SKRIPSI
MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT
Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Adie Muhammad Rahman. F24103077. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. Di bawah Bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Feri Kusnandar. 2007. Ringkasan Tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan penyalut pada produk kacang salut. Mutu kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang berkaitan dengan mutu kacang salut. Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ). Penelitian bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka dan MOCAL, kemudian mengkorelasikan karakteritik tersebut dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. Kemudian menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut serta menentukan sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk kacang salut. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifat kimia dan fisik, yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografi, kemudian juga dilakukan analisis tingkat pengembangan papatan tepung tapioka (tapioka A, B, C, D, E, dan F) serta MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari tiap sampel dan mengkorelasikan sifat kimia dan fisik dari sampel yang relevan terhadap kerenyahan penyalut pada kacang salut tersebut. Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda antar sampel tepung tapioka, begitu pula dengan MOCAL. Berdasarkan hasil analisis korelasi, karakteristik yang paling relevan terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu, karakteristik lainnya seperti kadar air, kadar abu, kadar pati, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografi tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan rasio amilosa dan amilopektin (P<0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut akan semakin besar. Tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan tertinggi dimiliki oleh penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, sedangkan yang terendah yaitu pada sample MOCAL. Oleh karena itu MOCAL tidak cocok untuk digunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut.
34
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077 Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1985 di Jakarta Tanggal Lulus: 30 November 2007
Menyetujui, Bogor,
Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dosen Pembimbing I
Januari 2008
Dr.Ir. Feri Kusnandar, Msc Dosen Pembimbing II
Rahadi Kusuma, STP Pembimbing Lapang
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
35
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 1985 sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara pasangan Salamah dan Sunaryo. Penulis mengawali masa pendidikannya pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Karet 05 Pagi Jakarta hingga tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 58 Jakarta hingga tahun 2000, dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 3 Jakarta hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta kepanitiaan lainnya seperti Masa Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2004), Pelatihan Web dan Graphic Design HIMITEPA, dan MC dalam acara Focus Group Discussion ”Formalin: Kebutuhan Yang Tidak Dibutuhkan” HIMITEPA. Penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia Dasar TPB-IPB pada tahun 2005 dan 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan penelitian di Perusahaan pengolahan kacang. Penulis mengambil penelitian dengan judul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc.
36
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Ayah dan Mama tercinta, Kak’Wi, Ka’Na, Bang’De, Ima, Lely, Ita dan Ois, Abank, ka’Dety, serta Adinda, Nuha, Aulia, Ayu, Delila dan Zaky, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan cinta kepada penulis untuk terus berjuang dan bersemangat!!! 2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-hariyadi, Msc., selaku dosen pembimbing pertama yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, Msc., selaku dosen pembimbing kedua yang juga banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis. 4. Ir. Betty Silalahi selaku general manager yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan tugas akhir di Perusahan pengolahan kacang. 5. Mba Vivi dan Mas Rahadi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. You are the best! 6. Wati, Maya, dan Reza, selaku teman seperjuangan penulis selama menyelesaikan tugas akhir. Thank you so much for all the moments that we share!!! 7. Rekan-rekan kerja di perusahaan, Mba Suzan, mba Tri, mba Ratih, Willy, Ranto, Mas’No, Haris, Nita, Christin, Deni, mba Sundari, Nizar, Putri, Nani, Lidya, Susi, Mba Titin, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, semangat, keceriaan, dan kehangatannya kepada penulis selama melakukan tugas akhir.
37
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Mitoel, Chusni, Indah, Fitri, Tylo, Arie, Pa’de, Ujo, RT, Arga, Sarwo, Ados, Yoga, Lichan, dan Oneth. You guys are like a star..Not aways seen but always there.. 9. Irmawati, terima kasih untuk semangatnya! Be strong and tough girl!!! 10. Teman-teman ITP 40, Jeng’ye, Lasty, Tatan, Ade, Aca, Widhi, Iin, Vina, Nooy, Nana, Ina, Dion, Agnes, Gadink, hendy, Aan, Dhea, Rahmat, dan yang lainnya, serta teman-teman ITP 41 yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat kepada penulis. 11. Teknisi dan laboran, pak Iyas, bu Rub, pak Koko, teh Ida, mba Ari, pak Rojak, pak Wahid, serta pak Sobirin. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, pemulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat benrmanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2007
Penulis
38
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN..............................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP.....................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ................................................................................
v
DAFTAR ISI ...............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG .....................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG TAPIOKA........................................................................
3
B. TEPUNG SINGKONG.....................................................................
6
C. MOCAL............................................................................................
7
D. PATI..................................................................................................
9
1. Granula Pati.................................................................................
9
2. Amilosa dan Amilopektin............................................................ 10 3. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 12 4. Gelatinisasi Pati........................................................................... 13 5. Retrogradasi Pati.......................................................................... 15 E. KACANG SALUT............................................................................ 16 F. ANALISIS KORELASI..................................................................... 17
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................
19
B. METODE PENELITIAN .................................................................
19
1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL........... 20
39
2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan................................... 20 3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut................................
22
C. METODE ANALISIS....................................................................... 23 1. Kadar Air..................................................................................... 23 2. Kadar Abu...................................................................................
23
3. Kadar Pati.................................................................................... 24 4. Kadar Amilosa dan Amilopektin................................................. 25 5. Nilai pH....................................................................................... 27 6. Bentuk dan Ukuran Pati............................................................... 27 7. Kehalusan.................................................................................... 27 8. Derajat Putih................................................................................ 28 9. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 29 10. Pola Gelatinisasi.......................................................................... 30 11. Analisis Tekstur........................................................................... 30 12. Uji Organoleptik.......................................................................... 31 13. Analisis Korelasi.......................................................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA...............................................
33
1. Kadar Air..................................................................................... 33 2. Kadar Abu.................................................................................... 33 3. Nilai pH........................................................................................ 34 4. Kadar Pati..................................................................................... 35 5. Kadar Amilosa dan Amilopektin.................................................. 37 B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA................................................... 38 1. Bentuk dan Ukuran Pati................................................................ 38 2. Kehalusan...................................................................................... 39 3. Derajat Putih................................................................................. 40 4. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................. 41 5. Pola Gelatinisasi........................................................................... 44 C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN................... 50 D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSUR KACANG SALUT............. 52
40
E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI.................................... 55 F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR)........................................ 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN.................................................................................. 63 B. SARAN.............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 66
41
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka...................................................
3
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994.............
4
Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapioka.................................................
4
Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992...........
6
Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek.....................................................................................
8
Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995)...................................................................................
9
Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salut............................................
31
Tabel 8. Kadar air sampel............................................................................ 33 Tabel 9. Kadar abu sampel..........................................................................
34
Tabel 10. Nilai pH sampel............................................................................. 35 Tabel 11. Kadar pati sampel.......................................................................... 36 Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampel......................................... 37 Tabel 13. Ukuran granula sampel.................................................................. 38 Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampel............................................. 40 Tabel 15. Derajat putih sampel...................................................................... 41 Tabel 16. Sifat amilografi sampel.................................................................. 45 Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampel....................................... 51 Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor kerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut................ 53 Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka F.............. 57 Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCAL......................................................
59
Tabel 21. Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf) dan skor kerenyahan MOCAL....................................................... 62
42
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Diagram alir pembuatan tepung tapioka..................................
5
Gambar 2.
Diagram alir pembuatan MOCAL...........................................
8
Gambar 3.
Struktur amilosa.......................................................................
11
Gambar 4.
Struktur amilopektin................................................................
11
Gambar 5.
Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak (distance)......
17
Gambar 6.
Diagram alir tahapan penelitian...............................................
20
Gambar 7.
Diagram alir pembuatan larutan bumbu..................................
21
Gambar 8.
Diagram alir pembuatan papatan............................................
21
Gambar 9.
Diagram alir pembuatan kacang salut...................................... 22
Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F).............. 39 Gambar 11. Pola swelling power tepung tapioka ........................................ 42 Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka................................................... 43 Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka..................................... 46 Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan rasio amilosa dan amilopektin........................................................... 51 Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin......................................................................... 54 Gambar 16. Granula MOCAL...................................................................... 60
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel tepung tapioka dan MOCAL................................................. 69
Lampiran 2.
Hasil pengukuran kadar pati.................................................. 70
Lmapiran 3.
Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadar Amilosa.................................................................................. 71
Lampiran 4.
Hasil uji rating kerenyahan.................................................... 72
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, pH..........................
73
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat Putih......................................................................................
74
Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan................................................. 75 Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)........................... 76 Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan.......................... 77 Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power dan kelarutan pati................................................................... 78 Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap sifat amilografi .............................................................................. 78 Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap rasio amilosa dan amilopektin................................
79
Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap swelling power dan kelarutan.................................
79
Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap pH...........................................................................
79
Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap sifat amilografi........................................................ 80 Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosa dan amilopektin.....................................................................
80
Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling power dan kelarutan............................................................... 81 Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH..................... 81
44
Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat amilografi................................................................................ 81 Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan, kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan.................................... 82 Lampiran 8.
Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.... 82
45
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong dalam beberapa produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah satu penggunaan tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai penyalut pada produk kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam aplikasinya penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan mutu penyalut yang berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut kacang. Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan ataupun nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut dipengaruhi oleh dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin. Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur produk antara lain gelatinisasi, daya kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor pH pada pati juga dapat mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati. Menurut Taggart (2004), asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang. Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHPUNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan
46
produk kacang salut. Berdasarkan hasil uji coba oleh Subagio (2006), MOCAL dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis produk pangan, mulai dari produk rerotian, biskuit, b aha n p e nsu b t it u s i p ad a mie, hingga p r od u k pangan semi basah. MOCAL mempunyai spektrum aplikasi yang mirip dengan tepung terigu, tepung beras, dan tepungtepung lainnya, maka MOCAL mempunyai potensi untuk digunakan dalam penelitian ini.
B. TUJUAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka dan MOCAL. 2. Mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel tersebut dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. 3. Menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. 4. Mempelajari karakteristik sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk kacang salut.
47
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEPUNG TAPIOKA Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka Komposisi Serat (%) Air (%) Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kalori/100 gram) Sumber: Grace (1977)
Jumlah 0.5 15 85 0.5-0.7 0.2 307
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang berkaitan dengan pH adalah pada proses pembentukan pasta.
Menurut
Winarno (2002),
pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.5-6.5 (Radley, 1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
48
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III 1. Maks.15. Maks.15.0 Maks.15.0 Kadar air % 0 2. Maks. Maks. 0.60 Maks. 0.60 Kadar abu % 0.60 Maks. 3. Serat dan benda Maks. 0.60 Maks. 0.60 % 0.60 asing 4. Derajat putih % Min. 94.5 Min. 92.0 <92 (BaSO4=100%) Volume 5. Derajat asam NaOH Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3 1N/100g 6. Cemaran logam Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 mg/kg - Timbal Maks. 10.0 Maks. 10.0 Maks. mg/kg - Tembaga Maks. 40.0 Maks. 40.0 10.0 mg/kg - Seng Maks. 0.05 Maks. 0.05 Maks. mg/kg - Raksa Maks. 0,5 Maks. 0,5 40.0 mg/kg - Arsen Maks. 0.05 Maks. 0,5 7. Cemaran mikroba Koloni/g Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 x - Angka 10 6 x 106 x 106 lempeng Koloni/g total Koloni/g Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 x 10 4 x 104 x 104 - E. coli - Kapang Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka. Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA), yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 3.
49
Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapioka Grade % Lolos ayak Ukuran ayakan A 99 140 B 99 80 C 95 60 Sumber : Radley (1976)
Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3451-1994 yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan, seperti tercantum pada Tabel 2 di atas. Pada pembuatan produk pangan juga demikian, tepung tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Contohnya pada produk kacang salut, penyalut pada produk diharapkan dapat menghasilkan warna putih yang baik (tidak kusam), sehingga produk lebih dapat diterima oleh konsumen dari segi organoleptik. Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka antara industri besar dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Secara umum, diagram alir pembuatan tepung tapioka disajikan dalam Gambar 1.
50
Umbi singkong Pengupasan dan pencucian Pemarutan Penyaringan Pengendapan
Ampas
Pencucian pati Pengeringan Pati singkong (tepung tapioka) Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Holleman dan Aten, 1956)
B. TEPUNG SINGKONG Ubi kayu atau singkong merupakan sumber karbohidrat yang penting setelah padi, jagung, dan sagu. Singkong memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Singkong dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan pangan pokok ataupun diolah
menjadi
produk
setengah
jadi berupa pati singkong (tepung
tapioka), gaplek, dan tepung singkong. Menurut SNI 01-2997-1992, tepung singkong adalah tepung yang dibuat dari bagian umbi singkong yang dapat dimakan, melalui penepungan singkong iris, parut, ataupun bubur kering dengan mengindahkan ketentuanketentuan kebersihan. Syarat mutu tepung singkong sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.
51
Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992 No. Jenis uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan Khas singkong - Bau Khas singkong - Rasa Putih - Warna 2. Benda asing Tidak boleh ada 3. Derajat putih % Min. 85 4. Kadar abu % b/b Maks. 1.5 5. Kadar air % b/b Maks. 12 6. Derajat asam ml N NaOH/100g Maks. 3 7. Asam sianida mg/kg Maks. 40 8. Kehalusan % lolos (80 mesh) Min. 90 9. Kadar pati % b/b Min. 75 10. Bahan Tambahan Sesuai SNI 01Pangan 0222-1995 11. Cemaran logam Maks. 1.0 mg/kg - Timbal Maks. 10.0 mg/kg - Tembaga Maks. 40.0 mg/kg - Seng Maks. 0.05 mg/kg - Raksa Maks. 0,5 mg/kg - Arsen 12. Cemaran mikroba Koloni/g Maks. 1.0 x 106 - Angka lempeng total <3 - E. coli APM/g Maks. 1.0 x 104 - Kapang Koloni/g Tepung singkong telah banyak digunakan dalam pembuatan produkproduk pangan, antara lain seperti roti, biskuit, mie instan, dan lain-lain. Tepung singkong dapat dimodifikasi untuk memperoleh mutu produk yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan. Modifikasi tepung singkong telah dilakukan
oleh
peneliti
terdahulu
seperti
Muharram
(1992),
yang
memodifikasi tepung singkong dengan pengukusan, penyangraian, dan penambahan GMS (Glyceril Mono Stearat). Selain itu, modifikasi tepung singkong juga telah dilakukan oleh Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ). Modifikasi tepung singkong tersebut dilakukan melalui proses fermentasi, sehingga dihasilkan produk baru yang merupakan turunan dari tepung singkong yang diberi nama MOCAL (Modified Cassava Flour).
52
C. MOCAL MOCAL atau Modified Cassava Flour merupakan produk turunan dari tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan MOCAL sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran singkong dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk MOCAL (Gambar 2). Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asamasam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak disukai konsumen. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek disajikan dalam Tabel 5.
53
Singkong
Pengupasan Pencucia n Pengecilan ukuran Senyawa aktif A dan B
Perendaman Penggaraman
Larutan Garam
Pengeringan matahari Penepungan Pengayakan
MOCAL
Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek No. Parameter Satuan Hasil 1. Keadaan Putih - Warna Netral - Aroma Netral - Rasa 2. Kadar Air % Max. 13 3. Kadar protein % Max. 1,0 4. Kadar abu % Max. 0,2 5. Kadar pati % 82 - 87 6. Kadar serat % 1,9 - 3,4 7. Kadar lemak % 0,4 - 0,8 8. Kadar HCN mg/kg tidak terdeteksi 9. Derajat keputihan % 88 – 91 Sumber: Subagio (2007)
54
MOCAL merupakan produk hasil olahan dari singkong yang dapat dimakan (edible cassava). Oleh karena itu, syarat mutu MOCAL dapat mengacu kepada CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang edible cassava flour (Tabel 6) Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) No. Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu 1. Kadar air % Max. 13 2. Kadar abu % Max. 3 3. Kadar Serat Kasar % Max. 2 4. Kadar HCN mg/kg Max. 10 5. Residu pestisida Sesuai dengan aturan yang berlaku 6. Logam berat Tidak terdeteksi 7. Bahan Tambahan Tidak terdeteksi MOCAL mempunyai karakteristik yang khas, sangat berbeda dengan tepung singkong dan tepung tapioka. Dibandingkan dengan tepung tapioka, viskositas MOCAL lebih rendah. Hal ini disebabkan o l e h komponen pati t e p u n g tapioka mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun demikian, dengan fermentasi s e l a m a 72 jam akan didapatkan produk MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati t ep u ng tapioka (data tidak ditunjukkan). Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga pembebasan granula pati menjadi semakin meningkat (Subagio, 2007).
D. PATI 1. Granula Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.
55
Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda.
2. Amilosa dan Amilopektin Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Pola difraksi sinar-x granula pati adalah bukti bahwa terdapat daerah kristalinitas atau misela pada granula pati (Swinkels, 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah dimasuki air. Pada pati kentang dan tapioka, misela terbentuk oleh amilopektin, sedangkan daerah amorf dibentuk oleh amilosa. Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-molekul glukosa yang berikatan -(1,4)-D-glukosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia (Moorthy, 2004) Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.
56
Gambar 3. Struktur amilosa (Chaplin, 2006)
Jumlah atau kadar amilosa pati pada singkong berada pada kisaran 20-27% mirip dengan pati tanaman lain. Pada dasarnya, struktur amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek -(1,4)D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat percabangan yang tinggi dengan ikatan
-(1,6)-D-glukosa dan bobot
molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)
57
3. Daya Kembang Pati (swelling power) dan Kelarutan Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak.
Namun demikian,
jumlah air
yang terserap
dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy, 2004). Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi dalam peningkatan nilai swelling. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power menurun seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati sehingga dapat menghambat swelling (Charles et al., 2005). Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan
58
membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Tepung tapioka memiliki swelling power yang besar (Balagopalan et al., 1988). Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-umbi yang lain.
4. Gelatinisasi Pati Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula
59
pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu gelatinisasi. Menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Menurut Swinkels (1985), suhu gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara 65-70°C. Moorthy (2004)
menyatakan bahwa
gelatinisasi merupakan
fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Menurut Pomeranz (1991), tidak semua granula pati tergelatinisasi pada titik yang sama, tetapi terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Menurut Olkku dan Rha (1978) dalam Pomeranz (1991), proses gelatinisasi melibatkan peristiwaperistiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi dan pH larutan pati. Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 2002). Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.
60
Menurut Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 5264°C.
5. Retrogradasi Pati Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekulmolekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 2002). Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Keluarnya molekul-molekul amilosa ini menyebabkan terjadinya presipitasi (jika konsentrasi pati rendah) atau membentuk gel (jika konsentrasi pati tinggi). Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2) terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi
61
adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan komponen lain.
E. KACANG SALUT Kacang salut adalah kacang yang disalut dengan tepung dan bumbubumbu kemudian digoreng hingga matang. Dalam pembuatan kacang salut, tepung yang digunakan biasanya adalah tepung tapioka ataupun tepungtepungan lain seperti tepung terigu maupun tepung telur yang dapt memberikan tekstur sesuai dengan keinginan. Tepung yang digunakan diharapkan akan menghasilkan penyalut yang mengembang dan memiliki kerenyahan yang baik. Oleh karena itu, untuk memperkirakan pengembangan tepung biasanya dilakukan analisis tingkat pengembangan tepung dengan membuat produk berupa papatan. Papatan merupakan adonan tepung tanpa kacang yang dibentuk bulat-bulat kecil, baik dalam keadaan sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Salah satu kriteria mutu terpenting dari kacang salut adalah kerenyahan. Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis dengan menggunakan alat texture analyzer. Gaya (force) yang dinilai untuk kerenyahan adalah pada puncak pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (deformasi). Menurut Anonim (2005), untuk mengukur kerenyahan (fracturability) tidak hanya dilihat dari gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya mulai menekan sampel (distance). Anonim (2005) menambahkan, jika hasil pengukuran sampel memiliki gaya (force) yang sama dengan jarak (distance) yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan jarak (distance) yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel memiliki jarak (distance) yang sama, dengan gaya (force) yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya (force) terendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat contoh grafik hasil pengukuran tekstur dengan Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.
62
Gambar 4. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak (distance)
Anonim (2005) menambahkan, untuk membandingkan kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak (distance) yang berbeda, dapat digunakan uji organoleptik untuk mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi.
F. ANALISIS KORELASI Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua peubah (X dan Y) melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol di sekitar sebuah garis lurus. Bila titik-titk bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah. Akan tetapi, bila titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, maka antara kedua peubah tersebut terdapt korelasi negatif. Hubungan linier sempurna antara kedua peubah terdapat bila nilai r = 1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995). Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang
63
variabel bebas tersebut. Sifat korelasi menentukan arah dari korelasi. Keeratannya dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) bila r = 0.00-0.20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; (2) bila r = 0.21-0.40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah; (3) bila r = 0.41-0.70 berarti korelasi memiliki keeratan kuat; (4) bila r = 0.71-0.90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat; (5) bila r = 0.91-0.99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali; (6) bila r = 1 berarti korelasi sempurna.
64
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam jenis tepung tapioka dengan kode tapioka A, tapioka B, tapioka C, tapioka D, tapioka E, dan tapioka F, yang diperoleh dari dua jenis pemasok (industri rumah tangga dan industri besar) serta MOCAL (Modified Cassava Fluor) yang diperoleh dari Koperasi Loh Jinawi Trenggalek. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 95%, HCl 3%, H2SO4 25%, KI 20%, larutan Luff-Schoorl, NaOH 3%, indikator fenolftalen, indikator amilum 0.5%, Na2S2O3 0.1N, amilosa kentang, NaOH 1N, asam asetat 1N, KOH 0.2N, larutan Iod 0.01N, serta akuades. Alat-alat yang digunakan antara lain cawan alumunium, oven, neraca analitik, desikator, ruang asap, pendingin tegak, erlenmeyer asah, buret, cawan porselen, tanur, Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer, waterbath, labu takar, kertas saring, Mettler Toledo MP220 pH-meter, kaca preparat dan gelas penutup, Olympus BH-2 Polarized Light Microscope, Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter, Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer, Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121, sentrifusa, Digital sieve shaker, serta alat-alat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifat kimia dan fisik serta tingkat pengembangan tepung tapioka dan MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari tiap sampel. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 6.
65
Sampel tepung tapioka atau MOCAL
Analisis sifat kimia dan fisik
Analisis tingkat pengembangan papatan
Aplikasi tepung sebagai penyalut kacang (kacang salut)
Analisis tekstur dan uji organoleptik Analisis korelasi
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian
1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat kimia dan fisik dari tepung tapioka dan MOCAL. Sifat kimia dan fisik yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan pati, serta pola amilografi. Semua analisis dilakukan sebanyak dua kali pengukuran (dulplo), kecuali pada analisis kelarutan pati dan sifat amilografi hanya dilakukan sekali pengukuran (simplo). Pembahasan sifat fisik dan kimia antara tepung tapioka dan MOCAL dibedakan karena kedua produk tersebut berbeda.
2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur volume papatan saat sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Terlebih dahulu dibuat larutan bumbu, yang kemudian diuleni bersama sampel sampai kalis sehingga terbentuk adonan tepung. Diagram alir pembuatan
66
larutan bumbu dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan diagram alir pembuatan papatan dapat dilihat pada Gambar 8. Premix tepung dan bumbu
Air
Dicampur Dipanaskan
Larutan bumbu
Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu Sampel tepung tapioka atau MOCAL
Larutan bumbu
Dicampur Diuleni sampai kalis
Adonan
Ditimbang 0.5 gram
Dibentuk bulat dan diukur diameternya (D1) Digoreng
Papatan
Diukur diameternya (D2)
Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan
67
Pembuatan papatan dilakukan sebanyak 30 kali agar data yang diperoleh lebih beragam dan dapat mewakili sampel. Diameter papatan diukur menggunakan jangka sorong, baik pada saat sebelum digoreng (D1) maupun sesudah digoreng (D2). Volume papatan dihitung dengan asumsi
bahwa
papatan
berbentuk
lingkaran
sempurna.
Tingkat
pengembangan sampel diukur dengan cara sebagai berikut:
Tingkat pengembangan (%) =
V2 x 100% V1
Keterangan : V1 = Volume papatan sebelum digoreng (mm3) V2 = Volume papatan setelah digoreng (mm3)
3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut Larutan bumbu yang telah dicampur dengan tepung tapioka atau MOCAL dimasukkan ke dalam coating pan bersama kacang, kemudian kacang yang telah disalut oleh campuran larutan bumbu dan tepung tersebut digoreng. Diagram pembuatan kacang salut dapat dilihat pada Gambar 9. Kacang Larutan bumbu dicampur tepung tapioka atau MOCAL
Coating pan
Dicampur Kacang yang telah disalut Digoreng Kacang Salut
Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut
68
Analisis kerenyahan secara objektif terhadap kacang salut dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Analisis kerenyahan secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik menggunakan uji rating.
C. METODE ANALISIS 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5 gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai berikut:
Kadar air = W – (Y – A ) x 100% W Keterangan : W = bobot sampel awal (g) Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) A = bobot cawan kosong (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan pengabuan dibakar dalam tanur (5500C) selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (A). Sampel sebanyak 2-3 gram (W) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 0C selama
69
6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (X). Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut:
Kadar abu (%) =
(X - A) x 100% W
Keterangan : W = bobot sampel awal (g) X = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) A = bobot cawan kosong (g)
3. Kadar Pati (SNI 01-2892-1992) •
Pembuatan Larutan Luff Schrool Sebanyak 71.9 g Na2CO3 anhidrat dilarutkan dalam 300 mL akuades yang dipanaskan. Setelah larut,kemudian ditambahkan 25 g asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 25 mL akuades sedikit demi sedikit. Kemudian di tambahkan 8 g CuSO4.5H2O dalam 100 mL akuades sedikit demi sedikit. Setelah semua bercampur, kemudian penangas diturunkan suhunya dan dibiarkan selama 30 menit, setelah itu larutan ditera sampai 500 mL dan dibiarkan selama satu malam didalam tempat gelap.
•
Analisis sampel Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 mL HCl 3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250°C. kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6, kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20 mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada
70
saat mulai mendidih). Setelah mendidih, kemudian didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang telah dingin ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL larutan KI 20% lalu segera dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh. Penentuan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 25 mL akuades (tanpa sampel). Kemudian direfluks selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih ), lalu didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 10 mL larutan KI 20%, dan segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% di lakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dilakukan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh. Kadar pati diukur dengan cara sebagai berikut:
Kadar Pati = G x Fp x 0.9 x 100% W Keterangan : G = mg glukosa dari tabel (Vol Na2S2O3 Blanko - Vol Na2S2O3 contoh) Fp = faktor pengenceran W = bobot contoh (mg)
4. Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1998) dan Amilopektin •
Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 mg amilosa kentang dilarutkan dalam 10 ml NaOH alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Lalu campuran ini dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi (larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan
71
ditambahkan air suling sampai tanda tera. Setelah itu, dipipet masingmasing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan amilosa, masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Larutan diasamkan dengan asam asetat 1 N masing-masing sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml. Lalu ditambahkan 2.0 ml larutan iodine (0.2 gram iod dan 2 gram KI dalam 100 ml air). kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan dianalisa dengan Spectronic
Instrumen
20D+
Spektrofotometer
pada
panjang
gelombang 610 nm. Lalu data yang diperoleh digunakan untuk membuat kurva standar hubungan antara konsentrasi amilosa dengan absorbansi. •
Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath (air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok. Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan sampel diambil untuk dianalisa dengan Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur dengan cara sebagai berikut:
Kadar amilosa (%) = A x Fp x V x 100% W
72
Keterangan: A
= konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml)
Fp
= faktor pengenceran
V
= volume awal (ml)
W
= bobot awal (mg)
Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa sampel.
5. Nilai pH Nilai pH diukur dengan menggunakan Mettler Toledo MP220 pHmeter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel dengan membuat suspensi sampel sebesar 10%.
6. Bentuk dan Ukuran Pati Bentuk dan ukuran pati diamati dengan menggunakan Olympus BH-2 Polarized Light Microscope. Sejumlah sampel ditambahkan dengan aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop kemudian difoto dengan menggunakan kamera Olympus C-33AD-4 yang telah terpasang pada mikroskop.
7. Kehalusan Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker. Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15
73
menit, sedangkan ayakan yang digunakan yaitu ayakan no.50 (300µm), no.100 (150µm), dan no. 140 (106µm). Nomor ayakan yang digunakan berbeda dengan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of America) karena adanya keterbatasan alat. Namun, karena nilai kehalusan mengacu pada TIA, maka perbedaan nomor ayakan ini diasumsikan sama dengan nomor ayakan yang ditetapkan oleh TIA. Pengukuran dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel lalu ditaburkan secara merata pada ayakan paling atas. Kemudian ayakan ditutup dan alat dihidupkan. Lalu kehalusan diketahui dengan menghitung persentase jumlah sampel yang lolos ayakan. Kehalusan diukur dengan cara sebagai berikut:
% Kehalusan = 100% - (% sampel yang tidak lolos ayakan) = 100% - ((D:W) x 100%)
Keterangan : D = bobot sampel yang tertinggal di ayakan (g) W = bobot sampel (g)
8. Derajat Putih Derajat putih tepung tapioka diukur dengan menggunakan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat diukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih diukur dengan cara sebagai berikut:
74
DP (%) =
A x 100% Nilai Standar BaSO4 (110.8)
Keterangan : DP
= derajat putih (%)
A
= nilai terbaca pada alat
9. Daya Kembang Pati (Swelling power) dan Kelarutan Pati (Modifikasi Swinkels, 1985, serta Li dan Yeh, 2001) Swinkels (1985) mengatakan bahwa nilai swelling power dan kelarutan pati bisa diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pada pati, yaitu sekitar 50°C-95°C dengan interval 5°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Namun, dalam penelitian ini suhu yang digunakan yaitu 60°C-90°C dengan interval 10°C, kemudian juga dilakukan untuk suhu 95°C. Perbedaan suhu pengukuran ini dilakukan karena berkaitan dengan suhu pemasakan larutan bumbu pada produk kacang salut. Pati dengan konsentrasi 1% dipanaskan pada waterbath dengan suhu 60°C, 70°C, 80°C, 90°C, dan 95°C selama 30 menit, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai swelling power diukur dengan membagi berat endapan dengan berat pati kering sebelum dipanaskan (g/g). Kelarutan
diukur
dengan
mengeringkan
supernatan
hasil
pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam air. Swelling power dan kelarutan diukur dengan cara sebagai berikut:
SP =
X −Y W
75
Keterangan : SP = swelling power W = berat sampel (g) X = berat tabung kosong (g) Y = berat tabung dan endapan (g)
Kelarutan (%) =
X −Y x100% W
Keterangan : W = berat sampel (g) X = berat cawan kosong (g) Y = berat cawan dan endapan (g)
10. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Sampel ditimbang sebanyak 45 gram, lalu dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml dan ditambah akuades sebanyak 450 ml. Kemudian campuran air dan pati tersebut dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf yang telah terpasang pada alat. Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm sambil suhunya dinaikkan dengan cara mengatur switch pada termoregulator dari 30ºC menjadi 90ºC dengan kenaikan 1.5ºC per menit. Setelah itu, suhu dipertahankan pada suhu 95ºC selama 20 menit, kemudian suhu diturunkan dengan mengatur switch pada suhu 50ºC dengan laju penurunan yang sama. Kemudian suhu juga dipertahankan selama pada 50ºC selama 20 menit. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan BU (Brabender Unit).
76
11. Analisis Tekstur Tekstur dianalisis dengan menggunakan Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tekan pada sampel, kemudian akan dihasilkan profil tekstur berupa grafik yang menghubungkan antara gaya (force) dengan jarak (distance). Pertama-tama dilakukan pemasangan probe dan kalibrasi ketinggian probe. Sebelum pengukuran dilakukan setting alat sesuai dengan sampel yang akan dianalisis. Sampel diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel. Pada layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis.
12. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan terhadap 23 orang panelis tidak terlatih dengan menggunakan uji rating. Parameter yang diuji adalah tekstur (kerenyahan). Sampel disajikan secara acak dengan kode tertentu dan panelis diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan tingkat kerenyahan sampel yaitu pada skala 1 sampai 7. Kemudian data skor tekstur yang diperoleh diolah secara statistik dengan software SPSS, menggunakan uji Duncan dan uji Post Hoc. Penilaian kriteria mutu sensoris (tekstur) kacang salut mengacu pada Tabel 7. Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salut Skala Tekstur (kerenyahan) 1 amat sangat tidak renyah 2 sangat tidak renyah 3 tidak renyah 4 netral (biasa) 5 renyah 6 sangat renyah 7 amat sangat renyah 13. Analisis Korelasi Analsis korelasi dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Kekuatan hubungan antara dua variabel yang diukur dinyatakan dengan
77
koefisien korelasi atau r. Analisis korelasi dilakukan baik antara sifat kimia dan fisik itu sendiri maupun dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan. Namun, analisis korelasi hanya dilakukan antara sifat atau parameter yang diperkirakan memiliki kaitan. Analisis korelasi antara sifat kimia dan fisik dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan dilakukan hanya pada sampel tepung tapioka, tanpa MOCAL. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan perbandingan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan yang terjadi antar tepung tapioka, karena MOCAL berbeda dengan tepung tapioka. Analisis korelasi yang berkaitan dengan parameter swelling power dan kelarutan, misalnya kerenyahan, dilakukan dengan mengkorelasikan parameter kerenyahan dengan slope atau kemiringan yang terjadi pada swelling power dan kelarutan. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa suhu yang dilakukan dalam pengukuran swelling power maupun kelarutan bersifat kontinu sehingga korelasi yang terjadi lebih mudah untuk diamati.
78
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
TEPUNG TAPIOKA A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA 1. Kadar Air Kadar air tepung tapioka menunjukan nilai yang bervariasi (Tabel 8). Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B (12.94 %), sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh tapioka C (9.51%). Kadar air untuk beberapa sampel tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu antara tapioka D, E, dan F (Lampiran 5a). Tabel 8. Kadar air sampel No. Sampel Kadar air (%) 1. Tapioka A 11.75a 2. Tapioka B 12.94b 3. Tapioka C 9.51c 4. Tapioka D 11.00d 5. Tapioka E 10.64d 6. Tapioka F 10.54d Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Perbedaan kadar air sampel dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pada industri rumah tangga, biasanya pengeringan dilakukan secara tradisional yaitu dengan penjemuran di bawah sinar matahari, sedangkan pada industri besar, pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pengering (dryer). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung Tapioka, kadar air keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi standar yang ditetapkan yaitu maksimal 15%, baik tepung tapioka mutu I, mutu II maupun mutu III.
2. Kadar Abu Kadar abu tepung tapioka yang diuji ternyata menunjukan nilai yang bervariasi. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda
79
nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, dan E, tidak berbeda nyata (Lampiran 5a). Kadar abu sampel disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kadar abu sampel No. Sampel Kadar abu (%) 1. Tapioka A 0.01a 2. Tapioka B 0.01a 3. Tapioka C 0.03c 4. Tapioka D 0.04d 5. Tapioka E 0.04d 6. Tapioka F 0.02a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang dapat menyebabkan perbedaan nilai kadar abu adalah pada tahap ekstraksi pati. Pada industri besar, ekstraksi pati dilakukan dengan menggunakan alat canggih seperti ekstraktor, sedangkan pada industri rumah tangga ekstraksi dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan bertingkat yang terbuat dari bak kayu. Mineral yang terkandung dalam umbi singkong dapat ikut terbuang bersama ampas hasil proses ekstraksi, sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah. Menurut Asaoka et al. (1992) dalam Sriroth et al. (1999), sifatsifat fungsional pati singkong juga sangat dipengaruhi oleh keadaan genetik dan kondidi lingkungan penanaman singkong. Sriroth et al. (1999) melaporkan adanya perbedaan nilai kadar abu tepung tapioka yang dihasilkan dari empat jenis varietas singkong di Thailand (Rayong 1, Rayong 60, Rayong 90, dan Rayong 50) yang ditanam di lokasi yang berbeda. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung Tapioka, kadar abu keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi standar yang ditetapkan yaitu maksimal 0.6%, baik tepung tapioka mutu I, mutu II maupun mutu III.
80
3. Nilai pH Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH sampel berada pada kisaran 4.0-7.0, dengan pH terendah pada tapioka C yaitu 4.12 dan tertinggi pada tapioka E yaitu 6.52. Nilai pH keenam sampel berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Nilai pH keenam tepung tapioka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh The Tapioca Institute of America (TIA). Hasil pengukuran pH sampel dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai pH sampel No. Sampel pH 1 Tapioka A 5.18a 2 Tapioka B 5.42b 3 Tapioka C 4.12c 4 Tapioka D 5.02d 5 Tapioka E 6.52e 6 Tapioka F 4.19f Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Perbedaan nilai pH pada tiap sampel dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, terutama pada saat proses ekstraksi, yaitu pada tahap pemisahan antara air dengan pati. Pada industri rumah tangga, proses pemisahan pati dengan air dilakukan melalui pengendapan berjam-jam, sehingga memungkinkan terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba. Semakin lama pengendapan, asam-asam organik yang dihasilkan akibat fermentasi akan semakin banyak sehingga pH tepung tapioka yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Berbeda dengan industri rakyat, pada industri besar ekstraksi pati dilakukan dengan alatalat atau mesin canggih, sehingga proses pemisahan pati dengan air menjadi lebih cepat. Proses pemisahan yang cepat ini dapat menghambat terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba.
81
4. Kadar Pati Kadar pati tertinggi pada tapioka D yaitu 81.00% dan terendah pada tapioka B, yaitu 72.49%. Kadar pati tapioka A, B, E, dan F tidak berbeda nyata (Lampiran 5b), begitu pula dengan tapioka C dan D tidak berbeda nyata (P>0.05). Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI. Beberapa studi melaporkan kandungan pati yang berbedabeda pada tepung tapioka. Menurut Grace (1977), kadar pati tepung tapioka sekitar 85%. Sementara itu, Abera dan Rakshit (2003) melaporkan jumlah kadar pati dari tiga varietas singkong (CMR, KU50, dan R5) yang diolah dengan cara yang berbeda (penggilingan basah dan penggilingan kering) yaitu sekitar 96-98%. Kadar pati sampel tepung tapioka disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Kadar pati sampel No. Sampel Kadar Pati (%) 1. Tapioka A 75.96a 2. Tapioka B 72.49a 3. Tapioka C 81.00b 4. Tapioka D 80.67b 5. Tapioka E 73.05a 6. Tapioka F 73.59a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Kadar pati tepung tapioka hasil pengukuran lebih rendah dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan kadar pati pada keenam sampel tepung tapioka ini dapat terjadi karena perbedaan varietas singkong dan waktu panen singkong. Radley (1976) menyatakan bahwa kandungan pati singkong meningkat seiring dengan waktu pemanenan. Waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk mencapai
kematangan
berbeda
tergantung
iklim
dan
lokasi
penanamannya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Grace (1977), bahwa dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Ketika umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai
82
pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan. Abera dan Rakshit (2003) melaporkan bahwa proses penggilingan kering pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati sebesar 13-20%. Selain itu, kadar pati juga dapat berkurang karena partikel-partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama partikel serat halus selama proses pencucian pati. Pada proses penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan, sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.
5. Kadar Amilosa dan Amilopektin Hasil pengukuran kadar amilosa dikonversi berdasarkan bobot pati yang terukur. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh tapioka A yaitu 24.01% dan yang terendah adalah tapioka C yaitu 15.47%. Kadar amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata (Lampiran 5b), Begitu pula antara tapioka C dan F (P>0.05). Kadar amilosa dan amilopektin tepung tapioka disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampel No. Sampel Kadar amilosa (%) Kadar amilopektin (%) a 1 Tapioka A 24.01 75.99a 2 Tapioka B 23.87a 76.13a c 3 Tapioka C 15.47 84.53c d 4 Tapioka D 21.30 78.70d 5 Tapioka E 20.33d 79.67d c 6 Tapioka F 17.39 82.61c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Banyak studi yang telah dilakukan dalam menentukan kadar amilosa tepung tapioka. Umumnya, studi-studi tersebut melaporkan kadar amilosa yang berbeda-beda. Perbedaan kadar amilosa ini dapat terjadi karena adanya perbedaan varietas singkong. Charles et al. (2005)
83
melaporkan kadar amilosa tepung tapioka dari lima varietas singkong (Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) yaitu sekitar 15.922.4%. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% mirip dengan pati tanaman lain, sedangkan kadar amilosa pada singkong sekitar 18-25%. Variasi kadar amilosa tergantung dari varietas singkong. Sementara itu, menurut Pomeranz (1991), kadar amilosa tepung tapioka yaitu sekitar 17%. Kadar amilosa juga dipengaruhi oleh waktu panen singkong. Sriroth et al. (1999) menyatakan bahwa kadar amilosa singkong dan pati pada umumnya akan lebih rendah pada tanaman yang masih dalam fase pertumbuhan (belum siap panen).
B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA 1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk granula dari semua sampel tepung tapioka dengan ukuran granula yang tidak jauh berbeda untuk tiap sampel (Tabel 13). Hasil pengamatan bentuk granula tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 10. Menurut Moorthy (2004), granula tepung tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Febriyanti (1990) mendapati ukuran granula pati dari beberapa varietas tepung singkong berada pada kisaran 3-25 µm. Rata-rata ukuran granula tepung tapioka dalam penelititan ini menunjukan nilai yang tidak berbeda dengan studi terdahulu, yaitu sekitar 3-40 µm. Sriroth et al., (1999) melaporkan bahwa ukuran granula pati dari singkong yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata ukuran granula yaitu 15 µm (14 bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi oleh kondisi dan waktu panen singkong.
84
Tabel 13. Ukuran granula sampel No. Sampel Ukuran Granula (µm) 1. Tapioka A 3-40 2. Tapioka B 3-40 3. Tapioka C 3-30 4. Tapioka D 3-30 5. Tapioka E 3-30 6. Tapioka F 3-40
100 µm
100 µm
100 µm
100 µm
100 µm
100 µm
Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F)
2.
Kehalusan (lolos ayak) Kehalusan tepung tapioka berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05), baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan
85
no.50, no.100, maupun no.140 (Lampiran 5c). Hasil pengukuran kehalusan (lolos ayak) dapat dilihat pada Tabel 14. Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata pada semua sampel tepung tapioka (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan no.100 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F (P>0.05). Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampel Kehalusan sample (%) No. Sampel No.50 (300µm) No.100 (150µm)
No. 140 (106µm) 1. Tapioka A 98.90a 91.81 a 87.72 a a b 2. Tapioka B 99.83 96.81 92.10 b 3. Tapioka C 99.65a 98.23 b 93.83 b a b 4. Tapioka D 99.83 98.65 93.55 b a b 5. Tapioka E 99.78 98.95 96.98 c 6. Tapioka F 99.63a 95.69 b 92.43 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Kehalusan tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, namun mengacu pada TIA (The Tapioca Institute of America), maka kualitas tepung tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan kehalusannya, termasuk ke dalam kategori grade C karena kehalusan semua sampel tepung tapioka telah memenuhi standar lolos ayak pada ayakan no.60 yaitu 95%. Sementara itu, kehalusan semua sampel tepung tapioka yang diayak dengan ayakan no.80 dan no.140 tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh TIA karena tidak memenuhi standar lolos ayak pada ayakan no.80 dan no.140 yaitu sebesar 99%.
3. Derajat Putih Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat putih antara tapioka B dan F tidak berbeda nyata, serta derajat putih antara tapioka C dan E tidak berbeda nyata (P>0.05).
86
Derajat putih terbesar dimiliki oleh tapioka D dan terendah dimiliki oleh tapioka F. Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati. Secara umum, nilai derajat putih keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I yaitu minimal 94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu kurang dari 92%. Derajat putih tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Derajat putih sampel No. Sampel Derajat putih (%) 1. Tapioka A 99.91a 2. Tapioka B 95.62b 3. Tapioka C 97.79c 4. Tapioka D 100.00 a 5. Tapioka E 97.90c 6. Tapioka F 95.22b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan bahwa nilainya tidak berbeda nyata (P>0.05) 4. Daya Kembang (Swelling power) dan Kelarutan Secara
umum,
swelling
power
akan
meningkat
dengan
bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power berbeda untuk masing-masing sampel (Gambar 11) Perbedaan nilai swelling power pada tepung tapioka dan MOCAL dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai swelling. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga
87
melaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara swelling power dengan kadar amilosa. Hal ini terjadi karena amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat swelling. Hasil analisis swelling power dan kelarutan disajikan dalam Lampiran 1. 50.00
Swelling Power (g/g)
45.00 40.00
Tapioka A
35.00
Tapioka B
30.00
TapiokaC
25.00
TapiokaD
20.00
Tapioka E
15.00
Tapioka F
10.00 5.00 0.00 60
70
80
90
95
Suhu (oC)
Gambar 11. Pola swelling power sampel tepung tapioka
Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang positif antara kadar amilosa yang terdapat pada sampel dengan swelling power tetapi korelasinya sangat rendah dan tidak signifikan (Lampiran 7a). Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan oleh Charles et al. (2005), bahwa terdapat korelasi positif antara swelling power dengan kadar amilosa. Hal ini dapat dijelaskan dengan rendahnya kandungan lipida dalam tepung tapioka, sehingga kompleks antara amilosa dengan lipida tidak terlalu berpengaruh dalam menghambat swelling. Charles et al. (2005), juga melaporkan dalam studinya bahwa kadar lipida dalam lima jenis tepung tapioka yang berasal dari varietas singkong yang berbeda (Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) menunjukan nilai yang sama yaitu 0.1%.
88
Secara umum, kelarutan pati tepung tapioka meningkat seiring dengan peningkatan suhu pengukuran (Gambar 12). Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu, dan kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. 45
Kelarutan (%)
40 35
Tapioka A
30
TapiokaB
25
TapiokaC
20
TapiokaD
15
Tapioka E
10
Tapioka F
5 0 60
70
80
90
95
Suhu (oC)
Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka
Perbedaan kelarutan pati antar sampel dapat terjadi karena perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa dan amilopektin yang berbeda, menunjukan nilai swelling power dan kelarutan pati yang berbeda pula. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekul tersebut mulai menyebar ke media yang ada di luarnya. Molekul yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Mulyandari (1992) melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Korelasi positif terjadi antara amilosa dengan kelarutan pati (Lampiran 10a)
89
5. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Pengamatan dilakukan terhadap suhu gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM), suhu saat viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta (breakdown), viskositas balik (setback), dan stabiltas pendinginan. Pola gelatinisasi yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi, dan viskositas. Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel tepung tapioka dikorelasikan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil pengukuran sifat amilografi tepung tapioka disajikan pada Tabel 16, sedangkan pola gelatinisasi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 13.
a. Suhu gelatinisasi (SG) Suhu gelatinisasi terendah dimiliki oleh tapioka D yaitu 62.25ºC, sedangkan suhu gelatinisasi yang tertinggi ada pada tapioka B yaitu 67.50ºC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah pada tapioka D menunjukan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada tapioka D lebih mudah terjadi, sehingga pada suhu yang lebih rendah, granula pati pada tapioka D sudah mulai tergelatinisasi. Menurut Swinkels (1985), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 65-70°C. Sedangkan menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Perbedaan suhu gelatinisasi antar sampel tepung tapioka dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa.
90
Tabel 16. Sifat amilografi sampel Sampel Suhu Suhu
Viskositas
Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Breakdown Setback
gelatinisasi
Viskositas
Maksimum
95°C
95°C/20
50°C
50°C/20
(°C)
maksimum
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
Stabilitas fase pendinginan (BU)
(°C) Tapioka A
65.25
75.75
1620
640
465
710
820
1155
245
110
Tapioka B
67.50
76.50
1520
630
455
580
680
1065
125
100
Tapioka C
63.75
74.25
1430
530
340
420
490
1090
80
70
Tapioka D
62.25
72.90
1700
700
495
720
810
1205
225
90
Tapioka E
64.50
74.25
1720
650
500
750
900
1220
250
150
Tapioka F
63.75
73.50
950
440
300
340
390
650
40
50
45
2000 1800 1600
Viskositas (BU)
1400
Tapioka A Tapioka B Tapioka C Tapioka D Tapioka E Tapioka F
1200 1000 800 600 400 200
50
50
95
95
65 .2 5
62 .2 5
0
Suhu (oC) Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka 46
45
Struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa (Taggart, 2004). Namun, berdasarkan uji korelasi diperoleh korelasi yang lemah antara suhu gelatinisasi dengan kadar amilosa (r=0.558).
b. Viskositas maksimum (VM) dan suhu pencapaiannya (SVM) Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga viskositas puncak. Sedangkan suhu viskositas maksimum (SVM) adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum (VM) terbesar dimiliki oleh tapioka E yaitu 1720 BU (Tabel 16), yang berarti kemampuan granula patinya dalam menghidrasi air lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Pemecahan granula pati pada E juga lebih cepat dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kisaran suhu sampel mulai tergelatinisasi (SG) sampai mencapai viskositas maksimum (SVM) yaitu 64.574.25°C. Sementara itu, viskositas maksimum (VM) terendah pada tapioka F yaitu 950 BU Perbedaan viskositas maksimum antar sampel tepung tapioka dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan semakin tinggi. Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara kadar amilosa dan viskositas maksimum (r=0.541), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa korelasi antara viskositas maksimum dengan swelling power sangat rendah. Hal ini ditandai dengan kecilnya nilai koefisien korelasi antar keduanya yaitu 0.032. Hal ini dapat terjadi karena suhu viskositas maksimum yang dicapai oleh sampel masih berada di kisaran 70°C, sedangkan pengukuran swelling power mencapai suhu 95°C dan pengukurannya tidak kontinu.
46
Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening-nya (kelengketan) semakin besar. Sehingga hal ini memungkinkan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi.
c. Stabilitas pasta panas (breakdown) Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan perubahan viskositas dari viskositas maksimum (VM) sampai viskositas selama pemanasan pada suhu konstan (95°C). Stabilitas pasta panas juga dikenal sebagai breakdown. Stabilitas pasta panas bernilai positif jika terjadi peningkatan viskositas dan bernilai negatif jika terjadi penurunan viskositas. Pada Gambar 12, viskositas tiap sampel selama penahanan terus mengalami penurunan. Hal ini berarti stabilitas pasta panas untuk semua sampel bernilai negatif. Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16), dapat dilihat bahwa pasta panas tapioka F cenderung lebih stabil dibandingkan sampel lainnya karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai breakdown sampel tersebut yaitu 390 BU. Stabilitas pasta panas terendah pada sampel E yaitu dengan nilai breakdown sebesar 1220 BU. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan yang kontinu juga menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991). Stabilitas pasta panas pada tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh pH. Menurut Winarno (2002), bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi, sedangkan bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. Berdasarkan uji korelasi terdapat korelasi yang kuat antara stabilitas
47
pasta panas dengan pH (r=0.607), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Selain pH, perbedaan stabilitas pasta panas (breakdown) antara tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh kadar amilosa. Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara kadar amilosa dan breakdown (r=0.429), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Semakin tinggi kadar amilosa pati maka viskositas breakdown akan semakin tinggi (Charles et al., 2005)
d. Viskositas balik (setback) Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95°C) dengan viskositas pada akhir pendinginan (50°C). Nilai setback ini menunjukan kecenderungan pati dalam beretrogradasi. Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh, 2001). Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16) diperoleh bahwa tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan dengan tingginya nilai viskositas setback tapioka E yaitu 250 BU. Hal ini menunjukan bahwa molekul-molekul amilosa dalam tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Berbeda dengan tapioka E, kemampuan tapioka F dalam beretrogradasi paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai viskositas setback tapioka F yang sangat kecil yaitu 40 BU. Perbedaan nilai setback antar sampel tepung tapioka juga dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa, seperti yang telah dilaporkan oleh Charles et al. (2005) bahwa semakin tinggi kadar amilosa pati maka viskositas setback akan semakin tinggi. Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi yang kuat antara kadar amilosa dengan viskositas setback (r=0.633), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).
48
e. Stabilitas pasta selama fase pendinginan Stabilitas pasta dingin diperoleh dari selisih viskositas selama pendinginan pada suhu konstan (50°C). Stabilitas pasta dingin digunakan untuk mengetahui kestabilan pasta pati terhadap proses pengadukan selama pendinginan setelah pemasakan. Viskositas yang tinggi menunjukan stabilitas pasta dingin yang lebih rendah, karena perubahan viskositasnya selama pendinginan konstan sangat besar. Tapioka F memiliki nilai stabilitas pasta dingin paling tinggi yaitu 50 BU dan 40 BU. Hal ini menunjukan kemampuan ikatan antara molekul tapioka F terhadap air cenderung tinggi selama pendinginan dan tidak terlalu terpengaruh oleh proses pengadukan, sehingga stabilitasnya selama fase pendinginan pada suhu konstan (50°C) lebih stabil. Nilai stabilitas pasta dingin yang terendah dimiliki oleh tapioka E yaitu 150 BU. Hal ini menunjukan bahwa stabilitas pasta dingin pada tapioka E cenderung kurang stabil akibat pengadukan, sehingga peningkatan viskositasnya selama pendinginan pada suhu konstan (50°C) cukup tinggi. Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi antara kadar amilosa dengan stabilitas pasta pada fase pendinginan (r=0.542), tetapi korelasi antara keduanya tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).
C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa tingkat pengembangan papatan dari tiap sampel berbeda (Tabel 17). Tingkat pengembangan papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F yaitu 596.93%, sedangkan tingkat pengembangan papatan yang terendah dimiliki oleh tapioka B yaitu 279.45%.
49
Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampel No. Sampel Tingkat pengembangan (%) 1. Tapioka A 366.53 2. Tapioka B 279.45 3. Tapioka C 482.54 4. Tapioka D 309.60 5. Tapioka E 527.12 6. Tapioka F 596.93
Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Berdasarkan uji korelasi, diperoleh korelasi yang sangat kuat antara rasio amilosa dan amilopektin dengan tingkat pengembangan papatan (r=-0.846), dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Hal ini menunjukan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka papatan yang dihasilkan
tingkat pengembangan (%)
akan semakin mengembang (Gambar 14).
700.00 r2 = 0.7154
600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Rasio amilosa:amilopektin
Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan rasio amilosa dan amilopektin
50
Berdasarkan hasil analisi uji korelasi ternyata diperoleh korelasi yang rendah antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling power maupun kelarutan (Lampiran 7d). Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai koefisien korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling power (r=0.264) maupun dengan kelarutan (r=0.337). Hal ini dapat terjadi karena proses yang berbeda antara analisis swelling power dan kelarutan dengan analisis pengembangan papatan. Kemampuan pati dalam menyerap air (swelling power) dan kelarutannya tidak dapat menunjukan kemampuan pati
untuk mengembang
ketika
dipanaskan
dalam
media
minyak
(penggorengan). Menurut Fleche (1985), pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati yang lebih cepat untuk terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Asam dapat mengganggu
ikatan
hidrogen
yang terdapat dalam pati, sehingga
menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang (Taggart, 2004). Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang sangat lemah antara pH dengan tingkat pengembangan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.194 (Lampiran 7e). Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan sifat amilografi sampel menunjukan korelasi yang negatif. Koefisien korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan viskositas puncak (r=-0.597), setback (r=-0.403), breakdown (r=-0.559) dan stabilitas pasta fase pendinginan (r=-0.209) menunjukan korelasi yang negatif. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan sifat amilografi sampel cukup erat tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengembangan papatan tidak secara langsung dipengaruhi swelling power dan kelarutan, pH maupun sifat amilografi sampel tepung tapioka (Lampiran 7f).
D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSTUR KACANG SALUT Pengukuran kerenyahan secara objektif dilakukan dengan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Kerenyahan dinyatakan dengan besarnya gaya pada puncak pertama saat sampel mulai mengalami perubahan bentuk (deformasi), dengan satuan gram force (gf). Berdasarkan hasil
51
pengukuran diperoleh gaya (gf) yang berbeda-beda untuk masing-masing penyalut pada produk kacang salut. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa gaya dan jarak paling rendah dihasilkan pada penyalut yang dibuat dari tapioka F, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalut yang dibuat dari tapioka F memiliki kerenyahan yang paling tinggi. Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor kerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut Skor No. Penyalut Gaya (gf) Jarak (mm) kerenyahan 1. Tapioka A 4064.04a 0.496 4.043 a b 2. Tapioka B 6089.26 0.637 3.435 b a 0.448 4.587 a 3. Tapioka C 3587.02 4. Tapioka D 5793.90b 0.781 3.391 b b 4.087 a 5. Tapioka E 5449.04 0.775 5.391 c 6. Tapioka F 1162.58c 0.407 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Berdasarkan uji lanjutan Duncan, gaya (gf) yang dibutuhkan untuk mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat dengan tapioka A dan C, begitu pula antara gaya (gf) yang dibutuhkan untuk mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat dari tapioka B, D, dan E, maupun MOCAL (P>0.05). Oleh karena itu, untuk membandingkan kerenyahan penyalut yang dihasilkan dari sampel lainnya dilakukan uji organoleptik terhadap kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.
Anonim
(2005)
menyatakan,
dalam membandingkan
kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak (distance) yang berbeda dapat dilakukan dengan uji organoleptik untuk mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi. Skor kerenyahan yang dihasilkan dari uji organoleptik dapat dilihat juga pada Tabel 18 di atas. Berdasarkan uji Duncan disimpulkan bahwa skor kerenyahan penyalut pada produk kacang salut berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Selanjutnya, hasil uji lanjutan Duncan menunjukan bahwa kerenyahan tertinggi penyalut pada produk kacang salut tetap dimiliki oleh penyalut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan penyalut yang memiliki
52
kerenyahan terendah adalah yang dibuat dari MOCAL. Sementara itu, kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka B dan D tidak berbeda nyata, begitu juga dengan kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka A, C, dan E tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Berdasarkan uji organoleptik, urutan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut dimulai dari penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, lalu penyalut dari tapioka C, penyalut dari tapioka E, penyalut dari tapioka A, penyalut dari tapioka B, dan yang terakhir penyalut yang dihasilkan dari tapioka D. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin menunjukan hubungan yang erat antar keduanya dan signifikan (P<0.05). Hal ini ditunjukan dengan tingginya koefisien korelasi (r) antara kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin yaitu -0.827 (Lampiran 7g)). Hal ini sesuai dengan pernyataan Matz (1992) yaitu tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Sehingga berdasarkan hasil analisis korelasi dapat disimpulkan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin pada tepung tapioka maka kerenyahan penyalut yang dihasilkan akan semakin tinggi (Gambar 15).
Skor kerenyahan
6 r2 = 0.6847
5 4 3 2 1 0 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Rasio amilosa: amilopektin
Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin
53
Korelasi antara kerenyahan dengan swelling power dan kelarutan, pH serta sifat amilografi juga menunjukan hubungan yang sangat lemah. Koefisien korelasi antara skor kerenyahan dengan swelling power dan kelarutan yaitu -0.061 dan 0.449, kemudian koefisien korelasinya dengan pH yaitu -0.547. Korelasi antara skor kerenyahan dengan sifat amilografi yaitu dengan viskositas puncak (r=-0.640), dan setback (r=-0.650) breakdown (r=0.789) dan stabilitas pasta fase pendinginan (r=-0.552), menunjukan korelasi yang negatif. Korelasinya cukup erat tetapi tidak signifikan (P>0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa skor kerenyahan tidak secara langsung dipengaruhi oleh swelling power dan kelarutan, pH, maupun sifat amilografi sampel tepung tapioka (Lampiran 7h, 7i, dan 7j). Korelasi antara kerenyahan dan tingkat pengembangan papatan juga menunjukan hubungan yang sangat erat. Hal ini ditunjukan dengan besarnya koefisien korelasi (r) antar keduanya pada taraf signifikansi 0.05 yaitu sebesar 0.748. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan, penyalut yang dihasilkan akan semakin renyah (Lampiran 7k). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik tepung
tapioka
yang
secara
nyata
berpengaruh
terhadap
tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin, karena korelasinya berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Karakteristik tepung tapioka dan MOCAL yang lainnya, seperti pH, swelling power dan kelarutan, sifat amilografi (viskositas puncak, setback, stabilitas pasta panas (breakdown), dan stabilitas pasta dingin) masih memiliki korelasi dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut produk kacang salut, tetapi tidak berpengaruh secara langsung kepada produk karena tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).
54
E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI Berdasarkan hasil analisis tekstur (kerenyahan), baik secara objektif menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer, maupun secara subjektif dengan uji organoleptik, disimpulkan bahwa penyalut pada produk kacang salut yang memiliki kerenyahan tertinggi adalah penyalut yang menggunakan tapioka F. Tapioka F adalah tepung tapioka yang memiliki mutu awal yang baik. Kadar air, kadar abu, dan derajat keputihan tepungnya telah memenuhi SNI 01-3451-94 tentang syarat mutu tepung tapioka. Kehalusan sampel tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, tetapi bila mengacu pada standar kehalusan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of America), maka kehalusan tepung tapioka F. Karakteristik kimia dan fisik tapioka F disajikan dalam Tabel 19. Nilai pH tapioka F sangat rendah yaitu 4.19. Menurut Fleche (1985), pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati yang lebih cepat untuk terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Taggart (2004) melaporkan bahwa asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang. Hasil analisis tingkat pengembangan papatan menunjukan tingkat pengembangan papatan tapioka F lebih besar dibandingkan sampel lainnya yaitu 596.93%. Namun demikian, korelasi antara pH semua sampel dengan tingkat pengembangan papatan sampel sangat rendah. Tapioka F yang memiliki rasio amilosa dan amilopektin terendah yaitu sebesar 17.39 % dan 82.53%, memberikan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan tertinggi pada produk kacang salut. Hal ini juga ditunjukan dengan tingginya koefisien korelasi antara rasio amilosa dan amilopektin dengan tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan. Swelling power dan kelarutan tapioka F cenderung lebih besar dibandingkan dengan tepung tapioka lainnya, tetapi korelasinya lemah terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan.
55
Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka F No. Karakteristik Nilai 1. Kadar air (%) 10.54 2. Kadar abu (%) 0.02 3. pH 4.19 4. Kadar pati (%) 73.59 5. Kadar amilosa (%) 17.39 6. Kadar amilopektin (%) 82.61 7. Ukuran granula (µm) 3-40 8. Kehalusan (%) - No.50 99.63 - No.100 95.69 - No.140 92.43 9. Derajat putih (%) 95.22 10. Swelling power (g/g) - 60ºC 9.38 - 70ºC 24.41 - 80ºC 26.84 - 90ºC 29.61 - 95ºC 43.41 11. Kelarutan (%) - 60ºC 9.13 - 70ºC 19.21 - 80ºC 34.25 - 90ºC 37.91 - 95ºC 38.73 12. Sifat amilografi - Suhu gelatinisasi (°C) 63.75 - Suhu viskositas maksimum (°C) 73.50 - Viskositas maksimum (BU) 950 - Breakdown (BU) 650 - Setback (BU) 40 - stabilitas fase pendinginan (BU) 50 Berdasarkan sifat amilografi, tapioka F memiliki viskositas puncak yang paling rendah (950 BU), tetapi tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut yang dibuat dari sampel F paling tinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan hasil uji korelasi, yaitu terdapat korelasi yang negatif antara viskositas maksimum dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut, tetapi tidak berbeda nyata (P<0.05). Stabilitas pasta panas (breakdown) tapioka F lebih stabil
56
dibandingkan sampel lainnya, hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai breakdown tapioka F yaitu 650 BU. Kemampuan tapioka F dalam beretrogradasi juga rendah, hal ini ditunjukan dengan paling rendahnya nilai setback tapioka F dibandingkan dengan sampel lainnya, yaitu 40 BU. Stablititas pasta dingin tapioka F juga lebih stabil (50 BU). Namun demikian, sifat amilografi sampel tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. Berdasarkan hasil uji korelasi juga diperoleh tidak adanya korelasi yang nyata antara sifat amilografi sampel (viskositas puncak, setback,
breakdown,
dan
stabilitas
pasta
dingin)
dengan
tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut (P>0.05).
F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR) Sifat kimia dan fisik MOCAL berbeda jika dibandingkan dengan tepung tapioka. Data lengkap sifat kimia dan fisik MOCAL disajikan dalam Tabel 20. Kadar air MOCAL sebesar 10.91%. Kadar air MOCAL telah memenuhi SNI 01-2997-1992 dan CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995). Kadar abu MOCAL lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung tapioka, yaitu sebesar 0.05%. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan MOCAL ada proses penggaraman, sehingga kadar abu yang terukur lebih tinggi. Kadar abu MOCAL telah memenuhi SNI 01-2997-1992 tentang syarat mutu tepung singkong, dengan kadar abu maksimal 1.5% serta CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang Syarat Mutu Edible Cassava Flour, dengan kadar abu maksimal 3%. Nilai pH MOCAL cenderung rendah yaitu 4.33. Hal ini dapat dipahami bahwa pada proses pembuatan MOCAL proses fermentasi memang sengaja dilakukan. Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong selama proses fermentasi akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel umbi singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati yang
57
selanjutnya akan terhidrolisis dan menghasilkan monosakarida yang akan digunakan oleh mikroba untuk membentuk asam-asam organik. Nilai pH MOCAL tidak dipersyaratkan dalam SNI mengenai Syarat Mutu Tepung Singkong, maupun CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) mengenai Syarat Mutu Edible Cassava Flour.
Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCAL No. Karakteristik 1. Kadar air (%) 2. Kadar abu (%) 3. pH 4. Kadar pati (%) 5. Kadar amilosa (%) 6. Kadar amilopektin (%) 7. Ukuran granula (µm) 8. Kehalusan (%) - No.50 - No.100 - No.140 9. Derajat putih (%) 10. Swelling power (g/g) - 60ºC - 70ºC - 80ºC - 90ºC - 95ºC 11. Kelarutan (%) - 60ºC - 70ºC - 80ºC - 90ºC - 95ºC 12. Sifat amilografi - Suhu gelatinisasi (°C) - Suhu viskositas maksimum (°C) - Viskositas maksimum (BU) - Breakdown (BU) - Setback (BU) - Stabilitas fase pendinginan (BU)
Nilai 10.91 0.05 4.33 73.29 11.07 88.93 3-30 74.84 12.21 3.97 77.75 7.71 12.13 14.10 21.05 28.07 3.22 5.41 9.72 19.63 29.19 65.25 81.75 1030 570 60 40
Kadar pati pada MOCAL yaitu sebesar 73.29%. Nilai ini lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2997-1992, yaitu minimal 75%. Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak
58
disyaratkan mengenai kadar pati. Kadar pati MOCAL dipengaruhi oleh proses fermentasi. Menurut Subagio (2007), granula pati yang dibebaskan akibat fermentasi akan dihidrolisis oleh mikroba menghasilkan asam-asam organik. Proses hidrolisis ini menyebabkan kadar pati pada MOCAL menjadi lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan oleh SNI. Kadar amilosa pada MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah yaitu 11.07%. Kadar amilosa yang rendah ini dapat terjadi karena adanya proses fermentasi. Selama fermentasi, granula pati singkong yang digunakan dalam pembuatan MOCAL akan mengalami hidrolisis oleh mikroba yang menghasilkan monosakarida yang kemudian digunakan oleh mikroba untuk menghasilkan asam-asam organik. Subagio (2007) melaporkan bahwa terdapat aktivitas enzim amilase selama proses fermentasi MOCAL. Hal ini menunjukkan bahwa
mikroba
yang tumbuh pada
singkong dapat
menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi amilosa pada singkong, sehingga kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan tepung tapioka. Masih adanya komponen lain pada MOCAL juga menyebabkan kandungan amilosa yang terukur menjadi lebih kecil. Bentuk dan ukuran granula MOCAL tidak berbeda dengan tepung tapioka. Ukuran granula MOCAL berada dikisaran 3-30 µm dengan bentuk bulat dan oval (Gambar 16).
100 µm
Gambar 16. Granula MOCAL
Kehalusan MOCAL
mengacu
pada
SNI 01-2997-1992
yang
mensyaratkan persentase lolos ayak tepung singkong pada ayakan no.80 yaitu minimal 90%. Kehalusan MOCAL tidak memenuhi SNI, persentase
59
lolos ayak pada ayakan no.100 kurang dari 90% yaitu hanya 12.21%. Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak disyaratkan mengenai kehalusan edible cassava fluor. Nilai derajat putih MOCAL juga tidak memenuhi SNI 01-2997-1992 yang mensyaratkan derajat putih untuk tepung singkong yaitu minimal 85%. Nilai swelling power MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena masih adanya komponen lain pada MOCAL yang dapat menghambat terjadinya swelling. Komponen lipida dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat terjadinya hidrasi air (pengembangan). Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar lipida sampel, tetapi berdasarkan data spesifikasi produk MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek, dilaporkan bahwa kadar lipida MOCAL yaitu sekitar 0.4-0.8%. Kadar lipida MOCAL yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lipida tepung tapioka dapat menyebabkan swelling power pada MOCAL menjadi lebih rendah daripada tepung tapioka. Pola amilografi MOCAL menunjukan nilai yang berbeda pula dengan tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kadar amilosa MOCAL bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Suhu gelatinisasi MOCAL yaitu 65ºC dengan viskositas maksimum sebesar 1030 BU dan suhu viskositas maksimum 81.75ºC. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan MOCAL dalam mengikat air selama pemanasan sangat rendah, sehingga jumlah air yang dapat dihidrasi sedikit dan suhu untuk mencapainya lebih tinggi. Stabilitas pasta panas MOCAL cukup stabil karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas breakdown MOCAL yaitu 570 BU. Kemampuan MOCAL dalam beretrogradasi juga rendah, hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas setback MOCAl yaitu 60 BU. Stabilitas pasta MOCAL selama pengadukan pun cukup stabil. Hal ini ditandai dengan rendahnya viskositas selama fase pendinginan dengan pengadukan yaitu 40 BU.
60
Tingkat pengembangan papatan dan uji kerenyahan penyalut yang dihasilkan oleh MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan tepung tapioka (Tabel 21).
Tabel 21.Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf) dan skor kerenyahan MOCAL No. Karakteristik Nilai 1. Tingkat pengembangan papatan (%) 153.41 2. Kerenyahan (gf) 6283.22 3. Skor kerenyahan 2.609 Tingkat pengembangan papatan MOCAL yaitu sebesar 153.41%. Hal ini menunjukan bahwa papatan yang dihasilkan oleh MOCAL cenderung tidak mengembang dan keras. Gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi penyalut dari MOCAL pun sangat tinggi yaitu 6283.22 gf, hal ini menunjukan bahwa penyalut dari MOCAL sangat keras bila dibandingkan dengan penyalut yang dihasilkan. Skor kerenyahan secara organoleptik juga menunjukan nilai yang sangat rendah. Hal ini mungkin dapat terjadi karena rendahnya rasio amilosa dan amilopektin MOCAL serta adanya komponen lain pada MOCAL yang menyebabkan MOCAL sulit untuk mengembang dan menghasilkan tekstur yang cenderung lebih keras. Berdasarkan hasil tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan, maka dapat disimpulkan bahwa MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut karena sifat yang dihasilkan tidak sesuai dengan karakter utama yang diinginkan dari suatu produk kacang salut yaitu mengembang dan renyah.
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda antar sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Kadar air sampel tidak berbeda nyata antara tapioka D, E, dan F, demikian pula dengan MOCAL. Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B, sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh tapioka C. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, E. Kadar abu MOCAL paling tinggi dibandingkan dengan tepugn tapioka. Nilai pH ketujuh sampel berbeda. Nilai pH terendah pada tapioka C dan tertinggi pada tapioka E. Kadar pati tapioka A, B, E, dan F, tidak berbeda nyata, begitu pula dengan tapioka C dan D tidak berbeda nyata. Kadar pati tertinggi pada tapioka D dan terendah pada tapioka B. Kadar amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata, begitu pula antara tapioka C dan F. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh tapioka A dan yang terendah adalah MOCAL. Bentuk granula semua sampel yaitu bulat dan oval dengan ukuran yang hampir seragam. Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata pada semua sampel tepung tapioka. Kehalusan sampel pada ayakan no.100 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F. Kehalusan sampel pada ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F. MOCAL memiliki kehalusan yang paling rendah dibandingkandengan tepung tapioka. Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat putih antara tapioka B dan F, maupun antara tapioka C dan E. Nilai swelling power dan kelarutan pati meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran. Suhu gelatinisasi terendah pada tapioka D, sedangkan yang tertinggi pada tapioka B. Terdapat korelasi positif antara suhu gelatinisasi, viskositas maksimum, viskositas setback, stabilitas pasta panas (breakdown), stabilitas pasta dingin, dengan amilosa, tetapi tidak berbeda nyata. Viskositas maksimum (VM) tertinggi pada tapioka E, sedangkan terendah pada tapioka F. Suhu viskositas maksimum (SVM) tertinggi pada MOCAL, sedangkan terendah pada tapioka D. Pasta panas tapioka F dan MOCAL cenderung lebih
62
stabil, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya viskositas breakdown, sedangkan yang paling tidak stabil yaitu tapioka E . Terdapat korelasi positif antara stabilitas pasta panas dengan pH tetapi tidak berbeda nyata. Tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan dengan tingginya viskositas setback, sedangkan yang terendah yaitu tapioka F. Pasta dingin tapioka F dan MOCAL cenderung lebih stabil, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya viskositas pasta, sedangkan yang paling tidak stabil yaitu tapioka E. Tingkat pengembangan papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F, sedangkan tingkat pengembangan papatan terendah dimiliki oleh MOCAL. Hasil analisis kerenyahan juga menunjukan hal yang sama yaitu kerenyahan tertinggi dimiliki olah kacang salut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan kerenyahan terendah dimiliki oleh kacang salut yang terbuat dari sampel MOCAL. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif dan nyata antara tingkat pengembangan papatan dengan skor kerenyahan penyalut produk kacang salut, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan, maka kerenyahan penyalut pada produk kacang salut akan semakin tinggi. Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan rasio amilosa dan amilopketin. Maka semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut akan semakin besar. Berdasarkan uji korelasi, karakteristik atau sifat yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut pada produk kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu, karakteristik fisikokimia lainnya dari tepung tapioka seperti pH, swelling power dan kelarutan, sifat amilografi (viskositas puncak, setback, stabilitas pasta panas (breakdown), dan stabilitas pasta dingin) kurang relevan karena korelasinya terhadap tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan penyalut sangat rendah. Karakteristik fisikokimia tapioka F seperti pH yang rendah yaitu 4.19 dengan kadar amilosa dan amilopektin sebesar 17.39 % dan 82.53%, serta sifat amilografi (viskositas puncak (950 BU), breakdown (650 BU), setback
63
(40 BU), dan stablititas pasta dingin (50 BU)) yang berbeda dengan sampel lainnya memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk kacang salut. Sementara itu, MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut karena memiliki tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut yang sangat rendah pada produk kacang salut.
B. SARAN Penelitian ini memberikan hasil karakteristik kimia dan fisik yang berbeda-beda untuk tiap sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Namun demikian, dalam memperoleh informasi yang lebih baik lagi mengenai tepung tapioka dan MOCAL yang berkaitan dengan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut, maka penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara lain : 1. Mempelajari sifat kimia ataupun fisik yang lain pada tepung tapioka dan MOCAL, seperti sifat termal pati. 2. Karakteristik
seperti
rasio
amilosa
dan
amilopektin
merupakan
karakteristik yang paling relevan untuk memperkirakan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. 3. Menganalisis lebih lanjut kerenyahan penyalut pada produk kacang salut yang dibuat dengan tepung tapioka maupun MOCAL secara organoleptik untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap kerenyahan yang berbeda pada produk kacang salut.
64
DAFTAR PUSTAKA Abera, S. dan Rakshit, K. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips. Starch/Starke Vol. 55 : 287-296. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto. 1998. Petunjuk Laboratorium Anlisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB, Bogor. Anonim a. 2004. Puffed Food Starch Product. www.patentstorm.us/patents/ 6676983/ htm [16 Agustus 2007] Anonim b. 2005. Quantify Brittleness and Crispiness. www.texturetechnologies. com / brittle.htm [3 Agustus 2007] [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Asaoka, M., Blanshard, J.M.V., dan Rickard, J.E. 1992. Effects of cultivar and growth season on the gelatinization properties of cassava starch. Di dalam : Sriroth, K., et al. 1999. Cassava starch granule structure function properties: influences of time and conditions at harvest on cultivars of cassava starch. Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170. Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida. [CAC] Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995)). Codex Alimentarius Commision, USA. Chaplin, M. 2006. Starch. www.lsbu.ac.uk/starch.htm [6 Maret 2007] Charles, A.L., Chang, Y.H, Ko, W.C., Sriroth, K., dan Huang, T.C. 2005. Influence of amylopectin structure and amylose content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. J. Agric. Food Chemistry Vol53 : 2717-2725. [DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula (SNI 01-2892-1992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. [DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Tepung Singkong (SNI 01-29971992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. [DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-34511994). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
65
Fleche, G. 1985. Chemical modification and degradation of starch. Di dalam : G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB, Bogor. Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations, Roma. Holleman, L.W.Y. dan Aten, A. 1956. Processing of Cassava and Cassava Product in Feelet Industries. FAO, Roma. Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between thermal, rheological characteristics, and swelling power for various starches. J. Food Engineering Vol.50 : 141-148. Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas. Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press, Baco Raton, Florida. Mulyandari, S.H. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-Sifat Pati Umbi-Umbian dan Pati Biji-Bijian. Skripsi. IPB, Bogor. Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tepung Singkong (Manihot esculanta Crantz.) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Roti Tawar. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS. Penerbit Andi, Yogyakarta. Olkku, J. dan Rha, C. 1978. Gelatinization of starch and wheat flour starch. Di dalam: Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc., San Diego, California. Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc., San Diego, California. Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers, London. Sasaki, T., dan Matsuki, J. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power. Di dalam: Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between
66
thermal, rheological characteristics, and swelling power for various starches. J. Food Engineering Vol.50 : 141-148. Sriroth, K., Santisopari, V., Petchalanuwat, C., Kurotjanawong, K., Piyachomkwan, K., dan Oates, C.G. 1999. Cassava starch granule structure function properties: influences of time and conditions at harvest on cultivars of cassava starch. Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170. Subagio, A. 2006. Ubi Kayu : Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Food Review, April 2006 : 18-22. Subagio, A. 2007. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCALl) Sebagai Bahan Baku Industri Pangan Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan Pokok Nasional. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember, Jember. Swinkels, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam : G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Taggart, P. 2004. Starch as an ingredients : manufacture and applications. Di dalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press, Baco Raton, Florida. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. PT Gramedia, Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
67
Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel tepung tapioka dan MOCAL Karakteristik Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka MOCAL A B C D E F Kimia dan fisik Kadar air (%) 11.75 12.94 9.51 11.00 10.64 10.54 10.91 Kadar (%) pH
abu
Kadar pati (%) Kadar amilosa (%) Kadar amilopektin (%) Ukuran granula (µm) Kehalusan (%) - No.50 - No.100 - No.140 Derajat putih (%) Swelling power (g/g) - 60ºC - 70ºC - 80ºC - 90ºC - 95ºC Kelarutan Pati (%) - 60ºC - 70ºC - 80ºC - 90ºC - 95ºC
0.01
0.01
0.03
0.04
0.04
0.02
0.005
5.18
5.42
4.12
5.02
6.52
4.19
4.33
75.96
72.49
81.00
80.67
73.05
73.59
73.29
24.01
23.87
15.47
21.30
20.33
17.39
11.07
75.99
76.13
84.53
78.70
79.67
82.61
88.93
3-40
3-40
3-30
3-30
3-30
3-40
3-30
98.90 91.81 87.72 99.91
99.83 96.81 92.10 95.62
99.65 98.23 93.83 97.79
99.83 98.65 93.55 100.00
99.78 98.95 96.98 97.90
99.63 95.69 92.43 95.22
74.84 12.21 3.97 77.75
7.12 24.73 27.59 30.41 31.67
5.84 21.95 25.74 30.28 38.58
9.73 22.58 23.08 25.70 36.77
3.85 24.27 29.06 31.01 35.10
6.30 24.97 29.67 32.27 45.73
9.38 24.11 26.84 29.61 43.41
7.71 12.13 14.10 21.05 28.07
10.39 15.27 20.10 35.74 37.36
2.85 15.36 23.12 23.69 28.72
13.70 14.22 22.18 27.08 36.49
5.87 12.67 19.11 23.67 30.60
2.41 14.15 22.89 24.08 29.42
9.13 19.21 34.25 37.91 38.73
3.22 5.41 9.72 19.63 29.19
68
Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar pati No.
Sampel
Ulangan
Bobot sampel (mg)
1
Tapioka A
2
Tapioka B
3
Tapioka C
4
Tapioka D
5
Tapioka E
6
Tapioka F
7
MOCAL
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
1009.3 1002.4 1001.5 1004.2 1009.4 1006.6 1004.7 1003.4 1002.0 1004.7 1002.2 1001.9 1002.2 1002.3
V Na2S2O3 blanko (ml) 26.7 26.7 26.2 26.2 26.7 26.3 27.2 26.7 24.0 24.0 26.3 26.3 24.0 24.0
V Na2S2O3 Sampel (ml) 9.95 9.70 9.60 9.50 9.20 9.00 9.95 9.40 7.45 7.60 9.50 9.40 8.15 8.20
Kadar Pati (%)
Ratarata (%)
72.5454 79.3695 72.3235 72.6489 81.4048 80.5941 80.4867 80.8511 72.0269 71.0540 73.3147 73.8577 73.4225 73.1637
75.96 72.49 81.00 80.67 73.05 73.59 73.29
69
Lampiran 3. Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadar amilosa Hasil Pengukuran Absorbansi No. Bobot standar (x 10-3 mg/ml) 1 4 2 8 3 12 4 16 5 20
Absorban 0.120 0.240 0.370 0.492 0.616
Grafik Hubungan Absorban Dengan Bobot Amilosa Standar 0.7
y = 0.0311x - 0.0056
A bs orb an
0.6
R2 = 0.9999
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
Bobot amilosa standar (x 10-3 mg/ml)
Rekapitulasi Hasil Pengukuran Kadar Amilosa No. Sampel Ulangan Bobot Absorban Bobot sampel amilosa (x (mg) 10-3 mg/ml) 1
Tapioka A
2
Tapioka B
3
Tapioka C
4
Tapioka D
5
Tapioka E
6
Tapioka F
7
MOCAL
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
100.3 100.4 100.5 100.3 100.9 101.4 100.1 1003 100.5 100.5 100.3 100.7 101.9 101.3
0.275 0.283 0.271 0.258 0.199 0.184 0.262 0.262 0.217 0.236 0.196 0.193 0.118 0.127
9.0025 9.2797 8.8939 8.4759 6.5788 6.0965 8.6045 8.6045 7.1576 7.7685 6.4823 6.3859 3.9743 4.2637
Kadar RataAmilosa rata (%) (%) 17.9960 18.4854 17.6993 16.9011 13.0402 12.0247 17.1918 17.1575 14.2440 15.4597 12.9258 12.6830 7.8004 8.4180
18.24 17.30 12.53 17.18 14.85 12.80 8.11
70
Lampiran 4. Hasil uji rating kerenyahan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Tapioka A 3 5 5 5 5 5 6 4 3 4 2 4 5 4 4.5 3 4 4 3 3.5 2 4 5
Skor kerenyahan Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka MOCAL B C D E F 3 4 3 3 7 2 3 4 2 3 5 2 4 6 3 5 6 2 4 6.5 5 5 5 5 2 5 3 4.5 3 3 4 6 4.5 3 5 3.5 5 5.5 4.5 5.5 5 3 3 2 3 3 2 2 4 4 5 4.5 6 3 3.5 5 3 3 3 2 4 2 3 4 6 4 3 4 3 4 6 2 3 6 3.5 3.5 4 2.5 3 4 1 5 5 2 3 5 2.5 5 6 3 5 4 4 3.5 5 3 4.5 5 4.5 4 7 3 3.5 5 3 4 7 2 4 4 4 5 6 3 3 4.5 2 3.5 6 2 2 4 3 3 6 2 2 5 5 4 7 3 3.5 5 3.5 6 6 1
71
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, dan pH KAIR Duncan Subset SAMPEL C
N 2
1 9.503550
2
3
F
2
10.543500
E
2
10.633800
D
2
10.994450
A
2
B
2
Sig.
4
11.753950 12.937150 1.000
.084
1.000
1.000
3
4
KABU Duncan Subset SAMPEL A
N 2
1 .009900
B
2
.014900
F
2
C
2
E
2
D
2
Sig.
2 .014900 .019800
.029400 .039100 .044600 .224
.232
1.000
.187
PH Duncan Subset SAMPEL C
N 2
F
2
D
2
A
2
B
2
E
2
1 4.120000
2
3
4
5
6
4.190000 5.020000 5.180000 5.420000 6.520000
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
72
1.000
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat putih PATI Duncan Subset SAMPEL E
N 2
1 71.540450
B
2
72.486200
F
2
73.586200
A
2
75.957450
D
2
80.668900
C
2
80.999450
Sig.
2
75.957450
.094
.063
AMILOSA Duncan Subset SAMPEL C
N 2
1 12.532450
F
2
12.804400
E
2
D
2
17.174650
B
2
17.300200
A
2
Sig.
2
3
14.851850
18.240700 .662
1.000
.137
Derajat Putih Duncan Subset SAMPEL F
N 2
1 95.216600
2
B
2
95.636250
C
2
97.788800
E
2
97.924150
A
2
3
99.909750 100.00000 2 0 Sig. .061 .486 .638 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .033. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. D
73
Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan Kehalusan50 Duncan Subset SAMPEL A
N 2
1 98.900000
F
2
99.630000
C
2
99.650000
E
2
99.775000
B
2
99.825000
D
2
99.825000
Sig.
.248 Kehalusan100
Duncan Subset SAMPEL A
N
1
2 91.805000
2
3
F
2
96.590000
B
2
96.810000
C
2
98.230000
D
2
98.650000
E
2
Sig.
98.950000 1.000
1.000
.153
Kehalusan140 Duncan Subset SAMPEL A
N 2
1 87.720000
2
B
2
92.095000
F
2
92.430000
D
2
93.545000
C
2
93.825000
E
2
3
96.980000
Sig.
1.000 .215 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.418. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
74
Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kerenyahan (gf) Type III Sum of Squares df Mean Square 854484793.3 11 77680435.762 77(a) PANELIS 1714888.847 4 428722.212 SAMPEL 101595667.0 6 16932611.174 42 Error 9527655.513 24 396985.646 Total 864012448.8 35 90 a R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .984) Source Model
F
Sig.
195.676
.000
1.080
.388
42.653
.000
Duncan SAMPEL
N
Subset 1 1162.5800
2
3
F
5
C
5
3587.0200
A
5
4064.0400
E
5
5449.0400
D
5
5793.9000
B
5
6089.2600
Sig.
1.000 .243 .065 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 396985.646. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05.
75
Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor kerenyahan Source Model
Type III Sum of Squares 2655.120(a)
df 29
Mean Square 91.556
F 105.429
Sig. .000
PANELIS
50.065
22
2.276
2.621
.000
SAMPEL
112.370
6
18.728
21.566
.000
Error
114.630
132
.868
Total
2769.750 161 a R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .950) Duncan Subset SAMPEL
N
D
23
1 3.391
2
B
23
3.435
A
23
4.043
E
23
4.087
C
23
4.587
F
23
3
5.391
Sig.
.875 .063 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .868. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.000. b Alpha = .05.
76
Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power dan kelarutan pati AMILOSA AMILOSA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SLOPESP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SLOPEKEL
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 6 .044 .934 6 .221 .674 6
Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : amilosa terhadap sifat amilografi AMILOSA AMILOSA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SETBACK
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
VISKOSITAS MAKS.
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
BREAKDOWN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
STABILITAS FASE PENDINGINAN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T.GELATINISASI
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 6 .633 .177 6 .541 .267 6 .429 .396 6 .542 .267 6 .558 .220 6
77
Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap rasio amilosa dan amilopektin RATIOAA
RATIOAA
KEMBANG
1
-.846(*)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.
.034
6
6
-.846(*)
1
N KEMBANG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.034
.
N
6 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
6
Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap swelling power dan kelarutan KEMBANG KEMBANG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1 .
N SLOPESP
6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.264 .614
N SLOPEKEL
6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.337 .514
N
6
Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap pH PH PH
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KEMBANG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KEMBANG 1
-.194
.
.712
6
6
-.194
1
.712
.
6
6
78
Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan terhadap sifat amilografi KEMBANG KEMBANG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1 .
N SETBACK
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
6 -.403 .428
N VISKOSITAS MAKS.
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
6 -.597 .210
N BREAKDOWN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
6 -.559 .249
N STABILITAS FASE PENDINGINAN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
6 -.209 .692
N
6
Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosa dan amilopektin RATIOAA RATIOAA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SKOR
1
-.827(*)
.
.042
6
6
-.827(*)
1
.042
.
6 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
6
79
Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling power dan kelarutan SKOR SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1 .
N SLOPESP
6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
-.061 .908
N SLOPEKEL
6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.449 .372
N
6
Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH SKOR SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
PH
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
PH 1
-.547
.
.261
6
6
-.547
1
.261
.
6
6
Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat amilografi SKOR SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SETBACK
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
VISKOSITAS MAKS.
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
BREAKDOWN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
STABILITAS FASE PENDINGINAN
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 6 -.650 .163 6 -.640 .056 6 -.789 .062 6 -.552 .257 6
80
Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan, kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan KEMBANG KEMBANG
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
RENYAH
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
RENYAH
SKOR
1
-.748(*)
.896(*)
.
.047
.016
6
6
6
-.748(*)
1
-.957(**)
.047
.
.003
6
6
6
.896(*)
-.957(**)
1
.016
.003
.
6
6
6 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 8. Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer Probe yang digunakan adalah probe silinder dengan diameter 6mm, dengan setting pemakaian alat yaitu : Pre test speed Test speed Post test speed Rupture test distance Distance Force Time Count
= 2.00 mm/s = 0.50 mm/s = 10.00 mm/s = 1.0 mm = 4.0 mm = 100 g = 5.00 sec. =2
81