SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua), adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Elsye Penina Rumbekwan NIM C.252070181
ABSTRACT ELSYE PENINA RUMBEKWAN, A Scenario of Sustainable Fishery Management Resources (A Case Study of Milkfish Larval Resource in Coastal Area of Kota Jayapura, Papua Province). Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO. The milkfish larvae (Chanos chanos, Forsskal) at the Youtefa Bay and Holtekamp Village have been used as seeds for milkfish ponds in Holtekamp Village since 1993. However, the catch result of these larval fish has been declining since 2003. This research was conducted to find out the distribution patterns of larval milkfish (C. chanos, Forsskal) which would be used to identify the patterns of the bay management so that these larval resources could be protected to ensure the sustainable of fisheries management in coastal of the Kota Jayapura. The analysis results showed that the decrease in larval abundance was caused not only by fish bombing activities but also by natural mortality due to environmental degradation in some parts of the bay in addition to the continuous overfishing. This condition has an impact on the non-sustainability of utilizing the larvae. The analysis of Multi Criteria Decision Making (MCDM) showed that sustainable fisheries in coastal of the Kota Jayapura could be achieved through the protection of mangrove and coral reef ecosystems, and by putting sedimentation and fish bombing activities to an end. These efforts can only be realized in the presence of a good coordination between technical institutions, the support of the local government in Jayapura, and the active participation of the community. Keywords: milkfish larvae, stock assessment, business continuity, sustainable fisheries, Kota Jayapura.
RINGKASAN ELSYE PENINA RUMBEKWAN, Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO. Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp merupakan kawasan pesisir yang secara administratif masuk dalam wilayah Kota Jayapura. Berdasarkan RTRW Kota Jayapura, pemanfaatan kedua kawasan ini diarahkan untuk wisata pantai dan budidaya perikanan berbasis masyarakat, termasuk budidaya tambak ikan bandeng. Akan tetapi komitment Pemerintah Daerah setempat dan koordinasi antar instansi teknis dalam mendukung pengelolaan kedua kawasan tersebut masih sangat kurang. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove, dan semakin maraknya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunkanan bom ikan. Permasalahan ini diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kawasan ini termasuk larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) sejak tahun 2003. Larva ikan bandeng di kedua kawasan ini, dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun 1993. Menurunnya suatu populasi ikan di alam disebabkan oleh terbatasnya rekruitment sediaan alami. Untuk mempertahankan rekruitmen ikan di alam agar tetap stabil dibutuhkan jumlah spawning stock biomass (SSB) yang memadai. Jumlah SSB ini sangat bergantung pada kualitas habitat dimana suatu sumberdaya ikan melewati siklus hidupnya dan aktivitas pemanfaatan. Oleh sebab itu, pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk; (1) Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) di perairan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, (2) Mengidentifikasikan pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Untuk menjawab tujuan satu, dilakukan analisis terhadap keadaan biofisik perairan mencakup; pengukuran parameter suhu dan salinitas, analisis fitoplankton, analisis jenis makanan utama larva ikan bandeng, analisis kelimpahan larva ikan bandeng, analisis faktor kondisi larva ikan bandeng, dan analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas. Tujuan dua dijawab melalui: analisis keadaan sosial ekonomi yang meliputi; analisis alokasi upaya penangkapan dan perilaku pengumpul larva ikan bandeng, analisis pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan analisis skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) stasiun. Stasiun I dan II berada di Kampung Holtekamp, sedang stasiun III berada di Kampung Enggros (Teluk Youtefa). Stasiun I lebih terbuka dan menghadap langsung ke Samudera Pasifik, stasiun II lebih tertutup dan terlindung oleh dua pulau karang di bagian depannya serta tanjung Kasu di sisi kanannya, dan stasiun III terlindung dalam Teluk Youtefa. Arah angin dominan dari Timur Laut dengan kecepatan 3.0 hingga 8.9 m/det. Di stasiun I, suhu perairan berkisar antara 29 C hingga 31 C dan salinitas antara 28 ‰ hingga 29 ‰. Di stasiun II, suhu antara 27 C hingga 30 C dengan salinitas antara 27 ‰ hingga 29 ‰. Stasiun III, suhu antara 29 C hingga 31 C dengan salinitas antara 28 ‰ hingga 30 ‰. Kisaran suhu dan salinitas di ketiga stasiun ini masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng. Hasil perbandingan antara jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan dengan hasil penelitian sebelumnya terkait kebiasaan makan larva ini, maka jenis yang ditemukan sebagai makanan utama larva ini adalah Nitszchia sp., Pleurosigma sp., dan Diploneis sp. (klas Bacillariophyceae) serta Ceratium sp. dan Peridinium sp. (klas Dinophyceae). Jumlah dan jenis fitoplanton di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Hasil analisis terhadap sumberdaya larva ikan bandeng menunjukkan; total tangkapan larva di stasiun I sebanyak 4 780 ekor dengan kelimpahan antara 1 hingga 4 ekor/m2/hari, stasiun II sebanyak 20 505 ekor dengan kelimpahan antara 3 hingga 10 ekor/m2/hari, dan stasiun III sebanyak 6 873 ekor dengan kelimpahan antara 2 hingga 5 ekor/m2/hari. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 1993 hingga 2002 dengan jumlah pengumpul 25 orang, rata-rata hasil tangkap berkisar antara 1 000 hingga 1 500 ekor/org/hari, antara 2003 hingga 2004 hasil tangkapan berkisar antara 104 hingga 208 ekor/org/hari, sedang antara tahun 2005 hingga 2007 berkisar antara 20 hingga 40 ekor/org/hari. Kelimpahan larva ini pada kondisi perairan yang stabil berkisar antara 20 hingga 42 ekor/m2/hari. Penurunan hasil tangkap dan kelimpahan larva ikan bandeng ini menandakan stok larva ini telah sangat berkurang. Hasil analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas yang menggunakan PCA (AKU), menunjukkan bahwa stasiun II lebih produktif. Hal ini terkait pola arus, arah dan kecepatan angin, serta didukung pula oleh karakteristik fisik stasiun pengamatan. Hasil tabulasi data indeks musiman bulanan (Ij) (%) dan effort pada diagram bar menunjukkan bahwa pengumpul selalu memberikan respons positif terhadap setiap musim kelimpahan, namun tidak semua pengumpul serentak secara bersama-sama melakukan penangkapan. Hal ini disebabkan jumlah hasil tangkap yang semakin berkurang dan tidak adanya perbedaan harga jual larva ini baik pada saat melimpah atau pun berkurang. Perbandingan antara hasil tangkap, kelimpahan, dan RPUEij pada tahun 2009 dengan tahun 2004 menunjukkan bahwa umumnya alokasi upaya pengumpul selalu mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Namun karena harga jual larva ini tetap sama, maka dengan pembatasan atau pergiliran effort akan lebih menguntungkan. Hasil perbandingan ini juga menunjukkan selisih dinamika hasil tangkapan, kelimpahan larva ikan bandeng, dan RPUEij pada tahun 2009 dengan 2004 cukup besar. Dinamika tersebut mengalami penurunan pada tahun 2009.
Pada analisis pengelolaan perikanan berkelanjutan, perbandingan antara nilai riil dan Critical Treshold Value (CTV) dari masing-masing variabel pengukur indikator keberlanjutan menunjukkan, kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp saat ini tidak dapat menjamin adanya keberlanjutan usaha bagi pemanfaat larva ikan bandeng. Bagi usaha pengumpul larva, seluruh nilai riil berada di bawah nilai CTV-nya. Pada petambak, selisih nilai riil dan CTV dari keberadaan larva ikan bandeng tidak sebesar pada pengumpul. Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah penyuplai benih alternatif, sehingga secara ekonomi cukup menguntungkan. Bagi pedagang dari sisi biologi sama dengan kondisi pada petambak, karena kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan ikan bandeng untuk konsumsi pasar. Pendapatan pedagang sangat menguntungkan karena selain memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, harga komoditi ini relatif tinggi. Meskipun secara ekonomi usaha petambak dan pedagang menguntungkan, tetapi tidak akan berkelanjutan karena nilai riil dari ketiga indikator lain berada di bawah nilai CTV-nya. Skenario pengelolaan terbaik untuk menunjang perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura melalui pendekatan distribusi larva ikan bandeng di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp adalah; perlindungan ekosistem mangrove (menghentikan konversi dan meningkatkan reboisasi) serta pengendalian sedimentasi, dan penghentian aktivitas penangkapan yang menggunakan bom ikan. Ekosistem mangrove di kedua kawasan ini selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi berbagai larva ikan termasuk larva ikan bandeng, berfungsi juga sebagai pencegah terjadinya erosi, pencegah intrusi air laut, serta pelindung daratan dari badai dan hempasan ombak. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan di Teluk Youtefa. Aktivitas bom ikan penting dihentikan karena menyebabkan kerusakan habitat pemijahan dan kematian larva ikan. Untuk itu menunjang skenario ini, dibutuhkan dukungan dan komitment Pemerintah Daerah setempat dalam hal aturan dan finansial serta koordinasi yang baik antar instansi teknis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang program reboisasi yang saat ini dilakukan instansi BAPEDALDA, penataan kembali buangan Pasar Youtefa dan kawasan bisnis Entrop yang masuk ke kawasan Teluk Youtefa, serta penghentian aktivitas penangkapan yang bom ikan. Keywords: larva ikan bandeng, pengkajian stok, keberlanjutan usaha, perikanan berkelanjutan, Kota Jayapura.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua) Nama : Elsye Penina Rumbekawan NIM : C252070181 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 13 January 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Zairon, M.Sc.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada Mu dan tongkat Mu, itulah yang menghibur aku. Oleh karena itu ajarlah aku menghitung harihari ku sedemikan, sehingga aku beroleh hati yang bijaksana, tahu mengucap syukur dalam segala hal. (Mazmur 23: 4; 90: 12).
(Els’ 2010)
Karya ini ku persembahkan bagi kedua orang tuaku tercinta“Laurenz Rumbekwan dan Solfina Marisan” serta putraku “Gerald Angelo” yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku. Tidak lupa pula untuk kedua adikku “Evie dan Sufrace” yang setia menjaga kedua orang tuaku selama masa studiku, seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi. Rekanrekan DISKANLA Kota Jayapura dan DKP Provinsi Papua, sahabat sejati ku Jufri dan istri, serta seluruh masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, terima kasih atas dukungannya. E-mail:
[email protected]
PRAKATA
Syukur dan terima kasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha pengasih atas penyertaanNya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah perikanan berkelanjutan dengan judul “Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua)”, dilaksanakan sejak bulan Mei hingga awal Juli 2009. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kota Jayapura ke depan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, January 2010 Elsye Penina Rumbekwan
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur pada Tuhan yang Maha Pengasih atas kekuatan, kesehatan dan penghiburan yang diberikan, sehingga tesis dengan judul Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua) dapat penulis selesaikan. Penulis juga menyadari, bahwa tesis ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada: 1.
Dr.Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi dan anggota pembimbing, atas waktu, tenaga, pikiran, pengarahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2.
Kedua orang tuaku yang terkasih di masa tua mereka, atas semangat, dorongan, dan doa pada penulis selama studi.
3.
Anakku Gerald Angelo dan adikku Suffrace, atas dukungan doa dan semangat yang diberikan pada penulis selama studi.
4.
Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Ir. Taryono, M.Si, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dapat berkonsultasi.
5.
Drs. Mr. Kambu, M.Si dan Ir. J.P. Nerokouw MP, selaku Walikota dan Sekda Kota Jayapura, atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menjalani studi dan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.
6.
Masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp terutama ibu-ibu pengumpul larva ikan bandeng serta petambak, atas bantuan dan dukungan selama penulis melakukan penelitian guna penulisan tesis ini.
7.
Keluarga besar Program Studi SPL IPB, khususnya adik-adiku yang baik, Salvin, Tyo, Ervien, Subhan, dan Ita.
8.
Kedua saudaraku yang baik, ibu Gladys dan pak Riyadi serta tak lupa pula kedua akang yang selalu di PS SPL, pak Zainal dan mas Dindin. Bogor, ........, 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Propinsi Papua pada tanggal 28 Agustus 1969 dari pasangan Bapak Laurenz Rumbekwan dan Ibu Solfina Marisan. Penulis merupakan anak ke- 5 dari 10 bersaudara. Tahun 1988 penulis lulus SMA Gabungan Kristen Khatolik di Jayapura dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1994 hingga akhir tahun 1997, penulis melaksanakan tugas sebagai konsultan IDT di Kabupaten Merauke. Pada bulan Desember tahun 1997, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kota Jayapura. Saat ini penulis tercatat sebagai staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura. Penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor atas sponsor Pemerintah Daerah Kota Jayapura.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………........ xvi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xviii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xxi 1.
2.
3.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………...... 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………... 1.3 Tjuan Penelitian …………………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 1.5 Kerangka Pemikiran …………………………………………...... TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ……...... 2.2 Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ………...... 2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng …… 2.3.1 Suhu Permukaan Perairan ………………………………... 2.3.2 Salinitas …………………………………………………... 2.3.3 Arus ………………………………………………………. 2.3.4 Ketersediaan Makanan …………………………………… 2.3.5 Ekosistem Mangrove ……………………………………... 2.4 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng ………………………………. 2.4.1 Pendugaan Kelimpahan Stok …………………………...... 2.4.2 Faktor Kondisi ……………………………………………. 2.5 Analisis Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng …………………………………………...... 2.6 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan …………………………... 2.6.1 Konsep Perikanan Berkelanjutan ………………………… 2.6.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan ………….. 2.6.3 Skenario Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan …………. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ……………………………………………..... 3.2 Jenis dan Sumber Data ………………………………………...... 3.2.1 Data Primer ………………………………………………. 3.2.2 Data Sekunder ……………………………………………. 3.3 Metode Pengambilan Contoh …………………………………… 3.3.1 Pengambilan Contoh Data Biofisik ……………................ 3.3.2 Pengambilan Contoh Data Sosial Ekonomi ……................ 3.4 Analisis Data ……………………………………………............... 3.4.1 Data Biofisik …………………………………………........ 3.4.1 Data Sosial Ekonomi …………………………………….. 3.4.2 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ………………….... 3.4.4 Multi Criteria Decesion Making (MCDM) ……………....
1 3 5 5 5
8 9 12 12 13 14 15 16 17 17 19 19 20 21 24 24
27 27 28 30 31 31 33 35 35 39 42 44
xv
4.
5.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis ……………………………………………… 4.1.1 Letak dan Luas Wilayah …………………………………. 4.1.2 Keadaan Iklim ……………………………………………. 4.2 Keadaan Administratif ………………………………………….. 4.3 Keadaan Sosial Ekonomi ……………………………………….. 4.3.1 Demografi ………………………………………………... 4.3.2 Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) ………………. 4.3.2 Aksessibilitas …………………………………………….. 4.4 Ekosisitem Pesisir Lokasi Penelitian …………………………… 4.4.1 Fisiografi Pantai ………………………………………...... 4.4.2 Kondisi Dinamika Perairan ………………………………
46 46 46 47 47 47 48 50 51 51 52
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Biofisisk ……………………………………………..... 5.1.1 Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan ………………... 5.1.2 Parameter Suhu dan Salinitas ……………………………. 5.1.3 Arah Arus serta Arah dan Kecepatan Angin …………...... 5.1.4 Fitoplankton ……………………………………………... 5.1.5 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng ……………………...... 5.1.6 Jenis Makanan Utama …………………………………… 5.1.7 Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas ……... 5.2 Keadaan Sosial Ekonomi ……………………………………….. 5.2.1 Karakteristik Responden …………………………………. 5.2.2 Dinamika Usaha Responden ……………………………... 5.2.3 Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng ……………………………………… 5.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan …………………………... 5.3.1 Penentuan Indikator dan Variabel Pengukur Indikator …... 5.3.2 Penentuan Nilai Riil dan CTV serta Pengertian Hasil Analisis …………………………………………............... 5.3.3 Evaluasi Keberlanjutan …………………………………... 5.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ……
92 94 100
SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ………………………………………………………... 6.2 Saran ………………………………………………………….....
121 123
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...
125
LAMPIRAN ………………………………………………………………......
132
6.
55 55 57 59 60 65 72 74 78 78 80 86 90 90
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Jenis dan sumber data biofisik …………………………………….... 28 2 Jenis dan sumber data sosial ekonomi ……………………………....
30
3 Jenis dan sumber data sekunder …………………………………….
31
4 Teknik pengambilan contoh data biofisik …………………………..
32
5
Jenis data responden, dan pertanyaan untuk data sosial ekonomi ….
33
6 Matriks pembobotan dalam analisis MCDM ……………………….
44
7 Luas wilayah Distrik di Kota Jayapura ……………………………..
46
8 Luas Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian …………………....
46
9 Distrik serta Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian …………....
47
10 Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut Distrik, tahun 2008 ………………………………………...
48
11 Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk lokasi penelitian, tahun 2008 …………………………………………………………...
48
12 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 ……………………………....
49
13 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 ……………………………....
49
14 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 ……………………………...
49
15 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 ……………………………...
50
16 Pertumbuhan PRDB per kapita Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 …………………………………………...
50
17 Konstanta pasang surut Kota Jayapura ……………………………...
52
18 Data arus serta arah dan kecepatan angin selama waktu pengamatan
60
19 Hasil analisis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan …………...
62
20 Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan ……………………………......................
66
21 Kisaran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan ………………………...
70
xvii
22 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 ………………………….....
75
23 Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 …………………………………………..
75
24 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 …………………………….
77
25 Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 ………………………………………….
77
26 Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha …………………………………………………………….
79
27 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi lama usaha ………..
80
28 Jumlah responden pedagang ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha ……….........................................................................................
80
29 Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkapan per musim tangkap ………………………………………..
81
30 Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi besarnya pendapatan
81
31 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak ...................................................................................................
82
32 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi luasan tambak yang dikelola per musim tanam …………………………………………...
82
33 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kebutuhan benih per musim tanam ………………………………………………………...
83
34 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi hasil produksi per musim tanam ………………………………………………………...
83
35 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per musim tanam ………………………………………………………….
84
36 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per bulan
84
37 Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi hasil produksi per bulan …………………………………...
85
38 Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi pendapatan ………………………………………………...
86
39 Pembobotan nilai Gini Ratio Indeks (GRI) …………………………...
94
xviii
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Kerangka pemikiran penelitian ……………………………….. 7
2
Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ……………………..
10
3
Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991) ……………………………..
11
4
Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ………………
11
5
Peta pengambilan contoh data penelitian ……………………..
34
6
Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden …………….
40
7
Peta administrasi KotaJayapura (BAPPEDA KotaJayapura) …
54
8
Topografi pantai stasiun I ……………………………………..
55
9
Topografi pantai stasiun II …………………………………….
56
10
Topografi pantai stasiun III …………………………………...
57
11
Sebaran suhu permukaan di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni 2009 ………………………………………
58
Sebaran salinitas di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni, 2009 …………………………………………………..
59
Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 27 Mei 2009) ……………....
63
Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 29 Juni 2009) ……………....
64
Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun I ………………………………………………………..
68
Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun II ……………………………………………………….
68
Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun III ……………………………………………………...
68
Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun I ………………………………………
71
Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun II ……………………………………..
71
Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun III …………………………………….
71
Empat dari lima jenis makanan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp ……………..
74
Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei, 2009 …………………………………………………………...
76
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
xix
Halaman 23
Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 …………………………………………………………….
77
24
Indeks Musiman Bulanan (Ij) (%) selama waktu pengamatan ...
87
25
Indeks Musiman Bulanan (Ij) (%) dan effort …………………..
87
26
Dinamika RPUEIj, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m2) larva ikan bandeng, tahun 2009 ……………………..
88
Dinamika RPUEj, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m2) larva ikan bandeng, tahun 2004 ……………………...
89
Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator ekologi ……………………………………………….
91
Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator ekonomi ……………………………………………...
91
Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator sosial …………………………………………………
92
Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator kebijakan ……………………………………………..
92
Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pengumpul larva ikan bandeng …………………………………………………...
97
Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha petambak ikan bandeng ………………………………………………………...
97
Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pedagang pengumpul ikan bandeng ………………………………………
98
35
Struktur hirarki untuk analisis MCDM ………………………...
101
36
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi …………………………………………………
103
Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi …………………………………………………
103
Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi …………………………………………………
104
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi ……………………………………….
105
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi ………………………………………………..
106
Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekonomi ………………………………………………..
107
Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekonomi ………………………………………………..
109
27 28 29 30 31 32 33 34
37 38 39 40 41 42
xx
Halaman 43 44 45 46 47 48 49
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekonomi ………………………………………
110
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial …………………………………………………
112
Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria sosial …………………………………………………
114
Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria sosial ……………………………………….
115
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria sosial …………………………………………
117
Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura …………………………………………..
117
Skor akhir persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario ………………………………..
119
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman Alat yang digunakan …………………………………………... 132
2
Data pasang surut pada seluruh waktu pengamatan …………...
133
3
Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei, 2009 ………………………………………………
134
Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni, 2009 ………………………………………………
134
5
Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun I ………………..
136
6
Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun II ………………
137
7
Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun III ……………...
138
8
Sebaran suhu dan salinitas selama pengamatan ………………..
139
9
Data parameter suhu, salinitas, biomassa larva ikan bandeng, kelimpahan fitoplankton, faktor kondisi untuk AKU ………….
139
10
Komponen analisis AKU ………………………………………
139
11
Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun 2009 ……………………...
140
Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun 2004 ……………………...
140
Tabulasi data untuk perhitungan nilai Indeks Musiman Bulanan (Ij) dalam persen ……………………………………………….
141
Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun 2009 ……………………………………………………...
142
Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun 2004 ……………………………………………………...
143
Data hasil perhitungan bobot persepsi responden untuk analisis indikator domain ……………………………………………….
144
17
Data bobot persepsi responden pengumpul untuk MCDM …….
145
18
Data bobot persepsi responden petambak untuk MCDM ……...
146
19
Data bobot persepsi responden pedagang untuk MCDM ……...
147
20
Data bobot persepsi responden pengambil kebijakan untuk MCDM …………………………………………………………
148
21
Data agregat persepsi responden untuk analisis MCDM ……...
149
22
Data karakteristik responden pengumpul larva ikan bandeng …
152
4
12 13 14 15 16
xxii
23
Halaman Data karakteristik responden petambak ikan bandeng ………… 153
24
Data karakteristik responden pedagang ikan bandeng …………
155
25
Responden pengambil kebijakan lingkup PEMDA Kota Jayapura ………………………………………………………..
155
1
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos
Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir bagian timur mencakup kawasan Teluk Yotefa, Kampung Holtekamp, Kampung Skouw Yambe, Kampung Skouw Mabo dan Kampung Skouw Sae yang berbatasan lansung dengan negara Papua New Gunea (PNG). Teluk Yotefa berada di bagian dalam Teluk Yos Sudarso, sedang Kampung Holtekamp berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik.
Secara ekologis,
kawasan Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp didominasi ekositem mangrove yang memberikan sumbangan nutrien bagi kesuburan perairan. Kondisi ini diduga mendukung kedua kawasan tersebut sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground. Kedua kawasan pesisir ini terhubung oleh Tanjung Kasuary (Cawery).
Secara komunitas, dalam kawasan Teluk Youtefa terdapat
tiga kampung dan dua Kelurahan, yaitu; Kampung Tobati, Kampung Enggros, Kampung Nafri, Kelurahan Entrop, dan Kelurahan Abepantai. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 372/KPTS/Um/1/1978 tanggal 9 Juni 1978, Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam yang disebut “Taman Wisata Teluk Youtefa (TWTY)”. Pemanfaatan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura (PERDA Kota Jayapura No. 16 tahun 1995), diarahkan untuk wisata pantai serta budidaya perikanan laut dan payau berbasis masyarakat. Upaya Pemerintah Kota Jayapura untuk menjadikan kedua kawasan ini sebagai pusat pengembangan budidaya laut dan payau didasarkan pada ketersediaan benih alam termasuk larva ikan bandeng (Chanos chanos Frosskal), keterbatasan produktivitas perikanan tangkap, dan permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun terhadap komoditi ikan segar seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Kota Jayapura. Budidaya tambak ikan bandeng di Kota Jayapura telah dilakukan sejak tahun 1993 yang dipusatkan di Kampung Holtekamp.
Pada tahun 2003,
Pemerintah Daerah Kota Jayapura berupaya untuk meningkatkan produktivitas
2
usaha ini namun terkendala pada ketersediaan benih, karena hasil tangkapan larva ikan tersebut yang selama ini dimanfaatkan sebagai benih semakin berkurang. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya pengelolaan teluk memerlukan keterpaduan berbagai aspek baik antar wilayah, antar sektor, antar pelaku, maupun antar sektor yang sama.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta
perencanaan pembangunan wilayah yang seimbang, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan keadilan bagi masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Pembangunan yang selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem, pada satu ketika akan mengakibatkan penurunan mutu lingkungan pada skala waktu tertentu dan berdampak pada berkurangnya sumberdaya ikan di dalamnya. Kondisi ini terjadi pula di kawasan pesisir Kota Jayapura termasuk kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Walaupun peruntukan kedua kawasan ini telah diatur dalam RTRW Kota Jayapura, konsekuensi Pemerintah Daerah dalam mendukung peruntukan kedua kawasan tersebut masih kurang. Demikian pula dengan keterpaduan program antar instansi teknis dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut. Didorong oleh semangat otonomi khusus (OTSUS) untuk memberdayakan masyarakat lokal dan memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Jayapura, berdampak pada banyaknya kegiatan pembangunan baik sektor ekonomi maupun jasa yang dipaksakan masuk ke kedua kawasan ini, tanpa melihat karakteristik dan kapasitas kedua kawasan tersebut. Akibatnya, kedua kawasan tersebut terutama Teluk Youtefa beberapa tahun terakhir banyak menerima tekanan akibat aktivitas masyarakat seperti; meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove untuk pembangunan dan perluasan areal pertambakan, serta semakin maraknya aktivitas bom ikan. Tekanan ini, diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kedua kawasan ini termasuk larva ikan bandeng sejak tahun 2003. Odum (1993); Effendi (1978); Matarase
Dikatakan oleh
et al. (1989); Mantiri (1995),
sumberdaya ikan dalam siklus hidupnya akan melewati stadia sebagai larva yang bersifat meroplankton dan sangat peka terhadap perubahan lingkungan biofisik perairan dan predator. Bila terjadi gangguan yang mengakibatkan perubahan
3
kondisi lingkungan habitat suatu populasi larva ikan, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup populasi tersebut. Untuk mencapai perikanan berkelanjutan dibutuhkan strategi pengelolaan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks perikanan berkaitan dengan keseimbangan antara teknologi penangkapan, kualitas sumberdaya perikanan dan daya dukung perairan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu strategi pengelolaan yang memberikan ambang batas bagi laju pemanfaatan ekosistem alami dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya termasuk sektor perikanan (Dahuri et al. 2004). Sementara itu menurut Munasinghe (2001), konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu; (1) Ekologi, (2) Ekonomi, (3) Sosial, serta (4) Hukum dan Kelembagaan. Tujuannya, meningkatkan kemampuan konsumsi barang dan jasa, melindungi dan mempertahankan sistim dalam ekologi dan pengembangan hubungan manusia untuk pencapaian aspirasi yang ingin dicapai baik secara individu maupun komunitas. Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian tentang distribusi larva ikan bandeng dan beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahannya, seperti; biofisik lingkungan serta prilaku pemanfaat sumberdaya ini khususnya di perairan pesisir Kampung Holtekamp dan sekitar Kampung Enggros yang dapat digunakan untuk merumuskan suatu strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. 1.2
Perumusan Masalah. Peningkatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk Kota Jayapura,
berdampak pada peningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang multi guna sehingga terjadi tekananan ekologis yang kompleks. Konversi mangrove serta sampah dan sedimentasi merupakan masalah krusial saat ini bagi kawasan Teluk Youtefa, sedang permasalahan pesisir Kampung Holtekamp adalah meningkatnya konversi mangrove dan penggunaan bom ikan. Pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura dalam hal ini pesisir Kampung Holtekamp, untuk memenuhi kebutuhan benih usaha
4
pertambakan. Di Kota Jayapura luasan tambak yang tersedia saat ini ± 554 hektar, dikelola 316.5 hektar. Kebutuhan benih petambak antara tahun 1993 hingga tahun 2002 sepenuhnya bergantung pada ketersediaan larva ikan bandeng secara alami di pesisir Kampung Holtekamp.
Namun setelah tahun 2003,
ketersediaan sumberdaya ini terus menurun. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 2005 hingga 2007 dengan jumlah pengumpul sebanyak 25 orang, bila penangkapan dilakukan secara bersama-sama, rata-rata hasil tangkapan berkisar antara 20 hingga 40 ekor per hari selama periode kelimpahan. Antara tahun 1993 sampai tahun 2002, rata-rata setiap pengumpul bisa mendapatkan 1000 hingga 1500 ekor larva per orang per hari. Antara tahun 2003 hingga tahun 2004 jumlah tangkapan berkurang menjadi 104 hingga 208 ekor per orang per hari. Menurut oleh Tzeng and Yu (1992), terbatasnya ketersediaan larva ikan bandeng di alam karena sangat bergantung pada rekruitment sediaan alami. Untuk mengatasi kekurangan benih ini, petambak mendatangkan dari Makasar tetapi dalam jumlah yang terbatas dengan tingkat kematian yang tinggi. Kondisi ini berdampak pada banyaknya tambak yang tidak produktif saat ini. Dengan terus meningkatnya usaha pertambakan di Kampung Holtekamp, dimana kebutuhan benih sepenuhnya bergantung pada alam, maka dalam kondisi semakin tingginya konversi mangrove dan sedimentasi di Teluk Youtefa serta semakin meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas pengeboman ikan di Kampung Holtekamp, ketersediaan larva ikan bandeng dikuatirkan akan terus berkurang. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasikan terkait dengan permasalahan pengelolaan sumberdaya larva ikan bandeng berkelanjutan di pesisr Kota Jayapura adalah sebagai berikut: (1)
Meningkatnya permintaan larva ikan bandeng alami oleh pembudidaya tambak dikuatirkan akan mendorong pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya ini.
(2)
Belum diketahui berapa besar stok larva ikan bandeng alami dan pengaruh biofisik lingkungan terhadap dinamika stoknya secara alami di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.
5
(3)
Belum adanya alternatif pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp dalam kerangka pemanfaatan larva ikan bandeng sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masalah sosial ekonomi masyarakat di kedua kawasan ini.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
(1)
Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng di perairan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.
(2)
Mengidentifikasi pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan dalam hal ini larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelolaan
Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kampung Holtekamp ke depan, sehingga dapat memberikan hasil yang berkelanjutan baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial. 1.5
Kerangka Pemikiran Hasil tangkap larva ikan bandeng di pesisir Kampung Holtekamp yang
dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun 1993, jumlahnya terus menurun sejak tahun 2003. Menurut Sparre and Veneme (1999), perubahan ukuran stok dalam kurun waktu tertentu, dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam lingkungan, rekruitment, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, pemangsa (predator), dan atau pesaing (competitor). Menurut Effendie (1978); Matarase et al. (1989); Mantiri (1995), penyebab tingginya tingkat mortalitas alami pada iktioplankton karena sangat peka terhadap predator dan perubahan lingkungan, seperti; suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan. Terkait dengan semakin menurunnya stok larva ini di alam dan dihubungkan dengan kondisi pengelolaan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir
6
Kampung Holtekamp saat ini, maka dipandang perlu untuk mengetahui distribusi dan kelimpahannya secara alami, yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Ukuran keberhasilan pengelolaan perikanan berkelanjutan berkembang sejalan dengan dinamika pemahaman tentang apa yang ingin dicapai dan apa yang harus dihindari dari upaya pengelolaan yang akan dilakukan. Menurut Charles (2001) in Adrianto et al. (2004), ukuran menejemen pemanfaatan sumberdaya perikanan yang baik bukan terletak pada keberhasilan menjaga stok ikan pada level yang memungkinkan untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang, akan tetapi bagaimana mengupayakan agar pemanfatan sumberdaya tersebut selalu memperhatikan efesiensi dengan memperhitungan profit (keuntungan) yang akan diperoleh.
Oleh sebab itu menejemen pengelolaan harus dilakukan secara
bersungguh-sungguh dengan keterlibatan semua pihak mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penurunan stok yang mendorong kepunahan sumberdaya perikanan.
Evaluasi keberlanjutan
terhadap suatu
kebijakan
pengeloaan
sumberdaya ikan seyogyanya dilakukan terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi, etis, maupun kelembagaan guna merumuskan model
pengelolaan yang lebih
obyektif. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan pangan, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang. Berdasarkan
pendapat-pendapat
tersebut
diatas,
maka
pemanfaatan
sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura diharapkan dapat memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi pemanfaatnya dan sekaligus mempertahankan kesehatan populasi stoknya di alam.
Untuk itu
dibutuhkan suatu pola pengelolaan terpadu untuk menjawab dua permasalahan pokok, yakni; (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan populai sumberdaya ini di alam dan (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya ini secara rasional sehingga mencapai keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariannya di pesisir Kota Jayapura.
Dengan demikian
kerangka pemikiran yang dikembangkan sebagai pendekatan untuk penelitian ini adalah seperti pada Gambar 1.
7
Ekosistem Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp
Habitat Larva Ikan Bandeng Aspek Ekobiologi Ikan Bandeng
Pola Sebaran
Waktu Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Ketersediaan dan Jenis makanan
Biofisik Lingkungan Kajian Kelimpahan Stok
Waktu Tangkap
Jumlah Tangkapan
Sebaran Ukuran
Dinamika Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Analisis Keberlanjutan: -Biologi -Ekologi -Ekonomi -Sosial
Analisis Dinamika Revenue : - Indeks Musiman Bulanan - Prakiran Keuntungan ekonomi
Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Pertumbuhan dan kelahiran ikan sangat bergantung pada kondisi
lingkungan. Jika lingkungan dalam kondisi baik, populasi ikan akan tumbuh dan berkembang hingga mencapai batas pertumbuhan dan perkembangan yang mampu didukung lingkungan secara alami. Demikian sebaliknya, bila kondisi lingkungan dimana suatu sumberdaya ikan hidup terganggu, maka populasinya akan berkurang bahkan hilang (Nikijuluw 2002). Dikatakan oleh Adrianto et al. (2004), keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan terkait erat dengan kualitas lingkungan dan ekosistem dimana sumberdaya tersebut berada secara ekologi, sehingga ekosistem merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berkes et al. (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan juga bahwa, tujuan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem selain untuk memelihara kesehatan dan keberlanjutan ekosistem guna melindungi spesies atau stok di dalamnya, bertujuan pula untuk melindungi kemampuan ekosistem dalam memproduksi kemampuan aliran energi.
Ditambahkan oleh
Adrianto et al. (2004), salah satu prinsip dasar yang harus diketahui dalam merumuskan rencana pengelolaan perikanan adalah memahami karateristik perikanan itu sendiri, terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena komoditi ikan sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharuhi (renewable) dan memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa, maka pengelolaannya memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem, dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem. Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun atas berbagai ekosistem yang saling terkait. Perubahan atau kerusakan pada suatu ekosistem akan berdampak pada ekosistem lainnya. Kualitas lingkungan ekosistem pesisir tergantung pada aktivitas manusia maupun proses-proses alami yang terjadi di kawasan sekitarnya, lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Saling ketergantungan inilah yang menyebabkan pengelolaan kawasan pesisir secara sektor tidak akan
9
mencapai hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya
sumberdaya
perikanan
agar
dapat
berdampak
posistif
bagi
pemanfaatnya secara berkelanjutan, maka harus dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) (Dahuri et al. 1996; Cincin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999; Masalu 2000). Menurut Dahuri et al. (2004), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dikatakan oleh Masalu (2000) dan Dahuri et al. (2004), keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus memiliki tiga dimensi, yaitu; (1) keterpaduan sektoral, (2) keterpaduan bidang ilmu, dan (3) keterpaduan atau keterkaitan ekologis. Selanjutnya menurut Kay and Alder (1999), pengelolaan pesisir terpadu akan berhasil, bila; (1) keputusan pengelolaan komprehensif yang didasarkan pada kondisi suatu wilayah pesisir, (2) evaluasi dilakukan secara menyeluruh (agregat), dan (3) pengelolaan harus konsisten dengan melibatkan semua level kebijakan dalam pelaksanaannya. Ditambahkan oleh Masalu (2000), suatu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif
tidak hanya
didasarkan pada suatu analisa aktivitas dan dampaknya saja, tetapi harus diperhatikan juga efek dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pengelolaan sistem yang kompleks ini memerlukan suatu pendekatan terintegrasi yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan secara terorganisir, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi secara optimal untuk generasi mendatang, tidak mengurangi sumberdaya itu sendiri, dan tetap memelihara proses yang berlangsung secara ekologis. Pengelolaan pesisir yang terpadu adalah dasar untuk pembangunan berkelanjutan, karena akan mengurangi dampak pencemaran, mengoreksi dampak lain, dan mengurangi konflik, baik untuk saat ini maupun di masa datang. 2.2
Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Ikan bandeng (Gambar 2), lebih dikenal dengan sebutan milkfish dan
merupakan spesies euryhaline.
Di Inggris, ikan ini dikenal sebagai salmon-
10
herring, sedang di Jepang dikenal dengan sabahi.
Klasifikasi ikan tersebut
menurut Saanin (1984), adalah: Filum:
Chordata
Subfilum: Kelas:
Vertebrata Osteichthyes
Subkelas: Ordo:
Actinopterygii Gonorynchiforme
Famili:
Chanidae
Genus:
Chanos
Spesies
:
Chanos chanos (Forsskal)
Sumber : eol;org/pages/224731 [diakses : 1 Desember 2009]
Gambar 2 Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Sebagai spesies euryhaline, ikan bandeng dalam siklus hidupnya selalu bermigrasi ke perairan dengan salinitas berbeda seiring dengan pertumbuhannya. Melewati masa mudanya di perairan pesisir, kemudian seiring dengan kematangan seksual akan beruaya ke laut lepas untuk memijah dekat permukaan pada kedalaman 10 hingga 40 meter yang bersubsrat pasir dan koral (Nontji 1986). Bardach et al. (1982) in Budiono et al. (1984), menyatakan bahwa ikan bandeng akan siap memijah setelah berumur 6 tahun dan dilakukan pada malam hari. Secara alami setiap induk bandeng akan memijah 1 atau 2 kali dalam setahun. Selanjutnya habitat ikan bandeng dari larva hingga dewasa dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Pantai
Laut lepas
Daerah pemijahan
Laut lepas
Daerah pembesaran
Gambar 3 Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991). Larva ikan bandeng yang baru dipijahkan disebut yolk-sac larvae hingga kuning telurnya diserap. Disebut larva bila ukuran tubuh berkisar antara 6 hingga 10 mm, berumur 2 hingga 3 minggu setelah pemijahan, dan mulai bermigrasi ke perairan pantai (Lee et al. 1986).
Menurut Lee et al. (1986); Nontji (1986),
sebutan fry diberikan untuk fase akhir dari larva yang berumur antara 3 hingga 4 minggu setelah pemijahan, dengan ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, yang selanjutnya muncul di perairan pantai, bergerak lincah, dan selalu berada di permukaan secara bergerombol. Setelah itu akan memasuki kawasan manggrove, hidup disana hingga berumur ± 3 bulan, kemudian akan bermigrasi kembali ke laut (Lee et al. 1986). Pola distribusi seperti ini berkaitan erat dengan kondisi perairan, seperti ketersediaan makanan, faktor fisik, dan kimia perairan (Boehlert et al. 1985). Warna larva tersebut pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 12 mm adalah bening (transparan). Pada ukuran panjang tubuh antara 13 hingga 15 mm dengan berat tubuh antara 6 hingga 7 mg, memiliki sebuah titik putih di bagian tengah badan yang berfungsi sebagai gelembung udara (Mardjono et al. 1985). Bentuk larva ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal)
12
Nontji (1986), menyatakan bahwa larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener.
Larva ikan ini
umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubsrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar. Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih rendah untuk berkembang menjadi ikan muda (Mardjono et al. 1985). Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut (Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987). 2.3
Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng Faktor biofisik laut seperti, cahaya, suhu, salinitas, arus, pasang surut, dan
ketersediaan makanan telah dipandang sebagai faktor abiotik dan biotik pada ekosistem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup biota laut termasuk larva ikan bandeng, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Menurut Lee et al. (1986), kelangsungan hidup (survival) larva ikan bandeng banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan habitatnya, seperti; (1) suhu, (2) oksigen terlarut, (3) salinitas, (4) kekeruhan, (4) intesitas cahaya, (5) densitas plankton, (6) fase bulan, (7) cuaca, dan (8) keberadaan ekosistem mangrove. 2.3.1 Suhu Permukaan Perairan Suhu perairan terutama lapisan permukaan dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari, arus permukaan, keadaan awan, up welling, divergensi dan konvergensi terutama di sekitar estuari dan sepanjang garis pantai (Hela and Laevastu 1970). Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti; penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaman udara, dan kecepatan angin. Oleh sebab itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musim. Contohnya pada musim pancaroba, kecepatan tiupan angin biasanya lemah sehingga permukaan laut tenang dan proses pemanasan sangat tinggi yang mengakibatkan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji 1986).
13
Sulliva (1954) in Hayes and Laevastu (1982) menyatakan bahwa, pengaruh suhu terhadap ikan antara lain; (1) sebagai modifier proses metabolik (kebutuhan makan dan pertumbuhan), (2) sebagai modifier bagi aktivitas badan (laju renang), dan (3) sebagai stimulus saraf. Dikatakan oleh Lee et al. (1986), ikan bandeng dapat mentolerir kisaran suhu dari 10 0C hingga 40 0C, hidup sehat pada suhu 15 0C hingga 30 0C, dengan pertumbuhan optimal pada suhu 25 0C hingga 30 0C. Hasil penelitian Villaluz and Unggai (1983) in Watanabe (1986) menemukan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan larva ini cepat pada suhu 28.9 0C hingga 35.2 0C, sedang pada suhu 23.7 0C hingga 28.9 0C, dan lambat pada suhu 17.5 0C hingga 23.6 0C. Pengkonsentrasian makanan ikan sangat erat hubungannya dengan suhu, disamping beberapa faktor linkungan lain. Dengan mengetahui suhu optimum suatu spesies ikan akan dapat digunakan untuk meramal daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman, dan distribusi atau migrasi ikan (Baskoro et al. 2004). Dari studi kebiasaan makan juvenil milkfish yang diambil dari lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati oleh Luckstadt and Reiti (2002), dimana suhu perairan pada pukul 06.00 adalah 27.2 0C dan 35.2 0C pada pukul 16.00,
makanan yang
ditemukan mendominasi isi perut juvenil milkfish di perairan tersebut adalah Chlorophycea dan Cyanophycea yang merupakan jenis algae hijau bersel tunggal. 2.3.2 Salinitas Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam dalam gram yang terdapat didalam satu kilogram air laut. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan terbuka, dibanding daerah intertidal (Nybakken 1986).
Fluktuasi salinitas di
intertidal dapat terjadi karena upwelling, masuknya air tawar dalam debit yang besar, dan atau karena pengaruh hujan yang turun secara terus menerus. Namun demikian, perubahan salinitas ini relatif kecil kecuali daerah dekat sungai yang mengeluarkan debit air tawar dalam jumlah besar (Kinne 1963; Nybakken 1986). Menurut Kinne (1963), fluktuasi salinitas berdampak pada perubahan masa air dan perubahan stabilitas kondisi suatu perairan yang mana dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme perairan. Hal ini disebabkan dalam tahapan pertumbuhan ikan, perubahan salinitas akan mempengaruhi pengaturan osmotik ikan dan menentukan daya apung dari telur-
14
telur ikan pelagis.
Ditambahkan oleh Hayes and Laevastu (1982), salinitas
mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubunganya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungannya. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik fitoplankton, zooplankton, maupun iktioplankton. Menurut Lignot et al. (2000), meski iktioplankton biasanya dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik, namun cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, sehingga secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusinya. Beberapa spesies ikan dapat hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang hanya dapat hidup pada salinitas tertentu.
Duenas and Young
(1984) in Watanabe (1986), mendapati larva ikan bandeng pada nol hari sampai hari ke tujuh tergolong euryhaline sedang (8-7 ‰), pada hari ke tujuh hingga ke empat belas stenohaline (27-28 ‰), dan euryhaline tinggi (0-70 ‰) pada hari ke dua puluh satu. Hasil studi Lin et al. (2003), tentang expresi Natrium (Na), Kalium (K), dan Adenosin Tri Phospat (Na,K-ATPase) insang juvenil milkfish terhadap penyesuaian salinitas, menunjukkan bahwa aktivitas NKA meningkat bersamaan dengan meningkatnya protein. Peningkatan NKA pada insang juvenil di perairan tawar lebih tinggi dibanding pada air payau sedang pada juvenil di air laut sangat kecil. Hasil studi ini menunjukkan, perubahan salinitas yang sangat ekstrim akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan protein yang lebih banyak untuk meningkatkan NKA sebagai upaya osmoregulator untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang hiposaline. Dengan kata lain, peningkatan osmoregulasi terhadap perubahan salinitas yang sangat ekstrim, akan menyerap sebagian besar protein guna meningkatkan aktivitas NKA dengan maksud menyediakan energi untuk bergerak dibandingkan untuk pertumbuhan.
Oleh sebab itu dapat
dikatakan juga bahwa meski ikan bandeng adalah spesies euryhaline namun perubahan salinitas yang sangat ekstrim dapat menghambat pertumbuhannya. 2.3.3 Arus Arus berperan dalam transportasi ikan dan larvanya di laut. Karakter arus bervariasi setiap tahun dan berperan penting dalam migrasi musiman ikan pelagis dan semi pelagis. Anomali arus permukaan dapat mempengaruhi distribusi
15
iktioplankton, juwana, dan juga migrasi pemijahan ikan (Laevastu and Hayes 1982).
Menurut Wahbah et al. (2001), adanya arus yang berlawanan akan
menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di laut. Pola aliran arus mempengaruhi pola penyebaran nutrient, transport sedimen, plankton, ekosistem laut, dan geomorfologi pantai. Sverdrup et al. (1972), membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1.
Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut, dimana arus dengan densitas lebih berat akan mengalir ke tempat air berdensitas lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan sejumlah besar massa air ke tempat lain.
2.
Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air ke satu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu.
3.
Arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus jenis ini mengalir bolak balik dari dan ke pantai atau berputar. Pada daerah teluk, pola arus lebih didominasi oleh pasang surut dan angin.
Pengaruh gaya pasang surut untuk membangkitkan arus jauh lebih besar dibanding yang dibangkitkan oleh gaya gesek angin pada permukaan air laut. 2.3.4 Ketersediaan Makanan Di perairan, keberadaan makanan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik seperti; suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan. Selanjutnya jenis makanan ikan dipengaruhi oleh umur, tempat, dan waktu (Effendi 1997). Suresh et al. (2006) menyatakan bahwa, jenis makan yang dimakan oleh ikan berbeda menurut spesies dan umur. Jenis makan pun dapat berbeda pada spesies yang sama tetapi berbeda tempat. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan suatu jenis makan di habitat tersebut. Umumnya makanan yang pertama kali dimakan oleh semua ikan dalam mengawali hidupnya (fase larva dan juvenil) adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Dapat berupa fitoplankton atau zooplankton (Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1986; Odum 1993). Dari hasil studi kebiasaan makan juvenil milkfish di lagoons payau Tarawa Selatan Kiribati, yang dilakukan oleh Luckstadt and Reiti (2002), ditemukan makanan yang dominan dalam saluran pencernaan
16
juvenil milkfish adalah jenis algae hijau bersel tunggal yang terdiri dari Chlorophycea dan Cyanophycea yang mencapai 60 % dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari.
Sementara itu Diatome,
Copepoda, Phyleeopod, dan Naupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka. Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus, yang dipengaruhi oleh; cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, serta bentuk-bentuk kimia unsur hara (Goldman and Carpenter 1974). Menurut Sanders et al. (1987), peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplanton. Karena setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien. Perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara. Dikatakan oleh Effendi (1997), dengan mempelajari kebiasaan makan ikan, dapat mengetahui kandungan gisi alami, dapat digunakan untuk mempelajari hubungan ekologis antara keberadaan suatu populasi organisme dengan lingkungannya, misalnya; bentuk pemangsaan, persaingan makanan, dan rantai makanan. 2.3.5 Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Detritus mangrove yang terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al. 1984; Hatcher et al. 1989; Fleming et al. 1990; Marguillier et al. 1997).
Ekositem mangrove juga
merupakan tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Robertson and Duke 1987). Oleh karena ekositem mangrove berperan dalam menstimulasi produktivitas pantai, maka daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Keberadaan ekosistem mangrove bagi sumberdaya larva ikan bandeng adalah sebagai daerah asuhan untuk menjadi ikan muda (Lee et al. 1986; Watanabe 1986; Bagarinao 1991).
17
Melena et al. (2000) menyatakan bahwa, ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi kehidupan di bumi. Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu: 1.
Menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang, dan kepiting, serta mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.
2.
Menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.
3.
Melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut, dan topan.
4.
Menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah perairan pesisir
dengan
menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan tersebut. 5.
Menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
6.
Menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan.
2.4
Sumberdaya Larva Ikan Bandeng
2.4.1 Pendugaan Kelimpahan Stok Stok didefenisikan sebagai suatu subgugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama serta menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Merupakan kelompok hewan terpisah secara geografis tetapi hidup bercampur dengan kelompok lainnya (Sparre and Venema, 1999). Definisi stok yang lain yang diberikan oleh Gulland (1983) in Sparre and Venema (1999), bahwa suatu subkelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan dalam kelompok tersebut dan percampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang absah. Pengkajian stok dimaksudkan untuk mendeskripsikan hubungan antara proses masukan dan keluaran serta alat yang digunakan, yang disebut model. Dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan maksimum untuk
18
memberikan saran dalam pemanfaatan jangka panjang suatu sumberdaya. Model pengkajian stok terbagi atas model analitik dan model holistik. Model analitik lebih dapat mengeluarkan hasil peramalan yang lebih dapat dipercaya, karena deskripsi stok dilakukan berdasarkan data yang lebih rinci. Data tersebut mencakup; (1) data survival, (2) data hasil tangkapan dan upaya, (3) data frekuensi panjang, (4) tangkapan per upaya, dan (5) data frekuensi umur dalam runtun waktu tertentu. Model holistik digunakan pada keadaan dimana data yang tersedia terbatas pada; (1) data survival saja, (2) data hasil tangkapan dan upaya saja, (3) data frekuensi panjang saja, dan atau (4) data tangkapan per upaya dan frekuensi panjang saja. Model holistik tidak mengharuskan untuk menggunakan data struktur umur atau panjang ikan, tetapi mengganggap stok ikan tersebut sebagai biomassa yang homogen. Oleh sebab itu dalam model holistik, tipe data apapun yang dipunyai dapat digunakan untuk menghasilkan informasi dan saransaran (Sparre and Venema 1999). Aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengkajian stok adalah metode yang hendak digunakan untuk menganalisa kumpulan data yang dimiliki. Untuk mengkaji stok sesaat (standing stock) dari benih alam komersial dan ikan demersal, dapat dilakukan dengan metode trawl dasar (Sparre
and Venema
1999). Model holistik yang paling sering digunakan adalah metode swept area (alur sapuan efektif per luas sapuan) (Widodo et al. 1998; Sparre and Venema 1999). Ditambahkan oleh Sparre
and Venema (1999), metode swept area
didasarkan pada ”hasil tangkapan per satuan area” dari survei dengan trawl. Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah total individu maupun berat total individu (biomassa).
Jumlah total
individu maupun biomassa suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Densitas atau kelimpahan ikan diartikan sebagai jumlah atau berat individu yang disapu oleh alat tangkap pada luasan tertentu (CPUA) (Effendie 1997; Widodo et al. 1998). Nilai dugaan CPUA menurut Sparre and Venema (1999), adalah hasil tangkapan dibagi luas sapuan (mil laut, km2 atau m2). Luas sapuan disimbolkan dengan “A” dan diasumsikan sebagai perkalian antara panjang alur dengan lebar
19
mulut jaring (trawl dan atau seser).
Lebar mulut jaring tersebut tidak akan
berbeda untuk tiap tarikan. Posisi awal dan posisi akhir tarikan perlu ditentukan untuk menghitung jarak sapuan. Akurasi nilai dugaan kelimpahan ini bergantung pada akurasi dari nilai dugaan luas sapuan. Ditambahkan pula oleh Aziz (1989), pendugaan kelimpahan stok atau kelimpahan relatif adalah penting dalam menejemen perikanan sebagai suatu langkah untuk menduga parameter penting lainya. Beberapa pendugaan kelimpahan diperlukan untuk mengevaluasi dampak dari besarnya unit dan usaha menejemen terhadap suatu populasi ikan, disamping untuk menduga laju eksploitasi akibat penangkapan atau sebab lain. 2.4.2 Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka.
Faktor kondisi ikan berkorelasi dengan panjang tubuh, jenis
kelamin, tingkat kematangan gonad, dan umur ikan. Selain itu, faktor kondisi juga digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan (kondisi perairan dan kualitas air) dengan ikan.
Oleh sebab itu, perhitungan faktor kondisi dapat
digunakan sebagai indikator kondisi perairan bagi pertumbuhan ikan. Perhitungan faktor kondisi, didasarkan pada panjang dan berat ikan (Royce 1972 in Effendi 1997). Ditambahkan oleh Oymak et al. (2001), faktor kondisi bervariasi menurut pertumbuhan, umur serta kebiasaan makan, dan kepadatan ikan di suatu perairan. 2.5
Analisis Alokasi Upaya dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Menurut Bene and Tewfik (2000), untuk memelihara sumberdaya ikan yang
sehat
guna
menunjang
pembangunan
yang
berkelanjutan,
pengelolaan
sumberdaya tersebut perlu memperhitungkan dinamika stok serta memperhatikan; integrasi antara dinamika armada, perilaku nelayan, dan dinamika aturan. Oleh sebab itu, suatu peraturan yang dibuat untuk mengatur pengusahaan suatu sumberdaya perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut dan aktivitas masyarakat yang memanfaatkannya dapat berjalan dengan baik, maka seluruh proses yang mempengaruhi dinamika sumberdaya tersebut harus dipahami dengan baik. Suatu contoh diberikan oleh Hilborn (1985) in Bene and Tewfik (2000), tentang krisis yang terjadi pada pengelolaan ikan Cod dan Salmon di Canada pada tahun 1980-an. Pada krisis ini, penurunan stok kedua sumberdaya
20
tersebut bukan disebabkan oleh ketidaktahuan nelayan tentang berapa stok yang harus dimanfaatkan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang bioekologi kedua ikan tersebut dan pengaturan nelayan. Pendekatan analisis sistem dalam menentukan alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan merupakan kerangka analisis multidisipliner terpadu untuk menganalisa hubungan (interaksi) antara komponen berbeda dari pengusahaan suatu sumberdaya perikanan. Komponen-komponen tersebut terdiri atas; mekanisme biologis, ekonomis, dan sosial yang secara langsung menentukan keberlanjutan usaha. Dalam analisis sistem, pemahaman respon nelayan terhadap perubahan biologi, ekonomi, dan kondisi kebijakan (aturan) dapat digunakan sebagai masukan yang sangat menunjang untuk merancang upaya pengelolaan sumberdaya tersebut. Keistimewaan dari analisis ini adalah, data yang digunakan dapat berupa data harian, bulanan, atau tahunan tergantung fenomena yang diamati.
Disamping itu, dapat juga digunakan data kualitatif seperti, data hasil
penelitihan sebelumnya dan data pribadi yang tidak dipublikasikan untuk menggambarkan karakteristik sosial dari masyarakat yang menjadi objek pengamatan (Bene and Tewfik 2000). Pendekatan analisis sistem untuk menduga alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan dapat dilakukan melalui perhitungan; (1) indeks musiman bulanan (Ij) dalam persen, (2) prakiraan keuntungan ekonomi, dan (3) perilaku nelayan.
Tujuannya adalah, untuk mengetahui apakah nelayan memberikan
respons terhadap setiap musim kelimpahan dan keuntungan yang akan diperoleh. Hasil analisis ini digunakan untuk mempelajari fenomena yang terjadi pada pemanfaatan suatu sumberdaya larva ikan disuatu kawasan perairan tertentu (Bene and Tewfik 2000). 2.6
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Selama ini, evaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lebih
difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target melalui referensi biologi dan referensi ekologi. Pendekatannya masih menggunakan referensi dari spesies target sebagai indikator dari status sumberdaya dan sinyal early warming bagi terlampauinya level ekstraksi. Permasalahannya, pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan kelestarian
21
sumberdaya tersebut, melainkan perlu juga mempertimbangkan interaksi antara sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan dengan aktivitas manusia untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Adrianto et al. 2004; Fauzi 2006). Untuk mendisain suatu perencanaan pengelolaan yang dapat menjamin kelangsungan suatu sumberdaya perikanan dan aktivitas masyarakat yang tergantung pada sumberdaya tersebut, maka faktor biologi, ekologi, mekanisme ekonomi, dan aturan yang mempengaruhi alokasi upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut sangat penting untuk dipahami (Bene and Tewfik 2000). 2.6.1 Konsep Perikanan Berkelanjutan Konsep keberlanjutan telah lama diperdebatkan dalam ilmu perikanan. Charles (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan bahwa, ada tiga paradigma yang mendasari munculnya konsep keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu: (1)
Paradigma Konservasi Dalam paradigma konservasi, konsep keberlanjutan diartikan sebagai cara mengendalikan upaya tangkap agar optimal dan berkelanjutan. Stok ikan harus dapat dilindungi tanpa memperhatikan tujuan manusia memanfaatkan stok tersebut sebagai obyek. Akibatnya, dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan manfaat yang kecil. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjang konsep konservasi dalam dunia perikanan adalah maximum sustainable yield (MSY).
(2)
Paradigma Rasionalisasi Paradigma
rasionalisasi
memperhitungkan
kepentingan
pemanfaat
sumberdaya dan pemilik sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus rasional dan efesien secara ekonomi, dengan memperhitungkan keuntungan (profit) yang akan diperoleh. Pandangan dalam paradigma rasionalisasi ini kemudian mendasari lahirnya konsep produksi lestari yang memberikan nilai ekonomi (penerimaan netto) terbesar, atau diistilahkan sebagai maximum economic yield (MEY).
22
(3)
Paradigma Sosial (Komunitas) Paradigma ini muncul karena kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan selalu berorientasi pada kepentingan manusia. Dalam paradigma ini cara yang paling baik dalam mencapai perikanan berkelanjutan adalah melalui analisis sistimatik dan kompleks pada cara pemanfaatan. Target dalam paradigma yield/OSY),
yang
ini adalah produksi optimum lestari (optimum sosial mengakomodir
aspek
keberlanjutan
komunitas
menyangkut; (a) pengontrolan panen, (b) penggunaan teknologi tepat guna, (c) memperhitungan resiliensi jangka panjang, dan (d) keragaman. Dengan kata lain keberlanjutan tidak hanya difokuskan pada konservasi sumberdaya ikan semata ataupun memaksimalkan pemanfatan ekonomi saja, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana menyediakan sumber pendapatan bagi komunitas nelayan. Berdasarkan ketiga paradigma tersebut di atas, selanjutnya ditambahkan oleh Adrianto et al. (2004), perikanan berkelanjutan harus didefinisikan secara luas karena menyangkut kepentingan manusia.
Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Salim (1991), bahwa saat ini pengelolaan sumberdaya ikan selalu dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut pertumbuhan
penduduk,
perkembangan
sumberdaya
dan
lingkungannya,
perkembangan teknologi, dan ruang lingkup internasional. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang “sehat” menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Adrianto et al. (2004); Fauzi (2006), konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung beberapa aspek yaitu: (1)
Keberlanjutan Ekologi (Ecological sustainability) Untuk menjamin keberlanjutan ekologi, model pengelolaan yang sudah berjalan perlu dikaji ulang untuk menghindari habisnya stok ikan dan bagaimana memelihara stok tersebut pada level yang stabil, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Dengan kata lain, upaya untuk memelihara keberlanjutan stok atau biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta memberikan perhatian utama untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.
23
(2)
Keberlanjutan Sosial Ekonomi (Socioeconomic sustainability) Keberlanjutan sosial ekonomi, harus bersifat makro sehingga dapat mencapai tingkat kesejahteraan sosial ekonomi secara menyeluruh untuk jangka panjang.
Dalam menilai keberlanjutan sosial ekonomi, perlu
diperhitungkan kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Kriteria ekonomi meliputi tingkat pemanfaatan sumberdaya dan ktriteria sosial meliputi pemerataan kesejakteraan. Secara ekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan harus relevan dan secara sosial memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Permasalahannya, hal ini sulit dipisahkan di tingkat kebijakan.
Keberlanjutan sosial ekonomi dapat
dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan dari kesejakteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan menjamin keberlanjutan dari semua sistim ekonomi, baik lokal maupun global, dapat memberikan manfaat yang merata bagi semua pengelola perikanan. (3)
Keberlanjutan Komunitas (Community sustainability) Pembangunan perikanan yang berkelanjutan, harus memperhatikan keberlanjutan kesejakteraan dari sisi komunitas atau masyarakat secara terpadu, baik kesejakteraan ekonomi mapun sosial budaya dan kesehatan jangka panjang.
(4)
Keberlanjutan Kelembagaan (Institutional sustainability) Keberlanjutan kelembagaan, menyangkut pengelolaan dan pemeliharanan aspek financial, administrasi yang baik dan sehat serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang. Pengelolaan aspek financial dan administrasi yang baik serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang, merupakan syarat dari tiga komponen pembangunan perikanan berkeberlanjutan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan, keberlanjutan kelembagaan sangat terkait dengan perangkat peraturan dan kebijakan pengelolaan yang dikuasai oleh nelayan. Dengan kata lain, keberlanjutan pemanfaatan suatu sumberdaya hanya dapat dicapai pada model pengelolaan yang dikuatkan oleh peraturan.
24
2.6.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan A.
Analisis Indikator Indikator
didefinisikan
sebagai
sebuah
alat
untuk
mengukur,
mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Tujuannya, untuk mengetahui masalah kritis yang menjadi faktor penghambat bagi keberlanjutan usaha pemanfaat suatu sumberdaya perikanan. Dalam analisis indikator, perlu untuk menentukan pemanfaat sumberdaya dan indikator yang digunakan untuk menilai permasalahan (Adrianto 2007).
Dalam penelitian ini pemanfaat
sumberdaya larva ikan bandeng terdiri atas; (1) pengumpul larva ikan bandeng, (2) petambak ikan bandeng, dan (3) pedagang pengumpul ikan bandeng. Sedang indikator yang akan dijadikan tolak ukur adalah indikator ekologi, ekonomi, sosial, dan kebijakan. B.
Evaluasi Keberlanjutan Pada analisis ini yang dikaji adalah penilaian pemanfaat sumberdaya perikanan terhadap suatu kebijakan dan atau program, dengan menggunakan kriteria; (1) efesiensi, (2) keberlanjutan, dan (3) pemerataan. Menurut UNDP (1999) in Adrianto (2007), evaluasi didefinisikan sebagai upaya selektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dan implementasi sebuah program secara sistimatik dan berorientasi pada tujuan kegiatan atau program. Ada tiga pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu; (1) pendekatan evaluasi kinerja, (2) evaluasi proses, (3) identifikasi kapasitas pengelolaan, dan (3) evaluasi hasil (Pomeroy and Rivera G. 2006 in Adrianto 2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi proses yang didisain untuk menentukan kualitas implementasi dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng untuk mengetahui tingkat pencapaian pemanfaatan yang berkelanjutan.
2.6.3 Skenario Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pengelolaan sumberdaya alam merupakan masalah yang multi kriteria dan multi obyektif.
Oleh sebab itu diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling
berhubungan. Untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan perikanan
25
berkelanjutan, digunakan alat analisis Multi Criteria Desicion Making (MCDM). MCDM merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Teknik analisis kebijakan dengan MCDM merupakan suatu teknik yang bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam mengkalkulasi pemrasaran di antara kriteria konflik yang terjadi.
Penggunaan MCDM dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk
membantu dalam merumuskan skenario pengelolaan perikanan di pesisir Kota Jayapura, khususnya Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp secara berkelanjutan melalui pendekatan distribusi sumberdaya larva ikan bandeng. Pendekatan MCDM mengakomodasi beberapa kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi. Menurut Gumbriech (1996), dalam analisis MCDM diperlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung sejumlah kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan. Prosudur kerja dalam analisis MCDM dimulai dengan tahapan preferensi ctriteria (pembobotan kriteria). Langkah-langkahnya adalah; (1) identifikasi dan penetapan skenario atau alternatif keputusan, (2) identifikasi serta penetapan kriteria dan subkriteria yang dapat digunakan untuk menilai setiap skenario (alternatif), dan (3) pemberian bobot pada setiap subkriteria dari setiap kriteria. Besar kecilnya nilai bobot yang diberikan, didasarkan pada pertimbangan seberapa pentingnya subkriteria tersebut menjadi penilai dalam pengambilan keputusan menurut persepsi responden. Pembobotan ini dapat dilakukan berdasarkan skala Saaty atau Likert. (Gumbriech 1996). Tahapan pokok dalam analisis MCDM adalah tahapan fungsi agregasi (Agregation Functions).
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menetapkan
skenario (alternatif) keputusan yang mungkin diambil.
Dalam tahapan ini
dilakukan perhitungan rata-rata geometrik dari hasil pembobotan persepsi responden. Jumlah skor seluruh subkriteria dari seluruh kriteria pada skenario (alternatif) terpilih harus sama dengan satu (Jankowski 1995 in Subandar 2002).
27
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei dan analisis laboratorium. Tujuannya, untuk mendapatkan data kondisi biofisik lingkungan lokasi penelitian, kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng, jenis makanannya, dan penilaian dampak berkurangnya kelimpahan sumberdaya tersebut terhadap sosial ekonomi pada pengumpul larva ikan bandeng serta petambak dan pedagang pengumpul ikan bandeng. Selanjutnya, digunakan untuk menggambarkan fakta, sifat, dan hubungan antara fenomena yang diselidiki secara sistimatis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang komperhensif dan mendalam tentang kondisi dari obyek yang diteliti (Nazir 2003). Berdasarkan masalah yang diteliti, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode survei, yaitu mengadakan penyelidikan untuk mendapatkan fakta-fakta dari gejala yang ada dihubungkan dengan kondisi faktual dari daerah dimana lokasi penelitian itu berada (Nazir 2003). Metode survei juga bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya (Singarimbun 1995). Gay (1976) in Sevilla et al. (1993), mendefenisikan metode survei sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. 3.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, analisis laboratorium, serta wawancara dengan masyarakat setempat dan responden. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari suatu institusi yang telah didokumentasikan dalam bentuk laporan, publikasi ilmiah dan atau publikasi daerah.
28
3.2.1 Data Primer Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini, meliputi data biofisik lingkungan dan data sosial ekonomi. Data biofisik lingkungan diperoleh melalui survei lapangan serta analisis laboratoriun. Sedang data sosial ekonomi diperoleh melalui oberservasi lapangan, yang dilakukan lewat wawancara langsung maupun menggunakan kuisioner. A.
Data Biofisik Data biofisik lingkungan dibatasi pada data larva ikan bandeng dan faktor penentu distribusinya pada saat dilakukan sampling. Data biofisik yang diperoleh langsung di lapangan terdiri atas; (1) pengukuran panjang alur sapuan pada ketiga stasiun pengamatan, (2) pengukuran suhu dan salinitas, dan (3)
perhitungan jumlah larva ikan bandeng.
Data biofisik yang
diperoleh melalui analisis laboratoriun, meliputi; (1) pengukuran panjang dan berat tubuh larva dan (2) kelimpahan fitoplankton. Jenis makanan utama larva ikan bandeng diketahui melalui penyesuaian jenis fitoplankton yang diperoleh dengan hasil penelitian sebelumnya terkait jenis makanan utama larva ini. Untuk jenis data, sumber data, satuan pengukuran dan alat bantu yang digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data data biofisik. No. Jenis Data
Sumber Data
Unit
1
Suhu perairan
Insitu
0
Alat Yang Digunakan Termometer air raksa
2
Salinitas
Insitu
‰
Refraktometer
4
Jenis dan kelimpahan fitoplankton
Exsitu
Ind/M3
Plankton net, botol koleksi sampel, formalin 10%, mikroskop, literatur idenstifikasi plankton.
5
Larva ikan bandeng: - Jumlah tangkapan - Panjang tubuh - Berat tubuh
Insitu Exsitu Exsitu
Ekor mm/ekr gr/ekr
Seser dan alat hitung Alat ukur Timbangan digital, ketelitian 0,0001 gr.
Jenis makanan utama
Exsitu
spesies
Hasil identifikasi plankton, literatur hasil penelitian.
C
29
B.
Data Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi terdiri atas data sosial dan data ekonomi yang diperoleh melalui wawancara dengan pengisian kuisioner oleh responden. Pemilihan jenis responden sebagai unit penelitian untuk data sosial ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sesuai tujuan penelitian, dengan pertimbangan bahwa; (1) responden merupakan penduduk dewasa yang telah mampu berpikir positif dalam mengambil keputusan, (2) responden terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, dan (3) responden terlibat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Purposive sampling dalam pemilihan responden untuk data sosial ekonomi menurut Adrianto (2007), merupakan pemilihan responden secara langsung atau sengaja menurut kriteria tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk kepentingan penelitian ini, maka jenis responden yang digunakan adalah; (1) pengumpul larva ikan bandeng, (2) petambak ikan bandeng, (3) pedagang pengumpul ikan bandeng, dan (4) pengambil kebijakan. Pemilihan responden pengumpul larva ikan bandeng dan petambak ikan bandeng dilakukan secara simple random sampling menggunakan bilangan random, sedang jumlah unit respondennya (sampel) menggunakan persamaan estimasi proposi yang dikemukakan oleh Cochran (1963) in Nazir (2003). Data sosial ekonomi untuk responden pengumpul larva ikan bandeng, petambak dan pedagang pengumpul ikan bandeng meliputi; identitas responden, kondisi sosial ekonomi, dinamika usaha, persepsi responden terhadap indikator keberlanjutan usaha, persepsi responden terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Data responden pengambil kebijakan meliputi; identitas responden, ada tidaknya program Pemerintah Daerah Kota Jayapura yang berhubungan langsung dengan pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut dan pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng, persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha, dan persepsi terhadap skenario pengelolaan pesisir Kota Jayapura.
30
Jenis data sosial ekonomi, sumber data dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan sumber data sosial ekonomi. Responden
Sumber data
Jenis data
Pengumpul, Petambak, dan Pedagang
a. b. c. d. e.
Identitas responden Lama domisili dan lama usaha Jumlah tanggungan keluarga Dinamika usaha Persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha f. Persepsi terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp
wawancara (insitu)
Pengambil kebijakan
a. Identitas resoonden b. Program PEMDA Kt Jpr c. Persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha d. Persepsi terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp
wawancara (insitu)
Alat yang digunakan Kuisioner
Kuisioner
3.2.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dari instansi terkait lingkup Pemerintah Daerah Kota Jayapura, dalam bentuk laporan dan publikasi daerah. Instansi yang dimaksud terdiri atas; (1) Dinas Perikanan dan Kelautan (DISKANLA), (2) Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
(3)
Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Daerah
(BAPEDALDA), (4) Badan Meteorologi dan Geofisiska (BMG) Provinsi Papua, dan (4) Badan Pusat Statistik (BPS).
Peta-peta pendukung diperoleh dari
BAKOSURTANAL dan BAPPEDA Kota jayapura. Sedang kondisi ekosistem Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp diperoleh dari laporan hasil studi Lembaga Konservasi Laut (LKL) Provinsi Papua tahun 2008. Secara rinci data sekunder yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.
31
Tabel 3 Jenis dan sumber data sekunder Metode Pengumpulan Data
Jenis Data
Sumber Data
A Kondisi umum daerah dan a b c d . -
lokasi penelitian Keadaan geografis Letak dan luas wilayah Keadaan iklim Keadaan administrasi Keadaan sosial ekonomi Demografi PRDB Kota Jayapura Aksessibilitas Ekosistem Teluk Youtefa dan Pesisir Kampung Holtekamp Fisiofrafi pantai Dinamika Perairan
B Peta-peta pendukung a Peta rupa bumi b Peta administrasi .
3.3
Studi literatur Studi literatur/laporan Studi literatur
BPS Kt. Jpr. BMG Prov.Papua BAPPEDA Kt.Jpr
Studi literatur/laporan Studi literatur/laporan Studi literatur/laporan
BAPPEDA Kt.Jpr BPS Kt. Jpr. BAPPEDA Kt.Jpr
Studi literatur/laporan Studi literatur/laporan
LKL Prov. Papua LKL Prov. Papua
Studi literatur Studi literatur
BAKOLSURTANAL BAPPEDA Kt.Jpr
Metode Pengambilan Contoh Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jayapura, meliputi Teluk Youtefa
(Kampung Enggros), Kampung Holtekamp, Kelurahan Entrop, Kelurahan Waymhorock, dan Kampung Yoka. Waktu pengambilan contoh data biofisik disesuaikan dengan periode kelimpahan larva ikan bandeng. Di perairan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, kemunculan larva ikan bandeng terjadi pada bulan April hingga Juni (periode I) dan antara bulan September hingga November (periode II). Karena keterbatasan waktu studi, pengambilan contoh disesuaikan dengan kemunculan larva ini periode I.
Pada saat dilakukan
penelitian ini, larva tersebut muncul pada minggu ke- 4 bulan Mei hingga minggu ke- 1 bulan Juni dan ke- 4 bulan Juni hingga minggu ke- 1 bulan Juli 2009. Oleh sebab itu pengamatan dan samplingpun dilakukan pada waktu tersebut, 3.3.1 Pengambilan Contoh Data Biofisik Pengambilan data biofisik terdiri atas; pengukuran parameter kualitas air (suhu dan salinitas), pengambil air contoh untuk analisis fitoplankton, dan sampling larva ikan bandeng. Oleh karena penyebaran larva ikan tersebut sangat
32
ditentukan oleh arus pasang surut (Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji, 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mujiman 1987), maka pengambilan contoh data biofisik dilakukan pada minggu ke- 1 dan minggu ke- 4 setiap bulan kelimpahan (Mei-Juli 2009). Pengukuran parameter suhu dan salinitas dilakukan bersamaan dengan waktu dilakukan sampling terhadap larva ikan bandeng. Sedang pengambilan sampel air untuk analisis jenis dan kelimpahan fitoplankton dilakukan pada tanggal 25 Mei 2009 (stasiun I, II, dan III), tanggal 27 Mei 2009 (hanya stasiun II), tanggal 25 Juni 2009 (stasiun I, II,III) dan tanggal 29 Juni 2009 (hanya stasiun II). Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling) disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun 1995). Untuk kepentingan penelitian ini, maka ditentukan tiga stasiun yang disesuaikan dengan daerah penyebaran larva ikan bandeng.
Jarak antar stasiun penelitian
menyesuaikan lokasi penyebaran larva tersebut. Teknik pengambilan contoh data biofisik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Teknik pengambilan contoh data biofisik. No.
Parameter
Teknik pengambilan contoh
Alat dan bahan yang digunakan
1
Fisik - Suhu
Diukur langsung di ketiga stasiun secara vertikal.
Thermometer
2
Kimia - Salinitas
Diukur lansung di ketiga stasiun secara vertikal pada titik dan waktu yang sama dengan pengukuran suhu.
Refraktometer
Biologi - Plankton
Dilakukan secara vertikal pada ketiga stasiun, pada titik dan waktu yang sama dengan pengukuran suhu dan salinitas. Air laut yang disaring = 50 ltr. Sampel air kemudian dimasukan dalam botol koleksi sampel = 12,5 ml, dan diberikan formalin 10% sebanyak 13cc. Analisis dilakukan di laboratorium BIMA I IPB.
- plankton net ukuran 35 µm. - formalin 10%. - mikroskop. - botol sampel - buku identifikasi plankton. - alat hitung.
- Larva ikan bandeng
Penyeseran secara horisontal sepanjang garis pantai sampai kedalaman 50 cm. Dihitung jumlahnya per alat tangkap. Untuk yang akan dijadikan sampel, diawetkan dengan alkohol 70% = 10 cc, dipisahkan menurut stasiun dan waktu sampling. Analisis dilakukan di Lab. Balai POM Papua dan Lab. BIMA I IPB.
-Seser dengan mesh size 1,1 mm dan lebar mulut 84 cm. -Alkohol 70%. -botol sampel. -Mikroskop.
3
33
3.3.2 Pengambilan Contoh Data Sosial Ekonomi Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah disiapkan oleh responden terpilih. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan jenis responden yang telah ditentukan. Hal yang ditanyakan pada responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis data responden dan pertanyaan untuk data sosial ekonomi No Jenis Data
Responden
1
pengumpul larva, petambak, dan pedagang ikan bandeng (Chanos chanos, Frosskall)
Indentitas
pengambil kebijakan 2
Dinamika Usaha
Pengumpul larva ikan bandeng
Petambak ikan bandeng
Pedagang ikan bandeng
3
Presepsi
pengumpul larva, petambak, dan pedagang ikan bandeng
pengambil kebijakan
Pertanyaan Nama, umur, pendidikan, suku, lama tinggal, lama usaha, tenaga kerja dan jumlah tanggungan. Nama, umur, pendidikan, instansi, jabatan, TUPOKSI (instansi dan jabatan). Periode dan dinamika kelimpahan larva ikan bandeng, jumlah effort per musim, jumlah tangkapan, penanganan hasil tangkap dan harga jual, serta modal usaha. Periode dan dinamika kelimpahan larva ikan bandeng, luasan tambak (dimiliki, dikelola), siklus produksi, padat tebar, asal benih, harga benih, biaya operasional, hasil produksi, harga jual dan modal usaha. Jumlah ikan bandeng, asal bandeng, tujuan pasar, harga beli dan harga jual per daerah asal biaya operasional lain dan modal usaha. Program PEMDA yang berkenaan keberadaan usaha, efektivitas dari program tersebut, dan keterlibatan. Presepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha dan skenario pengelolaan pesisir Kota Jayapura Program terkait usaha pemanfaatan larva ikan Bandeng, efektivitas program tersebut, dan keterlibatan pelaku usaha. Presepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha dan skenario pengelolaan pesisr Kota Jayapura
27
Peta pengambilan contoh data penelitian, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Peta pengambilan contoh data penelitian
34
35
3.4
Analisis Data
3.4.1 Data Biofisik A.
Parameter Suhu dan Salinitas Data parameter suhu dan salinitas yang terukur ditabulasi dan dihitung rataratanya.
B.
Fitoplankton
(1)
Analisis kelimpahan Dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (APHA 1998):
Keterangan : N = kelimpahan fitoplankton (ind./m3), n = jumlah fitoplankton tercacah, Vd = volume air yang disaring (50 lt), Vt = volume air yang tersaring atau dikoleksi (12,5 ml), Vcg = volume pada counting cell (1 ml), Oi = luas gelas penutup, Op = luas strip yang teramati (mm2) (2)
Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang diteliti.
Jika nilai indeks ini makin tinggi, artinya komunitas biota
(fitoplankton) di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominasi oleh jenis tertentu (Romimoharto dan Juwana 2001). Indeks ini dihitung berdasarkan persamaan Shannon (Krebs 1985), sebagai berikut : s
H ' = − ∑ (Pi ln Pi ) i =1
Keterangan : H’ = indeks keragaman jenis, s = jumlah macam jenis (taxa) dalam komunitas fitoplankton yang diamati, Pi = hasil bagi antara jumlah individu dari spesies ke- i dengan total jumlah individu dalam komunitas (N). Dalam hal ini Pi maupun ln Pi bernilai negative sehingga indeks keanekaragaman (H’) bernilai positif. Kisaran indeks keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut; (1) H’ < 2.3026
artinya keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas
rendah, (2) 2. 3026 < H’
6.9078 artinya keanekaragaman sedang dan
36
kestabilan komunitas sedang dan (3) H’ > 6.9078 artinya keanekaragaman dan kestabilan komunitas tinggi (modifikasi Wilhm and Doris 1968 in Wilhm 1975). (3)
Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota. Jika nilai indeks keseragaman relatif tinggi, penyebaran setiap jenis biota di perairan dalam kondisi merata. Dihitung dengan persamaan (Brower and Zar 1990): E =
H' H max
; dengan Hmax = ln s
Keterangan : E = indeks keseragaman, H’ = nilai indeks Shannon, Hmaks = ln s dan s = jumlah macam spesies. Nilai keseragaman berkisar antara 0 hingga 1. Jika keseragaman mendekati 1, maka sebaran individu antara jenis merata dan perbedaannya tidak mencolok. Bila nilai keseragaman mendekati 0, maka sebaran individu antar jenis tidak merata karena didominasi oleh jenis tertentu. (4)
Indeks Dominansi (C) Indeks dominasi berbanding terbalik dengan indeks keseragaman (E). Dimana suatu komunitas dengan indeks dominasi yang tinggi akan memiliki indeks keseragaman yang rendah.
Demikian sebaliknya.
Indeks ini
dihitunga dengan menggunakan Indeks Simpson, dengan formula sebagai berikut (Brower and Zar 1990):
Keterangan : C = Indeks dominasi, ni = Jumlah individu dari spesies ke-i, dan N = Total individu dalam komunitas, dan s = jumlah spesies . Indeks dominasi berkisar antara 0 hingga 1. Bila nilai indeks ini mendekati 0, maka komunitas biota di perairan makin beragaman karena tidak didominasi oleh jenis tertentu. Sedang bila nilai indeks ini mendekati 1,
37
maka keragaman jenis rendah karena komunitas didominasi oleh jenis tertentu (Odum 1993). C.
Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Kelimpahan larva ikan Bandeng, didefinisikan sebagai banyaknya individu per luas daerah pengambilan contoh (Brower and Zar 1977), yang dihitung dengan persamaan berikut:
Keterangan : Ni = kelimpahan larva ikan pada hari ke- i (ind/m2), ∑ ni = jumlah individu tertangkap pada hari ke- i, dan A = luas sapuan. Luas sapuan diasumsikan sebagai perkalian antara panjang alur sapuan dengan lebar mulut seser yang disimbolkan dengan “A”. Dihitung dengan persamaan yang domodifikasi dari Sparre and Venema (1999), sebagai berikut:
Keterangan : A = luas sapuan, D = jarak sapuan, X2 = lebar bukaan mulut seser. Pendugaan kelimpahan dalam biomassa dilakukan dengan memanfaatkan persamaan Brower and Zar (1990) tersebut di atas, dimana ∑ni diasumsikan sebagai total bobot larva tertangkap pada hari ke- i (gr/m2). D.
Analisis Faktor Kondisi Larva Ikan Bandeng Faktor kondisi larva ikan bandeng dihitung dengan memanfaatkan persamaan berikut (Effendi 1979):
(1)
Bila pola pertumbuhan bersifat allometrik (b ≠3 ), menggunakan rumus;
(2)
Bila pola pertumbuhan bersifat isometrik (b =3 ), menggunakan rumus;
38
Keterangan : K = faktor kondisi, W = bobot larva contoh (gr), L = panjang larva contoh (mm), a dan b = konstanta. E.
Jenis Makanan Utama Seluruh saluran pencernaan dari sampel larva ikan bandeng yang diperiksa nya pada penelitian ini dalam kondisi kosong. Diduga, disebabkan oleh dua hal, yaitu; (1) larva tersebut sudah ditangkap sebelum melakukan aktivitas makan, dan atau (2) larva tersebut telah mengeluarkan isi saluran pencernaannya ketika ditangkap. Oleh sebab itu analisis jenis makanan utama larva ini dilakukan melalui perbandingan antara jenis fitoplankton yang ditemukan pada saat sampling dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan kebiasaan makan larva ini.
F.
Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Pada analisis ini digunakan metode analisis statistik multivariabel, yaitu Analisis Komponen Utama (AKU). Dikatakan oleh Bengen (2000), tujuan utama digunakannya analisis ini adalah: 1.
Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel atau matriks data.
2.
Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi.
3.
Mempelajari suatu tabel atau matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.
Pengolahan data melalui AKU, dilakukan dengan program Minitab Seri 15. Matriks data terdiri dari; (1) stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan (2) biomassa dan faktor kondisi larva ikan bandeng, kelimpahan fitoplankton, serta parameter suhu dan salinitas sebagai peubah variabel kuantitatif. Jika semakin dekat suatu titik variabel pada lingkaran korelasi, semakin besar peranannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat
gravitasi
dan
titik
variabel.
Dengan
demikian
kita
dapat
39
menginterpretasi posisi suatu variabel berdasarkan sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau variabel lain. Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Tanda minus atau plus menunjukkan sifat korelasi negatif atau positif antar parameter. Nilai yang mendekati satu (0.5 sampai 1) menjelaskan hubungan yang positif antar parameter. Nilai yang mendekati minus satu (-0.5 sampai -1) menjelaskan hubungan negatif antar parameter.
Sedang nilai yang
mendekati nol (-0.5 sampai 0.5) menjelaskan hubungan antar parameter yang tidak erat atau tidak mempunyai pengaruh terhadap parameter lain (Bengen 2000). 3.4.2 Data Sosial Ekonomi A.
Penentuan Jumlah Unit Responden Jumlah unit sampel untuk responden pengumpul larva dan petambak ikan bandeng ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Cochran 1963 in Nazir 2003):
n=
N . p (1 − p ) (N − 1)D + p (1 − p )
Keterangan : n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D = B2/4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan p (estimator dari proporsi populasi = 0,5). Selanjutnya, responden yang diambil sebagai obyek penelitian ditentukan secara random sampling.
Tujuannya, untuk menghindari subyektifitas
dalam pengambilan data. Untuk responden pedagang dan pengambil kebijakan, karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang, maka pengambilan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus. Secara diagramatis prosudur penentuan jumlah dan pemilihan jenis responden dapat dilihat pada Gambar 6.
40
Data Sosial Ekonomi Jenis Responden Pengumpul larva ikan bandeng
Petambak ikan bandeng
Pedagang ikan bandeng
Pengambil kebijakan
N2=37
N3=15
N4=10
N1=25
Estimasi Proposi n1 = 20
n2 = 27
Sensus
n3=15
Purposive Sampling
Jumlah unit responden (sampel)
n4=10
Random Sampling
Sensus
47
25
Pemilihan responden
Gambar 6 Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden. Pada Gambar 6 di atas, jumlah pengumpul larva ikan bandeng adalah sebanyak 25 orang dan petambak sebanyak 37 orang (DISKANLA 2007/2008). Dengan memanfaatkan persamaan estimasi proporsi tersebut diperoleh jumlah unit sampel untuk pengumpul larva sebanyak 20 orang dan petambak sebanyak 27 orang. Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng, sebanyak 15 orang dan pengambil kebijakan sebanyak 10 orang.
Untuk reponden pengambil kebijakan, disesuaikan juga dengan
Tugas Pokok dan Fungsi pada instansi yang menjadi obyek pengambilan data. B.
Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Dilakukan untuk melihat perilaku ekonomi dari pengumpul larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal).
Data time series yang akan digunakan
dalam analisis ini adalah data harian selama 3 bulan kemunculan larva
41
tersebut. Berdasarkan hasil tangkapan selama pengamatan, selanjutnya dilakukan tahapan analisis sebagai berikut (Bene and Tewfik 2000): (1)
Indeks Musiman Bulanan (%) Perhitungan indeks musiman bulan (Ij), dilakukan untuk membantu melihat fluktuasi kelimpahan larva ikan bandeng setiap bulan kelimpahan dalam persen (%). Tujuannya, sebagai dasar untuk mengetahui musim dengan kelimpahan maksimum dan atau minimum. Untuk mendapatkan nilai Ij (%) digunakan persamaan Makridakis et al. (1983) in Bene and Tewfik (2000), sebagai berikut:
I j = 100 x
1 K
K −1
x j + 3k
k =0
j +3k
∑T
Keterangan : Ij = indeks musiman untuk bulan ke- j (j = 3 bulan), K = {0, ..., K-1} adalah jumlah musim (waktu tangkap) untuk seluruh rangkaian waktu (selama 3 bulan), xj +3k = data hasil tangkapan dalam bulan ke j+3k, dan Tj + 3k = nilai trend yang berhubungan dengan nilai rata-rata hasil tangkapan dalam bulan ke j+3k.
(2)
Prakiraan Keuntungan Ekonomi Tujuan dari analisis ini untuk melihat apakah pengumpul mengalokasikan upaya penangkapannya berdasarkan keuntungan atau laba yang akan diperoleh.
Keuntungan ini didapat berdasarkan nilai pasar dari suatu
komoditi atau jumlah hasil produksi. Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi diperkirakan melalui perhitungan pendapatan bioekonomi (revenue) per unit effort (RPUE), dengan persamaan yang dimodifikasi dari Bene and Tewfik (2000) berikut:
Keterangan : RPUE = pendapatan per unit effort pada hari ke- j (asumsi untuk mencerminkan pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap hari tangkap), CPUEj = hasil tangkap per unit usaha pada hari ke- j (asumsi untuk mencerminkan ketersediaan atau kelimpahan larva pada setiap hari tangkap), dan P = harga stok yang berlaku. Nilai CPUEj didapat dengan memanfaatkan persamaan:
42
Keterangan : Cj = hasil tangkap pada hari ke- j dan Ej = jumlah upaya pada hari ke- j.
3.4.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan A.
Penentuan Indikator Keberlanjutan Indikator keberlanjutan dianalisis secara deskriptif dengan cara pemberian bobot untuk menentukan tingkat kepentingan dari masing-masing variabel pengukur pada indikator yang telah ditentukan. Dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengidentifikasikan indikator dan variabel pengukur setiap indikator yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan usaha pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng dihubungkan dengan kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp saat ini, (2) mengajukan indikator dan variabel pengukur setiap indikator untuk mendapatkan persepsi responden, (3) pemberian bobot berdasarkan persepsi responden, dan (4) menghitung proporsi persepsi responden berdasarkan hasil pembobotan pada setiap variabel pengukur pada masing-masing indikator. Besarnya skor akhir proporsi persepsi responden pada masing-masing variabel pengukur indikator, didapat dengan memanfaatkan persamaan berikut:
Keterangan : Pi = proposi persepsi responden dari variabel ke- i, JPi = jumlah persepsi responden dari variabel ke- i dan JR = jumlah responden yang menjawab.
Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i pada masing-masing indikator penting untuk usaha pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng. Pembobotan dilakukan berdasarkan skala Likert (Nazir
2003), dimana
bobot 3 diberikan bila sangat penting, bobot dua bila penting, dan bobot 1 bila kurang penting. Untuk menentukan variabel mana yang terpilih pada masing-masing indikator, dilakukan dengan cara memilih proporsi persepsi
43
dengan nilai tertinggi. Nilai proporsi pada tahapan analisis ini selanjutnya digunakan untuk analisis evaluasi keberlanjutan. B.
Evaluasi Keberlanjutan Tujuan dari tahapan ini adalah, untuk mengevaluasi dampak dari pengelolaan pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp) guna menentukan kualitas implementasi dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng, sehingga dapat dicapai pemanfaatan yang berkelanjutan. Ditujukan untuk menilai tingkat keberlanjutan dan kinerja pemanfaat larva tersebut melalui pengukuran tingkat
pemanfaatan,
guna
memberikan
gambaran
efektivitas
pemanfaatannya agar tujuan dan sasaran yang diinginkan dapat dicapai. Kriteria yang digunakan dalam analisis ini adalah: (1)
Kriteria efesiensi Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria efisiensi, adalah variabel dari indikator ekonomi yang terpilih. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i dari indikator ekonomi penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng.
(2)
Kriteria keberlanjutan Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria keberlanjutan, adalah variabel dari indikator ekologi dan kebijakan yang terpilih. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i dari indikator ekologi dan kebijakan penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng.
(3)
Kriteria pemerataan. Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria pemerataan, adalah variabel dari indikator sosial yang terpilih.
Pertanyaan yang diajukan
adalah, apakah variabel ke- i dari indikator sosial penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. Selanjutnya dilakukan perbandingkan antara nilai riil (saat ini) dengan CTV (Crtitical Treshold Value) dari masing-masing variabel terpilih pada setiap indikator dengan teknik amoeba. CTV merupakan nilai kritis atau nilai
44
ideal dari setiap variabel terpilih. Masing-masing nilai riil variabel memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV-nya, dimana setiap nilai variabel tersebut memiliki konsekuensi positif terhadap nilai CTV-nya. Semakin besar nilai riil dari CTV-nya, semakin baik keragaan variabel tersebut (Glasser and Diele 2004; Adrianto 2007). 3.4.4 Multi Criteria Desicion Making (MCDM) Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM), digunakan untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan pesisir Kota Jayapura terutama kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, guna menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan termasuk di dalamnya pemanfaatan larva ikan bandeng. Teknik analisis data menggunakan software simple multi atribut rating technigues (SMART). Teknik SMART merupakan keseluruhan proses dari
perantingan skenario- skenario dan pembobotan dari atribut yang ada. Tahapan dalam analisis MCDM adalah: (1)
Merumuskan skenario atau alternatif pengelolaan pesisir Kota Jayapura.
(2)
Menentukan kriteria dan subkriteria yang akan digunakan untuk menilai skenario yang telah dirumuskan.
(3)
Menyusun struktur hirarki pengelolaan perikanan berkelanjutan, dimulai dari tujuan yang ingin dicapai, kriteria yang digunakan, subkriteria, sampai pada skenario (alternatif) yang dirumuskan dan relevan dengan pengelolaan pesisir Kota Jayapura.
(4)
Menentukan bobot atau skor pada setiap subkriteria.
Bobot suatu skenario (alternatif) dengan kriteria yang harus diambil disusun berdasarkan matriks yang dapat dilihat pada Tabel 6 (Fauzi dan Anna 2001). Tabel 6 Matriks pembobotan dalam analisis MCDM (Kriteria – j) (Bobot – j) S1 S2 S3 … Sm
a1 a2 a3 … an
C1
C2
C3
…..
Cm
W1 X11 X21 X31 … Xn1
W2 X12 X22 X32 … Xn2
W3 X13 X23 X33 … Xn3
…. …. …. …. … …
Wm X1m X2m X3m … Xnm
45
Keterangan : Si (i = 1,2,3, ... m) = skenario pilihan yang ada, Cj (j = 1,2,3, ..., m) = kriteria dengan bobot Wj, dan aij (i = 1,2,3, ... m; j = 1,2,3, ... n) = pengukuran keragaan dari suatu skenario Ai berdasarkan kriteria Cj. Dalam penelitian ini, kriteria yang ditentukan untuk analisis MCDM adalah, kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial.
Sedang subkriteria yang dipilih sebagai
penilai bagi setiap kriteria pada masing-masing skenario yang dirumuskan diambil dari hasil analisis indikator untuk keberlanjutan. Proses pemilihan subkriteria ini dilakukan berdasarkan nilai tertinggi yang masuk dalam kelas nilai terpilih. Penentuan kelas nilai terpilih menggunakan persamaan interval kelas, sebagai berikut (Djarwanto 1993 in Nazir 2003):
Keterangan : Range = nilai maksimum – nilai minimum, dan k = jumlah kelas. Nilai k, diperoleh dengan memanfaatkan persamaan Sturge in Nazir (2003), yaitu:
Keterangan : n = jumlah kelas yang diinginkan(ditentukan 2 kelas).
Tahapan berikutnya adalah tahapan fungsi agregasi (Agregation Functions). Pada tahapan ini dilakukan perhitungan rata-rata geometrik dari hasil yang diperoleh pada masing-masing subkriteria. Rata-rata geometrik dihitung dengan menggunakan formula:
Keterangan : y = rata-rata geometrik, n = jumlah responden dan Si = persepsi responden ke- i, sehingga persamaan menjadi:
Proses interaksi dalam analisis MCDM, menggunakan perangkat lunak Decision Criterium Plus.
46
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Keadaan Geografis
4.1.1 Letak dan Luas Wilayah Kota Jayapura terletak di tepian Teluk Yos Sudarso dan secara geografis berada pada posisi antara 10 28’ 17.26” hingga 30 58’ 0.28” Lintang Selatan dan antara 1370 34’ 10.6” hingga 1410 0’ 8.22” Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan dengan Kabupaten Kerom, sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea (PNG) dan sebelah barat dengan
Distrik
Sentani dan Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Luas masing-masing distrik dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Luas wilayah Distrik di Kota Jayapura Luas wilayah (km2) 51.00 43.40 155.70 63.20 626.56
Distrik Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Heram Muaratami
Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008).
Selanjutnya luas masing-masing kelurahan dan kampung yang termasuk dalam lokasi penelitian ini, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas kelurahan dan kampung lokasi penelitian Kelurahan/Kampung Kel. Entrop Kamp. Enggros Kel. Waymhorock Kamp.Yoka Kamp. Holtekamp
Luas wilayah (km2) 16.94 19.05 19.65 16.19 18.73
Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008) .
4.1.2 Keadaan Iklim Data Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) wilayah V Jayapura tahun 2008, menunjukkan curah hujan Kota Jayapura bervariasi antara 29 sampai 456 mm per tahun. Rata-rata jumlah hari hujan bervariasi antara 9 sampai 24 hari per tahun. Suhu harian bekisar antara 24.2 °C sampai 32.6 °C. Kelembaban udara
47
bervariasi antara 76% sampai 83%. Iklim Kota Jayapura dikategorikan basah dengan konsentrasi hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari, sedang konsentrasi hujan terendah terjadi antara bulan Mei hingga bulan Agustus. 4.2
Keadaan Administratif Secara adminitratif, Kota Jayapura terdiri atas 5 (lima) Distrik, yaitu; (1)
Jayapura Utara, (2) Jayapura Selatan, (3) Abepura, (4) Muaratami, dan (5) Heram. Teluk Youtefa, secara administratif distrik menjadi bagian dari 3(tiga) wilayah Distrik, yaitu; (1) Jayapura Selatan, (2) Abepura, dan (3) Muaratami. Kampung Holtekamp, secara administratif distrik masuk dalam Distrik Muaratami. Lokasi penelitian ini meliputi 4 Distrik, yaitu; Jayapura Selatan, Abepura, Heram dan Muaratami. Pada Tabel 9 berikut, diperlihatkan Kelurahan dan Kampung dari masing-masing Distrik yang dijadikan lokasi penelitian ini. Tabel 9. Distrik serta Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian Distrik Jayapura Selatan Abepura Heram Muaratami
Kelurahan /Kampung Kelurahan Entrop Kelurahan Waymhorock Kampung Enggros Kampung Yoka Kampung Holtekamp
Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008).
Peta administratif Kota Jayapura dapat dilihat pada Gambar 7 (halaman 54) . 4.3
Keadaan Sosial Ekonomi
4.3.1 Demografi Penduduk Kota Jayapura adalah penduduk heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku yang ada di Indonesia. Jumlah Penduduk Kota Jayapura tahun 2008 sebanyak 236 456 jiwa. Distrik dengan kepadatan tertinggi adalah Distrik Jayapura Selatan, sedang Distrik Muaratami adalah Distrik dengan kepadatan terendah. Jumlah dan kepadatan penduduk di tiap distrik pada tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 10.
48
Tabel 10 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut Distrik, tahun 2008 Distrik Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Distrik Heram Muaratami
Luas wilayah (km2) 51.00 43.40 155.70 63.20 626.56
Jumlah penduduk (orang) 64 979 62 901 62 905 34 701 10 970
Kepadatan (orang/km2) 1 274 1 449 404 549 18
Sumber : BAPPEDA dan BPS Kota Jayapura (2008).
Jumlah dan kepadatan penduduk dari masing-masing Kelurahan dan Kampung yang menjadi lokasi penelitian, dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk lokasi penelitian, tahun 2008 Kelurahan/Kampung Kel. Entrop Kamp. Enggros Kel. Waymhorock Kamp.Yoka Kamp. Holtekamp
Luas wilayah (km2) 16.94 19.05 19.65 16.19 18.73
Jumlah penduduk (orang) 11 706 359 6 629 2 503 911
Kepadatan (orang/km2) 691 19 337 155 49
Sumber : BAPPEDA dan BPS Kota Jayapura (2008)
4.3.2 Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Salah satu kegunaan dari Pendapatan Regional Bruto (PRDB), adalah untuk melihat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita suatu daerah dari tahun ke tahun. Penyajian PRDB secara sektoral dapat memberikan gambaran perkembangan dari struktur perekonomian suatu daerah. PRDB dengan masih adanya faktor inflasi di dalamnya akan merupakan PRDB atas dasar harga berlaku (at current prices), sedangkan bila faktor inflasi sudah dieliminir akan merupakan PRDB atas dasar harga konstan (at constant prices). Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, ditampilkan pada Tabel 12.
49
Tabel 12 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 Sektor
2004
2005
Pertanian 196 980.51 Pertambangan dan Penggalian 14 401.86 Industri Pengolahan 109 135.62 Listrik dan Air Bersih 21 728.87 Bangunan 379 399.46 Perdagangan,Hoteldan Restoran 450 344.36 Pengankutan dan Komunikasi 412 216.00 Jasa Perusahan 120 797.40 Jasa-jasa 529 686.99 Jumlah PRDB per Tahun 2 234 691.07 Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)
2006
220 543.16 17 057.27 126 882.09 23 319.67 465 647.26 540 526.66 535 411.35 136 695.36 571 914.60 2 637 997.42
242 324.83 20 053.46 148 224.80 24 687.59 579 787.72 659 312.86 678 066.41 272 161.88 625 038.81 3 249 658.36
2007 263 835.18 23 358.77 173 874.52 26 217.75 717 603.26 804 624.94 867 252.64 446 439.93 691 068.97 4 014 275.96
Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas harga berlaku dari tahun 2004 hingga tahun 2007, disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 Sub sektor Pertanian 1. Tanaman bahan makanan 2. Tanaman perkebunan 3. Peternakan dan hasilnya 4. Kehutanan 5. Perikanan
2004
2005
2006
2007
37 880.58 8 927.56 21 871.72 5 901.78 122 398.87
42 551.62 10 567.45 24 885.60 6 854.28 1 35 684.21
45 275.82 11 610.89 27 962.77 7 367.06 150 108.29
48 726.66 12 942.66 31 192.47 8 061.77 162 911.62
Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)
Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 Sektor
2004
Pertanian 158 406.57 Pertambangan dan Penggalian 11 015.14 Industri Pengolahan 84 561.13 Listrik dan Air Bersih 16 256.37 Bangunan 284 114.72 Perdagangan,Hotel dan Restoran 282 995.29 Pengankutan dan Komunikasi 277 854.57 Jasa Perusahan 92 025.39 Jasa-jasa 370 998.76 Jumlah PRDB per Tahun 1 578 227.94 Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)
2005
2006
2007
168 023.84 12 054.21 89 751.10 17 081.46 327 647.32 303 421.00 313 287.44 96 921.92 385 292.63 1 713 480.92
176 183.87 12 874.71 95 161.17 17 893.87 380 669.74 330 404.84 353 783.75 163 259.08 401 916.35 1 932 147.38
184 187.22 13 684.53 101 455.20 18 707.83 441 234.30 360 397.76 400 691.91 242 087.90 423 104.83 2 185 551.48
50
Dari peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas harga konstan tersebut di atas, maka pada Tabel 15, ditampilkan peranan tiap subsektor pertanian atas harga konstan dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Tabel 15 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 Sub sektor Pertanian
2004
1. Tanaman bahan makanan 30 951.79 2. Tanaman perkebunan 7 148.00 3. Peternakan dan hasilnya 15 182.03 4. Kehutanan 4 095.99 5. Perikanan 101 028.76 Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)
2005
2006
2007
32 064.23 7 752.32 15 942.09 4 369.55 107 895.65
32 917.90 8 172.16 16 704.77 4 573.02 113 816.02
33 947.55 8 734.40 17 466.87 4 795.73 119 242.67
PDRB per kapita antara tahun 2004 hingga 2007, diperoleh melalui hasil bagi antara PRDB tiap sektor ekonomi atas dasar harga berlaku pada tahun tersebut dengan jumlah penduduk. Fluktuasi nilai pertumbuhan (%) dari PRDB perkapita atas dasar harga berlaku tersebut, dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai tingkat kemakmuran masyarakat Kota Jayapura secara rata-rata. Fluktuasi PRDB per kapita Kota Jayapura antara tahun 2004 hingga 2007 (Tabel 16). Tabel 16. Pertumbuhan PRDB perkapita atas dasar harga berlaku Kota Jayapura, tahun 2004-2007 Tahun 2004 2005 2006 2007
PDRB perkapita (Rp) 12 182 202.72 13 166 287.76 15 202 866.69 18 666 275.94
Pertumbuhan (%) 20.22 8.08 15.47 22.78
Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)
4.3.3 Aksessibilitas Sebagai ibu kota Provinsi Papua, Kota Jayapura memiliki sarana prasarana jalan yang cukup baik, sehingga mempermuda mobilitas penduduk dan kelancaran aktivitas sosial ekonomi. Teluk Youtefa dapat dijangkau dengan menggunakan sarana transportasi darat dan laut. Untuk bagian dalam teluk, setelah menggunakan transportasi darat, dilanjutkan dengan transportasi laut (perahu dayung, perahu motor, atau speed boat). Dapat dilakukan melalui pelabuhan PPI
51
Hamadi, pantai Hanyang (Kelurahan Entrop), dan pantai Abe (Pasar Youtefa). Khusus untuk Kampung Enggros selain lewat laut, dapat dijangkau dengan transportasi darat (sepeda motor) melalui Kampung Holtekamp, dengan memanfaatkan lidah pasir yang membentuk Tanjung Kasuary. Untuk Kampung Holtekamp, bila menggunakan transportasi laut, dapat juga dilakukan lewat PPI Hamadi, pantai Hanyang (Kelurahan Entrop) dan pantai Abe (Pasar Youtefa). Sedang bila menggunakan transportasi darat, dapat memanfaatkan ruas jalan internasional Jayapura – PNG yang membutuhkan waktu ± 45 menit. 4.4
Ekosistem Pesisir Lokasi Penelitian Teluk Youtefa, merupakan teluk kecil yang berada dalam Teluk Yos
Sudarso dan diapit oleh Tanjung Pie di sebelah kiri dan Tanjung Caweri (Tanjung Kasuay) di sebelah kanannya. Kawasan ini didominasi oleh ekosistem mangrove Genus Rhizophora, Sonneratia, dan Ceriops tagal, serta ekosistem lamun jenis Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halodule pinfolia, H. ovalis, dan H. minor. Ekosistem terumbu karang dalam kawasan ini, umumnya telah rusak akibat sedimentasi dan aktivitas masyarakat dalam kawasan ini (UNIPA 2006; LKL Prov. Papua 2008). Kampung Holtekamp, didominasi juga oleh ekosistem mangrove dan terumbu karang (DKP, Prov. Papua 2008).
Merupakan pantai berpasir yang
landai. Pengaruh air tawar didapat dari Kali Buaya dan celah Gunung Kasu. 4.4.1 Fisiografi Pantai Berdasarkan hasil pengamatan Tim Peneliti dari Lembaga Konservasi Laut Provinsi Papua (LKL Prov.Papua), topografi Teluk Youtefa datar dengan persentase kelandaian ± 35%.
Kedua tanjung yang mengapit Teluk Youtefa
hanya dipisahkan oleh selat Tobati dengan lebar ± 300 meter. Selat Tobati ini sekaligus berfungsi sebagai pintu keluar masuk ke Teluk Youtefa dari arah laut. Lebar selat Tobati ini menyebabkan kawasan ini terlindung dari pengaruh ombak dan arus sehingga pergerakan air dan sedimen lebih banyak bersikulasi di dalam teluk. Karakteristik pantai berelief datar (0%-3%), tersusun oleh endapan aluvial marine hidromorf. Sedimentasi yang terjadi disebabkan oleh adanya erosi, aliran sungai Anafre, dan buangan Pasar Youtefa serta kawasan bisnis Entrop.
52
Kampung Holtekamp, juga memiliki topografi datar dengan persentase kelandaian 0% hingga 3%. Merupakan peraian terbuka yang menghadap langsung Samudera Pasifik dan hanya di lindungi oleh beberapa pulau karang di depannya. Saat ini masalah krusial Teluk Youtefa adalah meningkatnya konversi mangrove, erosi, serta kiriman sampah yang menumpuk disekitar atau dalam celah-celah akar mangrove. Sampah dan sedimentasi berasal dari aktivitas Pasar Youtefa, kawasan bisnis Entrop, dan pemukiman penduduk sekitar dan dalam teluk tersebut.
Untuk Kampung Holtekamp, masalah krusial saat ini adalah
meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas bom ikan.
Sedimentasi yang
terjadi di pesisir kawasan ini disebabkan oleh adanya erosi yang terbawa oleh arus dari Teluk Youtefa dan Kampung Skouw serta sedimen yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke pantai Holtekamp. 4.4.2 A.
Kondisi Dinamika Perairan Pasang Surut Pasang surut (pasut), merupakan proses naik turunnya muka laut secara periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali dalam sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda). Sedangkan pasut lainnya yang tidak berperilaku demikian disebut pasut campuran (Nontji 1986). Keadaan pasut Kota Jayapura mengacu pada hasil pengukuran pasut harian oleh Dishidros-AL yang dikompilasi dengan data pasut hasil survei Tim Peneliti LKL Prov. Papua (Tabel 17). Tabel 17 Konstanta pasang surut Kota Jayapura Tetapan Amplitudo (cm) 360º-g
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
25
5
5
-
21
13
7
168
127
213
-
156
184
124
Sumber : LKL Prov. Papua (2008)
Keterangan : M2 = principal lunar, S2 = principal solar, N2 = large lunar elliptic, K1 = luni solar diurnal, O1 = principal lunar diurnal, K2 = luni solar semi diurnal, dan P1 = principal solar diurnal.
53
Berdasarkan perhitungan nilai F (Formzahl), diperoleh nilai F sebesar 1.133, sehingga disimpulkan tipe pasut Kota Jayapura adalah tipe campuran yang condong ke harian ganda (mixed semi diurnal).
Artinya setiap hari
akan tejadi keadaan dua kali pasang dan dua kali surut. B.
Gelombang Rata-rata tinggi gelombang di pesisir Kota Jayapura berdasarkan pengamatan dan prediksi dari arah dan kecepatan angin oleh LKL Prov. Papua (2008), tidak lebih dari 1 meter.
Gelombang laut yang tinggi
biasanya dijumpai pada pesisir pantai Holtekamp sampai Kampung Skouw Sae. Hal ini disebabkan kawasan tersebut berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik sehingga jarak pembangkit gelombangnya (fetch length) juga besar. C.
Salinitas Berdasarka hasil pengamatan dari Tim Peneliti Lembaga Konservasi Laut Provinsi Papua, diketahui bahwa salinitas di Teluk Youtefa bervariasi antara 18 ‰ sampai 29 ‰. Sedang perairan Holtekamp bervariasi antara 27 ‰ sampai 35 ‰.
D.
pH Nilai pH tanah yang tinggi umumnya diperoleh di pinggir laut, sedangkan yang rendah yang jauh dari garis pantai umumnya lebih bersifat basa. Kisaran derajat keasaman (pH) tanah yang ditemukan di Kampung Enggros berkisar antara 5.85 hingga 6.07, di Kampung Tobati antara 6.35 hingga 6.59. pH tanahnya kedua kampung ini bersifat asam karena adanya proses pembusukan pada area mangrove yang lebih bersuasana asam. Di Kampung Nafri pH tanahnya berkisar antara 7.48 hingga 7.7, yang berarti bersifat basa (LKL Prov.Papua 2008).
46
Gambarr 7 Peta administrasi Kota Jayapura (BAPPED DA Kota Jayapuura) 54
55
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Keadaan Biofisik
5.1.1 Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan Stasiun I, terletak di pesisir Kampung Holtekamp, merupakan pantai yang terbuka dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Cenderung tandus, karena habitat mangrove dikawasan ini telah dikonversi menjadi lahan tambak dan jalan.
Topografi pantai landai dengan kemiringan antara 0% hingga 3%
dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 150 meter dan jarak perairan dengan daratan ± 10 meter. Masukan air tawar didapat dari Kali Buaya, namun karena pada saat sampling ada perbaikan jaringan irigasi Muaratami, maka debit air tawar untuk sementara dikurangi.
Fluktuasi salinitas di mulut muara kali
buaya sampai jarak ± 500 meter ke arah hilir mengikuti besar kecilnya debit air tawar dari jaringan irigasi Muaratami. Pada saat dilakukan pengukuran salinitas, kisaran salinitas pada jarak tersebut sama dengan kisaran di perairan depan mulut muara. Panjang alur sapuan untuk kepentingan penelitian ini adalah 179.953, diukur berdasarkan sebaran larva ikan bandeng. Panjang alur sapuan tersebut tidak berubah, selama seluruh waktu pengamatan. Selanjutnya topografi pantai stasiun I dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Topografi pantai stasiun I
56
Stasiun II, juga terletak di pesisir Kampung Holtekamp. Dibanding stasiun I, stasiun II lebih tertutup, terlindung oleh dua pulau karang di bagian depan dan Tanjung Kasu di sisi kanannya. Kondisi ini memungkinkan arus yang masuk ke stasiun ini terhalang cenderung melemah. Ini dapat dilihat dari air yang agak keruh dan subsrat dasar perairan yang bercampur lumpur. Lumpur ini selain masukan yang terbawa oleh aliran sungai kecil yang masuk ke perairan ini pada saat hujan atau pada saat pengurasan dan perbaikan beberapa tambak yang berada di lokasi ini, juga berasal dari buangan Kali Buaya.
Selain itu stasiun II juga
sangat dekat dengan gunung Skow yang masih terjaga dengan baik dan berada tepat di belakangnya, sehingga turut mendukung rendahnya suhu permukaan perairan dibanding stasiun I dan III. Dengan kondisi fisik stasiun II seperti ini, maka sangat mendukung sebagai nusery ground bagi beberapa larva ikan selain larva ikan bandeng. Pada saat dilakukan sampling, banyak ditemukan beberapa larva ikan, kepiting, dan cumi. Topografi pantai juga landai, dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 40 meter, dan jarak perairan dengan daratan ± 3 meter. Panjang alur sapuan untuk kepentingan penelitian ini adalah 187.245 meter, yang juga diukur berdasarkan sebaran larva dan ukuran panjang inipun tidak berubah sepanjang seluruh waktu pengamatan.
Selanjutnya topografi
stasiun II dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Topografi pantai stasiun II Stasiun III, merupakan stasiun pengamatan yang berada dalam Teluk Youtefa. Letaknya di samping kiri selat Tobati, jarak sapuan 96.578 meter. Jarak
57
sapuan ini diukur dari ujung spit (lidah pasir) pada mulut teluk ke arah Kampung Enggros, disesuaikan dengan penyebaran larva yang masuk bersamaan dengan arus pasang surut. Stasiun ini terlindung oleh tanaman kelapa, cemara pantai (Casuariana equisetifolia) dan mangrove. Subsrat dasar lebih dominan lumpur daripada pasir. Meskipun demikian, karena arus yang masuk cenderung lemah perairan relatif jernih meski agak berbau dan banyak endapan sampah plastik. Hasil pengukuran pH yang dilakukan oleh Tim LKL Provinsi Papua tahun 2008, menunjukkan nilai pH di sekitar stasiun III berkisar antara 5.56 hingga 6.20. Lebar pantai pada saat surut tidak lebih dari 2 meter, dan jarak perairan dengan daratan tidak lebih dari 1 meter. Selanjunya topografi pantai stasiun III dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Topografi pantai stasiun III Selama waktu pengamatan, sedang musim kemarau di Kota jayapura, yang telah berlangsung sejak bulan Maret 2009. Pengamatan dilakukan pada siang hari saat air mulai surut dan mulai pasang. 5.1.2 Parameter Suhu dan Salinitas A.
Suhu Permukaan Perairan Pengukuran suhu dilakukan setiap jam dimulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00 waktu setempat. Pengukuran pada minggu ke- 4 bulan Mei 2009, suhu permukaan perairan di stasiun I berkisar antara 29
C hingga 31
C, di stasiun II antara 27
C
58
hinggaa 30
C, daan stasiun III antara 29
C hingga 31
C. Paada minggu
ke- 1 dan mingguu ke- 4 bullan Juni 20 009, suhu peermukaan di d stasiun I berkisaar antara 30 0
C hinggaa 31
C, dan di stasiunn III antara 330
C, sttasiun II anttara 28 C hinggga 31
C hingga 30
C. R Rentan suhu yang tidak
ma pengamaatan ini mennandakan, suuhu perairann di ketiga terlaluu besar selam stasiun n tersebut daalam kondisii stabil. Sebbaran suhu di stasiun I daan III lebih tinggi dibanding stasiun s II, baaik pada bulaan Mei mauupun bulan Juuni. Lebih tingginnya suhu perrmukaan di stasiun I, disebabkan peenyinaran maatahari dan kondissi fisik dari lokasi pengamatan. Sed dang tingginnya suhu perrmukaan di stasiun n III, didugaa karena beraada dalam Teluk Youteffa (Kampung g Enggros), maka tingginya suhu pada saat pengaamatan selain karena penyinaran p kan juga oleeh adanya proses p dekom mposisi bahhan organik matahaari, disebabk yang berasal b dari daratan dann perkampuungan di dallam kawasaan tersebut. Kisaraan suhu perrmukaan di ketiga stasiiun pengam matan ini maasih sesuai untuk pertumbuhaan optimal llarva ikan bandeng (Leee et al. 1986; Villaluz and Unggai U 1983 in Watanabee 1986). Raata-rata sebarran suhu perrmukaan di ketiga stasiun selaama bulan Mei M dan Juni dapat d dilihatt pada Gambbar 11.
Sebaran Suhu (⁰C)
Bulan Mei
Bulan Juni
30 0,5 30 29 9,5 29 28 8,5 28 27 7,5 27 26 6,5 nI Stasiun
Stasiun II
Stasiun n III
Lokasi Pe engamatan
Gambarr 11 Sebaraan suhu perm mukaan di keetiga stasiun pengam matan pada bulan b Mei daan Juni B B.
Salinittas Pengu ukuran salinitas juga dilaakukan setiaap jam dimullai pukul 077.00 hingga pukul 14.00 waktuu setempat. P Pada minggu u ke- 4 bulaan Mei 2009, di stasiun I salin nitas berkisarr antara 28 ‰ hingga 299 ‰, stasiun II antara 27 7 ‰ hingga 29 ‰,, dan stasiuun III antara 28 ‰ hingg ga 30 ‰. Pada P mingguu ke- 1 dan mingggu ke- 4 bullan Juni 20009, kisaran salinitas s di stasiun I anntara 29 ‰
59
hinggaa 30 ‰, di stasiun s II anttara 27 ‰ hingga h 29 ‰ ‰, dan stasiunn III antara 29 ‰ hingga 300 ‰. Rentan salinitas yang tidak terlalu besaar ini juga menanndakan konddisi salinitass di ketiga stasiun s penggamatan stabbil. Larva ikan bandeng b padda umur 7 hiingga 14 haari dengan uukuran tubuh h antara 10 mm hiingga 20 mm m dapat menntoleril saliniitas 25 ‰ hiingga 35 ‰ (Watanabe 1986; Lin et al. 20003). K (19633); Nybakkken (1986), fluktuasi salinitas s di Dikataakan oleh Kinne perairaan pantai sanngat dipengaaruhi oleh masukan m air taawar (sungaii dan curah hujan)), pola sirku ulasi air laut,, dan pengu uapan. Padaa tampilan Gambar G 12, rata-raata sebaran salinitas s di sstasiun I dann III lebih tinnggi dibandding stasiun II, baik k pada bulann Mei maupuun bulan Junni. Hal ini, selain disebabkan oleh penguaapan akibat penyinarann matahari, stasiun s III jjuga tidak dipengaruhi d oleh suuplai air taw war. Pada sstasiun I, meeski berada di depan mu ulut muara sungaii Kali Buayaa akan tetapi karena padaa waktu penggamatan adaalah musim kemarrau dan seddang dilakuukan perbaiikan jaringaan irigasi bendungan Muaraatami, maka debit air sunngai dikuranngi. Di stasiiun II, sebaraan salinitas lebih rendah r karenna selain koondisi fisik stasiun, s debiit air tawar dari d sungai kecil di d dekat lokaasi tersebutpuun cukup staabil. Bulan Mei
Bulan Juni
Sebaran Salinitas (‰)
29 9,5 29
28 8,5 28
27 7,5 27 un I Stasiu
Stasiun n II Stasiun n III Lokasi Pe engamatan
Gaambar 12 Seebaran saliniitas di ketigaa stasiun penngamatan paada bulan M dan Juni Mei 5 5.1.3 Arah Arus serta Arah dan K Kecepatan Angin A Dikataan oleh Nonttji (1986), anngin sangat menentukann terjadinya gelombang g d arus perrmukaan. Pola angin yaang sangat berperan dan b di Indonesia I addalah angin m musim (mussoon). Pada bulan Marett hingga Mei, dikenal seebagai musim m peralihan a pancarooba awal tahhun. Arah anngin berubahh-ubah walauupun masih didominasi atau d
60
dari arah Timur Laut dan kekuatannyapun sudah melemah sehingga lautpun cenderung tenang. Bulan Juni hingga bulan Agustus merupakan musim timur. Anginpun umumnya bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan 3 hingga 6 m/detik (Dishidros 2000). Informasi arah arus serta arah dan kecepatan angin dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Provinsi Papua, Kantor Cabang Kota Jayapura, dapat dilhat pada Tabel 18. Tabel 18 Data arus serta arah dan kecepatan angin selama waktu pengamatan Wanktu pengamatan Minggu ke-4, Mei, 2009 24-Mei-09 25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 28-Mei-09 29-Mei-09 30-Mei-09 Minggu ke-1, Juni, 2009 01-Jun-09 02-Jun-09 03-Jun-09 04-Jun-09 05-Jun-09 Minggu ke-4, Juni, 2009 25-Jun-09 26-Jun-09 27-Jun-09 29-Jun-09 30-Jun-09 Minggu ke-1, Juli, 2009 01-Jul-09 03-Jul-09 04-Jul-09 05-Jul-09 06-Jul-09 07-Jul-09
Arah arus
Arah angin
Rata-rata kecepatan angin (m/detik)
Timur Laut Timur Laut Utara Utara Barat Laut Barat Laut Utara
Timur Timur Timur Laut Timur Laut Utara Utara Timur Laut
5.3 6.2 8.4 7.8 6.0 7.1 6.7
Utara Timur Laut Utara Barat Laut Utara
Timur laut Timur Timur Laut Timur Laut Timur Laut
5.2 8.4 6.9 8.9 6.0
Utara Barat Laut Utara Timur Laut Timur Laut
Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur
4.4 4.4 4.8 5.6 5.4
Timur Laut Barat Laut Barat Utara Utara Timur Laut
Timur Utara Barat Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut
3.0 5.8 3.9 4.5 5.9 4.8
Sumber : BMG Prov.Papua, Ktr. Cab.Jpr., (2009)
5.1.4 Fitoplankton Pengambilan contoh air untuk analisis kelimpahan fitoplankton di stasiun I dan III dilakukan 2 (dua) kali, yaitu tanggal 25 Mei dan 25 Juni 2009. Di stasiun II pengambilan dilakukan 4 (empat) kali, yaitu tanggal 25 dan 27 Mei serta tanggal 25 dan 29 Juni 2009. Perlakuan di stasiun II yang berbeda dari stasiun I dan III ini disebabkan, pada tanggal 27 Mei dan 29 Juni 2009 jumlah tangkapan
61
larva ikan bandeng lebih banyak dari hari sebelumnya. Tujuan dari perlakuan tersebut hanya dimaksudkan untuk melihat adakah perbedaan kelimpahan jenis dan jumlah fitoplankton dari tanggal pengamatan sebelumnya. Kennish
(1990)
menyatakan
bahwa,
fitoplankton
dari
kelas
Bacillariophyceae (diatom), Dinophyceae (dinoflagellata) Prymnesiophyceae (cocolithopor), Chrysophyceae (silicoflagellata). dan Cyanophyceae (blue-green algae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, kelimpahan fitoplankton di ketiga stasin pengamatan terdiri atas kelas Bacillariophyceae. Sedang pada pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009, jenis fitoplanton terdiri atas kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Jenis dan kelimpahan fitoplankton di masing-masing stasiun pada setiap waktu pengamatan cukup fluktuatif.
Menurut Davis (1955), dalam suatu
penelitian sering dijumpai perbedaan jenis maupun jumlah fitoplankton pada daerah yang berdekatan meskipun berasal dari massa air yang sama. Hal ini dipengaruhi angin, proses up welling, unsur hara, serta aktivitas pemangsaan. Pada pengamatan tanggal 25 Mei, kelimpahan di stasiun II (IIa) lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Dari sisi keanekaragaman jenis, kestabilan komunitas di ketiga stasiun tersebut rendah. Penyebaran individu antara jenis di ketiga stasiun tidak merata karena didominasi oleh jenis tertentu. Menurut Arinardi et al. (1995), suatu jenis plankton dikatakan pendominan ababila memiliki komposisi jenis ≥ 10% dari total komposisi jenis yang ditemukan pada masingmasing stasiun pengamatan. Di stasiun I dan III didominasi oleh Chaetoceros sp., sedang di stasiun IIa oleh Chaetoceros sp. dan Bacteriastrum sp.. Pada pengamatan tanggal 27 Mei yang hanya dilakukan di stasiun II (IIb), nilai kelimpahan lebih tinggi dari tanggal 25 Mei, tetapi keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya rendah dengan sebaran individu yang tidak merata dan lebih didominasi oleh jenis Chaetoceros sp. (Tabel 19, Gambar 13, Lampiran 3). Pada pengamatan tanggal 25 Juni, kelimpahan fitoplankton di stasiun III
lebih
tinggi dari pada stasiun I dan II (IIa). Dari sisi keanekaragaman jenis kestabilan komunitas di ketiga stasiun tersebut rendah. Penyebaran individu antara jenis di stasiun I dan IIa cukup merata, dimana komunitas fitoplankton di kedua stasiun
62
tersebut cukup beragam. Meskipun demikian, dari nilai indeks dominasi yang dihasilkan terlihat bahwa komunitas fitoplankton di stasiun I lebih di dominasi oleh Trichodesmium sp., Chaetoceros sp. dan Nodularia sp.. Di stasiun III, penyebaran invidu antar jenis tidak merata dan komunitas fitoplankton di stasiun tersebut lebih didominasi oleh Trichodesmium sp. dan Chaetoceros sp.. Pada pengamatan tanggal 29 Juni yang hanya dilakukan di stasiun II (IIb), nilai kelimpahannya lebih tinggi dari tanggal 25 Juni. Keanekaragaman dan kestabilan komunitas juga rendah dengan sebaran individu yang cukup merata, tetapi lebih didominasi oleh jenis Chaetoceros sp. dan Trichodesmium sp.. (Tabel 19, Gambar 14,
dan
Lampiran
4).
Selanjutnya,
jenis
fitoplankton,
kelimpahan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi jenis di ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan Jenis Fitoplankton Bacillariaophyceae Rhizosolenia sp. Nitzschia sp. Triceratium sp. Chaetoceros sp. Pleurosigma sp. Coscinodiscus sp. Diploneis sp. Hemiaulus sp. Streptotheca sp. Guinardia sp. Biddulphia sp. Novicula sp. Camphylodiscus sp. Climacodium sp. Leptocylindus sp. Bacteriastrum sp. Lauderia sp. Melosira sp. Thalassiothrix sp. Eucampia sp. Cyanophcea Trichodesmium sp. Nodularia sp. Dinophyceae Ceratium sp. Peridinium sp. Taxa Kelimpahan ( H' ) (E) (C)
25 Mei IIa
I 2835 945 0 133245 0 945 0 0 0 0 0 945 0 0 0 13230 0 0 3780 3780
III
3780 0 5670 0 0 0 162540 4725 1890 0 945 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 26460 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0
0 0
0 0 8 159705 0,70 0,34 0,70
0 0 6 201285 0,68 0,38 0,67
0 0
27 Mei IIb
I
25 Juni IIa
III
29 Juni IIb
5670 0 0 12077100 6615 2835 0 0 0 0 1890 0 0 0 0 58590 0 0 0 3780
7560 945 0 24570 0 3780 0 0 0 0 945 0 0 4725 3780 1890 0 0 0 0
4795 4795 0 85995 3780 29295 0 0 0 0 0 945 945 0 0 0 0 0 0 0
4725 4725 2835 17955 945 945 945 1890 0 2835 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18900 0 4725 316575 9450 23625 0 0 33075 0 28350 18900 0 0 9450 47250 42525 18900 0 0
0 0
85050 18900
28350 0
138915 0
141750 0
0 0 0 0 1 7 4725 12156480 0,00 0,05 0,00 0,02 1 0,99
2835 8505 12 163485 1,63 0,66 0,31
1890 8505 10 169295 1,49 0,65 0,32
945 0 11 177660 0,91 0,38 0,62
0 9450 14 722925 1.89 0.72 0.25
63
K Komposisi s setiap jenis fitoplankton f dalam perseen untuk hassil pengamattan tanggal 2 dan 27 Mei 25 M 2009, dappat dilihat paada Gambar 13. 0.59 2.37 2.37 8.23
0.59
Komposisi Je enis (%) Chaetoceros ssp 1.78 Bacteriastrum m sp 0.59 Thalassiothrixx sp Eucampia sp Nitzschia Sp Novicula sp Rhizosolenia sp s 83.43 Coscinodiscuss sp
88 1.8
Komposiisi Jenis (%)
0.47 7 0.97
2.82 13.15
Chaetocero…
Bacteriastrum sp Nittzschia Sp
80.75 St. IIa
St. I
Kom mposisi Jenis (% %)
Ch haetoceros sp
Komposisi J Jenis (%) Chae etoceros sp Bactteriastrum sp Euca ampia sp
0.05 0.02 0.05 0.03 0.48 0.02 2
100 99.35 St. III
St. IIb
Rhizzosolenia sp Cosc cinodiscus sp
G Gambar 13 Komposisi jenis fitoplaankton (%) di d ketiga staasiun pengam matan pada tanggal 25 dan 27 Mei 2009 nasi klas Bacillariophyyceae dalam m komposisi jenis fitopplankton di Domin k ketiga stasiuun pengamattan berkaitann dengan keetersediaan uunsur hara. Dikatakan o oleh Levinto on (1982) inn Madubun (2008), jeniis fitoplanktoon dari klass ini sangat m mendominas si perairan pesisir kareena kawasann ini sangaat kaya akann nutrient. T Terutama kawasan k pessisir yang m mendapatkan n suplai airr tawar atau u memiliki e ekosistem m mangrove. Garno G (20022) menyatak kan bahwa, bila jenis fiitoplankton b beragam daan kepadatann yang tingggi zooplan nkton akan melakukan pemilihan m makanan (selective feeding). fe D Ditemukannya jenis C Chaetoceros sp. Dan B Bacteriastru um sp. sebaggai jenis penndominan, karena k keduaa jenis fitoplankton ini m merupakan jenis j yang mampu m memaanfaatkan nuutrient secarra optimal seerta mampu b beradaptasi terhadap koondisi fisik kkimia perairran yang ada. Disampiing itu bila d dilihat dari selektivitass makan zoooplankton, jenis ini kkurang disukkai karena m memiliki seetae pada keempat k suddut tubuhnyya (Goldmaan and Horrne 1983). K Komposisi dari d setiap jeenis fitoplankkton hasil peengamatan ppada tanggall 25 dan 29 J Juni 2009, dapat d dilihat pada Gambaar 14.
64
2.31
5.20
Kom mposisi Jenis (% %)
4.62 0.58
11.56
2.31 0.5 58
15.03
2.8 89 2.31 52.20
6 1.16 St. I
Ko omposisi Jenis (%) 10.21 2.27
5.7 75
5.75 0.03 4.54
34.02 35.16 6
1.13
Bacillarriaophyceae Rhizoso olenia sp Nitzschiia Sp Chaetocceros sp Pleurosiigma sp Coscino odiscus sp Novicula a sp Camphyylodiscus sp Cyanop phycea Trichode esmium sp Dinophy yceae Ceratium m sp Peridiniu um sp
ariaophyce Komposisi Je enis (%) Bacilla ae 0.53 Rhizossolenia sp 0.53
2.66 1.60
2.66
0.53
St. IIa
1.13
Bacillariaophyceae Rhizosole enia sp Nitzschia a Sp Chaetoce eros sp Coscinod discus sp Biddulphia sp Climacod dium sp Leptocyliindus sp Bacteriasstrum sp Cyanoph hycea Trichodesmium sp Nodularia a sp Dinophy yceae Ceratium m sp Peridinium sp
0.53
10,11
1.06 78.19
1.60
Nitzsch hia Sp Tricera atium sp Chaeto oceros sp Pleuro osigma sp
St. III
Kompos sisi Jenis (%) 1.3 31
2.61
5 0.65
Chae etoceros sp Pleu urosigma sp
43.79
5.88 8
Baciillariaophyce ae Rhizzosolenia sp Trice eratium sp
19.61 1
2.61
Coscin nodiscus sp
6.54
Cosccinodiscus sp Strep ptotheca sp
1.3 31 2.61
3.92
4.5 58 3.27
Bidd dulphia sp 1.31
St. IIb b
Noviicula sp
Gambar 14 Komposisi jenis (%) fittoplankton di G d ketiga staasiun pengam matan pada tanggal 25 dan 29 Juni 2009
65
5.1.5 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng. Waktu kemunculan larva untuk periode I tahun 2009, telah bergeser dari bulan April ke Bulan Mei. Kondisi ini diduga disebabkan perubahan iklim dan musim kemarau yang lebih cepat.
Musim kemarau di Kota Jayapura yang
biasanya berlangsung pada bulan Mei, pada tahun 2009 ini terjadi lebih awal yaitu pada bulan Maret. Dikatakan oleh Lawalata (1977) in Budiono et al. (1984), bila terjadi kenaikan atau penurunan suhu dari biasanya, maka akan berdampak pada diperlambat atau dipercepatnya waktu pemijahan. A.
Jumlah dan Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Hari sampling larva ikan bandeng pada minggu ke- 4 bulan Mei sebanyak 7 hari (tanggal 24 – 30 Mei). Rata-rata jumlah tangkapan per hari di stasiun I sebanyak 420 ekor, stasiun II sebanyak 1 011 ekor, dan stasiun III sebanyak 372 ekor.
Hari sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni sebanyak 5 hari
(tanggal 1 – 5 Juni).
Rata-rata jumlah tangkapan per hari di stasiun I
sebanyak 452 ekor, stasiun II sebanyak 969 ekor, dan stasiun III sebanyak 364 ekor. Hari sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni sebanyak 5 hari (tanggal 25 - 30 Juni). Di stasiun I tidak ditemukan adanya larva, stasiun II rata-rata tangkapan sebanyak 922 ekor, dan stasiun III sebanyak 199 ekor. Hari sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli sebanyak 6 hari (tanggal 1 - 7 Juli).
Di stasiun I juga tidak ditemukan adanya larva, stasiun II rata-rata
tangkapan sebanyak 662 ekor, dan stasiun III sebanyak 242 ekor. Tidak ditemukannya larva ikan bandeng di stasiun I pada minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke- 1 bulan Juli, karena kedua minggu pengamatan ini berada pada satu siklus pasang surut yang sama dan kedua minggu ini telah berada pada pertengahan musim timur dimana kecepatan angin pun cenderung lebih lemah dari dua minggu pengamatan sebelumnya. Dengan kondisi kecepatan angin seperti pada Tabel 18, maka arus yang datang terhalang Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III untuk selanjutnya dibelokkan masuk ke dua stasiun tersebut. Hal ini didasarkan pada kondisi perairan stasiun I yang sangat jernih dan tenang menandakan tidak adanya mixing dibanding stasiun II yang sedikit keruh. Kondisi fisik stasiun pengamatan, arah pergerakan arus dan angin, serta ukuran panjang
66
tubuh larva terkait umur larva menyebabkan pada seluruh waktu pengamatan, jumlah tangkapan, kelimpahan individu dan biomassa larva ikan bandeng di stasiun II lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Selanjutnya data jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan Stasiun
Ttl. Tkpn (ekor)
Tangkapan (ekor/hari)
Kelimpahan (ekr/m2/hari)
I II III
Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Mei 2009 2 520 193 - 651 2 - 4 7 078 477 - 1 513 3 - 10 2 603 300 - 441 4 - 5
I II III
Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni 2009 2 260 200 - 524 1 - 3 4 847 750 - 1 516 5 - 10 1 821 262 - 440 3 - 5
II III
Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni 2009 4 611 593 - 1 242 4 997 172 219 2 -
II III
Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli 2009 3 969 415 - 1 125 3 - 7 1 452 163 304 2 - 4
8 3
Pada Tabel 20, terlihat bahwa meski jumlah tangkapan di stasiun I lebih tinggi dari stasiun III, namun dari sisi kelimpahan individu lebih rendah. Hal ini disebabkan jarak sapuan stasiun III lebih pendek sehingga luas alur sapuannyapun lebih sempit. Bila data hasil tangkapan dihubungkan dengan informasi responden tentang hasil tangkapan per orang per hari pada setiap musim kelimpahan antara tahun 1993 hingga tahun 2004 (perumusan masalah), maka hasil tangkapan telah sangat berkurang.
Jumlah tangkapan per orang per hari dalam
penelitian ini berkisar antara 32 hingga 99 ekor, dengan kelimpahan individu bervariasi antara 1 hingga 10 ekor/m2/hari (Lampiran 5,6, dan 7). Dikatakan oleh Lin (1985) in Lee et al. (1986), pada kondisi perairan yang stabil, kelimpahan larva ini di alam berkisar antara 20 hingga 42
67
ekor/m2/hari. Menurut Tzeng and Yu (1992), kelimpahan larva ikan bandeng di alam sangat bergantung pada rektuitmen alami.
Jumlah
rekruitmen alami ikan menurut ICES (2008), sangat ditentukan oleh jumlah stok pemijah (spawning stoch biomass/SSB) yang memadai. Berkurangnya stok pemijah disebabkan oleh penurunan kualitas habitat asuhan yang berdampak pada meningkatnya kematian alami pada tingkat larva dan juvenil, akitivitas pemanfaatan yang berlebihan, serta penurunan kualitas habitat pemijahan. Dengan adanya konversi mangrove yang berlebihan di kawasan
Teluk
Youtefa
dan
pesisir
Kampung
Holtekamp
serta
meningkatnya sedimentasi di Teluk Youtefa berdampak pada penurunan fungsi ekologis kedua kawasan ini terutama Teluk Youtefa.
Ketika
dilakukan sampling di stasiun III, jumlah larva yang mati alami ± 60% dari jumlah yang tertangkap.
Tingginya kematian alami larva
ini diduga
disebabkan larva yang telah kehilangan banyak energi untuk bergerak dan tetap bertahan terhadap arus, ketika memasuki stasiun III dalam kondisi tubuh kekurangan energi tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi air yang terlalu dratis. Pemboman ikan, marak dilakukan di perairan sekitar Kampung Holtekamp, termasuk ekosistem terumbu karang di sekitar kawasan tersebut. Aktivitas ini selain merusak habitat pemijahan, berdampak pula pada terganggunya aktivitas pemijahan dan kematian larva ikan. Diinformasi oleh petambak di Kampung Holtekamp, hasil tangkapan larva ini sangat melimpah antara tahun 1993 hingga 2002 sehingga tidak mampu ditampung oleh mereka. Kelebihan benih alam ini kemudian dikirim ke Makasar untuk memenuhi kebutuhan petambak di sana. Dikatakan oleh ICES (2008), untuk mempertahankan suatu stok pada tingkat yang produktif diperlukan jumlah stok pemijah dalam jumlah yang cukup dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Ketidak pedulian terhadap hal ini akan mengakibatkan berkurangnya stok suatu sumberdaya sehingga menjurus ke penurunan hasil tangkapan dan berdampak pula pada penurunan keuntungan ekonomi yang optimal. Selanjutnya dinamika jumlah dan kelimpahan
68
individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan pada seluruh tanggal pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 15, 16 dan 17.
2000 14
K e lim p a h a n J u m la h n e n e r
10 8
1000
6 4
500
Jumlah nener (individu)
1500
2
Kelimpahan (ind/m )
12
2 0
24
M 25 ei M 26 ei M 27 ei M 28 ei M 29 ei M 30 ei M 31 ei M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju ni 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un Ju i 30 n Ju i n i 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
0
T a n g g a l S a m p lin g
Gambar 15 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun I
K e lim p a h a n J u m la h n e n e r
14
2000
10 8
1000
6 4
500
Jumlah nener (individu)
1500
2
Kelimpahan (ind/m )
12
2 0
24
M 25 e i M 26 e i M 27 ei M 28 e i M 29 e i M 30 e i M 31 e i M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju ni 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un J i 30 un Ju i ni 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
0
T a n g g a l S a m p lin g
Gambar 16 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun II K e lim p a h a n J u m la h n e n e r
14
2000
10 8
1000
6 4
500
Jumlah nener (individu)
1500
2
Kelimpahan (ind/m )
12
2 0
24
M 25 e i M 26 e i M 27 e i M 28 e i M 29 e i M 30 e i M 31 e i M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju ni 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un J i 30 un Ju i n i 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
0
T a n g g a l S a m p li n g
Gambar 17 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun III
69
Gambar 15, 16, dan 17, menunjukkan pola distribusi larva pada minggu ke4 bulan Mei ( tanggal 24-30) hingga minggu ke- 1 bulan Juni 2009 (tanggal 1-5) dan minggu ke- 4 bulan Juni (tanggal 24-30) hingga minggu ke- 1 bulan Juli 2009 (tanggal 1-7) cenderung sama. Hal ini disebabkan minggu ke- 4 bulan Mei dan minggu ke- 1 bulan Juni berada pada siklus pasang surut dan musim yang sama, sehingga pola pergerakan arus dan arah serta kecepatan angin nya pun cenderung sama (Tabel 18).
Demikian juga
dengan minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke- 1 bulan Juli. Pada Gambar 15 terlihat juga bahwa, di stasiun I tidak ada data untuk tanggal 28 Mei 2009. Hal ini disebabkan pada tanggal tersebut terjadi banjir dari Kali Buaya akibat buangan jaringan irigasi Muaratami. Salinitas yang terukur pada saat itu adalah 23‰ dan suhu yang terukur adalah 25 kondisi air sangat keruh.
C,
Dikatakan oleh Lee et al. (1986), sebagai
iktioplankton, larva ikan bandeng akan menghindari arus yang kuat dan air berlumpur. Bila ketiga gambar tersebut diperbandingkan, tampak juga bahwa waktu kelimpahan maksimum dan minimum (tanggal) antara stasiun II dan III menunjukkan pola yang sama, meski berbeda dalam jumlah tangkapan. Hal ini juga terkait pola pergerakan arus serta arah dan kecepatan angin, kondisi fisik stasiun pengamatan, serta ditunjang pula oleh tingginya kematian alami larva tersebut di stasiun III. Berpengaruhnya faktor arus dan angin terhadap distribusi larva ini selain didasarkan pada informasi data arus dan angin (Tabel 18), didasarkan juga pada kisaran rata-rata ukuran panjang tubuh larva di ketiga stasiun tersebut (Lampiran 5,6, dan 7). Menurut Lee et al. (1986) dan Nontji (1986), pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, larva ikan bandeng berada dalam fase akhir larva dan masih bersifat planktonis sehingga pergerakan lebih banyak ditentukan arus. B.
Panjang Tubuh, Biomassa, dan Faktor Kondisi Larva Ikan Bandeng Hasil pengukuran panjang tubuh larva ikan bandeng per hari tangkap selama seluruh waktu pengamatan menunjukkan, pangang tubuh larva di stasiun III lebih tinggi dari stasiun I dan II. Umumnya larva yang ditemukan, ukuran tubuhnya berkisar antara 12 mm hingga 15 mm. Untuk berat tubuh larva,
70
stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Ukuran berat tubuh larva per ekor berkisar antara 0.001 hingga 0.0013. Hasil analisis hubungan panjang berat larva yang dilakukan sebagai masukan untuk analisis faktor kondisi, menunjukkan nilai koefisien pertumbuhan (koefisien b) sebesar 2.5155. Karena koefisien b ≠ 3, maka disimpulkan pola pertumbuhan larva ini adalah allometrik, dimana pertambahan panjang tubuh lebih cepat daripada pertambahan berat tubuh. Pada pertumbuhan allometrik, faktor kondisi ikan lebih banyak dipengaruhi oleh pertambahan panjang tubuh ikan (Effendi 1997).
Kisaran ukuran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor
kondisi larva ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Kisaran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan Stasiun
Rata-rata panjang tubuh (mm/ekr)
Rata-rata berat tubuh (gr/ekor)
Biomassa larva (gr/m2/ekor)
Faktor kondisi
Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Mei I II III
12.3 - 13.0 12.7 - 13.4 13.1 - 14.8
0.002 - 0.004 0.002 - 0.005 0.002 - 0.004
0.003 - 0.017 0.006 - 0.048 0.007 - 0.011
0.6014 - 1.1547 0.5549 - 1.2848 0.5137 - 1.0634
Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni I II III
13.0 - 13.6 13.4 - 14.3 13.4 - 14.7
0.002 - 0.004 0.003 - 0.005 0.002 - 0.005
0.004 - 0.014 0.023 - 0.050 0.010 - 0.027
0.4940 - 0.9623 0.7272 - 1.2280 0.7272 - 1.0292
Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni II III
13.2 - 13.8 13.5 - 14.1
0.005 - 0.006 0.003 - 0.004
0.023 - 0.047 0.006 - 0.011
1.2427 - 1.4233 0.6398 - 0.9580
Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli II III
13.4 - 14.3 14.1 - 14.8
0.004 - 0.006 0.003 - 0.005
0.011 - 0.043 0.007 - 0.019
0.8843 - 1.2571 0.6285 - 0.6398
Menurut Lee et al. (1986), pertambahan panjang tubuh larva ikan bandeng dipengaruhi oleh umur dan keadaan biofisik lingkungan tempat hidup (suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan). Keadaan biofisik lingkungan juga sangat berperan dalam peningkatan biomassa dan faktor kondisi. Untuk melihat apakah faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan berkorelasi dengan ukuran panjang tubuhnya, maka dilakukan tabulasi data panjang rata-rata tubuh larva ikan bandeng dengan biomassa dan faktor kondisinya seperti pada Gambar 18, 19 dan 20.
15
1 ,5
0 ,0 3
10
1 ,0
5
0 ,5
0 ,0 1
0
0 ,0
0 ,0 0
Faktor kondisi
0 ,0 4
0 ,0 2
24
M 25 ei M 26 ei M 27 ei M 28 ei M 29 ei M 30 ei M 31 ei M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju ni 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un J i 30 un Ju i ni 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
Panjang rata-rata (mm)
2 ,0
2
P a n ja n g r a t a - r a t a F a k to r k o n d is i B io m a s s a
20
Biomassa (gram / m )
71
T a n g g a l S a m p lin g
Gambar 18 Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun I P a n ja n g r a t a - r a t a F a k t o r k o n d is i B io m a s s a
20
0 ,1 0
2 ,0
1 ,0
5
2
10
Biomassa (gram / m )
1 ,5
Faktor kondisi
Panjang rata-rata (mm)
0 ,0 8 15
0 ,0 6
0 ,0 4
0 ,5 0 ,0 2
0 ,0
0 ,0 0
24
M 25 ei M 26 ei M 27 ei M 28 ei M 29 ei M 30 ei M 31 ei M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju ni 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un J i 30 un Ju i n i 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
0
T a n g g a l S a m p lin g
Gambar 19 Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun II P a n ja n g r a t a - r a t a F a k to r k o n d is i B io m a s s a
20
0 ,1 0
2 ,0
1 ,0
5
2
10
Biomassa (gram / m )
1 ,5
Faktor kondisi
Panjang rata-rata (mm)
0 ,0 8 15
0 ,0 6
0 ,0 4
0 ,5 0 ,0 2
0 ,0
0 ,0 0
24
M 25 ei M 26 ei M 27 ei M 28 ei M 29 ei M 30 ei M 31 ei M 1 ei Ju 2 ni Ju 3 ni Ju 4 ni Ju 5 ni Ju n i 25 Ju 26 n J i 27 un J i 29 un Ju i 30 n Ju i ni 1 Ju 3 li Ju 4 li Ju 5 li Ju 6 li Ju 7 li Ju li
0
T a n g g a l S a m p lin g
Gambar 20 Dinamika panjang rata-rata, bimassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun III
72
Pada Gambar 18, 19, dan 20, terlihat bahwa faktor kondisi larva tidak selalu mengikuti ukuran panjang tubuhnya. Pada ketiga gambar tersebut, terlihat juga bahwa meski ukuran rata-rata panjang tubuh larva di ketiga stasiun relatif sama, namun berbeda dalam nilai faktor kondisi. Larva ikan bandeng di stasiun III memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang dari larva di stasiun I dan II, tetapi nilai faktor kondisinya cenderung lebih kecil.
Hal ini
disebabkan 2 (dua) hal. Pertama, jarak yang ditempuh untuk sampai ke stasiun III lebih jauh disamping arus di sekitar selat Tobati juga cukup kuat, sehingga sebagian energi terkuras untuk bergerak serta untuk tetap bertahan terhadap kekuatan arus. Kedua, karena larva tersebut langsung ditangkap sebelum melakukan aktivitas makan.
Untuk stasiun I dan II, juga
disebabkan 2 (dua) hal. Pertama, karena belum sempat melakukan aktivitas makan ketika ditangkap.
Kedua, larva tersebut telah mengeluarkan isi
saluran
ketika
pencernaannya
ditangkap
akibat
stres
sehingga
mempengaruhi biomassa dan nilai faktor kondisi. Bila nilai biomassa dan berat tubuh larva pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei serta 25 dan 29 Juni pada ketiga gambar dihubungkan dengan kelimpahan fitoplankton (Tabel 19 serta Gambar 13 dan 14), maka dapat dikatakan bahwa stasiun II lebih produktif dibanding stasiun I dan III. Biomassa dan berat tubuh larva ikan bandeng di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Kondisi ini juga terkait dengan karakteristik fisik stasiun II, arah arus, serta arah dan kecepatan angin. Menurut Santiago et al. (1983), peningkatan biomassa larva ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan, dimana tinggi rendahnya kelangsungan hidup atau laju pertumbuhan bergantung pada kelayakan habitat serta keserasian sediaan makanan alami. Ditambahkan oleh Wahbah et al. (2001) bahwa, aliran arus yang terhalang dapat menimbulkan pola arus yang berlawanan dan menjadi perangkap bagi keberadaan makan ikan di laut. 5.1.6 Jenis Makanan Utama Luckstadt and Reiti (2002), menemukan fitoplankton yang mendominasi isi perut juvenil milkfish yang diambil dari perairan lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati terdiri atas jenis algae hijau yaitu,
Chlorophycea dan Cyanophyta.
73
Kedua jenis fitoplankton ini mencapai 60% dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sedangkan Diatome, Copepoda, Phylopod dan Nupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka. Tampi (1957) in Supriharyono (1987), menemukan Chroococus sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dalam saluran pencernaan larva ikan bandeng dari perairan payau di Philipina. Supriharyono (1987), menemukan fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan laut Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah terdiri atas, Nitzschia sp., Pleurosigma sp., Diploneis sp., Ceratium sp. dan Peridinium sp.. Anggoro (1984), menemukan jenis makan alami dalam saluran pencernaan larva ini yang sama dengan jenis yang ada di perairan Sluke, terdiri atas; (1) Navicula sp., Nitzschia sp., Rhizosolenia sp. dan Pleurosigma sp. dari kelompok alga kersik dan (2) Chroococcus sp., Lyngbya sp., Oscillatoria sp., Phormidium sp. dan Spirulina sp. dari kelompok alga biru. Tang and Hwang (1972) in Anggoro (1984) menyatakan bahwa, sitoplasma alga kersik lebih mudah diserap oleh usus larva ikan bandeng dibanding alga biru. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Poernomo (1979) dan Sachlan (1980), bahwa alga kersik walaupun berdinding keras tetapi sitoplasmanya lebih mudah diserap usus larva ikan dibanding alga biru.
Anggoro (1984), menemukan
kelompok alga kersik mendominasi 40% isi saluran pencernaan dan kelompok alga biru mendominasi 60% saluran pencernaan larva ikan bandeng. Ini berarti bahwa, larva tersebut tidak selektif dalam memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian dari jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan merupakan makan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp. Jenis tersebut antara lain; (1) Nitzschia sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dari klas Bacillariophyceae serta (2) Ceratium sp. dan Peridinium sp.. dari klas Dinophyceae.
Namun demikian, bisa saja jenis
fitoplanton lain yang ditemukan di kedua kawasan perairan ini dimanfaatkan juga oleh larva tersebut mengingat pola makannya yang tidak selektif dalam pemilihan makanan.
74
Tang and Hwang (1972) in Anggoro (1984) menyatakan bahwa, sitoplasma dari alga kersik selain lebih mudah diserap usus larva ikan bandeng, jenis alga ini ternyata memiliki rasio nutrisi sebesar 1 : 1.54, dan skor peran bagi pertumbuhan sebesar 4. Rasio nutrisi dan skor peran terhadap pertumbuhan ini lebih tinggi dari jenis alga biru.
Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa, ada
korelasi antara jumlah kelimpahan jenis fitoplankton ini dengan biomassa dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan. Bila diperhatikan hasil sampling plankton pada tanggal 25 dan 27 bulan Mei serta tanggal 25 dan 29 Juni di stasiun II, kelimpahan jenis Nitzschia sp., Diploneis sp., Pleurosigma sp., Ceratium sp., dan Peridinium sp. cukup tinggi demikian juga dengan biomassa dan faktor kondisi larva pada tanggal pengamatan tersebut (Gambar 18, 19, dan 20). Empat dari lima jenis fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, dapat dilihat pada Gambar 21.
Nitzschia sp.
Pleurosigma sp.
Ceratium sp.
Diploneis sp.
Gambar 21 Empat dari lima jenis makananan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp (Sumber : http://www.bing.com). 5.1.7 Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Menurut Lee et al. (1986), suhu, salinitas, dan densitas fitoplankton merupakan sebagian dari faktor yang menentukan sintasan larva ikan bandeng. Ditambahkan oleh Nybakken (1992) dan Basmi (1999), distribusi fitoplankton berkaitan erat dengan suhu dan salinitas perairan.
Santiago et al. (1983)
menyatakan bahwa, ketersediaan fitoplankton sangat menentukan peningkatan biomassa larva ikan dan peningkatan ini bergantung pada kelayakan habitat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dilakukan
Analisis Komponen Utama
(AKU) untuk melihat hubungan antara biomassa, faktor kondisi, dan kelimpahan
75
fitoplankton serta keterkaitan ketiganya dengan parameter suhu dan salinitas di ketiga stasiun pengamatan. Keseluruhan nilai yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah nilai yang terukur pada tanggal 25 dan tanggal 27 Mei serta tanggal 25 dan tanggal 29 Juni 2009. Nilai parameter suhu dan salinitas merupakan nilai rata-rata, nilai kelimpahan fitoplankton adalah nilai total kelimpahan (ind/m3), nilai kelimpahan larva ikan bandeng adalah kelimpahan dalam biomassa (gr/m2) dan faktor kondisi larva. Berdasarkan output Komponen Utama dari nilai-nilai yang diperhitungkan pada variable yang terukur pada tanggal 25 Mei 2009 dan tanggal 27 Mei 2009, maka komponen yang digunakan sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2. Keputusan pengambilan kedua komponen ini dilihat dari nilai eigen (akar ciri) yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Eigen Analisis Nilai Eigen (akar ciri) Ragam Kumulatif
Komponen Utama 1 2 3.693 1.093 0.740 0.219 0.740 0.958
Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2, adalah 95.8%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 74%, sedang yang mampu di jelaskan oleh Komponen Utama 2, sebesar 21.9%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Variabel Suhu Salinitas Kelimpahan fitoplankton Biomassa larva ikan Bandeng (gr/m2) Faktor kondisi larva ikan Bandeng
Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 -0.513 -0.148 0.450 0.507 0.505
Korelasi Terhadap Komponen Utama 2 -0.046 -0.909 -0.403 0.084 -0.040
76
Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar 22. 1 .5
Second Component (21.9%)
Stasiun IIa 1 .0 0 .5
Stasiun I
G /m 2 fa k to r _ k o n d isi
su h u
0 .0
k e lim p a h a n
- 0 .5
Stasiun III
- 1 .0
sa lin ita s
Stasiun IIb
- 1 .5 -3
-2
-1 0 1 Fir s t C o m p o n e n t ( 7 4 % )
2
3
Gambar 22 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 27 Mei 2009. Pada Gambar 22, terlihat bahwa stasiun II baik pada sampling tanggal 25 Mei maupun tanggal 27 Mei 2007 lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik ini lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb (hasil pengamatan tanggal 27 Mei). Korelasi antara ketiga variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Ini ditunjukkan oleh sudut yang dibentuk oleh ketiganya yang kurang dari 90 derajat. Stasiun I dan III lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanyapun memiliki hubungan yang kuat serta berkorelasi positif. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; (1) faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan (2) faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di ketiga stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi dan kelimpahan dari fitoplankton dan larva ikan bandeng. Pada
tanggal 25 Juni dan tanggal 29 Mei 2009, komponen yang
digunakanpun sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2. Keputusan pengambilan ini juga dilihat dari nilai nilai eigen (akar ciri)
77
yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Komponen Utama 1 2 3.599 1.121 0.720 0.224 0.720 0.944
Eigen Analisis Nilai Eigen (akar ciri) Ragam Kumulatif
Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh kedua Komponen Utama tersebut adalah, sebesar 94.4%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 72% dan oleh Komponen Utama 2, sebesar 22.4%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 -0.439 -0.488 0.331 0.464 0.494
Variabel Suhu Salinitas Kelimpahan fitoplankton Biomassa larva ikan Bandeng (gr/m2) Faktor kondisi larva ikan Bandeng
Korelasi Terhadap Komponen Utama 2 0.504 0.301 0.691 0.409 -0.103
Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 29 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar 23. 1 .5
Stasiun IIb Second Component
1 .0
k elim p ah an su h u
0 .5
Stasiun III
G /m 2
salin itas
0 .0 - 0 .5
fak to r _k o n d isi
Stasiun I Stasiun IIa
- 1 .0 - 1 .5 -2
-1
0 Fir s t Co mp o n e n t
1
2
Gambar 23 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 29 Juni 2009.
78
Hasil analisis pada Gambar 23, menunjukkan juga bahwa stasiun II baik pada pengamatan tanggal 25 Juni maupun 29 Juni 2009, lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik inipun lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb (hasil pengamatan tanggal 29 Juni). Korelasi antara ketiga variabelpun sangat erat dan searah (korelasi positif). Stasiun III, lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanya pun memiliki hubungan yang kuat dan berkorelasi positif. Sedang stasiun I, tidak menunjukkan karakteristik atau hubungan variabel apapun karena pada minggu IV bulan Juni tidak ditemukan adanya larva ikan bandeng, sehingga tidak dilakukan pengukuran parameter suhu, salinitas, dan fitoplankton. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; (1) faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan (2) faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di kedua stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih baik daripada stasiun III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi serta kelimpahan fitoplankton dan larva ikan bandeng. 5.2
Keadaan Sosial Ekonomi
5.2.1 Karakteristik Responden Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan bandeng. Populasi responden terdiri atas, 20 orang pengumpul larva ikan bandeng dan 27 orang petambak ikan bandeng di kampung Holtekamp Kelurahan Muaratami, 15 orang pedagang pengumpul ikan bandeng di Pasar Youtefa Kelurahan Waymhorock, dan 10 orang pengambil kebijakan yang berasal dari instansi teknis lingkup Pemerintah Daerah Kota Jayapura (Kelurahan Entrop dan Kampung Yoka). Responden pengambil kebijakan terbagi atas; (1) Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura sebanyak 4 orang, (2) BAPPEDA Kota Jayapura sebanyak 3 orang, (3) BAPEDALDA Kota Jayapura sebanyak 1 orang dan (4) Dinas Parawisata sebanyak 2 orang.
79
A.
Responden Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pengumpul larva ikan bandeng didominasi oleh ibu rumah tangga dan remaja putri yang merupakan penduduk asli dari suku Sarmi dan suku Waropen (Kabupaten Serui).
Dari 20 orang responden pengumpul, 12
orang diantaranya adalah tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, dan 3 orang tamatan SMU. Usaha ini telah dilakukan oleh penduduk setempat sejak tahun 1993. Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi waktu usaha dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha No 1 2 3 4 5
Lama Usaha (thn) 12 - 15 9 - 11 6 - 8 3- 5 ≤ 3 Jumlah
Jumlah Responden (org) 14 0 3 2 1 20
Persentasi (%) 70 0 15 10 5 100.00
Sumber : Data primer (2009)
B.
Responden Petambak Ikan Bandeng Responden pelaku usaha tambak ikan bandeng seluruhnya merupakan masyarakat pendatang dari suku Bugis dan Makasar. Awalnya, usaha ini dipelopori oleh PT. Hanurata dan diperuntukkan bagi masyarakat pemilik hak ulayat sebagai wujud program Bina Desa. Namun kemudian usaha ini beralih kepemilikan pada padatang dari kedua suku pendatang tersebut. Pelaku usaha tambak ini didominasi oleh laki-laki. Dari 27 orang responden, 11 orang di antaranya adalah tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, 8 orang tamatan SMU, dan sarjana 3 orang. Usaha tambak ini telah berlangsung selama 28 tahun, atau tepatnya mulai dilakukan sejak tahun 1980.
Usaha
tambak ini berkembang pesat antara tahun 1993 hingga tahun 2002, karena adanya pasar yang mendukung dan suplai benih yang memadai. Jumlah responden petambak ikan bandeng menurut klasifikasi waktu usaha dapat dilihat pada Tabel 27.
80
Tabel 27 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi lama usaha No 1 2 3 4 5 6
Lama Usaha (thn) 24 - 28 19 - 24 15 - 19 10 - 15 06 - 10 01 - 06 Jumlah
Jumlah Responden (org) 3 0 5 8 8 3 27
Persentasi (%) 11.11 0.00 18.52 29.63 29.63 11.11 100.00
Sumber : Data Primer (2009)
C.
Responden Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Seluruh responden pedagang pengumpul ikan bandengpun berasal dari suku Bugis dan Makasar. Seluruh responden adalah laki-laki, dengan tingkat pendidikan umumnya adalah tamatan SMP. Dari 15 orang responden, 2 orang di antaranya tamatan SD, tamatan SMP 9 orang, dan 4 orang tamatan SMU. Usaha ini telah berlangsung selama 25 tahun.
Jumlah pedagang
tersebut meningkat antara tahun 2002 hingga tahun 2008, yaitu 80.00%. Peningkatan jumlah responden ini terkait dengan prospek pasar komuditi ikan bandeng yang sangat bagus. Jumlah responden menurut klasifikasi lamanya usaha dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah responden pedagang ikan bandeng menurut lama usaha No 1 2 3 4 5
Lama Usaha (thn) 20 - 25 16 - 20 11 - 16 06 - 11 01 - 06 Jumlah
Jumlah Responden (org) 1 0 1 1 12 15
Persentasi (%) 6.67 0.00 6.67 6.67 80.00 100.00
Sumber : Data Primer, (2009)
5.2.2 Dinamika Usaha Responden A.
Responden Pengumpul Larva Ikan Bandeng
(1)
Produksi Total hasil tangkap responden setiap musim tangkap saat ini ± 21 010 ekor larva. Rata-rata setiap responden pada tiap musim tangkap mendapatkan
81
larva antara 179 hingga 2 264 ekor. Jumlah responden menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkapan per musim kelimpahan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkap per musim tangkap No. 1 2 3 4 5 6
Hasil Tangkap (ekr) 1950 - 2264 1636 - 1950 1322 - 1950 1008 - 1322 693 - 1008 179 - 693 Jumlah
Jumlah Responden (org) 3 0 2 3 6 6 20
Persentasi (%) 15 0 10 15 30 30 100
Sumber: Data primer (2009)
(2)
Pendapatan Pendapatan rata-rata responden pengumpul ± Rp. 133 775,- dengan kisaran pendapatan rata-rata antara Rp. 47 423 hingga Rp. 283 000 setiap musim tangkap. Pendapatan responden pengumpul berbanding lurus dengan produksi karena tidak ada perbedaan harga baik saat kemunculan larva ini melimpah ataupun berkurang. Jumlah responden menurut klasifikasi jumlah pendapatan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah responden pengumpul menurut klaifikasi besarnya pendapatan No 1 2 3 4 5 6
Pendapatan (Rp) 243 737 - 283 000 204 474 - 243 737 165 212 - 204 474 125 949 - 165 212 86 686 - 125 949 47 423 - 86 686 Jumlah
Jumlah Responden (org) 3 0 2 3 6 6 20
Persentasi (%) 15 0 10 15 30 30 100
Sumber : Data primer (2009)
B.
Responden Petambak Ikan Bandeng
(1)
Jumlah Luasan Kepemilikan Tambak Jumlah luasan kepemilikan tambak responden berkisar antara 3 sampai 19 hektar, dimana 62.96% dari 27 responden memiliki luasan tambak antara 3
82
sampai 5 hektar.
Jumlah rensponden menurut klasifikasi kepemilikan
luasan tambak dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak No 1 2 3 4 5 6
Luasan Tambak (Ha) 16 - 19 13 - 16 11 - 13 08 - 11 05 - 08 03 - 05 Jumlah
Jumlah Responden (org) 1 0 0 4 5 17 27
Persentasi (%) 3.70 0.00 0.00 14.81 18.52 62.96 100.00
Sumber : Data primer (2009) (2)
Jumlah Luasan Tambak Dikelola per Musim Tanam Umumnya tidak semua luasan tambak yang dimiliki ditebari benih setiap musim tanam. Hal ini selain karena keterbatasan benih, beberapa luasan tambak diperuntukan untuk menunmbuhkan pakan alami. Jumlah luasan dikelola bervariasi antara 2 sampai 8 hektar, dimana 59.26% dari 20 responden memiliki luasan kelola antara 2 hingga 3 hektar.
Jumlah
responden menurut luasan tambak dikelola dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi luasan tambak yang dikelola per musim tanam No
Luasan Tambak (Ha)
07 - 08 2 06 - 07 3 05 - 06 4 04 - 05 5 03 - 04 6 02 - 03 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
(3)
Jumlah Responden (org) 1 1 4 3 2 16 27
Persentasi (%) 3.70 3.70 14.81 11.11 7.41 59.26 100.00
Jumlah Kebutuhan Benih per Musim Tanam Total kebutuhan benih responden petambak ± 230 900 ekor per musim tanam. Kebutuhan benih setiap responden per musim tanam berkisar antara 2 000 hingga 21 000 ekor per luasan dikelola. Perbedaan kebutuhan benih ini terkait dengan perbedaan padat tebar per hektar yang diberlakukan oleh
83
masing-masing responden, dimana perbedaan padat terbar ini tergantung pada suplai benih yang mampu disiapkan oleh responden yang bersangkutan. Sebagian besar responden membutuhkan benih antara 2 000 hingga 5 622 ekor per jumlah luasan tambak dikelola. Jumlah responden menurut klasifikasi kebutuhan benih dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kebutuhan benih per musim tanam No 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Benih (ekr) 17 924 - 21 000 14 849 - 17 924 11 773 - 14 849 8 697 - 11 773 5 622 8 697 2 000 5 622 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
(4)
Jumlah Responden (org) 3 2 3 1 5 13 27
Persentasi (%) 11.11 7.41 11.11 3.70 18.52 48.15 100.00
Jumlah Produksi Jumlah total produksi tambak dikelola berdasarkan padat tebar yang diberlakukan setiap musim tanam saat ini, sebesar 155 680 ekor. Dari total produksi tambak dikelola oleh tiap responden, 25% menjadi hak penjaga tambak (bagi hasil). Jumlah responden menurut klasifikasi rata-rata produksi setiap musim tanam untuk luasan yang dikelola setelah dikurangi persentasi bagi hasil dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi hasil produksi per musim tanam No 1 2 3 4 5 6
Klas Hsl.Prod. (ekr/musim)
9 256 - 11 025 7 486 - 9 256 5 717 - 7 486 3 947 - 5 717 2 178 - 3 947 900 - 2 178 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
Jml.Responden (org)
Persentasi (%)
3 1 3 2 16 2 27
11 4 11 7 48 19 100
84
(5)
Jumlah Pendapatan Total pendapatan seluruh petambak setiap musim tanam adalah sebesar Rp.794 467 500,-, dengan pendapatan rata-rata per musim tanam, sebesar Rp 29 424 722,-. Jumlah pendapatan setiap responden per musim tanam berkisar antara Rp.7 650 000,- hingga Rp.105 000 000,-. Jumlah responden menurut klasifikasi pendapatan setiap musim tanam dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per musim tanam No
Klasifikasi pendapatan (Rp./Msm.Tnm)) 1 88 775 000 - 105 000 000 2 72 550 000 - 88 775 000 3 56 325 000 - 72 550 000 4 40 100 000 - 56 324 000 5 23 875 000 - 40 100 000 6 7 650 000 - 23 875 000 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
Jml.Responden (org) 1 1 1 4 3 17 27
Persentasi (%) 4 4 7 11 11 63 100
Pendapatan per bulan responden petambak diperoleh dari total pendapatan setiap responden per musim tanam dibagi dua belas bulan. Berdasarkan hasil pembagian tersebut didapatkan nilai pendapatn rata-rata responden setiap bulan adalah sebesar Rp. 2 452 000,-. Jumlah responden menurut klasifikasi pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per bulan No 1 2 3 4 5 6
Klasifikasi Pendapatan (Rp./bln) 7 397 917 - 8 750 000 6 045 833 - 7 397 917 4 693 750 - 6 045 833 3 341 667 - 4 693 750 1 989 583 - 3 341 667 637 500 - 1 989 583 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
Jml.Responden (org) 1 1 1 4 3 17 27
Persentasi (%) 4 4 7 11 11 63 100
85
C.
Responden Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng
(a)
Jumlah Produksi Total ikan bandeng yang mampu disiapkan oleh seluruh pedagang pengumpul ikan bandeng setiap bulan adalah sebanyak, 11 600 ekor, dimana jumlah yang mampu disiapkan oleh setiap responden bervariasi antara 500 hingga 1 700 ekor per orang. Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi hasil produksi per bulan dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 Jumlah responden pedagang pengumpul menurut klasifikasi hasil produksi per bulan No 1 2 3 4 5
Klas Hsl.Prod. (ekr/bln) 1 454 - 1 700 1 208 - 1 454 962 - 1 208 717 962 500 717 Jumlah Sumber : Data primer (2009)
(b)
Jml.Responden (org) 1 0 3 1 10 15
Persentasi (%) 7 0 20 7 67 100
Jumlah Pendapatan Rata-rata harga jual ikan bandeng oleh responden di Kota Jayapura adalah, sebesar Rp. 10 000,-. Berdasarkan data hasil produksi dan harga jual ikan bandeng, maka pendapatan setiap responden ini setiap bulan berkisar antara Rp. 5 000 000,- hingga Rp. 17 000 000,-. dimana kebanyakan responden memperoleh pendapatan per bulan antara Rp. 5 000 000,- hingga Rp. 7 583 804,- per orang. Diketahui bahwa, selain mendapatkan suplai ikan bandeng dari petambak di Kampung Holtekamp, responden ini juga mendatangkan suplai ikan bandeng dari Makasar dan Kalimantan Timur. Tentang harga jual per ekor, tidak ada perbedaan antara ikan bandeng produksi tambak Holtekamp dan kedua daerah penyuplai alternatif tersebut. Jumlah responden menurut klasifikasi jumlah pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 38.
86
Tabel 38 Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi pendapatan No Klas pendapatan (Rp./bln) 1 14 541 538 - 17 000 000 2 12 083 077 - 14 541 638 3 9 624 615 - 12 083 077 4 7 166 153 - 9 624 615 5 5 000 000 - 7 166 153 Jumlah Sumber : Data primer (2009).
Jml.Responden (org) 1 0 3 1 10 15
Persentasi (%) 7 0 20 7 67 100
5.2.3 Alokasi Upaya dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pengalokasian upaya dan perilaku pengumpul larva ikan bandeng, diketahui melalui; (1) tabulasi data nilai indeks musiman bulanan (Ij) dan effort serta (2) tabulasi data hasil tangkap (ekor/hari), kelimpahan larva ikan bandeng (ind./m2), dan RPUEj. Untuk itu, dilakukan perhitungan nilai indeks musiman bulanan (Ij) dalam persen dan analisis prakiraan keuntungan ekonomi (RPUEj), sebagaimana uraian berikut. A.
Indeks Musiman Bulanan (Ij) (%) Data yang digunakan untuk analisis ini adalah data hasil tangkap yang diperoleh pada saat pengamatan (bulan Mei, Juni, dan Juli 2009).
Hasil
analisis menunjukkan, Ij bulan Mei sebesar 698.94%, Ij bulan Juni sebesar 687.78%,
dan Ij bulan Juli sebesar 582.29% (Lampiran 13).
Lebih
tingginya nilai Ij bulan Mei disebabkan, pada bulan tersebut distribusi larva ikan bandeng terjadi bersamaan di ketiga stasiun pengamatan. Disamping itu, minggu ke- 4 bulan Mei adalah awal musim timur. Menurut Nontji (1986) dan Mujiman (1987), musim kelimpahan larva ini di Indonesia terjadi pada awal musim Timur dan awal musim Barat. Ditambahkan oleh Suseno (1984), kelimpahan larva ikan bandeng meningkat pada awal musim Timur dan atau awal musim Barat. pada Gambar 24 .
Fluktuasi nilai Ij tersebut dapat dilihat
Indeks Musiman Bulanan (%)
87
800,00 600,00 400,00 200,00 0,00 Mei
Juni
Juli
Gam mbar 24 Indeeks Musimann Bulanan (IIj) (%) selam ma waktu pen ngamatan. Untuk k mengetahuui apakah ppengumpul larva ikan bandeng memberikan m respon n terhadap seetiap waktuu kelimpahaan, maka dilaakukan tabu ulasi data Ij dan eff ffort pada diaagram bar, seeperti pada Gambar G 25. Effort
Inde eks Bulanan
Juli Ju uni M Mei 0,00
200,00
400,00
600,00
800,0 00
2 Indeks Musiman M Bulaanan (Ij) (%)) dan effort. Gambar 25 Berdassarkan Gam mbar 25, maka dapaat dikatakaan pengumppul selalu memberikan respoons terhadapp setiap muusim kelimppahan, dimaana jumlah effort akan meninngkat bersam maan dengan n peningkataan jumlah laarva. Akan tetapi dalam kasuus ini tidak semua pengumpul sereentak secaraa bersamasama melakukan m p penangkapan n. Hal ini disebabkan d jumlah hasil tangkapan yang semakin s berrkurang saatt ini (rata-raata 20–40 ekkor/orang/haari) sedang tenagaa yang dikelluarkan dann kesulitan yang y dihadaapi dalam penanganan p benih sama dengann yang haruus dihadapi pada p saat kellimpahan. B B.
Prakirraan Keunttungan Ekon nomi (RPUEj) Menurrut Bene andd Tewfik (2000), umum mnya secara ekonomi neelayan akan mengaalokasikan upaya u merekka menurut laba atau kkeuntungan yang akan diperooleh. Dalam m kasus ini ddiharapkan pengumpul p llarva ikan bandengpun berperrilaku demikkian. Perkirraan keuntuungan ekonoomi (RPUEj) diperoleh
88
dengan memanfaatkan data hasil tangkap, upaya, dan harga jual dari hasil penelitian (Lampiran 13). Untuk menganalisis apakah upaya pengumpul selalu dialokasikan menurut jumlah tangkapan dan kelimpahan guna mendapatkan keuntungan atau laba yang lebih, maka dilakukan tabulasi data RPUEj, hasil tangkap dan kelimpahan larva ikan bandeng seperti terlihat pada Gambar 26.
50000
18000 25 H a s il t a n g k a p a n K e lim p a h a n R P U E ij
40000
20
12000 15
10000 8000
10 6000 4000
30000
RPUEij
14000
2 Kelimpahan (ind/m )
Hasil tangkapan (ekor/hari)
16000
20000
5
10000
0
0
2000
24
-M 25 a -M y 26 a -M y 27 a -M y 28 a -M y 29 a -M y 30 a -M y 31 a -M y a 1- y Ju 2- n Ju 3- n Ju 4- n Ju 5- n Ju n 25 -J 26 un -J 27 un -J 29 un -J 30 un -J u 1- n Ju 3- l Ju 4- l Ju 5- l J 6- ul Ju 7- n Ju l
0
T a n g g a l (2 0 0 9 )
Gambar 26 Dinamika RPUEj, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan individu larva ikan bandeng (ind/m2), tahun 2009 Tabulasi data hasil tangkapan dengan kelimpahan individu larva ikan bandeng dan RPUEj pada Gambar 26, mendukung hasil analisis pada Gambar 25.
Alokasi upaya selalu mengikuti kelimpahan larva ikan
bandeng. Pendapatan pengumpul akan meningkat apabila hasil tangkap meningkat. Hasil tangkappun akan meningkat apabila kelimpahan larva meningkat. Selanjutnya untuk menganalisis apakah alokasi upaya penangkapan selalu berdasarkan keuntungan (laba) yang diperoleh atau hanya berdasarkan kebutuhan ekonomi, maka dilakukan tabulasi data hasil tangkap, kelimpahan larva, dan RPUEj
pada tahun 2004, seperti terlihat pada
Gambar 27. Selanjutnya tampilan pada Gambar 27 dibandingkan dengan tampilan pada Gambar 26.
89
H a s il ta n g k a p a n K e lim p a h a n R P U E ij
18000
350x103 25
16000 20
15
10000 8000
10 6000 4000
5
250x103
200x103
RPUEij
12000
2 Kelimpahan (ind/m )
Hasil tangkapan (ekor/hari)
300x103 14000
150x103
100x103
2000 0
50x103
23
-A 24 p -A r 25 p -A r 26 p -A r 27 p -A r 28 p -A r 29 p -A r 30 p -A r 1- pr M 2- ay M 3- ay M ay 24 -M 25 a -M y 26 a -M y 27 a -M y 28 a -M y 30 a -M y 31 a -M y a 1- y Ju 2- n Ju 3- n Ju 4- n Ju 6- n Ju n
0
T a n g g a l (2 0 0 4 )
Gambar 27 Dinamika RPUEj , hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan individu larva ikan bandeng (ind/m2), tahun 2004 Tabulasi data hasil tangkap, kelimpahan larva, dan RPUEj pada Gambar 27, juga menunjukkan bahwa alokasi upaya mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Meskipun demikian, karena kelimpahan pada tahun 2004 masih cukup tinggi maka hasil tangkap dan pendapatan pengumpulpun lebih tinggi dari tahun 2009 (Gambar 26). Pada Gambar 27 juga terlihat, nilai RPUEj pada tanggal 26 dan 30 April serta tanggal 1 Mei 2004 lebih tinggi dari tanggal penangkapan lainnya. Bila Gambar 27 dihubungkan dengan
data effort (upaya) pada Lampiran 14, maka terlihat bahwa
tingginya nilai RPUEj pada ketiga tanggal tersebut karena pengurangan jumlah effort. Ini menunjukkan bahwa, untuk mendapatkan keuntungan atau laba yang lebih perlu dilakukan pembatasan jumlah effort. Hal ini disebabkan harga jual larva ini tetap sama, baik saat melimpah ataupun berkurang. Dinamika RPUEj pada Gambar 26 dan 27 juga memberikan informasi bahwa, alokasi upaya pengumpul larva ikan bandeng tidak didasarkan pada keuntungan yang diperoleh tetapi lebih dikarenakan kebutuhan ekonomi terkait tidak adanya mata pencarian alternatif.
Ini juga
mengindikasikan bahwa, para pengumpul yang umumnya ibu-ibu rumah tangga secara ekonomi sangat bergantung pada kelimpahan larva ini. Kedua gambar tersebut juga menunjukkan, adanya perbedaan kelimpahan
90
larva ikan bandeng yang cukup besar antara tahun 2004 dan 2009. Kelimpahan tersebut mengalami penurunan pada tahun 2009. Penurunan kelimpahan ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap dan pendapatan pengumpul. 5.3
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
5.3.1 Penentuan Indikator dan Variabel Pengukur Indikator Indikator dan variabel pengukur yang teridentifikasi dan pada analisis ini adalah : (1)
Indikator ekologi; keberadaan ekosistem mangrove (Ekl.1), keberadaan ekosistem terumbu karang (Ekl.2), keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekl.3), berkurangnya sedimentasi (Ekl.4), dan kualitas air Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp (Ekl.5).
(2)
Indikator ekonomi; peningkatan produksi hasil usaha (Ekm.1), peningkatan pendapatan (Ekm.2), berkurangnya kematian alami larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekm.3), peningkatan luasan areal tambak (Ekm.4), dan peningkatan padat tebar (Ekm.5).
(3)
Indikator sosial; tingkat pendidikan (S.1), pemerataan pendapatan (S.2), partisipasi dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp (S.3), keberadaan tenaga kerja (S.4), dan keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (S.5).
(4)
Indikator kebijakan; pengembangan dan peningkatan produktivitas tambak (K.1), pengendalian konversi dan peningkatan reboisasi ekosistem mangrove (K.2), peningkatan SDM pengumpul larva ikan bandeng (C. chanos,
Forsskal)
(K.3),
pemberdayaan
pelaku
bom
ikan
(K.3),
pengendalian sedimentasi (K.4), dan penghentian aktivitas pemboman ikan (K.5). Hasil perhitungan bobot dari persepsi responden untuk indikator ekologi, menghasilkan terpilihnya variabel keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekl.3) dengan nilai proporsi persepsi tertinggi, yaitu 2.81. Terpilihnya variabel ini menunjukkan bahwa, sumberdaya larva ikan bandeng
91
m merupakan faktor yangg paling penting untuk k menunjangg keberlanjuutan usaha p pemanfaat s sumberdaya s variabbel pengukuur indikator ini. Proporrsi persepsi setiap
Proporsi Presepsi
e ekologi dapaat dilihat padda Gambar 28. 2 3 2 1 0
Ekl1
E Ekl2
Ekl3
Ekl4
Ekl5
Variabel Indikator Ekologi E
mbar 28 Prop porsi perseppsi respondenn terhadap variabel peng gukur Gam indiikator ekologi Variabbel pengukuur indikator ekonomi yang y terpilih adalah peningkatan p pendapatan (Ekm.2), dengan d propporsi perseppsi respondeen sebesar 2.88.
Ini
m menunjukka an, aspek peningkatan p pendapatann menjadi tujuan utaama dalam m melakukan usaha untuuk memperbbaiki dan meningkatka m an ekonomii. Proporsi p persepsi respponden untuuk setiap variiabel pengukkur indikatorr ekonomi daapat dilihat
Proporsi Presepsi
p pada Gambaar 29. 3 2,,5 2 1,,5 1 0,,5 0 Ekm1
Ekkm2 Ekm3 Ekm4 E Ekm5 Variiabel Indikator Ekonomi E
Gambaar 29 Propo orsi persepsii responden terhadap t varriabel pengu ukur indik kator ekonom mi Variabbel pengukuur indikatoor sosial yang terpilihh adalah pemerataan p p pendapatan (S.2), dengaan proporsi ppersepsi respponden sebeesar 2.72. Terpilihnya T v variabel ini mengindikkasikan bahw wa, kondisii saat ini m mengakibatkkan adanya k kesenjangan n ekonomi. Oleh karrena itu, reesponden m menginginkaan adanya p pemerataan pendapatan agar tidak teercipta keceemburuan sosial. Proporrsi persepsi s setiap variabbel pengukurr indikator soosial dapat dilihat d pada G Gambar 30.
Proporsi Presepsi
92
3 2 1 0 S1
S2 S3 S4 V Variabel Indikato or Sosial
S5
Gam mbar 30 Prop porsi perseppsi respondenn terhadap variabel peng gukur indiikator sosiall Variabbel pengukuur indikator kebijakan yang y terpilihh adalah pengendalian k konversi dann peningkataan reboisasii ekosistem mangrove (K K.2), dengaan proporsi p persepsi resp ponden sebeesar 2.72. Terpilihnya T variabel v ini menunjukkaan, seluruh r responden menyadari m k keberadaan eekosistem mangrove m di pesisir Kota Jayapura t terutama di Teluk Youteefa dan pesisir Kampung Holtekampp sangat pennting untuk m menjaga funnggsi ekologgis kawasann ini dalam menunjanng keberlanjuutan usaha m mereka. Prooporsi perseppsi respondeen setiap variiabel pengukkur indikatorr kebijakan d dapat dilihatt pada Gambbar 31.
Proporsi Presepsi
3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 K1
K2 K K3 K4 K K5 Variabel Indikator Kebijak kan
K6
Gambaar 31 Propo orsi persepsii responden terhadap t varriabel pengu ukur indik kator kebijakkan Berdassarkan variabel penguukur terpilih h pada masing-masingg indikator t tersebut, sellanjutnya dillakukan anaalisis terhadaap keberlanjuutan usaha pengumpul p l larva, petam mbak, dan peddagang penggumpul ikan bandeng. 5 5.3.2 Peneentuan Nilaii Riil dan CTV serta Peengertian Hasil H Analisiis Keberaadaan sumbberdaya larvaa ikan bandeng yang teerpilih sebaggai variabel p pengukur baagi kriteria keberlanjuta k an biologi, didefenisikan d n sebagai juumlah larva y yang tersediia saat ini. Untuk U penguumpul digunnakan total hhasil tangkappan selama
93
pengamatan, yaitu 32 158 ekor. Untuk petambak dan pedagang digunakan nilai kebutuhan benih berdasarkan kondisi padat tebar tambak sekarang, yaitu 230 900 ekor. Sebagai pembanding (CTV) digunakan hasil tangkapan pada tahun 2004, yaitu 343 250 ekor.
Jika hasil tabulasi pada diagram amoeba menunjukkan
jumlah larva ikan bandeng saat ini sama atau lebih besar dari CTV-nya, maka dikatakan stok larva saat ini secara biologi dapat berkelanjutan sehingga dapat menunjang keberlanjutan usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut, demikian sebaliknya. Keberadaan ekosistem mangrove yang terpilih sebagai variabel pengukur keberlanjutan ekologi, didefenisikan sebagai luasan mangrove yang tersedia saat ini di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, yaitu 260 hektar. Untuk nilai CTV-nya digunakan luasan mangrove yang seharusnya tersedia atau yang diinginkan.
Untuk kepentingan penelitian ini, luasan yang diinginkan
diperoleh dari hasil penjumlahan antara luasan sekarang dan luasan yang akan direboisasi, yaitu seluas 311 hektar. Luasan mangrove di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp yang telah direboisasi adalah 4 hektar dari 51 hektar yang diprogramkan (BAPEDALDA 2008). Jika hasil tabulasi pada diagram amoeba menunjukkan luasan mangrove saat ini sama atau lebih dari luasan yang diinginkan, maka keberadaan ekosistem mangrove dalam kondisi baik dan fungsi ekologisnya dapat berlanjutan sehingga menunjang keberlanjutan usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut, demikian sebaliknya. Peningkatan pendapatan yang terpilih sebagai variabel pengukur kriteria efisien (ekonomi), didefenisikan sebagai pendapatan rata-rata pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. Pendapatan pengumpul sebesar Rp. 133 775,per orang, petambak sebesar Rp. 2 425 060,- per orang, dan pedagang sebesar Rp. 7 733 333,- per orang. Sebagai pembanding (CTV) digunakan nilai UMR Kota Jayapura tahun 2008/2009, sebesar Rp.1 600 000,-. Jika hasil perbandingan dengan diagram amoeba menunjukkan pendapatan pemanfaat sama atau meningkat dari UMR Kota Jayapura, kondisi kedua kawasan perairan pesisir tersebut dapat menunjang berkelanjutan ekonomi pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng.
94
Pemerataan pendapatan yang terpilih sebagai variabel pengukur bagi kriteria pemerataan (sosial), didefenisikan sebagai distribusi pendapatan. Untuk kepentingan penelitian ini digunakan nilai Gini Rasio Indeks (GRI) Kota Jayapura, sebesar 0.23.
Sebagai nilai CTV-nya digunakan nilai GRI untuk
distribusi pendapatan yang merata menurut kriteria Bank Dunia. Nilai GRI berkisar dari 0 hingga 1, dimana semakin mendekati 0 semakin bagus, demikian sebaliknya (Rosyidi 2005).
Menurut Oshima in Rosyidi (2005), bila GRI
mendekati 0.3 menunjukkan ketimpangan pemerataan pendapatan ringan, bila mendekati 0.4 ketimpangan moderat atau sedang, dan bila mendekati 0.5 menunjukkan ketimpangan berat atau mutlak. Untuk kepentingan analisis ini, dilakukan pembobotan terhadap nilai GRI, seperti terlihat pada Tabel 39. Tabel 39 Pembobotan nilai Gini Rasio Indeks (GRI) No
GRI
Pembobotan
1 2 3 4
> 0.5 0.4 - 0.5 0.2 - 0.3 0.0 - 0.1
0 1 2 3
Keterangan Sangat berat Berat Sedang Merata
Nilai GRI yang akan digunakan dalam analisis ini adalah nilai hasil pembobotan. Bila bobot GRI Kota Jayapura sama atau lebih besar dari bobot CTV-nya, maka pemerataan pendapatan semakin bagus dan kondisi kedua kawasan pesisir tersebut dapat menunjang keberlanjutan sosial pemanfaat sumberdaya larva tersebut. 5.3.3 Evaluasi Keberlanjutan A.
Keberlanjutan Biologi
(1)
Pengumpul Larva Ikan Bandeng Tampilan diagram amoeba pada Gambar 32, menunjukkan hasil tangkapan larva saat ini berada sangat jauh di bawah hasil tangkapan tahun 2004. Selisih antara kedua nilai ini menunjukkan hasil tangkap larva saat ini berkurang sebanyak 311 092 ekor. Sesuai dengan batasan pengertian hasil perbandingan antara nilai riil dan nilai CTV dari variabel ini, maka kondisi kedua kawasan pesisir tersebut tidak dapat menunjang keberlanjutan keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (biologi) yang berdampak pada ketidakberlanjutan usaha pengumpul.
95
(1)
Petambak Ikan Bandeng Hasil tabulasi nilai riil total kebutuhan petambak setiap musim tanam dan nilai CTV-nya (hasil tangkap tahun 2004) pada diagram amoeba menunjukkan, total kebutuhan benih juga berada dibawah nilai CTV-nya. Namun demikian perbedaan antar keduanya tidak sebesar perbedaan indikator ini pada pengumpul (Gambar 33). Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah alternatif lain untuk menutupi kekurangan benih tambak mereka, yaitu dari Makasar. Meskipun demikian dari sisi keberlanjutan biologi tetap tidak berkelanjutan dan berdampak pada ketidakberlanjutan usaha mereka. Hal ini disebabkan, meski petambak memiliki sumber benih alternatif, produktivitas tambak mereka sangat bergantung pada benih lokal. Ini dikarenakan larva tersebut lebih berkualitas dari sisi kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit.
(2)
Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Kondisi keberlanjutan usaha pedagang ikan bandeng dari sisi biologi sama dengan kondisi pada analisis terhadap petambak (Gambar 34).
Hal ini
disebabkan kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan bahan baku (ikan bandeng) untuk konsumsi pasar. Oleh sebab itu ketidakberlanjutan usaha petambak juga berdampak pada ketidakberlanjutan usaha mereka. B.
Keberlanjutan Ekologi Hasil tabulasi nilai riil dan nilai CTV dari variabel pengukur indikator ekologi (luasan mangrove) pada diagram amoeba dari ketiga pemanfaat sumberdaya larva tersebut menunjukkan bahwa, nilai riil berada dibawa nilai CTV-nya. Terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 51 Ha (Gambar 32, 33, dan 34).
Berdasarkan batasan pengertian hasil perbandingan nilai
riil dan CTV dari variabel pengukur kriteria keberlanjutan ini, maka kondisi kedua kawasan ini secara ekologi berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha ini.
Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove di kedua kawasan
tersebut berperan penting sebagai daerah asuhan larva tersebut. Penurunan luasan ekosistem ini, berdampak pada penurunan fungsi ekologisnya untuk
96
mendukung kedua kawasan tersebut dalam menunjang kesehatan stok ikan bandeng dan pada akhirnya berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha ini. C.
Keberlanjutan Ekonomi
(1)
Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pada Gambar 32, terlihat selisih yang cukup besar antara pendapatan riil pengumpul dengan UMR Kota Jayapura, yaitu Rp.1 466 225,-. Selisih ini menunjukkan, penurunan stok larva ikan bandeng berdampak pada ketidakberlanjutan ekonomi pengumpul. Hal ini karena pengumpul sangat bergantung secara ekonomi pada keberadaan larva ini secara alami terkait tidak adanya mata pencarian alternatif.
(2)
Petambak Ikan Bandeng Pada Gambar 33, terlihat bahwa usaha tambak secara ekonomi cukup menguntungkan. Ini dapat dilihat dari nilai pendapatan petambak yang melebihi UMR Kota Jayapura, meski pendapatan mereka tidak sebesar pada pedagang. Hal ini dikarenakan selain memiliki sumber benih alternatif, harga ikan bandeng pun cukup tinggi, yaitu rata-rata Rp. 7 000,- per ekor. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, karena memiliki alternatif lain untuk memenuhi kekurangan benih dan ditunjang pula oleh harga komoditi ini, maka dari sisi ekonomi untuk sementara dapat menunjang keberlanjutan usaha mereka.
(3)
Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Pada Gambar 34, terlihat bahwa usaha pedagang ikan bandeng secara ekonomi sangat menguntungkan. Ini dapat dilihat dari nilai pendapatan pedagang yang jauh melebihi nilai UMR Kota Jayapura, dengan selisih sebesar Rp 6 133 000,-. Tingginya pendapatan pedagang ini selain terkait dengan adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, ditunjang pula oleh tersedianya pasar dan harga komoditi ini yang cukup tinggi di Kota Jayapura.
Oleh sebab itu, kondisi pengelolaan kedua kawasan pesisir
tersebut saat ini dapat menunjang keberlanjutan ekonomi mereka.
97
D. D
Keberrlanjutan Soosial Pada Gambar 322, 33, dan 34, terlihat bahwa, dari sisi pemerataan p pendappatan untuk ketiga usahaa ini mengarrah pada kettidakberlanjuutan sosial. Menurrut Oshima in Rosyidi ((2005), nilai GRI 0.23 m menunjukkann distribusi pendappatan dengaan ketimpanngan sedang dan cukupp baik untuk k distribusi pendappatan di negara berkem mbang. Berddasarkan penndapat terseebut, maka dapat dikatakan pemerataan p ppendapatan masyarakat Kota Jayappura cukup baik. Akan tetapi bila dikaitkkan dengan analisis a terhaadap variabeel pengukur d ekologi,, kondisi ini menjurus pada ketidakbberlanjutan indikaator biologi dan larva ini. sosial pemanfaat sumberdaya s Diagraam amoebaa untuk keeberlanjutan n usaha daari ketiga pemanfaat sumbeerdaya larva ikan bandenng, dapat diliihat pada Gaambar 32, 33 3 dan 34.
Gambar G 32 Diagram am moeba untuk keberlanjutan usaha penngumpul larva ikan bbandeng
Gambar 33 D Diagram amooeba untuk keberlanjutan k n usaha petaambak ikkan bandengg
98
Gambar 34 D Diagram amooeba untuk keberlanjuta k an usaha ped dagang p pengumpul iikan bandengg Berdassarkan tamp pilan Gambarr 32, 33, dan n 34, maka ddapat dikataakan bahwa p permasalaha an Teluk Youtefa dan peesisir Kampu ung Holtekam mp saat ini berdampak b p pada ketidakkberlanjutann pengelolaann perikanan di pesisir K Kota Jayapurra. Hal ini d dikarenakan n kebijakan pembangunaan Kota Jayyapura yangg tidak mem mperhatikan k kestabilan ekosistem e p pesisir dan sumberdayya di dalam mnya.
Akkibat yang
d ditimbulkan adalah teerjadi penurrunan luasaan mangrovve dan menningkatnya s sedimentasi. .
Kurang gnya pemanntauan dann pembinaaan terhadap p aktivitas
m masyarakat dalam menaangkap ikan berdampak pada meninngkatnya akttivitas bom i ikan. Penurrunan luasan n mangrove, peningkataan sedimenttasi, dan akttivitas bom i ikan ini berrdampak paada tergangggunya kesehhatan stok sumberdaya larva ikan b bandeng di kawasan pesisir Kotta Jayapura (Teluk Yooutefa dan Kampung H Holtekamp). . Tergangguunya kesehattan stok sum mberdaya larvva ini lebih berdampak b p pada produk ktivitas usahha pengumpul dan petam mbak serta berpengaruh h langsung p pada keberlanjutan sosiial ekonomii kedua pem manfaat ini. Hal ini dikarenakan d u usaha kedu ua pemanfaaat ini salinng terkait dan berganntung langssung pada k ketersediaan n stok
larrva tersebutt secara alaami.
Bagii pengumpuul, hal ini
d dikarenakan n ketergantuuan secara ekonomi akibat tidaak memilik ki sumber p pendapatan alternatif yaang memadaai. Bagi pettambak, peenurunan stook larva ini b berdampak pada berkuurangnya luaasan tambakk dikelola dan d penurunnan jumlah p padat tebar karena berkkuranya beniih berkualitaas. Walaupuun petambakk memiliki s suplai benihh alternatif, mereka m terkeendala pada modal usahaa dan tingkaat kematian b benih dari luar yang cukup tingggi, yaitu an ntara 30% hingga 40% %.
Bagi
99
pedagang, penurunan stok larva ikan bandeng tidak berdampak sosial ekonomi dikarenakan, selain memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, harga komoditi inipun cukup tinggi
yaitu, sebesar Rp 10 000,- per ekor dan
ketersediaan pasarpun sangat menunjang. Pada ketiga diagram amoeba diatas terlihat juga bahwa, dari sisi ekonomi, usaha petambak dan pedagang cukup menguntungkan. Namun demikian, terkait dengan konsep perikanan berkelanjutan, maka kondisi ini tidak menunjang adanya keberlanjutan bagi ketiga usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut. Hal ini disebabkan nilai riil dari ketiga indikator lain berada di bawah nilai CTV-nya. Terutama nilai indikator ekologi dan biologi. Keberadaan suatu sumberdaya ikan di alam selain sangat dipengaruhi kualitas lingkungan dan ekosistem (Effendi 1997; Matarase et al. 1995; Sparre and Vanema 1999; Adrianto et al. 2004), ditentukan pula oleh aktivitas penangkapan (Sparre and Vanema 1999; Glaser and Diele 2004).
Menurut
petambak, dari sisi kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit, larva ikan bandeng lokal lebih baik dibanding yang didatangkan dari luar, sehingga dari sisi produksi jauh lebih menguntungkan. Oleh sebab itu meski musim tanam sering tidak sejalan dengan musim kemunculan larva ini, beberapa petambak selalu menyediakan luasan khusus untuk menampung benih alam ini. Ditambahkan juga oleh pedagang bahwa, meski memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, namun hasil produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar, karena rasa dagingnya yang lebih manis dan segar.
Kedua informasi ini
mengindikasikan bahwa, karena hasil tangkap tetap laku dijual, sedang kemunculan larva tersebut adalah musiman, di sisi lain pengumpul sangat bergantung pada kelimpahannya secara ekonomi, maka penangkapan larva ini selalu dilakukan pada saat kemunculannya. Penangkapan yang terus menerus ini diduga juga turut memberi andil pada terganggunya kesehatan stok sumberdaya larva ini di kedua kawasan tersebut. Dikatakan oleh Pitcher and Hart (1982) in Glaser and Diele (2004), penurunan jumlah tangkapan dapat juga diartikan sebagai indikator penangkapan yang berlebihan, terutama untuk stok yang fluktuasi alaminya kurang signifikan dalam kekuatan kohort dan ukuran distribusi.
100
Berdasarkan pendapat dan informasi diatas, maka dapat dikatakan bahwa, dengan semakin meningkatnya konversi mangrove dan sedimentasi di Teluk Youtefa, semakin meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas pengeboman ikan di perairan pesisir Kampung Holtekamp, serta didukung pula oleh terus meningkatnya permintahan benih oleh patambak, ketersediaan larva ikan bandeng akan terus berkurang. ICES (2008) menyatakan bahwa, untuk mempertahankan rekruitmen ikan di alam agar tetap stabil dibutuhkan jumlah spawning stoch biomaas (SSB) yang memadai. Jumlah SSB ini sangat bergantung pada kualitas habitat dimana suatu sumberdaya ikan melewati siklus hidupnya dan aktivitas pemanfaatan.
Oleh
sebab itu menurut Adrianto et al. (2004), model pengelolaan yang sudah berjalan perlu dikaji guna menghindari habisnya stok ikan dan bagaimana memelihara stok tersebut pada level yang stabil, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Hal ini dapat dicapai dengan perhatian terhadap keberlanjutan kesejakteraan dari sisi komunitas secara terpadu baik kesejakteraan ekonomi, sosial, dan ditunjang pula oleh perhatian pada kesehatan sumberdaya target. Tujuannya agar tercapai kesejakteraan sosial ekonomi secara menyeluruh untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil-hasil analisis dan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka perlu dirumuskan suatu alternatif pengelolaan yang sebaiknya dilakukan di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp guna pemulihan kesehatan stok larva ikan bandeng agar dapat berdampak positif bagi peningkatan ekonomi dan kesejakteraan pemanfaat sumberdaya larva ini secara berkelanjutan. 5.4
Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan sumberdaya perikanan
berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura melalui pendekatan sumberdaya larva ikan bandeng, dalam penelitian ini digunakan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM).
Perumusan skenario pengelolaan dilakukan dengan memperhatikan
kondisi kedua kawasan tersebut saat ini dan hasil analisis sebelumnya, dengan memasukan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Skenario yang dirumuskan adalah:
101
(1)
Skenario I; Bila kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp tetap seperti sekarang ini dimana konversi mangrove, sedimentasi, dan aktivitas bom ikan tetap berlangsung.
(2)
Skenario II; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, aktivitas bom ikan dihentikan, tetapi sedimentasi tidak dikendalikan.
(3)
Skenario III; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, tetapi aktivitas bom ikan tetap.
(4)
Skenario IV; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, dan aktivitas bom ikan dihentikan. Berdasarkan hasil analisis indikator, maka subkriteria yang terpilih sebagai
penilai bagi setiap kriteria (aspek) keberlanjutan untuk menentukan skenario terbaik adalah: (1)
Kriteria ekologi; Kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng .
(2)
Kriteria ekonomi; (a) Pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng dan (b) Hasil produksi pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng.
(3)
Kriteria sosial; (a) Keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, (b) Pemerataan pendapatan antara pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dan (c) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Berdasarkan rumusan skenario, aspek yang diperhitungkan dan subkriteria
yang terpilih, maka dibentuk struktur hirarki untuk menggambarkan model pengelolaan yang akan dilakukan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp) guna memulihkan keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng di kedua kawasan tersebut. Struktur hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Struktur hirarki untuk analisis MCDM
102
Untuk mendapatkan bobot persepsi responden, maka pertanyaan yang diajukan adalah, apakah kondisi suatu subkriteria pada suatu skenario akan bertambah, tetap, atau berkurang. Persepsi responden ini selanjutnya diberi bobot, dihitung rata-rata geometrik (Lampiran 17, 18, 19, 20, dan 21), dan dianalisis baik untuk seluruh responden maupun per jenis responden. Besar kecilnya nilai kontribusi dari kriteria dan subkriteria yang menentukan suatu skenario terpilih sebagai yang terbaik, ditentukan oleh persepsi responden. Persepsi responden dipengaruhi oleh tingkat kepentingan terhadap subkriteria yang digunakan. Berdasarkan struktur hirarki yang dibentuk dan analisis data dengan program Criterium Decision Plus melalui metode SMART terhadap rata-rata geometrik dari bobot persepsi responden, maka hasilnya diuraikan menurut masing-masing kriteria keberlanjutan dari pengelolaan sumberdaya perikanan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp). A.
Kriteria Ekologi Skor akhir kriteria ekologi pada masing-masing skenario pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura hanya dipengaruhi oleh skor akhir dari subkriteria keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng. Hasil analisis terhadap persepsi masing-masing responden menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa, seluruh responden sepakat kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan tersebut dapat bertambah (membaik) apabila konversi mangrove dihentikan dan reboisasinya ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, dan aktivitas bom ikan dihentikan.
(1)
Responden Pengumpul Pada responden penggumpul, skor akhir subkriteria ini menunjukkan nilai yang lebih kecil dibanding responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan usaha pengumpul ini bersentuan langsung dengan perairan. Berdasarkan pengalaman pengumpul, penurunan hasil tangkapan terjadi bersamaan dengan semakin meningkatnya permasalahan krusial yang terjadi sekarang di kedua kawasan tersebut. Oleh sebab itu bagi responden ini, skenario I, II dan III tidak berdampak pada
103
bertambahnya kelimpahan larva ikan di kedua kawasan pesisir tersebut. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 36. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario I Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario II
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
Gambar 36 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi (2)
Responden Petambak Hasil analisis persepsi responden ini menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Hal ini dikarenakan menurut persepsi sebagian responden ini masalah sedimentasi tidak terlalu berdampak pada penurunan stok larva ikan bandeng. Masalah sedimentasi hanya terjadi di Teluk Youtefa, sedang usaha pengumpulan larva dilakukan diperairan pesisir Kampung Holtekamp yang relatif jernih. Disamping itu, lokasi usaha tambak berada jauh dari lokasi sedimentasi dan dekat perairan yang relatif jernih (st.I dan II) kecuali terjadi banjir di Kali Buaya. Bagi petambak, bom ikan lebih berdampak pada penurunan kelimpahan larva tersebut. Skor akhir persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 37. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario I
Skenario III
0,00
Gambar 37
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi
104
(3)
Responden Pedagang Hasil analisis persepsi responden ini juga menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Hal ini dikarenakan usaha responden ini hanya berhubungan dengan petambak yang lokasinya berada jauh dari lokasi tempat terjadinya sedimentasi. Oleh sebab itu menurut sebagian responden ini, masalah sedimentasi kurang berpengaruhnya bagi berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan pesisir tersebut dibanding bom ikan. Skor akhir persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 38. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario I
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 38 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi. (4)
Responden Pengambil Kebijakan Hasil analisis persepsi responden ini juga menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Ini menunjukkan bahwa, menurut sebagian responden ini, masalah sedimentasi kurang berdampak pada penurunan hasil tangkap larva ikan bandeng di kedua kawasan pesisir tersebut dibandingkan penggunaan bom ikan. Menurut responden ini peningkatan sedimentasi hanya terjadi di Teluk Youtefa (stasiun III), sedang usaha pengumpulan larva dilakukan di stasiun I dan II yang relatif jernih. Persepsi yang demikian terkait kurangnya pemahaman tentang siklus hidup larva ini dan faktor biofisik yang mempengaruhi keberadaan dan distribusinya di alam. Skor akhir persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 39.
105
Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario I
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 39 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi B.
Kriteria Ekonomi Skor akhir dari dari kriteria ekonomi yang menentukan terpilihnya salah satu skenario sebagai yang terbaik, dipengaruhi oleh skor akhir dari subkriteria peningkatan pendapatan dan peningkatan produksi.
Analisis
terhadap
skenario
kedua
subkriteria
tersebut
pada
masing-masing
menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan.
Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa, ketiga responden tersebut sepakat produksi dan pendapatan mereka akan meningkat melalui penghentian konversi dan peningkatan reboisasi mangrove, pengendalian laju sedimentasi, dan penghentian aktivitas bom ikan. Pada responden petambak dan pengambil kebijakan hasil analisis juga menunjukkan nilai skor akhir yang sama pada masing-masing skenario, baik pada subkriteria peningkatan produksi maupun peningkatan pendapatan. Pada responden pedagang ikan bandeng, hasil analisis persepsi responden pada kedua subkriteria ekonomi ini menghasilkan skenario II sebagai yang terbaik. (1)
Responden Pengumpul Nilai skor akhir pada skenario IV untuk responden ini adalah sebesar 0.25. Nilai skor akhir subkriteria dari masing-masing skenario pada responden ini jauh lebih kecil dibanding responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini terkait dengan presepsi responden ini pada kriteria ekologi.
Dengan tidak adanya mata pencarian alternatif, maka secara
ekonomi pengumpul sepenuhnya bergantung pada ketersediaan larva ikan
106
bandeng secara alami. Oleh sebab itu, hanya skenario IV yang dipandang dapat meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Hasil analisis juga menunjukkan, pada skenario IV, skor akhir subkriteria peningkatan produksi sebesar 0.13, sedang peningkatan pendapatan sebesar 0.12.
Lebih tingginya skor akhir peningkatan produksi daripada
peningkatan pendapatan terkait dengan harga jual larva ini yang sama, baik pada saat melimpah atau berkurang.
Oleh sebab itu bagi pengumpul
peningkatkan hasil tangkap lebih diprioritaskan karena sangat menentukan peningkatan pendapatan mereka. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul terhadap kedua subkriteria pada kriteria ekonomi terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 40. Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario I Peningkatan produksi Peningkatan Pendapatan
Skenario II
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
Gambar 40 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi (2)
Responden Petambak Terpilihnya skenariof IV sebagai yang terbaik menurut persepsi responden petambak, terkait dengan kualitas benih lokal yang lebih unggul dibanding benih luar. Oleh sebab itu apabila masalah krusial kedua kawasan pesisir tersebut teratasi secara bersama-sama, maka larva ikan bandeng akan meningkat dan kebutuhan benih berkualitas akan terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan benih berkualitas akan meningkatkan produksi tambak dan peningkatan pendapatan. Hal ini dikarenakan permasalahan utama penurunan pendapatan petambak di Kampung Holtekamp disebabkan penurunan hasil produksi karena kekurangan benih berkualitas. Persepsi ini juga mempengaruhi nilai skor akhir yang sama untuk subkriteria peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan, yaitu 0.17.
107
Hasil analisis juga menghasilkan skor akhir untuk skenario II lebih besar dari skenario III dan I, yaitu
0,22.
Hal ini terkait dengan persepsi
responden ini pada kriteria ekologi, bahwa sedimentasi kurang berdampak pada berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng. Dengan adanya daerah penyuplai benih alternatif, maka kekurangan benih akan tertutupi sehingga penurunan produksi dan pendapatan tidak sebesar pada skenario I dan III. Skor akhir kedua subkriteria pada skenario II ini juga sama, yaitu 0.11. Ini menunjukkan, karena sebagian kekurangan benih akibat sedimentasi dapat ditutupi dengan mendatangkan benih dari luar, maka membutuhkan biaya operasional yang lebih besar dibanding memanfaatkan benih lokal. Akibatnya produksi dan pendapatan akan seimbang. Pada skenario III dan I, nilai skor akhir kedua subkriteria juga sama, yaitu 0.07. Nilai skor akhir ini merupakan gambaran dari kondisi produksi dan pendapatan petambak saat ini. Skor akhir kedua subkriteria pada skenario I dan III ini mendukung persepsi responden ini pada kriteria ekologi. Dimana bom ikan dianggap lebih berdampak pada penurunan kelimpahan larva ikan bandeng dibanding sedimentasi. Skor akhir dari persepsi responden petambak untuk kriteria ekonomi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 41 . Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Peningkatan produksi Peningkatan Pendapatan
Skenario I
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 41 Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekonomi. (3)
Responden Pedagang Pada responden pedagang, hasil analisis menunjukkan skenario II sebagai yang terbaik.
Terpilihnya skenario II ini, terkait dengan berkurangnya
produksi tambak Holtekamp akibat sedimentasi yang tidak sebesar akibat penggunaan bom ikan. Dengan adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif dan harga beli yang jauh lebih murah, maka kondisi ini sangat
108
menguntungkan pedagang. Hal ini disebabkan pedagang akan menutupi sebagian kebutuhan ikan bandengnya dari daerah penyuplai alternatif tetapi dalam jumlah yang terbatas sehingga biaya yang ditimbulkan relatif kecil. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada analisis keberlanjutan, ikan bandeng produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar dan harganyapun cukup tinggi. Oleh sebab itu dengan memadukan ikan bandeng produksi tambak Holtekamp dan produksi daerah penyuplai alternatif, maka produksi dan pendapatan akan meningkat dengan cepat. Hasil analisis terhadap persepsi responden ini juga menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik kedua. Hal ini terkait dengan adanya kebijakan PEMDA Kota Jayapura untuk membatasi masuknya ikan dari daerah penyuplai apabila kebutuhan konsumsi ikan dapat dipenuhi oleh produksi lokal. Pada skenario IV, terlihat juga bahwa nilai skor akhir peningkatan pendapatan lebih tinggi (0.17) dari peningkatan produksi (0.11). Hal ini menunjukkan bahwa, bila permasalahan krusial kedua kawasan pesisir tersebut teratasi secara bersama-sama, maka produktivitas tambak akan meningkat karena kebutuhan benih terpenuhi. Meningkatnya produktivitas tambak akan berdampak pada keharusan pedagang untuk menampung hasil produksi tersebut. Oleh karena produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar dan harganyapun lebih mahal, maka produksi akan terbatas tetapi pendapatan akan lebih tinggi. Sedang pada skenario III, skor akhir kedua subkriteria berada dibawah skenario IV dengan nilai skor akhir keduanya yang sama, yaitu 0.11. Ini menunjukkan bahwa, dengan masih adanya aktivitas bom ikan produksi tambak Holtekamp akan terus berkurang. Dengan terus berkurangnya produksi tambak Holtekamp berdampak pada meningkatnya permintaan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih banyak.
Untuk
mendatangkan ikan dalam jumlah yang lebih banyak membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi.
Pada kondisi ini biaya produksi dan
pendapatan menjadi seimbang tetapi berkurang. Skor akhir kontribusi bobot persepsi responden pedagang pada kriteria ekonomi terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 42.
109
Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario II
Skenario IV Peningkatan produksi Peningkatan Pendapatan
Skenario I
Skenario III
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 42 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekonomi (4)
Responden Pengambil Kebijakan Pada responden pengambil kebijakan, skor akhir subkriteria peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan pada skenario IV memiliki nilai yang sama, yaitu 0.17.
Kesamaan nilai skor akhir ini terkait dengan persepsi
responden ini bahwa, penurunan pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng di Kota jayapura disebabkan oleh penurunan hasil produksi akibat berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng secara alami. Bila permasalahan krusial kedua kawasan peisir tersebut terselesaikan dapat meningkatkan hasil tangkap dan pendapatan pengumpul. Peningkatan hasil tangkap berdampak pada peningkatan produktivitas tambak dan pendapatan petambak. Peningkatan produktivitas tambak berdampak pada perputaran keuntungan pedagang dengan cepat karena pasar lebih menyukai ikan bandeng dari tambak Holtekamp. Terpilihnya skenario II sebagai yang terbaik kedua, terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi.
Oleh karena menurut persepsi
responden ini berkurangnya larva ikan bandeng lebih disebabkan oleh penggunaan bom ikan dibanding masalah sedimentasi, maka nilai skor akhir dari skenario III dan I juga sama dan lebih kecil (0.11). Kedua skenario ini merupakan kondisi yang terjadi sekarang di kedua kawasan tersebut menurut persepsi responden ini. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan untuk kriteria ekonomi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 43 berikut.
110
Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Peningkatan produksi Peningkatan Pendapatan
Skenario I
Skenario III
0,00
Gambar 43
C.
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekonomi
Kriteria Sosial Skor akhir pada kriteria sosial yang menentukan terpilihnya salah satu skenario sebagai yang terbaik, dipengaruhi oleh nilai skor subkriteria; pemerataan
pendapatan,
keharmonisan
hubungan
antara
pemanfaat
sumberdaya larva ikan bandeng, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Hasil analisis terhadap persepsi responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan untuk masing-masing subkriteria menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk kriteria sosial.
Ketiga jenis
responden ini sepakat bahwa, dengan mengendalikan laju konversi dan meningkatkan reboisasi mangrove serta mengendalikan laju sedimentasi, dan menghentikan aktivitas bom ikan, akan berdampak positif bagi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, peningkatan keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dan peningkatan pemerataan pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng di Kota Jayapura. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut merupakan yang terpenting menurut persepsi responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan.
Hal ini disebabkan permasalahan
krusial kedua kawasan pesisir tersebut yang terjadi saat ini adalah akibat aktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, skor akhir parsipasi masyarakat nilainya semakin kecil pada skenario II, III, dan I pada ketiga responden ini.
111
(1)
Responden Pengumpul Skor akhir kriteria sosial pada skenario IV untuk responden ini lebih tinggi dari ketiga responden lainnya, yaitu 0.50.
Partisipasi masyarakat dan
keharmonisan hubungan antara pemanfaat memiliki nilai skor akhir yang sama, sebesar 0.20, sedang pemerataan pendapatan mendapatkan nilai skor akhir terkecil, yaitu 0.10.
Ini menunjukkan bahwa menurut persepsi
responden ini, dengan terlaksananya pengendalian konversi dan peningkatan reboisasi mangrove, pengendalian sedimentasi dan penghentian aktivitas bom ikan akan meningkatkan kesadaran berpatisipasi
dalam
pengelolaan
kedua
masyarakat untuk turut kawasan
pesisir
tersebut.
Meningkatnya partisispasi masyarakat ini, berdampak positif bagi pemulihan kesehatan stok larva ikan bandeng sehingga hasil tangkap akan meningkat. Peningkatan hasil tangkap akan meningkatkan keharmonisan hubungan antara pemanfaat karena terdorong oleh rasa saling membutuhkan terkait pemasaran hasil. Pemerataan pendapatan juga akan meningkat meski tidak sebesar usaha petambak dan pedagang, karena terkait perbedaan produk dan harga jual. Pada skenario II, III, dan I, skor akhir ketiga subkriteria menurun tetapi dalam besaran nilai yang sama. Nilai skor akhir untuk partisipasi masyarakat sebesar 0.14, keharmonisan hubungan pemanfaat sebesar 0.13 dan pemerataan pendapatan sebesar, 0.03.
Nilai skor akhir ini terkait
dengan persepsi responden ini sebelumnya pada kriteria ekologi. Bagi responden ini, dengan tidak diselesaikannya permasalahan kedua kawasan pesisir tersebut secara bersamaan, partisipasi masyarakat, keharmonisan hubungan pemanfaat, dan pemerataan pendapatan akan tetap seperti kondisi sekarang ini. Meskipun demikian nilai skor akhir dari subkriteria partisipasi masyarakat dan keharmonisan hubungan masih lebih tinggi dari responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini disebabkan, meski kedua kawasan ini mengalami tekanan ekologis yang kompleks, responden ini tetap berpartisipasi untuk menegur pengguna bom ikan.
Hubungan
antara sesama pengumpul, antara pengumpul dengan petambak, dan antara petambak dengan pedagangpun dianggap cukup harmonis. Ini dikarenakan
112
pembagian jadwal tangkap yang selama ini dilakukan tetap berlangsung dan tidak menimbulkan konflik. Petambak juga tetap menyediakan luasan untuk menampung hasil tangkapan mereka. Rendahnya skor akhir pemerataan pendapatan pada ketiga skenario ini, terkait dengan ketergantungan pendapatan responden ini pada keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng secara alami. Keberadaan larva tersebut secara alamipun tergantung pada kondisi kedua kawasan pesisir tersebut saat ini. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 44. Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario I Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Skenario II
Pemerataan Pendapatan
Skenario III
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Gambar 44 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial (2)
Responden Petambak Hasil analisis terhadap persepsi responden ini menghasilkan nilai skor akhir untuk skenario IV sebesar
0.34, dimana masing-masing subkriteria
mendapatkan nilai skor akhir yang sama, yaitu 0.113. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut akan meningkat bila masalah krusial kedua kawasan pesisir tersebut terselesaikan. Bila partisipasi masyarakat meningkat akan berdampak positif bagi peningkatan kelimpahan larva ikan bandeng. Meningkatnya larva ikan bandeng akan berdampak positif bagi peningkatan keharmonisan hubungan antara pemanfaat karena saling membutuhkan dalam hal penyediaan benih dan ikan bandeng serta pemasaran hasil produksi. Kondisi inipun akan mendukung pemerataan pendapatan yang lebih baik. Pada skenario II, ketiga subkriteria menghasilkan nilai skor akhir yang sama, yaitu 0.073, tetapi lebih kecil dari skenario IV. Ini menunjukkan
113
bahwa, apabila masalah sedimentasi tidak terselesaikan, partisipasi masyarakat dalam pengendalian sedimentasipun akan menurun. Kondisi ini berdampak pada menurunnya keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan tersebut, dikarenakan pengumpul akan mencari petambak yang lebih menguntungkan atau sebaliknya. Petambakpun mencari pedagang yang dapat memberi keuntungan lebih atau sebaliknya. Persaingan hasil produksi antar pemanfaat ini akan berdampak pada menurunnya pemerataan pendapatan. Pada skenario III, nilai skor akhir subkriteria partisipasi masyarakat sama dengan nilai subkriteria tersebut pada skenario II. Nilai skor akhir subkriteria keharmonisan hubungan antar pemanfaat dan pemerataan pendapatan lebih kecil tetapi dalam besaran yang sama, yaitu 0.038. Nilai ini menunjukkan bahwa, apabila masalah bom ikan tidak terselesaikan, partisipasi masyarakat dalam penghentian aktivitas bom ikan juga akan menurun.
Dengan menurunnya partisipasi masyarakat ini, penurunnan
kelimpahan larva ikan bandeng akan lebih tinggi dibanding penurunan yang disebabkan sedimentasi. Kondisi ini akan lebih mengurangi keharmonisan hubungan pemanfaat sumberdaya larva tersebut, karena persaingan dalam mempertahankan pengumpul dan pedagang lagangan akan lebih tinggi sehingga kesenjangan pendapatanpun semakin tinggi pula.
Hal ini
disebabkan, dengan semakin berkurangnya stok larva ini, petambak harus menutupi kekurangan benih dari daerah penyuplai alternatif dengan jumlah yang semakin tinggi dan jumlah tersebut tidak akan sama antar petambak karena tergantung pada kemampuan modal masing-masing. Disamping itu, karena keterbatasan produksi tambak, pedagang akan memasukan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif dalam jumlah yang lebih banyak dan atau mencari petambak lain yang dapat memberi keuntungan lebih. Itulah sebabnya mengapa nilai skor akhir ketiga subkriteria ini semakin kecil pada skenario I. Skor akhir dari persepsi responden petambak untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 45.
114
Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Skenario III
Pemerataan Pendapatan
Skenario I
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 45 Skor akhir kontribusi peresepsi responden petambak terhadap kriteria sosial (3)
Responden Pedagang Hasil analisis persepsi responden ini juga menghasilkan nilai skor akhir untuk masing-masing subkriteria pada skenario II sama dengan skenario IV, yaitu, 0.27.
Nilai skor akhir yang sama ini juga terkait dengan persepsi
responden ini pada kriteria ekologi dan ekonomi. Oleh karena usaha ini tidak bersentuan langsung dengan perairan dan ditunjang pula oleh adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, maka bagi responden ini; pemerataan
pendapatan,
keharmonisan
hubungan
antara
pemanfaat
sumberdaya larva ini, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut tetap akan sama. Persepsi ini juga mendasari nilai skor akhir dari subkriteria pemerataan pendapatan pada skenario IV dan II lebih tinggi (0.14) dari kedua subkriteria lainnya. Pemerataan pendapatan merupakan hal yang terpenting dibanding keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut. Persepsi ini terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi dan ekonomi. Pada skenario II, suplai ikan bandeng dari Holtekamp akan berkurang namun tidak sebesar yang diakibatkan oleh penggunaan bom ikan. Pada situasi ini, kekurangan ikan bandeng dapat ditanggulangi dari daerah penyuplai tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga biaya operasional yang dibutuhkan relatif kecil dan pemerataan pendapatanpun akan sama dengan kondisi pada skenario IV. Nilai skor akhir pemerataan pendapatan semakin kecil pada skenario III dan I. Hal ini disebabkan, bila masih ada aktivitas bom ikan, produktivitas pengumpul dan petambak akan semakin menurun. Akibatnya, pedagang harus mendatangkan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih besar.
115
Akan tetapi jumlah ini tidak akan sama antar pedagang karena dibatasi oleh perbedaan modal usaha yang dimiliki. Pada kondisi ini, keharmonisan hubungan antara pemanfaat akan penting karena berhubungan dengan kebutuhan ikan bandeng dan biaya yang harus dikeluarkan. Atau dapat dikatakan bahwa, bagi responden ini keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva menjadi penting ketika produktivitas tambak semakin menurun (skenario III dan I).
Hal ini disebabkan dua hal, yaitu;
(1) pasar lebih menyukai ikan bandeng produksi tambak Holtekamp, (2) untuk mendatangkan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih besar akan terkendala pada modal usaha dan waktu.
Oleh sebab itu
keharmonisan dibutuhkan untuk mempertahankan petambak langganan karena terkait kontinyutas suplai ikan bandeng. Nilai skor akhir partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp pada masing-masing skenario memiliki nilai yang lebih kecil. Pada skenario II dan IV nilainya yaitu 0.04, sedang skenario III dan I nilainya 0.02. Ini menunjukkan bahwa, meski partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut kurang mendapat perhatian dan dianggap sama pada kondisi antara skenario II dan IV, namun responden ini menyadari juga bahwa partisipasi masyarakat akan semakin berkurang bila masalah bom ikan dan atau seluruh permasalahan krusial kedua kawasan tersebut tidak teratasi. Besarnya kontribusi skor akhir dari perepsi responden pedagang untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario, dapat dilihat pada Gambar 46. Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario II
Skenario IV Pemerataan Pendapatan Keharmonisan Hub. P'Nener Skenario III
Parsipasi Msy
Skenario I
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
Gambar 46 Skor akhir kontribusi presepsi responden pedagang terhadap kriteria sosial
116
(4)
Responden Pengambil Kebijakan Hasil analisis persepsi responden ini pada masing-masing subkriteria dari kriteria sosial menunjukkan, nilai skor akhir subkriteria partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut dan keharmonisan hubungan antara pemanfaat semakin berkurang pada skenario II, III, dan I.
Ini menunjukkan bahwa, dengan tidak terselesaikannya
permasalahan kursial kedua kawasan pesisir tersebut secara bersama-sama, maka stok larva ikan bandeng akan terus berkurang dan kebutuhan benih petambak akan semakin meningkat, sedang produktivitas tambakpun akan semakin menurun. Dalam kondisi ini, keharmonisan hubungan pengumpul dan petambak akan berkurang karena pengumpul akan mencari petambak yang lebih menguntungkan atau sebaliknya. Keharmonisan petambak dan pedagangpun akan berkurang karena dengan semakin berkurangnya produksi tambak, pedagang akan mendatangkan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif dalam jumlah yang cukup besar dan atau mencari petambak lain yang dapat memberi keuntungan lebih. Nilai skor akhir subkriteria pemeraan pendapatan pada skenario II dan III juga sama tetapi lebih kecil pada skenario I. Ini menunjukkan bahwa, ketidakmerataan pendapatan antar pemanfaat akan semakin meningkat dengan tidak terselesaikannya permasalahan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp secara bersama-sama.
Bagi pengumpul, hal ini
dikarenakan tidak adanya mata pencarian alternatif. Sedang bagi petambak, meski kebutuhan benih masih dapat diatasi karena memiliki daerah penyuplai benih alternatif, namun kesenjangan pendapatan antara petambak tetap ada karena jumlah benih yang didatangkan tergantung pada modal yang dimiliki. Bagi pedagang meski dapat mendatangkan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif namun tetap akan kurang optimal, karena dibatasi modal usaha dan waktu dibanding memanfaatkan produksi tambak Holtekamp. Besarnya kontribusi skor akhir dari persepsi responden pengambil kebijakan untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 47.
117
Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV
Skenario II Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Skenario III
Pemerataan Pendapatan
Skenario I
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Gambar 47 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria sosial Setelah melakukan analisis terhadap persepsi masing-masing jenis responden pada setiap subkriteria dari masing-masing skenario, maka tahap selanjutnya adalah mencari skenario terbaik pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan melalui pendekatan larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp). Tahapan ini dilakukan melalui analisis terhadap persepsi seluruh responden. Hasil analisis persepsi seluruh responden menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp).
Skor akhir dari persepsi seluruh
responden untuk skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp) dapat dilihat pada Gambar 48.
Gambar 48 Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Gambar 48 diatas, maka pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis pada distribusi sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura adalah melalui; perlindungan ekosistem mangrove, pengendalian sedimentasi, dan penghentian aktivitas bom ikan. Perlindungan ekosistem mangrove penting dilakukan karena
118
ekosistem ini memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup populasi ikan di alam termasuk ikan bandeng, yaitu sebagai daerah asuhan (Lee et al. 1986; Primavera
2000).
Ekosistem ini juga berfungsi sebagai feeding ground,
spawning ground, pencegah terjadinya erosi, resapan air, pelindung daratan dari badai dan hempasan ombak (Primavera 2000; Melena et al. 2000). Bagi kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, ekosistem mangrove ini berfungsi juga sebagai pelindung dari erosi dan abrasi. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan terutama di Teluk Youtefa. Hai ini disebabkan kawasan ini merupakan perairan tertutup sebagaimana digambarkan dalam karakteristik stasiun pengamatan. Kondisi ini mengakibatkan material sedimentasi yang masuk ke perairan tersebut akan menumpuk dan berdampak pada penurunan kualitas air. Dengan menurunnya kualitas air di Teluk Youtefa, maka larva ikan bandeng yang telah kehilangan banyak energi saat memasuki kawasan teluk tersebut harus mengerluarkan energi tambahan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan yang terlalu dratis sehingga berdampak pada meningkatnya kematian alami. Penggunaan bom ikan penting dihentingkan karena dampaknya sangat besar terhadap kerusakan habitat pemijahan, terganggunya aktivitas pemijahan dan kematian larva ikan. Hasil analisis persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario (Gambar 49) menunjukkan, nilai skor akhir yang sama untuk
peningkatan
produksi,
peningkatan
pendapatan,
dan
peningkatan
kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng pada setiap skenario.
Hasil ini
menunjukkan bahwa, produksi dan pendapatan pemanfaat akan meningkat apabila kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng meningkat.
Peningkatan ketiga
subkriteria ini akan terjadi apabila permasalahan krusial kedua kawasan tersebut terselesaikan secara bersama-sama. keharmonisan
dan
pemerataan
Kondisi tersebut akan meningkatkan pendapatan
antar
pemanfaat.
Dengan
terselesaikannya permasalahan krusial kedua kawasan tersebut secara bersamasama akan memberi motifasi kepada masyarakat untuk turut berpatisipasi aktif dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut. Tampilan pada Gambar 49 juga menunjukkan. bahwa kesehatan dan keberlanjutan sistem dalam suatu ekosistem pesisir harus dipahami dan
119
diperhatikan saat merumuskan suatu kebijakan pengelolaan. Bila kesehatan dan keberlanjutan sistem dalam suatu ekosistem terganggu akan berdampak pada ketidakberlanjutan sumberdaya yang hidup didalamnya.
Ketidakberlanjutan
sumberdaya tersebut berdampak pula bagi ketidakberlanjutan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. Contributions to PERIKANAN BERKELANJUTAN from Level:Level 3
Skenario IV
Peningkatan produksi
Skenario II
Peningkatan Pendapatan Sbdy. Larva Ikan Bandeng Parsipasi Msy Skenario III
Keharmonisan Hub. P'Nener Pemerataan Pendapatan
Skenario I
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Gambar 49 Skor akhir persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario Pengelolaan kawasan pesisir dan laut termasuk sumberdaya perikanan agar dapat berkelanjutan menurut Masalu (2000), harus dilakukan secara terpadu baik antara ekosistem dan sumberdaya serta harus terpadu pula antar institusi dalam pemerintahan. Model keterpaduan ini merupakan dasar yang kuat untuk menunjang pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir dan laut yang berkelanjutan. Untuk itu pemahaman hubungan antar ekosistem dan siklus hidup sumberdaya di dalamnya sangat penting bagi semua stakeholders yang terlibat. pendapat tersebut, maka
Berdasarkan
keberadaan institusi BAPPEDA dan BAPEDALDA
sebagai badan yang berkekuatan hukum untuk merencanakan pembangunan dan mengendalikan
dampak lingkungan harus diberikan otoritas penuh untuk
mengendalikan dan membuat ijin bagi setiap aktivitas usaha yang memanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi konflik pemanfaatan dan memudahkan dalam koordinasi. Untuk itu setiap stakeholders dalam kedua badan ini harus memiliki pemahaman yang baik tentang keterkaitan ekosistem dalam kawasan pesisir, dampak yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas terhadap keseimbangan ekosistem dalam kawasan tersebut, dan pengaruhnya secara sosial ekonomi.
Setiap stakeholders di kedua institusi inipun harus
memiliki kemapuan dalam hal koordinasi, agar tercapai keterpaduan program antar intitusi baik sektoral ataupun regional.
120
Dikatakan oleh Adianto et al. (2004), pengelolaan aspek finansial dan administrasi yang baik serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang merupakan syarat pembangunan perikanan berkeberlanjutan yang hanya dapat dicapai pada model pengelolaan yang dikuatkan oleh peraturan. Sebagai skenario terbaik untuk pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp), maka skenario IV ini hanya dapat terlaksana apabila ada dukungan dan komitment dari Pemerintah Daerah setempat. Dukungan dan komitment tersebut dapat berupa aturan tertulis yang mengikat semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, dan finansial. Hal ini dikarenakan, permasalahan krusial di pesisir Kota Jayapura saat ini terutama konversi mangrove dan sedimentasi, diakibatkan oleh penataan kota yang tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi kelangsungan fungsi ekologis di kedua kawasan tersebut. Sedimentasi dan sampah dikawasan Teluk Youtefa telah terjadi dan akan tetap berlangsung karena masuknya saluran pembuangan Pasar Youtefa dan kawasan bisnis Entrop. Oleh sebab itu, dukungan dan komitmen dalam bentuk finansial dibutuhkan untuk pembiayaan dan penataan sampah dan sedimentasi dari kedua saluran pembuangan tersebut. Dukungan finansial dibutuhkan juga untuk mendukung program reboisasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove yang telah dicanangkan oleh
BAPEDALDA,
serta
pembinaan dan pemberdayaan pelaku bom ikan. Pembinaan dan pemberdayaan tersebut harus dilakukan untuk perbaikan dan peningkatan ekonomi maupun SDM.
121
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1
Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan. 1.
Distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan pada seluruh waktu pengamatan, dipengaruhi oleh pola arus serta arah dan kecepatan angin terkait dengan pergantian musim dan karakteristik fisik stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan ukuran panjang tubuh larva yang tertangkap masih berada pada fase akhir larva yang masih bersifat planktonis sehingga migrasi masih dipengaruhi arus. Pada minggu ke- 4 bulan Mei dan minggu ke- 1 bulan Juni, merupakan satu siklus pasang surut yang berada pada awal musim timur. Arah arus dan angin berubah-ubah karena masih dipengaruhi oleh musim sebelumnya tetapi masih didominasi dari arah Timur Laut dengan kekuatan yang telah berkurang. Ditunjang oleh karakteristik stasiun pengamatan, maka
arus yang datang terhadang
Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III untuk selanjutnya sebagian besar arus yang membawa serta larva ikan bandeng dibelokkan masuk ke kedua stasiun tersebut. Minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke1 bulan Juli, juga merupakan satu siklus pasang surut tetapi sudah berada pada pertengahan musim timur. Arah angin didominasi Timur Laut dengan kecepatan yang lebih lemah. Dalam kondisi ini, maka arus yang datang bersamaan dengan larva ikan bandeng juga terhadang Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III, untuk selanjutnya seluruh arus dibelokkan masuk ke dua stasiun tersebut. Kisaran suhu dan salinitas di ketiga stasiun pengamatan selama pengamatn tidak mempengaruhi distribusi dan kelimpahan larva tersebut karena relatif stabil dan masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng.
Karateristik stasiun II yang
terlindung Tanjung Kasu menimbulkan pola arus yang berlawanan menjadi perangkap bagi fitoplankton dan larva ikan bandeng sehingga biomassa dan faktor kondisi larva tersebut cenderung lebih tinggi dari stasiun I dan III.
122
2.
Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp saat ini telah sangat berkurang. Hal ini selain karena permasalahan krusial kedua kawasan pesisir tersebut, diduga ditunjang pula oleh penangkapan yang kontinyu. Kontinyutas penangkapan terjadi karena petambak selalu memanfaatkan larva ini meski stoknya telah berkurang dan ditunjang pula oleh ketergantungan pengumpul secara ekonomi pada keberadaan larva tersebut secara alami.
3.
Pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp belum memperhatikan karateristik serta keterkaitan ekosistem dan sumberdaya di dalamnya. Meningkatnya konversi mangrove, sedimentasi, dan penggunaan bom ikan
berdampak pada terganngunya kesehatan dan keberlanjutan
sistem dalam ekosistem di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan ini dan mengakibatkan ketidakkeberlanjutan usaha pemanfaatan sumberdaya larva tersebut, terutama pengumpul larva dan petambak ikan bandeng.
Ini dikarenakan, kedua usaha ini memiliki
keterkaitan langsung secara ekonomi pada keberadaan larva tersebut secara alami. Oleh sebab itu penyelesaian permasalahan krusial kedua kawasan tersebut harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh.
Ekosistem
mangrove di kedua kawasan tersebut harus dilindungi melalui penghentian laju konversi dan peningkatan reboisasi. Ekosistem terumbu karang harus dilindungi melalui penghentian aktivitas bom ikan. Perlindungan kedua ekosistem ini penting dilakukan karena memiliki funsi ekologis untuk menjamin kelangsungan populasi ikan termasuk ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura, yaitu sebagai nursery ground, feeding ground, dan spawning ground. Penghentian bom ikan penting dilakukan karena berdampak juga pada kematian larva dan juvenil ikan termasuk ikan bandeng, serta berdampak pula pada terganggunya aktivitas pemijahan. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan di Teluk Youtefa, karena kawasan ini merupakan perairan tertutup sehingga material sedimentasi akan menumpuk dan berdampak pada penurunan kualitas air. Penurunan kualitas air ini berdampak pada meningkatnya kematian alami larva ikan termasuk larva
123
ikan bandeng. Ini dikarenakan, larva yang telah kehilangan banyak energi saat memasuki kawasan teluk tersebut harus pula mengerluarkan energi tambahan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan. 6.2
Saran Dengan mengacu pada hasil pengamatan dan pembahasan sebelumnya serta
kesimpulan di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Dibutuhkan komitmen Pemerintah Kota Jayapura dan partisipasi aktif masyarakatnya untuk menghentikan konversi dan meningkatkan reboisasi mangrove, mengendalian sedimentasi di bagian dalam Teluk Youtefa agar fungsi ekologis kawasan ini tetap berlangsung, dan penghentian aktivitas bom ikan.
2.
Pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku bom ikan perlu ditingkatkan. Pembinaan harus dilakukan untuk perbaikan ekonomi dan peningkatan SDM pelaku bom ikan .
3.
Institusi BAPPEDA dan BAPEDALDA harus diberi otoritas untuk mengendalikan dan membuat ijin bagi setiap aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kota Jayapura, guna mengurangi konflik dan memudahkan dalam koordinasi. Untuk itu diupayakan agar setiap individu dalam dua intitusi ini memiliki pemahaman yang baik tetantang karakteristik ekosistem pesisir Kota Jayapura, keterkaitan antar ekosistem dan antara ekosistem dengan sumberdaya di dalamnya, serta dampak yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas terhadap keseimbangan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat di dalamnya.
4.
Perlu dilakukan kajian lanjut tentang dinamika distribusi larva ini minimal II periode kelimpahan, agar informasi yang didapat tentang pola distribusi dan kelimpahan larva ini lebih lengkap. Hal ini dimaksudkan agar, apabila penurunan kelimpahan diakibatkan juga oleh tangkap lebih dan perlu dilakukan pembatasan atau penutupan musim tangkap, maka cukup dilakukan di salah satu lokasi
sehingga pengumpul tetap mendapatkan
penghasilan dan tidak menimbulkan konflik sosial. 5.
Apabila akan dilakukan penutupan areal tangkap dan atau pembatasan jumlah tangkapan untuk melindungi populasi larva ikan bandeng dan larva
124
ikan lainnya, dapat dilakukan di perairan Teluk Youtefa. Hal ini terkait dengan perairan kawasan ini yang relative tenang dan dukungan dari kearifan masyarakat lokal yang sudah ada, seperti; tidak menangkap ikan yang berukuran kecil, penutupan waktu tangkap berdasarkan jenis ikan, dan tidak menggunakan bom ikan di kawasan tersebut. Disamping itu, bila dilakukan di perairan teluk tersebut, tidak menimbulkan dampak sosial karena pengumpulan larva hanya dilakukan di stasiun I dan II. Namun untuk mendukung alternatif ini, konversi mangrove harus dihentikan dan reboisasinya ditingkatkan, aktivitas bom ikan harus dihentikan, dan sedimentasi harus dikendalikan.
125
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L., Matshuda Y., Sakuma Y. 2004. Assesing Local Sustainability Of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach with the case of Yoron Island. Japan: Kagoshima Prefecture. Marine Policy, 29 : 9 – 23. Adrianto L., Kusumastanto T. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Adrianto L. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Perikanan: Participatory Qualitative Modeling. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Anggoro S. 1984. Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Makanan Alami serta Produksi Biomassa Nener Bandeng [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Alongi DM. 1989. The role of soft-bottom benthic communities in tropical mangrove and coral reef ecosystems. CRC Critical Reviews in Aquatic Science 1: 243–280. [APHA] American Public Health Association 1998. Standard Methods for the Examinition of Water and Wastewater. Ed ke- 20. Washington: Amer. Publ. Health Association Inc. xxxvii + 1112 hal. Arinardi OH., Trimaningsih SH Riyono, E Asnaryanti 1995. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Sekitar Pulau Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. iii+110 p. Aziz KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hal. Bagarinao TU. 1991. Biology of Milkfish (Chanos chanos, Forsskal). Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Iloilo. Philippines. Baskoro MS., Wahyu RI., Effendy A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 152 hal. [BAPPEDA] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Jayapura. dalam Angka, 2008. Kota Jayapura: BAPPEDA.
Jayapura
[BAPEDALDA] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan daerah Kota Jayapura. Rencana Strategis, 2008. Kota Jayapura: BAPPEDALDA. Bene C., Tewfik A. 2000. Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen Behaviour Trough a System Approach. Centre For The Economics and Management of Aquqtic Resources. Human Ecology, 29 (2): 157 – 186.
126
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL, IPB. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Papua, Kantor Cabang Kota Jayapura. Data Klimatologi Kota Jayapura Bulan Mei, Juni dan Juli 2009. Kota Jayapura: BMG. Boehlert GW., DM. Gadomski, BC. Mundy 1985. Vertical Distribution of Ichthyoplankton of the Oregon Coast in Spring and Summer Months. Fish Bull., 83 . 4 : 611-621. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Jayapura 2008. Statistik Kependudukan dan Ekonomi Kota Jayapura. Kota Jayapura: BPS. Brower JE., JH. Zar 1990. Field and laboratory Methods for General Ecologi 3rded. Wm. C. Iowa: Brown Publishers Dubugue. 237 p. Budiono M., E. Sudarmi, Bambang SR. 1984. Biologi Bandeng (Chanos chanos, Forsskal). Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. 225 hal. Chen Chun-Nian, Lin Li-Yih, Lee Tsung-Han 2004. Ionocyte Distribusi in Gills of The Euryhaline Milkfish (Chanos chanos, Forsskal, 1775). Zoological Studies, 43 (4): 772 – 777. Chong VC., Sasekumar A., Leh MUC., D’Cruz R. 1990. The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mud flats and inshore waters. Estuarine Coastal and Shelf Science, 31: 703–722. Cicin-Sain B., RW. Knecht 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, Wahintong DC, 517 pp. Clark J. 1974. Coastal Ecosystems: Ecological considerations for manajement of the coastal zone. The Conservation Foundition, Washington, D.C. 178p. Colin WC. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Departement of Matematies University of British Columbia. New York: John Wiley and Sons. Dahuri R., Rais J., Ginting SP., Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sunberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Ed Rev. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R. 1996. Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Di dalam: Seminar Sehari Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PPLH-IPB, Ditjen Bangda dan ADB, Bogor. Bogor: April, 1996. Davis CC. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State Univ. Press. Dishidros 2000. Laporan Survei dan Pemetaan Hidro. Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. Jakarta: Dishidros.
127
[DISKANLA] Dinas Perikanan dan kelutan Kota Jayapura 2008. Data Perikanan Budidaya Kota Jayapura tahun 2007/2008. Kota Jayapura: DISKANLA. [DKP] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua 2006. Penyusunan Master Plan Sentra Perikanan Budidaya Di Kabupaten/Kota Jayapura. Laporan Akhir. Papua: PT. INSAN Group. Effendy MI. 1997. Biologi Ikan. Yokyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal. Effendy MI. 1978. Biologi Perikanan. Studi Natural History. Perikanan Institut Pertanian Bogor. 106 hal.
Fakultas
Fauzi
Jakarta:
A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. 257 hal.
Fleming M., LinG., Sternberg LSL. 1990. Influence of mangrove detritus in an estuarine ecosystem. Bulletin of Marine Science, 47:663–669. Garno YS. 2002. Penerapan Metode Pengendapan pada Penentuan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Pesisir dan Laut (Studi Kasus Kualitas Perairan Pesisir Pulau Pulau Harapan-Kepulauan Seribu). Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 4(5):53-60. Goldman JC., Carpenter EJ. 1974. A Kinetic Approach to the of Temperature in Algal Growth. Limnol Oceanogr, 19 : 754-766. Goldman R., AJ. Horne 1983. Limnology. McGraw Hill International Book Company. Auckland, New Zealand. 464p Gumbriech T. 1986. Application of GIS in Training for Environment Management (46) p 17-30. Hatcher BG., Johannes RE., Robertson AI. 1989. Review of research relevant to the conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanography and Marine Biology Annual Review, 27:337–414. Hayes LM., T. Laevastu 1982. Fisheries Oceanography and Ecology. New Ocean Enviromental Service. London: Fishing News Books Ltd. Hela I., T. Laevastu 1970. Fisheries Oceanography. New Ocean Enviromental Service. London: Fishing News Books Ltd. Hutabarat S., SM. Evans 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Djambatan. 158 hal. [ICES] International Council for Exploration of the Sea 2008. Report of the Working Group on the Assessment of Northern Shelf Demersal Stocks. http//:www.ices.dk [1 Desember 2008] Kay, R., J. Alder 1999. Coastal Plamming and Management. Academic Press. New York. Kennish MJ. 1990. Ecology of Estuaries. Vol II: Biology Aspects. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. 391. 391 h.
128
Kinne O. 1963. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackhish Water Animal, p. 281-339. In: Barnes H. (Ed) Oceonography and Marine Biology, Vol. II: An Anual Review. London: George Allen and Unwin Ltd. Krebs CJ. 1985. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 3 rd edition. New York: Harper and Raw Publisher. 694 hal. Krismono ASN., Krismono 2005. Dinamika Kualitas Air (Oksigen Terlarut, Nitrat dan Fosfat) di Waduk Djuanda Jawa Barat. In: NN. Wiadnyana, ES. Kartamihardja, DI. Hartoto, A. Sarnita, dan MTD. Sunarno. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia ke- 1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta: BRKP. 309-314. Lagler KF., JE. Bardach, RR. Miller, DM. Passino 1977. Ichtyology. John Wileg and Sons, Inc. New York. 505 p. Lee SY. 1995. Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia, 295: 203–212. Lee Ch-Sh., Gordon MS., Watanabe WO. 1986. Aquaculture of Milkfish (Chanos Chanos, Forsskal). Los Angels: State Of The Art. Dep. Of Biology Univ. of California. 31 pp. Lignot JH., S. Spanings-Pierot, G. Charmantier 2000. Osmoregulatory Capacity as a Tool in Monitoring The Physiological Condition and The Effect of Stressin crustaceans. Aquaculture, 191: 209-245. Lin YM., Chen CN., Lee TH. 2003. The Expression of Gill Na, K-ATPase in Milkfish (Chanos chanos). Acclimated to Seawater, Brackish and Fresh Water. Elseivier, A. 135 : 489 – 497. [LKL] Lembaga Konservasi Laut Papua. Penyusunan Profil Serta Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Jayapura, 2008. Kota Jayapura: BAPPEDA. Luckstadt Ch., Reiti T. 2002. Investigations of The Behavior of Juvenile Milkfish (Chanos chanos Forsskal) in Brackishwater Lagoons on South Tarawa, Kiribati. Verhandlungen der Gesellschalt fur Ichthyologie, Band 3 : 37 – 43. Manubun U. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Kaitannya Dengan Unsur Hara Dan Cahaya Di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marion Glaser, Karen Diele 2004. Asymmetric Outcomes : assesing central aspects of the biological, economic and social sustainability of a mangrove crab fishery, Ucides cordatus (Ocypodidae), in North Brasil. Elseivier, Ecological Economics 49: 361 – 373. Marguillier S., van der Velde G., Dehairs F., Hemminga MA., Rajagopal S. 1997. Trophic relationships in an interlinked mangrove-seagrass ecosystem as traced by δ13C and δ15N. Marine Ecology Progress Series, 151: 115–121.
129
Mardjono M., Budiono M., N. Hamid 1985. Tecnic of Catch and Handling of Fish Fry. Aqued to Pond Culture Jepara. Jepara: Brackish Aquaculture Development Center. P 33-62. Marshall N. 1994. Mangrove Conservation in Relation to Overall Environmental Considerations. Hydrobiologia 285:303–309. Masalu DCP. 2000. Coastal and Marine Resource use Conflicts and Sustainable Development in Zanzibar Tanzania. Elseivier, Ocean and Coastal Management, 43 : 475-494. Mantiri ROSE. 1995. Ichthyoplanktonologi. Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado. Materi Kuliah. Manado: UNSRAT. Melena DM. 2000. Mongrove management handbook. Coastal Resource Management project of the Departement of Environment and Natural Resources supported by the United States Agency for lnternational Development. Manila. Philippines. Metarase AC., AW. Kedall Jr., DM. Vinter. 1989. Laboaratory Guide to early life history stages of Northeas pacific Fishes. NOAA Technical Report NMFS 80. U.S. Dept commerce. 652 hal. Munasinghe M. 2001. Interaction Between Climate Change and Sustainable Development- an Introduktion. Int. J. Global Environmental Issues, Vol.1, Bo. 2. Mudjiman 1987. Budidaya Ikan Bandeng. Jakarta: Penebar Swadaya. Mwangamilo JJ., Jiddawi NS. 2003. Nutitional Studies and Development of a Practical Feed for Milkfish (Chanos chanos) Culture in Zanzibar, Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. 2: 137 – 146. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sunberdaya Perikanan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 254 hal. Nontji A. 1986. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 367 hal. Nybakken JW. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan: Biology and Ecological Approach. Jakarta: Gramedia. Odum EP. 1993. Dasar- dasar ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press. 679 hal. Oymak ASK., Solak, E. Unlu 2001. Some Biological Heckel, Characteristich of Silurus triotegus, 1843, from Atatuk Dan Lake (Turkey). Truck Journal, 25 : 139-148. [PERDA] Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 16, 1995. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jayapura. Kota Jayapura: Bag. Hukum. Primavera JH. 2000. Philippines Mangroves - Status, Threats and Sustainable Development. Paper Presented to International Workshop Asia-Pacific
130
Cooperation on Research for Conservation of Mangroves. Okinawa Japan: March, 2000. UNU, 26–30. Robertson AI., Duke NC. 1987. Mangroves as nursery sites: comparisons of the abundance and species composition of fish and crustaceans in mangroves and other nearshore habitats in tropical Australia. Marine Biology, 96: 193– 206. Rodelli MR., Gearing JN, Gearing PJ, Marshall N., Sasekumar A. 1984. Stable isotope ratio as a tracer of mangrove carbon in Malaysian ecosystems. Oecologia, 61:326–333. Rohmimotarto K., Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonografi-LIPI. Jakarta. Xii + 540 hal. Rosyidi S. 2005. Pengantar Teori Ekonomi. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 147-154. Russel FS. 1976. The Eggs Planktonic Stage Of British Marine Fishes. London: Avad Press. hal 446 – 451. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2. Jakarta: Bina Cipta. Sachlan M. 1980. Planktologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. 130 halaman. Sanders JG., Cibik SJ., D’Elia CF., Boyton WR. 1987. Nutrient Enrichment Studies in a Coastal Plain Estuary: change in phytoplanton species composition. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciensces, 44: 83-90. Santiago CB., M. Banes-Alba, ET. Songalia 1983. Effect of Artificial Diets on Growth and Survival of Milkfish Fry in Freshwater. Aquaculture, 34: 247252. Sevilla CG., Twila PG., Belle RP., Gabriel UG. 1993. Pengantar Metode Penelitian (terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia. Sparre P., Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku-1 Manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Singarimbun M. 1995. Tipe Metode dan Proses Penelitian dalam Metode Penelitian Survei (Editor: Singarimbum, Masri, dan Sofian Effendi) LP3ES, Jakarta. Subandar A. 2002. Multi Criteria Making Techniques. Materi Kuliah Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan, 22 Hal. Supriharyono 1987. Inovasi Penerapan Jaring Apung Tarik Pada Pemenuhan Penyediaan Nener Budidaya Tambak. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang: UNDIP.
131
Suseno S. 1984. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Jakarta: Gramedia. Suresh VR., BK. Biawas, GK. Vinci, K. Mitra, A. Mukherjee 2006. Biology and Fishery of Barred Spiny Eel, Macrognathus pancalus, Hamilton. Journal of Acta Ichthyological et Piscatoria, 36 (1): 31-37. Sverdrup HV., MW. Johson, RH. Fleming 1972. The Ocean. Their Physich, Chemistry and General Biology. Englewood Cliffs. Prectice Hall Inc. [UNIPA] Universitas Negeri Papua 2006. Survei Potensi Sumberdaya Teluk Youtefa Berbasis Masyarakat Di Kota Jayapura. Manokwari: UNIPA. Tang YA., TL. Hwang 1972. Stock Manipulation of Coastal Fish Farms, p: 438453. In T.V.R. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo-Pasific Region. Fishing News (Books) Ltd., London. Tzeng WN., SY. Yu 1992. Effects of Starvation on the Formation of Daily Growth Incraments in the Otoliths of Milkfish Larvae (Chanos chanos, Forsskal). J. Fish Biol., 40: 39-40. Wahbah MI., Mohammad BZ. 2001. Temporal Distribution Of Chlorophyll, a Suspended Matter, and The Veritical Flux Of Particles In Aqaba (Jordan). Hydrobiologia, 459 : 147-156. Watanabe WO. 1986. Larvae and Larva Culture. Oceanic Institute. Hawaii. In; C. Sheng Lee and M.S. Gordon and W.O., 1986. Aguaculture of milkfish (Chanos chanos F). State of the art ; 117- 143. Widodo J., Naamin N., Aziz KA. 1998. Metode Pengkajian Stok (Stock Assessment). Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Wilhm JF. 1975. Biological Indicators of Pollution. In BA. Whitton (Ed.), River Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication.
132
Lampiran n 1 Alat yang g digunakann
Seseer (alat penguumpul larva ikan bandeeng)
Termometeer
R Refraktometerr
Plankttonnet
Timbangaan Digital (ketelitian 0.0001 gr)
Lampiran 9 Data kelimpahan larva ikan Bandeng (C chanos, Froskal) dalam individu (ekr/m2/hr). Waktu (Tgl)
Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr
STASIUN I Luas Alur Jml.Nnr Klmphn
STASIUN II STASIUN III Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr Klmphn Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr
Klmphn
24-Mei
179,953
0,84
151,16
250
2
187,245
0,84
157,29
477
3
96,578
0,84
81,13
300
25-Mei
179,953
0,84
151,16
571
4
187,245
0,84
157,29
976
6
96,578
0,84
81,13
388
4 5
26-Mei
179,953
0,84
151,16
651
4
187,245
0,84
157,29
1155
7
96,578
0,84
81,13
389
5
27-Mei
179,953
0,84
151,16
193
1
187,245
0,84
157,29
1260
8
96,578
0,84
81,13
441
5
28-Mei
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
840
5
96,578
0,84
81,13
320
4
29-Mei
179,953
0,84
151,16
342
2
187,245
0,84
157,29
857
5
96,578
0,84
81,13
324
4
30-Mei
179,953
0,84
151,16
513
3
187,245
0,84
157,29
1513
10
96,578
0,84
81,13
441
5
∑
2520
17
∑
7078
45
∑
2603
32
Rata-rata
420
3
Rata-rata
1011
6
Rata-rata
372
5
750
5
96,578
0,84
81,13
262
3
01-Jun
179,953
0,84
151,16
522
3
187,245
0,84
157,29
02-Jun
179,953
0,84
151,16
200
1
187,245
0,84
157,29
900
6
96,578
0,84
81,13
360
4
03-Jun
179,953
0,84
151,16
519
3
187,245
0,84
157,29
1516
10
96,578
0,84
81,13
440
5
04-Jun
179,953
0,84
151,16
495
3
187,245
0,84
157,29
809
5
96,578
0,84
81,13
396
5
05-Jun
179,953
0,84
151,16
524
3
187,245
0,84
157,29
872
6
96,578
0,84
81,13
363
4
∑
2260
15
∑
4847
31
∑
1821
22
Rata-rata
452
3
Rata-rata
969
6
Rata-rata
364
4
25-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
793
5
96,578
0,84
81,13
198
2
26-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
976
6
96,578
0,84
81,13
192
2
27-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
1007
6
96,578
0,84
81,13
216
3
29-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
1242
8
96,578
0,84
81,13
219
3
30-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
593
4
96,578
0,84
81,13
172
2
∑
0
0
∑
4611
29
∑
997
12
Rata-rata
0
0
Rata-rata
922
6
01-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
435
3
03-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
415
3
96,578
0,84
81,13
211
3
04-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
1125
7
96,578
0,84
81,13
310
4
05-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
782
5
96,578
0,84
81,13
288
4
06-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
502
3
96,578
0,84
81,13
163
2
07-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0
187,245
0,84
157,29
710
5
96,578
0,84
81,13
304
4
∑
0
0
∑
3969
25
∑
1452
18
Rata-rata
0
0
Rata-rata
662
4
Rata-rata
242
3
96,578
0,84
Rata-rata
199
2
81,13
176
2
Lampiran 10 Data kelimpahan larva ikan bandeng (Cchanos , Froskal) dalam biomassa (gr/m2/hr). Waktu (Tgl)
Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr
Luas Alur
STASIUN I Jml.Nnr Rt2 Brt
TTL Brt Biomassa
STASIUN II Pjg.Alur Lbr .Mlt.SsLuas Alur Jml.Nnr Rt2 Brt 477
0,002
TTL Brt Biomassa
24-Mei
179,953
0,84
151,16
250
0,002
0,50
0,003
187,245
0,84
157,29
0,95
0,006
25-Mei
179,953
0,84
151,16
571
0,002
1,14
0,008
187,245
0,84
157,29
976
0,004
3,90
0,025
26-Mei
179,953
0,84
151,16
651
0,004
2,60
0,017
187,245
0,84
157,29
1155
0,005
5,78
0,037
27-Mei
179,953
0,84
151,16
193
0,004
0,77
0,005
187,245
0,84
157,29
1260
0,004
5,04
0,032
28-Mei
179,953
0,84
151,16
0
0
0
0
187,245
0,84
157,29
840
0,005
4,20
0,027
29-Mei
179,953
0,84
151,16
342
0,004
1,37
0,009
187,245
0,84
157,29
857
0,005
4,29
0,027
30-Mei
179,953
0,84
151,16
513
0,004
2,05
0,004
187,245
0,84
157,29
1513
0,005
7,57
0,048
∑
2270
0,020
8,44
0,046
∑
7078
0,03
31,72
0,202
Rata-rata
378
0,003
1,41
0,009
Rata-rata
1011
0,004
4,53
0,029
01-Jun
179,953
0,84
151,16
522
0,002
1,04
0,007
187,245
0,84
157,29
750
0,003
2,25
0,014
02-Jun
179,953
0,84
151,16
200
0,003
0,60
0,004
187,245
0,84
157,29
900
0,004
3,60
0,023
03-Jun
179,953
0,84
151,16
519
0,004
2,08
0,014
187,245
0,84
157,29
1576
0,005
7,88
0,050
04-Jun
179,953
0,84
151,16
495
0,003
1,49
0,010
187,245
0,84
157,29
809
0,005
4,05
0,026
05-Jun
179,953
0,84
151,16
524
0,004
2,10
0,014
187,245
0,84
157,29
872
0,005
4,36
0,028
∑
2260
0,016
7,30
0,048
∑
4907
0,022
22,14
0,141
Rata-rata
452
0,003
1,46
0,010
Rata-rata
981
0,004
4,43
0,028
25-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
793
0,005
3,97
0,025
26-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
976
0,006
5,86
0,037
27-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
1007
0,006
6,04
0,038
29-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
1242
0,006
7,45
0,047
30-Jun
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
593
0,006
3,56
0,023
∑
0
0,000
0,000
0,000
∑
4611
0,029
26,87
0,171
Rata-rata
0
0,000
0,000
0,000
Rata-rata
922
0,006
5,37
0,034
01-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
435
0,004
1,74
0,011
03-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
415
0,005
2,08
0,013
04-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
1125
0,006
6,75
0,043
05-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
782
0,006
4,69
0,030
06-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
502
0,005
2,51
0,016
07-Jul
179,953
0,84
151,16
0
0,000
0,000
0,000
187,245
0,84
157,29
710
0,006
4,26
0,027
∑
0
0,000
0,000
0,000
∑
3969
0,032
22,03
0,140
Rata-rata
0
0,000
0,000
0,000
Rata-rata
662
0,005
3,67
0,023
Lanjutan ….. … Lampiran 10 br .Mlt.Ss Luas Alur Jml.Nnr
STASIUN III Rt2 Brt TTL Brt Biomassa
(Tgl)
Pjg.Alur
24-Mei
96,578
0,84
81,13
300
0,002
0,60
25-Mei
96,578
0,84
81,13
388
0,003
26-Mei
96,578
0,84
81,13
389
0,004
27-Mei
96,578
0,84
81,13
441
28-Mei
96,578
0,84
81,13
29-Mei
96,578
0,84
30-Mei
96,578
0,84
(Tgl)
Jml.Nnr
Rt2 Brt
TTL Brt Biomassa
0,007
25-Jun
198
0,003
0,59
0,007
1,16
0,014
26-Jun
192
0,004
0,77
0,009
1,56
0,019
27-Jun
219
0,004
0,88
0,011
0,004
1,76
0,022
29-Jun
219
0,004
0,88
0,011
320
0,003
0,96
0,012
30-Jun
172
0,003
0,52
0,006
81,13
324
0,004
1,30
0,016
∑
1000
0,018
3,63
0,045
81,13
441
0,004
1,76
0,022
Rata-rata
200
0,004
0,73
0,009
∑
2603
0,024
9,10
0,112
01-Jul
176
0,003
0,53
0,007
Rata-rata
372
0,003
1,30
0,016
03-Jul
211
0,004
0,84
0,010
01-Jun
96,578
0,84
81,13
262
0,003
0,79
0,010
04-Jul
310
0,004
1,24
0,015
02-Jun
96,578
0,84
81,13
360
0,004
1,44
0,018
05-Jul
288
0,005
1,44
0,018
03-Jun
96,578
0,84
81,13
440
0,005
2,20
0,027
06-Jul
163
0,005
0,82
0,010
04-Jun
96,578
0,84
81,13
396
0,005
1,98
0,024
07-Jul
304
0,005
1,52
0,019
05-Jun
96,578
0,84
81,13
363
0,005
1,82
0,022
∑
1452
0,026
6,39
0,079
∑
1821
0,022
8,22
0,101
Rata-rata
242
0,004
1,06
0,013
Rata-rata
364
0,004
1,64
0,020