sa bersikap wajar!"
"Heran sekali anak sekurang ajar kau bisa jadi Pengawas!" dengus Arabella. "Berandal jahat, aku benci padamu!"
Arabella bergegas keluar, mengempaskan pintu keras-keras. Elizabeth terpaksa memunguti uang yang jatuh dan memasukkannya ke dalam kotak uang. Ia sangat heran akan kegalakan Arabella. Dan ia pun merasa khawatir.
"Ya ampun, sulit benar jadi Pengawas di kelas satu, bila perkara seperti ini sering terjadi," pikirnya.
Sewaktu berlari ke lorong ruangan, Arabella bertemu dengan Rita. Ketua murid itu melihat wajah Arabella yang penuh air mata dan menghentikannya, mencoba menghiburnya dengan lembut, "Arabella, kita semua bisa saja berbuat salah. Apalagi pada awal suatu keadaan. Jangan terlalu dalam memikirkannya, dan biasakan pergi ke Pengawas-mu bila memperoleh kesulitan. Elizabeth seorang yang sangat bijaksana, walaupun masih kecil. Ia bisa bersikap tepat dan adil. Aku yakin dia akan bisa membantumu."
Pada mulanya Arabella sangat gembira Rita menghiburnya. Tetapi pujian terhadap Elizabeth kembali membuat harinya sakit. Ia tak sudi pergi ke Elizabeth untuk meminta nasihat.
Rita melanjutkan perjalanannya. Ia sangat khawatir memikirkan Arabella Gadis itu tampaknya tidak begitu menyesali kesalahannya. Kalau seseorang tahu dirinya bersalah dan menyesal karenanya, maka ia akan bisa memperbaiki kesalahannya itu. Tetapi kalau ia tidak menyesal, hanya merasa marah karena kesalahannya ketahuan, maka keadaannya akan semakin buruk.
Elizabeth menemui Julian. "Hei, mestinya kau memberiku peringatan tentang Arabella," katanya. "Mengapa hal itu tak kaulakukan?"
"Untuk apa? Aku tak peduli apakah ia memasukkan uangnya ke dalam kotak uang atau tidak," kata Julian. "Dan aku juga tidak peduli apakah ia digoda anak banyak atau tidak. Aku hanya melakukan apa saja yang kebetulan aku sukai, tak mau ikut campur urusan orang lain. Biarkanlah orang lain berbuat semau mereka."
"Tetapi, Julian, kau harus tahu bahwa kita tak bisa melakukan apa saja yang kita senangi sendiri, sebab kita hidup bersama banyak sekali anak lain... dan lagi...."
"Sudahlah, jangan sok aksi dengan nasihatmu!" kata Julian segera. "Ada satu hal yang tak kusenangi pada dirimu, Elizabeth, yaitu bahwa kau seorang Pengawas.
Agaknya dengan begitu kau merasa berhak untuk memberiku kuliah atau petuah atau nasihat. Kau merasa berhak untuk mengubah aku menjadi anak baik-anak baik yang berarti aku harus memenuhi apa saja yang kauinginkan."
Kecewa Elizabeth memperhatikan Julian. "Julian! Keterlaluan kau! Aku merasa bangga menjadi seorang Pengawas. Keterlaluan kau kalau kau berkata bahwa kau membenciku karena jabatan Pengawas itu. Padahal jabatan itulah yang paling kubanggakan."
"Aku lebih senang kalau mengenalmu saat kau masih menjadi si Badung Bandel Bengal. Aku yakin aku akan lebih menyukaimu bila kau masih senakal dulu."
"Tak mungkin," tukas Elizabeth. "Waktu itu aku begitu tolol. Lagi pula, toh dulu atau sekarang aku sama saja. Hanya sekarang aku lebih bijaksana, karena aku jadi Pengawas."
"Mulai lagi," Julian mengeluh panjang. "Kau tak pernah bisa melupakan bahwa kau salah satu di antara anak-anak yang begitu agung, perkasa, bijaksana-seorang Pengawas!"
Dengan gusar Julian pergi. Elizabeth lama terpaku di tempatnya, marah. Sungguh tolol seseorang yang sangat membenci apa yang dibanggakan sahabatnya. Julian kadang-kadang memang keterlaluan menjengkelkannya.
8. Elizabeth Memasang Jebakan
Kehidupan sekolah berlangsung menyenangkan pada semester Paskah itu. Berbagai pertandingan dilakukan. Ada yang dimenangkan oleh Whyteleafe, ada yang kalah. Mereka yang suka berkuda tiap pagi menjelajahi bukit sebelum sarapan. Robert selalu berkuda berdua dengan Elizabeth, bercakap-cakap terus sepanjang perjalanan.
"Kau senang jadi Pengawas, Elizabeth?" tanya Robert suatu pagi, tak lama setelah Rapat Besar kedua.
"Mhhh," Elizabeth tak segera menjawab. "Lucu juga, Robert, dahulu aku sangat bangga karena terpilih menjadi Pengawas. Sekarang pun aku masih bangga. Tetapi rasanya menjadi Pengawas membuatku tak bebas bergaul dengan yang lain. Dan ini aku tak suka. Seperti Julian itu, ia selalu mengatakan aku sok aksi saja jadi Pengawas."
"Aku tahu kau bukannya pasang aksi saja," kata Robert menyeringai. "Tetapi begini, Elizabeth. Aku memang belum pernah jadi Pengawas atau pemimpin apa pun. Tetapi sering kudengar dari pamanku bahwa bila kita mempunyai kedudukan yang menonjol, yang memisahkan kita dari yang lain, memang kita akan merasa gelisahsampai nanti kau terbiasa oleh kedudukan barumu itu."
"Aku tak senang merasa dikucilkan dalam perkara Arabella itu," kata Elizabeth. "Aku merasa dikucilkan! Kalau saja aku bukan Pengawas, maka aku akan berada di tengah kalian dan paling tidak bisa mencium adanya ketidakberesan itu. Mestinya seseorang memberi-tahu aku tentang itu."
"Lain kali kau pasti kami beritahu," kata Robert.
Elizabeth bekerja keras di kebun sekolah, membantu John Terry. Bunga-bunga krokus yang mereka tanam dahulu, kini telah berkembang. Ratusan muncul di awal musim semi. Indah sekali. Mula-mula yang kuning muncul. Terbuka menyambut sinar matahari. Kemudian disusul oleh yang ungu dan putih.
Gerobak dorong Julian sangat membantu. Memang bentuknya aneh, tetapi kuat dan bagus buatannya. Anak-anak kecil yang membantu John Terry sangat suka memakainya.
"Terima kasih, Julian," kata John. "Hasil karyamu menghemat pengeluaran kita. Aku akan minta bantuanmu lagi bila ada sesuatu yang kami perlukan."
Semester itu banyak sekali pekerjaan di kebun. Memang begitu di musim semi. Luas sekali tanah yang harus digali. Banyak sekali yang harus ditanam. Di bawah pengawasan John, anak-anak mulai menanamkan benih-benih kacang lebar.
"Ya ampun, apakah kita memang harus menanam begitu banyak, John? Ribuan jumlahnya!" keluh si kecil Peter, meluruskan punggungnya.
"Semua murid sangat menyukai kacang lebar," kata John. "Cukup menyenangkan, bukan, menanam sesuatu yang disukai orang banyak?"
Murid-murid Whyteleafe diperbolehkan memelihara binatang, kecuali kucing dan anjing yang tak bisa dipelihara di dalam sangkar. Setiap anak yang memelihara binatang harus memelihara baik-baik. Kalau tidak, maka binatang peliharaan itu diambil dari mereka. Tapi ini jarang terjadi. Anak-anak itu sayang sekali pada peliharaan mereka dan bangga mempunyai tanggung jawab.
Minggu-minggu pertama berlalu, dan Arabella tidak membuat persoalan lagi dengan Elizabeth. Tetapi ia juga tidak berbicara bila tidak sangat diperlukan. Ia
selalu berdua dengan Rosemary, atau kadang-kadang dengan Martin Follett. Julian bersahabat dengan semua anak-atau lebih tepat: semua anak ingin bersahabat dengannya. Ia tak peduli apakah disenangi anak lain atau tidak. Anak-anak itulah yang menganggapnya sangat menyenangkan dan sangat cerdas.
Sahabatnya yang sebenarnya adalah Elizabeth. Keduanya bisa tertawa dan bercanda sesering mungkin. Julian tak pernah lagi menggoda Elizabeth tentang kedudukannya sebagai Pengawas. Dan Elizabeth mulai terbiasa dengan kedudukannya yang memang harus berada di luar lingkungan anak-anak yang lain sebagai Pengawas. Tetapi memang makin lama ia makin sering lupa bahwa ia mempunyai kedudukan unik itu.
Ia baru teringat akan hal tersebut saat Rosemary suatu hari mendatanginya dan berkata, "Elizabeth, bolehkah aku berbicara denganmu berdua?"
"Oh, tentu saja," kata Elizabeth, segera teringat bahwa ia Pengawas dan harus menolong serta bertindak bijaksana.
"Aku... aku sering kehilangan uang," kata Rosemary takut-takut.
"Kehilangan uang?" tanya Elizabeth. "Kehilangan bagaimana?"
"Mula-mula kukira hilang karena aku lalai," kata Rosemary. "Kukira sakuku berlubang atau yang semacam itu. Tetapi setelah kuperiksa, tak ada sakuku yang berlubang. Minggu lalu aku kehilangan dua penny. Kemarin enam penny. Dan kau tahu, itu cukup banyak bila diingat uang sakuku hanya dua shilling. Hari ini satu penny hilang dari mejaku.
Elizabeth sangat heran. Dipandangnya Rosemary, seakan tak percaya akan telinganya.
"Tetapi, Rosemary," katanya akhirnya, "kau tidak menuduh bahwa seseorang mengambil uangmu, bukan?"
"Terpaksa aku berpikir begitu, Elizabeth," kata Rosemary. "Walaupun sesungguhnya rasanya itu tak mungkin. Sekarang aku tak punya uang lagi, tinggal tiga penny. Itu harus kupakai sampai Rapat Besar mendatang. Padahal aku masih harus membeli prangko."
"Sungguh buruk ini," kata Elizabeth. "Ini suatu pencurian, Rosemary. Apakah kau merasa sangat yakin akan apa yang kaukatakan?"
"Ya," kata Rosemary. "Apakah aku boleh membawa persoalan ini ke Rapat Besar
mendatang?"
"Tidak," jawab Elizabeth, merasa ini suatu kesempatan untuk membuktikan kebijaksanaannya. "Mungkin perkara ini bisa kuselesaikan sendiri. Nanti kalau sudah kita selesaikan, baru kita bawa ke Rapat Besar dan kita katakan bahwa perkaranya sudah selesai."
"Baiklah," kata Rosemary yang merasa takkan sanggup berdiri dan berbicara di depan anak banyak. "Bagaimana caramu menyelesaikan perkara ini?"
"Kita akan memasang jebakan," kata Elizabeth. "Akan kupikirkan nanti. Jangan katakan hal ini pada siapa pun."
"Aku... aku telah berkata pada Martin Follett," kata Rosemary. "Terpaksa, sebab pada waktu aku sedang sibuk mencari uangku yang enam penny kemarin, ia datang dan bertanya. Ia baik hati. Ia ikut membantuku mencari. Lama sekali. Kemudian ia memberiku uang dua penny, sekadar untuk bisa kupakai dulu. Terpaksa aku ceritakan padanya apa yang terjadi dengan uangku. Tetapi belum pernah kuceritakan pada anak lainnya."
"Jangan ceritakan," kata Elizabeth. "Kita harus memasang jebakan pada waktu tak seorang pun menduganya. Sungguh baik hati Martin memberimu dua penny."
"Ya, ia memang pemurah," kata Rosemary "Ia juga telah membelikan satu pak benih kacang kerdil untuk John Terry. Katanya ia tak bisa bekerja di kebun, tetapi ingin membantu sedapat-dapatnya."
"Siapa kira-kira yang begitu keji hingga berani mencuri?" pikir Elizabeth saat Rosemary telah pergi. "Jahat benar! Ini baru soal besar, dan harus kuselesaikan. Aku seorang Pengawas. Harus bisa kuputuskan."
Ia berpikir keras. Ia harus menangkap si pencuri. Kemudian si pencuri akan diurusnya sebijaksana mungkin, untuk membuktikan bahwa ia memang patut jadi Pengawas. Tetapi bagaimana cara menangkapnya?
"Aku tahu!" kata Elizabeth dalam hati. "Akan kutunjukkan uang shilling-ku yang kuterima dari kotak uang kemarin. Uang itu sangat baru. Akan kupamerkan pada semua anak. Kemudian akan kutaruh di mejaku. Tetapi kuberi tanda lebih dahulu. Jadi bila kemudian uang itu hilang, tinggal melihat di tangan siapa uang tersebut muncul."
Keesokan harinya saat istirahat, anak-anak harus bermain di ruang senam. Di luar hari hujan. Elizabeth mengeluarkan keping uang shilling-nya dan memperlihatkan pada kawan-kawannya. "Lihat! Mengilap sekali, bukan?" katanya. "Mungkin baru
saja keluar dari pabrik uang minggu lalu."
Ruth juga mengeluarkan uangnya, sekeping uang penny yang mengilap bagaikan emas. Robert ikut memamerkan uang tiga penny-nya.
"Sayang sekali kalau uangku ini hilang, lolos dari lubang sakuku, misalnya," kata Elizabeth. "Biar kusimpan saja di meja, di bawah tempat tinta. Aman di tempat itu."
Sebelum ditaruhnya di tempat tersebut, Elizabeth memberi tanda silang dengan tinta Cina hitam pada mata uang tadi. Kemudian ditaruhnya di tempat botol tinta, di hadapan anak-anak lain, tepat sebelum Bu Ranger masuk ke dalam kelas.
Ia melirik pada Rosemary. Gadis pemalu itu mengangguk, tanda mengerti apa yang dilakukan Elizabeth.
"Kini kita tinggal menunggu," kata Elizabeth dalam hati, melihat berkeliling, untuk kesekian kalinya mengira-ngira siapa gerangan yang begitu jahat sehingga mau mencuri.
Selesai pelajaran pagi, anak-anak berlarian ke kebun, bermain-main di sana sampai waktu untuk mencuci tangan dan makan siang.
Elizabeth berlari ke kelasnya untuk melihat apakah uangnya masih ada. Dibukanya mejanya. Ya. Uang tersebut masih ada. Ia senang. Mungkin Rosemary salah terka.
Pada waktu pelajaran sore, uang tersebut juga masih ada. Rosemary memandang ke arahnya. Elizabeth mengangguk sebagai tanda bahwa uang itu masih ada. Bagaimana kalau si pencuri sengaja tidak mengambilnya? Elizabeth harus merancang jebakan lainnya.
Sehabis minum teh, uang itu juga masih ada. Rosemary mendekati Elizabeth, berkata, "Tak usah kautaruh lagi uangmu di tempat itu. Jangan-jangan hilang betulan dan kau takkan memperolehnya kembali. Satu shilling hilang pasti sangat mengecewakan bagimu."
"Kita tunggu saja sampai besok pagi," kata Elizabeth, "dan kita lihat hasilnya."
Keesokan paginya, gadis cilik itu menyelinap masuk ke dalam ruang kelasnya. Dibukanya mejanya, diraba-rabanya tempat ia menyembunyikan uangnya.
Uang tersebut tidak ada. Hilang. Walaupun ia setengah mengharapkan hal ini akan terjadi, tak urung Elizabeth terkejut juga. Jadi benar-benar ada pencuri di dalam kelas. Pencuri yang begitu jahat? Siapa?
Yah. Tinggal tunggu saja. Di tangan siapa uang yang telah ia beri tanda. Dan ia bisa menentukan siapa pencurinya.
9. Kejutan untuk Elizabeth
Mudah saja memberi tanda pada sekeping mata uang untuk mengenalinya lagi bila muncul kembali. Tetapi memerlukan suatu perencanaan lagi untuk bisa menemukan keping mata uang tersebut! Tak habis-habisnya Elizabeth berpikir bagaimana ia bisa melakukan itu.
Sehabis minum teh hari itu, hujan masih turun. Anak-anak berkumpul di ruang bermain masing-masing kelas. Sebuah ruangan cerah dengan jendela lebar, perapian besar, gramofon, radio, dan laci-laci tempat anak-anak bisa menyimpan barangbarang mereka.
Sore itu meriah suasananya. Radio berbunyi keras. Gramofon berbunyi keras. Berulang kali ada anak yang ingin membaca terpaksa mengecilkan atau mematikan kedua benda tersebut, tetapi tak lama seseorang akan menghidupkannya kembali. Akhirnya dibiarkan saja keduanya saling bersuara keras.
"Hei, mari kita membuat suatu permainan," seseorang berseru. "Di sini ada lomba pacu kuda. Ayo, siapa ikut! Ada dua belas ekor kuda yang berlomba!"
"Ayo! Aku ikut!" semua berseru gembira, memperhatikan Ruth membuka tempat pacu kudanya. Besar sekali, sehingga menutup seluas meja. Ribut sebentar saat para pemain berebut kuda, kemudian perlombaan pun mulai.
Sungguh menyenangkan bermain bersama-sama seperti ini. Ramai sekali kuda-kuda saling mengejar di papan perlombaan yang luas itu.
"Sial!" seru Harry, "kudaku masuk selokan. Aku harus mundur enam langkah. Satudua-tiga-empat-lima-enam!"
Permainan itu makin seru, dan akhirnya Belinda yang menang, memperoleh hadiah sebatang cokelat. Kemudian Kathleen mengeluarkan permainannya, permainan gasing.
Ada banyak sekali gasing kecil, berwarna-warni. Bisa berputar dengan sangat indah, sambil mengeluarkan bunyi merdu. Anak-anak itu beradu memutarkan gasing, adu lama berputar.
Melihat gasing-gasing itu berputar, Elizabeth mendapat ilham. Ia mengetuk meja dan berkata, "Sekarang kita adu lama memutar uang! Siapa yang akan menang?"
Anak-anak itu langsung mengambil uang dari saku masing-masing. Ada yang mengeluarkan uang penny. Ada yang setengah penny. Ada yang setengah shilling. Dan satu-dua diantara mereka mengeluarkan uang satu shilling.
Sampai saat ini Julian menjadi juara dalam pemutaran gasing. Gasingnya bisa berlompat-lompatan di atas meja dengan cara yang amat aneh. Kini ia akan menunjukkan bahwa dalam memutar uang ia juga juara.
"Lihat, uang pennyku meloncat-loncat," serunya. Dengan tangkas ia memutarkan uang tersebut di muka meja yang licin. Uang tadi berloncatan, kemudian berputar cepat sekali. Tak ada yang bisa menirukan gaya bermain Julian ini.
"Sekarang, lihat aku memutar uang shilling di atas gelas," kata Julian. "Tolong ambilkan gelas.... Suaranya aneh nanti."
Sebuah gelas segera muncul. Semua memperhatikan. Mata hijau Julian bersinarsinar merasakan begitu banyak pandangan kagum ditujukan padanya. Gelas tadi diletakkan terbalik. Dan Julian memutar uangnya pada alas gelas. Terdengar sebuah suara lucu!
"Seperti suara nyanyian," kata Ruth. "Biarkan aku mencoba, Julian."
Uang shilling itu jatuh. Ruth mengambilnya, mencoba memutarnya seperti Julian tadi. Tapi uang tersebut langsung jatuh dari gelas, menggelinding di atas permukaan meja dan jatuh di dekat Elizabeth. Elizabeth mengambilnya.
Sekeping uang shilling yang sangat baru Elizabeth memperhatikannya. Aneh, ada uang shilling yang baru lagi. Dan saat diperhatikannya lagi-Elizabeth sangat terkejut.
Dilihatnya tanda silang yang pernah dibuatnya. Kecil dan hitam. Tak salah lagi. Seketika ia merasa kecewa. Ini uangnya. Uang yang dahulu ditunjukkannya pada semua temannya. Yang kemudian ditaruhnya di mejanya. Dan kemudian hilang.
"Ayo, Elizabeth berikan uangnya!" kata Ruth tak sabar. "Dari caramu melihat,
seperti kau belum pernah melihat uang shilling saja!"
Elizabeth melemparkan uang tersebut kepada Ruth. Tangannya gemetar. Julian! Julian yang kini memiliki uangnya. Tetapi Julian sahabatnya. Tak mungkin ia yang mengambil - tetapi uang tadi betul berada di tangannya, tadi ia mengambilnya dari sakunya! Sedih sekali Elizabeth memperhatikan Julian yang sedang memperhatikan Ruth dengan rambut terurai di dahinya seperti biasanya.
Rosemary telah memperhatikan wajah Elizabeth. Ia melihat Elizabeth memperhatikan keping mata uang itu. Ia tahu pastilah itu keping yang telah diberi tanda. Dan dengan heran ia pun memperhatikan Julian.
Elizabeth tak ingin langsung menanyai Julian. Dengan tak sabar ia menunggu kesempatan agar ia bisa berbicara berdua saja dengannya. Ia menunggu terus malam itu, sambil terus memikirkan apa yang akan dilakukannya.
"Tentu saja, seperti kata Julian ia bisa saja melakukan apa pun yang disukainya," pikir Elizabeth. "Ia sama sekali tak peduli tentang apa pun atau siapa pun. Tetapi aku toh sahabatnya. Semestinya ia peduli akan apa yang dilakukannya padaku. Kalau saja ia memintanya, pasti akan kuberikan. Bagaimana ia bisa berlaku seperti itu?"
Tepat sebelum waktu tidur, saat yang ditunggunya itu tiba. Julian sedang dalam perjalanan dari perpustakaan, dan Elizabeth bertemu dengannya di gang.
"Julian," tanya Elizabeth, "dari mana kauperoleh uang shilling yang baru dan mengilap itu?"
"Dari kotak uang sekolah, minggu lalu," kata Julian langsung. "Kenapa?"
"Kau yakin?" tanya Elizabeth. "Oh, Julian, apakah kau benar-benar yakin tentang itu?"
"Tentu saja, tolol, dari mana lagi aku bisa memperoleh uang?" tanya Julian heran. "Mengapa kau tampak gelisah? Ada yang tidak beres dengan uangku itu?"
Elizabeth hampir saja berkata bahwa uang itu sebenarnya uangnya. Tetapi tidak Ia tak boleh mengatakan hal itu langsung. Itu sama saja dengan menuduh Julian mengambilnya. Ia sahabatnya. Tak boleh ia menuduh Julian dengan tuduhan begitu keji. Ia tak boleh memikirkan kemungkinan itu.
"Tak apa-apa," katanya kemudian, merasakan betapa anehnya si Julian ini.
"Baiklah kalau begitu, jangan bersikap aneh begitu," kata Julian
tak sabar. "Uang itu uangku. Kudapat dan kotak uang sekolah. Begitulah."
Dengan setengah gusar Julian meninggalkan Elizabeth. Agak lama Elizabeth termenung. Pikirannya kacau. Dari seluruh teman sekelasnya, satu-satunya yang tak bisa dicurigainya adalah Julian. Tetapi ternyata kini Julian yang berbuat!
Elizabeth menyelinap masuk ruang musik, dan langsung memainkan sebuah lagu sedih pada piano. Richard yang kebetulan lewat, menjenguk ke dalam dengan penuh keheranan.
"Ya ampun, Elizabeth! Mengapa kaumainkan lagu seperti itu?" tanya Richard. "Siapa pun yang mendengar akan mengira kau kehilangan satu shilling dan menemukan enam penny."
Peribahasa kuno itu separo benar, dan Elizabeth tak sadar tertawa. "Yah... aku telah kehilangan satu shilling, tetapi belum menemukan yang enam penny," katanya.
"Ya Tuhan! Masa hanya karena uang satu shilling saja membuatmu sedemikian sedih? Belum pernah kudengar lagu semurung itu tadi. Gembiralah!" kata Richard.
"Dengar, Richard. Kau tahu, pasti aku tidak setolol itu, bersedih hati hanya karena kehilangan satu shilling'' kata Elizabeth. "Ada hal lain yang membuatku sedih."
"Katakanlah padaku," kata Richard. "Kau tahu aku takkan mengatakannya pada orang lain."
Ini benar. Elizabeth memandang Richard, berpikir bahwa mungkin Richard bisa membantunya.
"Begini. Misalkan kau punya seorang sahabat akrab. Misalnya sahabatmu itu berbuat sesuatu yang amat buruk padamu. Apa yang akan kaulakukan?" tanya Elizabeth.
Richard tertawa. "Kalau dia memang sahabatku, aku tak percaya dia bisa berlaku begitu buruk. Mungkin salah paham."
"Oh, Richard, kau benar!" kata Elizabeth. "Mestinya aku juga tak mempercayainya!"
Ia mulai memainkan piano lagi. Kini dengan lagu yang ceria. Richard menyeringai dan meninggalkan Elizabeth. Kini ia telah terbiasa dengan perangai gadis cilik itu. Dengan kesulitan yang selalu saja dihadapinya.
"Richard benar," pikir Elizabeth. "Aku tak boleh percaya begitu saja. Mungkin uangku jatuh ke tangan Julian entah dengan cara bagaimana. Aku harus menyusun siasat lagi untuk mencari pencuri yang sebenarnya."
Maka ia tak mengubah sikapnya terhadap Julian, masih tetap bersahabat. Ini membuat bingung Rosemary yang tahu akan apa yang telah terjadi. Ia menyatakan keheranannya pada Elizabeth.
"Tetapi tak mungkin Julian yang berbuat," kata Elizabeth, "pasti anak lain. Ia memperoleh uang shilling itu dari kotak uang sekolah. Ia merasa yakin tentang itu. Pasti ada kekeliruan."
Hari berikutnya Rosemary datang pada Elizabeth lagi. "Dengar," katanya, "tahu tidak apa yang terjadi? Arabella kehilangan uangnya! Bagaimana pendapatmu? Si pencuri turun tangan lagi?"
"Ya ampun! Padahal aku berharap takkan terjadi pencurian lagi," kata Elizabeth. "Arabella kehilangan berapa?"
"Enam penny," kata Rosemary. "Tadinya ditaruh di saku jas hujannya. Sewaktu akan diambilnya, sudah tidak ada! Dan, Elizabeth, Belinda juga kehilangan permen cokelat yang ditaruhnya di meja. Aneh, bukan?"
"Ya, aneh, dan keterlaluan," kata Elizabeth. "Aku harus segera mengetahui siapa pencuri itu, untuk diseret ke Rapat Besar!"
Waktu lain, yang hilang adalah beberapa permen di laci Elizabeth. Ketika Elizabeth membuka lacinya untuk mengambil permen, ternyata permen itu tidak ada!
"Sial!" kata Elizabeth, marah dan terguncang hatinya. "Makin buruk saja ini keadaannya! Siapa gerangan yang mengambil permenku, ya?"
Ia segera tahu. Di dalam kelas sore itu, Julian terlihat menahan diri untuk tidak bersin. Cepat-cepat ia menarik sapu tangan dari sakunya. Sesuatu ikut terjatuh. Sebutir permen.
"Salah satu permenku!" pikir Elizabeth dengan marah. "Kurang ajar! Ia telah mengambil permenku! Jadi pasti ia juga yang mengambil uangku itu. Dan ia menyebut dirinya sahabatku!"
10. Pertengkaran
Makin lama Elizabeth berpikir tentang uang dan permen yang hilang itu, makin marah ia kepada Julian. Pasti Julian yang berbuat. Tetapi kenapa ia berbuat seperti itu?
"Ia selalu berkata akan melakukan apa saja yang disukainya," pikir gadis cilik itu. "Mungkin mengambil barang orang lain juga termasuk sesuatu yang disukainya? Jahat sekali dia. Ia pandai. Ia lucu. Tetapi ia jahat. Aku harus berbicara dengannya."
Tak sabar ia menunggu sampai kelas sore selesai. Ia tak memperhatikan pelajarannya, dan Bu Ranger melirik padanya sekali dua kali. Elizabeth agaknya tak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya, menatap langitlangit dengan pandang marah di matanya.
"Elizabeth, kukira kau tahu, bukan, bahwa kau sedang berada di dalam kelas?" tanya Bu Ranger akhirnya. "Setengah jam terakhir ini kau tidak menjawab satu pun pertanyaan yang kuajukan padamu."
"Maaf, Bu Ranger," kata Elizabeth cepat-cepat, "aku... aku sedang memikirkan sesuatu yang lain."
"Sebaiknya kau memikirkan yang sedang kaukerjakan saja. Nak," kata Bu Ranger
Elizabeth berusaha keras melupakan perbuatan Julian, dan berusaha keras memikirkan Mary, Ratu Skotlandia. Tetapi entah bagaimana pikirannya kembali lagi ke Julian.
Ia memperhatikan anak itu, yang duduk di depannya. Ia sedang menulis. Rambut hitamnya terjurai ke keningnya. Setiap kali harus dikibaskannya ke samping. Mengapa ia tidak menggunting saja rambut yang mengganggu itu? Tiba-tiba Julian
berpaling, tersenyum dan menyeringai padanya dengan mata hijaunya yang bersinarsinar.
Elizabeth tidak membalas senyuman itu, tunduk meneliti bukunya. Julian heran. Biasanya Elizabeth sangat murah senyum.
Pelajaran selesai pukul empat. Semua berlarian ke luar, kecuali Elizabeth yang terpaksa menyalinkan sesuatu untuk Bu Ranger. Ia gusar sekali, tetapi tak bisa tidak itu harus dikerjakannya, sebab sepanjang pelajaran tadi ia tak bekerja sama sekali. Ia harus mencatat cepat-cepat kini, sementara pikirannya terus memikirkan tentang apa yang akan dibicarakannya nanti dengan Julian. Ia harus berbicara empat mata dengannya.
Menjelang waktu minum teh baru ia selesai.
Ia bergegas ke ruang makan, tetapi karena pikirannya kacau, nafsu makannya hilang sama sekali. Anak-anak lain yang melihat ini langsung menggodanya.
"Mungkin ia sakit," kata Harry. "Belum pernah Elizabeth menolak makanan. Makanan apa pun! Pasti ada yang tak beres padanya."
"Jangan melucu!" tukas Elizabeth marah.
Harry terkejut.
"Kau ini kenapa sih?" tanyanya. "Kau tak apa-apa?"
Elizabeth mengangguk. Ya. Ia tidak apa-apa. Tetapi ada hal lain yang sama sekali tidak beres. Ia tak ingin menangani perkara Julian. Tetapi kalau ia tidak turun tangan, maka pikirannya takkan bisa damai sejenak pun.
Selesai minum teh ia mendekati Julian. "Julian, aku ingin berbicara denganmu. Ini sangat penting."
"Apakah tak bisa ditunda?" tanya Julian. "Aku masih punya pekerjaan."
"Tidak Tak bisa ditunda. Ini sangat penting."
"Baiklah. Aku akan mendengarkan hal yang sangat penting ini."
"Datanglah ke kebun," kata Elizabeth. "Aku tak ingin pembicaraan kita didengar anak lain."
"Mmm... marilah ke kandang kuda," kata Julian. "Takkan ada anak di sana. Kau begitu misterius, Elizabeth."
Keduanya berjalan ke kandang kuda. Tak seorang pun terlihat. "Nah, apa yang ingin kaukatakan?" tanya Julian. "Cepatlah. Aku ingin segera mengerjakan pekerjaanku. Aku sedang memperbaiki sebuah sekop untuk John."
"Julian, mengapa kau mengambil uang itu dan juga cokelat dan permenku?" tanya Elizabeth.
"Uang dan permen?" Julian heran.
"Oh, jangan berpura-pura tak tahu!" seru Elizabeth kehilangan kesabaran. "Kau mengambil uangku yang satu shilling. Pasti kau juga yang mengambil uang Rosemary. Dan aku melihat salah satu permenku yang hilang jatuh dari sakumu sore ini waktu kau mengambil saputanganmu."
"Elizabeth! Berani benar kau berkata seperti itu padaku!" seru Julian, mukanya merah, matanya yang hijau jadi berwarna gelap.
"Aku berani berkata begitu karena aku Pengawas, dan aku tahu benar keburukanmu!" kata Elizabeth dengan nada geram. "Kauanggap dirimu sahabatku, tapi..."
"Bagus sekali! Kauanggap dirimu sahabatku, dan kau menuduhku sekeji itu!" suara Julian semakin keras kini; ia juga sangat marah. "Hanya karena kau seorang Pengawas, kau merasa bebas saja seenaknya menuduh orang. Kau tak pantas jadi sahabat siapa pun! Kau bukan sahabatku lagi!"
Dengan berang Julian melangkah pergi.
Elizabeth mengejarnya, memegang lengan jasnya. Julian mengibaskan tangan Elizabeth.
"Dengarkan, Julian!" Elizabeth hampir berteriak. "Kau harus mendengarkan aku! Apakah kau ingin semua ini dibicarakan di Rapat Besar mendatang?"
"Kalau kau berani mengatakan hal ini pada siapa pun, akan kubalas kau dengan suatu cara yang pasti akan membuatmu menyesal seumur hidup!" desis Julian. "Semua anak perempuan sama saja. Tak punya rasa hormat sama sekali! Enak saja menuduh orang dan tak percaya bila diberitahu hal yang benar!"
"Julian, aku tak ingin membawa perkara ini ke Rapat Besar!" seru Elizabeth. "Aku tak mau! Karenanya kau kuberi kesempatan untuk menerangkan padaku mengapa kau berbuat begitu! Mungkin aku bisa menolongmu! Kau selalu berkata bahwa kaulakukan apa saja yang kaumaui, jadi aku berpendapat bahwa kau bisa begitu saja mengambil milik orang lain...."
"Elizabeth! Kulakukan apa yang kumaui. Tetapi banyak sekali yang tak kusukai, dan karenanya takkan mungkin kulakukan!" kata Julian dengan mata membara dan kening berkerut dalam. "Aku tak suka mencuri. Aku tak suka berdusta. Aku tak suka memfitnah! Jadi aku takkan melakukan itu semua. Sekarang aku akan pergi. Kini kau bukan lagi sahabat terbaikku, tapi musuhku yang paling kubenci! Aku takkan sudi bersahabat denganmu lagi!"
"Aku bukan musuhmu! Aku ingin membantumu!" kata Elizabeth. "Aku melihat uangmu, yang ternyata uangku yang telah kutandai. Aku melihat permenku jatuh dari sakumu. Aku seorang Pengawas, jadi..."
"Jadi kau berpikir kau bisa saja menuduhku, dan kaukira aku akan begitu saja mengakui sesuatu yang tak kulakukan. Kau kira aku akan menangis di hadapanmu, dan berjanji akan menjadi anak yang baik!" tukas Julian dengan nada keji. "Kau keliru, Elizabeth! Sungguh hanya orang sinting saja yang mengangkat anak seperti kau jadi Pengawas!"
Ia berpaling lagi. Elizabeth kini sudah mencapai puncak marahnya. Ia mencengkeram lengan Julian untuk mengajaknya berbicara lagi. Tetapi Julian berpaling, memegang bahu Elizabeth dan mengguncangnya sehingga gigi gadis itu gemertak.
"Kalau saja kau anak lelaki, kau akan merasakan apa akibat tuduhanmu ini!" geram Julian, kemudian melepaskan Elizabeth dan dengan gusar meninggalkan tempat itu dengan tangan terbenam dalam di saku, rambut berantakan, dan mulut membentuk garis tipis penuh amarah.
Sekujur tubuh Elizabeth lemas. Ia bersandar ke dinding kandang kuda, terengahengah. Ia ingin mencoba meluruskan pikiran, tapi tak berhasil. Mengerikan sekali kejadian tadi!
Suara langkah kaki mendekat membuat ia terlompat kaget. Ternyata Martin Follet, keluar dari kandang kuda dengan wajah pucat pasi.
"Elizabeth! Tak kusengaja kudengarkan semuanya. Aku tak ingin keluar dan menengahi, aku begitu bingung! Kasihan kau, Elizabeth. Tak pantas Julian berbuat begitu, padahal kau berusaha keras membantunya."
Elizabeth merasa bersyukur atas kata-kata penghibur dari Martin, tetapi ia kecewa karena ternyata anak itu telah mendengarkan segalanya.
"Martin, kau sama sekali tak boleh mengatakan kejadian ini pada siapa pun," katanya, berdiri tegak lagi, dan mengibaskan rambutnya yang ikal. "Ini sangat rahasia dan sangat pribadi. Kau berjanji?"
"Tentu," kata Martin. "Tetapi biarkan aku ikut membantu sedikit Elizabeth. Ini, terimalah sedikit permen ini. Dan satu shilling ini, untuk mengganti milikmu yang hilang. Jadi sudah impas, bukan? Dan kau tak perlu memedulikan Julian lagi, tak perlu bertengkar dengannya lagi. Dan juga kau tak perlu membawa perkara ini ke Rapat Besar."
"Oh, Martin, kau sungguh baik," kata Elizabeth, tiba-tiba merasa begitu lelah. "Tetapi bukan itu soalnya. Bukan uangku yang satu shilling itu atau permenku yang jadi persoalan. Tetapi kenyataan bahwa Julian telah mengambilnya. Ini tidak bisa diperbaiki hanya dengan mengembalikan benda-benda itu, bukan? Walaupun apa yang hilang dariku dikembalikan, tetapi sifat Julian yang suka mengambil milik orang lain takkan jadi sembuh karenanya. Mestinya kau mengerti hal itu."
"Nah... beri dia kesempatan," kata Martin bersungguh-sungguh. "Jangan laporkan dia ke Rapat. Berilah dia kesempatan."
"Yah. akan kupikirkan hal itu," kata Elizabeth. "Oh, alangkah senangnya kalau aku bukan seorang Pengawas. Alangkah senangnya bila aku bisa minta bantuan nasihat seorang Pengawas. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa."
Martin menggandeng tangannya. "Yuk kita ngobrol dengan John tentang kebunnya," katanya. "Itu akan menenangkan hatimu."
"Kau sungguh baik, Martin," kata Elizabeth berterima kasih. "Tetapi aku tak ingin berbicara dengan John. Aku tak ingin berbicara dengan siapa pun. Aku ingin menyendiri. Pergilah. Dan, Martin, berjanjilah untuk tidak menceritakan hal ini pada siapa pun. Ini urusan Julian dan aku. Tak ada hubungannya dengan orang lain."
"Tentu saja, aku berjanji," kata Martin menatap Elizabeth. "Kau bisa mempercayaiku, Elizabeth. Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi bila perlu aku akan selalu siap membantumu."
Martin pergi. Elizabeth berpikir bahwa Martin sungguh baik hati. "Aku yakin dia tak akan menceritakan rahasia ini pada anak lain," pikirnya. "Sungguh buruk akibatnya bila yang lain tahu. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Julian akan sangat membenciku kini. Oh. Semoga saja keadaan ini segera jernih kembali."
Tetapi ternyata keadaan semakin memburuk Julian bukannya seseorang yang bisa begitu saja melupakan atau memaafkan sesuatu. Dan ia memang telah bertekad akan membalas perlakuan buruk Elizabeth. Semula Elizabeth memang sahabat baiknya, tetapi kini ia menjadi musuh terburuknya! Jadi, hati-hatilah, Elizabeth!
11. Muslihat Julian
Semua anak segera mengetahui bahwa Julian tidak bersahabat lagi dengan Elizabeth. Elizabeth tampak selalu gusar, dan Julian menunjukkan bahwa ia tak memperhatikan Elizabeth lagi.
Arabella merasa sangat senang. Ia menyukai serta mengagumi Julian karena caracaranya yang selalu acuh tak acuh. Ia juga sangat sakit hati waktu ternyata Julian memilih Elizabeth sebagai sahabat karib. Ia ingin menggantikan kedudukan Elizabeth di mata Julian.
"Otak Julian sungguh luar biasa," kata Arabella pada Rosemary.
Rosemary yang tak begitu cerdas juga sangat mengagumi siapa saja yang berotak cemerlang.
"Ia bisa melakukan apa saja," kata Arabella lagi. "Aku yakin bila dewasa kelak ia akan menjadi seorang penemu yang terkenal. Ia pasti menyumbangkan suatu penemuan pada dunia!"
"Ya, aku juga berpikir begitu," kata Rosemary, seperti biasanya setuju pada apa saja yang dikatakan Arabella. "Entah kenapa Julian dan Elizabeth bertengkar. Sepanjang hari ini mereka sama sekali tak bertegur sapa. Dan setiap kali Julian memandang Elizabeth, maka pandangannya begitu menakutkan!"
"Ya, aku juga ingin tahu mengapa mereka bertengkar," kata Arabella. "Mungkin bisa kutanyakan pada Julian. Mungkin Julian mau bersahabat dengan kita setelah kini ia bermusuhan dengan Elizabeth."
Sore itu Arabella benar-benar bertanya pada Julian. "Julian, kulihat kau dan Elizabeth bertengkar. Ada apa sih?" tanyanya dengan suaranya yang paling manis. "Aku yakin itu karena kesalahan Elizabeth. Bolehkah kutahu mengapa?"
"Maaf, Arabella. Ini urusanku sendiri," jawab Julian pendek.
"Lebih baik katakan saja padaku," kata Arabella. "Aku selalu berada di pihakmu. Aku tidak pernah suka pada Elizabeth."
"Aku tak pernah suka pihak-pihakan," kata Julian.
Hanya itulah yang bisa didapat Arabella dari Julian. Ia gusar juga, tetapi semakin ingin tahu. Apa gerangan yang terjadi? Pasti sesuatu yang sangat serius, kalau tidak, Elizabeth tak akan tampak begitu khawatir.
"Aku ingin sekali mengetahuinya," kata Arabella pada Rosemary. "Aku harus mengetahuinya."
"Apa yang ingin kauketahui?" tanya Martin yang datang dari arah belakang keduanya.
"Mengapa Elizabeth bertengkar dengan Julian," kata Arabella. "Kau tahu, Martin?"
"Ya... sedikit," kata Martin.
Arabella memandangnya dengan penuh harap.
"Betulkah? Coba ceritakan!"
"Tapi... ini rahasia. Kau tak boleh bercerita pada anak lain. Janji?"
"Tentu saja," kata Arabella, walaupun dalam hati ia tak bermaksud memenuhi janji itu. "Siapa yang mengatakannya padamu, Martin?"
"Elizabeth sendiri," kata Martin.
"Kalau begitu kau bisa menceritakannya pada kami," kata Arabella segera. "Sebab bila Elizabeth mengatakannya padamu, sudah pasti ia juga mengatakannya pada anak lain."
Maka Martin pun menceritakan rahasia itu, tentang bagaimana Elizabeth menuduh Julian mencuri uang dan permen, dan bagaimana Julian dengan marah membantah tuduhan itu. Arabella membelalakkan matanya lebar-lebar. Rosemary juga hampir tak percaya.
"Oh, betapa kejinya Elizabeth!" seru Arabella. "Bagaimana ia bisa menuduh begitu pada Julian! Aku yakin walaupun Julian berandalan, tetapi ia jujur!"
Segera saja rahasia itu menyebar. Seisi kelas tahu, semua tahu mengapa Julian bertengkar dengan Elizabeth. Semua berbicara tentang uang dan permen yang dicuri, tentang Elizabeth dan Julian.
"Kupikir Julian harus mengetahui bahwa Elizabeth telah menyebarkan cerita tentang dirinya itu," kata Arabella pada Rosemary. "Ia harus tahu. Sungguh tidak adil."
"Tetapi apakah yang menyebarkan cerita itu Elizabeth?" tanya Rosemary ragu-ragu. "Bukankah yang bercerita pada kita Martin?"
"Ya, tetapi Elizabeth yang mengatakannya padanya. Dan kalau Elizabeth mau mengatakan pada Martin, maka ia pasti mau juga mengatakan pada semua orang," kata Arabella. "Buktinya semua anak kini telah tahu, jadi sudah pasti Elizabeth telah bercerita berulang-ulang!"
Rosemary merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa Arabella sendiri telah berulangulang bercerita pada anak-anak lain dan setiap kali ditambah dengan bumbu-bumbu. Tetapi Rosemary terlalu lemah untuk membantah sahabatnya itu. Ia tak berkata apa-apa.
Hari berikutnya Arabella berkata kepada Julian. "Julian," katanya, "sungguh keji hati Elizabeth, menyebarkan cerita bahwa kau suka mengambil barang-barang milik anak lain. Uang, permen, dan entah apa lagi. Sungguh menjijikkan anak itu."
Julian memandang heran pada Arabella. "Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya.
"Semua sudah tahu bahwa kau dan Elizabeth bertengkar karena ia menuduhmu mengambil barang-barang milik orang lain, dan kau membantahnya," kata Arabella, menggandeng tangan Julian.
Julian tampak pucat seketika.
"Jangan khawatir, Julian," kata Arabella lagi. "Kami semua tahu anak macam apa Elizabeth itu. Entah bagaimana ia bisa dipilih menjadi Pengawas. Siapa yang sudi datang padanya untuk minta tolong. Ia sama sekali tak bisa dipercaya."
"Kau betul," kata Julian, "tetapi tadinya kukira dia bisa dipercaya. Tak pernah kuduga ia akan menyebarkan cerita seperti itu. Seorang Pengawas! Kurang ajar! Tak pernah kutahu bagaimana dulu aku bisa suka padanya."
"Pasti, pasti kau takkan punya alasan untuk menyukainya," kata Arabella kegirangan. "Bayangkan saja, ia menyebarkan desas-desus yang begitu buruk tentang dirimu! Padahal kau tak berkata sepatah pun tentang dia."
Tentu saja sebenarnya Elizabeth juga tak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang pertengkarannya dengan Julian. Tetapi Julian tak tahu hal itu. Ia tak tahu bahwa Martin Follett telah mendengar percakapannya dengan Elizabeth di kandang kuda. Ia mengira percakapan itu hanya diketahui oleh Elizabeth dan dirinya, jadi kalau sampai menyebar, maka itu sudah pasti dilakukan oleh Elizabeth. Hatinya jadi sangat geram pada gadis kecil itu.
"Aku akan membalas dendam padanya," desisnya pada Arabella.
"Tentu saja, kau berhak untuk itu," kata Arabella. "Dan seperti yang kukatakan dulu, aku ada di pihakmu. Begitu juga Rosemary. Dan banyak kawan kita lainnya."
Kali ini Julian tak berkata tentang pihak-memihak. Ia sakit hati. Ia marah. Satu-satunya keinginannya adalah melukai hati Elizabeth, ingin membalas dendam.
Dan mulailah serangkaian peristiwa aneh terjadi pada Elizabeth. Julian menggunakan otaknya yang cerdas sepenuhnya untuk memikirkan berbagai muslihat guna mengganggu Elizabeth. Dan bila Julian benar-benar menggunakan otaknya, maka sesuatu pasti terjadi.
Julian duduk tepat di hadapan Elizabeth di dalam kelas. Di suatu jam pelajaran, pelajaran sejarah, murid-murid diharuskan membawa buku banyak sekali, yang harus mereka tumpuk rapi-rapi di meja masing-masing untuk segera bisa digunakan bila diperlukan.
Julian membuat suatu pegas yang aneh. Diputarnya pegas tersebut dengan suatu cara yang unik, sehingga memerlukan waktu yang agak lama bagi pegas tadi untuk
kembali lurus. Dan diselipkannya pegas itu di bawah tumpukan buku Elizabeth.
Pelajaran dimulai. Bu Ranger sedang galak hari itu, sebab ia sedang pening. Karenanya anak-anak berhati-hati sekali, tak berani bersuara sedikit pun. Tak ada yang berani menutup meja dengan bersuara atau menjatuhkan suatu benda apa pun.
Julian menyeringai sendiri sambil belajar diam-diam di depan Elizabeth. Ia tahu bahwa pegasnya pelahan-lahan meluruskan diri di buku terbawah pada tumpukan Elizabeth. Pegas tadi sangat kuat. Bila mencapai satu titik putaran, maka ia akan terbuka lebar dan melontarkan buku-buku di atasnya dari meja.
Tepat sekali. Kejadian itu terjadi lima menit setelah pelajaran mulai. Pegas itu selesai memutar dan mendorong buku yang menindihnya. Buku yang teratas bergerak, jatuh. Disusul yang lain. Selanjutnya terdengar bunyi gemuruh buku-buku Elizabeth berjatuhan ke lantai.
Bu Ranger melompat kaget. "Buku siapa itu?" hardiknya. "Elizabeth? Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Aku tak tahu. Bu Ranger," Elizabeth heran. "Aku benar-benar tidak tahu."
Julian membungkuk untuk ikut mengambilkan buku-buku yang jatuh di belakangnya itu. Tetapi sesungguhnya ia menaruh lagi sebuah pegas lainnya, sementara diambilnya pegas yang tadi dan dimasukkannya ke dalam sakunya.
Lima menit kemudian, kembali terdengar keributan, satu per satu buku-buku Elizabeth berloncatan dan jatuh ke lantai!
Bu Ranger melompat terkejut. Pulpen yang dipakainya untuk memeriksa pekerjaan anak-anak membuat setitik besar tinta di buku yang sedang diperiksanya.
"Elizabeth! Apakah kau berbuat itu dengan sengaja!" teriak guru itu. "Kalau terjadi sekali lagi, kau harus keluar! Aku tak mau kau mengganggu pelajaran seperti ini!"
Elizabeth kebingungan sekali. "Maafkan aku, Bu Ranger," katanya. "Aku tak tahu bagaimana... buku-buku ini tampaknya berloncatan sendiri dari mejaku!"
"Jangan kekanak-kanakan, Elizabeth!" kata Bu Ranger. "Hanya anak TK saja yang mengajukan alasan seperti itu."
Julian mengambilkan buku-buku itu sambil menyeringai. Elizabeth memandang marah padanya. Ia tak tahu Julian telah mempermainkannya, ia hanya tak suka melihat anak itu gembira karena ia kena marah. Dan ia tak tahu bahwa sekali lagi Julian memasang pegas di bawah buku-buku tersebut.
Kemudian... kembali buku-buku Elizabeth berloncatan. Kali ini Bu Ranger kehilangan kesabaran. "Keluar kau!" bentaknya pada Elizabeth. "Sekali mungkin memang tak sengaja, dua kali masih dimaafkan, tetapi tiga kali... Aku malu punya murid seperti kau. Kau seorang Pengawas, mestinya mengerti bagaimana harus bertindak di dalam kelas."
Dengan pipi memerah Elizabeth keluar. Dalam semester pertamanya di sekolah ini, ia memang sengaja berbuat sesuatu agar diusir dari kelas. Tetapi kali ini ia merasa sangat malu. Ia berdiri di depan kelasnya, hampir menangis karena malu dan marah.
"Ini bukan kesalahanku!" pikirnya. "Buku-bukuku betul-betul berlompatan sendiri! Aku tidak menyentuh buku itu sedikit pun!"
Dan kemudian, celaka! Pada saat itu muncullah Rita, Ketua Murid Perempuan! Dengan heran ia memandang Elizabeth yang berwajah merah di depan pintu kelas. "Mengapa kau berada di sini, Elizabeth?" tanyanya dengan nada dingin.
12. Elizabeth Mendapat Malu
"Aku dikeluarkan dari kelas, Rita, tetapi percayalah, ini bukan karena kesalahanku," kata Elizabeth.
"Jangan sampai terulang lagi, Elizabeth," kata Rita. "Kau seorang Pengawas, harus memberi contoh yang baik. Aku kecewa sekali dengan apa saja yang kudengar tentang dirimu dan anak-anak kelas satu di semester ini."
Rita melanjutkan perjalanan, meninggalkan Elizabeth termenung, memikirkan apa gerangan yang diketahui oleh Rita. Tiba-tiba saja ia merasa sangat sedih dan kecewa. "Aku berharap semester ini akan sangat menyenangkan bagiku," pikirnya, "dan ternyata segalanya tak keruan!"
Di akhir jam pelajaran ia dipanggil masuk, dan Bu Ranger mengucapkan beberapa perkataan keras padanya. Elizabeth tahu tak ada gunanya mengatakan bahwa bukubukunya jatuh atas kehendak mereka sendiri. Karenanya ia diam saja.
Muslihat berikutnya yang dipikirkan oleh Julian sangatlah luar biasa. Ia menyeringai kegirangan sewaktu ia memperoleh ilham untuk itu. Ia pergi ke laboratorium, tempat anak-anak melakukan berbagai percobaan ilmiah. Ia mencampur beberapa bahan kimia, dan-membuatnya menjadi beberapa butiran kecil, disimpannya di dalam sebuah kotak Kemudian sebelum jam pelajaran sore dimulai, ia memasuki ruang kelas yang kosong, menyingkirkan meja Elizabeth dan menaruh sebuah meja besar di tempatnya. Di atas meja itu ditaruhnya sebuah kursi, dan dengan berdiri di kursi tersebut ia bisa mencapai langit-langit. Dengan cepat diaturnya butirbutir yang dibuatnya tadi di langit-langit dan disemprotnya dengan suatu cairan yang baunya aneh. Cairan itu akan membuat butir-butir tadi lambat laun meletus dan meneteskan butiran besar air yang jatuh langsung ke bawah.
"Pasti hebat jadinya nanti," pikir Julian melompat turun dari kursi. Dikembalikannya kursinya, dikembalikannya meja besar tadi. Dan diletakkannya meja Elizabeth tepat berada di bawah butir-butir di langit-langit tadi. Butirbutir tadi tak tampak, putih bagaikan langit-langitnya.
Sore itu Mam'zelle mengajar bahasa Prancis. Elizabeth dan kawan-kawannya diberi tugas untuk mempelajari kata kerja dan menghapalkan sebuah sajak. Mam'zelle akan mendengarkan mereka menghapal di depan kelas nanti. Semua berlatih menghapal sampai saat pelajaran akan mulai. Terdengar Mam'zelle datang. Elizabeth bangkit dari kursinya untuk membukakan pintu.
Mam'zelle sedang senang hatinya. Anak-anak gembira melihat ini. Bu Ranger tidak akan marah bila tidak ada alasan yang kuat untuk itu, tetapi Mam'zelle sering marah tanpa sebab apa-apa. Tapi kali ini agaknya ia sedang tidak pemarah.
"Sore ini kita akan belajar baik-baik," kata Mam'zelle dengan wajah berseriseri. "Kalian harus mengucapkan semua hapalan tanpa kesalahan sedikit pun, sehingga aku tak perlu marah."
Tak ada yang menyahut. Mereka semua berharap agar tak ada yang berbuat salah. Seorang saja berbuat salah, seluruh kelas bisa kena marah. Memang sulit. Hampir tak pernah ada jam pelajaran bahasa Prancis tanpa seorang murid berbuat salah.
Julian telah bersiap-siap untuk pelajaran sore itu. Ia menggunakan otaknya sebaik mungkin. Semua kata kerja meluncur dari mulutnya dengan lancar dan tanpa kesalahan. Ia berbicara dengan Mam'zelle menggunakan bahasa Prancis yang nyaris sempurna. Dan Mam'zelle makin berseri-seri wajahnya, berseru gembira, "Ah, kau ini, Julian! Selalu kau pura-pura bodoh, tetapi sesungguhnya kau amat pintar! Kini coba ucapkan sajakmu. Ucapkan sajak yang bagus itu untukku, Julian."
Julian mulai mengucapkan sajaknya. Lancar dan bagus sekali ucapannya. Tetapi baru saja mulai, sesuatu mengganggunya. Elizabeth.
Saat itu Elizabeth sedang menunduk, mempelajari buku bahasa Prancis-nya. Tibatiba saja setetes besar air jatuh di kepalanya. Elizabeth terkejut. Tak terasa ia berseru kecil dan mengusap kepalanya. Kepalanya basah!
"Kenapa, Elizabeth?" tanya Mam'zelle tak sabar.
"Setetes air jatuh di kepalaku," kata Elizabeth kebingungan. Ia melihat ke langit-langit. Tetapi tak melihat apa-apa di sana.
"Nakal sekali kau, Elizabeth," kata Mam'zelle. "Kaukira aku akan percaya pada kata-katamu itu?"
"Tetapi benar-benar setetes air jatuh ke kepalaku," kata Elizabeth. "Aku merasakannya."
Jenny dan Robert menahan tawa. Mereka mengira Elizabeth berpura-pura untuk memancing kelucuan. Mam'zelle mengetuk meja dengan keras.
"Diam!" katanya. "Julian, lanjutkan hapalanmu. Mulailah dari depan kembali."
Julian mulai lagi, yakin bahwa sebentar lagi setetes air akan jatuh kembali ke kepala Elizabeth. Ia hampir tak bisa menahan tawa.
"Oh, oh!" seru Elizabeth tiba-tiba. Dua tetes besar telah jatuh ke kepalanya. Elizabeth tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kepalanya.
"Elizabeth! Sekali lagi kau mengganggu!" seru Mam'zelle. "Apakah kau ingin merusak jerih payah Julian? Kenapa lagi sekarang? Jangan berkata bahwa hujan turun di kepalamu!"
"Tetapi, Mam'zelle, memang ada air menetes di kepalaku!" kata Elizabeth. Tangan yang meraba kepalanya merasa bahwa kepala itu basah. Anak-anak tertawa terbahakbahak. Mam'zelle jadi sangat marah.
"Semua diam!" hardiknya. "Aku tak mau ribut begini di kelasku. Elizabeth, aku sungguh heran padamu. Seorang Pengawas mestinya tidak berbuat seperti itu!"
"Tetapi, Mam'zelle, benar-benar ada air menetes dari atas," kata Elizabeth. Dan setetes air menetes lagi. Elizabeth sampai melompat karena terkejut, dan memandang ke langit-langit.
"Kau melihat ke langit-langit seolah itu langit betul? Kaupikir hari hujan? Kaupikir kau bisa menipuku?" Mam'zelle benar-benar marah. Semua anak kini memperhatikan dengan berdebar-debar. Bila marah Mam'zelle selalu melakukan gerakan yang lucu.
"Bolehkah aku pindah tempat?" tanya Elizabeth putus asa. "Selalu ada saja yang jatuh dari atas sana. Aku tak mau ketetesan lagi!"
"Kau boleh duduk di luar sana," kata Mam'zelle tegas. "Ini lelucon paling tolol yang pernah kudengar. Pasti sebentar lagi kau akan bertanya apakah kau boleh duduk di situ dengan membawa payung."
Seisi kelas tak tahan untuk tidak tertawa. Mereka terpingkal-pingkal membayangkan Elizabeth duduk dengan memakai payung. Tetapi Mam'zelle tak bermaksud melucu. Dengan marah ia memukul-mukul meja.
"Diam! Aku tidak melucu! Aku sangat marah! Elizabeth, keluarlah dari kelas!"
"Oh, maaf, Mam'zelle, harap aku tidak dikeluarkan," pinta Elizabeth. "Aku tak akan mengganggu lagi. Tetapi percayalah bahwa tadi memang ada air menetes di kepalaku."
Setetes air lagi jatuh di kepalanya. Tetapi kali ini ia diam saja. Ia tak mau Mam'zelle kehabisan kesabaran dan mengeluarkannya dari kelas. Dua kali dikeluarkan sudah keterlaluan! Biarlah ia basah kuyup asal tidak dikeluarkan.
"Satu kali saja kau berseru mengganggu, kau harus keluar!" ancam Mam'zelle. Elizabeth dengan bersyukur duduk, berjanji untuk tidak terkejut kalau ada air menetes lagi di kepalanya.
Tetapi tidak ada lagi tetesan air. Dan segera rambut Elizabeth kering kembali. Tak ada bekas basah sama sekali. Ia pun mendapat giliran untuk menghapalkan kata kerja dan sajak, serta diperkenankan untuk duduk terus di dalam kelas.
Selesai pelajaran bahasa Prancis, anak-anak datang mengerumuninya, memandangnya kagum, "Elizabeth! Berani betul kau berbuat seperti itu tadi! Coba kulihat kepalamu."
Tetapi sekarang rambut Elizabeth sudah kering, dan tak seorang pun percaya pada Elizabeth saat ia mengatakan berulang-ulang bahwa tadi memang ada tetesan air jatuh ke kepalanya. Mereka memeriksa kepala Elizabeth. Sama sekali tidak basah.
Mereka jadi kurang senang.
"Mengapa kau bersikeras mengatakan begitu pada kami? Toh kami tak akan mengadukanmu," kata Harry. "Sebetulnya leluconmu tadi sangat lucu. Mengapa tidak kauakui?"
"Tetapi itu tadi bukan lelucon," bantah Elizabeth. "Benar-benar terjadi!"
Anak-anak pergi meninggalkannya. Mereka tak senang Elizabeth tak mau berterus terang pada mereka.
"Ia berdusta," kata Arabella pada Rosemary. "Sungguh-sungguh aku tak mengerti, bagaimana anak seperti itu bisa jadi Pengawas."
Beberapa orang setuju dengan pendapat Arabella. Mereka semua senang Elizabeth membuat lelucon di kelas, tetapi mereka kecewa Elizabeth tak mau berterus terang.
Bu Ranger mendengar cerita tentang itu dari Mam'zelle saat guru-guru berkumpul di ruang istirahat. "Sungguh tidak seperti biasanya Elizabeth berbuat setolol itu," kata Mam'zelle mengakhiri ceritanya.
Bu Ranger tampak sangat heran. "Aku tak mengerti tingkah Elizabeth," katanya. "Akhir-akhir ini memang luar biasa tingkah lakunya. Ia juga melakukan suatu lelucon tolol di kelasku, mendorong buku-bukunya sehingga jatuh berulang kali."
"Tadinya kupikir ia baik sekali jadi Pengawas," kata Mam'zelle. "Aku sungguh kecewa pada Elizabeth."
Sementara itu Arabella selalu menjelek-jelekkan Elizabeth pada setiap kesempatan. Dan banyak anak yang mulai percaya kata-katanya. Arabella memang sangat pandai bicara.
"Tentu saja, aku senang lelucon," kata Arabella, "dan sungguh menyenangkan untuk berbuat lucu dalam sebuah pelajaran yang membosankan. Tetapi kurasa tak pantas seorang Pengawas berbuat seperti itu. Maksudku kita-kita ini memang wajar bersikap ugal-ugalan, tetapi seorang Pengawas tentunya tak pantas, bukan? Seorang Pengawas harus bisa memberi contoh yang baik. Kalau tidak, untuk apa ia dijadikan Pengawas?"
"Dua semester yang lalu ia dijuluki Gadis Paling Badung di Sekolah, bukan?" sambung Martin. "Mungkin memang itulah sifat aslinya, dan sulit untuk
ditinggalkannya. Kukira salah sekali menjadikannya seorang Pengawas!"
"Coba saja. Ia menyebarkan desas-desus yang begitu keji tentang Julian," kata Arabella lagi. "Mestinya seorang Pengawaslah yang mematikan desas-desus tersebut. Tetapi ini malah dia yang mulai. Yah, seperti kukatakan berulangulang, aku sama sekali tidak mengerti mengapa Elizabeth diangkat menjadi Pengawas."
"Aku yakin ia tak bisa bertahan lama sebagai Pengawas," kata Martin. "Kukira tak boleh kita diam-diam saja punya Pengawas yang bertingkah seperti dia. Bagaimana kita bisa menghormatinya, bagaimana kita bisa meminta nasihat padanya, kalau dia sendiri bertingkah seperti itu? Ia harus diturunkan dari jabatannya sebagai Pengawas!"
Kasihan sekali Elizabeth. Ia tahu teman-teman sekelasnya berbisik-bisik tentang dirinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan itu semua.
13. Rahasia Arabella
Rapat besar datang dan berlalu tanpa Elizabeth mengatakan sesuatu. Ia begitu kecewa dan bingung, tak tahu harus berbuat apa, sehingga akhirnya ia tak mengatakan apa pun.
Sementara itu hari ulang tahun Arabella tiba. Ibunya telah berjanji akan mengiriminya sebuah kue ulang tahun yang besar sekali. Dan ia diberi izin untuk memesan apa saja yang disukainya, makanan dan minuman, dari salah sebuah toko besar di London. Ibu Arabella memang masih berada di Amerika saat itu, jadi segalanya diserahkannya pada Arabella sendiri.
Arabella sudah begitu sering membicarakan rencananya untuk ulang tahun ini. Ia sangat suka membual, dan dikatakannya pada teman-temannya apa saja yang akan dibelinya untuk ulang tahunnya.
Kemudian ia mendapat suatu ilham. Suatu rencana bagus yang segera dikatakannya pada Rosemary. "Rosemary, bagaimana kalau kita mengadakan pesta tengah malam? Di sekolahku dulu kami pernah mengadakannya, dan sungguh asyik! Kita siapkan makanan dan minuman secukupnya. Betapa meriahnya nanti kita menikmati itu semua di tengah malam!"
Rosemary setuju. "Tetapi mestikah kita mengadakannya tengah malam?" tanyanya. "Apa tidak lebih baik sore-sore saja? Siapa tahu kita ketahuan guru-guru."
"Tak apa. Lebih serem tengah malam, kan?" kata Arabella. "Tak usah mengundang Elizabeth. Ia jahat sekali, jangan-jangan ia malah mengadukan rencana kita ini."
"Lalu... siapa yang akan kauundang?" tanya Rosemary.
"Siapa saja... kecuali sahabat-sahabat dekat Elizabeth... misalnya Kathleen, Robert, dan Harry. Mereka akan mendukung Elizabeth secara membabi buta. Lagi pula, walaupun diundang takkan mungkin Elizabeth datang. Ia pasti berpendapat pesta tengah malam sesuatu yang menyalahi peraturan. Jangan lupa, ia masih jadi Pengawas."
Demikianlah. Sekali lagi anak-anak kelas satu mempunyai suatu rahasia. Dibisikkan dari saru anak ke anak lain. Elizabeth melihat betapa mereka berbisik-bisik, dan terdiam setiap saat dia mendekat. Ia berpikir mereka pastilah berbisik-bisik tentang dirinya lagi, dan ia semakin marah dan bersedih.
Julian tentu saja diundang. Begitu juga Martin. Mata hijau Julian bersinar senang mendengar rencana itu. Sesuatu yang membutuhkan keberanian seperti itulah yang sangat disukainya.
Anak-anak itu merundingkan di mana saja mereka akan menyembunyikan makananmakanan untuk pesta tersebut. Mereka tak mau kalau guru-guru mencium adanya rencana pesta itu dengan melihat begitu banyaknya makanan dan minuman.
"Kue ulang tahunnya bisa kita makan waktu jam minum teh," kata Arabella, "tetapi yang lainnya kita sembunyikan saja."
"Sembunyikan limunnya di gudang kebun," usul Martin. "Aku tahu suatu tempat persembunyian yang baik Biarlah aku yang membawanya ke sana. Kalau waktunya datang, biar aku juga yang mengambilnya."
"Dan sembunyikan kaleng biskuit di lemari olahraga di gang," kata Julian. "Lemari itu tak pernah dipakai. Tak seorang pun akan melihatnya. Mana, kusembunyikan sekarang saja."
Dan makanan serta minuman itupun disebarlah, disembunyikan di anak yang ikut diundang berdebar-debar penuh harap menantikan mengasyikkan itu. Mereka yang tidak diundang-jumlahnya sangat sekali tak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tahu bahwa ada rahasia itu milik Arabella.
sana-sini. Anaksaat yang sedikit-sama suatu rahasia, dan
Arabella dengan sengaja selalu bercakap-cakap tentang pesta yang akan datang itu
dengan suara rendah bila ia melihat Elizabeth mendatangi. Dan bila Elizabeth sudah dekat, ia pura-pura terkejut serta mengalihkan pembicaraannya.
Ini membuat Elizabeth sangat gusar. "Tak perlu menduga bahwa aku ingin mengetahui rahasia tololmu itu," katanya pada Arabella. "Jadi bicaralah sesuka hatimu. Aku akan menutup kupingku."
Betapapun sungguh tak enak untuk dikucilkan. Lebih tak enak lagi melihat betapa Julian makin lama tampak makin dekat dengan Arabella, berbicara hangat, tertawa ria. Elizabeth tak tahu bahwa Julian sengaja berbuat ini untuk melukai hatinya. Sebetulnya Julian juga sangat tidak suka pada Arabella yang suka membual itu. Tetapi baginya apa saja yang bisa menyakiti hati Elizabeth akan dilakukannya dengan gembira.
Ulang tahun Arabella tiba. Anak-anak mengucapkan selamat padanya, dan memberinya berbagai hadiah kecil. Arabella menerima itu semua dengan sikap sangat manis dan ucapan yang berbunga-bunga. Tak ragu lagi Arabella memang pandai bertindak kalau saja segalanya sesuai dengan kehendak hatinya.
Elizabeth tidak memberi Arabella hadiah apa pun, bahkan mengucapkan selamat saja tidak. Ia melihat Julian memberi hadiah sebuah bros kecil yang dibuatnya sendiri. Lalu secara berlebihan Arabella mengucapkan terima kasih dan langsung memakai bros tersebut.
"Oh, Julian, kau memang sahabatku yang terbaik," kata Arabella, mengetahui bahwa Elizabeth ada di dekatnya. "Terima kasih banyak!"
Pesta tengah malam itu akan diadakan di ruang bermain. Ruang ini cukup jauh dari ruang tidur guru-guru. Dengan begitu dianggap cukup aman. Hari itu seisi kelas tampak gelisah tapi senang, sehingga Bu Ranger bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi.
Secara kebetulan Elizabeth membuka lemari olahraga di gang untuk mencari bola lacrosse. Heran juga ia melihat sekantong biskuit di tempat itu.
"Mungkin ini milik Bu Ranger," pikirnya. "Mungkin ia kelupaan. Baiklah nanti akan kukatakan padanya. Mungkin ia menyimpan biskuit ini di sini untuk dibagikan waktu istirahat."
Tetapi Elizabeth kemudian lupa dan tak mengatakan apa yang dilihatnya pada Bu Ranger. Ia sama sekali tak tahu bahwa biskuit tersebut milik Arabella dan akan dimakan di pesta nanti malam.
Rahasia Arabella terjaga dengan baik. Anak-anak yang diundang sama sekali tak
membocorkannya sedikit pun pada Elizabeth, sebab Elizabeth adalah seorang Pengawas yang mungkin sekali akan menggagalkan rencana mereka. Karena itu Elizabeth dan beberapa anak lain sama sekali tak tahu.
Waktu tengah malam tiba, semua anak sudah tidur, kecuali Arabella yang sudah berjanji akan jaga terus sampai waktu yang ditentukan tiba. Ia begitu penuh harapan, hingga tak sulit untuk tak memejamkan mata menunggu saat itu. Dan ketika didengarnya lonceng sekolah berdentang dua belas kali, ia bangkit, memakai gaun kamar, sandal, dan sambil membawa senter kecil membangunkan kawankawannya.
Sekali sentuh mereka terbangun dan Arabella berbisik pada setiap anak, "Ssssh... jangan ribut, waktu pesta sudah tiba!"
Elizabeth tidur nyenyak Begitu juga Kathleen. Mereka tak terbangun saat anakanak perempuan keluar ke gang dan bergabung dengan anak-anak laki-laki yang juga keluar dari tempat tidur. Mereka berjingkat-jingkat menuju ruang bermain. Terdengar banyak sekali bisik-bisik serta suara-suara tawa yang tertahan. Bagaikan bayangan anak-anak tadi masuk ke ruang bermain dan menyalakan lilin. Mereka tak berani menyalakan lampu, takut kalau cahayanya terlihat dari luar.
"Lagi pula lebih asyik pakai lilin," bisik Arabella riang. Inilah sesuatu yang sangat disukainya.... Ia menjadi ratu pesta! Memang cantik sekali ia memakai gaun kamar dari sutra, sandal biru juga dari sutra, dan ia tahu bahwa ia memang tampak cantik.
Anak-anak mulai membuka makanan dan minuman. Banyak sekali!
"Sarden! Oh, aku sangat suka sarden!" seru Ruth.
"Buah persik kaleng! Ooooh... sedaaaaap!" "Sisihkan kue cokelat untukku! Rasanya pasti lezzatt!"
"Minta sendoknya, sini, biar kubagikan buah persik ini...."
"Jangan begitu ribut, Belinda! Sudah dua kali kau menjatuhkan sendok. Hati-hati, kalau tidak. Bu Ranger pasti datang kemari!"
Pop! Sebotol limun dibuka tutupnya. Pop! Pop! Yang lain menyusul. Anak-anak saling pandang dengan hati riang. Ini sudah lewat tengah malam. Dan mereka tidak berada di kamar tidur. Mereka berpesta pora di ruang bermain!
"Mana biskuitnya?" tanya Arabella. "Enak sekali bila buah persik ini dimakan dengan biskuit. Tapi mana biskuitnya?"
"Oh, aku lupa!" seru Julian, bangkit. "Baiklah. Akan kuambil, Arabella. Tak lama. Hanya di lemari olahraga itu."
Julian tidak membawa senter. Ia meraba-raba di kegelapan, di gang, mencoba bergerak tanpa suara. Tetapi tak terduga ia menubruk sebuah kursi yang langsung jatuh dengan mengeluarkan suara keras!
Sesaat Julian mematung, memasang telinga. Tempat itu dekat kamar tidur Elizabeth. Dan Elizabeth terbangun!
Elizabeth juga memasang telinga, bertanya dalam hati suara apa itu gerangan. "Baiklah kulihat saja," pikirnya kemudian. Ia turun dari tempat tidur, mengenakan gaun kamar dan memakai sandal. Tak diperhatikannya bahwa separo tempat tidur di kamarnya kosong. Ia menyelinap keluar, ke gang, dengan membawa senter.
Tanpa menyalakan senter ia merayap sepanjang gang, berhenti sesaat, dan maju lagi. Ia mendengar ada suara seseorang agak jauh di depannya. Perlahan ia merambat maju terus.
Seseorang itu berada di dekat lemari olahraga! Jelas Elizabeth mendengar pintu lemari berderit dibuka orang. Siapa itu? Apa yang dilakukannya?
Elizabeth maju tanpa suara, dan tiba-tiba menyorotkan lampu senternya. Julian begitu terkejut hingga seakan-akan nyawanya terloncat dari tubuhnya.
"Julian! Apa yang kaulakukan? Hei, sungguh jahat kau... kau mencuri biskuit! Sungguh menjijikkan kau ini! Cepat kembalikan!"
"Ssssh," bisik Julian, "kau membangunkan semua orang, tolol!"
Ia tak berusaha mengembalikan kantong biskuit yang telah diambilnya. Ia bermaksud akan membawanya kembali ke tempat pesta. Tetapi Elizabeth tak tahu tentang itu tentu saja. Ia berpikir bahwa Julian memang sedang mencuri.
"Hah, kini kau tertangkap basah!" kata Elizabeth. "Tertangkap dengan barang bukti di tangan! Mana bungkusan itu!"
Julian merebut kembali biskuitnya. Dan ini menyebabkan tutup lemari copot dan jatuh dengan suara sangat keras di lantai, suara yang terus menggema sampai jauh di gang.
"Anak goblok!" bentak Julian kecewa. "Kini kau betul-betul membangunkan semua orang!"
14. Obat Bersin
Jatuhnya tutup lemari itu benar-benar membangunkan banyak sekali orang. Terdengar langkah-langkah kaki dan pintu-pintu dibuka. Para guru pasti akan segera muncul.
Julian kabur untuk memperingatkan kawan-kawannya, dan sempat mendorong Elizabeth keras-keras ke samping hingga hampir terjatuh. Elizabeth tak tahu ke mana Julian lari, maka ia pun lari kembali ke kamar tidurnya, dengan pikiran bahwa kini ia telah menangkap basah Julian.
"Kini aku akan melaporkannya," pikir Elizabeth naik ke tempat tidur. "Aku harus melaporkannya."
Julian masuk ke ruang bermain dan berbisik, "Cepat! Semua kembali ke kamar tidur! Elizabeth sambil memergoki aku waktu aku mengambil biskuit, dan membuat suara ribut sekali. Ayo, cepat! Kalau tidak, bisa tertangkap oleh guru-guru nanti!"
Bergegas anak-anak memasukkan apa saja kembali ke laci-laci mereka di sepanjang dinding, atau ke dalam laci meja-meja yang kebetulan kosong. Kemudian lilin ditiup padam, dan mereka kabur sambil berharap semoga mereka tak begitu banyak meninggalkan sisa-sisa makanan.
"Sialan Elizabeth," desis Arabella terengah-engah, menanggalkan gaun kamarnya dan naik ke tempat tidur. "Padahal sedang asyik-asyiknya! Merusakkan suasana saja anak itu!"
Guru-guru saling tanya, suara apa yang mereka dengar itu. Mam'zelle yang kamar tidurnya paling dekat dengan asrama anak-anak kelas satu, selalu tidur lelap. Ia tak mendengar apa-apa dan tidur terus. Ia terkejut saat Bu Ranger membuka pintunya dan membangunkannya.
"Mungkin anak-anak kelas satu saling mengganggu," jawab Mam'zelle mengantuk waktu ditanyai Bu Ranger. "Tolonglah lihat, Bu Ranger."
Tetapi ketika Bu Ranger telah sampai ke asrama anak-anak dan menyalakan lampulampunya, semua telah sepi. Semua anak tampaknya telah tidur dengan lelap. Bahkan luar biasa lelapnya agaknya. Bu Ranger agak curiga juga.
Dari tempat tidurnya Elizabeth melirik Bu Ranger yang menyalakan lampu di kamarnya. Haruskah ia mengatakan apa yang baru saja terjadi? Tidak. Tak usah. Lebih baik bila perkara itu diuraikannya di Rapat Besar besok, agar semua menaruh perhatian.
Bu Ranger mematikan kembali lampu-lampu dan pergi ke kamar tidurnya. Ia tak bisa menerka suara apa yang didengarnya tadi. Mungkin kucing milik sekolah telah mengejar sesuatu dan menubruk sesuatu. Tak lama Bu Ranger telah tertidur kembali.
Tetapi Elizabeth lama tak bisa tidur. Ia memikirkan Julian dan biskuit yang diambilnya. Kini ia yakin bahwa Julian memang seorang pencuri yang menjijikkan. Semboyannya untuk melakukan apa saja yang disukainya dan membiarkan orang lain melakukan yang disukainya ternyata hanya untuk menutupi kebiasaan buruknya.
"Ia akan sangat terkejut nanti bila aku berdiri di Rapat Besar dan membeberkan segala perbuatannya," pikir Elizabeth.
Anak-anak sementara itu sangat marah karena Elizabeth telah menggagalkan rencana mereka.
"Apakah tidak patut kalau kita beri dia hajaran sepantasnya untuk itu?" kata Arabella dengan gusar.
"Tapi... ia sesungguhnya tak tahu apa pun tentang pesta kita," kata Julian. "Mungkin ia keluar dari kamarnya karena heran melihat kalian semua meninggalkan tempat tidur."
Elizabeth memang merasa heran tetapi ia hanya berpikir bahwa anak-anak mengunjungi Arabella untuk bermain-main, sekadar merayakan ulang tahunnya. Ia sama sekali tak berpikir bahwa mereka akan berpesta pora.
"Jangan bocorkan rahasia padanya," kata Julian. "Kita mungkin bisa melanjutkan pesta tadi malam itu nanti. Dan kalau ia tahu ia pasti akan mencegahnya lagi."
Maka tak seorang pun berkata pada Elizabeth bahwa ia telah menggagalkan pesta mereka. Tak urung banyak sekali yang melontarkan pandangan sangat marah padanya, sehingga Elizabeth sangat heran.
Julian merancangkan suatu siasat untuk membalas Elizabeth. Diceritakannya rencana itu pada anak-anak lainnya.
"Dengar," katanya, "aku sudah membuat bubuk obat bersin. Akan kusebarkan di antara halaman buku bahasa Prancis Elizabeth. Dan nanti pada pelajaran Mam'zelle ia pasti akan bersin tak henti-hentinya."
"Oh, bagus sekali!" seru anak-anak yang lain. Mereka gembira bisa membalas Elizabeth.
Sebelum pelajaran sore hari, Julian menyelinap masuk ke dalam kelas. Diambilnya buku bahasa Prancis Elizabeth, dan pada halaman-halamannya disebarkan serbuk halus yang secara tak sengaja ditemukannya saat ia sedang mengadakan percobaan untuk membuat sesuatu. Serbuk itu akan membuat orang bersin tak henti-hentinya. Julian memang selalu berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang sama sekali belum pernah dipikirkan oleh orang lain.
Setelah cukup banyak ia menaburkan bubuk obat bersin itu, hati-hati ditutupnya buku tersebut dan dikembalikannya ke meja Elizabeth. Sambil tersenyum sendiri ia keluar, memikirkan betapa Elizabeth akan mendapat suatu kejutan besar. Begitu juga Mam'zelle.
Lonceng berbunyi. Anak-anak memasuki kelas masing-masing. "Bahasa Prancis!" keluh Jenny.
"Ya ampun! Kalau sampai Mam'zelle nanti marah, pasti aku akan lupa semua yang telah kuhapalkan."
"Aku begitu mengantuk," bisik Arabella pada Rosemary, yang juga tampak lelah karena pesta tengah malam itu. "Kuharap Mam'zelle tidak melampiaskan kemarahannya padaku kalau tiba-tiba ia murka. Kuharap ia akan marah pada Elizabeth. Oh, pasti lucu nanti kalau ia mulai bersin!"
Sepuluh menit pertama pelajaran lisan. Kemudian Mam'zelle memerintahkan agar semua mengeluarkan buku bacaan. Elizabeth mengeluarkan bukunya, dan membukanya.
Tak memakan waktu lama, obat bersin itu bekerja. Saat Elizabeth membuka-buka halaman bukunya, serbuk lembut halus terbang memasuki hidungnya, menggelitiknya. Ia merasa akan bersin dan cepat-cepat mengeluarkan sapu tangannya.
"Hatt-tshi!" Elizabeth bersin. Mam'zelle tak memperhatikannya.
"Hatt-tshii!" Elizabeth bersin lagi. Heran juga ia. Apakah ia masuk angin? "HATTTTTTTSHHIIIIII!"
Mam'zelle mengangkat kepala. Elizabeth cepat-cepat menahan bersin berikutnya. Hening sejenak. Dan saat itu giliran Jenny membaca keras-keras. Ia sampai ke akhir halaman dan bersama dengan anak-anak lainnya membuka halaman tersebut.
Karena membuka halaman itu, debu bubuk bersin di buku Elizabeth terbang lagi, memasuki hidungnya. Ia merasa akan bersin, lalu cepat-cepat mengambil saputangannya lagi. Tetapi ia tak bisa menahan bersin itu.
"HATTT-TSHIIIII! HA1TTTT-TSHIIIII!" begitu keras ia bersin, sehingga suara Jenny tak bisa didengar. Satu-dua anak mulai tertawa geli. Mereka menunggu Elizabeth bersin lagi. Dan benar juga, kali ini begitu keras, sehingga Mam'zelle terkejut dan terlompat dari kursinya.
"Cukup, Elizabeth!" seru Mam'zelle. "Kau tak boleh bersin lagi. Tidak perlu itu. Jangan ganggu yang lain seperti itu."
"Aku tidak bisa hattttttttshi! Menahannya!" terengah-engah Elizabeth menahan bersin, air mata mengalir di pipinya sebab bubuk bersin itu memang sangat kuat. "Hattttttshiiii!"
Mam'zelle jadi sangat marah. "Elizabeth! Minggu lalu kaubilang air jatuh dari langit-langit. Minggu ini kauhilang kau mesti bersin. Aku tak suka!"
"Hattttttttt-ttttshiiiii!" Elizabeth bersin lagi. Makin banyak anak yang tertawa kini. Mam'zelle tak bisa menahan marahnya, menghantam-hantam meja,
"Elizabeth! Kau seorang Pengawas, dan kau berlaku seperti ini! Hentikan bersinmu segera!"
"Hatttt-TTTSHIII!" Lagi-lagi Elizabeth bersin. Tak tahan lagi seisi kelas tertawa sehingga air mata mereka bercucuran.
"Keluar kau! Jangan kembali!" hardik Mam'zelle. "Aku tak mau kau berada di kelasku!"
"Tetapi, oh, Mam'zelle, aku mohon... hattt-tttshi! Hattt-tssshi! Oh, Mam'zelle...," sia-sia Elizabeth meminta maaf. Mam'zelle telah mendorongnya ke pintu, mendorongnya ke luar dan menutupnya rapat-rapat.
Mam'zelle menghadap ke seluruh isi kelas, dan berkata tegas, "Ini sama sekali tidak lucu. Sama sekali tidak lucu!"
Seisi kelas malah tertawa semakin riuh rendah-mereka tak bisa menahan tawa, di sana-sini tertawa terhenti, tetapi di tempat lain muncul, dan akhirnya semua tertawa.
Mam'zelle sangat marah. Seisi kelas dihukumnya dengan menyuruh mereka mencatat satu halaman sajak bahasa Prancis. Tetapi bahkan hukuman ini tidak menghentikan tawa mereka.
Di luar kelas, Elizabeth bingung dan gusar. "Mengapa aku bersin-bersin seperti itu?" tanyanya dalam hati. "Mengapa di sini aku sama sekali tidak ingin bersin? Apakah aku selesma? Di dalam tadi aku sama sekali tak bisa berhenti bersin. Sungguh kejam Mam'zelle mengusirku, toh bukan salahku!"
Dan saat itu muncullah William, Ketua Murid Laki-laki, bersama Pak Lewis, guru musik! Elizabeth bingung. Tapi tak sempat lagi menghindar. William telah melihatnya. William pasti tahu bahwa ia dikeluarkan dari kelas.
"Elizabeth!" tegur William. "Kenapa kau? Dikeluarkan lagi? Kudengar dari Rita minggu yang lalu kau dikeluarkan juga. Apakah kau lupa bahwa kau seorang Pengawas?"
"Tidak," sahut Elizabeth sedih, "aku tidak lupa. Mam'zelle mengusirku karena aku tak bisa berhenti bersin. Ia mengira aku sengaja berbuat begitu untuk melucu. Tetapi aku memang bersin betulan. Tak bisa kutahan lagi!"
"Tetapi sekarang kau tak bersin-bersin," kata William.
"Aku tahu. Begitu aku keluar dari kelas, bersinku reda."
William melanjutkan perjalanan. Ia yakin Elizabeth sedang berbuat nakal. Ia harus berbicara dengan Rita tentang ini. Tak boleh ada Pengawas sampai dikeluarkan dari kelas. Tak pantas Pengawas memberi contoh buruk.
Elizabeth sama sekali tak tahu bahwa ia menjadi korban ulah Julian. Ia hanya menyangka bahwa dirinya terserang flu pilek. Aneh juga bahwa akhirnya ia tidak apa-apa.
"Biarlah, pokoknya malam ini aku akan melapor di Rapat Besar," pikirnya. "Sudah pantas Julian dibuka kedoknya di hadapan anak banyak. Aku yakin semua akan percaya pada laporanku. Aku toh seorang Pengawas!"
15. Rapat yang Mengguncangkan
Anak-anak memasuki ruang senam. Rapat Besar akan dimulai. Elizabeth begitu tegang. Ia ingin agar Rapat segera selesai, agar semua persoalannya selesai.
"Ada uang untuk kotak kita?" tanya William, seperi biasanya. Sepuluh shilling disumbangkan oleh seorang anak yang baru saja menerima wesel dari seorang pamannya. Arabella memasukkan dua pound uang hadiah ulang tahunnya. Ia telah mengerti kini, dan tak mau dilaporkan menyembunyikan uang lagi.
Kemudian dua shilling dibagikan pada setiap anak. Dan setelah itu Rita dan William mempertimbangkan permintaan-permintaan uang tambahan. Elizabeth gelisah. Tak bisa duduk tenang. Ia melirik pada Julian. Anak itu tenang-tenang saja, rambutnya seperti biasa turun di dahi hampir menutupi mata.
Dan berulang kali Julian harus menepiskan rambut itu ke samping.
"Ada keluhan atau laporan?" seperti biasa William bertanya. Seorang anak kecil cepat berdiri sebelum Elizabeth sempat berdiri.
"William," kata anak kecil itu, "anak-anak di kelasku selalu memanggilku si Dungu karena nilaiku selalu paling rendah. Kupikir hal itu tidak adil."
"Kau sudah berbicara dengan Pengawas-mu?" tanya William.
"Sudah," kata anak kecil itu.
"Siapa Pengawasmu?" tanya William.
Seorang anak besar berdiri. "Aku," katanya. "Ya. James selalu diganggu temannya. Ia telah banyak ketinggalan pelajaran karena sakit. Tetapi aku telah berbicara dengan gurunya. Menurut gurunya ia bisa mengejar ketinggalannya kalau saja ia mau berusaha, sebab sesungguhnya otaknya cerdas."
"Terima kasih," kata William. Pengawas itu duduk.
"Nah, James, kaudengar apa kata Pengawasmu," kata William lagi. "Kau sendiri sesungguhnya bisa mencegah agar tidak dikatakan dungu oleh teman-temanmu. Caranya dengan menggunakan otakmu. Belajarlah lebih giat. Mungkin kau telah terbiasa menjadi juru kunci, sehingga tak sadar bahwa sesungguhnya kau mampu berbuat banyak."
"O, begitu," kata James, baru tahu tetapi hatinya senang kini. Lalu ia duduk dengan membantingkan dirinya ke kursi. Anak-anak sekelasnya sesaat bingung, tak tahu apakah harus marah atau tertawa mendengar mereka diadukan. Tetapi tiba-tiba mereka saling menggamit dan tersenyum. James pun berpaling serta ikut tersenyum.
"Ada keluhan lain?" tanya Rita.
"Ada, Rita," kata Elizabeth, berdiri begitu cepat sehingga kursinya hampir roboh. "Ada keluhan berat yang akan kusampaikan."
Terdengar suara bisik-bisik menjalar di antara hadirin. Semua berdebar-debar menunggu. Apa yang akan dikatakan Elizabeth? Arabella jadi sedikit pucat. Apakah Elizabeth akan mengadukannya lagi? Julian dengan tajam melirik pada Elizabeth. Apakah Elizabeth akan mengadukannya?
Ternyata memang betul! Elizabeth memulai pengaduannya. Ia begitu tegang sehingga kata-katanya meluncur seakan saling bertubrukan.
"Rita, William, ini tentang Julian," katanya. "Untuk beberapa lama aku telah menduga bahwa ia sering mengambil barang-barang yang bukan miliknya. Dan kemarin malam aku telah memergokinya! Ia tertangkap basah olehku. Ia sedang mengambil suatu barang dari lemari olahraga di gang depan!"
"Elizabeth, kau harus memberi keterangan yang jelas," kata Rita dengan nada serius. "Kau sedang melakukan suatu tuduhan yang sangat berat akibatnya. Ini harus kita selidiki sampai tuntas. Kalau kau merasa bukti-buktimu tidak cukup, maka kuharap kau segera mencabut pengaduanmu ini, dan membicarakannya dengan kami secara tertutup, tidak di depan umum."
"Aku punya bukti!" kata Elizabeth. "Aku melihat sendiri Julian mengambil biskuit dari lemari olahraga. Aku tak tahu punya siapa. Mungkin punya Bu Ranger. Dan malam itu, sewaktu ia mengira semua telah tidur, perlahan-lahan ia keluar untuk mengambilnya. Aku mendengarnya. Aku melihatnya."
Sunyi senyap. Anak-anak kelas satu saling pandang, dada mereka berdebar keras. Kini pesta tengah malam mereka akan terpaksa dibeberkan di depan anak banyak