwa. Beragamnya pemahaman masyarakat tentang jaminan kesehatan menjadi penyebabnya. Data tahun 2010 menyebutkan bahwa hanya 121,2 juta penduduk Indonesia yang menjadi peserta jaminan kesehatan. Belum tercakupnya semua penduduk dalam jaminan kesehatan, menurut Ghazalli S., karena data kepesertaan jaminan kesehatan belum terpadu. Dalam hal jaminan sosial, Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan di antara negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Filipina. Menurut Nyumarno, koordinator Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Bekasi, setiap tahun lebih dari 150 juta individu dalam 44 juta rumah tangga di Indonesia mengalami kesulitan keuangan akibat beban beaya perawatan kesehatan, dan sekitar 25 juta rumah tangga atau lebih dari 100 juta individu rentan menjadi miskin. PenyebabEdisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
13
nya beaya perawatan di Indonesia yang sangat mahal dan tidak terjangkau. Fakta lain, 10 persen penduduk termiskin mengeluarkan 2,3 kali pengeluaran total bulanan keluarganya untuk pengobatan. “Sementara pengeluaran satu bulan keluarga yang berpendapatan lebih tinggi justru setara dengan biaya rawat inap standarnya”, ujarnya.
mereka menjadi lebih baik. Untuk mencapai hal itu, Mar’ie Muhammad, Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto menekankan pentingnya pemahaman tentang demografi Indonesia. “Jika kita melihat demografi Indonesia, maka kita akan menemukan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang masyarakat petaninya miskin, dengan demikian sudah seharusnya pembangunan SJSN diarahkan untuk menjawab persoalan tersebut” sarannya.
Kritik terhadap UU SJSN Adakah Harapan Pada UU BJBS? UU SJSN telah ada sejak tahun 2004. Bebeberapa kebijakan kemudian lahir, misalnya Jamkesmas yang mana masyarakat miskin dapat berobat secara gratis. Namun kenyataannya, masyarakat sering mengalami kesulitan untuk mengurus kartu Jamkesmas. Di lain pihak, pasien dengan kartu Jamkesmas pun sering diperlakukan berbeda dengan pasien lainnya. Menanggapinya, Arum menyatakan bahwa itu terjadi karena ketika pihak rumah sakit melakukan reimburse ke Dinas Kesehatan, juga dipersulit. “Ternyata, ketika dia menagih ke Dinas Kesehatan soal beaya program sosial, dia dipersulit; kemudian imbasnya petugas melayani masyarakat tidak sepenuh hati” ungkapnya. “Banyak kelemahan dalam UU SJSN. Salah satu penyebabnya ialah pembuatannya terkesan buruburu dan cenderung pada asuransi kesehatan, bukan program jaminan sosial” ungkap Ichsanudin Noorsy, pengamat ekonomi. Ia menemukan banyak inkonsistensi dan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu jawaban. Salah satu yang dikemukakannya, yakni tidak terdapat tentang bantuan sosial. Sementara itu, sebanyak 10 pasal dalam UU tersebut mengatur tentang kesehatan dan hanya empat pasal tentang jaminan lainnya. Ichsanudin mengatakan bahwa dalam UU SJSN dikatakan jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial (Pasal 19 Ayat 6). Namun, prinsip asuransi sosial tidak dikenal dalam badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang rancangan undang-undangnya sedang dibahas dalam panitia khusus (Pansus) di DPR. Ichsanudin juga mengkritisi Pasal 17 Ayat 4 UU SJSN yang menyatakan iuran untuk program jaminan sosial bagi fakir miskin dan tidak mampu dibayar pemerintah. “Bagaimana dengan pengangguran yang belum bekerja, orang tua, anak-anak dan golongan lain yang tidak bekerja dan tidak membayar iuran tetapi tidak masuk dalam kategori miskin dan tidak mampu?” tambahnya. SJSN sebagai instrumen pembangunan sosial harus menghasilkan perubahan sosial. SJSN yang akan dibuat harus mampu memasukkan masyarakat marjinal ke dalam sistem dan mengangkat martabat
14
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
Salah satu mandat UU SJSN adalah terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJBS). Berdasarkan Pasal 5 ayat 3, ada 4 Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial sebagai badan pelaksana tingkat nasional, yakni: Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Untuk merealisasikan mandat tersebut muncul RUU BJBS, yang akhirnya terjadi tarik ulur pengesahan RUU tersebut. Setelah melalui perjalanan panjang, akhir Oktober tahun 2011, RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang. Sebelumnya, sekitar 2000 perempuan yang sebagian besar buruh migran, karyawan pabrik, dan ibu rumah tangga, hari minggu 23 Oktober 2011 menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia, menuntut pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJSN). Hingga kini, hanya 39 persen masyarakat yang memiliki skema jaminan kesehatan. Untuk kaum buruh, hanya mereka yang bekerja di sektor formal yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja. Sebagian besar perempuan adalah pekerja non formal, seperti buruh migran, pekerja rumah tangga, tunawisma, penjaga toko, dan profesi lainnya, yang tidak mendapat jaminan kesehatan. Padahal, mereka bekerja di sektor non formal yang rentan terhadap masalah kesehatan. Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah perempuan di Indonesia mencapai 50 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa. Jika hanya 39 persen masyarakat Indonesia yang mempunyai skema jaminan kesehatan, maka banyak sekali perempuan Indonesia yang tidak terkover jaminan kesehatan. Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR dari PDIP yang selama ini memperjuangkan disahkannya RUU BJBS, menyambut gembira disahkannya RUU BJBS menjadi UU. “Ini win-win solution buat kita”, ungkapnya. Lebih lanjut, Rieke menjelaskan bahwa disahkannya RUU BJBS bertujuan agar dana dari 4 BUMN yakni Jamsostek, TASPEN, ASKES dan ASABRI nantinya tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik baru. *****(JK)
K
emiskinan dan diskriminasi yang dialami perempuan sering membuat mereka rentan menghadapi berbagai problem kesehatan. Sistem dan kebijakan-kebijakan kesehatan tidak berpihak kepada mereka sehingga perempuan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan apapun. Seandainya di lingkungannya terdapat jasa layanan kesehatan, seperti Puskesmas, bidan dan klinik bersalin, tatkala seorang perempuan menginginkan layanan kesehatan yang lebih baik, maka ia harus menempuh perjalanan jauh hingga ke kota. Kasus seperti itu terjadi di dusun Pasrepan. Ibu Semi (46), warga dusun Pasrepan, Lumajang, Jawa Timur, misalnya. Ibu 2 anak ini didiagnosa menderita sakit kanker serviks stadium 3. Dia merasakan bagaimana harus menempuh perjalanan 5 jam dari lereng Gunung Semeru ke Surabaya setiap 2 minggu sekali, hanya untuk memperoleh layanan kesehatan yang lebih baik. Sejak rumah sakit Lumajang tidak mampu menangani penyakitnya, dirujuklah dia ke Rumah Sakit Dr. Soetomo di Surabaya. Untuk berobat ke kota provinsi tentu tidak mudah, karena butuh beaya obat yang besar, selain beaya makan dan transportasi. Sebagai pembuat gula merah yang penghasilannya tidak menentu, Ibu Semi tidak punya cukup uang untuk mengobati sakit kankernya. Maka keluarganya meminta surat pernyataan miskin dan tak mampu dari instansi terkait, yakni Kecamatan dan Dinas Sosial. Namun kesulitan tidak berhenti hanya di soal beaya, karena dia harus berhadapan dengan birokrasi yang tidak berpihak. Ketika ibu dua anak ini akan mengurus surat keterangan tidak mampu dan surat pernyataan miskin untuk kelengkapan pengobatan, saat mengurus pembaruan KTP yang sudah kadaluwarsa yang dibutuhkan untuk memperoleh kedua surat tersebut, pihak Dusun meminta bayaran yang lumayan besar. “Lha iyo aku ki awale moro nang omahe kampunge, kate nguripi KTP ne Semi, lha ndek kampunge dijaluki duit pitungpuluh limo ewu. Aku jaluk sing rongpuluh podo karo sing metune wingi, tapi jare kampunge gak iso meski wis mbayar pitungpuluh ewu iku gak langsung dadi. Tapi terus aku yo murungno wis, gak sido nggawe soale wis larang gak langsung dadi. Terus mari iku aku nang bale desa njaluk surat nang petinggine. Wis dike’no surat terus sih njaluk tukone rokok. Terus teko bale desa nang kecamatan. Jarene pak camat, lek e surat iki cukup tekan kecamatan wae”, papar Pak Buasan, suami Semi, dengan bahasa Jawa.
Tak hanya saat mengurus persyaratan di desanya Ibu Semi mengalami kesulitan, tetapi juga ketika berobat di RS Dr. Soetomo, dia merasakan proses yang tidak bersahabat. “Saat memberikan surat-surat persyaratan ke bagian SJP, ada surat dari dinas terselip. Setelah dicari-cari, petugas SJP-nya marah-marah karena saya membawa persyaratannya tidak lengkap. Setelah itu, kita disuruh ke ruangan onkologi kandungan untuk antri pemeriksaan. Ternyata salah satu alat rusak. Petugasnya menjelaskan sambil marah-marah. Setelah teman yang mendampingi mengajak keruangan laboratorium, di sana kita mendapat informasi bahwa Ibu Semi harus kembali tanggal 18 Oktober untuk pemeriksaan lanjutan”, papar Turiyah, anggota kelompok Kartini yang mendampingi Ibu Semi selama pengobatan. Karena penyakit tersebut, Ibu Semi harus menjalani kemoterapi selama 6 kali. Artinya, dia harus bolak-balik menempuh perjalanan Pasrujambe ke Surabaya setiap 2 minggu sekali. Pasca kemoterapi pertama, kondisi Ibu Semi sempat mengalami penurunan, tidak nafsu makan dan mual-mual. Karena kondisi tersebut, Ibu Semi dibawa ke Puskesmas terdekat. Lagi-lagi dirinya menerima layanan yang buruk. Dokter Puskesmas tidak mau menangani, dengan alasan yang kurang jelas. Meskipun akhirnya ditangani, namun bukan oleh dokternya melainkan oleh bidan. Usut punya usut, alasan penolakan berkaitan dengan keterbatasan dana yang diterima unit-unit layanan kesehatan di kabupaten. “Saya kan bilang kalau RS di Surabaya aja mau menangani, kenapa disini tidak? Terus kata dokternya, surat SKTM tidak berlaku gratis di kabupaten, tapi hanya berlaku di provinsi. Karena beaya terbatas, maka SKTM tidak berlaku, jadi harus pakai Jamkesmas”, papar Turiyah dengan nada emosi. Padahal, harapan dia, Ibu Semi dilihat dulu kondisinya, dan tidak langsung diperlakukan seperti itu. “Ke depan layanan kesehatan baiknya dapat diakses di kabupaten, sehingga tak perlu jauh ke kota provinsi”, ungkap pihak keluarga Ibu Semi, terkait akses kesehatan itu. Senada dengan pihak keluarga, Turiyah juga berharap agar layanan kesehatan ke depannya lebih ramah terhadap orang miskin. “Seharusnya pemerintah melayani. Sudah jelas-jelas punya SKTM, malah tidak dilayani. Harusnya disamakan dengan Jamkesmas. Orang miskin itu ternyata susah kalau sakit!”, ungkap ibu dua anak ini berapi-api. *****(NR)
Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
warta komunitas
Orang Miskin Dilarang Sakit
15
sosok
Jaminan Sosial Milik Siapa?
U
U No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah harapan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menikmati jaminan sosial yang seharusnya disediakan oleh pemerintah tanpa terkecuali. Demikian pula bagi Sulistri, yang akrab dipanggil Sulis dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Sebelum bergabung dengan KSBSI, ia pernah bekerja di salah satu toko di Pasar Tanah Abang. Di sela-sela waktu senggang, ia pun membantu ibunya untuk berdagang nasi di emperan toko Pasar Tanah Abang. Pekerjaan yang ia geluti tersebut tentu tidak dilindungi jaminan sosial. Kemudian tahun 1992, ibu dua anak ini bergabung dengan SBSI. Saat itu, kebebasan berserikat belum dirasakan oleh kaum buruh di Indonesia. Di SBSI, ia membantu administrasi. Setiap harinya, ada buruh perempuan yang datang ke kantor SBSI untuk mengadukan masalah yang mereka hadapi di tempat kerja. Mulai dari sulitnya mengambil cuti haid, kebanyakan buruh perempuan dianggap lajang sehingga tidak menanggung suami dan anaknya untuk memperoleh jaminan sosial. Dengan begitu, mereka menerima tunjangan keluarga yang nilainya berbeda dengan tunjangan keluarga yang diterima buruh laki-laki. Cuti melahirkan mereka tidak dibayar, dan upah dibawah UMR. “Berawal dari mendengarkan keluhan buruh-buruh yang datang ke kantor SBSI, timbul keinginan saya untuk membantu meringankan beban mereka”, papar Sulistri dalam mengawali karirnya di SBSI. Melihat masalah yang dihadapi oleh kalangan buruh perempuan, SBSI mendirikan Departemen Buruh Perempuan dan Anak (DBPA). DBPA bertugas untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam serikat buruh, melakukan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan hak-hak buruh perempuan, meningkatkan keahlian buruh perempuan dalam berunding. Sebelum menjabat sebagai Deputi Presiden bidang Program KSBSI, ia menjabat sebagai Ketua DBPA selama dua periode. Di tengahtengah kesibukannya, Enita Multina dari Buletin Perempuan Bergerak, berhasil wawancarainya. Apa arti jaminan sosial bagi anda? Jaminan sosial memiliki arti penting bagi saya dan juga buruh perempuan lainnya di Indonesia. Dengan adanya jaminan sosial, dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan dalam bekerja. Akhirnya, akan berdampak pada kenaikan produktivitas. Suatu pekerjaan dikatakan sebagai pekerjaan layak (decent work) apabila memenuhi 4 pilar, dan salah satu pilarnya ialah jaminan sosial. Bahkan di tingkat internasional, yakni International Labor Conference tahun 2012 akan mendiskusikan suatu instrumen internasonal yang berbentuk rekomendasi. Mengapa penting jaminan sosial bagi anda, khususnya sebagai perempuan?
16
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
Sulistri Jaminan sosial sangat penting bagi perempuan. Dan harus dipastikan, bahwa perempuan tidak dianggap lajang di tempat kerja, sehingga dapat menanggung suami dan anak mereka. Saya merupakan salah satu anggota Jamsostek. Iuran jaminan sosial saya sebagian ditanggung oleh SBSI dan sebagian ditanggung oleh saya sendiri. Jaminan sosial sangat berarti bagi saya. Karena jaminan sosial membuat saya tidak was-was ketika bekerja. Pengalaman pribadi saya terkait dengan jaminan sosial, ketika anak saya harus operasi usus buntu, karena sudah porporasi. Dengan modal kartu jamsostek, saya mendatangi Rumah Sakit yang menjadi penyedia Jamsostek. Dengan adanya jaminan sosial, sangat membantu pembeayaan operasi anak saya, walaupun tidak seluruh beaya ditanggung oleh Jamsostek, namun ini sangat membantu. Kita dapat bayangkan apabila buruh perempuan tidak dilindungi jaminan sosial. Kemudian buruh perempuan atau suami atau anaknya sakit, dari mana beaya berobat mereka? Dan dapat dipastikan, bahwa tabungan mereka sangat kecil karena upah mereka sebatas UMP, dan masih harus dikurangi beaya-beaya lainnya seperti sewa rumah, pendidikan anak, transportasi ke tempat kerja, beaya sosial (kondangan), untuk makan, dll. Ketika mendapatkan jaminan sosial, apakah kelima jaminan itu diperoleh? Sebaiknya masyarakat Indonesia dapat menikmati kelima-limanya program jaminan sosial, yakni Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Namum demikian, untuk tahap pertama dilakukan secara bertahap. Hal ini diatur dalam pasal 13 dan 14, UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN. Hanya seperti apa proses tahapannya, masih akan diatur melalui peraturan presiden. Apabila proses pendaftaran kepesertaan jaminan sosial kepada BPJS dilakukan secara bertahap, maka pemerintah harus membuat rencana yang meliputi jumlah ma-
syarakat Indonesia yang akan dikover oleh jaminan sosial setiap tahunnya. Dan akhirnya, dapat dilihat di tahun berapa seluruh masyarakat Indonesia dikover jaminan sosial. Hal ini memudahkan proses monitoring untuk mengetahui keberhasilan dan hambatannya. Pokok-pokok apa yang harus ada dalam sistem jaminan sosial? Sesuai dengan pasal 4 UU 40 tahun 2004, menyatakan bahan SJSN diselenggarakan berdasarkan prinsip: Kegotong-royongan; Nirlaba; Keterbukaan; Kehati-hatian; Akuntanbilitas; Portabilitas; Kepesertaaan bersifat wajib; Dana amanat; Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Adakah mekanisme internasional yang mengatur mengenai Jaminan Sosial? Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 mengenai (standar minimal) jaminan sosial belum diratifikasi pemerintah Indonesia. Namun demikian, pemerintah Indonesia telah meratifikasi 8 konvesi dasar ILO antara lain: Konvensi ILO No. 87 dan 98 mengenai Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding, Konvensi ILO No 100 dan 111 mengenai Pengupahan yang Sama dan Non-Diskrimnasi, Konvensi ILO No. 29 dan 105 mengenai Larangan Kerja Paksa dan Konvensi ILO No. 138 dan 182 mengenai Batas Minimum Usia Anak dan Larangan Mempekerjakan Anak pada Pekerjaan yang Berbahaya. Kembali pada Konvensi ILO No. 102, Konvensi ini meminta kepada negara anggota ILO untuk menyelenggarakan jaminan sosial (minimal standar), yang dikover antara lain: Jaminan Sakit, Jaminan Pengangguran, Jaminan Usia Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Persalinan, Jaminan Kecacatan dan Jaminan Bagi Ahli Waris. Beberapa jenis program jaminan sosial telah dilaksanakan di Indonesia, walaupun masih baru dirasakan oleh sebagian buruh yang bekerja di sektor formal dan sebagian kecil buruh di sektor informal. Namun, jaminan pengangguran belum diimplementasikan di Indonesia. Dan saat ini, sedang dicari formulanya. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam meratifikasi Konvensi ILO No. 102. Mengapa SJSN menjadi sangat penting untuk segera diselenggarakan di Indonesia? Saat ini, jaminan sosial yang ada hanya mengkover beberapa unsur, misalnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) hanya mengkover buruh yang bekerja di sektor formal. Walaupun beberapa buruh di sektor informal terkover oleh Jamsostek, namun hanya untuk program kecelakaan kerja dan kematian. Sementara untuk program jaminan kesehatan dan hari tua, tidak mengkover mereka. Sampai kini, buruh Indonesia yang terkover jaminan sosial hanya 8 juta orang. Contoh lain, TASPEN, ASABRI dan AsK-
ES juga tidak menyentuh seluruh warga Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan jaminan sosial yang mengkover seluruh masyarakat Indonesia. Persoalan apa saja yang menghambat dari penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di Indonesia? Hal-hal yang menghambat penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di Indonesia antara lain: • Masalah kepatuhan. Terkait dengan masalah kepatuhan ditemukan beberapa kasus, misalnya Perusahaan Daftar Sebagian Tenaga Keja (PDSTI), Perusahaan Daftar Sebagian Upah (PDS-upah), Perusahaan Daftar Status Lajang Terhadap Tenaga Kerja Kawin, Perusahaan Tidak Daftar, Perusahaan daftar sebagian program, perusahaan tidak menyotor iuran. • Lemahnya pengawasan. Hal ini terjadi karena lemahnya komitmen pengawas dalam penegakan hukum, jumlah tenaga pengawas yang tidak mencukupi, dan juga kualitas tenaga pengawas itu sendiri. • Budaya. Masyarakat Indonesia kurang memiliki pemikiran perspektif perlindungan masa depan, dan asuransi dianggap sebagai kebutuhan bagi mereka yang memiliki kemampuan secara finansial. • Demografis. Dalam pasal 17 (ayat 4) UU No. 40 tahun 2004 mengatakan bahwa “Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah”. Sampai saat ini, belum ada definisi fakir miskin dan orang yang tidak mampu. Definisi ini dibutuhkan supaya tanggungan APBN untuk mengkover orang miskin dapat segera dianggarkan. Faktor lain, soal registrasi kependudukan yang kurang baik karena kewilayahan yang luas di Indonesia dan sistem yang tidak tertata dengan baik. • Letak Geografis. Indonesia terdiri dari beberapa kepulauan yang luas dan banyak wilayah pedalaman. Kantor perwakilan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) saat ini belum menyeluruh (hanya sampai tingkat kabupaten). Akses masyarakat terhadap SJSN sangat minim. Apa hambatan bagi perempuan untuk menikmati jaminan sosial? Hambatan pertama, perempuan dianggap lajang. Walaupun pasal 16 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyebutkan bahwa “Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan”. Itu artinya, buruh perempuan dapat menanggung suami dan anaknya, namun di lapangan masih ditemukan bahwa perempuan hanya menanggung dirinya sendiri karena mereka diEdisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
17
anggap lajang. Hambatan kedua, pengetahuan perempuan akan hak-hak buruh perempuan dan hak-hak buruh pada umumnya termasuk tentang jaminan sosial masih sangat kurang. Sehingga ketika mereka diperlakukan tidak adil, mereka hanya menerimanya. Hambatan ketiga, buruh perempuan banyak bekerja di sektor informal dan pekerjaan yang rentan seperti pedagang, pekerja rumah tangga, dan pekerja migrant. Jenis pekerjaan ini belum dikover oleh jaminan sosial secara memadai. Hambatan keempat, minimya jumlah buruh perempuan yang aktif di serikat buruh dan sebagai negosiator Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hal ini membuat isi PKB kurang responsif gender. Apakah buruh perempuan aware terhadap jaminan sosial? Kebanyakan mereka kurang aware akan aturan perundang-undangan baik yang mengatur tentang jaminan sosial, hak untuk berserikat maupun hak-hak buruh perempuan. Untuk itu, dibutuhkan pelatihan untuk mensosialisasikan hak-hak buruh perempuan termasuk hak terhadap jaminan sosial. Ini menjadi tugas pemerintah, serikat buruh, NGO, pengusaha dan stakeholder lainnya. Apa harapan ke depan untuk jaminan sosial? Pertama, segera implementasikan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU BPJS, sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat dikover oleh jaminan sosial. Begitu juga dengan buruh perempuannya, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Kedua, pemerintah menguatkan sistem pengawasan yang ada melalui peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pengawas supaya apa yang sudah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan dapat diimplementasikan secara baik. *****(NT)
Hak Rakyat Berobat Gratis “Gila…ini gila…padahal kakek dan nenek gua ikut berjuang buat memerdekakan negeri ini. Tapi buyutnya, mati tanpa bisa berobat!”
D
alam UUD 1945 jelas tercantum landasan hukum jaminan sosial untuk rakyat, yakni pasal 28H ayat 3 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Dalam pasal 34 ayat 2 dinyatakan: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Selain itu, ada UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang disahkan pada 19 Oktober 2004. UU ini diharapkan menjadi UU payung untuk mewujudkan amanat konstitusi dengan memperbaiki kinerja sistem jaminan sosial. Dalam pasal 1 ayat 1 UU ini, ditegaskan bahwa: “Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”. Jaminan yang terdapat dalam UU ini adalah Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Namun demikian, apa yang dicita-citakan itu tidak kunjung menjadi kenyataan. UU SJSN belum terlaksana, karena hingga batas akhir 5 tahun sejak UU tersebut disahkan pada 19 Oktober 2009, UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak terwujud. Hal itu membuktikan tidak adanya niat baik pemerintah untuk memberikan perlindungan melalui jaminan sosial bagi tiap warga tanpa terkecuali. Itulah yang membuat Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)1, suatu gerakan yang memperjuangkan jaminan kesehatan seumur hidup untuk semua rakyat, meluncurkan buku sebagai cara agar tiap orang dapat membaca komik dengan judul “Rakyat Berhak Berobat Gratis”. Dengan komik ini diharapkan agar masyarakat mengerti mengenai haknya, yang harus dijamin oleh negara. Komik ini mengisahkan kehidupan nyata di masyarakat yang terdiskriminasi oleh kondisi ekonomi untuk mendapatkan jaminan sosial, salah satunya
1
Fokus perjuangan KAJS adalah memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pengobatan gratis seumur hidup, memperjuangkan hak buruh mendapatkan Jaminan Dana Pensiun, dan memperjuangkan BPJS merupakan Badan Hukum Publik Wali Amanat (bukan BUMN dan bukan PT).
18
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
yakni layanan kesehatan yang memadai. Kisah yang diangkat dalam komik ini ialah mengenai Sadikin yang memiliki seorang anak dan istri, yang di-PHK dari tempat kerjanya dengan alasan kontrak kerja telah habis; tanpa mendapat pesangon dan hak-hak lainnya. Saat yang sama, anaknya sakit keras dan butuh perawatan. Karena tidak mempunyai KTP DKI, Sadikin tidak mendapatkan Surat Keterangan Miskin agar anaknya dapat dirawat. Kisah lainnya mengenai Jamila, janda beranak satu yang tinggal di kolong jembatan. Ia harus kehilangan anaknya, karena semua RS tak mau menerimanya. “Gue udah coba datengin banyak rumah sakit, tapi semua nolak ngerawat anak gue karena gue gak bisa kasih uang muka”, ungkap Jamila. Selain kisah Sadikin dan Jamila, ada kisah lainnya yang diangkat dalam komik ini. Kisah-kisah tersebut mengambarkan apa yang terjadi di negeri ini, ketika sakit susah mendapatkan layanan kesehatan karena tidak mampu membayarnya. Sementara program kesehatan gratis yang dicanangkan pemerintah susah untuk diakses karena prosedur berbelit yang harus dilalui. Dalam komik ini disebutkan, bahwa dari 235,7 juta rakyat Indonesia, hanya sekitar 95,1 juta (39%) orang yang tercakup dalam berbagai skema Jaminan Kesehatan (BPS, 2010). Itu artinya, 140 juta lebih rakyat Indonesia semakin miskin ketika menderita sakit karena tak mampu menanggung beaya pengobatan yang
: Rakyat Berhak Berobat Gratis (Komik tentang Jaminan Sosial) : Indra Munaswar : FES kantor perwakilan Indonesia bekerjasama dengan FSPMI : April 2011 : 71 halaman : 978-602-8866-02-6
makin hari bertambah mahal. Tak hanya itu, komik ini pun memaparkan dari sekitar 31 juta buruh formal, hanya sekitar 9 juta (27%) yang diikutkan dalam program Jamsostek dan tidak sampai 19% dari sekitar 70 juta buruh informal, termasuk petani, nelayan, PRT (Pekerja Rumah Tangga) dan TKI mendapatkan jaminan sosial (Jamsostek, 2010). Komik ini juga menjelaskan prinsip yang dianut jaminan kesehatan, yakni prinsip ekuitas di mana tiap orang memperoleh kesamaan dalam mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, yang tidak terikat dengan besaran iuran atau siapa yang membayarkan iurannya. Oleh karena itu, yang harus dilakukan agar UU SJSN berjalan dan rakyat mendapatkan jaminan sosial yang menjadi haknya, yakni pemerintah harus membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), 11 peraturan pemerintah, dan 10 peraturan presiden. Akhir cerita komik ini bahwa KAJS akan terus memperjuangkan pelaksanaan jaminan sosial dengan cara: 1. Membuat konsep-konsep yang disampaikan kepada DPR dan pemerintah; 2. Melakukan lobby kepada parlemen, lembagalembaga, dan tokoh masyarakat; 3. Seruan masal damai dan menyeluruh di depan istana negara, dan kantor-kantor pemerintah, serta DPR; 4. Melakukan upaya-upaya hukum demi tegaknya SJSN. (NT)
Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
bedah buku
Judul Penyusun Naskah Penerbit Cetakan Halaman ISBN
19
bedah film
Hidup Sehat Hak Semua Orang!
A
pa yang akan anda lakukan ketika tiba-tiba satu-satunya anak anda yang paling anda sayangi masuk rumah sakit, karena penyakit yang selama ini tidak pernah terdekteksi? Parahnya penyakit tersebut sudah sangat akut dan mengancam nyawa anak anda. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa anak anda ialah dengan operasi. Namun hal tersebut tidak mudah dilakukan, karena dibutuhkan beaya yang mahal. Kalau anda seorang milyuner yang punya banyak uang, maka takkan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan hal tersebut. Tapi, bagaimana kalau anda dari kalangan rakyat jelata, bahkan untuk makan sehari-hari saja tidak ada, apa yang akan anda lakukan? Hal itulah yang dikisahkan dalam film “John Q”, film tentang kehidupan sebuah keluarga buruh. Di awal film diceritakan, walaupun harus hidup dalam kesederhaan, dengan menyewa sebuah rumah kecil, keluarga tersebut tak kurang kebahagiaannya. Kehadiran bocah laki-laki yang pintar dan lucu membawa arti yang sangat berarti. John Quincy Archibald (diperankan Denzel Washington), tokoh utama film ini, sangat menyayangi anak laki-laki satu-satunya. Michael, nama anak itu, memiliki mimpi menjadi seorang binaraga. Sementara itu, Denise (diperankan Kimberly Elise) istri John, berprofesi sebagai kasir sebuah supermaket. Kebahagiaan rumah tangga ini tergambar melalui peran mereka yang saling mendukung kehidupan Michael. Hingga suatu ketika, dalam pertandingan baseJohn Q Sutradara Nick Cassavetes Produser Mark Burg Penulis Naskah James Kearns Musik Aaron Zigman Durasi 116 Menit Pemain Denzel Washington Kimberly Elise Daniel E. Smith James Woods
20
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
ball, Michael tiba-tiba jatuh pingsan. John langsung lari ke tengah lapangan di ikuti Denise. Mereka membawa Michael ke sebuah rumah sakit. Michael tidak punya riwayat penyakit apapun, maka ketika dia tibatiba pingsan dan harus dirawat di rumah sakit, hal itu menjadi pukulan terberat bagi keluarga ini. Setelah melalui serangkaian tes di rumah sakit, John diberitahu oleh Dr. Raymond Turner (diperankan James Woods) dan Rebecca Payne (diperankan Anne Heche), sebagai administrator rumah sakit, bahwa Michael mengalami pembesaran jantung dan membutuhkan transplantasi. Dibutuhkan biaya yang mahal untuk operasi tersebut, yakni $ 250.000. Karena perusahaan tempat John bekerja selama 15 tahun menurunkan status kepegawaiannya dari pegawai penuh (40 + jam per minggu) menjadi paruh waktu (20 jam per minggu), maka asuransi kesehatannya juga berubah dari “ditanggung organisasi” menjadi “dikelola sendiri oleh organisasi”. Kebijakan baru juga tidak menanggung operasi tersebut. Untuk menempatkan anaknya dalam daftar penerima transplantasi jantung, maka John harus membayar uang muka sebesar $75.000 (30% dari $250.000). Sebagai buruh, John tidak memiliki banyak uang. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, John harus menjual semua harta bendanya yang masih memiliki nilai jual. Saat John mati-matian mencari uang untuk membayar uang muka, pihak rumah sakit mengatakan kepada Denise yang menunggu Michael, bahwa sang anak akan dipulangkan karena belum membayar uang muka. Denise pun panik dan menelpon John untuk segera mencari uang agar anaknya dapat dioperasi. Dialog yang muncul antara John dan Denise melukiskan rasa keputusasaan mereka. Sementara mendengar anaknya hendak dipulangkan pihak rumah sakit, John hanya mendesah putus asa dan sedih, sambil berucap: ”Aku sudah berusaha”. Sambil memegang telpon, isterinya terisak keras dengan mimik tertekan: ”Kau sudah melakukan semua, tapi belum cukup!” Suaminya terhenyak lemas. Kecintaan terhadap anaknya, rasa tanggungjawabnya dan ketidakberdayaan menghadapi prosedur rumah sakit dalam masalah biaya pengobatan, membuat John harus melakukan sesuatu yang berarti bagi anak, isteri dan kelangsungan hidup keluarganya. John terpaksa menyandera rumah sakit tempat anaknya dirawat dan meminta segera melakukan operasi transplantasi jantung untuk anaknya tercinta.
Akhirnya, anak John sembuh, dan ia sendiri harus mendekam di penjara, akibat aksi penyanderaannya. Apa yang terjadi di keluarga John dapat terjadi pada kita semua. Negara harusnya menjamin hak tiap warga negaranya untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Namun untuk mendapatkan layanan tersebut, diperlukan prosedur yang sangat berbelit-belit untuk sekadar mendapatkan keringanan rawatan. Apa yang terjadi dalam film ini, mungkin pernah terjadi pada kita, keluarga atau tetangga kita. Saat keadaan kritis, pihak rumah sakit tidak berpihak pada rakyat, mereka mengharuskan pasien membayar terlebih dahulu agar mendapatkan layanan. Kalau tidak, maka pihak rumah sakit tidak mau merawatnya, walaupun nyawa akan melayang. Kisah yang dialami John dan keluarganya telah memperlihatkan ketidakadilan dalam sistem layanan kesehatan. Kalau saja John seorang pejabat, kaya raya dan mempunyai akses ke rumah sakit secara ekslusif, tentu tidak akan terjadi peristiwa penyanderaan rumah sakit, dengan tujuan mengobati anaknya sendiri. John adalah cerminan mayoritas masyarakat di dunia ini. Rumah sakit itu merupakan cerminan sistem layanan kesehatan yang kental dengan kepentingan dagang dan prosedur formal yang tak berorientasi pada kesembuhan pasien, tetapi pada uang pengobatan. Artinya, jika uang pasien sedikit, maka tingkat kesembuhannya pun kecil. Semua orang dapat berbuat nekat seperti yang dilakukan John dalam film tersebut. Resikonya palingpaling dipenjara atau mati. Yang terpenting, keluarga selamat. Namun, apakah tidak ada cara lain yang lebih baik? Apakah semua harus selalu diselesaikan seperti ala John Q? Apakah sistem layanan kesehatan yang diterapkan selalu menjadi beban bagi masyarakat? Jawabnya: tiap orang tentu menginginkan semuanya berjalan dengan baik. Seperti halnya John Q, terus berusaha mencari uang beaya pengobatan, walaupun harus menjual seluruh isi rumahnya sampai pada batas ketidakmampuannya. Menjawab sebuah pertanyaan sangatlah mudah. Namun realitas menunjukkan kompleksnya persoalan dalam suatu sistem layanan kesehatan, terutama soal beaya kesehatan. Kasus John Q ini tidak otomatis menunjukkan bahwa status kesehatan seseorang sepenuhnya dipengaruhi sistem layanan dan tingginya beaya kesehatan. Hanya sebagian status kesehatan itu dipengaruhi sistem layanan kesehatan, selebihnya ditentukan oleh faktor lingkungan, keturunan dan sosial budaya. Sebuah sistem layanan kesehatan yang ideal harusnya tidak mempersulit pasien dengan prosedur administrasi formal untuk mendapatkan status kesehatan yang lebih baik. Pembeayaan kesehatan pada
sistem layanan kesehatan harusnya tidak dibebankan sepenuhnya kepada penderita secara langsung. Di Indonesia, untuk menanggulangi masalah kesehatan bagi masyarakat miskin telah diterapkan program kartu sehat dengan beaya negara, berupa dana subsidi. Program ini sebenarnya bukan solusi untuk mengatasi masalah beaya kesehatan, karena di bagian lain masyarakat miskin tetap menderita akibat kenaikan harga BBM, yang dicabut subsidinya. Manajemen program kartu sehat ini juga sulit dipertanggungjawabkan ketepatan sasarannya karena faktor sosial budaya yang melekat di sebagian masyarakat. Kompleksitas masalah dalam sistem layanan kesehatan itu tidak terlepas dari komitmen negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kalau negara mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongannya, serta menerapkan dengan konsisten program pengentasan kemiskinan, tentu akan berdampak lebih baik bagi sistem lain di masyarakat terutama sistem layanan kesehatan. Kalau negara mau mengelola subsidi silang beaya kesehatan kalangan atas untuk masyarakat miskin, tentu tidak akan terjadi kisah John Q yang mendatangi rumah sakit untuk mendapatkan hak hidup sehat bagi anaknya. Kalau sistem layanan kesehatan selalu berorientasi pada kesembuhan pasien, tentu tidak akan terjadi pasien yang terlambat diselamatkan nyawanya karena masalah prosedur formal yang administratif semata. Perbaikan terhadap sistem layanan kesehatan dilakukan tanpa kesadaran bahwa sistem yang ada selama ini sungguh tidak adil dan banyak kekurangan dalam berbagai aspek, termasuk masalah beayanya. Tiap kita dapat menjadi John Q dan kita juga pasti akan merasakan akibatnya. *****(JK)
Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
21
puisi
Orang-Orang Miskin Oleh: W.S. Rendra
Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya menyuapi putra-putramu. Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu. Mereka tak bisa kamu biarkan. Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan dan buku programma gedung kesenian. Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada,
22
Perempuan Bergerak |
Edisi IV | Oktober - Desember 2011
bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah : orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim
Sajak Orang Kepanasan
Oleh: W.S. Rendra
Karena kami makan akar dan terigu menumpuk di gudangmu Karena kami hidup berhimpitan dan ruangmu berlebihan maka kami bukan sekutu Karena kami kucel dan kamu gemerlapan Karena kami sumpek dan kamu mengunci pintu maka kami mencurigaimu Karena kami telantar dijalan dan kamu memiliki semua keteduhan Karena kami kebanjiran dan kamu berpesta di kapal pesiar maka kami tidak menyukaimu Karena kami dibungkam dan kamu nyerocos bicara Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan maka kami bilang : TIDAK kepadamu Karena kami tidak boleh memilih dan kamu bebas berencana Karena kami semua bersandal dan kamu bebas memakai senapan Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara maka TIDAK dan TIDAK kepadamu Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air akan mengikis batu
J
aminan sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
S
istem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi tiap peserta dan/ atau anggota keluarganya.
Asuransi Sosial
A
suransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Tabungan Wajib
T
abungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial.
Bantuan Iuran
B
antuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
Peserta
P
eserta adalah tiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Manfaat
M
anfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
Iuran
I
uran adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
pojok kata
Jaminan Sosial
Pekerja
P
ekerja adalah tiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi Kerja
P
emberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan pegawai dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Gaji atau Upah
G
aji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Kerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kecelakaan ecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi (BPJS) dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang
B
adan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.BPJS tersebut, seperti: Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
Dana Jaminan Sosial
D
ana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya, yang dikelola oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembeayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.
K
terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Cacat
C
acat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
Cacat Total
C
acat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. *****(JK)
Edisi IV | Oktober - Desember 2011 | Perempuan
Bergerak
23