SKRIPSI
PEMBUATAN PRODUK NASI SINGKONG INSTAN BERBASIS FERMENTED CASSAVA FLOUR SEBAGAI BAHAN PANGAN POKOK ALTERNATIF
SHOFIA KUSUMA DEWI
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PEMBUATAN PRODUK NASI SINGKONG INSTAN BERBASIS FERMENTED CASSAVA FLOUR SEBAGAI BAHAN PANGAN POKOK ALTERNATIF
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SHOFIA KUSUMA DEWI F24104012
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMBUATAN PRODUK NASI SINGKONG INSTAN BERBASIS FERMENTED CASSAVA FLOUR SEBAGAI BAHAN PANGAN POKOK ALTERNATIF
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SHOFIA KUSUMA DEWI F24104012 Dilahirkan pada tanggal 17 Februari1986 di Bogor Tanggal lulus :
Agustus 2008
Menyetujui, Bogor,
Agustus 2008
Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan SHOFIA KUSUMA DEWI. F24104012. Pembuatan Nasi Singkong Instan Berbasis Fermented Cassava Flour sebagai Bahan Pangan Alternatif Pengganti Nasi. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, Msi.
ABSTRAK Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tingginya kebutuhan Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok cukup memprihatinkan, jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan pemerintah harus mengimpor dari negara lain. Padahal, selain beras masih banyak tanaman sumber karbohidrat lain yang tumbuh subur di Indonesia, salah satunya singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta crantz). Kandungan karbohidrat singkong mendekati beras, singkong mampu tumbuh di lahan yang kurang subur, dan produktivitasnya tinggi. Melihat potensinya, singkong dapat dijadikan sebagai alternatif bahan makanan pokok alternatif. Akan tetapi, hingga saat ini pemanfaatan singkong terbatas sebagai bahan baku tapioka dan makanan tradisional. Selain itu, singkong masih dikenal sebagai bahan pangan yang tergolong inferior. Oleh karena itulah, perlu dilakukan pengembangan produk makanan baru berbasis fermented cassava flour dengan penambahan tepung ikan teri, berupa nasi instan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Tepung ikan teri ditambahkan untuk meningkatkan kadar protein. Tepung ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan sumber protein lain. Hasil akhir yang diinginkan adalah tahan lama, mutu organoleptik dan nilai gizi yang baik, waktu rehidrasi yang singkat (penyajian cepat), serta mudah dalam pembuatannya Penelitian dilakukan 3 tahap, yaitu penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan analisis formula terpilih. Penelitian pendahuluan merupakan tahap persiapan bahan baku, yaitu pembuatan tepung ikan teri dan tepung singkong fermentasi. Rendemen masing-masing sebesar 28.84% dan 14.91%. Penelitian utama berupa penentuan metode yang akan digunakan dalam pembuatan nasi singkong instan. SOP yang dihasilkan adalah pencampuran, penghabluran, pembutiran, penyortiran, penyangraian, pengukusan, penyangraian, perebusan, dan pengeringan. Nasi singkong tersebut dibuat dalam 5 formulasi dengan perbandingan tepung singkong : tepung ikan teri 100:0 (F0), 97.5:2.5 (F1), 95:5 (F2), 92.5:7.5 (F3), dan 90:10 (F4). Sedangkan tahapan terakhir, yaitu analisis formulasi terpilih berupa analisis proksimat, kadar serat kasar, daya cerna pati, aktivitas air, analisis nilai energi, daya serap air dan waktu rehidrasi. Hasil uji organoleptik dan uji pembobotan menunjukkan F1 (tepung singkong : tepung ikan teri 97.5 : 2.5) sebagai formulasi yang paling disukai oleh panelis. Penampakan produk nasi singkong instan sebelum direhidrasi yaitu warnanya coklat transparan, bentuknya bulat kurang sempurna, seragam, dan teksturnya keras, renyah, serta permukaannya agak halus. Sedangkan penampakan setelah direhidrasi dengan cara diseduh air panas selama 5 menit yaitu bentuknya bulat sempurna seperti bola dan tidak hancur, warnanya coklat transparan, dan teksturnya agak lembek, kenyal, tidak ada spot utih di tengahnya, tidak berasa tepung, dan permukaannya halus. Hasil analisis kimia dan fisik pada formulasi terpilih (F1) adalah kadar air 9.08%, kadar abu 0.81%, kadar lemak 0.78%, kadar protein 1.69%, kadar karbohidrat 87.64%, kadar serat kasar 2.98%, Aw 0.616, dan daya cerna pati 26.77%, nilai energi 364.38%, daya serap air 177.83%, dan waktu rehidrasi 5 menit.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Shofia Kusuma Dewi yang dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1986 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Fathul Mudjib dan Surti Zaujiyah. Penulis menempuh pendidikan awal di TK Tunas Wijaya Bogor (1991-1992), kemudian menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri Sasana Wiyata I Bogor sejak tahun 1992 hingga tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis masuk ke SLTP Negeri 5 Kota Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di Kabupaten Madiun, yaitu di SMA Negeri 1 Geger Madiun pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, yang diterima melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan KOPMA IPB selama tahun 2004-2005. Selain itu, penulis aktif dalam kepanitiaan “ Ice Cream Campus Fair KOPMA IPB 2004” tahun 2004, “Seminar Nasional Bussines on Saturday” tahun 2005, “Masa Perkenalan Fakultas FATETA” tahun 2006, dan “Masa Perkenalan Departeman ITP (BAUR)” tahun 2006. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana teknologi pertanian, penulis melakukan tugas akhir berupa penelitian. Penelitian tersebut berjudul “Pembuatan Produk Nasi Singkong Instan Berbasis Fermented Cassava Flour sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif” di bawah bimbingan Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pembuatan Nasi Singkong Instan Berbasis Fermented Cassava Flour sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian karya ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu dan mendoakan penulis dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsinya. Amin yaa rabbal alamin. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Kedua orang tuaku. Kata dan perbuatan tak kan cukup membalas segala kasih sayang, pengorbanan, kerja keras, doa dan semua yang telah diberikan. Ibu, terima kasih telah melahirkan dan mengajarkan arti kibijaksanaan dan ketegasan. Bapak, terimakasih telah membesarkanku serta mengajarkan arti kesabaran dan ketenangan. Kalian berdua, terima kasih telah membuatku menjadi pribadi seperti ini. You’re the best parents.
2.
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc, selaku dosen pembimbing yang selama 3 tahun ini telah memberikan pengarahan, nasehat, saran, motivasi, kritik dan saran yang membangun.
3.
Ir. Arif Hartoyo, Msi dan Elvira Syamsir, S.TP, Msi selaku dosen penguji.
4.
Kakak-adikku, Mas Apung & Mbak Ning, Mas Zakiy, Luthfi, Hanif, Pipit, Mbak Dewi, atas keceriaan, canda dan tawanya. Kalian pulalah motivator dan pembangkit semangatku untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
5.
Keluarga Pakpuh Uri & Bude En, dan keluarga Pak Nur & Bulek Min, atas segala doa dan bantuannya selama penulis tinggal di Bogor.
6.
Sepupu-sepupuku, D’ Rully (my assistant ☺, makasih ya bu buat semuanya), D’ Asep, Mas Danang, Mas Didin, Mas Fadil, Mas Dino, Mbak Ana-Ayu, dll canda tawa kalian membuatku jadi gila ^_^
7.
Teman-teman Penghuni kostan WJ: Yusi, Astri, Hasti, Riski, Reriel, Sherly, Elmi, Vivin dan semua yang penulis tak sanggup menuliskannya satu
persatu, kalianlah keluarga keduaku di Kota Hujan ini. Especially buat Ulil & Ratna, terima kasih mau menjadi tong sampahku, suka duka, tangis dan tawa telah kita lewati bersama selama 3 tahun terakhir, maafkan bila banyak penganiayaan ^_^ (peace !!) 8.
Teman-teman satu bimbingan, Gina & Sigit, perjuangan kita yang sesungguhnya tidak berakhir sampai disini, perjalanan kita masih panjang. Semangat ya!!!
9.
Ofa, Faried, dan Qia, makasih ya atas IRNnya..
10.
Cici dan Qia, sahabatku dari awal perkuliahan, yang satu aktivis, satunya ladi scientist. Makasih atas kepercayaan yang telah kalian berikan..
11.
Teman-teman ITP’41 yang pernah satu kelompok: Dila, Ame, Novi, Sucen, Shinta, Jendy, Ecy, Tomi, Chabib, Nanang, Sofiyan, Bina, dll... Banyak kenangan selama praktikum di ITP yang tidak mudah untuk dilupakan.
12.
Teman-teman di Lab. Pengolahan (L2): Prita, Novi, Bina, Dyah, Nona, M’Lina, Ary, Dikin, Sherly, Titin..maaf ya kalo alat-alat dan bahan2nya sering dipinjem dan diminta. Bersama kalian Lab L2 jadi seru ☺
13.
Teman-teman selama KKN 2007 di Desa Petir : Ety, Odhe, K’ Dani, dan K’ Irwan, serta adik-adik bimbingan di desa Petir. Sebulan lebih kita bersama, penuh perjuangan, kerja keras, pengorbanan, canda-tawa dan tangis, seru dan tak terlupakan! ☺ membuat kita saling mengenal lebih dalam...
14.
Teman-Laboran-laboran di lab ITP: Bu Antin, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Narya, dan Pak Rojak. Terima kasih atas bantuannya selama melakukan penelitian di Lab.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 21 Agustus 2008 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ..............................................................................................i DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL....................................................................................................v DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vii I. PENDAHULUAN .............................................................................................1 A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Tujuan ..........................................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................4 A. Singkong (Manihot esculenta) .....................................................................4 1.
Singkong secara Umum ........................................................................4
2. Fermented Cassava Flour......................................................................7 B. Ikan Teri (Stolephorus sp.)...........................................................................8 1. Ikan Teri secara Umum..........................................................................8 2. Tepung Ikan Teri..................................................................................10 C. Teknologi Instanisasi .................................................................................12 D. Penganekaragaman Pangan........................................................................13 III. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................16 A. Bahan dan Alat...........................................................................................16 B. Metode .......................................................................................................16 1. Penelitian Pendahuluan ........................................................................16 a. Pembuatan Fermented Cassava Flour...........................................16 b. Pembuatan Tepung Ikan Teri.........................................................17 2. Penelitian Utama ..................................................................................17 a. Pembuatan Nasi Singkong Mentah ................................................17 b. Penentuan Metode Pembuatan Nasi Singkong Instan....................19 3. Analisis ................................................................................................20 a. Kadar air, metode oven ..................................................................20 b. Kadar Abu, metode tanur ...............................................................20
c. Kadar Protein, metode mikro Kjehldal ..........................................20 d. Kadar Lemak, metode Sokhlet.......................................................21 e. Kadar Karbohidrat .........................................................................22 f. Analisis Nilai energi ......................................................................22 g. Aktifitas air ...................................................................................22 h. Daya cerna pati in vitro..................................................................22 i. Kadar serat kasar............................................................................23 j. Daya serap air ................................................................................23 k. Waktu rehidrasi .............................................................................23 l. Uji organoleptik .............................................................................23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................25 A. Pembuatan Tepung Fermented Cassava Flour..........................................25 B. Pembuatan Tepung Ikan Teri.....................................................................27 C. Penentuan Metode Pembuatan Nasi Singkong ..........................................28 D. Penentuan Formulasi Terbaik ....................................................................35 1.
Warna ..................................................................................................36
2. Aroma ..................................................................................................37 3. Tekstur .................................................................................................39 4. Rasa......................................................................................................40 E. Analisis Formulasi Terbaik........................................................................42 1.
Kadar air..............................................................................................42
2. Kadar Abu ............................................................................................43 3. Kadar Protein .......................................................................................44 4. Kadar Lemak........................................................................................44 5. Kadar Karbohidrat ...............................................................................45 6. Daya cerna pati in vitro........................................................................45 7. Analisis Nilai energi ............................................................................46 8. Kadar serat kasar..................................................................................46 9. Daya serap air.......................................................................................47 10. Aktifitas air ......................................................................................... 47 11. Waktu rehidrasi ...................................................................................47
V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................49 A. Kesimpulan ................................................................................................49 B. Saran ..........................................................................................................49 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................50 LAMPIRAN...........................................................................................................54
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi kimia singkong (per 100 gram bahan) .................................5
Tabel 2.
Data produksi singkong Indonesia tahun 2002-2005 (dalam ton).) .......6
Tabel 3.
Komposisi kimia ikan teri kering, basah, dan bubuk (per 100 gram bahan)...................................................................................................10
Tabel 4.
Data produksi dan konsumsi beras tahun 2001-2004 (dalam ton) .......14
Tabel 5.
Hasil analisis proksimat Fermented cassava flour...............................26
Tabel 6.
Rendemen fermented cassava flour......................................................27
Tabel 7.
Rendemen tepung ikan .........................................................................28
Tabel 8.
Formulasi nasi singkong instan ............................................................29
Tabel 9.
Data hasil uji organoleptik nasi singkong instan..................................36
Tabel 10. Hasil analisis proksimat produk nasi singkong instan, beras, dan mie kering ..................................................................................................42
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Singkong (Manihot esculenta crantz.) .................................................4 Gambar 2 . Ikan teri (Stolephorus commersonii) kering dan segar........................9 Gambar 3. Tepung ikan ........................................................................................11 Gambar 5. Diagram alir pembuatan fermented cassava flour..............................17 Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung ikan teri ...........................................18 Gambar 7. Diagram alir pembuatan nasi singkong instan mentah.......................18 Gambar 8. Diagram alir penentuan metode pembuatan nasi singkong instan .....19 Gambar 9. Nasi singkong hasil pembutiran ........................................................31 Gambar 10. Nasi singkong hasil penyangraian (Nasi singkong mentah)............31 Gambar 11. Nasi singkong instan (a) sebelum rehidrasi, dan (b) setelah rehidrasi ....................................................................34 Gambar 12. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter warna .....................37 Gambar 13. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter warna .....................38 Gambar 14. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter tekstur....................39 Gambar 15. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter rasa ........................40 Gambar 16. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter rasa dengan penambahan lauk ..............................................................................41
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. SOP pembuatan nasi singkong instan..............................................55 Lampiran 2. Produk akhir setelah pemasakan, pengeringan, dan setelah direhidrasi dengan air panas...........................................................56 Lampiran 3. Produk akhir setelah pemasakan dan pengeringan sebelum direhidrasi ......................................................................................57 Lampiran 4. Kuisioner pada uji organoleptik ......................................................58 Lampiran 5. Jawaban pertanyaan pendahuluan....................................................59 Lampiran 6. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna dan aroma .........60 Lampiran 7. Hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa dan tekstur............61 Lampiran 8. Hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa tanpa lauk dan rasa dengan penambahan lauk ...............................................................62 Lampiran 9: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter warna pada nasi singkong instan ..............................................................................63 Lampiran 10: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter aroma pada nasi singkong instan .......................................................................64 Lampiran 11 : Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter rasa pada nasi singkong instan ..............................................................................65 Lampiran 12 : Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter tekstur pada nasi singkong instan .......................................................................66 Lampiran 13: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter rasa dengan penambahan lauk pada nasi singkong instan ................................67
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan pangan sepertinya tidak pernah lepas dari kehidupan bangsa Indonesia, terutama petani yang merupakan masyarakat mayoritas Indonesia. Salah satu masalah pangan yang ada di Indonesia adalah ketergantungan masyarakat Indonesia akan komoditi bahan pangan tertentu, diantaranya beras dan gandum (terigu). Data Departemen Pertanian 2005 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 sampai 2004 tingkat kebutuhan beras Indonesia meningkat dari 32.771.264 ton sampai 33.669.384 ton, sedangkan produksi yang tersedia hanya 30.283.326 ton sampai 31.200.941 ton (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan pangan pokok rakyatnya sehingga pemerintah harus mengimpor dari negara lain. Peningkatan jumlah penduduk yang tajam setiap tahunnya dan telah
mengakarnya istilah “belum makan kalau tidak makan nasi”
menyebabkan masalah ini semakin memprihatinkan. Pada akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Menurut Undang Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, merata, serta terjangkau. Bahan pangan yang dimaksud adalah bahan pangan pokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok itu antara lain bisa diperoleh dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, garut, dan sebagainya. Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap beras, gandum, dan bahan impor lain diperlukan suatu upaya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya dari sumber-sumber lokal Indonesia, salah satunya dengan cara diversifikasi pangan atau penganekaragaman pangan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai macam bahan pangan indigenous. Salah satunya adalah singkong yang nilai kalorinya mendekati nilai kalori pada beras.
Potensi keberadaan singkong di Indonesia cukup besar. Singkong dapat tumbuh di tanah yang kurang subur sekalipun dengan perawatan yang tidak terlalu rumit. Saat ini ada sekitar 1.2 juta Ha areal penanaman singkong. Menurut data BPS 2006 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi singkong pada tahun 2001-2006, yaitu berkisar antara 16.913.104 ton sampai 19.907.304 ton (Tabel 2). Menurut Dewanti et. al., (2002), singkong adalah bahan pangan terpenting ke-4 setelah beras, jagung, dan kedelai. Selain itu, singkong juga sebagai bahan makanan pokok terbanyak ke-3 setelah padi dan jagung. Indonesia adalah negara pengekspor singkong terbesar kedua setelah Thailand. Hal ini merupakan potensi singkong yang cukup bagus untuk menggantikan beras dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan Indonesia. Namun, hingga saat ini pengolahan singkong yang dianggap sebagai pangan inferior hanya sebatas pangan substitusi karbohidrat ataupun hanya diolah secara minimal menjadi pangan langsung jadi. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan sumber bahan pangan lain. Ikan mengandung protein yang berkualitas tinggi. Protein dalam ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. Selain itu, protein ikan amat mudah dicerna dan diabsorpsi. Daging ikan mempunyai serat-serat protein yang lebih pendek daripada serat-serat protein daging sapi atau ayam (Soenardi, 2004). Ikan juga merupaka salah satu sumber asam lemak tak jenuh (omega-3, Eicosapentanoic acid/EPA, Docosapentanoic acid/DHA), yodium, selenium, fluoride, zat besi, magnesium, zink, taurin, dan coenzyme 10 (Anonim, 2007). Oleh karena itu diperlukan suatu inovasi teknologi yang dapat menjawab tantangan untuk mengolah bahan pangan yang kurang populer ini, serta meningkatkan nilai tambahnya. Salah satu faktor yang sangat penting dalam
menyukseskan
progran
penganekaragaman
pangan
adalah
melaksanakan product development yang memiliki sifat sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak bersisa, dan mudah diperoleh (Supriadi, 2007). Bentuk pangan yang siap olah dan siap santap
merupakan pilihan terbaik. Teknologi yang dicoba dalam penelitian ini adalah teknologi inovatif pembuatan produk pangan berupa nasi singkong instan berbasis fermented cassava flour dengan penambahan tepung ikan teri.
II. Tujuan Tujuan dari pengembangan teknologi yang diterapkan pada umbi singkong ini adalah menghasilkan produk pangan baru berupa nasi singkong instan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Hasil akhir yang diinginkan adalah tahan lama, mutu organoleptik dan nilai gizi yang baik, waktu rehidrasi yang singkat (penyajian cepat), serta mudah dalam pembuatannya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Singkong (Manihot esculanta)
1. Singkong Secara Umum Ubi kayu atau singkong termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub-devisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculanta Crantz dengan berbagai varietas. Umbi yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat cadangan makanan (Anonim, 2006). Berdasarkan kandungan HCN-nya, singkong terbagi menjadi dua jenis, yaitu singkong pahit (Manihot palmata) dan singkong manis (Manihot aipii). Kandungan sianogen pada singkong diakibatkan oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Westby, 2002). Umbi singkong memiliki bentuk bulat memanjang, dan daging umbi mengandung pati. Setiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi (Anonim, 2006). Komposisi kimia singkong disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Umbi singkong (Manihot esculenta crantz.)
Ubi kayu (umbi segar) umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non-pangan
(Budiyanto dan Suhardiyanto, 2002). Umbi
singkong selain direbus, dikukus atau digoreng untuk konsumsi dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, kimia, farmasi, dan tekstil. Selain umbi, batang dan daun singkong juga dapat dimanfaatkan. Daunnya yang masih muda banyak mengandung vitamin A sehingga baik untuk
hidangan sayur, sedangkan daunnya dapat dipakai untuk bahan bakar atau sebagai stek tanaman baru dan pagar rumah.
Tabel 1. Komposisi kimia singkong (per 100 gram bahan) No. Komponen Singkong Singkong Kuning 1 Kalori (kkal) 146 157.0 2 Protein (gram) 0.8 0.8 3 Lemak (gram) 0.3 0.3 4 Karbohidart (gram) 4.7 37.9 5 Air (gram) 62.5 60.0 6 Kalsium (mg) 33.0 33.0 7 Fosfor (mg) 40.0 40.0 8 Besi (mg) 0.7 0.7 9 Asam askorbat (mg) 30.0 30.0 10 Thiamin (mg) 0.06 0.06 11 Vitamin A (IU) 0.0 385 12 Bagian yang dapat dimakan (%) 75.0 75.0 Sumber : Departemn Kesehatan (2005)
Menurut Budiyanto (2008), beberapa kelebihan tanaman singkong diantaranya sangat mudah didapat, karena singkong sangat mudah ditanam di Indonesia. Ditambahkan pula oleh Sawega (2007), produktivitas singkong juga cukup tinggi yaitu 12,2 ton/ha, sedangkan padi 3,8 ton/ha dan gandum 1,8 ton/ha. Selain itu, dari data BPS 2006, tingkat produksi singkong
terus meningkat sejak tahun 2001-2006, seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 2. Singkong juga memiliki daya adaptasi lingkungan yang cukup tinggi, karena itu dapat tumbuh di semua propinsi di Indonesia. Budidayanya mudah karena dapat tumbuh di tanah yang relatif tidak subur, serta tidak memerlukan banyak pupuk atau pestisida. Kandungan utama ubi kayu adalah karbohidrat sebagai komponen terpenting dalam sumber kalori, dimana karbohidratnya mengandung pati sebanyak 64-75 %. Sedangkan patinya mengandung amilosa sebanyak 17-20 % (Hafsah, 2003)
Menurut Noordia (2005), ubi kayu memproduksi glukosida sianogenik (linamarin), yang secara enzimatis dirusak selama perusakan sel menghasilkan sianida. Racun sianogenik harus dikurangi sampai sekecil-kecilnya karena apabila dikonsumsi dapat menyebabkan tubuh manusia kekurangan yodium dan protein. Fermentasi adalah salah satu metode untuk mendetoksifikasi ubi kayu yang dapat meningkatkan nutrisi dan mutu organoleptiknya. Selain fermentasi, metode lain yang dapat digunakan untuk mengurangi jumlah glukosiada sianogenik tersebut adalah dengan cara penyucian, perendaman, pemasakan, dan pengeringan (Anwar, 2004).
Tabel 2. Data produksi singkong Indonesia tahun 2002-2005 (dalam ton) Tahun 2002 2003 2004 2005 2006* (Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006)
Produksi 16.913.104 18.523.810 19.424.707 19.321.183 19.907.304
Walaupun ubi kayu mengandung racun yang membahayakan, namun ubi kayu telah dikonsumsi secara umum tanpa adanya efek keracunan yang berarti. Hal ini dikarenakan metode pengolahan tradisional mampu mengurangi kandungan sianida umbi hingga batas yang tidak membahayakan. Proses pengolahan tersebut adalah perendaman, pengeringan, perebusan, fermentasi dan kombinasi dari proses-proses tersebut. Perendaman yang diikuti dengan perebusan dapat menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup sangat ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun (Astawan, 2004) Pada beberapa daerah di Indonesia, melimpahnya singkong di pasaran diatasi dengan cara pengawetan melalui metode pengeringan. Di pulau Jawa dikenal dengan nama gaplek. Gaplek adalah umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan
dengan sinar matahari (dijemur) atau buatan. Produk ini ditumbuk halus menjadi tepung dan diproses halus, antara lain sebagai panganan pengganti nasi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur produk ini populer dengan nama tiwul. Seringkali, karena faktor cuaca singkong tidak kering dengan baik sehingga ditumbuhi sejenis jamur yang menyebabkan singkong tersebut kehitaman. Meskipun jenis ini bermutu rendah, justru hal ini disukai oleh sebagian masyarakat karena dianggap menjadikan singkong bercita rasa khas. Produk hasil olahan singkong yang berjamur ini dikenal sebagai gatot dan menjadi makanan populer untuk sarapan. Selain dijemur, singkong juga difermentasi untuk dijadikan tapai atau dibuat tapioka (endapan pati singkong yang dikeringkan).
2. Fermented Cassava Flour Fermentasi merupakan proses yang penting, terutama di negaranegara Afrika. Terdapat tiga tipe fermentasi utama yang dikenal, yaitu fermentasi parutan umbi, fermentasi umbi dengan perendaman, dan fermentasi kapang pada umbi yang ditumpuk (Westby, 2002). Fermentasi parutan umbi singkong umumnya banyak dilakukan di daerah Afrika Barat. Ciri khasnya adalah parutan umbi singkong difermentasi dalam karung selama 3-5 hari sehingga terjadi fermentasi asam laktat dan sebagai akibatnya terjadi penurunan pH hingga 4.0. Kultur starter hanya ada di Cote d’Ivoire. Kultur ini ditambahkan selama pemarutan, tujuannya untuk membuat jadi lebih lembut. Walaupun kemungkinan banyak mikroorganime yang terlibat di dalamnya,
yang
dominan adalah bakteri asam laktat. Fermentasi umbi singkong dengan perendaman banyak diterapkan di daerah Sierra Leone sampai Tanzania. Jenis produk yang dihasilkan berupa pasta basah dan tepung kering. Umbi singkong direndam dalam air dengan atau tanpa pengupasan selama 3-5 hari. Fermentasi menyebabkan umbi
mejadi
lebih
lunak.
Pada
awal
fermentasi,
ada
banyak
mikroorganisme, diantaranya Bacillus spp., Leuconostos spp., Klebsiella spp.,
Corynebacterium ispp.,
Lactobacillus spp., Aspergillus spp.,
Candida spp., dan Geotrichum spp. Namun, pada akhir fermentasi, yang mendominasi adalah bakteri asam laktat dan khamir. Aroma khas yang tercium merupakan aroma butirat yang dihasilkan Clostridium (Westby, 2002). Fermentasi umbi yang ditumpuk diproduksi di Tanzania, Uganda dan Mozambiq. Fermentasi jenis ini dilakukan dengan menumpuk umbi yang sudah dikupas dan dibiarkan agar terjadi fermentasi secara alami (spontan). Mikroorganisme yang terlibat dalam fermentasi ini antara lain Rhizopus spp., Mucor spp., Penicillium spp., dan fusarium spp. (Westby, 2002). Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan menghasilkan asam-asam organik yang kemudian bercampur dalam irisan singkong. Hal ini mengakibatkan ketika tepung singkong diolah akan menghasilkan aroma dan rasa khas sehingga dapat menutupi aroma dan rasa singkong yang kurang disukai.
B. Ikan Teri (Stolephorus sp)
1. Ikan Teri Secara Umum Ikan dari marga Stolephorus biasa dikenal dengan nama ikan teri. Ikan teri (Stolephorus Spp) merupakan salah satu ikan favorit karena mulai dari kepala, daging sampai tulangnya dapat langsung dikonsumsi. Ikan teri sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai lauk makan seharihari karena mudah diperoleh dan dapat dimasak untuk berbagai menu. Di Indonesia, jenis ikan teri sedikitnya ada 9 jenis. Diantaranya adalah Stolephorus heterolobus, Stolephorus insularis, Stolephorus zollingeri
yang mempunyai ukuran tubuh kecil sekitar 4-5 cm. Tetapi ada pula yang berukuran besar, misalnya Stolephorus commersonii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah dengan panjang mencapai 10 cm (Retnowati, 2004). Ikan teri termasuk ke dalam phylum vertebrata, dengan kelas Actinoterrygii, famili engraulidae, genus stolephorus dan spesies S. commersonii. Ciri-ciri ikan teri adalah badan silindris, bagian perut membulat, kepala pendek, moncong nampak jelas dan runcing, anal sirip dubur sedikit dibelakang dan warna tubuh pucat (Anonim, 2008b).
Gambar 2 . Ikan teri (Stolephorus commersonii) kering dan segar
Sebagian besar ikan teri bersifat pelagik dan menghuni perairan pesisir dan estuaria dengan bergerombol biasanya sampai ratusan atau ribuan individu (Wiyati, 2004). Makanannya terdiri dari berbagai jenis plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk jenis-jenis teri yang berbeda. Teri mempunyai daerah sebaran yang luas di seluruh perairan pantai Indonesia, melebar ke utara sampai tanjung Benggala, Philipina, dan ke selatan sampai Queensland (Australia), juga ke barat sampai Afrika Timur (Retnowati, 2004). Ikan teri termasuk dalam famili Engraulidae dan biasanya merupakan hasil sampingan dari nelayan. Namun potensi gizinya sungguh luar biasa. Teri merupakan bahan pangan yang kaya akan kalsium, baik untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Kandungan asam lemaknya penting untuk
merangasang
pertumbuhan
otak.
Kadar
selenium
yang
dikandungnya dapat membantu metabolisme vitamin C dan E sebagai antioksidan. Di samping mengandung protein tinggi tepung ikan teri juga mengandung
kalsium tinggi serta kandungan vitamin B kompleks
(Muaris, 2006). Bagian yang dapat dimakan (BDD-nya) sangat tinggi, yaitu 100% menyebabkan kandungan protein ikan teri cukup tinggi dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Selain itu, protein ikan amat mudah dicerna dan diabsorpsi. Daging ikan mempunyai serat-serat protein yang lebih pendek daripada serat-serat protein daging sapi atau ayam (Soenardi, 2004).
Tabel 3. Komposisi kimia ikan teri kering, basah, dan bubuk (per 100 gram bahan) No.
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Ikan teri segar 77 1 1 0 80 500 500 1 0 0.05 47
Kalori (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Air (gram) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Asam askorbat (mg) Thiamin (mg) Vitamin A (IU) Bagian yang dapat 12 100 dimakan (%) Sumber : Departemen Kesehatan (2005)
Ikan teri kering 331 68.7 4.2 0 16.7 2381 1500 23.4 0 0.1 62 100
Teri bubuk 277 60 2.3 1.8 15 1209 1225 3 0 0.1 92 100
2. Tepung Ikan Teri Tepung ikan merupakan produk pengawetan ikan dengan cara pengeringan yang dilanjutkan dengan penepungan. Tepung ikan dapat didefinisikan sebagai produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan (Anonim, 2008a). Sedangkan menurut Tutuarima (2007), tepung ikan merupakan suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar cairan dan sebagian atau seluruh lemak yang terkandung di dalam tubuh ikan.
Gambar 3. Tepung ikan
Menurut Tutuarima (2007), bahan baku tepung ikan yang biasa digunakan dapat dibagi menjadi tiga kategori: 1. Ikan yang ditangkap dan dijual dengan tujuan diolah menjadi tepung ikan (ikan untuk industri) misalnya ikan ”anchovy” (ikan kecil) di Peru, ikan ”anchovy” dan ”pilchard” di Afrika Selatan, ikan ”hering” (ikan haring) dan ”capelin” di Norwegia dan Denmark, dan ikan ”menhaden” di Amerika. 2. ”By-catch”, atau ikan hasil samping penangkapan. 3. Jeroan dan limbah ikan dari pengolahan ikan. Tepung ikan teri dibuat dengan cara dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan api, kemudian digiling hingga halus dan lembut. Sedangkan untuk mendapatkan tepung ikan yang baik harus dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : pencucian ikan, penggilingan awal yang bertujuan untuk menghancurkan jaringan ikan, lalu dilakukan tahap pemasakan. Tahap ini dilakukan dengan cara pengukusan, kemudian dilakukan pengepresan, setelah itu dikeringkan. Setelah kering digililng hingga diperoleh tepung ikan yang halus dan baik (Muaris, 2006). Produk lain yang hampir menyerupai tepung ikan adalah Konsentrat Protein Ikan (KPI). KPI didefinisikan sebagai suatu produk untuk konsumsi manusia yang dibuat dari ikan utuh atau hewan air lainnya, atau bagian dari hewan air, dengan cara menghilangkan sebagian besar lemak dan airnya, sehingga diperoleh kandungan protein yang tinggi dari bahan baku asalnya (Aminev, 2007). KPI merupakan produk yang tidak hanya kaya akan protein, tetapi juga mengandung mineral dan protein.
Konsentrat protein ikan dapat dikelompokkan atas tiga tipe yaitu tipe A, B dan C. Tipe A dan B adalah konsentrat yang memiliki kadar lemak lebih rendah dari 3%, sedangkan tipe C memiliki kadar lemak yang melebihi 3% hingga 10%. Berdasarkan hal tersebut bubuk daging lumat ikan termasuk pada tipe C, sedangkan bubuk konsentrat, isolat dan isolat termodifikasi termasuk pada tipe A atau B (Huda et. al.,2008).
C. Teknologi Instanisasi Produk instan dapat diartikan sebagai produk yang secara cepat dapat diubah menjadi produk yang siap dikonsumsi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) makanan instan merupakan jenis makanan cepat saji dan praktis untuk dikonsumsi. Penyajiannya dapat dengan menambahkan air panas ataupun susu sesuai dengan selera. Pada dasarnya untuk membuat makanan instan dilakukan dengan menghilangkan kadar airnya sehingga mudah ditangani dan praktis dalam penyediaannya. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan dalam pembuatan produk instan adalah pati. Pati yang digunakan sebagai bahan baku adalah pati yang telah mengalami gelatinisasi dan dikeringkan. Meskipun pati tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat asalnya sebelum gelatinisasi, pati kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar (Winarno, 2002). Sifat inilah yang digunakan pada pembuatan produk instan agar produk instan yang dihasilkan dapat menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Produk instan dapat dihasilkan dari hasil modifikasi pemasakan sehingga dapat diubah menjadi produk yang siap dikonsumsi dengan cepat, yaitu dengan cara merehidrasi menggunakan air panas selama beberapa saat (Pamularsih, 2006). Pemasakan bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan pengembangan granula pati. Sedangkan pengeringan dilakukan agar struktur produk bersifat porous. Struktur porous ini harus dihasilkan setelah pengeringan sehingga akan memudahkan air untuk meresap kembali ke dalam produk saat direhidrasi (Satyagraha, 2005).
Perubahan tekstur akibat pengeringan pada bahan pangan yang padat sangat penting untuk diperhatikan karena dapat merusak mutu produk. Kehilangan tekstur pada bahan pangan tersebut dapat disebabkan karena gelatinisasi pati, kristalisasi selulosa dan perubahan kelembaban yang terpusat selama pengeringan. Kegosongan, keretakan, dan kerusakan permanen lainnya akan mengakibatkan penampakan makanan menjadi berkerut dan lebih kecil (Fellow, 2001) Proses instan sempurna tampak dari kejadian berikut: pertama, bubuk/butiran yang terkena media basah/air akan menjadi basah dan beberapa saat kemudian akan tenggelam. Setelah itu, bubuk/butiran segera larut atau terdispersi merata dalam mediumnya. Tetapi kenyataannya hanya satu proses yang sempurna yaitu pembasahannya bagus tetapi tidak sempurna terdispersi. Dalam hal demikian biasanya yang menjadi pilihan utama adalah yang mudah terbasahi karena dispersi mudah dibantu dengan pengadukan (Satyagraha, 2005).
D. Penganekaragaman Pangan Salah satu langkah kebijaksanaan pangan dan gizi yang terdapat dalam Repelita VI adalah konsumsi pangan atau Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Almatsier (2001) dikatakan bahwa penganekaragaman pangan adalah upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk. Penganekaragaman pangan sangat penting untuk menghindari ketergantungan pada satu jenis bahan pangan, misalnya beras. Tingkat kebutuhan terhadap beras dan jumlah produksi yang tersedia tahun 2001-2004 dapat dilihat pada Tabel 4. Pemanfaatan sumber daya alam yang beraneka ragam jenis tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Hardinsyah et. al., (2001) menyatakan bahwa tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan adalah untuk peningkatan mutu gizi konsumsi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan.
Tabel 4. Data produksi dan konsumsi beras tahun 2001-2004 (dalam ton) Tahun Kebutuhan Produksi tersedia 2001 32.771.264 30.283.326 2002 33.073.152 30.586.159 2003 33.372.463 30.892.021 2004 33.669.384 31.200.941 (Sumber : Departemen Pertanian, 2005)
Defisit (impor) 2.487.920 2.486.993 2.480.442 2.468.443
Menurut Soenardi (2002), penganekaragaman pangan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan mempunyai konsekuensi tersedianya beragam pangan secara cukup, baik dari segi jumlah maupun mutu. Selain itu, harus merata dalam pendistribusian, harga terjangkau, dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Adanya penganekaragaman pangan ini memunculkan pemikiran untuk mengganti makanan pokok nasi dengan bahan pangan lainnya yang juga berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Beberapa produk makanan yang mungkin dapat menggantikan beras antara lain singkong, ubi jalar, talas, dan umbi-umbian lain. Bahan pangan ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk konsumsi masyarakat. Kendala yang dihadapi antara lain tidak tahan lama sehingga harus diolah terlebih dahulu untuk memperpanjang umur simpannya. Selain itu, adanya persepsi masyarakat yang menyebutkan bila mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras dianggap belum makan dan kurang bergengsi. Mengubah kebiasaan mengonsumsi nasi dengan makanan lain tidaklah mudah bila hanya mengganti nasi diganti dengan bahan lain sementara lauk pauknya tetap seperti untuk menemani nasi (Soenardi, 2002). Hal tersebut tentunya akan ditolak masyarakat karena berdasarkan kebiasaan, lauk pauk tersebut lebih terasa enak bila dikonsumsi bersama dengan nasi. namun bila bahan pangan tersebut diolah menjadi bentuk lain meskipun campurannya menggunakan selera tradisional atau yang telah mengena di lidah akan mudah diterima karena merupakan resep baru dengan selera baru. Untuk mengukur keberhasilan upaya diversifikasi pangan di bidang penyediaan dan konsumsi pangan diperlukan suatu parameter. Pada dasarnya, tingkat keanekaragaman pangan mencerminkan perimbangan komposisi antar jenis dan kelompok pangan. Oleh karena itu, salah satu parameter yang dapat
dipakai untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi/kelompok pangan (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. PPH merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi (Hardinsyah et. al.,, 2001).
III.
METODOLOGI
A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi singkong yang dibeli dari penjual di pasar, ikan teri segar yang dibeli di pasar, gula pasir, garam, CMC, soda kue, dan air. Bahan-bahan untuk analisis kimia, fisik, dan organoleptik, seperti K2SO4, aquades, HSO4, larutan NaOh-Na2S2O3, H3BO3, HCl, heksana, dan enzim α-amilase. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian pembuatan nasi singkong instan ini adalah mesin pembutir, baskom, sendok, ayakan 6, 8, 10, dan 20 mesh, kain saring, panci, wajan, kompor, oven pengering, Willey Mill, dan plastik. Alat-alat untuk analisis kimia dan fisik antara lain aw-meter, botol penyemprot, hotplate, gelas piala, tabung reaksi, sudip, pipet, dan peralatan lain untuk analisis proksimat dan uji organoleptik.
B. Metode
1. Penelitian Pendahuluan
a. Pembuatan fermented cassava flour Tahapan-tahapan dalam pembuatan fermented cassava flour diawali dengan pemilihan bahan baku berupa singkong yang masih segar dan tidak busuk, dengan diameter berkisar 3-6 cm. Singkong tersebut dikupas dan dicuci hingga bersih, kemudian dilakukan pengirisan. Setelah itu, irisan singkong tadi difermentasi. Fermentasi dilakukan dengan cara direndam larutan garam 2.5% selama 24 - 48 jam dalam wadah tertutup rapat, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 70 oC selama 12 jam. Untuk menjadikannya sebagai tepung, singkong yang telah kering tersebut digiling menggunakan Willey mill dengan ayakan 60 mesh. Diagram alir pembuatan fermented cassava flour dapat dilihat pada Gambar 5.
singkong pengupasan pencucian pengirisan setebal ±1 cm perendaman dalam larutan garam 2,5 % selama 24-48 jam penirisan pengeringan dengan oven bersuhu 70oC selama 12 jam penggilingan dengan Willey mill 60 mesh fermented cassava flour Gambar 5. Diagram alir pembuatan fermented cassava flour
b. Pembuatan tepung ikan teri Tepung ikan teri dibuat dari ikan teri yang masih segar, tidak berbau tajam, tidak berlendir, masih utuh dan teksturnya tidak lembek/hancur bila ditekan. Tahap pencucian dilakukan sebelum ikan teri tersebut dikukus selama 30 menit. Ikan teri yang telah matang kemudiian dikeringkan menggunakan Cabinet dryer bersuhu 80oC sekitar 5 jam, dan akhirnya digiling menggunakan Willey Mill dengan ayakan 60 mesh. Diagram alir pembuatan tepung ikan teri dapat dilihat pada Gambar 6.
2. Penelitian Utama
a.
Pembuatan nasi singkong mentah (beras singkong) Nasi singkong instan dibuat dari fermented cassava flour dengan ditambahkan tepung ikan teri dan bahan-bahan lain, yaitu soda kue, garam, gula, CMC, dan air. Tepung fermented cassava flour dan tepung ikan teri dipergunakan sebagai basis formulasi. Jumlah bahan-
bahan lain dihitung sebagai persentase dari basis formulasi. Jumlah bahan-bahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8. Setelah semua bahan tercampur rata, dilakukan penghabluran menggunakan ayakan 10 mesh. Kemudian disortir dengan ayakan 6 dan 8 mesh dan disangrai selama 5-6 menit. Diagram alir pembuatan nasi singkong instan mentah (beras singkong) dapat dilihat pada Gambar 7.
ikan teri segar pencucian hingga bersih pengukusan selama 30 menit pengeringan dengan Cabinet dryer 80 oCselama 5 jam penggiling dengan Willey mill 60 mesh tepung ikan teri Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung ikan teri
tepung singkong
tepung ikan teri
gula, garam, CMC, soda kue
Pencampuran (rasio fermented cassava flour dan tepung ikan teri 100:0, 97.5:2.5, 95:5, 92.5:7.5, 95:10) Air ¼ bagian Penghabluran dengan ayakan 10 mesh Pembutiran
Air ¾ bagian disemprotkan
Penyortiran dengan ayakan 6-8 mesh Penyangraian selama 5-6 menit Pendinginan (diangin-anginkan) NASI SINGKONG MENTAH (BERAS SINGKONG) Gambar 7. Diagram alir pembuatan nasi singkong instan mentah
b. Penentuan metode pembuatan nasi singkong instan Pembuatan nasi singkong instan dilakukan dengan tahapan pemasakan dan pengeringan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 8. Analisis yang dilakukan untuk menentukan metode terbaik adalah dengan melihat produk akhir secara sensori (subyektif). Parameterparameter yang diamati adalah bentuk, warna,/penampakan, dan tekstur produk sebelum dan setelah direhidrasi. •
Metode pemasakan Metode pemasakan nasi singkong yang terdiri dari tiga macam,
yaitu pengukusan selama 30 menit dan perebusan selama 30 menit, dan kombinasi keduanya. Perlakuan kombinasi waktunya ditentukan secara trial and error hingga produk matang, yaitu sampai tidak terlihat spot putih di bagian tengah produk nasi singkong. • Metode pengeringan Nasi singkong dikeringkan dengan menggunakan ketiga metode tersebut, penyangraian,
dan
yaitu pengeringan dengan oven pengering, kombinasi
keduanya.
Waktu
pengeringan
ditentukan secara trial and error (hingga produk terlihat kering).
Gambar 8. Diagram alir penentuan metode pembuatan nasi singkong instan
3. Analisis
a.
Kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3-4 gram contoh dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.
Kadar air =
(berat awal contoh − berat akhir contoh ) X 100 % berat awal contoh
b. Kadar Abu, metode tanur (AOAC,1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin
dipanaskan
terlebih
dahulu
dalam
oven,
kemudian
didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 600oC sampai berwarna putih dan berat konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu =
c.
berat abu X 100 % berat contoh
Kadar Protein, metode mikro Kjehldal (AOAC, 1995) Sebanyak 1-2 gram contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, lalu ditambahkan 1,9 + 0,1 gram K2SO4, 40 + 10 ml H2O, dan 2,0 + 0,1 ml H2SO4. Kemudian contoh dididihkan sampai cairan jernih. Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air kemudian air
cuciannnya dimasukan ke dalam alat destilasi. Dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH – Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakkan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi erlemeyer diencerkan sampai 50 ml lalu dititrasi dengan HCl 0,02 % sampai terjadi perubahan warna menjadi abu.
%N =
(ml HCl contoh − ml HCL blanko) X N HCl X 14.007 X 100% mg Contoh
% Pr otein= % N X 6,25
d. Kadar Lemak, Metode Sokhlet (AOAC, 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi sokhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dikeringkan (sisa kadar air) dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut di masukan ke dalam alat ekstraksi sokhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang. Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut :
% lemak
=
berat lemak ( g ) X 100 % berat contoh ( g )
e.
Kadar Karbohidrat Perhitrungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan : Kadar karbohidrat = 100% - ( % air + % abu + % protein + % lemak + % serat)
f.
Analisis Nilai energi Penentuan niali energi makanan melelui perhitungan dapat dilakuakan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Nilai energi bahan pangan = faktor Atwater x kandungan gizi bahan pangan Energi (kkal)= (4 kalori/g x kandungan karbohidrat) + (9 kalori/g kandungan lemak) + (4 kalori/g x kandungan protein)
g.
Aktifitas air Pengukuran aw nasi singkong instan dilakukan dengan menggunakan alat aw meter. Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam alat yang telah dikalibrasi, kemudian dilakukan pembacaan nilai aw yang ditunjukkan pada layar pembacaan.
h. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi, 1989) Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim alpha-amilasse. Kemudian maltosa diukur jumlahnya menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalsiliat. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni (soluble starch). Daya cerna pati =
kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis x 100 % kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis
i.
Kadar serat kasar (Muchtadi, 1989) Tahap penetapan kadar serat kasar terdiri dari pemisahan lemak dari sampel dengan cara soxlethasi, ekstraksi dengan asam (H2SO4 1,25%) dan dengan basa (NaOH 3,25%) masing-masing selama 30 menit. Proses ekstraksi dilanjutkan dengan penyaringan. Tahap selanjutnya adalah
pemisahan abu dan silikat dengan cara
pencucian kertas saring yang berisi serat berturut-turut dengan K2SO4 10%, air mendidih dan 15 ml alkohol 95%. Kertas saring dikeringkan dalam oven 105 oC selama 2 jam, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Residu dipijarkan dalam mufle furnace selama 4 jam, sisa pijar ditimbang sebagai abu.
j.
Daya serap air Sejumlah sampel ditimbang beratnya kemudian direndam dalam air hangat selama 5 menit, diangkat dan ditiriskan. Sampel tersebut kemudian ditimbang kembali. Daya serap air ditentukan dengan persamaan: Daya serap air =
B-A x 100 % A
A = bobot sampel sebelum perendaman (g) B = bobot sampel setelah perendaman (g)
k. Waktu rehidrasi Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam sejumlah air panas dengan perbandingan air : produk sebanyak 4:1. Kemudian dihitung waktunya pada saat butiran nasi telah teridrasi sempurna (tidak ada spot putih di tengan butiran nasi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur yang homogen.
l.
Uji organoleptik Uji organoleptik dilakukan terhadap
produk. Uji yang
dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan konsumen terhadap formulasi produk yang dibuat. Skala yang digunakan adalah skala 1(sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka) dengan nilai 4 sebagai rasa antara (netral). Parameter yang diuji adalah warna, aroma, rasa, teksur, dan rasa dengan penambahan lauk.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama merupakan penelitian pendahuluan, tahapan kedua berupa penelitian utama, dan tahapan ketiga berupa analisis untuk formulasi terpilih. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan bahan baku dalam pembuatan produk nasi singkong instan, yakni meliputi pembuatan fermented cassava flour dan tepung ikan teri. Penelitian utama dilakukan untuk membuat SOP pembuatan nasi singkong instan.
A. Pembuatan Tepung Fermented Cassava Flour Singkong atau ubi kayu yang digunakan dalam pembuatan fermented cassava flour adalah singkong yang berwarna putih. Penyortiran dilakukan untuk mendapatkan singkong dengan kualitas baik, yaitu dagingnya berwarna putih, dan tidak busuk. Singkong tersebut dikupas kulitnya dan dicuci hingga bersih, kemudian diiris-iris dengan ketebalan sekitar 1 cm. Pengirisan dilakukan untuk memperluas bidang permukaan sehingga lebih banyak permukaan umbi yang kontak langsung dengan larutan garam ketika difermentasi. Perendaman dalam larutan garam 2.5% dilakukan selama 24 - 48 jam dalam kondisi tertutup rapat (anaerobik). Penambahan garam dilakukan karena fermentasi yang terjadi adalah fermentasi spontan dimana mikroba yang memfermentasi umbi singkong tidak dapat dikontrol, dikhawatirkan bakteri-bakteri
patogen
ikut
terlibat
di
dalamnya.
Larutan
garam
mengakibatkan tekanan osmotik pada sel mikroorganisme menjadi turun karena air terserap keluar sehingga sel kekurangan air dan selanjutnya sel akan mati (Nurhidayati, 2003). Oleh karena itulah, larutan garam berperan sebagai media selektif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang umumnya tidak dapat hidup dalam keadaan kadar garam yang tinggi, namun mendukung pertumbuhan BAL. Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong akan
menghasilkan
enzim
pektinolitik
dan
selulolitik
yang
dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi
pembebasan granula pati. Selanjutnya granula pati tersebut akan dihidrolisis oleh mikroba (BAL) menghasilkan asam-asam organik yang kemudian bercampur dalam irisan singkong. Perendaman ini menghasilkan umbi singkong yang lebih lunak dan lentur, sedikit beraroma asam khas fermentasi, larutan garam perendamnya menjadi lebih keruh dan sedikit berbusa. Lunaknya umbi singkong terjadi karena aktivitas enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong. Sedangkan keruhnya air perendam disebabkan keluarnya granula pati. Rahman (2007) melaporkan bahwa semakin lama waktu fermentasi, maka semakin banyak sel singkong yang pecah sehingga pembebasan granula pati semakin meningkat. Umbi singkong yang telah terfermentasi kemudian ditiriskan untuk selanjutnya dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu ± 70 oC selama 12 jam. Namun, selain dengan oven, pengeringan juga dapat dilakukan secara alami, yaitu dengan menjemurnya di bawah sinar matahari selama 3-4 hari. Singkong yang telah kering berwarna putih terang dengan beberapa bagian berwarna kecoklatan, lunak tetapi mudah dipatahkan, dan tidak berbau singkong lagi. Menurut Subagio (2006), hal ini terjadi karena asam-asam organik yang dihasilkan selama fermentasi bercampur dengan irisan umbi singkong, sehingga rasa dan aroma singkong tertutupi. Parameter kering dilihat secara subyektif, yaitu bila irisan umbi singkong dapat dipatahkan. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa fermented cassava flour mempunyai kadar air sebanyak 7.72 %, kadar abu 0.94 %, kadar lemak 0.98%, kadar protein 1%, dan kadar karbohidrat sebesar 89.36 % (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil analisis proksimat Fermented cassava flour Komponen Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Keterangan (% bb) 7.72 0.94 0.98 1.0 89.36
Fermented cassava flour atau tepung singkong fermentasi diperoleh dengan menggiling irisan umbi singkong yang telah kering tadi menggunakan mesin penggiling Willey mill dan disaring dengan ayakan 60 mesh. Bahan baku yang digunakan adalah singkong segar sebanyak 10 kg. Setelah direndam kemudian dikeringkan, diperoleh bobot singkong kering sebesar 2,9157 kg. Tepung yang dihasilkan sebanyak 2,8838 kg sehingga rendemen yang diperoleh sebesar 28.84 % (Tabel 6). Rendemen cukup rendah karena bahan baku (singkong segar) masih mengandung air sebanyak 62.5% (Departemen Kesehatan, 2005) sehingga ketika dikeringkan bobotnya pun menyusut lebih dari setengahnya. Disamping itu, pembuangan kulit singkong pun menjadi salah satu sebab rendemen menjadi rendah.
Tabel 6. Rendemen fermented cassava flour Keterangan Umbi singkong segar Singkong kering fermented cassava flour
Bobot (gram) 1000 2915,7 2883,8
Rendemen (%) 100 29,16 28,83
B. Pembuatan Tepung Ikan Teri Tepung ikan teri dibuat dari ikan teri yang masih segar dengan ciri-ciri tubuhnya masih utuh, tidak berbau busuk, tidak berlendir, dan tidak berwarna kecoklatan. Tahapan awal adalah pencucian ikan teri dari kotoran-kotoran yang mungkin terbawa, kemudian dilakukan pemasakan dengan cara pengukusan selama 30 menit. Pengukusan/pemasakan ikan dilakukan agar protein terkoagulasi, sehingga air dan minyak dapat dikeluarkan. Pemasakan merupakan tahapan yang kritis dalam pengolahan tepung ikan. Apabila pengukusan kurang matang dan tidak merata maka cairan (air dan minyak) sulit dikeluarkan. Begitu juga bila tertalu matang, maka ikan akan menjadi bubur dan sulit untuk mengeluarkan cairan (Tutuarima, 2007). Setelah itu ikan teri dikeringkan dengan Cabinet dryer yang bersuhu 80oC selama 5 jam. Pengeringan dilakukan untuk menguapkan air yang ada dalam ikan karena penggilingan hanya dapat dilakukan pada bahan yang telah kering. Ikan teri kering kemudian digiling dengan menggunakan Willey mill dan disaring dengan ayakan 60 mesh.
Tepung ikan yang dihasilkan berwarna kecoklatan dan masih beraroma ikan. Aroma ikan ini diantaranya berasal dari kerusakan protein dan oksidasi lemak,
pertumbuhan
mikroorganisme,
dan
pemecahan
TMAO
(Trimethylamineoxyde) menjadi TMA (Trimethylamine). Berawal dari 3 kg ikan teri segar, menghasilkan ikan teri kering sebanyak 462.5 gram, dan hasil akhir berupa tepung ikan sebanyak 447.3 gram. Rendemen yang diperoleh sebesar 14.91 % seperti yang terlihar pada Tabel 7.
Tabel 7. Rendemen tepung ikan Keterangan Ikan Teri Segar Ikan Teri kering Tepung Ikan Teri
Bobot (gram) 3000 462,5 447,3
Rendemen (%) 100 15,42 14,91
C. Penentuan Metode Pembuatan Nasi Singkong Penelitian utama meliputi pembuatan nasi singkong instan yang dapat direhidrasi maksimal selama 5 menit dengan cara diseduh air panas dan penentuan formulasi yang terbaik. Bahan baku yang digunakan adalah tepung ikan teri dan tepung singkong fermentasi yang telah dibuat sebelumnya, serta bahan-bahan tambahan lain seperti gula, garam, CMC, soda kue, dan air. Berdasarkan jumlah penambahan tepung ikan teri yang ditambahkan, nasi singkong instan terbagi menjadi 5 formulasi. Masing-masing formulasi dapat dilihat pada Tabel 8. Garam dapur dan gula berfungsi untuk memberi cita rasa. Soda kue berfungsi untuk mempercepat pengembangan adonan dan membuat tekstur menjadi lebih porous sehingga dapat mempercepat proses rehidrasi. CMC selain dapat mengembangkan adonan, mampu mengikat pati sehingga tekstur butiran nasi menjadi lebih kompak dan tidak mudah hancur saat pemasakan. Formulasi 0 (100:0), yaitu formulasi yang tidak ditambahkan tepung ikan teri berfungsi sebagai kontrol. Formulasi 1 dibuat dengan tujuan nasi singkong instan yang dibuat akan berfungsi sebagai pengganti nasi. Berdasarkan DKBM, kandungan protein pada nasi adalah sebesar 2.1 % dan kandungan protein pada tepung ikan teri tawar (tidak asin) sebesar 68.7 % (Departemen Kesehatan,2005). Dengan ini, diharapkan kandungan protein
pada nasi singkong instan akan mendekati protein nasi. Formulasi 4 dibuat untuk menyetarakan kandungan protein nasi singkong instan dengan kadar protein pada beras, yaitu sebesar 6-7 %. Oleh karena itu, untuk mencapai kesetaraan dengan kadar protein nasi dan beras, perlu ditambahkan tepung ikan sebanyak 2.5 % sampai 10 %. Sedangkan formulasi 3 dan 4 dibuat unuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen
terhadap jumlah penambahan
tepung ikan teri pada produk nasi singkong instan.
Tabel 8. Formulasi nasi singkong instan BAHAN Fermented cassava flour Tepung ikan teri Air (%) Garam (%) Gula (%) Baking Powder (%) CMC (%)
1 100 0 60 1 5 0.3 1
2 97.5 2.5 60 1 5 o.3 1
Formula 3 4 95 92.5 5 7.5 60 60 1 1 5 5 0.3 0.3 1 1
5 90 10 60 1 5 0.3 1
Proses pembuatan nasi singkong instan diawali dengan mencampur semua bahan hingga homogen dengan cara mengocoknya dalam kantung plastik selama beberapa menit. Sebelum ditambahkan air, bahan-bahan kering tersebut diayak lagi dengan ayakan tepung agar benar-benar tercampur dan tidak ada bahan yang masih menggumpal. Jumlah air yang ditambahkan sebanyak 50% - 60% dari bahan kering. Bahan yang ditambahkan air adalah hanya sekitar satu per empat bagian saja. Bagian sisanya digunakan untuk tahap pembutiran. Penambahan air harus tepat karena akan sangat mempengaruhi produk akhir. Bila air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan yang terbentuk menjadi lengket pada alat-alat (ayakan dan mesin pembutir). Lengketnya adonan akan menghambat proses penghabluran dan pembutiran, dan juga akan menyebabkan
rendeman
menjadi
rendah.
Solusinya
adalah
dengan
penambahan bahan kering lagi hingga diperoleh adonan yang tidak lengket. Akan tetapi, bila air yang ditambahkan terlalu sedikit akan menyebabkan adonan yang terbentuk tidak menyatu sehingga saat penghabluran, butiran-
butiran yang terbentuk berukuran kecil atau bahkan hancur kembali seperti tepung. Hal ini juga berpengaruh terhadap proses pembuatan karena adonan sulit membentuk butiran-butiran dan akan banyak tepung yang terbuang, rendemen pun menjadi rendah. Solusinya adalah dengan menambahkan sedikit air dan melakukan penghabluran ulang. Penghabluran adalah proses perubahan ukuran dan/atau perubahan bentuk, tanpa adanya perubahan kimia (Mohamed, 2006). Tujuan dari proses penghabluran ini adalah menghancurkan adonan tepung akibat penambahan air menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Penghabluran dilakukan dengan menggunakan ayakan 10 mesh. Bila digunakan ayakan 8 mesh, hasil penghabluran cukup besar sehingga produk akhir pun menjadi berukuran besar (>6 mesh). Hasil penghabluran berupa butiran-butiran adonan yang belum rata bentuknya dan belum seragam ukurannya. Tahap selanjutnya adalah pembutiran yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling sederhana adalah dengan memasukkan hasil penghabluran ke dalam wadah yang beralas bulat. Wadah tersebut kemudian diputar secara horizontal sehingga butiran-butiran saling bertumbukan dan membentuk bulatan. Cara yang lebih mudah adalah dengan menggunakan mesin pembutir yang berbentuk silinder yang dapat diputar pada porosnya (Pamularsih, 2006). Pembutiran dilakukan untuk merapikan bentuk nasi singkong instan agar menjadi bulat sempurna seperti bola. Produk hasil penghabluran yang berukuran antara 10 dan 20 mesh ditambahkan bahan kering yang tersisa sambil menyemprotkan air ke permukaan butiran nasi. Penyemprotan ini dilakukan untuk membasahkan permukaan butiran, agar bahan kering yang ditambahkan dapat menempel menutupi permukaan butiran. Tahap ini dilakukan terus menerus hingga diperoleh butiran nasi yang seragam dengan ukuran antara 6 dan 8 mesh. Butiran-butiran yang berukuran besar (> 6 mesh) dihancurkan lagi (dihablur) dan kemudian dilakukan pembutiran ulang hingga ukurannya mencapai 8 mesh (Gambar 9).
Gambar 9. Nasi singkong hasil pembutiran
Hasil pembutiran kemudian disangrai selama 5 - 6 menit (hingga kering). Penyangraian dilakukan agar nasi singkong menjadi kering dengan tekstur yang porous dan permukaan nasi singkong menjadi tergelatinisasi. Tergelatinisasinya permukaan nasi singkong mengakibatkan bagian dalam butiran terlapisi oleh lapisan tipis pati di bagian luar. Waktu penyangraian disesuaikan dengan jumlah panas dan ukuran butiran. Makin besar api atau makin tinggi suhunya, waktu yang digunakan semakin singkat, begitu pula sebaliknya (Pamularsih, 2006). Bila api yang digunakan terlalu besar (suhu terlalu tinggi), hasil penyangraian menjadi terlalu kering, retak, dan sebagian pecah/hancur. Sedangkan bila apinya terlalu kecil (suhu terlalu rendah), maka lapisan terluar butir-butir nasi singkong instan tidak tergelatinisi yang mengakibatkan bagian dalamnya tidak terlapisi dengan sempurna, sehingga pada saat pemasakan, kemungkinan produk hancur sangat besar.
Gambar 10. Nasi singkong hasil penyangraian (Nasi singkong mentah)
Jenis api (suhu) dan waktu penyangraian yang digunakan dalam penelitian ini adalah api sedang selama 5-6 menit (sampai butiran kering). Hasil penyangraian berupa butiran-butiran nasi yang kering bagian luarnya,
berwarna sedikit kuning kecoklatan. Bila butiran ini dipecah, bagian dalam masih berupa tepung mentah kering mudah hancur. Sampai tahapan ini diperoleh produk nasi singkong yang masih mentah atau dengan kata lain masih berupa beras singkong (Gambar 10). Nasi singkong mentah ini kemudian harus dimatangkan dan dikeringkan agar menjadi nasi singkong instan. Metode pematangan yang digunakan adalah pengukusan dan perebusan, sedangkan metode pengeringan yang digunakan adalah penyangraian dan pengeringan dengan oven. Metode pemasakan berupa perebusan dan pengukusan dipilih agar mudah diterapkan mulai dari skala industri hingga skala rumah tangga. Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Pamularsih (2006) tentang pembuatan sagu mutiara instan, hanya saja teknologi yang digunakan tidak dapat diterapkan pada skala rumah tangga. Teknologi tersebut berupa pemasakan dengan menggunakan retort. Demikian juga dengan metode pengeringan, yaitu menggunakan oven vakum, sebelum dikeringkan produk tersebut harus dibekukan terlebih dahulu dengan freezer kemudian dithawing dengan microwave.Teknologi tersebut dirasa sulit untuk diterapkan dalam skala rumah tangga (untuk memenuhi kebutuhan harian). Oleh karena itulan, metode yang diterapkan dalam penelitian ini berupa pengukusan, perebusan, penyanraian, dan pengeringan menggunakan oven yang hampir seluruh alatnnya telah dimiliki oleh setiap keluarga. Keempat metode tersebut (pengukusan, perebusan, pengeringan dengan oven, dan penyangraian) ditentukan berdasarkan trial and error. Penentuan metode terpilih dilihat dari produk akhir yang sesuai dengan yang diharapkan. Produk akhir yang diharapkan adalah teksturnya kompak, waktu rehidrasinya cepat, bentuknya bulat sempurna, dan warnanya seragam. Metode pemasakan yang pertama adalah pengukusan. Sama halnya dengan memasak nasi, pengukusan beras singkong dilakukan selama 30 menit. Pengukusan adalah pemasakan dengan menggunakan uap air mendidih. Pengukusan merupakan tahapan yang dilakukan dengan tujuan mematangkan beras singkong. Hasil pengukusan berupa butiran-butiran yang masih utuh dan sebagian besar saling terpisah, bagian luarnya berwarna putih kecoklatan,
kering dan masih mentah, kenyal, serta beberapa butir menyatu akibat distribusi uap air yang kurang merata. Akan tetapi bila ditekan hingga pecah, bagian dalam terlihat seperti tepung yang menggumpal. Hal ini terjadi karena uap air panas hanya mengenai bagian permukaan produk. Akibatnya, bagian yang tergelatinisasi hanya bagian luarnya saja, sedangkan bagian dalam masih mentah. Nasi singkong mentah yang dikukus kemudian dikeringkan, baik secara
disangrai,
dioven,
maupun
kombinasi
keduanya,
ketiganya
menunjukkan hasil akhir setelah direhidrasi dengan air panas teksturnya lembek dan masih terasa tepungnya (Lampiran 2 dan 3). Terhadap nasi singkong mentah yang direbus, tidak dilakukan penyangraian, karena hasil perebusan sangat basah, lengket, dan hancur sehingga tidak mungkin disangrai. Hal ini terjadi karena peng--an beras singkong (nasi singkong mentah) belum sempurna. Pada saat perebusan, butiran-butiran nasi singkong pecah dan tepungnya yang belum tergelatinisasi keluar berhamburan menyebabkan air perebusnya menjadi kental akibat tepung yang keluar. Produk yang direbus hanya langsung dioven, dan hasilnya produk yang belum direhidrasi berbentuk tidak beraturan, sangat keras, tetapi warnanya coklat transparan dan seragam (Lampiran 2 dan 3). Butiran nasi singkong tersebut menjadi transparan (terjadi translusi) karena indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak akibat terserapnya air saat gelatinisasi itu mendekati indeks refraksi air (Winarno, 2005). Mengacu pada hasil sebelum dan sesudah rehidrasi (Lampiran 2 dan 3), kedua metode pemasakan tersebut belum dapat menghasilkan produk akhir yang diharapkan. Oleh karena itu, metode kombinasi dilakukan, yaitu setelah pengukusan selama 30 menit, kemudian langsung direbus hingga matang (± 5 menit) dan dioven pada suhu 70oC sampai kering (4 jam). Akan tetapi setelah direbus, nasi singkong masih saling menempel, bentuk tidak bulat sempurna, sebagian hancur, air perebus menjadi kental, sehingga rendemen menjadi rendah. Akhirnya, dicoba dilakukan penyangraian terlebih dahulu sebelum perebusan, dengan harapan tidak saling menempel dan rendemen meningkat. Hasil akhir lebih bagus daripada yang tanpa perlakuan penyangraian, yaitu
butiran tidak hancur saat direbus (Lampiran 2 dan 3). Setelah direbus, nasi singkong matang tersebut dikeringkan dengan oven selam 4 jam. Hasil setelah dioven (sebelum rehidrasi) berupa butiran yang tidak bulat sempurna, berwarna seragam coklat transparan, dan teksturnya keras, renyah, dengan permukaan yang agak halus. Sedangkan produk akhir yang telah direhidrasi dengan air panas selama 5 menit memperlihatkan warna coklat transparan, dengan bentuk seperti bola utuh, dan teksturnya agak lembek, kenyal, tidak ada spot putih, tidak berasa tepung, dan permukaannya halus. Ketika proses pengukusan, dilakukan pengecekan terhadap tekstur nasi singkong saat menit ke-10, 15, dan 20. Hasil pengukusan pada menit ke-15, 20, dan 30 tidak memperlihatkan perbedaan yang tajam, secara subyektif hasilnya tak jauh berbeda. Oleh karena itu, agar lebih efisien penggunaan waktu dan energi diputuskan akan digunakan pengukusan selama 15 menit untuk SOP nasi singkong instan. SOP dapat dilihat pada Lampiran 1.
(a)
(b)
Gambar 11. Nasi singkong instan (a) sebelum rehidrasi, dan (b) setelah rehidrasi
Penyangraian setelah pengukusan akan melapisi permukaan nasi singkong sehingga bagian dalam hasil pengukusan yang belum tergelatinisasi sempurna tidak akan menghambur keluar pada saat direbus. Produk yang telah dikukus permukaannya basah akibat uap air. Uap air tersebut cukup untuk menggelatinisasi permukaan produk saat penyangraian sehingga lapisannya lebih kompak. Lapisan ini mencegah berhamburnya partikel tepung singkong saat perebusan yang dapat menggelatinisasi semua patinya, sehingga bentuknya dapat dipertahankan tetap bulat. Adanya penyangraian akan membuat tekstur nasi instan lebih porous, karena panas yang tinggi membuat
partikel-partikel air dalam nasi singkong menguap dengan cepat dan meninggalkan rongga-rongga udara. Selanjutnya ditiriskan dan direndam air dingin selama 2 menit. Perendaman ini dilakukan agar butiran-butiran nasi matang yang lengket dapat saling memisah sehingga saat dioven butiran-butiran nasi tidak saling menempel satu sama lain. Kemudian dilakukan tahap akhir, yaitu pengeringan nasi singkong matang. Pengeringan dengan oven akan membuat nasi singkong kering secara merata. Nasi singkong tersebut ditata dalam loyang agar tidak saling bertumpuk, kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 65-75oC selama 4-5 jam. Hasilnya berupa butiran yang sudah tidak bulat sempurna dengan warna coklat. Warna coklat ini diduga muncul karena browning akibat reaksi Maillard. Reaksi Maillard terjadi akibat reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dan gugus amina primer. Rendemen rata-rata yang diperoleh sekitar 55-59 %.
D. Penentuan Formulasi Terbaik Nasi singkong instan yang telah dibuat sebanyak 5 formulasi kemudian diujikan penerimaannya kepada 25 orang panelis. Pengujian dilakukan dengan uji organoleptik menggunakan metode hedonik dengan 7 skala. Skala 1 menunjukkan sangat tidak suka, skala 2 tidak suka, skala 3 agak tidak suka, skala 4 netral, skala 5 agak suka, skala 6 suka, dan skala 7 yang menunjukkan sangat suka. Penilaian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan penilaian dengan alat pengindera, yaitu indera penglihat, pendengar, pencicip, dan pembau. Melalui uji organoleptik akan diketahui daya penerimaan panelis (konsumen) terhadap produk tersebut. Parameter yang diujikan adalah rasa, tekstur, aroma, warna, dan rasa dengan penambahan lauk pada produk nasi singkong instan yang telah direhidrasi dengan iar panas selama 5 menit. Parameter rasa dilakukan dua macam penyajian, dengan lauk dan tanpa lauk. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat peneriman konsumen terhadap nasi singkong instan sebagai pengganti makanan pokok. Sebagai makanan utama atau makanan pokok, nasi singkong instan disajikan sebagaimana layaknya memakan nasi,
yaitu dikombinasikan dengan penambahan lauk pauk. Lauk yang ditambahkan berupa irisan telur dadar. Selain menilai tingkat penerimaan terhadap parameter warna, aroma, rasa, dan tektur, panelis juga memberikan masukan bahwa persepsi panelis terhadap nasi adalah berbentuk lonjong dan berwarna putih. Sedangkan nasi singkong instan sendiri masih berbentuk bulat seperti bola dengan warna agak kecoklatan dan teksturnya sedikit lebih lembek daripada nasi. Nasi singkong instan ini bentuknya masih menyerupai produk sagu mutiara.
Tabel 9. Data hasil uji organoleptik nasi singkong instan Formula 6
Parameter
Rata-rata
F0
F1
F2
F3
F4
Warna
5,36d
5,36d
3,92c
3,16b
2,28a
4,02
Aroma
4,36
bc
4,56
c
3,80
ab
3,72
ab
3,32
a
3,95
4,36
bc
4,64
c
3,80
ab
3,80
ab
3,44
a
4,01
4,04
a
4,66
4,84a
5,23
Rasa
b
Tekstur
5,16
Penambahan lauk
5,52b
4,84
b
5,76b
4,32
a
5,00a
4,92
b
5,04a
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0.05.
Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap nasi singkong instan yang disajikan tanpa penambahan lauk adalah 4.01 (netral), sedangkan bila dikonsumsi dengan menggunakan lauk berupa telur dadar adalah 5.23 (agak suka). Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa konsumen (panelis) lebih menyukai produk nasi singkong yang dikonsumsi dengan menggunakan lauk pauk. Hal tersebut cukup wajar mengingat dalam pengonsumsian nasi itu sendiri pasti ada yang ”menemani”, sangat jarang orang yang hanya memakan nasi tanpa lauk. Demikian juga halnya pada pengonsumsian nasi singkong instan.
1. Warna Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan konsumen terhadap suatu produk. Penilaian mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara
lain citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter warna dapat dilihat pada Gambar 12. WARNA 6
d
5,36
d
5,36
Kesukaan panelis
5
3,92c
4
3,16b
3
2,28a
2 1 0 F0
F1
F2
F3
F4
Formulasi
Ket: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0.05 Gambar 12. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter warna
Rataan nilai kesukaan panelis terhadap produk nasi singkong instan berkisar antara 2.28 (tidak suka) sampai 5.36 (agak suka) dengan rata-rata 4.02 (netral). Formulasi yang paling disukai oleh panelis adalah F0 dan F1. Perbedaan warna ini disebabkan oleh adanya penambahan tepung ikan teri yang berwarna kecoklatan. Semakin tinggi penambahan tepung ikan teri, maka semakin gelap (coklat) pula nasi singkong instannya. Oleh karena umumnya panelis lebih menyukai produk dengan warna yang lebih terang, maka tingkat penerimaannya lebih tinggi yang berwarna terang dibandingkan dengan produk yang berwarna lebih gelap.
2. Aroma Salah satu pengujian kesukaan makanan dapat dilakukan dengan pengujian aroma, aroma suatu makanan dapat dinilai dari indera pembau. Aroma dari suatu bahan pangan disebabkan oleh adanya zat atau
komponen yang mempunyai sifat volatil. Pembauan biasanya disebut juga sebagai penyicipan jarak jauh karena seseorang dapat mengenal enak tidaknya suatu makanan yang belum terlihat hanya dengan penciuman jarak jauh. Industri pangan menganggap sangat penting untuk melakukan uji aroma karena dapat diketahui dengan cepat bahwa produknya disukai atau tidak disukai oleh panelis. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter warna dapat dilihat pada Gambar 13.
AROMA
Kesukaan panelis
5
4,36bc
c
4,56
4
3,8ab
3,72ab
F2
F3
3,32a
3 2 1 0 F0
F1
F4
Formulasi
Ket: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0.05 Gambar 13. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter aroma
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai rataan kesukaan panelis terhadap parameter aroma berkisar antara 3.32 sampai 4.56 ( agak tidak suka sampai agak suka). Aroma yang dihasilkan nasi singkong ini berasal dari aroma tepung ikan teri yang ditambahkan. Sumber pembentukan aroma ikan adalah lemak. Karena saat pembuatan tepung ikan tidak dilakukan pemisahan lemak, maka aroma ikan menjadi tajam. Menurut DKBM, kandungan lemak pada ikan teri kering adakah sebesar 4.2 %. Secara umum, penambahan tepung ikan teri sangat mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen. Makin banyak penambahan tepung ikan teri, semakin kuat aroma ikan yang tercium, panelis pun makin kurang menyukainya. Penambahan tepung ikan sebesar 2.5 % (F1) merupakan formulasi yang paling disukai oleh panelis. Formulasi F0 tidak ditambahkan tepung ikan teri, dari produk ini tidak tercium aroma ikan,
namun masih dapat diterima disukai oleh panelis. Penambahan tepung ikan diatas 2.5 % (F2, F3, dan F4) kurang disukai oleh panelis karena aroma ikannya semakin kuat.
3. Tekstur Setiap makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung keadaan fisik, ukuran, dan bentuknya. Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas, kerenyahan, kelengketan, dan sebagainya. Tekstur merupakan penentu terbesar mutu rasa.
Kesukaan panelis
TEKSTUR
6 5 4 3 2 1 0
5,16b
F0
4,84b
4,32a
F1
F2
4,92b 4,04a
F3
F4
Formulasi
Ket: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0.05 Gambar 14. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter tekstur
Rataan nilai kesukaan terhadap tekstur produk nasi singkong instan berkisar antara 4.04 sampai 5.16. Secara deskriptif, hal ini berarti netral hingga agak suka. Secara umum, grafik tersebut semakin menurun nilainya. Artinya, semakin banyak penambahan tepung ikan teri membuat tekstur nasi singkong instan makin menjadi. Hal ini mungkin disebabkan semakin banyak penambahan tepung ikan, tekstur produk semakin lembek. Panelis kurang menyukai tekstur produk yang lembek. Menurut Pamularsih (2006),
peningkatan kadar protein akan
menyebabkan peningkatan daya serap air (WHC/Water Holding Capacity). WHC dipengaruhi oleh interaksi antara protein dengan air.
Interaksi tersebut dipengaruhi oleh sumber protein dan komposisi asam amino, ukuran partikel, dan derajat denaturasi. Oleh karena itu makin tinggi penambahan tepung ikan, air yang diserap pada waktu rehidrasi semakin banyak sehingga teksturnya menjadi semakin lembek.
4. Rasa Faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan konsumen dalam menerima atau menolak suatu produk makanan adalah parameter rasa. Rasa dimulai melalui tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah), hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa,
dan tekstur sebagai keseluruhan rasa
makanan. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan mikrovillus dan impuls yang terbentuk dikirim melalui syaraf ke pusat syaraf (Winarno, 2002). RASA
Kesukaan panelis
5
4,36bc
4,64c
4
3,80ab
380ab
F2
F3
3,44a
3 2 1 0 F0
F1
F4
Formulasi
Ket: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0.05 Gambar 15. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter rasa
Uji organoleptik menghasilkan nilai rataan panelis terhadap parameter rasa (tanpa penambahan lauk) untuk kelima formulasi adalah antara 3.44 (agak tidak suka) sampai 4.46 (netral). Formulasi yang paling disukai oleh panelis adalah F1. Kemungkinan rasa sangat dipengaruhi oleh aroma produk yang tercium. Hasil pengujian menunjukkan bahwa makin banyak penambahan tepung ikan teri, tingkat kesukaan panelis makin
menurun. Akan tetapi, untuk F0 yang tidak diberi tambahan tepung ikan teri masih kurang disukai dibandingkan dengan F1 yang hanya ditambahkan tepung ikan teri sebanyak 2.5%. Hal ini mungkin disebabkan F0 lebih hambar daripada F1 yang sedikit berasa ikan. Nasi singkong instan yang disajikan dengan penambahan lauk memberikan skor untuk tingkat kesukaan panelis lebih tinggi daripada bila disajikan tanpa penamabahan lauk. Tingkat kesukaan panelis untuk kelima produk berada pada selang nilai 4.84 (netral) sampai 5.76 (suka), dengan produk yang nilainya paling tinggi adalah F1. Secara umum, parameter rasa dengan penambahan lauk untuk kelima produk tersebut dapat diterima oleh panelis dengan nilai rata-rata 5.23 (agak disukai).
RASA DENGAN PENAMBAHAN LAUK
Kesukaan panelis
6 5,5
5,52b
5,75b 5,00a
5
5,04a 4,84a
4,5 4 F0
F1
F2
F3
F4
Formulasi
Gambar 16. Hasil analisis organoleptik terhadap parameter rasa dengan penambahan lauk
Formulasi yang paling disukai atau paling dapat diterima oleh panelis adalah formulasi F0 dan F1. Dengan pertimbangan nilai nutrisi (kandungan protein) yang terkandung dalam kedua formulasi tersebut, maka ditentukan F1 sebagai formulasi terpilih/terbaik. F0 walaupun disukai juga oleh panelis, namun nilai proteinnya rendah (tanpa penambahan tepung ikan sebagi sumber protein). E. Analisis formulasi terbaik Berdasarkan hasil dari uji organoleptik, dihasilkan bahwa formulasi yang terbaik adalah F0 dan F1. Analisis yang dilakukan terhadap formulasi
terpilih meliputi analisis kima dan fisik. Analisis kimia berupa anlisis proksimat, analisis daya cerna pati in vitro, kadar serat kasar, aw dan nilai energi. Analisis fisik berupa daya serap air dan waktu rehidrasi. Data hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis proksimat produk nasi singkong instan, beras, dan mie kering Komponen
Nasi singkong instan
Air 9.08 % Abu 0.81 % Protein 1.69 % Lemak 0.78 % Karbohidrat 87.64 % Nilai energi 364.38 kkal (97.5 kkal)** Serat kasar 2.98 % Daya cerna pati in vitro 26.77 % Daya serap air 177.83 % Aktivitas air 0.616 Waktu rehidrasi ± 5 menit * Sumber: Departemen Kesehatan 2005
Beras* 13 6.8 0.7 78.9 360 kkal -
Mie instan* 28.6 7.9 11.8 49 337 kkal -
** Dihitung dengan memperhitungkan nilai daya cerna pati in vitro
1. Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang mempengaruhi kulitas bahan pangan. Penurunan jumlah air dapat mempengaruhi laju kerusakan bahan pangan akibat kerusakan oleh proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupkan salah satu faktor yang dapat membuat bahan pangan menjadi awet. Proses pengurangan kadar air dapat dilakukan dengan proses pengeringan. Pada proses pengeringan, Kandungan air dikurangi dengan cara menguapkannya menggunakan energi panas. Hasil dari analisis proksimat dengan metode AOAC menunjukkan bahwa kadar air dari produk nasi singkong instan adalah sebesar 9.08%. Nasi instan belum memiliki SNI, dan yang paling mendekati dengan produk nasi instan adalah mi instan. Menurut SNI 01-3551-2000 kadar air
mi instan dengan metode pengeringan maksimal 14,5% (b/b). Kadar air produk nasi singkong instan juga lebih rebdah dari beras maupun mie kering (Tabel 10). Jadi, kadar air pada produk nasi singkong instan masih berada dalam batas aman. Besar kecilnya nilai kadar air dipengaruhi oleh beberapa faktor selama proses pengeringan. Faktor-faktor tersebut adalah suhu dan waktu proses pengeringan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kadar air bahan baku, dalam hal ini adalah tepung fermented cassava flour dan tepung ikan teri. Jumlah penambahan air selama proses pembuatan produk juga mempengaruhi nilai kadar air produk akhir. Selain kadar air, penentu tingkat keawetan suatu produk juga dipengaruhi oleh kadar air keseimbangan atau Equilibrium Moisture Content (EMC), akan tetapi karena keterbatasan waktu, analisis tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. EMC adalah kandungan air pada bahan yang seimbang dengan kandungan air pada udara sekitarnya. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menentukan sampai seberapa jauh suatu bahan dapat dikeringkan pada kondisi lingkungan tertentu (aktivitas air tertentu) dan dapat digunakan sebagai tolak ukur berkembangnya
mikroorganisme
yang
menyebabkan
terjadinya
kerusakan/pembusukan bahan pada saat penyimpanan.
2. Kadar abu Abu merupakan residu yang tertinggal setelah suatu bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu yang terkandung dalam bahan pangan menunjukkan jumlah kandungan mineralnya. Semakin besar kadar abu suatu bahan pangan, semakin tinggi pula mineral dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu nasi singkong instan sebesar 0.81%. 3. Kadar protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Perbedaan protein dengan lemak dan karbohidrat terdapat pada kandungan N yang tidak dimiliki oleh keduanya. Fungsi utama
protein dalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh dengan membentuk zat-zat pengatur tubuh. Kadar protein pada nasi singkong instan yang terpilih adalah 1.69%. Nilai kadar protein pada produk nasi singkong instan sangat dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung ikan teri. Formulasi F1 ini menggunakan tambahan tepung ikan teri sebanyak 2.5 %. Berdasarkan perhitungan dari DKBM, yaitu 68.7% dari 2.5 gram tepung ikan teri, kandungan protein pada nasi singkong hanya sekitar 1.72 %. Sedangkan kadar protein pada beras sebesar 6.8 % dan pada mie kering sebesar 7.9 %. Artinya, protein pada nasi singkong instan belum mencapai kadar protein pada beras maupun mie kering.
4. Kadar lemak Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk kesehatan tubuh dan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal setiap gramnya (Almatsier, 2003). Kadar lemak yang dianalisis adalah kadar lemak kasar dengan metode ekstraksi sokhlet. Analisis kadar lemak metode sokhlet mempunyai prinsip analisis mengekstrak lemak dengan pelarut heksana. Setelah
pelarut
diuapkan,
lemak
dapat
ditimbang dan
dihitung
persentasenya. Kadar lemak dalam produk nasi singkong instan adalah sebesar 0.78 %. Sumber utama lemak ini kemungkinan besar berasal dari tepung ikan teri yang ditambahkan, karena singkong sendiri tidak mengandung lemak. Lemak pada beras sebesar 0.7 %, dan pada mie kering 11.8 %. Jadi, nasi singkong instan memiliki kadar lemak mendekati beras, namun masih dibawah mie kering. 5. Kadar karbohidrat Karbohidrat terdiri dari unsur-unsur C, H, dan O. Perbandingan antara hidrogen dan oksigen umumnya adalah 2:1. dalam bentuk sederhana, formula umum karbohidrat adalah CnH2nOn. Perhitungan kadar
karbohidrat pada produk nasi singkong instan dilakukan dengan metode by difference. Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Sebagai pengganti makanan pokok, jumlah karbohidrat yang dikandung oleh nasi singkong instan sangatlah penting. Kadar karbohidrat dapat menentukan suatu produk layak atau tidak layak digunakan sebagai bahan pangan pokok alternatif. Produk nasi singkong instan mengandung karbohidrat sebesar 87.64%. Nasi sendiri mengandung karbohidrat sebanyak 78.9%, sedangkan beras 87.64 %. Hal ini menunjukkan bahwa nasi singkong instan mempunyai kadar karbohidrat yang mendekati kadar karbohidrat pada nasi, bahkan sedikit lebih tinggi. Namun masih dibawah kadar karbohidrat pada beras. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berdasarkan kandungan gizinya, nasi singkong instan sudah layak dijadikan sebagai bahan pangan pokok alternatif.
6. Daya cerna pati in vitro Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pengukuran daya cerna pati ini dapat dilakukan dengan cara in vitro menggunakan berbagai enzim pada kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu dan suhu inkubasi. Setelah dihidrolisis, jumlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil daya cerna pati. Nilai daya cerna pati pada produk nasi singkong instan tergolong sangat rendah, yaitu sebesar 26.77 %. Hal ini disebabkan adanya penambahan CMC. Interaksi antara pati, khususnya amilosa dengan CMC diduga membentuk resistant starch selama pemanasan sehingga menurunkan daya cerna pati (Fadilah, 2004). Interaksi antara keduanya adalah secara fisik sehingga akan menghalangi aktivitas enzim α-amilase dalam menghidrolisis pati. Selain itu, CMC termasuk polisakarida yang sulit dicerna. Spiller (2001) menyatakan bahwa enzim α-amilase tidak dapat mencerna resistant starch karena strukturnya berupa kristal yang
tidak larut air dan amilosa yang teretrogradasi terutama akibat proses suhu tinggi yang diikuti dengan proses pendinginan.
7. Analisis nilai energi Dengan menggunakan faktor Atwater, nilai energi makanan dapat dapat ditetapkan melalui perhitungan menurut komposisi karbohidrat, lemak, dan protein serta nilai energi faali makanan tersebut (Almatsier, 2003). Nilai energi pada produk nasi singkong instan adalah sebesar 364,38 kkal. Dengan nilai daya cerna pati in vitro sebesar 26.77%, maka pati yang dapat dicerna oleh tubuh sebesar 97.5 kkal. Nasi matang dan beras sendiri mempunyai nilai energi sebesar 178 kkal dan 360 kkal untuk setiap 100 gram nasi (Departemen Kesehatan, 2005) yang dihitung dengan menggunakan faktor Atwater tanpa memperhitungkan nilai daya cerna patinya. Sedangkan salah satu produk nasi instan komersial memiliki nilai energi 150 kkal untuk 65 gram atau setara dengan 270,77 kkal untuk 100 gram.
8. Kadar serat kasar Serat merupakan salah satu zat yang diperlukan oleh tubuh karena serat dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Serat berasal dari dinding sel tanaman yang terdiri dari sel selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pada penelitian ini, kadar serat yang terhitung adalah kadar serat kasar (crude fiber). Serat kasar hanya menunjukkan serat yang tidak larut dalam asam kuat (H2SO4) dan basa (NaOH) encer panas. Muchtadi (2005) menyebutkan bahwa serat kasar adalah residu bahan makanan yang tidak dapat dihidrolisis dengan bahan kimia. Kadar serat kasar nilainya lebih rendah daripada serat pangan, karena H2SO4 dan NaOH mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen pangan dibandingkan dengan enzim. Akan tetapi kadar serat kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks serat pangan, karena umumnya dalam serat kasar ditemukan 0.2-0.5 bagian
jumlah serat makanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nasi singkong instan mempunyai kadar serat kasar sebesar 2.98%.
9. Daya serap air Daya serap air merupakan kemampuan produk untuk menyerap air secara maksimal. Daya serap air penting dilakukan dalam uji rekonstitusi. Makin besar DSA suatu bahan, makin sempurna pula proses pengolahan yang dilakukan terhadap bahan tersebut. Dengan demikian, proses rekonstitusi produk juga akan berlangsung dengan sempurna, yang dicirikan dengan konsistensi lunak, halus, bebas dari gumpalan-gumpalan, serta mudah disendok. Nasi singkong instan sendiri mempunyai daya serap air sebesar 177.83%. Daya serap air berhubungan dengan kecepatan rehidrasi. Semakin tinggi daya serap air, maka rehidrasi akan semakin singkat, begitu juga sebaliknya.
10. Aktivitas air Pengukuran nilai aktivitas air diperlukan untuk mengetahui umur simpan produk. Menurut Fennema (1996), aw dapat digunakan untuk memprediksi kestabilan dan keamanan pangan, karena aw merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhann serta reaksi-reaksi degradasi ion. Suatu produk dapat dikatakan aman bila aw-nya berada pada kuadran aman dari mikroba. Batas aw minimal untuk pertumbuhan mikroba adalah sebesar 0.60. Aktivitas air pada produk nasi singkong instan adalah sebesar 0.616.
11. Waktu rehidrasi Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Waktu rehidrasi produk nasi singkong instan cukup cepat, yaitu sekitar ± 5 menit. Rehidrasi dilakukan dengan menyeduh nasi singkong instan menggunakan air panas. Perbandingan air penyeduh dengan nasi singkong instan sebesar 4 : 1. Umumnya produk pangan instan memiliki standar
maksimal untuk waktu rehidrasi selama 3 menit, seperti pada bihun instan yang tercantum dalam SNI. Akan tetapi, salah satu produk nasi instan komersial memiliki waktu rehidrasi selama ± 8 menit dengan perbandingan air dan produk sebesar 180 ml untuk 65 gram produk. Jadi, waktu rehidrasi produk nasi singkong instan lebih cepat daripada produk komersial, sehingga penyajiannya lebih cepat dan praktis.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Produk nasi singkong instan berbasis fermented cassava flour dengan penambahan tepung ikan teri ini merupakan salah satu produk hasil pengembangan produk baru. Penelitian tentang produk ini belum pernah dilakukan
sebelumnya.
penghabluran,
SOP
pembutiran,
yang
dihasilkan
penyortiran,
penyangraian, perebusan, dan pengeringan.
adalah
penyangraian,
pencampuran, pengukusan,
Proses pembuatan produk ini
cukup mudah, dan dapat diaplikasikan mulai dari skala rumah tangga maupun industri. Hasil akhir dari produk ini adalah berbentuk bulat kering dengan warna kecoklatan dan sedikit aroma ikan. Cara pengonsumsiannya dengan diseduh air panas selama 5 menit. Formulasi produk nasi instan yang paling disukai oleh konsumen adalah Formulasi 1 dengan perbandingan fermented casava flour dan tepung ikan teri 97,5 : 2,5. Analisis pada formulasi terpilih (F1) menunjukkan bahwa kadar air produk tersebut 9.08%, kadar abu 0.81%, kadar lemak 0.78%, kadar protein 1.69%, kadar karbohidrat 87.64%, kadar serat kasar 2.98%, aw 0.616, dan daya cerna pati 26.77%, nilai energi 364.38%, dan daya serap air 177.83%.
B. Saran Penelitian lanjut produk nasi singkong instan perlu dilakukan untuk memperbaiki bentuk produk nasi instan agar dibentuk seperti bentuk nasi, yaitu berwarna putih dan lonjong, tidak bulat seperti bola. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan proses untuk meningkatkan daya cerna patinya dan pemilihan jenis ikan untuk memperbaiki warna dan aroma pada tepung ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2003. Prinsip Pasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Aminev. 2007. Pemanfaatan konsentrat Protein dan Minyak Ikan di Indonesia. http://anhakim.wordpress.com/2007/11/15/pemanfaatan-konsentratprotein-dan-minyak-ikan-di-indonesia/ [26 Agustus 2008] Anonim. 2004. Keripik Sanjai Balado, Makanan Ringan Berkalori Tinggi. http://www2.kompas.com/kesehatan/news/senior/gizi/0407/16/gizi.htm [15 Juli 2008] _______. 2006. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong [7 Januari 2008] _______. 2007. Keunggulan Nutrisi Ikan dan Fungsinya bagi Kesehatan. http://depoikan.com/depoikan/content/view/25/38/ [8 Agustus 2008] _______. 2008a. Tepung Ikan. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/ikan,%20daging,%20telor%20 dan%20udang/tepung ikan.pdf [16 April 2008] _______. 2008b. Teri: Kecil Bentuknya, Besar Kandungan Kalsiumnya. http://koralstp35.wordpress.com/2008/01/10/teri-kecil-bentuknyabesar-kandungan-kalsiumnya/ [15 Juli 2008] Anwar, F. 2004. Beras Singkong Semi Instant. http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=3788&coid=1&caid =56 [21 September 2007] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC Internasional. USA AOAC International, Virginia. Astawan, M. 2004. Pangan Non-beras Perlu Ditingkatkan Sejak Balita. http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1082603192,73684 [23 April 2008] Astuti, S.M. 2006. Teknik Pelaksanaan Percobaan Pengaruh Konsentrasi Garam dan Blanching terhadap Mutu Acar Buncis. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 2, 2006. Biro Pusat Statistik. 2006. Production of secondary Food Crops in Indonesia. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table2.shtml [18 April 2008] Budiyanto, S. 2008. Tinggalkan Tepung Impor, Pilih Tepung Lokal. http://www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=387 [27 Mei 2008]
Departemen Kesehatan. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. Jakarta Departeman Pertanian. 2005. Analisis Permintaan Dan Produksi Beras Di Indonesia, 2001-2004. http://www.deptan.go.id. [18 April 2008] Departemen Pendidikan Nasional RI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php [17 Mei 2008] Dewan Standarisasi Nasional. 2000. Mie Instan. SNI 01 – 3551 – 2000. BSN, Jakarta. Dewanti, R., N. Andarwulan, N.S. Palupi. 2002. Pangan Lokal Sumber Karbohidrat. Fateta. IPB. Bogor Fadilah, N. 2004. Pengaruh Pengolahan dan Penyimpanan Mie Instan berbahan Dasar Terigu-tepung Singkong-Tapioka serta Penambahan CMC Terhadap Daya Cerna Pati Secara in Vitro. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian IPB, Bogor. Fellow, P. 2001. Food Processing Technologi Principles and Practice. Second edition. CRC Press, Washington. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubikayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hardinsyah,Y. F. Baliwati, D. Martianto., Handewi S.R., Agus W., dan Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Pusat studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Lembaga Penelitian –IPB, Bogor. Huda, N., Zakaria, F. R., D. Muchtadi, dan Suparno. 2008. Sifat Fungsional bubuk Ikan Selar Kunng (Selaroides leptoleptis). http://www.ppti.usm.my/Dr%20Nurul%20Huda/website/publication/Na tionalJurnal4.pdf. [26 agustus 2008] Ma’arif, M.S. dan Tanjung. 2003. Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Di dalam Satiarini, B. 2006. Kajian Produksi dan Profitabilitas Pembuatan Susu Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Mohamed, K.R. 2006. Penghabluran Semula (Recrystallization). http://www.pikiran-rakyat.com.cetak.0704/15/cakrawala/penelitian.htm [18 April 2008] Muaris, I. 2006. Snack Ikan Teri si Mini Gizi Maksi. Food Review Indonesia. Agustus 2006 Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
_______. 2005. Serat Makanan Faktor Penting yang Hampir Dilupakan. Departeman Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Bogor. Noordia, A. 2005. Komplementasi Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dan Tepung Kecambah Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) pada Tiwul instan dari Ubi Kayu Terfermentasi (Gari) Ditinjau dari Protein, Lemak, Yodium, Besi dan Seratnya : Penelitian eksperimental laboratoris. Thesis. Universitas Airlangga, Surabaya. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2005-noordiaann1743&node=264&start=11&PHPSESSID=e99ecec43aeb91a73c0e368c e140cf5f [21 September 2007] Nurhidayati, T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Suhu Fermentasi terhadap Kualitas Keju Cottage. http://www.fmipa.its.ac.id/isi%20mipa/jurnal/jurnal/KAPPA%20(2003) %20Vol.%204,%20No.1,%2013-17.pdf [9 Maret 2008] Pamularsih, E. 2006. Pengolahan Sagu Menjadi Sagu Mutiara Instan sebagai Upaya diversifikasi Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Rahman, A. M. 2007. Mempelajari Karakteristik kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL sebagai Penyalut pada Kacang Salut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Retnowati, E. 2004. Pengaruh Penambahan Jenis Bahan pengisi, Perbandingan Ikan Teri dengan Bahan Pengisi serta Lama Penyimpanan Beku terhadap Mutu Nugget Ikan Teri. Tugas Akhir. Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung. Satyagraha, H. 2005.Optimasi Proses Pengolahan dan Karakterisasi Produk serta Penetuan Umur Simpan Beras Ubi Kayu yang Disubstitusi dengan Kecambah Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Sawega, A. M. 2007. Kembali ke Kasava. (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0701/08/ilpeng/3220074.htm ) [27 Mei 2008] Soenardi, T. 2002. Makanan Alternatif untuk Ketahanan Pangan Nasional. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. _______. 2004. Mengenal Nilai Gizi Ikan. http://www.kompas.com/swara/index.htm [18 Agustus 2008] Spiller, G. A. 2001. Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition. 3rd edition. CRC Press, London. Subagio, A. 2006. Ubi Kayu Subtitusi Berbagai Tepung-tepungan. Food Review Indonesia. April 2006
Supriadi, H. 2007. Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubikayu. http://ntb.litbang.deptan.go.id/2007/SP/potensikendala.doc [8 April 2008] Westby, A. 2002. Cassava Utilization, Storage and Small-Scale Processing. Di dalam: Hillocks, R.J., Thresh, J.M., dan Belloti, A.C. (ed.) Cassava: Biology, Production, and Utilization. CAB Publishing Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Wiyati, D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri (Stolephorus spp) terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk Anak Balita. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. SOP pembuatan nasi singkong instan tepung singkong
tepung ikan teri
gula, garam, air, CMC, soda kue
Pencampuran (100:0, 97.5:2.5, 95:5, 92.5:7.5, 95:10) Penghabluran dengan ayakan 10 mesh Pembutiran Penyortiran dengan ayakan 6-8 mesh Penyangraian selama 5-6 menit Pendinginan (diangin-anginkan) NASI SINGKONG MENTAH Pengukusan selama 15 menit Penyangraian selama 5 menit Perebusan selama 5 menit Penirisan Perendaman dalam air dingin selama 2 menit Pengovenan 65-75oC selama 4-5 jam NASI SINGKONG INSTAN
b
Lampiran 2. Produk akhir setelah pemasakan, pengeringan, dan setelah direhidrasi dengan air panas Metode pemasakan Hasil setelah direhidrasi Pemasakan Pengeringan Waktu rehidrasi Bentuk Warna/ Tekstur penampakan Kukus 30 menit Sangrai 7 menit 2 menit hancur,tidak berbentuk Coklat pucat Lembek, berasa keruh, tidak tepung/mentah seragam Oven 5 menit 7 menit Agak bulat tapi kasar, Pucat keruh, Lembek bagian luar sebagian tidak seragam (mentah), bag dalam keras berbentuk 3 menit hancur,tidak berbentuk Pucat keruh, Lembek, berasa Sangrai 5 menit oven 3 jam70oC tepung/mentah Rebus 30 menit Sangrai X (tidak dilanjutkan, karena tidak memungkinkan disangrai, lengket semua) Oven 8 jam 70oC >10 menit Bulat tidak sempurna, Coklat agak Bag tengah keras, bag luar saling menempel transparan kenyal, lengket, ada spot putih di tengah X (tidak dilanjutkan, karena tidak memungkinkan disangrai, lengket semua) Sangrai 5 menit – oven 4 jam70oC Kukus 30 menitOven 4 jam 5 menit sebagian hancur, tetapi Coklat agak Agak lembek, kenyal, tidak rebus 5 menit tidak bulat sempurna transparan ada spot putih, tidak berasa tepung, permukaan tidak halus Kukus 30 menitSangrai 5 menit – 5 menit Bulat sempurna, tidak Coklat agak Agak lembek, kenyal, tidak rebus 5 menit oven 4 jam70oC hancur transparan ada spot putih, tidak berasa tepung, permukaan halus 5 menit Bulat sempurna, tidak Coklat agak Agak lembek, kenyal, tidak Kukus 15 menitSangrai 5 menit – o hancur transparan ada spot putih, tidak berasa rebus 5 menit oven 4 jam70 C tepung, permukaan halus
56
Lampiran 3. Produk akhir setelah pemasakan dan pengeringan sebelum direhidrasi Metode pemasakan Hasil sebelum direhidrasi Pemasakan Pengeringan Bentuk Warna/ Tekstur penampakan Kukus 30 menit Sangrai 7 menit Bulat sempurna, Putih keruh kecoklatan, tidak Keras, permukaan halus memisah seragam Oven 5 menit Beberapa menempel, Lebih coklat Sangat keras, permukaan halus bulat sempurna Sangrai-oven Bulat sempurna, Putih keruh, sedikit lebih Keras, permukaan halus memisah seragam Rebus 30 menit Sangrai X (tidak dilanjutkan, karena tidak memungkinkan disangrai, lengket semua) Oven 8 jam 70oC Bulat gepeng, tidak Coklat transparan Keras, permukaan kasar teratur, sebagian masih menempel Sangrai–oven X (tidak dilanjutkan, karena tidak memungkinkan disangrai, lengket semua) Kukus 30 menit – Oven 4 jam Sebagian besar hancur, Coklat transparan, seragam Keras, renyah, permukaan agak rebus 5 menit agak bulat dan tidak kasar beraturan, banyak yang menempel Kukus 30 menitSangrai 5 menit – Bulat kurang sempurna Coklat transparan, seragam Keras, renyah, permukaan agak o rebus 5 menit oven 4 jam70 C halus Kukus 15 menit Sangrai 5 menit – Bulat kurang sempurna Coklat transparan, seragam Keras, renyah, permukaan agak o rebus 5 menit oven 4 jam70 C halus
57
Lampiran 4. Kuisioner pada uji organoleptik Uji Hedonik terhadap Nasi-Singkong Instant sebagai Makanan Pengganti Nasi Nama : No.HP :
Tanggal : Fak/PS :
Pertanyaan pendahuluan: 1. Apakah anda alergi terhadap ikan teri? Ya / tidak 2. Apakah anda menyukai ikan teri? Ya / tidak (coret yang tidak benar) Instruksi: 1. Jangan membandingkan antar sampel 2. Berikan penilaian berdasarkan tingkat kesukaan anda terhadap produk yang disajikan dengan angka 1 sampai 7 pada kolom yang tersedia Keterangan penilaian: 1. sangat tidak suka 2. tidak suka 3. agak tidak suka 4. netral atribut
5. agak suka 6. suka 7. sangat suka
Kode
komentar
Warna Aroma Rasa Tekstur Overall Rasa setelah penambahan lauk* *) dilakukan paling akhir Kritik&Saran:___________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________ _____________________________________________________
Lampiran 5. Jawaban pertanyaan pendahuluan Apakah anda Apakah anda Panelis alergi terhadap menyukai ikan ikan teri? teri? 1 Qia tidak ya 2
Aldilla
tidak
ya
3
Cici
ya
ya
4
Nanang
tidak
ya
5
Ame
tidak
ya
6
Edy
tidak
ya
7
Ety
tidak
ya
8
Aris
tidak
ya
9
Erma
tidak
ya
10
Dhieta
tidak
ya
11
Christin
tidak
ya
12
Mega
tidak
ya
18
Septi
tidak
tidak
14
Fitri
tidak
ya
15
Catrien
tidak
ya
16
Dyah
tidak
ya
17
Wardi
tidak
ya
18
Yoga
tidak
ya
19
Chabib
tidak
ya
20
Risma
tidak
ya
21
Novia
tidak
ya
22
Melissa
tidak
ya
23
Dikin
ya
ya
24
Abigail
tidak
ya
25
Rina H
tidak
ya
Lampiran 6. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna dan aroma nama qia aldilla cici nanang ame edy ety aris erma dhieta christin mega septi fitri catrien dyah wardi yoga chabib risma novia melissa dikin abigail rina H Jumlah Rata-rata
F0
F1
5 6 5 5 6 4 6 6 3 6 4 3 6 6 5 5 6 6 6 6 5 3 6 3 5 5 6 6 6 6 6 5 5 5 7 6 5 5 3 5 6 6 5 6 7 6 7 4 7 6 134 134 5.36 5.36
warna aroma F2 F3 F4 F0 F1 F2 F3 F4 3 3 2 4 4 3 3 3 6 3 3 3 5 6 6 6 5 3 2 6 3 6 3 3 5 3 2 5 5 5 4 3 4 3 2 2 5 2 5 5 3 3 2 4 3 3 3 3 3 3 2 5 5 2 2 2 2 4 2 5 5 4 3 3 4 3 3 6 4 3 3 3 5 2 2 4 6 5 6 5 5 4 2 4 2 3 6 4 5 3 2 5 2 5 3 1 3 2 2 5 3 3 3 2 3 2 2 3 4 3 4 4 4 3 2 2 5 5 5 5 5 5 2 5 6 5 2 2 3 3 3 4 5 2 3 3 6 5 2 5 5 3 6 2 2 2 2 3 6 4 2 2 3 3 1 4 5 5 4 3 5 5 5 6 6 6 6 6 4 4 4 6 5 4 3 4 3 2 2 6 6 5 4 3 5 4 3 2 4 2 3 5 2 2 1 5 5 1 1 1 98 79 57 109 114 95 93 83 3.92 3.16 2.28 4.36 4.56 3.80 3.72 3.32
Lampiran 7. Hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa dan tekstur nama qia aldilla cici nanang ame edy ety aris erma dhieta christin mega septi fitri catrien dyah wardi yoga chabib risma novia melissa dikin abigail rina H Jumlah Rata-rata
F0
F1
6 5 3 2 4 4 4 5 2 4 4 5 5 5 4 4 6 5 5 5 2 2 4 2 5 3 6 6 3 2 6 6 5 6 6 6 5 4 4 4 6 5 5 4 7 6 5 4 3 6 109 116 4.36 4.64
rasa tekstur F2 F3 F4 F0 F1 F2 F3 F4 3 5 5 6 6 3 6 3 3 3 4 5 3 2 6 5 2 4 5 6 4 3 5 5 4 4 3 6 6 6 6 6 4 5 5 5 6 4 6 4 5 5 4 4 4 5 5 4 2 2 2 6 6 6 6 6 4 2 3 5 5 5 6 5 4 3 3 6 5 4 4 4 4 3 3 5 5 5 6 6 3 4 5 5 4 3 4 2 6 3 2 3 3 3 3 3 3 2 2 5 5 3 3 2 2 4 4 5 5 5 5 5 3 3 2 4 4 4 4 4 4 5 2 5 6 5 5 2 4 4 5 6 5 4 4 4 5 6 3 6 6 6 6 6 3 2 2 4 4 4 4 3 4 4 2 5 3 4 5 2 6 6 5 5 6 6 6 5 5 5 3 5 4 4 4 5 5 5 4 6 6 5 5 5 5 5 3 4 5 5 5 3 2 1 5 7 5 4 4 2 95 95 86 129 121 108 123 101 3.80 3.80 3.44 5.16 4.84 4.32 4.92 4.04
Lampiran 8. Hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa tanpa lauk dan rasa dengan penambahan lauk nama qia aldilla cici nanang ame edy ety aris erma dhieta christin mega septi fitri catrien dyah wardi yoga chabib risma novia melissa dikin abigail rina H Jumlah Rata-rata
F0
F1 5 6 2 3 4 4 4 5 2 4 4 5 5 5 4 4 6 5 5 5 2 2 2 4 3 5 6 6 3 2 6 6 6 5 6 6 4 5 4 4 6 5 4 5 6 7 5 4 6 3 109 116 4.36 4.64
rasa rasa setelah ditambah lauk F2 F3 F4 F0 F1 F2 F3 F4 3 5 5 5 6 5 5 5 3 3 4 4 5 4 5 6 2 4 5 6 5 6 5 5 4 4 3 5 6 5 5 5 4 5 5 7 7 7 6 6 5 5 4 6 6 5 4 5 2 2 2 6 6 5 6 6 4 2 3 5 5 5 4 4 4 3 3 6 5 4 3 3 4 3 3 5 7 5 6 5 3 4 5 6 5 4 5 4 6 3 2 6 6 6 6 6 3 2 2 6 5 5 5 5 2 4 4 6 6 6 4 4 3 3 2 6 6 6 6 6 4 5 2 6 6 5 5 3 4 4 5 6 6 4 5 5 5 6 3 6 6 5 6 5 3 2 2 6 6 5 6 4 4 4 2 5 5 5 5 3 6 6 5 6 6 6 6 6 5 5 3 6 5 6 5 5 5 5 4 6 7 5 5 5 5 5 3 2 5 3 6 5 2 1 5 4 6 3 2 5 95 95 86 138 144 125 126 121 3.80 3.80 3.44 5.52 5.76 5.00 5.04 4.84
Lampiran 9: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter warna pada nasi singkong instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2243,808(a)
df
Mean Square 29
F
77,373
Sig.
86,177
,000
panelis
43,568
24
1,815
2,022
,009
sampel
184,208
4
46,052
51,292
,000
,898
Error
86,192
96
Total
2330,000
125
a R Squared = ,963 (Adjusted R Squared = ,952) skor Duncan Subset sampel formula 4
N
1 25
2
3
4
2,28
formula 3
25
formula 2
25
formula 0
25
5,36
formula 1
25
5,36
Sig.
3,16 3,92
1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,898. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 10: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter aroma pada nasi singkong instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2050,512(a)
sampel panelis Error
df 29
Mean Square 70,707
F 45,408
Sig. ,000
25,312
4
6,328
4,064
,004
72,912
24
3,038
1,951
,012
149,488
96
1,557
Total
2200,000 125 a R Squared = ,932 (Adjusted R Squared = ,912) skor Duncan Subset sampel formula 4
N
1
2
3
25
3,32
formula 3
25
3,72
3,72
formula 2
25
3,80
3,80
formula 0
25
formula 1
25
Sig.
4,36
4,36 4,56
,204 ,089 ,572 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,557. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 11 : Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter rasa pada nasi singkong instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2116,608(a)
sampel panelis Error
df 29
Mean Square 72,986
F 56,784
Sig. ,000
22,208
4
5,552
4,320
,003
78,368
24
3,265
2,540
,001
123,392
96
1,285
Total
2240,000 125 a R Squared = ,945 (Adjusted R Squared = ,928) skor Duncan Subset sampel formula 4
N
1
2
3
25
3,48
formula 2
25
3,80
3,80
formula 3
25
3,80
3,80
formula 0
25
formula 1
25
Sig.
4,36
4,36 4,64
,352 ,102 ,385 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,285. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 12 : Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter tekstur pada nasi singkong instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2807,648(a)
sampel panelis Error
df 29
Mean Square 96,815
F 135,977
Sig. ,000
21,248
4
5,312
7,461
,000
76,608
24
3,192
4,483
,000
68,352
96
,712
Total
2876,000 125 a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,969) skor Duncan Subset sampel formula 4
N
1
2
25
4,04
formula 2
25
4,32
formula 1
25
4,84
formula 3
25
4,92
formula 0
25
5,16
Sig.
,244 ,210 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,712. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 13: Hasil ANOVA dan uji Duncan terhadap parameter rasa dengan penambahan lauk pada nasi singkong instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 3483,552(a)
sampel panelis Error
df 29
Mean Square 120,122
F 204,290
Sig. ,000
15,152
4
3,788
6,442
,000
46,672
24
1,945
3,307
,000
56,448
96
,588
Total
3540,000 125 a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,979) skor Duncan Subset sampel formula 4
N
1
2
25
4,84
formula 2
25
5,00
formula 3
25
5,04
formula 0
25
5,52
formula 1
25
5,76
Sig.
,390 ,271 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,588. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.