CILIWUNG LARUNG: MODEL ALTERNATIF PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN ANAK DAN REMAJA PINGGIRAN KOMUNITAS “RUANG-SISA” BANTARAN SUNGAI CILIWUNG MELALUI TEATER KOMUNITAS
I.Sandyawan Sumardi Aduhai kau Anak-anak pelangi Pinggir kali Lucu sekali Penuh nyali Aduhai kau
Aduhai kau Anak-anak derita Jiwa merdeka Siap berlaga Tak pernah jera Aduhai kau
Aduhai kau Anak-anak sungai Hidup berderai Begitu pandai Selalu bisa santai Aduhai kau
Aduhai kau Anak-anak jelata Pinggir kota Jiwa pujangga Selalu penuh warna Aduhai kau
Lepas aurat Telanjang bulat Berjoget merapat Melompat-lompat Terjun di air cokelat Tak juga tobat-tobat Aduhai kau!
Menari-nari Gerak alami Nyemplung di kali Berenang ke sana ke mari Riuh rendah bernyanyi Pecah tawa setanggi Aduhai kau!
Hiya, hiyaa ha ha ha ha ha Hore, horee he he he he he Yaho, yahoo ho ho ho ho ho Cihu, cihuu hu hu hu hu hu
Hiya, hiyaa ha ha ha ha ha Hore, horee he he he he he Yaho, yahoo ho ho ho ho ho Cihu, cihuu hu hu hu hu hu Jakarta, 5 April 2010
Lagu berjudul “ADUHAI” ini merupakan lagu rakyat, dengan gaya musik akustik Rumba, Amerika Latin, yang diciptakan penulis bersama anak-anak Ciliwung Merdeka. 1
1. Prolog Syair, itu yang aku pilih. Aku ingin mengekspresikan perikehidupan kaum yang komunitasnya selama ini tengah aku peluk, aku libati, dalam bentuk syair. Melalui syair, aku yakin, kompleksitas kehidupan “komunitas ruang sisa” ini akan dapat terungkap secara lebih jujur dan sederhana. Bahkan problematika kehidupan mereka yang serba subtil sekalipun, akan terasa, terungkap getarannya. Sejak tahun 2000, khususnya setelah pemerintahan Soeharto berakhir atau di awal masa reformasi, aku memutuskan untuk tinggal dan hidup bersama di tengah komunitas warga pinggiran di bantaran sungai Ciliwung di Bukit Duri (Kec. Tebet, Jakarta Selatan) yang berseberangan dengan Kampung Pulo (Kec. Jatinegara, Jakarta Timur). Tepatnya di RT 06/RW 012, Kel. Bukit Duri, bersama komunitas warga kami mendirikan dan menyelenggarakan rumah terbuka “Sanggar Ciliwung”. Terutama bersama anak-anak dan remaja, anak-anak muda setempat yang juga dibantu beberapa relawan dari luar, kami melakukan proses belajar bersama dan pendampingan terhadap komunitas warga di RT 05, 06, 07 08 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan warga di RT 09, 10, 11 RW 03 Kelurahan Kampung Pulo, Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur yang berjumlah sekitar 2800 jiwa, khususnya kaum muda sekitar 600 orang dan perempuan sekitar 1000 orang. Tujuan kami adalah agar para warga secara bersama, dengan kesadaran kritis, sikap solidaritas dan swadaya nyata, semakin mampu mengembangkan tata-bangkit (survival system) martabat dan hak-hak azasinya, khususnya dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam banjir, ancaman Narkoba HIV-AIDS, ancaman penggusuran-paksa, dan kepungan kemiskinan/ketidakadilan struktural di bidang sosial-ekonomi-politik-hukum dan budaya melalui ikhtiar-ikhtiar solusi alternatif-transformatif nyata, antara lain melalui program gerakan swadaya pendidikan alternatif di bidang lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, tata-ruang, gerakan seni-budaya, sistem manajemen organisasi untuk menata dan mengembangkan kualitas kehidupan kampung kami, agar menjadi lebih sehat, mandiri, terbuka-komunikatif, manusiawi, solider dan selalu mau belajar dan kreatif. Gerakan perjuangan kebangkitan. Dan sejak aku berikhtiar untuk lebih intens bersentuhan dengan gerakan jiwa komunitaskomunitas warga pinggiran ini, entah itu anak-anak, remaja, para ibu dan sebagian besar warga lelaki dewasa, aku pun masuk dalam proses percakapan menyeluruh itu, “total conversation” dengan situasi ketidakpastian, keterasingan, situasi batas daya kemampuan hidup mereka, tapi juga dengan kerinduan, semangat perjuangan bersama, kegembiraan dan harapan-harapan mereka. Ketika aku berusaha semakin membuka telinga hatiku, ternyata aku dapat mendengar senandung malam para warga bantaran sungai yang tengah khusyuk bersujud pada Sang Maha Gaib. Aku dapat mendengar konser musik suara kercik air sungai yang bernyanyi bersama suara desau angin yang menerpa daun-daun rumpun bambu, ditingkahi suara celotehan riuh-rendah anak2
anak jiwa merdeka yang sedang menari-nari telanjang, mandi di sungai yang kecoklat-coklatan bau sampah. Dengan sedikit lebih berani membuka mata hatiku, aku dapat melihat titik air mata derita tapi juga senyum keikhlasan pada mata sayu dan raut wajah tabah para ibu penuh sahaja di Bukit Duri dan Kampung Pulo. Bahkan aku dapat menyaksikan gerilya perasaan tertekan dan amarah jiwa terpendam pada air muka sebagian kaum muda atas segala ketidakadilan yang melindas hidup mereka, terutama akibat korupsi yang bermagma di puncak kepundan kekuasaan dan birokrasi negara, dalam berbagai bentuk simbol pernyataan dan protes pada lukisan mural dan graffiti di rumah-rumah padat sepanjang gang sempit bantaran kali, termasuk lukisan tattoo pada lengan dan tubuh penuh keringat beberapa pemuda kampung urban ini. Aku dapat melihat bayang-bayang kerinduan yang mendalam tapi juga harapan manusiawi yang tulus pada kisah perjuangan warga dalam komunitas ruang sisa ini. Aku dapat merasakan kecintaan dan penerimaan mereka yang tulus pada keanekaragaman komunitas-komunitas suku bangsa di tanah tumpah darah Nusantara ini. Aku bahkan mengalami bersama mereka, kerinduan, keyakinan dan penyerahan hidup pada Sang Maha Pencipta.
2. Ciliwung Larung Di penghujung 2009, setelah mengalami jatuh-bangun, akhirnya bersama-sama kami menyadari bahwa “Ciliwung”, pada hakekatnya bukan sekedar nama sungai, tapi juga mengandung pengertian keseluruhan lingkungan tata ruang hidup, termasuk/terutama yang mengartikulasikan harkat dan martabat hidup komunitas-komunitas warga pinggiran penduduk di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. “Larung”. Bahasa Jawa “dilarung” difahami sebagai “dihanyutkan di sungai atau di laut”. Tapi bukan dalam arti “dibuang” atau “dienyahkan”, melainkan dalam arti “disucikan”, “disempurnakan”, yang dalam bahasa Jawa juga kadang pengertiannya sama dengan istilah “diruwat”, yaitu seseorang/sekelompok orang, atau benda, atau peristiwa, dimasukkan dalam alam ritus/upacara penuh doa permohonan agar diberkahi Tuhan, supaya sungguh bisa lebih lebih bebas-merdeka, lebih hidup, tumbuh dan berkembang, bangkit. Perjuangan kebangkitan yang disucikan! Maka “Ciliwung Larung” merupakan ekspresi kesadaran dan kerinduan kolektif seluruh realitas hidup, baik manusia maupun alam raya lingkungan serba heterogen yang saling membutuhkan dan melingkupinya, agar sungguh dapat dibebaskan, dijauhkan dari segala bencana alam dan tragedi belenggu pemiskinan serta ketidakadilan, sehingga komunitas-komunitas basis kemanusiaan di sepanjang bantaran sungai Ciliwung dapat lebih dibebaskan dan diberdayakan 3
melalui berbagai bentuk proses pendidikan alternatif-kreatif yang diselenggarakan secara bersama, penuh kesadaran kritis, solidaritas-partisipatif, mandiri-otentik, bebas-otonom dan berkelanjutan. “Ciliwung Larung” pada hakekatnya adalah kisah perjuangan komunitas-komunitas warga pinggiran bantara Kali Ciliwung, dari pengalaman keterpurukan karena diasingkan dari akses sosial, ekonomi, politik dan budaya, dari ketidakpastian dan ketakutan akan ancaman “penggusuran paksa” karena adanya Rencana Program Normalisasi Kali Ciliwung 2009-2012, menjadi terjaga sadar dan bangkit untuk mewujudkan program-program nyata swadaya kebangkitan jiwa anak-anak, remaja dan warga komunitas Bukit Duri dan Kampung Pulo. Pengalaman dan proses transformasi kehidupan warga pinggir kali Ciliwung, dari keterasingan, keterpurukan, menuju perubahan, pembebasan dan kebangkitan bersama. “Ciliwung Larung” adalah seluruh proses pendidikan dan perjuangan hak asasi manusia, hidup bersama anak-anak, remaja dan seluruh komunitas warga di bantaran kali Ciliwung Bukit Duri dan Kampung Pulo ini terutama di tahun 2010-2012, melalui: (1). Pendidikan Alternatif, (2). Pasar Rakyat, (3). Tata-Ruang Kampung Seni, (4). Gerakan Penghijauan, (5). Pementasan Budaya: Musik, Teater, Tari, Audio-Visual, Tulisan Sastra, Festival/Lomba Musik Anak-anak Muda Bantaran Ciliwung, (6). Pembuatan Film Dukumenter dan Penulisan Buku: “Gerakan Budaya Ciliwung larung”: Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia Anak-anak dan Remaja Bantaran Sungai Ciliwung di Bukit Duri – Kampung Pulo. Syukurlah proses belajar bersama ini kemudian dapat terwujud dalam wujudnya yang lebih ekspresif berupa Pementasan Budaya Teater Musikal Ciliwung Merdeka di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada tanggal 3-6 Juli 2011, dengan tema: “Perjuangan Komunitas Ruang Sisa”. Pementasan pementasan perdana di TIM ini melibatkan 75 pemain dan pemusik terutama para remaja, anak-anak, dan ibu-ibu, serta didukung oleh sekitar 50 orang tim produksi yang hamper semuanya juga berasal dari anak-anak muda warga kampung Bukit Duri dan Kampung Pulo. Demikianlah melalui syair-syair balada, musik kerakyatan, seni ekspresi, seni peran, seni gerak tubuh, seni teater kontekstual, aku mencoba mendengar, melihat, menyaksikan, merasakan, mencerna dan mengungkapkan suara jiwa para warga, bersama para warga. Ya, bersama para warga, kami mulai mencipta. kami mencipta karena kami rindu. Kami rindu karena kami percaya. “Aku percaya pada matahari, meski ia tidak bersinar. Aku percaya pada cinta, meski aku tidak merasakannya. Aku percaya pada Allah, meski Ia tengah diam saja.” (Kata-kata ini ditulis oleh seseorang pada dinding sebuah gudang persembunyian di Cologne, di mana orang-orang Yahudi bersembunyi dari kejaran kaum Nazi pada Perang Dunia II).
4
3. Komunitas “Ruang Sisa” “Ruang sisa” (terrain vague) adalah ruang yang serba tidak jelas dari segi geometri ruang, penggunaan, kepemilikan dan pencapaian ini sering dipandang secara negatif. Bagaimanapun juga, ruang-ruang yang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan sebuah metropolis. Sebuah metropolitan yang telah mengalami pertumbuhan yang panjang merupakan tumpukan berbagai lapisan sejarah (palimpsest). Ruang-ruang sisa tadi walaupun bukan dihasilkan dari produk yang direncanakan atau bagian yang terabaikan dari perencanaan, akan tetap memiliki makna tertentu bagi masyarakat metropolis itu. Ketika kita memasuki Jakarta sebagai metropolitan, kita saksikan pemandangan, betapa masih begitu banyaknya “lahan-lahan tidur” milik negara atau pemilik modal yang sama sekali tak dimanfaatkan. Kita saksikan kawasan pelabuhan yang sudah mengalami degradasi akibat perubahan teknologi, ruang-ruang sisa di antara persilangan jalan bebas hambatan, ruang-ruang di antara bangunan industri yang tidak jelas pemanfaatannya, perumahan kumuh dibantaran kali dan ruang-ruang terlantar lainnya sering menjadi pemandangan umum. Apabila kita mulai mengelilingi Jakarta di atas jalan tol, maka kita dengan mudah melihat ruang-ruang residual di atas tersebar di sepanjang jalan itu. Ruang sisa adalah ruang-ruang kosong yang de facto tidak dimanfaatkan di wilayah perkotaan seperti Jakarta ini, setelah para pengembang dan pemilik modal atau pemerintah berlomba “mengambil”, “merebut” dan “menguasai” sebagian besar ruang-ruang publik yang seharusnya diselenggarakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Komunitas-komunitas warga pinggiran di Bukit Duri dan Kampung Pulo adalah komunitaskomunitas warga masyarakat yang tinggal di “ruang sisa”, pinggiran sungai dan pinggiran rel kereta api, berpenduduk padat, dengan rumah hunian yang sekaligus tempat kerja saling berdesakan. Mereka adalah warga “survivors” sektor informal yang tinggal di tanah labil, yang sudah begitu lama mendapatkan stigma negatif sebagai kambing hitam ketidakberesan bahkan “dimusuhi” dalam sistem pengelolaan tata kota Jakarta. Mereka adalah para warga yang perikehidupannya senantiasa tidak pasti (sewaktu-waktu bakal digusur-paksa) dan pada kenyataanya cenderung selalu mendapat perlakuan tidak adil dengan diisolasi/diasingkan dari akses sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, terutama oleh pihak jaringan kekuasaan bisnis ekonomi, birokrasi negara dan kekuasaan politik partai. Pada kenyataannya, modal sosial warga miskin urban untuk menjadi aset bangsa cukup besar. Berdasarkan pengalaman perjumpaan dan pengenalan dengan mereka selama 9 tahun di Bukit Duri dan Kampung Pulo, inilah beberapa potensi dan modal sosial yang mereka miliki: 1. Sebagai kaum miskin ternyata, mereka tak kalah rasional dalam hal mengingat, menimbang, dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut harkat hidup dan mati mereka.
5
2. Sebagai warga pinggiran, mereka sering kali merupakan aktor sekaligus interpretator sejarahnya sendiri. Mereka cenderung mengembangkan caranya sendiri dalam mencoba memahami segala peristiwa hidup, benda-benda dan alam sekitarnya. 3. Sebagai kelompok warga yang sering kali menjadi “obyek penderita” dalam sistem tata kelola kota, mereka senantiasa cenderung akan menolak tawaran inovasi yang tak mungkin diintegrasikan ke dalam tata nilai serta tata kebutuhan yang ada. 4. Kestabilan mantap dalam cara hidup mereka sebagai kaum miskin ternyata sering merupakan hasil penalaran dan mekanisme mempertahankan diri yang telah teruji demikian lama. 5. Meskin hidupnya serba tergusur, namun mereka sebagai kaum miskin tak akan pernah berhenti berjuang untuk mewujudkan eksistensi hidupnya menuju ke suatu kepenuhan. Dan kepenuhan ini tak dapat diartikan secara tepat, kecuali oleh mereka sendiri. (Maka sikap kita selayaknya adalah: mau memahami dan menghargai cara perjuangan mereka yang khas, dan menjauhkan diri dari segala kecenderungan untuk bergatal tangan, mendikte mereka dengan segala macam inovasi yang sebenarnya berasal dari luar kehidupan mereka. Segala macam upaya konsientisasi hanya dapat dibenarkan, sebagai ajakan untuk bangkit bersama dan membangun bersama). 6. Pengalaman keterlibatan kita di lapangan senantiasa mengatakan bahwa akhirnya kaum miskin sendirilah yang paling punya hati dan daya untuk membantu perjuangan kabangkitan sesama kaum miskin. Maka kami menyadari, kalau kita ingin membantu mereka, yang pertama-tama harus dibangun adalah jaringan solidaritas di antara kita dan di antara mereka sendiri untuk menggalang kekuatan yang sejati. Dan kini kami bangga, bahwa komunitas-komunitas warga pinggiran, dengan saling menggalang kesadaran kritis, solidaritas dan swadaya hidupnya, dapat membuktikan pada bangsa dan negara bahwa komunitas-komunitas warga pinggiran ternyata mampu untuk berjuang bangkit dari keterpurukan melalui gerakan kebangkitan lingkungan hidupnya. Inilah gerakan lingkungan hidup yang sejati: menghargai ikhtiar kebangkitan komunitaskomunitas warga pinggiran dalam memenuhi hak untuk memperoleh tempat tinggal, hak atas pekerjaan dan hak untuk memperoleh pendidikan. Untuk menghadapi semua ini, CM sebagai fasilitator gerakan kebangkitan komunitas-komunitas miskin dalam masyarakat, perlu lebih memfokuskan diri pada dinamika pendidikan komunitas masyarakat warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, melalui praktek solidaritas kerja pengorganisasian, upaya-upaya kerja pemberdayaan masyarakat, dengan bantuan jaringan NGO dan dukungan Pemprov DKI Jakarta serta dukungan pendanaan dari lembaga donor melakukan advokasi untuk kebijakan publik sehubungan dengan perjuangan kaum miskin urban untuk mendapatkan tempat tinggal dan tempat kerja serta tempat pendidikan dalam tata ruang di ibu kota Jakarta. Kami sadar, berbagai ikhtiar program-program kerja CM 2012-2014 untuk menyatukan agenda dan gerak bersama masyarakat warga untuk meraih dan mendesakkan keadilan, de facto masih menghadapi banyak kelemahan, kendala dan tantangan, terutama rasa kurang percaya diri dari sebagian besar komunitas warga BD-KP untuk mampu bangkit dari keterpurukan dan 6
keterasingan dari berbagai akses sosial-ekonomi-politik-budaya; kesadaran semu yang masih kuat melekat pada begitu banyak warga yang cenderung percaya pada “budaya asal jalan”, dan membiarkan diri tergantung dari sistem kekuasaan feudal-birokratis yang masih sangat menghambat keterbukaan untuk perubahan dan kemajuan. Ya kesadaran, solidaritas dan sikap swadaya bagi sebagian besar komunitas BD-KP ternyata mesti terus harus diperjuangkan, dievaluasi dan diperbarui. Melihat daftar tugas yang begitu panjang, sudah barang tentu diperlukan prioritas pendidikan yang mampu menyentuh dan membongkar sampai ke akar persoalan yang sebenarnya.
4. Anak dan Remaja Pinggiran Anak-anak dan remaja bantaran sungai Ciliwung di bilangan Bukit Duri dan Kampung Pulo dapat dikategorikan sebagai anak-anak pinggiran. Dan mengapa justru “anak pinggiran” menjadi spektrum gerakan pendidikan pemberdayaan? Ya, karena “keterpinggiran” senantiasa mengandung situasi negatif ekstrem. Dan situasi negatif apalagi yang ekstrem -melampaui segala teori dan penalaran kita- senantiasa menyerukan kemendesakan untuk segera diubah, dibebaskan, dimerdekakan! “Anak Pinggiran” adalah anak-anak yang oleh suatu sebab tidak mendapatkan tempat yang layak di dalam derasnya arus kehidupan masyarakat. Mereka adalah anak-anak yang peri kehidupannya nyaris tidak diperhitungkan, tidak mendapatkan prioritas dalam APBN dan APBD oleh para penyelenggara negara. Mereka adalah semua anak, yang entah oleh kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, telah direnggut atau diasingkan hak-hak dasarnya sebagai anak. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang sering disebut sebagai anak jalanan, sebagian dari mereka adalah buruh anak di pabrik-pabrik atau di perkebunan, atau pengrajin cilik. Juga sebagian dari mereka adalah pengamen, joki “three-in-one”, penyemir sepatu, pengasong, pengais sampah, dalam usia antara 5 sampai 17 tahun. Banyak di antara mereka tidak lagi mempunyai tempat tinggal sama sekali, bernaung di langit terbuka. Sebagian dari mereka masih tinggal dan bergabung dengan keluarga mereka, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, mungkin tinggal di rumah kardus di antara onggokan sampah, di gerobak dagang, di emperemper toko, di rumah-rumah bambu di pinggir kali. Banyak di antara mereka adalah anak-anak korban gusuran yang peri kehidupannya senantiasa digeser-geser, senantiasa mengalami ketidakpastian, entah karena masalah ketiadaan tempat tinggal, pekerjaan orangtua, pranata sosial yang tercerai-berai dan tercerabut atau karena masalah tempat dan lingkungan pendidikan yang tidak pasti atau bahkan tidak ada. Memang sebagian dari 7
mereka masih bisa bersekolah dengan uang hasil jerih-payah mereka sendiri atau orangtuanya yang miskin, namun banyak juga di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi bersentuhan dengan bangku sekolah, bahkan sejak di usianya yang sangat dini. Bukan merupakan rahasia di negeri ini bahwa sebagian dari anak-anak ini karena kemiskinan orangtua dan lingkungannya, menjadi penderita “kelaparan tersembunyi” (hidden hunger) atau bahkan busung lapar. Di antara semua kemungkinan itu, yang pasti, sebagian besar dari mereka adalah korban kekerasan, baik kekerasan yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat mereka berada (kekerasan oleh orangtua dalam “domestic violence” atau kekerasan rumahtangga, menjadi korban pelampiasan agresi orang dewasa di jalan-jalan, termasuk kekerasan seksual termasuk perkosaan dan sodomi, menjadi korban human trafficking atau perdagangan manusia, dll.), maupun kekerasan sistematik yang berasal dari negara yang pada umumnya cukup terselubung dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah (pemda) yang jelasjelas tidak melindungi dan tidak berpihak pada mereka.
5. Pendidikan Alternatif Pemberdayaan Kami sebut pendidikan alternatif karena, melalui studi kasus praktik mendidik di sanggar kami, memang kami sedang mencari alternatif jalan keluar dari belenggu ketidakadilan dalam masalah pendidikan di kalangan anak, remaja dan warga masyarakat pinggiran yang amat problematis. Kami sebut pendidikan alternatif karena kami juga sedang mencari solusi dari ketidakmampuan sistem pendidikan nasional terutama yang menyangkut sistem pendidikan dasar dan menengah pada sekolah-sekolah formal, yang de facto sejak zaman Orde Baru belum atau tidak mampu menyentuh kebutuhan harkat hidup dan hak-hak asasi sebagian besar anak-anak dan remaja pinggiran (miskin) di tanah air, yang secara nyata tampak pada kurikulum 1994 yang sampai kini masih menjadi acuan pemerintah. Alternatif sistem pendidikan untuk anak dan remaja di kampung-kampung miskin kota harus kita cari terus, karena kita sadar sepenuhnya akan dominasi realitas sistem pendidikan formal kita di Indonesia warisan Orde Baru yang ternyata masih berlaku terus hingga saat ini. Sistem pendidikan formal ini dapat dikatakan telah didesain lebih sebagai sistem pendidikan kolonialisme baru sebagaimana tampak pada kurikulum, biaya, jadual, lokasi, fungsi dan status sekolah-sekolah formal, yang cenderung lebih menguntungkan anak-anak dan remaja yang berasal dari kelas menengah ke atas yang de facto sudah berkecukupan, dan lebih mengabdi pada kepentingan politik negara (elit politik, birokrasi dan militer) serta rejim pasar bebas kapitalisme moderen (logika internal ekonomi global). Lihatlah sistem pendidikan teknologi moderen jangka pendek untuk kebutuhan vertikal mendesak demi terpenuhinya lowongan-lowongan kerja kompetitif perusahaan multinasional atau pun kantor-kantor birokrasi negara, ketimbang kebutuhan jangka panjang berkelanjutan secara horisontal-menyeluruh di bidang konsientisasi, 8
solidaritas dan swadaya masyarakat. Sistem pendidikan kita sama sekali belum memberikan prioritas utama pada masyarakat korban, baik di sektor formal maupun informal. Meskipun menurut hasil-hasil penelitian di Indonesia maupun negara-negara Asia-Pasifik lainnya, justru masyarakat yang telah menjadi korban, seperti kaum miskin urban, buruh pabrik, petani dan nelayan itulah yang sebenarnya telah memberikan andil paling besar dalam proses pertumbuhan ekonomi dan politik bangsa dan negaranya. Apalagi kita juga menyaksikan kecenderungan umum yang berlaku dewasa ini, bahwa prioritas dan penekanan pendidikan bukan lagi pada pengajaran ilmu-ilmu dasar seperti sejarah, ilmu alam, ekonomi rakyat, matematika, homaniora, lingkungan hidup dan lain sebagainya, melainkan lebih pada teknologi dan ekonomi perusahaan, serta hukum dan politik negara. Kondisi yang tidak adil ini semakin tampak pada kenyataan bahwa pada umumnya anak-anak dan remaja pinggiran dari masyarakat bawah seperti di lingkungan masyarakat pinggiran di bantaranbantaran kali di perkotaan senantiasa mengalami hambatan-hambatan struktural sosial-politiskultural yang masih terus mengepung dan mewarnai proses pendidikan mereka. Pendidikan pada dasarnya merupakan sarana substansial untuk membebaskan komunitaskomunitas basis masyarakat dari cengkeraman sistem pemiskinan, kekerasan politik negara dan rejim pasar bebas. Maka pendidikan semestinya senantiasa menyentuh dimensi-dimensi pengembangan konsientisasi, pembangunan solidaritas dan gerakan swadaya dan swabela masyarakat. Untuk itu dengan sadar, upaya pendidikan yang kami lakukan lebih memilih prioritas pengorganisasian dalam pengembangan sistem pendidikan alternatif anak-anak dan remaja di lingkungan masyarakat miskin kota. Pendidikan yang melampaui prioritas pada upayaupaya pengembangan konseptual alternatif pendidikan melalui manajemen kampanye-kampanye publik. Maka kata kuncinya adalah bagaimana masyarakat (baca: anak-anak, remaja dan warga miskin kota) mengorganisir komunitas basis kehidupan mereka sendiri demi kepentingan pendidikan pemberdayaan mereka. Meski hidupnya serba tergusur, namun kaum miskin tak akan pernah berhenti berjuang untuk mewujudkan eksistensi hidupnya menuju ke suatu kepenuhan. Dan kepenuhan ini tak dapat diartikan secara tepat, kecuali oleh mereka sendiri. Maka sikap kita selayaknya adalah: mau memahami dan menghargai cara perjuangan mereka yang khas, dan menjauhkan diri dari segala kecenderungan untuk bergatal tangan, mendikte mereka dengan segala macam inovasi yang sebenarnya berasal dari luar kehidupan mereka. Segala macam upaya konsientisasi hanya dapat dibenarkan, sebagai ajakan untuk bangkit bersama dan membangun bersama. Pengalaman keterlibatan di lapangan senantiasa mengatakan bahwa akhirnya kaum miskin sendirilah yang paling punya hati dan daya untuk membantu perjuangan kebangkitan sesama kaum miskin. Maka kalau kita ingin membantu mereka, yang pertama-tama harus dibangun adalah kekuatan solidaritas di antara mereka sendiri untuk menggalang kekuatan mereka sendiri, swadaya. Dengan prioritas pelayanan pada kekuatan solidaritas kaum miskin itu sendiri, kita dapat menghindari munculnya ekses berupa sikap ketergantungan mereka pada pribadi atau lembaga 9
kita (yang sering tampak pada sarana finansial dan inovasi spektakuler), sebaliknya kita memberikan pendampingan dan kesempatan seleluasa mungkin demi semakin bertumbuhnya sikap mandiri dan serta sikap swadaya yang sehat dan alamiah pada mereka. Dengan menomorduakan bantuan karitatif, kita justru mempunyai kesempatan untuk lebih hadir sebagai saksi penuh simpati atas pengalaman perjuangan hidup mereka untuk semakin menjadi aktor dan interpretator dari proses dan sejarah kebangkitan hidup mereka sendiri. Kemandirian, sikap swadaya dan swakarsa mereka, itulah tujuan pokok dari segala macam partisipasi pelayanan kita dalam proses pendidikan mereka. Pendidikan adalah sarana untuk membebaskan komunitaskomunitas masyarakat pinggiran dari berbagai macam bentuk kesadaran semu yang membelenggu, serta membangkitkan kesadaran dan semangat baru untuk melawan, membongkar segala bentuk kecenderungan pengasingan sosial, ekonomi, politik dan budaya, guna memerdekakan diri dari cengkeraman rejim pasar bebas kapialisme/neo-liberalisme, melalui gerakan pemberdayaan masyarakat kontekstual, yang memberikan prioritas pada pendampingan anak dan remaja di bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya, ikhtiar-ikhtiar terobosan alternatif-kreatif dalam praktek kerja partisipatif nyata bersama di bidang swadaya lingkungan hidup, swadaya kesehatan dan swadaya ekonomi komunitas warga secara kontekstual dan otonom. Maka visi dan tujuan Pementasan Ciliwung Larung 2010-2014 adalah “Membuka, membangkitkan dan memberdayakan kesadaran kritis warga, terutama anak-anak dan remaja, melalui gerakan sosial-kebudayaan, yang secara spesifik dalam wajud ekspresi pementasan sinergis antara teater, tari, musik, audio-visual, serta tata-ruang kampong seni kreatif, sehingga anak-anak, remaja dan suluruh warga, mampu mendayagunakan seluruh energi-energi potensial yang ada pada dirinya, seluruh prasana dan sarana yang ada tersedia dalam lingkungan hidupnya, secara maksimal, efektif dan berkelanjutan berbasiskan komunitas, penghargaan lingkungan hidup serta pemberdayaan ekonomi warga Bukit Duri dan Kampung Pulo”. Maka Ciliwung Merdeka yang kami coba kembangkan berdasarkan visi dasarnya adalah sebuah wahana kerja kemanusiaan yang bertujuan memfasilitasi proses pendidikan anak dan remaja pinggiran sebagai gerakan kebudayaan masyarakat yang menghormati martabat dan hak anak dan remaja sebagai manusia yang otonom dan merdeka, dengan cara:
Membuka kesempatan seluas mungkin bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari (kelompok) masyarakat yang terlibat dalam segala proses pemerdekaan. Membangunkan kesadaran akan konteks yang sedang terjadi pada lingkungan hidup mereka, sebagai upaya untuk membebaskan diri dari proses pembodohan, pemiskinan dan ketidakadilan sistematik yang tengah mereka alami sebagai bagian dari warga masyarakat pinggiran.
10
Oleh karenanya kelompok-kelompok kerja pendidikan selayaknya dalam misinya berkeyakinan bahwa visi pendidikan alternatif hanya dapat terwujud melalui dua pilihan pilar proses pendidikan budaya dalam konteks masyarakat pinggiran: Membangun komunitas basis pendidikan alternatif yang kokoh dan berkesinambungan, dengan melibatkan anak-anak, remaja dan masyarakat basis sepenuhnya sedini mungkin, sehingga anak-anak dan remaja itu dapat mengembangkan kemampuannya dalam berimajinasi, mengembangkan keterampilannya baca tulis, hitung dan bicara. Pembangunan komunitas basis pendidikan alternatif ini sekaligus juga untuk memperkenalkan anak-anak dan remaja sedini mungkin pada kondisi dan potensi lingkungan hidupnya sendiri, sehingga anak-anak dan remaja itu dapat tumbuh kembang semaksimal mungkin menjadi pribadi yang kritis, kreatif, mandiri (otonom), dan solider. Mengembangkan jaringan solidaritas pendidikan anak-anak dan remaja pinggiran dengan kelompok profesional dan masyarakat pada umumnya, dalam bentuk jaringan pendidikan alternatif, sebagai upaya untuk menggalang kekuatan masyarakat luas dalam memperjuangkan model pendidikan alternatif anak-anak dan remaja pinggiran sebagai gerakan kebudayaan masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, bersikap swadaya dan solider, dan selalu menghormati hak serta martabat anak dan remaja pinggiran sebagai manusia merdeka. Secara umum pendidikan budaya dalam model alternatif ini bertujuan untuk mendampingi dan menghantar anak-anak dan remaja pinggiran menemukan jati diri mereka, menjadi manusia yang merdeka, menjadi manusia yang percaya penuh pada Allah Sang Pencipta Kehidupan dan semakin yakin pada kekuatan diri sendiri, serta selalu dapat menghargai dirinya sendiri serta orang lain sesamanya, mempunyai kepekaan terhadap sesama dan alam kehidupan di lingkungannya, bersikap terbuka, toleran dan solider, menghargai perbedaan, cinta tanah air dan sesama manusia. Dengan kata lain, pendidikan budaya dalam pendidikan alternatif diselenggarakan sebagai wahana untuk mengubah mental anak-anak dan remaja pinggiran agar menjadi anak bangsa yang dinamis, aktif, kreatif, terbuka dan produktif; menjadi anak dan remaja yang punya kesadaran kritis, punya sikap solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama manusia, tidak mudah tergantung pada orang lain atau bersikap swadaya, berbudaya, cinta pada bangsa dan tanah air. Juga merupakan tujuan dari pendidikan alternatif ini: melakukan pendampingan artikulatif dan pembelaan hak-hak asasi anak dan remaja pinggiran dari berbagai macam ancaman sistem pemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan politik negara serta rezim pasar bebas.
6. Teater Komunitas Bentuk ekspresi seni budaya “Ciliwung Merdeka” dapat melalui 2 model: (1) Pementasan Kolosal Ciliwung Merdeka 2010 dalam penggabungan sinergis antara ekspresi teater, musik, tari, 11
tulisan/sastra, film dokumenter dan pendidikan alternatif; (2) Pementasan “Ciliwung Larung” dalam wujud ekspresi spesifik hanya melalui teater, atau hanya melalui musik, hanya melalui tari, hanya melalui tulisan/sastra, hanya melalui film dokumenter atau hanya melalui pendidikan alternatif. Pementasan Teater Musikal “Ciliwung Larung” merupakan pementasan reality show, ekspresi dari pengalaman pergulatan survival system kontekstual komunitas warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, dengan menggunakan panggung yang dapat mewakili panggung “seluas kampung”. Tujuannya untuk meningkatkan apresiasi warga masyarakat Jakarta terhadap hasil kreasi seni warga pinggiran yang digali dari kekayaan seni budaya lokal-tradisional. Kolaborasi menitikberatkan upaya menelusuri akar seni budaya lokal kita, misalnya. Dalam kesempatan itu para seniman senior yang ingin bergabung menjadi fasilitaror dan menggugah juga dapat melakukan eksplorasi dan riset tentang seni budaya pinggiran. Bagaimana teater ”Ciliwung Larung” karya cipta yang digelar di sana merupakan aktualisasi dari kerinduan kolektif masyarakat lokal Bukit Duri dan kampung Pulo yang berjuang dan mencari "bayangan" (refleksi) dari belas kasih Sang Maha Rahim. Yang diinginkan dalam proses belajar ini adalah terjadinya suatu dialog interaktif intensif antar para hadirin dalam peristiwa budaya itu. Pendidikan pemberdayaan adalah suatu wahana yang mampu mewadahi ikhtiar, gagasan, ekspresi, aspirasi, imajinasi, perasaan, mimpi, gerak eksplorasi seniman dan budayawan pinggiran. Di situlah berlangsung proses belajar, saling belajar-mengajar yang sebenarnya. Dalam teater komunitas, tidak dibutuhkan pemain atau kru profesional. Ide dasarnya adalah menggunakan teater atau seni untuk mengartikulasi realitas atau permasalahan sosial di sekitar komunitas itu. Pergulatan serta diskusi tentang permasalahan sosial nyata yang dialami anakanak, remaja dan warga itulah yang dituangkan dalam cerita. Jadi ada proses penciptaan ulang (re-creation) realitas. Dengan demikian, seluruh anggota komunitas teater itu menjadi lebih peka dan paham akan permasalahan social di sekitar mereka. Maka yang diutamakan adalah bagaimana dalam pementasan teater musikal Ciliwung Larung, sekitar 75-125 anak-anak, remaja dan warga dari komunitas pinggiran ini mendiskusikan, mengartikulasikan dan menggeluti permasalahan sosial di sekitar mereka, dan secara interaktif-kritis secara bersama-sama berusaha melihatnya dengan akal-sehat, perasaan dan intuisi mereka, dari perspektif sosial, ekonomi, budaya, serta berusaha mencari solusi alternatif jalan keluarnya, langkah-langkah perubahan nyatanya. Kemudian secara bersama-sama berusaha mencipta ulang realitas itu dalam sebuah pementasan teater. Tentu saja yang kami harapkan 75-125 anak-anak, remaja dan warga (kebanyakan ibu-ibu) yang sudah “tercerahkan” melalui proses pendidikan pemberdayaan melalui teater komunitas ini, akan “menularkan”, akan membawa pokok-pokok kesadaran itu ke keluarga dan komunitas RT mereka masing-masing. Bayangkan kalau satu orang akan membawa hasil “pencewrahan” itu ke sepuluh orang di sekitar mereka, maka tanpa terasa sudah ada 7501250 orang yang mendapatkan “pencerahan untuk perubahan” tanpa mereka sadari sendiri dan menyebarluaskan penyadaran sosial itu ke masyarakat lainnya. Teater untuk pendidikan Ciliwung Merdeka dapat disebut sebagai Teater Rakyat, Teater Komunitas atau Teater Tradisional. Sebaliknya, Teater Rakyat, Teater Komunitas atau Teater Tradisional tidak identik dengan teater untuk pendidikan. Mengapa? Sebab, Teater Rakyat, 12
Teater Komunitas atau Teater Tradisional tidak selalu berorientasi kepada pendidikan. Teater tradisional seperti ludruk, ketoprak, wayang, jaipong, dan opera Batak yang bersifat tontonanhiburan, misalnya, adalah juga teater rakyat. Pada masa Orde Baru, wayang dan ketoprak kerap dimanfaatkan untuk tujuan propaganda atau kampanye, misalnya Keluarga Berencana, pemberian ASI (Air Susu Ibu), dan seterusnya. Pada dasarnya, setiap bentuk teater yang berorientasi kepada suatu proses pemberdayaan (empowerment) baik yang bersifat penyadaran, mengembangkan sikap kritis, sosialisasi pengetahuan dan nilai-nilai tertentu maupun pengembangan komunitas atau persekutuan, adalah teater untuk pendidikan. Dalam konsep teater ini, penciptaan teater adalah proses saling belajar yang partisipatif. Seluruh tahapan teater, seperti penciptaan cerita atau skenario (yang tidak selalu tertulis), seleksi pemain, latihan peran, ilustrasi musik, dan sutradara dilakukan oleh komunitas. Tentu saja, tahapan-tahapan ini bukanlah proses yang lancar untuk dilalui. Terutama bagi komunitas pelajar dengan intensitas pertemuan yang rendah dan tingkat pengetahuan tentang teater yang masih nol atau sebagai pemula, untuk menemukan dan menggali gagasan yang akan ditungakan dalam cerita bukanlah peroses yang mudah karena proses ini melibatkan aspek spiritual, moral, emosional, maupun sosial karena itu memerlukan siasat tersendiri untuk sampai pada tujuan yang diharapkan. Teater memiliki pendekatan multi-dimensi sebagai suatu metode dalam pendidikan yakni pendekatan konseptual-tekstual dan figural/pelukisan. Pendekatan konseptual-tekstual mencakup pengolahan pesan yang bertolak dari teks-teks kitab suci, cerita–cerita rakyat, mitos-mitos serta penggalian dan analisis atas realitas sosial dan pengalaman hidup yang dijalani. Sedangkan pendekatan figural mencakup aktualisasi pesan dalam cerita, seni peran maupun dekorasi. Karena pendekatan multi-dimensi ini, teater jauh lebih mampu untuk proses penyadaran, pembebasan dan mengembangkan komunitas/persekutuan. Apresiasi terhadap kehidupan, kepekaan terhadap diri dan komunitas serta daya imajinasi semakin dilebarkan dan dihidupkan.
7. Pilihan Metode Segala ikhtiar multi-dimensional untuk membantu, melindungi dan membela anak-anak dan remaja Bukit Duri dan Kampung Pulo dari tantangan ketidakadilan dan kemiskinan di bidang pendidikan ini, kami memilih “problem posing education” (“pendidikan hadap masalah”) atau juga “learning by doing” (belajar justru dengan bekerja) sebagai model pendekatan alternatif. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan hidup bagi anak, remaja dan warga Bukit Duri, justru digali dan diperoleh dari perjumpaan praksis dialektis dalam persentuhannya dengan berbagai macam masalah kenyataan hidup yang mereka alami sehari-hari dalam lingkungan hidup mereka. Pendidikan aksi partisipatoris ini dimaksudkan lebih untuk mendinamisir keterlibatan aktif komunitas basis warga masyarakat Bukit Duri dalam mengembangan kesadaran kritis, membangun sikap solidaritas dan sikap swadaya. Sebelum kita mengurai metode dan kurikulum pendidikan alternatif yang ditawarkan Ciliwung Merdeka, baiklah kita sadari dulu, bahwa bagaimanapun juga, kita tidak bisa terlepas sama sekali dari kenyataan adanya kurikulum sistem pendidikan nasional kita selama ini. Karena de facto, sebagian besar 13
dari jumlah anak-anak dan remaja Bukit Duri yang kita dampingi pernah dan sedang bersekolah di sekolah-sekolah formal itu. Kurikulum di sekolah-sekolah formal pada umumnya dikuasai oleh kepentingan negara dan rezim pasar bebas. Hal ini misalnya nampak pada pendidikan teknologi modern jangka pendek untuk kebutuhan vertikal mendesak lowongan-lowongan kerja kompetitif perusahaan multinasional ataupun kantor-kantor birokrasi negara, ketimbang pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan jangka panjang berkelanjutan secara horisontal masyarakat di bidang konsientisasi, solidaritas dan swadaya. Kami yakin, guna menjadi manusia yang merdeka, mandiri, dinamis, aktif, kreatif serta produktif, ada tiga komponen utama dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara seimbang. Komponen utama itu terdiri dari otak, jiwa dan tangan. Setiap jenis metode dan kurikulum pendidikan pada dasarnya merupakan alat latihan untuk meningkatkan mutu masing-masing komponen. Kurikulum didaktik seperti ilmu eksata, atau ilmu sosial, bukanlah bertujuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan agar manusia manjadi ensiklopedis. Ilmu pengetahuan apa pun yang diajarkan pada seluruh tingkat sekolah, praktis tidak banyak berfaedah pada kehidupan selanjutnya. Apalagi teori dan ilmu itu senantiasa menjadi usang dari waktu ke waktu. Fungsi kurikulum didaktik tidak lain adalah sebagai alat latihan untuk meningkatkan daya nalar, daya pikir yang logis, sistematik, dan matematis, punya daya serap otak yang bagus. Kurikulum kesenian dan olahraga diselenggarakan untuk meningkatkan mental yang diperlukan bagi hidup dan pergaulan manusia. Padanya terdapat prinsip-prinsip keharmonisan dan prilaku, sehingga manusia dapat menjadi lebih terbuka, toleran terhadap perbedaan dalam masyarakat, serta punya kesadaran tinggi akan peran kerja sama, tanpa memandang peran orang atau golongan, serta bersikap sportif. Terutama pendidikan musik, teater, tari, dan olahraga menjadi sangat penting untuk tujuan tersebut. Pendidikan seni rupa itu berbeda dengan pendidikan menggambar. Kurikulum menggambar lebih mengutamakan ketelitian, ketekunan dan ketekunan meniru obyek. Pada seni rupa lebih diutamakan kreativitas. Pendidikan kreativitas sangat penting untuk melatih kemampuan mencari alternatif dari suatu yang tidak ada menjadi ada. Jika pada ilmu eksata lebih bersifat memikirkan alternatif, maka pada pendidikan kreativitas lebih bersifat aksi, tindakan. Kesamaan tujuan pendidikan seni rupa dan musik adalah pada latihan untuk membentuk sikap mental yang kritis. Pada dasarnya, sikap kritis adalah produk otak. Mata dan telinga menjadi alat penyerap. Melalui pendidikan seni rupa, mata dilatih untuk mampu secara kritis membedakan dan membandingkan garis, warna dan bentuk yang satu dengan yang lain, serta yang benar dan yang salah. Melalui pendidikan musik dan nyanyi, telinga dilatih agar mampu membedakan secara kritis suara yang harmonis dan disharmonis. Dari daya kritis mata memandang dan telinga mendengar, kemudian menyalur pada pemikiran otak. Bangsa yang merdeka, yang lepas dari tradisi penghambaan, tak bisa lain mesti bermental kritis.
14
DIAGRAM SPIRAL PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN
HAM, Undang2, Perda, Kesepakatan Bersama..
Analisis Kesepakatan Kesadaran
(2) Rumusan Keprihatinan
(3) Ekspresi, Presentasi, Perwujudan, Pamentasan
PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Total Quality Analysis
Perencanaan
(4) Rencana Kegiatan
CILIWUNG MERDEKA Analisis Sosial
Ilmu Sosial, Pendataan/ Riset,
Ilmu sosial, ekonomi, budaya politik, hukum, arsitektur, manajemen..
Pelaksanaan Kegiatan (1) Pengalaman/ pengamatan situasi yang dialami sendiri/bersama
Manajemen Organisasi Komunitas Basis
Keterangan: Langkah-langkah ini merupakan suatu kesatuan utuh, berbentuk lingkaran spiral, sehinga arah jalannya selalu akan berulang dan terus semakin mendalam. Suatu langkah yang tak pernah selesai. a. Pengalaman/Pengamatan Inilah situasi yang dialami sendiri/bersama. Suatu langkah awal yang menjadi titik tolak seluruh proses analisis, yang akan menentukan mutu pendidikan kita yang sesunguhnya. Pengalaman ini bisa dilaksanakan dalam bentuk keterlibatan kerja praktek nyata “live-in”, KKN atau praktik kerja selama beberapa waktu tertentu. Keterlibatan dalam konteks. Dengan sengaja di sini kenyataan sosial masyarakat bawah, kaum pinggiran, menjadi prioritas pilihan utama medan keterlibatan nyata.
15
Situasi kaum miskin adalah keadaan di mana manusia tak dapat memenuhi segala kebutuhan dasar (kebutuhan jasmani, rasa aman, kebersamaan, harga diri dan aktualisasi diri). Untuk sebagian besar ketidakmampuan itu bukan semata berdasarkan kekurangan persediaan (meski persediaan barangkali memang amat terbatas), melainkan lebih berdasarkan pada pembagian yang tidak merata, berdasarkan ketidakadilan. Ketidakadilan sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang hanya didominasi oleh sekelompok kecil kaum elite dalam masyarakat, sehingga komunitas-komunitas kaum miskin tidak/kurang memiliki/memperoleh akses di bidang social, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang sebenarnya banyak yang merupakan porsi tanggungjawab pemerintahan pusat maupun daerah, sebagai pengatur manajemen penyelenggaraan negara. Di Indonesia mereka yang tergolong kaum miskin adalah kaum miskin kota, buruh, petani, pengrajin dan nelayan. b. Rumusan Keprihatinan Pengalaman keterlibatan itu kemudian kita rumuskan. Di sinilah dapat kita gunakan “analisis sosial”, yaitu suatu usaha untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan historis dan struktural. Analisis sosial merupakan alat yang memungkinkan kita dapat menangkap realitas sosial yang kita gumuli secara relatif lebih tepat. Demikian realitas sosial itu dapat kita tangkap, maka keprihatinan yang dirasakan lalu dapat kita rumuskan secara jelas. Dalam rangka analisis sosial kita kenal adanya 3 model pengembangan masyarakat yang paling umum, yaitu: Model Karitatif b. Model kelembagaan dan masukan c. Model organisasi dan partisipasi masyarakat. Model C, yaitu model organisasi dan partisipasi masyarakat adalah model yang kita pilih. Demikian pula dalam melihat permasalahan kaum miskin sebagai realitas sosial, kita kenal adanya berbagai macam pendekatan, antara lain “pendekatan dari atas” dan “pendekatan dari bawah”, “ individual blame” dan “system blame”. Dengan bantuan analisis sosial, kita dapat menemukan keprihatinan sosial kita, yaitu bagaimana kita dapat menghayati hidup kita yang otentik, justru dalam situasi kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang menyangkut masalahmasalah mental, struktural dan sosial-kultural. c. Ekspresi, Perwujudan, Presentasi Pengalaman keterlibatan proses belajar baik sendiri maupun bersama dalam konteks pendidikan lingkungan hidup dalam realitas kemiskinan, situasi batas daya manusia di mana manusia ditantang untuk bangkit berjuang mengatasi hidupnya sendiri itu, sesudah kita analisis dan kita rumuskan bersama, selanjutnya kita refleksikan bersama dengan menggunakan bantuan kacamata ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya (termasuk teknologi, arsitektur dan manajemen), semuanya berlandaskan hak-hak asasi manusia. Terutama kita merefleksikan ke-5 bidang dan materi Pendidikan Iptek dan Kebudayaan CM 2010, yaitu (1) Pendidikan Akademik, (2) Pendidikan Kesenian, (3) Pendidikan Jurnalistik, (4) Pendidikan Audio Visual, (5) Pendidikan Membaca/Perpustakaan, (6) Wicara/Public Speaking. Dan seluruh pengalaman atau pengamatan yang sudah direfleksikan bersama ini harus kita artikulasikan, kita ekspresikan, kita presentasikan ke publik. 16
d. Rencana Kegiatan Kita tidak akan berhenti dan tinggal diam sampai di tingkat ekspresi/presentasi/pameran saja, melainkan, setelah belajar dari kaidah-kaidah ilmu manajemen organisasi yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan, kita harus membagikan pengalaman belajar tentang lingkungan hidup melalui keterlibatan sosial itu dan mewujudkannya dalam tindakan nyata berupa keterlibatan sosial nyata selanjutnya yang lebih bermutu. Maka kita masuk lagi dalam situasi baru yang dialami bersama, yang tentu mengundang analisis/refleksi baru. Demikian proses pendidikan ini meliputi aksi dan refleksi yang terus berkembang secara dinamis sebagai lingkaran spiral.
8. Nyanyian Harapan Demikian pengalaman terbatas kami dalam mendampingi proses pendidikan pemberdayaan anak dan remaja pinggiran komunitas basis “ruang sisa” bantaran sungai Ciliwung melalui teater komunitas. Melalui rangkaian pementasan Teater Musikal Ciliwung Larung anak-anak dan remaja pinggiran Ciliwung Merdeka berikhtiar mengekpresikan perjuangannya, upaya-upaya orisinal mereka dalam melawan stigma dan mendobrak keterbatasan yang mereka alami. Anakanak pinggiran adalah masa depan bangsa Indonesia. Sudah saatnya kita mendengarkan mereka dengan hati nurani lebih jernih. Melalui rangkaian kreativitas seni budaya dalam proses pendidikan ini, anak dan remaja pinggiran Ciliwung Merdeka ingin menyatakan solidaritasnya pada teman-teman anak-anak pinggiran senasib-seperjuangan di seluruh tanah air, dan mendeklarasikan pembentukan “Jaringan Perjuangan Anak Pinggiran Merdeka” JABODETABEK yang suatu saat kelak akan bersekutu dengan kawan-kawan jaringan anak pinggiran diberbagai kepulauan dan penjuru tanah air, guna membentuk “Jaringan Perjuangan Anak Pinggiran Merdeka Indonesia”. Jaringan Anak Pinggiran tingkat regional dan nasional inilah yang selanjutnya akan memperjuangkan pembentukan/perubahan undang-undang yang nyata-nyata secara sistemik harus menjamin perlindungan hak anak pinggiran Indonesia atas pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan untuk mencari nafkah, termasuk juga jaminan perlindungan dari segala macam bentuk ancaman kekerasan, baik dari kaum dewasa berkuasa dalam masyarakat sipil, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan di jalan-jalan serta tempat kerja, maupun kekerasan sistemik dari aparat Negara, misalnya: penggusuran-paksa, penangkapan joki three-in-one secara sewenang-wenang, politik pembiaran dalam perdagangan anak-anak korban konflik kekuasaan politik-ekonomi di pengungsian-pengungsian, seperti di Aceh, Ambon, Poso, Papua dan Sidoarjo. Anak-anak pinggiran, dari setiap komunitas perkampungan miskin di lingkungan perkotaan, pertanian pedesaan, pantai kaum nelayan, dan daerah perdagangan di seluruh penjuru tanah air, justru dalam segala ragam perbedaan dan keterbatasannya, senantiasa rindu untuk bergandengan-tangan, menyatukan langkah, bersekutu. Sebuah kerinduan purba anak manusia 17
untuk menyatukan kata, hati, dan gerak, serta melantunkan nyanyian jiwa bersama: “Nyanyian Tanah Merdeka”
Jakarta, 28 Februari 2012
18