APAKAH KAU PERCAYA PERI? Oleh: Angelina Enny, Clarasia Kiky, Keke Kezia, Lovie Lenny Gunansyah, Nurdiyansah Dalidjo, Shandra M. Tehupeiory, dan Yola M. Caecenary. Copyright © 2015 by Angelina Enny, Clarasia Kiky, Keke Kezia, Lovie Lenny Gunansyah, Nurdiyansah Dalidjo, Shandra M. Tehupeiory, dan Yola M. Caecenary.
Diterbitkan oleh: Karya Kecil Project
Desain Sampul: Diana Margaret
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Kepada masa kanak-kanak yang akan selalu tinggal
2
Daftar Isi Angelina Enny Nocturne Perjalanan Masa Lalu Clarasia Kiky Antara Gagah, Gadis, Gembus, dan Gendhis Seminggu yang Lalu Keke Kezia Senja di Tanah Lapang Perempuan Capung Lovie Lenny Gunansyah Tentang Sebuah Kafe Tentang Lelaki yang Menunggu Nurdiyansah Dalidjo Ranger Pink Apakah Kau Percaya Peri? Shandra M. Tehupeiory Kayla Gue Ade Yola M. Caecenary Menembus Batas Waktu Tujuh Kenangan dalam Kotak Miscellaneous Tentang Penulis
3
Nocturne
Oleh Angelina Enny 1987 Ann bergegas mengayuh sepedanya. Ia telah terbiasa mengayuh dengan cepat sampai di puncak jalanan mendaki. Lalu melepaskan kedua tangannya, menumpu seluruh badannya pada kedua kaki sadel. Tangannya terentang bebas dan ia siap meluncur dari puncak jalanan yang menyerupai lembah itu. Jalanan itu – yang disebut orang dengan Tanah Miring – melandai miring dan juga sepi. Karenanya Ann tergila-gila meluncur di sana. Turun... turun... turun.... Meluncur... meluncur... meluncur.... Ann memekik girang. Angin sore mengibas kuncir kudanya. Dan seperti sore-sore yang biasa, ia akan membiarkan sepedanya meluncur sendiri sampai kecepatannya perlahan berhenti. Sepeda itu akan berhenti di dekat jembatan kecil beranak sungai. Di sekitarnya tumbuh rimbun pohon-pohon bambu yang merapati sebuah rumah dengan pekarangan luas di tepi jalan. Rumah dengan dinding bata putih dengan empat jendela besar seperti empat pasang mata yang selalu mengawasi mereka yang datang. Undakan di pintu masuknya berujung pada pintu kayu yang tampak berat. Di sebelah timur, persis di depan salah satu jendela, tergantung ayunan besi berukir bunga mawar liar. Ann akan menatap lebih lama 20 detik untuk ayunan itu. Ingin ia untuk menaikinya, mengayunnya, dan menerbangkannya. Ayunan itu lebih kokoh dari ayunan di Taman Kanak-kanaknya dulu. Tapi meski sudah berkalikali ia datang ke rumah ini, tak sekali pun ia berani memasukinya. Ia hanya berdiri di dekat rumpun bambu yang semakin berisik tertiup angin sore. Sebentar lagi, rumah itu akan hidup dan – seperti biasa – ia akan mendengarkan melodi piano dari dalam rumah itu. Ia akan terus berdiri di .. 4
Antara Gagah, Gadis, Gembus, dan Gendhis Oleh Clarasia Kiky “Jadi, kenapa harus gembus lagi?” tanya Gagah sambil terus mengamati Gadis yang mendadak seperti orang gila pinggir jalan tidak makan seminggu. Sekarang perempuan ini sudah habis melahap dua gembus goreng dengan saus sambal. Berjalan perlahan, ia diikuti oleh si Gagah yang badannya sesuai namanya. Dari kejauhan, mereka tampak seperti anak anjing lucu dan serigala besar. Warung gorengan di depan taman RT itu sudah dipadati oleh antrean manusia kelaparan yang hendak mencari kudapan. Siang sudah hilang, tapi malam belum juga menjelang. Maka wajar, makanan kecil menjadi solusi penawar lapar di sore hari seperti ini. Teriakan ibu-ibu penggosip sudah santer di antrean itu. Tak hanya mereka, pemuda-pemudi SMA berasrama Budi Luhur pun ikut memakukan badan pada barisan. Beruntunglah Gagah dan Gadis. Kali ini mereka cepat mendapatkan gorengan idaman mereka, sehingga bisa menerjang bangku taman dengan segera. Bagi kedua remaja kelas sebelas IPS berseragam putih abu-abu ini, makan gorengan di taman adalah hal yang istimewa, apalagi jika kiriman uang dari orangtua tak kunjung tiba. “Ini pertanyaanku yang kedua, tapi masih sama. Jadi kenapa harus gembus lagi? Kenapa bukan gorengan lain?” Gagah mulai tak sabar. … 5
Perempuan Capung Oleh Keke Kezia Kebanyakan perempuan pasti tidak menyukai serangga. Kalau pun mereka harus menyukai salah satu jenis serangga, sembilan dari sepuluh perempuan tersebut memilih kupukupu sebagai binatang favoritnya. Aku yakin sahabatku adalah termasuk perempuan yang tidak akan memilih kupukupu sebagai serangga favoritnya, melainkan capung, serangga bersayap empat dan bermata besar. Ayahku dipindahtugaskan ke salah satu pelosok di barat Pulau Jawa. Meskipun bukan desa yang terbelakang, tapi karena aku dari Jakarta, sudah tentu banyak perubahan yang aku rasakan. Perubahan paling besar ialah teman. Aku merasa asing dengan sekolah baruku, tapi aku dan Rana selalu bersama sejak aku menginjakkan kakiku di sekolah ini. Ia mempersilakan aku duduk bersamanya. Awalnya kukira ia anak yang pendiam sebab ia tak bicara sepatah kata pun sejak aku duduk di sampingnya hingga saat istirahat. “Ayo ikut ke belakang sekolah,” serunya tiba-tiba. “Ada apa di sana?” tanyaku terperangah. “Nanti kau lihat saja sendiri.” Ia langsung memasukkan buku Lembar Kerja Siswa ke kolong mejanya dan bergegas keluar kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, ia masih mengajakku serta sembari menggerakkan kepalanya. Aku menyusulnya keluar kelas. …
6
Tentang Sebuah Kafe Oleh Lovie Lenny Gunansyah
Hawa dingin tiba-tiba menyergap. Kulirik jam tangan, jarumnya hinggap di angka sembilan. Jam sembilan pagi di musim hujan. Aku bergegas mengembalikan tumpukan buku-buku yang mulai menggunung di depanku. Entah sudah berapa judul buku dan penulis aku lahap. Jam sembilan pagi di musim hujan, aku ada janji dengan perempuan-perempuan cantik. Setengah berlari menuju pintu keluar, kulambaikan tanganku pada Dei, penjaga perpustakaan yang gantengnya selangit, begitu kata Ava. Tinggi, dada bidang, mata elang. Senyum manis. Hitam manis. Tampan sejuta! Aku terkikik sendirian sambil menuruni tangga. Seharusnya Ava lebih aktif datang ke perpustakaan untuk sekadar tebar pesona sama Dei, tapi perempuan cantik itu selalu menentang profesi Dei yang jadi pustakawan. “Dei itu super ganteng, kalo dia kreatif sedikit, dia bisa jadi model, ngapain nungguin buku-buku, doang, ngga rela gue ngeliat-nya,” begitu ucapnya sengit. “Kalau Dei jadi model, dia ngga kenal elo kali!” kataku. Ava, perempuan cantik yang hobi memanjat, yang menjadikan buku sebagai prioritasnya yang kelima. Kalau lagi hujan, kalau kaki tangan sedang lecet, kalau lagi keluar centilnya, dia akan bertapa di perpustakaan, membaca buku sambil melirik Dei. Tapi kalau lagi galau, lagi normal, dapat nilai A, dapat arisan, dia akan nangkring di tembok panjatan. … 7
Apakah Kau Percaya Peri? Oleh Nurdiyansah Dalidjo
Apakah kau percaya peri? Makhluk hidup mungil bersayap yang bersembunyi di antara bunga-bunga atau akar-akar pohon besar yang menjulang hingga ke atas permukaan tanah atau pada tepian sungai jernih di mana kau dapat berkaca di antara beningnya aliran yang menyegarkan. Apakah ada di antara kita percaya pada peri? Sayang, memori kanak-kanak sulit kembali. Karena mungkin ada rasa aneh yang menghinggapi ketika tengah berteduh di bawah beringin tua. Seolah ada yang mengintip di antara celah dedaunan maupun akar yang menjuntai bagai rambut purba raksasa. Ada kesenangan yang spontan ketika melihat bungabunga bermekaran. Seolah sesuatu tengah membalas pandang dengan senyuman yang pasrah. Dan tidakkah suara air yang mengalir, aroma lumut dan tanah basah di pinggiran sungai membuat kita merasa teduh dan nyaman. Seolah ada sosok yang benar-benar hidup dari kemurnian yang lembab. Serbuk peri yang tanpa kita bisa lihat, memberikan sensasi akan ruh-ruh yang bertebaran dan bersembunyi pada celahcelah yang mengintip. Bagai seutas benang tipis terbelah tujuh yang tak akan pernah putus di antara kau dan mereka. Kutahu mereka pernah bersama dan mungkin berbincang dengan bahasa tanpa kata saat kita sama-sama masih menggunakan isyarat alam terhadap makhluk-makhluk transparan yang melayang di udara bagai kapas menari di atas angin sore. Segumpal dandelion meretas bagai bola kapas paling halus. Angin datang bersama seorang bocah yang meniupkan hembusan udara perlahan, lalu tiap-tiap kelopak melepas diri dan terbang menjelma peri-peri yang melayang dengan mahkota putihnya. Masihkah kita ingat … 8
Kayla
Oleh Shandra M. Tehupeiory Sekolah selalu menjadi tempat yang paling menyenangkan. Di sana tidak ada teriakan, makian, atau pukulan. Sesekali Bapak dan Ibu Guru marah dengan suara yang tinggi, tapi aku masih bisa menerimanya karena memang kami patut dimarahi. Jam istirahat adalah jam yang paling kutunggu-tunggu. Aku selalu menghabiskan makananku dengan cepat, sehingga aku bisa berjalan-jalan mengitari taman sekolah dan sesekali bercengkrama dengan tanaman-tanaman yang menarik perhatianku di sana selama aku tidak dapat berbicara dengan Rose, sahabatku. Aku mempunyai keahlian berbicara dengan benda apa pun. Aku yakin teman-temanku tidak mempunyai keahlian seperti ini. Hanya aku satu-satunya murid yang dapat berbicara dengan benda di sekitarku. Beberapa teman di kelas menganggap aku aneh. Tetapi, Ibu Guru selalu membelaku jika aku diejek oleh mereka. *** Prang! “Dasar perempuan tak tahu diuntung!” Jantungku berdegup kencang. Suara pecahan beling dan teriakan Papa mengagetkanku. Disusul dengan isak tangis Mama yang semakin membuatku takut. Aku mulai menghitung sampai hitungan ke-25 dan suara bantingan … 9
Tujuh Kenangan dalam Kotak
Miscellaneous Oleh Yola M. Caecenary
Ia tersenyum lelah sembari matanya membelalak jenaka memandangi kotak-kotak yang tersusun sekenanya di apartemen studio miliknya, yang baru saja ia huni beberapa jam lalu. Dua-tiga kotak telah terbuka dengan sebagian isi yang telah ia benahi. Kotak-kotak lain masih begitu rapi tertutup, terlakban dengan sempurna. Ia tidak tahu kotak mana lagi yang lebih baik dibuka terlebih dulu dan dibenahi. Tidak ingin menenggelamkan diri cukup lama dengan sebuah kotak, ia memilih satu yang berukuran sedang dengan label miscellaneous di atasnya. Suara enerjik Katy Perry dengan Fireworks menghentak dalam ruangan dari playlist IPod-nya. Membuat fisiknya yang lelah, bersemangat kembali. Di luar, sinar matahari dan angin yang tengah bersenda gurau, merambah bumi dengan kehangatan dan kesejukan di awal musim kemarau tahun ini. Kicau satu-dua ekor burung gereja tertangkap oleh daun telinganya dari arah pepohonan. Kicaunya menyambut ceria langit biru demikian bersih di atasnya. Dengan berlutut, ia membuka kotak tersebut. Ya, sesuai dengan nama kotak tersebut, ia menemukan benda-benda dan berkas yang bercampur. Seketika ia bimbang, bagaimana semestinya ia mengatur benda-benda campur ini. Ditelitinya beberapa barang dari kotak tersebut. Biarlah ini tetap menjadi benda-benda miscellaneous, pikirnya kemudian …
10