Senandung Cinta dari Pinggir Kali Bekasi Rabu, 25 Mei 2016 | 09:26 WIB
EPA/HARISH TYAGI
Dalai Lama
“My religion is very simple. My religion is kindness.” Dalai Lama XIV Anda mungkin pernah mendengar cerita ini. Saya menemukannya di sebuah buku.
Suatu kali Dalai Lama ditanya, “Menurut Anda, agama apakah yang paling baik?” Yang bertanya adalah Leonardo Boff, seorang teolog asal Brazil, salah seorang pencetus teologi pembebasan. Dalai Lama, pemimpin umat Budha di Tibet, tidak menjawab agama Budha lah yang terbaik. Sambil tersenyum ia berkata, “Agama yang paling baik adalah agama yang membuat manusia lebih dekat dengan Tuhan dan menjadikannya manusia yang lebih baik.” Seperti apakah manusia yang lebih baik itu? Dia menjelaskan, manusia yang lebih baik adalah mereka yang memiliki welas asih, memiliki cinta, tidak terikat oleh kemelekatan, bertanggungjawab, beretika, dan yang menggunakan hidupnya untuk memanusiakan sesamanya. “Saudaraku,” kata Dalai Lama, “saya tidak tertarik apa agamamu atau bahkan apakah kamu beragama atau tidak beragama, yang terpenting buat saya adalah tingkah lakumu di hadapan rekan, keluarga, pekerjaan, komunitas, dan dunia. Ingatlah, semesta ini adalah gema dari tindakan dan pikiran kita.” Bagi Dalai Lama, agamanya adalah kebaikan. Pengertian agama yang kita kenal selama ini dan terbakukan dalam segala dogma dan tertib admininistratif kenegaraan adalah bungkusnya. Isinya atau substansinya adalah kebaikan. Saya lalu teringat Gus Dur. Dalam sebuah kesempatan tokoh Nahdlatul Ulama ini pernah berujar, “Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.” Ujaran Gus Dur ini menjadi salah satu kutipan yang paling sering dikenang orang. Senandung anak-anak pesantren Di sebuah sudut bekasi, di suatu hari Minggu, di sebuah gereja kecil di
pinggir kali, saya menemukan cerita seperti yang dituturkan Dalai Lama dan Gus Dur. Cerita kecil namun bermakna agung tentang cinta dan kemanusiaan yang melampaui batas-batas agama. Persaudaraan dan cinta sejati yang memanusiakan kehidupan bergetar pada dinding kalbu yang paling dalam. Hari Minggu itu adalah hari Pentakosta yang dirayakan umat nasrani di seluruh dunia. Dalam tradisi Yahudi, Pentakosta adalah perayaan syukur atas panen gandum. Sementara dalam tradisi Kristen, Pentakosta dimaknai sebagai hari turunnya Roh Kudus atas para murid Yesus. Diceritakan dalam Kitab Suci, berkat roh kudus, para murid Yesus mampu menyatukan segala bangsa yang berbeda suku dan bahasa. Roh kehidupan yang sama (apapun kita menyebutnya) juga berkarya menyatukan ragam manusia yang berbeda di hari Minggu itu. Perbedaan tidak harus diseragamkan. Perbedaan juga bukan alasan untuk bermusuhan dan menghalangi persahabatan. Di tengah ibadah, Pak Pendeta mengundang rombongan kecil para sahabatnya yaitu para santri dari sebuah pesantren di kawasan Bogor, Jawa Barat, untuk masuk gereja mendendangkan lagu. Biasanya di tengah ibadah ada saat di mana jemaat berkesempatan tampil menyanyi sebagai bentuk pujian kepada Tuhan pemilik kehidupan. Pendeta itu menjelaskan, tema ibadah hari itu adalah tentang persaudaraan dan persatuan dalam keberagaman. Gereja ingin menghadirkan tema itu dalam ibadah perayaan Pentakosta. “Keberagaman itu indah. Kesombongan dengan mengatakan akulah yang paling benar akan melahirkan penindasan terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak benar. Kesombongan seperti itu menghancurkan, sementara kerendahan hati menyatukan,” kata dia. Maka, masuklah enam orang santri ke dalam gereja.
Di sisi kanan altar, Aisyah yang mengenakan kerudung hitam berdiri menggesek biola. Di sudut kiri, ada Hasby, pendamping para santri, duduk memetik gitar. Tubuhnya dibalut jas berwarna coklat muda. Sebuah syal abu-abu melilit lehernya . Di dekat Hasby, seorang santri lelaki berkemeja kotak-kotak hitam menabuh Cajon (alat musik pukul). Sementara di tengah, tiga orang santri perempuan menjadi para penyanyinya. Mereka menyanyikan dua lagu rohani Kristen yang populer di kalangan umat nasrani: "Shalom Aleichem" dan "Betapa Hatiku". Jemaat gereja sontak bertepuk tangan penuh gemuruh. Baru kali ini mereka melihat anak-anak pesantren tampil menyanyi di dalam gereja mereka. Menurut Hasby, kedua lagu itu memiliki makna universal. Pesan dalam lagu itu melewati sekat-sekat perbedaan yang kerap dibangun oleh manusia sendiri. “Shalom Aleichem” adalah bahasa Ibrani yang artinya damai kiranya menyertaimu. Lagu pertama adalah semacam doa yang diunjukkan para santri agar berkah kedamaian selalu menaungi jemaah gereja. Sementara, lagu kedua adalah ungkapan persembahan para santri kepada Tuhan. Lagu terakhir memiliki makna khusus bagi pesantren Hasby. Kaum nasrani, baik Kristen maupun Katolik, umumnya mengenal baik lagu ini. Di Youtube ada banyak videonya. Hasby menyebut, lagu itu memang biasa dinyanyikan di pesantrennya. Begini liriknya. Betapa hatiku Berterima kasih Tuhan Kau mengasihiku Kau memilikiku Hanya ini Tuhan persembahanku Segenap hidupku jiwa dan ragaku S’bab tak kumiliki harta kekayaan Yang cukup berarti
Tuk ku persembahkan Hanya ini Tuhan permohonanku Terimalah Tuhan persembahanku Pakailah hidupku sebagai alatMu Seumur hidupku. “Pesantren kami adalah pesantren untuk anak-anak kurang mampu. Lagu ini menjadi sangat bermakna karena kami memang hanya punya diri dan hidup kami sebagai persembahan kepada Tuhan,” cerita Hasby saat saya mengajaknya berbincang di luar gereja. Menurut Hasby, lagu itu diwariskan dari generasi ke generasi. “Saat saya datang menjadi pendamping sekitar empat tahun lalu, lagu itu sudah sering dinyanyikan di sana," tuturnya. Hasby dan para santri kerap mendapat undangan untuk menyanyi di berbagai acara, baik di komunitas muslim maupun nasrani. Mereka juga pernah tampil di acara Natal dan Paskah. Menurut Hasby, di pesantrennya para santri dididik untuk mencintai tanah air. Menurut dia, keimanan seseorang juga diuukur dari seberapa besar dia mencintai negerinya. Ia meyakini keragaman adalah karunia indah dari Tuhan. “Keragaman Indonesia ini harus dijaga. Toleransi perlu dikembangkan. Semua orang adalah saudara dalam kemanusiaan,” kata dia. Pak Haji sahabat gereja Cerita tentang gereja kecil dan ibadah di hari Minggu itu belum selesai. Ada cerita berikutnya dalam kesempatan yang sama. Gereja itu terletak di sebuah gang buntu. Pelatarannya pernah amblas karena tanahnya terkikis aliran air kali Bekasi yang deras. Pak Haji, tokoh masyarakat setempat, membantu jemaat gereja kecil itu mendirikan tempat ibadah di pinggir kali tersebut. Sebelumnya, ratusan jemaah gereja ini beribadah di sebuah ruko karena
tidak memiliki rumah ibadah. Pada suatu Minggu pagi, sekian tahun lalu, puluhan lelaki membubarkan ibadah mereka. Tak boleh lagi ada acara doa di ruko kecil itu. Di tengah kebingungan mencari tempat untuk ibadat, datanglah Pak Haji menjadi sahabat para jemaat. Ia menjadi pengayom, mencarikan tempat, dan melindungi jemaat gereja ini beribadah dengan leluasa. “Tuhan yang saya imani adalah Tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia. Tuhan hanya melihat kebaikan kita,” kata dia di suatu siang saat saya datang berbincang di teras rumahnya. Saya ingin mendengar ceritanya tentang gereja di pinggir kali itu. Siang itu Pak Haji terlihat lemah. Tapi, senyumnya terus mengembang. Meski jalannya dipapah ia tampak ceria. Serangan stroke membuat kakinya tak sekuat dulu menopang badannya. Sejumlah penyakit lainnya datang menghinggapi. Kulitnya tampak menghitam. Mungkin karena banyaknya obat yang harus dia konsumsi. “Izinkan saya hidup di tengah umat nasrani dan umat-umat lainnya. Saya hanya ingin hidup berdampingan sebagai sesama saudara se-Indonesia Raya. Tak ada yang lebih indah selain hidup rukun dan sejahtera,” ia bertutur perlahan. Senyumnya terus menghias wajahnya. Nah, hari Minggu pagi itu, Pak Haji diundang datang dalam ibadah di gereja. Ada kejutan untuknya dari jemaat gereja. Di ujung ibadah, ia diundang maju ke depan altar. Dipapah isterinya, ia berjalan pelan. Baju batik lengan panjang cokelat yang dikenakannya tampak kebesaran. Tubuhnya menyusut karena sakit yang menderanya. “Pak Haji,” seorang anggota majelis berucap di sampingnya. “Untuk meringankan biaya pengobatan Pak Haji, gereja akan menanggung biaya BPJS Pak Haji dan seluruh anggota keluarga seumur hidup.” Untuk kedua kalinya, tepuk tangan bergemuruh di dalam ruang gereja. Kejutan yang indah. Pak Haji tak kuasa membendung air mata. Pundaknya berguncang. Air mata di pelupuk istrinya juga menggenang.
Semesta seperti mengguyur ruangan itu dengan cinta yang memabukkan. Dari pinggir kali Bekasi senandung cinta itu berkumandang memanggil setiap jiwa untuk melebur jadi satu atas nama manusia dan kehidupan. Penulis: Heru Margianto Editor: Wisnubrata