Aulia Rahman
“K
au memakai sendalku.” Aku membalikkan tubuh dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Ia kemudian pergi sambil membalikkan badan dengan gaya yang berlebihan. Aku menggelengkan kepala, setengah berlari kembali ke ‘ruko’, --- singkatan untuk ruang koas1 --- untuk mencari sendal milikku sendiri, hampir tak bisa kupercaya Citra tadi mengejarku tanpa memakai alas kaki sama sekali. Setelah membuka pintu aku mendapati Iqbal yang sedang bercukur, handuk menutupi rambutnya yang terlihat masih meneteskan air. “Apa yang kau lakukan?” suaraku hampir seperti sebuah jeritan. Koas memiliki ruang istirahat masing-masing untuk laki-laki dan perempuan. “Kamar mandi kami tidak ada air.” Iqbal mengeluarkan alasannya, tangannya memegang
alat cukur yang di mataku sedang bergerak-gerak otomatis di dagunya. “Berapa pasienmu?” Aku tak menggubris pertanyaannya dan buru-buru mencari sendal. “Kau melihat sendalku? Yang warna merah? Yang ujungnya robek?” Iqbal memalingkan wajahnya sedikit, seperti mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dipakai Lia.” “Oh, demi Tuhan.” Hanya tinggal dua pasang sendal di ruangan itu. “Sendalmu yang mana?” “Yang hitam.” Aku buru-buru mengenakan sisanya dan secepat kilat menutup pintu setelah keluar melewatinya. Mood-ku sedikit rusak karena Citra yang sudah repot-repot minta ganti sendal di pagi buta di saat pasienku melimpah ruah dan aku belum tidur sepicing pun sejak jam delapan malam. Memang salahku telah mengenakan sen-
dal miliknya namun kesalahannya adalah memilih sendal yang serupa dengan sendalku. Aku ingat telah membeli model itu lebih dahulu sampai beberapa hari kemudian ia juga membelinya. Sendalnya tidak robek di bagian ujung. Aku menggeretakkan gigi, menarik napas dalamdalam dan sekali lagi membaca daftar pasien yang belum kuselesaikan laporan visite2-nya untuk pagi ini. Tujuh pasien baru. Tujuh. Aku memejamkan mata. Dan delapan pasien lama. Aku mengingat-ingat denah ruangan masing-masing pasien tersebut dan menetapkan rute visite yang paling efisien. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Seharusnya waktunya cukup. Baru aku akan melangkah saat kurasakan seseorang menggamit bahuku. “Apakah kau menggunakan penaku?” Astaga, Citra! * Aku menarik napas lega saat memasuki ruang perawatan III D karena tidak satu pun pasien yang ada di ruangan ini merupakan pasien yang kupegang, setidaknya aku bisa bersandar di dinding dan memejamkan mata sembunyisembunyi. Telingaku menangkap separuh gumaman Pedro yang menyampaikan laporannya di depan konsulen3 pagi ini, dr. Wahid. Mataku hampir terkatup sepenuhnya ketika kurasakan ada yang menggamit sikuku. “Kau belum mandi?” disusul suara bisikan itu. Daniel seperti menahan senyum memandangiku. Aku membelalakkan mata padanya. Ia hanya meneruskan senyum terkulumnya. Kemudian ia mencondongkan kepala ke arah bed di sampingku. “Itu pasien siapa?” masih sambil berbisik. Seorang kakek. Aku mengingat-ingat. “Pasien titipan, dari ruang saraf. Mereka juga kebanjiran pasien tadi malam,” jawabku sambil memanjangkan leher, berbisik di samping telinga Daniel, alih-alih aku hanya mencapai lehernya karena keterbatasan tinggiku. Aku bisa mencium parfum yang ia gunakan. Brengsek, aku merasa kotor sekali di sampingnya. Kami baru mencapai bed terakhir di ruangan III D itu ketika sekelompok koas saraf memasuki ruangan diiringi konsulen visite mereka dr. Suki, dari ekor mataku kulihat Lovina yang
menjelaskan kondisi kakek itu. Sepertinya kakek itu stroke4. Tapi sudah membaik. Seingatku memang pasien ini dititipkan karena kondisinya yang sudah jauh lebih aman daripada pasien lain yang masuk tadi malam di bangsal saraf. Di samping tempat tidur kulihat seorang nenek sedang duduk, kentara sekali ia kurang tidur, kepalanya terangguk-angguk saat mendengarkan dr. Suki bicara pada si kakek. Tepat di samping kakinya, tersuruk di bawah tempat tidur, kulihat satu tas kain jinjing kecil berisi pakaian yang menyembul-nyembul keluar. Selain dari tas itu, tidak kulihat ada barang lain kecuali setumpuk kecil pakaian lain di atas pangkuan si nenek. Baru kusadari bahwa sambil mengangguk-angguk ternyata si nenek sedang melipat pakaian. Aku jadi lebih memerhatikan mereka dibanding pasien sesak napas yang sedang dijelaskan Amir pada dr. Wahid. Kulihat dr. Suki menepuk-nepuk pundak si kakek dan mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang. Si nenek tersenyum seakan ia mengerti semua yang sedang dijelaskan, ia masih mengangguk-angguk. Sejurus kemudian kulihat ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas air minum yang diminta oleh si kakek. Saat membantu si kakek minum, tangannya terlihat gemetar. Aku bisa melihat jelas betapa ringkihnya tangan itu. Keningku berkerut, memperkirakan umur pasangan tersebut. Sikuku kembali digamit Daniel, ia melirikku dengan tatapan tajam. Ketika kualihkan pandangan darinya, kulihat dr. Wahid sedang memberiku tatapan tak sabar. Tanpa sadar aku menganga. “Berapa urine output5 Pak Sanusi.” Daniel berdesis di telingaku. Aku bisa merasakan di balik kerudungku telingaku panas dan pasti merah sekali, separuh karena malu dan separuh karena Daniel yang melakukannya. Dengan terbata aku menjawab pertanyaan tersebut sambil melirik pada Amir yang meringis meminta maaf karena tidak mencatat data yang telah kuberikan sebelumnya padanya. Aku hanya memutar mata dan terus menjelaskan. Sebelum keluar ruangan sejenak aku kembali memperhatikan pasangan renta tadi. Si nenek berusaha menyelipkan sisa pakaian yang belum ia masukkan ke dalam tas dan memberesi beberapa gelas dan piring plastik ke dalam kan-
tong kresek hitam, sementara si kakek tampak kembali tidur. * Sehabis visite aku bergegas mandi, sebelumnya aku mengirim sms kepada Lovina, menyampaikan bahwa ada yang ingin kutanyakan padanya, memintanya untuk bertemu di lantai satu saat pulang nanti. Usai mandi aku mendapati smsku telah dibalas dan ada dua missed calls. Daniel dan Ibu. Aku masuk ke kamar dan mendapati Citra dan Lia sedang berbagi mie goreng, bibir mereka tampak berminyak. “Kita tidak punya jadwal sampai jam 12, kan? Bisakah aku skip jadwal di poliklinik? Aku ingin tidur sebentar saja.” Kutekankan nada bicaraku pada kata sebentar. Citra menggeleng cepat. “Hari ini jadwal poli dokter Nurul. Akan rame sekali. Kau tidak bisa skip.” Aku memicingkan mata, otakku memikirkan bagaimana bisa ia terus mengunyah sambil mengeluarkan kalimat barusan tanpa ada kesan tersedak. “Tadi Daniel kemari saat kau mandi.” Lia mengulurkan sebuah kotak untukku. Aku menerimanya. Membukanya. Oh. Daniel. Hatiku seperti meleleh. “Bagaimana kau bisa belum mandi dan sarapan? Pasien ramai sekali?” Citra bertanya sambil menjilati sendok dan garpunya. Aku memilih tidak menjawabnya untuk tidak merusak mood-ku yang sedang naik. Cepat kuambil handphone dan mengirim sms pada Daniel. Thanks for the breakfast. Haha.
Sejurus kemudian balasannya datang. It’s brunch then. Nanti ke poliklinik? Tanpa bisa kutahan wajahku memanas. Kupalingkan wajah dari Citra dan Lia yang pasti bisa melihat seandainya wajahku sekarang terlihat berubah warna. Poli. Tidak. Poli. Tidak. Aduh, aku mengantuk sekali. Tidak. Kukirim sms itu dengan cepat. * “Kau menunggu siapa?” Aku bangun dari tidurku sambil tersentak. Daniel memamerkan senyumnya yang bertebarkan barisan gigi nan rapi. Ia memeluk jasnya di depan dadanya. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Oh Tuhan, tidak adakah batas waktu untuk tampil rapi bagi lelaki ini? Aku mendengus, mencoba menarik napas dari kedua hidungku yang hampir tersumbat total. “Aku menunggu Lovina.” “Kau tidur.” Aku mengangguk-angguk pelan. “Aku hanya memejamkan mata.” Kemudian menggeleng. “Bukan tidur.” Daniel kembali tersenyum. Ia kemudian duduk di sampingku. “Aku melihatmu tidur selama sepuluh menit penuh.” Tertangkap basah. Wajahku terasa panas sekali. Dengan salah tingkah aku memeriksa isi tasku. “Oh. Kau pasti melebih-lebihkan saja. Bagaimana bisa aku tidur selama itu. Ha-ha-ha.” Setelah tidak berhasil menemukan sesuatu yang pantas untuk kucari dari dalam tas, aku menarik selembar tisu dan menghembuskannya kuat-kuat menutupi hidung. “Kau dari mana?” “Tadi baru selesai bimbingan referat6 dengan dokter Liliana.” Aku mengangguk-angguk pelan. “Terimakasih tadi untuk sarapannya.” Daniel tidak menjawabku. Aku kemudian berpaling kepadanya. Ia kemudian berkata. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku hanya seseorang yang kebetulan menyukaimu. Kau tidak perlu membuatku merasa tidak enak.” Tuhan. Kurasakan darah kembali mengalir deras ke kepalaku, berkumpul di wajah. Jantungku memukul-mukul keras dinding dadaku. Perutku seperti berisi kapas-kapas harum manis yang meliuk-liuk. “Kau sendiri yang mengatakan bahwa
tidak ada yang berubah dari hubungan kita. We’re still friend. I accepted it. You don’t like me. I accepted it.” Aku memandangi jari-jariku. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Jika kau terus seperti ini, aku akan salah mengerti.” Aku menghela napas panjang tiga kali. Kemudian memiringkan tubuh padanya, aku tidak menatapnya secara langsung, hanya memperhatikan kedua pergelangan tangannya yang entah mengapa menurutku kokoh sekali. Oh Tuhan. Ampuni pikiranku. Kukumpulkan lagi segenap hal yang tadi ingin kukatakan. Aku berdehem satu kali. “Daniel. Maafkan aku. Aku mengantuk sekali.” Sialan. Aku menggeleng kuat. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Maksudku...” Daniel mendorong dahiku pelan-pelan dengan pena di tangannya. Membuatku berhenti menggeleng. Ia kemudian duduk bersandar. “Sudahlah. Kau tidak usah menjelaskan. Nanti saja.” Aku terdiam. Perlahan aku meliriknya. Demi Tuhan, bagaimana bisa suasananya jadi serupa dengan seminggu yang lalu? * Aku baru pulang dari poliklinik dan mendapat sms dari Ibu kalau Tante Mia, dirawat di rumah sakit karena akan operasi batu kandung empedu, jadi sepulangnya dari poliklinik aku menyempatkan diri untuk menjenguk tante Mia di ruangannya, ujung-ujungnya aku ketiduran dan baru tersadar ketika sudah hampir senja. Ketika turun aku mendapati perutku lapar jadi aku membeli roti di kafe rumah sakit dan duduk di bangku lobi, tentunya setelah memastikan tidak ada atribut koas yang masih melekat di tubuhku. Bisa mati kalau kedapatan leyeh-leyeh makan roti di lobi saat sedang jam dinas. Meskipun tentu saja saat itu aku memang sudah bebas dari dinas. Saat itulah aku melihat Daniel, ia belum melihatku sampai aku meneriaki namanya dan mengacungkan roti. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Makan roti lebih banyak dari yang kutawarkan padanya. Saat kuprotes ia mengatakan bahwa ia sangat kelaparan dan sedang tidak membawa uang. Aku menertawainya karena bagiku itu lucu sekali. Seorang Daniel kelaparan dan lupa membawa uang.
“Menurutku kau orang terakhir yang kukenal yang mungkin akan kelaparan. Kau bisa mengubah apa saja menjadi makanan.” “Menurutmu begitu?” mata Daniel terlihat bersinar. Ia menepuk-nepuk remah roti dari sela-sela jarinya. “Menurutku kau bisa membuatkanku sarapan setiap hari sampai aku mati. Aku tidak akan menolak.” “Kalau makan siang dan makan malam?” “Untuk makan siang, kurasa selera kita sedikit berbeda, kau terlalu simpel untuk makan siangmu dan menurutku aku akan kelaparan jika makan makanan seperti itu. Tapi untuk makan malam, kurasa sudah tepat sekali, meski aku baru sekali makan masakanmu saat buka puasa bersama tahun lalu. Bisa saja kau membelinya di restoran.” Aku mengikik, hampir saja aku tersedak. Cepat kutenggak air minum yang tadi juga kubeli. Daniel tampak tersenyum melihatku. “Aku bisa saja membuatkanmu sarapan setiap hari.” Aku tergelak. Mengangguk-angguk penuh semangat. “Oke-oke. Bagus sekali. Katakan saja berapa biayanya.” “Aku juga bisa saja membuat makan siang yang cocok untuk seleramu. Dan jika makan malam sudah sesuai dengan yang kau inginkan, aku rasa tidak terlalu banyak masalah.” Kurasa saat itu aku tertawa sampai keluar airmata. “Kau baik sekali. Aku bisa dimarahi ibumu jika sampai ketahuan membuatmu harus memasak sebanyak itu setiap hari.” Daniel hanya menggeleng-geleng pelan. Ia kemudian duduk bersandar. Dengan punggung tangannya ia menyeka pinggiran bibirnya. “Aku bisa meminta airmu?” Aku memicingkan mata padanya. “Aku cuma punya sebotol ini.” “Kau harus bisa berbagi pada orang yang akan mendampingimu seumur hidupmu.” Selepas itu ia dengan enteng mengambil botol air mineral yang ada di sampingku dan menenggaknya sampai separuh habis. Aku menatap jakunnya yang bergerakgerak saat minum, sampai kemudian kalimatnya yang terakhir itu tercerna oleh otakku. Detik itu juga ia berhenti minum dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelum-
nya. “Kau melihat hantu?” ia mendorong penanya ke depan dahiku. Aku menarik botol air mineral dari tangannya. “Jangan katakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah berpikir tentangmu.” Ia tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” “Jika aku tidak salah dengar, kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu --- seumur hidupmu.” Punggungku meremang. “I was just kidding.” “But I’m not.” * “Apakah suasana ini membuatmu mengingat minggu lalu?” Aku memalingkan wajah pada senyumnya yang terus cerah seperti tidak pernah lelah. “Kau sekarang bisa membaca pikiran?” tanpa bisa kutahan nada bicaraku jadi sinis. Daniel mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Hei, kau ingat pasien saraf titipan tadi?” Aku sampai terkesiap. Separuh karena gerakannya yang mengagetkanku, separuh lagi karena dua kali beruntun Daniel seperti membaca pikiranku, alasan aku menunggu Lovina sampai sesore ini adalah untuk menanyakan pasien tersebut. Entah mengapa, hatiku seperti tertambat pada mereka. Dua orang yang terlihat begitu sendiri. Namun saling memiliki. “Aku pernah merawat si nenek saat di bagian Jantung. Sekitar tiga bulan yang lalu.” Daniel menunggu beberapa saat untuk kemudian kembali bicara. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi tidak?” “Teruslah bicara.” Aku memberengut padanya. Ia terkekeh. “Waktu itu aku visite pagi, nenek itu sedang dalam kondisi sesak sekali. Ia tidak bisa berbaring. Hanya bersandar. Kutanyakan apakah ia bisa tidur tadi malam. Ia berkata bahwa ia masih bisa tidur meski hanya sebentar. Aku melihat mereka hanya punya bantal sepotong, sedangkan bed yang nenek itu gunakan tidak sepenuhnya bisa dinaikkan posisi sandarannya, sehingga
jikapun nenek itu harus bersandar, ia akan tetap merasa sesak. Saat itu aku sempat bercanda pada si kakek bahwa sebagai suami yang baik, harusnya kakek berkorban untuk jadi sandaran nenek. Kau tahu apa yang dijawab oleh kakek itu?” Aku diam, menggeleng pelan. Daniel menghela napas, ekspresi wajahnya sulit ditebak, ia kemudian berdehem kecil. “Kakek itu mengatakan bahwa ia bisa menahan tubuh nenek untuk bersandar, tapi tidak untuk waktu yang lama.” Daniel mendengus pelan, hidungnya seperti beringus. “Karena ia pernah kena stroke sebelumnya, jadi tubuhnya tidak kuat untuk menahan tubuh si nenek terlalu lama.” Aku tidak tahu harus berkata apa. Daniel kemudian berkata lirih, “Aku serius saat mengatakan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Saat melihatmu, aku bisa melihat masa depanku. Aku ingin menjagamu saat kau sakit. Aku ingin kau yang menjagaku saat aku sakit. Meskipun tentu akan lebih baik jika tidak ada yang sakit.” Daniel kemudian menggeleng. “Ketika melihat lagi pasangan kakek-nenek itu hari ini, aku hampir menangis. Hidup mereka mungkin terlihat menyedihkan di mata orang, tapi sepenuh hati aku iri pada kesetiaan mereka yang saling menguatkan. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jadi jika kau benar-benar tidak bisa, katakan sekarang dan aku akan menerimanya sebagai suatu kenyataan.” Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” “Daniel... kau jangan menakutiku.” “Kau tidak seharusnya takut akan cinta.” Aku menggeleng pelan dan perlahan senyumku mengembang. “Kau terlalu banyak makan roti dan sekarang bicaramu melantur. Kurasa aku harus pulang sekarang. Dan kau juga sebaiknya kembali jaga. Kau sedang jaga, kan?” “Is it a ‘no’?” Aku sampai ternganga. “Demi Tuhan Daniel. You’re my friend. One of the best. Aku tidak ingin lelucon seperti ini membuat kita jadi tidak nyaman satu sama lain.” “So now my confession is a joke?” Aku bangkit dan mengemasi jasku. Kujejalkan sisa bungkusan roti dan air mineral ke
dalam tas sandangku. “Okay, kuberikan satu minggu padamu dan tunjukkan padaku bahwa ini bukan lelucon.” Daniel tersenyum. “Fine. One week.” Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku balas tersenyum. “Oh. Please.” Kemudian bergegas pergi. Sejurus kemudian aku berbalik dan berteriak padanya. “Kau bisa memulainya dengan membuatkanku sarapan.” ***
1. koas; co-ass, dokter muda, sarjana kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. 2. visite; kegiatan mengunjungi pasien rawat inap, meliputi pemeriksaan mendalam mengenai keluhan subjektif dan objektif pasien, serta penatalaksanaan yang sesuai untuk saat itu. 3. konsulen; konsultan, dokter spesialis/sub-spesialis. 4. stroke; cerebrovascular accident, cva, kondisi di mana otak mengalami gangguan suplai darah bisa karena pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh darah di otak, manifestasinya sesuai fungsi otak yg terganggu suplainya. 5. urine output; buangan/produksi urine, salah satu komponen yang diukur saat mengukur keseimbangan cairan pasien. 6. referat; salah satu jenis tulisan/laporan, membahas topik tertentu yang disadur dari banyak referensi.