M. HADI MASRURI
24
GAGASAN UTAMA
Menyoal Kembali Fundamentalisme dalam Islam
M. Hadi Masruri Dosen Fak. Tarbiyah UIN Malang
Abstract Religious doctrine that gave birth to the fundamentalist movement was influenced by the diversity of interpretation and sociopolitical factors encompassing them. The movement arose as a response to environmental conditions and social phenomena. Fundamentalism will prolong to exist as long as there are influencing factors in accordance with the challenges of that era. The emergence of fundamentalism in any religion is very historical. Fundamentalism does not seem to have strong intellectual foundation, but enough to contribute in responding the various religious phenomena which arise. Fundamentalism has always attracted the sympathy of many, as do other religions with all kinds of conception attributes. Fundamentalism still exists in the midst of a pluralistic society. Keywords:religious texts, extremist, fundamentalism, radical,
Latar Belakang
S
ecara sepintas lalu, judul di atas memberikan kesan, bahwa fundamentalisme dalam Islam merupakan persoalan yang masih diperdebatkan, apakah penggunaan term tersebut layak atau tidak dalam tradisi Islam. Pertama, karena di samping istilah fundamentalisme bukan merupakan term yang lahir dari tradisi Islam, juga sering digunakan untuk menyebut sebuah citra minor (baca: miring) terhadap suatu gerakan yang berbau ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau HARMONI
Januari - Maret 2011
MENYOAL KEMBALI FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
25
mempertahankan keyakinan keagamaan. Fundamentalisme dalam konteks ini disebut sebagai sikap extreme religious (al-tatharruf al-dini) yang berarti lawan moderatisme (al-tawassuth wa al-I’tidal), yakni sebuah term untuk menyebut suatu kelompok keagamaan yang cenderung kaku di dalam menafsirkan doktrin agama dan lebih memilih jalan kekerasan di dalam mencapai tujuan. Pengertian ini dalam perkembangannya sering diposisikan sebagai kelompok oposisi dalam suatu pemerintahan yang ‘dianggap’ sekuler (Shalah al-Shawi, 1993: 9-10). Lebih dari itu, ciri lain yang kadung melekat pada kaum fundamentalis adalah sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran sempit (narrow minded), bersemangat terlalu berlebihan (ultra zealous), atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Maka, jika fundamentalisme dalam pengertian tersebut yang dipakai, bukan tidak mungkin, akan menimbulkan kesalahpahaman (misleading) yang memicu terjadinya violence, karena cenderung lebih menyudutkan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Kedua, istilah fundamentalisme dewasa ini, juga telah mengalami kesimpangsiuran makna dan cenderung menjadi istilah yang bias (berat sebelah) dan pejorative (bersifat merendahkan) dan seringkali digunakan dengan konotasi yang negatif (Shalah al-Shawi, 1993). Ketiga, fundamentalisme secara harfiah mempunyai pengertian berpegang pada ajaran yang fundamental dalam agama. Padahal kebanyakan umat Islam di muka bumi, senantiasa berusaha memegangi secara intens doktrindoktrin fundamental dalam Islam, baik dalam aqidah maupun syariat. Maka, jika fundamentalisme dalam pengertian harfiah tersebut yang dipakai, akan membawa kepada pemahaman, bahwa semua umat Islam adalah fundamentalis. Kajian ini bermaksud menelusuri akar term fundamentalisme dan dalam konteks apa digunakan, sekaligus menyoroti kenapa fundamentalisme sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan muncul dalam semua agama, termasuk juga Islam, dengan memfokuskan persoalan pada
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. X
No. 1
26
M. HADI MASRURI
gejala sosial (fenomena) yang menjadi ciri khas gerakan kaum fundamentalis. Istilah Fundamentalisme Istilah fundamentalisme lahir dalam lingkungan tradisi Kristen. Istilah fundamentalisme, sebenarnya diangkat dari judul sebuah buku kecil The Fundamentals, yang terbit di Amerika antara tahun 1910-1915, di mana istilah fundamental dipergunakan untuk unsur-unsur doktrin tradisional, seperti pewahyuan dan otoritas al-kitab, ketuhanan Yesus, kelahiran perawan Maria, dan sebagainya (James Barr, 1994 :2). Digunakan pertama kalinya untuk menamai sebuah gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat pasca Perang Dunia I, terutama di lingkungan gereja-gereja Baptist, Desciple dan Presbyterian dan memperoleh dukungan dari kalangan kelompokkelompok kependetaan. Gerakan ini kemudian membentuk suatu aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan (scipture) secara rigid (kaku) dan literalis (harfiyah). Kecenderungan corak penafsiran demikian, menurut para tokoh yang biasa dianggap sebagai fundamentalis, adalah perlu demi menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya, di samping juga karena didorong adanya keyakinan bahwa penerapan doktrin secara utuh, adalah satu-satunya cara di dalam menyelamatkan manusia dari kehancuran. Dalam konteks ini, fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai reaksi terhadap modernisme. Hal ini bermula dari anggapan bahwa modernisme merupakan sikap yang cenderung menafsirkan dogmatika agama secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikanya dengan kemajuan zaman dan tuntutan kemodernan. Namun, justru kemodernan membawa agama ke dalam posisi yang semakin terdesak ke piggiran. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, di mana peranan agama akhirnya cenderung semakin terkesampingkan dan digantikan oleh peranan sains dan teknologi modern. Kecenderungan untuk menafsirkan dogmatika agama (scripture) secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protestan itu, ternyata ditemukan juga di kalangan penganut agama lain.
HARMONI
Januari - Maret 2011
MENYOAL KEMBALI FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
27
Karena itu, wajarlah jika para Islamis Barat kemudian menyebut gejala serupa di kalangan masyarakat Islam, sebagai fundamentalisme Islam, sebagaimana mereka menganggap gejala serupa pada agama-agama lain, sehingga muncul istilah kaum fundamentalis Sikh, Protestan, Katolik, Hindu, dan sebagainya, meskipun sebenarnya mereka sendiri enggan, bahkan menolak disebut demikian. Dalam tradisi Islam (baca: Timur Tengah) istilah fundamentalisme, dikenal sebagai al-ushuliyyah al-Islamiyyah atau al-tatharruf al-dini atau al-tatharruf al-Islami, meskipun yang bersangkutan lebih suka menyebut gerakan mereka sebagai al-harakah al-Islamiyyah, atau al-ba’ts al-Islami (kebangkitan Islam). Kaum fundamentalis dalam tradisi Islam, oleh kalangan yang tidak suka (tidak bersimpati) terhadap gerakan mereka, disebut sebagai al-muta’ashshibun (kaum fanatik), atau al-mutatharrifun, kaum radikalis-ekstrimis (Shalah al-Shawi, 1993: 9). Penolakan mereka terhadap sebutan ‘kaum fundamentalis’, agaknya cukup beralasan, karena setidaknya pada perkembangan tiga dasawarsa terakhir, istilah fundamentalisme telah digunakan (terutama oleh media Barat) secara serampangan, dan menjadi istilah dengan standar ganda. Amerika Serikat misalnya, di dalam memandang kelompok Islam yang mereka ‘anggap’ menjadi penghalang kepentingan politik mereka, semuanya secara sederhana mereka kelompokkan sebagai fundamentalis, bahkan teroris. Media massa Barat sering menggunakan istilah fundamentalis kepada hampir semua gerakan keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Sebutan seperti itu sudah biasa diberikan kepada kelompok-kelompok politik Palestina, alJazair, Iran, Libia, dan baru-baru ini Afganistan serta kelompok Usama bin Ladin. Di kalangan sebagian modernis Islam sendiri, juga masih terdapat kecenderungan untuk menggunakan istilah fundamentalis sebagai suatu stereotype yang cenderung diiringi dengan rasa sinisme. Fazlur Rahman misalnya, menyebut kaum fundamentalis sebagai orang-orang berpikiran sempit, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber kepada alQur‘an dan budaya intelektual tradisi Islam, bahkan Nurcholish Madjid, yang disebut-sebut sebagai tokoh modernis Indonesia, menggunakan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. X
No. 1
28
M. HADI MASRURI
istilah fundamentalisme sebagai agama pengganti yang lebih rendah jika dibandingkan dengan agama-agama yang telah mapan, karena menurut Nurcholis, fundamentalisme di samping mengajarkan paham keagamaan yang ‘dianggap’ telah baku, juga mengajarkan hal-hal yang bersifat palsu, sehingga di masa kini, fundamentalisme telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental (Nurcholis Madjid. 1992: 585). Memahami Ciri Khas Fundamentalisme dalam Islam Pada umumnya, umat Islam di seluruh dunia mengakui bahwa ajaran Islam bersumber pada al-Qur‘an dan sunnah Nabi, yang keduanya bisa dikatakan bersifat ‘transenden’ dalam pengertian ‘mengatasi ruang dan waktu’. Namun untuk memahami pemikiran keagamaan (religious thought), tentu tidak cukup dengan hanya memahami sumber-sumbernya saja. Betapapun sumber ajarannya satu dan transenden, ajaran itu akan senantiasa mengalami proses aktualisasi ke dalam realitas sosial penganutpenganutnya, yang setidaknya akan dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin, dan yang kedua, faktor eksternal yang melibatkan sejarah, etnik, budaya dan juga faktor-faktor politik. Aktualisasi doktrin ke dalam realitas sosial pemeluk-pemeluknya inilah yang membentuk ‘corak keberagaman’ (al-ta’addudiyah) dalam tradisi masyarakat Islam (Fahmi Huwaidi, 1996: 6). Model kelompok pertama yaitu modernis lebih menekankan aspekaspek spiritualitas Islam, sehingga nampak lebih fleksibel dan adaptif, sekaligus akomodatif dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Sedangkan kelompok kedua, yakni tradisionalis konservatif lebih mengedepankan aspek-aspek legal formal Islam yang dikembangkan oleh para fuqoha. Kedua corak keberagaman tersebut, sebenarnya telah berkembang lama, bahkan sejak abad-abad pertama perkembangan Islam dan sampai sekarang. Dalam era pasca kolonialisme Barat, dunia Islam di bawah cengkeraman media massa Barat. Istilah fundamentalisme merupakan istilah yang sangat sering diteriakkan oleh Barat demi kepentingan politik mereka untuk menuding kelompok dan gerakan keagamaan tertentu dalam Islam (baca: tradisionalis), yang berbau militan. Meskipun
HARMONI
Januari - Maret 2011
MENYOAL KEMBALI FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
29
kenyatannya, sikap militansi semacam itu kadang membawa implikasi kepada kecenderungan sikap enggan untuk membuka wawasan baru, bahkan bagi penafsiran ulang doktrin agama dalam menghadapi tantangan zaman modern, apalagi sering didukung oleh kekuatan politik negara tertentu. Maka dalam konteks ini, julukan fundamentalis yang ditujukan kepada Islam akan terasa tidak enak dan tidak menguntungkan (unfortunate). Dari pengamatan sepintas lalu, sebenarnya dapat dimengerti, bahwa kaum fundamentalis lebih mengedepankan sikap militansi di dalam mengaktualisasi doktrin agama, sehingga mereka terkesan sangat doktriner, yang menurut Nasr Hamid Abu Zaid telah dihegemoni oleh otoritas teks (sulthat al-nash). Kecenderungan bersikap tekstualis seperti di atas, sering dilandasi oleh adanya motivasi untuk memahami dan mengamalkan doktrin agama secara murni dan bebas dari interpretasi rasional, yang menurut mereka hanya didasari oleh hawa nafsu belaka. Dari sisi ini, pandangan yang menyimpulkan bahwa fundamentalisme muncul dari reaksi kepada modernisme, mungkin ada benarnya. Fazlur Rahman misalnya, berpendapat bahwa fundamentalisme Islam mendapatkan inspirasi dari faham pembaharuan pra-modern, terutama yang dikembangkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab di abad ke18 (Fazlur Rahaman, 2000: 162). Gerakan Wahabiyah pada umumnya memang cenderung bersikap anti intelektual dan mengembangkan corak pemahaman keagamaan yang tekstual (Abd al-‘Aziz ibn Abd Allah ibn Baz, 1411). Hal yang senada juga dilontarkan Harun Nasution, yang berpendapat bahwa fundamentalisme dalam Islam adalah identik dengan faham dan gerakan yang timbul di dunia Islam pada abad ke-19 dan berkembang hingga sekarang, yang pada dasarnya berprinsip kembali kepada al-Qur‘an dan sunnah Nabi, namun sebaliknya Harun tidak sependapat jika fundamentalisme difahami sebagai faham dan gerakan mempertahankan ajaran-ajaran lama dan anti pembaharuan , seperti dalam gerakan Protestan di Amerika Serikat, karena baginya tidak sesuai dengan gerakan yang terdapat dalam Islam (Harun Nasution, 1994: 122-123). Berangkat dari pemahaman kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi, serta adanya motivasi yang kuat untuk mengaktualisasikan doktrin
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. X
No. 1
30
M. HADI MASRURI
Islam secara murni dan kaffah, kelompok yang dianggap fundamentalis itu kemudian memandang tegaknya pemerintahan Islam suatu keharusan, mereka mengumandangkan sistem khilafah seperti di zaman para shahabat. Pendapat yang demikian misalnya dipegangi oleh para tokoh organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, seperti Sayyed Qutub. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Abu al-A’la al-Maududi, pendiri Jama’at Islamiyyah dari Pakistan. Maka, para tokoh fundamentalis itu di dalam memandang keberagaman dalam masyarakat Islam dengan tegas membedakan antara masyarakat Islami (ala al-nizham al-Islami) dan masyarakat jahiliah (ala al-nizham al-jahili). Struktur masyarakat Islami dipandang sebagai yang benar-benar mengamalkan doktrin agama secara kaffah, sedangkan masyarakat yang tidak bercorak demikian dianggap sebagai masyarakat jahiliyah, yang bersifat thaghut (berhala). Berbeda dengan para modernis, yang cenderung lebih fleksibel dan akomodatif serta mengedepankan spirit Islam, menjunjung tinggi prinsip ta’alaw ila kalimatin sawa‘, kelompok fundamentalis cenderung bersikap keras dan enggan untuk berkompromi dengan kelompok lain yang berbeda pandangan, seperti yang diperlihatkan oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Hizb al-Tahrir di Palestina atau Jama’at Islamiyyah di Pakistan. Kelompok-kelompok itu kemudian berubah menjadi kekuatan politik oposisi untuk mencapai tujuan tegaknya khilafat Islamiyyah. Tentang keterlibatan kelompok-kelompok fundamentalis di atas dalam dunia politik yang kemudian membentuk sebuah partai oposisi terhadap kekuatan politik yang berkuasa (W. Montgomery Watt, 1997: 11). Dari sini, dapat dikatakan bahwa, kelompok dan gerakan fundamentalisme dalam Islam pada umumnya adalah kelompok yang cenderung menunjukkan semangat dan antusiasme yang tinggi dalam mengaktualisasikan doktrin Islam secara kaffah, dengan satu sistem menegakkan kembali masyarakat seperti di zaman nabi dan shahabat, meskipun melalui metode dan cara yang berbeda-beda. Keberagaman gerakan dan kelompok fundamentalisme tersebut juga diakui oleh W. Montgomery Watt, sebab dalam realitasnya antara gerakan fundamentalisme yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan yang tajam. Antara al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan Jama’t Islamamiyyah di Pakistan misalnya, walaupun mengandung banyak persamaan secara ideologis, tetapi beberapa aspek dari corak gerakan menunjukkan HARMONI
Januari - Maret 2011
MENYOAL KEMBALI FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
31
perbedaan. Al-Ikhwan al-Muslimun lebih merupakan gerakan massa, dan kadang terlibat juga dalam aksi kekerasan di dalam mencapai tujuan, seperti keterlibatannya dalam mendukung para perwira yang melakukan kudeta terhadap raja Mesir (1952), juga dalam suatu aksi percobaan pembunuhan terhadap presiden Jamal Abd al-Natsir (1954), yang dinilai terlalu sosialis Markis (W. Montgomery Watt, 1997: 11). Sebaliknya Jama’at Islamiyyah merupakan gerakan elit dengan anggota yang relatif sedikit. Jama’at Islamiyyah hampir tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan di dalam memperjuangkan tujuannya, karena sejak pertama didirikan, Jama’at ini menekankan kualitas anggotanya, dan bukan merupakan partai massa, yang bertujuan merubah tatanan masyarakat berdasarkan ajaran al-Maududi. Maka, secara politik Jama’at hanya menjalankan fungsi sebagai barisan depan dalam memperjuangkan revolusi Islam. Jama’at Islamiyyah ketika dibubarkan oleh Jendral Ayyub Khan tahun 1958, anggotanya hanya berjumlah 1278 orang. Setelah itu, meskipun bergerak di bawah tanah, anggota Jama’at Islamiyyah berdasar catatan tahun 1992 hanya sekitar 7. 861 orang (Ali Rahnema (ed), 1994: 116-117). Di Indonesia, terdapat kelompok yang mempunyai kecenderungan mengambil fundamentalisme sebagai gerakan yang menonjolkan semangat keagamaan yang tinggi, yang sedikit banyak diilhami spirit gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jama’at Islamiyyah di Pakistan, seperti gerakan komando jihad pada tahun 1970-an. Bahkan kecenderungan fundamentalisme telah merambah kepada komunitas pelajar dan mahasiswa Islam dan menyebut kelompoknya dengan gerakan Usrah. Mereka sedemikian antusias untuk menerapkan ‘nilainilai Islam’, dan cenderung untuk mempertegas keberadaan eksistensi mereka yang berbeda dengan kelompok lain, baik cara berpakaian, cara makan minum, bersikap (seperti memanjangkan jenggot), dan bergaul, yang umumnya ingin mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi dan para shahabat, terkesan sangat rigit dan tekstual sehingga sampai sekarang gejala itu terus berkembang, bahkan mengambil bentuk yang beragam dan memakai nama yang beragam pula. Nama-nama gerakan yang cenderung fundamentalistis itu, di antaranya Laskar Jihad, Jama’ah Tabligh, alSalafiyyah, Usrah, Ahl al-Sunnah, Jama’ah Islamiyyah dan sebagainya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. X
No. 1
32
M. HADI MASRURI
Penutup Fundamentalisme merupakan term yang sangat historis spesifik, yakni lahir dari gerakan keagaman Kristen Protestan di Amerika Serikat pasca perang dunia pertama. Istilah fundamentalisme secara harfiyyah, jika dipakai dalam terminologi Islam, jelas akan memunculkan kesalahfahaman. Namun, sebagai gejala sosial, yang lebih cenderung merupakan gerakan keagamaan yang bersifat konservatif agresif, mungkin lebih dapat diterima, karena realitasnya memang terjadi pada setiap agama, bahkan menurut hemat penulis sendiri merupakan keberagaman (pluralitas) di dalam beragama. Sebagai gerakan keagamaan, fundamentalisme terkesan tidak memiliki bangunan intelektual yang kuat, namun cukup memberikan andil dalam merespons berbagai fenomena keagamaan yang muncul, meskipun menggunakan bahasa yang lain. Faktanya selalu menarik simpati banyak orang, sebagaimana agama-agama lain dengan segala macam atribut pemahamannya, tetap eksis di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, termasuk di dalamnya aliran kebatinan, aliran spiritualisme (model Anand Krisnan), bahkan praktek klenik dan perdukunan sekalipun, yang sudah jelas dari semangat intelektual. Tetapi ternyata mampu menarik pengikut yang tidak sedikit dan dengan semangat dan komitmen yang tinggi pula. Eksistensi suatu gerakan, memang tidak selalu harus ditopang dan dibumbui oleh alasan-alasan filosofis, yang serba rasional-Aristotelian-Yunanian, atau dibuktikan melalui penelitian empirik. Namun semua tiu tergantung kepada kondisi sosial-ekonomi-politik yang menyertainya. Wa Allah a’lam bi al-shawab. Daftar Pustaka
Barr, James. Fundamentalisme. 1994. Terjemahan Stephen Suleeman. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Berrent, Irwin 1990. M. Fundamentalist: Hazards and Heartbreak. Illinois: Open Court. Dollar, George W. 1973. A History of Fundamentalism in America. Greenville: Bob John University.
HARMONI
Januari - Maret 2011
MENYOAL KEMBALI FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
33
Fazlur Rahman, . 2000. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. England: Oneworld Publications, ———-. 1979. Islam and Modernity, An Intelectual Transformation. Minneapolis: Biblitheca Islamica. Huwaidi, Fahmi. 1996. Al-Muftarun: Khitab al-Tatharruf al-‘Ilmani fi al-Mizan. Beirut: Dar al-Syuruq. Madjid, Nurcholis. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan. Rahardjo, M. Dawam. 1996. “Fundamentalisme” artikel dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina. Rahnema, Ali (edit). 1994. Para Perintis Zaman Baru Islam. Terjemahan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan. Al-Shawi, Shalah. 1993. Al-Tatharruf al-Dini: al-Ra‘y al-Akhar. Kairo: Al-Afaq alDawliyyah li al-I’lam. Quthb, Sayyid. 1976. Ma’alim fi al-Thariq. Kuwait: IIFSO. Watt, William Montgomery. 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. (Pent: Taufiq Adnan Amal), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. X
No. 1